Bioenergi Berkah Semesta

advertisement
Bioenergi
BULETIN
Bergairah (Lagi) Berkat Alih Rupa
MEDIA KOMUNIKASI BIOENERGI
NO.
01
2015
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Limpahan Energi Kulit Mete
Akrab Teletong Raup Biogas
Berkah Semesta
di Tanah Sumba
Bioenergi
B U L E TI N
MEDIA KOMUNIKASI BIOENERGI
Penanggung Jawab
Ir. Rida Mulyana, M.Sc. (Dirjen EBTKE)
Redaktur
Dr. Ir. Dadan Kusdiana, M.Sc. (Direktur
Bioenergi)
Dra. Anna Rufaida, M.M.
Ir. Edi Wibowo, M.T.
Drs. Dotor Panjaitan
Agus Saptono, S.E, M.M.
Editor
Hartono, S Sos, M.M.
Iryan Permana Dharma, S.E.
Zulfan Zul, S.T. , M.B.A.
Trois Dili Susendi, S.T , M.T.
Efendi Manurung, S.T. ,M.T.
Tody Ferdica, S.T.
Hudha Wijayanto, S.T. , M.T.
Ibnu Syahrudin, S.E.
Sekretariat
Fitria Yuliani, S.T.
Galan Jaesa Perdana, S.Kom.
Octafiana Santi Dwihapsari, S.E.
Nita Apriliani Puteri, S.T
Unsaini Sabrina Tagfir, S.H Int.
Relany Fitriana , S.Ip
ISSN 2338-3968
Salam Hijau
Baru-baru ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, dan jajaran staf KESDM
melakukan kunjungan lapangan ke Kabupaten Sumba Timur. Kunjungan kerja tersebut untuk memantau
perkembangan pelaksanaan Program Pulau Sumba sebagai Pulau Ikonis Energi Terbarukan. Pada kesempatan
yang sama Menteri ESDM juga meresmikan pembangkit listrik mikrohidro (PLTMH) La Au yang terletak di Sumba
Timur. Berbagai program inisiatif KESDM, Bappenas, Hivos, Asian Development Bank, dan Kedutaan Norwegia
untuk Indonesia itu dimaksudkan untuk meningkatkan akses energi melalui pengembangan dan pemanfaatan
energi baru terbarukan di Pulau Sumba. Target terwujudnya ketersediaan energi yang berasal dari energi baru
terbarukan sebesar 100 persen. Dengan kerjasama strategis dari berbagai pihak, diharapkan program ini dapat
dilaksanakan dan dapat direplikasikan ke daerah lain terutama di bagian timur Indonesia. Gambaran nyata
pemanfaatan sumber energi terbarukan dari berbagai kekayaan di Sumba menjadi menu utama dalam edisi
kali ini. Kami juga mengetengahkan artikel mengenai pengelolaan biomassa dari sisa olahan kacang mede,
limbah jamu, dan ampas tebu. Keberhasilan riset mengenai ujicoba biodiesel berbahan baku campuran minyak
alga juga menjadi peluang baru sumber energi terbarukan. Simak juga langkah inovatif yang dilakukan Badan
Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Lamongan, Jawa Timur yang mampu mencari solusi sampah kota dan
mengolahnya menjadi sumber energi. Pemanfaatan biogas oleh Koperasi Agro Niaga (KAN) menjadi salah satu
menu lain yang terhidang dalam edisi kali ini. Selamat membaca.
Salam redaksi
Daftar Isi
LAPORAN UTAMA
Berkah Semesta di Tanah Sumba...................................................................................... Limbah Berlimpah Berkah ................................................................................................. Biomassa Penerang Desa..................................................................................................... Geliat Ekonomi Berkat Mentari.......................................................................................... Profil
Bergairah (Lagi) Berkat Alih Rupa...................................................................................... biomassa
Penerbit
Direktorat Bioenergi, Ditjen EBTKE
Alamat Redaksi
Jalan Pengangsaan Timur No. 1
Menteng, Jakarta 10320
Telp (021) 398 300 77, 319 245 83
Faks (021) 319 245 85
Email :
[email protected]
Website :
www.ebtke.esdm.go.id
Limpahan Energi Kulit Mede............................................................................................... Racik Ampas Jamu Jadi Energi........................................................................................... Merdeka Sampah, Menuai Listrik...................................................................................... biogas
Akrab Teletong Raup Biogas............................................................................................... regulasi
Mandatori B15: Demi Bergairahnya Pasar BBN............................................................. RISET
Menanti Aksi Generasi Ketiga............................................................................................. MANCANEGARA
Menyongsong Era Diesel Hijau.......................................................................................... BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
2
10
14
18
22
28
32
36
40
46
50
54
1
laporan utama
Berkah Semesta di
Tanah Sumba
2
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
laporan utama
“Masa depan kita adalah energi baru dan terbarukan. Semoga
Pulau Sumba bisa menjadi proyek percontohan sumber energi baru
terbarukan,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
Sudirman Said dalam sambutan peresmian Pembangkit Listrik Tenaga
Mikro Hidro (PLTMH) La Au, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT).
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
3
laporan utama
M
enteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Sudirman Said pada hari Selasa
dan Rabu 7—8 April 2015 melakukan
kunjungan lapangan ke Kabupaten Sumba
Timur. Kunjungan itu dalam rangka memantau
perkembangan pelaksanaan Program Pulau
Sumba sebagai Pulau Ikonis (lambang) Energi
Terbarukan (Program Sumba Iconic Island)
sekaligus meresmikan PLTMH La Au yang terletak
di Sumba Timur. Pada kesempatan yang sama,
Menteri ESDM juga memberikan lampu bertenaga
surya kepada 10 perwakilan SD di Sumba.
Tujuannya agar anak-anak tetap bisa belajar di
malam hari meski belum ada listrik yang masuk ke
rumah mereka.
Selain meresmikan PLTMH La Au, Sudirman
Said juga mengunjungi pembangkit listrik tenaga
bayu (PLT Bayu) yang berlokasi di dusun Kalihi,
Desa Kamanggih, Kecamatan Kahunga Eti,
Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT. Di sana,
beliau melakukan diskusi dengan masyarakat
mengenai manfaat adanya pembangkit ini serta
kendala yang dihadapi. “Kita harus perbanyak
pembangkit listrik seperti ini sebagai upaya
pemerataan energi di daerah terpencil,” kata
Sudirman.
Rombongan kunjungan lapangan itu juga
meninjau rumah warga yang berpartisipasi dalam
program Biogas Rumah (BIRU) Indonesia. BIRU
merupakan program pengadaan gas dengan
kotoran ternak sebagai bahan baku untuk
memasak di rumah. Program BIRU Indonesia
diprakarsai oleh Kementerian ESDM, Hivos, SNW,
Kedutaan Besar Norwegia, dan Yayasan Rumah
Energi.
Saat kunjungan Menteri ESDM didampingi
oleh Duta Besar Norwegia untuk Indonesia,
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT),
Pemerintah Kabupaten Sumba Timur, Pemerintah
Kabupaten Sumba Barat, Pemerintah Kabupaten
Sumba Tengah, dan Pemerintah Kabupaten
Sumba Barat Daya. Selain itu, perwakilan dari
PT. PLN (Persero) dan PT. BNI (Persero) serta
beberapa mitra internasional seperti Hivos, Asian
Development Bank (ADB), dan Danida juga ikut
mendampingi. Saat peninjauan lokasi. Kunjungan
lapangan itu juga dihadiri beberapa pejabat di
lingkungan Kementerian ESDM, termasuk Direktur
Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi
Energi, Rida Mulyana, Direktur Direktorat Bioenergi,
Dadan Kusdiana.
Sumba Iconic Island
Sumba memang tengah berbenah. Pulau
Sumba merupakan salah satu dari 4 pulau besar
yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Populasi penduduknya mencapai 656.259 jiwa
dengan tingkat kepadatan penduduk 58,62 orang
per kilometer persegi. Pulau seluas 10.710 km2
itu sejatinya menyimpan kekayaan alam luar
biasa. Matahari menyinari Bumi Marapu—julukan
Sumba yang berarti Bumi Para Arwah—sembilan
bulan penuh lamanya. Rerumputan tumbuh subur
sehingga cocok dijadikan padang gembala hewan
seperti sapi, kuda, kambing, dan babi. Sayangnya,
potensi itu terpendam lantaran minimnya akses
energi di pulau itu. Selama bertahun-tahun, Sumba
seolah tenggelam dalam kegelapan ketika malam
menjelang.
Kini, pulau itu mulai menuju cahaya baru. Angin
perubahan mulai berhembus sejak 2009. Saat
itu diluncurkan konsep mengenai Sumba Iconic
Island (SII). Inisiatif itu muncul dari Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Badan
Menurut Menteri ESDM, pembangkit listrik tenaga bayu dan surya harus diperbanyak sebagai
upaya pemerataan energi di daerah terpencil .
4
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
laporan utama
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu menjadi berkah bagi wilayah dengan kontur berbukit.
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),
dan Hivos, sebuah lembaga swadaya masyarakat
dari Belanda. Pemilihan Pulau Sumba sebagai
Pulau Energi Terbarukan berdasarkan hasil studi
yang dilakukan oleh Hivos pada 2010. Beberapa
pertimbangan yang melatar belakangi di antaranya
Pulau Sumba mempunyai akses terhadap energi
modern yang rendah. Rasio elektrifikasi pada
2010 sebesar 24,5% dan 29,3% pada 2013.
Konsumsi listrik per kapita hanya sebesar 42 kWh.
Bandingkan dengan rata-rata nasional sebesar
591 kWh. Hal lain ketergantungan Sumba pada
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) tergolong
tinggi, yakni mencapai 85%. Bahan bakar fosil itu
dikirim dari daerah lain lewat laut sehingga rentan
terhadap kondisi cuaca dan biaya pengangkutan
yang mahal.
Di sisi lain, Pulau Sumba menyimpan
kekayaan potensi energi baru terbarukan yang
belum banyak tergali, seperti air, angin, matahari,
dan biogas. Dengan potensi itu Sumba dijadikan
sebagai Pulau Ikonis. Itu artinya Sumba akan
menjadi pulau yang 100% kebutuhan energinya
berasal dari energi baru dan terbarukan.
Selanjutnya pada 2010 dan 2011, konsep
mengenai Pulau Ikonis ini dibahas dalam
pertemuan bilateral antara Pemerintah Indonesia
dan Pemerintah Belanda. Hivos sendiri telah
melaksanakan beberapa kegiatan awal dalam
rangka persiapan implementasi konsep Pulau
Ikonis lewat studi listrik on-grid dan off-grid. Empat
kabupaten di Pulau Sumba (Sumba Timur, Sumba
Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya),
PT. PLN dan Pemerintah Provinsi NTT segera
bergabung dengan menandatangi perjanjian
penting bagi masyarakat pulau. Pada November
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
2012, Bank Pembangunan Asia (ADB) bergabung
untuk mempercepat program ini. Lalu pada 2013,
Kedutaan Norwegia untuk Indonesia pun turut
serta mendukung Progam Pulau Ikonis Sumba.
Seluruh pihak tersebut menyatakan komitmen
untuk mewujudkan harapan Pulau Sumba sebagai
Pulau Ikonik Energi Terbarukan. Tidak hanya itu,
dibuat juga sebuah cetak biru (blue print) dan peta
jalan (road map) guna pelaksanaan Pulau Ikonis.
Program pengembangan Pulau Sumba sebagai
Pulau Ikonik Energi Terbarukan bertujuan untuk
menyediakan akses energi yang dapat diandalkan
Keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga
Mikro Hidro menjadi tumpuan dengan
memanfaatkan debit air sungai .
5
laporan utama
Duta Besar Norwegia untuk Indonesia
penandatangan PLTMH La Au
saat
bagi masyarakat pulau. Target terwujudnya
ketersediaan energi telah disusun, sebanyak
100% berasal dari energi baru terbarukan pada
tahun 2025. “Target itu kita majukan 5 tahun, dari
2025 menjadi 2020, bisa?” tanya Menteri ESDM
Sudirman Said. Beliau menantang para pemangku
kepentingan untuk mempercepat capaian energi
baru dan terbarukan di Pulau Sumba.
Target
Tantangan Menteri ESDM itu bukanlah
hal muluk yang tak mungkin terwujud. Potensi
tenaga angin yang luar biasa besar sehingga
bila dikombinasikan dengan tenaga air mampu
menggantikan listrik dari tenaga diesel yang
digunakan saat ini. Tentu saja biayanya akan
jauh lebih rendah. Jumlah ternak lebih dari cukup
untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar biogas.
Untuk listrik yang berada di luar jaringan (off-grid),
panel tenaga surya merupakan pilihan terbaik.
Sedangkan jaringan yang berada di lokasi terpencil
bisa menggunakan bermacam-macam kombinasi
dari sumber energi baru dan terbarukan.
Pulau Sumba memiliki potensi sumber daya
energi baru terbarukan cukup besar. Kapasitas
pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH)
sebesar 15 MW, sedangkan energi dari pembangkit
listrik tenaga angin mencapai 168 MW. Tingkat
radiasi surya 5 kWh/m2/hari cukup untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Berdasarkan data PLN
Area Pembangkitan NTT pada Oktober 2014,
total kebutuhan daya listrik di Pulau Sumba saat
ini sebesar 10,7 MW. Sedangkan pasokan daya
listrik saat ini mendekati 15 MW, di mana 20,2%
pasokan berasal dari energi baru terbarukan.
Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan
dan Konservasi Energi (EBTKE) sebagai ujung
tombak pemerintah selalu berperan aktif dalam
pencapaian Sumba sebagai Pulau Ikonis. Sejak
tahun 2011 hingga akhir Agustus 2014, upaya
pengembangan energi terbarukan terus dilakukan.
Para pemangku kepentingan yang tergabung
dalam Program Pulau Ikonis Sumba telah
membangun berbagai macam instalasi energi
baru terbarukan.
Pelaksanaan Program Pulau Ikonis itu
mempunyai pendekatan multi-actor (Pemerintah,
Penyerahan lampu surya kepada siswa sekolah dasar
6
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
laporan utama
swasta, perbankan, LSM, dan masyarakat) dan
multi-funding (APBN) swasta, hibah luar negeri,
dan masyarakat) yang mendorong para pemangku
kepentingan di sektor energi terbarukan
berkontribusi dalam pengembangan energi
terbarukan di Sumba. Sejak diinisasi pada 2011,
kapasitas total terpasang energi baru terbarukan
mencapai 5,87 MW dengan komposisi PLTMH
(mini dan mikro hidro) 70,3%, diikuti Pembangkit
Listrik Tenaga Surya (PLTS) 27,9%, PLT Bayu 1%,
PLT Biomassa 0,62%, dan sisanya 0,2% hibrida
antara pembangkit surya-bayu.
Sampai dengan tahun 2014, Ditjen EBTKE
juga melakukan dukungan terhadap program
Pulau Ikonis dengan melakukan pembangunan
infrastruktur energi baru terbarukan. Beberapa
instalasi yang sudah menghasilkan energi yaitu
1 unit PLTMH berkapasitas 32 kW; 6 unit PLTS
terpusat; 464 unit PLTS tersebar; 5 unit PLTB;
1 unit PLT biomassa kapasitas 30 kW; 220 unit
digester biogas; dan 2.200 unit tungku hemat
energi yang diserahkan kepada masyarakat. (Lihat
Tabel capaian program Sumba Iconic Island).
Saat ini rasio elektrifikasi di Pulau Sumba
mencapai 48,5% (data PLN Pembangkit
Area Sumba pada Oktober 2014) atau 37,4%
(perhitungan Dagi Consulting). Dari
rasio
elektrifikasi 37,4%. Dari rasio elektrifikasi tersebut
Menteri ESDM Sudirman Said saat peresmian PLTMH La Au di
Sumba Timur
TABEL CAPAIAN PROGRAM SUMBA ICONIC ISLAND
Realisasi
2011
Realisasi
2012
Realisasi
2013
Realisasi
2014
Akumulasi
Realisasi
2011—20014
PLTMH (mikro hidro, mini hidro)
2 unit
(52 kW)
5 unit
(1.505 kW)
3 unit
(1.632 kW)
2 unit
(232 kW)
12 unit
(3.421 kW)
PLTS Terpusat
11 unit
(43 kWp)
14 unit
(607 kWp)
8 unit
(45 kWp)
6 unit
(216,9 kWp)
39 unit
(911,9 kWp)
PLTS Tersebar
90 unit
(3,1 kWp)
11.054 unit
(328,86 kWp)
3.221 UNIT
(87,79 kWp)
464 unit
(19,35 kWp)
14.829 unit
(439,1 kWp)
Solar Water Pumping
N/A
2 unit
(5,16 kWp)
1 unit
(1,44 kWp)
N/A
3 unit
(6,6 kWp)
PLT Bayu
N/A
N/A
95 unit
(47,5 kW)
5 unit
(2,5 kW)
100 unit
(50 kW)
PLT Biomassa
N/A
N/A
1 unit
(30 kW)
N/A
1 unit
(30 kW)
61 unit
(360 m3)
221 unit
(1.606 m3)
526 unit
(4.088 m3)
220 unit
(1.412 m3)
1.173 unit
(7.946 m3)
Tungku Hemat Energi
N/A
1.600 unit
375 unit
125 unit
2.100 unit
Jaringan Distribusi
N/A
N/A
45,41 km
(JTM)
72,88 km
(JTR)
11,46 km
(JTM)
31,05 km
(JTR)
56,87 km (JTM)
104,93 km (JTR)
Akumulasi Kapasitas Terpasang (kW)
98,1
2.446,02
1.853,73
470,77
4.868,62
Instalasi
Biogas
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
7
laporan utama
Asa Baru dari La Au
“J
angan dilihat apa yang mau kita resmikan. Ini bukan soal besarnya kapasitas listrik yang dihasilkan, tetapi
soal membangun energi terbaru dengan mengambil Sumba sebagai living example,” kata Menteri ESDM
Sudirman Said saat menandatangani plakat peresmian PLTMH La Au di Desa Laimabonga, Kecamatan
Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT. Pembangunan PLTMH La Au mulai dirancang pada Desember
2013 dengan menggunakan saluran irigasi tanah sebagai sumber tenaga. Listrik yang dihasilkan pembangkit itu
langsung disalurkan kepada masyarakat (off-grid) dan dikelola oleh kelompok masyarakat. Dengan kapasitas 13 kWh,
PLTMH La Au mampu memberikan akses listrik kepada 26 rumah dengan 78 kepala keluarga. PLTMH La Au dibangun
oleh Bank BNI bekerjasama dengan Hivos.
