MODUL PERKULIAHAN Pedologi Kelekatan Tidak Aman, Gangguan OposisiPemberontak, dan Enuresis Fakultas Program Studi Psikologi Psikologi Abstract Tatap Muka 04 Kode MK Disusun Oleh 61077 Yenny, M.Psi., Psikolog Kompetensi Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengkomunikasikan Kelekatan Tidak Aman, Gangguan OposisiPemberontak, dan Enuresis Kelekatan Tidak Aman Apakah Attachment (kelekatan) itu? Freud percaya bahwa bayi akan membangun attachment pada individu yang memberikan kepuasan oral. Bagi kebanyakan bayi, orang ini adalah ibunya, karena biasanya dialah yang menyusuinya. Apakah menyusui ini sepenting apa yang dikemukakan oleh Freud? Sebuah penelitian klasik dari Harry Harlow (1958 dalam Santrock, 2007) memberikan jawaban tidak untuk pertanyaan ini. Harlow memisahkan bayi kera ketika baru lahir. Selama 6 bulan mereka dibesarkan oleh “ibu” pengganti. Satu terbuat dari jalinan kawat, dan satu lagi dari kain. Setengah dari bayi kera disusui oleh “ibu” yang terbuat dari kawat dan setengah lainnya oleh “ibu” yang terbuat dari kain. Secara teratur jumlah waktu yang dihabiskan oleh bayi kera tersebut dengan kedua jenis “ibu” tadi diukur, terlepas dari siapa yang menyusuinya. Bayi kera menghabiskan waktu yang lebih banyak dengan “ibu” yang terbuat dari kain. Penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa menyusui bukan merupakan elemen terpenting dalam pembentukan attachment, dan adanya kontak yang membuat nyaman merupakan hal yang penting dalam attachment. Kenyamanan secara fisik juga memegang peranan penting dalam pandangan Erikson (1968 dalam Santrock, 2007) mengenai perkembangan bayi. Erikson menyatakan bahwa pada tahun pertama kehidupan terjadi tahapan trust versus mistrust. Kenyamanan secara fisik dan pengasuhan yang sensitif menurut Erikson (1968 dalam Santrock, 2007), adalah kunci untuk membentuk basic trust pada bayi. Trust pada bayi ini pada akhirnya akan menjadi dasar dari attachment dan dasar dari ekspektasi menetap yang menganggap bahwa dunia adalah tempat yang baik dan menyenangkan. Perspektif etologis dari psikiater Inggris John Bowlby (1969, 1989 dalam Santrock, 2007) juga menekankan pentingnya attachment pada tahun pertama kehidupan, dan juga pentingnya responsivitas pengasuh. Bowlby percaya bahwa baik bayi dan pengasuh primer mereka secara biologis sudah terdisposisi untuk membentuk attachment. Dia berpendapat bahwa anak yang baru lahir sudah dilengkapi secara biologis untuk merangsang perilaku attachment (Weizmann, 2000 dalam Santrock, 2007). Bayi akan menangis, tersenyum, merengek, atau ketika balita mereka akan merangkak, dan berjalan mengikuti ibu mereka. Hal ini akan menyebabkan pengasuh primer mereka untuk selalu berada di dekat mereka, dan pada akhirnya meningkatkan peluang bayi untuk bertahan hidup. Attachment tidak timbul secara tiba-tiba, tetapi berkembang dari serangkaian tahap. Mulai dari anggapan umum bayi mengenai manusia sampai pembentukan “kemitraan” dengan pengasuh primer mereka. Berikut ini adalah empat tahapan mengenai attachment sesuai dengan konseptualisasi Bowlby (Scaffer, 1996 dalam Santrock, 2007) : 2016 2 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Tahap 1, lahir sampai 2 bulan. Bayi secara instingtif menunjukkan attachment mereka pada semua figur manusia. Orang asing, saudara, atau orang tua memiliki kesempatan yang sama untuk menyebabkan bayi menangis atau tersenyum. Tahap 2, 2-7 bulan. Attachment mulai terfokus pada satu figur, biasanya pengasuh primer, bayi mulai bisa membedakan orang yang dikenal dan orang yang tidak dikenal. Tahap 3, 7-24 bulan. Attachment yang spesifik mulai berkembang, dengan meningkatnya kemampuan lokomotor, bayi secara aktif berusaha melakukan kontak dengan pengasuh yang tetap, seperti ayah atau ibu. Tahap 4, 24 bulan ke atas. Anak mulai sadar terhadap perasaan orang lain, tujuantujuan, dan rencana, dan mulai memasukkan hal-hal ini ketika melakukan aksi mereka. Perbedaan Individual dalam Attachment Meskipun attachment terhadap pengasuh menjadi lebih intens mulai pertengahan tahun pertama, apakah mungkin bagi bayi untuk menunjukkan attachment yang lebih positif dibandingkan bayi yang lain? Mary Ainsworth menganggap hal ini sangat mungkin terjadi. Ainsworth (1979 dalam Santrock, 2007) menciptakan Strange Situation, sebuah pengukuran observasional terhadap attachment bayi di mana bayi akan diperkenalkan, dipisahkan, lalu dipertemukan kembali dengan pengasuh dan orang asing dalam urutan tertentu. Episode 1 Orang yang Durasi Gambaran setting 30 detik Pengamat mengantarkan pengasuh dan bayi ke ruang hadir Pengasuh, bayi, dan eksperimen, lalu pergi. (Di dalam ruangan terdapat pengamat 2 Pengasuh mainan yang menarik yang berserakan). 