analisis faktor-faktor penyebab persistensi pengangguran di

advertisement
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERSISTENSI
PENGANGGURAN DI INDONESIA
OLEH
IRWAN AMARULLAH
H14104013
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
IRWAN AMARULLAH. Analisis Faktor-Faktor Penyebab
Pengangguran di Indonesia (dibimbing oleh IMAN SUGEMA)
Persistensi
Pengangguran merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi
diberbagai negara dan mendapat perhatian khusus baik bagi pengambil kebijakan
maupun akademisi. Hal ini karena pengangguran yang tidak teratasi dan
cenderung semakin meningkat akan menjadi beban bagi perekonomian. Oleh
karena itu, pengangguran biasanya dijadikan sebagai salah satu target utama
dalam sebuah sebuah kebijakan di bidang perekonomian.
Secara teoritis, peningkatan pertumbuhan ekonomi seharusnya
meningkatkan penyerapan terhadap tenaga kerja atau menurunkan pengangguran.
Hal ini terjadi karena utilisasi sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam
menjalankan kegiatan perekonomian, sehingga mengakibatkan permintaan tenaga
kerja akan semakin meningkat. Peningkatan permintaan tenaga kerja ini
seharusnya mampu menurunkan pengangguran. Namun di Indonesia, terjadi
paradoks antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Pertumbuhan ekonomi
yang cenderung terus meningkat pasca terjadi krisis pada pertengahan 1997 tidak
mampu mengurangi pengangguran yang cenderung semakin meningkat dan sulit
untuk mengalami penurunan.
Pengangguran yang cenderung semakin meningkat dan sulit untuk
mengalami penurunan seperti yang terjadi di Indonesia merupakan indikasi
terjadinya persistensi pengangguran. Persistensi pengangguran merupakan suatu
kondisi dimana pengangguran semakin meningkat secara terus menerus. Hal ini
sebenarnya memang telah terjadi seperti di beberapa negara kawasan Eropa dan
menjadi perhatian bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan untuk
mengurangi tingkat pengangguran (Elmeskov, 1993).
Peningkatan pertumbuhan ekonomi belum cukup untuk menyelesaikan
masalah pengangguran yang tinggi. Penyebab pengangguran diduga kuat terkait
dengan regulasi maupun undang-undang, kualitas tenaga kerja dan kendala yang
dihadapi oleh sektor industri. Untuk itu dibutuhkan penelitian faktor-faktor penyebab
persistensi pengangguran yang lebih mengacu pada kerangka studi secara mikro.
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
menjadi sumber persistensi pengangguran berdasarkan survey kepada
penganggur. Penganggur yang menjadi responden dalam penelitian ini merupakan
penanggur yang tersebar di lima Provinsi meliputi Riau, Jawa Barat, Kalimantan
Barat, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tenggara.
Untuk dapat menjawab penelitian tersebut digunakan metode analisis
deskriptif dengan crosstabulation. Berdasarkan hasil survey kepada para
penganggur di lima provinsi di Indonesia, maka secara umum persistensi
pengangguran terjadi sebagai akibat dari kekakuan upah (wage rigidity), proses
penacarian kerja (job search) yang lama dan faktor lain yang terkait dengan
regulasi di bidang ketenagakerjaan.
Kekakuan upah sering dipandang sebagai salah satu penyebab utama tingkat
pengangguran secara berkepanjangan. Berkaitan dengan hal tersebut maka upah
bersifat downward rigidity. Hasil survey mengindikasikan bahwa biaya penurunan
upah akan dimanifestasikan melalui demonstrasi dan kehilangan pekerja yang
produktif. Implikasi ini mungkin tidak sebanding dengan manfaat yang
didapatkan dari penurunan upah. Selain itu, kekakuan upah terjadi karena
pemberlakuan upah minimum. Kekakuan upah akan menjadi kompleks ketika
upah minimum diindeksasi dengan inflasi. Berdasarkan hasil survey ditemukan
bahwa upah minimum disesuaikan dengan inflasi secara forward maupun
backward. Upah relatif dan upah efisiensi dalam penelitian ini bukan merupakan
fenomena yang umum. Temuan survey menyatakan bahwa tidak ada bukti yang
kuat bahwa upah relatif dan upah efisiensi menjadi penyebab kekakuan upah
nominal.
Penyebab persistensi pengangguran lainnya karena waktu untuk pencarian
kerja semakin lama. Pencarian kerja sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
friksi, mismatch, ketidaksempurnaan informasi, hambatan geografis, durasi dan
upah reservasi. Semua faktor diatas akan mengakibatkan waktu pencarian kerja
yang lama, sehingga persistensi pengangguran akan semakin sulit untuk
dipecahkan.
Selain faktor-faktor di atas, terdapat hal-hal lain yang secara bersamaan
dapat mempengaruhi kekakuan upah dan pencarian kerja. Faktor-faktor tersebut
meliputi regulasi, mekanisme penyesuaian, mediasi pemerintah dan serikat
pekerja. Aspek regulasi yang paling terlihat pengaruhnya adalah aturan mengenai
pesangon, upah skorsing dan keberadaan tenaga asing yang menyebabkan
tingginya tingkat pengangguran. Teori insider-outsider tampaknya tidak berlaku di
Indonesia, karena ternyata mereka tidak ingin diturunkan upahnya terutama bagi
penganggur berpendidikan tinggi.
Penelitian ini juga memberikan rekomendasi kebijakan yaitu (1) Perbaikan
kualitas pertumbuhan ekonomi dengan mendorong sektor manufaktur yang lebih
padat tenaga kerja, (2) Fokus kebijakan moneter yang relevan dalam mengatasi
tngkat pengangguran yang tinggi adalah Inflation Targeting, (3) Perlu ada
perubahan mendasar dalam sistem pendidikan nasional yang berbasis pada
keahlian, dan (4) Pemerintah daerah perlu memiliki kreativitas dalam
membedakan karakteristik pengangguran di setiap daerah.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERSISTENSI
PENGANGGURAN DI INDONESIA
Oleh
IRWAN AMARULLAH
H14104013
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa
: Irwan Amarullah
Nomor Registrasi Pokok
: H14104013
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Faktor-Faktor Penyebab Persistensi
Pengangguran di Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Iman Sugema, M.Ec
NIP. 131 846 870
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS
NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM
PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH
PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, 8 September 2008
Irwan Amarullah
H14104013
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Irwan Amarullah, lahir pada tanggal 4 Februari 1986.
Penulis merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dari pasangan Syarif
Hidayat (Alm) dan Tati Sumiati. Penulis mengawali pendidikan secara formal di
TK Sejahtera Sukabumi dan melanjutkan ke SDN Dewi Sartika Cipta Bina
Mandiri Sukabumi. Setelah menghabiskan waktu selama enam tahun, penulis
melanjutkan ke SLTP Negeri 1 pada kota yang sama sebelum akhirnya diterima di
SMU Negeri 1 kota Sukabumi.
Pada tahun 2003 penulis kemudian memutuskan untuk melanjutkan ke
jenjang yang lebih tinggi untuk meraih masa depan yang lebih baik. Institut
Pertanian Bogor (IPB) sebagai salah satu Perguruan Tinggi Negeri terkemuka di
Indonesia kemudian menjadi tempat berlabuh dalam menuntut ilmu dan
pendidikan dalam level strata satu. Penulis diterima melalui jalur Undangan
Saringan Masuk IPB pada program studi Depertemen Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen.
Selama menjadi mahasiswa, penulis cukup aktif dalam berbagai kegiatan
baik dalam lingkup akademis maupun non akademis. Dalam lingkup akademis,
pernah menjadi Asisten Mata Kuliah Sosiologi Umum, Asisten Ekonomi Umum,
Asisten Mata Kuliah Makroekonomi dan Asisten Mikroekonomi di berbagai lintas
jurusan di Fakultas Ekonomi dan Manajemen serta Program Ekstensi Manajemen
dan Agribisnis. Penulis juga merupakan salah satu Mahasiswa Berprestasi Tingkat
Departemen Ilmu Ekonomi.
Penulis dalam lingkup non akademis pernah menjadi Sekretaris Umum
Himpunan Mahasiswa Sukabumi, Staff Kajian dan Diskusi Himpunan Profesi dan
Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA) dan pada tahun
berikutnya menjadi Ketua Divisi Penelitian dan Pengembangan HIPOTESA.
Penulis juga sering mengikuti kegiatan dan menjadi Koordinator Humas dalam
berbagai event.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
penulis panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta sahabat dan
pengikutnya hingga akhir zaman.
Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-Faktor Penyebab Persistensi
Pengangguran di Indonesia “. Penulis merasa bahwa pengangguran merupakan
topik yang sangat menarik, karena peningkatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia
belum cukup dalam mengatasi tingginya tingkat pengangguran. Topik ini juga
merupakan salah satu perluasan dari hasil tulisan dari penulis yang dipublikasikan
dalam Riset Persistensi Pengangguran inter-CAFE, khusunya pada bagian survey
kepada penganggur. Penulis merasa penting untuk menuangkan topik tersebut,
sehingga
melakukan
eksplorasi
lebih
dalam
mengenai
survey
persistensi
pengangguran.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat teridentifikasi penyebab tingginya
tingkat pengangguran sehingga dapat dirumuskan berbagai rekomendasi kebijakan
yang tepat berdasarkan berbagai temuan dalam penelitian ini.
Skripsi ini juga
merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Iman Sugema, Ph.D sebagai dosen pembimbing skripsi, atas segala perhatian,
kebaikan dan arahannya untuk selalu kerja keras selama ini kepada penulis.
2. Nunung Nuryartono, Ph.D sebagai dosen penguji yang telah memberikan
masukan yang begitu berarti dalam proses penyempurnaan skripsi ini.
3. Jaenal Effendi, MA sebagai komisi pendidikan atas saran dan kritik yang
membangun untuk perbaikan penulisan skripsi ini.
4. Ibunda tercinta yang selalu memberikan motivasi, arahan dan semangat tiada
henti untuk menjadikan anaknya lebih baik dari waktu ke waktu. Semoga
ii
Allah SWT memberikan pahala serta keberkahan baik di dunia maupun di
akhirat.
5. Kedua kakak penulis, yakni Rani Ratnasari dan Rika Merdekawati atas
dukungan dan sokongan yang diberikannya selama ini untuk dapat menjadi
generasi penerus keluarga yang berintelektual dan religius.
6. Teman-teman seperjuangan : Arif “ dado “ Rahman, Rizky Sabilly, Rima,
Fikri, Fitri, Dilla, Rista, Islam dan rekan-rekan di Ilmu Ekonomi 41.
7. Staff Inter-CAFE, Ibu Iis, Ibu Nuning, Ibu Mita, Ibu Heti, Mba Desi,
8. Rekan-rekan di Inter-CAFE, K Ade, K Iqbal, Teh Nilam, Teh Heni, A Dayat
9. Dwi Annisa Nur Salammah yang telah meluangkan waktunya untuk
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
10. Peserta seminar yang meluangkan waktunya untuk datang dan mengapresiasi
seminar hasil penelitian skripsi ini.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengangguran merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi
diberbagai negara dan sering mendapat perhatian khusus baik bagi pengambil
kebijakan maupun akademisi. Hal ini karena pengangguran yang tidak teratasi dan
cenderung semakin meningkat akan menjadi beban bagi perekonomian.
Pengangguran dapat digunakan sebagai salah satu ukuran dalam menilai sebuah
kinerja pemerintahan. Oleh karena itu, pengangguran biasanya dijadikan sebagai
salah satu target utama dalam sebuah sebuah kebijakan di bidang perekonomian.
Secara
teoritis,
pertumbuhan
ekonomi
seharusnya
meningkatkan
penyerapan terhadap tenaga kerja atau menurunkan pengangguran. Hal ini terjadi
karena utilisasi sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam menjalankan
kegiatan perekonomian, sehingga mengakibatkan permintaan tenaga kerja akan
semakin meningkat. Namun di Indonesia, terjadi paradoks antara pertumbuhan
ekonomi dan pengangguran. Pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat pasca
terjadi krisis pada pertengahan 1997 tidak mampu mengurangi pengangguran
yang cenderung semakin meningkat dan sulit untuk mengalami penurunan.
Paradoks antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran terjadi
karena beberapa faktor yaitu karena pertumbuhan ekonomi terlalu didorong oleh
sektor yang menyerap lapangan kerja yang rendah, permasalahan terkait dengan
ketenagakerjaan dan kondisi sosial ekonomi yang mengakibatkan resiko dunia
usaha semakin tinggi (Inter-CAFE, 2007)
2
Pertumbuhan
ekonomi
Indonesia
pasca
krisis
terus
mengalami
peningkatan. Pada tahun 2001, pengangguran mencapai 8.1 persen dengan
pertumbuhan ekonomi 3.64 persen. Hal ini kemudian masih berlangsung hingga
tahun berikutnya, seperti pada tahun 2002 dan 2003, pengangguran masingmasing mencapai
9.06 persen dan 9.5 persen, walaupun pertumbuhan yang
dicapai juga turut meningkat. Bahkan pada tahun 2006 pengangguran mencapai
10.45 persen, sedangkan pertumbuhan mengalami penurunan dari tahun
sebelumnya, yaitu dari 6.48 persen pada tahun 2005 menjadi 5.48 persen pada
tahun 2006 (lihat Tabel.1). Hal ini menjadi indikasi kuat bahwa peningkatan
pertumbuhan ekonomi belum mampu mengatasi maasalah pengangguran.
Tabel.1.1. Indikator Pertumbuhan dan Pengangguran
Sumber : Badan Pusat Statistik (2008), diolah
Fenomena meningkatnya pengangguran sejalan dengan peningkatan
jumlah angkatan kerja di Indonesia. Penurunan pada tingkat partisipasi angkatan
kerja akan berimplikasi pada peningkatan pengangguran. Pada gambar.1.1
3
terlihat bahwa dalam kurun waktu 2001 hingga 2006, tingkat partisipasi angkatan
kerja cenderung mengalami penurunan, walaupun pada beberapa tahun tertentu
tingkat partisipasi angkatan kerja mengalami peningkatan, seperti pada rentang
waktu 2004 hingga 2005.
69.00
12.00
68.50
10.00
Persentase
68.00
8.00
67.50
6.00
Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja
Tingkat Pengangguran
67.00
4.00
66.50
2.00
66.00
65.50
0.00
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Periode
Sumber : Badan Pusat Statistik (2007), diolah
Gambar.1.1. Pengangguran dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Pengangguran yang cenderung semakin meningkat dan sulit untuk
mengalami penurunan seperti yang terjadi di Indonesia merupakan indikasi
terjadinya persistensi pengangguran. Persistensi pengangguran merupakan suatu
kondisi dimana pengangguran semakin meningkat secara terus menerus. Hal ini
sebenarnya memang telah terjadi seperti di beberapa negara kawasan Eropa dan
menjadi perhatian bagi pembuat kebijakan (Elmeskov, 1993).