PLTMH La Au menjadi harapan masyarakat sekitar untuk meraih masa depan yang lebih baik. Pasalnya, selama
puluhan tahun mereka hidup tanpa listrik. “Jika di kota besar seperti Jakarta, 13 kWh hanya sedikit manfaatnya,
untuk menyalakan AC saja belum tentu cukup. Namun di sini dampaknya luar biasa. Listrik bisa membentuk suatu
kebudayaan baru, dari malam yang gelap gulita menjadi terang benderang. Anak-anak bisa menikmati belajar dengan
nyaman,” ujar Sudirman.
Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) Tri Mumpuni
mengungkapkan, pada 1999 dirinya mungunjungi desa ini dan
menyaksikan kondisi masyarakat yang memprihatinkan. Rumahrumah warga banyak berada di atas bukit, sedangkan ketersediaan
air ada di bawah bukit. “Jadi setiap hari ibu-ibu mengambil air
di bawah bukit lalu di bawah ke rumahnya di atas, sementara
bapak-bapak pergi ke ladang,” ujar Tri yang menemani
kunjungan kerja Menteri ESDM ke Sumba Timur.
Tri mengisahkan, setiap hari para ibu harus
menghabiskan waktu 7 jam lamanya untuk mengumpulkan
air demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Saya
bertanya ke warga desa, kalau ibu-ibunya sudah tua, lalu
tidak sanggup lagi ambil air bagaimana? Jawab bapakbapaknya ya cari ibu-ibu yang lain, alias kawin lagi,” kata
Tri.
Adanya PLTMH yang digunakan untuk menyedot
air dari bawah bukit ke atas membuat para ibu tak perlu
bersusah payah mencari air. Dampak lain, waktu 7 jam yang
bisa dihemat Ibu-Ibu, karena tidak lagi ambil air di bawah
bukit, dimanfaatkan para ibu untuk menenun kain, sehingga
menambah pendapatan keluarga. “Betapa besar dampak
adanya listrik ini sehingga meningkatkan taraf hidup masyarakat
di desa,” kata Tri.***
Rencana Pembangunan Infrastruktur
Kementerian ESDM pada tahun anggaran 2015 akan melakukan pembangunan infrastruktur energi baru terbarukan
di Pulau Sumba. Total anggaran untuk mempercepat implementasi Pulau Ikonis Sumba sebesar Rp114.986.500 akan
digunakan untuk:
* Pembangunan PLT Biomassa kapasitas 1 MW di Sumba Barat;
* Pengembangan hutan energi 1 juta pohon kaliandra di Sumba Barat;
* PLT Bau di Sumba Barat;
* Revitalisasi 85 unit digester biogas di Sumba Barat Daya;
* Implementasi mobil listrik di Sumba Timur;
* PLTMH kapasitas 23 kW di Sumba Timur; dan
* Penerangan Jalan Umum (PJU) cerdas di Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, dan Sumba Selatan.
8
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
laporan utama
“Masa depan Sumba ada di energi baru dan terbarukan,” kata Menteri ESDM Sudirman Said.
ini sebesar 9,8% disumbang dari energi baru
terbarukan. Di luar pelanggan PLN, instalasi energi
terbarukan sudah menyediakan akses listrik bagi
4.158 rumah tangga. Selain itu, masyarakat juga
mendapatkan akses terhadap fasilitas biogas
yang menjangkau 881 rumah tangga dan fasilitas
tungku hemat energi bagi 2.100 rumah tangga di
seluruh Pulau Sumba.
Menurut Duta Besar Norwegia untuk
Indonesia, pemanfaatan energi baru terbarukan
diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup
penduduk setempat. “Saya ingin anak-anak bisa
menjadi Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa (Sekjen PBB) setelah desanya dialiri
listrik, sehingga mereka bisa belajar di malam
hari,” katanya. Harapan itulah yang mulai terbit di
Sumba.
Ketersediaan energi merajut asa warga Sumba
untuk kegiatan produktif. Sebut saja pemanfaatan
biogas untuk usaha nasi kuning dan tahu, serta
bio sluri untuk pupuk. Kegiatan pertukangan
pun turut hadir lewat energi listrik dari mikrohidro.
Kegiatan menenun yang dulu sulit dilakukan kala
malam, kini bisa berkat penerangan dari energi
angin. Tanah yang gersang pun turut bersolek
menjadi lahan pertanian nan hijau lantaran adanya
pompa air bertenaga surya. ***
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
Peternakan babi, sumber biogas bagi rakyat Sumba
9
laporan utama
Limbah Berlimpah
Berkah
Agustina tak perlu lagi bermandi asap dan peluh ketika hendak memasak. Kini ia hanya
tinggal memutar tombol kompor, biogas pun langsung aktif seketika.
S
ebelum 2014, Agustina, warga Desa
Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti,
Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) itu menggunakan kayu
setiap kali memasak. Sesekali ia menggunakan
kompor minyak tanah ketika sulit mendapatkan
kayu bakar pada musim hujan. Ia mencari kayu
di hutan sekitar desa dengan berjalan kaki selama
30 menit—60 menit. Setelah terkumpul kira-kira
seikat, ia memanggul ke rumah.
Kegiatan itu ia lakukan setiap hari meski hujan.
Jika Ina, panggilan akrab Agustina, berhenti
mencari kayu bakar jangan harap bisa memasak.
Warga lain di Desa Kamanggih juga mencari kayu
bakar di hutan. Mereka memilih kayu karena
terhitung murah, tinggal mengambil di hutan.
Namun, seiring waktu peluang mendapatkan
kayu semakin sulit karena banyak penebangan
liar. Akibatnya jarak mencari kayu bakar semakin
jauh.
Kondisi itu makin diperburuk dengan tingginya
harga sumber energi lain seperti minyak tanah.
Hingga Ina harus merogoh kocek sebesar
Rp10.000—Rp12.000 untuk membeli seliter
minyak tanah. Belum lagi ketersediaan minyak
tanah yang tak selalu ada. Minyak tanah kerap sulit
didapat saat kondisi cuaca tak menentu. Karena
itu, ketika tahun lalu ada program pemasangan
instalasi biogas, Ina tak segan untuk langsung
mendaftar.
Menteri ESDM meninjau instalasi kompor biogas di Sumba
10
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
laporan utama
Saat biogas berlebih penduduk bisa memanfaatkan untuk kegiatan menenun di malam hari
Multiguna
Hinggu membangun kandang untuk enam
ekor babi di belakang rumah. Ia menampung
kotoran babi yang mencapai 3—4 kg per hari per
ekor di ujung kandang. Kotoran itu lalu masuk
ke dalam bak berkapasitas 8 m3. Penampungan
itu disebut bak digester tempat berlangsungnya
fermentasi oleh bakteri anaerob. Penduduk lantas
memanfaatkan gas metana hasil dekomposisi
untuk memasak. Dengan demikian, kandang babi
selalu dalam keadaan bersih. Bau tak sedap pun
tak tercium karena semua kotoran termanfaatkan.
Dari 15—20 kg kotoran yang dihasilkan lima ekor
babi itu, Ina dapat menyalakan kompor 6—8 jam
nonstop.
Padahal, sekali memasak keluarga Hinggu
hanya memerlukan 1—2 jam sehari. Setiap 1 m3
/p biogas setara 0,62 liter minyak tanah. Artinya,
8 m3 biogas setara kebutuhan 4—5 liter minyak
tanah. Bandingkan ketika menggunakan kayu
bakar, ia menghabiskan rata-rata 30 ikat/bulan.
Jika menggunakan biogas, ia bisa menghemat
hingga rata-rata Rp50.000 setiap minggu.
Saat ini Hinggu memanfaatkan biogas untuk
memasak, sedangkan untuk penerangan ia masih
memanfaatkan minyak tanah. Jika produksi biogas
meningkat, ia pun akan menggunakannya untuk
penerangan di rumah. “Jadi, saya bisa menenun
saat malam hari,” kata Hinggu. Harga satu lembar
kain tenun Sumba berukuran 1 m x 2 m berkisar
Rp500.000—700.000.
Manfaat lain dari biogas adalah bioslurry, yaitu
pupuk yang diperoleh dari ampas kotoran biogas.
Setiap minggu, Ina menyaring kotoran babi yang
sudah mengendap dan kehilangan gas metana.
Ia lalu menggunakan kotoran sebagai pupuk dan
menyebarkannya di lahan yang berada 5 m di
depan kandang.
Hasilnya mengagumkan. Lahan seluas 10
m x 5 m itu awalnya lahan tidur dan hanya
mampu ditumbuhi rerumputan. Namun, setelah
menggunakan bioslurry, Ina bisa menanam
beragam sayuran. Ia juga dengan bangga
memamerkan sayuran yang tampak tumbuh subur
di halaman rumahnya kepada Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said,
Duta Besar Norwegia, dan rombongan yang
sedang melakukan kunjungan lapangan.
Sosialisasi
Pemakaian biogas mudah dan hemat
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
Warga Desa Kamanggih memang memelihara
rata-rata 3—5 ekor babi. Artinya volume kotoran
11
laporan utama
Bioreaktifator bahan pembuat pupuk organik cair
mencapai 15—25 kg sehari. Memelihara babi
memang tidak bisa dilepaskan dari keseharian
masyarakat Sumba. Babi merupakan hewan
yang wajib dipelihara karena selalu digunakan
dalam setiap ritual kehidupan mereka. Walhasil
kepemilikan babi lebih menjamin keberlanjutan
pasokan sumber bahan baku bagi reaktor biogas
dibanding kuda atau sapi.
Selama ini kotoran menumpuk sehingga
menimbulkan bau tak sedap. Menurut Robert de
Groot, Programme Manager Hivos, warga belum
memanfaatkan kotoran babi. Padahal, kotoran
hewan itu merupakan salah satu sumber daya
energi terbarukan. Pada mulanya warga Desa
Kamanggih tak berminat pada biogas. Babi yang
mereka pelihara dilepaskan di sekitar rumah tanpa
ada upaya memanfaatkan kotorannya. Kalaupun
ada kandang, biasanya terletak di bawah rumah
dan beralas tanah.
Padahal, agar kotoran babi bisa dimanfaatkan
sebagai bahan baku biogas, maka babi harus
tinggal di dalam kandang yang alasnya berlapis
semen. Tujuannya agar kotoran tidak bercampur
dengan tanah saat dimasukkan ke dalam reaktor.
Maklum saja di Sumba masih banyak warga
memelihara babi dengan cara membelenggu
salah satu kaki depan babi dengan tali lalu
mengikatnya ke sebatang pohon di halaman.
Masyarakat mengenal lebih dekat biogas pada
2011 ketika Yayasan Rumah Energi melakukan
Lahan pekarangan Ina subur berkat bioslurry
12
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
laporan utama
Sayuran siap panen sebagai sumber pendapatan tambahan keluarga
sosialisasi. Program itu bertujuan agar masyarakat
dapat segera mengatasi masalah kotoran
babi dan mendapat manfaat lain dari biogas.
Agi Cakradirana, Deputy Programme Manager
Hivos mengatakan, “Awalnya masyarakat masih
beranggapan membiarkan limbah lebih efektif
daripada membangun reaktor biogas berbiaya
jutaan rupiah,” kata Agi. Biaya untuk membuat
biogas bervolume 8 m3 sebesar Rp15-juta. “Itu
sudah termasuk biaya pelatihan,” kata Agi.
Hivos adalah lembaga swadaya masyarakat
dari Belanda yang ditunjuk sebagai konsultan
program BIRU (Biogas Rumah), yaitu program
kerjasama Pemerintah Indonesia (Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral) dan Kerajaan
Belanda untuk membantu pengembangan
sektor biogas di Indonesia. Program BIRU
berencana membangun 900 biodigest di seluruh
Pulau Sumba. “Sejak 2011—2014, kami sudah
membangun 206 biodigest. Namun sebenarnya
target kami jauh di atas angka itu,” ujar Robert.
Sementara di Indonesia total biogas yang sudah
terbangun sebanyak 14.500 unit.
Untuk mendukung keberlanjutan program
BIRU, Hivos melibatkan masyarakat setempat.
Di daerah lain di Indonesia, sebagian besar
dana pembangunan reaktor biogas ditanggung
masyarakat, sedangkan subsidi dari Program Biru
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
hanya berkisar 20—30%. Namun, rendahnya daya
beli masyarakat Sumba membuat Hivos merevisi
kebijakan tersebut. “Kami mendapat subsidi dari
donor seperti Pemerintah Norwegia, Belanda,
dan Jerman sehingga masyarakat Sumba bisa
mengakses energi dengan usaha yang terbatas.
Masyarakat menanggung sekitar 20% komponen
biaya sehingga harganya bisa lebih hemat,” kata
Robert. Partisipasi warga Sumba di antaranya
dengan menyumbang batu atau pasir untuk
membuat reaktor.
Satu instalasi biogas bisa bertahan cukup
lama, yaitu 15—20 tahun. Masyarakat Sumba
tidak perlu khawatir mengenai perawatan karena
mendapat pelatihan intensif dan pengecekan
setiap tahun. Beragam kemudahan yang ia dapat
dari Biogas membuat Ina tak ragu membantu
memperkenalkan progam ini kepada para
tetangga. Kini, sudah ada 30 rumah di Desa
Kamanggih yang mendapat keuntungan dari
penggunaan biogas. Ia berharap tak hanya
keluarganya yang merasakan manfaat biogas:
kotoran babi tak tercecer di halaman rumah
sehingga lingkungan lebih bersih dan sehat; biaya
perlu mencari kayu bakar dan membeli minyak
tanah; bisa menenun sepanjang hari; dan bisa
berkebun di halaman rumah. ***
13
laporan utama
Biomassa
Penerang Desa
Panen padi selalu menyisakan limbah berupa gunungan sekam setinggi 2—3 meter di
halaman belakang rumah Umbu Tamu di Desa Rakawatu, Kecamatan Lewa, Kabupaten
Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemanfaatan limbah sekam padi selama ini
hanya untuk memenuhi kebutuhan peternakan ayam atau diolah sebagai pakan. Ada juga
yang mendekomposisi sekam padi sehingga menjadi pupuk organik yang baik untuk lahan
sawah. Namun, Umbu selalu membersihkan sekam-sekam itu dengan cara membakarnya
hingga menjadi abu. “Cara paling praktis ya dibakar, lalu abunya disebar kembali ke sawah,”
ujar Umbu.
Potensi berlimpah dari limbah sekam padi di Lewa Sumba timur
14
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
laporan utama
Instalasi pembangkit listrik tenaga Biomassa di Lewa
U
mbu tetap membakar sekam-sekam itu
hingga kini. Namun, ia memetik faedah lain
dari limbah pertanian itu. Hasil pembakaran
sekam dimanfatkan lagi menjadi sumber energi
listrik di desanya. “Ini berkat adanya pembangkit
listrik tenaga biomassa,” kata Umbu. Untuk
membangkitkan listrik, Umbu membutuhkan
pasokan sekam padi sebanyak 45 kg per jam.
Sekam padi merupakan produk sampingan dari
proses penggilingan butiran beras, dengan 20%
dihasilkan dari jumlah beras tergiling. Sekam
padi dimasukkan ke dalam tungku pembakaran
berdiameter 1 meter. Sekam dibakar dengan
kontrol oksigen yang diatur pada suhu tertentu,
yakni sekitar 800—900 0C.
Biomassa dibakar dengan udara terbatas,
sehingga gas yang dihasilkan sebagian besar
mengandung hidrogen, karbonmonoksida, dan
metana. Gas-gas tersebut kemudian direaksikan
lagi dengan oksigen (diperoleh dari udara) sehingga
dihasilkan panas dari pembakaran tersebut.
