kemandirian remaja berdasarkan urutan kelahiran

advertisement
61
KEMANDIRIAN REMAJA BERDASARKAN URUTAN KELAHIRAN
Agus Riyanti Puspito Rini
(Dosen Prodi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumenep)
Abstrak
Kemandirian remaja begitu sangat didambakan oleh orang tua dan masyarakat pada
umumnya. Remaja dituntut untuk tidak selalu bergantung pada orang tua dan orang
dewasa lainnya. Pembentukan kemandirian pada remaja tentu berbeda-beda, salah
satu faktor yang menentukannya adalah urutan kelahiran. Seperti anak sulung dianggap
mampu mempertahankan tingkat kemandirian, anak tengah mampu meningkatkan
kemandiriannya denga mencontoh anak sulung, anak bungsu dan anak tunggal
diharapkan mampu mengerjakan tugas-tugasnya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Dalam hal ini, yang paling berpengaruh dalam pembentukan kemandirian remaja adalah
peran orang tua dan orang dewasa di sekitarnya, serta pendidikan yang senantiasa
mendorong remaja untuk mencapai kemandiriannya.
Kata kunci: kemandirian, remaja, urutan kelahiran
Pendahuluan
Masa remaja merupakan masa dimana
seorang individu mengalami perubahan baik
emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga
penuh dengan masalah-masalah (Hurlock,
1998). Karena itu, remaja memerlukan
orang-orang sekitarnya untuk membantu
membimbing dan mendidik dirinya agar
menjadi anak yang mandiri serta mampu
menyelsaikan masalah-masalah yang
dihadapinya. Dari sinilah dibutuhkan sebuah
keluarga, orang yang paling dekat, dalam
membentuk kepribadian rejama untuk masa
depannya. Keluarga berperan sangat penting
terhadap perkembangan anak (remaja),
sebab keluarga sebagai unit terkecil
merupakan entitas pertama dan utama
dimana anak tumbuh, dibesarkan, dibimbing
dan diajarkan nilai-nilai kehidupan sesuai
dengan harapan sosial (social expentacy)
tempat keluarga tinggal (Mutadin, 2002).
Sehingga nantinya seorang anak siap menghadapi tantangan dalam kehidupannya dan
mampu mengemban amanat besar sebagai
penerus estafet perjuangan bangsa.
Menurut Havighurst (1984), seorang
anak memasuki usia remaja apabila telah
mencapai kemandirian emosional dari orang
tua dan orang-orang dewasa lainnya. Selain
itu, masa remaja merupakan ambang masa
dewasa, dimana tuntutan masa dewasa
sudah semakin berat, remaja harus
bertanggung jawab pada diri, keluarga, dan
masyarakat.
Pencapaian kemandirian bagi remaja
merupakan sesuatu hal yang tidak mudah.
Sebab pada masa remaja terjadi perkembangan psikososial dari arah lingkungan
menuju lingkungan luar keluarga. Mereka
berusaha melakukan pelepasan-pelepasan
atas keterikatan yang selama ini dialami pada
masa kanak-kanak. Dimana segalanya serba
diatur dan ditentukan oleh orang tua.
Remaja sering tidak mampu memutuskan
simpul-simpul ikatan emosional kanakkanaknya dengan orang tua secara logis dan
objektif. Dalam usaha itu, mereka kadangkadang harus menentang, berdebat,
bertarung pendapat dan mengkritik dengan
pedas sikap-sikap orang tua (Thomburg,
1982).
Semua manusia (termasuk remaja)
pada dasarnya mempunyai cara khusus
untuk berperilaku yang membedakan dari
Volume 3, Nomor 1, Januari 2012
62
KEMANDIRIAN REMAJA
orang lain dan mempunyai pandangan
khusus tentang diri sendiri serta relasi
terhadap lingkungan. Ciri khas bertingkah
laku ini dapat menunjukkan karakter
(kepribadian/kemandirian) atau gaya hidup
seseorang (Balson, 1981). Manusia dengan
karakter yang dimiliki pada akhirnya akan
membentuk suatu kepribadian yang menjadi
ciri khas manusia itu. Dengan kata lain,
kepribadian dapat membedakan antara
orang yang satu dengan lainnya. Masingmasing manusia akan memiliki kepribadian
yang berbeda-beda, namun kemiripan masih
sangat dimungkinkan. Karena itulah,
mengapa seorang anak bisa memilih
kepribadian yang berbeda-beda dengan
saudara kandungnya yang lain, walaupun
dikandung dan di-lahirkan oleh ayah dan ibu
yang sama. Banyak faktor yang mempengaruhi ter-bentuknya kepribadian antara
lain; lingkungan, pola asuh, dan faktor yang
tidak kalah penting terhadap pembentukan
kepribadian khususnya kemandirian remaja
adalah urutan kelahiran (birth order).
