Peran Interleukin-10 Pada Infeksi Malaria Nur Wahyuniati, Reza Maulana* Abstrak. Malaria merupakan suatu penyakit infeksi yang memiliki patogenesis sangat kompleks. Teori imunologis merupakan salah satu teori utama yang berupaya menjelaskan secara lebih rinci dan komprehensif terkait patogenesis infeksi malaria. Interleukin-10, yang merupakan sitokin anti-inflamasi,memainkan peranan yang penting dalam regulasi respon imun pada host. Interleukin-10 menghambat pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi dari monosit/makrofag, dan hal ini akan menghambat sekresi TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-8, G-CSF, dan GM-CSF. Interleukin-10 juga menghambat proliferasi dan juga sintesis sitokin sel T CD4 +, termasuk produksi IL-2 dan IFN-γ oleh Th1 dan IL-4 dan IL-5 oleh Th2. Timbulnya komplikasi malaria berat ditentukan oleh keseimbangan antara kadar sitokin proinflamasi dan antiinflamasi, yaitu berupa rasio IL-10 rendah. Rasio IL-10:TNF-α yang kurang dari 1 beresiko mengalami malaria serebral dan anemia berat, sebaliknya rasio lebih dari 1 sering ditemukan pada pasien hiperparasitemia.(JKS 2015; 2: 95-102) Kata kunci: malaria, interleukin-10, sitokin anti-inflamasi Abstract. Malaria is an infectious disease which has a very complex pathogenesis. Immunological theory is one of the main theories that attempt to explain a more detail and comprehensive pathogenesis of malaria infection. Interleukin-10, which an antiinflammatory cytokines, play an important role in the regulation of immune response in the host. Interleukin-10 inhibits the release of mediators of pro-inflammatory monocyte/macrophages, and it will inhibit the secretion of TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-8, G-CSF and GM-CSF. Interleukin-10 also inhibits the proliferation and synthesis of CD4+ T cell cytokines, including IL-2 and IFN-γ by Th1 and IL-4 and IL-5 by Th2. The incidence of complications of severe malaria is determined by the balance between the levels of proinflammatory and anti-inflammatory cytokines, in the form of a low ratio of IL-10. The ratio of IL-10: TNF-α less than 1 is believed to have a risk of cerebral malaria and severe anemia, whereas the ratio more than 1 is often related to hyper parasitemia condition. (JKS 2015; 2: 95-102) Key words: Malaria, interleukin-10, anti-inflammatory cytokine Pendahuluan1 Malaria, disebabkan oleh parasit protozoa dari genus Plasmodium, merupakan suatu penyakit parasit yang utama di daerahdaerah tropis dan subtropis, mencakup sejumlah area di benua Amerika, Asia dan Afrika.1 Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling penting di dunia, menyebabkan 200-300 juta kasus klinis dan sekitar 1 juta kematian per tahun.1Terdapat sekitar 150 spesies Nur Wahyuniati adalah Dosen Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, dan Reza Maulana adalah Dosen Bagian Anatomi Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh *Penulis Korespondensi Plasmodium, dan 4 diantaranya diketahui dapat menginfeksi manusia, yaitu: P. falciparum, P. vivax, P. malariae, dan P.ovale.2 Patogenesis malaria sangat kompleks, sampai saat ini banyak penelitian yang masih berupaya mengungkap patogenesis dari malaria, terutama malaria cerebral. Terdapat tiga teori utama yang diajukan untuk menjelaskan patogenesis malaria cerebral, yaitu: teori “mekanis”, teori “imunologis”, dan teori gabungan keduanya. Walau bagaimanapun, mekanisme pasti dari kompleks sindrom pada penyakit ini masih belum sepenuhnya dipahami.3 95 JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 15 Nomor 2 Agustus 2015 Sebagaimana penyakit infeksi pada umumnya, patogenesis malaria melibatkan berbagai macam faktor, diantaranya yaitu faktor parasit, host dan lingkungan.4 Ketiga faktor