Pembakaran dilakukan selama 30 menit sehingga
sekam mengeluarkan syngas atau gas sintetis.
Syngas inilah yang nantinya memutar turbin dan
menghasilkan listrik.
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
Biomassa
Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLT
biomassa) memang masih tergolong baru di
Indonesia. PLT biomassa itu mulai beroperasi
pada tahun 2013. Pembangunan PLT biomassa
diinisiasi oleh Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM). Mesin yang digunakan
adalah mesin untuk gasifikasi yang mengubah
bahan sekam menjadi gas.
Gasifikasi merupakan suatu proses mengubah
material karbon seperti, batubara, bensin, biofuel
atau biomasa menjadi karbon monoksida dan
hidrogen dengan mereaksikan material-material
tersebut pada suhu tinggi dengan gas oksigen dan
atau uap air dalam jumlah tertentu. Hasil dari proses
ini adalah gas yang disebut sebagai synthesis gas
atau syngas. Dengan proses gasifikasi ini didapat
energi dari berbagai jenis material organik untuk
dapat diumpankan pada generator gas secara
tepat dan bersih.
Keunggulan dari gasifikasi adalah dengan
menggunakan syngas didapat energi yang lebih
efisien jika dibandingkan dengan pembakaran
langsung. Berbeda dengan pembangkit listrik
tenaga uap (PLTU) yang hanya memanfaatkan
15
laporan utama
Umbu Tamu (paling kiri) berhasil memanfaatkan sekam padi sebagai pembangkit listrik
Gasifikasi biomassa mampu memutar turbin
yang akan menghasilkan listrik
16
uap yang merupakan hasil pemanasan air dari
pembakaran langsung material karbon. Pada
pembakaran langsung banyak sekali unsurunsur yang berguna seperti karbon monoksida
dan hidrogen terbuang percuma. Dengan tingkat
efektifitas dan efisiensi yang tinggi konversi energi
primer seperti batubara atau biomass dapat
diubah menjadi energi listrik dengan menggunakan
mesin generator gas biasa. Dengan demikian
proses konversi energi primer menjadi listrik lebih
sederhana dibandingkan dengan PLTU.
PLT biomassa di Desa Rakawatu, Lewa memiliki
kapasitas 30 kW dan mampu menyediakan
listrik untuk 65 rumah. Biaya listrik untuk satu
bulan adalah Rp35.000 bagi rumah tangga yang
tidak memiliki televisi. Sedangkan keluarga yang
mempunyai TV di rumah harus membayar biaya
listrik lebih besar, yakni Rp50.000 per bulan.
“Itu untuk biaya operasional dan perawatan PLT
biomassa,”kata Umbu.
Meski biaya listrik tergolong murah, nyatanya
tetap saja ada keluarga yang menunggak
pembayaran. “Sebenarnya biaya segitu sudah
murah, tapi masih ada masyarakat yang belum
bisa rutin membayar,” kata Umbu. Namun,
berbeda dengan PLN yang langsung memutuskan
hubungan jika pelanggan menunggak pembayaran,
Umbu tetap membiarkan sambungan ke rumahrumah pelanggan. Pasalnya, pemutusan hubungan
itu justru akan menjadi beban bagi pelanggan
yang lain. “Nanti biaya listrik justru naik karena
pelanggan sedikit. Kalau memang sudah habis
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
laporan utama
biaya operasionalnya, ya PLT biomassa tidak
diaktifkan,” kata Umbu.
Agar PLT biomassa tetap mengalirkan listrik,
Umbu tidak hanya menerima dalam bentuk uang. Ia
juga menerima pembayaran dalam bentuk sekam
padi. Meski begitu, kendala lain menghadang.
Para petani di Pulau Sumba harus berhadapan
dengan musim berbeda setiap tanam. “Jika
musim kemarau berkepanjangan, biasanya petani
gagal panen,” kata Umbu. Dampaknya, sekam
yang diperoleh sedikit dan tidak memadai untuk
menyalakan pembangkit.
Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki
potensi besar dalam mengelola PLT biomassa.
Hampir semua jenis tanaman dapat tumbuh
di atas bumi Indonesia sehingga membuat
produk pertanian berlimpah ruah. Dari kegiatan
pengolahan produk pertanian inilah lantas
dihasilkan residu yang bisa dimanfaatkan sebagai
sumber biomassa, misalnya: sekam padi, tongkol
jagung, cangkang kelapa sawit, kulit tanduk kopi,
cangkang kemiri, dan lain-lain.
Lewa merupakan salah satu daerah lumbung
padi di Pulau Sumba, Nusa TenggaraTimur.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumba
Timur tahun 2013, Lewa menghasilkan 77 ton
padi per tahun. Itu berarti, ada potensi 15,4 ton
sekam padi yang bisa dijadikan sumber bahan
baku pembangkit listrik tenaga biomassa.
Sayangnya, belum banyak yang memanfaatkan
limbah pertanian itu sebagai bahan baku untuk
menghasilkan listrik. Pasalnya, biaya investasi awal
untuk menerapkan teknologi ini secara modern
tidak murah. Namun bila dibandingkan dengan
manfaat yang diberikan sekiranya teknologi ini
patut dan pantas untuk dikembangkan di negeri ini.
Peran peneliti dan pemerintah sangat dibutuhkan
untuk mengembangkan teknologi ini hingga
sanggup mereduksi biaya gasifikasi biomassa.
Dengan menghargai semua sumber daya yang
ada di negara ini, kesejahteraan akan energi akan
mudah digenggam bangsa Indonesia.***
Tangki air berfungsi untuk menurunkan suhu
Komposisi gas hasil
Pembangkit berkapasitas 50 kVA
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
17
laporan utama
18
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
laporan utama
Geliat Ekonomi
Berkat Mentari
Lahan subur itu tak lagi tertidur, beragam sayuran seperti caisin,kol, dan tomat
tumbuh di atasnya, menjadi mata pencaharian baru bagi warga Lewa, Sumba
Timur.
Aliran air yang berlimpah membuat warga bisa bercocok tanam di lahan yang dulu tandus
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
19
laporan utama
S
ejak 2013, pemandangan berbeda terlihat
di Desa Kondamora, Kecamatan Lewa,
Kabupaten Sumba Timur. Sepanjang
mata memandang, hanya ilalang yang sanggup
tumbuh dan bertahan. Lahan seluas 5 ha itu
kering kerontang ketika musim kemarau datang.
Menurut Made Raspita, petani, pemanfaatan lahan
paling dilakukan saat musim penghujan. “Paling
hanya jagung yang bisa kami tanam di lahan itu,”
ujar Made. Selepas itu, saat musim kemarau lahan
kembali tertidur.
Kondisi lahan yang berada di ketinggian
memang menyulitkan. Padahal sejatinya ada
sumber air berupa embung yang berada tidak jauh
dari lahan. Hanya saja posisi embung berada di
bawah permukaan tanah sehingga membutuhkan
pompa untuk menaikkan ke atas. Kondisi itu
diperparah dengan ketiadaan listrik untuk
menghidupkan pompa.
Merasa ingin “menaklukan kekeringan”,
Umbu Johanes, menggunakan generator diesel
untuk memompa air. Namun, konsumsi solar
untuk diesel tergolong tinggi karena musim
kemarau yang panjang. “Di sini musim kemarau
bisa berlangsung selama 8—9 bulan, sedangkan
musim hujan hanya sekitar 3 bulan,” kata Umbu.
Alhasil, lahan itu menganggur selama bertahuntahun. Potensi air yang melimpah pun hanya
terbiarkan terbengkalai.
Tenaga surya
Kondisi itu berubah memasuki awal 2013.
Sebagai bagian dari komitmen memajukan energi
baru dan terbarukan dalam rangka Pulau Ikonis
Sumba, Hivos, Winrock, dan Yayasan Sumba
Sejahtera memprakasai pemasangan pompa air
bertenaga surya. Pompa air itu merupakan aplikasi
pertama sistem tanpa baterai untuk pembangkit
listrik di Sumba. Panel surya tergabung dengan
pompa melalui unit kontrol sehingga dapat
memompa air ke resevoir ketika ada cahaya
matahari.
Pompa berkapasitas 1,5 kW itu mampu
mengalirkan air sebanyak 80 m3 per hari. Air yang
tertampung selanjutnya dialirkan menuju irigasi
berlapis semen. Irigasi sepanjang 100 meter dan
lebar 50 cm itu menjadi penampung air sebelum
dimanfaatkan ke lahan. Dengan demikian, air
yang tertampung di embung bisa disalurkan untuk
mengairi lahan pertanian.
Berkat air yang kini berlimpah, Made bisa
tersenyum lega saat kemarau datang. Kini, lahan
tidur itu bersalin rupa menjadi lahan subur. Pria
kelahiran Bali rutin memanen beragam sayuran
setiap pagi, seperti caisin, seledri, dan bayam.
Sekarang saya bisa memanen aneka macam.
Hasil panennya sebagaian saya konsumsi untuk
keluarga, semakin lagi saya jual,” kata Made
dengan wajah berseri. Ia lalu menjual hasil kebun
itu di Pasar Lewa. Ia biasa menjual hasil kebun itu
di Pasar Lewa.
Sejahtera
Berkah dari lahan pertanian juga dirasakan
Lidia Awang. Lidia merasakan betul peningkatan
ekonomi yang terjadi setelah pompa air tenaga
surya itu berfungsi. “Saya bisa bangun rumah
dari hasil bertani,” kata Lidia. Ketua Kelompok
Tani Wanita itu kini bisa memiliki rumah berdinding
bata dan semen. Sebelumnya, wanita berusia 41
tahun itu tinggal di rumah tradisional Sumba yang
berdinding rotan dan beratap jerami.
Ibu lima anak itu juga tak perlu pusing
memikirkan biaya sekolah anak-anaknya. “Dari
hasil panen saya bisa beli seragam untuk anak,”
kata Lidia. Ia menjual sayuran seperti pakcoy,
caisin, dan kol dengan harga Rp5.000 per ikat,
sedangkan tomat Rp6.000 per mangkok. Lidia
mendapat laba sekitar Rp 1,8-juta selama satu kali
musim tanam.
Keberadaan pompa air tenaga surya itu
membuka beragam kesempatan peningkatan
pengetahuan dan ekonomi bagi warga sekitar.
Total kenaikan pendapatan petani perempuan
dari 22 keluarga mencapai Rp15-juta. Sedangkan
estimasi pendapatan petani di Lewa dari hasil
pertanian mencapai Rp48,5-juta.
Tersebar
Lidia Awang (baju merah) beserta kedua anak dan kerabat
20
Pulau Sumba memang berlimpah cahaya
yang menjadi anugerah penduduknya. Matahari
dipilih sebagai sumber energi berdasarkan data
bahwa radiasi surya di Pulau Sumba tergolong
tinggi. Sinar surya mampu mencapai kapasitas
pembangkitan 7 kWh/m2 di beberapa wilayah yang
hanya sedikit tertutup awan. Sedangkan rata-rata
harian radiasi matahari (solar insolation) di Sumba
adalah 5 Kwh/m2/hari. Itu berarti matahari bersinar
5 jam sehari dengan radiasi matahari 1.000 watt/
m2. Jika Pulau Sumba memiliki luas 11.153 km2,
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
laporan utama
maka potensi energi surya di pulau ini mencapai
55.765 Giga Watt.
Berdasarkan data itu, Kementerian Eenergi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama
mitra membangun beragam Pembangkit Listrik
Tenaga Surya (PLTS) di seluruh penjuru Sumba.
Sejak tahun 2011 hingga 2014, sudah 14.892 unit
PLTS tersebar yang berada di Pulau Sumba. Total
kapasitasnya mencapai 439,1 kWp. Sedangkan
PLTS terpusat yang dibangun jumlahnya mencapai
39 unit dengan total kapasitas sebanyak 911,9
kWp.
Di Sumba Timur, Adrianus Takajanji menikmati
betul terang dari matahari setelah berkubang dalam
kegelapan. Warga Kampung Papu, Kelurahan
Watumbaka, Kecamatan Pandawai, Sumba Timur
itu sudah menikmati lokasi transmigrasi lokal sejak
2004. Namun, baru pada 2006 ia menikmati terang
dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)
berkapasitas 5 kWp.
PLTS tidak hanya berasal dari pembangunan
pemerintah. Tenaga surya juga dimanfaatkan Adi,
seorang warga di Sumba Timur, untuk menghasilkan
penerangan di rumahnya. Pemanfaatan tenaga
surya tidak hanya menyasar penerangan rumah
tangga. Berdasarkan pengamatan, lampu-lampu
lalu lintas di seantero Waingapu, Sumba Timur
pun turut memanfaatkan energi surya.
Modern
PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, serta
Pemerintah Sumbaya pun turut bekerja sama
membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya
di Pulau Sumba. PLTS yang berada di Desa
Bila Cenge, Kodi Utara, Sumba Barat Daya itu
berkapasitas 500 kWp. Kapasitas sebesar itu
membuat PLTS Bila Cenge mampu menerangi
Peningkatan ekonomi dari hasil bertani terlihat dengan adanya
rumah berdinding bata
1.000 rumah dengan “jatah” masing-masing
rumah 500 Watt.
PLTS yang menempatilahan seluas 2 ha
itu sangat modern dan diklaim tercanggih seIndonesia. PLTS Bila Cenge menggunakan
modul fotovoltaik (PV) jenis thin film atau film
tipis. Jenis sel surya ini terbuat dari bahan
semikonduktor amorphous silicon. Teknologi sel
surya memanfaatkan double junctions, bagian atas
menggunakan thin film sementara bagian bawah
kristalin film yang memiliki konversi efisiensi
9—10%. Keunggulan lain jenis thin film relatif lebih
stabil terhadap perubahan radiasi dibanding PV
jenis kristalin.
PLTS Bila Cenge juga memanfaatkan perangkat
baterai generasi baru berkapasitas 500 kWh per
hari. Tujuannya agar fluktuasi keluaran daya PLTS
rendah sehingga poenetrasi eneri yang dihasilkan
PLTS lebih optimal. Saat malam menjelang, kala
PLTS tak bisa mengubah energi matahari menjadi
energi listrik, giliran baterai yang bekerja. ***
Embung tempat menyimpan cadangan air di musim kemarau
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
21
profil
Bergairah (Lagi)
Berkat Alih Rupa
Pabrik yang berlokasi di Sidoarjo itu berhasil menyulap “penampilan” menjadi industri
bermasa depan cemerlang.
22
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
profil
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
23
profil
PG Kremboong, pabrik gula tertua di Indonesia merupakan salah satu unit usaha PT Perkebunan Nusantara
(PTPN) X
S
ungguh, pengalaman pabrik
yang berlokasi di Sidoarjo
itu mengingatkan dongeng
klasik, upik abu di kisah Cinderella.
Digambarkan
sebagai
gadis
berpenampilan buruk, tiba-tiba Upik
Abu mampu menjelma menjadi putri
nan cantik. Itu semua berkat tangan
ajaib ibu peri yang merasa prihatin
dengan nasib anak yang tinggal
dengan ibu tirinya.
Kisah PG Kremboong bermula
dari isu penutupan pabrik gula yang
menjadi wacana Pemerintah kala itu.
Pemicunya, rencana efisiensi sejumlah
industri gula yang ditenggarai merugi.
Utamanya, pabrik-pabrik berkapasitas
produksi rendah atau di bawah 2.000
ton per hari. Maklum saja, lebih dari
60% pabrik gula yang ada di tanah air
rata-rata berumur di atas 100 tahun.
Kondisi itu kian rumit ketika
menyaksikan penampilan seluruh
peralatan pabrik gula yang kebanyakan
terbilang kuno. Disebut kuno lantaran
masih
menggunakan
teknologi
lama. PG Kremboong termasuk
salah satunya. Sebagai unit usaha
PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X
24
Gunungan limbah ampas tebu menyimpan potensi besar sebagai sumber
energi terbarukan
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
profil
Jajaran Direksi dan Manajemen PG
Kremboong
tergolong pabrik gula generasi pertama
di Indonesia. Industri tersebut telah
beroperasi sejak 1847.
Saat usianya memasuki usia 165
tahun, manajemen PG Kremboong
berpikir ulang melihat kondisi pabrik
yang tak kunjung membaik. Sejumlah
masalah timbul akibat penurunan
kapasitas
produksinya.
Melalui
pemikiran dan pembicaraan intensif,
akhirnya diputuskan untuk melakukan
peremajaan
besar-besaran
yang
dilakukan secara bertahap. Pabrik
yang berlokasi di Dusun Krembung,
Kecamatan Krembung, Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur itu kemudian
mengganti beragam peralatan lama
dengan mesin-mesin baru yang jauh
lebih efisien.
Contohnya, mengganti mesin
uap lama dengan mesin elektromotor.
Demikian pula dengan penggantian
boiler bertekanan rendah dengan
mesin bertekanan tinggi. Selain itu,
saringan nira mentah diganti menjadi
lebih modern. PG Kremboong juga
melakukan penggantian mesin putaran
penggiling tebu yang semula 18 unit
mesin manual menjadi 2 unit mesin
otomatis. Serangkaian penggantian
mesin itu mau tidak mau menghabiskan
dana besar.
