Rusmiyati MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM STRUKTUR SOSIAL Zainul Wahid (Dosen Prodi PBSI STKIP PGRI Sumenep) Email: [email protected] Abstrak Gender merupakan satu di antara sejumlah wacana yang cukup menyita perhatian banyak kalangan, mulai para remaja, kalangan aktivis pergerakan perempuan, akademisi dan mahasiswa, kalangan legislatif dan pemerintah, hingga para agamawan. Adanya isu gender ini adalah salah satu usaha untuk mengakhiri ketidakadilan sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang sering disebut dengan istilah diskriminasi perempuan, selanjutnya berupaya mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pada aspek sosialnya. wacana gender setidaknya dapat dikategorikan menjadi sebuah gerakan emansipasi wanita untuk meraih kesetaraan gender, dan meminimalisir diskriminasi terhadap kaum perempuan, Tulisan ini akan menyuguhkan beberapa persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan, selanjutanya membahas perspektif kesetaraan gender sebagai usaha untuk memberikan pengajaran kepada masyarakat terkait diskriminasi terhadap perempuan. Secara umum dapat disebutkan bahwa tujuan perjuangan feminisme adalah mencapai kesetaraan, harkat, dan kebebasan perempuan dalam memilih dan mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Kata Kunci: Perempuan, Gender, Diskriminasi Abstract Gender is one of the discourses, which attracts quite a lot of attention from any levels of society from teenagers, woman activists, academicians and college students, legislators and government, and also religionists. The existence of this gender issue is an effort to end social unjustness based on different sex, which is often known as woman discrimination. Thus, equality between man and woman in social aspect is afforded to be brought to reality. The discourse of gender at least, can be categorized as a woman emancipation act to gain gender equality and to minimize woman discrimination. This paper will present some problems faced by women, also discuss about the perspective of gender equality as an effort to give knowledge to communities dialing with woman discrimination. In general, it can be said that the goal of feminism struggle is to gain equality, dignity, and freedom for woman to decide her choice and manage her own life and physique both inside and outside household. Key Words: Woman, Gender, Discrimination Volume 7, Nomor 2, Juni 2015 137 138 MARGINALISASI PEREMPUAN A. Pendahuluan Isu diskriminasi terhadap kaum perempuan sering kali menjadi bahan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan menjadi topik utama dalam pembicaraan pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan beberapa waktu terakhir ini banyak media massa yang membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan, ketidakadilan dan diskriminasi tersebut terjadi hampir di semua bidang kehidupan sosial, mulai dari tingkat nasional negara, agama, sosial, budaya, ekonomi, bahkan sampai tingkat rumah tangga diskriminasi itu terjadi. Berbicara persoalan perempuan, satu hal yang paling menarik untuk dibahas adalah persoalan ketidakadilan dan ketidaksetaraan berdasarkan perbedaan jenis kelamin sosial (gender). Dalam kenyataannya masih banyak beberapa ketidakadilan dan diskriminai terhadap kaum perempuan, sebut saja masih adanya anggapan di beberapa struktur social masyarakat bahwa perempuan adalah sosok yang tidak diberikan kebebasan duduk di bangku sekolah, aktivitasnya terbatas, dan sebagainya, beberapa anggapan ini sering dijumpai pada masyarakat terutama di daerah pedesaan. Belum lagi banyaknya persoalan yang sering dijumpai adanya pelecehan seksual yang selalu perempuan menjadi korbannya, tidak jarang di berbagai tulisan media massa dan media elektronik, Jurnal Pelopor Pendidikan bentuk pelecehan yang sering dialami oleh perempuan salah satunya adalah pemerkosaan dan diskriminasi yang selalu diterima oleh perempuan. Hal ini menyebabkan anggapan dan penilaian masyarakat terhadap perempuan, bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, bahwa perempuan adalah makhluk kedua setelah laki-laki. Anggapan masyarakat bahwa perempuan identik dengan kerja-kerja dan menjaga rumah