Hasil studi literatur secara umum menjelaskan tentang berbagai penyebab
dari tingginya tingkat pengangguran. Blanchard (2005) menyatakan bahwa
tingginya tingkat pengangguran merupakan akibat dari berbagai faktor seperti
shock kenaikan harga minyak yang menurunkan pertumbuhan produktivitas, peran
4
dari akumulasi capital dan adanya peran insider terhadap para outsider. Selain itu,
institusi pasar tenaga kerja dari proteksi menuju asuransi turut andil dalam
meningkatkan persistensi pengangguran.
1.2.
Perumusan Masalah
Pengangguran yang semakin meningkat dan relatif sulit untuk turun
merupakan salah satu indikator terjadinya masalah sosial ekonomi masyarakat.
Pengangguran yang tidak teratasi secara sistematis dan menyeluruh akan cenderung
menjadi beban bagi perekonomian. Beban tersebut menjadi semakin bertambah
dengan berbagai kesulitan dalam mengatasi masalah pengangguran. Beberapa
kesulitan tersebut diantaranya berkaitan dengan belum adanya peta permasalahan
pengangguran yang lengkap, identifikasi faktor-faktor apa yang menyebabkan
terjadinya pengangguran serta strategi maupun langkah kebijakan yang belum tepat
dalam mengatasi pengangguran.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi belum cukup untuk menyelesaikan
masalah pengangguran yang tinggi. Penyebab pengangguran diduga kuat terkait
dengan regulasi maupun undang-undang, kualitas tenaga kerja dan kendala yang
dihadapi oleh sektor industri yang mengakibatkan tingkat penyerapan tenaga kerja
menjadi render. Untuk itu dibutuhkan penelitian faktor-faktor penyebab persistensi
pengangguran
yang lebih mengacu
pada kerangka studi
secara
mikro.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah :
5
1. Faktor-faktor apa yang menjadi sumber persistensi pengangguran
berdasarkan survey kepada penganggur ?
2. Bagaimanakah rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi persistensi pengangguran ?
1.3.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi sumber penyebab persistensi pengangguran berdasarkan
perspektif penganggur.
2. Merumuskan strategi dan langkah kebijakan yang dapat dilakukan untuk
mengurangi tingkat pengangguran.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam mengatasi
permasalahan pengangguran berdasarkan perumusan strategi maupun
langkah kebijakan.
2. Bagi akademisi, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi
dalam menggali lebih dalam mengenai pengangguran.
3. Bagi masyarakat, dapat memperluas wawasan serta cakrawala berfikir
dalam memahami kondisi pengangguran.
6
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup lima Provinsi di Indonesia.
Provinsi tersebut meliputi Riau, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara
dan Nusa Tenggara Barat. Keterwakilan masing-masing provinsi melalui
pemilihan sampel di wilayah kota maupun kabupaten yang telah ditetapkan
berdasarkan
Indonesia.
kriteria diharapkan dapat merepresentasikan pengangguran di
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dan Sumber Data Pengangguran
Menurut Badan Pusat Statistik, definisi penduduk usia kerja adalah
penduduk yang berusia diatas 15 tahun. Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua
kelompok besar, yakni angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Bukan angkatan
kerja adalah penduduk usia kerja yang masih sekolah, ibu rumah tangga atau
pensiunan. Angkatan kerja terbagi menjadi dua yakni bekerja dan menganggur
atau mencari pekerjaan.
Bekerja didefinisikan sebagai kegiatan dengan maksud memperoleh atau
membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu
jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus. Kegiatan tersebut
termasuk pula kegiatan pekerja tidak dibayar yang membantu dalam suatu usaha
atau kegiatan ekonomi (Badan Pusat Statistik, 2007).
Menurut BPS, seseorang dikategorikan sebagai menganggur atau mencari
pekerjaan apabila termasuk penduduk usia kerja yang (1) tidak bekerja, atau (2)
sedang mencari pekerjaan baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama
sekali maupun yang sudah penah berkerja, atau (3) sedang mempersiapkan suatu
usaha, atau (4) yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk
mendapatkan pekerjaan, atau (5) yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum
mulai bekerja.
Perubahan definisi seputar pengukuran untuk usia angkatan kerja dan
pengangguran menyebabkan perubahan data pengangguran. Untuk periode
8
sebelum tahun 2000, sumber data yang berbeda dapat mempublikasikan data yang
berbeda tergantung pada penyesuaian dengan definisi yang baru atau tidak.
Tabel.2.1. Perubahan Definisi Usia Kerja dan Pengangguran
Periode
1986-1993
1994-2000
2001-
Definisi Pengangguran
Aktif mencari kerja selama 1 minggu sebelum survei (hanya
satu minggu)
Aktif mencari kerja, tanpa mempertimbangkan kapan terakhir
mencari kerja (dapat lebih dari satu minggu)
Aktif mencari kerja, tidak aktif mencari kerja, punya pekerjaan
tapi belum mulai kerja, sedang menyiapkan usaha atau bisnis
Definisi Populasi Usia Kerja
Pre-1998
Orang yang berumur lebih dari 10 tahun
1998-
Orang yang berumur lebih dari 15 tahun
Sumber : BPS (2007)
2.2. Definisi Persistensi Pengangguran
Tingkat pengangguran yang tinggi dapat diketahui dengan melihat pada
beberapa kondisi berikut yaitu karena slow adjustment terhadap tingkat
keseimbangan dan perubahan pada tingkat keseimbangan (Coakley, et al. (2003)),
Bianchi dan Zoega (1998), Elmeskov (1993), Blanchard dan Summers (1986).
Perubahan tngkat keseimbangan ini dapat terjadi karena kenaikan terus-menerus
pada tingkat kesetimbangan.
Persistensi
pengangguran
dapat
didefinisikan
sebagai
terjadinya
peningkatan tingkat pengangguran secara terus menerus. Dengan kata lain,
gangguan dalam kesetimbangan pasar tenaga kerja menyebabkan terjadinya
pengangguran yang persisten. Blanchard dan Summer (1986) mengungkapkan
9
bahwa persistensi pengangguran terjadi manakala penyesuaian terhadap tingkat
kesetimbangan berjalan dengan lambat. Walaupun dengan penyesuian yang
lambat, tingkat pengangguran yang berada pada kondisi persisten memiliki
kecenderungan untuk dapat kembali ke tingkat semula atau tingkat sebelumnya.
2.3. Klasifikasi Pengangguran
Menurut Lipsey, et al (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu pengangguran siklis, pengangguran struktural dan pengangguran
friksional. Pengangguran siklis adalah penganggur yang terjadi karena permintaan
yang tidak memadai untuk membeli semua potensi keluaran ekonomi, sehingga
mengakibatkan senjang resesi dimana keluaran aktual lebih kecil dari keluaran
potensial. Kelompok penganggur ini juga dikatakan sebagai orang yang
menganggur dengan terpaksa, dengan kata lain mereka ingin bekerja dengan
tingkat upah yang berlaku tetapi pekerjaan yang mereka inginkan tidak tersedia.
Pengangguran struktural mengacu kepada pengangguran yang disebabkan
akibat ketidaksesuaian antar struktur angkatan kerja berdasarkan jenis
keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan struktur permintaan
akan tenaga kerja. Menurut Mankiw (2000), pengangguran struktural merupakan
pengangguran yang disebabkan oleh kekakuan upah dan penjatahan pekerjaan.
Para pekerja yang tidak dipekerjakan bukan karena mereka aktif untuk mencari
pekerjaan yang cocok untuk mereka, namun pada tingkat upah berlaku,
penawaran tenaga kerja melebihi permintaannya. Sedangkan pengangguran
friksional diakibatkan oleh perputaran normal tenaga kerja. Sumber penting
10
pengangguran friksional adalah orang-orang muda yang memasuki angkatan kerja
dan mencari pekerjaan (Lipsey et al.1997).
Menurut Mankiw (2000), pengangguran friksional yaitu pengangguran
yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan orang untuk mendapatkan
pekerjaan. Para ekonom menyebut perubahan komposisi permintaan antar wilayah
sebagai pergeseran sektoral. Perubahan dalam komposisi permintaan diantara
industri atau wilayah selalu terjadi dan karena perlu waktu untuk mengubah sektor
maka pengangguran friksional selalu muncul.
2.4. Faktor Penyebab Pengangguran
2.4.1. Kekakuan Upah
Kekakuan upah merupakan penyebab terjadinya pengangguran (Mankiw,
2000). Kekakuan upah berarti gagalnya upah melakukan penyesuaian sampai
penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya. Dalam model keseimbangan
pasar tenaga kerja, upah riil berubah untuk menyeimbangkan penawaran dan
permintaan. Tetapi upah tidak selalu fleksibel, sehingga upah riil tertahan diatas
tingkat kliring pasar atau tingkat ekuilibrium sehingga terjadi pengangguran.
Untuk memahami kekakuan upah dan pengangguran struktural, maka
penting untuk memahami mengapa pasar tenaga kerja tidak berada pada tingkat
keseimbangan penawaran dan permintaan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan
gambar.2.1. Saat upah riil melebihi tingkat ekuilibrium dan penawaran pekerja
melebihi permintaannya, maka para perusahaan diharapkan akan menurunkan
upah yang akan dibayar kepada para pekerja. Namun pada kenyataanya, hal ini
tidak terjadi. Pengangguran struktural kemudian muncul sebagai implikasi karena
11
perusahaan gagal menurunkan upah akibat kelebihan penawaran tenga kerja
(Mankiw, 2000).
Upah
Riil
Penawaran
Pengangguran
Permintaan
Tenaga Kerja
Sumber : Mankiw, (2000)
Gambar.2.1. Grafik Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja
Kekakuan upah ini terjadi sebagai akibat dari beberapa hal yaitu, indeksasi
Undang-Undang upah minimum, kekuatan monopoli serikat pekerja dan upah
efisiensi. Berbagai faktor tersebut berpotensi menjadikan upah tertahan diatas
tingkat upah keseimbangan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan pengangguran.
Kebijakan upah minimum akan memberi insentif kepada perusahaan untuk
mengganti para pemuda dengan orang-orang dewasa yang tidak terdidik.
Kebijakan upah minimum ditenggarai akan lebih banyak berdampak pada
penganggur dengan usia muda (Mankiw, 2000). Alasannya yaitu, pertama, karena
pekerja dengan usia lebih muda termasuk anggota angkatan kerja yang kurang
terdidik dan kurang berpengalaman, maka mereka cenderung memilki
produktivitas marginal yang rendah. Kedua, seringkali mereka mengambil
sebagian kompensasi mereka dengan mengikuti on the job training daripada
12
bayaran secara langsung. Oleh karena itu, upah minimum seringkali berpengaruh
pada pemuda ketimbang yang lainnya dalam angkatan kerja.
Upah para pekerja yang tergabung dalam serikat pekerja tidak ditentukan
oleh ekuilibrium permintaan dan penawaran, tetapi oleh posisi tawar-menawar
kolektif antara pimpinan serikat pekerja dan manajemen perusahaan. Biasanya,
kesepakatan
akhir
meningkatkan
upah
diatas
tingkat
ekuilibrium
dan
memungkinkan perusahaan untuk mengurangi jumlah tenaga kerja sehingga akan
mengakibatkan pengangguran (Mankiw, 2000). Penjelasan ini didukung oleh Mc
Donald dan Solow (1981) yang menyatakan dengan terjadinya monopoli bilateral
antara perusahaan dan serikat buruh, maka keseimbangan yang terjadi akan
berhubungan dengan kesempatan kerja tetapi upah riil relatif stabil. Jika
penentuan upah dilakukan melalui kontrak antar perusahaan dan serikat pekerja
maka marginal cost dan harga akan menjadi kaku. Hal ini akan mengakibatkan
fluktuasi permintaan yanga akan ditranmisikan melalui output dan kesempatan
kerja. Model ini juga bisa dianggap sebagai salah satu alasan terjadinya rigiditas
upah riil.
Teori upah efisiensi merupakan penyebab ketiga dari kekakuan upah selain
undang-undang upah minimum dan serikat pekerja. Menurut Mankiw (2000) teori
upah efisiensi ini akan membuat upah semakin tinggi dan membuat para pekerja
lebih produktif. Teori upah ini lebih banyak diterapkan di negara-negara miskin
yang menyatakan bahwa upah mempengaruhi nutrisi. Para pekerja yang dibayar
dengan upah memadai bisa lebih banyak membeli nutrisi dan para pekerja akan
13
lebih produktif. Suatu perusahaan mungkin akan membayar tingkat upahnya di
atas tingkat ekuilibrium untuk menjaga agar tenaga kerjanya tetap sehat.
Berbagai
studi
literatur
membahas
indeksasi
yang
kebanyakan
menghubungkan dengan variabel moneter seperti inflasi Holland (1988),
Brunner. et al. (1988), Vanhoose dan Waller (1991) maupun kaitannya dengan
stabilitas output (Esteban, 2002).
Menurut Holland (1988), konsep indeksasi
seperti yang diungkapkan dibawah ini :
“ The wage indexation variable was the percentage of workers
covered by major collective bargaining agreements who some
provision for cost of living adjustment in their contracts “ Steven
Holland, (1988)
Pada intinya indeksasi adalah upah yang telah disesuaikan dengan
kebutuhan hidup, dengan kata lain, upah ini telah disesuaikan dengan inflasi.
Indeksasi akan mengakibatkan keterbatasan kebijakan moneter yang ekspansif
untuk mengatasi pengangguran. Jika kebijakan moneter ekspansif terus dilakukan
dalam kondisi pengangguran yang tinggi, maka akan mengakibatkan inflasi yang
persisten.
2.4.2. Teori Pencarian Kerja
Teori pencarian kerja telah menjadi bahasan sentral dalam studi mengenai
penganggguran. Ide dasar dari teori pencarian kerja ini merupakan perluasan dari
konsep upah reservasi (Prasad, 2003). Perilaku dan faktor penentu upah reservasi
secara individual dalam teori pencarian kerja (job search) merupakan salah satu
14
isu menarik, baik secara teori maupun empirik. Menurut Burdeth dan Vishwanath
(1987), upah reservasi merupakan upah paling rendah sehingga penganggur
memutuskan mau bekerja. Dengan kata lain upah ini akan mengantarkan para
penganggur menjadi pekerja. Jika upah reservasi tinggi maka makin sulit bagi
penganggur untuk mendapatkan pekerjaan sehingga waktu tunggu atau durasi
menjadi panjang. Ini berimplikasi pada peningkatan pengangguran. Biasanya
penetapan upah reservasi yang tinggi dilakukan oleh orang-orang yang
mendapatkan jaminan pengangguran seperti pesangon maupun dukungan keluarga
sehingga mereka cenderung untuk memilih pekerjaan dan upah yang
didapatkannya.
Salah satu faktor penyebab pencarian kerja lainnya adalah mismatch.