Alfred Adler, psikolog individu, menjelaskan bahwa kepribadian seseorang
(remaja) bergantung pada faktor keturunan,
lingkungan dan kreativitas dirinya. Artinya,
ada faktor urutan kelahiran yang dapat
mempengaruhi kepribadian/kemandirian
individu. Berdasarkan teori Adler ini dimungkinkan, bahwa perbedaan kemandirian seseorang muncul karena adanya perbedaan gaya hidup yang dikembangkan tiap
anak berdasarkan interpretasinya terhadap
urutan kelahirannya. Menurut Covey (2007),
urutan kelahiran dan interpretasi terhadap
posisi seseorang dalam keluarga berpengaruh terhadap cara seseorang berinteraksi akibat situasi psikologis yang
berbeda pada urutan kelahiran tersebut.
Urutan kelahiran, selain membentuk
karakter tertentu, juga memunculkan
sindrom tertentu. Hurlock (1978) mengemukakan bahwa, misalnya, terdapat
Jurnal Pelopor Pendidikan
beberapa persamaan sindrom antara anak
sulung dan anak bungsu. Anak sulung
seringkali bergantung, mudah dipengaruhi
dan manja. Sedangkan anak bungsu
mempunyai sindrom manja, merasa tidak
mampu dan rendah diri, dan tidak bertanggung jawab. Lebih lanjut, Hurlack juga
berpendapat, masyarakat cenderung
berpandangan bahwa anak sulung lebih
mandiri daripada anak bungsu. Pendapat
tersebut tidak terlepas dari pengaruh budaya
yang ada. Anak pertama dipandang sebagai
pewaris kebudayaan, kekuasaan dan
kekayaan. Selain itu, anak pertama biasanya
diharapkan untuk menjadi contoh bagi adikadiknya.
Berdasarkan pendapat Hurlock tentang
sindrom antara anak sulung dan anak bungsu
terdapat indikasi munculnya ketidakmandirian pada anak sulung dan anak
bungsu. Anak kedua yang memiliki posisi
terjepit sehingga anak tengah harus
berkompetensi untuk mendapat perhatian
dari orang tua membuat anak kedua
cenderung lebih mandiri. Anak tunggal yang
memperoleh perhatian berlebihan dari
orang tua membuat anak tunggal menjadi
manja. Dalam kehidupan sehari-hari sering
dijumpai perbedaan perilaku yang diberikan
orang tua terhadap putra-putrinya
berdasarkan urutan kelahiran, sehingga
perbedaan ini akan menghasilkan
perkembangan yang berbeda. Hal ini
memunculkan pertanyaan tentang
kemandirian anak sulung, anak tengah, anak
bungsu dan anak tunggal. Benarkah terdapat
perbedaan kemandirian antara urutan
kelahiran dan benarkah anak sulung lebih
mandiri daripada anak tengah, anak bungsu
dan anak tunggal, atau justru sebaliknya.
Kemandirian Remaja
a. Definisi Kemandirian Remaja
Kemadirian berasal dari kata
“Autonomy” yaitu sebagai sesuatu yang
Agus Riyanti Puspito Rini
mandiri, atau kesanggupan untuk berdiri
sendiri dengan keberanian dan tanggung
jawab atas segala tingkah laku sebagai
manusia dewasa dalam melaksanakan
kewajibannya guna memenuhi kebutuhannya sendiri (kartono, 1990).
Havighurst (dalam Yusuf, 2006) menjelaskan, kemandirian adalah kebebasan
individu untuk dapat menjadi orang yang
berdiri sendiri, dapat membuat rencana
untuk masa sekarang dan masa yang akan
datang serta bebas dari pengaruh orang tua.
Parker menambahkan bahwa, individu yang
mandiri akan mempunyai kepercayaan
terhadap gagasan-gagasannya sendiri dan
kemampuan menyelesaikan sesuatu hal
sampai tuntas, dan tidak ada keragu-raguan
dalam menetapkan tujuan serta tidak
dibatasi oleh ketakutan akan kegagalan.
Menurut Barnadib (1983) kemandirian
meliputi “perilaku mampu berinisiatif,
mampu mengatasi hambatan/masalah,
mempunyai rasa percaya diri dan dapat
melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan
orang lain”. Pendapat ini diperkuat oleh
Kartini dan Dali (2000) yang mengatakan
bahwa, kemandirian adalah hasrat untuk
mengerjakan segala sesuatu bagi dirinya
sendiri.