3 menit dan bayi Pengasuh tidak mengeksplorasi; ikut jika berpartisipasi perlu, ketika permainan bayi distimulasi setelah 2 menit. 3 Orang 3 menit Orang asing mulai masuk dalam ruangan. Pada menit asing, pertama orang asing tetap diam, pada menit kedua pengasuh, orang asing mulai berbicara kepada pengasuh, pada dan bayi menit ketiga orang asing mulai mendekati bayi. Setelah 3 menit pengasuh meninggalkan ruangan dengan diamdiam. 4 Orang asing dan bayi 2016 3 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog 3 menit atau Episode pemisahan yang pertama. menyesuaikan perilakunya terhadap bayi. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Orang asing kurang 5 Pengasuh dan bayi 3 menit Episode reuni yang pertama. Pengasuh menyapa atau atau menenangkan bayi, kemudian mendorong bayi untuk lebih kembali bermain, kemudian pergi dengan mengucapkan selamat tinggal. 6 Bayi 3 menit Episode pemisahan yang kedua. atau kurang 7 Orang asing dan bayi 8 Pengasuh dan bayi 3 menit Lanjutan dari episode pemisahan yang kedua. Orang atau asing masuk dan menyesuaikan perilakunya dengan kurang bayi. 3 menit Episode reuni yang kedua. Pengasuh masuk ruangan, menyapa bayi, lalu menggendongnya. Sementara itu orang asing meninggalkan ruangan dengan diam-diam. Dengan menggunakan Strange Situation ini peneliti berharap observasi mereka dapat memberikan informasi mengenai motivasi bayi untuk tetap dekat dengan pengasuhnya dan juga sampai sejauh mana kehadiran pengasuh memberikan kepercayaan diri dan rasa aman terhadap bayi. Berdasarkan respons bayi ketika menghadapi situasi ini, mereka digambarkan memiliki attachment yang secure atau insecure (dalam salah satu dari tiga cara) : Securely attached babies (bayi yang memiliki attachment yang aman). Menempatkan pengasuh sebagai dasar yang aman untuk mengeksplorasi lingkungan. Ketika pengasuh hadir di ruangan, bayi yang memiliki attachment yang secure akan mengeksplorasi ruangan dan akan mengamati mainan yang disediakan di ruangan. Ketika pengasuh pergi, bayi yang memiliki attachment yang secure mungkin akan menunjukkan sedikit protes, kemudian ketika pengasuh kembali, bayi tersebut akan membangun kembali interaksi positif terhadap pengasuhnya mungkin dengan cara tersenyum atau duduk di pangkuannya. Bisa juga bayi akan melanjutkan bermain dengan mainan yang ada di dalam ruangan. Insecure avoidant babies. Menunjukkan insekuritas dengan menghindari ibunya. Dalam percobaan “Strange Situation” bayi-bayi ini hanya menunjukkan sedikit interaksi dengan pengasuh, tidak merasa stres ketika pengasuh meninggalkan ruangan, dan biasanya juga tidak melakukan interaksi ketika ibunya kembali, atau bahkan menghindari mereka. Andaipun kontak dapat terjadi, bayi biasanya menghindar atau membuang muka. 2016 4 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Insecure resistant babies, sering kali lengket dengan pengasuh, tetapi kemudian menolak kedekatan dengan pengasuh mungkin dengan meronta atau mendorong. Pada Strange Situation biasanya bayi tetap lekat dengan pengasuh dengan penuh kecemasan dan tidak mengeksplorasi ruangan. Ketika pengasuh meninggalkan ruangan, sering kali mereka menangis dengan keras lalu menolak mereka ketika mereka kembali untuk menenangkan. Insecure disorganized babies. Bayi yang tidak teratur dan mengalami disorientasi. Pada Strange Situation, bayi ini akan kelihatan bingung, linglung, dan takut. Supaya bisa diklasifikasikan sebagai bayi yang disorganized, bayi harus menunjukkan pola avoidance dan resistance yang kuat atau menunjukkan perilaku spesifik tertentu, seperti ketakutan yang luar biasa ketika bersama pengasuh. Apakah Strange Situation ini dapat menunjukkan perbedaan antar bayi? Sebagai pengukuran terhadap attachment, bisa saja hal ini memiliki bias secara budaya. Meskipun terdapat variasi budaya dalam klasifikasi attachment ini, model