penetapan ambang pengendalian

advertisement
Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama
Tanaman
Prof. Dr. Ir. Kasumbogo Untung, M.Sc.
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian UGM
Yogyakarta
2010
1
Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman.
Prof. Dr. Ir. Kasumbogo Untung, M.Sc.
Deskripsi Mata Kuliah
Mata kuliah ini menguraikan Interaksi Tanaman dan Hama; Pendugaan Kehilangan
Hasil dan Ambang Pengendalian; Landasan Ekologi Pengelolaan Hama; Pengamatan dan
Pengambilan Sampel; Unsur dan Komponen Dasar PHT; Pengendalian dengan Varietas
Resisten, Pengembangan Tanaman Transgenik, Karantina Tumbuhan; Pengendalian Hayati;
Pengendalian Kimiawi; Pengelolaan Hama Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan
Pasca Panen; Kebijakan Perlindungan Tanaman.
Tujuan Instruksional Khusus:
Agar mahasiswa dapat:
1. Memahami dan menjelaskan pengertian + batasan hama tanaman, klasifikasi, identifikasi,
taksonomi dan sistematikanya.
2. Memahami dan menjelaskan gejala serangan, mengukur berat serangan dan tingkat
kerugian hasil yang diakibatkan oleh hama.
3. Memahami dan menjelaskan jenis-jenis hama dan gejala serangan hama tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, dan hama pasca panen.
4. Memahami dan menjelaskan sifat dan kemampuan beradaptasi hama pada tingkat
individu.
5. Memahami dan menjelaskan faktor-faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi populasi
hama dan kerusakan yang diakibatkannya.
6. Memahami dan menjelaskan cara penentuan dan penggunaan Ambang Pengendalian
sebagai dasar rekomendasi pengendalian hama.
7. Memahami dan menjelaskan konsep dan prinsip-prinsip PHT dan penerapannya untuk
berbagai jenis dan kelompok hama di pertanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan
pasca panen.
8. Memahami dan menjelaskan beberapa kasus aktual lapangan yang berkaitan dengan
pengendalian hama-hama utama di Indonesia.
2
Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman
Materi 1
HAMA TANAMAN
Pokok Bahasan:
1. Beberapa batasan dan pengertian.
2. Arti penting hama tanaman untuk program pembangunan pertanian.
3. Data kerusakan dan sebaran beberapa hama utama di Indonesia.
4. Sebab-sebab muncul dan berkembangnya masalah hama tanaman.
5. Tujuan pengendalian hama dan pongelolaan hama.
Materi:
PERISTILAHAN
 Hama Tanaman
 Merujuk pada binatang yang menjadi HAMA yakni merusak tanaman dan merugikan
petani
 Selama binatang tersebut (serangga, tikus, nematoda, tungau, dll) mendatangkan
kerugian disebut HAMA TANAMAN
 Tetapi keberadaan binatang di tanaman tidak selalu mendatangkan kerugian/kerusakan
tanaman
 Banyak jenis binatang herbivora ada di pertanaman tetapi tidak semuanya menjadi
hama
 Di samping itu di ekosistem banyak sekali jenis binatang yang tidak merugikan malahan
menguntungkan seperti MUSUH ALAMI (parasitoid, predator), serangga PENYERBUK
TANAMAN (lebah, tawon) serangga-serangga netral seperti SEMUT, dll.
Istilah HAMA merupakan istilah yang
ANTROPOSENTRIS artinya lebih berpusat
pada kepentingan manusia.
Bagaimana dengan istilah HAMA TUMBUHAN? Sebetulnya kurang tepat karena
TUMBUHAN adalah semua jenis tetumbuhan yang hidup di biosfir termasuk tumbuhan di
ekosistem alami atau tumbuhan yang tidak dibudidayakan manusia.
TANAMAN adalah tumbuhan yang diusahakan manusia untuk diambil manfaatnnya
bagi kehidupan manusia. Karena istilah HAMA pada dasarnya antropogenik, yang paling
tepat kita gabungkan istilahnya adalah HAMA TANAMAN, istilah HAMA TUMBUHAN dapat
juga dipakai meskipun kurang pas kombinasinya.
Kalau istilah PENYAKIT TUMBUHAN memang lebih tepat, karena PENYAKIT lebih
merujuk pada GEJALANYA. Tumbuhan sedang sakit, kondisi yang secara fisiologi tidak
normal, tidak sehat. Setiap jenis tumbuhan termasuk TANAMAN dapat sakit. Sakitnya
tumbuhan dapat disebabkan oleh karena infeksi jasad renik seperti virus, jamur, bakteri, dll,
tetapi sakitnya mungkin juga karena kondisi fisik/abiotik yang tak sesuai seperti suhu, kering,
basah, dll. Karena itu di Ilmu Penyakit Tumbuhan kita kenal Organisme Penyebab Penyakit.
Kalau hama merujuk pada binatang yang merugikan, penyakit merujuk pada gejala
tumbuhan yang SAKIT.
OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan) merupakan istilah “formal/hukum nasional”
yang digunakan oleh Pemerintah berdasarkan UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman dan PP 6/1995 tentang Perlindungan Tanaman. Menurut UU tersebut:
3
“OPT adalah semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau
menyebabkan kematian tumbuhan”.
Digunakannya istilah OPT untuk mencakup semua kelompok pengganggu tumbuhan
termasuk HAMA, PENYAKIT dan GULMA. Tiga kelompok pengganggu tumbuhan ini yang
pengendalian atau pengelolaannya dicakup dalam bidang PERLINDUNGAN TANAMAN.
Namun harap diperhatikan bahwa definisi OPT menurut UU ada perbedaannya dengan
pengertian Hama Tanaman dan Penyakit Tumbuhan yang sudah dijelaskan di depan.
Teman-teman Fitopatologi banyak yang tidak sependapat dengan istilah OPT.
Dilihat dari sisi ilmu-ilmu dasar pendukung Perlindungan Tanaman sbb:
HAMA TANAMAN :
- Entomologi (ilmu serangga)
- Nematologi (ilmu nematoda)
- Rodentologi (Ilmu rodent/tikus)
- Akarologi (ilmu akarina)
- dll
Karena sebagian besar hama termasuk kelompok serangga seringkali Ilmu Hama diartikan
entomologi.
PENYAKIT TUMBUHAN :
- Fitopatologi
- Virologi
- Mikologi
- dst
GULMA :
- Ilmu gulma
Dalam bahasa inggris Istilah PEST sebenarnya digunakan untuk seluruh kelompok OPT,
namun secara khusus sering diartikan untuk pengertian HAMA
HAMA TANAMAN SEBAGAI
PEMBANGUNAN PERTANIAN
FAKTOR
PENENTU
KEBERHASILAN
PROGRAM
Program Pembangunan Pertanian Nasional apakah dengan pola Pembangunan
Pertanian AGRIBISNIS atau program KETAHANAN PANGAN sangat ditentukan oleh
keberhasilan kita dalam mengendalikan, mengelola HAMA TANAMAN. Hal ini disebabkan
karena berbagai jenis HAMA dan atau OPT lainnya dapat menurunkan KUANTITAS dan
KUALITAS hasil-hasil pertanian, dan sangat sering MENGGAGALKAN PANEN,
menyebabkan PUSO, artinya 100% GAGAL. Serangan HAMA mengakibatkan:
1. Produksi TURUN (nasional, propinsi, lokal, tingkat petani)
2. Kualitas ANJLOK (mutu rendah-sulit dipasarkan-diekspor)
3. Harga produk MEROSOT
4. Biaya produksi NAIK
5. RUGI secara ekonomik (biaya lebih besar daripada pendapatan)
6. PENGHASILAN NEGARA/DAERAH (PAD) TURUN
7. PENGHASILAN TURUN ---- KESEJAHTERAAN PETANI MENURUN ---- KEMISKINAN
MENINGKAT
Taksiran KASAR/KONSERVATIF. Rata-rata kehilangan hasil Produksi Pertanian
karena serangan OPT ± 30% dari potensi hasil --- kehilangan hasil karena HAMA sekitar 20
4
– 25%. HITUNG SENDIRI secara finansial berapa kerugian yang kita derita setiap tahun
karena hama-hama padi, bila produksi tahun 2003 itu diperkirakan 53 juta ton padi kering
panen. Jumlah itu setelah dikurangi 25% kehilangan hasil oleh OPT padi.
Menurut catatan DEPTAN 1997-2001, serangan OPT padi, jagung, kedelai sebesar
Rp 463 milyar /tahun. Tahun 1999 serangan OPT Perkebunan merugikan sebesar Rp 340
milyar. Serangan OPT Hortikultura (mangga, jeruk, pisang, bawang merah, cabai, kentang,
kubis, tomat) diasumsikan rata-rata Rp 1,7 trilyun/tahun. Lihat juga tabel keadaan serangan
OPT di Indonesia pada tahun 2001-2002 (jenis dan luas serangan)
Mengingat potensi penurunan hasil akibat HAMA yang sangat besar kegiatan
Pengelolaan Hama menjadi BAGIAN PENTING - INTEGRAL dari setiap USAHA TANI atau
BUDIDAYA TANAMAN agar diperoleh Tingkat PRODUKSI dan KUALITAS produksi yang
DIINGINKAN baik oleh PEMERINTAH maupun PETANI – KELOMPOK TANI
FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PENINGKATAN SERANGAN DAN KERUSAKAN OLEH
HAMA
Masalah hama di suatu lokasi pada saat/musim tertentu tidak muncul begitu saja
tanpa penyebab atau faktor-faktor pendorong. Banyak faktor yang mendorong terus ada dan
meningkatnya masalah hama. Hampir seluruh faktor pendorong tersebut adalah karena
ulah/perbuatan/tindakan MANUSIA sehingga ekosistem pertanian menjadi sangat sesuai
bagi pertumbuhan, pembiakan dan kehidupan hama tanaman. Faktor-faktor tersebut antara
lain:
1. Penanaman monokultur (jenis tanaman atau varietas tanaman yang sama) sepanjang
waktu dan tempat, contoh padi
2. Penanaman jenis tanaman atau varietas tanaman yang peka hama tetapi unggul produksi
3. Penanaman jenis tanaman baru di suatu daerah sehingga belum ada musuh alami di
lokasi baru ---- KARANTINA gagal
4. Penggunaan masukan produksi yang berkelebihan seperti pupuk buatan, pestisida,
hormon tumbuh, pengairan dll.
5. Penggunaan pestisida kimia berspektrum lebar yang dilakukan secara tidak bijaksana,
terus-menerus dan berlebihan. Pestisida membunuh musuh alami, resistensi dan
resurjensi hama.
6. dll, termasuk terjadinya penyimpangan cuaca dan iklim
KESIMPULANNYA: Masalah timbul, muncul dan terus ada karena manusia, jadi sering
disebutkan bahwa hama saat ini adalah “MAN-MADE PEST” (Hama buatan MANUSIA).
Tanpa ada kegiatan manusia tidak ada masalah hama.
TUJUAN PENGENDALIAN HAMA DAN PENGELOLAAN HAMA
Pada saat ini di kalangan petani, pejabat dan petugas pemerintah akademisi dan
masyarakat dikenal 3 istilah pemberantasan hama, pengendalian hama dan pengelolaan
hama.
Pemberantasan hama: adalah usaha memusnahkan, membunuh hama yang
umumnya dilakukan dengan pestisida kimia secara preventif, tidak memperhitungkan
keadaan hama di lapangan apakah sedang dalam kondisi populasi rendah atau tinggi,
pokoknya disemprot habis-habisan sampai petani merasa puas. Pemberantasan hama yang
mengakibatkan munculnya resisitensi hama dan letusan hama yang berkelanjutan
Pengendalian hama: lebih hati-hati daripada pemberantasan hama. Penggunaan
pestisida hanya dilakukan bila populasi hama telah membahayakan atau melampaui ambang
pengendalian atau ambang ekonomi. Bila populasi hama tidak membahayakan tidak perlu
dikendalikan dengan pestisida.
5
Pengelolaan hama: Lebih menekankan aspek pengelolaan ekosistem (tanaman,
tanah, mikroklimat, budidaya dll) sedemikian rupa sehingga populasi hama tetap berada
dalam keseimbangan dengan musuh alaminya sehingga hama tidak membahayakan, tak
perlu dilakukan pengendalian dengan pestisida tetapi produksi tanaman tetap tinggi, kualitas
produksi baik
PHT (Pengendalian Hama Terpadu) merupakan kebijakan Perlintan di Indonesia
berdasarkan UU No 12/1992 dan PP 6/1995. PHT adalah usaha pengelolaan agroekosistem
dengan memadukan berbagai teknik pengendalian hama (bercocok tanam, fisik, mekanik,
varietas resisten, pengendalian hayati, pengendalian kimia, dll) sedemikian rupa sehingga
populasi hama tetap berada di bawah Ambang Pengendalian.
6
Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman
Materi 2
INTERAKSI TANAMAN DAN HAMA
Interaksi antara tanaman dan hama dapat dilihat dari aspek EKOLOGIS dan
EKONOMIS. Dari sisi ekologi hubungan antara tanaman dan hama merupakan interaksi
yang saling mengendalikan antara tanaman yang autotroph dengan binatang HERBIVORA
yang heterotroph dalam suatu sistem trofi yang berjalan secara EFISIEN dan
berkesinambungan. Karena kemampuannya mengubah energi surya menjadi energi biokimia
melalui proses fotosistesis tanaman menempati aras trofi pertama sebagai PRODUSEN.
Energi pada tanaman digunakan oleh binatang yang memakan tanaman (HERBIVORA) yang
menempati aras trofi kedua sebagai KONSUMEN PERTAMA. Binatang karnivora
memperoleh energinya dengan memangsa herbivora sehingga menempati aras trofi ketiga
sebagai KONSUMEN KEDUA, demikian seterusnya. Aliran energi di ekosistem melalui
sistem trofi dapat dilihat pada gambar berikut:
Energi memasuki ekosistem sebagai
radiasi surya
EKOSISTEM
Produsen
Konsumen 1
Konsumen 2
Dekomposer
Energi keluar ekosistem
sebagai panas
Gambar 1. Aliran Energi dalam Ekosistem melalui Sistem Trofi
Aras
trofi
1
2
3
4
Istilah
Ekosistem
Antroposentris
Tumbuhan
Tanaman
Herbivora
Hama tanaman
Karnivora 1
Predator, parasitoid (musuh alami)
Karnivora 2
Predator, hiperparasitoid
7
Perlu diperhatikan bahwa di ekosistem termasuk ekosistem persaingan interaksi
antara organisme yang menempati aras trofi yang sama atau antar aras trofi sangat
kompleks, dan dinamis melalui proses evolusi dan koevolusi. Tujuan interaksi sebenarnya
adalah terjadinya keseimbangan dan kestabilan ekosistem. Masalah ini akan dibahas pada
kuliah dua minggu lagi.
Aspek EKONOMIS
Adanya populasi serangga/hama di suatu tanaman akan menimbulkan LUKA (“injury”)
pada tanaman. Luka adalah setiap bentuk penyimpangan fisiologis tanaman sebagai akibat
aktivitas serangga hama yang hidup, berada dan makan pada tanaman tersebut.
Luka tanaman dapat mengakibatkan terjadinya KERUSAKAN (“damage”). Kerusakan
adalah kehilangan hasil yang dirasakan oleh tanaman (petani) akibat adanya populasi hama
atau serangan hama antara lain dalam bentuk penurunan kuantitas dan kualitas hasil.
Pengertian dan istilah LUKA lebih terpusat pada HAMA dan AKTIVITASNYA,
sedangkan KERUSAKAN lebih terpusat pada TANAMAN dan respon tanaman terhadap
pelukaan oleh hama.
Istilah-istilah lain berkaitan dengan hama dan tanaman yang saat ini digunakan dalam
kegiatan pengamatan yang dilakukan oleh para petugas pengamat lapangan (dulu namanya
PHP- Pengamat Hama dan Penyakit, sekarang namanya POPT- Pengendali OPT).
1. Tanaman terserang adalah tanaman yang digunakan sebagai tempat hidup dan
berkembang biak OPT dan atau mengalami kerusakan karena serangan OPT pada
tingkat populasi OPT atau intensitas kerusakan tertentu sesuai dengan jenis OPT nya
2. Luas serangan: adalah luas tanaman terserang yang dinyatakan dalam hektar atau
rumpun atau pohon
3. Intensitas serangan: adalah derajat serangan OPT atau derajat kerusakan tanaman yang
disebabkan oleh OPT yang dinyatakan secara kuantitatif dan kualitatif.
a. Intensitas serangan secara kuantitatif dinyatakan dalam % (persen) bagian
tanaman/tanaman atau persen kelompok tanaman terserang. Intensitas serangan
dalam % dilaporkan oleh PHP
b. Intensitas serangan secara kualitatif dibagi menjadi 4 kategori serangan yaitu: ringan,
sedang, berat dan puso. Kategori serangan dilaporkan oleh koordinator PHP, BPTPH.
Adapun kategori intensitas serangan serangga hama secara umum dapat digunakan
pedoman sbb:
a. Serangan ringan bila derajat serangan <25%
b. Serangan sedang bila derajat serangan 25-50%
c. Serangan berat bila derajat serangan 50-90%
d. Serangan puso bila derajat serangan >90 %
CARA PELUKAAN TANAMAN OLEH SERANGGA
A. Luka Oleh Serangga Pada Tanaman Yang Sedang Tumbuh
1. Luka oleh serangga penggigit
2. Luka oleh serangga pencucuk pengisap
3. Luka oleh serangga yang makan di dalam jaringan tanaman (internal feeders)
termasuk penggerek, pengorok dan pembuat puru
4. Luka oleh serangga-serangga tanah
5. Luka oleh serangga yang sedang meletakkan telur dan membuat sarang
6. Luka oleh serangga-serangga yang “memperhatikan” serangga-serangga lain
7. Luka oleh serangga sebagai vektor/pengantar penyakit tumbuhan
8
Berbagai bentuk luka oleh serangga pada tanaman yang biasa kita catat sebagai
GEJALA SERANGAN hama.
9
FAKTOR-FAKTOR
BIOTIK DAN ABIOTIK
Populasi
Hama
Populasi
Tanaman
LUKA
KERUSAKAN
KEHILANGAN
HASIL DAN
KUALITAS
KERUGIAN
EKONOMIK
PETANI
TINDAKAN MANUSIA
Keterangan :
Hasil interaksi antara populasi hama dan tanaman mengakibatkan luka pada tanaman, luka mengakibatkan kerusakan dan kerusakan tanaman
karena hama menyebabkan terjadinya kehilangan atau penurunan hasil tanaman dan kualitas produk/hasil. Kehilangan hasil dapat berakibat
pada kerugian ekonomi (biaya lebih besar daripada nilai produksi) yang dialami petani atau pengusaha pertanian. Hasil interaksi populasi hama
dan populasi tanmaan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor biotik lainnya dan faktor-faktor abiotik dan terutama oleh tindakan manusia terhadap
ekosistem
Gambar 2. Interaksi antara Populasi Hama dan Tanaman
10
B. Luka Oleh Serangga Pada Manusia Dan Binatang Lain
C. Serangga Sebagai Perusak Produk Di Gudang Dan Bahan-Bahan Lain
D. Metode Pendugaan Kerusakan Tanaman Oleh Hama
Pendugaan atau penghitungan pengaruh hama terhadap kerusakan tanaman dan
kehilangan hasil karena serangan hama dapat dilakukan dengan menghitung atau mengukur
luka atau gejala yang ditinggalkan atau diakibatkan oleh hama. Beberapa pengukuran yang
sering digunakan adalah terhadap tanaman atau bagian tanaman antara lain seperti:
1. Keseluruhan tanaman
Jumlah atau % tanaman mati/busuk atau yang menunjukkan gejala serangan hama tertentu
2. Daun
Adanya kerusakan daun, lubang gerekan dan gejala daun lainnya diukur dengan
menggunakan luas defoliasi, pengurangan berat kering daun
3. Batang
 Jumlah atau % puru, sundep, beluk
 Jumlah lubang keluar
 Panjang lubang gerekan
 Luka potongan batang oleh ulat
4. Buah dan benih
 Jumlah lubang atau luka di buah
 Jumlah atau % buah rusak seperti terserang PBK (Penggerek Buah Kakao) dan PBKo
(Penggerek Buah Kopi)
5. Akar
 Panjang, berat kering atau volume perakaran yang terserang hama
 Luas kerusakan umbi seperti pada tanaman kentang.
9
Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman
Materi 3
PENDUGAAN KEHILANGAN HASIL
Pokok Bahasan:
A. Pendugaan Kehilangan Hasil Akibat Serangan Hama (Crop Loss Assesment)
B. Penggunaan Ambang Pengendalian sebagai tingkat pengambilan keputusan penggunaan
PESTISIDA
Materi:
Pendugaan kehilangan hasil adalah usaha untuk menduga, menaksir bahkan meramal
tentang kerugian ekonomi yang mungkin akan dialami oleh petani, perusahaan pertanian,
pemerintah atau pengusaha agribisnis karena adanya serangan hama pada pertanaman yang
mereka budidayakan. Dengan melakukan pendugaan kehilangan hasil para produsen pertanian
dapat menentukan beberapa hal:
 Apakah keberadaan populasi hama di lahannya akan merugikan atau menurunkan hasil
usahanya dalam kisaran toleransi ekonominya. Bila masih berada pada kisaran toleransi
petani tidak perlu melakukan tindakan pengendalian atau mengeluarkan biaya untuk
pengendalain.
 Apakah perlu dilakukan tindakan pengendalian atau pencegahan hama. Apabila perlu
berapa besar biaya pengendalian yang harus dikeluarkan. Tentunya petani tidak akan
mengeluarkan biaya pengendalian sampai melebihi nilai kehilangan hasil
 Bila petani sudah memutuskan perlu dilakukan tindakan pengendalian, teknik pengendalian
mana yang akan digunakan apakah dengan cara kimiawi dengan pestisida kimia atau
dengan secara hayati menggunakan musuh alami, atau menggunakaan varietas tanaman
tahan hama dan seterusnya. Dalam menetapkan teknik pengendalian hama yang akan
dilakukan petani/produsen adalah mempertimbangkan beberapa faktor yaitu a) efektivitas
pengendalian, b) biaya pengendalian, dan c) risiko bahaya bagi kesehatan manusia dan
lingkungan hidup.
Pendugaan kehilangan hasil juga akan digunakan untuk menentukan berapa nilai
Ambang Pengendalian atau Ambang Kendali atau Ambang Ekonomi yang akan kita bahas pada
akhir kuliah ini.
Siapa yang memerlukan Kehilangan Hasil?
Banyak pihak yang memerlukan data pendugaan kehilangan hasil, diantaranya:
1. Petani secara perseorangan (untuk petak dan lahan miliknya sendiri) atau secara
berkelompok (untuk hamparan sawah/lahan). Satu kelompok hamparan besarnya terdiri dari
20-30 petani.
2. Pemeriantah Daerah dan Pemerintah Pusat, biasaya melalui Dinas Pertanian Kabupaten
dan Departemen Pertanian melalui Ditjen Tanaman Pangan, Ditjen Tanaman Hortikultura
dan Ditjen Perkebunan.
