Bayi Tabung dan Inseminasi Buatan (Hewan dan Manusia) Pengertian bayi tabung dan inseminasi buatan (hewan dan manusia) Pendapat para ulama tentang bayi tabung dan inseminasi buatan (hewan dan manusia) Pengertian bayi tabung dan inseminasi buatan (hewan dan manusia) Inseminasi: pembuahan atau penghamilan secara teknologi, bukan secara alamiah al-talqih dari fiil (kata kerja) laqqaha-yulaqqihu menjadi talqihan yang berarti mengawinkan atau mempertemukan (memadukan) Inseminasi buatan ialah pembuahan pada hewan atau manusia tanpa melalui senggama Pendapat para ulama tentang bayi tabung dan inseminasi buatan Dasar qiyas (analogi): ابروا أنتم أعلم بأمور دنياكم Kaidah hukum fiqh Islam: األصل فى األشياء اإلباحة حتى يدل الدليل على تحريمها Dalam pandangan Islam, bayi tabung (inseminasi buatan) apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami), maka Islam membenarkan, baik dengan cara mengambil sperma suami, kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri, asal keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak. الحاجة تنزل منزلة الضرورة والضرورة تبيح المحظورات Lanjutan... inseminasi buatan yang dilakukan dengan bantuan, donor sperma dan atau ovum, maka diharamkan, dan hukumnya sama dengan zina. Dan sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi tersebut tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Dasar hukum pengharaman inseminasi buatan dengan donor QS. al-Isra’ 17/70 QS. at-Tin 95/4 Hadis )ال حيل المرئ يؤمن ابهلل واليوم األخر أن يسقي ماءه زرع غريه (احلديث Perbedaan Ulama tentang Mengawini Wanita Hamil akibat Zina Hanbali, tidak boleh dinikahi oleh pria yang tidak menghamilinya sebelum anak yang dikandung itu lahir. Sebab ada ‘iddah. Syafi’i membolehkan dikawini oleh orang yang tidak menghamilinya tanpa harus menunggu lahirnya bayi yang dikandungnya. Sebab anak yang dikandungnya tidak ada hubungan nasab dengan pria yang berzina yang menghamili ibunya. Tidak perlu ada ‘iddah. Abu Hanifah membolehkan (sah nikahnya), tetapi dengan syarat pria yang menjadi suaminya itu untuk sementara tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya sebelum bayi yang di kandungnya lahir.