klasifikasi yang paling sering dipakai dalam seluruh budaya yang berbeda untuk attachment adalah klasifikasi secure attachment ini (van Ijzendoorn & Kroonenberg, 1988 dalam Santrock, 2007). Beberapa kritik menyatakan bahwa perilaku di penelitian Strange Situation – dan juga penelitian laboratorium lainnya – mungkin saja tidak mengindikasikan apa yang akan dilakukan bayi pada setting natural. Tetapi para peneliti menemukan bahwa perilaku bayi di Strange Situation berhubungan cukup tinggi dengan bagaimana mereka berperilaku di rumah, berkaitan dengan perpisahan dan reuni dengan ibu mereka (Pederson & Moran, 1996 dalam Santrock, 2007). Karena itu, kebanyakan peneliti masalah bayi masih percaya bahwa Strange Situation masih memiliki kegunaan dalam mengukur attachment pada bayi. Pentingkah perbedaan individual dalam attachment? Ainsworth percaya bahwa attachment yang secure pada tahun pertama akan memberikan fondasi dasar untuk perkembangan psikologis di masa yang akan datang. Anak yang memiliki attachment yang secure akan dapat menjauh dari pengasuhnya namun tetap memperhatikan keberadaan mereka dengan sekali-sekali melihat pengasuh mereka tersebut. Anak yang memiliki attachment yang secure akan merespons dengan positif ketika digendong oleh orang lain, dan ketika turun bisa bergerak dengan bebas untuk kembali bermain. Sebaliknya, anak yang attachment-nya tidak secure, akan menolak pengasuhnya atau bersikap ambivalen terhadap pengasuh tersebut, takut terhadap orang asing, dan akan merasa sedih dan terganggu oleh perpisahan yang biasa terjadi sehari-hari dengan pengasuhnya. Jika attachment awal anak dengan pengasuh adalah hal yang penting, maka seharusnya hal ini akan berhubungan dengan perilaku sosial anak pada tahap perkembangan berikutnya. Bagi sebagian anak, attachment awal akan menentukan 2016 5 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id bagaimana fungsi mereka selanjutnya (Carlson, Sroufe, & Egeland, 2004; Egeland & Carlson, 2004; Sroufe dkk, 2005 dalam Santrock, 2007). Sebagai contoh, penelitian terakhir menunjukkan bahwa bayi yang memiliki attachment yang secure pada usia 15 bulan akan menjadi anak yang lebih kompeten secara sosioemosional dan kognitif pada usia 4 tahun dibandingkan dengan bayi lain yang pada usia 15 bulan memiliki attachment yang insecure (Fish, 2004 dalam Santrock, 2007). Pada sebagian anak, tidak terdapat kontinuitas ini (Thompson, 2006, Thompson & Goodvin, 2005 dalam Santrock, 2007). Konsistensi dalam cara mengasuh dalam jangka waktu yang bertahun-tahun, mungkin merupakan aspek penting dalam menghubungkan pola attachment pada usia awal dan bagai mana anak berfungsi kelak dalam perkembangannya. Dalam sebuah penelitian longitudinal, klasifikasi attachment bayi tidak bisa digunakan untuk meramalkan klasifikasi attachment pada usia 18 tahun (Lewis, 1997 dalam Santrock, 2007). Dalam penelitian ini, prediktor terbaik terhadap pola attachment insecure pada usia 18 tahun adalah adanya perceraian orang tua pada rentang waktu tersebut. Beberapa ahli perkembangan percaya bahwa ada penekanan yang terlalu berlebihan terhadap ikatan attachment pada masa bayi. Sebagai contoh, Jerome Kagan (1987, 2000 dalam Santrock, 2007), menyatakan bahwa bayi adalah individu yang sangat resilient dan adaptif. Dia berpendapat bahwa secara evolusioner mereka telah dilengkapi bekal untuk tetap berada pada jalur perkembangan yang positif, bahkan ketika mereka dihadapkan dengan berbagai macam pola asuh. Kagan dan ahli lain menekankan bahwa karakteristik genetis dan temperamen memegang peranan yang lebih penting dalam kompetensi sosial anak dari yang diakui oleh ahli attachment seperti Bowlby dan Ainsworth. (Chauhuri & Williams, 1999; Kagan & Fox, 2006; Young & Shahifar, 1995 dalam Santrock, 2007). Sebagai contoh, ketika anak menunjukkan toleransi yang rendah terhadap stress, hal ini akan menjadi hal yang lebih berpengaruh terhadap ketidakmampuan anak untuk bergaul dengan teman sebaya mereka, dan bukan disebabkan oleh attachment yang insecure. Kritik lain terhadap teori attachment ini adalah teori ini dianggap mengabaikan perbedaan agen sosial dan konteks yang ada dalam dunia bayi. Di beberapa kebudayaan, bayi menunjukkan attachment terhadap banyak orang. Di suku Hausa (di Nigeria), nenek dan kakak perempuan juga turut membantu dalam mengasuh bayi (Harkness & Super, 1995 dalam Santrock, 2007) bayi dalam masyarakat agraris cenderung untuk membentuk attachment pada saudara yang lebih tua, yang biasanya bertanggung jawab untuk mengasuh adik-adiknya. Para peneliti menyadari pentingnya pengasuh yang dapat mengasuh dan kompeten dalam perkembangan bayi (Bornstein, 2006; Maccoby, 1999; McHale dkk., 2001; Parke, 2001; Parke & Buriel, 2006 dalam Santrock, 2007). Tetapi masih diperdebatkan apakah attachment yang secure, terutama kepada pengasuh tunggal merupakan hal yang penting (Lamb, 2005; Thompson, 2006 dalam Santrock, 2007). 