cultural studies: dimensi pengembangan linguistik masa depan

advertisement
PERMASALAHAN, STRATEGI, DAN AKURASI PENERJEMAHAN TEKS
BAHASA INGGRIS KE DALAM BAHASA INDONESIA
Zulprianto, Paruhuman Nasution, & Muhammad Yusdi
Universitas Andalas
ABSTRACT
The main points discussed in this research are the accuracy, problems
encountered, and techniques applied by the twelve respondents, who
are students of English Department Students of AndalasUniversity,
when translating an English text into Indonesian. The respondents were
asked to translate a text which is approximately 500 words in length into
Indonesian. Therefore, there were twelve comparable texts collected. As
for the translation process, they were given a plenty of time (a couple of
days) and were also allowed to use any kinds of translation tools. The
results of the analysis show that the respondents tended to apply literal
methods or strategies in their translation especially in terms of word
order or syntactical constructions, to be more general. These tendencies
in general do not necessarily produce inadequate translations, but to
some degree, it may produce less natural target text. Also, they made
some considerable mistakes in choosing the appropriate equivalence for
the words of the source text. The inaccuracies they made ended them
up with producing incorrect translations. The inputs obtained from this
research are worth noting in the effort to improve the translation learning
and teaching process particularly at the English Department and to
enrich insight in the field of translation studies.
Keywords: translation strategy, translation method, translation accuracy
1. Pendahuluan
Bagi mahasiswa Prodi Bahasa &Sastra Inggris Unand, menguasai
Bahasa Inggris merupakan salah satu tujuan. Penguasaan bahasa Inggris
mahasiswa tersebut dapat diukur, salah satunya, dari kemampuan mereka
melakukan
penerjemahan
yang
melibatkan
kedua
bahasa
tersebut;Penerjemahan dijadikan sebagai ukuran dimungkinkan karena kegiatan
penerjemahan pada dasarnya membutuhkan kompetensi yang idealnya
seimbang dalam bahasa-bahasa yang terlibat (Kaur, 2005:2; Muhammad,
1979:12; Muhammad, 1987:1-2; Riazi, 2003:1). Kompetensi yang dimaksud tidak
hanya dilihat dari sisi linguistiknya, tetapi juga dari sisi ekstra-linguistiknya yakni
sosio-kulturalnya. Hal ini karena permasalahan penerjemahan pada intinya
berawal dari perbedaan bahasa dan budaya. Untungnya di Prodi Bahasa dan
Sastra Inggris Unand, para mahasiswa biasanya juga diajarkan berbagai teori
linguistik mikro, makro, dan juga pengetahuan ekstra linguistik lain yang
mendukung terbentuknya kompetensi tersebut. Pengetahuan linguistik dan
Linguistika Kultura, Vol.03, No.02/November/2009
budaya tentang bahasa dan penutur bahasa Inggris yang mereka peroleh pada
gilirannya sangat membantu kemampuan mereka menerjemah.
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengurai tiga hal:(1)
permasalahan penerjemahan (subjektif) yang dihadapi responden (dalam hal ini
mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Andalas), (2) Teknik
penerjemahan yang diaplikasikan para responden dan (3) akurasi hasil
terjemahan para responden.
Hasil identifikasi ketiga hal di atas dapat digunakan, khususnya, sebagai
perbaikan proses belajar mengajar (remedial-akademik) mata kuliah yang terkait
dengan Ilmu Penerjemahan dan, umumnya, sebagai untuk mewarnai khasanah
bidang ilmu dimaksud.
2. Landasan Teori
Meskipun Ilmu Penerjemahan berada di bawah payung linguistik terapan
karena teori dan praktek penerjemahan muncul sebagai akibat dari fenomena
atau perbedaan linguistik dua atau lebih bahasa yang terlibat, linguistik bukanlah
satu-satunya ilmu yang mendapat keuntungan dari setiap kegiatan
penerjemahan. Faktanya, sejarah kehidupan manusia membenarkan bahwa
semua cabang ilmu yang lain sesungguhnya berawal dari aktifitas dan hasil
penerjemahan.Aktifitas penerjemahan berjasa memperkenalkan bahkan
melahirkan ilmu-ilmu yang lain. Hal ini senada dengan ungkapan Bruno (dalam
Gross, 2005:1), ’From translation all science had its offspring’.
Salah satu aspek yang memudahkan proses penerjemahan adalah
apabila kedua bahasa yang terlibat memiliki kesamaan linguistik (hal lain adalah
budaya penuturnya). Kesamaan bentuk-bentuk linguistik memungkinkan setiap
bahasa bisa diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan sedikit penyesuaian
(Zulprianto, 2008:1). Faktanya, kesamaan-kesamaan dalam beberapa bahasa
terjadi tidak hanya pada tingkatan fonologi, morfologi, tetapi juga sintaksis.
Chomsky (dalam Anelo, 2004:1) mungkin benar ketika mengatakan bahwa lebih
dari 4000 bahasa di dunia menunjukkan kesamaan sintaksis sekalipun fonologi
dan ortografinya berbeda dalam hal tertentu. Menurut Chomsky kesamaan
sintaksis inilah yang memungkinkan proses penerjemahan bisa dilakukan.
Sesungguhnya, semakin dekat hubungan linguistik (karena berada dalam satu
rumpun) dan kultural (secara geografis berdekatan, dsb) memudahkan proses
terjemahan karena tidak banyak strategi atau penyesuaian yang
harus
dilakukan.
Bahasa Indonesia dan Inggris tampaknya tidak memiliki hubungan
kekerabatan sebagai akibat jarak geografis. Sehingga, boleh jadi kesamaan yang
dimiliki kedua bahasa tersebut sekedar bersifat kebetulan.Salah satu bentuk
linguistik kedua bahasa yang memiliki kemiripan, misalnya dalam hal constituent
order atau word order (urutan kata dalam kalimat). Dalam aliran deskriptif
linguistik, kajian word order ini merujuk kepada urutan bagian-bagian gramatikal
sebuah kalimat seperti subjek, verb, dan objek (Crystal (1987:98)
Urutan kata dalam kalimat dalam Bahasa Indonesia pada dasarnya
adalah S(ubjek) + V(erb) + O(bjek) pada kalimat transitif (Stack, 2005:168;
Chung, 2006:143; Sneddon, 1996:256). Word order yang sama juga ditemukan
dalam Bahasa Inggris. Perbedaannya terdapat pada bentuk kalimat intensif, yaitu
kalimat yang menggunakan BE sebagai verba; dalam Bahasa Inggris setiap
kalimat harus mempunyai kata kerja (verb) karena kata kerja tersebut akan
menjadi penanda aspek dan tense (Quirk & Greenbaum, 1973:12-13).
46
Zulprianto, Paruhuman Nasution & Muhammad Yusdi
Sebaliknya, Bahasa Indonesia tidak harus demikian. Misalnya, kalimat She is
smart adalah kalimat intensifkarena hanya mempunyai intensiveverb (is); verba
‘is’ tersebut menjadi penandaaspek dantense kalimat tersebut sebagaisimple
present.
Jika kalimat tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, salah
satu hasil terjemahannya adalah Dia cerdas; kalimat inihanya memiliki subjek
dan complement, tidak punya verb. Akan tetapi, terlepas dari perbedaan tata
bahasa demikian, urutan katadalam kedua bahasa untuk kalimat tersebut
tergolong relatif sama (subjek mendahului complementnya).
Lebih jauh tentang bukti kemiripan word order Bahasa Inggris dan
Bahasa Indonesia adalah kutipan dari Parera (1988:9-11) di bawah ini yang
menunjukkan bahwa terdapat lima struktur dasar kalimat dalam kedua bahasa
tersebut. Berikut adalah contoh kalimat dan terjemahannya dalam halfungsi
sintaksis:
a.
Bahasa Inggris1
S+V
Birds sing
S+V+O
John bought a
book
S + V + O i + Od
John
gave
Mary a book
S+V+C
John is a doctor
John is good
S + V + Adverbial
John is here
1. S + V
Bahasa Indonesia
Burung-burung bernyanyi
b.
Birdsber-sing (lit2.)
2. S + V + O
Johnmembelisebuahbuku
c.
John mem-buy a
book
(lit.)
3. S + V + Oi + Od
d.
JohnmemberikanMarysebuahb
uku
John me-give-kanMary a book
e.
4. S + P
Johnguru/sedih(lit.)
John teacher/sad
5. NP + P
Johndi sini(lit.)
John here
Dari susunan kategori sintaksis di atas terlihat bahwa word order struktur
kalimat dasar dalam kedua bahasa relatif sama; perbedaannya terletak pada
kenyataan bahwa setiap kalimat dalam Bahasa Inggris harus mempunyai
verbasebagai penanda aspek dan tense; sedangkan dalam Bahasa Indonesia
tidak harus demikian. Perbedaan ini ditunjukkan dalam poin d, e, 4, dan 5 di
mana konstituen setelah subjek dalam poin 4 dan 5 hanya ditunjukkan dengan
fungsi sintaksis predikat saja.
Kaitan perbandingan struktur dasar (kernel) kedua bahasa tersebut
dengan penerjemahan yang melibatkan kedua bahasa tersebut tentu
bersinggungan dengan dikotomi penerjemahan harfiyah (literal) dan bebas.
Asumsinya, jika bahasa sumber dan bahasa sasaran memiliki word order yang
sama, maka terjemahan literal sangat mungkin dilakukan oleh penerjemah, sadar
atau tidak sadar. Jika penerjemah melakukannya dengan tidak sadar, kondisi ini
1
NP (Noun Phrase), VP (Verb Phrase), AP (Adjective Phrase), Adjunct (Keterangan), AdverbP
(Adverb Phrase)
2
Lit. maksudnya literally translated atau terjemahan literal
47
Linguistika Kultura, Vol.03, No.02/November/2009
kemungkinan dipengaruhi oleh kompetensi penerjemah: penerjemah memiliki
keterbatasan dalam hal pengetahuan linguistik kedua bahasa. Sebaliknya, jika
penerjemah melakukannya dengan sadar, situasi tersebut kemungkinan digiring
oleh preferenceatau subjektivitas penerjemah; misalnya karena ia secara sadar
hendak menjaga word order bahasa sumber di dalam bahasa sasaran.
Secara umum, penelitian yang berhubungan dengan bidang terjemahan
dibagi ke dalam tiga macam; tentang proses dan hasil terjemahan, tentang
pengajaran terjemahan dan yang terakhir tentang penelitian yang menggunakan
terjemahan sebagai alatnya (Suryawinata dan Hariyanto, 2003: 173). Dalam
artikel ini, kami membatasi diri pada produkterjemahan sebagai data, bukan
proses. Oleh sebab itu, analisis penelitian ini akan terbatas pada jangkauan
tertentu. Data yang terbatas pada dasarnya akan berakhir dengan kesimpulan
atau penemuan yang terbatas. Data yang akan digunakan merupakan sebuah
teks berbahasa Inggris dan dua belas terjemahannya dalam bahasa Indonesia
(comparable texts).
Pada tahun 1958, Vinay dan Darbelnet (dalam Munday, 2001:56)
melakukan penelitian yang melibatkan Bahasa Inggris dan Bahasa Prancis.
Keduanya menganalisa dua teks dalam dua bahasa tersebut dan
membandingkannya. Hal-hal yang mereka perhatikan adalah perbedaan
linguistik (contrastive linguistics) dan mengidentifikasi strategi dan prosedur
penerjemahan teks dimaksud.
Kemudian, Brislin, pada tahun 1976, (dalam Suryawinata dan Hariyanto,
2003:180) melakukan penelitian yang berusaha mengamati proses atau prosedur
penerjemahan naskah IPTEK dari suatu bahasa yang mempunyai banyak istilah
teknis (Bahasa Inggris) ke dalam bahasa yang hanya mempunyai sedikit istilah
teknis (Bahasa Vietnam).