Dari penjelasan para pakar tentang
kemandirian tersebut dapat ditarik
pernyataan bahwa, kemandirian mengandung pengertian beriakut; 1) suatu
keadaan dimana seseorang yang memiliki
hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan
dirinya; 2) mampu mengambil kepurtusan
dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang
dihadapi; 3) memiliki kepercayaan diri dalam
mengerjakan tugas-tugasnya; 4) bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.
Sedangkan kata “remaja” berasal dari
kata adolescere (adolecence) yang berarti
“tumbuh” atau tumbuh menuju dewasa.
Kata remaja adalah suatu tahap dalam
perkembangan jiwa manusia yang sebagai
masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa. Dengan kata lain, remaja merupakan masa dimana seseorang mengalami fase
kematangan secara psikologis, yaitu
tercapainya kemandirian dan identitas
dirinya.
Jika kita coba gambungkan antara
makna kemandirian dan remaja, akan
memberikan pengertian “remaja yang
berkemampuan mandiri”. Dengan itu,
kemandirian remaja adalah remaja yang
memiliki kemampuan maju, berinisiatif,
percaya diri, dan bertanggung jawab.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kemandirian
Dalam pencapaian kemandirian
diperlukan suatu proses dan perkembangan,
karena adanya pengaruh faktor eksternal
yang juga berperan pada kemandirian diri.
Menurut Hurlock (1990), faktor-faktor yang
mempengaruhi kemandirian sebagai
berikut:
1. Pola asuh orang tua
Orang tua dengan pola asuh yang
demokratis sangat merangsang
kemandirian anak, yaitu peran orang tua
sebagai pembimbing yang memperhatikan terhadap aktivitas dan
kebutuhan anak terutama dalam hal
pergaulannya di lingkungan sekitar pun
di sekolah.
2. Jenis kelamin
Anak yang berkembang dengan
tingkah laku maskulin lebih mandiri
daripada anak yang mengembangkan
pola perilaku feminim.
3. Urutan posisi anak
Anak pertama diharapkan menjadi
contoh dan menjaga adiknya lebih
berpeluang untuk lebih mandiri
dibandingkan dengan anak bungsu yang
Volume 3, Nomor 1, Januari 2012
63
64
KEMANDIRIAN REMAJA
mendapatkan perhatian berlebihan dari
orang tua dan saudara-saudaranya
berpeluang kecil untuk cepat mandiri.
Ali (2004) menjelaskan secara umum
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
terwujudnya kemandirian sebagai berikut:
1. Gen atau keturunan
Orang tua yang mempunyai sifat
kemandirian tinggi seringkali melahirkan anak yang memiliki kemandirian
juga. Akan tetapi, faktor ini masih
menjadi perdebatan, ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya bukan
sifat kemandirian orang tuanya yang
me-nurun kepada anak, melainkan sifat
orang tuanya muncul berdasarkan cara
orang tua mendidikan anaknya.
2. Pola Asuh orang tua
Orang tua yang mengasuh dan
mendidik anak dengan banyak melarang tanpa alasan yang jelas akan
meng-hambat kemandirian anak.
Sebaliknya, orang tua yang menciptakan
suasana nyaman dalam interaksi
keluarga akan dapat mendorong
kelancaran perkembangan kemandirian
anak.
3. Sistem pendidikan
Proses pendidikan yang tidak
mengembangkan demokratisasi pendidikan dan cenderung menekankan
indoktrinasi tanpa argumentasi akan
menghambat perkembangan kemandirian. Proses pendidikan yang
menekankan pentingnya pemberian
sanksi juga dapat menghambat
perkembangan kemandirian. Sebaliknya, proses pendidikan yang lebih
menekankan pentingnya peng-hargaan
terhadap potensi anak, pemberian
reward dan penciptaan kompetensi
yang positif akan melancarkan
perkembangan kemandirian.
Penjelasan Hurlock dan Ali tersebut
lebih terfokus pada kemandirian anak dalam
Jurnal Pelopor Pendidikan
lingkungan keluarga. Kemandirian anak
besar sekali dipengaruhi oleh kondisi
keluarga, bagiamana keluarga memperlakukan diri anak sehingga mencapai
kemandirian. Fuhrmann (1990) menambahkan, bahwa perkembangan kemandirian
seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor keluarga, tetapi juga dipengaruhi oleh
pengharapan masyarakat yang lebih luas.