2016 6 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Terlepas dari kritik ini, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa attachment yang secure penting bagi perkembangan (Thompson & Goodvin, 2005; Water, Corcoran, & Anafara, 2005 dalam Santrock, 2007). Attachment yang secure pada bayi penting karena hal ini mencerminkan hubungan positif antara bayi dan orang tua, dan merupakan pondasi yang mendukung perkembangan sosioemosional yang sehat di tahun-tahun mendatang. Gaya Pengasuhan dan Attachment Apakah pola asuh berkaitan dengan kualitas attachment pada bayi? Bayi yang memiliki attachment yang secure biasanya memiliki pengasuh yang sensitif terhadap sinyal yang mereka berikan dan selalu siap untuk merespons kebutuhan bayi (Gao, Elliot, & Waters, 1999; Main, 2000 dalam Santrock, 2007). Pengasuh yang seperti ini sering kali membiarkan bayi mereka memegang peranan aktif dalam mengatur permulaan dan kecepatan interaksi di antara mereka pada satu tahun pertama. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sensitivitas keibuan dalam pola asuh berhubungan dengan attachment yang secure di dua budaya yang berbeda, AS dan Kolombia (Carbonell dkk, 2002 dalam Santrock, 2007). Lalu bagaimana pengasuh dari anak yang insecure berinteraksi dengan bayi mereka? Pengasuh dari anak yang avoidant cenderung tidak selalu siap atau bahkan menunjukkan penolakan (Berlin & Cassidy, 2000 dalam Santrock, 2007). Sering kali mereka tidak merespons sinyal yang diberikan bayi atau hanya memberikan kontak fisik yang sedikit dengan bayi mereka. Ketika mereka berinteraksi dengan bayi mereka, mereka cenderung berinteraksi dengan cara marah atau kesal. Pengasuh dari bayi yang resistant cenderung untuk bersikap tidak konsisten; kadang-kadang mereka merespons kebutuhan bayi, kadang kala tidak. Secara umum mereka cenderung untuk tidak terlalu hangat dengan bayi mereka atau ketika berinteraksi cenderung untuk tidak sinkron. Pengasuh dari anak yang disorganized sering kali menelantarkan atau bahkan melakukan kekerasan pada bayi mereka (Barnett, Ganiban, & Cicchetti, 1999; Cicchetti & Toth, 2006 dalam Santrock, 2007). Dalam kebanyakan kasus pengasuh yang seperti ini adalah pengasuh yang mengalami depresi. Peran Temperamen Seberapa besarkah temperamen memengaruhi kelekatan dan seperti apa pengaruhnya? Temuan yang ada bervariasi (Susman-Stillman, Kalkoske, Egeland, dan Waldman, 1996; Vaughn et al., 1992 dalam Santrock, 2007). Dalam sebuah penelitian terhadap bayi berusia 6 hingga 12 bulan dan keluarga mereka, baik sensitivitas ibu dan temperamen bayi memengaruhi pola kelekatan (Seifer, Schiller, Sameroff, Resnick, dan Riordan, 1996 dalam Santrock, 2007). 2016 7 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Temperamen bayi bukan saja memiliki dampak langsung terhadap kelekatan, tapi juga dampak tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap orang tua. Dalam serangkaian penelitian di Belanda (van den Boom, 1989, 1994 dalam Santrock, 2007), bayi berusia 15 hari yang diklasifikasikan sebagai mudah marah, besar kemungkinannya untuk memiliki kelekatan tak aman pada usia 1 tahun dibanding bayi yang tidak mudah marah. Namun demikian, bayi yang mudah marah yang ibunya mendapatkan kunjungan rumah dengan petunjuk bagaimana menenangkan bayi mereka dapat dinilai memberikan kelekatan aman, serupa dengan yang diperoleh bayi tidak mudah marah. Dengan demikian, kecenderungan bayi lekas marah dapat menghambat perkembangan kelekatan aman, tapi tidak bila ibu memiliki keterampilan untuk mengatasi temperamen bayi (Rothbart et al., 2000 dalam Santrock, 2007). “Goodness of fit” antara orang tua dan anak