3. Pengusaha Pertanian misal PT Perkebunan milik Pemerintah, PT Pagilaran milik Fak.
Pertanian UGM, dst.
CARA PENDUGAAN KEHILANGAN HASIL
Untuk menghitung kehilangan hasil dalam bentuk satuan berat (ton/ha) atau satuan
rupiah (Rp/ha) secara TEPAT jelas sangat sulit dan tidak mungkin, karena tidak mungkin kita
mengukur dan menghitung semua lahan yang ada baik milik petani dan kelompok tani maupun
lahan pertanaman tertentu di suatu daerah (desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional).
10
Yang dapat kita lakukan adalah melakukan PENDUGAAN, kata-kata lain ESTIMASI,
PENAKSIRAN, berdasarkan data hasil pengamatan yang dilakukan pada lahan/petak
sawah/tanaman/pohon/rumpun yang digunakan sebagai SAMPEL, CONTOH yang mewakili.
Untuk memperoleh taksiran kehilangan hasil untuk suatu petak atau hamparan/sawah
atau suatu daerah kita harus mempunyai data seperti:
1. Luas serangan – LSR (dalam ha)
2. Intensitas serangan – ISR (dalam % rumpun/tanaman terserang)
a
ISR = --------------------- x 100%
a + b
Hasil Tanaman (ton/ha)
a: jumlah rumpun/batang terserang
b: jumlah rumpun/batang tak terserang
3. Hubungan antara intensitas serangan dengan hasil tanaman yang diperoleh dari
pengalaman petani atau dari hasil penelitian.
Suatu contoh:
10
6
5
2
20
50
80
100
Intensitas serangan (%)
Gambar 3. Hubungan antara Intensitas Serangan Hama dengan Hasil Tanaman
Dari fungsi ini kita mengetahui dugaan hasil tanaman atau produksi tanaman dalam kondisi
intensitas serangan (%) tertentu, katakan 50% intensitas serangan, produksi atau hasil
tanaman adalah 6 ton/ha. Kita sebut Produksi Tanaman Terserang (PTT)
4. Dari fungsi ini kita ketahui bahwa hasil tanaman yang tidak terserang hama atau produksi
tanaman sehat (PTS) adalah 9,5 ton/ha.
5. Harga dari produk/hasil tanaman pada tingkat petani katakan Rp 1000/kg atau Rp 1 juta/ton
(HG)
6. Kehilangan hasil (KH) dalam satuan berat (ton) = Luas serangan (LSR) x Produksi Tanaman
Sehat (PTS) --- Luas serangan (LSR) x Produksi Tanaman Terserang (PTT)
7. Nilai kehilangan hasil (NKH) dalam rupiah = Harga produk (HG) x KH
Suatu contoh: Untuk hama padi di suatu kecamatan ternyata LSR 500 ha. PTT= 6 ton/ha. PTS =
9,5 ton/ha dan harga padi kering panen (HG) Rp 1500/kg.
KH
= (LSR x PTS) – (LSR x PTT)
= (500 x 9,5) – (500 x 6)
= 4750 – 3000 ton
= Rp 2.625.000.000
= Rp 2,625 milyar
11
Dengan perhitungan tersebut secara kasar kita dapat mengetahui seberapa besar
kerugian yang dialami oleh petani, masyarakat dan pemerintah akibat terjadinya serangan hama
tertentu.
Dari cara penghitungan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa untuk menduga
kehilangan hasil kita memerlukan hubungan fungsional antara populasi hama atau intensitas
serangan (%) dengan hasil. Tanpa informasi tentang hubungan ini kita tidak dapat
menduga/menaksir berapa hasil tanaman yang akan diperoleh bila terserang hama pada
intensitas serangan atau populasi hama tertentu. Untuk memperoleh fungsi tersebut perlu
dilakukan percobaan pengamatan langsung di lapangan. Ada beberapa cara yang dapat kita
lakukan antara lain:
1. Cara pertama adalah dengan cara ALAMI yaitu dengan:
Mengamati beberapa petak sawah dengan menghitung berapa populasi hama atau
intensitas serangan hama tertentu. Misal pada petak pertama intensitas serangan 5%, petak
kedua 20%, petak ketiga 40%, petak keempat 60%, petak kelima 80%, dan petak keenam
puso atau 95%. Pada waktu panen kita lakukan ubinan hasil pada semua 6 petak tersebut.
Dari langkah pertama dan kedua tersebut kita dapat memperoleh fungsi hubungan intensitas
serangan dan hasil.
2. Namun seringkali di lapangan kita mengalami kesulitan dalam mendapatkan petak-petak
sawah yang memiliki kisaran lebar dalam kepadatan populasi hama atau intensitas serangan
seperti contoh di atas. Untuk memperoleh intensitas serangan atau populasi hama yang
berbeda seringkali kita lakukan secara BUATAN yaitu dengan menginfestasikan hama dalam
pertanaman yang dikurung dalam suatu kasa yang selebar petak sawah. Dengan melakukan
infestasi hama kita dapat mengatur berapa kepadatan populasi atau intensitas serangan
yang kita inginkan.
3. Cara ketiga merupakan cara yang paling murah tetapi tidak teliti yaitu dari data EMPIRIK
atau pengalaman dari petani kita lakukan wawancara pada petani yang sudah lama
berpengalaman menghadapi masalah hama tertentu yang menyerang tanaman atau
komoditas pertanian yang mereka usahakan. Kita tanyakan pada para petani berapa
produksi tanaman yang mereka dapatkan dalam kondisi intensitas serangan hama rendah,
sedang, tinggi dan puso, serta berapa produksi tanaman dalam kondisi sehat atau tidak
terserang hama. Dari data empirik petani akhirnya kita dapat memperoleh hubungan
fungsional antara intensitas serangan dan hasil. Cara ini mudah kita lakukan, tetapi sulitnya
tidak semua petani ingat apalagi menyimpan data serangan hama dan kerusakan yang
pernah mereka alami.
PENETAPAN AMBANG PENGENDALIAN
Dalam konsep PHT kita kenal beberapa istilah yang arti dan fungsinya sama yaitu:
1. Ambang Ekonomi (AE) “Economic Threshold”
2. Ambang Kendali (AK) “Economic Threshold” atau Ambang Pengendalian “Control Threshold”
3. Ambang Tindakan (AT) “Action Threshold”
Artinya adalah suatu aras (tingkat) kepadatan populasi hama atau intensitas serangan
hama yang membenarkan dimulainya penggunaan PESTISIDA untuk pengendalian hama.
Tujuan penggunaan pestisida adalah menurunkan populasi hama sampai di bawah AE agar
12
Populasi Hama atau Intensitas Serangan
PESTISIDA
ARAS LUKA EKONOMI
AMBANG EKONOMI
ARAS KESEIMBANGAN UMUM
20
40
60
80
100
WAKTU (hari)
Gambar 4. Populasi Hama dan letak Aras Luka Ekonomi, Ambang Ekonomi dan Aras
Keseimbangan Umum pada Keadaan Normal
dapat dikendalikan secara alami oleh kompleks musuh alami sehingga populasi hama tetap
berkisar sekitar aras keseimbangan umum (Gambar 4).
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa dalam keadaan gejolak populasi hama
sepanjang musim tanam pestisida hanya diaplikasikan satu kali yaitu pada waktu populasi
melampaui AE. Dengan demikian penggunaan pestisida dapat dihemat, petani tak perlu
menggunakan pestisida secara berjadwal seperti seminggu sekali, atau pada umur 15, 20, 45,
60 HST (hari setelah tanam). Namun untuk melaksanakan prinsip tersebut ada dua syarat
penting yaitu:
1. Harus dilakukan pengamatan secara berkala (katakan seminggu sekali)
2. Harus ada ketentuan mengenai berapa besar nilai AE/AK/AT tersebut
Dengan demikian untuk setiap jenis hama yang menyerang komoditas tertentu harus
mempunyai nilai AEnya masing-masing bahkan pada prinsipnya nilai AE suatu jenis hama tidak
tetap, tidak sama dari satu tempat/lokasi ke tempat lain dari waktu ke waktu lain. Artinya nilai AE
dinamis, tidak seragam. Yang menetapkan nilai AE yang paling baik adalah petani/kelompok
tani sendiri yang berlaku untuk spesifik lahannya masing-masing. Saat ini karena petani banyak
yang belum mampu nilai AE lebih sering mengikuti ketetapan atau rekomendasi pemerintah
atau rekomendasi peneliti sehingga nilai AE cenderung seragam. Mungkin untuk sementara
keadaan tersebut dapat berjalan tetapi harus diikuti dengan melakukan pelatihan pada petani
untuk mengembangkan dan menetapkan AE nya sendiri. Biasanya petani menerima
rekomendasi AE dari para PPL atau PHP (Pengamat Hama dan Penyakit).
Suatu contoh untuk tanaman padi:
AE wereng coklat
: 5 nimfa + dewasa/rumpun padi pada fase vegetatif
10 nimfa + dewasa /rumpun pada fase generatif
AE penggerek batang: 30% intensitas serangan pada fase vegetatif
10% intensitas serangan pada fase generatif
(lihat lampiran)
CARA PENETAPAN/PENGHITUNGAN AE
Ada beberapa cara penentuan AE yang dapat kita lakukan:
1. Cara empirik atau berdasar pengalaman dari petani, peneliti atau petugas lapangan yang
sudah lama menekuni dan merasakan tentang kerusakan atau kerugian yang diakibatkan
oleh serangan hama tertentu pada komoditas yang diusahakan. Berdasarkan data
13
Hasil (kuintal/ha)
empirik/pengalaman selama bertahun-tahun dapat diperoleh informasi tentang pada aras
populasi atau intensitas serangan berapa hama tersebut mulai dirasakan merugikan secara
ekonomi. Pada aras populasi mulai merugikan tersebut. AE/AK/AT hama berbeda. Karena
itu AE/AK/AT ini dapat kita namakan sebagai AE petani atau Ambang Petani saja.
Untuk lebih jelasnya secara grafik data empirik tentang aras populasi/intensitas
serangan dan hasil dapat dilihat pada gambar 5. Perhatikan sampai populasi 5 larva belum
terjadi penurunan hasil sehingga petani masih bisa mentoleransikan tetapi pada populasi 7
petani sudah mulai merasakan kerugian ekonomi. Pada keadaan kurve pengalaman petani
demikian, maka AE/AK/AT petani adalah 7 larva/rumpun.
Karena pengalaman dan perasaan petani berbeda-beda kita akan memperoleh AE
yang sangat khas/spesifik lokasi, spesifik petani sehingga menjadi variatif dan tidak
seragam. Dengan pengalaman yang bertambah dan tingkat toleransi yang semakin baik,
petani akan selalu menyesuaikan atau memperbarui nilai AE nya!
Mulai terjadi
kerugian ekonomik
AE
petani
5
7
10
20
30
Populasi hama larva/rumpun
Gambar 5. Hubungan Populasi Hama dengan Hasil
2. Cara Penelitian
Penetapan AE melalui penelitian dilakukan oleh para peneliti yang khusus ingin mengetahui
berapa AE pada suatu jenis hama pada komoditas tertentu. Biasanya sasaran kegiatan
penelitian adalah memperoleh nilai ALE (Aras Luka Ekonomi) dan dari nilai ALE dihitung AE
yang besarnya ¾ atau 2/3 ALE. ALE dihitung dengan menggunakan titik impas/BEP (Break
Even Point). ALE adalah suatu populasi atau intensitas serangan dimana nilai kehilangan
hasil (dalam Rp) yang dapat diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama dengan
pestisida sama dengan total baya pengendalian (dalam Rp).
BP
ALE = -----------------HG x LT x BK
dimana
BP = Biaya pengendalian (Rp/ha)
HG= Harga produk (Rp/kg)
LT = Luka tanaman yang diakibatkan oleh satu individu hama
BK = Berat kerusakan tanaman per unit luka tanaman
Untuk memperoleh LT dan BK perlu dilakukan serangkaian percobaan di lapangan, di rumah
kasa atau di laboratorium.
14
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALE DAN AE
ALE/AE
ALE/AE
Banyak faktor yang mempengaruhi nilai ALE dan AE termasuk jenis varietas tanaman,
fase tumbuh tanaman, instar hama, lokasi pertanaman, dll.
Dari sekian banyak faktor, 4 faktor yang paling penting yaitu:
1. Harga produk
2. Biaya pengendalian
3. Derajat luka yang diakibatkan oleh individu hama
4. Kepekaan tanaman terhadap serangan hama
Perhatikan Gambar 6 di bawah. Apa artinya?
Harga Produk
Biaya Pengendalian
Gambar 6. Hubungan antara Harga Produk dan Biaya Pengendalian dengan ALE/AE
Kita harus mengetahui bahwa semakin tinggi ALE/AE penggunaan pestisida menjadi
semakin jarang atau semakin sedikit, semakin rendah ALE/AE semakin sering/banyak
penyemprotan pestisida dilakukan.
Bagan alir sistem keputusan pengelolaan hama yang menunjukkan letak pendugaan
populasi hama atau infestasi serangan hama dan pendugaan kehilangan hasil serta kegiatankegiatan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 7.
Dari ketetapan-ketetapan pada gambar dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan
pendugaan kehilangan hasil serta menetapkan dan menerapkan AE/AK/AT diperlukan
kerjasama lintas disiplin ilmu (misal ilmu-ilmu perlintan, ekonomi, sosiologi, agronomi, statistis,
dll) dan lintas sektor. Tidak dapat dilakukan oleh orang-orang/pakar perlintan.
15
Pendugaan
hama
Pengamatan
Infestasi
Pengaruh (i) pada hasil (y)
Percobaan
Pendugaan
kehilangan
hasil
Pengaruh
pengendalian
terhadap (i)
Hasil (y)
AE /AT / AK
? Apa lebih
besar dari
AE?
tidak
Tak perlu
dikendalikan
ya
Kendalikan
dengan pestisida
Gambar 7. Bagan Alir Sistem Keputusan Pengelolaan Hama
16
Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman
Materi 4
LANDASAN EKOLOGI PENGELOLAAN HAMA
Tujuan:
1. Mengetahui dua model pertumbuhan populasi organisme
2. Mengetahui model dinamika populasi hama
3. Mengetahui mekanisme pengendalian alami dan pengaruh faktor abiotik dan biotik
4. Mempelajari pengaruh kegiatan manusia terhadap dinamika populasi hama
Materi:
Dari kuliah sebelumnya kita mengetahui bahwa keberadaan populasi hama di
pertanaman dan di ekosistem menentukan seberapa besar kerusakan tanaman dan kerugian
ekonomi yang dialami oleh petani atau pengusaha pertanian lainnya. Juga kita ketahui bahwa
populasi hama sepanjang musim tanam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat tidak
tetap tetapi DINAMIS, naik turun, berfluktuasi sekitar suatu garis atau posisi keseimbangan
umum (General Equilibrium Position). Banyak faktor abiotik dan biotik yang mempengaruhi
dinamika populasi hama. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut kita dapat melakukan
pengelolaan hama yang efektif dan efisien. Perlu ditekankan di sini bahwa tujuan pengelolaan
hama bukan untuk membasmi hama, memberantas hama sampai habis tetapi mempertahankan
populasi hama di pertanaman tetap berada di bawah AE/AK/AT atau pada aras yang secara
ekonomi tidak merugikan. Perhatikan gambar tentang posisi AE, ALE dan Garis keseimbangan
pada kuliah minggu yang lalu.
Diharapkan para mahasiswa setelah kuliah ini dapat menjawab pertanyaan: Apa
sebabnya kita tidak mungkin melakukan pembasmian atau pemusnahan hama seperti banyak
orang harapkan?
Pada prinsipnya keberadaan dan perkembangan populasi hama dan populasi organisme
lainnya ditentukan oleh dua kekuatan yaitu:
1. POTENSI BIOTIK atau "Biotic Potential" dan
2. PERLAWANAN LINGKUNGAN atau "Environmental Resistance"
Yang disebut POTENSI BIOTIK adalah kemampuan suatu organisme untuk tetap hidup
dan berkembang biak. Kalau kita perhatikan kelompok serangga, organisme ini mempunyai
potensi biotik yang sangat besar dan kemampuan berbiak sangat cepat. Dengan siklus hidup
pendek, ukuran tubuh kecil dan kemampuan bertahan hidup yang tinggi maka populasi
serangga sangat cepat meningkat sehingga dalam waktu sebentar saja dapat memenuhi
permukaan bumi ini. Apabila suatu organisme berkembang sepenuhnya sesuai dengan
kemampuan hayati (potensi biotik)nya, maka pertumbuhan populasi organisme tersebut akan
mengikuti model pertumbuhan ekponensial atau pertumbuhan geometrik seperti Gambar 8.
dN
--- = r N = ( b – d ) N
dt
N
r
b
d
t
= populasi
= laju pertumbuhan populasi intrinsik
= laju kelahiran
= laju kematian
= waktu
17
(N)
Populasi
Waktu (t)
Gambar 8. Pertumbuhan Populasi Organisme Mengikuti Model Pertumbuhan
Ekponensial atau Geometrik
Di dunia saat ini satu-satunya organisme yang populasinya tumbuh secara eksponensial
adalah MANUSIA. Di alam populasi organisme tidak dapat meningkat secara eksponensial
karena adanya kekuatan lain yang me"lawan" atau meng"hambat" yang kita namakan
Perlawanan Lingkungan atau Hambatan Lingkungan. Kekuatan ini yang akan menghambat
populasi suatu organisme untuk bertambah dan meningkat sesuai dengan kemampuan
biotiknya. Karena itu model pertumbuhan populasi yang lebih cocok adalah model pertumbuhan
logistik seperti Gambar 9.
Populasi
(N)
K
Waktu
(t)
Gambar 9. Model Pertumbuhan Populasi Logistik
dN
K-N
--- = r N ( ----- )
dt
K
N
t
r
K
= populasi
= waktu
= laju pertumbuhan populasi
= asimtot atas atau nilai N maksimum
Kurve tersebut menunjukkan model pertumbuhan secara matematik. Kalau kita
bandingkan dengan data lapangan populasi suatu organisme, kita memperoleh gambaran
dinamika populasi yang mirip dengan pertumbuhan logistik terutama pada daerah I dan II
seperti Gambar 10.
Menurut gambar tersebut pertumbuhan populasi organisme dapat kita bagi menjadi 5
daerah. Daerah I merupakan periode peningkatan populasi yang tumbuh secara sigmoid.
18
Populasi
(N)
Periode ini terdiri dari tahap pembentukan populasi (A), pertumbuhan cepat secara
eksponensial (B) serta tahap menuju keseimbangan (C). Daerah II merupakan pencapaian aras
keseimbangan yang merupakan garis asimtot kurve sigmoid. Pada tahap ini populasi telah
mencapai stabilitas numerik. Setelah daerah II tercapai kemudian populasi bergejolak sekitar
aras keseimbangan yaitu pada daerah III. Daerah III merupakan tahap oskilasi dan fluktuasi
populasi. Oskilasi populasi adalah penyimpangan populasi sekitar aras keseimbangan secara
simetris, sedangkan fluktuasi populasi merupakan penyimpangan populasi yang tidak simetris.
Daerah III berjalan dalam waktu cukup lama tergantung pada berfungsinya mekanisme umpan
balik negatif yang bekerja pada populasi organisme tersebut. Apabila mekanisme ini oleh
sebab-sebab tertentu menjadi tidak berfungsi lagi, terjadilah daerah IV yang merupakan periode
penurunan populasi atau periode pertumbuhan negatif. Kalau periode ini terus berlanjut
kemudian akan terjadi tingkat terakhir pertumbuhan populasi yaitu daerah V yang merupakan
periode kepunahan populasi.
A
B
I
C
Waktu (t)
II
III
IV
V
Gambar 10. Pertumbuhan Populasi Organisme yang Terbagi menjadi 5 Tingkat
Adanya kekuatan Hambatan Lingkungan terhadap pertumbuhan populasi organisme
dalam kondisi oskilasi dan fluktuasi di sekitar aras keseimbangan umum seperti yang terjadi di
daerah III. Di daerah III terjadi mekanisme keseimbangan populasi oleh bekerjanya berbagai
faktor abiotik dan biotik yang secara bersama kita sebut sebagai faktor PENGENDALI ALAMI.
FAKTOR TERGANTUNG KEPADATAN DAN FAKTOR BEBAS KEPADATAN
Dilihat dari proses pengendalian dan pengaturan populasi organisme, maka berbagai
faktor hambatan lingkungan dapat dikelompokkan menjadi Faktor Tergantung Kepadatan
Populasi (FTK) atau "Density Dependent Factors" dan Faktor Bebas Kepadatan Populasi
(FBK) atau "Density Independent Factors". Pengelompokan ini lebih sering digunakan bila
dibandingkan dengan cara pengelompokan lainnya. Bagan berikut menunjukkan faktor-faktor
yang termasuk dalam FTK dan FBK.
Faktor Tergantung Kepadatan
Faktor tergantung kepadatan adalah faktor pengendali alami yang mempunyai sifat
penekanan terhadap populasi organisme yang semakin meningkat pada waktu populasi
semakin tinggi, dan sebaliknya penekanan lebih longgar pada waktu populasi semakin rendah.
Kalau dihubungkan antara mortalitas yang disebabkan oleh faktor FTK dengan populasi hama
misalnya dapat diperoleh garis regresi (Gambar 11).
19
Laju
MortalitasMo
rtalitas
Populasi
Gambar 11. Hubungan antara populasi dan mortalitas yang disebabkan oleh Faktor
Tergantung Kepadatan
Faktor tergantung kepadatan terbagi menjadi faktor yang timbal balik dan tidak timbal
balik. FTK yang timbal balik terutama adalah musuh alami hama seperti predator, parasitoid,
dan patogen. Timbal balik di sini berarti bahwa hubungan antara populasi dan mortalitas oleh
FTK dapat berjalan dari kedua arah. Apabila populasi spesies A meningkat, maka mortalitas
yang disebabkan oleh predator B akan semakin meningkat, antara lain dengan meningkatnya
predasi dan jumlah predator B. Sebaliknya apabila populasi spesies A menurun mortalitas oleh
predator dan jumlah predator juga menurun. Dengan demikian perubahan populasi spesies A
akan selalu diikuti dengan perubahan kepadatan populasi predator B (Gambar 12).
FTK yang tidak timbal balik misalkan makanan dan ruang, jumlahnya terbatas yang
ditempati oleh populasi organisme yang saling berkompetisi untuk makanan dan ruang yang
sama. Proses FTK di sini dapat dijelaskan sebagai berikut: Bila populasi A semakin tinggi,
persaingan antar
FTK yang tidak timbal balik misalkan makanan dan ruang, jumlahnya terbatas yang
ditempati oleh populasi organisme yang saling berkompetisi untuk makanan dan ruang yang
sama. Proses FTK di sini dapat dijelaskan sebagai berikut: Bila populasi A semakin tinggi,
persaingan antar individu untuk memperoleh makanan dan ruang semakin kuat sehingga
mortalitas A menjadi meningkat, dan demikian juga sebaliknya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa
apabila populasi A meningkat kemudian jumlah makanan menjadi meningkat, atau jumlah
pouplasi A menurun dan jumlah makanan menurun. Berbeda dengan kelompok musuh alami,
hambatan lingkungan berupa makanan, ruangan, dan teritorialitas termasuk dalam FTK yang
tidak timbal balik.
