BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa, sedangkan pendapat lain mengungkapkan bahwa remaja merupakan individu yang sedang mengalami transisi atau peralihan dari kehidupan kanak-kanak menuju kehidupan orang dewasa, ditandai dengan perubahan dan perkembangan yang pesat baik dari segi fisik maupun psikis (Monks dkk, 1999). Remaja masih mencari identitas diri, emosi meningkat, konformitas yang tinggi pada kelompok, belum terbentuknya konsep diri yang utuh. Adanya masa transisi atau peralihan pada remaja, serta perubahan yang terus menerus baik lingkungan sosial maupun fisik, dapat mengakibatkan remaja sulit untuk menyesuaikan diri sehingga remaja mengalami berbagai konflik baik di dalam diri sendiri, lingkungan, keluarga, teman maupun lingkungan sosialnya. Manusia sebagai makhluk sosial pada hakikatnya tidak bisa hidup tanpa adanya orang lain di sekitarnya. Seiring berjalannya waktu, kepedulian orang terhadap orang lain maupun lingkungan di sekitarnya menjadi menurun. Banyak faktor yang mempengaruhi menurunnya kepedulian orang terhadap orang lain. Fenomena ini sering terlihat ketika ada orang mengalami kesulitan, sering tidak mendapat bantuan dari orang lain. Sebagian orang, ketika menyaksikan orang lain dalam kesulitan langsung membantunya, sedang yang lain barangkali diam saja meskipun mampu melakukannya. Ada juga yang menimbang-nimbang lebih dahulu sebelum bertindak, serta ada pula yang ingin membantu, tetapi motifnya bermacam-macam. Fenomena-fenomena tersebut diperkuat oleh beberapa hasil penelitian, seperti yang dilakukan oleh Sears (dalam Mahmud, 2003: 2) menemukan bahwa beberapa orang tetap memberikan bantuan kepada orang lain 1 meskipun kondisi situasional menghambat usaha pemberian bantuan tersebut, 2 sedangkan yang lain tidak memberikan bantuan meskipun berada dalam kondisi yang sangat baik. Selanjutnya, Staub (dalam Mahmud, 2003: 3) menemukan bahwa orang sering tidak turun tangan membantu orang lain yang benar-benar memerlukan. Foa & Foa (dalam Mahmud, 2003: 3) menemukan bahwa setiap bertindak membantu orang lain, orang mempertimbangkan untung-ruginya. Salah satu bentuk pergeseran pola hubungan antara orang dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya adalah fenomena menipisnya perilaku prososial dalam kehidupan manusia. Fenomena itu bukan saja terjadi pada masyarakat umumnya tetapi juga pada remaja pada khususnya. Dewasa ini, sikap saling menolong dan membantu orang lain di kalangan remaja telah mulai memudar. Hal ini terjadi akibat tumbuh suburnya sikap individualistis di kalangan remaja. Remaja juga banyak yang menganut gaya hidup hedonis, yang membuat mereka hanya berfikir tentang kesenangan diri sendiri tanpa mau memikirkan keadaan orang lain. Remaja bukanya gemar untuk melakukan perilaku-perilaku prososial, justru sebaliknya malah semakin banyak diantara remaja yang melakukan perilaku antisosial. Banyak diantara remaja yang melakukan perilaku agresi, seperti berbagai bentuk kenakalan remaja dan tawuran. Demikian pula, angka kriminalitas yang terjadi di kalangan remaja juga semakin meningkat (www.kompas.com, 2002). Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa kecenderungan untuk melakukan perilaku prososial diantara remaja semakin menurun. Bentuk sikap anti sosial tersebut akan diminimalisir dengan kegiatan bimbingan kelompok melalui sosiodrama. Menurut Romlah (2001: 03) bimbingan kelompok adalah proses pemberian bantuan yang diberikan pada individu dalam situasi kelompok yang ditujukan untuk mencegah timbulnya suatu masalah pada siswa dan mengembangkan potensi siswa serta pengelolaannya dilakukan dalam situasi kelompok. Layanan bimbingan kelompok merupakan media dalam membimbing individu dengan memanfaatkan dinamika kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Bimbingan kelompok 2 ditujukan untuk mencegah timbulnya masalah pada siswa dan mengembangkan potensi siswa. Jadi bimbingan kelompok merupakan layanan yang tepat untuk memberikan kontribusi pada siswa dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan rendahnya sikap prososial. Agar dapat membantu meningkatkan