Pengaruh konsumsi protein dan mineral BESI (Fe

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica)
Karakteristik Puyuh
Puyuh jepang merupakan salah satu jenis burung yang berukuran kecil,
umumnya kecepatan berlarinya lebih tinggi dibandingkan terbang ketika mnghindari
bahaya. Japanese quail merupakan spesies yang telah didomestikasi untuk
dimanfaatkan daging dan telurnya. Keuntungan dalam memelihara puyuh antara lain
tidak memiliki desain kandang yang khusus, ukuran lantai yang tidak terlalu besar,
sudah siap dipasarkan umur 5 minggu dan sudah mulai bertelur umur 7 minggu,
waktu pengembalian modal relatif lebih cepat, lebih resisten terhadap penyakit
dibandingkan ayam walaupun tidak diberi vaksin yang sesuai dengan kebutuhan
normalnya sehingga manajemen pemeliharaannya relatif mudah (Prabakaran, 2003).
Prabakaran (2003) menambahkan bahwa puyuh relatif lebih resisten terhadap
infeksi penyakit seperti kolera, coli bacillous, enteritis dan micotoxicosis. Kematian
biasanya diakibatkan karena brooding age (0-14 minggu) yaitu sebesar 20%-25%.
Hal ini dapat disebabkan kesalahan dalam manajemen pemeliharaan, terutama suhu
dan kepadatan dalam satu unit kandang. Adapun klasifikasi zoologi burung puyuh
menurut Radiopoetro (1996) adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub phylum
: Vertebrata
Class
: Aves
Family
: Phasianidae
Sub family
: Phasianidae
Genus
: Coturnix
Species
: Coturnix coturnix japonica
Kondisi Fisiologis dan Kebutuhan Nutrien Puyuh
Puyuh mempunyai dua fase pemeliharaan yaitu fase pertumbuhan dan fase
produksi (bertelur). Fase pertumbuhan dibagi menjadi dua fase yaitu starter (0-3
minggu) dan grower (3-5 minggu), sedangkan fase produksi berumur diatas 5
minggu. Anak puyuh yang baru berumur 0-3 minggu membutuhkan protein 25% dan
3
energi metabolisme 2900 kkal/kg. Pada umur 3-5 minggu kadar protein dikurangi
menjadi 20% dan energi metabolisme 2600 kkal/kg. Kebutuhan energi dan protein
puyuh lebih dari 5 minggu sama dengan kebutuhan energi dan protein puyuh umur 35 minggu (Listiyowati dan Roospitasari, 2000). Jumlah ransum yang disarankan
untuk diberikan sesuai dengan umur puyuh.
Tabel 1. Jumlah Ransum yang Diberikan Berdasarkan Umur Puyuh
Umur Puyuh
1 hari-1 minggu
1-2 minggu
2-3 minggu
3-4 minggu
4-5 minggu
Lebih dari 5 minggu
Jumlah Ransum yang Diberikan (gram/ekor/hari)
2
4
8
10
12-15
>15
Sumber : Sritharet (2002)
Ransum yang diberikan untuk unggas terdiri atas beberapa bentuk, yaitu
bentuk pelet, crumble dan tepung. Ransum terbaik adalah berbentuk tepung sebab
puyuh mempunyai sifat khas yang sering mematuk kawannya dan mempunyai
kesibukan lain dengan mematuk pakannya (Listiyowati dan Roospitasari, 2000).
Selain kuantitas, kualitas ransum pun perlu diperhatikan untuk memenuhi kebutuhan
nutrien puyuh. Berikut adalah kebutuhan nutrien puyuh berdasarkan status faalnya.
Tabel 2. Kebutuhan Nutrien Puyuh Fase Grower dan Layer
Kebutuhan Nutrien
Kadar Air (%)
Abu (%)
Protein kasar (%)
Lemak kasar (%)
Serat kasar (%)
EM (kkal/kg)
Lysine (%)
Methionine (%)
Methionine + Cystine (%)
Ca (%)
P total (%)
P tersedia (%)
Grower
Maks. 14,0
Maks. 8,0
Min. 17,0
Maks. 7,0
Maks. 7,0
Min. 2600
Min. 0,80
Min. 0,35
Min. 0,50
0,90 – 1,20
0,60 – 1,00
Min. 0,40
Layer
Maks. 14,0
Maks.14,0
Min. 17
Maks. 7,0
Maks. 7,0
Min. 2700
Min. 0,90
Min. 0,40
Min. 0,60
2,50 – 3,50
0,60 – 1,00
Min. 0,40
Sumber : SNI (2006)
4
Katuk (Sauropus androgynus L. Merr)
Nama lokal tanaman katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dikenal dengan
nama katuk (Sunda, Melayu): babing atau katukan (Jawa), simanis (Minang Kabau),
kerakur (Madura) (Departemen Kesehatan RI, 1998). Daun katuk mengandung
klorofil yang cukup tinggi, untuk daun tua sebesar 65,8 spa d/mm2 sedangkan daun
muda sebesar 41,6 spa d/mm2 dapat digunakan sebagai pewarna alam memberi
warna hijau (Rahayu dan Limantara, 2005).