Faktor-faktor yang berpengaruh, sebagai
pengharapan masyarakat yang lebih luas,
adalah:
1. Kehadiran perguruan tinggi
Terdapat perbedaan antara mahasiswa
perguruan tinggi antara yang menetap di
lingkungan perguruan tinggi dan mereka
yang menetap di rumah. Mereka yang
menetap di lingkungan perguruan tinggi
membuat jarak lebih jauh dengan keluarga,
tetapi menunjukkan lebih banyak kasih
sayang untuk keluarga, berkomunikasi lebih
baik dengan orang tua, menunjukkan
kepuasan lebih besar dengan keluarga, dan
lebih merasakan kebebasan. Dengan itu,
menetap di lingkungan perguruan tinggi
akan lebih memudahkan proses kemandirian
dan memperkuat ikatan emosional.
2. Perbedaan jenis kelamin
Pria mencapai kemandirian emosional
dengan mantap lebih cepat dibandingkan
dengan wanita, dan menunjukan perbedaan
dalam hal sosialisasi. Perempuan diperkuat
pada ketergantungan, lebih bergantung
seperti anak-anak dan menyisakan kebergantungannya dengan orang tua sampai
mencapai kedewasaan. Namun, perempuan
yang orang tuanya mengharapkan kepercayaan diri, kedewasaan, dan prestasi akan
lebih mandiridan berorientasi dibanding
panutanya di luar dugaan orang tua.
3. Perbedaan budaya
Nilai-nilai budaya juga mempengaruhi
perkembangan otonomi. Remaja minoritas,
Agus Riyanti Puspito Rini
misalnya di Amerika, terlihat sangat tergantung dengan keluarga mereka, dan
menunjukkan kemandirian yang tinggi.
Dengan uraian tersebut dapat diambil
kesimpulan, bahwa faktor-faktro yang
mempengaruhi terbentuknya kemandirian
meliputi ; jenis kelamin, urutan kelahiran,
sistem pendidikan, pola asuh orang tua, gen
atau keturunan, pengaruh teman sebaya,
budaya dan kelas sosial.
c. Pembentukan kemandirian remaja
Pembentukan kemandirian pada masa
remaja merupakan perkembangan perilaku
dari masa-masa sebelumnya. Keinginan yang
kuat untuk mandiri berkembang pada awal
masa remaja dan mencapai puncaknya
menjelang periode ini berakhir. Remaja
mulai menginginkan kebebasan dalam
berbagai aspek termasuk kebebasan dalam
ke-mandiriannya.
Langkah pertama yang dilakukan
remaja untuk kemandirian, terkait dengan
orang tuanya, adalah melepaskan ikatan
dengan belajar melakukan sesuatu secara
mandiri. Menurut Hurlock (1999), perkembangan kepribadian remaja adalah
sebagai usaha untuk mandiri secara
emosional dari orang tua dan orang dewasa
lainnya.
Menurut Steinberg (1993), remaja yang
memperoleh kemandirian adalah remaja
yang dapat memiliki kemampuan untuk
mengatur diri sendiri secara bertanggung
jawab, meskipun tidak ada pengawasan dari
orang tua ataupun guru. Kondisi demikian
menyebabkan remaja memiliki peran baru
dan mengambil tanggung jawab baru,
sehingga hal ini akan menempatkan remaja
untuk menjadi tidak tergantung pada orang
tua. Artinya, masalah kemandirian secara
spesifik menuntut suatu kesiapan individu
baik secara fisik maupun emosional untuk
mengatur, mengurus, dan melakukan
aktivitas atas tanggung jawabnya sendiri
tanpa banyak tergantung pada orang lain.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat
dipaparkan bahwa, seorang remaja
mendapatkan kemandirian atau dirinya
menjadi mandiri jika berusaha membentuk
dirinya menjadi tidak tergantung pada orang
lain (di luar dirinya). Remaja yang berusaha
menemukan dirinya dengan mengenali
dirinya sendiri, tidak tergantung pada orang
lain, tentu akan menjadi diri yang mandiri
atau terbentuk yang namannya kemandirian
diri.
Kemandirian Remaja Berdasarkan Urutan
Kelahiran
Dalam sebuah keluarga tidak ada anak
yang memiliki sifat sama, bahkan anak
kembar sekalipun akan memiliki sifat yang
berbeda. Sifat seorang anak terbentuk dari
pengalaman psikologisnya sebagai penafsiran si anak terhadap posisi dirinya di
dalam keluarga. Dalam ilmu yang membahas
birth order (urutan kelahiran) dijelaskan,
seorang anak akan menafsirkan posisi dalam
garis keluarganya, dan penilaian diri itulah
yang kemudian menjadi acuan dari reaksi
dalam hidup bermasyarakat dikemudian
hari. Dampak dari itu akan dirasakan dalam
hubungan seseorang di lingkungan pergaulan
sebagai anggota keluarga, sekolah atau
dalam bersosialisasi di masyarakat.