sikap prososial siswa maka bimbingan kelompok melalui teknik sosiodrama dapat dijadikan media untuk mengembangkan kemampuan berprososial. Romlah (2001: 104) mengatakan bahwa “sosiodrama adalah permainan peran yang ditujukan untuk memecahkan masalah sosial yang timbul dalam hubungan antar manusia”. Teknik sosiodrama di pilih sebagai teknik untuk meningkatkan sikap prososial karena dalam teknik sosiodrama, kegiatan lebih bertujuan untuk mendidik atau mengubah sikap-sikap tertentu dan lebih mengarah pada permainan peranan yang ditujukan untuk memecahkan masalah-masalah sosial yang timbul dalam hubungan antar manusia. Melalui teknik sosiodrama, siswa akan belajar melakukan komunikasi efektif dengan orang lain dalam bentuk kegiatan memainkan sebuah peran. Teknik tersebut melatih kemampuan siswa dalam bersosialisasi dengan orang lain, sehingga penggunaan sosiodrama akan menimbulkan interaksi antar anggota kelompok sehingga timbul rasa saling bekerjasama. Oleh karena itu, teknik sosiodrama dianggap efektif untuk meningkatkan sikap prososial siswa karena dalam kesempatan itu individu akan menghayati secara langsung situasi masalah yang dihadapinya. Dalam pementasan itu, kemudian diadakan diskusi dengan tujuan untuk mengevaluasi pemecahan masalah. Berdasarkan beberapa dasar pemikiran di atas, maka teknik sosiodrama dirasa sebagai teknik yang tepat digunakan sebagai upaya dalam meningkatkan perilaku prososial remaja. B. Rumusan Masalah Beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Apa makna dari perilaku prososial? 3 2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perilaku prososial? 3. Apa saja aspek dari perilaku prososial? 4. Bagaimana tahapan perkembangan perilaku prososial individu? 5. Bagaimana upaya meningkatkan perilaku prososial melalui teknik Sosiodrama? C. Tujuan Makalah yang disusun oleh penulis secara umum bertujuan untuk: 1. Mengkaji dan mendeskripsikan makna dari perilaku prososial. 2. Mengkaji dan mendeskripsikan faktor-faktor yang memengaruhi perilaku prososial. 3. Mengkaji dan mendeskripsikan aspek-aspek perilaku prososial. 4. Mengkaji dan mendeskripsikan tahapan perkembangan perilaku prososial. 5. Mengkaji dan mendeskripsikan upaya meningkatkan perilaku prososial melalui teknik Sosiodrama. 4 BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Dasar Perilaku Prososial 1. Makna Perilaku Prososial Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan (goal oriented) dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya di motivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun tujuan spesifik, tidak senantiasa diketahui secara sadar oleh sang individu. Unit dasar perilaku adalah sebuah aktivitas, sesungguhnya kita dapat menyatakan bahwa perilaku merupakan suatu seri aktivitas-aktivitas. Perilaku prososial yaitu perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara mental maupun psikologis (Dayakisni & Hudaniah, 2003). Menurut Shaffer (2002), bahwa tindakan yang memberikan keuntungan bagi orang lain seperti berbagi dengan orang lain yang mendatangkan keuntungan bagi orang tersebut disbanding dengan dirinya sendiri, menghibur atau menolong orang lain untuk mencapai tujuannya atau bahkan membuat orang lain senang dengan memuji perilaku mereka atau prestasi disebut perilaku prososial. Bartal mengartikan tingkah laku prososial sebagai tingkah laku yang menimbulkan konsekuensi posotif bagi kesejahteraan fisik maupun psikis orang lain. Menurut Bringham (dalam Dayakisni, 2003) menyatakan bahwa perilaku prososial mempunyai maksud menyumbang kesejahteraan orang lain. Dengan kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong, menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial. 5 Prososial diartikan sebagai suatu tindakan heroik dengan tujuan untuk menolong orang lain (Passer & Smith, 2004). Definisi dalam konteks psikologi sosial menyebutkan definisi prososial sebagai suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut. Istilah altruisme sering digunakan secara bergantian dengan prososial, tapi altruisme yang sebenarnya adalah hasrat untuk menolong orang lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri (Sarwono, 2009). Perilaku prososial adalah tindakan yang menguntungkan orang lain tetapi tidak memberikan keuntungan yang nyata bagi orang yang melakukan tindakan tersebut. Perilaku prososial kadang-kadang dapat melibatkan risiko di pihak orang yang memberikan bantuan. Istilah-istilah lain, seperti perilaku menolong, amal kebajikan, dan volunterisme juga digunakan untuk menggambarkan tentang hal-hal baik yang dilakukan orang untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan kepada orang lain. Dari beberapa pendapat para ahli tentang Perilaku Prososial diatas, maka ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Perilaku Prososial adalah membantu orang lain dengan cara meringankan beban fisik atau psikologi orang tersebut, memperhatikan kesejahteraan orang lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri, dan ikut menyokong dengan tenaga dan pikiran. 2. Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku prososial Campbell (dalam Sears & Peplau, 1994: 50) menjelaskan bahwa fakrot sosial dapat menentukan perilaku prososial individu. Adanya evolusi sosial yaitu perkembangan sejarah dan kebudayaan atau peradaban manusia dapat menjelaskan perilaku prososial dasar, mulai dari pemeliharaan orang tua terhadap anaknya sampai menolong orang asing yang mengalami kesulitan. Menurutnya, secara bertahap dan selektif masyarakat manusia mengembangkan keterampilan, keyakinan, dan teknologi yang bermanfaat bagi kesejahteraan kelompok, maka perilaku 6 prososial menjadi bagian dari aturan atau norma sosial. Norma yang penting bagi perilaku prososial adalah tanggung jawab sosial, norma timbal balik, dan keadilan sosia. Ketiga norma tersebut merupakan dasar budaya bagi perilaku prososial. Melalui proses sosialisasi, individu mempelajari aturan-aturan dan menampilkan perilaku sesuai dengan pedoman perilaku prososial. Proses belajar juga merupakan faktor yang menentukan perilaku prososial. Dalam masa perkembangan, anak mempelajari norma masyarakat tentang tindakan menolong. Di rumah, di sekolah, dan di masyarakat, orang dewasa mengajarkan pada anak bahwa mereka harus menolong orang lain. Menurut Staub (dalam Tri Dayakisni & Hudaniah, 2006: 212), terdapat beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk berperilaku prososial yaitu: a. Self-gain Harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan. b. Personal values and norms Adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan perilaku prososial, seperti berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik. c. Empathy Kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Kemampuan untuk berempati ini erat kaitannya dengan pengambilalihan peran. Jadi syarat untuk mampu melakukan empati, individu harus memiliki kemampuan untuk melakukan pengambilan peran. Selain itu, menurut Desmita (2011, hlm.254) terdapat beberapa faktor agen sosialisasi yang dapat memengaruhi perkembangan perilaku prososial, 7 yang meliputi orang tua, guru, teman sebaya dan televisi. Faktor-faktor tersebut dijelaskan sebagai berikut: a. Orang tua. Eisenberg (dalam Desmita, 2011, hlm.254) menyatakan Orang tua perlu mengajarkan anaknya untuk peka terhadap kebutuhan orang lain sehingga meningkatkan kemampuannya untuk berempati. Teknik yang dapat diajarkan oleh orang tua yaitu reinforcement, modeling, dan induction. b. Guru. Menurut Eisenberg (dalam Desmita, 2011, hlm. 254) sekolah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku peserta didik. Seorang guru dapat membantu mengembangkan perilaku prososial peserta didik melalui beberapa teknik. Teknik yang digunakan seperti induction dan role playing. c. Teman sebaya. Eisenberg (dalam Desmita, 2011, hlm. 255) mengemukakan bahwa ketika anak mulai berkembang ke arah dewasa, kelompok sosial (termasuk kelompok teman sebaya) menjadi sumber utama dalam pemerolehan informasi, termasuk perilaku yang diinginkan. Teman sebaya dapat memengaruhi perkembangan perilaku melalui penguatan, pemodelan dan pengarahan. Hal ini diperkuat oleh Durkheim (dalam Desmita, 2011, hlm. 255) yang menyebutkan bahwa identifikasi kelompok teman