Selain itu, Hariyanto pada tahun 1997 (Suryawinata dan Hariyanto, 2003:
181-184) melakukan penelitian terhadap karya sastra yaitu novel asli BurungBurung Manyar karya Mangunwijaya dan versi terjemahannya yang berjudul The
Weaverbirds yang diterjemahkan T. M. Hunter. Penelitian ini menganalisa tingkat
padanan teks bahasa sumber dan bahasa sasaran dalam tiga aspek utama yaitu
makna dan/atau amanat, gaya, dan kesan pembaca. Masalah yang ingin
diungkapkan adalah akurasi dan equivalent effects ketiga aspek tersebut ketika
bahasa sumber dan bahasa sasaran dibandingkan.
2.1 Permasalahan dalam Penerjemahan
Pada dasarnya permasalahan dalam penerjemahan adalah fakta bahwa
kesepadanan atau ekuivalensi unit bahasa antara bahasa tidak selalu ada. Lebih
jauh, kondsi demikian disebabkan oleh perbedaan budaya dan bahasa penutur.
Oleh sebab itu, menerjemahkan sebuah teks bahasa juga sebenarnya
menerjemahkan budaya dari penutur Teks Sumber (Tsu) kepada penutur Teks
Sasaran (Tsa).
Karena bahasa mempunyai sifat partikuler dan universal, budaya juga
demikian. Artinya, bahasa-bahasa di dunia mempunyai persamaan dan juga
perbedaan; jika membandingkan sebuah bahasa A dengan bahasa B, bisa saja
sisi perbedaannya lebih besar bila dibandingkan dengan bahasa C dan D.
Namun, intinya adalah bahwa bahasa-bahasa tersebut selalu memiliki
persamaan dan perbedaan. Lagipula, itu sebabnya mereka disebut sebagi
bahasa (yang berbeda). Kadar atau tingkat perbedaan dan persamaan bahasabahasa tersebut tampaknya dipengaruhi oleh kenyataan apakah mereka berasal
48
Zulprianto, Paruhuman Nasution & Muhammad Yusdi
dari rumpun yang sama atau tidak. Rumpun bahasa dalam banyak hal berangkat
dari kenyataan kedekatan geografis yang pada gilirannya membuat penuturnya
juga memiliki budaya yang relatif sama. Pendeknya, penutur bahasa serumpun
biasanya mempunyai budaya yang relatif sama. Akibatnya, menerjemahkan dari
Bahasa Inggris ke Bahasa Jerman, misalnya, lebih mudah karena budaya
keduanya lebih identik dibandingkan dengan menerjemahkan dari Bahasa Inggris
ke Bahasa Indonesia.
Lebih jauh, permasalahan dalam penerjemahan dapat dikategorikan ke
dalam dua bagian: objektif dan subjektif. Permasalahan objektif merupakan
permasalahan inheren: berasal dari kendala linguistik atau budaya seperti
disinggung di atas. Permasalahan subjektif, sebaliknya, merupakan
permasalahan yang berasal dari penerjemah sendiri, misalnya, pengetahuan
rendah atas Tsu dan Tsa yang mempengaruhi akurasi hasil terjemahan, durasi
penerjemahan yang lama, dsb. Artikel ini hendak memfokuskan perhatian
terhadap permasalahan subjektifnya.Sebagai usaha untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan kegiatan penerjemahan tersebut, penerjemah
biasanya dapat mempedomani ideologi, metode, dan strategi penerjemehan.
2.2 Ideologi, Metode, dan Teknik Penerjemahan
Ketiga istilah tersebut (Ideologi, Metode, dan Teknik Penerjemahan),
dalam bidang penerjemahan, kadang menimbulkan kebingungan karena para
pakar kadang tidak menggunakan istilah yang sama sekalipun substansinya
sama. Keadaan ini dipicu beberapa hal. Pertama, kenyataan bahwa Ilmu
Penerjemahan masih tergolong sebagai disiplin ilmu baru yang mulai mapan
sejak pertengahan abad ke dua puluh. Karena usianya masih belia, statusnya
juga belum begitu mapan. Sebagai informasi, penerjemahan awalnya merupakan
bagian dari pengajaran dan pembelajaran bahsa asing yang dikenal dengan
‘Grammar-Translation Method’. Konsekuensi dari penerapan penerjemahan di
bidang tersebut mengakibatkan para akademisi meremehkan status Ilmu
Penerjemahan karena dianggap sebagai sekedar metode pengajaran bahasa.
Pada perkembangan selanjutnya, metode pengajaran dan pembelajaran bahasa
asing tersebut banyak dikritisi dan akhirnya digantikan oleh metode baru yang
dikenal ’Communicative Approach’. Munculnya metode baru tersebut
memberikan angin segar bagi kegiatan penerjemahan sebab tidak lagi dianggap
sebagai elemen dari pengajaran dan pembelajaran bahasa asing. Para peneliti
kemudian giat melakukan penelitian di bidang penerjemahan yang sering
dikategorikan dalam dua hal: ’Comparative Literature’-dimana karya sastra
dipelajari dan diperbandingkan antar bahasa dan antar budaya- dan ’Contrastive
Analysis’-dimana dua bahasa dikontraskan sebagai upaya mengidentifikasi
perbedaan linguistik (fonologi, morfologi, dst) keduanya baik secara umum
maupun khusus. Di samping itu, karya penerjemahan hanya dilihat sebagai
’jembatan’ untuk membaca karya asli dan sebuah terjemahan tidak akan pernah
menjadi karya asli.
Kedua, pakar Ilmu Terjemahan pada umumnya adalah teorikus dan
sekaligus praktisi terjemahan. Mereka berteori berangkat dari pengalaman
mereka pribadi ketika menerjemahkan. Di samping itu, banyak pakar di bidang
penerjemahan bukan penutur asli Bahasa Inggris. Bahasa Inggris merupakan
bahasa kedua bagi mereka. Akibatnya, aketika mereka menyusun teori,
menerjemahkan atau karya mereka diterjemahkan muncullahterminologi yang
49
Linguistika Kultura, Vol.03, No.02/November/2009
beda dengan istilah yang sebenarnya sudah ada sebelumnya. Hal ini juga
sebagai akibat sedikitnya akses seorang pakar penerjemah generasi terdahulu
kepada pakar terjemahan generasi berikutnya.
2.2.1 Ideologi Penerjemahan
Ideologi merupakan pandangan ideal terhadap sesuatu. Ideologi
merupakan nilai dan kebenaran yang selalu dicari dan diyakini oleh komunitas
tertentu. Barthes (dalam Hoed, 2006:83) mengatakan bahwa ideologi adalah
mitos yang sudah mantap dan mitos adalah ’pemaknaan atas suatu gejala
budaya yang sudah mantap’. Mitos juga bisa dianggap sebagai kebenaran yang
belum terjelaskan sehingga kebenaran dalam hal ini lebih merupakan sebuah
proses daripada sebuah produk.
Ideologi dalam penerjemahan terkait dengan ’keyakinan ’benar-salah’
atau ’baik-buruk’ dalam penerjemahan, yakni terjemahan seperti apa yang
terbaik bagi masyarakat pembaca Bsa atau terjemahan apa yang cocok dan
disukai masyarakat’ (Hoed, 2006:83). Dalam hal ini, penerjemah menjadi pihak
penentu nilai baik, buruk, benar, atau salah tersebut.
Ideologi penerjemahan dikategorikan ke dalam dua macam: foreignisasi
(foreignization) dan domestikasi (domestication). Kategorisasi ini diperkenalkan
oleh Lawrence Venutti pada tahu 1995. Sebenarnya, konsep ideologi
penerjemahan yang relatif sama sudah lama diperkenalkan oleh Schleiermacher
pada tahun 1813. Pada awalnya, Schleiermacher membagi penerjemah ke
dalam dua tipe berdasarkan jenis teks yang diterjemahkan: penerjemah teks
komersial dan penerjemah teks akademik dan artistik.
MenurutSchleiermacher, pertanyaan dalam kegiatan penerjemahan
adalah bagaimana cara mendekatkan pengarang Tsu dan pembaca Tsa.
Kemudian muncullah ideologi ’alienating’ (yang lebih disukai oleh
Schleiermacher) dan ’naturalizing’ yang pengertian intinya sama dengan kedua
istilah yang diusung oleh Venutti di atas. Alienating berarti membawa ’membawa’
pembaca Bsa ke penulis Bsu; Naturalizing berarti ’membawa’ penulis Bsu
kepada pembaca Bsa.
Pakar penerjemahan lain seperti Larson (1984) membagi terjemahan ke
dalam dua tipe: form-based dan meaning-based. Meskipun tidak sepenuhnya
sama dengan dikotomi yang dibuat Venutti di atas, kategorisasi yang mereka
buat memiliki persamaan substansi dalam beberapa hal. Kita akan membahas
lebih jauh tentang ideologi penerjemahan foreignisasi dan domestikasi tersebut
berikut ini.
Ideologi penerjemahan Domestikasi (juga disebut Venutti sebagai ideologi
Transparansi) merupakan penerjemahan yang berorientasi pada Bsa. Artinya,
terjemahan yang baik, betul, dan berterima adalah terjemahan yang sesuai
dengan ekspektasi pembaca Bsa dimana unsur bahasa atau budaya asing tidak
ditemukan. Domestikasi menjadikan sebuah karya terjemahan seperti karya asli
karena perubahan bentuk (linguistik dan budaya) dilakukan secara signifikan.
Bsa digunakan dalam bentuk yang paling natural baik tatabahasa maupun
kosakatanya. Larson (1984) menyebut bahwa terjemahan yang demikian
merupakan tujuan dari seorang penerjemah yang baik. Demikian juga Nida dan
Taber (1974) menyebut bahwa penerjemahan yang baik berorientasi pada
keberterimaan oleh pembaca Bsa (dalam Hoed, 2006:84).
Sementara itu, ideologi penerjemahan Foreignisasi merupakan jenis
penerjemahan yang berorientasi pada Bsu. Sebab itu, penerjemahan akan
50
Zulprianto, Paruhuman Nasution & Muhammad Yusdi
dianggap betul, baik, dan berterima jika unsur bahasa dan budaya Bsu
dihadirkan dalam Bsa. Dengan ideologi tersebut, sebuah karya sangat visible
dan terasa sebagai sebuah karya terjemahan, bukan karya asli. Ideologi ini
mengandalkan konsep penerjemahan mikro seperti transference (… to carry out
an operation in which the TL text, or rather, parts of the TL text, do have values
set up in the SL … (Catford, 1965:43-48 dalam Hoed, 2006:87) dan decenterring
dimana unsur khas dari teks sumber sengaja dihadirkan di dalam Bsa. Ideologi
ini semakin mengemuka seiring dengan pertimbangan ethnolinguistik atau
cultural anthropology dimana orang disadarkan bahwa bahasa merupakan
bagian dari budaya. Dan orang yang berasal dari budaya yang beda memiliki
konsepsi yang beda terhadap konsep-konsep tertentu seperti konsep yang
bersifat kultural. Sebab, menerjemahkan, pada hakikatnya, adalah
menerjemahkan budaya, bukan sekedar alih bahasa.
2.2.2 Metode Penerjemahan
Machali (2009:75-76) mendefinisikan metode sebagai suatu cara
melakukan sesuatu dan ’pada hakikatnya menyangkut teks secara keseluruhan’.
Hubungan ideologi dengan metode adalah bahwa untuk mengikuti ideologi
tertentu seorang penerjemah harus menerapkan metode tertentu. Hubungan
lebih jauh atas keduanya akan dibahas kembali.
