penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi oarta insufisiensi nyha ii

advertisement
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI OARTA
INSUFISIENSI NYHA II
Physiotherapy Management In Condition Oarta Insufficiency NYHA II
Santi Dwi Kurniasari ¹, Irine Dwitasari Wulandari ¹, Binti
Mustaqimah,AMF2
1) Prodi Fisioterapi Unikal
2) Fisioterapi RS Islam klaten
Abstract
Aortic insufficiency is a condition where the valve can not close completely so that
when blood flow to part of diastole the left ventricle. Total amount of blood flow
was 50 cc of the contents of sekuncup. Thus if the contents sekuncup 70 cc and 30
cc flowing again, the circulation remained normal for the ventricle must pump 100
cc of blood (70 cc to 30 cc circulation is flowing again). So the left ventricle has to
work more normally resulting in dilatation and hypertrophy. This resulted in
shortness of breath, decreased activity or limited activity, heavy dependence in
performing everyday activities, to provide effective and efficient handling, then
conducted an examination method of examination shortness of breath with
Exertion scale, the noise with auscultation. Things that can help to reduce the
problems mentioned above can be done by the method of Breathing Exercise,
exercise therapy, early mobilization. The purpose of these modalities is to reduce
shortness of breath, prevent the complications of bed rest is pneumonia, improving
the ability of heart function and increase the tolerance ability of functional activity
and restore the function of physiological, psychosocial, work and get back to
optimal can tolerate daily activities.
Key words: aortic insufficiency, NYHA II, Exercise Therapy
kesehatan sedunia) adalah “Health for
PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui jumlah
penduduk di Indonesia adalah yang
kelima terbesar di dunia. Ini merupakan
suatu potensi nasional yang besar bila
dapat dibina kualitas insaninya. Pada
dasarya kualitas manusia ditentukan
oleh derajat kesehatannya. Seperti yang
dicanangkan
oleh
WHO
(badan
all by the year 2010”. Untuk itu harus
dimengerti masalah kesehatan di negara
berkembang
pada
umumnya
di
Indonesia pada khususnya. Hal ini
sangat
terkait
dengan
pola
kependudukan serta lingkungan yang
mempengaruhinya.
dilihat,
piramida
Sebagaimana
kependudukan
84
di
Indonesia pada saat ini menunjukkan
jantung rheumatik dan penyakit darah
besarnya jumlah anak-anak umur 0 – 15
tinggi namun penyakit jantung bawaan
tahun yaitu 38,6% dari jumlah seluruh
juga semakin banyak ditemukan karena
penduduk. Dengan kemajuan ekonomi
perbaik perinatal. Penyakit
dan kemajuan derajat kesehatan hal ini
koroner umumnya banyak didapat pada
akan bergeser, karena semakin banyak
kelompok usia 40 tahun dengan angka
penduduk usia dewasa muda dan orang-
kekerapan
orang yang menjadi tua. Dalam tahun
jantung rheumatik banyak didapat pada
2010 diperkirakan bahwa umur harapan
kelompok masyarakat sosio ekonomi
hidup akan meningkat menjadi 66 tahun
rendah dengan angka prevalensi sekitar
sebelumnya yaitu 60 – 62 tahun pada
3/1000 penduduk. Penyakit darah tinggi
tahun 1990 (Rilantoro et al.,2001).
merupakan salah satu faktor resiko
Selain
sekitar
13%.
jantung
Penyakit
faktor
kependudukan,
terjadinya penyakit jantung koroner dan
mempengaruhi
meningkatnya
dapat menyebabkan komplikasi pada
penyakit jantung dan pembuluh darah
organ lain seperti mata, ginjal dan otak.
juga faktor berubahnya masyarakat
Dari laporan badan penelitian dan
agraris menjadi masyarakat industri.
pengembangan kesehatan Departemen
Hal ini terutama terlihat di kota-kota
Kesehatan
besar dimana terdapat ketegangan jiwa,
kekerapan penyakit ini pada golongan
berubahnya kebiasaan hidup seperti
usia 45- 54 tahun adalah 19,5%,
kurang gerak, berubahnya pola makan
meningkat menjadi 30,6% pada usia 55
konsumsi
tahun.
yang
tinggi
lemak,
kebiasaan
merokok dan lain-lain.