“Tidak dapat disangkal bahwa
peremajaan pabrik membutuhkan
investasi
besar
dengan
masa
pengembalian relatif lama,” terang
Kepala Bagian Instalasi PG Kremboong,
Santoso WD, ST. Peremajaan pun
menghabiskan dana Rp160-miliar
dengan waktu pengembalian investasi
8 tahun.
Namun, pengorbanan itu akhirnya
berbuah manis. Dengan kapasitas
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
PG Kremboong investasi pembelian
mesin pencetak pelet bagas tebu
baru
terpasang giling tebu 2.500 TCD
(Ton Canes per Day), PG Kremboong
termasuk pabrik dengan kapasitas
produksi di atas rata-rata. Setelah
program revitalisasi, kapasitas produksi
bahkan melonjak hingga 2.700 TCD.
Bandingkan dengan produksi sebelum
yang hanya mencapai 1.600 TCD.
Mesin putaran penggiling baru juga
mampu menekan kehilangan rendemen
dari 2,8 % menjadi 2,3 % sehingga
kuantitas gula yang dihasilkan pun
berlipat.
Ampas Tebu
Sisi
positif
lainnya,
berkat
penggunaan mesin baru, konsumsi
bahan bakar fosil pun kini ditinggalkan.
Sebagai
pengganti,
seluruhnya
digunakan bahan bakar non fosil yakni
ampas tebu. Penggantian boiler ketel
Pelet ampas tebu produk olahan
ampas tebu yang berpeluang besar
dipasarkan hingga mancanegara
25
profil
Industri pengolahan tebu menjadi salah satu industri yang banyak melibatkan perkebunan rakyat sebagai penggeraknya
tengah menjadi sorotan terkait tingkat efisiensi yang terus menurun
uap lama yang sebelumnya masih
mencampur ampas tebu dengan kayu
bakar, minyak tanah, dan batu bara
sebagai bahan bakar. dengan adanya
boiler baru, saat ini hanya digunakan
bahan bakar full ampas tebu. “Bahan
bakar fosil sudah sama sekali tidak
digunakan,” tutur Gatot Subijakto,
MMA, General Manajer PG Kremboong.
Manajer Instalasi PG Kremboong,
Santoso WD, ST, mengungkapkan,
penggantian mesin berperan penting
meningkatkan efisiensi.
“Boiler baru menghapus biaya
pembelian bahan bakar kayu bakar
yang mencapai Rp700-juta—Rp800juta per tahun,” terang Abdul Aziz
Purmali, ST, Manajer Pengolahan PG
Kremboong. Tak hanya dari jenis bahan
bakar, nilai tambah yang diperoleh pun
kian berlipat lantaran jumlah ampas
yang dihasilkan boiler baru. Mesin itu
26
mampu menghasilkan ampas 30 ton
per jam. Dari jumlah tersebut, sekitar
24,37 ton per jam dipakai sebagai
bahan bakar boiler. Dengan kehadiran
limbah penggilingan itu, 100% bahan
bakar boiler digantikan oleh ampas
tebu sepanjang musim giling. Bisa
dibayangkan nilai penghematan
yang dihasilkan berkat penggunaan
ampas tebu selama setahun. Itu
setara dengan Rp5,5-miliar bahan
bakar minyak.
Semakin efisien mesin boiler,
kebutuhan ampas untuk pembakaran
pun makin sedikit. “Sekali proses
operasional boiler, masih terdapat
sisa 5,8 ton ampas per jam. Sejak
mesin baru terpasang, sisa ampas
ini menjadi “pekerjaan rumah” karena
ruang penyimpanan yang terbatas,”
imbuh Abdul Aziz. Kelebihan ampas
yang kian membukit akhirnya
memerlukan tambahan ruang seluas
1.000 m2 untuk menampungnya.
Beruntung, Abdul Aziz dan tim di
Bagian Pengolahan jeli menangkap
peluang. Sisa ampas yang berlimpah
lalu diolah menjadi pelet. Setelah jadi,
diberikan kepada pabrik gula lain di
lingkup PTPN X untuk bahan bakar ketel
uap. Upaya itu kemudian berkembang
serius, terbukti pada akhir 2013,
pabrik membeli mesin produksi pellet
bagasse atau pelet ampas yang mulai
dioperasikan setahun kemudian. Pelet
produksi PG Kremboong dipasarkan
dengan harga Rp600 per kg dalam
bentuk curah maupun kemasan
kantong plastik berukuran 10 kg.
Pilihan
PG
Kremboong
memproduksi pelet ampas memang
tepat. Peluang pasar pelet ampas
terbuka lebar hingga mancanegara.
Apalagi
hasil
uji
laboratorium
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
profil
Potensi
Kogenerasi
Uap panas pembakaran ampas tebu
telah lama dimanfaatkan sebagai
bahan bakar alternatif pengganti
bahan bakar minyak
Universitas Gajah Mada Yogyakarta
(UGM) membuktikan, pelet ampas
produksi PG Kremboong memenuhi
standar DIN 51731 dengan kualitas
ekspor.
Achmad Perdana Haris SE, Asisten
Manajer Keuangan PG Kremboong,
menggambarkan pasar pelet ampas
lokal yang demikian luas, salah satunya
permintaan dari satu pabrik makanan
mencapai 1.000 ton per bulan. Jepang
bahkan meminta lebih tinggi yakni 3.500
ton setiap bulan, sementara Korea
membutuhkan pelet ampas untuk
bahan bakar alat penghangat ruangan
ramah lingkungan. “Permintaan itu
terpaksa ditolak karena produksi hanya
mencapai 100 ton per bulan,” terang
Achmad Perdana. Kapasitas mesin
pelet yang ada memang terbatas,
500—800 kg per jam.
Sebelum memproduksi pelet,
pabrik pernah memproduksi briket
ampas berdiameter 10 cm dan panjang
40 cm. Sayangnya, pasar briket
kurang berkembang. Karena itu pabrik
kini lebih fokus memproduksi pelet
ampas. Pelet cenderung lebih unggul
lantaran lebih padat dan berkadar air
lebih rendah. Itu sebabnya kualitas
pembakaran jauh lebih baik dan efisien
serta ramah lingkungan. Otomatis
energi yang dihasilkan pun lebih tinggi.
***
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
Ampas yang belum termanfaatkan menjadi pelet, berpeluang
menjadi bahan bakar untuk menggerakkan satu unit turbin alternator (TA)
tambahan. Selama ini listrik yang dihasilkan pembangkit listrik berbahan
baku ampas tebu pada masa giling hanya untuk memenuhi kebutuhan
mesin yang ada. Di antaranya kebutuhan saat proses gilingan, boiler,
keperluan operasional kantor, dan penerangan pabrik. Di luar masa
giling kebutuhan listrik masih disuplai dari Perusahaan Listrik Negara
(PLN).
Bila turbin tambahan itu dioperasikan, program mandiri listrik
sepanjang tahun termasuk di luar masa giling melalui kogenerasi dapat
terwujud. Kogenerasi atau co-generation adalah sistem konversi energi
termal (panas) dari pembakaran yang secara simultan menghasilkan
manfaat listrik dan panas (uap) sekaligus. Direktur PTPN X, Ir Subiyono,
MMA menuturkan bahwa PG Kremboong memiliki potensi untuk
kogenerasi dengan adanya surplus ampas tebu. Bahkan listrik yang
dihasilkan dari kogenerasi diperkirakan melebihi kebutuhan pabrik.
“Di PG Kremboong, potensi listrik dari ampas tebu mencapai 10
MW. Untuk dipakai sendiri 4,5 MW, sehingga sisanya sebesar 5,5 MW
bisa dijual ke PLN,” tuturnya. Untuk memenuhi bahan baku ampas
tebu kogenerasi, PTPN X berencana menyalurkan ampas tebu dari
PG Watoetoelis dan PG Toelangan. Kedua pabrik gula yang juga
merupakan unit bisnis PTPN X itu berada di lokasi berdekatan dengan
PG Kremboong.
Untuk mewujudkan program kogenerasi dibutuhkan suntikan
dana investasi Rp18-miliar. Investasi yang diperlukan antara lain untuk
membeli satu unit turbin alternator (TA) kapasitas 5 MW, Pressure
Reducer Dry Superheater (PRDS), dan panel distribusi. Walau saat ini
kogenerasi belum menjadi prioritas utama, PG Kremboong mengaku
siap mewujudkannya di masa depan.
PG Kremboong adalah representasi pabrik gula berkapasitas
kecil di Indonesia. Pengalamannya mengelola energi terbarukan dari
ampas tebu merupakan perwujudan upaya trias efisiensi, diversifikasi,
dan optimalisasi yang digaungkan PG Kremboong. Itulah tiga langkah
strategis perusahaan bertahan dalam industri gula. Ampas tebu memang
“barang lama” yang telah dikenal luas di industri tebu sebagai bahan
bakar alternatif. Namun, munculnya inovasi-inovasi para pelaku industri
yang kerap luput dari pandangan sejatinya bisa menginspirasi pelaku
industri lainnya untuk terus mengeksplorasi potensi energi terbarukan
di sekelilingnya.***
Ampas tebu berpeluang menjadi bahan bakar kogenerasi
27
biomassa
Limpahan Energi
Kulit Mede
Jeli melihat peluang biomassa cangkang mede, ketergantungan terhadap LPG (Liquid
Petroleum Gas) pun teratasi.
E
nergi mahal. Tidak ada lagi frasa
itu dalam kamus Aaron Fishman,
founder dari East Bali Cashews
(EBC). Dahulu pabrik pengolahan
kacang mede di Desa Ban, Kecamatan
Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali,
miliknya menggunakan LPG sebagai
bahan bakar utama dalam kegiatan
produksi. Kini ia tidak perlu risau
dengan kenaikan harga LPG lantaran
tidak lagi menggunakannya. Semua
berkat cangkang biji jambu mede
Anacardium occidentale.
28
Setahun bergelut dalam bisnis
olahan
kacang
mede,
Aaron
memandang kulit mede hanya
tumpukan limbah semata. Tidak
terlintas di pikirannya untuk membuat
limbah itu menjadi bahan bakar
alternatif. Tak dinyana dalam setahun,
usahanya
berkembang
pesat.
Otomatis kebutuhan energi untuk
operasional pabrik pun meningkat
tajam. Ia pun mulai gerah membayar
“tabung biru” yang menjadi sumber
energi andalannya.
Melihat limbah kulit mede yang
menggunung, Aaron mulai menyadari
“kebodohannya”. Mengapa ia perlu
membayar mahal gas untuk pabriknya
sementara sumber energi potensial
teronggok di depan mata? Ide kreatif
pun terbit untuk menggunakan
cangkang mede menjadi sumber
bahan bakar. “Perbandingan mede
dan limbah cangkang sekitar 1:4,”
kata Aaron. Dalam sehari, pabriknya
mengolah sedikitnya 3 ton biji mede.
Olahan menghasilkan 250 kg kacang
mede, sedangkan 2,250 kg sisanya
terbuang menjadi limbah.
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
biomassa
Uap dihasilkan dari proses pirolisa dan
pembakaran.
Uap panas tersebut selanjutnya
dialirkan ke mesin pengukus (steam
machine) dan mesin pengering atau
oven. Mesin pengukus memerlukan
uap panas untuk mengukus biji
kacang mede selama 15—18 menit
untuk setiap kali kukus. Sedangkan
uap panas yang dialirkan ke oven,
mengalir melalui pipa besar dengan
tekanan 4—6 bar. Di bagian itu, mede
dioven selama 5 jam dengan suhu 75
o
—80 oC
“Keuntungan dari proses gasifikasi
yaitu dapat menghasilkan bahan
bakar gas tanpa menghasilkan limbah
Pabrik East Bali Cashews, Desa Ban Kecamatan Kubu, Kabupaten
Karangasem, Bali
Berbekal informasi dari berbagai
literatur dan jaringan internet, pria
asal Amerika Serikat itu merabaraba teknologi gasifikasi. Teknologi
itu nantinya dimanfaatkan guna
menghasilkan uap panas yang dipakai
untuk memanggang kacang. Dua orang
tenaga terampil untuk membuat mesin
gasifikasi diundangnya dari Surabaya.
Sedikit nekat, pria yang berlatar
pendidikan filsafat itu mendesain
instalasi pemanas. “Saya buat
sketsanya, lalu diberikan ke tukang
las untuk didesain, dirancang, hingga
pemasangan di pabrik,” ungkapnya.
Serangkaian uji coba dilakukannya
hingga
menghasilkan
instalasi
pemanas yang tepat. Terhitung tiga
model instalasi pemanas gasifikasi
gagal dibuat hingga akhirnya model
keempat berhasil dioperasikan dengan
aman pada 2013.
downdraft (aliran ke bawah) dengan 4
zona ruang sesuai tahapan. Dimulai dari
zona pengeringan (drying), zona pirolisis
(pyrolisis), zona oksidasi (oxidation) dan
zona reduksi (reduction).
Gasifikasi
yang
dibuat
menggunakan
reaktor
downdraft
sehingga biomassa cangkang mede
masuk melalui penampungan atas.
“Sekali masuk bisa 20 kilogram
(per karung),” ujar Nyoman Sudi.
Pembakaran dilakukan secara tertutup
dengan oksigen terbatas didalam
pipa pembakaran berdiameter hanya
18 cm. Minyak laka atau minyak
anakardiat (Cashew Nut Shell Liquid)
yang terkandung di dalam cangkang
akan memacu pembakaran hingga
kemudian menghasikan uap panas.
Gasifikasi
Kalori pembakaran cangkang
biji mede setara dengan batubara.
Cangkang mede dapat menjadi bahan
bakar karena diproses secara gasifikasi
atau proses konversi termokimia dari
biomassa padat (cangkang) menjadi
gas bakar. Gas bakar tersebut
mengandung karbon monoksida (CO),
hidrogen (H2) dan sedikit kandungan
metan (CH4).
Operation Manager EBC, I Nyoman
Sudi, menjelaskan ada 4 tahapan
dalam proses gasifikasi. Reaktor
yang digunakan merupakan reaktor
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
Pekerja wanita mengupas cangkang mete
29
biomassa
yang berupaya hemat biaya energi.
Dari segi teknis, ukuran cangkang
tergolong kecil sehingga dapat
langsung dimasukkan ke dalam reaktor
tanpa perlu dicacah. Kandungan
minyaknya berfungsi sebagai pelicin.
“Dibanding biomassa lain, cangkang
mede itu licin, banyak mengandung
minyak, jadi mudah masuk ke ruang
bakar,” kata Sudi.
Investasi yang digulirkan pun
relatif ringan dengan jangka waktu
pengembalian hanya 3—4 bulan.
Aaron pun tidak lagi terbebani dengan
biaya energi untuk bahan bakar.
Setelah
menggunakan
cangkang
mede sebagai bahan bakar, kebutuhan
LPG menurun drastis. Pabrik mampu
menghemat LPG hingga 70 %.
Satu kilo LPG dapat digantikan
dengan 2 kg cangkang. Harga LPG
tangki biru Rp 10.000/kg sedangkan
cangkang hanya Rp 1.300/kg. Biaya
yang dihemat mencapai 60 %. Bila
dihitung nominal, keuntungan yang
dikantongi dari penghematan itu sekitar
Rp1-juta per hari atau mencapai 30
juta per bulan.
Potensi tinggi
Steamer baru meningkatkan efisiensi dan kapasitas
asap, jadi bersih. Pemanfaatan panas
sangat efektif dan efisen karena sisa
arang hanya tujuh persen,” ungkap
Nyoman Sudi. Sisa arang itu pun dapat
dimanfaatkan menjadi pupuk pohon
jambu mede bersamaan dengan
kulit ari yang juga merupakan limbah
produksi kacang mede.
Hemat
Sebanyak 3—5 ton biji mede
diolah setiap harinya di EBC. Sekitar
seperempat
atau
seperlimanya
menjadi mede OC atau biji mede
yang telah dikupas dari cangkang.
Itulah kacang yang siap dikonsumsi.
Sedangkan
sisanya
merupakan
cangkang. Sekarang EBC memiliki 5
unit gasifier. Namun, hanya beberapa
30
yang dioperasikan tergantung jumlah
bahan baku yang diolah.
Bila pasokan banyak, semua unit
gasifier beroperasi penuh. “Satu hari
bisa 2—3 ton cangkang. Nanti saat
produksi naik, cangkang bisa lebih
dari 3 ton per hari,” terang Sudi saat
memaparkan rencana peningkatan
produksi EBC menjadi 5 ton per hari.
Itu pun tidak semua cangkang dipakai
untuk bahan bakar. Biasanya hanya
dibutuhkan sepertiga dari limbah
yang dihasilkan setiap harinya. “Sisa
cangkang mede dijual ke perusahaan
laundry, pabrik batu bata, dan pabrik
tahu,” tambahnya.