Di masa awal perkembangannya, metode penerjemahan yang dikenal
adalah antara ’word for word translation (kata per kata)’ atau ’sense for sense
translation. Newmark menyebut periode tersebut sebagai ‘pre-linguistic period of
translation’. Terjemahan kata per kata berarti menggantikan setiap kata dalam
Bsu (dulunya Bahasa Yunani) dengan ekuivalen terdekatnya dalam Bsa (bahasa
Latin). Pada saat itu, terjemahan demikian berterima sebab orang Romawi punya
akses baik ke Bsu maupun Bsa dan bisa bahasa Latin pada tingkatan tertentu. Di
samping itu, bahasa yang terlibat saat itu cenderung berasal dari bahasa-bahasa
serumpun di mana perbedaan budaya tidak terlalu mencolok. Kemudian istilah
lain muncul: literal vs free translation yang pada dasarnya tidak begitu berbeda
dengan metode sebelumnya kecuali yang pertama lebih ’literal’ daripada yang
kedua. Selanjutnya, Larson (1984) juga memperkenalkan istilah penerjemahan
literal (form-based) vs idiomatik (meaning-based) (mungkin bukan Larson yang
pertama memperkenalkan istilah tersebut). Kategorisasi Larson berbeda sebab
dia membagi lagi penerjemahan literal ke dalam dua bagian yaitu penerjemahan
interlininear dan ’modified literal translation’ yang berbeda sedikit tingkat
kepatuhannya terhadap bentuk Bsu. Tapi, Larson secara tegas mengatakan
bahwa seorang penerjemah yang baik selalu melakukan penerjemahan
idiomatik: makna lebih penting dijaga daripada bentuk. Itu sebabnya kenapa di
atas Larson digolongkan ke kelompok ideologi domestikasi: berorientasi kepada
(pembaca) Bsa.
Akan tetapi, Larson menyadari bahwa penerjemahan tidak bisa hanya
menggunakan sebuah metode dan melupakan metode yang lain. Faktanya,
kegiatan penerjemah merupakan campuran dari berbagai metode sehingga
batas antara satu metode dengan lainnya kabur. Terjemahan terjadi dalam
sebuah continuum, sebuah rangkaian kesatuan: kadang sangat literal, kadang
idiomatik, sebab metode yang bersangkutan mungkin diterapkan dan merupakan
keputusan yang tepat. Bahkan Newmark pernah bilang jika penerjemahan literal
bisa dilakukan, metode tersebut harus diutamakan. Bagan di bawah ini
memperlihatkan perihal continuum tersebut.
51
Linguistika Kultura, Vol.03, No.02/November/2009
Berorientasi
Bsu
Berorientasi
(Form-based)
(Meaning-based)
•litera
•Inconsisten
•Idiomati
l
tMixture
c
•Very
•Modifie
•Near
Litera
d
Idiomati
l
Literal
c
Bagan 1. Rangkaian kesatuan kegiatan penerjemahan.
Bsa
•Undul
y free
Bagan di atas menunjukkan posisi seorang penerjemah ketika melakukan
penerjemahan yang biasanya menerapkan sejumlah rangkaian metode sesuai
dengan ideologi yang diikuti. Semakin ke kiri semakin form-based dan sebaliknya
semakin ke kanan semakin meaning-based. Akan tetapi, kata Larson, kita pada
prakteknya sering sekali tidak hanya memilih satu metode saja, tapi metode yang
mana saja menurut kebutuhan meskipun kita sedang mengikuti ideologi
penerjemahan tertentu. Kenyataannya, sebuah ujaran suatu saat bisa
diterjemahkan secara sangat literal dan, meskipun demikian, maknanya tetap
baik, bagus dan berterima. Akan tetapi, lebih sering kita harus melakukan
penyesuaian atau pergeseran bentuk dan makna.
Newmark (1988), sama halnya seperti Larson juga memperkenalkan
berbagai metode penerjemahan yang bersifat kontinum. Bedanya, Newmark
memvisualisasikannya dalam bentuk V-diagram seperti terlihat di bawah ini.
Berorientasi
(Foreignization)
•Word-for-word
•Literal
Bsu
Berorientasi
(Domestication)
Bsa
•Adaptatio
n
•Free
•Idiomatic
•Communicative
•Faithful
•Semanti
c
Bagan 2. (Sumber: Newmark dikutip dari Hoed, 2006:55).
Diagram berbentuk V di atas menunjukkan hubungan yang jelas antara
ideologi dan metode penerjemahan. Ideologi tertentu dimungkinkan untuk diikuti
dengan menerapkan metode tertentu. Semakin ke kiri semakin berorientasi ke
Bsu atau semakin ’asing’ bagi pembaca Bsa dan juga semakin terasa bahwa
karya tersebut merupakan terjemahan. Demikian juga, semakin ke kanan
semakin berorientasi ke Bsa atau semakin ’dekat’ dengan pembaca Bsa dan juga
semakin terasa seolah-olah karya tersebut asli (bukan terjemahan) sebab
pergeseran bentuk dan makna dilakukan secara signifikan.
2.2.3 Prosedur Penerjemahan
Akan tetapi, permasalahan penerjemahan tidak lagi berkutat pada
masalah literal atau bebas karena perdebatan keduanya bergerak seperti
lingkaran setan dan sepihak. Perdebatan di antara pendukung keduanya tidak
pernah selesai dan seolah-olah penerjemah adalah pembuat keputusan satusatunya dalam proses terjemahannya. Padahal, faktor lain ada yang harus lebih
52
Zulprianto, Paruhuman Nasution & Muhammad Yusdi
diperhatikan: jenis teks, pembaca Bsa, tujuan penerjemahan, keinginan klien,
dsb. Terkait dengan hal tersebut setiap kegiatan penerjemahan perlu membuat
audience design dan diikuti oleh need analysis.
Masalah praktis yang ditemukan dalam penerjemahan ada dua: (a) kita
tidak paham makna kata leksikal atau kultural dan tatabahasa sehingga tidak
memahami pesannya; (b) kita sulit menerjemahkannya meskipun sudah
memahami Tsu-nya (diadaptasi dari Hoed, 2006:67). Disinilah kiat penerjemahan
dibutuhkan. Prosedur yang bisa kita lakukan adalah tahapan yang disampaikan
oleh Nida & Taber (1974): analisis (memahami Tsu), transfer
(mengalihbahasakan dalam pikiran dan deverbalisasi: melupakan struktur Bsu
ketika ’mengucapkannya’ dalam Bsa seperti dalam hal interpreting), dan
restrukturisasi (menerjemahkan). Setiap tahapan tidak harus diikuti secara
berurutan dan kaku, tetapi dapat diulangi seperlunya. Namun, penerjemahmesti
sadar bahwa klien sedang menunggu.
2.2.4 Teknik Penerjemahan
Penggunaan istilah ’teknik’ dalam hal ini merupakan pilihan subjektif.
Pakar lain juga sepertinya menggunakan istilah lain untuk menyatakan substansi
yang sama seperti istilah prosedur (Machali, 2009:91-103) atau strategi. Istilah
’teknik’ sendiri banyak digunakan pakar dalam dan luar negeri. Tapi terlepas dari
perbedaan penggunaan istilah, kami akan memilih menggunakan istilah teknik
penerjemahan.
Teknik penerjemahan merupakan cara praktis yang secara langsung
berkaitan dengan permasalahan penerjemahan dan pemecahannya. Teknik
berbeda dengan metode atau prosedur karena keduanya bersifat normatif
(Machali, 2009: 107). Berikut akan disampaikan beberapa teknik penerjemahan
yang diadaptasi dari beberapa pakar:
1. Transposisi: merubah struktur kalimat agar dapat memperoleh
terjemahan yang betul.
2. Modulasi: memberikan padanan segi semantik yang beda seperti
dalam hal sudut pandang atau cakupan maknanya, tapi
pesan/maksud tetap sama.
3. Penerjemahan Deskriptif: menguraikan makna kata yang padanannya
belum/tidak ditemukan dalam Bsa.
4. Penjelasan Tambahan (Contextual Conditioning): memberikan kata
khusus untuk menjelaskan suatu kata agar dipahami pembaca Bsa.
5. Catatan Kaki: memberikan keterangan dalam bentuk catatan kaki
untuk memperjelas makna kata terjemahan tertentu sebab jika tidak
ada keterangan pembaca Bsa diragukan akan memahami
terjemahan.
6. Penerjemahan Fonologis: tidak menemukan padanan yang sesuai
dalam
Bsa,
penerjemah
membuat
kata
baru
dengan
mengasimilasinya (sesuai dengan sistem bunyi dan ejaan Bsa).
7. Penerjemahan Resmi/Baku: menggunakan sejumlah istilah, nama,
dan ungkapan yang sudah baku atau resmi dalam Bsa dengan
langsung menggunakannya sebagai padanan.
8. Tidak diberikan Padanan: mengutip bahasa aslinya sebab
penerjemah tidak dapat menemukan terjemahannya dalam Bsa.
Kutipan tersebut biasanya berlaku untuk sementara.
53
Linguistika Kultura, Vol.03, No.02/November/2009
9. Padanan Budaya: menerjemahkan dengan memberikan padanan
berupa unsur kebudayaan yang ada dalam Bsa. (diadaptasi dari
Hoed, 2006:72-78).
Sementara itu, Machali (2009, 91-105) tidak menggunakan istilah teknik
penerjemahan tetapi prosedur penerjemahan. Akan tetapi, Machali juga
menggunakan istilah ’teknik’ tapi dengan bahasan yang beda dengan Hoed dan
Moentaha. Machali mengunakan istilah ’teknik’ dalam hubungan esensialnya
dengan dengan fungsi teks, gaya bahasa, ragam fungsional, dan dialek. Berikut
adalah prosedur penerjemahan yang diuraikan oleh Machali:
1. Pergeseran bentuk (transposition).
Pergeseran bentuk bisa dalam bentuk pergeseran: (1) wajib dan otomatis
sebagai akibat dari perbedaan tatabahasa. (2) dilakukan apabila suatu
struktur gramatikal dalam Bsu tidak ada dalam Bsa; (3) disebabkan
kewajaran ungkapan, sebab jika terjemahan harfiah tetap dilakukan, Bsa
berakhir tidak wajar; (4) dilakukan untuk mengisi kerumpangan kosakata
dengan suatu struktur gramatikal.
2. Pergeseran makna (modulation). Modulasi dibagi dua yaitu wajib dan bebas.
Perbedaannya adalah uang pertama muncul atas alasan linguistik dimana
suatu konstruksi tidak ada padanannya dalam Bsa. Sementara yang kedua
muncul sebab alasan nonlinguistik dimana suatu makna dirasa perlu untuk
diperjelas, dibuat setali, dan dicarikan padanan yang alami. Dengan
demikian, eksplitasi menjadi bagian modulasi.
3. Adaptasi. Teknik ini merupakan pengupayaan padanan kultural antara Bsu
dan Bsa.
4. Pemadanan berkonteks yaitu penempatan suatu informasi dalam konteks
agas maknanya lebih jelas.
5. pemadanan bercatatan. Teknik ini barangkali bisa disebut sebagai pilihan
terkahir jika penerjemah tidak menemukan padanan yang diharapkan. Pada
dasarnya, teknik ini juga hampir sama dengan teknik penerjemahan fonologis
atau borrowingsdimana kosakata Bsu diambil (biasanya diasimilasi). Akan
tetapi, dalam pemadanan bercatatan, kosakata tersebut ditambahkan
catatan, catatan kaki atau catatan akhir.
Moentaha (2006, 48-78) menguraikan berbagai macam teknik
penerjemahan. Dia sebelumnya membagi-bagi jenis terjemahan berdasarkan
beberapa hal: terjemahan berdasarkan ragam bahasa, bentuk teks, hierarki
bahasa (ranks seperti menurut Catford), dan tingkat isi. Teknik-teknik
penerjemahan yand disebutkan oleh Moentaha yang tampaknya sedikit berbeda
dengan yang dua sebelumnya adalah penambahan (addition), penghilangan
(omission atau deletion), eksplikasi-implikasi (yang pada dasarnya identik
dengan eksplitasi sebagai bagian dari modulasi yang dimaksud Machali di atas).