Dalam teori psikososial, manusia
sebagai makhluk sosial dalam proses
kehidupannya tentu mengalami tahap-tahap
perkembangan yang akan dilalui, dan salah
satunya adalah periode masa remaja. Masa
rejama merupakan periode peralihan
perkembangan dari kanak-kanak menuju
masa dewasa. Peralihan ini tidak berarti
terputus atau berubah dari apa yang telah
terjadi sebelumnya, melainkan lebih pada
sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Dalam
tahap perkembangan ini remaja memiliki
Volume 3, Nomor 1, Januari 2012
65
66
KEMANDIRIAN REMAJA
tugas-tugas yang khas, di antaranya remaja
diharapkan dapat mencapai perilaku sosial
yang bertanggung jawab serta mempersiapkan perkawinan dan keluarga. Selain
itu, diharapkan juga untuk dapat mencapai
hubungan sosial yang matang dengan teman
sebayanya, baik dengan teman sejenis
maupun dengan lawan jenis (Hurlock, 1980).
Remaja akan mengalami perkembangannya bersaan dengan kesiapan dirinya
dalam menghadapi kehidupann yang
menuntut tanggung jawab lebih. Ciri-ciri
perkembangan remaja, menurut Gunarsa
dan Yulia (2001), adalah: 1) menerima
keadaan fisiknya; 2) memperoleh kebebasan
emosional; 3) mampu bergaul; 4) menemukan model untuk edentifikasi; 5) mengetahui
dan menerima kemampuan sendiri; 6)
memperkuat penguasaan diri atas dasar
skala dan norma; dan 7) meninggalkan reaksi
dan cara penyesuaian kekanak-kanakan.
Heidenreich (1970) menyebutkan
bahwa hubungan birth order dalam keluarga
memiliki sangkut paut dengan personality
dan social adjustment pada individu. Posisi
anak dalam urutan saudara-saudara
mempunyai pengaruh mendasar terhadap
perkembangan selanjutnya. Hal ini dikarenakan orang tua pada umumnya memiliki
sikap, perlakuan dan memberikan peran
yang spesifik terhadap anak tunggal, anak
sulung, anak tengah, atau anak bungsu.
Sikap, per-lakuan dan peran yang diberikan
orang tua sesuai dengan tempat dan
urutannya dalam keluarga ini mempunyai
pengaruh terhadap kepribadian dan
pembentukan sikap anak, baik terhadap
dirinya sendiri maupun terhadap orang lain,
serta menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhinya dalam mengembangkan
pola perilaku tertentu sepanjang rentang
hidupnya (Desmita, 2008).
Bathia (1977) menyatakan bahwa
kemandirian merupakan perilaku yang
aktivitasnya diarahkan kepada diri sendiri,
Jurnal Pelopor Pendidikan
tidak mengharapkan pengarahan dari orang
lain dan bahkan mencoba memecahkan atau
menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa
meminta bantuan kepada orang lain.
Mencapai kemandirian merupakan salah
satu tugas perkembangan pada masa
remaja. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Mappiare (1982) bahwa remaja
dituntut untuk tidak selalu tergantung pada
orang tua atau orang dewasa lainnya secara
emosional, mampu mengatur keuangannya
sendiri dan dapat memilih serta
mempersiapkan dirinya ke arah pekerjaan
atau jabatan.
Anak sulung, misalnya, sebagai anak
yang pertama kali dilahirkan dalam sebuah
keluarga, tentu lebih berpengalaman hidup
dibandingkan anak bungsu. Sehingga orang
mempercayainya dan memberi tanggung
jawab tertentu daripada anak bungsu.
Karenanya, anak sulung setelah melalui
masa remajanya akan terlihat lebih matang
dan tekun dalam suatu pekerjaannya
(Simanjuntak, 1984).
Sedangkan anak bungsu seringkali
menjadi pusat perhatian dan tempat
curahan kasih sayang orang tua termasuk
anggota keluarga yang lain, karena ia
anggota keluarga yang paling kecil. Semua
anggota keluarga selalu saja mencoba ingin
memikat dan menarik perhatian anak
bungsu. Selain alasan itu, orang tua merasa
bahwa ke-mampuan atau kemungkinan
untuk mempunyai anak lagi sudah atau
hampir berakhir, sehingga anak bungsu
menjadi tempat curahan kasih sayang yang
selalu diperhatikan bahkan bisa berlebihan.
Menurut Hurlock (1974), posisi sebagai
anak sulung ataupun anak bungsu merupakan posisi yang istimewa dalam keluarga.