Gambar 1. Katuk (Sauropus androgynus L. Merr)
Sumber : Brooks (2008)
Azis dan Muktiningsih (2006), menyatakan bahwa kandungan zat makanan
katuk per 100 gram mengandung kalori 59 kal; protein 6,4 g; lemak 1 g; hidrat arang
9,9 g; serat 1,5 g; abu 1,7 g; kalsium 233 mg; fosfor 98 mg; besi 3,5 mg; karoten
10.020 µg; vitamin B dan C 164 mg; air 81 g. Selain itu, daun katuk mengandung
beberapa senyawa kimia antara lain asam amino, tannin, flavonoid, saponin (Malik,
1997).
Penelitian tentang pemanfaatan daun katuk sebagai pakan unggas telah
dilakukan. Telah diteliti efek penambahan tepung daun katuk pada ransum ayam
kampung oleh Subekti (2003) yang menyatakan bahwa pada taraf 9% penambahan
tepung daun katuk dapat meningkatkan produksi telur, mempercepat umur dewasa
kelamin dan meningkatkan kualitas telur serta karkas. Hal ini diduga karena adanya
kandungan karoten dan mineral yang tinggi dalam katuk. Piliang et al. (2001)
melaporkan bahwa kandungan tepung daun katuk berbeda dengan ekstraksi daun
katuk. Tepung daun katuk memiliki kandungan gizi yang lebih baik dibandingkan
dengan ekstrak daun katuk kering.
5
Murbei (Morus alba)
Terdapat enam jenis murbei yang banyak ditanam dan daunnya digunakan
sebagai pakan ulat sutera di Indonesia, yaitu Morus nigra, Morus multicaulis, Morus
australis, Morus alba, Morus alba var macrophulla, dan Morus bombycis. Dari
keenam jenis murbei, jenis Morus alba tidak digunakan sebagai pakan ulat sutera
karena jenis ini umumnya ditanam untuk dimanfaatkan buahnya (Atmosoedarjo et
al., 2000). Spesies ini berasal dari Cina, namun saat ini telah ditemukan juga di Asia
Tenggara (Saddul et al., 2004).
Gambar 2. Daun Murbei (Morus alba)
Sumber : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (2005)
Daun murbei (Morus alba) mengandung 15-35% protein; 2,42-4,17% Ca;
0,23-0,97% P dan ME 1.130-2.240 kkal/kg serta tidak mengandung anti nutrisi
(Omar et al., 1999; Sanchez, 2000; Saddul et al., 2004; Srivastava et al., 2006).
Adapun kandungan tanin (18 g/kg) pada daun murbei dapat diabaikan sehingga
berpotensi untuk disukai ternak (Singh dan Makkar, 2000). Pada daun murbei juga
teridentifikasi adanya kandungan asam askorbat, karotene, vitamin B1, asam folat,
pro vitamin D, mineral Mg, P, K, Ca, Al, Fe dan Si. Tingginya kandungan protein
kasar pada daun murbei diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber pakan ternak di
daerah beriklim sedang, sub-tropik dan agak kering. Penelitian mengenai
penggunaan Morus alba sebagai pakan unggas telah dilakukan oleh Al-kirshi et al.
(2010), yang menyatakan bahwa penggunaan 10% tepung daun murbei dalam
ransum tidak mempengaruhi produksi dan kualitas telur pada ayam petelur.
Kebutuhan Protein
Protein merupakan senyawa organik yang sebagian besar unsurnya terdiri
atas karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur dan fosfor. Ciri khusus protein
adalah adanya kandungan nitrogen. Berdasarkan bentuknya, protein dapat
6
diklasifikasikan dalam tiga bagian, yaitu protein berbentuk bulat, serat dan gabungan
ke duanya (Widodo, 2005).