20
PENGENDALIAN
ALAMI
FAKTOR BEBAS
KEPADATAN
FAKTOR
TERGANTUNG
KEPADATAN
FISIK
BIOLOGI
Tanah
Suhu
Kebasahan
Pergerakan
air
Ketersediaan
TIDAK
TIMBAL
BALIK
inang
Makanan
Ruang
Teritorial
Kualitas
makanan
TIMBAL
BALIK
Musuh
alami
-Parasitoid
-Predator
-Patogen
-Herbivora
Gambar 12. Komponen Pengendalian Alami yang Tergantung Kepadatan dan Bebas Kepadatan
21
Aras Keseimbangan
Populasi
FTK
FBK
FBK
FTK
Waktu
Gambar 13. Gejolak populasi sekitar aras keseimbangan umum, dan bekerjanya FTK dan FBK.
Persediaan Makanan
Jumlah Predator
Predator Meningkat
Meningkat
Jumlah Inang
Jumlah Inang
Meningkat
Meningkat
Jumlah Inang Termakan
Titik Imbang
Predator-Inang
Berkurang
Jumlah Inang Termakan
Meningkat
Jumalah Inang
Jumalah Inang
Berkurang
Berkurang
Jumlah Predator
Persediaan Makanan
Berkurang
Predator Berkurang
Mortalitas
Gambar 14. Mekanisme Umpan Balik pada Pengaturan Populasi Spesies A oleh Predator
FBK
POPULASI
Gambar 15. Hubungan antara populasi organisme dan mortalitas akibat Faktor Bebas
Kepadatan.
22
Faktor Bebas Kepadatan
Faktor Bebas dari Kepadatan (FBK) atau "Density Independent Factor" merupakan faktor
mortalitas yang daya penekanannya terhadap populasi organisme tidak tergantung pada
kepadatan populasi organisme tersebut. Faktor abiotik seperti suhu, kebasahan, angin
merupakan FBK yang penting.
FBK kadang kala dapat membawa populasi semakin menjauh (lebih atau kurang) dari
aras keseimbangan. Misal bila keadaan suhu tidak sesuai bagi kehidupan serangga dapat
mengakibatkan populasi serangga menurun menjauhi garis keseimbangannya. Setelah hal itu
terjadi faktor FBK akan bekerja mengangkat kembali populasi ke aras keseimbangannya. Bila
keadaan cuaca sangat menguntungkan bagi kehidupan dan perkembanganbiakan suatu hama,
dapat mendorong populasi hama tersebut meningkat cepat menjauhi aras keseimbangannya.
Namun, peningkatan populasi tersebut juga tidak akan berjalan terus, karena FTK seperti
musuh alami akan mengencangkan penekanannya sehingga populasi kembali lagi ke aras
keseimbangannya.
Dr. CLARK mengelompokkan beberapa penyebab mortalitas (kematian) serangga
menjadi 7 kelompok yaitu:
1. Umur: menjadi tua atau "aging"
2. Vitalitas rendah: kemampuan serangga dalam menghadapi faktor-faktor lingkungan yang
jelek seperti cuaca ekstrim
3. Kecelakaan: adanya peristiwa-peristiwa yang tidak normal (fisiologi dan ekologi) yang dapat
mengakibatkan kematian
4. Kondisi fisiko kimia: terkait dengan kondisi fisika dan kimia di tempat serangga hidup
termasuk kondisi cuaca, kondisi tanah, kondisi air, udara, dll.
5. Musuh alami: sebagai faktor pengendali alami serangga yang bersifat tergantung kepadatan
seperti yang telah dijelaskan
6. Kekurangan pakan: serangga hama sangat ditentukan survival dan perkembangannya oleh
ketersediaan pangan yang disediakan manusia. Tetapi untuk serangga musuh alami bila
tidak tersedia pakan yang sesuai yang menjadi inang atau mangsa akan sangat
mempengaruhi survivalnya.
7. Kekurangan tempat berlindung/bernaung: mempengaruhi mortalitas secara tidak langsung
23
Berikut diagram yang menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung faktor-faktor cuaca.
Pengaruh Faktor-faktor Cuaca bagi Kehidupan Serangga
Langsung
Individu
Populasi
Aktivitas
Perkembangan
Perilaku
Fenologi
Mortalitas
Natalitas
Pergerakan
Tak Langsung
Habitat
Parasitoid
Predator
Patogen
Makanan
Natalitas
Mortalitas
Pergerakan
Populasi
Dengan demikian dalam jangka waktu panjang di dalam setiap ekosistem, selalu terjadi
keseimbangan populasi organisme termasuk populasi hama, yang secara dinamik bergejolak di
sekitar aras keseimbangan populasinya masing-masing. Setiap organisme dalam kondisi
ekosistem tertentu memiliki aras keseimbangannya sendiri-sendiri. Aras populasi tersebut dapat
tinggi, tetapi juga dapat rendah seperti yang kita harapkan.
Mangsa (A)
Predator
Waktu
Gambar 16. Hubungan antara kepadatan serangga A dan kepadatan predator B
24
Aras Keseimbangan 2
Populasi
Pengaruh Tindakan Manusia terhadap Populasi Hama
Faktor-faktor alami seperti suhu, curah hujan sebagai faktor abiotik serta faktor biotik
seperti parasitoid, predator, patogen hama, pesaing, dll bekerja secara interaktif yang membawa
populasi hama berada di sekitar aras keseimbangannya. Justru faktor MANUSIA dengan segala
tindakannya sangat mempengaruhi dinamika populasi hama sehingga dapat sangat menjauhi
aras keseimbangan. Manusia dapat mempengaruhi letak aras keseimbangan melalui
mekanisme sbb:
Dalam mengelola agroekosistem, manusia dapat mempengaruhi atau mengubah letak
aras keseimbangan umum suatu spesies hama melalui kegiatan pengelolaan agroekosistem.
Aras keseimbangan populasi hama dapat meningkat antara lain dengan penggunaan pestisida
yang berlebihan dan kurang tepat, sehingga dapat membunuh musuh alami. Penggunaan
pestisida yang dilakukan terus-menerus dapat mengakibatkan aras keseimbangan hama
tersebut akan meningkat melebihi aras keseimbangan sebelumnya (Gambar 17).
Peningkatan aras keseimbangan populasi hama dapat juga terjadi sebagai akibat
tersedianya makanan hama secara luas dan terus menerus. Demikian juga jika varietas
tanaman yang ditanam adalah varietas peka, lambat laun aras keseimbangan populasi hama
akan meningkat.
Bila aras keseimbangan meningkat maka dapat mengakibatkan populasi hama melebihi
AE/AT/AK yang ditetapkan. Dalam keadaan demikian petani terpaksa menggunakan pestisida
lebih sering lagi sehingga dapat meningkatkan kerugian, tidak hanya bagi petani tetapi juga bagi
konsumen dan kualitas lingkungan hidup.
Aras keseimbangan populasi hama dapat juga diturunkan apabila yang terjadi sebaliknya
yaitu dengan memasukkan atau melakukan konservasi musuh alami. Tindakan manusia
demikian ini akan mendorong bekerjanya pengendali alami di daerah tersebut, yang dalam
jangka panjang dapat menurunkan aras keseimbangan populasi hama. Salah satu sasaran PHT
adalah menurunkan aras keseimbangan populasi hama sehingga berada di bawah ambang
pengendalian.
Pestisida
Aras Keseimbangan 1
Waktu
Gambar 17. Peningkatan aras keseimbangan akibat perlakuan pestisida secara terus menerus.
25
Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman
Materi 5
FUNGSI PENGAMATAN DALAM SISTEM PHT
Tujuan:
A. Mempelajari fungsi pengamatan dalam sistem PHT
B. Mempelajari prinsip-prinsip pengambilan sampel dan pengamatan
C. Mempelajari praktek pengamatan dan pelaporan perlindungan tanaman oleh petugas
pengamat hama
D. Pengamatan oleh petani
Materi:
HUBUNGAN PENGAMATAN, PENGAMBILAN SAMPEL DAN PEMANTAUAN
Pengamatan adalah kegiatan pengumpulan data dan informasi tentang sesuatu obyek
yang diamati/dikaji/diteliti. Pengamatan bisa dilakukan secara berkala maupun insidentil. Ada
beberapa maksud atau tujuan pengamatan yaitu pengamatan untuk pengumpulan data
penelitian, pengamatan untuk penyusunan lapangan dan pengamatan untuk pengambilan
keputusan. Kegiatan pengamatan yang dilakukan secara berkala pada suatu obyek
pengamatan tertentu untuk digunakan dalam proses pengambilan keputusan disebut
PEMANTAUAN.
Kegiatan pemantauan dalam PHT merupakan kegiatan utama yang membedakan sistem
PHT dengan sistem pengendalian hama secara konvensional. Peranan pengamatan dan
pemantauan hama dan ekosistem dalam penerapan sistem PHT adalah seperti bagan berikut:
Analisis Ekosistem
Pengambil Keputusan
Pemantauan
Tindakan Pengelolaan
EKOSISTEM
PERTANIAN
Gambar 18. Hubungan antara pemantauan, pengambilan keputusan dan tindakan pengelolaan
dalam sistem pelaksanaan PHT
Dari gambar tersebut, kegiatan pertama yang dilakukan adalah pemantauan ekosistem.
Kegiatan pemantauan dilakukan untuk mengikuti perkembangan keadaan ekosistem pada suatu
saat yang meliputi perkembangan komponen ekosistem, baik komponen biotik seperti keadaan
tanaman, tingkat kerusakan tanaman oleh hama, populasi hama dan penyakit, populasi musuh
alami dan lain-lain. Juga komponen abiotik seperti suhu, curah hujan, kebasahan, dll. Hasil
pemantauan atau data hasil pemantauan dianalisis antara lain dengan membandingkan data
26
ekosistem dengan nilai AE atau Ambang Kendali. Dari hasil analisis ekosistem dapat diambil
keputusan mengenai tindakan pengendalian atau pengelolaan yang perlu diterapkan pada
ekosistem. Hasil pengambilan keputusan segera diterapkan ke lapangan mengenai tindakan
pengelolaan atau pengendalian seperti perbaikan budidaya tanaman, introduksi musuh alami,
mengubah habitatnya, pengendalian dengan pestisida, dll. Pengambil keputusan semakin ke
bawah yaitu pada pihak pengelola dari ekosistem pertanian, seperti petani atau kelompok tani.
MEMPELAJARI PRINSIP-PRINSIP PENGAMBILAN SAMPEL DAN PENGAMATAN
Sampel atau contoh merupakan bagian dari suatu populasi yang diamati. Dalam praktek
pengamatan tidak mungkin bagi pengamat mengamati seluruh individu dalam populasi tetapi
pengamatan dilakukan pada sebagian kecil populasi yang kita sebut sampel. Dari informasi
yang diperoleh pada sampel kita ingin menduga sifat populasi yang sebenarnya. Oleh karena
itu, sampel yang diambil harus dapat mewakili. Populasi sampel terdiri dari beberapa unit
sampel. Jumlah unit sampel sering kita namakan sebagai ukuran sampel. Misalkan kita ingin
mengetahui populasi hama atau kerusakan tanaman dalam satu daerah/lahan yang luasnya 1
hektar, sebagai unit sampel ditetapkan rumpun padi. Jumlah rumpun padi yang diamati 30. Hal
ini berarti unit sampel adalah rumpun dan ukuran sampel 30.
Proses pengambilan sampel dan monitoring memerlukan teknik yang beragam
tergantung pada jenis tanaman, jenis hama, atau organisme lain yang diamati. Ada dua syarat
yang perlu diperhatikan dalam melakukan teknik pengamatan dan pengambilan sampel yang
dilakukan yaitu praktis, dan dapat dipercaya. Praktis berarti metode pengamatan yang
dilakukan sederhana, mudah dikerjakan dan tidak memerlukan peralatan dan bahan yang
mahal, dan sedapat mungkin tidak mengambil waktu lama. Hasil pengamatan harus dapat
dipercaya berarti metode tersebut akan menghasilkan data yang dapat mewakili atau
menggambarkan secara benar tentang sifat populasi sesungguhnya. Faktor yang
mempengaruhi pengambilan sampel:
1. Sifat dan ketrampilan petugas pengamat
2. Keadaan lingkungan setempat
3. Sifat sebaran spasial serangga
PENYUSUNAN PROGRAM PENGAMBILAN SAMPEL DAN PENGAMATAN
Dalam menyusun secara lengkap program pengambilan sampel pada suatu wilayah
pengamatan perlu dilakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menetapkan beberapa
kriteria atau ketentuan tentang pengambilan sampel. Ketentuan-ketentuan tersebut meliputi
penetapan tentang:
1. Unit Sampel
2. Interval Pengambilan Sampel
3. Banyak atau Ukuran Sampel
4. Desain Pengambilan Sampel
5. Mekanik Pengambilan Sampel
1. Unit sampel
Unit sampel merupakan unit pengamatan yang terkecil. Pada unit tersebut diadakan
pengukuran dan penghitungan oleh pengamat terhadap individu serangga yang ada, dan apa
yang ditinggalkan oleh serangga yang menjadi obyek pengamatan atau variabel pengamatan.
Beberapa variabel pengamatan yang dapat diperoleh dari unit sampel dapat berupa kepadatan
atau populasi hama, populasi musuh alami, intensitas kerusakan, dll.
Ada berbagai jenis unit sampel yang saat ini digunakan dalam praktek pengamatan baik
untuk program penelitian atau untuk pengambilan keputusan pengendalian hama. Biasanya unit
27
sampel dikembangkan berdasarkan sifat biologi serangga dan belajar dari pengalaman
sebelumnya. Unit sampel dapat berupa:
a. Unit luas permukaan tanah 1 x 1 m2
b. Unit volume tanah
c. Bagian tanaman seperti rumpun, batang, daun, pelepah daun
d. Dalam bentuk stadia hamanya sendiri. Sering digunakan untuk evaluasi dalam musuh alami
seperti jumlah larva parasit atau larva inang, dst.
2. Penentuan interval pengambilan sampel
Interval pengambilan sampel merupakan jarak waktu pengamatan yang satu dengan
waktu pengamatan yang berikutnya pada petak pengamatan yang sama. Banyak faktor yang
perlu diperhatikan dalam menentukan interval pengamatan antara lain tingkat tumbuh tanaman,
daur hidup serangga yang diamati, tujuan pengambilan sampel, faktor cuaca, dll. Untuk
serangga yang mempunyai siklus pendek dan kapasitas reproduksi tinggi, interval pengamatan
harus pendek agar tidak kehilangan informasi dari lapangan. Demikian juga keadaan ini berlaku
bagi komoditas tanaman yang peka terhadap serangan hama seperti kapas, dan juga untuk
jenis hama yang peningkatan kerusakannya berjalan cepat.
3. Penentuan ukuran sampel
Dalam program pengambilan sampel dan pengamatan, penentuan ukuran sampel atau
jumlah unit sampel yang harus diamati pada setiap waktu pengamatan sangat menentukan
kualitas hasil pengamatan.
Ukuran sampel dipengaruhi oleh dua komponen utama yaitu varians (s 2) yang
menjelaskan distribusi data sampel, dan biaya pengambilan sampel yang terdiri atas ongkos
tenaga dan alat-alat pengambilan sampel. Secara umum dapat dikatakan semakin besar ukuran
sampel (n) semakin dapat dipercaya harga penduga parameter populasi. Tetapi apabila ukuran
sampel besar maka biaya pengambilan sampel juga semakin besar. Sebaliknya bila unit sampel
terlalu sedikit, analisa statistik akan menghasilkan keputusan yang memiliki ketepatan dan
ketelitian rendah, sehingga kualitas dan kegunaan hasil pengamatan diragukan.
4. Desain atau pola pengambilan sampel
Ada beberapa pola yang dapat digunakan untuk menetapkan unit sampel yang mana dari
keseluruhan populasi yang harus diamati yang menjadi anggota sampel. Pola yang paling ideal
adalah secara acak (random sampling), kemudian dikenal:
a. Pola acak berlapis
b. Pola pengambilan sampel sistematik
c. Pola pengambilan sampel purposive atau yang sudah ditentukan
Beberapa pola pengambilan sampel yang sering digunakan adalah bentuk:
A
B
C
Gambar 19. Pola pengambilan sampel A. Pola Diagonal, B. Pola Zigzag, C. Pola Lajur tanaman
28
5. Mekanik Pengambilan Sampel
Mekanik pengambilan sampel serangga adalah segala teknik memperoleh,
mengumpulkan serta menghitung individu serangga yang diamati atau bahan yang ditinggalkan
oleh serangga pada unit sampel yang telah ditentukan.
Mekanik sampel yang sering dilakukan oleh para pengamat kita adalah pengamatan
langsung di lapangan. Tidak semua serangga dapat dihitung secara langsung sehingga masih
diperlukan peralatan atau alat khusus yang dapat digunakan untuk mengumpulkan individu
serangga dan kemudian dihitung jumlahnnya.
PRAKTEK PENGAMATAN DAN PELAPORAN PETUGAS PENGAMAT
Di organisasi Departemen Pertanian saat ini ada 3 Direktorat Jenderal yang mempunyai
tugas untuk mengumpulkan pelaporan data populasi dan kerusakan OPT di seluruh propinsi.
Tiga Direktorat Jenderal itu adalah Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal
Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal Tanaman Perkebunan. Pada tiga Direktorat Jenderal
tersebut terdapat Direktorat Perlindungan Tanaman seperti Direktorat Perlindungan Tanaman
Pangan, Hortikultura dan Perkebunan.
Kebijakan dan rekomendasi pelaksanaan dan pelaporan perlindungan tanaman disusun
dan dikeluarkan oleh 3 direktorat tersebut, sedangkan pelaksanaan pengamatan dilakukan oleh
para Petugas Pengamat Hama (PHP) dan penyakit yang ada di daerah yang dikoordinasikan
oleh BPTPH yang ada di setiap propinsi. Untuk tanaman pangan dan hortikultura, BPTPH
secara struktural berada di bawah Pemerintah Daerah Tingkat I/Propinsi. Sedangkan untuk
perkebunan, BPTP masih berada di bawah Direktorat Jenderal Perkebunan atau masih di
bawah Pemerintah Pusat. Secara fungsional, PHP saat ini termasuk dalam kelompok POPT
(Pengendali OPT).
1. Pengamatan
Pengamatan dilakukan oleh PHP dan petani dengan dua cara yaitu pengamatan tetap
dan pengamatan keliling atau patroli. Pengamatan bertujuan untuk mengetahui atau mendeteksi
jenis dan kepadatan OPT, intensitas serangan OPT, daerah penyebaran, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan OPT serta intensitas kerusakan bencana alam. Dengan
informasi tersebut diharapkan petani/kelompok tani bersama petugas dapat mengetahui dan
menganalisis secara dini untuk menentukan langkah-langkah penanganan usaha tani, sehingga
produksi tanaman yang sudah diusahakan tetap pada taraf tinggi, menguntungkan dan aman
bagi lingkungan.
Metode Pengamatan
Pengamatan OPT pada tanaman pangan dan hortikultura dilakukan dengan dua cara,
yaitu pengamatan tetap dan pengamatan keliling atau patroli. Secara rinci pelaksanaan
pengamatan tetap dan pengamatan keliling adalah sbb:
a. Pengamatan tetap
Pengamatan tetap adalah pengamatan yang dilakukan pada petak contoh tetap yang
mewakili bagian terbesar dari wilayah pengamatan, perangkap lampu, curah hujan, stasiun
meteorologi pertanian khusus.
1). Pengamatan petak tetap
Pengamatan pada petak contoh tetap bertujuan untuk mengetahui perubahan kepadatan
populasi OPT dan musuh alami serta intensitas serangan. Petak contoh tetap ditempatkan pada
lima jenis tanaman dominan. Untuk komoditas terluas diamati empat petak contoh tetap
sedangkan empat komoditas lainnya masing-masing diamati satu petak contoh. Dengan
demikian pada setiap wilayah pengamatan terdapat delapan petak contoh pengamatan tetap.
29
Petak contoh ditentukan secara purposive, sehingga mewakili bagian terbesar wilayah
pengamatan dalam hal waktu tanam, teknik bercocok tanam, dan varietasnya. Pada masa
peralihan antara dua musim tanam, pengamatan diteruskan pada petak-petak contoh yang
dapat mewakili wilayah pengamatan dalam waktu tersebut. Karena itu petak contoh pada masa
antara dua musim tanam dapat berpindah sesuai dengan keadaan tanaman yang dapat
mewakili wilayah pengamatan.
2). Pengamatan Perangkap lampu
Kepadatan populasi OPT dan musuh alami yang efektif yang tertarik cahaya diamati
pada satu atau lebih perangkap lampu yang mewakili wilayah pengamatan. Perangkap lampu
ditempatkan jauh dari faktor-faktor yang akan mempengaruhi banyaknya serangga pengganggu
tanaman atau musuh alaminya tertarik cahaya. Lampu dinyalakan dari senja sampai fajar.
Serangga yang tertangkap diidentifikasi dan dihitung. Pengamatan dilakukan setiap hari serta
dilaporkan setiap dua minggu.
b. Pengamatan Keliling atau Patroli
Pengamatan keliling atau patroli bertujuan untuk mengetahui tanaman terserang dan
terancam, luas pengendalian, bencana alam serta mencari informasi tentang penggunaan,
peredaran dan penyimpanan pestisida.
Pengamatan keliling atau patroli dilaksanakan dengan menjelajahi wilayah pengamatan.
Sebelum melaksanakan pengamatan, PHP disarankan menemui petani/kelompok tani
pemandu, penyuluh atau sumber lain yang layak dipercaya; untuk memperoleh informasi
tentang adanya serangan OPT dan kegiatan pengendalian di wilayah kerjanya. Informasi
tersebut digunakan untuk menentukan daerah yang dicurigai dan mengkonsentrasikan
pengamatannya. Penentuan daerah yang dicurigai didasarkan pada kerentanan varietas yang
ditanam terhadap OPT utama di daerah tersebut, stadia pertumbuhan tanaman dan jaraknya
terhadap sumber serangan.
Serangan OPT di daerah yang dicurigai, diamati lima petak contoh yang terletak pada
perpotongan garis diagonal (A) dan pertengahan potongan-potongan garis diagonal tersebut (B,
C, D dan E) seperti terlihat pada Gambar 20. Jumlah rumpun yang diamati tiap unit contoh
adalah 10 rumpun/batang. Komponen-komponen yang diamati adalah luas tanaman terserang,
intensitas serangan, kepadatan populasi OPT, stadia/umur tanaman, varietas dan tindakan
pengendalian yang pernah dilakukan petani.