Dalam beberapa pendapat dijelaskan bahwa
anak sulung dan anak bungsu sama-sama
mendapatkan curahan perhatian dan kasih
sayang yang berlebih dari orang tua bida
Agus Riyanti Puspito Rini
dibandingkan dengan anak-anak di antara
keduanya, anak tengah.
Lebih lanjut Hurlock menjelaskan,
bahwa anak sulung berperilaku secara
matang, karena berhubungan dengan orangorang dewasa, dan diharapkan untuk
memikul tanggung jawab. Anak sulung
biasanya memiliki perasaan kurang aman
dan perasaan benci sebagai akibat dari
lahirnya adik yang sekarang menjadi pusat
perhatian orang tuanya.
Anak sulung dalam sebuah keluarga,
sebelum memiliki anak bungsu, juga
mendapatkan curahan kasih sayang layaknya
anak bungsu. Akan tetapi, setelah lahirnya
anak bungsu, curahan kasih sayang orang tua
mulai beralih pada anak bungsu. Dari sini,
perbedaan antara anak sulung dan anak
bungsu dapat dikatakan hanya terletak pada
lebih lamanya waktu menjadi anak bungsu
untuk menikmati curahan kasih sayang orang
tua. Masa-masa menyenangkan anak sulung
akan segera berakhir dengan hadirnya anak
kedua sebagai anak bungsu dan anggota
baru dalam keluarga. Begitu juga seterusnya
dengan lahirnya anak ketiga dan keempat.
Selain itu, anak sulung biasanya diberi
tanggung jawab oleh orang tua untuk turut
membantu mengurus dan mengawasi adikadiknya, dan dituntut memberi contoh yang
baik kepada adiknya, akibatnya anak sulung
cenderung patuh terhadap peraturan yang
ada disekelilingnya. Dengan itu, anak sulung
dimungkinkan akan mencapai kemandirian
lebih cepat daripada anak bungsu.
Forer (dalam Sobur, 1986) menyatakan
bahwa seorang anak sulung bersungguhsungguh dan teliti dalam menghadapi
berbagai tugas. Hal ini dikarenakan ia menyerap norma-norma serta nilai langsung
dari orang tuanya sejak kecil. Ia selalu
mendapat tekanan dari orang tua agar
menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya
terutama hal yang ada kaitannya dengan
norma dan aturan.
Pengkondisian seperti itu akhirnya
menjadikan anak sulung terbiasa lebih
banyak bekerja dan bertanggung jawab atas
sesuatu hal bila dibandingkan dengan anak
bungsu. Begitu juga sebaliknya, anak bungsu
selalu mendapatkan bantuan dari orangorang yang lebih besar dan lebih tua darinya.
Dengan sering mendapat bantuan tersebut
anak bungsu menjadi kurang mengetahui
tentang kemampuan yang sebenarnya ia
miliki, dan kalaupun mampu melakukan
sesuatu ia lebih senang bila ada orang lain
mau melakukan untuknya. Akibatnya, anak
bungsu jarang menyelesaikan suatu
pekerjaan sendiri dan tidak bertanggung
jawab sepenuhnya.
Perbedaan pengkondisian antara anak
sulung dan anak bungsu tersebut akan
memunculkan sikap dan perilaku yang
berbeda. Anak sulung tumbuh menjadi anak
yang mandiri, sementara anak bungsu
tumbuh menjadi orang yang manja dan
terbiasa menggantukan diri pada orang lain.
Sebagaimana dinyatakan Aji (2000:3) bahwa
perhatian yang terus menerus dari saudara
dan orang tua mengakibatkan sifat-sifat anak
bungsu, seperti terlihat kekanak-kanakan,
cepat putus asa dan mudah emosi, pemanja
dan lambat menjadi anak yang mandiri.
Sedangkan anak tunggal hampir sama
dengan karakter anak pertama/anak sulung,
tetapi biasanya abak tunggal lebih manja
karena semua perhatian orang tua tertuju
kepadanya dan akan mengakibatkan
menjadi orang yang bergantung kepada
orang tua. Anak tunggal hampir dapat
dikatakan tidak mempunyai masalah dalam
berhubungan dengan orang tua, dan bahkan
bisa memiliki kepribadian yang berorientasi
prestasi serta menyenangkan. Bahkan,
menurut Santrock (2002), anak tunggal
merupakan orang yang mudah mengambil
keputusan.
Selanjutnya, anak tengah adalah anak
yang lahir kedua dan seterusnya yang
Volume 3, Nomor 1, Januari 2012
67
68
KEMANDIRIAN REMAJA
posisinya berada di antara anak sulung dan
anak bungsu. Anak tengah akan dididik lebih
meyakinkan, karena orang tua sudah
memiliki pengalaman yang lebih banyak
dalam hal mendidik. Anak tengah juga akan
menerima segalanya sebagai nomor dua
setelah kakak dan adiknya. Dengan kondisi
itu, anak tengah merasa harus berkompetensi untuk mendapatkan perhatian
dan kasih sayang dari orang tua (Simanjuntak, 1984).