RI
didapatkan
Prevalensi
angka
penyakit
jantung
bawaan diperkirakan sebesar 6-8/1000
Penyakit jantung dan pembuluh
kelahiran
hidup
dan
sepertiganya
darah yang banyak di Indonesia adalah
memerlukan penanganan dibawah usia
penyakit
5 tahun (Rilantono et al., 2001).
jantung koroner, penyakit
bed
METODE PENELITIAN
Penelitian yang digunakan studi
rest,
sedangkan
Variabel
independent yaitu breating exercise,
kasus penatalaksanaan fisioterapi pada
terapi
kondisi oarta insufisiensi NYHA II.
Penelitian dilaksanakan di RSUD Dr
variabel dependentnya adalah dipsnea,
Karyadi Semarang di bangsal jantung.
menurunnya
Data yang terkumpul dianalisa secara
kemampuan
aktivitas,
kemungkinan adanya komplikasi dari
latihan,dan
mobilisasi
dini.
deskriftif.
85
HASIL DAN PEMBAHASAN
pemeriksaan,
Hasil Penelitian
bahwa yang menjadi problem utama
Penelitian ini dilakukan di
adalah
penulis
menyimpulkan
menurunnya
kapasitas
bangsal Unit Pelayanan jantung RSUP.
kerjajantung
yang
berakibat
Dr Kariadi Semarang. Dari penelitian
menurunnya
toleransi
aktivitas,
yang telah dilakukan diperoleh data
sehingga terapi yang diberikan adalah
primer dan data sekunder. Data tersebut
mobilisasi dini dan fleksibel sesuai
dikumpulkan dengan cara pengukuran
dengan
langsung
yang
mengetahui berhasil tidaknya terapi
ditunjang dengan diagnosa dokter dan
yang telah dilakukan, maka diperlukan
assasment dari fisioterapi. Berdasarkan
evaluasi. Dalam studi kasus ini evaluasi
hasil pengumpulan data tersebut maka
yang
dibuat tabel hasil evaluasi sebagai
perbandingan HR sebelum dan sesudah
berikut :
latihan. (2) Hasil derajat sesak dan
terhadap
Tabel 1.
pasien,
Hasil yang dievaluasi
1
2
Heart Rate (HR)
Blood Preasure (BP)
3
4
Derajat sesak napas
Derajat
beratnya
aktivitas
Kemampuan
fungsional
aktivitas
dengan Indeks Katz
a. Mandi (bathing)
b. Berpakaian
(dressing)
c. Pergi
ke toilet
(going to toilet)
d. Transfer
e. Continence
(bladder and
bowel)
f. Makan (feeding)
Sebelum
diterapi
T1
T6
104
84
140/ 110/
90
70
5
13
-
skala
Setelah
diterapi
T1
T6
115
86
150/ 120/
100
70
0,5
6
-
F
-
-
D
C
B
C
C
A
B
-
-
B
A
B
B
A
A
Pembahasan
pasien.
dilakukan
Untuk
meliputi
:
(1)
derajat beratnya aktivitas menggunakan
Perbandingan kondisi
pasien awal dan akhir terapi
No
kondisi
borg
aktivitas
yang
yang
Perbandingan
tergantung
pada
dilakukan.
(3)
tingkat
kemampuan
fungsional dalam mengevaluasi, penulis
membandingkan data antara T1 dan T6
yang didapat selama terapi berlangsung.
Adapun data tersebut antara lain sebagai
berikut :
1. Heart Rate (HR)
Dari data perbandingan HR sebelum
dan sesudah latihan, dapat dilihat bahwa
HR pada T1 dalam posisi istirahat atau
sebelum
terapi
adalah
104
bpm,
sehingga terapis hanya memberikan
Dalam studi kasus ini, penulis
posisioning dan latihan pasif, oleh
mengambil kasus seorang wanita yang
karena batasan HR sebelum latihan aktif
berusia 44 tahun, yang mengalami
adalah <100 bpm, dan untuk latihan
insufisiensi aorta. Setelah melakukan
pasif
adalah
<120
bpm.
Sesudah
dilakukannya posisioning dan latihan
86
aktif, pemeriksaan HR adalah 115 bpm.