Gambar 20. penyebaran petak contoh pada daerah yang dicurigai terserang.
Dalam tiap petak contoh diamati 5 unit contoh seperti pada gambar 20. Jumlah rumpun
contoh yang diamati dalam tiap unit contoh adalah sepuluh rumpun/tanaman.
Cara pelaksanaan:
Untuk memudahkan pelaksanaan pengamatan keliling dilakukan sesudah pengamatan
petak tetap pada subwilayah pengamatan dimana petak tetap itu berada. Apabila ada informasi
bahwa di subwilayah lainnya terjadi serangan OPT maka harus dilakukan pengamatan keliling
tambahan. Adapun pembagian subwilayah adalah sebagai berikut:
30
1. Mula-mula bagilah wilayah pengamatan menjadi 4 strata berdasarkan waktu tanamannya
(lihat Gambar 21)
2. Bagilah masing-masing strata menjadi 2 subwilayah, sehingga satu wilayah akan terbagi
menjadi 8 subwilayah (lihat Gambar 21).
Untuk pengamatan tetap, tempatkan satu petak contoh pengamatan pada masingmasing strata di lokasi yang selalu dilewati saat mengadakan pengamatan keliling di strata
tersebut, sehingga setiap petak contoh pengamatan tetap dapat diamati dengan interval waktu
satu minggu, sedangkan interval pengamatan keliling dua minggu.
Waktu pengamatan OPT dilakukan 4 (empat) hari setiap minggu kecuali untuk tangkapan
perangkap lampu dan penakar curah hujan dilakukan setiap hari. Pelaksanaan pengamatan
OPT dimulai dari hari senin sampai dengan hari kamis.
Hasil pengamatan dan kejadian yang ditemukan pada saat pengamatan keliling dan
pengamatan tetap dilaporkan secara rutin pada setiap akhir periode pengamatan. Laporan
pengamatan tetap pada periode pelaporan tengah bulan pertama berisi hasil pengamatan
minggu ke 1 dan ke 2, sedang pada periode pelaporan tengah bulan kedua berisi hasil
pengamatan minggu ke 3 dan ke-4.
A 1
Senin 1
B
2
Selasa 1
C 3
Rabu 1
D 4
Kamis 1
5
Senin 2
6
Selasa 2
7
Rabu 2
8
Kamis 2
Keterangan:
A, B, C, D …… pembagian menurut strata 1, 2, 3 … dst … subwilayah
Gambar 21. Pembagian subwilayah pengamatan di wilayah kerja PHP
Metode Pengambilan Contoh
a. Tanaman Pangan
Pengambilan contoh pada pengamatan OPT tanaman pangan (padi dan palawija)
dilakukan dengan metode diagonal. Pada pengamatan tetap tiap petak contoh ditentukan tiga
unit contoh yang terletak di titik perpotongan garis diagonal petak contoh (A) dan di pertengahan
potongan-potongan garis diagonal yang terpanjang (B dan C), seperti terlihat pada Gambar 22.
Tiap unit contoh diamati 10 rumpun contoh. Dari petak contoh itu diamati intensitas serangan
OPT, kepadatan populasi OPT dan kepadatan populasi musuh alami yang efektif.
Gambar 22. Penyebaran Unit Contoh dalam Petak Contoh. Dalam Tiap Unit Contoh Diamati 10
Rumpun Contoh.
31
b. Tanaman Sayuran
Pengambilan contoh pada pengamatan OPT tanaman sayur-sayuran dilakukan pada 10
tanaman contoh setiap 0,1 ha atau 50 tanaman contoh per hektar. Pengambilan tanaman
contoh ditentukan secara acak (random).
c. Tanaman Buah-buahan, hias, Obat-obatan dan Rempah-rempah
Pengambilan contoh pada pengamatan OPT tanaman buah-buahan, hias dan obatobatan dan rempah-rempah dilakukan dengan menggunakan petak contoh, yaitu kecamatan.
Tanaman yang diamati dibagi 3 kriteria seperti berikut:
a. Tanaman dominan (terbanyak)
: 15 tanaman/rumpun
b. Tanaman dengan jumlah sedang
: 10 tanaman/rumpun
c. Tanaman dengan jumlah sedikit
: 5 tanaman/rumpun
Tanaman contoh ditentukan dengan 2 (dua) cara, yaitu random (acak) dan diagonal.
Cara random dilakukan pada perkebunan rakyat/pekarangan rumah, sedangkan cara diagonal
dilakukan (seperti pengambilan contoh pada tanaman padi) pada perkebunan besar.
Penilaian Serangan OPT
Penilaian terhadap kerusakan tanaman dilakukan berdasarkan gejala serangan OPT
yang sifatnya sangat beragam. Kerusakan tanaman oleh serangan OPT dapat berupa
kerusakan mutlak (atau yang dianggap mutlak) dan tidak mutlak. Untuk menilai serangan OPT
yang menyebabkan kerusakan mutlak atau dianggap mutlak digunakan rumus sebgai berikut:
a
I = ----------- X 100%
a+b
Keterangan:
I
: Intensitas serangan (%)
A
: Banyaknya contoh (daun, pucuk, bunga, buah, tunas, tanaman, rumpun
tanaman) yang rusak mutlak atau dianggap rusak mutlak.
B
: Banyaknya contoh yang tidak terserang (tidak menunjukkkan gejala
serangan).
2. Laporan
Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura diperlukan untuk menyusun
perlindungan tanaman, memberikan anjuran pengendalian, menyusun rencana perlindungan
tanaman, memberikan anjuran pengendalian, menyusun bantuan pengendalian, merencanakan
bimbingan pengendalian, melaksanakan pengamatan lebih intensif, dan merencanakan
penyediaan sarana pengendalian. Oleh karena itu, Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan
Hortikultura perlu dibuat sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan segera dikirim ke
instansi yang memerlukannya. Sesuai dengan kebijaksanaan dibidang perlindungan tanaman
pangan dan hortikultura dan pembagian wewenang dalam struktur organisasi berlaku, Laporan
Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura disampaikan oleh PHP kepada Mantri Tani
(Mantan) dan instansi vertikal di atasnya. Mantri Tani dan Penyuluh menyuluhkan dan
menyebarluaskan kepada petani sebagai dasar pengambilan keputusan kelompok tani, dan bila
perlu bersama-sama dengan PHP membina petani melaksanakan pengendalian. Instansi
vertikal di atasnya menggunakan laporan tersebut sebagai bahan mengevaluasi keadaan
serangan, kemampuan petugas membimbing petani dalam pengendalian, merencanakan
bimbingan dan bantuan, serta menyusun Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan
Hortikultura di wilayah kerjanya.
Laporan PHP yang diterima oleh Mantan diteruskan kepada Camat dan Dinas Pertanian
(Diperta) Kabupaten/Kotamadya, dan Diperta Kabupaten/Kotamadya meneruskan laporan
32
tersebut ke Diperta Propinsi. Oleh Camat sebagai Ketua Satuan Pelaksana Bimas Kecamatan,
laporan tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun kampanye pengendalian
secara massal oleh petani dan bila dibutuhkan/diperlukan bantuan pemerintah berupa pestisida
dapat dikeluarkan. Sedangkan oleh Diperta Kabupaten/Kotamadya, digunakan untuk membina
pengendalian OPT dan mempertimbangkan bantuan pengendalian kepada petani apabila dinilai
sebagai serangan eksplosi.
Koordinator PHP mengkoordinasikan laporan PHP, laporan serangan OPT yang
dilaporkan PHP dari seluruh wilayah pengamatan kabupaten diteruskan ke Diperta
Kabupaten/Kotamadya serta laporan lainnya diteruskan ke Laboratorium Pengamatan Hama
dan Penyakit (LPHP) dan (Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH)/Loka
Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (LPTPH)/Satgas BPTPH/LPTPH.
PENGAMATAN OLEH PETANI
Karena jumlah PHP dan petugas pengamat atau penyuluh di daerah sangat terbatas
maka yang paling baik kegiatan pengamatan dilakukan sendiri oleh petani pemilik/penggarap.
Petani sendiri yang melakukan kegiatan pemantauan, pengambilan keputusan dan tindakan
pengendalian. Dengan demikian petani tidak lagi tergantung pada petugas, pemerintah. Petani
dapat melakukan pengamatan secara perseorangan/individual, namun yang paling baik secara
berkelompok atau merupakan kegiatan kelompok tani. Agar petani dapat melakukan kegiatan
pemantauan ekosistem, mereka perlu mengikuti pelatihan khusus yang dilaksanakan secara
intensif, setiap 1 minggu sekali di dalam kegiatan yang disebut SLPHT. Dengan demikian tujuan
pelaksanaan kegiatan pengamatan oleh para petugas PHP hanya terbatas pada penyusunan
laporan bagi pemda maupun pemerintah pusat tetapi tidak untuk pengambilan keputusan untuk
lahan petani dalam menerapkan PHT.
33
Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman
Materi 6
PENGENDALIAN DENGAN TANAMAN/VARIETAS TAHAN HAMA
Tujuan:
1. Mengenal dan mempelajari komponen PHT - Pengendalian dengan Tanaman Tahan Hama
2. Mengenal dan mempelajari pengembangan tanaman transgenik tahan hama
3. Mengenal dan mempelajari prinsip-prinsip karantina tumbuhan dan sistem karantina
pertanian di Indonesia
Materi:
Pengendalian hama dengan cara menanam tanaman yang tahan terhadap serangan
hama telah lama dilakukan dan merupakan cara pengendalian yang efektif, murah, dan kurang
berbahaya bagi lingkungan. Penggunaan berbagai varietas padi tahan hama wereng coklat
berhasil mengendalikan hama wereng coklat padi di Indonesia yang sejak tahun 1970 menjadi
hama padi yang paling penting. Saat ini petani telah mengenal banyak VUTW (Varietas Unggul
Tahan Wereng) yang berhasil dikembangkan oleh para peneliti dari IRRI (Filipina) dan dari
Indonesia sendiri. Di luar tanaman padi penggunaan varietas tahan hama masih terbatas karena
belum banyak tersedia varietas atau jenis tanaman yang memiliki ketahanan tinggi terhadap
hama-hama tertentu.
Pada tahun 1984 Indonesia telah berhasil berswasembada beras. Kontribusi varietas
unggul tahan hama bagi keberhasilan Indonesia berswasembada beras sangat besar. Hal ini
berkat kerja keras para ahli hama, pemulia tanaman, agronomi, dll yang telah berhasil
menemukan dan mengembangkan VUTW. Namun sayangnya karena berbagai faktor, sampai
saat ini status swasembada beras semakin sulit dipertahankan.
1. Mekanisme Ketahanan Tanaman
Ketahanan atau resistensi tanaman merupakan pengertian yang bersifat relatif. Untuk
melihat ketahanan suatu jenis tanaman sifat tanaman, yang tahan harus dibandingkan dengan
sifat tanaman yang tidak tahan atau yang peka. Tanaman yang tahan adalah tanaman yang
menderita kerusakan yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan tanaman lain dalam keadaan
tingkat populasi hama yang sama dan keadaan lingkungan yang sama. Pada tanaman yang
tahan, kehidupan dan perkembangbiakan serangga hama menjadi lebih terhambat bila
dibandingkan dengan perkembangbiakan sejumlah populasi hama tersebut apabila berada pada
tanaman yang tidak atau kurang tahan.
Sifat ketahanan yang dimiliki oleh tanaman dapat merupakan sifat asli (terbawa
keturunan faktor genetik) tetapi dapat juga karena keadaan lingkungan yang mendorong
tanaman menjadi relatif tahan terhadap serangan hama. Beberapa ahli membedakan ketahanan
tanaman dalam dua kelompok yaitu ketahanan ekologi dan ketahanan genetik (Kogan, 1982).
Ahli lain menganggap ketahanan ekologi bukan merupakan ketahanan sebenarnya dan disebut
ketahanan palsu atau pseudo resistance sedangkan yang disebut sifat ketahanan tanaman
adalah ketahanan genetik. Hal ini disebabkan sifat ketahanan ekologi tidak tetap dan mudah
berubah tergantung pada keadaan lingkungannya, sedangkan sifat ketahanan genetik relatif
stabil dan sedikit dipengaruhi oleh perubahan lingkungan.
2. Ketahanan Genetik
34
Sampai saat ini klasifikasi resistensi genetik menurut Painter yang banyak diikuti oleh
para pakar. Menurut Painter (1951) terdapat 3 mekanisme resistensi tanaman terhadap
serangga hama yaitu 1) ketidaksukaan, 2) antibiosis dan 3) toleran.
a. Ketidaksukaan/antixenosis
Nonpreference merupakan sifat tanaman yang menyebabkan suatu serangga menjauhi
atau tidak menyenangi suatu tanaman baik sebagai pakan atau sebagai tempat peletakan telur.
Menurut Kogan (1982) istilah yang lebih tepat digunakan untuk sifat ini adalah antixenosis yang
berarti menolak tamu (xenosis = tamu). Antixenosis dapat dikelompokkan menjadi penolakan
kimiawi atau antixenosis kimiawi dan penolakan morfologi atau antixenosis morfologik.
b. Antibiosis
Antibiosis adalah semua pengaruh fisiologi pada serangga yang merugikan, bersifat
sementara atau tetap, sebagai akibat kegiatan serangga memakan dan mencerna jaringan atau
cairan tanaman tertentu. Gejala penyimpangan fisiologi terlihat apabila suatu serangga
dipindahkan dari tanaman tidak memiliki sifat antibiosis ke tanaman yang memiliki sifat tersebut.
Penyimpangan fisiologi tersebut berkisar mulai dari penyimpangan yang sedikit sampai
penyimpangan terberat yaitu terjadinya kematian serangga.
c. Toleran
Mekanisme resistensi toleran terjadi karena adanya kemampuan tanaman tertentu untuk
sembuh dari luka yang diderita karena serangan hama atau mampu tumbuh lebih cepat
sehingga serangan hama kurang mempengaruhi hasil, dibandingkan dengan tanaman lain yang
lebih peka.
3. Ketahanan Ekologi
Ketahanan Ekologi atau dengan istilah lain ketahanan yang kelihatan (apparent
resistance) atau ketahanan palsu (pseudo resistance) merupakan sifat ketahanan tanaman
yang tidak dikendalikan oleh faktor genetik tetapi sepenuhnya disebabkan oleh faktor
lingkungan yang memungkinkan kenampakan sifat ketahanan tanaman terhadap hama tertentu.
Oleh karena sifatnya yang tidak tetap, ahli pemulia tanaman tidak mengakui sifat ini sebagai
sifat ketahanan tanaman yang sesungguhnya. Sifat ketahanan ini biasanya merupakan sifat
sementara dan dapat terjadi pada tanaman yang sebenarnya peka terhadap serangan hama
tertentu.
Ada 3 bentuk ketahanan ekologi yaitu pengelakan inang (host evasion), ketahanan
dorongan (induced resistance) dan inang luput dari serangan (host escape).
a. Pengelakan Inang
Pengelakan inang terjadi bila waktu pemunculan fase tumbuh tanaman tertentu tidak
bersamaan dengan waktu pemunculan stadia hama yang aktif mengkonsumsikan tanaman.
b. Ketahanan Dorongan
Sifat ketahanan ini timbul dan didorong oleh adanya keadaan lingkungan tertentu sehingga
tanaman mampu bertahan terhadap serangan hama. Ketahanan dorongan ini terjadi antara
lain akibat adanya pemupukan dan irigasi serta teknik budidaya yang lain.
c. Inang Luput dari Serangan
Sering dialami pada suatu tempat tertentu ada suatu kelompok tanaman yang sebenarnya
memiliki sifat peka terhadap suatu jenis hama, tetapi pada suatu saat tanaman tersebut tidak
terserang meskipun populasi hama di sekitarnya pada waktu itu cukup tinggi. Hal tersebut
35
tidak berarti bahwa tanaman tersebut tahan terhadap serangan hama tetapi tanaman
tersebut sedang dalam keadaan luput dari serangan hama.
4. Langkah Pengembangan Varietas Tahan
Pengembangan varietas tahan hama secara konvensional dilakukan melalui penerapan
teknologi pemuliaan tanaman tradisional dengan melakukan persilangan tanaman. Beberapa
kegiatan utama dalam melakukan perolehan dan pengembangan guna memperoleh varietas
tahan hama yang baru adalah sebagai berikut:
a. Identifikasi sumber ketahanan.
b. Penetapan mekanisme ketahanan.
c. Penyilangan sifat ketahanan dengan sifat agronomi lainnya sehingga dapat diperoleh
varietas yang lebih unggul.
d. Analisis genetik terhadap sifat ketahanan.
e. Identifikasi dasar-dasar kimia dan fisika sifat ketahanan.
f. Pengujian lapangan multi lokasi.
g. Pelepasan varietas tahan hama yang baru.
PENGEMBANGAN VARIETAS TAHAN DENGAN BIOTEKNOLOGI
Pengembangan varietas tahan hama secara konvensional banyak dikaji dan telah
diperoleh hasil yang menggembirakan. Penggunaan varietas tahan terbukti mampu mengurangi
tingkat serangan hama sehingga hasil panen dapat meningkat. Sebagian besar varietas tahan
hama yang dilepaskan, diperbanyak dan digunakan di Indonesia saat ini masih merupakan
hasil teknologi pemuliaan tanaman secara tradisional yang telah diuraikan sebelumnya.
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi akhir-akhir ini tidak menutup
kemungkinan penerapan bioteknologi modern dalam bidang pertanian untuk dapat
menghasilkan varietas tahan hama. Aplikasi bioteknologi pertanian memberikan peluang yang
sangat baik terhadap perkembangan kualitas maupun kuantitas produk-produk pertanian.
Beberapa bioteknologi yang telah dikembangkan diantaranya rekayasa genetika yang
mencakup rekombinasi DNA, pemindahan gen, manipulasi dan pemindahan embrio, kultur sel
dan jaringan, regenerasi tanaman dan antibodi monoklonal.
Tanaman hasil rekayasa genetika yang selanjutnya disebut tanaman transgenik dapat
direkayasa memiliki sifat ketahanan terhadap jenis hama tertentu. Salah satu sifat unggul
tanaman transgenik adalah ketahanan terhadap hama setelah tanaman tersebut disisipi dengan
gen toksik yang berasal dari Bacillus thuringiensis (Bt). Sampai akhir tahun 2003 di Indonesia
hanya satu varietas kapas Bt yang telah diijinkan dan dilepaskan secara terbatas di Sulawesi
Selatan. Di dunia Internasional tanaman transgenik tahan hama yang telah dikembangkan
meliputi tanaman kapas, jagung, kentang. Berbagai tanaman tersebut telah disisipi gen yang
berasal dari bakteri Bt sehingga tahan terhadap jenis hama tertentu.
Aplikasi pemindahan gen dengan teknik biologi molekuler dengan sasaran memperoleh
sifat-sifat tertentu dapat dilakukan lebih cepat, dengan ketepatan yang tinggi serta perolehan
spektrum sifat yang jauh lebih lebar daripada hasil pemuliaan tanaman konvensional.
Perkembangan bioteknologi telah memungkinkan ilmuwan untuk mentransformasikan gen Bt
yang dikehendaki ke dalam genom berbagai jenis tanaman pertanian. Gen Bt yang menyandi
protein delta-endotoksin telah dapat disisipkan ke dalam tanaman untuk pengendalian hama
tertentu. Misal tanaman kapas Bt telah disisipi dengan gen cry1Ac untuk mengendalikan hama
penggerek buah kapas Helicoverpa virescens. Tanaman kapas Bt memproduksi toksin secara
terus-menerus sehingga serangga peka yang hidup dalam jaringan tanaman akan mati kalau
memakan jaringan tersebut.
Tanaman transgenik akan terlindung dari serangan hama selama racun protein masih
terus diproduksi. Karena racun protein yang dihasilkan hanya aktif bagi beberapa jenis serangga
36
tertentu, suatu jenis tanaman transgenik tahan hama hanya dapat mengendalikan jenis-jenis
hama tertentu.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN VARIETAS TAHAN HAMA KONVENSIONAL
Kelebihan
a. Penggunaannya praktis dan secara ekonomi menguntungkan
b. Sasaran pengendalian yang spesifik
c. Efektivitas pengendalian bersifat kumulatif dan persisten
d. Kompatibilitas dengan komponen PHT lainnya
e. Dampak negatif terhadap lingkungan terbatas
Kekurangan
Beberapa keterbatasan atau permasalahan yang perlu kita ketahui antara lain:
a. Waktu dan Biaya Pengembangan
b. Keterbatasan Sumber Ketahanan
c. Timbulnya Biotipe hama
d. Sifat Ketahanan yang Berlawanan
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TANAMAN TRANSGENIK TAHAN HAMA
Kelebihan
1. Efektif mengendalikan hama sasaran dan pengurangan kehilangan hasil
2. Penurunan penggunaan pestisida kimia
3. Penurunan biaya pengendalian
4. Pengendalian hama secara selektif
5. Penurunan populasi hama dalam areal yang luas
Keterbatasan Tanaman Transgenik
1. Resistensi hama terhadap toksin
2. Pengaruh tanaman transgenik terhadap organisme bukan sasaran
3. Pengurangan keanekaragaman hayati
4. Variasi hasil
5. Kepekaan terhadap jenis hama lain
6. Pengembalian investasi tidak terjamin
7. Risiko bagi kesehatan
8. Ketergantungan pada industri benih transgenik
KARANTINA PERTANIAN
Tujuan karantina pertanian adalah mencegah masuknya hama dan penyakit hewan,
hama dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu tumbuhan ke wilayah negara RI,
mencegah tersebarnya dari suatu area ke area lain, dan mencegah keluarnya dari wilayah
negara RI.
Karantina Pertanian terdiri dari:
1. Karantina Hewan
2. Karantina Ikan
3. Karantina Tumbuhan
Kita memiliki dasar hukum untuk karantina yaitu:
1. UU RI No 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan
37
2. PP No 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan
KARANTINA TUMBUHAN
Pengertian penting:
1. Organisme Pengganggu Tumbuhan karantina (OPTK) yang terdiri dari OPTK Golongan I,
OPTK Golongan II
a. OPTK adalah semua organisme pengganggu tumbuhan yang ditetapkan oleh Menteri
Pertanian untuk dicegah masuknya ke dalam dan tersebarnya di dalam wilayah Negara
Republik Indonesia.
b. OPTK Golongan I yaitu OPTK yang tidak dapat dibebaskan dari media pembawanya
dengan cara perlakuan. Tidak dapat dibebaskannya OPT tersebut karena sifatnya
memang tidak dapat dibebaskan, atau belum diketahui cara untuk membebaskannya,
atau cara untuk membebaskannya belum dapat dilakukan di Indonesia.
c. OPTK Golongan II yaitu semua OPTK yang dapat dibebaskan dari media pembawanya
dengan cara perlakuan.
2. Kawasan Karantina adalah kawasan yang semula diketahui bebas dari hama dan penyakit
tumbuhan karantina, sekarang telah ditemukan adanya organisme tertentu yang dahulunya
tidak ada.