Cangkang mede sangat cocok
dijadikan bahan bakar biomassa untuk
pabrik berskala kecil dan menengah
Desa Ban merupakan sentra
produksi mede terbesar di Pulau
Dewata. Dari 9.683 hektar luas
kebun jambu mede di Kabupaten
Karangasem, 7.403 hektar atau 75
persennya berada di Kecamatan Kubu
termasuk Desa Ban, tempat dimana
East Bali Cashews berada. Di EBC,
kacang mede diproses hingga dikemas
Oven pengering kacang mete
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
biomassa
menjadi kudapan lezat bergizi tinggi
dengan berbagai varian rasa.
Keberadaan EBC mampu memutus
panjang rantai distribusi kacang mede
sekaligus menyambungkan petani
mede dengan teknologi pengolahan
yang memiliki nilai tambah bagi produk.
Sebelumnya, biji mede asal Bali
dipasarkan ke Vietnam dan India tanpa
melalui proses pengolahan. Padahal, di
negara itu biji mede diolah lalu kembali
dipasarkan ke Indonesia dengan harga
tinggi. Kini EBC memiliki 300 karyawan
yang didominasi perempuan warga
desa setempat.
Di Indonesia, Bali memang dikenal
sebagai penghasil jambu mede
terbesar. Sejak 1976 tanaman tersebut
diwariskan dari generasi ke generasi.
Kacang mede merupakan salah satu
komoditas pertanian andalan Bali.
Volume produksi jambu mede di Bali
pada tahun 2013 mencapai 3.735 ton.
Dengan perbandingan 1:4, potensi
biomassa dari cangkang biji mede
diperkirakan sekitar 2.801 ton dalam
setahun. Sayangnya, banyak industri
kecil dan menengah maupun Usaha
Kecil Menengah (UKM) yang tidak
menyadari manfaat limbah itu.
Jauh ke depan, EBC memiliki angan
menciptakan listrik dari cangkang
mede. Meski kebutuhan listrik pabrik
Downdraft Gasifier dan boiler berbahan bakar cangkang mete
kurang dari kebutuhan sebuah hotel
besar, listrik akan berguna untuk
masyarakat seperti penerangan jalan
dan rumah-rumah yang belum teraliri
listrik. “Tetapi butuh modal hingga
Rp2-miliar untuk membeli generator
dan turbin,” ujar Aaron.
Potensi lainnya yang berlum
tergarap yakni Cashew Nut Shell Liquid
(CNSL) atau Cairan Kulit Biji Mede
(CKBM). “Perlu kapasitas produksi
mencapai 30 kali lipat dari kapasitas
EBC saat ini agar cangkang dapat
diolah menjadi CNSL,” tambahnya.
Walau cita-cita itu belum terwujud,
langkah Aaron Fishman memanfaatkan
cangkang mede merupakan terobosan
bagi industri kecil dan menengah
maupun UKM dalam menghasilkan
energi
secara
mandiri.
Sukses
EBC diharapkan menjadi pemacu
pemanfaatan
biomassa
lainnya
bagi industri kecil dan menengah di
sekitarnya.***
Zona pemisahan cangkang dari biji
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
31
biomassa
Manajer Teknik PT Sidomuncul, Ir. Sulisyanto.
32
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
biomassa
Racik Ampas Jamu
Jadi Energi
Tak kurang dari 10 ton ampas bahan jamu diolah menjadi bahan bakar setiap
harinya. Dengan nilai kalori 5.000 kkal/kg, ampas itu setara dengan energi 50-juta
kkal. Potensi besar untuk mengganti pemakaian gas CNG (Compressed Natural Gas)
yang selama ini digunakan.
D
i satu sudut areal pabrik PT
Sidomuncul, tampak sebuah
mesin keruk tengah beraksi
memindahkan gundukan material
berwarna cokelat kehitaman. Wujudnya
selintas mengingatkan pada sosok
kompos yang masih mentah. Atau lebih
tepatnya, sampah basah. Sedikit demi
sedikit onggokan yang menumpuk
berhasil diolah dan dimanfaatkan lebih
lanjut. Gundukan itu ternyata ampas
sisa hasil produksi jamu produk PT
Sidomuncul. Jumlahnya mencapai 30
ton per hari.
Berbagai jenis tumbuhan yang
menjadi formula dari produk-produk
PT Sidomuncul seperti jahe, temu
lawak, kunyit, serta bermacam akar
dan daun diekstraksi setiap harinya.
Ampas sisa proses itulah yang
kemudian
dimanfaatkan
menjadi
energi hijau. “Ampas jamu kering
memiliki nilai kalori yang cukup tinggi,
mencapai 5000 kkal/kg,” ungkap
Manajer Teknik PT Sidomuncul, Ir.
Sulisyanto. Alasan itu yang mendasari
pihak pabrik mantap mengolah ampas
menjadi bahan bakar alternatif.
Sejak beroperasi pada 2010,
pabrik yang berlokasi di Ungaran,
Semarang, Jawa Tengah itu mulai
menghasilkan
ampas.
“Mulanya
ampas dimanfaatkan hanya untuk
pupuk kompos yang diberikan kepada
para petani di sekitar pabrik tetapi itu
hanya sedikit mengurangi ampas yang
ada,” tutur Sulisyanto.
Tak ayal bukit ampas pun kian
meninggi dari tahun ke tahun.
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
Ampas setelah dikeringkan kemudian diproses menuju mesin pencetak
pellet biomassa berkapasitas 10 ton ampas.
33
biomassa
conveyor belt yang bergerak menuju
boiler.
Ampas pun terbakar dalam ruang
bakar dengan suhu mencapai 870oC.
Panas berfungsi memanaskan oli
yang berada di dalam pipa spiral
dalam cerobong pembakaran. Oli
panas kemudian dialirkan ke mesinmesin pencetak kemasan seperti unit
alat laminating kering atau FLM-dry
laminator, digital printer dan laminator.
Optimalisasi pemanfaatan
Mesin pencetak pellet sekaligus
Automatic packaging atau
pengemas otomatis beroperasi
penuh selama 24 jam setiap hari.
Kepala Pabrik PT Sidomuncul, Hadi
Hartoyo.
Dilatari misi menjaga lingkungan dari
pencemaran, PT Sidomuncul akhirnya
berupaya mengurangi stok ampas.
Timbullah ide untuk mengolahnya
menjadi sumber energi. Ide itu semakin
menguat ketika harga bahan bakar
minyak meroket dan keberadaannya
sangat sulit diperoleh. Muncullah ide
untuk membuat pelet ampas.
memadat, saat pembakaran tidak ada
lagi ampas yang terbang melayang
dan memicu polusi udara. Pembakaran
pun hanya menyisakan sedikit abu.
Pelet lantas digunakan sebagai
bahan bakar peralatan di PT Muncul
Putra Offset (MPO). Pabrik rotogravture
atau percetakan milik PT Sidomuncul
itu memproduksi kemasan produk
berbahan plastik maupun kertas. Di PT
MPO, ampas kering dituang ke dalam
Pelet ampas
Untuk mengolahnya, ampas diubah
menjadi pelet berukuran panjang 55
mm dengan diameter 10 mm. Untuk itu
didatangkan mesin pelet yang mampu
mengolah 450 kg ampas per jam.
Dalam sehari, mesin yang beroperasi
24 jam itu bisa memproduksi 10 ton
ampas menjadi pelet.
Ampas jamu kering biasanya dijual
seharga Rp 1.100 per kg. Bila diubah
menjadi pelet, biaya produksinya
hanya Rp 350,00 per kg. Setelah
dihitung, biaya membuat pelet masih
ekonomis dibandingkan membeli
gas CNG (Compressed Natural
Gas). Perbandingan nilainya sangat
signifikan. Harga gas untuk bahan
bakar utama senilai Rp3.200 per kg.
Usai berubah wujud. Massa
pelet menyusut hingga 40%. Namun,
kandungan air pun berkurang dari
48% menjadi hanya 8—10%. Lantaran
34
Rencananya, pelet juga akan
digunakan untuk proses pengeringan
tumbuh-tumbuhan
yang
akan
diekstraksi. Proses membutuhkan
energi sebesar 60 x 104 kkal. Selama ini,
bahan bakar yang digunakan berupa
gas CNG (Compressed Natural Gas).
Satu kilogram gas CNG (Compressed
Natural Gas) setara 2 kg pelet. Artinya,
satu boiler dapat diganti dengan 120
kg pelet.
Untuk memaksimalkan upaya
tersebut, PT Sidomuncul pun serius
melakoninya. Karena itu untuk
meningkatkan pemanfaatan pelet,
PT Sidomuncul sampai membeli
boiler khusus berbahan baku pelet
ampas. PT Sidomuncul memang
berencana memperluas usaha dengan
mendirikan pabrik baru. “Akhir 2014,
pabrik membeli boiler khusus dari
Tiongkok. Boiler akan digunakan untuk
Diagram alir mesin pencetak pellet biomassa. Terdiri dari pellet mill
(pencetak pellet), cooler (pendingin), dan automatic packing atau pengemas
yang beroperasi secara otomatis.
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
biomassa
PT. Sidomuncul berinvestasi membeli boiler baru dari Tiongkok berbahan
bakar pellet biomassa limbah jamu kering berkapasitas 120 kg pellet.
menggandakan produksi berbagai
produk andalan di pabrik baru PT
Sidomuncul,” tutur Hadi Hartoyo,
Kepala Pabrik PT Sidomuncul.
Optimalisasi
lainnya
dengan
menggunakan pelet untuk bahan bakar
chiller absorbsi. “Penggunaan chiller
absorbsi akan jauh menghemat listrik.
Perbandingannya AC 1 PK berdaya
listrik 900 Watt digantikan dengan chiller
absorber yang hanya berdaya 150
Watt,” jelas Sulisyanto. Dibandingkan
AC yang umumnya menggunakan
freon dan boros listrik, chiller absorber
hanya menggunakan listrik untuk
penggerak awal. Selanjutnya, proses
lebih banyak memanfaatkan uap
bertekanan rendah.
“Top Level Management PT
Sidomuncul mempunyai misi turut
menjaga lingkungan. Untuk itu, kami
terus mengembangkan dan berinovasi
menggali potensi energi dari limbah,”
pungkas Hadi. Meramu limbah bagi
PT Sidomuncul ibarat berterimakasih
kepada alam. Usai mengambil
manfaatnya, sepatutnya manusia
menjaga alam tetap lestari dengan
meminimalir limbah.***
Boiler pada proses pengeringan bahan berbahan bakar gas CNG
(Compressed Natural Gas) akan dimodifikasi berbahan bakar pellet. Satu
kilogram gas CNG setara dengan dua kilogram pellet
Biomassa
Sisa kayu olahan
Ampas tebu
Sisa kelapa sawit
Sisa tanaman jagung
Sekam padi
Sumber : Peran Biomassa sebagaiEnergi Terbarukan, 2010
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
Nilai Kalori (kcal/kg)
2.400—3.000
1.800
2.800
2.000
3.000
Ampas jamu setelah dikeringkan
kadar air tersisa 7,70 persen siap
diproses menjadi pellet.
35
biomassa
Merdeka Sampah,
Menuai Listrik
Malam menjelang di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Tambakrigadung, Kecamatan
Tikung, Kabupaten Lamongan. Meski jauh dari akses listrik di sekitarnya, TPA yang
dibangun sejak 1990 itu tampak benderang.
Bahu jalan Kota Lamongan terlihat asri. Kota ini bermisi menjadi Green and Clean City setelah meraih Adipura Kencana.
36
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
biomassa
Y
ah, itu semua berkat listrik
mandiri yang berasal dari
PLTSa
(Pembangkit
Listrik
Tenaga Sampah). Upaya itu membuka
pandangan baru tentang energi
alternatif yang sangat ramah lingkungan.
Dengan usaha yang dilakukan, wilayah
Kabupaten Lamongan menjadi lebih
terang.
Masalah pengelolaan sampah
memang tidak berhenti sampai di
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) saja.
Di TPA, gunungan sampah berpotensi
memicu masalah baru bila tidak ada
pengelolaan lebih lanjut. Itu karena
penyusutan sampah tidak mampu
mengimbangi pertambahan sampah
setiap harinya.
Sampah kerap menjadi kambing
hitam sebagai sumber penyakit dan
polusi udara. Keberhasilan pengelolaan
sampah menjadi indikator kesuksesan
pemerintah
daerah
mengelola
lingkungan. Sejak 2010, Kabupaten
Lamongan memulai aksinya guna
mengubah wajah kota menuju Kota
Berwawasan Lingkungan.
Hal itu tertuang dalam rencana
strategis 5 jilid. Tahun pertama (2011)
bertema Green and Clean. Berlanjut
ke jilid II dengan tema Waste Lover
(Pecinta Sampah) dan tahun III
(Menuju Lamongan Merdeka Sampah
melalui Bank Sampah). Adapun tahun
IV dan V (2014) bertema Lamongan
Warna-Warni Bunga dan Merdeka
Sampah. Pada tahun 2015, program
penggunaan energi alternatif yang
ditargetkan lebih dari 20% tercantum
di dalamnya.
Sebagai wujud nyata rencana
tersebut,
Pemerintah
Kabupaten
Lamongan mengakselerasi upaya
mewujudkan kota “merdeka” sampah.
Bersama jajaran Badan Lingkungan
Hidup (BLH) sebagai inisiator, program
pengelolaan sampah menjadi energi
alternatif digulirkan pada awal 2015.
Bukti nyata upaya itu berada di
TPA Tambakrigadung, Kecamatan
Tikung, Kabuapeten Lamongan. Di
atas sanitary landfill seluas 7 Ha milik
pemerintah daerah itu berdiri satu
instalasi Pembangkit Listrik Tenaga
Sampah (PLTSa). Dana untuk investasi
alat dan bangunan PLTSa mencapai
Rp2-miliar bersumber dari APBD.
Pembangkit listrik
Gagasan pembangunan PLTSa
tercetus usai Bupati Lamongan, H.
Fadeli SH, MM, melakukan studi
banding ke Cekoslovakia dan Jerman
pada 2014. Kesempatan kunjungan
yang diperoleh setelah Kabupaten
Lamongan
meraih
penghargaan
Adipura Kencana itu menyisakan ide
meramu sampah menjadi listrik. Di
kedua negara tersebut, setengah dari
total kebutuhan listrik penduduknya
tercukupi dari sampah. Dengan
dukungan Institut Teknologi Surabaya,
BLH mulai mendesain PLTSa di TPA
Tambakrigadung. Pada Januari 2015,
instalasi PLTSa resmi terpasang di
areal TPA.
“Listrik yang dihasilkan mampu
mencapai 10.000 Watt dengan
distribusi tenaga listrik 20—25 kVa.
Sementara listrik baru dipakai untuk
Sampah berputar dalam rotary screening dipisahkan antara bahan terpakai
(untuk dibakar) dengan kotoran untuk dijadikan kompos.
Lampu penerangan TPA, sumber
listriknya berasal dari Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
lampu penerangan di PLTSa dan areal
TPA. PLTSa mulai beroperasi penuh
setelah peresmian oleh Kementerian
Lingkungan Hidup pada 23 APRIL
2015,” terang Kepala BLH Kabupaten
Lamongan, Drs. Sukiman, MSi. Jam
operasional PLTSa 8 jam per hari
mulai pukul 07.00—15.00 WIB. Mesin
beroperasi setiap hari kecuali hari
Jumat saat dilakukan perawatan
mesin.
Listrik juga rencananya akan
digunakan sebagai tenaga penggerak
mesin pembuat pelet biji plastik.
Pelet itu ditujukan bagi para pengrajin
untuk membuat tikar plastik. “Selain
menghasilkan listrik, sisa uap panas
yang terbentuk akan dimanfaatkan
sebagai pemanas pada industri tahu
dan tempe yang akan dibangun di
sekitar TPA,” tambah Sukiman.
Peran masyarakat
Kunci sukses menuju keberhasilan
upaya mewujudkan green city diungkap
Sukirman berada di tangan masyarakat.
“Kuncinya pemberdayaan dengan
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
37
biomassa
Metamorfosis Menuju Listrik
Sampah yang diolah berasal dari timbunan sampah lama di sanitary landfill (TPA) dan sampah baru yang
berasal dari warga setempat. Jenisnya seperti bekas kemasan (kertas, kayu, plastik, kain/lap) dan sampah rumah
pemukiman seperti bekas perlengkapan rumah tangga (kertas, kardus, perabot plastik, dan pakaian bekas).
Potensi sampah anorganik selain B3 di wilayah Lamongan volumenya mencapai 25,62 m3/hari. Sampah itulah
yang menjadi sumber energi PLTSa. Adapun jumlah sampah yang diproses setiap harinya sebanyak 10—12,5 m3.
Rangkaian PLTSa terdiri dari rotary screening, incenerator, burner, boiler dan turbin-generator. Prosesnya dimulai dari
pemilahan sampah.
1. Sampah bergerak di atas sabuk konveyor menuju rotary screening. Di dalam rotary screening, sampah berputar
sampai terpisahkan antara bahan terpakai dengan kotoran yang terbawa.
2. Bahan terpakai diteruskan melalui screw bagian atas untuk dibakar sedangkan kotoran dilewatkan melalui
screw bawah untuk dikemas menjadi kompos.