Hal ini dikarenakan adanya adaptasi
Tabel 2. Hasil evaluai “HR” selama
terapi 1 (T1) sampai terapi 6 (T6)
kerja jantung terhadap beban aktivitas
sedangkan pada T6, pemeriksaan HR
pada posisi istirahat sebelum terapi
adalah 84 bpm, dengan melihat bahwa
kondisi umum pasien tampak lebih baik
dan mempunyai semangat untuk latihan,
maka terapis memberikan peningkatan
latihan yaitu ambulasi berupa jalan
sampai kamar mandi
kemudian
± 25 meter,
sesudah
Sebe
lum
terapi
Sete
lah
terapi
T1
13
Peb
„07
104
bpm
T2
14
Peb
„07
90
bpm
HR
T3
15
Peb
„07
70
bpm
T4
16
Peb
„07
96
bpm
T5
17
Peb
„07
78
bpm
T6
19
Peb
„07
84
bpm
115
bpm
110
bpm
110
bpm
102
bpm
82
bpm
86
bpm
Diagram Perbandingan “HR” selama
terapi 1 (T1) sampai terapi 6 (T6)
dilakukan
150
Head rate (bpm)
pemeriksaan HR yang mencapai 86
100
bpm. Kenaikan HR ini akibat dari
Sebelum
terapi
50
beratnya
terjadi
beban
aktivitas,
peningkatan
perbedaan
antara
menunjukkan
sehingga
kerja
T1
adanya
jantung
dan
0
T1 T2 T3 T4 T5 T6
Terapi
T6
peningkatan
2. Skala Borg
Hasil
dalam terapi, hal ini dimungkinkan
dari
skala
borg
karena beberapa faktor, seperti : rasa
tergantung dari aktivitas yang dilakukan
kepercayaan diri pasien meningkat,
pasien, meskipun nilai derajat sesak
sehingga
untuk
maupun derajat beratnya aktivitas pada
sembuh, pengaruh obat-obatan terhadap
akhir terapi sama, terapi aktivitas yang
penyakitnya serta
dilakukan berbeda selain itu
mobilisasi diri, yang secara perlahan-
tergantung pada kondisi umum pasien
lahan dapat menghindari efek dari bed
baik meningkat atau menurun. Pada T1
rest selain itu dapat diketahui bahwa
dengan dengan hanya mobilisasi secara
terjadi peningkatan aktivitas, namun
posisioning dan latihan aktif, hasil skala
demikian resisten dari HR masih dalam
borg menunjukkan derajat sesak 5 dan
batas normal.
derajat
1. Heart Rate (HR) dan Blood Preasure
Sedangkan pada T6 dengan latihan aktif
(BP)
pasien
termotivasi
dan
sesaknya
ambulasi.
aktivitas
Hasil
skala
juga
13.
borg
menunjukkan derajat sesak 0,5 dan
derajat beratnya aktivitas 6.
87
Tabel 3. Hasil evaluasi “BP” selama
Terapi 1 (T1) sampai terapi 6 (T6)
T1
13
Peb
2007
140/
90
mm
Hg
150/
100
mm
Hg
Sebel
um
terapi
Sete
lah
terapi
T2
14
Peb
2007
140/
90
mm
Hg
140/
90
mm
Hg
BP
T3
15
Peb
2007
120/
80
mm
Hg
110/
90
mm
Hg
3. Toleransi Kemampuan Aktivitas
Fungsional
T4
16
Peb
2007
120/
80
mm
Hg
120/
90
mm
Hg
T5
17
Peb
2007
110/
60
mm
Hg
120/
70
mm
Hg
T6
19
Peb
2007
110/
70
mm
Hg
120/
70
mm
Hg
Dari
diagram
di
bawah,
terlihat
perbedaan yang jauh antara T1 dan T6,
serta tampak dengan jelas terjadinya
peningkatan kemampuan fungsional.
Dimana pada T1 pasien hanya mampu
mencapai tingkat half lying dan latihan
aktif. Sedangkan pada T6 pasien telah
Tabel 4. Hasil penilaian derajat sesak
dan derajat beratnya aktivitas pada
terapi 1 (T1) sampai terapi 6 (T6),
menggunakan skala borg
Skala Borg
Derajat sesak
T1 (13 Peb
2007)
T2 (14 Peb
2007)
T3 (15 Peb
2007)
T4 (16 Peb
2007)
T5 (17 Peb
T6 (19 Peb
mampu
mencapai tingkat
dengan melakukan terapi latihan secara
aktif, dan ambulasi ± 25 meter.