3. Sertifikat Kesehatan Karantina (Phytosanitary Certificate) adalah surat keterangan yang
dibuat oleh pejabat berwenang di negara atau area asal/pengirim/transit yang menyatakan
bahwa tumbuhan atau bagian-bagian tumbuhan yang tercantum di dalamnya bebas dari
OPT, OPTK, OPTK golongan I, OPTK golongan II, dan atau OPT Penting.
4. Analisis Risiko Hama dan Penyakit Tumbuhan (Pest Risk Analysis/PRA) adalah suatu
proses untuk menetapkan bahwa suatu OPT merupakan OPTK, atau OPT Penting, serta
menentukan syarat-syarat dan tindakan karantina tumbuhan yang sesuai guna mencegah
masuk dan tersebarnya OPT tersebut.
Tindakan Karantina:
1. Pemeriksaan
2. Pengasingan
3. Pengamatan
4. Perlakuan
5. Penahanan
6. Penolakan
7. Pemusnahan
8. Pembebasan
Kasus “kebobolan” masuknya hama baru di Indonesia:
1. Keong/siput mas
2. Pengorok daun kentang
3. Nematoda Sista Kuning
38
Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman
Materi 7
PENGENDALIAN HAYATI
A. Parasitoid dan Predator
Tujuan:
1. Mempelajari prinsip dan teknik pengendalian hayati sebagai salah satu komponen dalam
sistem PHT
2. Mempelajari agens pengendalian hayati yang berupa parasitoid dan predator
3. Mempelajari manfaat dan masalah yang dihadapi dalam penerapan pengendalian hayati
Materi:
LATAR BELAKANG
Pengendalian hayati sebagai komponen utama PHT pada dasarnya adalah pemanfaatan
dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan populasi hama yang merugikan.
Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi terutama
teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali alami dan keseimbangan ekosistem. Musuh
alami yang terdiri atas parasitoid, predator dan patogen merupakan pengendali alami utama
hama yang bekerja secara "terkait kepadatan populasi" sehingga tidak dapat dilepaskan dari
kehidupan dan perkembangbiakan hama. Adanya populasi hama yang meningkat sehingga
mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani disebabkan karena keadaan lingkungan yang
kurang memberi kesempatan bagi musuh alami untuk menjalankan fungsi alaminya. Apabila
musuh alami kita berikan kesempatan berfungsi antara lain dengan introduksi musuh alami,
memperbanyak dan melepaskannya, serta mengurangi berbagai dampak negatif terhadap
musuh alami, musuh alami dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.
Meskipun praktek pengendalian hayati telah dilakukan ratusan tahun yang lalu di daratan
Cina, pengendalian hayati yang pertama kali didokumentasikan ialah pada tahun 1762, ketika
burung Mynah dibawa dari India ke Mauritius untuk memangsa hama belalang. Secara ilmiah
keberhasilan pengendalian hayati pertama yang tercatat adalah pengendalian hama kutu
berbantal pada kapas Icerya purchasi di California, Amerika Serikat dengan mengintroduksikan
predator dari Australia yaitu kumbang vedalia, Rodolia cardinalis pada tahun 1888. Setelah
keberhasilan tersebut kemudian ratusan jenis hama telah berhasil dikendalikan dengan cara
hayati. Banyak hama di Indonesia berhasil dikendalikan dengan memasukkan musuh alami
terutama sebelum tahun 1950-an sewaktu pestisida belum banyak digunakan oleh petani. Salah
satu jenis hama adalah hama belalang pedang Sexava sp yang menyerang kelapa yang dapat
berhasil dikendalikan oleh parasitoid telur Leefmansia bicolor di Sulawesi Utara. Juga hama ulat
daun kubis (Plutella xylostella) di Jawa Barat berhasil dikendalikan oleh parasitoid Diadegma sp.
Introduksi parasitoid telur Chelonus sp dari wilayah Bogor ke Flores untuk mengendalikan
ngengat mayang kelapa (Batracedra spp). Pembiakan massal parasitoid telur Trichogramma
spp dan lalat Jatiroto (Diatraeophaga striatalis) sangat membantu mengendalikan serangan
penggerek batang tebu pada tahun 1972. Selanjutnya pada 1975 telah diintoduksikan kumbang
moncong Neochetina eichhorniae dari Flores ke Bogor untuk pengendalian eceng gondok.
Introduksi kumbang Curinus coreolius dari Hawai dilakukan untuk mengendalikan hama kutu
loncat lamtoro Heteropsylla sp tahun 1986. Dari tahun 1950 sampai 1970an pengendalian
hayati pamornya berkurang akibat penggunaan pestisida kimia yang sangat dominan di seluruh
39
dunia. Dengan munculnya konsepsi PHT pengendalian hayati kembali diharapkan menjadi
tumpuan teknologi pengendalian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ekologi maupun
ekonomi.
BEBERAPA PENGERTIAN
Agar tidak timbul kerancuan lebih dahulu perlu dibedakan pengertian tentang
pengendalian hayati (biological control) dan pengendalian alami (natural control) yang seringkali
dibicarakan bersama.
Pengendalian Hayati merupakan taktik pengelolaan hama yang dilakukan secara
sengaja memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk menurunkan atau
mengendalikan populasi hama. De Bach tahun 1979 mendefinisikan Pengendalian Hayati
sebagai pengaturan populasi organisme dengan musuh-musuh alami sehingga kepadatan
populasi organisme tersebut berada di bawah rata-ratanya dibandingkan bila tanpa
pengendalian. Pengendalian Alami merupakan proses pengendalian yang berjalan sendiri
tanpa ada kesengajaan yang dilakukan oleh manusia. Pengendalian alami terjadi tidak hanya
oleh karena bekerjanya musuh alami, tetapi juga oleh komponen ekosistem lainnya seperti
makanan, dan cuaca.
Ada beberapa ahli yang meluaskan pengertian pengendalian hayati sebagai usaha
pengendalian hama yang mengikutsertakan organisme hidup. Varietas tahan hama, manipulasi
genetik, dan penggunaan serangga mandul dimasukkan sebagai bagian teknik pengendalian
hayati. Untuk selanjutnya dalam kuliah kita gunakan pengertian pengendalian hayati yang
pertama.
AGENS PENGENDALIAN HAYATI
Sebagai bagian kompleks komunitas dalam ekosistem setiap spesies serangga termasuk
serangga hama dapat diserang oleh atau menyerang organisme lain. Bagi serangga yang
diserang organisme penyerang disebut "musuh alami". Secara ekologi istilah tersebut kurang
tepat karena adanya musuh alami tidak tentu merugikan kehidupan serangga terserang. Hampir
semua kelompok organisme dapat berfungsi sebagai musuh alami serangga hama termasuk
kelompok vertebrata, nematoda, jasad renik, invertebrata di luar serangga. Kelompok musuh
alami yang paling penting adalah dari golongan serangga sendiri. Dilihat dari fungsinya musuh
alami atau agens pengendalian hayati dapat kita kelompokkan menjadi parasitoid, predator,
dan patogen.
1. Parasitoid
Perlu sedikit penjelasan antara istilah parasitoid dan parasit. Parasitisme adalah
hubungan antara dua spesies yang satu yaitu parasit, memperoleh keperluan zat-zat
makanannya dari fisik tubuh yang lain, yaitu inang. Parasit hidup pada atau di dalam tubuh
inang. Inang tidak menerima faedah apapun dari hubungan ini, meskipun biasanya tidak
dibinasakan. Misalnya kasus cacing pita pada manusia dan caplak pada binatang. Istilah
parasit lebih sering digunakan dalam entomologi kesehatan. Serangga yang bersifat parasit
yang pada akhirnya menyebabkan kematian inangnya tidak tepat bila dimasukkan ke dalam
definisi parasit. Karena itu kemudian diberikan istilah baru yaitu parasitoid yang lebih banyak
digunakan dalam entomologi pertanian.
Parasitoid adalah binatang yang hidup di atas atau di dalam tubuh binatang lain yang
lebih besar yang merupakan inangnya. Serangan parasit dapat melemahkan inang dan akhirnya
40
dapat membunuh inangnya karena parasitoid makan atau mengisap cairan tubuh inangnya.
Untuk dapat mencapai fase dewasa suatu parasitoid hanya memerlukan satu inang. Dengan
demikian parasitoid adalah serangga yang hidup dan makan pada atau dalam serangga hidup
lainnya sebagai inang. Inang akan mati jika perkembangan hidup parasitoid telah lengkap.
Parasitoid merupakan serangga yang memarasit serangga atau binatang artropoda yang
lain. Parasitoid bersifat parasitik pada fase pradewasanya sedangkan pada fase dewasa
mereka hidup bebas tidak terikat pada inangnya. Umumnya parasitoid akhirnya dapat
membunuh inangnya meskipun ada inang yang mampu melengkapi siklus hidupnya sebelum
mati. Parasitoid dapat menyerang setiap instar serangga. Instar dewasa merupakan instar
serangga yang paling jarang terparasit.
Oleh induk parasitoid telur dapat diletakkan pada permukaan kulit inang atau dengan
tusukan ovipositornya telur langsung dimasukkan dalam tubuh inang. Larva yang keluar dari
telur menghisap cairan inangnya dan menyelesaikan perkembangannya dapat berada di luar
tubuh inang (sebagai ektoparasitoid) atau sebagian besar dalam tubuh inang (sebagai
endoparasitoid). Contoh ektoparasit adalah Campsomeris sp yang menyerang uret sedangkan
Trichogramma sp yang memarasit telur penggerek batang tebu dan padi merupakan jenis
endoparasit. Fase inang yang diserang pada umumnya adalah telur dan larva, beberapa
parasitoid menyerang pupa dan sangat jarang yang menyerang imago. Larva parasitoid yang
sudah siap menjadi pupa keluar dari tubuh larva inang yang sudah mati kemudian memintal
kokon untuk memasuki fase pupa parasitoid. Imago parasitoid muncul dari kokon pada waktu
yang tepat untuk kemudian meletakkan telur pada tubuh inang bagi perkembangan generasi
berikutnya.
Ada spesies parasitoid yang dapat melengkapi siklus hidupnya sampai fase dewasa pada
satu inang. Parasitoid semacam ini disebut parasitoid soliter merupakan suatu spesies
parasitoid yang perkembangan hidupnya terjadi pada satu tubuh inang. Satu inang diparasit
oleh satu individu parasitoid. Contoh parasitoid soliter antara lain Charops sp (famili
Ichneumonidae). Parasitoid gregarius adalah jenis parasitoid yang beberapa individu dapat
hidup bersama-sama dalam tubuh satu inang. Contoh parasitoid gregarious adalah Tetrastichus
schoenobii. Jumlah imago yang keluar dari satu tubuh inang dapat banyak sekali. Banyak jenis
lebah Ichneumonid merupakan parasitoid soliter, dan banyak lebah Braconid dan Chalcidoid
yang merupakan parasitoid gregarius.
Enam ordo serangga yang meliputi 86 famili anggota-anggotanya tercatat sebagai
parasitoid yaitu Coleoptera, Diptera, Hymenoptera, Lepidoptera, Neuroptera, dan
Strepsiptera. Namun dua ordo parasitoid yang terpenting yaitu Hymenoptera dan Diptera.
Famili-famili dalam ordo Hymenoptera yang terbanyak mengandung parasitoid adalah
Ichneumonidae, Braconidae, dan beberapa famili yang termasuk Chalcidoidea. Sedangkan
dalam ordo Diptera famili Tachinidae merupakan famili yang terpenting. Tetrastichus schoenobii
memiliki kemampuan memarasit kepompong penggerek batang padi bergaris, penggerek
batang padi kuning dan penggerek batang padi putih. Apanteles artonae memarasit larva Chilo
sp dan Artona catoxantha. Pertanaman pisang yang terserang Erionata thrax dapat dikendalikan
oleh parasitoid Xanthopimpla sp. Parasitoid Trichogrammatoidea batrae-batrae cukup efektif
memparasit telur penggerek polong kedelai (Etiella spp).
Selama ini dari sekian banyak kelompok agens pengendalian hayati, parasitoid yang
paling sering berhasil mengendalikan hama apabila dibandingkan dengan kelompok-kelompok
agens pengendalian hayati lainnya. Dari 4769 kasus pelepasan agens pengendalian hayati
yang tercatat di dunia, hanya 1023 menggunakan predator, sebagian besar kasus adalah
pelepasan serangga parasitoid.
Keuntungan atau kekuatan pengendalian hama dengan parasitoid adalah:
a. Daya kelangsungan hidup ("survival") parasitoid tinggi.
41
b. Parasitoid hanya memerlukan satu atau sedikit individu inang untuk melengkapi daur
hidupnya.
c. Populasi parasitoid dapat tetap bertahan meskipun pada aras populasi yang rendah.
d. Sebagian besar parasitoid bersifat monofag atau oligofag sehingga memiliki kisaran inang
sempit. Sifat ini mengakibatkan populasi parasitoid memiliki respons numerik yang baik
terhadap perubahan populasi inangnya.
Di samping kekuatan pengendalian dengan parasitoid beberapa kelemahan atau
masalah yang biasanya dihadapi di lapangan dalam menggunakan parasitoid sebagai agens
pengendalian hayati adalah:
a. Daya cari parasitoid terhadap inang seringkali dipengaruhi oleh keadaan cuaca atau faktor
lingkungan lainnya yang sering berubah.
b. Serangga betina yang berperan utama karena mereka yang melakukan pencarian inang
untuk peletakan telur.
c. Parasitoid yang memiliki daya cari tinggi biasanya menghasilkan telur sedikit.
Namun keberhasilan semua teknik pengendalian hayati dengan parasitoid sangat
ditentukan oleh sinkronisasi antara fenologi inang dan fenologi parasitoid di lapangan. Fase
larva parasitoid hanya dapat hidup pada fase hidup inang tertentu terutama telur dan larva.
Kelanjutan hidup parasitoid sangat ditentukan oleh ketersediaan fase inangnya yang tepat. Bila
sewaktu induk parasitoid akan meletakkan telurnya tetapi tidak tersedia fase inang yang tepat,
parasitoid tersebut tidak akan dapat melanjutkan fungsinya sebagai pengendali populasi hama.
Agar pengendalian hayati dengan parasitoid berhasil siklus hidup dan fenologi hama dan inang
perlu dipelajari dan diketahui lebih dahulu. Misalkan untuk introduksi dan pelepasan parasitoid di
lapangan perlu diketahui banyak hal kecuali fenologi inang dan parasitoid juga tentang
pengaruh berbagai faktor lain seperti cuaca dan tindakan manusia terhadap fenologi dan
perkembangan populasi parasitoid dan inangnya.
Serangga predator dan serangga parasitoid juga memiliki musuh alami yang berupa
parasitoid. Fenomena serangga parasitoid menyerang parasitoid lain sebagai inangnya disebut
hiperparasitasi sedangkan parasitoid tersebut disebut hiperparasitoid. Apabila kelompok
parasitoid yang memarasit hama disebut parasitoid primer maka kelompok hiperparasitoid
disebut parasitoid sekunder. Parasitoid sekunder masih mungkin diserang oleh parasitoid
tersier. Brachymeria sp yang menyerang kepompong Charops sp merupakan salah satu contoh
hiperparasitasi. Adanya parasitoid sekunder perlu diperhitungkan dalam setiap usaha
pengendalian hayati dengan menggunakan predator atau parasitoid. Perlu dicatat di sini bahwa
tidak semua parasitoid primer berguna untuk pengendalian hayati antara lain parasitoid primer
yang menyerang serangga herbivora digunakan pengendalian hayati gulma.
2. Predator
Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan, membunuh atau
memangsa binatang lainnya. Apabila parasitoid memarasit inang, predator atau pemangsa
memakan mangsa. Predator umumnya dibedakan dari parasitoid dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Parasitoid umumnya monofag atau oligofag, predator pada umumnya mempunyai banyak
inang atau bersifat polifag meskipun ada juga jenis predator yang monofag dan oligofag.
b. Predator umumnya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan mangsanya.
Namun ada beberapa predator yang memiliki ukuran tubuh yang tidak lebih besar daripada
mangsanya, contohnya semut yang mampu membawa mangsa secar berkelompok.
c. Predator memangsa dan membunuh mangsa secara langsung sehingga harus memiliki daya
cari yang tinggi, memiliki kelebihan sifat fisik yang memungkinkan predator mampu
membunuh mangsanya Beberapa predator dilengkapi dengan kemampuan bergerak cepat,
taktik penangkapan mangsa yang lebih baik daripada taktik pertahanan mangsa, kekuatan
42
yang lebih besar, memiliki daya jelajah yang jauh serta dilengkapi dengan organ tubuh yang
berkembang dengan baik untuk menangkap mangsanya seperti kaki depan belalang
sembah (Mantidae), mata besar (capung).
d. Untuk memenuhi perkembangannya parasitoid memerlukan hanya satu inang umumnya fase
pradewasa, tetapi predator memerlukan banyak mangsa baik fase pradewasa maupun fase
dewasa.
e. Parasitoid yang mencari inang adalah hanya serangga dewasa betina, tetapi predator betina
dan jantan dan juga fase pradewasa semuanya dapat mencari dan memperoleh mangsa.
f. Sebagian besar predator mempunyai banyak pilihan inang sedangkan parasitoid mempunyai
sifat tergantung kepadatan yang tinggi. Predator memiliki daya tanggap rendah terhadap
perubahan populasi mangsa sehingga fungsinya sebagai pengatur populasi hama umumnya
kurang terutama untuk predator yang polifag.
Sifat polifag memberikan keuntungan bagi predator yaitu bila populasi jenis mangsa
utama tertentu rendah, dengan mudah predator tersebut mencari mangsa alternatif untuk tetap
mampu mempertahankan hidupnya. Sifat pengaturan populasi mangsa secara tergantung
kepadatan lebih nampak pada predator yang bersifat oligofag. Respons numerik predator
terhadap perubahan populasi mangsa dinampakkan dalam bentuk perubahan reproduksi,
imigrasi, emigrasi, dan proses mortalitas. Respons fungsional predator dalam bentuk perubahan
proses fisiologi dan perilaku seperti daya cari, waktu penanganan mangsa, rasa lapar,
kecepatan pencernaan, kompetisi antar predator, dll. Sinkronisasi fenologi predator dan mangsa
tidak merupakan permasalahan utama bagi keberhasilan pemanfaatan predator sebagai agens
pengendali hayati. Hal ini berbeda dengan sinkronisasi parasitoid dan inang.
Hampir semua ordo serangga mempunyai spesies yang menjadi predator serangga lain.
Selama ini ada beberapa ordo yang anggota-anggotanya banyak merupakan predator yang
digunakan dalam pengendalian hayati. Ordo-ordo tersebut adalah Coleoptera, Neuroptera,
Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera. Beberapa famili predator yang terkenal adalah
kumbang kubah (Coleoptera: Coccinellidae), kumbang tanah (Coleoptera: Carabidae), undurundur (Neuroptera: Chrysopidae), kepik buas (Hemiptera: Reduviidae), belalang tanduk panjang
(Orthoptera: Tettigonidae), jangkerik (Orthoptera: Gryllidae), Kepinding air (Hemiptera: Vellidae),
Anggang-anggang (Hemiptera: Gerridae), capung jarum (Odonata: Coenagrionidae), semut
(Hymenoptera: Formicidae) dan dari golongan laba-laba harimau (Araneae: Lycosidae).
Banyak ahli yang mempersoalkan tentang efektivitas predator sebagai agens
pengendalian hayati apabila dibandingkan dengan parasitoid. Dari sekian banyak usaha
pengendalian hayati yang selama ini berhasil dilakukan di dunia lebih banyak menggunakan
parasitoid daripada predator. Namun hal itu tidak berarti bahwa predator kurang dapat
difungsikan sebagai agens pengendalian hayati. Keberhasilan pengendalian hayati memang
sulit untuk diduga dan dianalisis secara tepat karena kerumitan dan dinamika agroekosistem.
Predator dan parasitoid mempunyai banyak kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu untuk
meningkatkan keberhasilan pengendalian hayati kedua agens tersebut harus dimanfaatkan
secara optimal berdasarkan pada informasi dasar yang mencukupi tentang berbagai aspek
biologi dan ekologi kedua kelompok agens pengendalian hayati tersebut.
PENGENDALIAN HAYATI DENGAN PARASITOID DAN PREDATOR
Praktek pengendalian yang dilakukan sampai saat ini dapat dikelompokkan dalam 3
kategori yaitu introduksi, augmentasi, dan konservasi. Meskipun ketiga teknik pengendalian
hayati tersebut berbeda dalam sasaran dan tekniknya tetapi dalam pelaksanaan pengendalian
hayati sering digunakan secara bersama.
43
1. Introduksi
Teknik introduksi atau importasi musuh alami seringkali disebut sebagai praktek
pengendalian hayati klasik. Hal ini disebabkan karena pada tahap permulaaan sebagian besar
usaha pengendalian hayati menggunakan teknik tersebut. Usaha introduksi bertujuan untuk
mencari musuh alami hama tersebut di daerah asalnya dan memasukkannya ke daerah baru.
Di daerah asal hama tersebut mungkin tidak menjadi masalah bagi petani karena populasinya
telah dapat diatur dan dikendalikan oleh agens musuh alami setempat.
Keberhasilan penggunaan teknik introduksi dimulai dengan introduksi kumbang vedalia,
Rodolia cardinalis dari benua Australia ke California untuk mengendalikan hama kutu perisai
Icerya purchasi yang menyerang perkebunan jeruk di California. Pada waktu itu diketahui bahwa
hama kutu jeruk tersebut berasal dari benua Australia. Keberhasilan teknik introduksi ini
kemudian dicobakan pada hama-hama lain dan banyak juga yang berhasil baik secara lengkap,
substansial maupun parsial.
Di Indonesia pengendalian dengan introduksi parasitoid yang berhasil antara lain
introduksi parasitoid Pediobius parvulus dari Fiji pada sekitar tahun 1920-an ke Indonesia yang
ditujukan untuk pengendalian hama kumbang kelapa Promecotheca reichei. Pada beberapa
daerah dilaporkan bahwa parasitasi dapat mendekati 100%. Juga pemasukan parasitoid
Tetrastichus brontispae dari pulau Jawa ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara dapat berhasil
menekan populasi hama kelapa Brontispa longissima. Parasitoid telur Leefmansia bicolor
pernah dimasukkan dari pulau Ambon ke pulau Talaud, juga parasitoid Chelonus sp
dimasukkan dari Bogor ke pulau Flores untuk mengendalikan hama bunga kelapa Batrachedra
(Kalshoven, 1981). Di Indonesia kasus yang paling baru terjadi pada tahun 1986-1990 yaitu
introduksi predator Curinus coreolius dari Hawaii untuk pengendalian hama kutu loncat lamtoro
Heteropsylla sp. Meskipun telah banyak usaha introduksi musuh alami yang berhasil dilakukan
tetapi untuk menjelaskan teori dasar teknik introduksi tersebut sangat sulit karena kerumitan
mekanisme dan susunan ekosistem pertanian.