mungkin merupakan kunci memahami keamanan kelekatan. Pengaruh Jangka Penjang Kelekatan Seperti yang diusulkan teori kelekatan, rasa aman dari kelekatan sepertinya memengaruhi kompetensi emosional, sosial, dan kognitif (van Ijzendoorn & Sagi, 1997 dalam Santrock, 2007). Makin aman kelekatan seorang anak terhadap orang dewasa yang bersifat mengasuh, tampak makin mudah bagi anak untuk mengembangkan hubungan yang baik dengan orang lain. Bila anak, seperti juga bayi, mendapatkan dasar aman dan dapat memercayakan keresponsifan orang tua atau pengasuh, mereka akan merasa cukup percaya diri untuk secara aktif melibatkan diri di dunia mereka (Jacobsen & Hoffman, 1997 dalam Santrock, 2007). Dalam sebuah penelitian terhadap 70 bayi berusia 15 bulan, mereka yang memiliki kelekatan aman dengan ibu mereka, seperti terukur oleh Situasi Asing, menunjukkan lebih sedikit stres dalam beradaptasi terhadap pengasuhan dibanding pada anak yang kelekatannya kurang aman (Ahnert, Gunnar, Lamb, dan Barthel, 2004 dalam Santrock, 2007). Balita dengan kelekatan yang aman cenderung memiliki kosakata yang lebih banyak daripada anak yang kelekatannya tidak aman (Meins, 1998 dalam Santrock, 2007). Mereka berinteraksi lebih positif dengan sebayanya, dan tawaran mereka kepada anak lain untuk bermain cenderung diterima (Fagot, 1997 dalam Santrock, 2007). Anak dengan kelekatan tak aman cenderung menunjukkan emosi negatif (rasa takut, distres, dan marah), sementara anak dengan menunjukkan emosi negatif (rasa takut, distres, dan marah), sementara anak dengan kelekatan aman terlihat lebih ceria (Kochanska, 2001 dalam Santrock, 2007). Antara usia 3 dan 5 tahun, anak dengan kelekatan aman tumbuh lebih ingin tahu, kompeten, empati, ulet, dan percaya diri, lebih akur dengan anak lain, dan menjalin persahabatan yang erat daripada anak dengan kelekatan tak aman ketika bayi (Arend, Gove, dan Sroufe, 1979; Youngblade & Belsky, 1992 dalam Santrock, 2007). Mereka 2016 8 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id berinteraksi lebih positif dengan orang tua, guru prasekolah, dan teman sebaya, serta lebih mampu menyelesaikan konflik (Elecker et al., 1992; Verschueren, Marcoen, dan Schoefs, 1996 dalam Santrock, 2007). Keuntungan ini berlanjut terus. Dalam sebuah pengamatan laboratorium berbahasa Kanada-Prancis, pola kelekatan dan kualitas emosional kelekatan interaksi anak usia 6 tahun dengan ibu mereka meramalkan kekuatan keterampilan komunikatif anak, keterlibatan kognitif, dan motivasi penguasaan (mastery motivation) pada usia 8 tahun (Moss & StLaurent, 2001 dalam Santrock, 2007). Kelekatan aman tampaknya mempersiapkan anak untuk keintiman persahabatan (Carlson, Sroufe, dan Egeland, 2004 dalam Santrock, 2007). Pada masa kanak menengah dan remaja, anak dengan kelekatan aman (setidaknya yang di budaya barat, di mana penelitian-penelitian ini diadakan) cenderung memiliki teman yang paling dekat dan stabil (Schneider, Atkinson, dan Tardif, 2001; Sroufe, Carlson, dan Shulman, 1993 dalam Santrock, 2007). Bayi dengan kelekatan tak aman, sebaliknya, sering kali mengalami hambatan dan emosi negatif pada masa kanak, rasa bermusuhan terhadap anak lain pada usia 5 tahun, dan sifat bergantung pada usia sekolah (Calkins & Fox, 1992; Kochanska, 2001; LyonsRuth, Alpern, dan Repacholi, 1993; Sroufe, Carlson et al., 1993 dalam Santrock, 2007). Mereka dengan kelekatan tidak teratur cenderung mengalami masalah pada semua tingkat pendidikan dan gangguan psikiatrik pada usia 17 tahun (Carlson, 1998 dalam Santrock, 2007). Gangguan Oposisi-Pemberontak Perdebatan di antara para ahli tentang apakah gangguan tingkah laku (CD) dan gangguan sikap menentang (oppositional defiant disorder/ODD) merupakan gangguan yang berbeda atau merupakan variasi dari gangguan perilaku bermasalah yang sama terus berlangsung (Rey, 1993 dalam Nevid, 2005). Atau mungkin ODD adalah awal atau bentuk yang lebih ringan dari gangguan tingkah laku (Abikoff & Klein, 1992; Biederman dkk., 1996a dalam Nevid, 2005). Saat ini kedua gangguan dikonseptualisasikan sebagai berhubungan namun berbeda. ODD lebih terkait erat dengan gangguan tingkah laku yang bukan kenakalan (negatif), dan gangguan tingkah laku melibatkan perilaku kenakalan seperti membolos, mencuri, berbohong, agrefis (Rey, 1993 dalam Nevid, 2005). Namun ODD, yang biasanya berkembang lebih awal daripada CD, dapat mengakibatkan perkembangan perilaku antisosial dan gangguan tingkah laku pada usia selanjutnya (Loeber, Lahey, & Thomas, 1991 dalam Nevid, 2005). 