Fungsi protein meliputi banyak aspek, diantaranya 1) sebagai struktur penting
untuk jaringan urat daging, tenunan pengikat, kolagen, rambut, bulu, kuku dan
bagian tanduk serta paruh, 2) sebagai komponen protein darah, albumin dan globulin
yang dapat membantu mempertahankan sifat homeostatis dan mengatur tekanan
osmosis, 3) sebagai komponen fibrinogen dan tromboplastin dalam proses
pembekuan darah sebagai komponen fibrinogen, tromboplastin, 4) sebagai karrier
oksigen ke sel dalam bentuk sebagai hemoglobin, 5) sebagai komponen enzim yang
bertugas mempercepat reaksi kimia dalam sistem metabolisme, 6) sebagai
nukleoprotein, glikoprotein dan vitellin (Widodo, 2005).
Kebutuhan protein untuk masing-masing unggas berbeda-beda. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kebutuhan unggas akan protein antara lain suhu lingkungan,
umur, spesies/bangsa/strain, kandungan asam amino, kecernaan. Kebutuhan protein
maupun asam amino dapat diukur dengan memperhatikan kebutuhan protein untuk
hidup pokok, pertumbuhan jaringan bulu dan produksi telur. Perhitungan kebutuhan
protein harus memperhitungkan tingkat efisiensi penggunaan protein pada masingmasing unggas (Widodo, 2005).
Mineral Besi (Fe)
Besi merupakan mineral mikro esensial yang paling melimpah. Zat ini
terutama diperlukan dalam homeophoiesis (pembentukan darah), yaitu dalam
mensintesa hemoglobin (Hb) (Sediaoetama, 2006). Sebanyak kurang lebih 2/3 dari
besi beredar sebagai hemoglobin, 1/10 sebagai mioglobin dan kurang dari 1%
terdapat pada transferin dari semua enzim besi dan protein redoks. Sisanya terdiri
atas simpanan besi feritin dan hemosiderin yang terutama ada pada hati, limpa dan
sumsum tulang. Fungsi utama besi adalah untuk transport oksigen oleh hemoglobin.
Di dalam tubuh, sebagian besar Fe terdapat konjugasi, seperti (hemoglobin,
myoglobin, transferin, ferritin dan hemosiderin) dengan protein dan terdapat dalam
bentuk ferro atau ferri. Bentuk aktif zat besi biasanya terdapat sebagai ferro,
sedangkan bentuk inaktif adalah sebagai ferri (misalnya bentuk storage)
(Sediaoetama, 2006).
7
Sumber makanan yang relatif kaya akan kandungan Fe diantaranya daging
merah, sayuran dengan warna hijau gelap, buah yang dikeringkan dan buncis
(Gropper et al., 2009). Warna hijau pada sayuran mengindikasikan kandungan zat
besi didalamnya. Skema metabolisme besi dalam tubuh ditunjukkan pada Gambar 3.
Transferin – Fe3+
Hemoglobin - Fe2+
Plasma
Fe2+
Sel darah merah
Nonheme enzymes
Heme enzymes
Fe2+
Fe3+
Other cell uses
3+
Fe2+
degraded Hb
Ferritin - Fe3+
Ferritin - Fe
Hemosiderin - Fe3+
3+
Hemosiderin - Fe
Jaringan
Retikulum endoplasma
Gambar 3. Metabolisme Zat Besi di dalam Tubuh
Sumber : Gropper et al. (2009)
Profil Darah
Gambaran Umum
Darah adalah jaringan yang bersirkulasi melalui pembuluh darah, membawa
zat-zat penting untuk kehidupan semua sel tubuh dan menerima produk buangan
hasil metabolisme untuk dibawa ke organ sekresi (Jain, 1993). Darah memiliki
banyak fungsi, diantaranya adalah sebagai 1) penyerap dan pembawa nutrien dari
saluran pencernaan menuju ke jaringan, 2) pembawa oksigen (O2) dari paru-paru ke
jaringan dan karbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru-paru, 3) pembawa produk
buangan metabolisme, 4) pembawa hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin,
dan 5) pengatur kandungan cairan jaringan tubuh (Sturkie dan Griminger, 1976).
Gambaran darah ternak akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan
fisiologisnya. Perubahan fisiologis secara internal tersebut dapat disebabkan seperti
pertambahan umur, status gizi, latihan, kesehatan, stress, siklus estrus, dan suhu
tubuh, sedangkan secara eksternal akibat kuman dan perubahan suhu lingkungan
(Guyton dan Hall, 2010).
8
Komponen Darah
Menurut Guyton dan Hall (2010), darah adalah jaringan khusus yang terdiri
dari plasma darah yang kaya akan protein (55%) dan sel-sel darah (45%). Sel-sel
darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping
darah (trombosit). Bentuk komponen dalam darah terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Bentuk Komponen dalam Darah
Sumber : Shier (2004)
Komponen sel darah yang terkandung dalam darah merupakan sel darah
merah. Trombosit bertanggung jawab dalam proses pembekuan darah. Komponen
leukosit dalam darah sebesar 0,2%. Leukosit bertanggung jawab terhadap sistem
imun dan bertugas untuk memusnahkan benda-benda yang dianggap asing dan
berbahaya oleh tubuh, misalnya virus atau bakteri.