Definisi menurut Schiopa (1991a) adalah sebagai berikut :
“ Mismatch is a persistent imbalance between supply of and demand
for labour across skill groups, region, etc. In contrast to frictional
unemployment, it is a long-term phenomenon and reflects differences in
the characteristic of unemployed jobs offered by employers at going wage
rates. “ Schiopa (1991a)
Pada prinsipnya, mismatch merupakan ketidaksesuaian antara lowongan
kerja (job vacancy) yang tersedia dengan skill dari para pencari kerja. Hal ini
terjadi karena ketidakseimbangan permintaan dan penawaran tenaga kerja diantara
skill dari kelompok, wilayah dan lainnya. Akibatnya perusahaan kesulitan untuk
mencari pekerja yang sesuai dan para pencari kerja juga mengalami hal yang sama
yaitu kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi yang
mereka miliki.
15
Salah satu teori yang bisa menjelaskan mengapa terjadi pengangguran
yang persisten adalah teori insider dan outsider. Insider adalah pekerja yang
posisinya terproteksi oleh biaya turn over yang menyebabkan perusahaan
cenderung enggan untuk melepas mereka. Lindbeck dan Snower (1986-1988)
mengungkapkan bahwa karena adanya biaya turn over, insider memperoleh
kekuatan pasar yang menyebabkan mereka memiliki posisi yang diuntungkan
dibanding dengan outsider. Selain itu insider juga dapat mempengaruhi biaya turn
over melalui kerja sama diantara mereka untuk menyisihkan kepentingan outsider,
walaupun outsider bisa menerima upah yang lebih rendah. Struktur seperti ini
akan membuat outsider tetap menganggur walaupun mereka rela menerima upah
dibawah outsider (Sugema dan Solikin, 2004).
Mediasi merupakan salah satu aspek yang penting untuk mengukur
persepsi dalam menilai sebuah kinerja pemerintahan. Cole (1961) memberikan
konsep dari mediasi seperti berikut :
“ Mediation is inseparable from collective bargaining ; it is an
integral part of dispute settlement, and it can exert an important
influence on government’s role in labor relations. It potentially bears on
how union or industry power is exercised and, thus becomes an
important factor deciding whether additional regulatory legislation is
needed “ Cole (1961)
Hubungan ini dapat menjelaskan kaitan antara mediasi dengan
penganggguran, khususnya dengan collective bargaining. Mediasi merupakan
bagian tak terpisahkan dari collective bargaining. Peran dari mediasi sendiri
16
dapat digunakan sebagai sarana dalam menyelesaikan persengketaan dan mampu
mendesak peran pemerintah dalam menentukan kebijakan tenaga kerja.
2.5. Penelitian Terdahulu
International Center for Applied Finance and Economics (Inter-CAFE)
dan Bank Indonesia (2006) mengadakan penelitian yang berjudul “Paradoks
Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran : Identifikasi, Implikasi dan Solusi“.
Secara umum tujuan penelitian ini untuk mengetahui berabagai peristiwa penting
dalam perekonomian Indonesia yang menunjukan gejala paradoks antara
pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Model Structural Vector Auto
Reggression (SVAR) digunakan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab
kemunculan paradoks tersebut serta menelaah dampak sumber-sumber guncangan
perekonomian terhadap variabel utama makroekonomi.
International Center for Applied Finance and Economics (inter-CAFE)
bekerja sama dengan Pusat Pendidikan Studi Kebangsentralan Bank Indonesia
melakukan riset dengan judul
“Studi Empiris Persistensi Pengangguran di
Indonesia dan Upaya Penanggulangannya Berdasarkan Analisis Data Mikro“.
Melalui berbagai pendekatan ekonometrika seperti Unit Root Test, NAWRU,
Kurva Beveridge dan Kurav Okun, maka terbukti bahwa telah terjadi persistensi
pengangguran di Indonesia.
Elmeskov (1993) melakukan penelitian mengenai persistensi di beberapa
negara kawasan Eropa Barat. Isu tingkat pengukuran pengangguran yang selalu
berubah dari masa ke masa yang mengakibatkan perbedaan untuk mengukur
perbandingan pengukuran pengangguran di berbagai negara Organisation for
17
Economic Cooperation and Development (OECD) dibahas sebagai perbandingan.
Peningkatan pengangguran juga merefleksikan penurunan kapasitas dari utilisasi
sumber daya manusia, walaupun tidak mencerminkan secara utuh mengenai
perbedaan wilayah.
Temuan penting dalam penelitian ini adalah terjadinya persistensi
pengangguran di berbagai negara kawasan Eropa serta beberapa kemungkinan
faktor-faktor penyebab dari trend peningkatan pengangguran berdasarkan data
makro dan mikro. Faktor penyebab tersebut meliputi pengaruh dari kebijakan dan
non kebijakan yang berimplikasi pada ekuilibrium pengangguran dan kecepatan
penyesuaian pasar tenaga kerja.
Studi literatur menunjukan bahwa terdapat berbagai macam faktor yang
menjadi sumber terjadinya persistensi pengangguran. Blanchard dan Summers
(1986) menyatakan bahwa peran akumulasi kapital, peran insider, collective
bargaining, inersia dalam permitaan tenaga kerja. Collective bargaining yang
dimaksud disini yaitu tawar-menawar upah ditentukan oleh representasi dari
serikat
pekerja
dengan perusahaan
dan
kepentingan penganggur
tidak
diikutsertakan.
Menurut Assarson dan Jansson (1995), persistensi pengangguran dapat
disebabkan oleh tiga faktor. Pertama persistensi pengangguran dapat disebabkan
oleh natural rate shocks. Kedua, pengangguran dapat memiliki siklus dengan
periode yang cukup lama. Ketiga, guncangan siklikal dalam pengangguran dapat
ditransmisikan menjadi pengangguran yang permanen.
18
Steiner (2001) melakukan penelitian tentang persistensi pengangguran di
pasar tenaga kerja Jerman Barat. Steiner menggunakan pendekatan hazard rate
dari pengangguran, di mana hazard rate adalah rasio penganggur yang
memperoleh pekerjaan pada bulan tertentu terhadap jumlah penganggur pada
akhir bulan sebelumnya. Data empiris menunjukkan bahwa hazard rate dari
pengangguran mengalami penurunan seiring berjalannya waktu. Hipotesis dalam
kajian ini ini didasari pemikiran bahwa human capital seseorang dapat berkurang
selama orang tersebut menganggur dan akan semakin kuat jika masa
menganggurnya semakin lama.
Studi yang dilakukan oleh Jonas Agel dan Per Lundborg (1999)
menjelaskan bagaimana pengaruh dari shock pada variabel makroekonomi
mempengaruhi kekakuan upah dan pengangguran. Melalui penelitian ini dibahas
mengenai beberapa konsep kekakuan upah. Kekakuan upah menurut John
Maynard Keynes sebagai social fact of life, yaitu kenyatan hidup yang tidak dapat
terbantahkan. Oleh karena itu, reformasi kelembagaan tidak mampu mengatasi
masalah kekakuan upah ini Sementara itu, Lionel Robbins berpendapat bahwa
penyebab dari dari kekakuan upah dan pengangguran yang persisten adalah
serikat pekerja dan kebijakan asuransi. Arthur Pigou mengemukakan bahwa
problem utama geographical mismatch antara pekerjaan dan pencari kerja akan
diperparah oleh pesangon. Temuan dalam survey ini juga menyatakan karena
kekakuan upah bersifat downward rigidity, maka upah riil menjadi lebih kaku
sejak Swedia menerapkan kebijakan inflasi yang rendah. Selain itu ditemukan
19
adanya underbidding, mekanisme upah efisiensi, Undang-undang upah bagi
pekerja, serta pengangguran dalam jangka panjang.
Calmfors dan Holmund (2000) melakukan penelitian untuk mengetahui
penyebab tingginya pengangguran yang terjadi di Eropa pada pertengahan tahun
1970 dan periode setelahnya serta mengulas berbagai implikasi kebijakan. Fokus
penelitian dihadapkan pada faktor penentu pengangguran dalam jangka panjang .
Beberapa faktor yang kemungkinan besar berpengaruh diantaranya meliputi
pesangon, sistem tawar-menawar upah dan regulasi terkait proteksi bagi pekerja.
Selain itu, area penelitian ini juga menjangkau ekonomi politik dari pengangguran
dan kebijakan bagi pekerja. Ide utama dari pemikiran ekonomi politik ini adalah
fenomena persistensi pengangguran dapat dijelaskan melalui pendekatan politik
daripada pendekatan reformasi pasar tenaga kerja. Strategi yang diterapkan dalam
mengatasi persoalan pengangguran di beberapa negara juga dapat dikatakan
sukses dengan pendekatan politik.
Spielmann (2006) melakukan kajian melalui survey mengenai beberapa
kontribusi penting bagi para peneliti yang mengamati kelembagaan pasar tenaga
kerja dan pengangguran di Eropa serta negara kawasan Eropa Barat yang
tergabung pada OECD sejak tahun 1960. Kajian yang dilakukan meliputi
hubungan
langsung
anatara
kelembagaan
pasar
tenaga
kerja
dengan
pengangguran, bagaimana interaksi kelembagaan pasar tenaga kerja dengan shock
pada berbagai variabel makroekonomi yang akan mempengaruhi pengangguran.
Hubungan langsung dalam literatur yang dimaksud dapat dijelaskan melalui level
kelembagaan atau perubahan kelembagaan dari waktu ke waktu.
20
Kelembagaan juga menjadi fokus studi oleh Layard dan Nickel (1999).
Mereka mencoba meneliti apakah level dari kelembagaan berpengaruh signifikan
terhadap kinerja ekonomi pada 20 negara OECD. Fokus mereka pada
pengangguran sebagai salah satu faktor penentu dalam kinerja ekonomi dan
melihat berbagai indikator kelembagaan seperti pajak bagi tenaga kerja, hukum
dan undang-undang yang mengatur hak pekerja, bargaining atau struktur union,
serta sistem jaminan bagi pengangguran, sistem pendidikan maupun training serta
hambatan mobilitas regional.
Penelitian
yang
dilakukan
Collard
(2003)
menyatakan
bahwa
pengangguran pada angkatan kerja kelompok unsklilled lebih tinggi karena
adanya kelompok skilled labor yang bekerja untuk pekerjaan yang bersifat unskill.
Temuan yang sama juga didapatkan oleh Murillo, (2005) bahwa persistensi
pengangguran pada kelompok tenaga kerja yang tidak tamat pendidikan formal di
Andalusia dan Extremadura Spanyol lebih tinggi karena masalah skill dari
kelompok tersebut.
2.6.
Kerangka Pemikiran Penelitian
Untuk dapat menjawab tujuan penelitian yang disusun sebagai jawaban
atas rumusan permasalahan, maka alur analisis dapat dilihat berdasarkan kerangka
pemikiran penelitian. Pada intinya, penelitian ini akan menjelaskan tentang faktorfaktor penyebab pengangguran yang semakin meningkat dan sulit untuk turun.
Secara umum, faktor penyebab persistensi pengangguran diduga sebagai
implikasi dari kekakuan upah, proses pencarian kerja yang lama serta faktor lain
yang terkait dengan kelembagaan pasar tenaga kerja. Kekakuan upah dapat terjadi
21
karena kekakuan upah nominal maupun kekakuan upah riil, indeksasi, kebijakan
upah minimum, upah efisiensi dan upah relatif. Sedangkan pencarian kerja dapat
dipengaruhi oleh mismatch, mobilitas geografis, informasi pekerjaan, durasi,
friksional maupun upah reservasi. Faktor lain merupakan faktor terakhir yang
akan dibahas pengaruhnya terhadap persistensi pengangguran. Masing-masing
faktor kemudian terbagi menjadi beberapa bagian yang kemudian akan dianalisis
berdasarkan respon data survey yang diberikan kepada penganggur di beberapa
wilayah sampel.
Masing-masing bagian untuk setiap faktor kemudian akan diuji dengan
data primer apakah faktor tersebut merupakan penyebab dari terjadinya persistensi
pengangguran. Rekomendasi kebijakan kemudian akan menjadi bagian analisis
selanjutnya. Bagian ini akan mengulas berbagai kebijakan yang dapat ditempuh
oleh pemerintah sebagai bentuk solusi dalam mengatasi pengangguran.
(gambar.2.2)
22
Persistensi Pengangguran
Kekakuan Upah
Pencarian Pekerjaan
Faktor Lain
Kekakuan Upah Nominal
Missmatch
Regulasi
Indeksasi
Mobilitas Geografis
Penyesuaian
Upah Minimum
Informasi Pekerjaan
Upah Relatif
Durasi
Upah Efisiensi
Friksional
Mediasi
Serikat Buruh
Upah Reservasi
Faktor-Faktor Penyebab
Persistensi Pengangguran
Rekomendasi Kebijakan
Gambar.2.2 Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian
23
2.7. Hipotesis Penelitian
1.
Kekakuan upah menyebabkan mekanisme keseimbangan di pasar
tenaga kerja tidak berjalan. Upah akan cenderung berada diatas upah
keseimbangan sehingga pengangguran akan semakin meningkat. Kekakuan upah
diduga merupakan faktor penyebab terjadinya persistensi pengangguran.
2.
Proses pencarian waktu kerja yang lama akan mengakibatkan waktu
tunggu yang semakin lama. Implikasinya, pengangguran semakin meningkat.
Oleh karena itu, proses pencarian kerja diduga termasuk penyebab terjadinya
persistensi pengangguran.
3.
Faktor lain seperti regulasi, mekanisme penyesuaian dan serikat buruh
akan membuat upah menjadi relatif lebih kaku dan berada diatas tingkat
keseimbangan
yang
seharusnya.
Kondisi
ini
akan
menjadikan
tingkat
pengangguran semakin tinggi. Faktor lain diduga akan menjadi penyebab
terjadinya persistensi pengangguran.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang
diperoleh berasal dari Badan Pusat Statisitik (BPS) dan International Center for
Applied Finance and Economic (Inter-CAFE). Data sekunder diperoleh dari
database Inter-CAFE (2008) yang telah melakukan survey kepada responden
untuk lima Provinsi di Indonesia. Data sekunder diperoleh dari BPS digunakan
untuk memberikan gambaran terjadinya paradoks antara pertumbuhan ekonomi
dan pengangguran serta kegunaannya dalam menentukan wilayah sampel di
masing-masing provinsi.
Menurut (Fink, 2002), survey merupakan sistem pengumpulan informasi
dari responden untuk mendeskripsikan, membandingkan dan menjelaskan tentang
pengetahuan, sikap dan perilaku mereka atas respon dari pertanyaan yang
diberikan. Data primer yang diperoleh dari survey digunakan untuk mencari
informasi secara mendalam mengenai indikasi serta sumber penyebab dari
terjadinya persistensi pengangguran.
Pengumpulan data primer melalui survey dilakukan dengan cara pengisian
kuisioner dan wawancara. Kuisioner yang digunakan mencakup kuisioner terbuka
dan tertutup. Dalam kuisioner terbuka, peneliti memberi pertanyaan dan meminta
responden menguraikan pendapat atau pendiriannya dengan panjang lebar.
Sedangkan kuisioner tertutup terdiri atas pertanyaan-pertanyaan dengan sejumlah
25
jawaban tertentu sebagai pilihan dan responden memilih jawaban yang paling
sesuai dengan pendirianya (Nasution, 2003).
