penerjemahan karya sastra ke dalam bahasa sunda sebagai

advertisement
PENERJEMAHAN KARYA SASTRA KE DALAM BAHASA SUNDA
SEBAGAI STRATEGI PEMBERDAYAAN BAHASA LOKAL
Lina Meilinawati Rahayu
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran-Bandung
[email protected]
Abstract
Translating always culturally sensitive because translating literary works not only move the source
language to the target language, but also cultural shift resources to the target culture. This paper would like
to examine the Sundanese literature and Indonesian translations. The foreign literature be used as the object
of study is the Boule de suif translation and Si cute Marcalais Fransisca Durahman Duduh translation. Both
come from Boule de suif works Guy de Maupassant. In this paper will use the principles of intercultural
offered Pavis. Intercultural work stems from the source language to the target language. By describing the
transformation of Indonesian into Sundanese expected to be one of the strategies of empowerment of local
languages as well as introducing the literary treasures of the world. From the results of this study showed
that the Sundanese language capable of expressing the “feeling” with deeper.
Keyword: translate literature, translation, bahasa Sunda, expressing language
Abstrak
Penerjemahan selalu peka budaya karena menerjemahkan karya sastra bukan hanya memindahkan
bahasa sumber ke bahasa sasaran, melainkan mengalihkan juga budaya sumber ke budaya sasaran. Tulisan
ini ingin meneliti karya sastra berbahasa Sunda dan Indonesia hasil penerjemahan dari Sastra Asing. Yang
akan dijadikan objek penelitian adalah Boule de Suif terjemahan Marcalais Fransisca danSi Demplon
terjemahan Duduh Durahman. Keduanya berasal dari Boule de Suif karya Guy de Maupassant. Dalam
tulisan ini akan menggunakan prinsip interkultural yang ditawarkan Pavis. Kerja interkultural bermula
dari bahasa sumber hingga bahasa target. Dengan mendeskripsikan transformasi dari bahasa Indonesia
ke dalam bahasa Sunda diharapkan akan menjadi salah satu strategi pemberdayaan bahasa lokal sekaligus
memperkenalkan khazanah sastra dunia. Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa bahasa Sunda
mampu mengungkapkan “perasaan” dengan lebih dalam.
Kata Kunci: sastra terjemahan, penerjemahan, bahasa Sunda, bahasa “perasaan”
LATAR BELAKANG MASALAH
Penerjemah diibaratkan seperti pekerja yang bekerja di ladang orang lain, tetapi hasilnya
tetap menjadi milik yang punya ladang. Begitulah perumpamaan yang disampaikan Dryden dalam
Bassnet (1993:146). Dengan kata lain, siapa pun yang menjadi penerjemahnya, tetap yang akan
dikenal adalah penulisnya. Padahal tanpa kerja penerjemah, sebuah tulisan tidak akan dikenal
dalam bahasa dan budaya lain. Dengan kata lain, peran dan posisi penerjemah sangatlah penting
sebagai penyambung lidah, penerus maksud, pengantar pesan dan penghubung antara satu budaya
ke budaya lain. Sebuah tulisan dapat melintasi ruang dan waktu karena kerja penerjemah.
Penerjemahan karya sastra di Indonesia sudah berlangsung lama. Chambert-Loir (2009)
menyebutkan bahwa pada tahun 996 untuk pertama kalinya di Nusantara berlangsung acara
pembacaan Wirataparwa. Ini merupakan buku pertama dari rangkaian proyek penerjemahan
Mahabarata. Data ini menunjukkan bahwa aktivitas penerjemahan sudah berlangsung lama,
setidaknya lebih dari seribu tahun. Hal ini diperkuat oleh Moriyama (2009) yang menjelaskan
bahwa sastra terjemahan cerita-cerita Eropa ke dalam bahasa Sunda sudah ada di bumi Indonesia
sejak abad ke-19. Percetakan sudah ada di dunia tulis Sunda sejak tahun 1850. Terjemahan baru
muncul pada paruh kedua abad ke-19. Kebanyakan tulisan tersebut diterjemahkan atau disadur
berdasarkan buku-buku yang dibawa dari Eropa. Yang menjadi tokoh dalam dunia penerjemahan
saat itu adalah Kartawinata (1846-1906). Pada tahun 1874 Kartawinata diangkat sebagai
penerjemah resmi pada zaman Hindia-Belanda.
79
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Ketika sastra Indonesia mulai berkembang, penerjemahan pun semakin banyak. Dalam
perkembangan drama di Indonesia bidang penerjemahan drama cukup menarik. Pada tahun
1950-an, kegiatan penerjemahan sangat marak. Keinginan untuk menerjemahkan drama Barat
menjadi semakin kuat sebab kelompok-kelompok teater yang bermunculan pada masa itu tidak
mendapatkan naskah seperti yang mereka inginkan. Banyaknya pementasan mungkin sekali
merupakan alasan para dramawan untuk menerjemahkan dan menyadur sebab naskah asli tidak
memberikan kepuasan. Menurut Sumardjo (1988) kebutuhan terhadap sastra drama terjemahan
terasa apabila timbul niat usaha “perbaikan” bagi seni teater modern di Indonesia. Pemilihan
naskah drama terjemahan atau saduran dianggap sebagai jalan keluar karena pementasan yang
cukup banyak tidak diimbangi dengan jumlah naskah. Walaupun tersedia naskah drama, mutunya
tidak memuaskan. Penjelasan ini menunjukkan bahwa sastra terjemahan memiliki kedudukan
yang penting.
Karya terjemahan sudah lama menjadi perdebatan. Yang diperdebatkakn umumnya
apakah karya sastra hasil terjemahan milik sastra yang memiliki bahasa asli atau bahasa sasaran.
Dengan tegas Salam (tt) menyebutkan bahwa sastra terjemahan adalah milik bahasa sasarannya.
Dengan argumentasi bahwa sebuah teks sastra terjemahan adalah sebuah teks sastra tersendiri
yang sudah berbeda dari teks sastra dalam bahasa aslinya. Jika sebuah novel diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia, ia menjadi bagian dari khazanah sastra Indonesia. Saya sependapat bahwa
sastra terjemahan menjadi bagian dari khazanah sastra bahasa sasaran.
Chamber-Loir lebih jauh menjelaskan tentang kondisi sastra terjemahan di Indonesia
saat ini. Menurutnya kebanyakan penerjemah di Indonesia menganut “kesepadanan formal”
yaitu memindahkan bentuk teks asli secara mekanis. Padahal dulu pada awal perkembangan
penerjemahan di Indonesia menggunakan prinsip “kesepadanan dinamis” yang merombak teks
sumber agar menghasilkan efek yang sama dengan bahasa sasaran.