Terlihat dengan jelas dalam kutipan yang diadaptasi di atas bahwa para
pakar berbeda dalam penguraian teknik-teknik penerjemahan. Namun, jika ditilik
lebih dalam, substansi dari teknik yang mereka uraikan relatif sama. Dengan
demikian, tidak berarti bahwa Machali, misalnya, hanya mengetahui lebih sedikit
teknik penerjemahan daripada dua yang lain.
54
Zulprianto, Paruhuman Nasution & Muhammad Yusdi
2.2.5 Penilaian (akurasi) terjemahan
Penerjemahan (Hoed, 2006) dapat dibagi empat berdasarkan sifatnya:
penerjemahan sebagai ilmu (pengetahuan) (science), keterampilan (craft), seni
(art), dan selera (taste). Menilai terjemahan bukan perkara mudah sebab kriteria
betul-salah dalam penerjemahan bersifat relatif (lebih kurang). Kriteria yang lebih
moderat adalah baik-buruk. Hal ini karena faktor subjektifitas penerjemah sangat
berperan. Jika keempat sifat terjemahan di atas dianggap sebagai sebuah
kontinum, kita dapat mengatakan bahwa dalam penerjemahan sebagai ilmu,
peran penerjemah sangat kecil (objektif).
Namun, jika penerjeman dianggap sebagai selera, peran penerjemah
sangat besar (subjektif). Dan penerjemahan sebagai keterampilan dan seni
berada di antara keduanya. Karena sifatnya yang objektif, relasi betul-salah
hanya dapat ditemukan dalam sifat penerjemahan sebagai science, bukan yang
lain. Sebuah terjemahan dikatakan salah hanya jika terjadi distorsi makna
referensial Bsu baik sebagai akibat pemahaman tatabahasa maupun kosakata,
bukan estetis dan pragmatik. Di samping makna referensial, ejaan dan
peristilahan (keduanya sebenarnya bukan domain khusus penerjemahan) juga
sangat mempengaruhi akurasi penerjemahan. Namun, kedua aspek tersebut
tidak dibicarakan dalam penelitian ini.
Di samping itu, Machali (2009) menetapkan sejumlah segi dan aspek
beserta kriteria penilaiannya. Segi dan aspek tersebut dapat dibagi ke dalam
empat hal: ketepatan reproduksi makna dengan kriteria benar, jelas, atau wajar;
kewajaran uangkapan dengan kriteria wajar dan/atau harfiah; peristilahan
dengan kriteria benar, baku, dan jelas, dan, terakhir, ejaan dengan kriteri benar
atau baku. Namun, Machali juga menyadari bahwa kriteria yang disebutkan
pertamalah yang sering sekali menjadi permasalahan untuk dipenuhi. Kriteria
tersebut lebih lanjut dibagi ke dalam aspek linguistis, semantis, dan pragmatis.
3. Metodologi Penelitian
Teks yang digunakan sebagai bahan atau bahasa sumber dalam
penelitian ini merupakan teks berbahasa Inggris tentang ekonomi yang diunduh
dari situs www.economist.com edisi 13 November 2009. Teks tersebut terdiri dari
sekitar 500 kata. Teks tersebut kemudian disiapkan dan dibagikan kepada
responden untuk diterjemahkan. Dengan demikian, peneliti tidak terlibat langsung
dalam pengumpulan data (non-participatory research method).
Responden adalah mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Inggris yang
sudah pernah mengambil mata kuliah yang berhubungan dengan Teori dan
Praktek
Penerjemahan.
Para responden kemudian diminta untuk
menerjemahkan teks tersebut dalam kurun waktu cukup untuk mengkondisikan
suasana kegiatan penerjemahan mereka seolah-olah nyata. Selain itu, mereka
dibebaskan untuk menggunakan alat bantu penerjemah apapun seperti kamus
cetak atau elektronik, tesaurus, dan lain. Akan tetapi, mereka tidak dibolehkan
menggunakan alat bantu yang berhubungan dengan machine atau automatic
translator. Para responden diberikan teks dimaksud dalam bentuk hardcopy dan
softcopy dan diminta mengumpulkan hasil terjemahan mereka dalam bentuk
hardcopyatausoftcopy. Akan tetapi, untuk memudahkan proses penelitian, para
responden lebih diharapkan dapat mengumpulkannya dalam bentuk softcopy.
Responden berjumlah dua belas orang yang dipilih secara acak (random) dari
55
Linguistika Kultura, Vol.03, No.02/November/2009
mahasiswa angkatan yang sama. Dengan demikian, data yang dikumpulkan juga
berjumlah dua belas teks terjemahan (comparable texts).
Data yang telah dikumpulkan tersebut kemudian diekstraksi ke dalam
unit-unit penerjemahan yaitu unit kalimat. Kalimat yang dimaksud bisa berupa
kalimat sederhana (simple), majemuk (comfound), atau kompleks (complex).
Hasil ekstraksi teks menjadi kalimat menghasilkan sekitar dua puluh tujuh
kalimat. Akan tetapi, analisis hanya akan dilakukan terhadap beberapa kalimat
yang mewakili ketiga jenis kalimat tersebut. Lebih jauh, dalam penelitian ini,
ketiga kalimat tersebut akan dibedakan menjadi dua kelompok: kalimat pendek
dan kalimat panjang. Kalimat pendek dalam hal ini sama dengan kalimat tunggal
atau simple. Sementara, kalimat panjang mewakili kalimat majemuk, kompleks
atau gabungan keduanya. Namun, sebagaimana asumsi umum, kalimat yang
panjang akan lebih sulit diterjemahkan daripada kalimat yang pendek. Dengan
demikian, sebagian permasalahan, teknik, dan akurasi penerjemahan akan
ditemukan dalam kalimat jenis ini.
Analisis data yang digunakan adalah metode simak (observasi) yaitu
mengobservasi data tulis yang telah dikumpulkan. Selanjutnya,teks yang akan
dianalisis ditampilkan dalam bentuk perbandingan. Artinya, bahasa sumber (Bsu)
dan bahasa sasaran (Bsa) ditampilkan dalam bentuk berurutan. Analisis hanya
akan dilakukan terhadap kalimat Bsa yang diyakini perlu dan representatif untuk
dianalisis. Hasil analisis data penelitian ini disajikan secara deskriptif-naratif
dengan kalimat verbal (informal).
4. Hasil dan Pembahasan
Dalam menganalisis data di bagian ini, Bsu (Bahasa Inggris) dan Bsa
(Bahasa Indonesia) akan ditampilkan berhadapan/berurutan. Bsa, karena terdiri
dari dua belas versi, dinomori untuk memudahkan referensi. Sementara Bsu
tidak dinomori sebab hanya satu versi. Analisis secara terperinci terhadap setiap
Bsa tidak akan dilakukan kecuali dianggap perlu.
Data 1
Bsu Talent is not patient, and it is not faithful
1. Bakat bukanlah kesabaran, dan tidak pula setia.
2. Bakat Bukanlah Kesabaran, Bukan Juga Sekedar Keyakinan
3. Bakat Itu Tidak Sabar dan Tidak Selalu Ada
4. Bakat bukanlah sebuah penantian dan loyalitas
5. Bakat tidaklah sabar, dan tidak pula setia
6. Bakat Bukanlah Kesabaran, dan Bukanlah Berbakti
Bsa
7. Keterampilan bukanlah buah dari dari kesabaran atau kepercayaan
8. Bakat bukanlah kesabaran dan juga bukan kesetiaan
9. Bakat Bukanlah Soal Kesabaran, dan Bukanlah Soal Kejujuran
10. Bakat bukanlah sebuah kesabaran dan bukan juga sebuah kesetiaan
11. Bakat Bukanlah kesabaran, Bukan Pula Kesetiaan
12. Bakat Bukanlah Sebuah Kesabaran, Itu Tidaklah Tepat
Bsu pada di atas merupakan kalimat panjang atau majemuk dimana
sebenarnya subjeknya sama (masing-masing talent dan it). Alasan penulis
mengulang subjeknya, menurut kami, salah satunya adalah karena alasan
56
Zulprianto, Paruhuman Nasution & Muhammad Yusdi
penekanan. Tetapi Bsa mungkin punya cara lain untuk menunjukkan penekanan
tersebut. Bsu tersebut, posisinya dalam teks secara keseluruhan, adalah judul
teks yang juga hadir kembali dalam isi teks. Sebab itu, kalimat tersebut muncul
dua kali: sebagai judul dan sebagai kalimat, bagian dari paragraf.
Dalam posisinya sebagai judul, seorang penerjemah hanya punya sedikit
informasi kontekstual tentang maksud sesungguhnya. Sebab itu, terjemahan
tekstual atau literal merupakan pilihan yang paling mungkin. Sebaliknya, dalam
posisinya dalam paragraf, penerjemah memiliki petunjuk kontekstual tentang
maksud sebenarnya dari kalimat tersebut. Penerjemah, dalam hal ini,
sebenarnya diuntungkan akibat pengulangan kalimat tersebut sebab dapat
memperoleh informasi yang lebih (tahapan analisis teks).
Salah satu yang menarik untuk dibandingkan dari Bsu dan semua Bsa
adalah masalah pengulangan subjek [it]3 pada kalimat kedua yang tidak
ditemukan dalam sebagian besar Bsa atau hasil terjemahan. Hal ini diakibatkan,
sebagaimana disebutkan sebelumnya, Bsa punya cara tersendiri untuk
menunjukkan penekanan seperti yang direalisasikan oleh pengulangan subjek
[it]. Secara bentuk, dalam Bsa subjek tersebut dihilangkan untuk mendapatkan
Bsa yang lebih natural atau wajar dengan menambahkan kata [juga], [pula] atau
partikel [-lah]. Kedua kata pertama merupakan bentuk yang paling sering
digunakan penerjemah meskipun [pula] tampaknya lebih natural dalam Bsa.
Perbedaan cara penekanan ini mungkin terkait dengan masalah objektif kedua
bahasa yang terlibat.
Beberapa masalah yang bisa diidentifikasi dari data I di atas adalah
ketidaksejajaran struktur. Dalam hal ini terkait dengan unit frase. Dalam Bsu kata
[patient] dan [faithful] merupakan kelas kata sifat yang berfungsi sebagai
komplemen dalam kalimat tersebut. Metode penerjemahan literal akan
cenderung mempertahankan kelas kata tersebut jika mungkin. Salah satu
terjemahan dengan bentuk sejajar yang mungkin adalah masing-masing [sabar]
dan [setia] seperti ditunjukkan Bsa (nomor) 5. Namun, konstruksi kesejajaran
struktur dalam Bsa tidak mengharuskan kelas kata yang sama antara Bsu dan
Bsa. Penerjemah bisa saja melakukan teknik transposisi dengan merubah kelas
katanya. Yang terpenting adalah kesejajaran struktur atau bentuknya: samasama kata sifat atau sama-sama kata benda, misalnya dengan menerjemahkan
keduanya menjadi [kesabaran] dan [kesetiaan]. Teknik seperti ini lebih lengkap
ditunjukkan Bsa 2, 3, 4, 7, 8, 9, 10, 11 terlepas dari kadar keakurasian Bsa
masing-masing.
Di samping masalah kesejajaran bentuk, pemilihan kata untuk beberapa
kata penting dalam kalimat tersebut juga patut dicermati. Pertama, kata [talent]
diterjemahkan menjadi [bakat]. Diksi ini merupakan ‘invariant core’ atau bentuk
yang stabil karena paling banyak digunakan oleh penerjemah (selanjutnya akan
disebut bentuk luas). Selain itu, kata [talent] dalam hal ini lebih alami jika
berekuivalensi dengan [bakat]. Diksi lain yang digunakan adalah [keterampilan]
seperti ditunjukkan Bsa nomor 7.
