ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERSISTENSI PENGANGGURAN DI INDONESIA OLEH IRWAN AMARULLAH H14104013 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN IRWAN AMARULLAH. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Pengangguran di Indonesia (dibimbing oleh IMAN SUGEMA) Persistensi Pengangguran merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi diberbagai negara dan mendapat perhatian khusus baik bagi pengambil kebijakan maupun akademisi. Hal ini karena pengangguran yang tidak teratasi dan cenderung semakin meningkat akan menjadi beban bagi perekonomian. Oleh karena itu, pengangguran biasanya dijadikan sebagai salah satu target utama dalam sebuah sebuah kebijakan di bidang perekonomian. Secara teoritis, peningkatan pertumbuhan ekonomi seharusnya meningkatkan penyerapan terhadap tenaga kerja atau menurunkan pengangguran. Hal ini terjadi karena utilisasi sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam menjalankan kegiatan perekonomian, sehingga mengakibatkan permintaan tenaga kerja akan semakin meningkat. Peningkatan permintaan tenaga kerja ini seharusnya mampu menurunkan pengangguran. Namun di Indonesia, terjadi paradoks antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Pertumbuhan ekonomi yang cenderung terus meningkat pasca terjadi krisis pada pertengahan 1997 tidak mampu mengurangi pengangguran yang cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan. Pengangguran yang cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan seperti yang terjadi di Indonesia merupakan indikasi terjadinya persistensi pengangguran. Persistensi pengangguran merupakan suatu kondisi dimana pengangguran semakin meningkat secara terus menerus. Hal ini sebenarnya memang telah terjadi seperti di beberapa negara kawasan Eropa dan menjadi perhatian bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan untuk mengurangi tingkat pengangguran (Elmeskov, 1993). Peningkatan pertumbuhan ekonomi belum cukup untuk menyelesaikan masalah pengangguran yang tinggi. Penyebab pengangguran diduga kuat terkait dengan regulasi maupun undang-undang, kualitas tenaga kerja dan kendala yang dihadapi oleh sektor industri. Untuk itu dibutuhkan penelitian faktor-faktor penyebab persistensi pengangguran yang lebih mengacu pada kerangka studi secara mikro. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi sumber persistensi pengangguran berdasarkan survey kepada penganggur. Penganggur yang menjadi responden dalam penelitian ini merupakan penanggur yang tersebar di lima Provinsi meliputi Riau, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tenggara. Untuk dapat menjawab penelitian tersebut digunakan metode analisis deskriptif dengan crosstabulation. Berdasarkan hasil survey kepada para penganggur di lima provinsi di Indonesia, maka secara umum persistensi pengangguran terjadi sebagai akibat dari kekakuan upah (wage rigidity), proses penacarian kerja (job search) yang lama dan faktor lain yang terkait dengan regulasi di bidang ketenagakerjaan. Kekakuan upah sering dipandang sebagai salah satu penyebab utama tingkat pengangguran secara berkepanjangan. Berkaitan dengan hal tersebut maka upah bersifat downward rigidity. Hasil survey mengindikasikan bahwa biaya penurunan upah akan dimanifestasikan melalui demonstrasi dan kehilangan pekerja yang produktif. Implikasi ini mungkin tidak sebanding dengan manfaat yang didapatkan dari penurunan upah. Selain itu, kekakuan upah terjadi karena pemberlakuan upah minimum. Kekakuan upah akan menjadi kompleks ketika upah minimum diindeksasi dengan inflasi. Berdasarkan hasil survey ditemukan bahwa upah minimum disesuaikan dengan inflasi secara forward maupun backward. Upah relatif dan upah efisiensi dalam penelitian ini bukan merupakan fenomena yang umum. Temuan survey menyatakan bahwa tidak ada bukti yang kuat bahwa upah relatif dan upah efisiensi menjadi penyebab kekakuan upah nominal. Penyebab persistensi pengangguran lainnya karena waktu untuk pencarian kerja semakin lama. Pencarian kerja sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu friksi, mismatch, ketidaksempurnaan informasi, hambatan geografis, durasi dan upah reservasi. Semua faktor diatas akan mengakibatkan waktu pencarian kerja yang lama, sehingga persistensi pengangguran akan semakin sulit untuk dipecahkan. Selain faktor-faktor di atas, terdapat hal-hal lain yang secara bersamaan dapat mempengaruhi kekakuan upah dan pencarian kerja. Faktor-faktor tersebut meliputi regulasi, mekanisme penyesuaian, mediasi pemerintah dan serikat pekerja. Aspek regulasi yang paling terlihat pengaruhnya adalah aturan mengenai pesangon, upah skorsing dan keberadaan tenaga asing yang menyebabkan tingginya tingkat pengangguran. Teori insider-outsider tampaknya tidak berlaku di Indonesia, karena ternyata mereka tidak ingin diturunkan upahnya terutama bagi penganggur berpendidikan tinggi. Penelitian ini juga memberikan rekomendasi kebijakan yaitu (1) Perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi dengan mendorong sektor manufaktur yang lebih padat tenaga kerja, (2) Fokus kebijakan moneter yang relevan dalam mengatasi tngkat pengangguran yang tinggi adalah Inflation Targeting, (3) Perlu ada perubahan mendasar dalam sistem pendidikan nasional yang berbasis pada keahlian, dan (4) Pemerintah daerah perlu memiliki kreativitas dalam membedakan karakteristik pengangguran di setiap daerah. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERSISTENSI PENGANGGURAN DI INDONESIA Oleh IRWAN AMARULLAH H14104013 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Irwan Amarullah Nomor Registrasi Pokok : H14104013 Program Studi : Ilmu Ekonomi Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor Penyebab Persistensi Pengangguran di Indonesia dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Iman Sugema, M.Ec NIP. 131 846 870 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan : PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, 8 September 2008 Irwan Amarullah H14104013 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Irwan Amarullah, lahir pada tanggal 4 Februari 1986. Penulis merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dari pasangan Syarif Hidayat (Alm) dan Tati Sumiati. Penulis mengawali pendidikan secara formal di TK Sejahtera Sukabumi dan melanjutkan ke SDN Dewi Sartika Cipta Bina Mandiri Sukabumi. Setelah menghabiskan waktu selama enam tahun, penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 1 pada kota yang sama sebelum akhirnya diterima di SMU Negeri 1 kota Sukabumi. Pada tahun 2003 penulis kemudian memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi untuk meraih masa depan yang lebih baik. Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai salah satu Perguruan Tinggi Negeri terkemuka di Indonesia kemudian menjadi tempat berlabuh dalam menuntut ilmu dan pendidikan dalam level strata satu. Penulis diterima melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB pada program studi Depertemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis cukup aktif dalam berbagai kegiatan baik dalam lingkup akademis maupun non akademis. Dalam lingkup akademis, pernah menjadi Asisten Mata Kuliah Sosiologi Umum, Asisten Ekonomi Umum, Asisten Mata Kuliah Makroekonomi dan Asisten Mikroekonomi di berbagai lintas jurusan di Fakultas Ekonomi dan Manajemen serta Program Ekstensi Manajemen dan Agribisnis. Penulis juga merupakan salah satu Mahasiswa Berprestasi Tingkat Departemen Ilmu Ekonomi. Penulis dalam lingkup non akademis pernah menjadi Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Sukabumi, Staff Kajian dan Diskusi Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA) dan pada tahun berikutnya menjadi Ketua Divisi Penelitian dan Pengembangan HIPOTESA. Penulis juga sering mengikuti kegiatan dan menjadi Koordinator Humas dalam berbagai event. KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-Faktor Penyebab Persistensi Pengangguran di Indonesia “. Penulis merasa bahwa pengangguran merupakan topik yang sangat menarik, karena peningkatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum cukup dalam mengatasi tingginya tingkat pengangguran. Topik ini juga merupakan salah satu perluasan dari hasil tulisan dari penulis yang dipublikasikan dalam Riset Persistensi Pengangguran inter-CAFE, khusunya pada bagian survey kepada penganggur. Penulis merasa penting untuk menuangkan topik tersebut, sehingga melakukan eksplorasi lebih dalam mengenai survey persistensi pengangguran. Melalui penelitian ini diharapkan dapat teridentifikasi penyebab tingginya tingkat pengangguran sehingga dapat dirumuskan berbagai rekomendasi kebijakan yang tepat berdasarkan berbagai temuan dalam penelitian ini. Skripsi ini juga merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Iman Sugema, Ph.D sebagai dosen pembimbing skripsi, atas segala perhatian, kebaikan dan arahannya untuk selalu kerja keras selama ini kepada penulis. 2. Nunung Nuryartono, Ph.D sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan yang begitu berarti dalam proses penyempurnaan skripsi ini. 3. Jaenal Effendi, MA sebagai komisi pendidikan atas saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan penulisan skripsi ini. 4. Ibunda tercinta yang selalu memberikan motivasi, arahan dan semangat tiada henti untuk menjadikan anaknya lebih baik dari waktu ke waktu. Semoga ii Allah SWT memberikan pahala serta keberkahan baik di dunia maupun di akhirat. 5. Kedua kakak penulis, yakni Rani Ratnasari dan Rika Merdekawati atas dukungan dan sokongan yang diberikannya selama ini untuk dapat menjadi generasi penerus keluarga yang berintelektual dan religius. 6. Teman-teman seperjuangan : Arif “ dado “ Rahman, Rizky Sabilly, Rima, Fikri, Fitri, Dilla, Rista, Islam dan rekan-rekan di Ilmu Ekonomi 41. 7. Staff Inter-CAFE, Ibu Iis, Ibu Nuning, Ibu Mita, Ibu Heti, Mba Desi, 8. Rekan-rekan di Inter-CAFE, K Ade, K Iqbal, Teh Nilam, Teh Heni, A Dayat 9. Dwi Annisa Nur Salammah yang telah meluangkan waktunya untuk membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 10. Peserta seminar yang meluangkan waktunya untuk datang dan mengapresiasi seminar hasil penelitian skripsi ini. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi diberbagai negara dan sering mendapat perhatian khusus baik bagi pengambil kebijakan maupun akademisi. Hal ini karena pengangguran yang tidak teratasi dan cenderung semakin meningkat akan menjadi beban bagi perekonomian. Pengangguran dapat digunakan sebagai salah satu ukuran dalam menilai sebuah kinerja pemerintahan. Oleh karena itu, pengangguran biasanya dijadikan sebagai salah satu target utama dalam sebuah sebuah kebijakan di bidang perekonomian. Secara teoritis, pertumbuhan ekonomi seharusnya meningkatkan penyerapan terhadap tenaga kerja atau menurunkan pengangguran. Hal ini terjadi karena utilisasi sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam menjalankan kegiatan perekonomian, sehingga mengakibatkan permintaan tenaga kerja akan semakin meningkat. Namun di Indonesia, terjadi paradoks antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat pasca terjadi krisis pada pertengahan 1997 tidak mampu mengurangi pengangguran yang cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan. Paradoks antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran terjadi karena beberapa faktor yaitu karena pertumbuhan ekonomi terlalu didorong oleh sektor yang menyerap lapangan kerja yang rendah, permasalahan terkait dengan ketenagakerjaan dan kondisi sosial ekonomi yang mengakibatkan resiko dunia usaha semakin tinggi (Inter-CAFE, 2007) 2 Pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2001, pengangguran mencapai 8.1 persen dengan pertumbuhan ekonomi 3.64 persen. Hal ini kemudian masih berlangsung hingga tahun berikutnya, seperti pada tahun 2002 dan 2003, pengangguran masingmasing mencapai 9.06 persen dan 9.5 persen, walaupun pertumbuhan yang dicapai juga turut meningkat. Bahkan pada tahun 2006 pengangguran mencapai 10.45 persen, sedangkan pertumbuhan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, yaitu dari 6.48 persen pada tahun 2005 menjadi 5.48 persen pada tahun 2006 (lihat Tabel.1). Hal ini menjadi indikasi kuat bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi belum mampu mengatasi maasalah pengangguran. Tabel.1.1. Indikator Pertumbuhan dan Pengangguran Sumber : Badan Pusat Statistik (2008), diolah Fenomena meningkatnya pengangguran sejalan dengan peningkatan jumlah angkatan kerja di Indonesia. Penurunan pada tingkat partisipasi angkatan kerja akan berimplikasi pada peningkatan pengangguran. Pada gambar.1.1 3 terlihat bahwa dalam kurun waktu 2001 hingga 2006, tingkat partisipasi angkatan kerja cenderung mengalami penurunan, walaupun pada beberapa tahun tertentu tingkat partisipasi angkatan kerja mengalami peningkatan, seperti pada rentang waktu 2004 hingga 2005. 