Eritrosit
Eritrosit merupakan sel darah merah yang berperan membawa hemoglobin di
dalam sirkulasi. Eritrosit pada unggas intinya terletak di tengah dan berbentuk oval.
Eritrosit dibentuk di sumsum tulang dan limfa. Limfa turut berperan dalam
membentuk eritrosit tetapi dalam jumlah yang sedikit. Pada kondisi tertentu setelah
lahir, hati dan kelenjar limfe dapat berfungsi sebagai penghasil eritrosit (Swenson,
1984).
Eritrosit bersifat pasif dan melaksanakan fungsinya dalam pembuluh darah
sebagai pembawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan ke jaringan
tubuh, pembawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida ke paruparu, pembawa sisa-sisa metabolisme dari jaringan ke ginjal untuk dieksresikan serta
mempertahankan sistem keseimbangan dan buffer (Guyton dan Hall, 2010). Skema
erythropoiesis disajikan pada Gambar 5.
9
PRECURSORS
PROGENITOR
S
RBC’S
Erythrocyte
Reticulocyte
CFU - E
BFU - U
CFU - GEMM
Orthochromatic
Normoblast
Pronormoblast
Polychromatophilic
Normoblast
Basophilic
Normoblast
Gambar 5. Skema Erythropoiesis
Sumber : Harris (1990)
Eritrosit merupakan produk erythropoiesis dan proses tersebut terjadi dalam
sumsum tulang merah (medulla asseum rubrum) yang antara lain terdapat dalam
berbagai tulang panjang. Erythropoiesis membutuhkan bahan dasar berupa protein,
glukosa
dan
bebagai
aktivator.
Beberapa
aktivator
erythropoiesis
adalah
mikromineral berupa Cu, Fe dan Zn. Pemberian mineral Cu dan Fe dengan rasio
tertentu mampu meningkatkan status hematologis dan pertumbuhan ayam (Praseno,
2005). Mineral Cu, Fe dan Zn berperan dalam metabolisme protein, khususnya Cu
akan berperan dalam pembentukan protein kollagen, Fe berperan dalam
pembentukan senyawa heme dan Zn berperan dalam pembentukan protein pada
umumnya. Selain itu, dalam pembentukannya eritrosit juga dipengaruhi oleh
konsentrasi hemoglobin dan hematokrit. Faktor lain yang juga turut mempengaruhi
erythrophoeiesis yaitu umur, jenis kelamin, aktivitas, nutrisi, produksi telur, bangsa,
suhu lingkungan dan faktor iklim (Swenson, 1984).
Salah satu gejala yang terjadi akibat pengaruh kadar eritrosit adalah anemia.
Anemia merupakan suatu keadaan pada tubuh yang mengalami kekurangan eritrosit
akibat hilangnya darah terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi eritrosit.
Indeks eritrosit, yaitu MCV, MCH dan MCHC dapat mempengaruhi anemia secara
morfologi, yaitu ukuran eritrosit (normositik, makrositik dan mikrositik) dan kadar
hemoglobin (normokritik dan hipokromik atau pucat).
10
Hemoglobin
Hemoglobin (Hb) merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari protein
kompleks terkonjugasi yang mengandung besi. Protein Hb adalah globin, sedangkan
warna merah disebabkan oleh warna heme. Heme adalah suatu sanyawa metalik
yang mengandung satu atom besi (Guyton, 1993).
Hemoglobin tidak hanya dipengaruhi oleh suatu rangsangan tapi juga oleh
hematokrit dan eritrosit per unit volume. Rendahnya oksigen dalam darah
menyebabkan peningkatan produksi hemoglobin dan eritrosit (Swenson, 1984). Alur
sintesis hemoglobin diperlihatkan pada Gambar 6.