Variasi pilihan kata yang lain adalah kata [patient] diterjemahkan menjadi
[sabar/kesabaran] sebagai bentuk luas. Yang menarik adalah padanan yang
diberikan untuk kata [faithful] yaitu [setia/kesetiaan] sebagai bentuk luas,
[keyakinan], [ada], [loyalitas], [berbakti], [kepercayaan], [kejujuran], [tepat], dan
3
Tanda [ ] digunakan untuk menunjukkan kutipan kata, frase, kalimat, atau unit yang lebih besar
dikutip sebagaimana bentuk aktualnya.
57
Linguistika Kultura, Vol.03, No.02/November/2009
[penantian]. Padanan terbaik untuk kata tersebut adalah [setia/kesetiaan]. Sebab
itu, pilihan kata yang lain dapat dianggap sebagai kurang tepat.
Para penerjemah juga menerapkan beberapa teknik penerjemahan
seperti transposisi, pemadanan berkonteks (contextual conditioning),
penghilangan (subjek [it] dalam kalimat kedua). Transposisi terlihat pada hampir
semua Bsa dimana kata sifat [patient] dipadankan dengan kata benda
[kesabaran]. Atau kata sifat [faithful] dipadankan dengan kata benda [kesetiaan],
dan seterusnya. Pemadanan berkonteks ditunjukkan oleh Bsa nomor 9 dimana
penerjemah menambahkan kata [soal].
Dari semua Bsa di atas juga terlihat bahwa para penerjemah cenderung
menggunakan metode atau teknik penerjemahan literal dalam hal urutan kata
(tipe kalimat). Hal ini sangat dimungkinkan sebab kalimat Bsu merupakan kalimat
majemuk yang sebenarnya sederhana walaupun kesederhanaan bentuk bukan
satu-satuanya alasan penerapan metode atau teknik penerjemahan literal.
Secara keseluruhan, kami beranggapan salah satu terjemahan yang baik untuk
Bsu di atas adalah:
[Bakat bukan soal kesabaran, bukan pula soal kesetiaan].
Terjemahan ini menunjukkan bahwa metode atau teknik penerjemahan literal
tidak mesti diterapkan, melainkan ia hanya sebuah pilihan. Hal ini dibuktikan
dengan penambahan kata [soal] yang merupakan teknik sebuah teknik
‘contextual conditioning’ untuk memenuhi kebutuhan semantik dan kewajaran
dalam Bsa.
Teknik penerjemahan yang lain adalah penghilangan kata ganti [it] dalam
kalimat kedua. Menariknya, semua Bsa melakukan teknik tersebut. Pemilihan
teknik tersebut merupakan langkah tepat untuk mendapatkan Bsa yang lebih
wajar atau natural sebab secara semantik kata [pula] dan variasinya yaitu [juga]
dan [-lah] dapat menggantikan keberadaannya.
Secara umun, akurasi hasil terjemahan para responden adalah baik
kecuali nomor 7 dan 12. Nomor 7, dalam hal ini, memilih ekuivalen yang kurang
tepat, yang dapat mengaburkan pesan Bsu sebab kata [talent] dalam kalimat
atau teks tersebut merupakan salah satu kata kunci atau topik. Terjemahan 12
menunjukkan penyimpangan makna sehingga pesan Bsu tidak dapat
disampaikan. Namun, masalah-masalah yang disebutkan di atas juga harus
menjadi pertimbangan untuk menentukan konsep akurasi secara lebih terperinci.
Data 2
Bsu
Bsa
Spurred on by a book called “The War for Talent”, written by three
McKinsey consultants in the late 1990s, the word became
common in management speak.
1. Dipicu oleh sebuah buku berjudul “The War for Talent” atau
“Peperangan untuk Bakat” karya tiga orang konsultan McKinsey pada
akhir abad ke-19. Selanjutnya, kata tersebutpun menjadi biasa dalam
perbincangan ilmu managemen.
2. Berangkat dari sebuah buku yang berjudul “Perang Bakat”, yang ditulis
oleh tiga konsultan Mckinsey diakhir tahun 1990-an, kata tersebut
menjadi umum dalam dunia manajemen.
58
Zulprianto, Paruhuman Nasution & Muhammad Yusdi
3. Mendadak oleh buku yang berjudul “Perang untuk Bakat” yang ditulis
oleh tiga orang konsultan McKinsey di penghujung tahun 1990, kata
tersebut menjadi istilah umum di dalam percakapan tentang
kepemimpinan.
4. Termotivasi oleh sebuah buku yang berjudul “ The War for Talent” yang
ditulis oleh 3 konsultan Mckinsey pada akhir 1990an, kata tersebut
menjadi lazim dibicarakan dalam pembicaraan manajemen.
5. Terpacu oleh sebuah buku yang berjudul “Perang untuk Bakat”, ditulis
oleh tiga orang konsultan McKinsey pada akhir 1990-an, kata tersebut
menjadi lumrah dalam pembicaraan manajemen.
6. Terpacu dari sebuah buku yang berjudul “The War For Talent”, yang
ditulis oleh tiga konsultan McKinsey pada akhir tahun 1990, kata
tersebut menjadi terkenal dalam manajemen berbicara.
7. Hal ini dipacu oleh diterbitkannya sebuah buku yang berjudul “The war
for talent” yang dibuat oleh Mckinsey bersaudara yang menjadi
konsultan pada akhir 1990an. Kata “keterampilan” ini kemudian
menjadi sesuatu hal yang sering dibicarakan dalam diskusi
managemen perusahaan.
8. Disebutkan dalam sebuah buku yang berjudul ‘The War for Talent’
yang ditulis oleh tiga penasihat Mckinsey di akhir tahun 1990an, kata
tersebut menjadi hal yang biasa dalam bidang manajemen.
9. Terpicu dari buku “The War for Talent”, karanga konsultan McKinsey
bersaudara pada akhir 1990an, kata itu menjadi trend di kalangan
management.
10. Disebutkan dalam sebuah buku yang berjudul ‘The War for Talent’
yang ditulis oleh tiga penasihat Mckinsey di akhir tahun 1990an, jargon
tersebut menjadi konsumsi umum dalam bidang manajemen.
11. Didorong terbitnya sebuah buku yang ditulis tiga orang konsultan
McKinsey pada akhir tahun 1990an dengan judul “The War for Talent”,
kata tersebut menjadi hal yang lumrah dalam ruang lingkup
manajemen.
12. Yang ditulis pada sebuah buku “The War for Talent” yang ditulis oleh
tiga konsultan McKinsey pada awal 1990-an, kata itu menjadi biasa
yang diucapkan direksi.
Kalimat Bsu di atas merupakan sebuah kalimat panjang atau lebih
spesifik merupakan kalimat kompleks yang terdiri dari dua anak kalimat yang
dipadatkan (menjadi frase) dan sebuah induk kalimat. Sebagai kalimat kompleks,
para penerjemah punya pilihan untuk melakukan transposisi: menjadikan satu
kalimat panjang tersebut menjadi dua atau lebih kalimat yang lebih pendek.
Permasalahan yang terlihat dari data di atas adalah: kecenderungan para
penerjemah menerapkan metode atau teknik penerjemahan literal dimana
penerjemahan mereka cenderung mengikuti urutan kata (tipologi SVO) Bsu
meskipun Bsu merupakan sebuah kalimat yang panjang/kompleks. Meskipun
metode atau teknik tersebut bisa dilakukan, penerjemah harus
mempertimbangkan kewajaran atau kenaturalannya di kalangan pembaca Bsa.
Kecenderungan ini hampir ditemukan dalam sebagai besar Bsa. Contoh Bsa
nomor 5 sangat tepat mewakili kecenderungan ini:
59
Linguistika Kultura, Vol.03, No.02/November/2009
[Terpacu oleh sebuah buku yang berjudul “Perang untuk Bakat”, ditulis
oleh tiga orang konsultan McKinsey pada akhir 1990-an, kata tersebut
menjadi lumrah dalam perbincangan manajemen.]
Terjemahan ini mematuhi urutan kalimat/frase Bsu. Sementara terjemahan
lainnya melakukan modifikasi ringan seperti dengan menambahkan penanda
klausa penanda klausa adjektiva ’yang’ sebelum anak kalimat/frase kedua [yang
ditulis ...] seperti nomor 2, 3, 4, 5, dsb. Hal ini berarti klausa dalam bentuk
partisipium dalam Bsu dinyatakan penuh dan eksplisit dalam Bsa. Penambahan
’yang’ tersebut merupakan pilihan yang tepat sebab menghasilkan Bsa yang
lebih natural atau tidk kaku.
Di samping itu, pemahaman terhadap Bsu juga terjadi seperti nomor 3.
Juga, masalah pilihan kata yang kurang tepat atau bahkan salah yang akan
dijelaskan lebih terperinci berikut ini.
Bsa nomor 1 terlihat melakukan tranposisi dimaksud, tetapi menjadikan
keseluruhan kalimat tidak kohesif. Bagian kalimat [Dipicu oleh sebuah buku
berjudul “The War for Talent” atau “Peperangan untuk Bakat” karya tiga orang
konsultan McKinsey pada akhir abad ke-19] adalah (anak) kalimat yang janggal
sebab tidak memberikan pikiran yang lengkap atau utuh. Penerjemah juga
menambahkan kata sambung [selanjutnya] untuk mengawali kalimat keduanya.
Akan tetapi, secara keseluruhan kalimat Bsa tersebut dianggap salah sebab tidak
berterima dalam Bsa. Transposisi jenis ini, yang lebih akurat, juga ditemukan
pada Bsa nomor 7. Penerjemah membagi satu kalimat panjang tersebut menjadi
dua kalimat. Konsekuensinya, agar terjemahan kohesif, penerjemah
menambahkan subjek [hal ini] pada anak kalimatnya seperti ditunjukkan dalam
potongan kalimat berikut ini: [Hal ini dipacu oleh diterbitkannya ...].
Masalah lain yang ditemukan dari data di atas terkait dengan pilihan kata
atau padanan dalam Bsa. Pilihan kata dalam hal ini bisa tepat, kurang tepat, atau
bahkan salah. Sebagai contoh bentuk past participle[spurred on] diterjemahkan
bervariasi seperti [terpacu/dipacu] sebagai bentuk luas, [dipicu], [disebutkan],
[terpicu], [berangkat], [termotivasi], dsb. Akan tetapi, salah seorang penerjemah
memadankannya dengan kata [mendadak] yang berarti aktif yang dengan
demikian menjadikan terjemahannya salah [Mendadak oleh buku yang berjudul
... ]. Hasil terjemahan tersebut adalah salah baik bentuk maupun maknanya.
Dalam Bsa nomor 12 juga terlihat pilihan kata yang kurang berterima:
frase [management speak] dipadankan dengan [diucapkan direksi]. Terjemahan
kurang tepat sebab menurut kami penerjemah melakukan teknik modulasi
(menggeser makna) secara berlebihan yang pada dasarnya cukup dipadankan
dengan [obrolan/pembicaraan manajemen]. Dengan memilih kata [... direksi],
penerjemah melakukan modulasi yang berlebihan sebab menyempitkan cakupan
sebuah kata atau konsep. Sebaliknya, Bsa nomor 3 memadankan kata
[management] dengan [kepemimpinan] yang menurut kami lebih memperluas
cakupan kata Bsu tersebut daripada yang seharusnya. Terkait dengan padanan
frase [management speak] ini, Bsa nomor 7 juga menunjukkan sebuah
perbedaan yakni teknik penambahan. Dalam hal ini, penerjemah
memadankannya dengan [diskusi manajemen perusahaan] dimana kata
[perusahaan] sebenarnya ditambahkan. Namun, kami berpendapat penambahan
kata tersebut tidak begitu berpengaruh secara semantik. Dengan demikian,
penambahan tersebut sebenarnya bisa ditiadakan atau dihindari; frase [diskusi
manajemen] sudah memadai. Hal ini perlu ditegaskan sebab teknik penambahan
60
Zulprianto, Paruhuman Nasution & Muhammad Yusdi
bisa mengakibatkan sebuah terjemahan terlalu panjang atau bertele-tele. Sebuah
teknik penerjemahan seharusnya digunakan seperlunya.