Penggunaan
instrumen
survey
merupakan
metode
umum
dalam
pengumpulan data primer, karena keunggulannya yang praktis untuk mendapatkan
keterangan yang jelas dari responden terutama untuk daerah yang memiliki
kawasan yang besar. Selain itu keunggulan lainnya adalah mampu menjelaskan
berbagai fenomena, memperlihatkan hubungan antar variabel serta menyediakan
informasi yang mendalam (Bahlevi, 2005). Untuk meminimalkan kesalahan
dalam pengumpulan data primer maka daftar kuesioner yang digunakan telah
menjalani tahap uji coba dan enumerator telah memiliki pengetahuan mengenai,
teknik wawancara, latar belakang dan pengetahuan ekonomi serta tujuan kegiatan
penelitian.
Penentuan lokasi survey didasarkan pada keterwakilan seluruh Indonesia,
sehingga cakupan wilayah penelitian meliputi provinsi di kawasan barat dan timur
Indonesia. Selain itu, penentuan provinsi yang menjadi daerah sampel dalam
penelitian ini didasarkan pada trend tingkat pengangguran yang semakin
meningkat selama tahun 1996-2006. Hal ini dapat dilihat dari gambar.3.2. Setiap
provinsi kemudian akan diambil dua kota atau kabupaten. Pemilihan kota dan
kabupaten tersebut didasarkan pada beberapa kriteria. Pertama, kota atau
kabupaten dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita kota atau
kabupaten yang nilainya mendekati PDRB per kapita untuk setiap provinsi.
Kedua, kota atau kabupaten yang memiliki tingkat pengangguran tertinggi. Untuk
memenuhi kriteria tersebut, maka akan dilakukan analisis deskriptif dengan
26
menggunakan data sekunder mengenai nilai PDRB dan struktur pengangguran
regional.
Nilai PDRB kota maupun kabupaten yang mendekati nilai PDRB Provinsi
akan mencerminkan bahwa sampel dari setiap daerah dapat mewakili data
ditingkat provinsi. Pembagian wilayah sample dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel.3.1 Wilayah Pembagian Sampel
Wilayah Provinsi
Riau
Jawa Barat
Kalimantan Barat
Sulawesi Utara
Nusa Tenggara Barat
Wilayah Survey

Kabupaten Pelalawan

Kota Pekanbaru

Kabupaten Bogor

Kabupaten Cimahi

Kota Pontianak

Kabupaten Pontianak

Kota Manado

Kabupaten Bolaang
Mongondow

Kota Mataram

Kabupaten Lombok Timur
Sumber : Inter-CAFE (2008)
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.3.1. Selisih Pengangguran Provinsi Sampel dan Nasional
27
3.2. Metode Pengambilan Contoh
Prosedur penarikan contoh dalam penelitian ini terdiri dari perpaduan
penarikan secara quota sampling dan simple random sampling. Penarikan contoh
diawali dengan teknik quota sampling kemudian dikuti oleh simple random
sampling. Menurut Juanda (2008), penarikan contoh dengan teknik quota
sampling adalah prosedur dimana peneliti mengklasifikasi populasi berdasarkan
kriteria-kriteria tertentu, kemudian menentukan proporsi atau quota sampel dari
masing-masing klasifikasi tersebut. Teknik ini dipilih untuk memastikan bahwa
beberapa karakteristik populasi terwakili dalam contoh yang akan terpilih.
Masing-masing dari kota maupun kabupaten telah ditetapkan sesuai dengan
kriteria dari nilai PDRB yang mendekati PDRB provinsi serta tingkat
pengangguran yang paling tinggi.
Sedangkan dalam penarikan contoh melalui simple random sampling,
contoh diambil secara acak dari sampling frame yang telah ditentukan. Prosedur
pemiihan contoh ini sedemikian rupa sehingga tiap anggota populasi mempunyai
peluang yang sama untuk terpilih sebagai contoh. Dengan kata lain, apabila
masing-masing daerah telah terpilih, maka setiap penganggur dapat dijadikan
sebagai responden dalam penelitan ini.
3.3. Metode Pengolahan Data
Pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
perangkat lunak Statistcal Package for the Social Sciences atau SPSS.15 dan
Microsoft Excel 2007. Perangkat lunak SPSS digunakan unuk mengolah berbagai
data yang telah disesuaikan dengan hasil kuisioner maupun wawancara oleh
28
enumerator. Sedangkan Microsoft Excel digunakan untuk membuat berbagai
grafik maupun gambar. Pendekatan yang digunakan melalui analisis statistik
deskriptif kualitatif dengan menjelaskan temuan data dan analisis kuantitatif
seperti penggunaan grafik, tabel dan crosstabulation atau tabulasi silang.
3.4.
Metode Analisis Data
Metode statistika deskriptif digunakan untuk menggambarkan data yang
telah dikumpulkan. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan metode ini
sehingga dapat diperoleh gambaran karakteristik responden. Data disajikan dalam
bentuk frekuensi,
tabulasi tunggal maupun tabulasi silang, pengunaan grafik
maupun diagram.
Metode tabulasi silang merupakan metode statistika yang merangkum data
dengan dua atau lebih variabel secara bersamaan. Metode ini menggunakan cara
deskriptif sederhana untuk melihat apakah terdapat hubungan antara dua variabel
(Vaus, 1990). Tabulasi silang biasanya biasanya menggunakan tabel yang
didalamnya terdapat dua atau lebih variabel bebas dan tak bebas. Setiap sel pada
tabel berisi jumlah responden yang memberikan sebuah kombinasi informasi yang
lebih spesifik. Oleh karena itu, setiap sel mengandung sebuah tabulasi silang
tunggal.
Penggunaan metode tabulasi silang seringkali dijumpai dalam metode
penelitian karena metode ini lazim untuk dijadikan sebagai pilihan dalam analisis
survey ilmu-ilmu sosial. Metode ini juga mudah untuk dimengerti bagi
kebanyakan orang yang memiliki keterbatasan pengertian dalam ilmu hitung.
Kelebihan lain metode ini juga dapat digunakan untuk berbagai tipe jenis data
29
seperti nominal, ordinal, interval maupun rasio. Namun penggunaan metode ini
lebih unggul dalam menghubungkan variabel dalam skala nominal dan ordinal.
Dengan demikian, tabulasi silang dapat digunakan jika salah satu variabel bersifat
kualitatif dan lainnya kuantitatif ataupun jika kedua variabel bersifat kualitatif dan
sebaliknya. Tabulasi silang dapat dijadikan sebagai dasar untuk memberkan solusi
dari suatu masalah dengan menampilkan kombinasi dari variabel dan
menganalisis variabel bebas dan tak bebas.
IV. PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Responden
Responden berjumlah 152 penganggur dari lima Provinsi yang terdiri dari 89
orang berjenis kelamin laki-laki dan 63 orang berjenis kelamin wanita. Berdasarkan
pembagian wilayah, maka Jawa Barat menempati urutan pertama dengan jumlah
responden yang mencapi 23.68 persen, Nusa Tenggara Barat 21.05 persen, tiga
provinsi lainnya, yaitu Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Barat sebesar 19.74
persen dan Sulawesi Utara 19.08 persen dari total responden.
Berdasarkan umur, penganggur dibagi menjadi dua kelompok yaitu
penganggur muda dan penganggur dewasa. Penganggur muda merupakan penganggur
yang berusia antara 15 hingga 25 tahun sedangkan penganggur dewasa merupakan
penganggur yang berusia diatas 25 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan, maka
penganggur terbagai menjadi dua kelompok yaitu penganggur berpendidikan tinggi,
mereka yang lulus diploma atau sarjana dan penganggur tidak berpendidikan tinggi,
yaitu mereka yang lulus SMA atau SMK ke bawah. Lama menganggur yang telah
dijalani oleh penganggur bervariasi antara 0 – 6 bulan, 6 – 12 bulan dan lebih dari 12
bulan. Pembagian penganggur tersebut dapat dilihat gambar.4.1.-4.3.
31
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.1. Persentase Distribusi Wilayah Sampel Provinsi
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.2. Persentase Jumlah Responden Menurut Jenis Kelamin dan Umur
32
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.3. Persentase Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan dan
Lama Menganggur
4.2. Kekakuan Upah
Kekakuan upah dapat dibagi menjadi kekakuan upah nominal dan kekakuan
upah riil. Mekanisme dari kedua kekakuan tersebut berbeda, namun memiliki
implikasi yang sama, yaitu meningkatkan trend persistensi pengangguran. Kekakuan
upah nominal berarti upah nominal tidak dapat menjadi penyeimbang permintaan dan
penawaran tenaga kerja. Kekauan upah nominal terjadi ketika tingkat upah berada
diatas keseimbangan sehingga terjadi peningkatan pengangguran. Sedangkan
kekakuan upah riil terjadi saat kecepatan penyesuaian upah riil tidak sama dengan
kecepatan penyesuaian dalam Marginal Productivity of Labor. Jika upah riil tumbuh
lebih cepat dari pertumbuhan produktivitas, maka hal ini akan meningkatkan
pengangguran.
33
4.2.1 Kekakuan Upah Nominal
Kekakuan upah nominal bisa disebabkan oleh beberapa hal yaitu, indeksasi,
pemberlakuan upah minimum, upah relatif dan upah efisiensi. Hipotesis tentang
kekakuan upah nominal sebenarnya lebih tepat diuji kepada perusahaan dan pekerja.
Tapi kepada para penganggur bisa ditanyakan kepada mereka sejauh mana kemauan
mereka untuk menerima kenyataan bahwa perusahaan menurunkan upah nominal.
Berdasarkan hasil respon dari penganggur, 55.9 persen persen diantaranya
bersedia diturunkan upahnya jika perusahaan mengalami masalah dan sisanya 44.1
persen tidak bersedia (gambar.4.4). Alasan dari respon jawaban tersebut adalah,
pertama penganggur merasa lebih penting mendapat pekerjaan. Kedua, pengangguran
dengan data ini sangat berpotensi untuk underbidding terhadap pekerja atau insider.
Untuk kasus penganggur, terlihat bahwa upah memungkinkan mengalami penurunan,
walaupun tidak menjamin bila sudah bekerja, mereka konsisten dengan pernyataan
untuk menerima penurunan upah tersebut.
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.4 Respon Penurunan Upah
34
Sedangkan apabila responden dibagi menjadi pendidikan tinggi dan
pendidikan
tidak
tinggi,
maka
respon
dari
para
responden
menunjukan
kecenderungan yang sama. Untuk mereka yang berpendidikan tinggi, sebanyak 45.5
persen
menyatakan kesediaannya untuk diturunkan upahnya dan sebanyak 54.5
persen sisanya merasa enggan untuk diturunkan upahnya. Untuk penganggur
berpendidikan tidak tinggi, respon yang didapatkan adalah sebanyak 58 persen
menjawab kesediaannya dan sisanya menjawab tidak, jika upah mereka kelak yang
didapatkan apabila menjadi pekerja diturunkan.
Alasan dari respon tersebut adalah untuk mereka yang berpendidikan tinggi,
mereka merasa memiliki kontribusi yang signifikan bagi perusahaan, sehingga
enggan untuk bersedia diturunkan upahnya. Hal ini menandakan downward rigidty
bagi penganggur berpendidikan tinggi. Sedangkan alasan bagi pendidikan yang tidak
tinggi sama halnya seperti analisis sebelumnya bahwa penganggur merasa lebih
penting
untuk
mendapatkan
pekerjaaan
serta
mengindikasikan
terjadinya
underbidding terhadap insider. Underbidding berarti dalam kondisi upah yang turun,
maka penganggur sebagai outsider akan cenderung mengambil posisi insider untuk
dapat bekerja (gambar.4.5)
35
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.5 Respon Penurunan Upah Berdasarkan Tingkat Pendidikan
4.2.2 Kekakuan Upah Nominal dan Indeksasi
Apabila terjadi kekakuan upah nominal, sebenarnya masih ada peluang bagi
pembuat kebijakan untuk mempertahankan tingkat full employment dengan cara
menurunkan upah riil. Secara teori, ketika upah nominal tidak dapat diturunkan dan
selama upah riil turun, maka kekakuan upah nominal dapat diatasi dengan
menciptakan inflasi. Tetapi hal ini tidak mungkin terjadi jika sistem pengupahan
dikaitkan dengan indeksasi. Hal ini juga mengindikasikan keterbatasan dalam
penggunaan
kebijakan
moneter
yang
bersifat
ekspansif
dalam
mengatasi
pengangguran.
Oleh karena itu, ditanyakan kepada penganggur jika kelak mereka bekerja,
apakah yang akan mereka lakukan. Persepsi penganggur terhadap indeksasi
menunjukkan bahwa 42.4 persen responden untuk para penganggur berpendidikan
tidak tinggi akan segera menuntut kenaikan upah apabila telah terjadi peningkatan
36
biaya hidup (gambar.4.6). Ini mungkin disebabkan karena penganggur tidak
berpendidikan tinggi kurang memahami konsep dan arti pentingnya inflasi.
Sedangkan bagi para penganggur yang berpendidikan tinggi, respon yang menjawab
menuntut kenaikan upah mencapai 68.8 persen. Relatif dominannya penganggur
yang memasukkan faktor inflasi dalam mempersepsikan kenaikan upah menunjukkan
kuatnya sinyal terjadinya indeksasi secara backward.
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.6. Persepsi Kenaikan Upah terhadap Peningkatan Biaya Hidup.
Lebih jauh apabila para responden ditanya perihal bagaimana seharusnya
kenaikan upah yang seharusnya diterima oleh mereka saat mereka nanti bekerja,
sebanyak 48.7 persen menjawab kenaikan tersebut harus lebih tinggi dibandingkan
dengan biaya hidup. Respon ini beda tipis dengan kebutuhan akan kenaikan upah
37
yang besar kenaikannya sama dengan kenaikan biaya hidup yang mencapai 48 persen
(Lampiran.4)
Respon yang sama terjadi bila penganggur terbagi menjadi penganggur
berpendidikan tinggi dan tidak tinggi. Penganggur merasa bahwa jika terjadi kenaikan
harga maka mereka menginginkan kenaikan upah yang lebih tinggi dibandingkan
dengan biaya hidup. Persentase yang menjawab ini mencapai 50 persen untuk para
penganggur pendidikan tinggi dan 48.3 persen untuk penganggur dari kalangan tidak
berpendidikan tinggi (Gambar.4.7). Alasan dari jawaban ini mungkin karena
terjadinya kenaikan biaya hidup yang sangat cepat, sehingga mereka membutuhkan
tambahan upah sebagai bentuk kompensasi akibat kenaikan kebutuhan tersebut.
Dengan demikian kekakuan upah nominal dan indeksasi merupakan salah satu faktor
penyebab tingginya tingkat pengangguran.