Pada saat ini, tidak banyak penerbit yang mengkhususkan diri pada karya sastra terjemahan.
Namun, di antara yang sedikit itu harapan masih bisa disandarkan pada Penerbit Obor Jakarta yang
secara konsisten menerjemahkan khazanah sastra dunia dan beberapa sudah berkali-kali dicetak
ulang. Begitupun penerjemahan ke dalam bahasa Sunda. Salah satu yang konsisten meski tidak
banyak adalah Penerbit Kiblat. Selain itu, malajah bulanan Cupumanik juga sering menyajikan
karya terjemahan di dalam beberapa terbitannya. Di antaranya adalah (1) “The Tell-Tale Heart”
karya Edgar Allan Poe diterjemahkan oleh Atep Kurnia menjadi Keteg Jajantung (Detak Jantung),
(2) “Blind Owl” (Buf-e Kur, 1937) karya Sadeq Hedayat diterjemahkan oleh Atep Kurnia dan
Hawe Setiawan menjadi Haji Murod (3) “Adventure” karya Sherwood Anderson diterjemahkan
oleh Hawe Setiawan menjadi Ngulampreng (Berpetualang) (4) “The Hummingbird that Lived
Through Winter” karya William Sarojan diterjemahkan oleh Hawe Setiawan menjadi Manuk
Kolibri Nu Nyorang Usum Tiis (Burung Kolibri Dimusim Dingin) (5) “Loot” karya Nadine
Gordimer diterjemahkan oleh Hawe Setiawan menjadi Ngaranjah (Membabibuta) (6) Judul
bahasa aslinya tidak disebutkan karya Edgar Allan Poe diterjemahkan oleh Yuliana Mustofa
menjadi Ucing Hideung (Kucing Hitam), (7) Judul aslinya tidak disebutkan karya Xia Mian
Zhun diterjemahkan oleh Soeria di Sastra menjadi Ahli Nujum, dan lain-lain. Ada sebuah cerpen
panjang karya Gun de Maupassant yang diterjemahkan oleh Duduh Durahman menjadi sebuah
buku. Inilah yang akan dijadikan sebagai objek penelitian. Pemilihan ini didasarkan pada sudah
adanya terjemahan dalam bahasa Indonesia hingga memudahkan proses pembandingan.
Berdasarkan kedua objek penelitian di atas akan ditelisik perubahan-perubahan dari
terjemahan bahasa Indonesi ke dalam bahasa Sunda. Penelitian akan dikembangkan berdasarkan
kedua pertanyaan berikut (1) Bagaimana Bahasa Nasional dan Lokal mampu menampung gagasan
sastra dunia? (2) Kelebihan-kelebihan apa yang dimiliki bahasa Sunda dalam mengungkapkan
gagasan dibandingkan dengan bahasa Indonesia?
80
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
SUMBER DATA
Penelitian ini menggunakan dua karya sastra hasil terjemahan, yaitu “Boule de Suif”
terjemahan Marcalais Fransisca dalam buku kumpulan cerpen Cinta Sejati terbitan Serambi, 2011
dan “Si Demplon” terjemahan Duduh Durahman, terbitan Kiblat, 2013. Kedua hasil terjemahan
itu berasal dari “Boule de Suif” karya Guy de Maupassant.
LANDASAN TEORI
Penerjemahan adalah proses transformasi. Walter Benjamin dalam Bassnet (1993:
151) mengklaim penerjemahan berkembang sebagai sebuah proses yang terus berubah (as a
trasformative prosess). Oleh sebab itu, penulis menggunakan istilah transformasi yang berarti
perubahan, baik dari terjemahan ke saduran ataupun dari saduran ke pementasan. Esai Benjamin
di atas ditemukan kembali oleh para teoritisi terjemahan pada tahun 1980-an dan telah menjadi
salah satu teks penting dari teori penerjemahan postmodern.
Berkaitan dengan penerjemahan sering hasil terjemahan lebih baik daripada teks sumber.
Lindsay (2006) yang memberikan pengantar dalam kumpulan makalah mengenai penerjemahan
mengatakan bahwa selama ini naskah drama asing yang dipelajari selalu hanya diperlakukan
sebagai teks verbal, padahal dalam kenyataannya teks apa pun bila sudah di atas panggung
“diterjemahkan” tidak hanya secara verbal, tetapi juga lewat ekspresi tubuh—dan, tentu saja,
segala jenis peralatan yang ditempatkan di panggung, apa pun bentuknya. Pembicaraan tentang
terjemahan ini dengan demikian mencakup kegiatan yang biasanya dikenal sebagai penerjemahan
verbal dari teks sampai ke penyaduran hingga selanjutnya ke pertunjukan. Dalam pengantar
tersebut Lindsay mengutip pendapat Venuti yang menjelaskan bahwa, “Translation, in other
word, inevitably perform a work of domestication”—terjemahan mau tidak mau menyangkut
masalah penyesuaian suatu karya juga dengan kondisi sosial budaya, tata nilai, dan norma yang
merupakan konteks dari pertunjukan itu.
Newmark (1988) menyebutkan ada delapan metode penerjemahan. Dari kedelapan
metode tersebut Newmark membagi dua lagi, apakah lebih dekat ke bahasa sumber (word-forword translation, literal translation, faithful translation, semantic translation) atau lebih dekat ke
bahasa sasaran (adaptation, free translation, idiomatic translation, communicative translation).
Dalam penjelasan di atas jelas bahwa saduran dan terjemahan bebas lebih dekat ke bahasa sasaran.
Oleh sebab itu, budaya sasaran akan mendominasi saduran.
Proses transformasi dari terjemahan ke saduran dilakukan masih dalam tataran teks.
Transformasi dari teks ke pementasan lebih kompleks karena terdiri atas berbagai elemen. Proses
inilah yang merupakan lahan interkultural karena di dalamnya berjalin-kelindan budaya-budaya.
Oleh sebab itu, pendekatan interkultural menjadi bagian analisis berikutnya.
Penyesuaian naskah dengan budaya setempat merupakan salah satu perhatian dari
gagasan interkulturalisme, suatu gagasan yang merupakan pengembangan dari multikulturalisme.
Gagasan itu memang diawali berdasarkan keinginan para politisi yang menyatakan bahwa
kebudayaan haruslah beragam sehingga siapa pun, tidak terkecuali para seniman, harus menyadari
eksistensi keberagaman budaya di sekelilingnya dan mempertimbangkan-nya dalam karya-karya
mereka. Pandangan itu mensyaratkan adanya penghargaan terhadap kebudayaan lain tanpa
mempertimbangkan agama, ras, kepercayaan, suku, dan sebagainya.