Data 3
Bsu “We need to cultivate the talent”
Bsa 1. “Kita harus mengasah bakat yang ada”
2. “Kita harus mengembangkan bakat”
3. “Kita perlu mengembangkan bakat yang ada”
4. “Kita perlu mengolah bakat itu”
5. “Kita perlu untuk mengembangkan bakat”
6. “Kita butuh memelihara bakat”
7. Seperti:“kita harus meningkatkan keterampilan karyawan karena
keterampilan merupakan faktor yang penting dalam kesuksesan
perusahaan untuk masa yang akan datang”
8. “kita perlu mengupayakan bakat”
9. “Kita perlu mengolah bakat”
10. “Perlunya mengembangkan bakat”
11. “Kita harus melatih bakat”
12. “Kita butuh untuk mengolah bakat”
Data di atas merupakan sebuah kalimat pendek. Dengan demikian, seseorang
bisa berharap beberapa hal. Pertama, responden hanya akan menemukan
sedikit atau bahkan tidak ada permasalahan ketika menerjemahkan Bsu tersebut.
Kedua, karena hanya sedikit atau nihil permalasahan, akurasi Bsa akan tinggi
atau baik. Yang terakhir, para penerjemah tidak perlu menggunakan teknik
penerjemahan yang variatif, sebab Bsa hanya membuthkan sedikit penyesuaian.
Dengan alasan yang terakhir ini, maka masalah keharfiahan urutan kata dalam
kalimat Bsa tidak akan dianalisis. Itu pula alasan kenapa kami tidak akan
membahas data berupa kalimat pendek atau sederhana.
Hal yang menarik dari Bsa dalam data di atas terkait dengan pemilihan
equivalen untuk kata pronomina we dan kata kerja cultivate. Berikut penjelasan
lebih lanjut tentang keduanya. Data menunjukkan bahwa seluruh responden ,
kecuali nomor 10, memadankan pronomina we tersebut dengan kita yang
merupakan pilihan yang tepat. Kedua pronomina tersebut secara objektif
berbeda sebab dalam Bsa, we yang bisa bermakna inklusif dan ekslusif
mempunyai dua simbol (dua pilihan): kami (ekslusif) dan kita (inklusif). Meskipun
perbedaan objektif tersebut hadir, para responden, menurut kami, memilih kata
yang tepat. Bsa nomor 10 menunjukkan terjemahan yang agak beda sebab
penerjemah melakukan teknik penerjemahan omission yakni menghilangkan
ekuivalen pronomina we.
Ekuivalensi yang kedua terkait dengan kosakata cultivate. Salah satu
makna kata tersebut adalah ’to develop a particular skill or quality …’(Longman
Active Dictionary). Menurut kami, salah satu komponen semantik kata tersebut
mengandung makna pengusahaan seperti tersirat dari penggunaan kata
’develop’ dalam defenisi di atas. Kata tersebut merupakan sebuah actional verb.
Artinya, cultivate tidak menghasilkan sesuatu begitu saja, tapi butuh tindakan
atau action. Para responden menggunakan sejumlah ekuivalensi untuk kata
61
Linguistika Kultura, Vol.03, No.02/November/2009
tersebut diantaranya mengembangkan (yang merupakan bentuk luas atau
padanan paling sering digunakan), mengasah, mengolah, meningkatkan,
mengupayakan, bahkan melatih. Pilihan kata tersebut secara keseluruhan
mengandung makna pengusahaan meskipun pilihan kata responden ada yang
berakhir lebih implisit, eksplisit, atau metaforikal. Akan tetapi, kami
berkesimpulan bahwa akurasi semua Bsa secara umum berterima.
Data 4
And they have altered their approach to issues such as governance and
environmental responsibility because they know that many of the
Bsu
talented people they are seeking want to work for ethical and
responsible employers—almost more than they want a hefty pay
packet.
1. Selain itu, mereka juga telah mengubah pandangan mereka terhadap
berbagai isu dalam pemerintahan dan pertanggungjawaban lingkungan
karena mereka tahu bahwa banyak orang- orang yang berbakat
bekerja sesuai dengan etika dan tanggungjawab sebagai pekerja- lebih
banyak dari mereka yang hanya menginginkan gaji besar.
2. Dan mereka mengubah pendekatannya pada hal-hal seperti
tanggungjawab pemerintahan dan lingkungan karena mereka tahu
bahwa orang-orang berbakat yang mereka cari ingin bekerja sebagai
karyawan yang ber-etika dan bertanggungjawab, hampir melebihi
keinginan mereka atas gaji yang lebih.
3. Dan mereka telah mengubah pendekatan mereka pada beberapa hal
seperti tanggung jawab lingkungan dan pemerintah karena mereka
tahu banyak orang berbakat yang mereka cari ingin bekerja untuk
majikan yang beradab dan bertanggung jawab—hampir lebih dari
mereka menginginkan sepaket bayaran besar.
4. Dan mereka telah merubah pendekatan mereka terhadap isu-isu,
seperti tanggung jawab pada pemerintahan dan lingkungan karena
mereka tahu kebanyakan dari orang-orang bertalenta yang mereka cari
Bsa
ingin bekerja sebagai pekerja yang beretika dan bertanggung jawabhampir kebanyakan dari mereka menginginkan gaji yang besar.
5. Dan mereka telah mengubah pendekatan mereka ke masalah seperti
tanggung jawab lingkungan dan kepemerintahan karena mereka tahu
bahwa banyak dari orang-orang berbakat yang mereka cari mau
bekerja sebagai karyawan yang beretika dan bertanggung jawab—
hampir melebihi keinginan mereka menerima paket bayaran yang
besar.
6. Dan mereka memodifikasi pendekatan pada persoalan seperti
tanggung jawab pemerintahan dan lingkungan sekitar, karena mereka
tau bahwa banyak dari orang-orang berbakat yang mereka cari untuk
bekerja bagi karyawan yang bersusila dan bertanggung jawab, hampir
lebir dari yang mereka inginkan adalah paket gaji yang besar.
7. Perusahaan juga mengubah cara pendekatan mereka dengan
mengembangkan isu-isu pertanggungan jawab pemerintah dan
lingkungan, hal ini terjadi karena mereka tau bahwa seorang pekerja
terampil umumnya lebih memilih untuk menjadi pekerja tetap daripada
gaji yang lebih besar.
62
Zulprianto, Paruhuman Nasution & Muhammad Yusdi
8. seperti tanggung jawab terhadap lingkungan dan pemerintahan karena
mereka tahu bahwa banyak orang, dan mereka mencari para tenaga
kerja yang bertanggung jawab dan lebih dari itu mereka menginginkan
paket upah yang memadahi.
9. Dan mereka mengubah pendekatan mereka kepada pokok
permasalahan seperti pemerintah dan tanggung jawab lingkungan
karena mereka mengetahui bahwa banyak dari orang berbakat yang
mereka cari menginginkan bekerja etis dan bertanggung jawab—
hampir melebihi paket gaji yang mereka inginkan.
10. Dan mereka telah merubah paradigm mereka terhadap isu-isu seperti
tanggung jawab terhadap lingkungan dan pemerintahan karena mereka
tahu bahwa banyak orang, dan mereka mencari para tenaga kerja
yang bertanggung jawab dan lebih dari itu mereka menginginkan paket
upah yang besar.
11. Perusahaan juga telah merubah jangkauan mereka terhadap isu-isu,
seperti tanggung jawab pemerintah dan lingkungan, karena mereka
mengetahui bahwa ada banyak orang-orang berbakat yang mencari
pekerjaan yang pantas dan para karyawan yang bertanggung jawab,
yang menginginkan upah dengan upah yang besar.
12. Dan mereka telah mengubah pendekatannya untuk isu- isu seperti
sebuah pemerintahan dan lingkungan yang bertanggung jawab karena
mereka mengetahui bahwa dari beberapa orang yang berbakat,
mereka sedang dicari untuk etika pekerjaan dan karyawan yang
bertanggung jawab.
Hampir lebih dari mereka ingin sebuah paket yang besar.
Teks Bsu di atas merupakan kalimat yang panjang yang terdiri dari satu
induk kalimat dan beberapa anak kalimat (kalimat compound-complex).
Beberapa frase yang taksa juga berpotensi terdapat di dalamnya. Dengan
demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa tingkat kesulitan dalam
menerjemahkan kalimat inirelatif tinggi. Salah satu upaya menyederhanakan teks
Bsa nantinya adalah menerapkan teknik transposisi, yakni membagi kalimat
tersebut ke dalam beberapa kalimat yang lebih pendek. Hal ini juga pada
dasarnya membantu penerjemah dalam fase analisis teks atau pemahaman teks
Bsu sebelum melangkah ke fase transfer dan restrukturisasi (Nida, 1975).
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar terjemahan para
responden atas kalimat tersebut adalah salah. Disebut salah, sebab terjadi
penyimpangan makna semantik atau referensial yang parah sehingga
mengakibatkan pesan Bsu gagal tersampaikan dalam Bsa. Hal ini tentu berawal
dari pemahaman teks Bsu yang salah (tahapan analisis teks) sehingga
menghasilkan Bsa yang salah. Kenyataan ini sekaligus menunjukkan bahwa
responden mengalami kesulitan memahami kalimat yang panjang.
Salah satu terjemahan yang baik untuk teks Bsu di atas adalah:
[Pihak perusahaan juga telah mengubah pendekatan mereka terhadap
masalah-masalah seperti kepemimpinan dan tanggung jawab terhadap
lingkungan sebab mereka tahu bahwa banyak di antara orang berbakat
yang mereka cari lebih ingin bekerja dengan pengusaha yang beretika
63
Linguistika Kultura, Vol.03, No.02/November/2009
dan bertanggung jawab. Keinginan tersebut bahkan lebih besar dari
keinginan orang-orang berbakat tersebut untuk mendapatkan paket gaji
yang tinggi.]
Terjemahan yang disarankan di atas juga menerapkan teknik transposisi
sebagaimana disinggung di atas (menjadikannya menjadi dua kalimat yang lebih
pendek dengan modifikasi tertentu).
Beberapa faktor yang medorong kesalahan terjemahan beberapa
responden tersebutadalah terkait dengan pilihan padanan kata tertentu, kesan
ketaksaan Bsu, penggunanaan kata ganti [they (sebagai subjek dan posesif) >
mereka] secara monoton, dan tentu saja kalimat Bsu yang sangat panjang.
Berikut akan dibahas satu per satu.
Kata [employers] dalam deretan kalimat [… want to work for ethical and
responsible employers] cenderung disalahartikan atau bahkan dihilangkan.
Beberapa penerjemah memadankan kata tersebut dengan [pekerja], [karyawan],
[tenaga kerja] seperti ditunjukkan Bsa nomor 1, 2, 4, 5, 6, 8, 10, 11, dan 12. Kata
tersebut juga dihilangkan seperti ditunjukkan Bsa nomor 9 dan 12. Kesalahan
memilih equivalensi dan penghilangan kata tersebut berakibat fatal: terjadi
penyimpangan makna atau paling tidak kekaburan makna. Pada akhirnya, hasil
terjemahan menjadi salah. Berdasarkan data di atas, hanya Bsa nomor 3 yang
menggunakan padanan yang tepat yaitu [majikan] meskipun kata tersebut
terkesan kurang formal, sebab jenis teks yang terkait dengan perusahaan, bukan
domestik, jika dibandingkan dengan sinonimnya [pengusaha].
Faktor lain yang memicu kesalahan pemahaman penerjemah adalah
terkait dengan penerjemahan frase kata benda yang kompleks (complex noun
phrase) yang terkesan taksa. Frase kata benda tersebut adalah [governance and
environmental responsibility]. Secara bentuk, frase pada dasarnya tidak taksa.