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.7 Output Bagaimana Seharusnya Kenaikan Upah Yang Diterima
38
4.2.3 Upah Minimum
Upah minimum dari sisi penganggur sebenarnya dapat dipandang sebagai
tingkat upah yang membuat kesempatan kerja bagi penganggur menjadi tertutup. Jika
upah minimum lebih tinggi daripada upah keseimbangan maka kebijakan upah
minimum mengakibatkan pengangguran. Oleh karena itu penting untuk menanyakan
kepada penganggur tentang persepsi mereka terhadap upah minimum, yaitu tentang
(i) kebijakan pengupahan, (ii) tingkat upah yang diharapkan dan (iii) kemungkinan
terjadinya underbidding.
Pertanyaan tentang kebijakan pengupahan merupakan pertanyaan yang
bersifat normatif, yaitu tentang apakah upah minimum melindungi kepentingan
penganggur ketika masuk ke dunia kerja. Dari hasil survey, hanya sekitar 2 persen
saja yang menyatakan sebaiknya perusahaan memberikan tingkat upah di bawah upah
minimum. Sementara, respon yang menjawab lebih tinggi dari upah minimum
mencapi 54.6 persen (Gambar.4.8). Ini menunjukkan bahwa implikasi kebijakan upah
minimum terhadap pengangguran tidak dimengerti secara menyeluruh oleh
penganggur. Namun respon ini merupakan sesuatu yang wajar karena informasi
tentang implikasi upah minimum ini tidak menjadi informasi bagi publik. Akibatnya,
tidak akan ada keberatan dari penganggur terhadap kebijakan upah minimum yang
sebenarnya merugikan mereka.
39
Sumber : Inter-CAFE, 2008 (diolah)
Gambar.4.8 Kebijakan Pengupahan terhadap Upah Minimum
Respon pertanyaan tentang besarnya tingkat upah terhadap kualifikasi
penganggur
berbeda
menurut
tingkat
pendidikan
(Gambar.4.9).
Mayoritas
penganggur berpendidikan tinggi cenderung memiliki ekspektasi untuk memperoleh
upah di atas upah minimum, yaitu sebanyak 90.9 persen. Sementara itu, penganggur
yang tidak berpendidikan tinggi memiliki ekspektasi yang relatif lebih rendah
terhadap tingkat upah yang diinginkan yaitu sebanyak 47.9 persen. Sangat
mengejutkan, sedikit sekali penganggur yang berharap mendapat upah di bawah upah
minimum. Hal ini wajar karena pertanyaan ini hanya bersifat ekspektasi.
40
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.9 Kebijakan Pengupahan terhadap Upah Minimum Berdasarkan Tingkat
Pendidikan
Mayoritas penganggur tidak berpendidikan tinggi yang mencapai 70.6 persen
bersedia menerima upah di bawah upah minimum seandainya mereka terus
menganggur dalam jangka waktu satu tahun mendatang (Gambar.4.10). Kelompok
ini lebih berharap diterima kerja daripada mempermasalahkan upah. Oleh karena itu
kelompok ini berpotensi melakukan underbidding terhadap para pekerja.
Temuan berdasarkan Gambar.4.10 juga cukup mengejutkan. Persentase
penganggur berpendidikan tinggi yang bersedia diberikan upah yang lebih rendah
dari upah minimum mencapi 42.4 persen. Diduga kelompok ini merupakan kelompok
yang putus asa yang bersedia mengerjakan apa saja tanpa memperhitungkan tingkat
pendidikan atau keahliannya. Kelompok ini akan mendesak kelompok yang kurang
41
berpendidikan sehingga terjadi downskilling. Pihak yang paling dirugikan adalah para
penganggur yang tidak punya keahlian dan pengalaman, yaitu para penganggur muda.
Gambar.4.10 Kesediaan terhadap Upah di Bawah Upah Minimum Berdasarkan
Tingkat Pendidikan
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.10 Kesediaan terhadap Upah di Bawah Upah Minimum Berdasarkan
Tingkat Pendidikan
Mayoritas responden juga menganggap bahwa acuan terpenting dalam
penentuan upah seharusnya sesuai dengan
upah minimum yang ditetapkan
pemerintah (Gambar.4.11). Respon ini merupakan sesuatu yang wajar karena secara
legal melalui penetapan Undang-Undang maupun praktis, pemerintah memiliki
kewenangan dalam menentukan besaran upah melalui kebijakan upah minimum
42
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.11 Acuan Utama Penentuan Upah
4.2.4 Upah Relatif
Persaingan di dunia kerja menuntut pekerja untuk memiliki keahlian khusus
yang tidak mungkin dapat tergantikan melalui rekruitmen karena membutuhkan
waktu yang lama. Cara yang biasanya dapat ditempuh adalah dengan memindahkan
pekerja berkeahlian khusus dari perusahaan lain. Upah relatif kemudian akan menjadi
sumber kekakuan upah karena nilai dari upah ini akan menjadi opportunity cost bagi
perusahaan.
Responden penganggur memiliki harapan bahwa setelah bekerja nantinya
mereka akan memperoleh upah yang kira-kira sama dengan upah pekerja di
perusahaan sejenis. Hal ini terlihat dari respon yang mencapai 61.8 persen dan 36.8
persen mengharapkan lebih. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas penganggur
menganggap tidak ada perbedaan bagi mereka untuk bekerja di sektor atau
perusahaan apapun (gambar.4.12). Berdasarkan persepsi penganggur ini, upah relatif
43
tidak berlaku. Dengan demikian tidak ada bukti yang kuat bahwa upah relatif
merupakan penyebab terjadinya persistensi pengangguran.
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.12 Upah yang dibayarkan Perusahaan
4.2.5 Upah Efisiensi
Upah efisiensi merupakan premi upah yang diberikan secara berlebih kepada
mereka yang dinilai berprestasi dan produktif dan bukan termasuk yang bersifat
insidental seperti bonus. Terdapat berbagai alasan mengapa upah efisiensi itu
dibutuhkan diantaranya dapat menghindari adverse selection, menghindari moral
hazards serta menciptakan opportunity cost bagi para pekerja untuk keluar dari
perusahaan tempat dimana mereka bekerja.
Ada tidaknya upah efisiensi dari sudut penganggur, dapat diukur melalui
tingkat ekspektasi penganggur terhadap masalah upah efisiensi ini. Responden
ditanyakan kesediaan untuk dinilai secara rutin apabila mereka bekerja nantinya.
Sebanyak 96.6 persen responden penganggur tidak berpendidikan tinggi bersedia dan
44
sisanya tidak. Bahkan untuk kalangan yang berpendidikan tinggi, semua responden
menjawab kesediaannya untuk dapat dinilai kinerjanya secara rutin (Gambar.4.13).
Sumber : InterCAFE (2008), diolah
Gambar.4.13. Penilaian Kinerja Secara Rutin
Sementara itu, responden berharap mendapatkan bonus tambahan jika mereka
dinilai lebih produktif
dan 39.7 persen mengingnkan penyesuaian gaji
(Gambar.4.14). Melalui temuan survey ini, dapat dikatakan bahwa upah efisiensi
bukan sesuatu yang umum dan bukan merupakan salah satu sumber penyebab
kekakuan upah.
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.14 Bentuk Apresiasi yang Diharapkan.
45
4.3. Pencarian Pekerjaan
Berdasarkan temuan sebelumnya, market clearing sebagai implikasi dari
upah sebagai penyeimbang permintaan dan penawaran tenaga kerja tidak
berlangsung. Hal ini terjadi karena adanya kekakuan upah. Ketidakseimbangan ini
mengindikasikan juga struktur pasar tenaga kerja yang tidak sempurna, akibatnya,
proses pencarian pekerjaan membutuhkan waktu yang lebih lama. Pencarian kerja
yang lama ini diduga dapat mengakibatkan peningkatan trend pengangguran.
Pencarian kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu mobilitas geografis,
mismatch, ketidaksempurnaan informasi, friksi dan durasi serta upah reservasi.
4.3.1 Mobilitas Geografis
Pengangguran muncul bukan karena pekerjaan yang tidak tersedia tetapi
tersedia di tempat yang tidak diinginkan. Penganggur akan menunggu lebih lama di
tempat mereka tinggal daripada mengisi lowongan di tempat lain. Hal ini berkaitan
dengan aspek geografis. Untuk itu perlu ditanyakan kepada penganggur mengenai
mobilitas geografis yaitu jika ada kesempatan kerja di wilayah lain, mudahkah
pindah untuk bekerja diwilayah tersebut.
Mayoritas responden penganggur sebanyak 72.8 persen menganggap bahwa
pindah kerja ke wilayah lain adalah hal yang tidak mudah. Sedangkan sisanya sebesar
27.2 persen menyatakan mudah bila pindah kerja di wilayah lain (Gambar.4.15).
Alasan atas respon tersebut adalah karena faktor dominan dari keluarga yang
menyebabkan mereka enggan untuk pindah bekerja ke wilayah lain. Hal ini
46
dibuktikan dengan jumlah responden yang mencapai 56 persen menyatakan bahwa
hubungan keluarga merupakan alasan utama kenapa mereka enggan bekerja di
wilayah lain. Dengan kata lain, faktor non-ekonomis seperti biaya psikologis dan
sosial lebih dipertimbangkan
(Gambar.4.16).
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.15. Kemudahan Pindah Bekerja ke Wilayah Lain
Faktor dominan lain yang mennyebabkan adanya hambatan geografis adalah
karena alasan perbedaan biaya hidup, respon mencapai 17.3 persen. Alasan dari
respon ini memang rasional secara ekonomi. Artinya apabila cost yang dikeluarkan
lebih besar dari benefit yang didapatkan maka mereka lebih memilih untuk
menganggur lebih lama daripada menanggung cost yang besar. Jadi hambatan
sebenarnya bukan ketidakmauan perusahaan untuk menerima para penganggur untuk
bekerja tetapi temuan ini menunjukan preferensi sosial para penganggur terhadap
pekerjaan.
47
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.16 Faktor yang Mempengaruhi Mobilitas Geografis
Implikasi dari hambatan geografis pencarian kerja adalah bahwa pemerintah
seharusya berupaya menjalankan program penciptaan lapangan kerja dengan
membedakan karakteristik pengangguran di setiap daerah. Setiap daerah harus
mampu mencitakan program penyelesaian pengangguran sendiri. Berdasarkan
temuan ini, maka mobilitas geografis merupakan salah satu sumber penyebab proses
pencarian kerja yang lebih lama dan mendorong peningkatan pengangguran secara
terus menerus.
4.3.2 Mismatch
Mismatch adalah ketidaksesuaian antara job vacancy yang tersedia dengan
skill dari job seekers. Akibatnya perusahaan mengalami kesulitan mencari pekerja
yang diharapkan dan pekerja juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan
yang sesuai dengan skill yang dimilikinya.
Untuk itu perlu ditanyakan kepada penganggur alasan apa saja yang
menyebabkan mereka berhenti dari perusahaan tempat dimana mereka bekerja
48
sebelumnya. Berdasarkan respon yang diberikan oleh penganggur, maka mismatch
memang menjadi masalah yang mengakibatkan mereka berhenti dari pekerjaan
mereka. Hal ini dibuktikan dari relatif tingginya responden yang menyatakan bahwa
alasan mereka berhenti adalah karena ketidaksesuaian antara pekerjaan dan keahlian
mereka, yang mencapai 31.3 persen (Lampiran.5) Respon ini menempati peringkat
kedua setelah alasan berakhirnya kontrak yang menyebabkan mereka berhenti dari
pekerjaan sebelumnya.
Selain itu, untuk mengukur terjadinya mismatch, maka perlu ditanyakan pula
apakah mereka mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan
latar belakang pendidikan maupun pengalaman kerja sebelumnya. Hasilnya 86 persen
menyatakan
bahwa
mereka
merasakan
kesulitan
dalam
mencari
pekerja
(Gambar.4.17). Hal ini menunjukkan besarnya potensi mismatch yang membuat
waktu untuk mencari pekerjaan yang sesuai cukup panjang sehingga tingkat
pengangguran cenderung semakin tinggi. Ketidaksesuaian ini terjadi karena tingkat
pendidikan sekolah umum tidak mampu menyediakan keahlian yang dibutuhkan
perusahaan. Hal ini juga terbukti
dengan tingginya tingkat pengangguran yang
berasal dari mereka yang berlatar belakang pendidikan umum dibandingkan dengan
mereka yang menempuh sekolah kejuruan. Sekolah umum yang tidak menyediakan
keahlian spesifik bagi perusahaan juga merupakan salah satu alasan terjadinya
missmatch.
Implikasi penting dari temuan ini adalah diperlukan sebuah perubahan dalam
sistem pendidikan nasional yang berbasis pada keahlian. Namun proses ini
49
membutuhkan waktu yang cukup lama karena memerlukan penyediaan infrastruktur
dan tenaga pengajar yang profesional.
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.17 Ketidaksesuaian Pekerjaan dengan Kualifikasi.
4.3.3 Informasi Lowongan Pekerjaan
Salah satu cara mengatasi mismatch adalah dengan membuka akses informasi
mengenai vacancy job sehingga para pencari kerja mengetahui di mana saja ada
lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya. Hambatan informasi diduga
bagi mereka yang berpendidikan rendah atau tidak tinggi. Oleh karena itu perlu
dipertanyakan perihal kemudahan untuk mendapatkan akses informasi lowongan
pekerjaan.
Penganggur merasa kesulitan untuk mendapatkan informasi lowongan
pekerjaan. Hal ini dibuktikan dengan 50.7 persen penganggur yang menjawab
ketidakmudahan dalam mendapat informasi lowongan kerja (lampiran.6). Khusus
bagi penganggur yang berpendidikan tinggi, ada 72.7 persen yang menyatakan mudah
mendapatkan informasi pekerjaan sedangkan penganggur yang tidak berpendidikan
50
tinggi, ada 57.1 persen menganggap sulit untuk mendapat informasi lowongan
pekerjaan (Gambar.4.18). Hal ini terjadi karena pada umumnya mereka mendapatkan
informasi seputar lowongan pekerjaan melalui rekan kerja di perusahaan lain,
sehingga memudahkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan.