3. Bahan terpakai atau siap bakar kemudian dimasukkan secara manual ke dalam insenerator atau pemusnah
sampah oleh pekerja.
4. Sampai melalui proses pembakaran suhu sedang hingga kering dan siap dibakar kembali di dalam burner
bersuhu 1.7000C. Sampah dimasukkan bertahap ke dalam ruang bakar setiap 10—20 menit. Lama pembakaran
bervariasi tergantung sampah plastik baru atau lama. Sampah baru umumnya lebih cepat terbakar.
5. Pembakaran menghasilkan gas dan residu. Residu pembakaran berupa abu yang dimanfaatkan oleh pengelola
menjadi bahan pot-pot bunga. Sedangkan gas diteruskan untuk memanaskan air di boiler.
6. Air yang dipanaskan menghasilkan uap kering (superheated steam) yang tercipta dengan tekanan, temperatur
dan aliran. Uap inilah yang menggerakkan baling-baling turbin berkecepatan 5 rpm untuk menghasilkan
listrik.***
38
1
2
3
4
5
6
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
biomassa
Instalasi PLTSa terpasang di areal TPA pada Januari 2015 terdiri dari
incenerator (pemusnah sampah), burner (pembakar), boiler (pemanas air)
dan turbin-generator.
Timbunan sampah di TPA Tambakrigadung, Kecamatan Tikung, menjadi
bahan bakar PLTSa.
Pekerja membersihkan tungku pembakaran atau burner. Suhu pembakaran
di dalam burner bisa mencapai 1700 derajat celcius.
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
melibatkan partisipasi masyarakat
untuk mengubah perilaku dalam
pengelolaan sampah,” ungkapnya.
Tidak
tanggung-tanggung,
pada
tahun 2014, tercatat 7.445 orang
kader lingkungan diberi pelatihan
pengelolaan sampah. Bank sampah
sebanyak 525 unit pun tersebar hingga
tingkatan terkecil yaitu RT dan RW.
Masyarakat dibiasakan memilah
sampah organik dan anorganik.
Pemilahan juga didasarkan pada nilai
ekonomisnya. Sampah ekonomis
seperti
botol
plastik
minuman
disetorkan ke bank sampah, sedangkan
non ekonomis (label/kemasan plastik)
dikumpulkan untuk diambil kendaraan
pengumpul sampah khusus untuk
bahan bakar PLTSa. Berkat peran aktif
masyarakat, seluruh target rencana
5 jilid terlampaui. “Tahun ini kami
akselerasi penyelesaian dua jilid,” ujar
Sukiman sumringah.
Pengembangan green energy
dalam skenario “merdeka sampah”
hingga Mei 2014 menargetkan
penggunaan energi alternatif sebesar
13%. Meski pencapaian baru 6%,
pemerintah Kabupaten Lamongan
tetap optimis dapat mencapai target
20% lebih pada tahun mendatang.
Untuk
memperkuat
pengembangan
green
city,
pengembangan desa mandiri energi,
pengembangan pemanfaatan gas
methan untuk 20 KK (kepala keluarga),
pengembangan pengolahan plastik
menjadi BBM (bahan bakar minyak),
serta pengembangan pembangkit
listrik tenaga enceng gondok dan
sampah masuk daftar perencanaan
Pemda Kabupaten Lamongan.
Keberadaan PLTSa tidak hanya
menguntungkan pengelola tetapi juga
masyarakat sekitar. Adanya PLTSa
membuat masyarakat sekitar TPA dapat
menikmati listrik sekaligus sebagai
kompensasi pada masyarakat sekitar
atas keberadaan TPA. Beroperasinya
PLTSa membuka lebar pintu inovasi
berikutnya untuk pengembangan
energi
alternatif
di
Kabupaten
Lamongan. Melalui program-program
tersebut, tepat kiranya Lamongan
meraih apresiasi Adipura Kencana
pada 2013 dan menargetkan meraih
Kota Berwawasan Lingkungan (Green
City) pada tahun 2015.***
39
biogas
Akrab Teletong
Raup Biogas
Bau kotoran sapi menyergap di halaman belakang rumah Roisah. Alih-alih mendengus
kesal, perempuan warga Desa Slampangrejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang,
Jawa Timur, itu tersenyum senang. Kotoran sapi baginya ibarat rupiah yang membuat
dapurnya terus mengepul.
40
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
biogas
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
41
biogas
P
agi itu Roisah tengah sibuk
memasak
sarapan
kelima
orang anggota keluarganya.
Sekilas tampak jilatan api meliuk di
atas kompor gas yang dipakainya.
Berbeda dengan kebanyakan ibu
rumahtangga lain pada umumnya,
ia tidak menggunakan tabung gas
melon. Tabung LPG 3 kg itu dibiarkan
teronggok dengan regulator dan selang
terpisah dari tabungnya. Itu karena
selang gas kompor miliknya terhubung
langsung dengan instalasi biogas
yang berada tepat di sebelah kandang
sapi. “Sudah jarang pakai LPG, setiap
hari sudah biasa pakai biogas, nggak
bayar.” tutur Ibu Roisah.
Ibarat memiliki kilang gas pribadi,
Roisah tidak perlu repot membeli
gas dua minggu sekali seperti yang
selama ini dilakukannya. Gas bahan
bakar kompor yang dipakai sehari-hari
berasal dari kotoran delapan ekor sapi
yang Roisah dan suaminya, Kuswari,
pelihara. Sumbernya dari reaktor
biogas yang dibangun di belakang
rumah sejak tiga tahun lalu.
Biogas dihasilkan dari reaktor
berukuran 8 m3 dengan bahan baku
yang berasal dari kotoran 8 ekor
sapi. Bila seekor sapi menghasilkan
15 kg teletong maka dalam sehari
dipanen 120 kg teletong yang mampu
menghasilkan gas mencapai 1.800
liter. Kompor berbahan bakar biogas
itu dipakai Roisah untuk memasak
pada pagi hari pukul 04.00—09.00 dan
sore hari pukul 14.00—16.00.
“Gas sejumlah itu bahkan lebih
untuk memenuhi kebutuhan memasak
satu keluarga,” ujar Khoirul Huda,
Kepala Unit Pengolahan Limbah Ternak
KAN (Koperasi Agro Niaga) Jabung.
Menurutnya, gas yang dihasilkan dalam
reaktor mini seluas 1 m3 bisa digunakan
untuk memasak selama 3 jam untuk
menu satu keluarga berjumlah 4—5
orang. Kandungan biogas itu setara
energi 0,62 liter minyak tanah atau
0,46 liter elpiji.
Pengalaman serupa dituturkan
Sri Rahayu yang tinggal tidak jauh
dari rumah Roisah. Ia bahkan telah
memasang reaktor biogas di rumahnya
sejak 2010. “Pakai LPG tabung 3
kilogram akan habis kurang dari satu
minggu,” tutur Sri yang menghasilkan
biogas dari kotoran 4 ekor sapi
miliknya. Menurutnya, menggunakan
biogas dirasa hemat dan lebih aman.
Dapurnya lebih bersih lantaran asap
yang dihasilkan lebih sedikit. Masalah
kotoran di kandang pun teratasi.
Biogas kecil skala rumahtangga
dirasakan
sangat
membantu
perekonomian keluarga. Saat harga
LPG naik, Roisah dan Sri pun tidak
merasakan langsung dampak kenaikan
tersebut.
Kampung biogas
Roisah dan Sri hanya dua contoh
ibu rumahtangga yang memanfaatkan
biogas teletong sapi. Di mana ada
kandang sapi, di situ terdapat reaktor
biogas. Begitulah pemandangan di
kampung tempat tinggal Roisah.
Hingga 2014, 505 unit reaktor biogas
dibangun di atas lahan milik 631 KK
anggota KAN Jabung.
Kantor Koperasi Agro Niaga (KAN) Jabung, Jl. Suropati 4-6 Kemantren, Jabung.
42
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
biogas
Mulanya, koperasi yang berdiri sejak
1980 itu memberikan pinjaman kepada
anggota untuk beternak sapi untuk
tujuan menghasilkan susu maupun
daging. Jumlah bantuan modal usaha
yang diberikan yakni berupa sapi
sebanyak 673 ekor. Jumlah sapi terus
bertambah hingga pada 2015 tercatat
lebih dari 7.000 ekor sapi.
Setelah program beternak sapi
sukses berkembang, ide untuk
memanfaatkan kotoran sapi sebagai
bahan biogas mulai mengemuka.
“Satu ekor sapi bisa menghasilkan
kotoran 15 kilogram per hari. Potensi
kotoran ternak bisa mencapai 105.000
kilogram untuk diubah menjadi biogas
setiap harinya,” terang Huda.
Pembangunan reaktor mini di
halaman rumah warga dirintis sejak
10 tahun lalu oleh Unit Pengolahan
Limbah Ternak KAN Jabung yang
berkedudukan di Jl. Suropati 4—6,
Kemantren,
Kecamatan
Jabung,
Kabupaten Malang, Jawa Timur.
“Sejak 2005, kami sudah mencari
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
Aliran pembuangan teletong dari kandang menuju Inlet (ruang
masuk teletong).
43
biogas
referensi model reaktor biogas skala
rumah tangga yang sesuai bagi para
peternak,” papar Khoirul.
Pada 2006, pilot project biogas
bekerja sama dengan Universitas
Brawijaya sebagai desainer reaktor
mulai diwujudkan. Berbekal reaktor
mini biogas, warga dapat memproduksi
gas sendiri dalam skala kecil dengan
konstruksi sederhana. Selama kurun
waktu 2006—2009, upaya swadaya
KAN Jabung berhasil memasang 108
unit reaktor biogas rumah.
Pada pertengahan tahun 2009,
pemerintah
melalui
Kementerian
ESDM bekerjasama dengan HIVOS—
organisasi nirlaba asal Belanda—
meluncurkan Program Biogas Rumah
(BIRU). KAN Jabung menjadi salah satu
mitra perintis biogas untuk program itu
di wilayah Malang.
Katup dan pipa gas utama
mengalirkan biogas menuju
kompor.
dan lubang penammpung ampas
menjadi bio slurry. Bentuknya kubah
beton (fixed dome) yang disusun dari
batu bata dan beton yang tertutup di
bawah tanah. Bangunan reaktor dapat
bertahan selama lebih dari 15 tahun
bila perawatan dilakukan dengan
benar.
Reaktor dibuat beragam ukuran
tergantung
jumlah
sapi
yang
dimiliki peternak. Tim KAN Jabung
pernah membuat reaktor mulai dari
6 m3, 8 m3, 12 m3 hingga 50 m3.
Dibutuhkan minimal 2 ekor sapi agar
reaktor mampu menghasilkan gas.
Kebanyakan warga di Desa Jabung
memasang reaktor biogas berukuran
6 m3 karena rata-rata warga memiliki
2—5 ekor sapi. Sedangkan reaktor
ukuran 50 m3 digunakan peternak
dengan jumlah sapi lebih dari 30 ekor.
Warga menggunakan biogas tidak
Reaktor mini
Program BIRU memfasilitasi akses
kredit bagi koperasi yang memerlukan
dana pinjaman. Salah satunya untuk
pengadaan biogas bagi para peternak
anggota KAN Jabung yang tergabung
dalam Kelompok Peternak Pengguna
Biogas Rumah. Sri salah satu penerima
manfaat kredit Program BIRU lima
tahun lalu.
Ia membangun reaktor berukuran
6 m3 dengan investasi Rp6-juta. Uang
itu digunakan untuk perbaikan tempat
pakan ternak (palungan), saluran
kotoran ternak di kandang, inlet,
reaktor fixed dome, outlet beserta
pipa aliran gas, manometer, serta
pemasangan kompor biogas hingga
siap digunakan.
Sebagian biaya pembangunan
reaktor diperoleh dari program
Corporate Social Responsibility (CSR)
PT Nestle sebesar Rp1,6-juta. Sisanya
pinjaman kredit KAN Jabung. “Dua
tahun pinjaman lunas. Pembayaran
pun tidak terasa memberatkan karena
diangsur dari hasil penjualan susu,”
tutur perempuan yang berprofesi
sebagai guru TK itu.
Reaktor biogas skala rumahtangga
cukup sederhana. Instalasi reaktor
tersusun atas beberapa bagian yaitu
inlet (tempat teletong dimasukkan),
reaktor
bawah
tanah
(ruang
anaerobik), penampung gas, outlet
(ruang pemisah), pipa penyalur gas,
44
Ubah Rupa Teletong
Proses pembentukan biogas diawali dari pengumpulan teletong
dari kandang. Kotoran lalu dimasukkan ke dalam lubang masuk menuju
penampungan bawah tanah. Biogas terbentuk melalui tiga proses
yaitu hidrolisis (penguraian bahan organik), pengasaman (pengubahan
menjadi bahan makanan bakteri pembentuk asam), dan metagenogenik
(proses pembentukan gas metan).
Setelah 6 jam proses berlangsung, gas metana terbentuk. Gas
metana yang dihasilkan kemudian disalurkan melalui pipa outlet menuju
kompor biogas. Kandungan utama biogas berupa gas metan (CH4) dan
karbon dioksida (CO2) serta sejumlah kecil amonia, nitrogen, suflur
dioksida, dan hidrogen. Hati-hati, tekanan gas metana yang cukup
rendah membuat biogas tidak mudah meledak. Untuk itu, pastikan
instalasi saluran benar-benar terpasang dengan benar.
Cara kerja kompor biogas sama dengan kompor gas. Perbedaanya
hanya terletak pada sumber energi yang digunakan. Biogas berasal
dari fermentasi kotoran ternak. Nyala api biogas berwarna biru dan
panas. Tidak jauh berbeda dengan gas LPG. Gas pun tidak berbau
kotoran ternak seperti yang dikhawatirkan masyarakat dan tentunya
tidak beracun.
Warga umumnya menggunakan dua jenis kompor. Kompor satu
tungku biasanya diberikan pada peserta program BIRU. Sedangkan
KAN Jabung menyediakan kompor dua tungku hasil modifikasi dari
kompor LPG yang ada di pasaran. “Modifikasi sederhana dari kompor
LPG menjadi kompor biogas hanya perlu mengubah nossel,” terang
Khoirul Huda. Usai beralih rupa, siapapun bisa menggunakan biogas
sama seperti menggunakan LPG.***
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
biogas
Inlet terpasang di belakang kandang untuk mengalirkan teletong menuju
digester berukuran 6 m3.
hanya untuk kebutuhan sehari-hari
melainkan untuk industri kecil dan
menengah seperti industri kerupuk,
industri tahu, dan pengeringan jagung.
Terus meluas
Khoirul mengakui, risiko kebocoran
masih dapat terjadi akibat kesalahan
teknis pemasangan pipa. Kekurangan
lainnya, karat kerak berwarna hitam
kerap menempel di bagian bawah
alat memasak seperti panci dan
penggorengan. Itu disebabkan adanya
kandungan sulfur pada biogas. Toh,
itu tidak menyurutkan keinginan warga
menggunakan biogas.
Buktinya, undangan pemasangan
reaktor
biogas
yang
ditujukan
kepada KAN merambah hingga lima
kecamatan
meliputi
Kecamatan
Tumpang, Singosari, sampai Lawang.
Pengembangan teknologi biogas pun
telah diupayakan KAN. “Semester
kedua tahun 2015, kami merencanakan
pemasangan kantong penampungan
biogas di peternak-peternak yang
memiliki kelebihan gas,” papar Khoirul.
Selain itu, ada pula inovasi refill biogas
ukuran 1 m3.
Dibandingkan wilayah lainnya,
Jawa Timur merupakan provinsi
dengan
jumlah
reaktor
biogas
terpasang paling banyak di Indonesia.
Data Program Biogas Rumah (BIRU)
per 5 Februari 2015 mencatat, 6.937
reaktor biogas rumah—atau sebesar
49% dari total reaktor biogas di
Indonesia—terpasang di wilayah Jawa
Timur. Program besutan Direktorat
Jenderal Energi Baru Terbarukan
dan Konservasi Energi (EBTKE),
Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral itu diluncurkan sejak 2009.
Desa-desa sentra peternakan
sapi di berbagai wilayah di Indonesia
berpotensi untuk pengembangan
biogas. Selain nilai investasi yang
terjangkau, pemanfaatannya pun
meringankan beban ketergantungan
terhadap bahan bakar tak terbarukan.
Kecamatan Jabung merupakan contoh
nyata sukses KAN mengaplikasikan
teknologi penghasil biogas. Kini,
dapur-dapur pun bisa mengepul tanpa
pasokan LPG.***
Kepala Unit Pengolahan Limbah Ternak, Khoirul Huda, beserta karyawan KAN Jabung.
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
45
regulasi
Mandatori B15:
Demi Bergairahnya Pasar
BBN
Kebijakan pemanfaatan B15 berperan penting dalam mendukung kebijakan ekonomi
makro. Termasuk penghematan devisa negara melalui pengurangan impor bahan bakar
minyak (BBM). Pelaksanaan kebijakan itu bakal menyerap produksi biodiesel dalam negeri
sebesar 5,3 juta kiloliter atau setara dengan 4.8 juta ton Crude Palm Oil (CPO). Dampaknya,
akan terjadi penghematan devisa sebesar USD 2.54 miliar.