ini saling terkait satu sama lain, dan akan menentukan manifestasi klinis malaria yang bervariasi mulai dari yang paling berat, yaitu komplikasi gagal organ, malaria ringan tanpa komplikasi, atau yang paling ringan, yaitu infeksi asimptomatik.4 Material dan Metode Artikel ini disusun dengan menggunakan metode literature review. daerah Jawa-Bali, meskipun masih terdapat desa/fokus malaria tinggi.5 Berbagai faktor parasit menentukan terjadinya malaria berat, seperti adanya kemampuan evasi parasit dari respon imun host melalui variasi antigenik, adanya resistensi terhadap obat anti malaria, munculnya berbagai strain parasit yang virulen dengan kecepatan multiplikasi yang tinggi, adanya peristiwa sitoadherens dan pembentukan formasi roset, serta peran berbagai toksin malaria.4 1. Hasil dan Pembahasan Malaria, disebabkan oleh parasit protozoa dari genus Plasmodium, merupakan suatu penyakit parasit yang utama di daerahdaerah tropis dan subtropis, mencakup sejumlah area di benua Amerika, Asia dan Afrika.1 Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling penting di dunia, menyebabkan 200-300 juta kasus klinis dan sekitar 1 juta kematian per tahun.1 Terdapat sekitar 150 spesies Plasmodium, dan 4 diantaranya diketahui dapat menginfeksi manusia, yaitu: P. falciparum, P. vivax, P. malariae, dan P.ovale.2 Di antara keempat spesies tersebut, P. falciparum merupakan spesies yang paling virulen, menyebabkan 91 % dari total kasus malaria di seluruh dunia, di mana mayoritasnya (sekitar 86 %) terjadi di daerah Afrika.1,2 P. falciparum juga menyebabkan munculnya komplikasi yang sangat serius berupa malaria cerebral yang dapat menimbulkan defisit neurologis bahkan kematian. Di Indonesia, penyakit malaria masih ditemukan di seluruh provinsi. Berdasarkan Annual Parasite Incidence (API), Indonesia bagian timur termasuk ke dalam daerah dengan stratifikasi malaria yang tinggi, stratifikasi sedang berada di beberapa daerah di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera, sedangkan stratifikasi rendah berada di Faktor Parasit a. Karakteristik genom Plasmodium falciparum. Plasmodium falciparum memiliki genom yang berukuran 22,8 Mega basa (Mb) yang tersebar pada 14 kromosom yang masingmasing berukuran sekitar 0,643-3,29 Mb.6 Jumlah gen yang terdapat dalam kromosom P. falciparum adalah sebanyak 5.300 gen yang mengkode berbagai protein.6 Plasmodium falciparum memiliki famili gen yang bersifat sangat variabel, diantaranya gen var, rif dan stevor, secara berurutan masing-masing mengkode P. falciparum erythrocyte membrane protein-1 (PfEMP-1), repetitive interspersed family (rifin), dan subtelomeric variable open reading frame (stevor).6-8 PfEMP-1 diekspresikan di permukaan sel darah merah yang terinfeksi parasit.7 PfEMP-1 memperantarai perlekatan (adhesi) sel darah merah yang terinfeksi ke berbagai reseptor yang tersebar pada sel-sel endotel berbagai organ.6,7,9 Kemampuan inilah yang merupakan faktor virulens dari P. falciparum sehingga sering diasosiasikan dengan terjadinya malaria berat. Protein PfEMP-1 merupakan target dari antibodi yang bersifat spesifik, namun karena gen var memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan (switching) sekitar 2% per generasi, hal ini menyebabkan sulitnya usaha untuk penemuan vaksin terhadap malaria.6,9 Dengan adanya variasi antigen ini memungkinkan terjadinya malaria kronik 96 NurWahyuniatidan Reza Maulana, Peran Interleukin-10 padaInfeksi Malaria yang dapat mempengaruhi pola transmisi malaria yang terjadi melalui gigitan nyamuk Anopheles betina.6,9 b. Sitoadherens Sitoadherens adalah ikatan anatara eritrosit yang telah terinfeksi parasit malaria (PRBCs, Parasitized Red Blood Cells) dengan endotel vaskuler terutama kapiler postvenula yang menyebabkan terjadinya