saja, seperti pengasuh anak, menyapu, memasak, dan mencuci, sedangkan laki-laki mempunyai ruang yang lebih luas seperti memperluas pengetahuan akademik, sekolah yang tinggi, bekerja di luar rumah, mencari nafkah, dan menjadi tulang punggung keluarga. Sehingga persoalan gender ini menarik minat masyarakat inetelektual dari berbagai bidang dan disiplin ilmu, aktifis perempuan dan beberapa LSM untuk mengkaji lebih jauh, dalam bentuk diskusi, seminar, simposium, dan bahkan sekedar pernyataan tentang gender dari berbagai perspektif. Isu diskriminasi perempuan (gender) yang telah sering didengar tersebut telah menimbulkan persoalan aktual dikalangan para ahli, tidak ada satupun didunia yang tidak merespon terhadap masalah ini. Hal ini dapat dimaklumi karena memang isu-isu gender yang muncul atas dasar adanya beberapa ketidakadilan dan diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan yang hingga saat ini hal tersebut masih terus terjadi. Diskriminasi terhadap perempuan ini merupakan ketidakadilan sosial yang Zainul Wahid tertua dalam sejarah manusia. Masih banyak terdengar cerita klasik dalam masyarakat bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk adam sehingga memberi gambaran inferioritas terhadap perempuan dan superivitas laki-laki (Fudhailidi, 2002: 150) Hal inilah yang dijadikan alasan dan argumen bagi tindakan-tindakan diskriminasi terhadap perempuan dari waktu ke waktu, sehingga memunculkan penilaian negatif terhadap keberadaan kaum perempuan. Perempuan hanyalah merupakan makhluk yang diciptakan dan keberadaannya tergantung terhadap laki-laki. Anggapan tentang memposisikan kaum perempuan setelah laki-laki dalam hal penciptaan telah menjadi hal klasik yang diwariskan dari waktu ke waktu. Isu gender yang telah merebak tersebut telah menimbulkan persoalan aktual dikalangan para ahli agama, benarkah Tuhan telah menciptakan perempuan sekedar sebagai pelengkap adanya laki-laki? Benarkah Tuhan menjadikan perempuan hanya sebagai makhluk yang dipimpin? Sehingga kedudukan perempuan yang dipersepsikan tidak pantas menjadi pemimpin dan keberadaannya hanyalah layak menempati posisi di belakang setelah laki-laki. Akhirnya muncul beberapa gerakan emansipasi wanita untuk menggugat, dan mendiskusikannya.hal inilah sangat di butuhkan sekali bagi kaum perempuan. B. Gender dan Isu Diskriminasi Perempuan Istilah gender sebagaimana yang di- kutip oleh Kadarusman, berasal dari bahasa Inggris “Gender”, yang berarti jenis kelamin secara etimologi, gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan, dilihat dari nilai dan tingkah laku. (Kadarusman, 2005: 19). Pemahaman gender yang ditetapkan dalam pengertian tersebut tampaknya tidak bisa ditentukan dalam kategori-kategori terminologi. Sebab dalam terminologi, gender dan jenis kelamin (seks) merupakan dua istilah yang memiliki definisi berbeda (Eni, 2005:14). Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa, gender adalah suatu konsep cultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, tingkah laku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki maupun perempuan yang berkembang dalam masyarakat. (Mufidah 2004: 4). Istilah gender ini pertama kali digunakan oleh Oakley yang diartikan sebagai “behavior differences between women and men that are socially constructed–created by men and women themselves; therefore they are matter of culture”. (Fakih, 2000: 76) Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian, dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Tetapi jalan yang menjadikan maskulin atau feminim adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur. Setiap masyarakat memiliki berbagai naskah (scripts) untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar meVolume 7, Nomor 2, Juni 2015 139 140 MARGINALISASI PEREMPUAN mainkan peran feminim atau maskulin, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak bayi mungil hingga mencapai usia tua, manusia mempelajari dan mempraktekkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi dirinya untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Gender Jurnal Fondasia 2008 adalah seperangkat peran yang menyampaikan kepada orang lain bahwa manusia adalah feminim atau maskulin (Mosse, 2007:2-3). Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotype atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih, 2006:12). Hakekatnya antara laki-laki dan perempuan adalah sama pengertiannya. Keduanya sama-sama makhluk Tuhan yang diciptakan untuk saling melengkapi antara keduanya dalam kehidupan Jurnal Pelopor Pendidikan ini. Meskipun dalam segi fisik terdapat perbedaan, namun perbedaan tersebut tidak lain hanyalah sebagai pembeda dalam segi fisik saja pula. Karena fungsi dan peran keduanya dalam kehidupan sosial khususnya adalah sama. Untuk itu hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan pun pada dasarnya harusnya tidak dibeda-bedakan dan tidak dengan pengecualian diantaranya. Namun yang terjadi pada umumnya adalah banyak sekali hal yang dibeda-bedakan berdasarkan perbedaan laki-laki dan perempuan, baik dalam wilayah pribadi seperti peran dalam keluarga hingga peran berpolitik dalam kehidupan bernegara. Maka mulailah timbul istilah gender dan diskriminasi gender itu sendiri. Dalam Undang-undang Dasar yang dirumuskan pada Tahun 1945 sejak semula telah mencantumkan dalam Pasal 27 (1), bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Jadi, sejak Tahun 1945, prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan di depan hukum telah diakui.Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 31 ayat (1) memuat kalimat-kalimat yang mengatakan, bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama di masyarakat. Kemudian ada lagi pasal dalam Undang-undang Perkawinan itu yang mengemukakan, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (Pasal 35 ayat (1)), dan mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertin- Zainul Wahid dak atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1). Diskriminasi gender banyak terjadi dalam setiap bidang kehidupan bermasyarakat. Mulai dari pengkelasan peran dalam pekerjaan, jabatan publik, hingga pemeran panggung politik. Mulai dari zaman terdahulu hingga sekarang. Dan memang pada umumnya yang menjadi korban diskriminasi gender ini adalah kaum perempuan.padahal hal yang seperti itu sangatlah tidak mendidik, bahkan menurunkan mentalitas kaum perempuan. Pemahaman tentang peran dan pembeda antara perempuan dan laki-laki dipahami berbeda oleh masyarakat, tergantung dari perspektif dan budaya dari masyarakat itu sendiri. Sehingga peran masyarakat dalam pembentukan makna gender punya pengaruh yang besar terhadap pembagian peran dan status perempuan dan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat. Marjinalisasi dipahami sebagai pemiskinan atau diskriminasi terhadap kaum perempuan dari dunia kerja dan sektor publik lainnya, sebagai akibat dari pemaknaan gender yang menyudutkan kaum perempuan dengan sifat pembawaannya yang dinilai tidak sebanding dengan laki-laki. Pemahaman gender inilah yang membatasi ruang perempuan untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam dunia kerja, karena pada dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama, dengan kemampuan yang mereka miliki masing-masing. Sejarah perbedaan gender terjadi melalui sebuah proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan gender ini disebabkan oleh banyak hal, antara lain: dibentuk, diperkuat bahkan dikontruksi secara sosial dan kultural melalui berbagai wacana seperti agama, politik maupun psikologi. Melalui proses yang panjang, sosialisasi gender akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan, seolah-olah gender adalah bersifat biologis yang tidak bisa dirubah-rubah lagi, sehingga perbedaan gender dianggap sebagai kodrat laki-laki maupun kodrat perempuan. Karena dianggap sebagai kodrat, upaya untuk menolak perbedaan gender tersebut dianggap sebagai perbuatan melawan ketentuan Tuhan. (Baidowi, 2005: 31) Anggapan seperti inilah yang kemudian menciptakan beberapa bentuk diskriminasi dan pada gilirannya melahirkan ideologi gender. Perbedaan gender yang melahirkan peran gender sesungguhnya tidak menjadi masalah dan tidak menjadi sumber gugatan dalam feminisme. Sehingga kalau secara biologis perempuan bisa hamil dan melahirkan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh, mendidik dan membesarkan anak-anaknya, kemudian