M
enteri ESDM Sudirman Said
menuturkan, secara bertahap
pemerintah akan memberikan
porsi lebih besar terhadap energi baru
dan terbarukan. Terlebih, salah satu
poin paket kebijakan ekonomi yang
dikeluarkan Presiden Joko Widodo
adalah mandatori pencampuran biofuel
hingga 15% pada tahun ini. Mandatori
tersebut menjadi kebijakan strategis
karena terjadi kekurangan produksi
BBM di Indonesia.
Simak
saja
kondisi
2015.
Pemerintah menargetkan produksi
siap jual (lifting) minyak Indonesia
sekitar 825 ribu barel per hari (bph).
Sementara kebutuhan dalam negeri
diprediksi mencapai 1,6 juta bph. Tak
ayal, impor energi asal fosil
menjadi
alternatif
untuk
menutup
kekurangan.
Namun, apakah
kondisi
itu
bakal
terus
berlangsung?
A k a n k a h
Indonesia
menyerah dan
terus tergantung
pada bahan baku energi fosil? Sebagai
negara yang kaya akan sumber
bahan bakar nabati, kekhawatiran itu
harus diubah menjadi peluang dan
tantangan.
Sejatinya, pemanfaatan BBN
seperti biodiesel dan bioetanol
berkemampuan
menekan
angka
impor. Kebijakan untuk mendorong
pemanfaatan BBN telah dirintis
sejak 2006 melalui Perpres No. 5
tahun 2006. Dalam Perpres tersebut
tertera Kebijakan Energi Nasional
yang menyatakan bahwa pemerintah
menargetkan
pemakaian
BBN
mencapai 5 persen dalam bauran
energi nasional (energy mix) pada
2025.
Dua tahun kemudian, upaya
Pemerintah
dipertegas
dengan
dikeluarkannya
kebijakan
Mandatori BBN yang tertuang di
dalam Peraturan Menteri ESDM
No. 32 Tahun 2008 tentang
Penyediaan,
Pemanfaatan,
dan Tata Niaga Bahan Bakar
Nabati (Biofuel) sebagai Bahan
Bakar Lain. Peraturan Pemerintah yang
diluncurkan saat Purnomo Yusgiantoro
menjabat sebagai Menteri ESDM
saat itu mencantumkan pentahapan
kewajiban minimal pemanfaatan BBN.
Diharapkan usaha itu mampu menekan
besaran impor Bahan Bakar Minyak
(BBM). Pemerintah pun menetapkan
angka minimal pemanfaatan BBN
untuk dicampurkan dalam BBM
sebagai biofuel.
Perubahan kebijakan tersebut
bertujuan
untuk
mengakomodir
kondisi yang ada. Perubahan pertama
melahirkan Peraturan Menteri ESDM
No. 25 Tahun 2013. Sedangkan
perubahan kedua yang merupakan
perubahan terakhir tertuang dalam
Peraturan Menteri ESDM No. 20 Tahun
2014 yang ditetapkan pada 3 Juli
2014.
Perubahan
yang
dimaksud
berupa peningkatan pemanfaatan
biodiesel pada tahun 2020 dari 20%
menjadi 30% dan pada tahun 2025
dari 25% menjadi 30%. Kenaikan itu
berlaku untuk sektor usaha mikro,
usaha perikanan, usaha pertanian,
transportasi pelayanan umum PSO,
transportasi non PSO, serta industri
dan
komersial.
Menurut Menteri ESDM, Sudirman Said
pemerintah sepakat untuk meningkatkan
penggunaan BBN secara bertahap pada 2015
46
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
regulasi
Kenaikan diharapkan tidak hanya
mempercepat
target
pentahapan
menuju angka hingga 100% tetapi
juga ikut menggairahkan dunia tata
niaga BBN.
Dukungan Pengusaha
Untuk mencapai target, diluncurkan
Peraturan Pemerintah lainnya sebagai
pilar penguat kebijakan mandatori itu.
Dengan ditetapkannya target baru
sebesar 30% pada 2025, merupakan
langkah besar dari Kementerian ESDM
di bawah pimpinan Sudirman Said.
Sesuai Permen No. 20 Tahun 2014,
pemanfaatan
biodiesel
minimum
pada Januari 2015 adalah sebesar
10% dan meningkat menjadi 20%
pada Januari 2016. Dalam hal ini
Menteri ESDM, Sudirman Said
menuturkan, pemerintah sepakat
untuk meningkatkan penggunaan BBN
secara bertahap pada 2015 sehingga
target 20% pada tahun depan dapat
tercapai.
Terkait
kesepakatan
itu,
pemerintah lalu menerbitkan Peraturan
Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015 yang
berisi kewajiban pencampuran BBN
sebanyak 15% pada solar terhitung
mulai 1 April 2015 atau dikenal dengan
Mandatori B15. Jika mandatori
B15 diterapkan pada 1 April 2015,
penghematan uang negara sebesar
US$1,3-miliar akan terwujud.
Ketetapan mandatori itu otomatis
akan menaikkan kebutuhan biodiesel.
Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi
Baru, Terbarukan dan Konservasi
Energi (EBTKE), Kementerian ESDM,
menyatakan perkiraan kebutuhan
biodiesel mencapai 5,3-juta kiloliter.
Angka itu setara dengan 4,8 juta ton
minyak sawit mentah (CPO). “Kami
akan meminta dukungan pengusaha
minyak kelapa sawit untuk mewujudkan
kebijakan
B15
ini.
Setidaknya
diperlukan jaminan dari mereka terkait
ketersediaan biodiesel,” kata Rida.
Angin segar pun berhembus di
sektor produksi BBN terkait Harga
Indeks Pasar (HIP) untuk pembelian.
“Sekarang HIP biodiesel dihitung
dari HPE CPO (harga patokan ekspor
minyak sawit mentah) ditambah
US$ 125 per ton. Nanti akan ada
PP (Peraturan Pemerintah) untuk
mandatori ini,” ujar Rida. Ia optimis
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
Kebutuhan bahan bakar dalam negeri mencapai 1,6 juta barel per hari
mandatori
mampu
mendorong
penyerapan produksi CPO domestik
dan memberikan keuntungan bagi
negara. Selama ini produksi CPO ratarata per tahun mencapai 31-juta ton.
Hanya 10-juta ton yang dikonsumsi
dalam negeri, sisanya diekspor.
Subsidi biodiesel
Untuk merealisasikan mandatori
B15 bukanlah perkara mudah. Dari
sisi ekonomi, harga biodiesel menjadi
salah satu ganjalan tercapainya target
pemanfaatan biodiesel. Pada 2025
mendatang
diproyeksikan
selisih
antara produksi dengan konsumsi
BBM bisa mencapai 2,5-juta barel per
hari. Menanggapi kondisi tersebut,
pemerintah menyadari perlunya strategi
untuk mempercepat pemanfaatan
biodiesel di Indonesia. Salah satunya
dengan mengalihkan subsidi BBM ke
BBN.
Rida mengungkapkan, pemerintah
telah berusaha meningkatkan subsidi
biodiesel menjadi Rp4.000 per liter pada
APBN-P 2015. Peningkatan itu sangat
signikan ketimbang sebelumnya yang
hanya Rp1.500 per liter. Jadi alokasi
dana APBN untuk BBN menunjukkan
adanya peningkatan sebesar Rp3,09triliun. Anggaran Rp14,31-triliun dari
APBN 2015 ditingkatkan menjadi
RAPBN-P 2015 sebesar Rp-17,40triliun. Subsidi biodiesel diberikan
dalam upaya melindungi industri BBN
domestik. Itu karena biaya produksi
melampaui harga pasar, di tengah
harga minyak sawit global yang
rendah.
Upaya tersebut disambut baik oleh
para produsen BBN di tanahair. Dengan
demikian harga BBN di Indonesia dapat
ditetapkan berdasarkan harga patokan
selain Mean of Platts Singapore (MoPS).
Sebelumnya dengan MoPS, produsen
harus menanggung kerugian akibat
harga MoPS yang rendah. Bahkan
berdasarkan data dari Bursa Malaysia,
harga terakhir CPO (crude palm oil)
Juli 2014 harga CPO mencapai titik
terendahnya sejak 2009. Itu yang kerap
menyebabkan beberapa produsen
menurunkan pasokan BBN-nya ke
perusahaan milik negara Pertamina.
Untuk mendukung mandatori B15,
pemerintah melalui Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil
menyatakan pemberlakuan kewajiban
kepada
produsen
CPO
untuk
menyetorkan dana pendukung sawit
(CPO Supporting Fund). Besarnya yakni
US$ 50 per ton dari setiap penjualan
CPO, dan US$ 30 per ton dari penjualan
Olein. Selain itu, pemerintah juga
akan akan mengenakan bea keluar
(BK) sekitar 7,5 persen untuk setiap
kegiatan ekspor CPO. CPO Supporting
Fund nantinya akan digunakan untuk
menutup selisih harga pembelian
BBN domestik yang lebih tinggi
dibandingkan harga produk sejenis di
pasar Singapura (MOPS).
Upaya-upaya yang dilakukan
pemerintah akhirnya berbuah manis.
Dengan serangkaian kebijakan yang
mendorong tata niaga BBN, sebanyak
23 produsen biofuel yang tergabung
dalam APROBI (Asosiasi Produsen
Biofuel Indonesia) menyatakan siap
menyuplai
kebutuhan
biodiesel.
Kesuksesan kebijakan B15 mendorong
tata niaga BBN diharapkan menjadi
pintu masuk bebas hambatan bagi
implementasi kebijakan B20 di
masa mendatang sehingga target
pentahapan pemanfaatan BBN 100%
tercapai.***
47
regulasi
Transformasi Kebijakan Pemanfaatan
Bahan Bakar Nabati (BBN)
•
•
•
•
•
•
•
2006
- Instruksi Presiden No 1 Tahun 2006
- Penyaluran BBN dilakukan di 500 SPBU (Jakarta, Surabaya, Malang, Denpasar)
2008
- Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan
Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain
2009
- Pemerintah memberlakukan keijakan mandatory pemanfaatan BBN pada sektor transportasi, industri, dan
pembangkit listrik
2013
- Peraturan Menteri ESDM No. 25 Tahun 2013 tentang Perubahan Pertama Peraturan Menteri ESDM No. 32
Tahun 2008
- Pemanfaatan biodiesel ditingkatkan dari B7,5 menjadi B10
2014
- Peraturan Menteri ESDM No. 20 Tahun 2014 yang merupakan perubahan kedua atas Peraturan Menteri
ESDM No. 32 Tahun 2008
- Mandatori diberlakukan kepada Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Bahan Bakar Minyak dan
Pengguna Langsung untuk Pemanfaatan pada sektor transportasi (PSO dan NonPSO), industri, dan
pembangkit listrik
- Target pemanfaatan biodiesel pada tahun 2020 adalah B30
- Pengujian bersama seluruh stakeholder terkait untuk mendapatkan rekomendasi teknis pemanfaatan B20
2015
- Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 terkait penambahan BBN pada solar sebesar 15% mulai
1 April 2015
2016
- Implementasi B20
Sumber: Kajian Teknis dan Uji Pemanfaatan Biodiesel 20% (B20) pada Kendaraan Bermotor dan Alat Besar, Direktorat
Jenderal EBTKE (17 Februari 2015) dan Ditjen EBTKE (10 April 2015)***
Sudirman Said, Menteri ESDM mengungkapkan, pemerintah telah berusaha meningkatkan subsidi biodiesel menjadi
Rp4.000 per liter pada APBN-P 2015
48
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
regulasi
Minimal B10
P
eraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun 2008 telah mengalami dua kali perubahan. Perubahan kedua tertuang
dalam Peraturan Menteri ESDM No. 20 Tahun 2014. Inti perubahan yang tercantum yakni perubahan
pentahapan kewajiban minimal pemanfaatan biodiesel (B10) sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM)
baik untuk biodiesel, bioetanol, dan minyak nabati murni.
Biodiesel (minimum)
Juli
2014
Januari
2015
Januari
2016
Januari
2020
Januari
2025
10%
10%
20%
30%
30%
10%
10%
20%
30%
30%
10%
10%
20%
30%
30%
20%
25%
30%
30%
30%
Juli
2014
Januari
2015
Januari
2016
Januari
2020
Januari
2025
0,5%
1%
2%
5%
20%
1%
2%
5%
10%
20%
1%
2%
5%
10%
20%
-
-
-
-
-
Sektor
Usaha Mikro, Usaha Perikanan, Usaha Pertanian,
Transportasi, dan Pelayanan Umum (PSO)
Transportasi NonPSO
Industri dan Komersial
Pembangkit Listrik
Bioetanol (minimum)
Sektor
Usaha Mikro, Usaha Perikanan, Usaha Pertanian,
Transportasi, dan Pelayanan Umum (PSO)
Transportasi NonPSO
Industri dan Komersial
Pembangkit Listrik
Minyak Nabati Murni (minimum)
Juli 2014
Januari
2015
Januari
2016
Januari
2020
Januari
2025
Industri
5%
10%
20%
20%
20%
Tr a n s p o r t a s i
Laut
5%
10%
20%
20%
20%
Transportasi Udara
-
-
2%
3%
5%
Pembangkit Listrik
6%
15%
20%
20%
20%
Sektor
Industri dan Transportasi
(Low and Medium Speed
Engine)
Sumber: Kajian Teknis dan Uji Pemanfaatan Biodiesel 20% (B20) pada Kendaraan Bermotor dan Alat Besar, Direktorat
Jenderal EBTKE (17 Februari 2015)***
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
49
riset
Bak-bak budidaya alga Botryococcus sp strain I Nyoman Kabinawa (INK)
Menanti Aksi
Generasi Ketiga
Saat jumlah energi fosil menyusut lantaran sulit diperbaharui, mikroalga diyakini
berpotensi sebagai penyelamat. Bahan baku bioenergi generasi ketiga itu
tersedia sepanjang masa, tanpa perlu takut habis.
L
ima belas kendaraan Mitsubishi
Pajero 500 cc dan Nissan 4.200
cc tampak melaju cepat. Iringan
mobil-mobil berbahan bakar diesel itu
terlihat melintasi pantai utara (Pantura)
Jawa. Tujuan akhirnya sama, Pulau
Dewata, Bali.
Sesuai
karakternya,
dua
kendaraan yang tergolong jenis sport
tersebut melaju sangat kencang,
tanpa ada gangguan yang berarti.
Suara mesinnya pun terdengar halus.
Itu semua menandakan kerja mesin
dan pembakaran bahan bakarnya
sempurna. Tak ada yang menduga,
dibalik kerja mesin yang tampak
normal itu terselip “campur tangan”
50
bahan bakar asal biodiesel. Sebanyak
20% (B20) campuran bahan bakar
diesel yang mengisi tangki-tangki
kendaraan itu adalah diesel hijau dari
minyak alga.
Adalah Prof I Nyoman Kabinawa
MM MBA, sang arsitek minyak alga
pengisi biodiesel kendaraan-kendaraan
tersebut. Peneliti biodiesel mikroalga
dari Pusat Penelitian Bioteknologi
Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI)
di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat itu memang telah lama berkutat
melakukan uji coba minyak alga.
Kabinawa menuturkan dalam
ujicoba
penggunaan
biodiesel
mikroalga itu tidak terdapat masalah
pada mesin kendaraan. “Mereka (para
pengguna kendaraan ujicoba-red)
menyampaikan, kendaraan malah
menjadi lebih responsif,” ujar Kabinawa.
Itu artinya akselerasi kendaraan untuk
mencapai kecepatan tertentu, jauh
lebih cepat. Ujicoba pemakaian B20
itu sendiri merupakan uji lanjutan.
Sebelumnya telah dilakukan ujicoba
pada sejumlah kendaraan dengan
menggunakan campuran biodiesel 5%
(B5) dari minyak alga.
Keberhasilan ujicoba minyak alga
asal kultur mikroalga itu membuktikan
potensi besar dibalik sosok kecilnya.
Potensinya sebagai bioenergi dapat
mengurangi tingkat ketergantungan
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
riset
energi fosil. Pemanfaatannya bahkan
bisa menyalip energi baru dan
terbarukan yang telah ada sebelumnya
seperti, energi matahari, energi angin,
energi panas bumi, energi tenaga air,
serta pemanfaatan biomassa seperti
singkong, kelapa sawit, dan jarak.
Pemerintah sejauh ini memiliki perhatian
serius
untuk
mengembangkan
biodiesel
mikroalga
itu.
Dalam
Pertamina Energy Look pada akhir
2014,
Direktur Pemasaran dan
Perdagangan
Pertamina,
Ahmad
Bambang menjelaskan mikroalga
dapat berkontribusi lebih besar
daripada minyak sawit sebagai bahan
bakar biodiesel nabati. Apalagi pada
2025, pemerintah memproyeksikan
kontribusi
konsumsi
biodiesel
nabati akan mencapai 5% dari total
kebutuhan biodiesel melalui program
B30 dan program E20.
Minyak alga
I Nyoman Kabinawa memang sohor
sebagai periset mikroalga di tanahair.