sekuesterasi parasit pada kapiler-kapiler organ.4,7 Timbulnya fenomena ini diperantarai oleh protein Plasmodium yang terekspresikan di permukaan eritrosit yang terinfeksi, protein-protein dinding sel eritrosit yang telah termodifikasi serta ligand di sel endotel.7 Adanya perlekatan / adhesi PRBCs ini akan mengurangi aliran darah di mikrosirkulasi, yang mana hal ini mungkin dapat menjelaskan penyebab terjadinya disfungsi jaringan dan organ, seperti halnya koma pada kasus malaria cerebral.7 Parasit yang mengalami sekuesterasi ini bersifat aktif dalam hal metabolismenya, dan ia akan berkompetisi dengan jaringan tubuh host untuk memperoleh berbagai substrat, seperti glukosa, dan ia juga akan memproduksi toksin yang mengganggu metabolisme jaringan tubuh host.7 Mekanisme terjadinya sitoadherens adalah sebagai berikut, pada permukaan PRBCs akan timbul tonjolan-tonjolan yang disebut knob.4,7,10 Pada Knob ini terdapat berbagai protein seperti Histidine rich protein-1 (HRP-1), PfEMP-1, PfEMP-2 (MESA).4,7 Protein ini akan berikatan dengan berbagai molekul adhesi pada permukaan endotel vaskuler, seperti CD36 (platelet glycoprotein IIIb atau IV), CD31, CD51, CD54, intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), endothelial selectin (E-Selectin, ELAM-1), vascular cell adhesion molecule1 (VCAM-1), trombospondin, asam hialuronat, glikosaminoglikan, serta kondroitin sulfat (CSA).4,7,10-12 PfEMP-1 dapat berikatan secara simultan dengan berbagai reseptor sekaligus, namun antara parasit satu dengan yang lain dapat mengekspresikan PfEMP atau proteinprotein lain yang lebih dominan berikatan dengan jenis molekul adhesi tertentu.4,7 Sebagai contoh, parasit yang menginfeksi jaringan plasenta akan mengekspresikan PfEMP-1 yang mampu berikatan dengan CSA namun tidak dengan CD36.4 Di lain pihak, parasit tertentu yang mengekspresikan PfEMP-1 ada yang lebih dominan berikatan dengan ICAM-1 yang merupakan molekul adhesi utama di endotel pembuluh darah otak, sehingga parasit tesebut lebih banyak tesekuesterisasi di otak, hal ini diduga ikut berperan terhadap timbulnya malaria cerebral.4 c. Rosetting dan agglutinasi Rosetting adalah ikatan antara PRBCs dengan beberapa eritrosit yang tidak terinfeksi, sehingga membentuk gumpalan yang disebut ‘roset’.7 Sedangkan agglutinasi adalah ikatan antara PRBCs, yang akan membentuk aggregat yang tidak melibatkan eritrosit tak terinfeksi 7. Pada fenomena rosetting ini, gen var sepertinya bertanggung jawab atas terjadinya ligand, dan interaksi intereritrositik ini merupakan interaksi yang sensitif terhadap pH dan heparin.7 Sejumlah protein reseptor pada permukaan eritrosit tak terinfeksi yaitu complement receptor 1 (CR1)/CD35, CD36, dan heparan sulfatelike glycosaminoglycans (HS-like GAG).4 Tingginya formasi roset ditemukan pada anak-anak di Gambia yang mengalami malaria cerebral, dimana pada pasien-pasien ini ternyata terdapat hubungan dengan kurangnya antirosetting antibodi, sedangkan pada penelitian-penelitian di belahan bumi yang lain tidak menunjukkan adanya hubungan dengan antibodi tersebut.7 Kontribusi agglutinasi terhadap patofisiologi malaria berat masih belum jelas. d. Toksin parasit Eritrosit yang terinfeksi parasit (PRBCs) yang pecah pada saat proses skizogoni akan mengeluarkan berbagai toksin seperti glycosylphosphatidylinositols (GPI), 97 JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 15 Nomor 2 Agustus 2015 hemozoin, merozoit surface protein-1 (MSP-1), MSP-2, MSP-3, MSP-4 rhoptryassociated protein-1 (RAP-1).4,13 Diantara berbagai antigen di atas, antigen yang paling banyak diteliti adalah MSP-1, molekul ini mengandung conserved C-terminal amino acid sequence (19 kD) yang dibawa oleh parasit saat ia menginvasi eritrosit8 serta GPI yang berfungsi sebagai