Pandangan ini tidak sama dengan kenyataan yang ada. Dalam kenyataannya malah
menghasilkan situasi yang menyebabkan kebudayaan-kebudayaan itu tidak berjalan sendiri-sendiri
beriringan, tetapi adanya proses interaksi budaya. Itulah sebabnya kemudian muncul konsep
interkulturalisme yang pada dasarnya menjelaskan prinsip bahwa kebudayaan-kebudayaan itu
tidak sekedar berjalan beriringan tetapi menghasilkan friksi, interaksi, dan pertukaran gagasan.
Menurut Féral (1996), gagasan interkultural ini juga mengungkapkan bahwa pada dasarnya
kebudayaan-kebudayaan itu tidak pernah duduk baik-baik dengan tenang, tetapi selalu berada
dalam percaturan yang menyebabkan adanya penyatuan maupun pertentangan. Ini menyangkut
81
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
prinsip saling memengaruhi yang juga merupakan prinsip dasar pendekatan bandingan dalam
kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan
Sejak dahulu kesenian memang memiliki prinsip saduran dan peminjaman, dua hal yang
juga merupakan prinsip pendekatan bandingan, sebab hal itu memang merupakan esensi kesenian.
Yang baru dalam konsep interkultural ini adalah kesadaran adanya gejala tersebut dan sekaligus
munculnya teori dan analisis kritis terhadap proses tersebut. Pertanyaan yang biasanya menjadi
dasar pemikian itu adalah mengapa dan bagaimana proses itu terjadi.
Di dalam benak seniman, hal itu terjadi begitu saja dan tidak merupakan niat untuk
menghasilkan kesenian berdasarkan prinsip tersebut. Karena mereka hidup dalam masyarakat
yang demikian, karya yang mereka hasilkan mencerminkan situasi tersebut. Karya seni yang
baik memang tidak bersifat politis sebab tidak dimaksudkan untuk menekankan keyakinan atau
ideologi. Namun, karena karya seni memiliki dasar makro-sosial, tiap karya seni merupakan
perempatan atau pertemuan antara yang pribadi (seniman) dan plural (masyarakat) yang ada di
sekitarnya. Dalam hal demikian itulah terjadi proses interkultural yang tercermin dalam kaya
seninya.
Usaha untuk menghapuskan friksi antarbudaya, mengungkapkan pluralitas budaya, dan
menyatakan bahwa perbedaan antarbudaya adalah sesuatu yang wajar terus didengungkan. Hal
itu memang tidak bisa dihindarkan dalam kesenian masa kini. Fischer-Lichte (1996) menjelaskan
bahwa pada saat ini pementasan teater mengadopsi berbagai elemen dari berbagai tradisi dalam
berbagai produksinya. Dia mencontohkan sebuah pementasan Shakespeare digunakan elemenelemen teater Jepang dan India dalam kostum, topeng, musik, gestur, dan tarian. Dia juga
menjelaskan bahwa ada tren interkulturalisme dalam teater kontemporer. Brook juga setuju bahwa
banyak pengaruh budaya dalam produksinya. Dia menyimpulkan ada “suara universal dalam
teater”. Pavis dalam Schechner (1996), menjelaskan dengan memberikan contoh interkultural
dalam teater. Contoh yang diberikan adalah drama Mahabrata yang disadur oleh Peter Brooks
dengan menggunakan teknik pementasan Barat. Contoh itulah yang dinamakan interkultural.
Lebih lanjut dijelaskan interkultural teater adalah perpaduan atau percampuran bentuk yang
dengan sadar dilakukan dan percampuran tradisi yang dapat dilihat jejaknya dalam teater atau
pertunjukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Telah dijelaskan di atas bahwa tulisan ini akan memaparkan dua hal dalam dua karya
terjemahan, yaitu (1) Bagaimana Bahasa Nasional dan Lokal mampu menampung gagasan sastra
dunia, dan (2) Kelebihan-kelebihan apa yang dimiliki bahasa Sunda dalam mengungkapkan
gagasan dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Kerja bandingan tentu tidak dapat dihindarkan
karena akan melihat bagaimana hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa
Sunda.
Penelitian tentang cerpen Baule de Suif sudah banyak dilakukan. Dua di antaranya skripsi
yang ditulis oleh mahasiswa Jurusan Perancis. Pertama, skripsi berjudul “Pengungkapan Sikap
Patriotik di dalam Cerita Pendek Boule de Suif, Mademoiselle Fifi dan Le lit 29” karya Guy
Maupassant oleh Nissa Ardeasari (2010) dari Universitas Indonesia. Skripsi ini membahas sikap
patriotik tokoh-tokoh cerita di dalam tiga ceritapendek Guy de Maupassant. Dengan menggunakan
analisis sintagmatik dan paradigmatik, sikap patriotik tersebut diteliti berdasarkan peristiwaperistiwa cerita, deskripsi tokoh, serta latar ruang dan waktu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tokoh-tokoh, baik tokoh utama maupun tokoh pendukung di dalam Boule de Suif, Mademoiselle
Fifi, dan Le Lit 29, bersikap patriotik. Tokoh-tokoh tersebut membawa ide-ide patriotik Maupassant
selama perang Prancis-Prusia berlangsung.
Kedua, skripsi berjudul “Citra Para Tokoh Wanita dalam Cerpen Clochette, Boule de Suif,
Histoire d’une Fille de Ferme, dan Mademoiselle Fifi Karya Gun de Maupassant: Tinjauan dari
Persfektif Feminisme Julia Kristeva” (2013). Skripsi yang dibuat oleh Mawar Fajarsari, mahasiswa
82
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Unnes Semarang. Dari hasil analisis disimpulkan bahwa adanya feminisme yang tercermin dalam
tahapan 1) citra para tokoh wanita dalam perannya sebagai tubuh maternal mampu memerankan
sosok ibu meskipun mereka belum melahirkan, 2) citra para tokoh wanita mampu bertindak
sebagai ayah imajiner yang rela berkorban demi kebahagian orang yang dicintainya, dan 3) citra
para tokoh wanita ketika mereka menghadapi abjection (penyebab munculnya penindasan dan
diskriminasi) yang tetap semangat untuk menyelesaikan berbagai cobaan hidup dengan kesabaran.
Mereka tetap menjadi wanita terhormat di mata laki-laki dan sekaligus menjadi pelopor gerakan
wanita mandiri.
