MEWUJUDKAN KEPEMERINTAHAN LINGKUNGAN (ENVIRONMENTAL GOVERNANCE) DI INDONESIA By: Teguh Kurniawan Pengantar Lingkungan hidup merupakan salah satu dari tiga aspek utama yang akan membentuk apakah sebuah negara melakukan pembangunannya secara berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan hanya akan dicapai apabila ketiga aspek utama tersebut yakni lingkungan hidup atau ekologi, ekonomi dan sosial dapat dipadukan dalam proses pembuatan kebijakan di suatu negara. Dalam kasus Indonesia, aspek yang seringkali dilupakan atau terpinggirkan bahkan sampai saat ini adalah aspek ekologi, sementara kedua aspek lainnya khususnya ekonomi telah menjadi mainstream utama dalam banyak kebijakan pembangunan di Indonesia selama ini. Hal ini dapat dilihat dari betapa mendominasinya alasan-alasan ekonomi dalam pembuatan sebuah kebijakan. Tulisan ini mencoba untuk memaparkan sebuah konsep mengenai environmental governance atau kepemerintahan lingkungan dan kemungkinan penerapannya di Indonesia. Konsep environmental governance diharapkan dapat menjadikan aspek lingkungan sebagai mainstream utama pembangunan di Indonesia bersama-sama dengan aspek ekonomi dan sosial. Lingkungan sebagai Agenda Kebijakan Dari beberapa literatur diketahui bahwa terdapat setidaknya tujuh karakteristik utama yang memberikan pembenaran terhadap lingkungan untuk dijadikan sebuah agenda kebijakan. Ketujuh karakteristik itu dapat diuraikan sebagai berikut (Carter, 2001): ; Pertama, lingkungan merupakan barang publik (public goods), dimana banyak sekali sumber daya lingkungan yang dapat dideskripsikan sebagai barang publik dan karenanya memiliki dampak eksternalitas tertentu bagi masyarakat banyak. ; Kedua, masalah lintas batas (transboundary). Masalah ini timbul dari banyak kasus lingkungan yang bersifat global dan melewati batas antar negara. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam perubahan iklim dunia, penipisan ozon, dan polusi di perairan internasional. ; Ketiga, kompleksitas dan ketidakpastian, dimana pembuatan sebuah keputusan dapat dirintangi oleh kompleksitas dan ketidakpastian dari banyak permasalahan lingkungan. Kadangkala sangat sulit untuk mengidentifikasikan hubungan yang kompleks dan interdependen antara alam dan fenomena perbuatan manusia. ; Keempat, irreversibilitas. Masalah lingkungan cenderung memiliki sifat irreversibilitas, dalam arti apabila sekali saja kapasitas kemampuan Bumi terlampaui, maka aset-aset lingkungan dapat rusak dan tidak dapat diperbaiki kembali. ; Kelima, variabilitas temporal dan spasial. Banyak issue-issue lingkungan bersifat kompleks oleh adanya kenyataan bahwa dampak yang ditimbulkannya akan berlangsung lama, dan kemungkinan untuk mempengaruhi generasi masa depan dibandingkan generasi sekarang. Karenanya, kebijakan untuk memperbaiki harus dilakukan sebelum dampak negatif secara penuh dirasakan. 1 ; Keenam, fragmentasi administratif. Banyak permasalahan lingkungan adalah bersifat lintas sektor dan membutuhkan koordinasi diantara sektor-sektor tersebut. ; Ketujuh, intervensi peraturan. Kerusakan lingkungan biasanya merupakan produk dari aktivitas yang legitimate, sebagai akibatnya pemerintah harus melakukan intervensi didalam kegiatan ekonomi dan masyarakat untuk mengatur aktivitas yang merusak lingkungan ini. Kepemerintahan Lingkungan (environmental governance) Kepemerintahan lingkungan (environmental governance) menurut Mugabe dan Tumushabe (1999) sebagian besar dibangun berdasarkan dua konsep, yakni manajemen dan kepemerintahan lingkungan. Konsep kepemerintahan lingkungan sendiri dapat didefinisikan sebagai sebuah kumpulan dari nilai-nilai dan norma-norma yang memandu atau mengatur hubungan antara negara dan masyarakat madani dalam penggunaan, pengawasan, dan manajemen dari lingkungan alam. Nilai-nilai dan norma-norma ini diekspresikan dalam suatu rantai kompleks yang terdiri atas peraturan, kebijakan, dan institusi yang mengatur sebuah mekanisme organisasi dalam mengartikulasikan sasaran yang luas dan target perencanaan yang spesifik