2016 9 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Anak-anak ODD cenderung bersikap negatif atau menentang. Mereka melawan tokoh otoritas, yang ditunjukkan dengan kecenderungan mereka untuk berargumentasi dengan orang tua dan guru serta menolak mengikuti permintaan atau perintah dari orang dewasa. Mereka secara sengaja mengganggu orang lain, mudah marah, sensitif atau mudah tersinggung, menyalahkan orang lain sebagai penyebab kesalahan atau perilaku buruk mereka, benci kepada orang lain, atau dengki dan dendam pada orang lain (Angold & Costello, 1996; APA, 2000 dalam Nevid, 2005). Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 8 tahun dan berkembang secara bertahap selama beberapa bulan atau tahun. Biasanya bermula di lingkungan rumah tetapi dapat meluas pada lingkungan lain seperti sekolah. ODD merupakan salah satu bentuk diagnosis yang paling sering muncul pada anak (Doll, 1996 dalam Nevid, 2005). Penelitian menunjukkan bahwa di antara anak-anak yang didiagnosis memiliki gangguan psikologis, satu di antara tiga memenuhi kriteria ODD (Rey, 1993 dalam Nevid, 2005). Penelitian epidemiologi baru-baru ini memperkirakan bahwa prevalensi ODD di antara anak-anak dalam masyarakat kira-kira 6% (Rey, 1993 dalam Nevid, 2005). ODD lebih umum terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Tetapi perbedaan gender tidak terlalu tampak dengan bertambahnya usia. Di antara anak-anak berusia 12 tahun atau yang lebih muda, kemunculan ODD pada anak laki-laki dua kali lebih banyak. Namun di antara para remaja, prevalensi yang lebih tinggi adalah pada perempuan (Rey, 1993 dalam Nevid, 2005). Bertolak belakang dengan hasil tersebut, kebanyakan penelitian menemukan bahwa CD lebih banyak ditemui pada laki-laki dibandingkan perempuan pada seluruh rentang usia. Perspektif Teoretis mengenai ODD. Faktor-faktor penyebab ODD belum diketahui. Sebagian ahli yakin bahwa sikap menentang merupakan ekspresi dari temperamen anak yang digambarkan sebagai tipe “anak yang sulit” (Rey, 1993 dalam Nevid, 2005). Yang lain percaya bahwa konflik orang tua dan anak yang tidak terselesaikan atau kontrol orang tua yang terlalu ketat dapat menjadi akar dari gangguan ini. Teoretikus psikodinamika melihat ODD sebagai tanda dari fiksasi pada masa anal perkembangan psikoseksual, ketika konflik di antara orang tua dan anak mungkin muncul pada toilet training. Konflik-konflik yang tersisa mungkin diekspresikan dalam bentuk menentang terhadap harapan-harapan orang tua (Egan, 1991 dalam Nevid, 2005). Teoretikus belajar melihat perilaku menentang muncul akibat penggunaan strategi reinforcement yang tidak tepat dari orang tua. Menurut pandangan ini, orang tua memberi reinforcement secara tidak tepat pada perilaku menentang dengan “menyerah” pada tuntutan anak setiap kali anak menolak untuk patuh pada harapan orang tua, sehingga kemudian menjadi suatu pola. 2016 10 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Orang tua dari anak-anak dengan ODD yang parah menunjukkan gangguan kepribadian antisosial dan penyalahgunaan obat dalam tingkatan yang tinggi (Frick dkk., 1992 dalam Nevid, 2005). Penanganan Contoh berikut ini memberi ilustrasi dari keterlibatan orang tua dalam penanganan perilaku pada kasus ODD ; Kasus ODD Billy (7 tahun, duduk di kelas 2) dirujuk oleh orang tuanya. Keluarganya sering berpindah tempat tinggal karena sang ayah bekerja di angkatan laut. Billy biasanya berperilaku baik bila ayahnya yang mengasuh, tetapi tidak patuh dan berteriak pada ibunya bila diberi instruksi. Ibunya mengalami stres yang tinggi dalam usahanya mengontrol Billy, terutama bila suaminya sedang berada di laut. Billy menjadi masalah di rumah dan di sekolah ketika kelas 1 SD. Ia tidak mengacuhkan dan melanggar aturan-aturan pada dua lingkungan tersebut. Billy tidak mengerjakan tugas sehari-harinya dan sering berteriak serta memukul adik laki-lakinya. Bila ia berperilaku buruk, orang tuanya akan mengurungnya di kamar atau di halaman, mengambil kebebasan dan mainan-mainannya, serta memukul pantatnya. Namun penanganan ini dilakukan