sebaya mengarah pada internalisasi otomatis nilai suatu kelompok. d. Televisi. Menurut Eisenberg (dalam Desmita, 2011, hlm. 256), televisi memengaruhi individu melalui modeling. Individu dapat mempelajari perilaku yang tepat dalam situasi tertentu. Peran televisi juga bukan hanya mengajarkan individu berbagai alternatif tindakan, melainkan membentuk tingkah laku menolong serta memudahkan perkembangan perilaku prososial ini. 8 3. Aspek-aspek perilaku prososial Menurut Eisenberg dan Mussen (1989) perilaku prososial mencakup aspek-aspek sebagai berikut: a. Berbagi (sharing), yaitu kesediaan untul berbagi perasaan dengan orang lain dalam suka maupun duka. Sharing diberikan bila penerima menunjukkan kesukaran sebelum ada tindakan, meliputi dukungan verbal dan fisik. b. Menolong (helping), yaitu kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang berada dalam kesulitan. Menolong meliputi membantu orang lain, memberitahu, menawarkan bantuan kepada orang lain atau melakukan sesuatu yang menunjang berlangsungnya kegiatan orang lain. c. Kedermawanan (generosity), yaitu kesediaan untuk memberikan secara suka rela sebagian barang miliknya kepada orang lain yang membutuhkan. d. Kerjasama (cooperating), yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain tercapainya tujuan. Kerjasama biasannya saling menguntungkan, saling memberi, saling menolong dan menenangkan. e. Jujur (honesty), yaitu kesediaan untuk tidak berbuat curang terhadap orang lain di sekitarnya. f. Menyumbang (donating) kesediaan untuk membantu dengan pikiran, tenaga maupun materi kepada orang lain yang membutuhkan. 4. Tahapan Perkembangan Prososial Perilaku prososial berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan manusia yang diklasifikasikan sesuai dengan social perspective, dan perkembangan moral (Derlega dan Grzelak dalam Desmita, 2011, hlm.240). Tahapan tersebut terdiri atas: a. Compliance & concrete, defined reinforcement. Tahap di mana individu melakukan perilaku sosial karena permintaan atau perintah yang terlebih dahulu disertai reward atau punishment secara konkret. Menurut 9 Kohlberg (dalam Moshman, 2004, hlm.54) tahap ini seharusnya dicapai oleh anak-anak hingga usia 5 tahun. b. Compliance. Pada tahap ini, individu melakukan perilaku prososial karena tunduk terhadap otoritas. Individu tidak berinisiatif melakukan pertolongan, melainkan karena perintah orang yang lebih berkuasa. Tindakan dilakukan karena kebutuhan akan persetujuan dan menghindari hukuman. Menurut Kohlberg (dalam Moshman, 2004, hlm.55) tahap ini seharusnya dicapai oleh anak usia 5-10 tahun. c. Internal initiative & concrete reward. Tahap ketika individu melakukan perilaku prososial berdasarkan penerimaan reward yang diterima individu. Menurut Kohlberg (dalam Moshman, 2004, hlm.56) tahap ini seharusnya dicapai oleh anak berusia 10-12 tahun. d. Normative behavior. Pada tahap ini individu melakukan perilaku prososial karena adanya tuntutan dari masyarakat. Orientasinya dalam tahap ini ialah keinginan untuk mendapatkan persetujuan dan menyenangkan orang lain. Individu dapat memahami kebutuhan orang lain dan merasa simpatik pada penderitaan. Menurut Kohlberg (dalam Moshman, 2004, hlm.57) tahap ini seharusnya dicapai oleh remaja dan beberapa individu dewasa. e. Generalized reciprocity. Pada tahap ini, perilaku prososial didasari oleh prinsip-prinsip universal dari pertukaran dan terjadi karena individu percaya kelak bila ia membutuhkan bantuan, maka akan mendapatkan pertolongan pula. Berdasarkan riset Kohlberg (dalam Moshman, 2004, hlm.57) tahap ini seharusnya dicapai dewasa awal. f. Altruistic behavior. Pada tahap ini, individu melakukan perilaku prososial secara sukarela. Tindakannya berdasarkan keinginan untuk menolong secara tulus dan menguntungkan orang lain tanpa mengharapkan hadiah atau reward dari luar. Tahap ini merupakan puncak dari tingkat pencapaian perilaku prososial dan seharusnya dicapai oleh individu dewasa. 