69.00 12.00 68.50 10.00 Persentase 68.00 8.00 67.50 6.00 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Tingkat Pengangguran 67.00 4.00 66.50 2.00 66.00 65.50 0.00 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Periode Sumber : Badan Pusat Statistik (2007), diolah Gambar.1.1. Pengangguran dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Pengangguran yang cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan seperti yang terjadi di Indonesia merupakan indikasi terjadinya persistensi pengangguran. Persistensi pengangguran merupakan suatu kondisi dimana pengangguran semakin meningkat secara terus menerus. Hal ini sebenarnya memang telah terjadi seperti di beberapa negara kawasan Eropa dan menjadi perhatian bagi pembuat kebijakan (Elmeskov, 1993). Hasil studi literatur secara umum menjelaskan tentang berbagai penyebab dari tingginya tingkat pengangguran. Blanchard (2005) menyatakan bahwa tingginya tingkat pengangguran merupakan akibat dari berbagai faktor seperti shock kenaikan harga minyak yang menurunkan pertumbuhan produktivitas, peran 4 dari akumulasi capital dan adanya peran insider terhadap para outsider. Selain itu, institusi pasar tenaga kerja dari proteksi menuju asuransi turut andil dalam meningkatkan persistensi pengangguran. 1.2. Perumusan Masalah Pengangguran yang semakin meningkat dan relatif sulit untuk turun merupakan salah satu indikator terjadinya masalah sosial ekonomi masyarakat. Pengangguran yang tidak teratasi secara sistematis dan menyeluruh akan cenderung menjadi beban bagi perekonomian. Beban tersebut menjadi semakin bertambah dengan berbagai kesulitan dalam mengatasi masalah pengangguran. Beberapa kesulitan tersebut diantaranya berkaitan dengan belum adanya peta permasalahan pengangguran yang lengkap, identifikasi faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pengangguran serta strategi maupun langkah kebijakan yang belum tepat dalam mengatasi pengangguran. Peningkatan pertumbuhan ekonomi belum cukup untuk menyelesaikan masalah pengangguran yang tinggi. Penyebab pengangguran diduga kuat terkait dengan regulasi maupun undang-undang, kualitas tenaga kerja dan kendala yang dihadapi oleh sektor industri yang mengakibatkan tingkat penyerapan tenaga kerja menjadi render. Untuk itu dibutuhkan penelitian faktor-faktor penyebab persistensi pengangguran yang lebih mengacu pada kerangka studi secara mikro. Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 5 1. Faktor-faktor apa yang menjadi sumber persistensi pengangguran berdasarkan survey kepada penganggur ? 2. Bagaimanakah rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi persistensi pengangguran ? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi sumber penyebab persistensi pengangguran berdasarkan perspektif penganggur. 2. Merumuskan strategi dan langkah kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat pengangguran. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam mengatasi permasalahan pengangguran berdasarkan perumusan strategi maupun langkah kebijakan. 2. Bagi akademisi, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam menggali lebih dalam mengenai pengangguran. 3. Bagi masyarakat, dapat memperluas wawasan serta cakrawala berfikir dalam memahami kondisi pengangguran. 6 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup lima Provinsi di Indonesia. Provinsi tersebut meliputi Riau, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat. Keterwakilan masing-masing provinsi melalui pemilihan sampel di wilayah kota maupun kabupaten yang telah ditetapkan berdasarkan Indonesia. kriteria diharapkan dapat merepresentasikan pengangguran di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Sumber Data Pengangguran Menurut Badan Pusat Statistik, definisi penduduk usia kerja adalah penduduk yang berusia diatas 15 tahun. Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang masih sekolah, ibu rumah tangga atau pensiunan. Angkatan kerja terbagi menjadi dua yakni bekerja dan menganggur atau mencari pekerjaan. Bekerja didefinisikan sebagai kegiatan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tidak dibayar yang membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi (Badan Pusat Statistik, 2007). Menurut BPS, seseorang dikategorikan sebagai menganggur atau mencari pekerjaan apabila termasuk penduduk usia kerja yang (1) tidak bekerja, atau (2) sedang mencari pekerjaan baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah penah berkerja, atau (3) sedang mempersiapkan suatu usaha, atau (4) yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan, atau (5) yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Perubahan definisi seputar pengukuran untuk usia angkatan kerja dan pengangguran menyebabkan perubahan data pengangguran. Untuk periode 8 sebelum tahun 2000, sumber data yang berbeda dapat mempublikasikan data yang berbeda tergantung pada penyesuaian dengan definisi yang baru atau tidak. Tabel.2.1. Perubahan Definisi Usia Kerja dan Pengangguran Periode 1986-1993 1994-2000 2001- Definisi Pengangguran Aktif mencari kerja selama 1 minggu sebelum survei (hanya satu minggu) Aktif mencari kerja, tanpa mempertimbangkan kapan terakhir mencari kerja (dapat lebih dari satu minggu) Aktif mencari kerja, tidak aktif mencari kerja, punya pekerjaan tapi belum mulai kerja, sedang menyiapkan usaha atau bisnis Definisi Populasi Usia Kerja Pre-1998 Orang yang berumur lebih dari 10 tahun 1998- Orang yang berumur lebih dari 15 tahun Sumber : BPS (2007) 2.2. Definisi Persistensi Pengangguran Tingkat pengangguran yang tinggi dapat diketahui dengan melihat pada beberapa kondisi berikut yaitu karena slow adjustment terhadap tingkat keseimbangan dan perubahan pada tingkat keseimbangan (Coakley, et al. (2003)), Bianchi dan Zoega (1998), Elmeskov (1993), Blanchard dan Summers (1986). Perubahan tngkat keseimbangan ini dapat terjadi karena kenaikan terus-menerus pada tingkat kesetimbangan. Persistensi pengangguran dapat didefinisikan sebagai terjadinya peningkatan tingkat pengangguran secara terus menerus. Dengan kata lain, gangguan dalam kesetimbangan pasar tenaga kerja menyebabkan terjadinya pengangguran yang persisten. Blanchard dan Summer (1986) mengungkapkan 9 bahwa persistensi pengangguran terjadi manakala penyesuaian terhadap tingkat kesetimbangan berjalan dengan lambat. Walaupun dengan penyesuian yang lambat, tingkat pengangguran yang berada pada kondisi persisten memiliki kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat semula atau tingkat sebelumnya. 2.3. Klasifikasi Pengangguran Menurut Lipsey, et al (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pengangguran siklis, pengangguran struktural dan pengangguran friksional. Pengangguran siklis adalah penganggur yang terjadi karena permintaan yang tidak memadai untuk membeli semua potensi keluaran ekonomi, sehingga mengakibatkan senjang resesi dimana keluaran aktual lebih kecil dari keluaran potensial. Kelompok penganggur ini juga dikatakan sebagai orang yang menganggur dengan terpaksa, dengan kata lain mereka ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku tetapi pekerjaan yang mereka inginkan tidak tersedia. Pengangguran struktural mengacu kepada pengangguran yang disebabkan akibat ketidaksesuaian antar struktur angkatan kerja berdasarkan jenis keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan struktur permintaan akan tenaga kerja. Menurut Mankiw (2000), pengangguran struktural merupakan pengangguran yang disebabkan oleh kekakuan upah dan penjatahan pekerjaan. Para pekerja yang tidak dipekerjakan bukan karena mereka aktif untuk mencari pekerjaan yang cocok untuk mereka, namun pada tingkat upah berlaku, penawaran tenaga kerja melebihi permintaannya. Sedangkan pengangguran friksional diakibatkan oleh perputaran normal tenaga kerja. Sumber penting 10 pengangguran friksional adalah orang-orang muda yang memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan (Lipsey et al.1997). Menurut Mankiw (2000), pengangguran friksional yaitu pengangguran yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan orang untuk mendapatkan pekerjaan. Para ekonom menyebut perubahan komposisi permintaan antar wilayah sebagai pergeseran sektoral. Perubahan dalam komposisi permintaan diantara industri atau wilayah selalu terjadi dan karena perlu waktu untuk mengubah sektor maka pengangguran friksional selalu muncul. 2.4. Faktor Penyebab Pengangguran 2.4.1. Kekakuan Upah Kekakuan upah merupakan penyebab terjadinya pengangguran (Mankiw, 2000). Kekakuan upah berarti gagalnya upah melakukan penyesuaian sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya. Dalam model keseimbangan pasar tenaga kerja, upah riil berubah untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan. Tetapi upah tidak selalu fleksibel, sehingga upah riil tertahan diatas tingkat kliring pasar atau tingkat ekuilibrium sehingga terjadi pengangguran. Untuk memahami kekakuan upah dan pengangguran struktural, maka penting untuk memahami mengapa pasar tenaga kerja tidak berada pada tingkat keseimbangan penawaran dan permintaan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan gambar.2.1. Saat upah riil melebihi tingkat ekuilibrium dan penawaran pekerja melebihi permintaannya, maka para perusahaan diharapkan akan menurunkan upah yang akan dibayar kepada para pekerja. Namun pada kenyataanya, hal ini tidak terjadi. Pengangguran struktural kemudian muncul sebagai implikasi karena 11 perusahaan gagal menurunkan upah akibat kelebihan penawaran tenga kerja (Mankiw, 2000). Upah Riil Penawaran Pengangguran Permintaan Tenaga Kerja Sumber : Mankiw, (2000) Gambar.2.1. Grafik Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja Kekakuan upah ini terjadi sebagai akibat dari beberapa hal yaitu, indeksasi Undang-Undang upah minimum, kekuatan monopoli serikat pekerja dan upah efisiensi. Berbagai faktor tersebut berpotensi menjadikan upah tertahan diatas tingkat upah keseimbangan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan pengangguran. Kebijakan upah minimum akan memberi insentif kepada perusahaan untuk mengganti para pemuda dengan orang-orang dewasa yang tidak terdidik. Kebijakan upah minimum ditenggarai akan lebih banyak berdampak pada penganggur dengan usia muda (Mankiw, 2000). Alasannya yaitu, pertama, karena pekerja dengan usia lebih muda termasuk anggota angkatan kerja yang kurang terdidik dan kurang berpengalaman, maka mereka cenderung memilki produktivitas marginal yang rendah. Kedua, seringkali mereka mengambil sebagian kompensasi mereka dengan mengikuti on the job training daripada 12 bayaran secara langsung. Oleh karena itu, upah minimum seringkali berpengaruh pada pemuda ketimbang yang lainnya dalam angkatan kerja. Upah para pekerja yang tergabung dalam serikat pekerja tidak ditentukan oleh ekuilibrium permintaan dan penawaran, tetapi oleh posisi tawar-menawar kolektif antara pimpinan serikat pekerja dan manajemen perusahaan. Biasanya, kesepakatan akhir meningkatkan upah diatas tingkat ekuilibrium dan memungkinkan perusahaan untuk mengurangi jumlah tenaga kerja sehingga akan mengakibatkan pengangguran (Mankiw, 2000). Penjelasan ini didukung oleh Mc Donald dan Solow (1981) yang menyatakan dengan terjadinya monopoli bilateral antara perusahaan dan serikat buruh, maka keseimbangan yang terjadi akan berhubungan dengan kesempatan kerja tetapi upah riil relatif stabil. Jika penentuan upah dilakukan melalui kontrak antar perusahaan dan serikat pekerja maka marginal cost dan harga akan menjadi kaku. Hal ini akan mengakibatkan fluktuasi permintaan yanga akan ditranmisikan melalui output dan kesempatan kerja. Model ini juga bisa dianggap sebagai salah satu alasan terjadinya rigiditas upah riil. Teori upah efisiensi merupakan penyebab ketiga dari kekakuan upah selain undang-undang upah minimum dan serikat pekerja. Menurut Mankiw (2000) teori upah efisiensi ini akan membuat upah semakin tinggi dan membuat para pekerja lebih produktif. Teori upah ini lebih banyak diterapkan di negara-negara miskin yang menyatakan bahwa upah mempengaruhi nutrisi. Para pekerja yang dibayar dengan upah memadai bisa lebih banyak membeli nutrisi dan para pekerja akan 13 lebih produktif. Suatu perusahaan mungkin akan membayar tingkat upahnya di atas tingkat ekuilibrium untuk menjaga agar tenaga kerjanya tetap sehat. Berbagai studi literatur membahas indeksasi yang kebanyakan menghubungkan dengan variabel moneter seperti inflasi Holland (1988), Brunner. et al. (1988), Vanhoose dan Waller (1991) maupun kaitannya dengan stabilitas output (Esteban, 2002). Menurut Holland (1988), konsep indeksasi seperti yang diungkapkan dibawah ini : “ The wage indexation variable was the percentage of workers covered by major collective bargaining agreements who some provision for cost of living adjustment in their contracts “ Steven Holland, (1988) Pada intinya indeksasi adalah upah yang telah disesuaikan dengan kebutuhan hidup, dengan kata lain, upah ini telah disesuaikan dengan inflasi. Indeksasi akan mengakibatkan keterbatasan kebijakan moneter yang ekspansif untuk mengatasi pengangguran. Jika kebijakan moneter ekspansif terus dilakukan dalam kondisi pengangguran yang tinggi, maka akan mengakibatkan inflasi yang persisten. 