secara tidak konsisten. Ia juga bermain di jalur kereta api di dekat rumahnya dan polisi telah dua kali membawanya pulang karena ia melempar batu ke arah mobil-mobil. Observasi di rumah menunjukkan bahwa ibu Billy sering memberikan perintah yang tidak tepat. Ia berinteraksi dengannya sesedikit mungkin dan tidak memberikan pujian verbal, kedekatan fisik, senyuman, atau ekspresi wajah dan gestur yang menyenangkan. Ibunya hanya memperhatikan Billy bila ia berperilaku buruk. Bila Billy tidak patuh maka ibunya akan berteriak padanya serta mencoba menangkapnya untuk memaksanya agar mau menurut. Billy kemudian akan tertawa dan lari. Orang tua Billy diberi tahu bahwa perilaku anak merupakan hasil dari teknik-teknik pemberian sinyal yang kurang tepat (pengarahan yang buruk), kurangnya reinforcement untuk perilaku yang baik dan kurangnya sanksi yang konsisten terhadap perilaku buruk. Mereka diajarkan cara penggunaan reinforcement, hukuman, dan time out secara tepat. Orang tuanya kemudian mencatat masalah perilaku Billy untuk memperoleh ide yang lebih jelas tentang apa yang menyebabkan dan mempertahankan perilaku tersebut. Mereka diperlihatkan bagaimana cara memberi reinforcement pada perilaku yang dapat diterima dan menggunakan time out sebagai hukuman untuk perilaku yang buruk. Ibu Billy juga diajarkan cara relaksasi untuk membantunya melakukan desensitisasi terhadap perilaku bermasalah Billy. Biofeedback digunakan untuk meningkatkan respons relaksasi. 2016 11 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Selama 15 hari periode dasar, Billy berperilaku tidak menurut sekitar empat kali sehari. Ketika penanganan dimulai, perilaku tidak patuh Billy langsung menurun menjadi sekali dalam dua hari. Data lanjutan menunjukkan bahwa kejadian tidak menurut bertahan sekitar sekali sehari. Masalah di sekolah juga lebih sedikit walaupun tidak ditangani secara langsung. Diadaptasi dari Kaplan, 1986, hal. 227-230 Enuresis Enuresis berasal dari bahasa Yunani en-, yang berarti “di dalam” dan ouron, yang berarti “urine”. Enuresis adalah kegagalan untuk mengontrol BAK setelah seseorang mencapai usia “normal” untuk mampu melakukan kontrol. Ciri-ciri diagnostik dari Enuresis Anak berulang kali mengompol di tempat tidur atau pakaian (baik disengaja maupun tidak). Usia kronologis anak minimal 5 tahun (atau anak berada pada tingkat perkembangan yang setara). Perilaku tersebut muncul setidaknya dua kali seminggu selama 3 bulan, atau menyebabkan hendaya yang signifikan dalam fungsi atau distres. Gangguan ini tidak memiliki dasar organik. Sumber : Diadaptasi dari DSM-IV-TR (APA, 2000). Enuresis, seperti halnya gangguan perkembangan lain, lebih sering terjadi pada anak lakilaki. Enuresis diperkirakan mempengaruhi 7% anak laki-laki dan 3% anak perempuan usia 5 tahun. Gangguan ini biasanya hilang dengan sendirinya pada usia remaja atau sebelumnya, walaupun pada 1% kasus masalah ini berlanjut sampai dewasa (APA, 2000 dalam Nevid, 2005). Enuresis dapat terjadi selama tidur malam saja, selama anak terjaga saja, atau keduanya. Enuresis saat tidur malam saja adalah tipe yang paling umum, dan enuresis yang muncul saat tidur disebut mengompol. Melakukan kontrol kemih pada malam hari lebih sulit daripada melakukannya pada siang hari. Bila tidur malam hari, anak-anak harus belajar untuk bangun bila mereka merasa ada tekanan dari kemih yang penuh dan kemudian pergi ke kamar mandi untuk BAK. Makin muda usia anak saat “dilatih”, makin besar kemungkinannya ia akan mengompol. Amat normal bagi anak-anak yang sudah bisa melakukan kontrol pada siang hari untuk tetap mengompol pada malam hari selama satu tahun atau lebih. Mengompol di tempat tidur biasanya muncul selama tahapan tidur yang 2016 12 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id paling dalam dan dapat mencerminkan ketidakmatangan dari sistem saraf. Diagnosis enuresis diterapkan pada kasus-kasus mengompol di tempat tidur atau BAK di pakaian pada siang hari yang dilakukan berulang kali pada anak-anak yang berusia minimal 5 tahun. Perspektif Teoretis Terdapat berbagai penjelasan psikologis tentang enuresis. Penjelasan psikodinamika mengemukakan bahwa enuresis dapat merepresentasikan ekspresi kemarahan terhadap orang tua karena pelatihan BAK dan BAB yang keras. Hal ini dapat