10 B. Penelitian Terdahulu Berikut ini merupakan beberapa penelitian terdahulu yang menjadi referensi dalam penulisan makalah: 1. Sears (dalam Mahmud, 2003, hlm. 2) menemukan bahwa beberapa orang tetap memberikan bantuan kepada orang lain meskipun kondisi situasional menghambat usaha pemberian bantuan tersebut, sedangkan yang lain tidak memberikan bantuan meskipun berada dalam kondisi yang sangat baik. 2. Staub (dalam Mahmud, 2003, hlm. 3) menemukan bahwa orang sering tidak turun tangan membantu orang lain yang benar-benar memerlukan. 3. Foa & Foa (dalam Mahmud, 2003: 3) menemukan bahwa setiap bertindak membantu orang lain, orang mempertimbangkan untung-ruginya. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa saat ini perilaku prososial cenderung mengalami penurunan. C. Upaya Meningkatkan Perilaku Prososial Melalui Teknik Sosiodrama 1. Pengertian Sosiodrama Sosiodrama merupakan salah satu jenis dari permainan peran. Menurut Djamarah (2002:115) sosiodrama merupakan sandiwara tanpa naskah yang dilakukan secara spontan atau tanpa latihan terlebih dahulu. Masalah yang didramatisasikan adalah mengenai situasi sosial. Sedangkan menurut Ahmadi dan Supriyono (2004:123), Teknik sosiodrama merupakan suatu cara dalam bimbingan yang memberikan kesempatan kepada muridmurid untuk mendramatisasikan sikap, tingkah laku atau penghayatan seseorang seperti yang dilakukan dalam hubungan sosial sehari-sehari di masyarakat. Maka dari itu, sosiodrama dipergunakan dalam pemecahan masalahmasalah sosial yang mengganggu belajar dengan kegiatan drama sosial. Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa sosiodrama merupakan 11 teknik bermain peran dengan mendramatisasikan sikap, tingkah laku atau penghayatan seseorang secara spontan yang memiliki fungsi untuk memecahkan masalah sosial yang timbul dalam hubungan interpersonal yang dilakukan dalam kelompok. Sosiodrama dapat dilakukan bila sebagian besar anggota dalam kelompok tersebut menghadapi masalah sosial yang hampir sama, atau bila ingin melatih atau mengubah sikap-sikap tertentu. 2. Tujuan Sosiodrama Menurut Hendarno, dkk (2003:73) menyatakan bahwa tujuan sosiodrama yaitu mengidentifikasi masalah, memahami masalah, dan mencari jalan keluar pemecahanmya sehingga terjadi perubahan dan perkembangan pada diri anak. Sedangkan menurut Ahmadi dan Supriyono (2004:123), tujuan dari pelaksanaan sosiodrama adalah: (1) Menggambarkan seseorang atau beberapa orang dalam menghadapi situasi sosial. (2) Bagaimana menggambarkan cara memecahkan suatu masalah sosial. (3) Menumbuhkan dan mengembangkan sikap kritis terhadap tingkah laku yang harus atau jangan sampai diambil dalam situasi sosial tertentu saja. Menurut Djamarah (2002 : 100) Tujuan yang diharapkan dalam kegiatan teknik sosiodrama adalah: (1) Agar siswa dapat mengikuti dan menghargai orang lain. (2) Dapat belajar bagaimana membagi tanggung jawab. (3) Dapat mengambil keputusan secara spontan. (4) Merangsang anggota kelompok untuk dapat berfikir dan memecahkan masalah. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat diperinci, bahwa tujuan dari sosiodrama adalah: a. Individu berani mengungkapkan pendapat secara lisan. b. Memupuk kerjasama antar pemeran. c. Dapat berbagi dan bertanggung jawab. d. Dapat menjiwai tokoh yang diperankan. e. Melatih cara berinteraksi dengan orang lain. f. Menunjukkan sikap berani dalam memerankan tokoh. 12 g. 3. Terpecahnya suatu masalah yang dihadapi seorang individu atau lebih Manfaat Sosiodrama Sebagai salah satu teknik yang digunakan didalam layanan bimbingan dan konseling, sosiodrama memiliki beberapa manfaat. Menurut Hendarno, dkk (2003:73) sosiodrama berfungsi mengadaptasi dan menyesuaikan. Sedangkan Djumhur (2001:109) menyatakan bahwa “Sosiodrama dipergunakan sebagai suatu teknik di dalam mememcahkan masalahmasalah sosial dengan melalui kegiatan bermain peran.” Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa fungsi sosiodrama adalah sebagai suatu teknik di dalam memecahkan masalah sosial, mengadaptasi dan menyesuaikan dengan permasalahan yang dialami individu melalui bermain peran. 