jangkar/ anchor pada permukaan plasmodium yang berhubungan dengan protein permukaan seperti MSP.4,14 2. Faktor host Terdapat berbagai faktor host yang berperan pada patogenesis malaria cerebral, meliputi faktor genetik, umur, nutrisi, imunitas, dan juga berbagai mediator yang dihasilkan oleh sel imunokompeten akibat rangsangan antigen parasit. a. Faktor genetik Beberapa kelainan genetik pada eritrosit atau hemoglobin dapat menghambat perk, embangan malaria dan mencegah malaria berat, di antaranya adalah HbS (sickle cell), HbC, HbE, defisiensi G6PD, thalasemia, ovalositosis herediter defisiensi enzim piruvat kinase.4,15 Beberapa tipe HLABw53, HLA-A2, HLA-B17, HLADRB1*1502,*0701,*1301,*1302, DQB1202, 0501, diduga memiliki efek perlindungan terhadap malaria berat.4 Penelitian Dieye, dkk di Senegal menemukan HLA-DR13 berhubungan 4 dengan resiko malaria berat. Faktor genetik non-HLA lain yang juga dilaporkan memiliki efek perlindungan terhadap malaria adalah polimorfisme gen spektin, gen eritrosit-band 3, golongan darah ABO, gen glikoporin A dan B, dan suatu gen yang melindungi terhadap infeksi schistosoma mansoni (gen SM-1 yang terletak di kromosom 5q31-33) dilaporkan juga melindungi terhadap malari berat.4 Polimorfisme gen iNOS juga bersifat protektif. Di lain pihak, terdapat tiga bentuk polimorfisme gen promotor TNF-α yang berhubungan dengan manifestasi klinis malaria berat, yaitu alel TNF-308A membuat pasien lebih peka terhadap malaria berat, alel TNF-376A berkaitan dengan kepekaan terhadap malaria cerebral pada anak-anak di Kenya dan Gambia, alel TNF238A yang berhubungan dengan komplikasi anemia berat malaria.4 Polimorfisme Fc gamma receptor IIA (CD32) dan mutasi pada gen ICAM-1 juga turut berperan dalam kerentanan infeksi malaria berat serta menimbulkan efek yang luas pada LFA-1, fibrinogen, rhinovirus dan adhesi P. Falciparum.16 Polimorfisme pada gene RNASE3 berhubungan dengan kerentanan terhadap malaria cerebral pada anak-anak di Ghana.17 Polimorfisme pada Haem oxygenase-1 (HMOX1) gene promoter alel juga berhubungan dengan kejadian malaria berat pada anak-anak di Gambia.18,19 Terdapat sejumlah perbedaan dari hasil penelitian genetik malaria yang menimbulkan kesulitan dalam pengambilan kesimpulan dalam tatalaksana faktor genetik, misalnya mutasi pada ICAM-1 ternyata ditemukan berhubungan dengan meningkatnya kerentanan seseorang terhadap malaria cerebral (di Kenya), namun tidak memberikan efek yang berarti pada pasien-pasien di Gambia, dan yang menarik adalah bahwa ternyata mutasi tersebut menimbukan efek proteksi pada pasienpasien di gabon 16. Adanya kombinasi antara KIR2DL3-HLAC1 (Killer Immunoglobulinlike Receptors dan HLA-C1 ligand) pada seorang individu akan meningkatkan kerentanannya terhadap malaria cerebral.20 Lokus TNF/LTA (limfotoksin α) ternyata tidak berhubungan dengan kejadian malaria berat.21 b. Peran sitokin proinflamasi Pada infeksi malaria, sitokin yang terutama dihasilkan oleh makrofag merupakan respon imun non-spesifik (innate immunity) yang ditujukan untuk menghambat pertumbuhan parasit secara tidak langsung dengan mengaktifkan leukosit untuk menghasilkan radikal bebas yang akan mematikan parasit.4 98 NurWahyuniatidan Reza Maulana, Peran Interleukin-10 padaInfeksi Malaria Selain itu, sitokin berfungsi mengaktifkan sel-sel imun lain seperti makrofag, limfosit T, limfosit B dan sel NK untuk berproliferasi dan menghasilkan lebih banyak mediator guna bekerja sama mengatasi infeksi.4 Di lain pihak, sitokin mempunyai efek biologis metabolik seperti hipoglikemia, pireksia, inflamasi, dan dalam kadar tinggi dapat merusak sel terutama endotel, bahkan dapat menguntungkan pertumbuhan parasit karena meningkatkan sitoadherens (melalui peningkatan ekspresi molekul adhesi pada endotel).4 Di