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.18 Kemudahan Mencari Informasi Lowongan Pekerjaan
Sementara itu terkait dengan sumber informasi lowongan pekerjaan, 48.5
persen responden penganggur berpendidikan tinggi menjadikan surat kabar atau
majalah sebagai sumber utama mencari informasi lapangan pekerjaan sedangkan 65.5
persen penganggur tidak berpendidikan tinggi mengandalkan kontak dengan teman
atau keluarga sebagai referensi utama. Hal ini terjadi mungkin karena penganggur
yang tidak berpendidikan tinggi jarang membaca koran atau memang karena
lowongan untuk mereka yang tidak berpendidikan tinggi jarang tersedia. Kemudian
sebanyak 24.2 persen untuk responden penganggur berpendidikan tingi menyatakan
51
bahwa internet menjadi salah satu cara untuk mendapatkan informasi seputar
lowongan pekerjaan. (Gambar.4.19-4.20)
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.19. Sumber Informasi Lowongan Pekerjaan
Gambar.4.20. Sumber Informasi Lowongan Pekerjaan
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.20. Sumber Informasi Lowongan Pekerjaan
52
Persepsi penganggur juga kemudian diuji terkait dengan informasi pekerjaan
dibanding dengan setahun yang lalu. Penganggur merasa bahwa tidak ada perubahan
dalam mendapatkan informasi lowongan pekerjaan. Sebanyak 57.6 persen dari
responden penganggur berpendidikan tinggi merasakan hal yang sama. Temuan yang
sama ditunjukan bahwa hampir 40 persen penganggur berpendidikan tidak tinggi
merasakan ketidakmudahan dalam mendapatkan informasi
lowongan
kerja
dibandingkan dengan setahun yang lalu (Gambar.4.21)
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.21 Kemudahan Dalam Mendapatkan Infromasi Setahun Lalu
Alasan dari respon ini mungkin karena apa yang ditampilkan dalam surat
kabar atau majalah tidak mampu memenuhi kebutuhan akan lapangan kerja yang
dibutuhkan. Bahkan, kantor Dinas Tenaga Kerja setempat hampir tidak dijadikan
sebagai sumber informasi pekerjaan (gambar.4.19-4.20). Temuan ini menandakan
bahwa kemungkinan besar informasi yang disediakan oleh Dinas Tenaga Kerja
53
sangat terbatas bila dibandingkan dengan sumber lainnya seperti melalui media masa
dan jasa penyedia lapangan kerja. Dengan demikian, sulitnya informasi mendapatkan
pekerjaan merupakan salah satu penyebab pencarian kerja yang lama. Hal ini
tentunya akan membuat pengangguran semakin meningkat.
4.3.4 Pengangguran Friksional dan Durasi
Pengangguran tercipta bukan hanya karena kegagalan penyesuaian tingkat
upah tetapi juga bergantung pada waktu yang dibutuhkan para penganggur untuk
menemukan pekerjaan. Waktu tunggu untuk memperoleh pekerjaan yang bertambah
panjang akan meningkatkan pengangguran. Hal ini dikarenakan setiap saat ada
angkatan kerja baru yang masuk pasar tenaga kerja. Untuk menjadikan tingkat
pengangguran tetap, waktu tunggu untuk memperoleh pekerjaan seharusnya
seimbang dengan laju masuknya angkatan kerja baru. Jika waktu tunggu bertambah
dan angkatan kerja baru juga bertambah maka pengangguran akan bertambah.
Pengangguran friksional merujuk pada pengangguran yang terjadi akibat
adanya waktu tunggu yang dibutuhkan untuk menemukan pekerjaan yang baru.
Meningkatnya pengangguran friksional ditandai dengan semakin sulit untuk
melakukan perpindahan pekerjaan. Oleh karena itu, perlu ditanyakan, apabila ingin
memperoleh pekerjaan, bersediakah bekerja di sektor lain yang tidak sesuai dengan
kompetensi mereka.
Respon
survei
menunjukkan
80.8
persen
responden
menjawab
ya
(Gambar.4.22). Alasannya, bagi penganggur sebenarnya tidak ada masalah bekerja di
54
mana saja, tetapi penghalangnya ada di perusahaan, di mana mereka memiliki
permintaan tenaga kerja yang spesifik, yaitu lebih memilih yang siap pakai dan
mempunyai pengalaman kerja. Hal ini menunjukan indikasi kuat terjadinya friksi
dalam mendapatkan pekerjaan.
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.22 Kesediaan Bekerja di Sektor yang Berbeda.
Dalam survei ditanyakan faktor-faktor yang menyebabkan dibutuhkannya
waktu tunggu yang relatif lama. Ternyata 48 persen responden menyatakan
terbatasnya lapangan pekerjaan sebagai penyebab waktu tunggu yang lama.
Sedangkan 15.8 persen dan 13.8 persen berturut-turut menjawab karena pengalaman
kerja yang tidak dipenuhi dan ketidaksesuaian antara keahlian dan lapangan kerja
(Gambar.4.23). Alasan yang mungkin dari respon ini adalah kinerja sektor riil, dalam
hal ini sektor industi yang rendah, walaupun sebenarnya sektor ini merupakan sektor
penyumbang terbesar dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Penurunan kinerja
pada sektor industri ini berdampak pada rendahnya penyerapan tenaga kerja. Selain
55
itu, hal ini merupakan akibat dari perkembangan investasi yang rendah sehingga
mengakibatkan terbatasnya lapangan pekerjaan.
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.23 Faktor-faktor Penyebab Waktu Tunggu yang Lama
Berkaitan dengan durasi atau waktu tunggu bagi penganggur, maka
ditanyakan berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan
yang sesuai dengan harapan mereka. Berdasarkan temuan yang didapatkan, waktu
tunggu atau durasi bagi penganggur untuk mendapatkan pekerjaan yang diharapkan
terbagi hampir seimbang antara yang berdurasi kurang dari 3 bulan, yaitu 45.6
persen, dan yang sulit menentukan durasi, yaitu 43.6 persen (Gambar.4.24). Alasan
dari respon ini adalah bahwa penganggur akan cenderung untuk down skilling
sehingga durasi yang dibutuhkan lebih cepat walaupun mendapatkan pekerjaan yang
seharusnya tidak sesuai dengan keahlian maupun pendidikannya. Sedangkan yang
menjawab tidak yakin atau susah menunjukan keputusasaan dalam mencari
pekerjaan, sehingga membutuhkan durasi yang lama.
56
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.24 Durasi Mendapatkan Pekerjaan
4.3.5 Upah Reservasi
Upah reservasi (reservation wage) merujuk pada upah paling rendah sehingga
penganggur memutuskan mau bekerja. Jika upah reservasi tinggi maka makin sulit
bagi penganggur untuk mendapatkan pekerjaan sehingga waktu tunggu atau durasi
menjadi panjang. Ini berimplikasi pada peningkatan pengangguran. Biasanya
penetapan upah reservasi yang tinggi dilakukan oleh orang-orang yang mendapatkan
jaminan pengangguran seperti pesangon maupun dukungan keluarga sehingga mereka
cenderung untuk memilih pekerjaan dan upah yang didapatkannya
Umumnya upah reservasi akan turun dengan berjalannya waktu. Semakin
lama menganggur, upah reservasi akan menurun. Hal ini dikarenakan : (1)
menganggur menyebabkan biaya, seperti biaya makan, biaya mencari informasi
pekerjaan, biaya fotokopi maupun biaya tes (2) kesempatan bekerja bagi mereka yang
menganggur lebih lama makin terbatas karena perusahaan memandang mereka
57
kurang produktif. Persentase penurunan upah reservasi terhadap upah minimum
diperlihatkan dalam (Gambar.4.25)
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.25 Persentase Penurunan Upah Reservasi terhadap Upah Yang Diharapkan
Data
survei
menunjukkan
bahwa
penganggur
berpendidikan
tinggi
menetapkan upah reservasi yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak
berpendidikan tinggi. Hal ini wajar karena penganggur yang berpendidikan tinggi
memiliki kompetensi dan kemampuan yang lebih baik. Upah reservasi yang tinggi
menandakan bahwa
mereka merupakan kelompok penganggur yang mampu
membiayai masa menganggurnya.
Tabel.4.1 Rataan Upah Reservasi
Penganggur
Rataan (Rp)
Berpendidikan tinggi
1.839.394
Tidak berpendidikan tinggi
1.091.555
Sumber : InterCAFE (2008), diolah
58
Temuan lain juga cukup mengejutkan, sebanyak 62.5 persen penganggur
bersedia menurunkan upah reservasinya untuk menerima tawaran kerja setelah satu
bulan menganggur. Sementara itu ada 68.42 persen penganggur yang ingin
menurunkan upah reservasinya meskipun jika sudah satu tahun menganggur. Ada
kemungkinan mereka adalah para penganggur malas yang hanya mengharapkan
dukungan finansial dari keluarganya (tabel.4.26)
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Tabel.4.26 Persentase Jumlah Penganggur Untuk Upah Reservasi
4.4. Faktor Lain
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, kekakuan upah dan proses pencarian
pekerjaan merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya persistensi pengangguran.
Selain faktor tersebut, terdapat faktor lain yang diduga mengakibatkan terjadinya
kekakuan upah dan pencarian kerja dalam waktu yang bersamaan. Faktor tersebut
diantaranya berkaitan dengan regulasi, mekanisme penyesuaian, mediasi pemerintah
dan serikat buruh.
59
4.4.1 Regulasi
Peraturan atau regulasi memiliki peranan yang penting dalam mendorong laju
perekonomian suatu negara. Namun terdapat berbagai regulasi yang diduga
berpengaruh terhadap penganggguran. Beberapa regulasi yang berimplikasi langsung
dengan masalah pengangguran adalah hak atas pesangon, proteksi pekerja, dan tenaga
kerja asing.
4.4.1.1 Hak atas Pesangon
Penganggur yang memperoleh pesangon yang besar cenderung menetapkan
upah reservasi yang tinggi karena mereka lebih memilih untuk menikmati pesangon
tersebut daripada mencari pekerjaan baru. Tingginya upah reservasi ini akan
menyebabkan durasi atau waktu tunggu untuk mendapatkan pekerjaan baru menjadi
semakin panjang. Untuk itu perlu ditanyakan apakah Undang-Undang yang mengatur
hak pesangon telah atau kurang memadai.
Berdasarkan temuan pada Gambar.4.27, hak atas pesangon yang telah diatur
melalui undang-undang dipersepsikan oleh penganggur telah memadai untuk
melindungi hak pekerja, dengan persentase 73 persen. Angka ini cukup tinggi bila
dibandingkan dengan jawaban kurang memadai yang mencapai 27 persen.
Pada prinsipnya pemberian pesangon akan berdampak pada upah reservasi.
Upah reservasi semakin tinggi mengakibatkan waktu tunggu untuk mendapatkan
pekerjaan menjadi lebih lama. Jika ini terjadi terus menerus, maka trend
60
pengangguran semakin meningkat. Berdasarkan temuan ini maka pesanggon dapat
dikatakan sebagai salah satu sumber terjadinya persistensi pengangguran.
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.27 Manfaat Pesangon.
4.4.1.2 Upah di Masa Skorsing
Bentuk regulasi lainnya adalah mengenai pemberian upah sewaktu
diberhentikan sementara atau skorsing. Upah semasa skorsing ini diduga akan
mengakibatkan moral hazard. Untuk itu perlu ditanyakan bagaimana pendapat para
responden berkaitan dengan pemberlakukan Undang-undang yang menyatakan bahwa
pekerja akan mendapatkan upah ketika diberhentikan sementara atau upah skorsing.
Berdasarkan temuan survey, mayoritas penganggur yang mencapai hampir 80
persen mempunyai persepsi bahwa peraturan upah skorsing tersebut
memang
seharusnya untuk dilakukan. Sedangkan yang menjawab terlalu memberatkan
perusahaan 16 persen (Gambar.4.28). Data ini menunjukan bahwa dalam dunia kerja
rentan terhadap moral hazard, yaitu ketika sebagian pekerja lebih memilih melakukan
pelanggaran agar perusahaan memberikan upah skorsing sehingga pekerja
61
mendapatkan keuntungan dari apa yang telah dilakukannya. Hal ini tentu saja akan
menambah pengangguran.
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.28 Upah di Masa Skorsing
4.4.1.3 Perlindungan Pekerja
Berkaitan dengan proteksi, dilakukan uji persepsi terhadap pelarangan
digunakanya anak-anak yang berusia kurang dari 18 tahun sebagai pekerja. Uji ini
dilakukan untuk mengetahui potensi pengangguran yang terjadi sebagai implikasi
dari penggunaan tenaga kerja anak-anak. Pekerjan yang seharusnya dikerjakan oleh
para pekerja namun ternyata dikerjakan oleh anak-anak. Penganggur yang muncul
karena penggunaan tenaga kerja anak-anak akhirnya akan semakin meningkat.
Hasil survei menunjukan bahwa kebanyakan penganggur yang hampir
mencapai 71.7 persen menyatakan setuju untuk tidak mempekerjakan anak-anak di
bawah umur 18 tahun dan sebanyak 28.3 persen menyatakan tidak setuju
(Gambar.4.29). Alasan dari persetujuan anak-anak sebagai pekerja karena mereka
62
menyadari bahwa penyebab dari digunakannya anak kecil adalah keadaan yang
mendesak di mana anak-anak tersebut harus membantu meringankan beban keluarga
mereka dan menganggap mereka bukan saingan dalam mencari pekerjaan.
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.29 Output Pelarangan Anak Sebagai Pekerja
Hasil respon yang sama juga diperlihatkan melalui penganggur yang
berpendidikan tinggi yang menyatakan bahwa 89.7 persen menyatakan penolakan
mereka terhadap penggunaan anak sebagai tenaga kerja, sedangkan sisanya
membolehkan anak-anak untuk dapat bekerja (Gambar.4.30). Alasan yang mungkin
dari respon seperi ini adalah seharusnya anak-anak tersebut masih harus menimba
ilmu di bangku sekolah dan diharapkan maampu menjadi sumber daya manusia yang
berkualitas.
63
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.30 Output Pelarangan Anak Sebagai Pekerja Berdasarkan Tingkat
Pendidikan
4.4.2. Mekanisme Penyesuaian
Keberadaan tenaga kerja asing di Indonesia menyebabkan tingkat persaingan
kerja semakin tinggi. Untuk mendapatkan jenis pekerjaan tertentu harus memiliki
keahlian dan kompetensi yang menunjang, sesuatu yang lazim dimiliki tenaga kerja
asing. Selain itu faktor penguasaan bahasa asing juga sangat berpengaruh terhadap
kinerja seseorang di perusahaan. Berkaitan dengan hal tersebut dilakukan uji persepsi
terhadap penganggur tentang kesempatan kerja apabila tenaga kerja asing memasuki
pasar tenaga kerja. Berdasarkan pertanyaan tersebut, 68 persen responden
menyatakan bahwa kehadiran tenaga kerja asing akan mempengaruhi kesempatan
kerja sedangkan sisanya meyatakan tidak berpengaruh (Gambar.4.31)
64
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.31 Pengaruh Keberadaan Tenaga Kerja Asing
Hasil ini menunjukkan adanya potensi downskilling di mana penganggur
bersedia menerima pekerjaan dengan kualifikasi yang sebenarnya tidak sesuai denga
tingkat pendidikan yang dimilikinya. Dalam situasi pengangguran yang tinggi,
kondisi
ini akan mendesak kesempatan kerja yang sebenarnya dimiliki pekerja
dengan kualifikasi lebih rendah. Hal ini merupakan bukti bahwa unskilled
employment rate relatif lebih tinggi daripada skilled employment.
4.4.3. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia sangat berkaitan dengan lama waktu menganggur atau
durasi. Semakin lama menganggur seseorang akan semakin kehilangan keahliannya,
atau dengan kata lain terjadi depresiasi pada sumber daya manusia, sehingga makin
sulit menemukan pekerjaan. Untuk itulah perlu ditanyakan berapa lama lagi kira-kira
waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan yang diharapkan oleh para
penganggur.