dari manajemen lingkungan. Kepemerintahan lingkungan menyediakan sebuah kerangka kerja konseptual dimana tingkah laku publik dan swasta diatur dalam mendukung pengaturan yang lebih berorientasi ekologis. Kerangka kerja tersebut membentuk hubungan yang timbal balik antara masyarakat (global, regional, nasional, dan lokal) dalam berhubungan dengan akses dan penggunaan barang dan jasa lingkungan serta mengikat mereka (dalam tingkatan apapun) dengan etika-etika lingkungan spesifik tertentu. Cara lainnya untuk mengerti mengenai kepemerintahan lingkungan didapatkan dari A Guide to World Resources 2002-2004 yang dipublikasikan oleh United Nations Development Programme (UNDP), United Nations Environment Programme (UNEP), World Bank (WB), dan World Resources Institute (WRI). Dalam publikasi ini, mereka memperkenalkan beberapa elemen untuk menguraikan kewenangan manusia terhadap planet. Menurut publikasi ini, kepemerintahan lingkungan melibatkan penyelidikan terhadap kebohongan dibalik kebijakan lingkungan yang membentuk kehidupan manusia. Hal ini dilakukan melalui enumerasi terhadap variasi pemain-pemain dan titik-titik kebijakan yang menengahi pengaruh perbuatan kita terhadap ekosistem Bumi. Untuk itu dibutuhkan pengujian mengenai apakah kebijakan dibuat secara transparan dan sejauh mana pembuat kebijakan memiliki akuntabilitas publik. Juga diperlukan eksplorasi terhadap peran dari informasi yang baik dan partisipasi publik dalam urusan-urusan lingkungan. Ini juga berarti melihat kepada hak dan kewajiban yang dilakukan oleh kepemilikan swasta dan publik terhadap lingkungan. Lebih jauh, A Guide to World Resources 2002-2004 menyebutkan bahwa kepemerintahan lingkungan memiliki tujuh elemen. Ketujuh elemen tersebut adalah sebagai berikut: ; Pertama, institusi dan hukum, siapa yang membuat dan menegakkan peraturan untuk menggunakan sumber daya alam. Apa saja aturan-aturan dan hukum apabila peraturan tersebut dilanggar. Siapa yang akan memutuskan apabaila ada perselisihan. 2 ; Kedua, hak-hak partisipasi dan keterwakilan, bagaimana publik dapat mempengaruhi atau memperjuangkan peraturan mengenai sumber daya alam. Siapa yang akan mewakili mereka yang menggunakan atau tergantung terhadap sumber daya alam ketika kebijakan terhadap sumber daya alam tersebut dibuat. ; Ketiga, tingkatan kewenangan, pada tingkatan atau skala apa—lokal, regional, nasional, internasional—kewenangan terhadap sumber daya alam berada. ; Keempat, akuntabilitas dan transparansi, bagaimana mereka-mereka yang mengawasi dan mengelola sumber daya alam dapat menjawab untuk kebijakan-kebijakan yang mereka buat, dan kepada siapa. Bagaimana proses pembuatan kebijakan terbuka untuk dikaji. ; Kelima, hak kepemilikan dan kedudukan, siapa yang memiliki sebuah sumber daya alam atau memiliki hak yang sah untuk mengawasi. ; Keenam, aliran pasar dan finansial, bagaimana praktek finansial, kebijakan ekonomi dan perilaku pasar mempengaruhi kewenangan atas sumber daya alam. ; Ketujuh, ilmu pengetahuan dan resiko, bagaimana ekologi dan ilmu sosial yang digabungkan dalam kebijakan terhadap sumber daya alam digunakan untuk mengurangi resiko terhadap masyarakat dan ekosistem serta mengidentifikasikan peluang-peluang baru. Prinsip, Dimensi, dan Aktor dari Kepemerintahan Lingkungan Masih menurut A Guide to World Resources 2002-2004, terdapat tiga prinsip dari kepemerintahan lingkungan, yakni: (1) membuat keputusan pada tingkatan yang tepat; (2) penyediaan akses terhadap informasi, partisipasi, dan ganti rugi; dan (3) mengintegrasikan lingkungan dalam semua kebijakan. Kepemerintahan memiliki empat dimensi: (1) teknik, (2) politik, (3) institusi, dan (4) budaya. Tiga dimensi pertama berasal dari tiga dimensi kepemerintahan yang dikemukakan Boeninger (1991), sementara dimensi keempat diusulkan oleh Harpham dan Boateng (1997) yang didasarkan pada kenyataan bahwa kepemerintahan adalah merupakan proses iteratif dan khusus secara kontekstual. Sebagai sebuah sistem, kepemerintahan lingkungan terdiri atas sosial budaya, interaksi