Untuk
5
Derajat beratnya
aktivitas
13
5
-
4
13
3
9
2
0.5
9
6
ambulasi
memperjelas
keterangan
perbedaan
kemampuan
mengenai
fungsional antara T1 sampai dengan T6
dapat dilihat diagram di bawah ini :
Hasil
5.
penilaian
toleransi
kemampuan aktivitas fungsional
pada terapi 1 (T1) sampai dengan
terapi 6 (T6).
Indeks Katz
T1
T2
T3
T4
T5
T6
Diagram Hasil penilaian derajat sesak
dan derajat beratnya aktivitas pada
terapi 1 (T1) sampai terapi 6 (T6),
F
F
F
F
D
D
menggunakan skala borg.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
15
Pada pasien IA sangat penting
Skala borg
10
Derajat
sesak
5
dilakukan mobilisasi. Hal ini mengingat
bahwa kondisi IA yang selalu dikaitkan
0
T1 T2 T3 T4 T5 T6
Terapi
dengan
pengaruh-pengaruh
negatif
akibat bedrest, yang terutama akan
mempengaruhi
pada
sistem
88
kardrovaskuler sampai pada akhirnya
sesudah latihan yang menunjukkan
akan menurunkan toleransi aktivitas.
perbedaan
Oleh karena itu, dibutuhkan mobilisasi
sebelum
latihan adalah 104
yang dilakukan secara bertahap untuk
dengan
posisioning
meningkatkan
aktivitas,
kenaikan menjadi 115 bpm, sedangakn
melalui penyesuaian beban aktivitas
pada T6 HR sebelum latihan adalah 84
yang dilakukan terhadap kerja jantung,
bpm,
mulai dari aktivitas yang paling rendah
meningkat menjadi 86 bpm.
sampai aktivitas yang paling tinggi, dan
(2) Hasil penelitian derajat sesak dan
tujuan akhir dari program rehabilitasi
derajat beratnya aktivitas menggunakan
adalah untuk mengembalikan aktivitas
skala borg dimana pada T1 yang
pasien seperti semula dengan aman.
dilakukan hanya dengan duduk, untuk
toleransi
Dalam
pelaksanaan
ini
dimana
dengan
derajat
sesak
pada
T1,
duduk
latihan
HR
bpm,
terjadi
ambulasi
menunjukkan 5 dan
dibutuhkan pengetahuan dari terapi
derajat beratnya aktivitas 13. Sedangkan
mengenai anatomi dan fisiologi dari
pada T6 dengan latihan ambulasi jalan
suatu
25
kardrovaskuler,
penyakit,
pengaruh
perjalanan
negatif
meter
untuk
derajat
sesak
akibat
menunjukkan 0,5 dan derajat beratnya
bedrest, serta tujuan dari interfensi
aktivitas 6. (3) Kemampuan fungsional
fisioterapi terhadap yang diberikan.
dengan melihat perbandingan antara T1
Tanpa adanya pengetahuan tersebut,
dan T6, dimana pada T1 pasien hanya
keberhasilan terapi sulit dicapai dengan
mampu
maksimal, tidak lupa dalam pelaksanaan
duduk (posisioning).
terapi perlu diperhatikan mengenai
mencapai
Penulis
tingkat
aktivitas
menyadari
bahwa
tekhnik pemeriksaan yang tepat, karena
keberhasilan terapi ini, selama adanya
tidaklah
melakukan
mobilisasi yang telah dilakukan secara
menegakkan diagnosa dari IA itu
bertahap, juga tidak lepas dari factor-
sendiri
diperlukan
faktor pendukung yang lain seperti :
pemeriksaan penunjang seperti hasil
motivasi pasien untuk latihan supaya
laboratorium, angiografi dan EKG.
cepat sembuh dan dukungan keluarga
mudah
untuk
sehingga
Dalam study kasus ini penulis
menyimpulkan
bahwa
terapi
yang
dilakukan cukup berhasil. Hal ini dapat
dilihat dari hasil evaluasi yang meliputi
(1) Perbandingan HR sebelum dan
yang
baik
serta
obat-obat
yang
dikonsumsi pasien.