65
Berdasarkan respon jawaban yang diberikan oleh penganggur pendidikan
tinggi, sebanyak 48.5 persen menjawab tidak yakin atau susah sedangkan sisanya
terbagi yang terdiri dari 33.3 persen untuk jangka waktu kurang dari 3 bulan.
Sedangkan bagi pendidikan tidak tinggi, sebanyak 49.1 persen mereka membutuhkan
waktu untuk kurang dari 3 bulan, kemudian diikuti oleh respon yang menjawab tidak
yakin atau susah sebanyak 42.2 persen (Gambar.4.32). Alasan yang mungkin
mendasari jawaban tersebut adalah bahwa para penganggur memang merasakan
kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang sama di tengah ketatnya persaingan
yang ada atau mereka yang menjawab kurang dari 3 bulan mengindikasikan
downskilling, dimana mereka lebih memilih untuk mendapatkan pekerjaan apa saja
tanpa mempertimbangkan pendidikan maupun kemampuan mereka. Artinya, mereka
tidak selektif dalam proses mendapatkan pekerjaan yang hendak mereka dapatkan.
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.32 Waktu Yang dibutuhkan Untuk Mendapatkan Pekerjaan
66
4.4.4. Mediasi Pemerintah
Salah satu fungsi pemerintah adalah memberikan mediasi kepada masyarakat.
Hak pekerja merupakan isu sensitif yang banyak memicu permasalahan. Pentingnya
mengukur mediasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi tuntutan para
penganggur dapat dijadikan sebagai indikasi apakah pemerintah merupakan problem
solver yang tepat. Penganggur diberikan pertanyaan apakah yang akan mereka
lakukan bila tuntutan kenaikan upah yang telah diindeksasi tidak dikabulkan oleh
perusahaan dimana mereka nanti bekerja.
Persepsi penganggur menunjukkan bahwa hanya 25.5 persen penganggur
yang menganggap mediasi pemerintah sebagai jalan terbaik apabila tuntutan kenaikan
upah tidak dikabulkan oleh perusahaan. Respon penganggur ini menunjukkan bahwa
pemerintah bukan problem solver yang dapat diandalkan untuk menyelesaikan
masalah. Mayoritas penganggur lebih memilih menerima saja keputusan penolakan
tersebut. Hal ini dapat dimaklumi karena prioritas utama para penganggur adalah
mendapatkan pekerjaan dan bukan pada besarnya upah yang akan diterimanya.
Sumber : InterCAFE (2008), diolah
Gambar.4.33 Respon terhadap Penolakan Tuntutan Kenaikan Upah.
67
4.4.5. Serikat Pekerja
4.4.5.1. Collective Bargaining
Dalam teori pasar tenaga kerja klasik, diasumsikan ada banyak perusahaan
dan banyak tenaga kerja yang saling bebas melakukan tawar-menawar. Tetapi pada
kenyataannya, perusahaan memiliki kekuatan monopsoni karena memiliki kekuasaan
untuk menentukan siapa saja yang boleh dan tidak boleh bekerja. Hal ini
menyebabkan tenaga kerja berada pada posisi yang lemah. Oleh karena itu dibentuk
serikat pekerja.
Keberadaan serikat pekerja ini dapat mendorong upah ke atas karena pada
prinsipnya serikat pekerja menggabungkan kekuatan buruh menjadi satu kesatuan
sehingga memiliki posisi tawar menawar sebagai monopoli jasa penyedia tenaga
kerja di suatu perusahaan.
Dalam survei diuji pertanyaan-pertanyaan kepada para penganggur yang
pernah menjadi anggota serikat pekerja yaitu apakah serikat pekerja dapat secara
efektif memperjuangkan kenaikan upah dan apakah dengan keberadaan serikat
pekerja dapat secara efektif mencegah terjadinya PHK massal.
Mayoritas penganggur berpendapat bahwa serikat buruh dapat secara efektif
memperjuangkan kenaikan upah (Gambar.4.34) Ini berarti bahwa keberadaan serikat
pekerja dinilai penganggur memiliki bargaining position yang cukup kuat dalam
memperjuangkan kepentingan mereka. Namun respon ini cukup mengherankan,
karena seharusnya mereka memiliki sifat yang antipati terhadap manfaat dari serikat
68
pekerja, karena serikat pekerja memiliki peran dalam mempersulit posisi para pencari
kerja.
Sumber : Inter-CAFE (2008), diolah
Gambar.4.34 Efektivitas Serikat Pekerja Untuk Kenaikan Upah
4.4.5.2. Insider-outsider
Karena tingkat pengangguran yang tinggi, penganggur (outsider) cenderung
bersedia menerima upah yang lebih rendah daripada upah yang diterima mereka yang
sudah bekerja (insider) sehingga terjadi konflik kepentingan dalam memperebutkan
pekerjaan. Oleh karena itu penganggur diberikan pertanyaan jika serikat pekerja
melakukan demo menuntut kenaikan upah dan mereka dalam posisi menganggur,
maukah menerima upah lebih rendah supaya diterima bekerja.
Berdasarkan respon yang didapatkan, 83.3 persen penganggur yang pernah
menjadi anggota serikat pekerja tidak bersedia menerima upah lebih rendah.
Penurunan upah yang terjadi ternyata tidak diinginkan oleh para penganggur sebagai
outsider. Alasan dari respon ini adalah bahwa tidak adil secara sosial bagi mereka
jika upah yang mereka dapatkan harus diturunkan. Selain itu respon ini karena
minimnya ketersediaan data, apabila tanpa memperhatikan riwayat keanggotaan
69
erikat pekerja, maka hampir 64 persen bersedia untuk diturunkan upahnya jika dalam
keadaan menganggur dalam waktu satu tahun mendatang. Hal ini menunjukkan
bahwa teori tentang insider-outsider tidak sepenuhnya berlaku di Indonesia
(Gambar.4.35).
Sumber : InterCAFE (2008), diolah
Gambar.4.35. Kesediaan Menerima Upah Lebih Rendah Untuk Bekerja
4.4.5.3. Militansi
Salah satu indikator yang dapat diukur untuk menentukan militansi dari
serikat pekerja yaitu melalui aktivitas demonstrasi yang semakin meningkat.
Demonstrasi biasanya berkaitan dengan respon kebijakan yang dinilai tidak adil bagi
mereka, termasuk kebijakan penurunan upah. Untuk itu perlu diuji bagaimana reaksi
penganggur apabila mereka sudah bekerja kemudian
upah mereka diturunkan.
Pertanyaan ini penting untuk mengetahui seberapa besar pengaruh atau militansi
serikat pekerja dalam memperjuangkan tuntutan mereka.
Berdasarkan respon yang diperlihatkan pada (Gambar.4.36), sebanyak 55.4
persen menjawab negosiasi atau demonstrasi dan 29.2 persen menjawab akan keluar
70
dari pekerjaan. Alasannya adalah bahwa penganggur menganggap tidak adil secara
sosial bagi mereka apabila perusahaan menurunkan upah mereka. Oleh karena itu,
penganggur akan bereaksi secara negatif terhadap penurunan upah tersebut dalam
bentuk demonstrasi yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas para pekerja.
Apalagi biasanya gain yang didapatkan perusahaan akibat menurunkan lebih kecil
dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk demonstrasi. Dapat dikatakan
bahwa serikat pekerja memiliki tingkat militansi yang cukup berpengaruh terhadap
tempat dimana mereka bekerja. Temuan survey ini juga menunjukan bahwa militansi
merupakan penyebab persistensi pengangguran.
Sumber : InterCAFE (2008), diolah
Gambar.4.36 Output Respon Penganggur Terhadap Penurunan Upah
V. KESIMPULAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang didapatkan maka secara umum dapat disimpulkan
bahwa persistensi penganggguran terjadi karena kekakuan upah, pencarian kerja
yang lama serta faktor lainnya terkait dengan regulasi di bidang ketenagakerjaan.
Kekakuan upah sering dipandang sebagai salah satu penyebab utama tingkat
pengangguran secara berkepanjangan. Berkaitan dengan hal tersebut maka upah
bersifat downward rigidity, yaitu mudah mengalami kenaikan tetapi sulit untuk
turun, terutama bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Hasil survey
mengindikasikan bahwa biaya penurunan upah akan dimanifestasikan melalui
demonstrasi dan kehilangan pekerja yang produktif. Implikasi ini mungkin tidak
sebanding dengan manfaat yang didapatkan dari penurunan upah.
Selain itu, kekakuan upah terjadi karena pemberlakuan upah minimum.
Melalui kebijakan ini, maka perusahaan harus menetapkan upah diatas floor wage.
Penetapan ini memang diatur oleh pemerintah secara legal maupun praktis. Hal ini
sebenarnya akan membuat kesempatan bekerja bagi mereka akan tertutup. Respon
seperti ini yang juga terjadi pada penganggur berkaitan dengan pengaruh serikat
pekerja. Seharusnya mereka antipati terhadap efektivitas serikat pekerja dalam
memeperjuangkan kenaikan upah. Respon yang didapatkan sebaliknya, padahal
serikat pekerja memiliki kontribusi dalam mempersulit posisi pencari kerja.
Kekakuan upah akan menjadi kompleks ketika upah minimum diindeksasi
dengan inflasi. Berdasarkan hasil survey ditemukan bahwa upah minimum
72
disesuaikan dengan inflasi secara forward maupun backward. Penyesuaian upah
minimum pada kondisi seperti ini lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
inflasi. Implikasi dari temuan ini yaitu, kemungkinan kebijakan moneter
ekspansif dalam mengatasi pengangguran tidak akan berjalan efektif karena akan
dikompensasi secara backward maupun forward yang terlalu berlebihan. Pada
akhirnya, kebijakan tersebut tidak akan mampu mengatasi pengangguran, yang
terjadi adalah inflasi yang persisten.
Upah relatif dan upah efisiensi dalam penelitian ini bukan merupakan
fenomena yang umum. Temuan survey menyatakan bahwa tidak ada bukti yang
kuat bahwa upah relatif dan upah efisiensi menjadi penyebab kekakuan upah
nominal. Alasannya adalah dalam kondisi pengangguran yang meningkat, maka
perusahaan tidak saling bersaing untuk memberikan upah yang kompetitif dalam
mencari tenaga kerja. Hal ini juga didukung oleh respon penganggur yang bisa
memperoleh pekerjaan dalam waktu kurang dari satu bulan.
Penyebab persistensi pengangguran lainnya karena waktu untuk pencarian
kerja semakin lama. Pencarian kerja sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
friksi, mismatch, ketidaksempurnaan informasi, hambatan geografis, durasi dan
upah reservasi. Semua faktor diatas akan mengakibatkan waktu pencarian kerja
yang lama, sehingga persistensi pengangguran akan semakin sulit untuk
dipecahkan.
Pengangguran friksional muncul saat seorang tenaga kerja melakukan
perpindahan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dan harus menunggu dengan
jangka waktu tertentu. Meningkatnya penganggur friksional biasanya ditandai
73
dengan semakin sulitnya melakukan perpindahan pekerjaan. Kesulitan mencari
pekerjaan yang sesuai dengan klasifikasi juga dirasakan oleh penganggur. Secara
umum para penganggur tidak memiliki kualifikasi yang sesuai dengan lowongan
pekerjaan yang tersedia. Fenomena ini dikenal sebagai missmatch. Kemungkinan
besar, missmatch merupakan ketidaksesuaian sistem pendidikan yang lebih
banyak di Sekolah Menengah Umum dengan perubahan struktur perekonomian.
Peningkatan pengangguran terjadi bukan hanya ketidaktersediaan lapangan
kerja, namun juga karena hambatan informasi dan hambatan geografis. Hambatan
informasi terutma bagi mereka yang berpendidikan rendah. Mereka tidak mampu
mendapatkan informasi melalui media masa, dan ini terjadi karena masalah daya
beli yang rendah. Selain itu, informasi lowongan pekerjaan yang tertera diiklan
media masa bagi penganggur berpendidikan rendah sangat minim. Temuan lain
yang sangat mengejutkan adalah dinas ketenagakerjaan bukan merupakan sumber
utama dalam mencari informasi lowongan pekerjaan. Kemungkinan besar
informasi yang didapatkan dari dinas tenaga kerja relatif terbatas jika
dibandingkan dengan media masa ataupun jasa penyedia tenaga kerja.
Faktor lainnya yang menjadi penghambat dalam pencarian kerja karena
faktor geografis. Alasan utama untuk tidak bekerja ditempat lain walaupun
tersedia ternyata bukan karena faktor ekonomis, namun karena faktor psikologis
atau keluarga dan perbedaan budaya. Implikasi dari hambatan geografis adalah
tidak cukup bila pemerintah berupaya menciptakan lapangan kerja tanpa
membedakan karakteristik pengangguran disetiap daerah.
74
Faktor terakhir yang mungkin paling penting dalam mempengaruhi lamanya
pencarian kerja adalah upah reservasi. Semakin tinggi upah yang diiingnkan oleh
penganggur,
semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan dan durasi untuk
mencari pekerjaan yang sesuai akan semakin lama. Temuan yang didapatkan juga
konsisten dengan teori bahwa semakin lama menganggur, upah reservasi semakin
rendah. Hampir bisa dipastikan bahwa upah reservasi akan selalu dipengaruhi oleh
preferensi dan ekspektasi penganggur. Penganggur yang memiliki upah reservasi
lebih tinggi adalah mereka yang bisa membiayai masa menganggurnya.
Selain faktor-faktor di atas, terdapat hal-hal lain yang secara bersamaan
dapat mempengaruhi kekakuan upah dan pencarian kerja. Faktor-faktor tersebut
meliputi regulasi, mekanisme penyesuaian, mediasi pemerintah dan serikat
pekerja.
Aspek regulasi yang paling terlihat pengaruhnya adalah aturan mengenai
pesangon, upah skorsing dan keberadaan tenaga asing yang menyebabkan
tingginya tingkat pengangguran. Dalam survey didapatkan bahwa persepsi
mengenai aturan mengenai pesanggon dan upah skorsing telah memadai dan
memang seharusnya begitu. Peraturan secara potensial akan mengakibatkan upah
reservasi yang tinggi dan akan memperparah tingkat pengangguran.
Semakin sulitnya mencari pekerjaan, maka penyesuaian yang biasanya
dilakukan oleh penganggur adalah melalui downskilling. Penganggur seperti ini
akan bersedia dipekerjakan diposisi dengan persyaratan pendidikan dan
pengalaman yang lebih rendah. Selain itu, mediasi pemerintah yang dipersepsikan
bukan sebagai problem solver karena biaya tinggi serta depresiasi pada kualitas
75
sumber daya manusia turut andil dalam menyebabkan terjadinya persistensi
pengangguran. Depresiasi akan berakibat pada tingginya durasi dan perusahaan
akan menganggap mereka pihak yang tidak produktif. Teori insider-outsider
tampaknya tidak berlaku di Indonesia, karena ternyata mereka tidak ingin
diturunkan upahnya terutama bagi penganggur berpendidikan tinggi.