Mengingat introduksi musuh alami termasuk dalam rekayasa biologi, agar teknik ini
berhasil diperlukan banyak usaha persiapan dan studi yang mendalam terutama tentang sifat
penyebaran, sifat biologi dan ekologi spesies hama dan musuh alami yang akan diintroduksikan,
dan keadaan ekosistem setempat. Sampai saat ini upaya introduksi musuh alami ada juga yang
berhasil mengendalikan hama secara berlanjut meskipun hanya dilandasi dengan metode cobacoba atau metode "trial and error". Namun untuk peningkatan efisiensi dan efektivitas
pengendalian pendekatan semacam itu tidak dianjurkan.
Ada beberapa langkah klasik yang perlu ditempuh apabila untuk melakukan introduksi
musuh alami pada suatu tempat. Langkah-langkah tersebut dilakukan dengan urutan sbb:
a. Penjelajahan atau eksplorasi di negeri asal terutama mengenai habitat asal spesies eksotik
yang akan diimpor
b. Pengiriman parasitoid dan predator dari negeri asal mengikuti peraturan-peraturan yang
berlaku di negara asal maupun di Indonesia
c. Karantina pasca masuk parasitoid dan predator yang diimpor di dalam negeri sesuai
peraturan dan prosedur karantina yang berlaku di Indonesia
d. Perbanyakan parasitoid dan predator di laboratorium yang memenuhi syarat baik fasilitas
maupun SDMnya
e. Pelepasan dan pemapanan parasitoid dan predator yang diimpor sesuai dengan kondisi
ekologi yang menguntungkan kehidupan dan perkembangan agens pengendalian hayati
f. Evaluasi efektivitas pengendali hayati dengan menggunakan metode standar yang dibuat
oleh para ahli pengendalian hayati (metode eksklusi dan metode neraca kehidupan)
Apabila berhasil nilai manfaat yang diperoleh dari pemasukan musuh alami sangat besar
karena hasilnya mantap, mapan dan akan berumur panjang sehingga mendatangkan
44
keuntungan ekonomi dan lingkungan yang maksimal. Keuntungan penggunaan pengendalian
hayati klasik dengan intorduksi adalah:
a. Agens pengendalian hayati yang dipilih biasanya sudah mengkhususkan diri terhadap hama
sasaran dan tidak/sedikit berdampak negatif bagi organisme lain,
b. Sekali telah menetap di suatu tempat, agens pengendali tersebut akan berkembang sendiri
dan tidak diperlukan pemasukan yang berulang-ulang,
c. Tidak perlu lagi tindakan-tindakan pengendalian hama lainnya baik oleh petugas lapangan
maupun petani,
d. Semua pihak diuntungkan baik petani kaya maupun petani miskin,
e. Dari perhitungan manfaat dan biaya (Benefit Cost) sangat menguntungkan dibandingkan
penggunaan pestisida
2. Augmentasi
Teknik augmentasi atau teknik peningkatan merupakan aktivitas pengendalian hayati
yang bertujuan meningkatkan jumlah musuh alami atau pengaruhnya. Sasaran ini dapat dicapai
dengan dua cara augmentasi yaitu pertama, dengan melepaskan sejumlah tambahan musuh
alami ke ekosistem agar dengan tambahan jumlah tersebut dalam waktu singkat musuh alami
mampu menurunkan populasi hama. Cara kedua adalah dengan memodifikasikan ekosistem
sedemikian rupa sehingga jumlah dan efektivitas musuh alami dapat ditingkatkan.
Pelepasan sejumlah populasi musuh alami di ekosistem secara teknik augmentasi
sebetulnya sama juga dengan pelepasan musuh alami dengan teknik introduksi. Dengan teknik
augmentasi diharapkan populasi hama sementara waktu (satu musim atau kurang) dengan
cepat dapat ditekan sehingga tidak merugikan. Pelepasan musuh alami introduksi bertujuan
dalam jangka panjang mampu menurunkan aras keseimbangan populasi hama sehingga tetap
berada di bawah aras ekonomi. Karena itu pelepasan musuh alami secara augmentatik harus
dilakukan secara periodik. Perbedaan lain pelepasan augmentatik menggunakan musuh alami
yang sudah berfungsi di ekosistem, sedangkan pelepasan introduksi menggunakan musuh
alami yang dimasukkan dari luar ekosistem.
Pelepasan periodik menurut Stehr (1982) dapat dibedakan dalam 3 bentuk tergantung
pada maksud dan frekuensi pelepasan serta sumber musuh alami yang dilepaskan. Tiga cara
pelepasan periodik adalah:
b. Pelepasan Inokulatif
Pelepasan musuh alami dilakukan satu kali dalam satu musim atau dalam satu tahun
dengan tujuan agar musuh alami tersebut dapat mengadakan kolonisasi dan menyebar luas
secara alami dan menjaga populasi hama tetap berada pada aras keseimbangannya.
Pelepasan musuh alami di sini dimaksudkan agar secara teratur peranan dan kondisi musuh
alami tetap dipertahankan dan ditingkatkan. Secara periodik populasi musuh alami berkurang
karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai. Pengendalian hama tidak diharapkan dari hasil
kerja musuh alami yang dilepas tetapi oleh keturunannya.
c. Pelepasan Suplemen
Pelepasan musuh alami dapat dilakukan setelah dari kegiatan sampling diketahui
populasi hama mulai meninggalkan populasi musuh alaminya. Tujuan pelepasan untuk
membantu musuh alami yang sudah ada agar kembali berfungsi dan dapat mengendalikan
populasi hama.
d. Pelepasan Inundatif atau Pelepasan Massal
Apabila pada kedua cara pelepasan sebelumnya diharapkan keturunan dari individu
musuh alami yang dilepaskan yang terus berfungsi memperkuat berfungsinya kembali musuh
45
alami sebagai pengendali alami, maka pelepasan inundatif mengharapkan agar individu-individu
musuh alami yang dilepas secara sekaligus dapat menurunkan populasi hama secara cepat
terutama setelah ratusan ribu atau jutaan individu parasitoid atau predator dilepaskan.
Pelepasan inundatif parasitoid sering disebut penggunaan "insektisida biologi" karena dalam hal
ini musuh alami seakan-akan diharapkan dapat bekerja secepat insektisida kimiawi dalam
penurunan populasi hama.
Karena jumlah musuh alami yang dilepaskan sangat banyak diperlukan teknik pembiakan
massal musuh alami yang cepat, dan ekonomik. Umumnya inang bagi perbanyakan massal
musuh alami bukan serangga inang hama tetapi serangga inang alternatif yang lebih mudah
diperbanyak di ruang perbanyakan. Contoh untuk memperbanyak parasitoid telur Trichogramma
sp di laboratorium digunakan inang pengganti yaitu Sitotroga cerealia, hama yang menyerang
gabah.
Sukses yang dicapai oleh teknik inokulatif adalah dilepaskannya secara massal
parasitoid telur Trichogramma sp untuk mengendalikan berbagai hama penting seperti
penggerek pucuk tebu dan penggerek batang tebu, hama penggerek buah kapas, dll. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pelepasan 150.000 telur Trichogramma sp. per hektar dapat
menurunkan populasi dan kerusakan penggerek pucuk tebu, sedangkan untuk pengendalian
penggerek batang tebu diperlukan 250.000 telur per hektar.
Teknik pengendalian hayati lainnya agar teknik augmentasi dengan pelepasan periodik
ini berhasil diperlukan informasi yang lengkap tentang biologi dan ekologi hama dan musuh
alaminya terutama dalam menentukan tempat, waktu, frekuensi dan cara pelepasan musuh
alami.
3. Konservasi Musuh Alami
Dalam penerapan PHT konservasi musuh alami terutama pemanfaatan predator dan
parasitoid merupakan teknik pengendalian hayati yang sering dilakukan dan dianjurkan. Teknik
konservasi bertujuan menghindarkan tindakan-tindakan yang dapat menurunkan populasi
musuh alami. Banyak tindakan agronomi yang secara langsung dan tidak langsung dapat
merugikan populasi musuh alami terutama penggunaan pestisida kimia. Pengendalian hama
tanpa menggunakan pestisida atau kalau digunakan secara selektif berarti usaha konservasi
musuh alami sudah dilaksanakan. Dari hasil penelitian Settle et al. (1996) dapat diketahui
bahwa aplikasi insektisida pada permulaan musim tanam padi tidak hanya membunuh musuh
alami hama-hama padi, tetapi dapat membunuh serangga-serangga akuatik detrivora dan
pemakan plankton yang hidup di air sawah. Keberadaan serangga-serangga air tersebut sangat
bermanfaat karena menjaga populasi wereng coklat padi pada posisi yang tidak merugikan
petani. Menghindarkan aplikasi insektisida pada permulaan musim tanam padi merupakan salah
satu bentuk konservasi musuh alami yang efektif untuk pengendalian hama-hama padi di
Indonesia.
Beberapa cara konservasi musuh alami yang dapat dilakukan antara lain berupa:
1. Menekan pemakaian pestisida.
Musuh alami memiliki kepekaan terhadap pestisida lebih tinggi daripada hama sehingga
pemakaian pestisida secara terus-menerus akan memusnahkan populasi musuh alami.
Parasitoid lebih peka terhadap pestisida daripada predator.
2. Memakai sistem tanam yang lebih beraneka ragam.
Sistem tanam yang beraneka ragam akan mempengaruhi lingkungan mikro di suatu
lahan. Lingkungan akan lebih terlindung dari pengaruh buruk cuaca seperti angin dan hujan,
kelembaban lebih tinggi, dan tempat akan menjadi lebih teduh. Dengan demikian jumlah
46
serangga bermanfaat seperti musuh alami akan lebih beraneka ragam dibandingkan pada
sistem monokultur.
3. Menanam dan melestarikan tanaman berbunga.
Tanaman berbunga yang menghasilkan sari madu dan serbuk sari dapat menaikkan
kemampuan musuh alami untuk berkembang biak sehingga lebih disukai oleh parasitoid dan
predator.
4. Melestarikan tanaman liar yang mendukung inang alternatif parasitoid atau mangsa alternatif
predator.
Parasitoid atau predator akan sulit mempertahankan hidup setelah panen karena inang
utama tidak dijumpai lagi. Pelestarian tanaman liar dapat mendukung kehidupan musuh alami
sebagai inang alternatif sampai inang utama kembali tersedia sehingga musuh alami tetap
mampu menurunkan populasi hama. Adanya tanaman liar juga harus diwaspadai apabila
berpotensi menjadi tempat hidup hama di luar musim tanaman budidaya.
Sebelumnya Stehr (1982) mengemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
memodifikasi ekosistem untuk konservasi musuh alami dengan rincian sebagai berikut:
1. Perlindungan dari penggunaan pestisida kimiawi.
2. Pengembangan musuh alami yang tahan atau toleran terhadap pestisida.
3. Perlindungan atau penjagaan stadia tidak aktif musuh alami (pupa atau fase diapause).
4. Menghindari praktek budidaya tanaman yang merugikan kehidupan musuh alami.
5. Penjagaan keanekaragaman komunitas setempat dan inang yang diperlukan.
6. Penyediaan inang alternatif.
7. Penyediaan makanan alami (nektar, pollen, embun madu)
8. Penyediaan suplemen makanan tambahan.
9. Pembuatan tempat berlindung musuh alami
10. Pengurangan populasi predator yang tidak diinginkan.
11. Pengendalian semut pemakan madu.
12. Pengaturan suhu yang mendukung perkembangan musuh alami.
13. Menghindarkan debu-debu yang mengganggu efektivitas musuh alami.
PERANAN PENGENDALIAN HAYATI DALAM PHT
Sesuai dengan konsepsi dasar PHT pengendalian hayati memegang peranan yang
menentukan karena semua usaha teknik pengendalian yang lain secara bersama ditujukan
untuk mempertahankan dan memperkuat berfungsinya musuh alami sehingga populasi hama
tetap berada di bawah aras ekonomik. Dibandingkan dengan teknik-teknik pengendalian yang
lain terutama pestisida kimia, pengendalian hayati memiliki tiga keuntungan utama yaitu
permanen, aman, dan
ekonomi.
Arti permanen di sini karena apabila pengendalian hayati berhasil, musuh alami telah
menjadi lebih mapan di ekosistem dan selanjutnya secara alami musuh alami akan mampu
menjaga populasi hama dalam keadaan yang seimbang di bawah aras ekonomi dalam jangka
waktu yang panjang.
Pengendalian hayati aman bagi lingkungan karena tidak memiliki dampak samping
terhadap lingkungan terutama terhadap serangga atau organisme bukan sasaran. Karena
musuh alami biasanya adalah khas inang. Meskipun pernah dilaporkan kasus terjadinya
47
ketahanan suatu jenis hama terhadap musuh alami antara lain dengan membentuk kapsul
dalam tubuh inang, namun kejadian tersebut sangat langka.
Pengendalian hayati juga relatif ekonomis karena begitu usaha tersebut berhasil petani
tidak memerlukan lagi tambahan biaya khusus untuk pengendalian hama, petani kemudian
hanya mengupayakan agar menghindari tindakan-tindakan yang merugikan perkembangan
musuh alami.
Kesulitan dan permasalahan utama dalam penerapan dan pengembangan pengendalian
hayati adalah modal investasi permulaan yang besar yang harus dikeluarkan untuk kegiatan
eksplorasi, penelitian, pengujian dan evaluasi terutama yang menyangkut berbagai aspek dasar
baik untuk hama, musuh alami maupun tanaman. Aspek dasar dapat meliputi taksonomi,
ekologi, biologi, siklus hidup, dinamika populasi, genetika, fisiologi, dll. Identifikasi yang tepat
baik untuk jenis hama maupun musuh alaminya merupakan langkah permulaan yang sangat
penting. Apabila identifikasi kurang benar kita akan memperoleh kesulitan dalam mempelajari
sifat-sifat kehidupan musuh alami dan langkah-langkah kegiatan selanjutnya.
Kecuali diperlukan modal, fasilitas yang lengkap juga diperlukan sumber daya manusia
terutama para peneliti yang berkualitas dan berpendidikan khusus dan berdedikasi tinggi sesuai
dengan yang diperlukan untuk pengembangan teknologi pengendalian hayati. Sampai saat ini
tenaga-tenaga ahli dengan kualifikasi demikian masih sangat jarang tersedia di Indonesia.
Meskipun ada beberapa ahli yang berpendapat bahwa untuk pengendalian hayati yang penting
adalah adanya tenaga peneliti yang berpengalaman dan berdedikasi tinggi serta cukup memiliki
rasa seni dan intuisi, namun bagaimanapun untuk keberhasilan pengendalian hayati dalam
kerangka PHT diperlukan juga dasar pengetahuan dan teknologi yang mantap.
B. Patogen Serangga
Tujuan:
1. Mempelajari dan memahami berbagai kelompok dan jenis patogen serangga sebagai agens
pengendalian hayati
2. Mempelajari dan memahami strategi dan cara pemanfaatan patogen serangga untuk
pengendalian hama
3. Mempelajari dan memahami kelemahan dan kekuatan patogen serangga sebagai agens
pengendalian hayati
Materi:
JENIS-JENIS JASAD RENIK PATOGENIK
Serangga seperti juga binatang lainnya dalam hidupnya diserang oleh banyak patogen
atau penyakit yang berupa virus, bakteri, protozoa, jamur, rikettsia dan nematoda. Beberapa
penyakit dalam kondisi lingkungan tertentu dapat menjadi faktor mortalitas utama bagi populasi
serangga, tetapi ada banyak penyakit yang pengaruhnya kecil terhadap gejolak populasi
serangga. Serangga yang terkena penyakit menjadi terhambat pertumbuhan dan
pembiakannya. Pada keadaan serangan penyakit yang parah serangga terserang akhirnya mati.
Saat ini dikenal lebih dari 2000 jenis patogen yang menginfeksi serangga dan jumlah itu
mungkin baru sebagian kecil dari jenis patogen serangga di muka bumi.
Oleh karena kemampuannya membunuh serangga hama sejak lama patogen digunakan
sebagai agens pengendalian hayati (biological control agents). Penggunaan patogen untuk
pengendalian hama tercatat pada abad ke-18 yaitu pengendalian hama kumbang moncong
pada bit gula, Cleonus punctiventus dengan menggunakan sejenis jamur. Berikut secara singkat
48
diuraikan beberapa kelompok jasad renik yang saat ini sudah banyak dan sering digunakan
sebagai agens pengendalian hayati.
1. Virus
Sampai saat ini kurang lebih 1500 virus telah berhasil diisolasi dan diidentifikasikan dari
serangga dan binatang artropoda lainnya. Virus-virus artropoda sebagian besar masuk dalam
genera Nucleopolyhedrovirus, Granulovirus, Iridovirus, Entomopoxvirus, Cypovirus dan
Nodavirus. Dari keenam genera ini genus NPV (Nucleopolyhedro virus) merupakan genus
terpenting karena sekitar 40% jenis virus yang dikenal menyerang serangga termasuk dalam
genus ini. Selain NPV ada kelompok virus lainnya yaitu GV (Granulovirus), CPV (Cytoplasmic
Polyhidrosis Virus) dan kelompok lainnya yang lebih kecil jumlahnya.
NPV pada umumnya menyerang paling banyak pada ordo Lepidoptera (86%) dan sedikit
pada ordo Hymenoptera (7%) serta ordo Diptera (3%). Selain itu virus juga telah diketahui
menyerang ordo Coleoptera, Trichoptera, dan Neuroptera. Berbagai virus NPV mempunyai
prospek untuk digunakan dalam pengendalian hayati adalah NPV yang diisolasi dari genusgenus Spodoptera, Helicoverpa, Trichoplusia, Plusia, Pectinophora, Neodiprion, Melacosoma,
Agrotis, Chilo, dll. Banyak genus serangga tersebut yang merupakan hama penting di
Indonesia.
Beberapa keunggulan penggunaan NPV antara lain memiliki inang sangat spesifik,
mampu menginfeksi serangga yang telah resisten terhadap insektisida, relatif persisten di
pertanaman dan tanah, serta tidak meninggalkan residu beracun di alam. Virus NPV dicirikan
dengan adanya inclusion bodies yang disebut polihedra atau PIB (“polihedric inclusion body”).
PIB dibentuk oleh protein dan mengandung beberapa nukleokapsid atau partikel-partikel virus
atau virion. Virion NPV berbentuk batang yang berukuran panjang antara 200-400 nm dengan
diameter 20-50 nm. Di dalam tubuh larva Lepidoptera virus berkembang terutama di nuklei selsel darah, hipodermis, jaringan lemak dan lapisan epithel saluran trachea.
Larva serangga yang terinfeksi oleh virus pada umumnya melemah pada saluran
pencernaan makanan sewaktu larva makan bagian tanaman yang telah mengandung polihedra.
Selain itu virus juga dapat masuk ke tubuh serangga sewaktu meletakkan telur atau melalui
bagian tubuh yang terluka mungkin oleh serangan musuh alami. Virus juga dapat ditransmisikan
dari induk yang telah terinfeksi pada keturunannya melalui telur.
Apabila virus telah masuk ke dalam tubuh serangga, polihedra NPV akan larut dan pecah
serta melepaskan partikel-partikel virus yang kemudian memasuki sel-sel bagian perut serangga
dan akhirnya memperbanyak diri. Setiap sel yang terinfeksi virus, nukleusnya membengkak dan
dipenuhi oleh masa padat yang disebut viroplan. Proses perbanyakan nukleokapsid berjalan
dengan cepat sehingga terbentuklah banyak polihedra yang memenuhi seluruh sel tubuh
serangga akhirnya mengakibatkan kematian. Proses masuknya virus ke tubuh serangga sampai
dipenuhinya sel-sel tubuh serangga oleh virus berjalan antara 4 hari sampai 3 minggu
tergantung pada jenis NPV, jenis serangga inang, jumlah polihedra yang masuk, instar larva
yang mulai terinfeksi dan keadaan suhu.
Larva yang terserang virus NPV dapat dilihat dari gejala serangan yang antara lain
berupa larva semakin malas bergerak, pertumbuhannya terhambat, kulit berganti warna menjadi
semakin pucat dan memutih seperti susu, dan larva bergerak ke pucuk tanaman. Larva yang
mati karena virus posisi tubuhnya seperti patah dan menggantung pada bagian tanaman.
Penyebaran virus ini melalui berbagai cara dan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain
cuaca. Virus telah berada di tanaman dan telah dapat disebarkan oleh angin dan hujan.
Beberapa jenis predator termasuk burung dan parasitoid dapat juga menjadi agens penyebaran
virus.
49
Aplikasi virus untuk pengendalian hama sebagian besar baru dalam tahap pengkajian
laboratorium sedangkan di lapangan masih sangat terbatas. Kendala utama dalam perbanyakan
virus diantaranya belum berkembangnya teknik perbanyakan dan penggunaan pakan buatan.
Teknik rekayasa genetika diharapkan mampu memacu perkembangan dan perluasan aplikasi
virus sebagai agens pengendalian hayati.
2. Jamur Entomopatogenik
Kelompok jenis jamur yang menginfeksi serangga dinamakan jamur entomopatogenik.
Saat ini telah dikenal lebih dari 750 spesies jamur entomopatogenik dari sekitar 100 genera
jamur. Tabel 1 menunjukkan berbagai genus jamur penting yang dapat menjadi patogen
serangga.
Tabel 1. Kelompok Jamur Patogen Serangga yang Umum Menurut Sistematikanya
Subdivisi
Kelas
Ordo
Genus
Contoh Inang
Mastigomycotina
Zygomycotina
Ascomycotina
Deuteromycotina
Chytridiomycetes
Zygomycetes
Pyrenomycetes
Plectomycetes
Hypomycetes
Blastocladiales
Entomophthorales
Spaeriales
Ascosphaerales
Moniliales
Coelomomyces
Enthomophthora
Cordyceps
Ascophaera
Beauveria
Metarhizium
Nomuraea
Paecilomyces
Verticillium
Hirsutella
Sorosporella
Spicaria
Lalat hitam
Nilaparvata lugens
Setora nitens
Aphis sp.
Nilaparvata lugens
Oryctes rhinoceros
Helicoverpa zea, S. litura
Diaphorina citri
Aleurodicus destructor
Plutella xylostela
Berbagai ulat grayak
Helopeltis antonii
Sumber: Tanada dan Kaya, 1993
Berbeda dengan virus, jamur patogen masuk ke dalam tubuh serangga tidak melalui
saluran makanan tetapi langsung masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau integumen. Setelah
konidia jamur masuk ke dalam tubuh serangga, jamur memperbanyak dirinya melalui
pembentukan hife dalam jaringan epikutikula, epidermis, hemocoel, serta jaringan-jaringan
lainnya. Pada akhirnya semua jaringan dipenuhi oleh miselia jamur. Disamping itu ada beberapa
jenis jamur yang mempengaruhi pigmentasi serangga dan menghasilkan toksin yang sangat
mempengaruhi fisiologi serangga. Karena pengaruh infeksi jamur terhadap pembentukan
pigmen, larva atau instar serangga yang terserang jamur memperlihatkan perubahan warna
tertentu seperti warna merah muda dan merah.