merepresentasikan respons regresi terhadap kelahiran saudara sekandung atau beberapa sumber stres lain atau perubahan dalam kehidupan, seperti mulai bersekolah atau mengalami kematian orang tua maupun anggota keluarga lain. Teoretikus belajar menekankan bahwa enuresis muncul paling sering pada anak-anak dengan orang tua yang mencoba melatih mereka sejak usia dini. Kegagalan pada masa awal dapat menghubungkan kecemasan dengan usaha untuk mengontrol BAK. Kecemasan yang terkondisi justru mendorong dan bukan menghambat BAK. Bukti dari studi Danish pada tahun 1995 dalam Nevid, 2005 menunjukkan dugaan yang kuat bahwa enuresis primer, bentuk yang paling umum dari gangguan ini, yang ditandai oleh mengompol yang terus-menerus dan tidak pernah mampu untuk mengontrol BAK, diturunkan secara genetis (Eiberg, Berendt, & Mohr, 1995; Goleman, 1995e). Kita belum memahami mekanisme genetis yang bertanggung jawab pada penyebaran gangguan ini, tetapi salah satu kemungkinannya menyangkut gen yang mengatur kecepatan perkembangan dari kontrol motorik terhadap refleks-refleks eliminatori (eliminatory reflexes) oleh korteks serebral. Walaupun faktor-faktor genetis tampak terkait dengan penyebaran dari enuresis primer, faktor-faktor lingkungan dan perilaku juga memainkan peran dalam menentukan perkembangan dan jangka waktu gangguan. Tipe enuresis lain adalah enuresis sekunder, tampak pada anak-anak yang memiliki masalah setelah mampu mengontrol BAK dan diasosiasikan dengan mengompol secara berkala. Faktor genetis tampaknya tidak terkait dengan tipe enuresis ini (Goleman, 1995e dalam Nevid, 2005). Penanganan Enuresis biasanya hilang dengan sendirinya setelah anak-anak menjadi dewasa. Metode-metode behavioral sudah terbukti membantu bila enuresis bertahan atau menyebabkan stres tinggi pada orang tua dan anak. Metode tersebut mengondisikan anakanak untuk bangun bila kandung kemih mereka penuh. Salah satu contoh yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan adalah metode bel-dan-bantalan (bell-and pad method) dari Mowrer. 2016 13 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Masalah dalam mengompol adalah anak-anak dengan enuresis tetap tidur walaupun ada tekanan dari kandung kemih yang biasanya membangunkan kebanyakan anak-anak lain. Akibatnya, secara refleks mereka BAK di tempat tidur. Psikolog O. Hobart Mowrer memprakarsai metode bel dan bantalan di mana bantalan khusus ditempatkan di bawah anak yang sedang tidur. Bila bantalan basah, sirkuit listrik menutup, menyebabkan bel berbunyi dan membangunkan anak yang masih tidur. Setelah beberapa kali pengulangan, sebagian besar anak belajar untuk bangun sebagai respons dari tekanan kandung kemih – sebelum mereka mengompol. Teknik ini biasanya dijelaskan melalui prinsip-prinsip classical conditioning. Pada metode bel dan bantalan, tekanan dari kandung kemih anak dipasangkan berkali-kali dengan satu stimulus (bel) yang membangunkan anak. Tekanan dari kandung kemih (stimulus terkondisi atau CS) memunculkan respons yang sama (bangun – repons yang terkondisi atau CR) yang dimunculkan oleh bel (stimulus yang tidak terkondisi atau US). Variasi dari metode bel dan bantalan sudah berhasil digunakan oleh orang dewasa dengan enuresis (van Son, Mulder & Londen, 1990 dalam Nevid, 2005). Kedua penanganan psikologis yang biasanya melibatkan teknik alarm urine dari Mowrer atau variasinya, atau terapi obat, sering kali membantu menangani enuresis. Obat fluvoxamine, sebuah SSRI-tipe antidepresan, bekerja pada sistem otak yang mengontrol BAK (Kano & Arisaka, 2000; Horrigan & Barnhill, 2000 dalam Nevid, 2005). Namun, bukti yang ada menunjukkan hasil-hasil yang lebih baik dengan penanganan psikologis (Houts, Berman, & Abramson, 1994 dalam Nevid, 2005). 2016 14 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Nevid, Jeffrey S., Spencer A. Rathus, Beverly Greene. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid 2. Jakarta : Erlangga. Papalia, Diane E., Sally Wendkos Olds, Ruth Duskin Feldman. 2008. Human Development Perkembangan Manusia Edisi 10 Buku 1. Jakarta : Salemba Humanika. Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak, edisi ketujuh, jilid dua. Jakarta : Erlangga. 2016 15 Pedologi Yenny, M.Psi., Psikolog Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id