sini terlihat bahwa sitokin memiliki peran ganda seperti “pedang bermata dua”, pada kadar yang tepat bersifat protektif namun pada kadar yang berlebihan justru berefek patologis.4 Berdasarkan jenis sitokin yang dihasilkannya, limfosit T helper dibagi menjadi Th1 yang menghasilkan sitokin proinflamasi IFN-γ, TNF-α, TNF-β (juga disebut sebagai limfotoksin, LT), IL-1, IL-6, IL-8, IL-12; berfungsi mengaktifkan imunitas seluler dan imunitas nonspesifik.4,22,23 Sedangkan Th2 yang menghasilkan sitokin anti-inflamasi IL-4, IL-10; berfungsi mengaktifkan imunitas humoral.4,22,23 Pada cerebral malaria, konsentrasi sitokin pro-inflamasi di dalam darah meningkat, sebagaimana ditemukan pula pada banyak kondisi infeksi yang parah.7 TNF-α berhubungan dengan berbagai kondisi patologis pada infeksi malaria, terutama dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan malaria cerebral.24 TNF-α, baik berperan sendiri atau bersama-sama dengan IL-6 dan IL-1, telah diketahui dapat menginduksi sintesis acute phase response proteins oleh hepatosit.25 TNF-α meningkatkan regulasi reseptor sitoadherens di endotel, serta juga dapat menimbulkan diseritropoesis. Pada anak-anak di Afrika, tingginya konsentrasi TNF-α berhubungan dengan timbulnya koma, hipoglikemia, hiperparasitemia, bahkan kematian.7,22 Interferon (IFN)-γ dan interleukin (IL)-12 memainkan peranan yang penting untuk clearance patogen-patogen intraseluler.4 Sejumlah anak di Afrika yang mengalami anemia berat pada infeksi P.falciparum ternyata memiliki kadar IFN-γ dan IL-12 yang rendah.Produksi IFN-γ dan IL-12 dihambat oleh sitokin anti-inflamasi seperti IL-10.4 IFN-γ juga telah terungkap memiliki peran yang krusial dalam hal imunitas terhadap stage preeritrositik P. 26 Falciparum. Konsentrasi IFN-γ yang sangat rendah sekalipun ternyata terbukti efisien untuk melawan P. falciparum pada stage hepar, sedangkan konsentrasi IFN-γ yang sedang dapat menghambat sepenuhnya perkembangan skizogoni pada tahap hepar 26 . IFN-γ juga telah sering diikutsertakan sebagai kontrol positif pada penelitianpenelitian obat anti malaria in vitro atau penelitian inhibisi sporozoit.26 3. Peran Interleukin-10 IL-10, sitokin anti-inflamasi, memainkan peranan yang penting dalam regulasi respon imun pada host, sebagaimana yang juga diperankan oleh TGF-β 1. Sumber utama IL10 adalah subset sel T yang meliputi sel Th1, sel Th2, sel Tr1 (CD25+Foxp3-), dan T regulatory (Treg, CD25+Foxp3+).1,23 Stimulasi Th1 dengan IL-27 meningkatkan produksi IL-10 dan memacu ekspresi IFNγ.1 Tr1 merupakan subset sel CD4+ yang memproduksi IL-10 dalam kadar yang tinggi, IL-2 dalam kadar rendah, namun ia tidak memproduksi IL-4 1. Tr1 berkembang dari sel T naif di bawah pengaruh IL-27. TGF-β menginduksi ekspresi IL-10. IL-2, suatu aktivator aktifitas supresif oleh sel Treg, ternyata memacu produksi IL-10. Dewasa ini, telah diketahui bahwa sumber IL-10 tidak hanya berasal dari subset sel T namun juga dari hampir semua leukosit.1 Monosit/makrofag merupakan sel sasaran utama dari efek inhibisi yang dimiliki oleh IL-10. IL-10 menghambat pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi dari monosit/makrofag, dan hal ini akan 99 JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 15 Nomor 2 Agustus 2015 menghambat sekresi TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-8, G-CSF, dan GM-CSF.1 IL-10 juga menghambat presentasi antigen oleh monosit/makrofag. IL-10 menghambat proliferasi dan juga sintesis sitokin sel T CD4+, termasuk produksi IL-2 dan IFN-γ oleh Th1 dan IL-4 dan IL-5 oleh Th2.1 Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa terdapat pengaturan silang dan bersifat antagonis antara sitokin proinflamasi (Th1) dan sitokin anti-inflamasi (Th2), dimana IL-10 akan menghambat TNF serta IFN, begitu pula sebaliknya.1,4,27 Timbulnya komplikasi malaria berat ditentukan oleh keseimbangan antara kadar sitokin proinflamasi dan anti-inflamasi, yaitu berupa rasio IL-10 rendah. Rasio IL10: TNF-α yang kurang dari 1 beresiko mengalami malaria serebral dan anemia berat, sebaliknya rasio lebih dari 1 sering ditemukan pada pasien 1,27,28 hiperparasitemia. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya produksi IL-10 berhubungan dengan meningkatnya produksi TNF-α, yang kemudian diikuti oleh meningkatnya produksi IFN-γ. Perbedaan rasio ini ditentukan secara genetik berdasarkan polimorfisme gen promotor TNF; individu dengan alel TNF-238A dan TNF-376A akan mempunyai rasio IL-10 : TNF kurang dari 1.1,4,27 Suatu penelitian dengan menggunakan mencit menunjukkan bahwa IL-10 memainkan peranan yang penting pada host saat terjadinya infeksi malaria. IL-10 knockout mice (IL-10-/-) memang menunjukkan kadar parasitemia yang lebih rendah daripada mencit wild-type, namun mencit ini mengalami sejumlah kelainan berat seperti kelaian di hati dan cerebral.1 Sebenarnya, proses inflamasi (yang terlibat dalam proses eliminasi parasit) meningkat pada mencit IL-10-/-, namun inflamasi yang berlebihan (seperti dengan meningkatnya produksi IFNγ) juga muncul, dan hal ini mengakibatkan munculnya kondisi patologis di hati dan/atau di otak.1,27 Oleh sebab itu, keberadaan IL-10 dianggap penting untuk mensupresi munculnya kondisi patologis di hati dan otak di host saat terjadinya infeksi malaria. Penelitian lain yang menggunakan Plasmodium chabaudi pada mencit IL-10-/menunjukkan bahwa mencit-mencit knockout ini lebih rentan terhadap infeksi yang letal, serta mengalami anemia berat, hipoglikemia, dan memiliki konsentrasi IFN-γ dan TNF-α di plasma yang lebih tinggi daripada wild-type mice. Selain itu, mencit IL-10-/- juga menunjukkan adanya cerebral edama dan cerebral hemorrhages.27 Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Niikura M, Inoue S-I, Kobayashi F. Role of interleukin-10 in malaria: focusing on coinfection with lethal and nonlethal murine malaria parasites. Journal of Biomedicine and Biotechnology. 2011:1-8. Perkins DJ, Were T, Davenport GC, Kempaiah P, Hittner JB, Ong'echa JM. Severe malarial anemia: innate immunity and pathogenesis. Int J Biol Sci. 2011;7(9):1427-42. Combes Vr, El-Assaad F, Faille De, Jambou R, Hunt NH, Grau GER. Microvesiculation and cell interactions at the brain–endothelial interface in cerebral malaria pathogenesis. Progress in Neurobiology. 2010;91:140-51. Nugroho A. Patogenesis malaria berat. In: Harijanto PN, Nugroho A, Gunawan CA, editors. Malaria-dari molekuler ke klinis. 2nd ed. Jakarta: EGC, 38-63; 2008. Kementerian kesehatan RI. Epidemiologi malaria di Indonesia. Buletin jendela data dan informasi kesehatan. 2011. Noviyanti R. Patogenesis molekuler Plasmodium falciparum: kajian gen parasit yang berkaitan dengan virulensi. In: Harijanto PN, Nugroho A, Gunawan CA, editors. Malaria-dari molekuler ke klinis. Jakarta: EGC, hal 17-37; 2008. Newton CR, Hien TT, White N. Cerebral malaria. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2000;69:433-441. Perlmann P, Troye-Blomberg M. Malaria and the Immune System in Humans. In: Perlmann P, Troye-Blomberg M, editors. Malaria Immunology Chem Immunol. 100 NurWahyuniatidan Reza Maulana, Peran Interleukin-10 padaInfeksi Malaria 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Basel: Karger, vol 80, 229-242; 2002. p. 229-42. Hisaeda H, Yasutomo K, Himeno K. Malaria: immune evasion by parasites. The International Journal of Biochemistry & Cell Biology. 2005;37:700-6. Souza JBd, Riley EM. Cerebral malaria: the contribution of studies in animal models to our understanding of immunopathogenesis. Microbes and Infection. 