2.4.2. Teori Pencarian Kerja Teori pencarian kerja telah menjadi bahasan sentral dalam studi mengenai penganggguran. Ide dasar dari teori pencarian kerja ini merupakan perluasan dari konsep upah reservasi (Prasad, 2003). Perilaku dan faktor penentu upah reservasi secara individual dalam teori pencarian kerja (job search) merupakan salah satu 14 isu menarik, baik secara teori maupun empirik. Menurut Burdeth dan Vishwanath (1987), upah reservasi merupakan upah paling rendah sehingga penganggur memutuskan mau bekerja. Dengan kata lain upah ini akan mengantarkan para penganggur menjadi pekerja. Jika upah reservasi tinggi maka makin sulit bagi penganggur untuk mendapatkan pekerjaan sehingga waktu tunggu atau durasi menjadi panjang. Ini berimplikasi pada peningkatan pengangguran. Biasanya penetapan upah reservasi yang tinggi dilakukan oleh orang-orang yang mendapatkan jaminan pengangguran seperti pesangon maupun dukungan keluarga sehingga mereka cenderung untuk memilih pekerjaan dan upah yang didapatkannya. Salah satu faktor penyebab pencarian kerja lainnya adalah mismatch. Definisi menurut Schiopa (1991a) adalah sebagai berikut : “ Mismatch is a persistent imbalance between supply of and demand for labour across skill groups, region, etc. In contrast to frictional unemployment, it is a long-term phenomenon and reflects differences in the characteristic of unemployed jobs offered by employers at going wage rates. “ Schiopa (1991a) Pada prinsipnya, mismatch merupakan ketidaksesuaian antara lowongan kerja (job vacancy) yang tersedia dengan skill dari para pencari kerja. Hal ini terjadi karena ketidakseimbangan permintaan dan penawaran tenaga kerja diantara skill dari kelompok, wilayah dan lainnya. Akibatnya perusahaan kesulitan untuk mencari pekerja yang sesuai dan para pencari kerja juga mengalami hal yang sama yaitu kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki. 15 Salah satu teori yang bisa menjelaskan mengapa terjadi pengangguran yang persisten adalah teori insider dan outsider. Insider adalah pekerja yang posisinya terproteksi oleh biaya turn over yang menyebabkan perusahaan cenderung enggan untuk melepas mereka. Lindbeck dan Snower (1986-1988) mengungkapkan bahwa karena adanya biaya turn over, insider memperoleh kekuatan pasar yang menyebabkan mereka memiliki posisi yang diuntungkan dibanding dengan outsider. Selain itu insider juga dapat mempengaruhi biaya turn over melalui kerja sama diantara mereka untuk menyisihkan kepentingan outsider, walaupun outsider bisa menerima upah yang lebih rendah. Struktur seperti ini akan membuat outsider tetap menganggur walaupun mereka rela menerima upah dibawah outsider (Sugema dan Solikin, 2004). Mediasi merupakan salah satu aspek yang penting untuk mengukur persepsi dalam menilai sebuah kinerja pemerintahan. Cole (1961) memberikan konsep dari mediasi seperti berikut : “ Mediation is inseparable from collective bargaining ; it is an integral part of dispute settlement, and it can exert an important influence on government’s role in labor relations. It potentially bears on how union or industry power is exercised and, thus becomes an important factor deciding whether additional regulatory legislation is needed “ Cole (1961) Hubungan ini dapat menjelaskan kaitan antara mediasi dengan penganggguran, khususnya dengan collective bargaining. Mediasi merupakan bagian tak terpisahkan dari collective bargaining. Peran dari mediasi sendiri 16 dapat digunakan sebagai sarana dalam menyelesaikan persengketaan dan mampu mendesak peran pemerintah dalam menentukan kebijakan tenaga kerja. 2.5. Penelitian Terdahulu International Center for Applied Finance and Economics (Inter-CAFE) dan Bank Indonesia (2006) mengadakan penelitian yang berjudul “Paradoks Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran : Identifikasi, Implikasi dan Solusi“. Secara umum tujuan penelitian ini untuk mengetahui berabagai peristiwa penting dalam perekonomian Indonesia yang menunjukan gejala paradoks antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Model Structural Vector Auto Reggression (SVAR) digunakan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kemunculan paradoks tersebut serta menelaah dampak sumber-sumber guncangan perekonomian terhadap variabel utama makroekonomi. International Center for Applied Finance and Economics (inter-CAFE) bekerja sama dengan Pusat Pendidikan Studi Kebangsentralan Bank Indonesia melakukan riset dengan judul “Studi Empiris Persistensi Pengangguran di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya Berdasarkan Analisis Data Mikro“. Melalui berbagai pendekatan ekonometrika seperti Unit Root Test, NAWRU, Kurva Beveridge dan Kurav Okun, maka terbukti bahwa telah terjadi persistensi pengangguran di Indonesia. Elmeskov (1993) melakukan penelitian mengenai persistensi di beberapa negara kawasan Eropa Barat. Isu tingkat pengukuran pengangguran yang selalu berubah dari masa ke masa yang mengakibatkan perbedaan untuk mengukur perbandingan pengukuran pengangguran di berbagai negara Organisation for 17 Economic Cooperation and Development (OECD) dibahas sebagai perbandingan. Peningkatan pengangguran juga merefleksikan penurunan kapasitas dari utilisasi sumber daya manusia, walaupun tidak mencerminkan secara utuh mengenai perbedaan wilayah. Temuan penting dalam penelitian ini adalah terjadinya persistensi pengangguran di berbagai negara kawasan Eropa serta beberapa kemungkinan faktor-faktor penyebab dari trend peningkatan pengangguran berdasarkan data makro dan mikro. Faktor penyebab tersebut meliputi pengaruh dari kebijakan dan non kebijakan yang berimplikasi pada ekuilibrium pengangguran dan kecepatan penyesuaian pasar tenaga kerja. Studi literatur menunjukan bahwa terdapat berbagai macam faktor yang menjadi sumber terjadinya persistensi pengangguran. Blanchard dan Summers (1986) menyatakan bahwa peran akumulasi kapital, peran insider, collective bargaining, inersia dalam permitaan tenaga kerja. Collective bargaining yang dimaksud disini yaitu tawar-menawar upah ditentukan oleh representasi dari serikat pekerja dengan perusahaan dan kepentingan penganggur tidak diikutsertakan. Menurut Assarson dan Jansson (1995), persistensi pengangguran dapat disebabkan oleh tiga faktor. Pertama persistensi pengangguran dapat disebabkan oleh natural rate shocks. Kedua, pengangguran dapat memiliki siklus dengan periode yang cukup lama. Ketiga, guncangan siklikal dalam pengangguran dapat ditransmisikan menjadi pengangguran yang permanen. 18 Steiner (2001) melakukan penelitian tentang persistensi pengangguran di pasar tenaga kerja Jerman Barat. Steiner menggunakan pendekatan hazard rate dari pengangguran, di mana hazard rate adalah rasio penganggur yang memperoleh pekerjaan pada bulan tertentu terhadap jumlah penganggur pada akhir bulan sebelumnya. Data empiris menunjukkan bahwa hazard rate dari pengangguran mengalami penurunan seiring berjalannya waktu. Hipotesis dalam kajian ini ini didasari pemikiran bahwa human capital seseorang dapat berkurang selama orang tersebut menganggur dan akan semakin kuat jika masa menganggurnya semakin lama. Studi yang dilakukan oleh Jonas Agel dan Per Lundborg (1999) menjelaskan bagaimana pengaruh dari shock pada variabel makroekonomi mempengaruhi kekakuan upah dan pengangguran. Melalui penelitian ini dibahas mengenai beberapa konsep kekakuan upah. Kekakuan upah menurut John Maynard Keynes sebagai social fact of life, yaitu kenyatan hidup yang tidak dapat terbantahkan. Oleh karena itu, reformasi kelembagaan tidak mampu mengatasi masalah kekakuan upah ini Sementara itu, Lionel Robbins berpendapat bahwa penyebab dari dari kekakuan upah dan pengangguran yang persisten adalah serikat pekerja dan kebijakan asuransi. Arthur Pigou mengemukakan bahwa problem utama geographical mismatch antara pekerjaan dan pencari kerja akan diperparah oleh pesangon. Temuan dalam survey ini juga menyatakan karena kekakuan upah bersifat downward rigidity, maka upah riil menjadi lebih kaku sejak Swedia menerapkan kebijakan inflasi yang rendah. Selain itu ditemukan 19 adanya underbidding, mekanisme upah efisiensi, Undang-undang upah bagi pekerja, serta pengangguran dalam jangka panjang. Calmfors dan Holmund (2000) melakukan penelitian untuk mengetahui penyebab tingginya pengangguran yang terjadi di Eropa pada pertengahan tahun 1970 dan periode setelahnya serta mengulas berbagai implikasi kebijakan. Fokus penelitian dihadapkan pada faktor penentu pengangguran dalam jangka panjang . Beberapa faktor yang kemungkinan besar berpengaruh diantaranya meliputi pesangon, sistem tawar-menawar upah dan regulasi terkait proteksi bagi pekerja. Selain itu, area penelitian ini juga menjangkau ekonomi politik dari pengangguran dan kebijakan bagi pekerja. Ide utama dari pemikiran ekonomi politik ini adalah fenomena persistensi pengangguran dapat dijelaskan melalui pendekatan politik daripada pendekatan reformasi pasar tenaga kerja. Strategi yang diterapkan dalam mengatasi persoalan pengangguran di beberapa negara juga dapat dikatakan sukses dengan pendekatan politik. Spielmann (2006) melakukan kajian melalui survey mengenai beberapa kontribusi penting bagi para peneliti yang mengamati kelembagaan pasar tenaga kerja dan pengangguran di Eropa serta negara kawasan Eropa Barat yang tergabung pada OECD sejak tahun 1960. Kajian yang dilakukan meliputi hubungan langsung anatara kelembagaan pasar tenaga kerja dengan pengangguran, bagaimana interaksi kelembagaan pasar tenaga kerja dengan shock pada berbagai variabel makroekonomi yang akan mempengaruhi pengangguran. Hubungan langsung dalam literatur yang dimaksud dapat dijelaskan melalui level kelembagaan atau perubahan kelembagaan dari waktu ke waktu. 20 Kelembagaan juga menjadi fokus studi oleh Layard dan Nickel (1999). Mereka mencoba meneliti apakah level dari kelembagaan berpengaruh signifikan terhadap kinerja ekonomi pada 20 negara OECD. Fokus mereka pada pengangguran sebagai salah satu faktor penentu dalam kinerja ekonomi dan melihat berbagai indikator kelembagaan seperti pajak bagi tenaga kerja, hukum dan undang-undang yang mengatur hak pekerja, bargaining atau struktur union, serta sistem jaminan bagi pengangguran, sistem pendidikan maupun training serta hambatan mobilitas regional. Penelitian yang dilakukan Collard (2003) menyatakan bahwa pengangguran pada angkatan kerja kelompok unsklilled lebih tinggi karena adanya kelompok skilled labor yang bekerja untuk pekerjaan yang bersifat unskill. Temuan yang sama juga didapatkan oleh Murillo, (2005) bahwa persistensi pengangguran pada kelompok tenaga kerja yang tidak tamat pendidikan formal di Andalusia dan Extremadura Spanyol lebih tinggi karena masalah skill dari kelompok tersebut. 2.6. Kerangka Pemikiran Penelitian Untuk dapat menjawab tujuan penelitian yang disusun sebagai jawaban atas rumusan permasalahan, maka alur analisis dapat dilihat berdasarkan kerangka pemikiran penelitian. Pada intinya, penelitian ini akan menjelaskan tentang faktorfaktor penyebab pengangguran yang semakin meningkat dan sulit untuk turun. Secara umum, faktor penyebab persistensi pengangguran diduga sebagai implikasi dari kekakuan upah, proses pencarian kerja yang lama serta faktor lain yang terkait dengan kelembagaan pasar tenaga kerja. Kekakuan upah dapat terjadi 21 karena kekakuan upah nominal maupun kekakuan upah riil, indeksasi, kebijakan upah minimum, upah efisiensi dan upah relatif. Sedangkan pencarian kerja dapat dipengaruhi oleh mismatch, mobilitas geografis, informasi pekerjaan, durasi, friksional maupun upah reservasi. Faktor lain merupakan faktor terakhir yang akan dibahas pengaruhnya terhadap persistensi pengangguran. Masing-masing faktor kemudian terbagi menjadi beberapa bagian yang kemudian akan dianalisis berdasarkan respon data survey yang diberikan kepada penganggur di beberapa wilayah sampel. Masing-masing bagian untuk setiap faktor kemudian akan diuji dengan data primer apakah faktor tersebut merupakan penyebab dari terjadinya persistensi pengangguran. Rekomendasi kebijakan kemudian akan menjadi bagian analisis selanjutnya. Bagian ini akan mengulas berbagai kebijakan yang dapat ditempuh oleh pemerintah sebagai bentuk solusi dalam mengatasi pengangguran. (gambar.2.2) 22 Persistensi Pengangguran Kekakuan Upah Pencarian Pekerjaan Faktor Lain Kekakuan Upah Nominal Missmatch Regulasi Indeksasi Mobilitas Geografis Penyesuaian Upah Minimum Informasi Pekerjaan Upah Relatif Durasi Upah Efisiensi Friksional Mediasi Serikat Buruh Upah Reservasi Faktor-Faktor Penyebab Persistensi Pengangguran Rekomendasi Kebijakan Gambar.2.2 Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian 23 2.7. Hipotesis Penelitian 1. Kekakuan upah menyebabkan mekanisme keseimbangan di pasar tenaga kerja tidak berjalan. Upah akan cenderung berada diatas upah keseimbangan sehingga pengangguran akan semakin meningkat. Kekakuan upah diduga merupakan faktor penyebab terjadinya persistensi pengangguran. 2. Proses pencarian waktu kerja yang lama akan mengakibatkan waktu tunggu yang semakin lama. Implikasinya, pengangguran semakin meningkat. Oleh karena itu, proses pencarian kerja diduga termasuk penyebab terjadinya persistensi pengangguran. 