Hurlock (1980) menjelaskan bahwa,
anak tengah memiliki ciri-ciri sebagai anak
yang mempunyai keterampilan bernegosiasi,
dan cenderung lebih mandiri. Anak tengah
atau anak kedua ini cenderung lebih bebas
dari harapan orang tua, sehingga ia dapat
membentuk karakternya sendiri. Anak
tengah juga anak yang pandai melihat situasi,
dan pada umumnya diperbolehkan melakukan hal-hal tertentu dengan sedikit
batasan dan merasa tida disayang orang
tuanya serta merasa tidak lebih baik dari
kakaknya. Akan tetapi, perlu diingat, pada
dasarnya bukan posisi urutan yang meninggalkan bekas pada kepribadian individu
dan pola perilaku melainkan keadaan dalam
hidup yang berhubungan dengan posisi
tersebut, seperti peran individu dalam
keluarga dan perilaku yang diterima dari
angota-anggota keluarga serta sikap mereka.
Dengan artian, bukan karena urutan
kelahiran yang menentukan mandirinya
seorang remaja sebagai faktor utama, tapi
peran disekitarnya dan dirinya dalam
menyikapi kondisi psiko-sosialnya.
Berdasarkan penjelasan perbedaan
bentukan kemandirian anak (remaja) dalam
urutan kelahiran tersebut, dapat diketahui
perbedaan perlakuan yang diberikan pada
anak sulung, anak tengah, anak bungsu, dan
anak tunggal sehingga memunculkan
karakter yang berbeda. Selain itu, adanya
kecenderungan perbedaan kemandirian
antara anak sulung, anak tengah, anak
Jurnal Pelopor Pendidikan
bungsu, dan anak tunggal. Dalam har
perhatian, anak tunggal dan anak bungsu
merupakan orang yang memperoleh
curahan perhatian lebih lama dari orang tua
dan orang-orang disekitarnya daripada anak
sulung dan anak tengah. Namun, anak
sulung cenderung lebih matang ketika
berinteraksi dengan orang lain, baik secara
emosi maupun dalam mengambil tanggung
jawab. Anak sulung tampak lebih mandiri,
walaupun ada kecenderungan untuk mudah
dipengaruhi kelompok atau orang tua.
Sedangkan anak tengah biasanya cenderung
mengamati anak sulung. Dan anak tunggal,
karena orang tua cenderung memanjakan,
biasanya tidak mandiri atau susah untuk
cepat bisa mandiri.
Penutup
Kemandirian remaja ditinjau dari urutan
kelahiran akan tampak suatu perbedaan,
baik sikap maupun emosi dan cara
bertanggung jawab dalam segala tindakannya. Perbedaan kemandirian remaja itu,
berdasarkan uraian yang telah dipaparkan,
sebagai salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah urutan kelahiran. Seperti
kemandirian anak sulung tentu akan
berbeda dengan anak bungsu. Hal ini
dikarenakan lingkungan, orang tua dan orang
terdekatnya, terdapat perbedaan dalam
memperlakukan diri seorang remaja atau
anak. Akan tetapi, perbedaan ke-mandirian
itu tidak perlu dirisaukan berlebih, melainkan perlu penyikapan yang dewasa supaya
tidak terjadi akibat-akibat negatif dalam
kehidupan sosialnya.
Dalam sebuah keluarga tentu tidak
hanya terdiri dari orang tua, tetapi juga
saudara dan famili lainnya yang juga
memberikan pengaruh besar pada perkembangan seorang anak. Pada dasarnya
tidak ada urutan kelahiran yang berposisi
terpenting, akan tetapi yang perlu diperhati-
Agus Riyanti Puspito Rini
kan adalah pemberian makna dan peran
secara psiko-sosial terhadap posisi urutan
kelahiran.
Selain itu, untuk mencapai kemandirian
remaja, pendidikan dan penyikapan dewasa
diharapkan mampu memberi solusi kepada
para remaja supaya memahami pentingnya
kemandirian bagi dirinya, sehingga para
remaja menyadari dan mengenali dirinya
serta introspeksi diri sampai mencapai
kemandirian. Berdasarkan urutan kelahiran,
dengan mengetahui pentingnya kemandirian
para remaja diharapkan sebagai berikut:
1) Bagi anak sulung, dengan mengetahui pentingnya kemandirian ia mampu
mem-pertahankan tingkat kemandirian yang
sudah lebih baik dari anak tengah, anak
bungsu dan anak tunggal. Hal ini agar anak
sulung lebih bisa menjalankan perannya
sesuai dengan keinginan orang tua yang
menginginkan dapat menggantikan
perannya.