memberikan sebuah kesempatan belajar bagi anaknya, sehingga akan tercipta sebuah generasi bangsa yang sangat baik hal ini tidak menjadi masalah bagi kedudukan, peran dan tugasnya sebagai perempuan. Apalagi jika peran-peran tersebut merupakan pilihan bagi perempuan itu sendiri, dan hal ini tidak jarang dengan mudah ditemui daVolume 7, Nomor 2, Juni 2015 141 142 MARGINALISASI PEREMPUAN lam kehidupan sosial masyarakat. Apalagi msyarakat yang ada di pedesaan dan tidak mempunyai ilmu pengetahuan sama sekali. Persoalan barulah muncul ketika peran gender ini menyebabkan munculnya beberapa faktor yang menyebabkan ketidakadilan. Dalam kenyataanya, ketidakadilan itu memang seringkali terjadi dan tak jarang dijumpai, dengan berbagai macam kasus dan bentuk pelecehan seksual dan bentuk diskriminasi yang diterima oleh kaum perempuan. Hal ini terbukti dengan terjadinya marginalisasi kaum perempuan, terjadinya subordinasi, pelabelan negatif atau bahkan kekerasan terhadap perempuan, sebut saja salah satu contoh yang sering dan dengan mudah dijumpai adanya pemerkosaan yang lagi lagi perempuan sebagai korbannya. Rendahnya kualitas hidup perempuan Indonesia terlihat pada beberapa aspek, salah satunya adalah pada aspek pendidikan. Fakta menunjukkan rendahnya angka partisipasi perempuan dijenjang pendidikan tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula tingkat disparitas (ketidakseimbangan) gendernya. Data lainnya adalah angka buta huruf dikalangan perempuan masih sangat tinggi, kurikulum serta ajar bahan ajar masih sangat bias gender dan hampir seluruh proses pengelolaan pendidikan masih dirumuskan berdasarkan pandangan yang berbau patriarkhi. sebagai akibat dari masih dipegangnya sebagian besar penentu kebijakan pendidikan oleh laki-laki (Mulia, 2003: 22). Jurnal Pelopor Pendidikan C. Perempuan, Fungsi dan Perannya dalam Kehidupan Sosial Perempuan adalah sosok yang menjadi tauladan bagi sebuah generasi sehingga perlu dipersiapkan secara matang untuk menuju suatu perubahan. Perempuan tidak akan bisa mengurusi rumah tangga atau masyarakat tanpa pengetahuan intelektual dan etika yang memadai, perempuan wajib belajar (mempelajari) apa yang dipelajari kaum lelaki mulai dari dasar hingga ia paham dasardasar pengetahuan yang memungkinkan ia dapat memilih sesuai minat dan pengembangannya kapan saja. (Amin, 1993: 42). Perempuan memiliki peranan yang tidak dapat diabaikan dengan mudah begitu saja. Banyak peranan perempuan baik di dalam kehidupan keluarga, kehidupan ekonomi, politik, sosial kebudayaan, hingga dalam pendidikan dan agama. Dalam keluarga, sebagai seorang anak, perempuan berperan sebagai pemelihara tradisi, norma, dan nilai-nilai luhur sehingga terdapat tuntutan bahwa di masyarakat ia harus menunjukkan ciri feminisme dan kepatuhan sebagai bentuk sifat kelembutan dan perhatian yang ia miliki. Sebagai seorang istri, perempuan harus mampu menjadi “abdi” setia yang siap melayani sepenuhnya hak-hak dan keinginan suami. Sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya, perempuan harus menjadi orang yang paling “peduli”, sebagai orang pertama di lingkungan anak dan memiliki tanggung jawab besar terhadap anak, mendidiknya, merawat, dan Zainul Wahid menjadikannya shaleh dan shalehah, berbakti dan berkepribadian baik. Perempuan harus mampu memegang dan mempertahankan citra eksklusifnya di kalangan masyarakat. Citra perempuan yang ideal sebagai sosok yang bergerak “sesuai kodratnya” masih tetap bergema dan semarak hingga saat ini dan hal itu menjadi tuntutan umum yang dirasakan oleh perempuan-perempuan dunia, terutama di Indonesia. (Tanjung, 2012:3) Sebagai anggota masyarakat, saat seorang perempuan melihat bahwa masyarakatnya mengalami gangguan stabilitas atau terkena penyakit, maka ia harus segera mencari jalan penanggulangannya. Bahkan, dalam kondisi tertentu, perempuan diharuskan terjun ke masyarakat, misalnya, harus ada perempuan yang bekerja sebagai dokter untuk melayani kebutuhan kaum perempuan. Secara umum, Indonesia dewasa ini sedang mengalami berbagai krisis. Selain sedang mengalami krisis ekonomi, juga sedang dilanda krisis moral, mental, dan spiritual. Sayangnya, kebanyakan obyek dan sekaligus penyebab krisis tadi