3. Faktor lain seperti regulasi, mekanisme penyesuaian dan serikat buruh akan membuat upah menjadi relatif lebih kaku dan berada diatas tingkat keseimbangan yang seharusnya. Kondisi ini akan menjadikan tingkat pengangguran semakin tinggi. Faktor lain diduga akan menjadi penyebab terjadinya persistensi pengangguran. III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang diperoleh berasal dari Badan Pusat Statisitik (BPS) dan International Center for Applied Finance and Economic (Inter-CAFE). Data sekunder diperoleh dari database Inter-CAFE (2008) yang telah melakukan survey kepada responden untuk lima Provinsi di Indonesia. Data sekunder diperoleh dari BPS digunakan untuk memberikan gambaran terjadinya paradoks antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran serta kegunaannya dalam menentukan wilayah sampel di masing-masing provinsi. Menurut (Fink, 2002), survey merupakan sistem pengumpulan informasi dari responden untuk mendeskripsikan, membandingkan dan menjelaskan tentang pengetahuan, sikap dan perilaku mereka atas respon dari pertanyaan yang diberikan. Data primer yang diperoleh dari survey digunakan untuk mencari informasi secara mendalam mengenai indikasi serta sumber penyebab dari terjadinya persistensi pengangguran. Pengumpulan data primer melalui survey dilakukan dengan cara pengisian kuisioner dan wawancara. Kuisioner yang digunakan mencakup kuisioner terbuka dan tertutup. Dalam kuisioner terbuka, peneliti memberi pertanyaan dan meminta responden menguraikan pendapat atau pendiriannya dengan panjang lebar. Sedangkan kuisioner tertutup terdiri atas pertanyaan-pertanyaan dengan sejumlah 25 jawaban tertentu sebagai pilihan dan responden memilih jawaban yang paling sesuai dengan pendirianya (Nasution, 2003). Penggunaan instrumen survey merupakan metode umum dalam pengumpulan data primer, karena keunggulannya yang praktis untuk mendapatkan keterangan yang jelas dari responden terutama untuk daerah yang memiliki kawasan yang besar. Selain itu keunggulan lainnya adalah mampu menjelaskan berbagai fenomena, memperlihatkan hubungan antar variabel serta menyediakan informasi yang mendalam (Bahlevi, 2005). Untuk meminimalkan kesalahan dalam pengumpulan data primer maka daftar kuesioner yang digunakan telah menjalani tahap uji coba dan enumerator telah memiliki pengetahuan mengenai, teknik wawancara, latar belakang dan pengetahuan ekonomi serta tujuan kegiatan penelitian. Penentuan lokasi survey didasarkan pada keterwakilan seluruh Indonesia, sehingga cakupan wilayah penelitian meliputi provinsi di kawasan barat dan timur Indonesia. Selain itu, penentuan provinsi yang menjadi daerah sampel dalam penelitian ini didasarkan pada trend tingkat pengangguran yang semakin meningkat selama tahun 1996-2006. Hal ini dapat dilihat dari gambar.3.2. Setiap provinsi kemudian akan diambil dua kota atau kabupaten. Pemilihan kota dan kabupaten tersebut didasarkan pada beberapa kriteria. Pertama, kota atau kabupaten dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita kota atau kabupaten yang nilainya mendekati PDRB per kapita untuk setiap provinsi. Kedua, kota atau kabupaten yang memiliki tingkat pengangguran tertinggi. Untuk memenuhi kriteria tersebut, maka akan dilakukan analisis deskriptif dengan 26 menggunakan data sekunder mengenai nilai PDRB dan struktur pengangguran regional. Nilai PDRB kota maupun kabupaten yang mendekati nilai PDRB Provinsi akan mencerminkan bahwa sampel dari setiap daerah dapat mewakili data ditingkat provinsi. Pembagian wilayah sample dapat dilihat pada tabel 3.1. Tabel.3.1 Wilayah Pembagian Sampel Wilayah Provinsi Riau Jawa Barat Kalimantan Barat Sulawesi Utara Nusa Tenggara Barat Wilayah Survey  Kabupaten Pelalawan  Kota Pekanbaru  Kabupaten Bogor  Kabupaten Cimahi  Kota Pontianak  Kabupaten Pontianak  Kota Manado  Kabupaten Bolaang Mongondow  Kota Mataram  Kabupaten Lombok Timur Sumber : Inter-CAFE (2008) Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.3.1. Selisih Pengangguran Provinsi Sampel dan Nasional 27 3.2. Metode Pengambilan Contoh Prosedur penarikan contoh dalam penelitian ini terdiri dari perpaduan penarikan secara quota sampling dan simple random sampling. Penarikan contoh diawali dengan teknik quota sampling kemudian dikuti oleh simple random sampling. Menurut Juanda (2008), penarikan contoh dengan teknik quota sampling adalah prosedur dimana peneliti mengklasifikasi populasi berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, kemudian menentukan proporsi atau quota sampel dari masing-masing klasifikasi tersebut. Teknik ini dipilih untuk memastikan bahwa beberapa karakteristik populasi terwakili dalam contoh yang akan terpilih. Masing-masing dari kota maupun kabupaten telah ditetapkan sesuai dengan kriteria dari nilai PDRB yang mendekati PDRB provinsi serta tingkat pengangguran yang paling tinggi. Sedangkan dalam penarikan contoh melalui simple random sampling, contoh diambil secara acak dari sampling frame yang telah ditentukan. Prosedur pemiihan contoh ini sedemikian rupa sehingga tiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk terpilih sebagai contoh. Dengan kata lain, apabila masing-masing daerah telah terpilih, maka setiap penganggur dapat dijadikan sebagai responden dalam penelitan ini. 3.3. Metode Pengolahan Data Pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan perangkat lunak Statistcal Package for the Social Sciences atau SPSS.15 dan Microsoft Excel 2007. Perangkat lunak SPSS digunakan unuk mengolah berbagai data yang telah disesuaikan dengan hasil kuisioner maupun wawancara oleh 28 enumerator. Sedangkan Microsoft Excel digunakan untuk membuat berbagai grafik maupun gambar. Pendekatan yang digunakan melalui analisis statistik deskriptif kualitatif dengan menjelaskan temuan data dan analisis kuantitatif seperti penggunaan grafik, tabel dan crosstabulation atau tabulasi silang. 3.4. Metode Analisis Data Metode statistika deskriptif digunakan untuk menggambarkan data yang telah dikumpulkan. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan metode ini sehingga dapat diperoleh gambaran karakteristik responden. Data disajikan dalam bentuk frekuensi, tabulasi tunggal maupun tabulasi silang, pengunaan grafik maupun diagram. Metode tabulasi silang merupakan metode statistika yang merangkum data dengan dua atau lebih variabel secara bersamaan. Metode ini menggunakan cara deskriptif sederhana untuk melihat apakah terdapat hubungan antara dua variabel (Vaus, 1990). Tabulasi silang biasanya biasanya menggunakan tabel yang didalamnya terdapat dua atau lebih variabel bebas dan tak bebas. Setiap sel pada tabel berisi jumlah responden yang memberikan sebuah kombinasi informasi yang lebih spesifik. Oleh karena itu, setiap sel mengandung sebuah tabulasi silang tunggal. Penggunaan metode tabulasi silang seringkali dijumpai dalam metode penelitian karena metode ini lazim untuk dijadikan sebagai pilihan dalam analisis survey ilmu-ilmu sosial. Metode ini juga mudah untuk dimengerti bagi kebanyakan orang yang memiliki keterbatasan pengertian dalam ilmu hitung. Kelebihan lain metode ini juga dapat digunakan untuk berbagai tipe jenis data 29 seperti nominal, ordinal, interval maupun rasio. Namun penggunaan metode ini lebih unggul dalam menghubungkan variabel dalam skala nominal dan ordinal. Dengan demikian, tabulasi silang dapat digunakan jika salah satu variabel bersifat kualitatif dan lainnya kuantitatif ataupun jika kedua variabel bersifat kualitatif dan sebaliknya. Tabulasi silang dapat dijadikan sebagai dasar untuk memberkan solusi dari suatu masalah dengan menampilkan kombinasi dari variabel dan menganalisis variabel bebas dan tak bebas. IV. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Responden Responden berjumlah 152 penganggur dari lima Provinsi yang terdiri dari 89 orang berjenis kelamin laki-laki dan 63 orang berjenis kelamin wanita. Berdasarkan pembagian wilayah, maka Jawa Barat menempati urutan pertama dengan jumlah responden yang mencapi 23.68 persen, Nusa Tenggara Barat 21.05 persen, tiga provinsi lainnya, yaitu Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Barat sebesar 19.74 persen dan Sulawesi Utara 19.08 persen dari total responden. Berdasarkan umur, penganggur dibagi menjadi dua kelompok yaitu penganggur muda dan penganggur dewasa. Penganggur muda merupakan penganggur yang berusia antara 15 hingga 25 tahun sedangkan penganggur dewasa merupakan penganggur yang berusia diatas 25 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan, maka penganggur terbagai menjadi dua kelompok yaitu penganggur berpendidikan tinggi, mereka yang lulus diploma atau sarjana dan penganggur tidak berpendidikan tinggi, yaitu mereka yang lulus SMA atau SMK ke bawah. Lama menganggur yang telah dijalani oleh penganggur bervariasi antara 0 – 6 bulan, 6 – 12 bulan dan lebih dari 12 bulan. Pembagian penganggur tersebut dapat dilihat gambar.4.1.-4.3. 31 Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.1. Persentase Distribusi Wilayah Sampel Provinsi Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.2. Persentase Jumlah Responden Menurut Jenis Kelamin dan Umur 32 Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.3. Persentase Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan dan Lama Menganggur 4.2. Kekakuan Upah Kekakuan upah dapat dibagi menjadi kekakuan upah nominal dan kekakuan upah riil. Mekanisme dari kedua kekakuan tersebut berbeda, namun memiliki implikasi yang sama, yaitu meningkatkan trend persistensi pengangguran. Kekakuan upah nominal berarti upah nominal tidak dapat menjadi penyeimbang permintaan dan penawaran tenaga kerja. Kekauan upah nominal terjadi ketika tingkat upah berada diatas keseimbangan sehingga terjadi peningkatan pengangguran. Sedangkan kekakuan upah riil terjadi saat kecepatan penyesuaian upah riil tidak sama dengan kecepatan penyesuaian dalam Marginal Productivity of Labor. Jika upah riil tumbuh lebih cepat dari pertumbuhan produktivitas, maka hal ini akan meningkatkan pengangguran. 33 4.2.1 Kekakuan Upah Nominal Kekakuan upah nominal bisa disebabkan oleh beberapa hal yaitu, indeksasi, pemberlakuan upah minimum, upah relatif dan upah efisiensi. Hipotesis tentang kekakuan upah nominal sebenarnya lebih tepat diuji kepada perusahaan dan pekerja. Tapi kepada para penganggur bisa ditanyakan kepada mereka sejauh mana kemauan mereka untuk menerima kenyataan bahwa perusahaan menurunkan upah nominal. Berdasarkan hasil respon dari penganggur, 55.9 persen persen diantaranya bersedia diturunkan upahnya jika perusahaan mengalami masalah dan sisanya 44.1 persen tidak bersedia (gambar.4.4). Alasan dari respon jawaban tersebut adalah, pertama penganggur merasa lebih penting mendapat pekerjaan. Kedua, pengangguran dengan data ini sangat berpotensi untuk underbidding terhadap pekerja atau insider. Untuk kasus penganggur, terlihat bahwa upah memungkinkan mengalami penurunan, walaupun tidak menjamin bila sudah bekerja, mereka konsisten dengan pernyataan untuk menerima penurunan upah tersebut. Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.4 Respon Penurunan Upah 34 Sedangkan apabila responden dibagi menjadi pendidikan tinggi dan pendidikan tidak tinggi, maka respon dari para responden menunjukan kecenderungan yang sama. Untuk mereka yang berpendidikan tinggi, sebanyak 45.5 persen menyatakan kesediaannya untuk diturunkan upahnya dan sebanyak 54.5 persen sisanya merasa enggan untuk diturunkan upahnya. Untuk penganggur berpendidikan tidak tinggi, respon yang didapatkan adalah sebanyak 58 persen menjawab kesediaannya dan sisanya menjawab tidak, jika upah mereka kelak yang didapatkan apabila menjadi pekerja diturunkan. Alasan dari respon tersebut adalah untuk mereka yang berpendidikan tinggi, mereka merasa memiliki kontribusi yang signifikan bagi perusahaan, sehingga enggan untuk bersedia diturunkan upahnya. Hal ini menandakan downward rigidty bagi penganggur berpendidikan tinggi. Sedangkan alasan bagi pendidikan yang tidak tinggi sama halnya seperti analisis sebelumnya bahwa penganggur merasa lebih penting untuk mendapatkan pekerjaaan serta mengindikasikan terjadinya underbidding terhadap insider. Underbidding berarti dalam kondisi upah yang turun, maka penganggur sebagai outsider akan cenderung mengambil posisi insider untuk dapat bekerja (gambar.4.5) 35 Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.5 Respon Penurunan Upah Berdasarkan Tingkat Pendidikan 4.2.2 Kekakuan Upah Nominal dan Indeksasi Apabila terjadi kekakuan upah nominal, sebenarnya masih ada peluang bagi pembuat kebijakan untuk mempertahankan tingkat full employment dengan cara menurunkan upah riil. Secara teori, ketika upah nominal tidak dapat diturunkan dan selama upah riil turun, maka kekakuan upah nominal dapat diatasi dengan menciptakan inflasi. Tetapi hal ini tidak mungkin terjadi jika sistem pengupahan dikaitkan dengan indeksasi. Hal ini juga mengindikasikan keterbatasan dalam penggunaan kebijakan moneter yang bersifat ekspansif dalam mengatasi pengangguran. Oleh karena itu, ditanyakan kepada penganggur jika kelak mereka bekerja, apakah yang akan mereka lakukan. Persepsi penganggur terhadap indeksasi menunjukkan bahwa 42.4 persen responden untuk para penganggur berpendidikan tidak tinggi akan segera menuntut kenaikan upah apabila telah terjadi peningkatan 36 biaya hidup (gambar.4.6). Ini mungkin disebabkan karena penganggur tidak berpendidikan tinggi kurang memahami konsep dan arti pentingnya inflasi. Sedangkan bagi para penganggur yang berpendidikan tinggi, respon yang menjawab menuntut kenaikan upah mencapai 68.8 persen. Relatif dominannya penganggur yang memasukkan faktor inflasi dalam mempersepsikan kenaikan upah menunjukkan kuatnya sinyal terjadinya indeksasi secara backward. Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.6. Persepsi Kenaikan Upah terhadap Peningkatan Biaya Hidup. Lebih jauh apabila para responden ditanya perihal bagaimana seharusnya kenaikan upah yang seharusnya diterima oleh mereka saat mereka nanti bekerja, sebanyak 48.7 persen menjawab kenaikan tersebut harus lebih tinggi dibandingkan dengan biaya hidup. Respon ini beda tipis dengan kebutuhan akan kenaikan upah 37 yang besar kenaikannya sama dengan kenaikan biaya hidup yang mencapai 48 persen (Lampiran.4) Respon yang sama terjadi bila penganggur terbagi menjadi penganggur berpendidikan tinggi dan tidak tinggi. Penganggur merasa bahwa jika terjadi kenaikan harga maka mereka menginginkan kenaikan upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan biaya hidup. Persentase yang menjawab ini mencapai 50 persen untuk para penganggur pendidikan tinggi dan 48.3 persen untuk penganggur dari kalangan tidak berpendidikan tinggi (Gambar.4.7). Alasan dari jawaban ini mungkin karena terjadinya kenaikan biaya hidup yang sangat cepat, sehingga mereka membutuhkan tambahan upah sebagai bentuk kompensasi akibat kenaikan kebutuhan tersebut. Dengan demikian kekakuan upah nominal dan indeksasi merupakan salah satu faktor penyebab tingginya tingkat pengangguran. Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.7 Output Bagaimana Seharusnya Kenaikan Upah Yang Diterima 38 4.2.3 Upah Minimum Upah minimum dari sisi penganggur sebenarnya dapat dipandang sebagai tingkat upah yang membuat kesempatan kerja bagi penganggur menjadi tertutup. Jika upah minimum lebih tinggi daripada upah keseimbangan maka kebijakan upah minimum mengakibatkan pengangguran. Oleh karena itu penting untuk menanyakan kepada penganggur tentang persepsi mereka terhadap upah minimum, yaitu tentang (i) kebijakan pengupahan, (ii) tingkat upah yang diharapkan dan (iii) kemungkinan terjadinya underbidding. Pertanyaan tentang kebijakan pengupahan merupakan pertanyaan yang bersifat normatif, yaitu tentang apakah upah minimum melindungi kepentingan penganggur ketika masuk ke dunia kerja. Dari hasil survey, hanya sekitar 2 persen saja yang menyatakan sebaiknya perusahaan memberikan tingkat upah di bawah upah minimum. Sementara, respon yang menjawab lebih tinggi dari upah minimum mencapi 54.6 persen (Gambar.4.8). Ini menunjukkan bahwa implikasi kebijakan upah minimum terhadap pengangguran tidak dimengerti secara menyeluruh oleh penganggur. Namun respon ini merupakan sesuatu yang wajar karena informasi tentang implikasi upah minimum ini tidak menjadi informasi bagi publik. Akibatnya, tidak akan ada keberatan dari penganggur terhadap kebijakan upah minimum yang sebenarnya merugikan mereka. 39 Sumber : Inter-CAFE, 2008 (diolah) Gambar.4.8 Kebijakan Pengupahan terhadap Upah Minimum Respon pertanyaan tentang besarnya tingkat upah terhadap kualifikasi penganggur berbeda menurut tingkat pendidikan (Gambar.4.9). Mayoritas penganggur berpendidikan tinggi cenderung memiliki ekspektasi untuk memperoleh upah di atas upah minimum, yaitu sebanyak 90.9 persen. Sementara itu, penganggur yang tidak berpendidikan tinggi memiliki ekspektasi yang relatif lebih rendah terhadap tingkat upah yang diinginkan yaitu sebanyak 47.9 persen. Sangat mengejutkan, sedikit sekali penganggur yang berharap mendapat upah di bawah upah minimum. Hal ini wajar karena pertanyaan ini hanya bersifat ekspektasi. 40 Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.9 Kebijakan Pengupahan terhadap Upah Minimum Berdasarkan Tingkat Pendidikan Mayoritas penganggur tidak berpendidikan tinggi yang mencapai 70.6 persen bersedia menerima upah di bawah upah minimum seandainya mereka terus menganggur dalam jangka waktu satu tahun mendatang (Gambar.4.10). Kelompok ini lebih berharap diterima kerja daripada mempermasalahkan upah. Oleh karena itu kelompok ini berpotensi melakukan underbidding terhadap para pekerja. Temuan berdasarkan Gambar.4.10 juga cukup mengejutkan. Persentase penganggur berpendidikan tinggi yang bersedia diberikan upah yang lebih rendah dari upah minimum mencapi 42.4 persen. Diduga kelompok ini merupakan kelompok yang putus asa yang bersedia mengerjakan apa saja tanpa memperhitungkan tingkat pendidikan atau keahliannya. Kelompok ini akan mendesak kelompok yang kurang 41 berpendidikan sehingga terjadi downskilling. Pihak yang paling dirugikan adalah para penganggur yang tidak punya keahlian dan pengalaman, yaitu para penganggur muda. Gambar.4.10 Kesediaan terhadap Upah di Bawah Upah Minimum Berdasarkan Tingkat Pendidikan Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.10 Kesediaan terhadap Upah di Bawah Upah Minimum Berdasarkan Tingkat Pendidikan Mayoritas responden juga menganggap bahwa acuan terpenting dalam penentuan upah seharusnya sesuai dengan upah minimum yang ditetapkan pemerintah (Gambar.4.11). Respon ini merupakan sesuatu yang wajar karena secara legal melalui penetapan Undang-Undang maupun praktis, pemerintah memiliki kewenangan dalam menentukan besaran upah melalui kebijakan upah minimum 42 Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.11 Acuan Utama Penentuan Upah 4.2.4 Upah Relatif Persaingan di dunia kerja menuntut pekerja untuk memiliki keahlian khusus yang tidak mungkin dapat tergantikan melalui rekruitmen karena membutuhkan waktu yang lama. Cara yang biasanya dapat ditempuh adalah dengan memindahkan pekerja berkeahlian khusus dari perusahaan lain. Upah relatif kemudian akan menjadi sumber kekakuan upah karena nilai dari upah ini akan menjadi opportunity cost bagi perusahaan. Responden penganggur memiliki harapan bahwa setelah bekerja nantinya mereka akan memperoleh upah yang kira-kira sama dengan upah pekerja di perusahaan sejenis. Hal ini terlihat dari respon yang mencapai 61.8 persen dan 36.8 persen mengharapkan lebih. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas penganggur menganggap tidak ada perbedaan bagi mereka untuk bekerja di sektor atau perusahaan apapun (gambar.4.12). Berdasarkan persepsi penganggur ini, upah relatif 43 tidak berlaku. Dengan demikian tidak ada bukti yang kuat bahwa upah relatif merupakan penyebab terjadinya persistensi pengangguran. Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.12 Upah yang dibayarkan Perusahaan 4.2.5 Upah Efisiensi Upah efisiensi merupakan premi upah yang diberikan secara berlebih kepada mereka yang dinilai berprestasi dan produktif dan bukan termasuk yang bersifat insidental seperti bonus. Terdapat berbagai alasan mengapa upah efisiensi itu dibutuhkan diantaranya dapat menghindari adverse selection, menghindari moral hazards serta menciptakan opportunity cost bagi para pekerja untuk keluar dari perusahaan tempat dimana mereka bekerja. Ada tidaknya upah efisiensi dari sudut penganggur, dapat diukur melalui tingkat ekspektasi penganggur terhadap masalah upah efisiensi ini. Responden ditanyakan kesediaan untuk dinilai secara rutin apabila mereka bekerja nantinya. Sebanyak 96.6 persen responden penganggur tidak berpendidikan tinggi bersedia dan 44 sisanya tidak. Bahkan untuk kalangan yang berpendidikan tinggi, semua responden menjawab kesediaannya untuk dapat dinilai kinerjanya secara rutin (Gambar.4.13). Sumber : InterCAFE (2008), diolah Gambar.4.13. Penilaian Kinerja Secara Rutin Sementara itu, responden berharap mendapatkan bonus tambahan jika mereka dinilai lebih produktif dan 39.7 persen mengingnkan penyesuaian gaji (Gambar.4.14). Melalui temuan survey ini, dapat dikatakan bahwa upah efisiensi bukan sesuatu yang umum dan bukan merupakan salah satu sumber penyebab kekakuan upah. Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.14 Bentuk Apresiasi yang Diharapkan. 45 4.3. Pencarian Pekerjaan Berdasarkan temuan sebelumnya, market clearing sebagai implikasi dari upah sebagai penyeimbang permintaan dan penawaran tenaga kerja tidak berlangsung. Hal ini terjadi karena adanya kekakuan upah. Ketidakseimbangan ini mengindikasikan juga struktur pasar tenaga kerja yang tidak sempurna, akibatnya, proses pencarian pekerjaan membutuhkan waktu yang lebih lama. Pencarian kerja yang lama ini diduga dapat mengakibatkan peningkatan trend pengangguran. Pencarian kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu mobilitas geografis, mismatch, ketidaksempurnaan informasi, friksi dan durasi serta upah reservasi. 4.3.1 Mobilitas Geografis Pengangguran muncul bukan karena pekerjaan yang tidak tersedia tetapi tersedia di tempat yang tidak diinginkan. Penganggur akan menunggu lebih lama di tempat mereka tinggal daripada mengisi lowongan di tempat lain. Hal ini berkaitan dengan aspek geografis. Untuk itu perlu ditanyakan kepada penganggur mengenai mobilitas geografis yaitu jika ada kesempatan kerja di wilayah lain, mudahkah pindah untuk bekerja diwilayah tersebut. Mayoritas responden penganggur sebanyak 72.8 persen menganggap bahwa pindah kerja ke wilayah lain adalah hal yang tidak mudah. Sedangkan sisanya sebesar 27.2 persen menyatakan mudah bila pindah kerja di wilayah lain (Gambar.4.15). Alasan atas respon tersebut adalah karena faktor dominan dari keluarga yang menyebabkan mereka enggan untuk pindah bekerja ke wilayah lain. Hal ini 46 dibuktikan dengan jumlah responden yang mencapai 56 persen menyatakan bahwa hubungan keluarga merupakan alasan utama kenapa mereka enggan bekerja di wilayah lain. Dengan kata lain, faktor non-ekonomis seperti biaya psikologis dan sosial lebih dipertimbangkan (Gambar.4.16). Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.15. Kemudahan Pindah Bekerja ke Wilayah Lain Faktor dominan lain yang mennyebabkan adanya hambatan geografis adalah karena alasan perbedaan biaya hidup, respon mencapai 17.3 persen. Alasan dari respon ini memang rasional secara ekonomi. Artinya apabila cost yang dikeluarkan lebih besar dari benefit yang didapatkan maka mereka lebih memilih untuk menganggur lebih lama daripada menanggung cost yang besar. Jadi hambatan sebenarnya bukan ketidakmauan perusahaan untuk menerima para penganggur untuk bekerja tetapi temuan ini menunjukan preferensi sosial para penganggur terhadap pekerjaan. 47 Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.16 Faktor yang Mempengaruhi Mobilitas Geografis Implikasi dari hambatan geografis pencarian kerja adalah bahwa pemerintah seharusya berupaya menjalankan program penciptaan lapangan kerja dengan membedakan karakteristik pengangguran di setiap daerah. Setiap daerah harus mampu mencitakan program penyelesaian pengangguran sendiri. Berdasarkan temuan ini, maka mobilitas geografis merupakan salah satu sumber penyebab proses pencarian kerja yang lebih lama dan mendorong peningkatan pengangguran secara terus menerus. 4.3.2 Mismatch Mismatch adalah ketidaksesuaian antara job vacancy yang tersedia dengan skill dari job seekers. Akibatnya perusahaan mengalami kesulitan mencari pekerja yang diharapkan dan pekerja juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan skill yang dimilikinya. Untuk itu perlu ditanyakan kepada penganggur alasan apa saja yang menyebabkan mereka berhenti dari perusahaan tempat dimana mereka bekerja 48 sebelumnya. Berdasarkan respon yang diberikan oleh penganggur, maka mismatch memang menjadi masalah yang mengakibatkan mereka berhenti dari pekerjaan mereka. Hal ini dibuktikan dari relatif tingginya responden yang menyatakan bahwa alasan mereka berhenti adalah karena ketidaksesuaian antara pekerjaan dan keahlian mereka, yang mencapai 31.3 persen (Lampiran.5) Respon ini menempati peringkat kedua setelah alasan berakhirnya kontrak yang menyebabkan mereka berhenti dari pekerjaan sebelumnya. Selain itu, untuk mengukur terjadinya mismatch, maka perlu ditanyakan pula apakah mereka mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan maupun pengalaman kerja sebelumnya. Hasilnya 86 persen menyatakan bahwa mereka merasakan kesulitan dalam mencari pekerja (Gambar.4.17). Hal ini menunjukkan besarnya potensi mismatch yang membuat waktu untuk mencari pekerjaan yang sesuai cukup panjang sehingga tingkat pengangguran cenderung semakin tinggi. Ketidaksesuaian ini terjadi karena tingkat pendidikan sekolah umum tidak mampu menyediakan keahlian yang dibutuhkan perusahaan. Hal ini juga terbukti dengan tingginya tingkat pengangguran yang berasal dari mereka yang berlatar belakang pendidikan umum dibandingkan dengan mereka yang menempuh sekolah kejuruan. Sekolah umum yang tidak menyediakan keahlian spesifik bagi perusahaan juga merupakan salah satu alasan terjadinya missmatch. Implikasi penting dari temuan ini adalah diperlukan sebuah perubahan dalam sistem pendidikan nasional yang berbasis pada keahlian. Namun proses ini 49 membutuhkan waktu yang cukup lama karena memerlukan penyediaan infrastruktur dan tenaga pengajar yang profesional. Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.17 Ketidaksesuaian Pekerjaan dengan Kualifikasi. 