Kedua tulisan tersebut menitikberatkan pada makna di balik cerpen-cerpen Maupassant,
tulisan ini akan melihat bagaimana hasil terjemahan (bahasa Indonesia dan bahasa Sunda) mampu
menampung gagasan yang ada dalam bahasa asing.
Transformasi Boule de Suif ke dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda
Boule de Suif berkisah tentang suasana Prancis selama perang Prancis-Prusia berlangsung.
Yang menjadi tokoh sentral adalah seorang perempuan yang disebut Boule de Suif. Dalam
terjemahan bahasa Indonesia kata frasa tersebut dibiarkan seperti apa adanya. Penerjemah tidak
mencarikan padanan kata yang tepat untuk istilah tersebut atau boleh jadi tidak ada kata yang
benar-benar tepat untuk mengungkapkan makna di balik kata tersebut. Dalam google terjemahan
Boule de Suif diterjemahkan dengan ‘bola lemak’, tetapi ada yang menerjemahkannya ‘bola
sabun’. Kata ini ditujukan untuk bentuk badan perempuan. Penerjemah tidak menggantinya
menjadi gendut, gemuk, atau gempal, tetapi tetap mempertahankan kata tersebut. Dimungkinkan
kata gendut, gemuk, atau gempal tidak bisa mewakili atau sejajar maknanya. Hal ini berbeda dalam
terjemahan bahasa Sunda. Dalam hasil terjemahannya, Duduh Durahman menerjemahkan dengan
kata Si Demplon. Dalam Kamus Umum Basa Sunda kata “demplon” dirujuk untuk melihat kata
bahono. Kata ini berarti ‘lintuh semu peungkeur’ atau ‘agak gemuk dan tampak berisi’ (1980:33).
Ternyata kata dari bahasa Sunda ini sudah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Kata Demplon
berarti cantik dan montok (KBBI, 2008:311). Dengan demikian, penerjemah bahasa Sunda lebih
berani untuk mencari padanannya agar pembaca langsung memahami maknanya.
Perang Prancis-Prusia atau Perang Prancis-Jerman yang juga disebut Perang 1870 di
Perancis (19 Juli 1870 – 10 Mei 1871) suasana ini yang dimanfaatkan Guy de Maupassant untuk
menyampaikan ceritanya. Boule de Suif seorang perempuan kelas rendah (pelacur) yang terpaksa
meninggalkan kota. Mereka mendapat izin dari jenderal yang berwenang. Dengan sebuah kereta
yang ditarik enam kuda mereka meninggalkan kota pada Selasa Ada 10 penumpang dalam kereta
tersebut. Mereka adalah suami istri saudagar anggur yang terkenal cerdik, culas, pintar bicara dan
penuh muslihat. Duduk di sebelahnya pria terpandang, raja dalam perdagangan kapas, pemilik
tiga pabrik penggilingan. Duduk di hadapannya istrinya yang cantik semampai. Lalu ada dua
tetangganya yaitu anggota paling tua dan terhormat di Normandia. Keenam orang suami istri ini
duduk di ujung kereta. Ada juga dua orang biarawati. Duduk di hadapan biarawati itu seorang pria
dan wanita. Yang pria seorang demokrat yang menjadi teror untuk semua orang. Sementara yang
wanita seorang penghibur kelas atas, dikenal karena ukuran buah dadanya yang tidak biasa untuk
seusianya yang membuatnya dijuluki “boule de suif” (bola lemak) yang dideskripsikan sebagai
berikut:
Pendek dan bulat, gemuk seperti babi, dengan jari-jari gendut yang menggembung di
buku-bukunya, terlihat seperti deretan sosis; dengan kulit mengilat teregang dan dada sangat besar
yang memenuhi bagian atas gaunnya, ia tetap menarik dan banyak dicari, karena penampilannya
yang segar dan menyenagkan. Wajahnya seperti apel merah, kuncup peoni yang baru saja merekah.
Ia memiliki dua mata berwarna gelap yang sangat indah, dibingkai dengan bulu mata tebal yang
membayangi matanya. Bibirnya kecil, merona, menggemaskan dan dihiasi gigi-gigi kecil. (h.
116-117)
83
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Kesepuluh orang yang berada dalam kereta tersebut, terutama para wanita, berkomplot
untuk “memisahkan diri” dari Boule de Suif. Ketiga perempuan (selain biarawati) merasa harus
menjaga kehormatannya di hadapan pelacur. Prinsip mereka “cinta yang legal selalu membenci
saudaranya yang gampangan”. Para pria saling menatap dengan sikap santun. Mereka dipersatukan
oleh uang.
Jelas boule de suif bukan bagian dari mereka. Keberadaannya harus disisihkan. Kondisi
ini kemudian berubah ketika mereka menyadari sudah sangat lapar dan sama sekali tidak ada
makanan. Mereka tidak mempersiapkan makan karena berangkat dalam ketergesaan. Hanya
boule de suif yang membawa bekal makanan cukup berlimpah: empat ekor ayam besar, rotiroti, dan botol minuman. Sadar bahwa semua penumpang tidak memiliki makanan, segera dia
menawarkan bekal yang dimakannya. Semua tampak seakan-akan bersahabat karena terpaksa
oleh perut yang lapar. Secepat kilat sekeranjang makanan ludes dimakan oleh seisi kereta.
Akhirnya perjalanan tiba ke sebuah hotel dan mereka beristirahat. Namun, masalah terjadi
karena kuda yang dipakai untuk menarik kereta ditahan oleh tentara Prusia. Semua tidak mengerti
mengapa tentara Prusia menahan mereka. Akhirnya mereka mengetahui bahwa boule de suif tidak
bersedia “melayani” pimpinan tentara Prusia. Alih-alih bersimpati pada kesulitan yang tengah
diderita boule de suif, mereka malah menyalakan. Mereka berpendapat bahwa sudah selayaknya
mau melayani keinginan pimpinan tentara Prusia karena hal itu akan menyelamatkan mereka
semua. Selain itu, mereka menganggap bahwa itulah pekerjaan boule de suif. Atas bujukan dari
para lelaki dan dikuatkan fatwa para biarawati, boule de suif pun luluh. Mereka mendapatkan kuda
kembali untuk melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan, tidak satu pun ramah pada boule
de suif, semua tampak jijik dan pura-pura tidak mengenalnya. Ketika makan siang tiba, mereka
sibuk makan sendiri termasuk kedua biarawati. Tak ada yang memedulikan apalagi menawarinya
makanan. Cerita berakhir dengan tangis karena rasa sakit hati.