2 Suksinil-KoA + 2 Glisin
Gugus Pirol
4 gugus Pirol
Protoporfirin IX
Protoporfirin IX + Fe2+
Heme
Heme + Polipeptida
Rantai hemoglobin
2 rantai α + 2 rantai β
Hemoglobin A
Gambar 6. Sintesis Hemoglobin
Sumber :Guyton dan Hall (2010)
Hematokrit
Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah persentase sel darah
merah dalam 100 ml darah. Pada hewan normal, PCV sebanding dengan jumlah
eritrosit dan kadar hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Nilai hematokrit
dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Nilai hematokrit juga akan bertambah jika
terjadi keadaan hipoksia atau polisitemia dimana jumlah eritrosit lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah normal (Guyton dan Hall, 2010). Nilai hematokrit
dipengaruhi oleh jumlah sel dan ukuran sel. Volume sel mungkin mengalami
perubahan akibat peningkatan air plasma (hemodilition) atau penurunan air plasma
(hemoconcentration) tanpa mempengaruhi jumlah sel sepenuhnya.
11
Leukosit
Morfologi leukosit sangat beragam antar spesies unggas. Keragaman ini
dapat dilihat dari penampakan morfologi granula, warna eosinofil dan bentuk granula
heterofil pada setiap spesies unggas. Melalui identifikasi diferensiasi leukosit, dapat
diketahui status kesehatan dan penyakit yang mungkin menyerang ternak.
Identifikasi leukosit pada darah unggas lebih sulit karena heterofilnya memiliki
segmentasi nukleus yang rendah dibandingkan netrofil pada mamalia (Schalm,
2010).
Keunggulan leukosit unggas yaitu memiliki heterofil dan limfosit. Kedua sel
ini dapat dijadikan sebagai indikator stres pada unggas. Sebagai contoh, unggas pada
masa penetasan akan mengalami stres dan dapat diketahui melalui kadar heterofil
maupun limfositnya (Schalm, 2010). Jumlah leukosit sangat tergantung pada
beberapa faktor diantaranya umur, jenis kelamin, stres, penyakit, pemberian
estrogen, obat tertentu dan pakan. Sel darah putih tersebut akan bekerja secara
bersama-sama melalui dua cara untuk mencegah penyakit: (1) dengan benar-benar
merusak bahan yang menyerbu itu melalui proses fagositosis dan (2) dengan
membentuk antibodi dan limfosit yang peka, sakah satu atau keduanya dapat
menghancurkan atau membuat penyerbu tidak aktif (Guyton, 1993). Jumlah seluruh
leukosit jauh dibawah eritrosit dan bervariasi tergantung jenis ternaknya. Fluktuasi
jumlah leukosit pada tiap individu cukup besar pada kondisi tertentu, seperti
cekaman (stres), aktivitas fisiologi, gizi, umur dan lain-lain (Dharmawan, 2002).
Heterofil merupakan bagian terbesar dari granulosit unggas (Schalm, 2010).
Heterofil berfungsi dalam merespon adanya infeksi dan mampu ke luar dari
pembuluh darah menuju daerah infeksi untuk menghancurkan benda asing dan
membersihkan sisa-sisa jaringan yang rusak. Pada saat yang sama, sumsum tulang
dirangsang untuk lebih banyak melepaskan heterofil ke dalam darah (Ganong, 1998).
Menurut Day dan Schultz (2010), fungsi utama dari sel ini adalah penghancur
bahan berbagai produk bakteri, berbagai produk yang dilepaskan oleh sel rusak dan
berbagai produk reaksi kekebalan. Heterofil bekerja secara cepat sehingga dikenal
sebagai first line defense, yaitu sebagai sistem pertahanan pertama. Masa hidup
heterofil di dalam sirkulasi lebih pendek dalam keadaan infeksi berat dibandingkan
dalam kondisi normal, yakni hanya beberapa jam saja. Heterofil juga mampu
12
melakukan pinositosis, selain fagositosis. Kombinasi antara fagositosis dan
pinositosis disebut dengan endositosis.
Limfosit merupakan jenis leukosit yang unggul pada darah unggas, termasuk
puyuh (Schalm, 2010). Limfosit dibentuk di jaringan limfoid seperti limpa, tonsil,
timus dan bursa fabricius. Peningkatan limfosit antara lain disebabkan terjadinya
penurunan heterofil (sifatnya relatif), leukimia limfositik, inflamasi kronis (infeksi
bakteri, virus, fungi protozoa), pengeluaran epinefrin, defisiensi korkosteroid
(hypoadrenokorticism), neoplasia (Dharmawan, 2002; Jackson, 2007).
Nilai hematologi puyuh disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Hematologi Puyuh
Parameter hematologi
Jumlah
Eritrosit (juta/mm3)
3,86
Hemoglobin (g%)
12,3
Hematokrit (%)
37
Leukosit (ribu/mm3)
Rasio Heterofil/Limfosit
20-40
*
0,34 – 0,43
MCV* (femto liter)
90- 140
MCHC* (%)
26 - 35
Sumber : Sturkie dan Griminger (1976)
*)
Schalm (2010)
13
Download