Proses perkembangan jamur dalam tubuh inang sampai inang mati berjalan sekitar 7
hari. Setelah inang terbunuh, jamur membentuk konidia primer dan sekunder yang dalam
kondisi cuaca yang sesuai konidia tersebut muncul keluar dari kutikula serangga. Konidia akan
menyebarkan sporanya melalui angin, hujan, air, dll.
Penyebaran dan infeksi jamur sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
kepadatan inang, kesediaan spora, cuaca terutama angin dan kebasahan. Kebasahan tinggi
dan angin kencang sangat membantu penyebaran konidia dan pemerataan infeksi patogen
pada seluruh individu pada populasi inang.
Saat ini jamur Metarhizium anisopliae telah digunakan secara luas di Indonesia untuk
pengendalian hama Oryctes rhinoceros yang menyerang kelapa, wereng coklat, ulat jengkal
(Ectropis bhurmitra). Jamur ini juga sudah dikembangkan untuk pengendalian hama wereng
daun, penggerek batang padi, hama putih palsu, walang sangit dan kepinding tanah. Jamur
Beauveria bassiana telah dicoba untuk pengendalian hama wereng padi coklat dan hama
penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei). Mortalitas Helopeltis sp dapat mencapai 98%
setelah disemprot dengan B. bassiana, bahkan hama penting pada kelapa sawit, Darna
catenata mampu dikendalikan oleh jamur ini hingga 100%. Pengendalian dengan menggunakan
50
jamur Hirsutella citriformis dapat menurunkan populasi Diaphorina citri hingga 62%. Penurunan
populasi mencapai 82% dengan jamur Paecilomyces fumosoroseus terhadap jenis hama yang
sama. Hama wereng coklat dapat dikendalikan dengan menggunakan jamur Enthomopthora sp.
Ulat api Setora nitens mampu ditekan perkembangannya dengan Cordyceps purpurea.
Helopeltis sp. dapat dikendalikan dengan jamur Spicaria sp. Jamur Verticillium mampu menekan
populasi Scotinophora coartata, Aphis, dan kutu putih Aleurodichus destructor.
Penggunaan pestisida baik insektisida maupun fungisida untuk mengendalikan hama dan
penyakit ternyata sangat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan jamur patogenik
serangga. Banyak laporan membuktikan pestisida dapat menghambat perkecambahan konidia
primer dan pengurangan pelepasan konidia sekunder berikutnya.
3. Bakteri
Bakteri yang menyerang serangga dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu bakteri
yang tidak membentuk spora dan bakteri pembentuk spora. Kelompok pertama mempunyai
peranan sebagai faktor mortalitas alami yang penting, tetapi karena sifatnya yang kosmopolitan
sukar digunakan sebagai agens pengendalian hayati.
Kelompok bakteri yang lebih penting adalah bakteri pembentuk spora yang pada saat ini
telah banyak digunakan sebagai insektisida mikrobia. Dua jenis bakteri patogen yang penting
Bacillus popiliae dan Bacillus thuringiensis. Bacillus popiliae menyebabkan gejala seperti
penyakit susu yang menyerang kumbang Jepang Popiliae japonica dan kumbang skarabid
lainnya. Bacillus thuringiensis sangat efektif digunakan untuk pengendalian larva ordo
Lepidoptera, dan larva nyamuk. B. fibourgenesis dapat dipakai pada hama uret Melolontha
melolontha. Beberapa famili bakteri yang berpotensi sebagai sumber alternatif baru patogen
serangga di masa depan telah banyak ditemukan diantaranya Pseudomonadaceae,
Enterobacteriaceae, Lactobacillaceae, Micrococaceae, Bacillaceae (Tabel 2).
No
1
2
3
4
5
Tabel 2. Beberapa genera bakteri patogen serangga
Macam bakteri
Serangga peka
Pseudomonadaceae
P. aeruginosa
P. septica
Enterobacteriaceae
E. aerogenes
P. P. vulgaris
Q. P. mirabilis
Lactobacilliaceae
Diplococcus spp.
Micrococaceae
Micrococcus spp.
Bacillaceae
Bacillus popilliae
B. cereus
Belalang
Lepidoptera
Belalang
Kecoa
Lepidoptera
Uret
Lepidoptera
Studi tentang Bacilus thuringiensis (Bt) saat ini sangat menarik dan berkembang sangat
cepat. Telah diketahui bakteri ini terdiri atas banyak strain yang berbeda sifatnya. Dikenal lebih
dari 700 varietas atau strain Bt, dan penemuan varietas atau strain Bt baru terus berlanjut.
Strain Bt diklasifikasikan menjadi 29 subspesies dan lebih dari 40 inklusi kristalin (δ-endotoksin)
gen-gen protein berhasil diisolasi. Bakteri ini bersifat selektif terhadap serangga sasaran dan
ramah lingkungan. Karena sifat itulah maka banyak perusahaan pestisida tertarik untuk
memformulasikannya.
Bt dalam sporulasi di dalam tubuh serangga membentuk kristal yang mengandung
protein beracun atau endotoksin. Bila spora dan kristal bakteri dimakan oleh serangga yang
51
peka maka terjadi paralisis yang mengakibatkan kematian inang. Kristal bakteri akan melarut
dalam saluran pencernaan, dalam jaringan tersebut bakteri mengeluarkan toksin yang dapat
mematikan serangga. Dari kristal Bt paling sedikit telah diketahui adanya 4 jenis racun atau
toksin.
Bila larva muda atau larva tua terkena Bt dapat kita lihat adanya reaksi pertama yang
cepat seperti kesakitan, kemudian dalam beberapa waktu larva tidak mau makan dan tidak aktif.
Tubuh kemudian menjadi lemah dan lembek. Kematian larva dapat terjadi dalam kurun waktu
dalam beberapa jam sampai 4 5 hari setelah infeksi pertama tergantung pada serotipe atau
strain Bt dan kepekaan serangga inang.
Meskipun Bt telah banyak dipasarkan dengan berbagai nama dagang tetapi masih
memerlukan banyak kegiatan pengembangan berhubung karena banyak strain baru ditemukan
dan adanya sifat-sifat serangga yang khas baik ketahanannya terhadap strain tertentu maupun
kepekaannya (Tabel 3).
Tanaman inang hama juga kelihatannya mempengaruhi keberhasilan Bt dalam
menginfeksi serangga inangnya. Salah satu kelemahan dari formulasi pestisida ini adalah
keterbatasan dalam mencapai sasaran. Insektisida hanya aktif apabila termakan oleh hama
sasaran. Bahan aktifnya tidak mampu menembus kutikula serangga maupun jaringan tanaman.
Dengan demikian insektisida ini belum mampu mengendalikan hama yang berada di dalam
jaringan tanaman seperti penggerek batang padi, penggerek buah kapas.
No
1
2
Tabel 3. Beberapa produk Bt yang sudah dipasarkan
Strain
Merk dagang
Serangga sasaran
Kurstaki
Dipel WP, Thuricide Lepidoptera
HP, Bactospeine WP,
Condor F
Aizawai
Bacillin WP, Bite WP, Lepidoptera
Turex WP, Florbac FC
Munculnya masalah resistensi hama terhadap penggunaan B. thuringiensis belum
banyak dilaporkan. P. xylostella strain Lembang dilaporkan telah resisten terhadap insektisida
Dipel WP, Thuricide WP dan Thurex WP, namun P. xylostella strain Garut masih rentan
terhadap B. thuringiensis. Seleksi ke arah timbulnya resistensi kemungkinan dapat terjadi
apabila pemanfaatan teknologi ini tidak dilakukan secara tepat.
4. Protozoa dan Rikettsia
Spesies-spesies protozoa yang patogenik terhadap serangga pada umumnya termasuk
dalam sub kelompok mikrosporodia. Telah dapat dikenal lebih dari 250 spesies mikrosporodia
yang menyerang serangga. Tiga jenis mikrosporodia antara lain Nosema locustae, N.
acridophagus, dan N. cuneatum telah dijadikan sebagai agens hayati untuk mengendalikan
hama belalang khususnya di Amerika. Jenis Coccidia mampu menginfeksi hama gudang
Tribolium confusum hingga 68%. Kelompok protozoa ini ternyata sangat potensial untuk
mengendalikan hama Sexava sp. Leptomonas pyrhocoris dari golongan Mastigophora dapat
menurunkan populasi kepinding, Malpighamoeba locusta dari jenis Amoeba berpotensi terhadap
belalang sedangkan Nosema bombyces yang pertama kali diisolasi dari ulat sutera (Bombyx
mori) berpotensi untuk mengendalikan beberapa hama penting seperti Spodoptera litura.
Penyebaran mikrosporodia melalui makanan dan dipindahkan dari induk yang terinfeksi
ke keturunannya. Pengaruh mikrosporodia terhadap kehidupan inangnya relatif lambat dan
gejala luarnya sangat bervariasi. Mikrosporodia tersebar luas yang secara alami dapat menjadi
faktor mortalitas yang penting bagi serangga inangnya.
52
Jenis rikettsia banyak menyerang kumbang. Kematian akibat rikettsia baru terjadi pada 14 bulan setelah aplikasi atau lebih lama dibandingkan kematian akibat agens hayati yang lain
seperti jamur, bakteri dan nematoda. Walaupun demikian patogen jenis ini memiliki peluang
yang besar untuk dijadikan agens pengendalian hayati khususnya di Indonesia. Rikettsia
mampu menyebabkan kematian pada Popillia japonica, Melolontha melolontha dan Oryctes
rhinoceros.
5. Nematoda
Disamping virus, jamur, bakteri, dan protozoa juga ada banyak spesies nematoda yang
bersifat parasitik terhadap serangga baik yang bersifat parasit obligat maupun fakultatif. Dari 19
famili nematoda yang menyerang serangga, Mermithidae merupakan famili yang terpenting dan
tersebar (terdiri atas 50 genera dan 200 spesies). Nematoda muda meninggalkan telur dan
masuk ke dalam tubuh serangga melalui kutikula dan kemudian masuk ke dalam hemocoel.
Setelah berganti kulit beberapa kali di dalam tubuh serangga nematoda dewasa keluar dari
tubuh serangga untuk kawin dan menyebar. Serangga inang mati sebelum atau sesudah
nematoda meninggalkan tubuh inangnya.
Jenis nematoda entomopatogen lainnya adalah Heterorhabditis spp dan Steinernema
spp. Kedua nematoda ini bersimbiosis dengan bakteri. Inang yang terserang nematoda akan
mengalami septisemia dan akhirnya mati. Nematoda masuk ke dalam tubuh serangga melalui
lubang-lubang alami serangga seperti mulut, anus dan spirakel. Untuk selanjutnya nematoda
menuju ke saluran pencernaan kemudian melepaskan bakteri simbion yang bersifat racun.
Dalam beberapa jam bakteri tersebut melakukan replikasi dan akhirnya menyebar dan meracuni
tubuh serangga.
Serangga akan mengalami kematian dalam waktu 24-48 jam setelah aplikasi. Tubuh
serangga akan lemas, terjadi penurunan aktivitas, dan terjadi perubahan warna tubuh menjadi
merah kecoklatan jika terserang Steinernema spp dan hitam jika terserang Heterorhabditis spp.
Nematoda akan berkembang biak di dalam tubuh serangga inang sampai menghasilkan
keturunan yang sangat banyak. Nematoda akan memasuki fase reproduktif yaitu
memperbanyak keturunan apabila populasi nematoda dalam tubuh inang rendah sedangkan
apabila populasi tinggi akan memasuki fase infektif. Nematoda stadium ketiga atau sering
disebut juvenil infektif akan keluar dari tubuh serangga dan berusaha untuk mencari inang baru.
Juvenil infektif mampu bertahan hidup lama sampai memperoleh inang kembali dan fase ini
merupakan satu-satunya fase yang bersifat infektif terhadap serangga inang.
Beberapa kelebihan dari penggunaan nematoda entomopatogen ini adalah
kemampuannya dalam mematikan inang yang relatif cepat, memiliki kisaran inang yang luas
diantaranya Lepidoptera, Coleoptera, Hymenoptera dan Diptera, tidak menyebabkan resistensi
hama, tidak berbahaya bagi lingkungan, tidak berbahaya bagi mamalia dan vertebrata serta
kompatibel dengan pengendalian lain.
Jenis Steinernema spp telah terbukti mampu mengendalikan lebih dari 100 spesies
serangga hama terutama ordo Lepidoptera dan Coleptera. Steinernema carpocapsae dapat
mengendalikan hama penggerek (Schirpophaga sp, Chilo sp), Helicoverpa armigera hingga
65%. Pada pengujian yang lain, Steinernema spp mampu menyebabkan kematian Spodoptera
exigua sampai 98%, Spodoptera litura 99% bahkan 100% untuk mengendalikan Crocidolomia
binotalis. S. carpocapsae juga telah terbukti memiliki kemampuan mengakibatkan mortalitas
pada Cylas formicarius.
STRATEGI PENGENDALIAN HAYATI DENGAN PATOGEN HAMA
Patogen serangga dapat digunakan dalam PHT dengan beberapa strategi atau cara
yaitu:
53
1. Memanfaatkan Secara Maksimal Proses Pengendalian Alami oleh Patogen Hama
Ada banyak jenis patogen seperti virus dan jamur yang mampu menekan populasi hama
secara alami sehingga populasi tetap berada di bawah aras ekonomi. Kita harus menjaga
ekosistem sedemikian rupa sehingga patogen dapat melaksanakan fungsinya secara "density
dependent". Untuk itu keadaan dan perkembangan patogen hama yang penting perlu terus
dipantau dan menjaga tindakan-tindakan yang mengurangi berfungsinya patogen hama dapat
dibatasi sekecil mungkin. Salah satu tindakan yang merugikan adalah penggunaan pestisida.
Oleh karena itu pestisida sebaiknya hanya digunakan apabila berbagai agens pengendalian
alami (termasuk patogen hama) tidak mampu menghentikan laju peningkatan populasi hama
yang berhasil melampaui Ambang Pengendalian.
2. Introduksi dan Aplikasi Patogen Hama sebagai Faktor Mortalias Tetap
Prinsip penggunaan patogen hama di sini sama dengan introduksi serangga parasitoid
atau predator untuk menekan populasi hama untuk jangka waktu yang panjang. Caranya adalah
dengan memasukkan dan menyebarkan patogen pada suatu ekosistem sedemikian rupa
sehingga patogen tersebut mantap di ekosistem yang baru ini sehingga kemudian menjadi
faktor mortalitas tetap bagi spesies hama yang dikendalikan. Cara ini yang paling berhasil
dilakukan untuk mengendalikan hama yang nilai Ambang Pengendalian atau Ambang Ekonomi
cukup tinggi karena untuk pengembangan permulaan bagi patogen diperlukan kepadatan
populasi inang yang cukup.
3. Aplikasi Patogen Hama sebagai Insektisida Mikrobia
Sasaran aplikasi patogen hama dengan cara ini adalah guna menekan populasi hama
untuk sementara waktu. Oleh karena itu aplikasi patogen perlu dilakukan beberapa kali sama
prinsipnya dengan penggunaan insektisida sintetik organik. Saat ini beberapa jenis patogen
seperti NPV dan Bacillus thuringiensis telah dipasarkan dengan nama dagang tertentu.
Berbeda dengan insektisida sintetik organik maka insektisida mikrobia mempunyai
beberapa keuntungan yaitu bersepektrum sempit atau khas inang dan aman bagi lingkungan
hidup serta tidak membahayakan binatang bukan sasaran. Kecuali itu apabila keadaan
lingkungan memungkinkan patogen hama yang diaplikasikan pada ekosistem mungkin dapat
menjadi pengendali alami hama yang permanen di ekosistem tersebut.
PEMBIAKAN MASSAL AGENS PENGENDALIAN HAYATI
Pengendalian dengan agens hayati dalam skala luas memerlukan jumlah agens hayati
yang relatif mencukupi sehingga perlu usaha pembiakan massal. Pembiakan massal dilakukan
untuk mengembangbiakkan agens hayati dengan menggunakan media alami maupun media
buatan dalam habitat atau lingkungan yang dibentuk sesuai lingkungan aslinya sehingga
diperoleh sejumlah tertentu sesuai kebutuhan. Pada saat ini usaha pembiakan massal agens
hayati telah banyak dilatihkan dan dilakukan di Indonesia baik oleh laboratorium dinas maupun
oleh para kelompok petani terutama yang telah mengikuti SLPHT. Namun dalam pembiakan
massal perlu adanya tahap-tahap khusus yang harus diperhatikan dan dilakukan sehingga nanti
akan diperoleh hasil yang memuaskan. Tahapan atau kaidah-kaidah pembiakkan tersebut
berfungsi sebagai pedoman utama dalam melaksanakan usaha pembiakan. Ada 10 tahapan
pembiakan massal agens hayati atau kontrol kualitas pengembangbiakkan agens pengendalian
hayati yang diterapkan oleh Balai Penelitian Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) di
Propinsi DIY sebagai berikut:
1. Eksplorasi dan Koleksi
54
Eksplorasi bertujuan mencari sumber genetik baru yang berpotensi sebagai agens
pengendalian hayati. Eksplorasi dilakukan pada wilayah luas yang diperkirakan terdapat
sumber genetik baru. Serangga yang ditemukan terserang patogen dikoleksi dan selanjutnya
dimanfaatkan untuk tahapan selanjutnya.
2. Pemurnian
Pemurnian dilakukan untuk pemilihan media yang cocok dan memperoleh stok spora.
Pemurnian merupakan tahapan yang sangat penting untuk memperoleh stok spora sesuai
yang diharapkan. Dalam pemurnian ini kontaminasi sering terjadi akibat sterilisasi alat dan
ruangan yang kurang sempurna.
3. Postulat Koch
Pengujian akan memperkuat dugaan bahwa agens hayati yang ditemukan benarbenar bersifat patogenik terhadap serangga. Pengujian dilakukan pada serangga yang sama
dan dilakukan di laboratorium.
4. Perbanyakan Spora
Perbanyakan spora merupakan usaha pemilihan substrat pengganti yang cocok untuk
pengembangbiakan selanjutnya. Spora B. bassiana yang berasal dari walang sangit
(Leptocorisa acuta) mati dicoba diperbanyak pada media nasi, jagung ataupun dedak. Media
yang menghasilkan spora paling tinggi dipilih sebagai media.
5. Sporulasi
Media yang paling cocok dan menjadi pilihan adalah media yang memberikan efek
sporulasi tinggi, murah dan mudah diperoleh.
6. Viabilitas
Viabilitas merupakan kemampuan atau daya kecambah spora agens hayati. Agens
hayati dinilai baik apabila viabilitasnya 95%.
7. Uji patogenisitas
Pengujian patogenisitas yang bertujuan mengetahui konsentrasi yang tepat dan
mampu membunuh serangga sasaran biasanya dilakukan di laboratorium ataupun green
house. Pengujian tingkat konsentrasi tersebut akan menghasilkan konsentrasi efektif yang
nantinya akan menjadi pedoman rekomendasi di lapangan.
8. Uji efektivitas
Konsentrasi efektif yang diperoleh dari uji patogenisitas digunakan untuk uji efektifitas.
Pengujian ini bertujuan mencari stadia serangga yang rentan terhadap agens hayati pada
konsentrasi tertentu.
9. Uji virulensi
Agens pengendalian hayati yang sudah mengalami tahap-tahap uji tersebut sudah
dipastikan dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan serangga hama. Uji virulensi dilakukan
untuk mengetahui agens hayati tersebut virulen atau tidak baik dalam kondisi baru maupun
telah disimpan dalam media dan jangka waktu tertentu.
10. Evaluasi
Evaluasi merupakan salah satu cara penting untuk menilai keberhasilan pelepasan
agens pengendalian hayati. Evaluasi tehadap hasil yang diperoleh dilakukan segera setelah
aplikasi. Dalam evaluasi tersebut dilakukan juga peremajaan agens hayati yang sudah lama
disimpan.
CARA PENGGUNAAN PATOGEN SERANGGA DI LAPANGAN
Mengingat kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh patogen serangga maka dalam
pemanfaatan patogen sebagai agens pengendalian hayati perlu diperhatikan beberapa faktor
55
penting yang mempengaruhi tingkat keefektifan patogen terhadap serangga sasaran, antara
lain:
1. Dosis.
Dosis aplikasi minimum akan lebih baik daripada dosis aplikasi tinggi dalam peningkatan
keefektifan patogen. Dosis tinggi menyebabkan persaingan pakan dan ruang antar patogen
sejenis dan menghambat perkembangbiakan sehingga mampu menurunkan daya bunuh
terhadap serangga sasaran.
2. Waktu aplikasi
Kemapanan patogen yang merupakan makhluk hidup di lapangan sangat dipengaruhi oleh
faktor lingkungan. Dalam aplikasinya diharapkan patogen tidak terkena cahaya matahari
secara langsung karena sinar ultraviolet menyebabkan patogen tidak aktif bahkan dapat
membunuh patogen dalam waktu yang relatif cepat. Agens hayati sebaiknya diaplikasikan
pagi atau sore hari. Kelembaban tinggi lebih meningkatkan keefektifan patogen.
3. Penyelimutan
Patogen harus benar-benar melekat atau menempel atau menyelimuti bagian tanaman
maupun serangga sasaran. Dengan demikian kontak antara patogen dengan serangga
sasaran cepat terjadi. Serangga sasaran yang mengkonsumsi patogen dengan cepat
diharapkan mengalami kematian secara cepat juga.
4. Derajat kemasaman, pH
Kondisi pH pada bahan pelarut sangat mempengaruhi keefektifan patogen. Pelarut
dianjurkan memiliki derajat kemasaman yang normal (pH 7). Kondisi basa menyebabkan
delta endotoksin pada Bt akan rusak dan efektifitasnya menurun.
5. Anti mikrobiosis
Beberapa tanaman mampu menghasilkan senyawa-senyawa anti mikrobia yang dapat
mengurangi keefektifan patogen. Senyawa nikotin yang dihasilkan oleh tanaman tembakau
dapat menghambat pertumbuhan B. thuringiensis. Patogen tersebut juga terhambat
pertumbuhannya karena adanya senyawa phenol dan terpenoid pada tanaman kapas.
Senyawa alkaloid, tomatin dari tanaman tomat menghambat pembentukan koloni dan
pertumbuhan jamur patogen B. bassiana. Asam klorogenik pada tanaman tomat dapat
mengurangi efektifitas NPV dari Helicoverpa zea.
6. Hama sasaran
Semakin muda umur serangga akan semakin rentan terhadap patogen. Hama sasaran
dalam keadaan tertekan seperti sakit, kekurangan pakan, ketidakcocokan pakan, kepadatan
yang terlalu tinggi menyebabkan tingkat kerentanannya semakin tinggi. Oleh karena itu
sebelum aplikasi patogen di lapangan harus diketahui kondisi hama sasaran.
7. Kompatibilitas
Patogen sebagai agens pengendalian hayati memiliki kemampuan dapat dipadukan dengan
agens pengendalian yang lain sehingga daya bunuhnya lebih efektif dan hasilnya akan lebih
memuaskan.