politik dan ekonomi diantara banyak aktor dalam masyarakat madani (Paproski, 1993 dalam Harpham dan Boateng, 1997). Kepemerintahan lingkungan adalah cara dimana masyarakat menggunakan kewenangan terhadap alam. Kepemerintahan lingkungan memberikan perhatian kepada aktor dalam setiap tingkatan pemerintahan, diantara para pejabat yang dipilih dan ditunjuk, dan diantara badan-badan non pemerintah, swasta dan masyarakat tradisional; serta kekuasaan yang digunakan dalam pembuatan kebijakan mengenai pengaturan sumber daya alam dan keuntungan yang berasal dari lingkungan (Asian Development Bank, 2000). Pemerintah adalah pemain penting dalam pengelolaan ekosistem dan bagaimana sumber daya alam di eksploitasi atau di lindungi. Pemerintah jugalah yang membuat mandat legal dari badan-badan pemerintah dengan tanggungjawab untuk melindungi lingkungan dan mengelola sumber daya alam. Institusi pemerintah ini yang selalu kita asosiasikan dengan 3 kebijakan lingkungan besar dan tanggung jawab untuk mengelola alam (A Guide to World Resources 2002-2004). Kepemerintahan lingkungan terletak melewati berbagai tingkatan baik secara vertikal maupun horisontal (Asian Development Bank, 2000). Mekanisme kepemerintahan yang diterapkan untuk mengalokasikan dan mengelola sumber daya alam dapat berpengaruh besar tidak hanya terhadap ekonomi dan karakteristik lingkungan dari sebuah rel pembangunan masyarakat tetapi juga berpengaruh terhadap politik dan karakteristik sosial (Asian Development Bank, 2000). Identifikasi terhadap kepemerintahan lingkungan yang “baik” membutuhkan suatu penilaian mengenai bagaimana kekuasaan dan kewenangan didalam masyarakat harus didistribusikan diantara tingkatan pemerintahan dan antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan yang terbaik melewati kelompok-kelompok masyarakat dan lingkungannya. Peningkatan kepemerintahan lingkungan adalah merupakan sebuah sifat dari proses politik dimana banyak stakeholders dapat memposisikan dirinya secara berbeda dalam mewakili kepentingannya (Asian Development Bank, 2000). Beberapa faktor endogen dan eksogen yang mendorong kebutuhan akan inovasi dalam kepemerintahan lingkungan di Asia adalah: demokratisasi, globalisasi, dan krisis finansial (Asian Development Bank, 2000). Di Negara-negara Asia, pengelolaan sumber daya alam secara prinsip merupakan domain dari Negara bangsa yang umumnya dilakukan oleh lembaga sektoral (Asian Development Bank, 2000). Konvensi Aarhus memfokuskan pada proses dimana kebijakan lingkungan dibuat dan mengamanatkan tiga aspek dalam pembuatan kebijakan lingkungan: akses terhadap informasi lingkungan; partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan lingkungan; dan akses terhadap proses remedial hukum (Asian Development Bank, 2000). Instrumen untuk Mengembangkan Kepemerintahan Lingkungan Pembangunan berkelanjutan di Wilayah Asia dan pasifik akan membutuhkan sebuah investasi besar dalam mendesain institusi baru untuk kepemerintahan yang baik. Penggunaan kewenangan terhadap sumber daya alam haruslah dibuat secara transparan dan akuntabel; pembuatan kebijakan terhadap perlindungan lingkungan harus menjadi lebih representatif dan partisipatif; dan kewenangan serta kapasitas untuk kepemerintahan lingkungan harus ditempatkan pada tingkatan yang tepat (Asian Development Bank, 2000). Atribut sistem kepemerintahan akan mempengaruhi keluaran terhadap kondisi lingkungan. Pada saat yang sama, atribut dari sistem lingkungan dan manajemen sumber daya alam akan mempengaruhi keluaran terhadap sistem kepemerintahan (Asian Development Bank, 2000). Dalam kebijakan lingkungan baik di tingkat nasional ataupun lokal, terdapat empat tipe utama instrumen yang dapat dikategorikan sebagai: (1) instrumen peraturan, (2) 4 instrumen ekonomi, (3) investasi pemerintah, dan (4) moral suasion (Baumol dan Oates, 1979 dalam Seik, 1996). Kerangka legal membentuk tahapan dalam kepemerintahan lingkungan. Sekalipun hukum tidak selalu ditegakkan, namun tetap menyediakan konteks dimana pihak yang berwenang