Saran
Kepada
pasien
diharapkan
mampu mengerti tenyang penyakit yang
89
sedang dideritanya, sehingga mampu
ditunjang dengan upaya pengembangan
menghindari faktor-faktor resiko atau
sumber
hal-hal yang dapat menambah parah
dengan upaya lain dibidang ekonomi
kondisinya, serta selalu bersikap sabar
kesejahteraan sosial seperti : tingkat
dan tidak emosi, mengingat bahwa
pendidikan,
emosi sangat dipengaruhi oleh saraf
kesehatan, perbaikan gizi masyarakat.
simpatis
akanmeningkatkan
Gerakan-gerakan olahraga, dan lain-lain
derajat denyut jantung. Pasien juga
yang yang diharapkan akan berdampak
diharapkan
untuk
positif daolam rangka memperbaiki
mengetahui perkembangan penyakitnya
status kesehatan pada umumnya dan
dengan rajin kontrol ke dokter ahli.
status kesehatan kardiovaskular pada
Selain itu jiak pasien sudah pulang ke
khususnya. Oleh karena itu, program
rumah, pasien mampu
sehat jantung dan pembuluh darah perlu
yang
waktu
tetap
proaktif
untuk
meluangkan
meningkatkan
daya
manusia.
JPKM
dikembangkan.
Upaya
atau
Sebagai
asuransi
seorang
kebugarannya dengan latihan senam
fisioterapi,
sederhana
toleransi
persaingan
anggota
provisional, hendaknya membekali diri
sebatas
kemampuannya.
Kepada
dalam
ini
dunia
kerja
dengan
memahami kondisi pasien, sehingga
ketrampilan yang bermutu. Hal ini
anggota keluarga dapat berpatisipasi
menyangkut
terhadap
program
dan percaya diri yang besar dalam
rehabilitasi, dengan selalu memberikan
menangani pasien, sehingga timbul
motivasi pada pasien untuk melakukan
kepercayaan diri pasien dan terutama
latihan.
behubungan
Kepada
masyarakat
pengetahuan
yang
keluarga pasien, diharapkan mampu
kesuksesan
ilmu
menghadapi
dan
dengan profesionalisme
dengan
terapi
yang
supaya
diberikan dapat tepat pada sasarannya
mengetahui tentang factor-faktor resiko
atau tidak. Pada studi kasus ini, terapis
penyakit jantung, sehingga berusaha
masih perlu banyak latihan dalam hal
untuk
itu
pemeriksaan seperti : palpasi, auskultasi
masyarakat harus sadar akan pentingnya
dan lain-lain. Kepekaan akan hasil dari
latihan gerak fisik demi kesehatan
pemeriksaan tersebut diperoleh dari
jantungnya.
pengalaman, sedang pengalaman itu
menghindarinya.
Selain
Pemerintah
hendaknya
melakukan upaya penanggulangan yang
sendiri
terdiri dari: preventif, promotif, kuratif,
banyaknya latihan.
dan
rehabilitatif.
Upaya
bisa
deperoleh
dengan
tersebut
90
DAFTAR PUSTAKA
Garrison. J. Dasar-dasar Terapi dan
Rehabilitasi Fisik. Alih Bahasa
Widjaja C. Hipocrates : Jakarta.
2001.
Gray H. Dawrins D dkk. Lecture Notes
Kardiologi Edisi Keempat.
Erlangga : Jakarta. 2005.
Haroen R. Kasiman S. Pengantar
Kardiologi. Widya Medika :
Jakarta. 1992.
Noer S. Waspadji dkk. Buku Agar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Edisi
Ketiga. FKUI : Jakarta. 1996.
Pearce C. Anatomi dan Fisiologi untuk
Paramedis. Gramedia Pustaka:
Jakarta. 2002.
Rilantoro , Barads F dkk. Buku Ajar
Kardiologi. FKUI : Jakarta
2001.
Zuidema. Kumpulan Kuliah Penyakitpenyakit Jantung.
Kemala T. Laporan Kasus Rehabilitasi
Jantung. RSDK : Semarang.
2002.
91
Download