4.3.3 Informasi Lowongan Pekerjaan Salah satu cara mengatasi mismatch adalah dengan membuka akses informasi mengenai vacancy job sehingga para pencari kerja mengetahui di mana saja ada lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya. Hambatan informasi diduga bagi mereka yang berpendidikan rendah atau tidak tinggi. Oleh karena itu perlu dipertanyakan perihal kemudahan untuk mendapatkan akses informasi lowongan pekerjaan. Penganggur merasa kesulitan untuk mendapatkan informasi lowongan pekerjaan. Hal ini dibuktikan dengan 50.7 persen penganggur yang menjawab ketidakmudahan dalam mendapat informasi lowongan kerja (lampiran.6). Khusus bagi penganggur yang berpendidikan tinggi, ada 72.7 persen yang menyatakan mudah mendapatkan informasi pekerjaan sedangkan penganggur yang tidak berpendidikan 50 tinggi, ada 57.1 persen menganggap sulit untuk mendapat informasi lowongan pekerjaan (Gambar.4.18). Hal ini terjadi karena pada umumnya mereka mendapatkan informasi seputar lowongan pekerjaan melalui rekan kerja di perusahaan lain, sehingga memudahkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.18 Kemudahan Mencari Informasi Lowongan Pekerjaan Sementara itu terkait dengan sumber informasi lowongan pekerjaan, 48.5 persen responden penganggur berpendidikan tinggi menjadikan surat kabar atau majalah sebagai sumber utama mencari informasi lapangan pekerjaan sedangkan 65.5 persen penganggur tidak berpendidikan tinggi mengandalkan kontak dengan teman atau keluarga sebagai referensi utama. Hal ini terjadi mungkin karena penganggur yang tidak berpendidikan tinggi jarang membaca koran atau memang karena lowongan untuk mereka yang tidak berpendidikan tinggi jarang tersedia. Kemudian sebanyak 24.2 persen untuk responden penganggur berpendidikan tingi menyatakan 51 bahwa internet menjadi salah satu cara untuk mendapatkan informasi seputar lowongan pekerjaan. (Gambar.4.19-4.20) Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.19. Sumber Informasi Lowongan Pekerjaan Gambar.4.20. Sumber Informasi Lowongan Pekerjaan Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.20. Sumber Informasi Lowongan Pekerjaan 52 Persepsi penganggur juga kemudian diuji terkait dengan informasi pekerjaan dibanding dengan setahun yang lalu. Penganggur merasa bahwa tidak ada perubahan dalam mendapatkan informasi lowongan pekerjaan. Sebanyak 57.6 persen dari responden penganggur berpendidikan tinggi merasakan hal yang sama. Temuan yang sama ditunjukan bahwa hampir 40 persen penganggur berpendidikan tidak tinggi merasakan ketidakmudahan dalam mendapatkan informasi lowongan kerja dibandingkan dengan setahun yang lalu (Gambar.4.21) Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.21 Kemudahan Dalam Mendapatkan Infromasi Setahun Lalu Alasan dari respon ini mungkin karena apa yang ditampilkan dalam surat kabar atau majalah tidak mampu memenuhi kebutuhan akan lapangan kerja yang dibutuhkan. Bahkan, kantor Dinas Tenaga Kerja setempat hampir tidak dijadikan sebagai sumber informasi pekerjaan (gambar.4.19-4.20). Temuan ini menandakan bahwa kemungkinan besar informasi yang disediakan oleh Dinas Tenaga Kerja 53 sangat terbatas bila dibandingkan dengan sumber lainnya seperti melalui media masa dan jasa penyedia lapangan kerja. Dengan demikian, sulitnya informasi mendapatkan pekerjaan merupakan salah satu penyebab pencarian kerja yang lama. Hal ini tentunya akan membuat pengangguran semakin meningkat. 4.3.4 Pengangguran Friksional dan Durasi Pengangguran tercipta bukan hanya karena kegagalan penyesuaian tingkat upah tetapi juga bergantung pada waktu yang dibutuhkan para penganggur untuk menemukan pekerjaan. Waktu tunggu untuk memperoleh pekerjaan yang bertambah panjang akan meningkatkan pengangguran. Hal ini dikarenakan setiap saat ada angkatan kerja baru yang masuk pasar tenaga kerja. Untuk menjadikan tingkat pengangguran tetap, waktu tunggu untuk memperoleh pekerjaan seharusnya seimbang dengan laju masuknya angkatan kerja baru. Jika waktu tunggu bertambah dan angkatan kerja baru juga bertambah maka pengangguran akan bertambah. Pengangguran friksional merujuk pada pengangguran yang terjadi akibat adanya waktu tunggu yang dibutuhkan untuk menemukan pekerjaan yang baru. Meningkatnya pengangguran friksional ditandai dengan semakin sulit untuk melakukan perpindahan pekerjaan. Oleh karena itu, perlu ditanyakan, apabila ingin memperoleh pekerjaan, bersediakah bekerja di sektor lain yang tidak sesuai dengan kompetensi mereka. Respon survei menunjukkan 80.8 persen responden menjawab ya (Gambar.4.22). Alasannya, bagi penganggur sebenarnya tidak ada masalah bekerja di 54 mana saja, tetapi penghalangnya ada di perusahaan, di mana mereka memiliki permintaan tenaga kerja yang spesifik, yaitu lebih memilih yang siap pakai dan mempunyai pengalaman kerja. Hal ini menunjukan indikasi kuat terjadinya friksi dalam mendapatkan pekerjaan. Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.22 Kesediaan Bekerja di Sektor yang Berbeda. Dalam survei ditanyakan faktor-faktor yang menyebabkan dibutuhkannya waktu tunggu yang relatif lama. Ternyata 48 persen responden menyatakan terbatasnya lapangan pekerjaan sebagai penyebab waktu tunggu yang lama. Sedangkan 15.8 persen dan 13.8 persen berturut-turut menjawab karena pengalaman kerja yang tidak dipenuhi dan ketidaksesuaian antara keahlian dan lapangan kerja (Gambar.4.23). Alasan yang mungkin dari respon ini adalah kinerja sektor riil, dalam hal ini sektor industi yang rendah, walaupun sebenarnya sektor ini merupakan sektor penyumbang terbesar dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Penurunan kinerja pada sektor industri ini berdampak pada rendahnya penyerapan tenaga kerja. Selain 55 itu, hal ini merupakan akibat dari perkembangan investasi yang rendah sehingga mengakibatkan terbatasnya lapangan pekerjaan. Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.23 Faktor-faktor Penyebab Waktu Tunggu yang Lama Berkaitan dengan durasi atau waktu tunggu bagi penganggur, maka ditanyakan berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapan mereka. Berdasarkan temuan yang didapatkan, waktu tunggu atau durasi bagi penganggur untuk mendapatkan pekerjaan yang diharapkan terbagi hampir seimbang antara yang berdurasi kurang dari 3 bulan, yaitu 45.6 persen, dan yang sulit menentukan durasi, yaitu 43.6 persen (Gambar.4.24). Alasan dari respon ini adalah bahwa penganggur akan cenderung untuk down skilling sehingga durasi yang dibutuhkan lebih cepat walaupun mendapatkan pekerjaan yang seharusnya tidak sesuai dengan keahlian maupun pendidikannya. Sedangkan yang menjawab tidak yakin atau susah menunjukan keputusasaan dalam mencari pekerjaan, sehingga membutuhkan durasi yang lama. 56 Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.24 Durasi Mendapatkan Pekerjaan 4.3.5 Upah Reservasi Upah reservasi (reservation wage) merujuk pada upah paling rendah sehingga penganggur memutuskan mau bekerja. Jika upah reservasi tinggi maka makin sulit bagi penganggur untuk mendapatkan pekerjaan sehingga waktu tunggu atau durasi menjadi panjang. Ini berimplikasi pada peningkatan pengangguran. Biasanya penetapan upah reservasi yang tinggi dilakukan oleh orang-orang yang mendapatkan jaminan pengangguran seperti pesangon maupun dukungan keluarga sehingga mereka cenderung untuk memilih pekerjaan dan upah yang didapatkannya Umumnya upah reservasi akan turun dengan berjalannya waktu. Semakin lama menganggur, upah reservasi akan menurun. Hal ini dikarenakan : (1) menganggur menyebabkan biaya, seperti biaya makan, biaya mencari informasi pekerjaan, biaya fotokopi maupun biaya tes (2) kesempatan bekerja bagi mereka yang menganggur lebih lama makin terbatas karena perusahaan memandang mereka 57 kurang produktif. Persentase penurunan upah reservasi terhadap upah minimum diperlihatkan dalam (Gambar.4.25) Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.25 Persentase Penurunan Upah Reservasi terhadap Upah Yang Diharapkan Data survei menunjukkan bahwa penganggur berpendidikan tinggi menetapkan upah reservasi yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak berpendidikan tinggi. Hal ini wajar karena penganggur yang berpendidikan tinggi memiliki kompetensi dan kemampuan yang lebih baik. Upah reservasi yang tinggi menandakan bahwa mereka merupakan kelompok penganggur yang mampu membiayai masa menganggurnya. Tabel.4.1 Rataan Upah Reservasi Penganggur Rataan (Rp) Berpendidikan tinggi 1.839.394 Tidak berpendidikan tinggi 1.091.555 Sumber : InterCAFE (2008), diolah 58 Temuan lain juga cukup mengejutkan, sebanyak 62.5 persen penganggur bersedia menurunkan upah reservasinya untuk menerima tawaran kerja setelah satu bulan menganggur. Sementara itu ada 68.42 persen penganggur yang ingin menurunkan upah reservasinya meskipun jika sudah satu tahun menganggur. Ada kemungkinan mereka adalah para penganggur malas yang hanya mengharapkan dukungan finansial dari keluarganya (tabel.4.26) Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Tabel.4.26 Persentase Jumlah Penganggur Untuk Upah Reservasi 4.4. Faktor Lain Berdasarkan pembahasan sebelumnya, kekakuan upah dan proses pencarian pekerjaan merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya persistensi pengangguran. Selain faktor tersebut, terdapat faktor lain yang diduga mengakibatkan terjadinya kekakuan upah dan pencarian kerja dalam waktu yang bersamaan. Faktor tersebut diantaranya berkaitan dengan regulasi, mekanisme penyesuaian, mediasi pemerintah dan serikat buruh. 59 4.4.1 Regulasi Peraturan atau regulasi memiliki peranan yang penting dalam mendorong laju perekonomian suatu negara. Namun terdapat berbagai regulasi yang diduga berpengaruh terhadap penganggguran. Beberapa regulasi yang berimplikasi langsung dengan masalah pengangguran adalah hak atas pesangon, proteksi pekerja, dan tenaga kerja asing. 4.4.1.1 Hak atas Pesangon Penganggur yang memperoleh pesangon yang besar cenderung menetapkan upah reservasi yang tinggi karena mereka lebih memilih untuk menikmati pesangon tersebut daripada mencari pekerjaan baru. Tingginya upah reservasi ini akan menyebabkan durasi atau waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan baru menjadi semakin panjang. Untuk itu perlu ditanyakan apakah Undang-Undang yang mengatur hak pesangon telah atau kurang memadai. Berdasarkan temuan pada Gambar.4.27, hak atas pesangon yang telah diatur melalui undang-undang dipersepsikan oleh penganggur telah memadai untuk melindungi hak pekerja, dengan persentase 73 persen. Angka ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan jawaban kurang memadai yang mencapai 27 persen. Pada prinsipnya pemberian pesangon akan berdampak pada upah reservasi. Upah reservasi semakin tinggi mengakibatkan waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan menjadi lebih lama. Jika ini terjadi terus menerus, maka trend 60 pengangguran semakin meningkat. Berdasarkan temuan ini maka pesanggon dapat dikatakan sebagai salah satu sumber terjadinya persistensi pengangguran. Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.27 Manfaat Pesangon. 4.4.1.2 Upah di Masa Skorsing Bentuk regulasi lainnya adalah mengenai pemberian upah sewaktu diberhentikan sementara atau skorsing. Upah semasa skorsing ini diduga akan mengakibatkan moral hazard. Untuk itu perlu ditanyakan bagaimana pendapat para responden berkaitan dengan pemberlakukan Undang-undang yang menyatakan bahwa pekerja akan mendapatkan upah ketika diberhentikan sementara atau upah skorsing. Berdasarkan temuan survey, mayoritas penganggur yang mencapai hampir 80 persen mempunyai persepsi bahwa peraturan upah skorsing tersebut memang seharusnya untuk dilakukan. Sedangkan yang menjawab terlalu memberatkan perusahaan 16 persen (Gambar.4.28). Data ini menunjukan bahwa dalam dunia kerja rentan terhadap moral hazard, yaitu ketika sebagian pekerja lebih memilih melakukan pelanggaran agar perusahaan memberikan upah skorsing sehingga pekerja 61 mendapatkan keuntungan dari apa yang telah dilakukannya. Hal ini tentu saja akan menambah pengangguran. Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.28 Upah di Masa Skorsing 4.4.1.3 Perlindungan Pekerja Berkaitan dengan proteksi, dilakukan uji persepsi terhadap pelarangan digunakanya anak-anak yang berusia kurang dari 18 tahun sebagai pekerja. Uji ini dilakukan untuk mengetahui potensi pengangguran yang terjadi sebagai implikasi dari penggunaan tenaga kerja anak-anak. Pekerjan yang seharusnya dikerjakan oleh para pekerja namun ternyata dikerjakan oleh anak-anak. Penganggur yang muncul karena penggunaan tenaga kerja anak-anak akhirnya akan semakin meningkat. Hasil survei menunjukan bahwa kebanyakan penganggur yang hampir mencapai 71.7 persen menyatakan setuju untuk tidak mempekerjakan anak-anak di bawah umur 18 tahun dan sebanyak 28.3 persen menyatakan tidak setuju (Gambar.4.29). Alasan dari persetujuan anak-anak sebagai pekerja karena mereka 62 menyadari bahwa penyebab dari digunakannya anak kecil adalah keadaan yang mendesak di mana anak-anak tersebut harus membantu meringankan beban keluarga mereka dan menganggap mereka bukan saingan dalam mencari pekerjaan. Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.29 Output Pelarangan Anak Sebagai Pekerja Hasil respon yang sama juga diperlihatkan melalui penganggur yang berpendidikan tinggi yang menyatakan bahwa 89.7 persen menyatakan penolakan mereka terhadap penggunaan anak sebagai tenaga kerja, sedangkan sisanya membolehkan anak-anak untuk dapat bekerja (Gambar.4.30). Alasan yang mungkin dari respon seperi ini adalah seharusnya anak-anak tersebut masih harus menimba ilmu di bangku sekolah dan diharapkan maampu menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. 