Permasalahannya menurut kami terletak pada konstruksi frasenya yang
kompleks. Frase [governance and environmental responsibility] tidak berarti
[*governance responsibility and environmental responsibility] karena, jika
dianggap demikian, seharusnya kata [governance] digunakan dalam bentuk
adjektivanya yaitu [govermental].
Beberapa penerjemah (nomor 1) menerjemahkan frase tersebut menjadi
[tanggungjawab pemerintahan dan lingkungan]. Jika frase ini diterjemahkan
kembali ke dalam Bsu (back translation) akan menjadi [governmental and
environmental responsibility] yang berbeda dengan Bsu. Terjemahan nomor 2, 3,
4, 5, 6, 7, 8, 10, 11 juga tampaknya menunjukkan pemahaman demikian
meskipun dengan variasi tertentu. Intinya, penerjemah salah paham dengan teks
Bsu (potongan frase kata benda majemuk tersebut) sehingga mengakibatkan
kesalahan Bsa. Kata [governance] di dalam teks itu dengan demikian bermakna
[pemerintahan] dalam ruang lingkup sebuah perusahaan, bukan pemerintahan
dalam arti luas seperti pemerintahan sebuah negara. Kata yang lebih tepat
barangkali adalah [kepemimpinan] atau [pengelolaan].
Penggunaan kata ganti [mereka] dalam Bsa sebagai padanan pronomina
[they] juga terkesan monoton. Kami menduga, terjemahan monoton tersebut
digiring oleh metode atau teknik literal yang digunakan oleh penerjemah secara
sadar atau tidak yang juga sering ditemukan dalam data lain. Dalam Bsu, kata
ganti [they (dan variannya) their] muncul sebanyak lima kali dengan anticedent
yang berbeda (empat pertama merujuk kepada ‘company’ dan yang terakhir
merujuk kepada ‘talented people’). Akan tetapi, sebagian besar responden
64
Zulprianto, Paruhuman Nasution & Muhammad Yusdi
menerjemahkan kata ganti tersebut secara ‘literal’ menjadi [mereka]. Pilihan
tersebut dapat mengaburkan pesan Bsa karena yang dirujuk bersifat taksa atau
kabur. Penerjemah pada dasarnya punya pilihan untuk menggunakan antecedent
pronomina tersebut atau memodifikasi kalimat tersebut menjadi dua atau lebih
kalimat yang lebih pendek.
Kesalahan terakhir dipicu oleh pengetahuan tatabahasa (Inggris) para
responden akan struktur kalimat panjang. Seperti disebutkan di awal, untuk jenis
kalimat yang kompleks dan panjang seperti ini, penerjemah harus melakukan
analisis misalnya dengan membagi kalimat tersebut ke dalam beberapa kalimat
yang lebih pendek. Teknik transposisi ini sebenarnya berguna untuk penerjemah
(khususnya dalam tahap analisis teks) dan pembaca. Namun pada intinya,
penerjemah harus bisa mengidentifikasi bagian-bagian kalimat tersebut: yang
mana induk kalimat, anak kalimat, anak kalimat dari anak kalimat, dst. Di dalam
kalimat tersebut terdapat satu induk kalimat dan empat anak kalimat. Dalam
tampilan hierarkis, kalimat tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
> induk kalimat:
[(1) And they have altered their approach to issues such as governance
and environmental responsibility
> anak kalimat dan anak kalimat dari anak kalimat:
[(2) because they know [(3) that many of the talented people][(4) they are
seeking]want to work for ethical and responsible employers—(5) almost
more than (6) they want a hefty pay packet].
Pemahaman yang baik terhadap Bsu seperti di atas akan menghasilkan versi
terjemahan yang lebih baik. Bahkan, penerjemah juga harus memahami kalimat
yang mengalami elipsis seperti ditunjukkan di bagian angkan (5) di atas.
Data 5
Bsu
Bsa
What’s more, in today’s knowledge-based businesses, these young people
are far more aware of their working environment, of “what’s going
on around here”, than were their grandparents, who were hired for
their brawn rather than their brain
1. Terlebih lagi, dalam bisnis- bisnis yang berlandaskan ilmu pengetahuan
dewasa ini, sebagian orang- orang muda jauh lebih waspada terhadap
lingkungan tempat mereka bekerja, terhadap “apa yang sedang terjadi
disini”, daripada dimana orangtua mereka, yang digaji karena tenaga
bukan karena pemikiran mereka.
2. Terlebih lagi, dalam pengetahuan terkini berbasis bisnis, generasi muda
jauh lebih mengenal lingkungan pekerjaan mereka, atas “apa yang
tengah terjadi disini”, daripada generasi pendahulu mereka yang digaji
lebih untuk tenaga ketimbang otak mereka.
3. Terlebih lagi, dalam bisnis berlandaskan pengetahuan saat ini, orangorang muda ini jauh lebih tahu tentang lingkungan kerja mereka, atas
“apa yang terjadi di sekitar sini”, dibanding kakek-nenek mereka, yang
digaji untuk tenaga mereka bukan otak mereka.
4. Ditambah lagi, pada era yang berbasis ilmu pengetahuan-bisnis ini,
generasi muda semakin peduli dengan lingkungan kerja mereka,
65
Linguistika Kultura, Vol.03, No.02/November/2009
terhadap “apa yang terjadi di sekitarnya ?”, ini sangat kontras dengan
nenek moyang mereka yang hanya digaji untuk tenaga mereka, bukan
untuk otak mereka.
5. Apa yang lebih, pada bisnis berdasarkan pengetahuan saat ini, anakanak muda jauh dari kesadaran terhadap lingkungan bekerja mereka,
dari “apa yang terjadi disekitar sini”, daripada kakek-nenek mereka,
yang digaji untuk tenaga fisik mereka lebih dari pemikiran mereka.
6. Apa yang lebih dari bisnis berbasis pengetahuan saat ini, anak muda
sangat jauh dari lingkungan kerja mereka, dari “apa yang terjadi
disekitar mereka”, ketimbang kakek nenek mereka, yang digaji dari
tenaga fisik dari pada pikiran mereka.
7. Selain itu, mereka juga melihat bahwa pekerja yang masih muda tidak
begitu perhatian terhadap lingkungan kerja mereka atau terhadap halhal apa saja yang terjadi di sekiranya, hal ini tentu jauh berbeda dengan
yang terjadi pada masa lampau dimana orang-orang lebih memilih
bekerja menggunakan fisik daripada menggunakan otak mereka.
8. Apa lagi, dalam ilmu pengetahuan yang berdasarkan bisnis, diisinilah
generasi muda telah lebih jauh menyadari bahwa mereka bekerja
untuk lingkungan dan apa yang sebenarnya terjadi disekitar, kemudian
ketika para orang tua yang kurang menyadari bahwa mereka hanya
dibayar untuk tenaga bukan karena keahlian.
9. Apalagi, dalam standar bisnis masa kini, kaum muda jauh lebih sadar
akan ligkungan pekerjaan mereka, atas ”yang terjadi di sekitarnya”, dari
pada pendahulu mereka yang bekerja dengan tenaga ketimbang otak.
10. Lebih dari itu. Dalam perkembangan lmu pengetahuan dasar bisnis,
disini orang-orang muda telah lebih jauh menyadari bahwa mereka
bekerja untuk lingkungan dan apa yang sebenarnya terjadi disekitar
mereka ketika dulu para orang tua dulunya mereka tidak menyadari hal
itu, mereka hanya dibayar untuk tenaga secara fisik bukan karena
kecerdasan atau ilmu pengtahuannya.
11. Lagi pula, saat ini bisnis yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan,
orang-orang muda jauh menyadari lingkungan kerja mereka “apa yang
akan berlangsung disini”, dari pada mereka bersama kakek dan nenek
mereka, yang memperkerjakan mereka dengan otot dan yang
sebaliknya bukan dengan otak.
12. Lebih dari itu, dalam perkembangan ilmu pengetahuan dasar bisnis,
disini orang- orang muda telah lebih jauh menyadari bahwa mereka
bekerja untuk lingkungan, dan “apa yang sebenarnya terjadi disekitar
mereka”, ketika para orang tua yang dulunya menyadari hal itu, dimana
mereka hanya dibayar untuk tenaga secara fisik dari pada
kecerdasannya (ilmu pengetahuan).
Kalimat Bsu di atas merupakan kalimat panjang atau kompleks sebab di
dalamnya terdapat sebuah kalimat induk dan beberapa anak kalimat. Hasil
analisis secara umum menunjukkan beberapa responden mengalami kesulitan
dalam memahami teks yang berujung pada hasil terjemahan yang salah atau
buruk. Kesalahan tersebut disebabkan karena makna Bsu mengalami distorsi
dalam Bsa. Salah satu terjemahan yang baik untuk Bsu tersebut adalah:
66
Zulprianto, Paruhuman Nasution & Muhammad Yusdi
[Terlebih lagi, di masa bisnis berbasis (ilmu) pengetahuan ini, orangorang muda tersebut jauh lebih waspada terhadap lingkungan kerja
mereka, terhadap “apa yang sedang terjadi disini”, daripada generasi
pendahulu mereka yang dipekerjakan lebih karena otot daripada otak
mereka.]
Kesalahan penerjemahan satu bagian dalam kalimat panjang tersebut akan
mengawali atau menimbulkan kesalahan yang lain. Hal ini disebabkan sebuah
kalimat memiliki pikiran yang satu dan padu. Di samping itu, penerjemah juga
akan cenderung terkondisikan oleh pemahaman dan hasil terjemahan awalnya.
Dalam tahapan inilah, pada dasarnya, seorang penerjemah perlu melakukan
analisis yang dalam terhadap Bsu sampai makna (bagian terpenting) berhasil
disampaikan dalam Bsa.
Secara khusus, ada dua hal yang menarik untuk dianalisis dari data di
atas. Pertama, metode yang digunakan secara umum cenderung literal yang
mengakibatkan ketidakwajaran hasil terjemahan, sebagai contoh, dalam Bsu
terdapat kata sambung atau sentence connector [what’s more] yang seharusnya
tidak diterjemahkan secara literal dengan menerjemahkannya berdasarkan
makna setiap komponen konstituen dimaksud. Kata sambung itu sendiri bisa
bervariasi maknanya seperti lagipula, lebih jauh, apalagi, di samping itu, dsb.
Tetapi, inti dari penggunaan kata sambung tersebut memberikan kesan
‘tambahan’ terhadap apa yang telah disebutkan sebelumnya. Terjemahan yang
kurang berterima untuk kata sambung tersebut dapat dilihat pada terjemahan
nomor 5 dan 6 dimana secara kebetulan terjemahannya sama yaitu [apa yang
lebih]. Dengan terjemahan tersebut, kita dapat menduga bahwa kata [what] dan
[more] diterjemahkan sebagai [apa] dan [lebih]. Demikian juga keliteralan dalam
hal tipologi kalimat dimana sebagian besar Bsa memiliki tipologi atau urutan kata
yang relatif sama.
Hal lain yang menarik juga untuk dilihat dari terjemahan di atas terkait
dengan hasil terjemahan frase kata benda [knowledge-based business] dalam
yang secara tegas bisa dirubah menjadi [bisnis berbasis (ilmu) pengetahuan].
Faktanya, hanya seorang responden yang menerjemahkannya demikian. Hasil
analisis menunjukkan terjemahan responden untuk frase itu ada yang salah dan
juga benar (tapi wordy). Kategori pertama dapat kita lihat pada Bsa nomor 2, 4,
8, 9, 10, dan 12. Berikut adalah terjemahannnya:
Nomor Terjemahan Hasil terjemahan (Bsa)
2 … dalam pengetahuan kini berbasis bisnis …
4 … pada era yang berbasis ilmu pengetahuan-bisnis
…
8 … dalam ilmu pengetahuan yang berdasarkan bisnis
…
9 … dalam standar bisnis masa kini …
10 Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dasar
bisnis, …
12 … dalam perkembangan ilmu pengetahuan dasar
bisnis …
67
Linguistika Kultura, Vol.03, No.02/November/2009
Dalam frase Bsu secara tegas disebutkan [bisnis yang berbasis (ilmu)
pengetahuan], bukan misalnya [pengetahuan berbasis bisnis], [perkembangan
ilmu pengetahuan dasar bisnis], [standar bisnis], dan sebagainya.