Salah satu pencapaian luar biasanya
ketika ia mampu memproduksi
biodiesel
berbasis
alga
yang
dicampurkan pada bahan bakar solar.
“Saya meriset biodiesel mikroalga
sejak Agustus 2008,” katanya. Dari
penelitian tersebut memperoleh minyak
alga itu setelah membudidayakan dan
mengolah alga Botryococcus sp strain
I Nyoman Kabinawa (INK) di bak-bak
akuarium 10 liter dan bak fiber 200
liter.
Alga yang dikoleksi Kabinawa
berasal dari perairan tawar di Desa
Karang Tengah, Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat. Alga anggota famili
Chlorophyceae yang diperoleh pada
Juli 2008 itu dimurnikan lantas dikultur
dalam medium MBM (Modified Bristol
Medium) dari skala laboratorium
sampai skala adaptasi 1.000 liter
dalam medium teknis komersial
(T-KOM). Kabinawa memanen alga itu
pada umur 10-12 hari setelah warna
permukaan air menjadi hijau pekat.
Kabinawa
menghitung
produktivitas tumbuhan renik berukuran
mikroskopik dengan diameter 3-30
μm itu mencapai 200 liter per 0,5 meter
persegi. Nah, alga dengan kandungan
40% lemak itu selanjutnya diproses
menjadi minyak. Tahap berikut, minyak
ditransesterifikasi mengunakan katalis
tertentu sehingga diperoleh biodiesel
mikroalga secara berkesinambungan
sebanyak 0,4% per 400 liter kultur
Alga dari jenis mikroalga diketahui
berpotensi menghasilkan minyak
dalam jumlah besar lantaran
memiliki kadar lemak tinggi
setiap 10 hari. Proses pembuatan
minyak alga selanjutnya adalah
mengektraksinya. Dari 200 liter alga
setidaknya dapat menghasilkan 483
ml minyak.
Dalam ujicoba memakai kendaraan
diesel,
Kabinawa
menambahkan
minyak alga itu dengan perbandingan
Prof I Nyoman Kabinawa MM MBA, membudidayakan dan mengolah alga Botryococcus sp strain I Nyoman
Kabinawa (INK)
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
51
riset
1:4 atau 2 liter minyak alga
dicampurkan dengan 8 liter bahan
bakar solar. Hasilnya, diluar dugaan.
Mesin kendaraan yang mengandung
minyak alga justru bekerja sempurna,
terbukti dari tarikannya yang terasa
lebih ringan.
Menurut Kabinawa, regangan
lokal strain INK sebesar 0,4%—0,6%
selama 10-12 hari budidaya. Bila
dikonversi, produksi minyak alga dalam
luasan satu hektar selama setahun,
bisa memproduksi hingga 72.000 liter
minyak alga. Tak hanya minyak, produk
samping dari proses itu berupa gliserin
juga melimpah, mencapai 0,042%—
0,073%.
dicampur dengan 60% minyak tanah
sebagai bahan bakar lampu. Volume
campuran minyak sebanyak 200 ml
bisa menyalakan lampu badai selama
17 jam dengan hasil pembakaran bebas
jelaga. “Penelitian hingga pemakaian
B60 tetap menghasilkan pembakaran
bebas jelaga,” kata Kabinawa.
Lebih jauh Kabinawa menjelaskan
saat ini biodiesel mikroalga strain
INK sudah diproduksi pula menjadi
bio booster bagi kendaraan. Caranya
dengan menambahkan minyak asiri
dan bahan kimia tertentu sehingga bisa
meningkatkan kadar oksigen hingga
Jagoan Mungil
Dari 2 Habitat
Konsentrasi meningkat
Penggunaan minyak alga membuat
konsentrasi bahan bakar nabati jauh
meningkat. Peran kalor dari bahan
bakar nabati bakal mendongkrak
efisiensi bahan bakar. Ujung-ujungnya,
pembakaran mesin menjadi lebih
sempurna. Alhasil, sisa pembakaran
berupa
karbondioksida
lebih
sedikit sehingga mampu menekan
pencemaran lingkungan.
Kelebihan alga adalah bebas
sulfur. Harap mafhum pada minyak
solar nabati mengandung sulfur
hingga 24 ppm. Hal itu berdampak
terhadap kinerja mesin karena memicu
emisi solid particulate matter (SPM)
dan asap hitam. Menurut Kabinawa
kondisi itu tidak berlaku bagi biodiesel
alga. Sebab, minyak alga memang
tak mengandung sulfur. Wajar saat
Kabinawa meningkatkan persentase
minyak alga hingga 40%, mesin tetap
berjalan stabil.
Dari percobaan juga terlihat
perbedaan nilai minyak diesel (solar).
Dengan biodiesel B20, pada kecepatan
2.200 rpm adalah sebesar 1,37% atau
0,004 kg/jam, sedangkan pada 2.500
rpm sebesar 1,64% atau 0,005 kg/jam.
“Nilai rata-rata pengurangan emisi gas
memakai B20 pada mesin diesel 7 HP
mencapai 67,239%,” ujar Kabinawa.
Itu menunjukkan performa biodiesel
yang telah sejalan dengan peraturan
pemerintah dalam hal pengurangan
emisi.
Kabinawa mengungkapkan minyak
alga juga bisa dimanfaatkan sebagai
bahan bakar lampu badai. Untuk
tujuan tersebut, 40% minyak alga
52
kadar tertentu. Peningkatan oksigen
itu bakal berujung pada pembakaran
yang makin sempurna dan lebih ramah
lingkungan. “Penambahannya dalam
jumlah mmol dan sangat presisi,” ujar
ayah 3 anak itu.
Produk bio booster itu sudah
diujicoba pada kendaraan diesel
dengan menggunakan satu liter bio
booster yang dicampurkan dengan
bahan
bakar
diesel
Pertamina
DEX sebanyak 500 liter. “Hasilnya
memuaskan, tidak ada masalah
saat mobil dicek ke bengkel,” kata
Kabinawa.***
A
lga memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai
energi baru bahan bakar. Beberapa spesies alga diketahui
berpotensi menghasilkan minyak dalam jumlah besar lantaran
memiliki kadar lemak tinggi. Mereka antara lain Scenedesmus
obliquus sebanyak 11%—12%, Scenedesmus dimorphus
6%—7%, Chlorella emersonii 63%, Chlorella protothecoides 23%,
Chlorella sorokiana 22%, Chlorella minutissima
57%, Dunaliella bioculata 8%, Dunaliella salina
14-20%, Neochloris oleoabundans 35-65%,
Spirulina maxima 4-9%, serta Botryococcus
braunii.
Pengembangan alga yang hidup di
habitat air tawar (limpoplankton) dan air laut
(haloplankton) sebagai sumber energi alternatif
tidak akan menemui kendala lantaran memiliki
seabrek keunggulan seperti memiliki struktur sel yang
sederhana dan kemampuan untuk mengendalikan sel
tanpa mengurangi produktivitas. Alga juga memiliki
kemampuan berfotosintesis sangat tinggi, sekitar
3-8% sinar matahari mampu dikonversi
menjadi energi. Padahal tanaman tingkat
tinggi hanya berkisar 0,5%.
Menurut Prof I Nyoman Kabinawa
MM MBA, alga memiliki siklus hidup
yang pendek antara 1-10 hari.
Ia juga mempunyai kemampuan
untuk mensintesis lemak sangat
tinggi, mencapai 40–86% berat
kering biomassa. “Yang penting
pula pemanfaatan alga tidak akan
bersaing dengan produk pangan,”
ujar Kabinawa yang meriset gliserin,
hasil samping dari proses biodiesel
mikroalga untuk bahan sampo
hingga pakan ternak itu.***
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
riset
Racik Bioalga Ala
Prof I Nyoman Kabinawa
Racik 1 . Alga Botryococcus sp
strain I Nyoman Kabinawa
(INK) asal perairan tawar
di Desa Karang Tengah,
Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat. merupakan sumber
utama minyak alga.
Racik 2. Anggota
famili
Chlorophyceae dimurnikan
lantas
dikultur
dalam
medium MBM (Modified
Bristol Medium) dari skala
laboratorium sampai skala
adaptasi 1.000 liter dalam
medium teknis komersial
(T-KOM).
1
Racik 3. Alga dipanen pada umur
10-12 hari setelah warna
permukaan air menjadi
hijau pekat. Produktivitas
tumbuhan renik berukuran
mikroskopik denga diameter
3-30 μm itu mencapai 200
liter per 0,5 meter persegi.
Racik 4. Setelah
dipanen
alga
diekstraksi
dan
dan
ditransesterrifikasi
mengunakan
katalis
tertentu sehingga diperoleh
biodiesel mikroalga secara
kontinu 0,4% per 400 liter
kultur setiap 10 hari.
2
3
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
4
53
mancanegara
Menyongsong Era
Diesel Hijau
Jepang kini telah mampu mengolah alga untuk memenuhi tangki bahan
bakar bus. Dua perusahaan besar Jepang yaitu Isuzu Motors Ltd dan Euglena Co
menandatangani perjanjian kerjasama pada penghujung Juni 2014 untuk bersamasama mengembangkan biodiesel berbahan alga.
Hamparan ganggang hijau Euglena, harta karun energi Jepang.
54
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
mancanegara
I
suzu Motors Ltd merancang bus
yang mampu melaju dengan
bahan bakar berbasis ganggang.
Bergandengan dengan Euglena Co,
perusahaan ventura yang berfokus
pada pengembangan bioteknologi,
memproduksi DeuSEL atau biodiesel
yang terbuat dari organisme bersel
tunggal bernama euglena. Ambisi
kedua perusahaan tersebut yaitu
mengembangkan biodiesel berbasis
alga dalam kuantitas besar yang akan
dicapai pada 2018.
Sebulan usai perjanjian, mereka
mulai mengembangkan biofuel alga
untuk shuttle bus. Kendaraan diuji coba
menjalani rute sejauh 2 kilometer dari
pabrik Isuzu di Fujisawa menuju stasiun
terdekat di Kanagawa, Tokyo bagian
selatan. Tanggal 25 Juni 2014 tercatat
sebagai hari pertama pengoperasian
bus yang mampu melaju berbahan
bakar minyak ekstrak euglenophyceae
tersebut. Selama masa uji coba pada
Juli 2014, produsen meneliti dampak
penggunaan bahan bakar berbasis
Euglena bagi mesin dan performa
kendaraan.
DeuSEL, bahan bakar kendaraan
tersebut
merupakan
kombinasi
dari kata diesel dan euglenamikroorganisme
berkarakteristik
hewan dan tumbuhan. Bus bertenaga
DeuSEL dijadwalkan menjalani 22
rute perjalanan setiap harinya. Pada
tahap awal, pencampuran minyak alga
baru mencapai 5 persen. Harapannya
dalam empat tahun dapat menciptakan
teknologi
yang
memungkinkan
penggunaan bahan bakar 100 persen
alga.
Organisme kecil kaya protein,
vitamin dan mineral yang dapat di
Jepang dikenal dengan ‘midorimushi’
pertama kali dibudidayakan secara
massal pada tahun 2005 di kepulauan
bagian selatan Jepang. Euglena Co
telah berhasil mengekstrak akumulasi
kandungan minyak hasil fotosintesis
algae. Proses fotosintesis organisme
tersebut mampu menangkap CO2 dan
mengubahnya menjadi energi, selain
menghasilkan oksigen.
Para ahli menuturkan keunggulan
alga bahwa minyak alga per luasannya
700 kali lebih tinggi dari jagung,
sehingga bahan bakar berbasis alga
disebut sebagai sumber impian yang
dapat dibudidayakan. Selain itu, tidak
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
Kerjasama Isuzu Motors Ltd dan Euglena Co mengembangkan Euglena
sebagai bahan bakar ramah lingkungan kendaraan bus di Jepang
CO2
euglena fuel
Bahan bakar alternatif berbasis
algae, mendorong reduksi emisi CO2
seperti biofuel lainnya yang terbuat dari
sekam padi dan jagung, euglena dapat
‘digandakan’ di dalam pabrik. DeuSEL
menjadi lebih mudah diproduksi
secara massal. Alga juga berperan
penting bagi lingkungan karena dapat
menyebar dan menyerap senyawa
organik nitrogen dan fosfor dari air
limbah dan air limbah pertanian.
Presiden
dari
Euglena
Co
mengungkapkan langkah ini semakin
mendekatkan
Jepang
dengan
Bus Midorimushi (Jepang : salah satu jenis algae) Biofuel berbahan bakar
DeuSEL, kombinasi dari kata diesel dan euglena.
55
mancanegara
167 yen per liter. Perlu pengembangan
teknologi budidaya massal untuk
mengurangi biaya produksi. Tantangan
lain yaitu persaingan dengan produsen
biodiesel dari alga asal Amerika Serikat.
Tahun 2011, Angkatan Laut AS mulai
menggunakan bahan bakar berbasis
ganggang untuk helikopter mereka.
Beberapa pesawat penumpang juga
telah berbahan bakar algae.
AS bahkan menyusun cetak biru
pengembangan dan menyediakan
subsidi yang besar. Presiden Barack
Obama telah meyatakan bahwa bahan
bakar ganggang dapat menggantikan
17 persen dari bahan bakar yang
diimpor untuk sektor transportasi.
Co-founder Microsoft, Bill Gates
Stasiun pengisian DeuSEL, bahan bakar berbasis Algae.
dan pemodal ventura lainnya juga
bertenaga nuklir di zona industri
membiayai pengembangan bahan
komersialisasi cultivable resources atau
Keihin
di
Kanagawa.
IHI
mengestimasi
bakar berbasis ganggang.
bahan bakar yang dapat dibudidayakan.
permintaan bahan bakar berbasis alga
Euglena Co terus menerus
Pengembangan biofuel berbasis alga
akan mencapai 800-miliar yen pada
melakukan upaya menumbuhkan jenis
di Jepang dipacu semangat upaya
2020.
ganggang dalam jumlah besar. Industri
menyelamatkan lingkungan dari emisi
Jepang
menduduki
peringkat
tersebut menggandeng Universitas
gas rumah kaca dan menggantikan
tiga terbesar konsumsi minyak tanah
Tsukubaka, mulai mengoperasikan
biofuel konvensional dari jagung dan
sehari-hari di dunia setelah Amerika
fasilitas demonstrasi untuk budidaya
tebu. Di Jepang, jagung dan tebu
Serikat dan China. Tingkat swasebada
massal yang disebut Botryococcus
dicanangkan tidak lagi menjadi sumber
energi
Jepang
pun
tidak
lebih
dari
1
sp. Fasilitas demonstrasi memiliki 23
utama bahan bakar alternatif, sebab
persen. Jika pengembangan bahan
unit budidaya khusus berkapasitas
pemanfaatan keduanya memicu harga
bakar berbasis ganggang berhasil,
total 72 ton. Profesor di Universitas
komoditas biji-bijian atau grain di pasar
maka dapat turut menyumbang
Tsukuba, Makoto Watanabe bertujuan
dunia meningkat.
swasembada
energi
Jepang.
mengurangi harga biofuel hingga
Alga, mikroorganisme berukuran
Tantangan terbesar pengembangan
lebih rendah dari biaya produksi.
panjang 0,05 mm menjadi perhatian
alga yaitu tingginya biaya produksi
Ia
mempertimbangkan
cara
sebagai alternatif sumber bahan bakar
yang mencapai 500-600 yen per liter
memanfaatkan produk turunan yaitu
yang tidak perlu bersaing dengan
sedangkan bensin konvensional hanya
residu ekstraksi ganggang digunakan
kebutuhan pangan. Bahan bakar yang
sebagai
bahan
industri
bersumber dari tanaman
kosmetik,
makanan
dan
dan material lain yang
kesehatan.
menyerap karbondioksida
Selain moda transportasi
untuk
pertumbuhannya,
darat, euglena dipersiapkan
turut berperan menekan
menjadi bahan bakar pesawat
peningkatan CO2 di udara
terbang hasil kerjasama JX
sebagai hasil pembakaran.
Nippon Oil & Energy dan
Permintaan biofuel terus
Hitachi. Perusahaan pesawat
tumbuh seiring upaya dunia
terbang ingin mengenalkan
melawan pemanasan global.
penggunaan biofuel untuk
Jika
Isuzu
dan
mengurangi
emisi
CO2.
Euglena
Co
menggebu
Ogranisasi Penerbangan Sipil
mengembangkan alga untuk
Internasional
memutuskan
bahan bakar kendaraan, IHI,
untuk mengakhiri emisi CO2
sebuah perusahaan pembuat
dari penerbangan internasional
alat berat bertenaga listrik
mulai 2020. Euglena menjadi
di Jepang, membudayakan
biofuel
alternatif
yang
strain algae yang diberi
menyubstitusi 10 persen dari
nama ‘Enomoto algae’. IHI
bahan bakar yang digunakan
merancang lokasi budidaya
penerbangan Jepang ke rute
alga dekat dengan pabrik
Siklus karbon CO2-Euglena-DeuSEL-Bus Midorimushi
domestik pada tahun 2020. ***
raksasa produsen produk
56
BIOENERGI | EDISI 01 | APRIL 2015
BioEnergy
for a Bright Future
Download