2) Bagi anak tengah, diharapkan
mampu meningkatkan kemandiriannya.
Salah satu cara dengan mencotoh kemandirian yang dilakukan anak sulung.
3) Bagi anak bungsu, sebagai anak yang
paling dimanja dalam sebuah keluarga,
hendaknya tetap mengerjakan semua
tugasnya sendiri dan tidak menggantungkan
dirinya kepada orang lain.
4) Bagi anak tunggal, perlu menyadari
bahwa tidak ada persaingan dalam
mendapatkan curahan kasih sayang
keluarga. Pada dasarnya kasih sayang dan
perlindungan orang tua kepada anakanaknya memiliki nilai yang sama.
Karenanya, anak tunggal diharapkan tetap
mengerjakan tugasnya sendiri tanpa
melibatkan bantuan orang lain.
5) Bagi orang tua sudah semestinya dan
seharusnya memberikan perlakuan sama
terhadap anak sulung, anak bungsu, dan
anak tengah. Orang tua dalam memperlakukan anaknya diharapkan sesuai dengan
tugas perkembangan anaknya, dan orang tua
juga tidak perlu berlebihan dalam
memanjakan anak-anaknya.
6) Bagi guru sebagai orang yang
memang tugasnya mendidik hendaknya
dapat memberikan perhatian khusus kepada
anak didiknya sesuai dengan urutan
kelahiran, dan memberikan pengertian
untuk bersikap mandiri dan melakukan
penyadaran yang intens supaya anak
didiknya tidak lagi selalu bergantung kepada
orang lain.
7) Dan bagi masyarakat hendaknya
tidak memperlakukan para remaja dengan
sikap yang berbeda, yaitu melihat remaja
bukan karena dia anak sulung, anak bungsu,
atau anak tengah supaya remaja mampu
melakukan penyadaran oleh dan untuk
dirinya sendiri. Dengan perlakuan yang sama
di tengah kehidupan sosial para remaja akan
memberikan dampak positif bagi kemandirian para remaja itu sendiri.[]
Daftar Pustaka:
A. Sobur, Anak Masa Depan, Bandung:
Angkasa, 1986
B. Simanjuntak & LL. Pasaribu, Pengartar
Psikologi Perkembangan, Bandung:
Tarsito, 1984.
C.A. Heidenreich, Personality and Social
Adjusment, Dubuque, Lowa: Kendall/
Hunt, 1970.
Desmita, Psikologi Perkembangan, Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya, 2008.
E.B. Hurlock, Perkembangan Anak, Jilid 1,
Alih Bahasa: Meitasari T dan Muslichah
Z., Jakarta: Erlangga, 1978.
E.B Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan, Edisi Ke-v, Alih Bahasa:
Istiwidayanti dan Soedjarwo, Jakarta:
Erlangga, 1990
Fuhrman dan Barbara Schmeider,
Adolescence, Adolescent, London: A
Volume 3, Nomor 1, Januari 2012
69
70
KEMANDIRIAN REMAJA
Division of Scotf, Foresman and
Company, 1990.
G. Covey, Teori dan Praktek dari Konseling
dan Psikoterapi, Bandung: Refika
Aditama, 2007.
H.D. Thornburg, Development in
Adolescence, Monterey: CA Books/
Cole, 1982.
J. Robert Havighurst, Perkembangan
Manusia dan Pendidikan, Bandung:
Jemmars, 1984.
Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi
Perkembangan), Bandung: Mandar
Maju, 1990.
Kartini Kartono & Dali G., Patologi Sosial 2,
(Kenakalan Remaja), Jakarta:
Rajawali Press, 2000.
M. Ali, Perkembangan Peserta Didik,
Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
S. Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak
dan Remaja, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya2006
Steinberg, Adolescence, Third Edition, New
York: McGraw-Hill, Inc., 1993.
Z. Mutadin, Kemandirian Sebagai
Kebutuhan Psikologis Pada Remaja,
2002, http://www.e-psikologi.com,
diakses 23 Oktober 2009
individu yang mandiri akan
mempunyai kepercayaan
terhadap gagasan-gagasannya
sendiri dan kemampuan
menyelesaikan sesuatu hal
sampai tuntas, dan tidak ada
keragu-raguan dalam
menetapkan tujuan serta
tidak dibatasi oleh ketakutan
akan kegagalan.
Jurnal Pelopor Pendidikan
Download