2002;4:292-300. Ringwald P, Peyron F, Lepers JP, Rabarison P, Rakotomalala C, Razanamparany M, et al. Parasite virulence factors during falciparum malaria: rosetting, cytoadherence, and modulation of cytoadherence by cytokine. Infect Immun. 1993;61 (12):5198-204. Urban BC, Stevenson MM. Early Interactions Between Blood-Stage Plasmodium Parasites and the Immune System. 2005. In: Immunology and Immunopathogenesis of Malaria [Internet]. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag, 25-70. Fujioka H, Aikawa M. Structure and life cycle. In: Perlmann P, Troye-Blomberg M, editors. Malaria Immunology Chem Immunol. Basel: Karger, vol 80, 1-26; 2002. Boutlis CS, Riley EM, Anstey NM, Souza JBd. Glycosylphosphatidylinositols in Malaria Pathogenesis and Immunity: Potential forTherapeutic Inhibition andVaccination. 2005. In: Immunology and Immunopathogenesis of Malaria [Internet]. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag, 145186. Kwiatkowski DP. How malaria has affected the human genome and what human genetics can teach us about malaria. Am J Hum Gemet. 2005;77:171-92. Craig A, Hastings I, Pain A, Roberts DJ. Genetics and malaria - more questions than answers. TRENDS in parasitology. 2001;17:2:55-6. Adu B, Dodoo D, Adukpo S, Gyan BA, Hedley PL, Goka B, et al. Polymorphisms in the RNASE3 Gene Are Associated with Susceptibility to Cerebral Malaria in Ghanaian Children. Plos one. 2011;6:12:19. Walther M, Caul AD, Aka P, Njie M, Amambua-Ngwa A, Walther B, et al. HMOX1 Gene Promoter Alleles and High 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. HO-1 Levels Are Associated with Severe Malaria in Gambian Children. Plos pathogens. 2012;8:3:1-17. Kuesap J, Hirayama K, Kikuchi M, Ruangweerayut R, Na-Bangchang K. Study on association between genetic polymorphisms of haem oxygenase-1, tumour necrosis factor, cadmium exposure and malaria pathogenicity and severity. Malaria Journal. 2010;9:260:1-8. Hirayasu K, Ohashi J, Kashiwase K, Hananantachai H, Naka I, Ogawa A, et al. Significant Association of KIR2DL3-HLAC1 Combination with Cerebral Malaria and Implications for Co-evolution of KIR and HLA. Plos pathogens. 2012;8:3:1-12. Randall LM, Kenangalem E, Lampah DA, Tjitra E, Mwaikambo ED, Handojo T, et al. A study of the TNF/LTA/LTB locus and susceptibility to severe malaria in highland papuan children and adults. Malaria Journal. 2010;9:302:1-9. Clark IA, Budd AC, Alleva LM, Cowden WB. Human malarial disease:a consequences of inflammatory cytokine release. Malaria journal. 2006;5:85:1-32. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology. Philadelphia, USA: Elseviers-Saunders; 2012. Wykes MN, Liu XQ, Jiang S, Hirunpetcharat C, Good MF. Systemic Tumor Necrosis Factor Generated during Lethal Plasmodium Infections Impairs Dendritic Cell Function. J Immunol. 2007;179:3982-7. Depinay N, Franetich JF, ner ACG, Mauduit M, Chavatte J-M, Luty AJF, et al. Inhibitory Effect of TNF-a on Malaria PreErythrocytic Stage Development: Influence of Host Hepatocyte/Parasite Combinations. Plos one. 2011;6:3:1-8. Perlaza B-L, Sauzet J-P, Brahimi K, BenMohamed L, Druilhe P. Interferongamma, a valuable surrogate marker of Plasmodium falciparum pre-erythrocytic stages protective immunity. Malaria Journal. 2011;10:27:1-9. Sanni LA, Jarra W, Li C, Langhorne J. Cerebral edema and cerebral hemorrhages in interleukin-10-deficient mice infected with Plasmodium chabaudi. Infect Immun. 2004;72(5):3054-8. 101 JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 15 Nomor 2 Agustus 2015 28. Kurtzhals JA, Adabayeri V, Goka BQ, Akanmori BD, Oliver-Commey JO, Nkrumah FK, et al. Low plasma concentrations of interleukin 10 in severe malarial anaemia compared with cerebral and uncomplicated malaria. The Lancet. 1998;351:1768-72. 102