Hasil terjemahan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda keduanya mampu
memindahkan cerita dengan sama baiknya. Pembaca diberi informasi tentang suasana mencekam
ketika perang antara Perancis dan Prusia (Jerman) juga suasana batin yang dirasakan “boule de
suif” seorang wanita yang direndahkan dan diperlakukan tidak manusiawi. Namun, yang menarik
perbedaan dalam menerjemahan judul. Dalam versi bahasa Indonesia judul tidak diubah karena
mungkin ungkapan yang spesifik tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia, tetapi dalam
versi bahasa Sunda penerjemah lebih berani. Artinya, penerjemah mencari kata yang mendekati
maknanya. Kata ‘demplon’ dipilih walaupun mungkin tidak sama persis maknanya. Kata ini
hanya dipakai untuk menunjukkan bentuk tubuh perempuan yang agak gemuk tapi tidak terlalu
gemuk. Konotasi yang ditimbulkan dari makna ini tidaklah negatif atau bentuk tubuh yang buruk.
Kata demplon juga menunjuk pada bentuk tubuh yang molek. Hal ini sebagai salah satu bukti
bahwa bahasa daerah lebih memiliki kekayaan nuasa makna untuk kata-kata yang menggabarkan
“perasaan”. Walaupun kata “demplon” sudah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia, penerjemah
memilih ungkapan dalam bahasa aslinya.
Membandingkan Boule de Suif dan Si Demplon: dari Perancis ke Indonesia ke Sunda
“Boule de Suif” adalah cerpen-panjang karya Guy de Maupassant. Hal ini disebabkan
panjang cerita berbeda dengan kebanyakan karya Maupassant yang lainnya. Disebutkan bahwa
karya-karya de Maupassant bersifat realis, objektif, alamiah, dengan gaya tutur yang tertata rapi.
Ceritanya lebih banyak mengandung ironi dan komedi. Kisahnya dibangun di sekitar kehidupan
sehari-hari masyarakat dari bermacam kelas di Perancis, cerita-cerita tentang perang Perancis dan
Prusia juga seputar wanita https://luckty.wordpress.com/tag/guy-de-maupassant/. Pernyataan yang
persis sama seperti di atas ditulis juga dalam biografi pengarang di bagian belakang buku. Saya
sependapat dengan komentar di atas terutama tentang cerita-cerita yang disajikan: mengandung
ironi dan komedi. Juga keberaniannya mengungkapkan kemunafikan masyarakat kelas atas di
84
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Perancis. Mereka yang berada di kelas atas: pejabat, penguasa, saudagar, dan para pemuka agama
(biarawan/biarawati) seringkali kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Hal ini tampak pada cerpen
“boule de suif” ketika mereka memandang rendah dan tidak memedulikan perempuan pelacur.
Namun, ironisnya mereka menerima makanan yang ditawarkan perempuan itu. Mereka pura-pura
baik karena memerlukan makanannya. Namun, ketika perempuan itu membutuhkan makanan,
mereka seakan tidak rela untuk berbagi. Biarawati yang duduk di hadapan dan menyaksikan
perempuan itu lapar merasa tidak perlu untuk menolong.
Bila disebutkan karya de Maupassant memiliki gaya tutur yang tertata rapi, tentu saya tidak
dapat berkomentar karena tidak membaca karya aslinya dalam bahasa Perancis. Namun, ketika
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda dapat terasa kalimat demi kalimat dari
para penerjemah berkaitan dengan sangat kuat. Setiap kalimat berjalin erat menjelaskan sesuatu
dengan sangat detil. Bila kedua penerjemah melakukan hal yang sama ini menunjukkan bahwa
kalimat-kalimat memang berjalalin dengan rapi hingga menimbulkan makna yang mendalam dan
jelas untuk menggambarkan sesuatu. Hal itu seperti tampak dalam kutipan di bawah ini.
Cornudet duduk di sisi perapian dapur yang tinggi, di depan api yangg menyala-nyala. Di
sampingnya ada meja kecil dan seguci bir, lalu dia mengisap pipanya – sebatang pipa yang di
kalangan demokrat begitu pentingnya, seolah pipa itu mengabdi kepada negara dengan mengabdi
pada Cornudet. Benda itu adalah pipa cangklongmeerschaum bermutu bagus, dengan indah
diwarnai sampai sehitam gigi pemiliknya, tapi beraroma manis, melengkung anggun, pantas di
tangan pemiliknya, dan melengkapi penampilannya. Cornudet duduk terdiam, matanya kadangkadang terpaku pada api yang menari, kadang-kadang pada busa yang mengapung di permukaan
bir; dan setelah meneguk dalam-dalam dia menyisirkan jarinya yang panjang dan kurus dengan puas
ke rambutnya yang panjang dan berminyak, sambil mengisap busa bir dari kumisnya (h.140)
Kutipan di atas menggambarkan sebuah pipa yang sedang digunakan oleh seorang lakilaki. Namun, pipa yang digambarkan bukan sekadar pipa, melainkan cerita dan mitos di balik
pipa. Selain itu, pipa menunjukkan kelas sosial yang menggunakannya. Yang lebih penting adalah
bagaimana kalimat-kalimat berjalan runtun dan erat menggambarkan setiap detail pipa baik dari
cara digunakan dan deskripsi bentuk dan rupanya. Dari kutipan di atas menunjukkan cara menulis
dan berbahasa si pengarang yang dengan sabar menjelaskan suatu hal dalam kalimat-kalimat
yang saling berjalin erat.
Di bawah ini akan dianalisis penerjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda.
Penelitian akan difokuskan pada makna kata dari kalimat-kalimat dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Sunda.
a. Penggambaran Tempat/Keadaan
Cerita berlangsung dalam suasana muram ketika perang berlangsung. Suasana
perang selalu menyisakan cerita pilu, kehilangan, kesengsaraan, penderitaan, ketakutan, dan
perasaan tidak nyaman. Dalam cerita ini perang dipotret dari sudut pandang pihak yang
tertekan atau kalah. Dengan demikian, suasana muram menjadi sangat dominan. Di bawah
ini ditampilkan kutipan-kutipan penggambaran suasana dari bahasa Indonesia dan bahasa
Sunda.
85
Vol.1, No.1 Februari 2015
No
1.
Suasana dalam
cerita
Penggambaran
Kondisi Tentara
Perancis
2.
Penggambaran
Kondisi Tempat
3.
Penggambaran
Kondisi para
penumpang yang
mulai kelaparan
4.
Penggambaran
suasana di
penginapan
5.
6.