adalah para perempuan, mulai kasus pornografi, komersialisasi seks, pamer tubuh (iklan), tarian erotis, dan banyak hal lagi yang sasaran utama dan umpannya adalah perempuan. Sebagaimana perempuan dapat menjadi sumber daya jitu untuk memperbaiki sebuah masyarakat, iapun dapat menjadi sarana jitu untuk merusak dan menghancurkan sebuah masyarakat. Dalam sepanjang sejarah perempuan telah berjuang untuk mendapa- tkan hak-haknya. Namun sekarang, kembali mereka terjerumus ke dalam penjajahan yaitu berupa penjajahan modern. Perempuan menganggap dirinya merdeka di saat dapat memamerkan tubuh moleknya untuk dinikmati laki-laki hidung belang. Perempuan sekarang telah lupa akan hakekat dirinya, hanya menonjolkan kecantikan wajah dan kemolekan tubuhnya. Lantas mana essensinya sebagai seorang manusia? Lantas apa yang dapat diharapkan dari para perempuan seperti ini? Ini merupakan salah satu tugas perempuan sebagai anggota masyarakat untuk kembali mengingatkan sesama kaumnya. Lisan perempuan akan lebih dapat mengena ke dalam sanubari mereka dibanding lisan pihak lain, untuk mengembalikan identitas mereka sebagai manusia. Salah satu kendala bagi perempuan di Indonesia adalah adanya kontradiksi antara karir dan keluarga. Perempuan seolah-olah diharuskan memilih karier atau keluarga. Jika memilih karier, kondisi pekerjaan di Indonesia seringkali tidak mendukung peran seorang ibu. Misalnya, umumnya perkantoran dan perusahan menetapkan jam kerja yang mulai pagi sampai sore dan tidak menyediakan tempat penitipan anak yang mudah dijangkau oleh pekerja perempuan. Akibatnya pekerja perempuan tidak dapat memenuhi kebutuhan primer anaknya, seperti pemberian ASI dan dengan terpaksa ia harus menitipkan anaknya kepada baby sitter atau pembantu. Dalam kondisi seperti ini, anak akan menjadi anak pembantu dan di diVolume 7, Nomor 2, Juni 2015 143 144 MARGINALISASI PEREMPUAN dik oleh pembantu rumah tangga yang umumnya berpendidikan rendah. Padahal, pada tahun-tahun pertama usianya, anak sangat membutuhkan perhatian, kasih sayang, dan belaian seorang ibu. Dalam psikologi dijelaskan, tahun-tahun pertama kehidupan anak adalah masa-masa ketergantungan yang sangat besar dari seorang anak kepada ibunya. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, anak akan cenderung mengalami krisis kepercayaan diri dan bermental rendah. Problema kenakalan anak-anak atau kaburnya anak dari rumah adalah di antara efek yang muncul akibat kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua. Sementara itu, bila perempuan mengambil pilihan kedua, yaitu memilih keluarga dan meninggalkan kariernya, ia akan berhadapan pada kegamangan. Dia merasa bahwa segala jerih payahnya selama ini, misalnya menuntut ilmu di sekolah tinggi atau universitas, telah tersia-siakan. Belum lagi bila ia berhadapan dengan problema keuangan keluarga karena gaji suami yang tidak mencukupi. Dengan kata lain, perempuan karier di Indonesia umumnya menghadapi dilema besar, yang hanya bisa terpecahkan bila pemerintah turun tangan untuk memberikan fasilitas yang memberi kesempatan kepada perempuan agar tetap bisa berkarier sekaligus melaksanakan tugas sebagai ibu. Memperhatikan pelbagai kasus atau peristiwa yang terjadi di tanah air, maka tidak benar bila hendak memposisikan perempuan sebagai manusia kelas dua. Hal yang harus dikerjakan adalah Jurnal Pelopor Pendidikan bagaimana memposisikan perempuan secara adil dan setara dalam politik (publik) karena dalam kenyataan banyak laki-laki tidak lebih baik dari perempuan, tetapi perempuan sebagian besar dipandang sebagai pihak yang tidak pada “takdirnya” ketika masuk dalam ranah publik-politik. Tentu pandangan ini tidak adil pada perempuan, karenanya harus disingkirkan. Dalam kondisi ini, perempuan yang sadar memiliki tugas untuk menjelaskan kembali fungsi agama dalam menghantarkan manusia dalam menuju kebahagiaan hakiki (sesuai agama masing-masing). Perempuan yang tercerahkan harus mengingatkan saudara-saudara mereka akan peran dan tugas yang dipikul perempuan, baik melalui pendekatan, media, pelatihan, dan cara lainnya. Tugas ini akan berhasil jika dilakukan oleh perempuan itu sendiri, karena persamaan yang dimiliki, yaitu sebagai perempuan yang