63 Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.30 Output Pelarangan Anak Sebagai Pekerja Berdasarkan Tingkat Pendidikan 4.4.2. Mekanisme Penyesuaian Keberadaan tenaga kerja asing di Indonesia menyebabkan tingkat persaingan kerja semakin tinggi. Untuk mendapatkan jenis pekerjaan tertentu harus memiliki keahlian dan kompetensi yang menunjang, sesuatu yang lazim dimiliki tenaga kerja asing. Selain itu faktor penguasaan bahasa asing juga sangat berpengaruh terhadap kinerja seseorang di perusahaan. Berkaitan dengan hal tersebut dilakukan uji persepsi terhadap penganggur tentang kesempatan kerja apabila tenaga kerja asing memasuki pasar tenaga kerja. Berdasarkan pertanyaan tersebut, 68 persen responden menyatakan bahwa kehadiran tenaga kerja asing akan mempengaruhi kesempatan kerja sedangkan sisanya meyatakan tidak berpengaruh (Gambar.4.31) 64 Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.31 Pengaruh Keberadaan Tenaga Kerja Asing Hasil ini menunjukkan adanya potensi downskilling di mana penganggur bersedia menerima pekerjaan dengan kualifikasi yang sebenarnya tidak sesuai denga tingkat pendidikan yang dimilikinya. Dalam situasi pengangguran yang tinggi, kondisi ini akan mendesak kesempatan kerja yang sebenarnya dimiliki pekerja dengan kualifikasi lebih rendah. Hal ini merupakan bukti bahwa unskilled employment rate relatif lebih tinggi daripada skilled employment. 4.4.3. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia sangat berkaitan dengan lama waktu menganggur atau durasi. Semakin lama menganggur seseorang akan semakin kehilangan keahliannya, atau dengan kata lain terjadi depresiasi pada sumber daya manusia, sehingga makin sulit menemukan pekerjaan. Untuk itulah perlu ditanyakan berapa lama lagi kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan yang diharapkan oleh para penganggur. 65 Berdasarkan respon jawaban yang diberikan oleh penganggur pendidikan tinggi, sebanyak 48.5 persen menjawab tidak yakin atau susah sedangkan sisanya terbagi yang terdiri dari 33.3 persen untuk jangka waktu kurang dari 3 bulan. Sedangkan bagi pendidikan tidak tinggi, sebanyak 49.1 persen mereka membutuhkan waktu untuk kurang dari 3 bulan, kemudian diikuti oleh respon yang menjawab tidak yakin atau susah sebanyak 42.2 persen (Gambar.4.32). Alasan yang mungkin mendasari jawaban tersebut adalah bahwa para penganggur memang merasakan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang sama di tengah ketatnya persaingan yang ada atau mereka yang menjawab kurang dari 3 bulan mengindikasikan downskilling, dimana mereka lebih memilih untuk mendapatkan pekerjaan apa saja tanpa mempertimbangkan pendidikan maupun kemampuan mereka. Artinya, mereka tidak selektif dalam proses mendapatkan pekerjaan yang hendak mereka dapatkan. Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.32 Waktu Yang dibutuhkan Untuk Mendapatkan Pekerjaan 66 4.4.4. Mediasi Pemerintah Salah satu fungsi pemerintah adalah memberikan mediasi kepada masyarakat. Hak pekerja merupakan isu sensitif yang banyak memicu permasalahan. Pentingnya mengukur mediasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi tuntutan para penganggur dapat dijadikan sebagai indikasi apakah pemerintah merupakan problem solver yang tepat. Penganggur diberikan pertanyaan apakah yang akan mereka lakukan bila tuntutan kenaikan upah yang telah diindeksasi tidak dikabulkan oleh perusahaan dimana mereka nanti bekerja. Persepsi penganggur menunjukkan bahwa hanya 25.5 persen penganggur yang menganggap mediasi pemerintah sebagai jalan terbaik apabila tuntutan kenaikan upah tidak dikabulkan oleh perusahaan. Respon penganggur ini menunjukkan bahwa pemerintah bukan problem solver yang dapat diandalkan untuk menyelesaikan masalah. Mayoritas penganggur lebih memilih menerima saja keputusan penolakan tersebut. Hal ini dapat dimaklumi karena prioritas utama para penganggur adalah mendapatkan pekerjaan dan bukan pada besarnya upah yang akan diterimanya. Sumber : InterCAFE (2008), diolah Gambar.4.33 Respon terhadap Penolakan Tuntutan Kenaikan Upah. 67 4.4.5. Serikat Pekerja 4.4.5.1. Collective Bargaining Dalam teori pasar tenaga kerja klasik, diasumsikan ada banyak perusahaan dan banyak tenaga kerja yang saling bebas melakukan tawar-menawar. Tetapi pada kenyataannya, perusahaan memiliki kekuatan monopsoni karena memiliki kekuasaan untuk menentukan siapa saja yang boleh dan tidak boleh bekerja. Hal ini menyebabkan tenaga kerja berada pada posisi yang lemah. Oleh karena itu dibentuk serikat pekerja. Keberadaan serikat pekerja ini dapat mendorong upah ke atas karena pada prinsipnya serikat pekerja menggabungkan kekuatan buruh menjadi satu kesatuan sehingga memiliki posisi tawar menawar sebagai monopoli jasa penyedia tenaga kerja di suatu perusahaan. Dalam survei diuji pertanyaan-pertanyaan kepada para penganggur yang pernah menjadi anggota serikat pekerja yaitu apakah serikat pekerja dapat secara efektif memperjuangkan kenaikan upah dan apakah dengan keberadaan serikat pekerja dapat secara efektif mencegah terjadinya PHK massal. Mayoritas penganggur berpendapat bahwa serikat buruh dapat secara efektif memperjuangkan kenaikan upah (Gambar.4.34) Ini berarti bahwa keberadaan serikat pekerja dinilai penganggur memiliki bargaining position yang cukup kuat dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Namun respon ini cukup mengherankan, karena seharusnya mereka memiliki sifat yang antipati terhadap manfaat dari serikat 68 pekerja, karena serikat pekerja memiliki peran dalam mempersulit posisi para pencari kerja. Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah Gambar.4.34 Efektivitas Serikat Pekerja Untuk Kenaikan Upah 4.4.5.2. Insider-outsider Karena tingkat pengangguran yang tinggi, penganggur (outsider) cenderung bersedia menerima upah yang lebih rendah daripada upah yang diterima mereka yang sudah bekerja (insider) sehingga terjadi konflik kepentingan dalam memperebutkan pekerjaan. Oleh karena itu penganggur diberikan pertanyaan jika serikat pekerja melakukan demo menuntut kenaikan upah dan mereka dalam posisi menganggur, maukah menerima upah lebih rendah supaya diterima bekerja. Berdasarkan respon yang didapatkan, 83.3 persen penganggur yang pernah menjadi anggota serikat pekerja tidak bersedia menerima upah lebih rendah. Penurunan upah yang terjadi ternyata tidak diinginkan oleh para penganggur sebagai outsider. Alasan dari respon ini adalah bahwa tidak adil secara sosial bagi mereka jika upah yang mereka dapatkan harus diturunkan. Selain itu respon ini karena minimnya ketersediaan data, apabila tanpa memperhatikan riwayat keanggotaan 69 erikat pekerja, maka hampir 64 persen bersedia untuk diturunkan upahnya jika dalam keadaan menganggur dalam waktu satu tahun mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa teori tentang insider-outsider tidak sepenuhnya berlaku di Indonesia (Gambar.4.35). Sumber : InterCAFE (2008), diolah Gambar.4.35. Kesediaan Menerima Upah Lebih Rendah Untuk Bekerja 4.4.5.3. Militansi Salah satu indikator yang dapat diukur untuk menentukan militansi dari serikat pekerja yaitu melalui aktivitas demonstrasi yang semakin meningkat. Demonstrasi biasanya berkaitan dengan respon kebijakan yang dinilai tidak adil bagi mereka, termasuk kebijakan penurunan upah. Untuk itu perlu diuji bagaimana reaksi penganggur apabila mereka sudah bekerja kemudian upah mereka diturunkan. Pertanyaan ini penting untuk mengetahui seberapa besar pengaruh atau militansi serikat pekerja dalam memperjuangkan tuntutan mereka. Berdasarkan respon yang diperlihatkan pada (Gambar.4.36), sebanyak 55.4 persen menjawab negosiasi atau demonstrasi dan 29.2 persen menjawab akan keluar 70 dari pekerjaan. Alasannya adalah bahwa penganggur menganggap tidak adil secara sosial bagi mereka apabila perusahaan menurunkan upah mereka. Oleh karena itu, penganggur akan bereaksi secara negatif terhadap penurunan upah tersebut dalam bentuk demonstrasi yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas para pekerja. Apalagi biasanya gain yang didapatkan perusahaan akibat menurunkan lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk demonstrasi. Dapat dikatakan bahwa serikat pekerja memiliki tingkat militansi yang cukup berpengaruh terhadap tempat dimana mereka bekerja. Temuan survey ini juga menunjukan bahwa militansi merupakan penyebab persistensi pengangguran. Sumber : InterCAFE (2008), diolah Gambar.4.36 Output Respon Penganggur Terhadap Penurunan Upah V. KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil yang didapatkan maka secara umum dapat disimpulkan bahwa persistensi penganggguran terjadi karena kekakuan upah, pencarian kerja yang lama serta faktor lainnya terkait dengan regulasi di bidang ketenagakerjaan. Kekakuan upah sering dipandang sebagai salah satu penyebab utama tingkat pengangguran secara berkepanjangan. Berkaitan dengan hal tersebut maka upah bersifat downward rigidity, yaitu mudah mengalami kenaikan tetapi sulit untuk turun, terutama bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Hasil survey mengindikasikan bahwa biaya penurunan upah akan dimanifestasikan melalui demonstrasi dan kehilangan pekerja yang produktif. Implikasi ini mungkin tidak sebanding dengan manfaat yang didapatkan dari penurunan upah. Selain itu, kekakuan upah terjadi karena pemberlakuan upah minimum. Melalui kebijakan ini, maka perusahaan harus menetapkan upah diatas floor wage. Penetapan ini memang diatur oleh pemerintah secara legal maupun praktis. Hal ini sebenarnya akan membuat kesempatan bekerja bagi mereka akan tertutup. Respon seperti ini yang juga terjadi pada penganggur berkaitan dengan pengaruh serikat pekerja. Seharusnya mereka antipati terhadap efektivitas serikat pekerja dalam memeperjuangkan kenaikan upah. Respon yang didapatkan sebaliknya, padahal serikat pekerja memiliki kontribusi dalam mempersulit posisi pencari kerja. Kekakuan upah akan menjadi kompleks ketika upah minimum diindeksasi dengan inflasi. Berdasarkan hasil survey ditemukan bahwa upah minimum 72 disesuaikan dengan inflasi secara forward maupun backward. Penyesuaian upah minimum pada kondisi seperti ini lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi. Implikasi dari temuan ini yaitu, kemungkinan kebijakan moneter ekspansif dalam mengatasi pengangguran tidak akan berjalan efektif karena akan dikompensasi secara backward maupun forward yang terlalu berlebihan. Pada akhirnya, kebijakan tersebut tidak akan mampu mengatasi pengangguran, yang terjadi adalah inflasi yang persisten. Upah relatif dan upah efisiensi dalam penelitian ini bukan merupakan fenomena yang umum. Temuan survey menyatakan bahwa tidak ada bukti yang kuat bahwa upah relatif dan upah efisiensi menjadi penyebab kekakuan upah nominal. Alasannya adalah dalam kondisi pengangguran yang meningkat, maka perusahaan tidak saling bersaing untuk memberikan upah yang kompetitif dalam mencari tenaga kerja. Hal ini juga didukung oleh respon penganggur yang bisa memperoleh pekerjaan dalam waktu kurang dari satu bulan. Penyebab persistensi pengangguran lainnya karena waktu untuk pencarian kerja semakin lama. Pencarian kerja sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu friksi, mismatch, ketidaksempurnaan informasi, hambatan geografis, durasi dan upah reservasi. Semua faktor diatas akan mengakibatkan waktu pencarian kerja yang lama, sehingga persistensi pengangguran akan semakin sulit untuk dipecahkan. Pengangguran friksional muncul saat seorang tenaga kerja melakukan perpindahan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dan harus menunggu dengan jangka waktu tertentu. Meningkatnya penganggur friksional biasanya ditandai 73 dengan semakin sulitnya melakukan perpindahan pekerjaan. Kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai dengan klasifikasi juga dirasakan oleh penganggur. Secara umum para penganggur tidak memiliki kualifikasi yang sesuai dengan lowongan pekerjaan yang tersedia. Fenomena ini dikenal sebagai missmatch. Kemungkinan besar, missmatch merupakan ketidaksesuaian sistem pendidikan yang lebih banyak di Sekolah Menengah Umum dengan perubahan struktur perekonomian. Peningkatan pengangguran terjadi bukan hanya ketidaktersediaan lapangan kerja, namun juga karena hambatan informasi dan hambatan geografis. Hambatan informasi terutma bagi mereka yang berpendidikan rendah. Mereka tidak mampu mendapatkan informasi melalui media masa, dan ini terjadi karena masalah daya beli yang rendah. Selain itu, informasi lowongan pekerjaan yang tertera diiklan media masa bagi penganggur berpendidikan rendah sangat minim. Temuan lain yang sangat mengejutkan adalah dinas ketenagakerjaan bukan merupakan sumber utama dalam mencari informasi lowongan pekerjaan. Kemungkinan besar informasi yang didapatkan dari dinas tenaga kerja relatif terbatas jika dibandingkan dengan media masa ataupun jasa penyedia tenaga kerja. Faktor lainnya yang menjadi penghambat dalam pencarian kerja karena faktor geografis. Alasan utama untuk tidak bekerja ditempat lain walaupun tersedia ternyata bukan karena faktor ekonomis, namun karena faktor psikologis atau keluarga dan perbedaan budaya. Implikasi dari hambatan geografis adalah tidak cukup bila pemerintah berupaya menciptakan lapangan kerja tanpa membedakan karakteristik pengangguran disetiap daerah. 