4. Meningkatkan Prososial dengan Sosiodrama Perilaku prososial adalah perilaku menolong orang lain dengan mau berbagi, bekerjasama, menunjukkan rasa empati dan jujur kepada orang lain sebagai suatu bentuk tindakan yang positif yang dilakukan dengan sukarela tanpa ada paksaan dari orang lain serta atas inisiatif diri sendiri yang dilakukan semata-mata hanya untuk memberikan bantuan atau menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Siswa yang memiliki perilaku prososial rendah akan merasa dirinya tidak membutuhkan orang lain, tidak mau menolong teman yang lain, enggan untuk berbagi dengan orang lain, tidak bisa bekerjasama baik dengan orang lain, hanya memikirkan dirinya sendiri, tidak dapat merasakan perasaan orang lain, dan tidak jujur. Berikut ini merupakan beberapa penelitian mengenai metode bimbingan kelompok dengan teknik sosiodrama dalam prososial: a. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Reza Pandasari (2006:115) menyatakan bahwa layanan bimbingan kelompok efektif dalam mengembangkan sikap prososial siswa karena dengan layanan 13 bimbingan kelompok dapat terjalin interaksi antar anggota kelompok yang diharapkan dapat meningkatkan hubungan sosial dengan sesama anggota kelompok. b. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aini dan Nursalim (2012:90) menunjukkan adanya pengaruh permainan sosiodrama terhadap kemampuan interaksi anak kelas VII di SMP N 1 Krembung Sidoarjo. Jurnal yang diterbitkan oleh jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Negeri Surabaya ini memperlihatkan hasil penelitian yang signifikan terhadap 10 siswa yang memiliki kemampuan interaksi sosial yang rendah. c. Penelitian Dhanianto (2014) mengungkapkan bahwa model bimbingan kelompok dengan teknik sosiodrama terbukti efektif dalam meningkatkan sikap prososial siswa. Hal ini ditunjukkan dengan perubahan peningkatan sikap prososial siswa sebelum diberikan perlakuan (pre-test) dan setelah diberikan pengobatan yang diberikan (post-test) yang merupakan peningkatan dari 17,06%. Hasil yang signifikan output = 0.00 <5%, yang berarti ada perbedaan yang signifikan antara sikap prososial siswa sebelum diberikan perlakuan (pre-test) dan setelah pengobatan yang diberikan (post-test). Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk membantu siswa meningkatkan sikap prososial dengan mengoptimalkan bimbingan kelompok. Model bimbingan kelompok dengan teknik sosiodrama dapat dijadikan salah satu alternatif dalam memaksimalkan mutu pelayanan bimbingan kelompok. Dalam meningkatkan perilaku prososial, salah satu metode nya adalah bimbingan kelompok dengan teknik sosiodrama. Menurut Tatik Romlah (1999:104) Sosiodrama adalah permainan peran yang ditujukan untuk memecahkan masalah sosial yang timbul dalam hubungan antar manusia. Sosiodrama dipergunakan sebagai salah satu teknik untuk memecahkan masalah-masalah sosial dengan melalui kegiatan bermain 14 peran, di dalam sosiodrama ini sesorang akan memerankan suatu peran tertentu dari situasi masalah sosial (Djumhur & Muh Surya, 2001 :109). Dengan menggunakan teknik sosiodrama kemudian siswa dapat bekerjasama serta memerankan perannya untuk mengembangkan sikap dan tindakan yang diinginkan dalam meningkatkan perilaku prososialnya pada permainan sosiodrama. Dalam teknik sosiodrama ini terjadi proses bekerjasama serta membantu orang lain dalam memahami dirinya sendiri dan lingkungan dari situasi masalah sosial dalam hal ini terkait dengan masalah perilaku prososial. Dengan teknik sosiodrama diharapkan siswa dapat secara langsung merasakan perialku prososial itu sendiri seiring dengan berjalannya proses sosiodrama yang nanti di peragakan. Dasar perilaku prososial itu sendiri adalah kehendak untuk menolong, turut merasakan apa yang sedang dirasakan atau dialami oleh orang lain. Dan cenderung adanya sikap menolong orang lain dalam setiap permasalanahan yang dihadapi. Melalui layanan bimbingan kelompok dengan teknik sosiodrama suasana kebersamaan dan komunikasi antara individu di dalam kelompok drama dalam menyelesaikan permasalahan yang ada dalam kelompok tersebut dapat menimbulkan suatu keterlibatan, kerjasama antar anggota, saling membantu dan turut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dari hal itu anggota belajar dalam memahami indikator-indikator perilaku prososial seperti menolong orang lain, berbagi, bekerjasama, empati dan kejujuran dalam kehidupannya untuk dapat menolong dengan keadaan dan kebutuhan orang lain atau anggota kelompok tersebut. 