5.2. Saran
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
pemerintah terutama bagi Bank Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional
maupun Dinas Tenaga Kerja serta instansi lainnya untuk bersama mengatasi
pengangguran dengan berbagai rekomendasi kebijakan, yaitu :
Pertama, penggunaan indikator makro melalui peningkatan pertumbuhan
ekonomi yang diyakini mampu mengurangi pengangguran ternyata masih belum
dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan kebijakan. Oleh karena itu,
peningkatan pertumbuhan ekonomi saja belum cukup untuk mengatasi
pengangguran yang persisten.
Kedua, pemerintah tampaknya tidak bisa mengandalkan mekanisme pasar
secara murni untuk mengatasi pengangguran. Harus ada hands on strategy yang
didesain secara khusus untuk mengembalikan tingkat pengangguran ke arah
kesetimbangan jangka panjang.
Ketiga, fokus kebijakan moneter yang relevan untuk mengatasi kekakuan
upah nominal ini adalah melalui inflation targeting. Hal ini didasarkan pada
temuan bahwa kebijakan moneter yang bersifat ekspansif tidak mampu mengatasi
pengangguran. Kebijakan inflation targeting dengan sasaran inflasi jangka
76
panjang yang lebih rendah akan menjadi lebih relevan untuk dilakukan oleh Bank
Indonesia.
Keempat, pemerintah perlu melakukan inisiatif khusus untuk memperbaiki
kualitas pertumbuhan ekonomi dengan cara mendorong sebagian sektor
manufaktur dan jasa yang bersifat padat tenaga kerja..
Kelima, untuk memperkecil terjadinya mismatch, maka diperlukan
perubahan yang mendasar dalam sistem pendidikan nasional menuju sistem yang
berbasis pada keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan.
Pendidikan kejuruan harus lebih dikembangkan sebagai bentuk manifestasi akan
persaingan dunia tenaga kerja yang semakin ketat.
Keenam, implikasi dari hambatan geografis dalam pencarian kerja adalah
bahwa tidak cukup bila pemerintah berupaya menjalankan program penciptaaan
lapangan kerja yang generik tanpa membedakan karakteristik pengangguran antar
daerah. Oleh karena itu pemerintah harus mampu membedakan karakteristik
pengangguran yang berbeda untuk setiap daerah.
Penulis mengharapkan untuk dilakukan penelitian lainnya seputar masalah
pengangguran untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif. Masingmasing faktor dalam setiap bagian dari kekakuan upah, pencarian kerja serta
factor lainnya dari skripsi ini agar dapat diteliti lebih lanjut secara menyendiri.
81
LAMPIRAN 1. Data Pengangguran Tahun 1996-2006 (dalam Persen)
Provinsi
11. Nangroe Aceh
Darussalam
12. Sumatera Utara
13. Sumatera Barat
14. Riau
15. Jambi
16. Sumatera Selatan
17. Bengkulu
18. Lampung
19. Kep. Bangka
Belitung
20. Kepulauan Riau
31. DKI Jakarta
32. Jawa Barat
33. Jawa Tengah
34. DI Yogyakarta
35. Jawa Timur
36. Banten
51. Bali
52. Nusa Tenggara
Barat
53. Nusa Tenggara
Timur
61. Kalimantan Barat
62. Kalimantan
Tengah
63. Kalimantan
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
6.47
6.32
4.72
5.94
3.80
4.02
3.38
4.22
5.24
5.19
4.54
5.91
4.06
4.12
3.42
3.44
6.21
7.06
5.11
5.76
2.59
2.44
1.97
4.28
7.56
7.67
5.88
7.62
3.47
5.03
3.39
4.58
4.80
8.52
4.38
5.93
3.68
5.73
3.25
5.24
7.71
9.09
8.74
6.43
5.61
6.32
6.01
6.39
9.34
10.30
9.62
9.57
5.78
8.14
6.45
8.32
8.97
11.02
10.38
10.74
6.50
9.08
7.48
9.14
9.35
11.08
12.74
15.25
6.04
8.37
6.29
7.38
12.50
10.98
11.50
13.91
8.59
8.56
6.15
6.85
12.08
14.82
12.93
11.46
7.77
12.10
6.91
9.76
na
na
9.41
6.71
3.69
4.07
3.47
na
2.66
na
na
10.94
6.42
3.86
4.04
3.31
na
2.59
na
na
12.32
7.69
5.07
3.72
4.10
na
3.09
na
na
15.01
9.83
4.35
3.74
4.95
na
2.49
na
na
12.08
8.99
4.86
3.45
4.39
na
2.96
7.08
na
15.07
11.77
6.17
5.18
6.51
12.32
2.89
5.23
na
14.39
13.19
6.66
5.21
6.43
14.15
4.52
7.37
na
14.86
12.49
7.02
5.62
8.79
14.18
5.36
7.14
na
14.70
13.69
7.72
6.26
7.69
14.31
4.66
8.10
na
14.73
14.73
8.51
5.05
8.45
14.23
4.03
5.95
16.34
14.31
14.50
8.20
6.25
7.72
10.69
5.32
2.60
1.71
3.14
1.44
4.30
5.82
6.94
6.34
7.48
8.93
8.96
2.18
3.43
2.41
3.61
2.64
3.65
2.93
2.02
2.46
4.23
4.26
4.84
4.35
8.57
4.02
6.53
4.48
7.90
5.46
8.61
4.98
7.06
3.00
3.33
3.98
2.84
4.49
4.16
3.67
2.37
3.70
3.97
6.14
5.91
6.38
9.22
7.59
7.67
5.59
6.02
4.85
6.18
5.13
8.78
82
Selatan
64. Kalimantan Timur
7.60
6.85
71. Sulawesi Utara
9.24
8.02
72. Sulawesi Tengah
4.84
3.77
73. Sulawesi Selatan
5.33
4.48
74. Sulawesi Tenggara
3.66
2.48
75. Gorontalo
na
na
76. Sulawesi Barat
na
na
81. Maluku
5.55
5.61
82. Maluku Utara
na
na
91. Irian Jaya Barat
na
na
92. Papua
4.03
3.35
Sumber : Badan Pusat Statistik (2007)
8.45
5.48
5.00
5.25
2.56
na
na
3.70
na
na
3.22
10.99
7.75
4.39
6.48
4.36
na
na
4.70
na
na
6.42
8.88
8.66
5.09
6.44
3.10
na
na
na
na
na
3.62
6.81
10.21
8.25
10.39
7.51
7.78
na
11.28
9.32
na
5.82
11.76
11.35
8.06
12.29
8.33
13.17
na
8.08
15.25
na
6.01
9.69
10.79
4.64
17.32
10.30
10.17
na
12.63
7.50
na
6.21
10.39
10.91
5.85
15.93
9.35
12.29
na
11.67
7.53
na
8.00
9.04
14.40
7.63
13.58
8.92
9.79
na
12.30
8.88
na
7.12
12.11
9.77
8.90
12.32
7.42
13.67
4.64
15.76
8.54
11.17
4.50
83
LAMPIRAN. 2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita
Provinsi 2005 (dalam Milliar Rupiah)
Atas Dasar Harga Berlaku
Nama Provinsi
Dengan
Migas
Riau
Tanpa
Migas
Atas Dasar Harga
Konstan
Dengan
Migas
Tanpa
Migas
30,356.00
17,264.00
17,314.00
7,318.00
9,941.00
9,465.00
6,308.00
6,080.00
8,327.00
8,327.00
5,787.00
5,787.00
8,369.00
8,360.00
5,987.00
5,978.00
Nusa Tenggara
Barat
6,151.00
6,151.00
3,639.00
Sumber : Indonesia Human Development Report (2007)
3,639.00
Jawa Barat
Kalimantan Barat
Sulawesi Utara
84
LAMPIRAN 3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita
Menurut Kab/Kota 2005 (dalam Milliar Rupiah)
Atas Dasar Harga Berlaku
Nama Kota /
Kabupaten
Atas Dasar Harga
Konstan
Dengan
Migas
Tanpa
Migas
Dengan
Migas
Tanpa
Migas
Kab. Pelalawan
28,803.00
28,005.00
9,768.00
9,225.00
Kota Pekanbaru
19,130.00
19,130.00
7,540.00
7,540.00
Kab. Bogor
9,346.00
9,346.00
6,135.00
6,135.00
Kab.Cimahi
13,178.00
13,178.00
9,338.00
9,338.00
Kota Pontianak
14,068.00
14,068.00
10,705.00
10,705.00
Kab. Pontianak
8,877.00
8,877.00
6,796.00
6,796.00
Kota Manado
12,607.00
12,607.00
9,207.00
9,207.00
Kab.Bolaang
5,583.00
5,583.00
4,288.00
4,288.00
Kota Mataram
6,610.00
6,610.00
4,303.00
4,303.00
Kab.Lombok
Timur
3,285.00
3,285.00
2,213.00
2,213.00
Sumber : Indonesia Human Development Report (2007)
85
LAMPIRAN.4 Output Bagaimana Seharusnya Kenaikan Upah Yang
Diterima
Bagaimana Seharusnya Kenaikan Upah Yang
Diterima ?
Sama dengan kenaikan biaya hidup
Persentase
48.0
Lebih tinggi dibandingkan kenaikan biaya hidup
48.7
Boleh lebih rendah dibandingkan biaya hidup
3.3
Sumber : Inter-CAFE, 2008 (diolah)
LAMPIRAN.5 Output Alasan Berhenti dari Perusahaan Tempat Bekerja
Sebelumnya
Apa Alasan Berhenti dari Perusahaan Tempat Bekerja
Sebelumnya ?
Persentase
Berakhirnya kontrak
Berhenti untuk pekerjaan baru
Kondisi pekerjaan/tidak puas (misalnya gaji yang kecil,
ketidak sesuaian antara pekerjaan dan keahlian anda,
lingkungan
Penyakit yang diderita/kecelakaan kerja/disability
Alasan pribadi
Diberhentikan
Lainnya
Sifat pekerjaan yang musimam
Perusahaan yang merugi
Alasan PHK Lainnya
Sumber : Inter-CAFE, 2008 (diolah)
37.5
7.3
31.3
3.1
4.2
2.1
6.3
2.1
4.2
2.1
LAMPIRAN.6 Kemudahan Untuk Memperoleh Informasi Pekerjaan
Mudahkah
diperoleh ?
informasi
lowongan
Ya
Tidak
Total
Sumber : Inter-CAFE, 2008 (diolah)
pekerjaan Persentase
49.3
50.7
100.0
DAFTAR PUSTAKA
Agell, J dan P. Lundbrog 1991. “Survey Evidence on Wage Rigidity and
Unemployment : Sweden in the 1990s”. Departement of Economics,
Uppsala University, Sweden.
Arumpalam, W., A. L. Booth, dan M. P. Taylor. 2000. “Unemployment
Persistence”. Oxford Economic Papers), pp. 24-50. Oxford University
Press.
Badan Pusat Statistik. Laporan Badan Pusat Statistik. Berbagai Edisi. BPS,
Jakarta.
Bahlevi, A. S. U. 2005. “Issues in Mining Survey Data”. A Project Report
Submitted to the Department of Computer Science. University of Regina.
Bianchi, M. dan G. Zoega. 1998. “Unemployment Persistence : Does the Size of
the Shock Matter?”. Journal of Applied Economics. Vol. 13 No. 3, pp.
283-304. John Wiley dan Sons.
Blanchard, O. 1991. “Wage Bargaining and Unemployment Persistence”. Journal
of Money, Credit and Banking, Vol. 23, No. 3, pp. 277-292. Ohio State
University Press.
Blanchard, O. 2005. “European Unemployment : The Evolution of Facts and
Idea”. NBER Working Paper, Cambridge, MA.
Blanchard, O.J. dan L. H. Summers. 1986. “Hysteresis and the European
Unemployment Problem”. NBER Working Paper. Cambridge, MA.
Burdett, K dan T. Vishwanath. 1988. “Declining Reservation Wage and
Learning”. The Review of Economic Studies, Vol.55 No.4, pp. 655-665.
Calmfors, L. dan B. Holmlund. 2000. “Unemployment and Economic Growth :
A Partial Survey”. Swedish Economic Policy Review pp. 107-153.
Coakley, J. A. F. Maria, dan G. Zoega. 2001. “Evaluating the Persistence and
Structuralist Theories of Unemployment from a Nonlinear Perspective”.
University of Essex.
Cole, D. L. 1961. “Government in The Bargaining Process : The Role of
Mediation”. American Academy of Political and Science, Vol. 333, Labor
Relations Policy in an Expanding Economy.
D. A. D. Vaus. 1990. Surveys in Social Research. Unwin Hyman Ltd, 2nd edition.
78
Elmeskov, J. 1993. “High and Persistent Unemployment : Assesment Of The
Problem and Its Causes”. Resource Allocation Division Organisation For
Economic Co-Operation and Development. Paris.
Fink, A. 2002. The Survey Kit : How to Design Surveys. Sage Publication, 2nd
edition.
InterCAFE. 2008. “Studi Empiris Persistensi Pengangguran di Indonesia dan
Upaya Penanggulangannya Berdasarkan Analisis Data Mikro”. Institut
Pertanian Bogor, Pusat Pendidikan dan Studi Kebangsentralan, Bank
Indonesia, Bogor.
Layard, R., S. Nickell, dan R. Jackman. 1991. Unemployment. Oxford. Oxford
University Press.
Lindbeck, A dan D. J. Snower. 1988 “Cooperation, Harassment and Involuntary
Unemployment : An insider Outsider Approach”. American Economic
Review, pp. 167-88.
Linblad, H. 1997. “Persistence in Swedish Unemployment Rates”. Working Paper
Department of Economics. University of Stockholm, Stockholm. Sweden.
Lipsey, R, et al. 1997. Pengantar Makroekonomi. Agus Maulana [penerjemah].
Binarupa Aksara, Jakarta.
Mankiw, G. 2000. Teori Makroekonomi. Imam Nurmawan. [penerjemah].
Erlangga, Jakarta.
Mc Donald, I, dan Robert M Solow. “Wage Bargaining and Employment“.
American Economic Review 71, Desember 1981, pp. 896-908.
Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Ilmiah. Bumi Aksara, Jakarta.
Prasad, E. S. 2003. “What Determines the Reservation Wages of Unemployed
Workers ? ”. New Evidence from German Micro Data.
Siregar, H, et al. 2006. “Paradoks Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran :
Identifikasi, Implikasi dan Solusi”. International Center for Applied
Finance and Economics (Inter-CAFE), Institut Pertanian Bogor, Pusat
Pendidikan dan Studi Kebangsentralan, Bank Indonesia, Bogor.
Steinier, V. 2001. “Unemployment Persistence in the West German Labour
Market : Negative Duration Dependence or Sorting ?”. Oxford Bulletin
Economice and Statistics. Blackwell Publishers. Routledge Taylor dan
Francis Group.
79
Sugema, I dan Solikin. 2004. “Rigiditas Harga-Upah dan Implikasinya Pada
Kebijakan Moneter di Indonesia”. Buletin Ekonomi dan Perbankan,
September 2004.
Tolvi, J. 2003. “Unemployment Persistence of Different Labour Force Groups in
Finland”. Applied Economics Letter.
Download