JURNAL TUTUR
Terjemahan bahasa Indonesia
ISSN 2442-3475
Terjemahan bahasa Sunda
Selama beberapa hari berturut-turut
tebtara-tentara pasukan yang kalah
perang melewati kota. Mereka
hanya
rombongan-rombongan
tak beraturan, bukan pasukan
yang disiplin. Para anggotanya
berjenggot panjang dan kotor.
Seragam
mereka
compangcamping. Mereka berjalan lesu
tanpa bendera, tanpa pemimpin
Geus sababaraha poe tentara nu kadeseh
teh nungtutan daratang ka kota. Teu siga
tentara, leuwih keuna mun disebutkeun
sabubuhan jalma nu teu kauger ku
disiplin. Kumis janggot rarogok, lila
teu ngambeu peso cukur. Saragamna
geus ruwak-rawek , laleumpang
sangenahna bangun leuleus lengkahna
digugusur. Tanpa tanda pengenal,
tanpa pimpinan, maju terus, teu
puguh nu dijugjug.
Kekayaan keluarga Brevilles, Pengasilan Breville utamana tina
seluruhnya berbentuk tanah dan sewaan tanahna nu upluk-aplak
bangunan, kabarnya mencapai jeung imahna nu tanpa wilangan.
lima ratus ribu franc per tahun.
Ceunah mah pengasilanana nepi ka
satengah milyun franc.
Dengan nafsu makan yang
meningkat, semangat mereka justru
berkurang. Tak ada penginapan,
tak ada toko yang bisa ditemukan,
karena masuknya tntara Prusia.
Cornudet duduk di sisi perapian
dapur yang tinggi, di depan api yang
menyala-nyala. Di sampingnya
ada meja kecil dan seguci bir, lalu
dia mengisap pipanya—sebatang
pipa yang di kalangan demokrat
begitu pentingnya, seolah pipa itu
mengabdi kepada negara dengan
mengabdi pada Cornudet.
Penggambaran
Para
wanita
berkumpul;
suasana kumpulan mereka
merendahkan
suara,
perempuan
dan
pembicaraannya
menjadi
terbuka, semua orang memberikan
pendapatnya. Namun, percakapan
mereka sama sekali tidak kasar.
Para wanita terutama, terampil
menggunakan kalimat halus
dan
istilah
samar
untuk
menggambarkan hal-hal paling
senonoh.
Penggambaran
Dan Boule de Suif masih menangis,
kesedihan Boule
isaknya yang tak tertahan kadang
de Suif
terdengar dalam kegelapan di
sela-sela kedua bait lagu itu.
Sumanget para panumpang mimiti
turun, diganti ku rasa lapar. Bororaah
aya gahel-gaheleun, anjing budug
ge bet teu ngaliwat-ngaliwat acan.
Sigana jalma-jalma teh ngarasa baluas
keneh ku datarangnya tentara Prusia.
Cornudet diuk di juru deukeut corong
haseup di dapur. Ngadon siduru bari
nyanghareupan meja leutik jeung bir
sabotol, jongjon udud padudan.
Padudanna herang semu hideung.
Istri-istri ngariungna beuki rapet,
ngalobrolna beuki laun. Sarerea
keur baradami. Unggal jalma pada
ngaluarkeun hojah, duka naon nu
jadi bahan badamina, jalma luar
taya nu nyaho. Ari istri-istri lian
ti ngobrolkeun hal-hal anu enya
penting tangtu bae bari jeung ngupat
ngomongkeun batur.
Si Demplon masih keneh nginghak,
sakapeung jeung eueuriheun. Teu
bisa ditahan, terus nginghak dina
mangsa poe geus mimiti reuprepan, patembalan jeung rumpaka
lalaguan.
Dari enam kutipan di atas diperlihatkan bahwa penerjemahan ke dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Sunda memiliki nuansa makna yang berbeda. Hal ini memilikii dua
kemungkinan, (a) penerjemah lebih pandai mencari diksi yang tepat dan/atau (b) bahasa Sunda
lebih banyak kata yang mengungkapkan makna perasaan hingga makna yang ditimbulkan
86
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
terasa lebih mendalam mengungkapkan perasaan tertentu. Dapat dicontohkan kalimat (1),
penerjemah mengungkapkan sesuatu yang sama yaitu berkaitan dengan penampilan para
prajurit yang tidak terurus hingga jenggot sudah panjang. Penerjemahan dalam bahasa
Indonesia menerjemahkan dengan kata ‘berjenggot panjang’ sementara penerjemah dalam
bahasa Sunda menerjemahkan dengan ‘lila teu ngambeu peso cukur’ (lama yang membaui
pisau cukur). Pemilihan diksi dari para penerjemah dapat membangun imajinasi dan mewakili
perasaan dengan lebih baik di benak pembaca.
Hal yang sama juga tampak dalam kalimat (3) untuk menggambarkan sangat sulit
mendapat makanan pada saat itu, penerjemah dalam bahasa Indonesia memilih kata ‘Tak ada
penginapan, tak ada toko yang bisa ditemukan, sementara penerjemah dalam bahasa Sunda
memilih kata ‘Bororaah aya gahel-gaheleun, anjing budug ge bet teu ngaliwat-ngaliwat
acan’ (tidak ada yang dapat dikunyah, anjing kurapan saja tidak ada yang lewat). Penerjemah
dalam bahasa Sunda memilih menggunakan ungkapan yang ironi untuk mengungkapkan
kondisi lapar yang luar biasa. Penggunaan kata hiperbola juga dipilih oleh penerjemah
bahasa Sunda untuk mengungkapkan suasana yang luar biasa seperti tampak dalam kalimat
(2). Dalam kalimat tersebut digambarkan suatu kepemilikan tanah dan bangunan yang sangat
banyak. Penerjemah dalam bahasa Indonesia memilih menerjemahkan dengan ‘seluruhnya
berbentuk tanah dan bangunan,kabarnya mencapai lima ratus ribu franc per tahun’
sementara penerjemah dalam bahasa Sunda memilih kata untuk menggambarkan luas tanah
yang luar biasa, yaitu ‘tanahna nu upluk-aplak jeung imahna nu tanpa wilangan.
Ceunah mah pengasilanana nepi ka satengah milyun franc’ (tanahnya yang terhampar di
mana-mana dan bangunan yang susah dihiung.....). Kata ‘upluk-aplak’ dalam bahasa Sunda
berarti tanah yang sangat luas terhampar. Pemilihan kata ini langsung memberi efek tertentu
pada pembaca bahwa orang yang dibicarakan sangat kaya walaupun tidak disebutkan dengan
pasti jumlah kekayaannya.