5. Langkah-langkah Pelaksanaan Sosiodrama Adapun langkah-langkah pelaksanaan kegiatan sosiodrama sebagai upaya dalam meningkatkan prososial siswa adalah Menurut Roestiyah (2001:91) adalah sebagai berikut: 15 a. Konselor harus menerangkan kepada siswa tentang teknik sosiodrama dan kegunaannya dalam menyelesaikan masalah hubungan sosial. b. Konselor memilih masalah yang urgen dan berhubungan dengan hubungan sosial. c. Agar siswa memahami peristiwanya, maka konselor harus bisa menceritakan untuk mengatur adegan yang pertama. d. Konselor membagi peran pada siswa yang di berikan bimbingan. e. Jelaskan tugas masing-masing pemeran. f. Jika siswa belum terbiasa, perlu dibantu konselor dalam menimbulkan kalimat pertama dalam dialog. g. Setelah sosiodrama dalam situasi klimaks, maka harus dihentikan, agar kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dapat didiskusikan secara umum. h. Sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi, walau mungkin masalahnya belum terpecahkan, maka perlu dibuka tanya jawab, diskusi atau membuat karangan yang berbentuk sandiwara. Menurut Djamarah (2002:114) sebelum metode sosiodama digunakan, terlebih dahulu harus diawali dengan penjelasan dari konselor tentang situasi sosial yang akan didramatisasikan oleh para pemeran. Tanpa penjelasan, siswa tidak akan dapat melakukan peranannya dengan baik. Setelah menjelaskan tentang pelaksanaan sosiodrama, barulah siswa dipersilahkan untuk melaksanakan kegiatan sosiodrama tersebut. Sosiodrama akan lebih menarik bila pada situasi yang sedang memuncak, kemudian dihentikan. Selanjutnya diadakan diskusi, bagaimana jalan cerita selanjutnya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa secara garis besar langkah sosiodrama adalah persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut atau evaluasi. Langkah-langkah pelaksanaan sosiodrama secara lebh rinci adalah sebagai berikut: a. Persiapan 16 1) Menentukan dan menceritakan situasi sosial yang akan didramatisasikan. 2) Memilih pemeran. 3) Mempersiapkan pemeran untuk menentukan peranan masing-masing. b. Pelaksanaan 1) Siswa melakukan sosiodrama. 2) Konselor menghentikan pada saat situasi klimaks atau memuncak. 3) Akhiri sosiodrama dengan diskusi tentang jalannya cerita, atau pemecahan masalah selanjutnya. c. Evaluasi/ tindak lanjut 1) Siswa diberi tugas untuk menilai atua memberi tanggapan terhadap pelaksanaan sosiodrama. 2) Siswa diberi kesempatan untuk membuat kesimpulan hasil sosiodrama. 17 BAB III PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis menarik simpulan yaitu: 1. Perilaku Prososial adalah membantu orang lain dengan cara meringankan beban fisik atau psikologi orang tersebut, memperhatikan kesejahteraan orang lain tanpa memikirkan kepentingan sendiri, dan ikut menyokong dengan tenaga dan pikiran. 2. Beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk berperilaku prososial yaitu Self-gain atau harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu, Personal values and norms dan Empathy atau kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Selain itu, terdapat beberapa faktor agen sosialisasi yang dapat memengaruhi perkembangan perilaku prososial, yang meliputi orang tua, guru, teman sebaya dan televisi. 3. Aspek-aspek dalam perilaku prososial mencakup berbagi (sharing) yaitu kesediaan untul berbagi perasaan dengan orang lain dalam suka maupun duka, menolong (helping) yaitu kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang berada dalam kesulitan, kedermawanan (generosity) yaitu kesediaan untuk memberikan secara suka rela sebagian barang miliknya kepada orang lain yang membutuhkan, kerjasama (cooperating) yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain tercapainya tujuan, jujur (honesty) yaitu kesediaan untuk tidak berbuat curang terhadap orang lain di sekitarnya dan menyumbang (donating) yaitu kesediaan untuk membantu dengan pikiran, tenaga maupun materi kepada orang lain yang membutuhkan. 