Kategori kedua, yaitu Bsa yang benar tapi cenderung panjang dan
sebagian kecil malah cenderung bertele-tele, dapat kita temukan pada
terjemahan sebagai mana ditampilkan di bawah ini:
Nomor Terjemahan Hasil Terjemahan (Bsa)
1 … dalam bisnis-bisnis yang berlandaskan ilmu
pengetahuan deawas ini …
3 … dalam bisnis berlandaskan pengetahuan saat ini
…
5 … pada bisnis berdasarkan pengetahuan saat ini …
6 … dari bisnis berbasis pengetahuansaat ini …
11 … bisnis yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan
…
Akan tetapi, perlu kami tegaskan, meskipun terjemahan di atas cenderung
panjang, Bsa tersebut tidak berarti salah atau buruk. Sebab, faktor keberterimaan
sebuah Bsa dipengaruhi sejumlah hal termasuk pembaca. Jika pembacanya
adalah orang awam dalam bidang teks yang diterjemahkan, terjemahan yang
panjang barangkali lebih tepat sebab frase [bisnis berbasis (ilmu) pengetahuan]
mungkin terlalu kompleks atau canggih bagi mereka.
Selain itu, hasil terjemahan frase [… for their brawn rather than their
brain] juga menarik dibahas. Dasar ketertarikan tersebut disebabkan kata [brawn]
dan [brain] mempunyai muatan estetis dimana keduanya memiliki fitur aliterasi
(deretan kata yang dimulai dengan bunyi yang sama) dan rima (meskipun bukan
rima yang sempurna). Dalam Bsa, kedua kata tersebut mungkin sebaiknya
diterjemahkan menjadi masing-masing [otot] dan [otak] dimana kita masih bisa
mempertahankan aliterasinya (meskipun rima tampaknya tidak dapat
dipertahankan). Alasan lain, kedua kata [otot] dan [otak] merupakan sanding kata
(collocation). Para responden sendiri memadankan kata [brawn] dan [brain]
secara bervariasi, diantaranya [tenaga] dan [pemikiran], [tenaga] dan [otak], [fisik]
dan [pemikiran], [fisik] dan [otak], [tenaga] dan [keahlian], [fisik] dan [kecerdasan].
Terdapat satu responden yang menerjemahkannya menjadi [otot] dan [otak]
namun penerjemahan responden yang bersangkutan mengalami penyimpangan
makna. Di samping itu, sanding kata [tenaga] dan [p(em)ikiran] juga merupakan
pilihan yang tepat mengingat kedua kata tersebut juga sering disandingkan. Hal
ini juga tidak berarti pilihan kata yang lain salah. Sebab, pada intinya setiap
variasi diksi tersebut seperti [tenaga], [fisik], dan sebagainya dapat
merepresentasikan pesan Bsu.
Terkait dengan teknik penerjemahan, kami menemukan beberapa teknik
seperti transposisi, penambahan, penghilangan (omission). Akan tetapi, teknik ini
menjadi tidak relevan untuk dibahas karena hasil terjemahan (Bsa) yang tidak
atau kurang akurat. Sebab teknik penerjeman biasanya dibutuhkan jika
penerjemah menemui kendala objektif atau alasan subjektif (preferensi atau
stilistika).
68
Zulprianto, Paruhuman Nasution & Muhammad Yusdi
5. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data, kami dapat menyimpulkan beberapa hal.
Pertama, terkait dengan permasalahan dan akurasi hasil terjemahan para
responden. Kedua aspek ini akan kami simpulkan secara bersamaan karena
keduanya berhubungan erat: karya terjemahan bermasalah mengimplikasikan
persoalan akurasi atau kecermatan sebuah karya terjemahan. Namun, perlu
ditegaskan bahwa permasalahan yang diangkat di sini merupakan permasalahan
subjektif (penerjemah), bukan permasalahan objektif kedua bahasa.
Permasalahan dan akurasi yang ditemukan terkait dengan Bsa yang tidak
memiliki konstruksi tidak sejajar. Pada dasarnya, permasalahan jenis ini terkait
dengan akurasi bentuk saja karena makna Bsu tetap dapat disampaikan
meskipun bentuk Bsa tidak paralel. Permasalahan yang lain berhubungan
dengan pilihan kata atau padanan yang kurang tepat sehingga mengurangi
kewajaran Bsa. Bahkan, juga ditemukan pilihan kata yang salah sehingga
menghasilkan terjemahan yang salah. Keputusan untuk mengatakan sebuah
terjemahan salah, dalam kasus ini, diambil disebabkan dalam Bsa ditemukan
distorsi makna sehingga pesan Bsu tidak padan dengan Bsa. Terjemahan yang
salah atau buruk dipicu oleh pemahaman atau analisis Bsu yang tidak tepat atau
tidak memadai.
Kedua, terkait dengan kecenderungan para responden untuk
menerjemahkan, baik metode dan teknik, Bsu secara literal. Kecenderungan ini
pada dasarnya bukan sebuah permasalahan sepanjang Bsa berterima (dan
sesuai dengan selera klien). Akan tetapi, kami menemukan dalam beberapa hal
kecenderungan ini bisa menjebak penerjemah karena tidak semua unit bahasa
bisa diterjemahkan secara literal,misalnya ungkapan-ungkapan yang bermakna
konotatif atau formulaic expressions. Kecenderungan ini terlihat seperti ketika
menerjemahkan kata sambung [what’s more]. Sebaliknya, penerjemah
seharusnya harus merasa bebas menggunakan metode atau teknik
penerjemahan apa saja sepanjang pesan Bsu dapat direproduksi di Bsa;
penerjemah sebaiknya tidak membatasi diri dengan metode atau teknik tertentu.
Selain itu, masih terkait dengan keharfiahan cara menerjemah, word order
(urutan kata) Bsa dalam kalimat atau urutan kalimat dalam paragraf cenderung
sama dengan Bsu. Jika Bsu adalah sebuah kalimat panjang dan kompleks, maka
Bsa juga cenderung panjang dan kompleks. Padahal, kalimat dimaksuddapat
dimodifikasi menjadi kalimat yang lebih pendek dengan menggunakan teknik
penerjemahan tertentu. Modifikasi tersebut mungkin perlu dilakukan untuk
kepentingan pembaca. Akan tetapi, modifikasi juga harus mementingkan
efektifitas Bsa: Bsa tidak menjadi panjang dan bertele-tele.
Selain itu, beberapa teknik penerjemahan yang digunakan oleh
penerjemah juga dapat diidentifikasi. Teknik-teknik tersebut adalah transposisi
atau pergeseran bentuk yang lebih sering bersifat wajib untuk dilakukan karena
perbedaan objektif kedua bahasa; misalnya perubahan urutan kata dalam
sebuah frase kata benda. Teknik yang lain adalah modulasi (pergeseran makna)
dimana penerjemah menggunakan padanan kata dalam Bsa yang sedikit
berbeda makna dari Bsu. Teknik penerjemahan yang lain adalah penerjemahan
literal/harfiah, penambahan (addition), dan penghilangan (deletion/omission).
Akan tetapi, beberapa kasus penghilangan menjadikan Bsa kabur sebab bagian
yang dihilangkan merupakan bagian penting dari Bsu dimaksud.
69
Linguistika Kultura, Vol.03, No.02/November/2009
Referensi
Bassnet-McGuire, Susan. 1980. Translation Studies. London: Methuen & Co. Ltd.
Bell, Roger T. 1991. Translation and Translating: Theory and Practice. Essex:
Longman Group UK Limited.
Crystal, David. 1987. The Cambridge Encyclopaedia of Language. Melbourne:
CambridgeUniversity Press.
Chung, Sandra. 2007. Indonesian Clause Structure from an Austronesian
Perspective. Santa Cruz: University of California.
Delisle, Jean. 1988. Translation: An Interpretative Approach (translated by
Patricia Logan & Monica Creery). Ottawa: University of Ottawa Press.
Echols, J.M & Shadily Hassan. An Indonesian-English Dictionary. USA:
CornellUniversity Press.
Fowler, Roger. 1971. An Introduction to Transformational Syntax. London:
Routledge and Keagen Paul Ltd.
Gross, Alex. 2005. Some Major Dates and Events in the History of Translation’.
Translation Journal Volume 9, No. 1 January 2005. URL:
http://accurapid.com/journal/31history.htm
Hoed, Benny. H. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya
Huddlestone, Rodney. 1988. English Grammar: An Outline.Cambridge:
CambridgeUniversity Press
Kaur, Kulwindr. “A Competent Translator and Effective Knowledge Transfer”
Translation
Journal
Volume
9,
No.
4 (2005)
25
Jan.
2007<http://accurapid.com/journal/34edu.htm>
Kaur, Kulwindr. 2005. ‘Parallesism Between Language Learning and Translating’.
Translation
Journal.
Volume
9,
No.
3
July 2005.
URL:
http://accurapid.com/journal/33edu.htm
Kaplan, Jeffrey P. 1989. English Grammar: Principles and Facts. New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.
Leech, G., et al. 1982. English Grammar for Today: A New Introduction.London:
MACMILLAN EDUCATION LTD
Lefevere, Andre. 1975. Translating Poetry: Seven Strategies and a Blueprint.
Assen/Amsterdam: Van Gorcum.
Macdonald, R. Ross. 1976. Indonesian Reference Grammar. USA:
GeorgetownUniversity.
Machali, R. 2009. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Kaifa
Moentaha, Salihen. 2006. Bahasa dan Terjemahan. Kesaint Blanc: Jakarta.
Muhammad, Ainon. 1987. Panduan Menterjemah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Muhammad, Ainon. Pengantar Terjemahan: Teori dan Latihan Praktikal.
Penerbitan Adabi Damansara Utama: Kuala Lumpur. 1979.
Munday, Jeremy. 2001. Introducing Translation Studies: Theories and
Applications. Oxon: Routledge.
Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. UK: Prentice Hall International
(UK) Ltd.
Nida, Eugene. A. 1975. Exploring Semantic Structures. Munchen: Wilhelm Fink
Verlag.
Parera, Jos Daniel. 1988. SINTAKSIS. Jakarta: PT Gramedia.
Quirk, Randolph & Sydney Greenbaum. 1973. A University Grammar of English.
Essex: Longman.
70
Zulprianto, Paruhuman Nasution & Muhammad Yusdi
Riazi, A. ‘The Invisible in Translation: The Role of Text Structure’ Translation
Journal
Volume
7,
No.
2
(2007)
7
Feb.
2007
<
http://accurapid.com/journal/24structure.htm>
Robinson, Douglas. 2003. Becoming a Translator: An Introduction to the Theory
and Practice of Translation. London: Routledge.
Sneddon, James Neil. 1996. Indonesian: A Comprehensive Grammar. London:
Routledge.
Stack, Maggie. 2005. Word Order and Intonation in Indonesian (LSO working
papers in Linguistics 5). Madison: University of Wisconsin.
http://ling.wisc.edu/lso/wpl/5.1/LSOWP5.1-13-Stack.pdf
Stevens, Alan M. & A.Ed. Aschmidgall-Tellings. 2004. A comprehensive
Indonesian-English Dictionary. Ohio: OhioUniversity Press.
Williams, Jenny & Andrew Chesterman. 2002. The Map: A beginner’s Guide to
Doing Research in Translation Studies. Manchester: St. Jerome Publishing.
Zulprianto. 2008. Two English Translations of 11 Poems by Chairil Anwar (A
Subthesis). Canberra: The AustralianNationalUniversity.
71
Download