Penerjemah dalam bahasa Sunda pun lebih berani memasukkan kata-kata yang
bermakna lebih dalam. Hal ini tampak dalam kalimat (6). Digambarkan seorang wanita yang
menangis pilu karena kesedihan yang luar biasa. Kesedihan yang ditimbulkan karena rasa sakit
hati yang luar biasa. Kondisi ini disebabkan perasaan tidak hargai, dibuang, dimanfaatkan
untuk kepentingan orang lain, dikucilkan, dan tidak dipedulikan. Perasaan yang campur
aduk tersebut bercampu hingga tumpah dalam bentuk tangisan. Penerjemahan dalam bahasa
Indonesia dengan ungkapan ‘menangis, isaknya yang tak tertahan’ sementara penerjemah
dalam bahasa Sunda mengungkapkan hal tersebut dengan kalimat ‘nginghak, sakapeung
jeung eueuriheun. Teu bisa ditahan, terus nginghak’ (terisak, terkadang diselingi segukan.
Tidak bisa ditahan, terus terisak). Dapat terlihat perbedaannya dari kedua ungkapan tersebut.
Ungkapan-ungkapan dan pilihan kata yang dipilih oleh penerjemah bahasa Sunda lebih
memiliki makna yang mendalam dan mengungkapkan bahasa perasaan dengan lebih baik.
b. Penggambaran Tokoh
Selanjutnya akan dianalisis ungkapan-ungkapan atau plihan kata yang menggambarkan
keadaan tokoh. Penulis merinci gambaran setiap tokoh yang ada dalam cerpen tersebut.
Sama seperti penggambaran keadaan dalam analisis di atas, dalam penggambaran tokoh pun
penerjemahan dalam bahasa Sunda lebih menggungkapkan bahasa perasaan lebih dalam,
seperti dalam kutipan-kutipan di bawah ini.
87
Vol.1, No.1 Februari 2015
7.
Penggambaran
orang
Penggambaran
Istri Loiseau
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Penerjemahan Bahasa Indonesia
Penerjemahan Bahasa Sunda
Istrinya—tinggi, kuat, tegas dengan
suara keras dan sikap lugas—
mewakili semangat keteraturan
dan ketepatan perhitungan dirumah
bisnis yang dihidupkan Loiseau.
Ari pamajikanana, jangkung badag.
Sorana ngengkreng, tapi calakan,
patutna mah kana bisa mingpin
hiji pausahaan. Jeung saenyana
deuih, kalancaran pausahaan anggur
teh ditangtukeunana mah ku sora
manehna nu ngengkreng tea.
Pangawakanana pendek, beuteung
bucitrek ari beungeutna euceuy.
Dina pipina ngagaleng godeg nu
kiwari mah geus cawukwuk.
Diukna
pasinghareup-singhareup
jeung salakina. Awakna lampayat,
rupana manis, kacida matak
narikna dibungkus ku mantel bulu
nu mahal. Manehna bangun nu teu
sugema nitenan kaayaan di jero
kareta nu rarupek.
8.
Penggambaran
Loiseau
Dia bertubuh kecil dan berperut
buncit, wajahnya berwarna merah
dengan kumis kelabu
9.
Penggambaran
Madame CarreLamadon
10.
Penggambaran
Cornudet
11.
Penggambaran
Boule de Suif
...adalah orang yang menyenangkan
di kalangan keluarga baik-baik di
Pouen. Cantik, semampia, anggun,
ia duduk berhadapan dengan
suaminya, meringkuk dalam
mantel bulunya, dan menatap
murung pada interior kereta yang
menyedihkan.
...ketika dia mencoba menjalankan
tanggung jawab, para petugas di
kantornya
menolak
mengakui
wewenangnya, dan dia dibujuk
untuk pensiun... Lalu ketika musuh
mendekat, dengan penuh rasa
puas terhadap persiapan yang dia
lakukan, dia tergesa-gesa kembali
ke kota.
Pendek dan bulat, gemuk seperti
babi, dengan jari-jari gendut yang
menggembung di buku-bukunya,
terlihat seperti deretan sosis;
dengan kulit mengilat teregang
dan dada sangat besar yang
memenuhi bagian atas gaunnya,
ia tetap menarik dan banyak dicari,
karena penampilannya yang segar
dan menyenagkan. Wajahnya
seperti apel merah, kuncup
peoni yang baru saja merekah.
Ia memiliki dua mata berwarna
gelap yang sangat indah, dibingkai
dengan bulu mata tebal yang
membayangi matanya. Bibirnya
kecil, merona, menggemaskan
dan dihiasi gigi-gigi kecil.
12.
Penggambaran
kemarahan Boule
de Suif
Namun. Boule de Suif justru kesal,
karena ia adalah pengagum fanatik
bonaparte. Wajahnya memereah
seperti ceri, dan dengan terbatabata karena marah menjawab...
...tapi taya saurang ge nu daek
diparentah ku manehna. Sanajan kitu,
Cornuder teh kasohor jalma wanian
jeung daek digawe...Tapi ari musuh
geus deukeut mah, eta jalma wanian
teh bet tipaparetot jicir ka kota.
Pangawakanna
meujeuhna,
ngareusi, deukeut-deuket kana
lintuh bahenol nerkom, nu matak
pada ngalandih Si Demplon ge.
Pakulitanna beresih, karenceng
lalemes. Pinarepna nyengsreng
jeung ngesi, katinga mucunghul tina
sela-sela blusna nu ngaliglag lebah
harigu. Puguh bae matak uruy, keur
mah katingalna seger jeung tingkahna
estu matak narik hati. Beungeutna
semu kayas lir buah apel. Panonna
cureuleuk hideung kaiuhan ku bulu
panonna nu panjang jeung kandel.
Ari biwirna teuing ku ipis, matak
kumetap nu hanyang ngecrok.
Sakapeung mun biwirna nu semu
baseuh engab baranyay huntuna
bodas herang nembongan.
Si Demplon asa kasigeung, lantaran
manehna kaasup kaum bonapartis.
Rey beungeutna asak, rada arap-apeureupeup manehna ngajerit.......
Dari kutipan-kutipan di atas akan dibahas sebagai berikut, ungkapan untuk
menggambarkan suara seorang wanita, terjemahan bahasa Indonesia adalah (7) “suara
88
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
keras dan sikap lugas”. Untuk keadaan suara dipakai ungkapan “suara keras”. Kata keras
adalah kata umum untuk apa pun. Namun, dalam bahasa Sunda, penerjemah menggunakan
ungkapan “Sorana ngengkreng”. Ngengkreng dalam bahasa Sunda berarti ‘keras dan tidak
enak didengar serta ada unsur menyebalkan’. Boleh jadi, kata-kata dalam bahasa Sunda yang
mengungkapkan makna yang berikatan dengan perasaan lebih banyak. Dengan demikian
makna yang dihasilkan lebih mendalam.