74 Faktor terakhir yang mungkin paling penting dalam mempengaruhi lamanya pencarian kerja adalah upah reservasi. Semakin tinggi upah yang diiingnkan oleh penganggur, semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan dan durasi untuk mencari pekerjaan yang sesuai akan semakin lama. Temuan yang didapatkan juga konsisten dengan teori bahwa semakin lama menganggur, upah reservasi semakin rendah. Hampir bisa dipastikan bahwa upah reservasi akan selalu dipengaruhi oleh preferensi dan ekspektasi penganggur. Penganggur yang memiliki upah reservasi lebih tinggi adalah mereka yang bisa membiayai masa menganggurnya. Selain faktor-faktor di atas, terdapat hal-hal lain yang secara bersamaan dapat mempengaruhi kekakuan upah dan pencarian kerja. Faktor-faktor tersebut meliputi regulasi, mekanisme penyesuaian, mediasi pemerintah dan serikat pekerja. Aspek regulasi yang paling terlihat pengaruhnya adalah aturan mengenai pesangon, upah skorsing dan keberadaan tenaga asing yang menyebabkan tingginya tingkat pengangguran. Dalam survey didapatkan bahwa persepsi mengenai aturan mengenai pesanggon dan upah skorsing telah memadai dan memang seharusnya begitu. Peraturan secara potensial akan mengakibatkan upah reservasi yang tinggi dan akan memperparah tingkat pengangguran. Semakin sulitnya mencari pekerjaan, maka penyesuaian yang biasanya dilakukan oleh penganggur adalah melalui downskilling. Penganggur seperti ini akan bersedia dipekerjakan diposisi dengan persyaratan pendidikan dan pengalaman yang lebih rendah. Selain itu, mediasi pemerintah yang dipersepsikan bukan sebagai problem solver karena biaya tinggi serta depresiasi pada kualitas 75 sumber daya manusia turut andil dalam menyebabkan terjadinya persistensi pengangguran. Depresiasi akan berakibat pada tingginya durasi dan perusahaan akan menganggap mereka pihak yang tidak produktif. Teori insider-outsider tampaknya tidak berlaku di Indonesia, karena ternyata mereka tidak ingin diturunkan upahnya terutama bagi penganggur berpendidikan tinggi. 5.2. Saran Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah terutama bagi Bank Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional maupun Dinas Tenaga Kerja serta instansi lainnya untuk bersama mengatasi pengangguran dengan berbagai rekomendasi kebijakan, yaitu : Pertama, penggunaan indikator makro melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diyakini mampu mengurangi pengangguran ternyata masih belum dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan kebijakan. Oleh karena itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi saja belum cukup untuk mengatasi pengangguran yang persisten. Kedua, pemerintah tampaknya tidak bisa mengandalkan mekanisme pasar secara murni untuk mengatasi pengangguran. Harus ada hands on strategy yang didesain secara khusus untuk mengembalikan tingkat pengangguran ke arah kesetimbangan jangka panjang. Ketiga, fokus kebijakan moneter yang relevan untuk mengatasi kekakuan upah nominal ini adalah melalui inflation targeting. Hal ini didasarkan pada temuan bahwa kebijakan moneter yang bersifat ekspansif tidak mampu mengatasi pengangguran. Kebijakan inflation targeting dengan sasaran inflasi jangka 76 panjang yang lebih rendah akan menjadi lebih relevan untuk dilakukan oleh Bank Indonesia. Keempat, pemerintah perlu melakukan inisiatif khusus untuk memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi dengan cara mendorong sebagian sektor manufaktur dan jasa yang bersifat padat tenaga kerja.. Kelima, untuk memperkecil terjadinya mismatch, maka diperlukan perubahan yang mendasar dalam sistem pendidikan nasional menuju sistem yang berbasis pada keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Pendidikan kejuruan harus lebih dikembangkan sebagai bentuk manifestasi akan persaingan dunia tenaga kerja yang semakin ketat. Keenam, implikasi dari hambatan geografis dalam pencarian kerja adalah bahwa tidak cukup bila pemerintah berupaya menjalankan program penciptaaan lapangan kerja yang generik tanpa membedakan karakteristik pengangguran antar daerah. Oleh karena itu pemerintah harus mampu membedakan karakteristik pengangguran yang berbeda untuk setiap daerah. Penulis mengharapkan untuk dilakukan penelitian lainnya seputar masalah pengangguran untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif. Masingmasing faktor dalam setiap bagian dari kekakuan upah, pencarian kerja serta factor lainnya dari skripsi ini agar dapat diteliti lebih lanjut secara menyendiri. 81 LAMPIRAN 1. Data Pengangguran Tahun 1996-2006 (dalam Persen) Provinsi 11. Nangroe Aceh Darussalam 12. Sumatera Utara 13. Sumatera Barat 14. Riau 15. Jambi 16. Sumatera Selatan 17. Bengkulu 18. Lampung 19. Kep. Bangka Belitung 20. Kepulauan Riau 31. DKI Jakarta 32. Jawa Barat 33. Jawa Tengah 34. DI Yogyakarta 35. Jawa Timur 36. Banten 51. Bali 52. Nusa Tenggara Barat 53. Nusa Tenggara Timur 61. Kalimantan Barat 62. Kalimantan Tengah 63. Kalimantan 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 6.47 6.32 4.72 5.94 3.80 4.02 3.38 4.22 5.24 5.19 4.54 5.91 4.06 4.12 3.42 3.44 6.21 7.06 5.11 5.76 2.59 2.44 1.97 4.28 7.56 7.67 5.88 7.62 3.47 5.03 3.39 4.58 4.80 8.52 4.38 5.93 3.68 5.73 3.25 5.24 7.71 9.09 8.74 6.43 5.61 6.32 6.01 6.39 9.34 10.30 9.62 9.57 5.78 8.14 6.45 8.32 8.97 11.02 10.38 10.74 6.50 9.08 7.48 9.14 9.35 11.08 12.74 15.25 6.04 8.37 6.29 7.38 12.50 10.98 11.50 13.91 8.59 8.56 6.15 6.85 12.08 14.82 12.93 11.46 7.77 12.10 6.91 9.76 na na 9.41 6.71 3.69 4.07 3.47 na 2.66 na na 10.94 6.42 3.86 4.04 3.31 na 2.59 na na 12.32 7.69 5.07 3.72 4.10 na 3.09 na na 15.01 9.83 4.35 3.74 4.95 na 2.49 na na 12.08 8.99 4.86 3.45 4.39 na 2.96 7.08 na 15.07 11.77 6.17 5.18 6.51 12.32 2.89 5.23 na 14.39 13.19 6.66 5.21 6.43 14.15 4.52 7.37 na 14.86 12.49 7.02 5.62 8.79 14.18 5.36 7.14 na 14.70 13.69 7.72 6.26 7.69 14.31 4.66 8.10 na 14.73 14.73 8.51 5.05 8.45 14.23 4.03 5.95 16.34 14.31 14.50 8.20 6.25 7.72 10.69 5.32 2.60 1.71 3.14 1.44 4.30 5.82 6.94 6.34 7.48 8.93 8.96 2.18 3.43 2.41 3.61 2.64 3.65 2.93 2.02 2.46 4.23 4.26 4.84 4.35 8.57 4.02 6.53 4.48 7.90 5.46 8.61 4.98 7.06 3.00 3.33 3.98 2.84 4.49 4.16 3.67 2.37 3.70 3.97 6.14 5.91 6.38 9.22 7.59 7.67 5.59 6.02 4.85 6.18 5.13 8.78 82 Selatan 64. Kalimantan Timur 7.60 6.85 71. Sulawesi Utara 9.24 8.02 72. Sulawesi Tengah 4.84 3.77 73. Sulawesi Selatan 5.33 4.48 74. Sulawesi Tenggara 3.66 2.48 75. Gorontalo na na 76. Sulawesi Barat na na 81. Maluku 5.55 5.61 82. Maluku Utara na na 91. Irian Jaya Barat na na 92. Papua 4.03 3.35 Sumber : Badan Pusat Statistik (2007) 8.45 5.48 5.00 5.25 2.56 na na 3.70 na na 3.22 10.99 7.75 4.39 6.48 4.36 na na 4.70 na na 6.42 8.88 8.66 5.09 6.44 3.10 na na na na na 3.62 6.81 10.21 8.25 10.39 7.51 7.78 na 11.28 9.32 na 5.82 11.76 11.35 8.06 12.29 8.33 13.17 na 8.08 15.25 na 6.01 9.69 10.79 4.64 17.32 10.30 10.17 na 12.63 7.50 na 6.21 10.39 10.91 5.85 15.93 9.35 12.29 na 11.67 7.53 na 8.00 9.04 14.40 7.63 13.58 8.92 9.79 na 12.30 8.88 na 7.12 12.11 9.77 8.90 12.32 7.42 13.67 4.64 15.76 8.54 11.17 4.50 83 LAMPIRAN. 2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita Provinsi 2005 (dalam Milliar Rupiah) Atas Dasar Harga Berlaku Nama Provinsi Dengan Migas Riau Tanpa Migas Atas Dasar Harga Konstan Dengan Migas Tanpa Migas 30,356.00 17,264.00 17,314.00 7,318.00 9,941.00 9,465.00 6,308.00 6,080.00 8,327.00 8,327.00 5,787.00 5,787.00 8,369.00 8,360.00 5,987.00 5,978.00 Nusa Tenggara Barat 6,151.00 6,151.00 3,639.00 Sumber : Indonesia Human Development Report (2007) 3,639.00 Jawa Barat Kalimantan Barat Sulawesi Utara 84 LAMPIRAN 3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita Menurut Kab/Kota 2005 (dalam Milliar Rupiah) Atas Dasar Harga Berlaku Nama Kota / Kabupaten Atas Dasar Harga Konstan Dengan Migas Tanpa Migas Dengan Migas Tanpa Migas Kab. Pelalawan 28,803.00 28,005.00 9,768.00 9,225.00 Kota Pekanbaru 19,130.00 19,130.00 7,540.00 7,540.00 Kab. Bogor 9,346.00 9,346.00 6,135.00 6,135.00 Kab.Cimahi 13,178.00 13,178.00 9,338.00 9,338.00 Kota Pontianak 14,068.00 14,068.00 10,705.00 10,705.00 Kab. Pontianak 8,877.00 8,877.00 6,796.00 6,796.00 Kota Manado 12,607.00 12,607.00 9,207.00 9,207.00 Kab.Bolaang 5,583.00 5,583.00 4,288.00 4,288.00 Kota Mataram 6,610.00 6,610.00 4,303.00 4,303.00 Kab.Lombok Timur 3,285.00 3,285.00 2,213.00 2,213.00 Sumber : Indonesia Human Development Report (2007) 85 LAMPIRAN.4 Output Bagaimana Seharusnya Kenaikan Upah Yang Diterima Bagaimana Seharusnya Kenaikan Upah Yang Diterima ? Sama dengan kenaikan biaya hidup Persentase 48.0 Lebih tinggi dibandingkan kenaikan biaya hidup 48.7 Boleh lebih rendah dibandingkan biaya hidup 3.3 Sumber : Inter-CAFE, 2008 (diolah) LAMPIRAN.5 Output Alasan Berhenti dari Perusahaan Tempat Bekerja Sebelumnya Apa Alasan Berhenti dari Perusahaan Tempat Bekerja Sebelumnya ? Persentase Berakhirnya kontrak Berhenti untuk pekerjaan baru Kondisi pekerjaan/tidak puas (misalnya gaji yang kecil, ketidak sesuaian antara pekerjaan dan keahlian anda, lingkungan Penyakit yang diderita/kecelakaan kerja/disability Alasan pribadi Diberhentikan Lainnya Sifat pekerjaan yang musimam Perusahaan yang merugi Alasan PHK Lainnya Sumber : Inter-CAFE, 2008 (diolah) 37.5 7.3 31.3 3.1 4.2 2.1 6.3 2.1 4.2 2.1 LAMPIRAN.6 Kemudahan Untuk Memperoleh Informasi Pekerjaan Mudahkah diperoleh ? informasi lowongan Ya Tidak Total Sumber : Inter-CAFE, 2008 (diolah) pekerjaan Persentase 49.3 50.7 100.0 DAFTAR PUSTAKA Agell, J dan P. Lundbrog 1991. “Survey Evidence on Wage Rigidity and Unemployment : Sweden in the 1990s”. Departement of Economics, Uppsala University, Sweden. Arumpalam, W., A. L. Booth, dan M. P. Taylor. 2000. “Unemployment Persistence”. Oxford Economic Papers), pp. 24-50. Oxford University Press. Badan Pusat Statistik. Laporan Badan Pusat Statistik. Berbagai Edisi. BPS, Jakarta. Bahlevi, A. S. U. 2005. “Issues in Mining Survey Data”. A Project Report Submitted to the Department of Computer Science. University of Regina. Bianchi, M. dan G. Zoega. 1998. “Unemployment Persistence : Does the Size of the Shock Matter?”. Journal of Applied Economics. Vol. 13 No. 3, pp. 283-304. John Wiley dan Sons. Blanchard, O. 1991. “Wage Bargaining and Unemployment Persistence”. Journal of Money, Credit and Banking, Vol. 23, No. 3, pp. 277-292. Ohio State University Press. Blanchard, O. 2005. “European Unemployment : The Evolution of Facts and Idea”. NBER Working Paper, Cambridge, MA. Blanchard, O.J. dan L. H. Summers. 1986. “Hysteresis and the European Unemployment Problem”. NBER Working Paper. Cambridge, MA. Burdett, K dan T. Vishwanath. 1988. “Declining Reservation Wage and Learning”. The Review of Economic Studies, Vol.55 No.4, pp. 655-665. Calmfors, L. dan B. Holmlund. 2000. “Unemployment and Economic Growth : A Partial Survey”. Swedish Economic Policy Review pp. 107-153. Coakley, J. A. F. Maria, dan G. Zoega. 2001. “Evaluating the Persistence and Structuralist Theories of Unemployment from a Nonlinear Perspective”. University of Essex. Cole, D. L. 1961. “Government in The Bargaining Process : The Role of Mediation”. American Academy of Political and Science, Vol. 333, Labor Relations Policy in an Expanding Economy. D. A. D. Vaus. 1990. Surveys in Social Research. Unwin Hyman Ltd, 2nd edition. 78 Elmeskov, J. 1993. “High and Persistent Unemployment : Assesment Of The Problem and Its Causes”. Resource Allocation Division Organisation For Economic Co-Operation and Development. Paris. Fink, A. 2002. The Survey Kit : How to Design Surveys. Sage Publication, 2nd edition. InterCAFE. 2008. “Studi Empiris Persistensi Pengangguran di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya Berdasarkan Analisis Data Mikro”. Institut Pertanian Bogor, Pusat Pendidikan dan Studi Kebangsentralan, Bank Indonesia, Bogor. Layard, R., S. Nickell, dan R. Jackman. 1991. Unemployment. Oxford. Oxford University Press. Lindbeck, A dan D. J. Snower. 1988 “Cooperation, Harassment and Involuntary Unemployment : An insider Outsider Approach”. American Economic Review, pp. 167-88. Linblad, H. 1997. “Persistence in Swedish Unemployment Rates”. Working Paper Department of Economics. University of Stockholm, Stockholm. Sweden. Lipsey, R, et al. 1997. Pengantar Makroekonomi. Agus Maulana [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. Mankiw, G. 2000. Teori Makroekonomi. Imam Nurmawan. [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Mc Donald, I, dan Robert M Solow. “Wage Bargaining and Employment“. American Economic Review 71, Desember 1981, pp. 896-908. Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Ilmiah. Bumi Aksara, Jakarta. Prasad, E. S. 2003. “What Determines the Reservation Wages of Unemployed Workers ? ”. New Evidence from German Micro Data. Siregar, H, et al. 2006. “Paradoks Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran : Identifikasi, Implikasi dan Solusi”. International Center for Applied Finance and Economics (Inter-CAFE), Institut Pertanian Bogor, Pusat Pendidikan dan Studi Kebangsentralan, Bank Indonesia, Bogor. Steinier, V. 2001. “Unemployment Persistence in the West German Labour Market : Negative Duration Dependence or Sorting ?”. Oxford Bulletin Economice and Statistics. Blackwell Publishers. Routledge Taylor dan Francis Group. 79 Sugema, I dan Solikin. 2004. “Rigiditas Harga-Upah dan Implikasinya Pada Kebijakan Moneter di Indonesia”. Buletin Ekonomi dan Perbankan, September 2004. Tolvi, J. 2003. “Unemployment Persistence of Different Labour Force Groups in Finland”. Applied Economics Letter.