memiliki kekuasaan terhadap alam, dan sekaligus membedakan antara yang legal dengan yang illegal. Pada tingkat nasional, kerangka legal yang mempengaruhi kepemerintahan lingkungan melibatkan konstitusi dan proses legislatif seperti halnya hukum yang berkaitan dengan sektor ekonomi tertentu, pemilihan umum, perpajakan, sistem pengadilan, dan organisasi masyarakat madani (Asian Development Bank, 2000). Mekanisme akuntabilitas adalah sebuah cara dimana masyarakat memegang para pejabat publik dan agen mereka serta institusinya untuk bertanggung jawab untuk setiap tindakan mereka. Akuntabilitas dapat bergerak ke atas pada tingkatan yang lebih tinggi dari pemerintahan atau turun kepada konstituen yang ada dalam yurisdiksi mereka. Meskipun pemilihan umum secara demokrastis merupakan sebuah mekanisme akuntabilitas terpenting, mereka tidak cukup untuk menjamin terwujudnya kepemerintahan lingkungan yang baik (Asian Development Bank, 2000). Untuk dapat merubah paradigma kebijakan tradisional alam rangka meningkatkan proteksi terhadap lingkungan, terdapat sejumlah hal yang dapat dilakukan (Carter, 2001): ; Pertama, agenda-setting. Tahapan dari proses kebijakan ini adalah titik kritis dimana perubahan kebijakan dapat diinisiasikan. ; Kedua, kerangka koalisi advokasi (the advocacy coalition framework). Kerangka koalisi advokasi adalah sebuah model komprehensif dari proses kebijakan yang menekankan pada peranan ide-ide, informasi dan analisis sebagai faktor yang memiliki kontribusi bagi perubahan kebijakan pada semua tahapan proses kebijakan. Klaim utama dari model ini adalah sebuah pengertian terhadap perubahan kebijakan yang membutuhkan fokus pada opini dari elit dan faktor-faktor yang mendorong pergeseran dalam sistem kepercayaan dari para elit dalam periode waktu yang lama. ; Ketiga, komunitas kebijakan dan perubahan eksogen. Perubahan yang radikal membutuhkan perubahan yang drastis dari sistem kepercayaan dari elit politik melalui faktor-faktor eksogen yang non kognitif. Terdapat lima faktor eksternal yang dilihat dapat secara signifikan menggeser kebijakan lingkungan yakni: (1) Terjadinya krisis mendadak yang membuat kacau komunitas kebijakan, (2) Adanya problem baru yang harus dihadapi oleh pemerintah yang tidak bisa diatasi segera oleh kepentingan dominan dari komuniats kebijakan yang ada, (3) Perubahan hubungan eksternal yang dapat mengganggu kondisi struktural penyokong dari komunitas kebijakan, (4) Munculnya gerakan sosial baru dan kelompok penekan yang memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan pentingnya issue-issue lingkungan dalam agenda politik (5) Kapasitas dari aktor politik untuk menggunakan kekuasannya yang lalim untuk memecah komunitas kebijakan dan mengijinkan akses kepada kelompok baru. Perubahan Politik Lingkungan dan Tantangan dalam Mewujudkan Kepemerintahan 5 Transformasi politik yang terjadi dibanyak Negara di Asia belakangan ini telah membawa perubahan struktur kewenangan kepemerintahan terhadap sumber daya alam dimana lembaga peradilan dan legislatif mulai berfungsi sebagai kekuatan alternatif dan pembentuk kebijakan. Lembaga legislasi telah meningkat menjadi elemen institusi penting dalam penyamaan kebijakan lingkungan. Untuk lembaga peradilan, agar pengadilan akan dapat berperan dalam menjamin keadilan lingkungan dari kelompok sosial yang tidak memiliki kekuasaan, perlu dipenuhi kondisi-kondisi sebagai berikut: (1) administrasi pengadilan harus bebas dari tekanan politik dan pengaruh swasta; (2) peraturan nasional, konstitusi atau yurisprudensi harus mengadopsi interpretasi pendirian bebas yang cukup dalam penuntutan agar organisasi pihak ketiga dapat melakukan penuntutan mewakili masyarakat tertentu (Asian Development Bank, 2000). Kebijakan desentralisai yang dilakukan di wilayah Asia belakangan ini, dibanyak tempat tidak dilakukan dengan motivasi atau keinginan untuk meningkatkan kepemerintahan lingkungannya. Sebagian hanya dimotori oleh perintah untuk memotong biaya dan mengurangi birokrasi Negara, sementara