Hal-hal yang sama dapat dibaca dalam kutipan-kutipan berikutnya (8-12). Misalnya
dalam kalimat (8) digambarkan warna wajah seseorang. Dalam terjemahan bahasa Indonesia
diungkapkan “wajahnya berwarna merah”, sementara dalam terjemahan dalam bahaya
sunda menggunakan kata “euceuy”. Kata ini berarti merujuk kepada warna merah yang
sangat merah. Makna yang sama terlihat dari kalimat (9) untuk mengungkapkan kondisi
kereta: “interior kereta yang menyedihkan”. Dalam terjemahan bahasa Sunda dipakai kata
“kareta nu rarupek”. Kata “rarupek” adalah bentuk jamak daru “rupek” yang berarti “sempit
dan tidak nyaman”. Hal yang tidak jauh berbeda dalam kalimat (10) yaitu ungkapan yang
menggambarkan keadaan seseorang yang terburu-buru kembali ke kota. Dalam bahasa
Indonesia digunakan kalimat “tergesa-gesa kembali ke kota” sementara dalam bahasa Sunda
“jalma wanian teh bet tipaparetot jicir ka kota”. Keduanya menggunakan ungkapan dengan
makna yang hampir sama, tetapi dalam terjemahan bahasa Sunda disisipkan kata “jicir”
yang memgungkapkan makna “cepat-cepat”, tidak melihat kanan-kiri, tergesa-gesa yang
terkumpul dalam kata tersebut.
Penerjemahan yang agak berbeda dalam menggambarkan keadaan fisik Boule de Suif/
Si Demplon (11). Terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah “Pendek dan bulat, gemuk seperti
babi, dengan jari-jari gendut yang menggembung di buku-bukunya, terlihat seperti deretan
sosis’. Penggambaran fisik seseorang yang dibandingkan dengan bentuk tubuh binatang
dan makanan. Berbeda dengan terjemahan dalam bahasa Sunda, yaitu “Pangawakanna
meujeuhna, ngareusi, deukeut-deuket kana lintuh bahenol nerkom” (perawakannya lumayan,
berisi, mendekati gemuk bahenol). Penerjemah tidak membandingkan dengan binatang dan
makanan. Tampaknya penerjemah bahasa Sunda di sini lebih memilih untuk aman dengan
tidak membandingkan dengan binatang, terutama babi. Dalam kalimat (12) terjemahan
dalam bahasa Indonesia memakai perbadingan merah dengan buah ceri, sementara dalam
terjemahan bahasa Sunda tidak memakai bandingan buah ceri. Selain buah tersebut tidak
dikenal atau tidak populer (bukan buah asli) di Indonesia, penerjemah memilih ungkapan
“beungeutna asak” (wajahnya matang) untuk menunjukkan warna merah memilih ungkapan
daripada perbandingan.
SIMPULAN
Demikianlah hasil analisis dua karya terjemahan dalam bahasa Indonesia dan dalam
bahasa Sunda. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa penerjemahan dalam bahasa Sunda lebih
mengungkapkan “makna perasaan” yang lebih mendalam. Hal ini menunjukkan dua hal, yaitu (1)
kata-kata bahasa Sunda lebih banyak mengungkapkan makna perasaan atau ekspresi tertentu, (2)
penerjemah lebih piawai memilih diksi untuk mengungkapkan makna yang lebih dalam.
DAFTAR PUSTAKA
Ardeasari, Nissa. 2010. Pengungkapan sikap patriotik didalam cerita pendek Boule de Suif,
Mademoiselle Fifi dan Le lit 29 karya Guy Maupassant. Universitas Indonesia. Depok
Bassnett, Susan.1993. Comparative Literature: A Critical Introduction. (Oxford UK and
Cambridge USA: Blackwell.
89
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Chambert-Loir, Hendri. 2009. “Pendahuluan” dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia
dan Malaysia. KPG. Jakarta.
Fajarsari, Mawar. 2013. “Citra Para Tokoh Wanita dalam Cerpen Clochette, Boule de Suif, Histoire
d’une Fille de Ferme, dan Mademoiselle Fifi Karya Gun de Maupassant: Tinjauan dari
Persfektif Feminisme Julia Kristeva”. Skripsi Universitas Negeri Semarang. Semarang
Féral, Josette. 1996. “Pluralism in Art or Interculturalism?” dalam Conferentie De Kracht van
Cultuur, 9 November,1996.
Fischer-Lichte. “Interculturalism in Contemporary Theatre.” dalam Patrice Pavis, ed. The
Intercultural Performance Reader (London and New York: Routledge, 1996.), passim.
Lindsay, Jennifer. 2006. “Translation and/of/in Performance: New Connection.” dalam Jennifer
Lindsay, ed., Between Tongues. Singapore: Singapore University Press.
Sastriani, Siti Hariti. 2007. “Transformasi Gaya Bahasa dalam Karya Sastra Terjemahan”. Jurnal
Humaniora UGM, Volume 19 No.1 Februari 2007 (73-80).
Moriyama, Mikihiro. 2009. “Lahirnya Pembaca Modern: Penerjemahan Cerita-Cerita Eropa ke
dalam Bahasa Sunda pada Abad ke-19” dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia
dan Malaysia. KPG. Jakarta.
Pavis, Patrice. “Intercultuiralism and the Culture of Choice.” dalam Patrice Pavis, ed. The
Intercultural Performance Reader (London and New York: Routledge, 1996), 252.
Peter Newmark. A Textbook of Translation (Singapura: Prentice Hall International Ltd, 1988),
45-47.
Rosidi, Ajip. 2009. “Terjemahan Bahasa Sunda” dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia
dan Malaysia. KPG. Jakarta.
Salam, Aprinus. tt. Sastra Terjemahan: Beberapa Persoalan dalam ugm.academia.edu.
Sumardjo, Jakob. 1988. “Perkembangan Terjemahan Sastra Drama Asing Di Indonesia.” dalam
Afrizal Malna dkk., ed. Beberapa Pemikiran Tentang Pementasan Naskah Barat Oleh
Teater Indonesia (Jakarta: Goethe-Institute Jakarta, 1988), 5-16.
———.Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI Press,
2004.
90
Download