4. Tahapan perkembangan perilaku prososial pada individu mencakup tahapan compliance & concrete, defined reinforcement, tahap compliance, tahap 18 internal initiative & concrete reward, tahap normative behavior, tahap generalized reciprocity dan tahap altruistic behavior. 5. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan perilaku prososial remaja menggunakan teknik sosiodrama. Dengan teknik sosiodrama diharapkan siswa dapat secara langsung merasakan perilaku prososial itu sendiri seiring dengan berjalannya proses sosiodrama yang di peragakan. Dasar perilaku prososial itu sendiri adalah kehendak untuk menolong, turut merasakan apa yang sedang dirasakan atau dialami oleh orang lain. Dan cenderung adanya sikap menolong orang lain dalam setiap permasalahan yang dihadapi. B. Rekomendasi Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka terdapat beberapa rekomendasi bagi beberapa pihak yaitu: 1. Bagi Penulis Dengan di susunnya makalah ini, diharapkan penulis mampu memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai teknik sosiodrama sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan perilaku prososial siswa. Adapun rekomendasi bagi penulis adalah sebagai berikut: a. Memperdalam keilmuan mengenai teknik dalam meningkatkan perilaku prososial. b. Mempraktikkan teknik yang telah di pelajari secara langsung dalam pelaksanaan praktik layanan ataupun pelaksanaan penelitian. 2. Bagi Guru BK Dalam upaya direkomendasikan meningkatkan mampu prososial melaksanakan siswa, bimbingan guru dengan BK teknik sosiodrama dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Guru BK melakukan need assessment di awal tahun ajaran pada peserta didik baru, khususnya berkaitan dengan perilaku prososial sehingga mengetahui tingkat perilaku prososial peserta didik dan dapat melakukan 19 intervensi sedini mungkin dengan perencanaan intervensi jangka pendek dan jangka panjang. b. Guru BK melaksanakan layanan bimbingan dengan teknik sosiodrama terhadap siswa yang memiliki tingkat prososial yang rendah dengan tahapan sosiodrama sebagai berikut: 1) Persiapan a) Menentukan dan menceritakan situasi sosial yang akan didramatisasikan. b) Memilih pemeran. c) Mempersiapkan pemeran untuk menentukan peranan masingmasing. 2) Pelaksanaan a) Siswa melakukan sosiodrama. b) Konselor menghentikan pada saat situasi klimaks atau memuncak. c) Akhiri sosiodrama dengan diskusi tentang jalannya cerita, atau pemecahan masalah selanjutnya. 3) Evaluasi/ tindak lanjut a) Siswa diberi tugas untuk menilai atua memberi tanggapan terhadap pelaksanaan sosiodrama. b) Siswa diberi kesempatan untuk membuat kesimpulan hasil sosiodrama. 20 DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu dan Supriyono, Widodo. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Asdi Mahasatya Dayakisni, T dan Hudaniah. 2003.Psikologi Sosial. Edisi Revisi. Malang : UMM Press. Desmita. (2011). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Rosdakarya. Remaja Djamarah, Syaiful Bahri.2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta Djumhur & Moh. Surya. 2001. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Bandung : CV Ilmu Eisenberg, N. & Mussen, P.H., 1989, The Roots of Prosocial Behavior in Children, New York : Cambridge University Press Mahmud H.R. 2003.Hubungan Antara Gaya Pengasuhan Orangtua dengan Perilaku prososial Anak. Jurnal Psikologi. Vol. 11.No.1 2003. Moshman, D. (2004). Adolescent Psychological Development 2nd edition. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Passer, M. M., & Smith, R. E. (2007). Psychology: The science of mind and behavior (3rd ed). New York: McGraw-Hill. Rumini, Sri dan Siti Sundari. 2004. Perkembangan Anak dan Remaja. PT Rineka Cipta, Jakarta. Sarwono, S. W & Meinarno, E. A. 2009.Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. 21 Sears, David O., Freedman, Jonathan L. & Peplau, L. Anne. (1994). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga. Shaffer, D.R. (2002). Developmental Psychology: Childhood&Adolescence. Sixth Edition USA: Wadsworth/Thomson learning, Inc www.kompas.com, 2002 22