sama-sama memiliki kekuatan emosional dan akal. Gerakan perempuan perlu mempertahankan keterbukaan pikiran, siap mendengarkan, berdialog serta bernegoisasi dengan pelbagai kelompok yang ada di masyarakat. Dengan begitu maka akan tercipta ruang keadilan. Keadilan adalah kata kunci perjuangan perempuan untuk berkata no discrimination perjuangan dan tuntutan kaum perempuan, atas kesamaan haknya dan kemerdekaan dari segala bentuk penindasan yang selama ini terus diterima oleh kaum perempuan. Ke depan diharapkan seluruh elemen bangsa makin banyak yang Zainul Wahid bergerak menyuarakan aspirasi perempuan secara bersama-sama. Sehingga upaya mewujudkan emansipasi perempuan agar terbebas dari diskriminasi makin terbuka lebar. Gerakan bersama ini sudah menjadi keniscayaan untuk kemerdekaan perempuan dari segala bentuk penindasan demi perbaikan bangsa di masa mendatang, namun persoalan tersebut masih saja terus ada di tengah tengah kehidupan sosial masyarakat. D. Penutup Dalam kajian gender hampir seluruh argumen berawal dari suatu asumsi, bahwa perbedaan gender, bahkan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses sejarah yang panjang dan dibentuk, disosialisasikan, diperkuat dan dikonstruksi secara sosial dan kultural, termasuk melalui tradisi keagamaan. Perempuan mestinya memiliki peran yang lebih besar dalam kehidupan masyarakat. Perempuan juga memiliki potensi yang akan berguna pembangunan masyarakatnya. Mestinya tak ada diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan akan mampu berkiprah dalam masyarakat di berbagai bidang baik ekonomi, pendidikan, teknologi, bahkan politik. Meski ia pun menyatakan bahwa perempuan juga memiliki kewajiban menyeimbangkan antara kegiatannya di luar dengan kewajiban bagi keluarganya. Peran dan tugas perempuan dalam keluarga secara garis besar dibagi menjadi peran perempuan sebagai ibu, perempuan sebagai istri, perempuan sebagai anak, dan anggota masyarakat. Diskriminasi gender banyak terjadi dalam setiap bidang kehidupan bermasyarakat. Mulai dari pengkelasan peran dalam pekerjaan, jabatan publik, hingga pemeran panggung politik. Mulai dari zaman terdahulu hingga sekarang. Dan memang pada umumnya yang menjadi korban diskriminasi gender ini adalah kaum perempuan, Pemahaman tentang peran dan pembeda antara perempuan dan laki-laki dipahami berbeda oleh masyarakat, tergantung dari perspektif dan budaya dari masyarakat itu sendiri. Sehingga peran masyarakat dalam pembentukan makna gender punya pengaruh yang besar terhadap pembagian peran dan status perempuan dan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat. Tugas ini akan berhasil jika dilakukan oleh perempuan itu sendiri, karena persamaan yang dimiliki, yaitu sebagai perempuan yang sama-sama memiliki kekuatan emosional dan akal. Gerakan perempuan perlu mempertahankan keterbukaan pikiran, siap mendengarkan, berdialog serta bernegoisasi dengan pelbagai kelompok yang ada di tengah-tengah masyarakat. Volume 7, Nomor 2, Juni 2015 145 146 MARGINALISASI PEREMPUAN Daftar Pustaka: Ahmad Baidowi. 2005. Tafsir Feminis, Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia. Ahmad Fudhailidi L. 2002. Perempuan Lembah Suci :Kritik atas Hadits-hadits Sahih, Yogyakarta: Piar Mdiq. Eni Purwati dan Hanun Asroha. 2005. Bias gender dalam pendidikan Islam, Alpha Surabaya. Fakih, Mansoer. 2006. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Kadarusman, Agama, 2005. Relasi Gender dan Feminisme, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Mansour Fakih, “Kekerasan Gender dalam Pembangunan”, dalam Ahmad Suaedy (ed.), Kekerasan dalam Perspektif Pesantren, Jakarta: Grashindo, 2000. Jurnal Pelopor Pendidikan Mosse, Julia Cleves. 2007. Gender and Development. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Mufidah Ch. 2004. Paradigma Gender, edisi ke-2, Malang: Bayumedia Publishing. Novriyanti Tanjung. Peranan perenpuan dalam berbagai sendi kehidupan. 13 januari 2012.http/novrianti,07 alumni.,ip.b ac.id akses 20 April 2015. Qasim Amin, 1993. Takrir al-Mar’ah, Cet,I; Mesir: Al-Hay’ah al-Misriyah al-Ammah li al-Kitab. Siti Musdah Mulia, “Menggagas Kuirikulum Yang berperspektif Gender”, Jakarta: Jurnal Inovasi, Vol VI/ No .01/ 2003..