yang lainnya dilakukan dengan tujuan mengurangi ketidaksetujuan regional. Meskipun demikian dampak potensial dari desentralisasi terhadap lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam adalah sangat besar. Pengalaman juga menunjukkan bahwa pelimpahan kewenangan tidak secara otomatis menghasilkan peningkatan keluaran terhadap kondisi lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman RRC, dimana banyak pejabat lokal di daerah-daerah yang menggantungkan pendapatannya dari perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan memiliki insentif yang kuat untuk menolak penegakkan peraturan-peraturan mengenai lingkungan. (Asian Development Bank 2000) Agar desentralisasi menghasilkan peningkatan keluaran terhadap kondisi lingkungan, pihak yang berwenang harus dilengkapi dengan pengembangan kapasitas institusi di tingkat lokal dan juga mekanisme agar mereka dapat melaksanakan akuntabilitas untuk kinerja lingkungan mereka. Akuntabilitas ini haruslah dilakukan baik ke atas untuk menjamin agar konsisten dengan standar dan tujuan lingkungan nasional, maupun ke bawah untuk menjamin bahwa hak dan kesejahteraan dari stakeholder lokal dihormati. (Asian Development Bank, 2000) Penutup: Menuju Environmental Governance di Indonesia Dari pemaparan konsep-konsep di atas, terlihat bahwa aktor dan kekuasaan merupakan fokus perhatian utama dari konsep environmental governance. Karenanya, untuk mengimplementasikan konsep environmental governance di lapangan harus merujuk kepada peranan dari aktor yang akan terlibat dalam proses pembuatan kebijakan, serta kekuasaan yang akan digunakan dalam pembuatan kebijakan mengenai pengaturan sumber daya alam dan lingkungan Untuk itu, beberapa upaya berikut dapat dilakukan dalam mengimplementasikan konsep environmental governance di Indonesia. ; Pertama, bagaimana dapat membuat para aktor utama dan aktor potensial dalam pembuatan kebijakan dapat memiliki kepedulian terhadap pentingnya issue-issue 6 lingkungan sebagai salah satu agenda utama politik baik di tingkat nasional, regional, maupun lokal serta mengintegrasikannya kedalam setiap kebijakan yang akan dibuat. ; Kedua, bagaimana membentuk sebuah mekanisme agar institusi pengambil kebijakan yang ada saat ini (eksekutif, legislatif, yudikatif) baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional dapat menggunakan kewenangannya terhadap sumber daya alam secara transparan, akuntabel, representatif, dan partisipatif. ; Ketiga, bagaimana membentuk sebuah mekanisme agar kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan dapat dilakukan pada tingkatan yang tepat, sesuai dengan ruang lingkup permasalahannya serta menjamin konsistensinya dengan peraturan dan standar lingkungan yang ada dan menjamin hak dan kesejahteraan dari masyarakat lokal. Melalui upaya-upaya tersebut, diharapkan pencapaian pembangunan berkelanjutan di Indonesia dapat tercapai, sehingga potensi sumber daya alam yang ada saat ini dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat baik yang ada saat ini maupun dimasa depan. Referensi Asian Development Bank., 2000., Asian Environment Outlook 2001., Second Discussion Draft., Manila: Asian Development Bank Carter, Neil, 2001, The Politics of The Environment: Ideas, Activism, Policy., Cambridge: Cambridge University Press Harpham, Trudy and Kwasi A. Boateng., 1997., “Urban Governance in Relation to the Operation of Urban Services in Developing Countries”., Habitat International., Volume 21., No. 1Mugabe and Tumushabe, 1999 Seik, Foo Tuan., 1996., “Urban Environmental Policy – The Use of Regulatory and Economic Instruments in Singapore”., Habitat International., Volume 20., No. 1 United Nations Development Programme, United Nations Environment programme, World Bank, and World Resources Institute., 2002., A Guide to World Resources 20022004: Decisions for the Earth: Balance, Voice, and Power., Executive Summary., [Homepage of World Resources Institute, Publications and Multimedia], [Online], Available: http://pdf.wri.org/wr2002_summary.pdf 7