8. Ketahanan inang
Spesies serangga tertentu yang rentan terhadap patogen dapat menjadi tahan dengan
bertambahnya umur dan dipengaruhi oleh faktor genetik maupun lingkungan.
56
Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman
Materi 8
PENGENDALIAN KIMIAWI
Tujuan:
1. Mempelajari dan memahami sifat dan pengelompokan pestisida khususnya insektisida
2. Mempelajari dan memahami dampak negatif penggunaan pestisida kimia
3. Mempelajari dan memahami penggunaan pestisida sebagai salah satu komponen PHT
Materi:
Pengendalian hama secara kimiawi adalah penggunaan pestisida kimia untuk
mengendalikan hama agar hama tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman yang
dibudidayakan.
Pestisida mungkin merupakan bahan kimiawi yang dalam sejarah umat manusia telah
memberikan banyak jasanya bagi keberhasilan dalam banyak bidang pembangunan termasuk
pertanian, kesehatan, pemukiman, dan kesejahteraan masyarakat. Berkat pestisida umat
manusia telah dapat dibebaskan dari ancaman penyakit manusia yang membahayakan seperti
malaria dan demam berdarah yang ditularkan oleh nyamuk. Di bidang pertanian penggunaan
pestisida mampu menekan kehilangan hasil tanaman akibat serangan hama dan penyakit yang
memungkinkan peningkatan produksi pertanian dapat dicapai. Karena keberhasilan tersebut di
dunia pertanian, pestisida seakan-akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budidaya
segala jenis tanaman baik tanaman hortikultura, pangan maupun perkebunan. Pestisida
sedemikian melekatnya pada kegiatan pertanian di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari
reaksi petani apabila menghadapi terjadinya serangan hama tentu akan menanyakan pestisida
apa yang tepat digunakan dan dimana dapat diperolehnya?
Kecenderungan peningkatan penggunaan pestisida secara global sejak tahun 1960an
juga terjadi di Indonesia. Sejak dicanangkannya program pembangunan nasional di sektor
pertanian, penggunaan pestisida meningkat dengan sangat pesat. Sekitar tahun 1970 sampai
1980-an pestisida paling banyak digunakan dalam program intensifikasi pangan terutama dalam
program swasembada beras melalui program nasional BIMAS. Bila pada tahun 1970
penggunaan pestisida untuk padi kurang dari 1000 ton pada tahun 1986 pestisida untuk padi
sudah mencapai 18.000 ton. Peningkatan penggunaan pestisida ini juga terjadi pada komoditas
pertanian lainnya. Namun setelah Pemerintah mencabut subsidi pestisida pada tahun 1989
serta diterapkannya konsep PHT oleh petani padi, penggunaan pestisida khususnya insektisida
di tanaman padi cenderung menurun. Tanaman pertanian pangan di Indonesia yang saat ini
masih banyak menggunakan insektisida adalah kedelai, sayuran dataran rendah dan sayuran
dataran tinggi, sedangkan pada tanaman perkebunan adalah pada tanaman kapas. Seiring
dengan perdagangan bebas yang semakin terbuka, saat ini berbagai jenis pestisida generik
memasuki Indonesia sehingga pada tahun 2002 jumlah formulasi pestisida yang telah terdaftar
di Indonesia sudah melampaui 1000 formulasi. Jumlah pestisida yang diproduksi pada tahun
2000 sekitar 60.000 ton.
57
Meskipun pestisida kimia memiliki banyak keuntungan ekonomi bagi petani dan
masyarakat, tetapi risiko yang berupa dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan semakin
lama semakin nyata dirasakan oleh masyarakat luas. Salah satu cara agar risiko pestisida dapat
ditekan serendah mungkin yakni Pemerintah di semua negara melakukan pengaturan terhadap
semua produksi, peredaran, perdagangan, penggunaan, penyimpanan dan pengawasan
pestisida. Banyak kesepakatan dan standar pengaturan yang telah ditetapkan secara
internasional dan harus diterapkan oleh semua negara. Tujuan pengaturan pestisida oleh
pemerintah adalah untuk melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup terhadap
dampak samping penggunaan pestisida, serta untuk menjaga tingkat efektivitas pestisida dalam
pengendalian hama sasaran.
A. PENGELOMPOKAN PESTISIDA
Kata insektisida secara harafiah berarti pembunuh serangga yang berasal dari kata
insekta = serangga dan kata Latin cida yang berarti pembunuh. Insektisida merupakan salah
satu kelompok pestisida. Pestisida adalah pembunuh hama yang berasal dari kata pest = hama
dan cida = pembunuh. Sedangkan kelompok pestisida lainnya antara lain rodentisida
(pembunuh rodent tikus), akarisida (pembunuh tungau), nematisida (pembunuh nematoda),
fungisida (pembunuh jamur), herbisida (pembunuh gulma). Tabel 4 menjelaskan nama
kelompok pestisida berdasar pada kelompok organisme sasaran. Karena jumlah kelompok,
jenis dan produksi insektisida saat ini lebih banyak daripada kelompok-kelompok pestisida lain,
biasanya yang dmaksud dengan pestisida adalah insektisida.
Tabel 4. Pengelompokan Pestisida Berdasar pada Kelompok Hama yang Dikendalikan
Nama kelompok
No
Kelompok hama yang dikendalikan
pestisida
1. Akarisida
Tungau, pinjal dan laba-laba
2. Adultisida
Serangga dewasa
3. Algisida
Alga
4. Arborisida
Pepohonan, semak-semak
5. Avisida
Burung
6. Bakterisida
Bakteri
7. Fungisida
Jamur
8. Insektisida
Serangga dan juga pinjal dan tungau
9. Ixosida
Pinjal
10. Larvisida
Larva
11. Mitisida
Tungau, pinjal, dan laba-laba
12. Moluskisida
Moluska terutama siput dan keong
13. Nematisida
Nematoda
14. Ovisida
Telur
15. Piscisida
Ikan
16. Predasida
Vertebrata hama
17. Rodentisida
Tikus
18. Silvisida
Pepohonan dan semak
19. Termitisida
Rayap, semut
PEMBERIAN NAMA PESTISIDA
58
Nomenklatur atau cara pemberian nama suatu jenis pestisida ada ketentuannya. Suatu
jenis pestisida ditandai oleh 3 cara penamaan yaitu nama umum, nama dagang, dan nama
kimiawi. Nama dagang ditetapkan oleh produsen atau formulator insektisida yang membuat
dan memperdagangkan pestisida tersebut. Karena satu jenis pestisida dapat dibuat oleh
beberapa perusahaan sehingga untuk pestisida tersebut mempunyai beberapa nama dagang.
Nama kimia merupakan nama yang digunakan oleh ahli kimia dalam menjelaskan suatu
senyawa kimia sesuai dengan rumus bangun senyawa insektisida tersebut.
Suatu contoh diambil jenis insektisida yang sampai saat ini masih diguanakan untuk
pengendalian penggerek batang padi di Indonesia.
1. Nama umum
: karbofuran
2. Nama dagang
: Furadan®, Currater®, Indofur®, Dharmafur®.
3. Nama kimia
: 2,3-dihidro 2,2,-dimeti l-7-benzonil metilkarbamat
4. Rumus bangun senyawa tersebut adalah sbb:
Gambar 23. Rumus bangun Karbofuran
Dalam praktek penggunaan sehari-hari terutama oleh petani, biasanya nama dagang
lebih populer. Dalam forum ilmiah seperti publikasi seminar atau tesis, dll. digunakan nama
umum. Dalam pembicaraan khusus tentang aspek-aspek kimiawi pestisida nama kimia pestisida
digunakan.
PENGGOLONGAN INSEKTISIDA
Insektisida kimia dapat dikelompokan dalam beberapa cara menurut pengaruhnya
terhadap serangga sasaran, menurut cara masuknya dalam tubuh serangga, dan menurut sifat
kimianya.
1. Pengelompokan Insektisida Berdasarkan Pengaruhnya Terhadap Hama
Insektisida dapat dikelompokkan menurut pengaruh yang merugikan bagi hama sasaran
yang akhirnya dapat menurunkan populasi hama. Pengelompokan insektisida menurut
pengaruh pada serangga sasaran seperti terlihat pada Tabel 5.
2. Pengelompokan Menurut Cara Masuk ke Tubuh Serangga
Dilihat dari cara masuknya (mode of entry) ke dalam tubuh serangga insektisida dapat
dibagi menjadi 3 kelompok yaitu racun perut, racun kontak, dan fumigan.
a. Racun Perut (stomach poison)
Insektisida memasuki tubuh serangga melalui saluran pecernaaan makanan (perut).
Serangga terbunuh bila insektisida tersebut termakan oleh serangga. Jenis-jenis insektisida
lama umumnya merupakan racun perut, sedangkan insektisida modern sangat sedikit yang
merupakan racun perut.
59
b. Racun Kontak (contact poison)
Insektisida memasuki tubuh serangga bila serangga mengadakan kontak dengan
insektisida atau serangga berjalan diatas permukaan tanaman yang telah mengandung
insektisida. Di sini insektisida masuk ke dalam tubuh serangga melalui dinding tubuh.
Insektisida modern pada umumnya merupakan racun kontak. Apabila permukaan tanaman
yang mengandung insektisida tersebut dimakan serangga, racun tersebut juga memasuki
tubuh serangga melalui saluran pencernaan. Contoh insektisida racun kontak adalah BHC
dan DDT.
Tabel 5. Pengelompokan Pestisida Berdasarkan Pengaruhnya pada Serangga
Kelompok Pestisida
Pengaruh pada hama
Antifidan
Menghambat nafsu makan sehingga serangga kelaparan
(anti-feedant)
yang akan menyebabkan kematian
Antitranspiran
Mengurangi sistem transpirasi serangga
(Anti-transpirant)
Atraktan
Penarik hama, seperti atraktan seks
(attractant)
Khemosterilan
Menurunkan kemampuan reproduksi hama
(chemosterilant)
Defolian
Merontokkan bagian tanaman yang tidak diinginkan,
(defoliant)
tanpa membunuh seluruh bagian tanaman
Desikan
Mengeringkan bagian tanaman dan serangga
(desiccant)
Disenfektan
Merusak atau mematikan organisme berbahaya
(disinfectant)
Perangsang makan
Menyebabkan serangga lebih giat makan
(feeding stimulant)
Pengatur
Menghentikan, mempercepat, atau memperlambat
pertumbuhan
proses pertumbuhan tanaman atau serangga
(growth regulator)
Repelen
Mengarahkan serangga agar menjauh dari yang
(repellent)
diperlakukan
Feromon, alomon dan kairomon; zat kimia yang
Semiokimia
dikeluarkan oleh tanaman atau hewan, yang
merangsang atau menghambat perilaku serangga
Sinergis
Meningkatkan efektivitas bahan aktif
(synergist)
c. Fumigan
Fumigan merupakan insektisida yang mudah menguap menjadi gas dan masuk ke dalam
tubuh serangga melalui sistem pernafasan serangga atau sistem trachea yang kemudian
diedarkan ke seluruh jaringan tubuh. Karena sifatnya yang mudah menguap fumigan biasanya
digunakan untuk mengendalikan hama simpanan yang berada di ruang atau tempat tertutup dan
juga untuk mengendalikan hama yang berada di dalam tanah. Contoh fumigan adalah hidrogen
sianida (HCN), fosfin dan metil bromida.
3. Pengelompokan Menurut Sifat Kimianya
Pengelompokan insektisida yang paling penting adalah menurut sifat kimianya.
Insektisida kimia konvensional secara garis besar dapat dibagi menurut sifat dasar senyawa
60
kimianya yaitu dalam insektisida anorganik yaitu insektisida yang tidak mengandung unsur
Karbon dan insektisida organik yang mengandung unsur Karbon.
Insektisida-insektisida lama yang digunakan sebelum tahun 1945 umumnya merupakan
insektisida anorganik. Contoh insektisida anorganik adalah kalsium arsenat, Pb arsenat,
sodium fluorid, kriolit, dan belerang. Kelemahan insektisida anorganik adalah toksisitas tinggi
untuk mamalia termasuk manusia, residu di lingkungan lama atau persisten, fitotoksisitas tinggi,
masalah ketahanan hama terhadap insektisida, dan umumnya memiliki efikasi lebih rendah bila
dibandingkan insektisida organik sintetik.
Sedangkan insektisida kimia setelah masa Perang Dunia II setelah ditemukannya DDT
umumnya merupakan insektisida organik. Insektisida organik masih dapat dibagi menjadi
insektisida organik alami dan insektisida organik sintetik. Insektisida organik alami
merupakan insektisida yang terbuat dari tanaman (insektisida botani/nabati) dan bahan alami
lainnya. Sedangkan insektisida sintetik merupakan hasil buatan pabrik dengan melalui proses
sintesis kimiawi.
Pembagian insektisida organik sintetik konvensional menurut susunan kimia bahan aktif
(senyawa yang memilki sifat racun) terdiri dari 6 kelompok besar yaitu 1) organoklorin (OK), 2)
organofosfat (OP), 3) karbamat, 4) piretroid sintetik, 5) kloronikotinil dan 6) IGR (Insect
Growth Regulator). Kecuali 6 kelompok besar tersebut masih ada beberapa kelompok
insektisida baru yang mulai banyak digunakan dalam praktek pengendalian hama saat ini,
seperti heterosiklik, dinitrofenol, tiosianat dan sulfanat.
a. Organo Klorin (OK)
Insektisida Organo Klorin atau sering disebut Hidrokarbon Klor merupakan kelompok
insektisida sintetik yang pertama dan paling tua dan dimulai dengan ditemukannya DDT oleh
ahli kimia Swiss Paul Mueller pada tahun 1940-an. Setelah DDT ditemukan kemudian berhasil
dikembangkan banyak jenis insektisida baru dengan susunan kimia dasar yang mirip dengan
DDT dan kemudian dikelompokkan dalam golongan Hidrokarbon Klor.
Insektisida kelompok ini merupakan racun kontak dan racun perut, efektif untuk
mengendalikan larva, nimfa, dan imago dan kadang-kadang untuk pupa dan telur. Insektisida
yang termasuk OK pada umumnya memiliki toksisitas sedang untuk mamalia. Masalah yang
paling merugikan bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat adalah sifat persistensinya yang
sangat lama di lingkungan baik di tanah maupun di jaringan tanaman dan dalam tubuh hewan.
Misal di daerah sub tropis DDT dalam kurun waktu 17 tahun residunya masih 39 % yang berada
di dalam tanah, sedangkan residu endrin pada 14 tahun setelah perlakuan ternyata masih
dijumpai sebanyak 40% dari residu semula. Persistensi OK di lingkungan menimbulkan dampak
negatif seperti perbesaran hayati dan masalah keracunan khronik yang membahayakan
kesehatan masyarakat. Permasalahan lain yang timbul akibat digunakannya DDT secara besarbesaran adalah berkembangnya sifat resistensi serangga sasaran seperti nyamuk dan lalat
terhadapp DDT.
Oleh karena bahayanya insektisida golongan OK sejak tahun 1973 tidak boleh digunakan
untuk pengendalian hama pertanian di Indonesia. Sedangkan di bidang kesehatan DDT tidak
lagi digunakan untuk mengendalian vektor penyakit malaria sejak 1993.
b. Organofosfat (OP)
Insektisida OP dengan unsur P meliputi semua ester asam fosforik (H3PO4) sebagai inti
yang aktif saat ini merupakan kelompok insektisida yang terbesar dan sangat bervariasi jenis
dan sifatnya. Saat ini telah tercatat sekitar 200.000 senyawa OP yang pernah dicoba dan diuji
untuk mengendalikan serangga.
OP merupakan insektisida yang sangat beracun bagi serangga dan bersifat baik sebagai
racun kontak, racun perut maupun fumigan. Berbeda dengan OK, OP di lingkungan kurang
61
stabil sehingga lebih cepat terdegradasi dalam senyawa-senyawa yang tidak beracun. Daya
racun OP mampu menurunkan populasi serangga dengan cepat, persistensinya di lingkungan
sedang sehingga OP secara bertahap dapat menggantikan OK. Sampai saat ini OP masih
merupakan kelompok insektsida yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Kebanyakan
insektisida OP adalah penghambat bekerjanya enzim asetilkoline sterase.
OP memiliki berbagai bentuk alkohol yang melekat pada atom-atom P dan berbagai
bentuk ester asam fosforik. Ester-ester ini mempunyai kombinasi Oksigen, Karbon, Sulfur, dan
Nitrogen. OP yang dikembangkan dari kombinasi tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelompok
derivat yaitu alifatik, fenil, dan heterosiklik. Derivat alifatik meliputi insektisida-insektisida
yang antara lain TEPP, malation, dimetoat, oksidemetonmetil, dikrotofos, disulfoton,
metamidofos, triklorfon, asefat, forat, terbufos, etoprop, dikloruos, mevinfos, naled,
monotrotofos, fosfamidin. Insektisida OP yang termasuk dalam derivat fenil adalah paration,
metil paration, etil paration, stirofos, fention, fonofos, profenofos, isofenfos, fenitrotion, triazofos,
dan fentoat. Insektisida OP derivat heterosiklik banyak jenisnya. Dari kelompok ini insektisida
yang terkenal adalah diazinon dan lainnya seperti asinfos, klorpirifos , fention, fosmet, stirofos,
temefos, metidation, fosmet, kuinalfos, dll.
c. Karbamat
Karbamat merupakan insektisida yang berspektrum lebar dan telah banyak digunakan
secara luas untuk pengendalian hama tanaman. Insektisida karbamat relatif baru bila
dibandingkan dengan 2 kelompok insektisida OK dan OP. Cara karbamat mematikan serangga
sama dengan insektisida OP yaitu melalui penghambatan aktivitas enzim kolinesterase pada
sistem syaraf. Insektisida tersebut cepat terurai dan hilang daya racunnya dari jaringan
binatang, sehingga tidak terakumulasi dalam jaringan lemak dan susu seperti OK. Beberapa
karbamat memiliki toksisitas rendah bagi mamalia tetapi ada yang sangat beracun.
Pestisida karbamat dapat dikelompokkan dalam 3 kelas yaitu 1) metil karbamat dengan
bangunan cincin fenil. Yang termasuk dalam kelas ini adalah BPMC, MICP, Isokarb, dll; 2) metil
karbamat dan dimetil karbamat dengan struktur heterosiklik seperti dijumpai pada bendiokarp,
karbofuran, dioxakarb, dll; 3) metil karbamat dari oksin yang mempunyai struktur rantai.
Termasuk dalam kelas ini adalah aldikarb, metomil, dan yang lain. Aldikarb merupakan
insektisida karbamat yang paling beracun juga merupakan insektisida sistemik yang digunakan
untuk pengendalian serangga dan nematoda. Karena toksisitas sangat tinggi aldikarb sekarang
dilarang di Indonesia. Propoksur merupakan insektisida yang umum digunakan di dalam rumah
untuk pengendalian serangga rumah tangga seperti nyamuk, kecoa, lalat, dll.
d. Sintetik Piretroid (SP)
Piretroid merupakan kelompok insektisida organik sintetik konvensional yang baru
digunakan secara luas sejak tahun 1970-an dan saat ini perkembangannya sangat cepat.
Keunggulan piretroid sintetik (PS) karena memiliki pengaruh knock down atau kemampuan
menjatuhkan serangga dengan cepat dan tingkat toksisitas rendah bagi manusia dan mamalia.
Kelompok Piretroid Sintetik merupakan tiruan dari bahan aktif insektisida nabati piretrum yaitu
sinerin I yang berasal dari ekstrak bunga Chrysanthemum cinerariaefolium.
PS seringkali dikelompokan menurut generasi perkembangannya di laboratorium.
Biasanya generasi yang lanjut merupakan perbaikan sifat PS generasi sebelumnya. Sampai
saat ini sudah dikenal 4 generasi PS. Salah satu anggota generasi pertama adalah alletrin,
generasi kedua adalah resmetrin. Yang paling banyak digunakan sekarang adalah generasi PS
yang ketiga dan keempat. Generasi PS ketiga antara lain fenvalerat dan permetrin banyak
digunakan untuk pengendalian hama-hama kapas, kedelai dan sayuran. Untuk memperoleh
efektivitas yang sama dosis aplikasi inesktisida PS generasi baru lebih kecil bila dibandingkan
dengan aplikan OP dan OK. Generasi PS keempat lebih hemat lagi dibandingkan dengan
62
generasi ketiga. Untuk lahan seluas 1 ha hanya diperlukan 10-40 g bahan aktif. Beberapa PS
yang termasuk generasi keempat yang saat ini juga sudah diijinkan di Indonesia antara lain
sipermetrin, flusitrinat, fenpropatrin, fluvalinat, sihalotrin, deltametrin dan siflutrin.
Pada umumnya PS menunjukkan toksisitas rendah bagi mamalia tetapi sangat beracun
bagi ikan dan lebah. Residu PS di hasil-hasil pertanian tidak menjadi masalah. Meskipun daya
mematikan hama sasaran sangat tinggi dan PS sedikit menghadapi permasalahan lingkungan,
namun insektisida PS menghadapi permasalahan utama yaitu percepatan perkembangan
strain hama baru yang tahan.
e. Kloronikotinil
Kloronikotinil merupakan kelas baru insektisida sintetik. Bila piretroid merupakan tiruan
produk alami piretrum, kloronikotinil juga merupakan tiruan atau analog produk nikotin. Kelas
insektisida ini sampai sekarang baru diwakili oleh satu bahan aktif yaitu imidakloprid yang telah
diijinkan di Indonesia. Imidakloprid meruapakan insektisida sistemik dan kontak dengan sasaran
hama yang mempunyai tipe mulut pencucuk dan pengisap seperti aphis, wereng, trips dan kutu
daun. Juga efektif untuk mengendalikan rayap, serangga tanah dan beberapa jenis kumbang.
Karena cara aksi terhadap serangga sasaran berbeda dengan kelompok-kelompok insektisida
kimia lain, kloronikotinil dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan jenis hama yang telah
resisten terhadap kelompok/jenis insektisida tertentu.
f. Pengatur Pertumbuhan Serangga (IGR = Insect Growth Regulator)
Kelompok insektisida lain yang memiliki sifat selektivitas fisiologi yang tinggi adalah
kelompok insektisida baru yang tidak termasuk dalam kelompok insektisida konvensional.
Kelompok insektisida baru adalah yang termasuk dalam golongan IGR (Insect Growth
Regulator) atau Zat Pengatur Pertumbuhan Serangga. IGR pada hakekatnya mengganggu
aktivitas normal sistem endokrin serangga. Pengaruh IGR tersebut dapat terjadi pada waktu
perkembangan embrionik, perkembangan larva atau nimfa, metamorfosis, proses reproduksi,
ataupun perilaku diapause.
Yang termasuk dalam IGR adalah ekdison (hormon penggantian kulit), hormon juvenil
(JH), mimik atau tiruan hormon juvenil, analog hormon juvenil (JHA), antihormon juvenil serta
insektisida penghambat khitin. Agonis ekdison merupakan IGR yang paling baru tetapi sudah
cukup tersedia di pasar. Contoh IGR ini adalah tebufenozoid, metoxyfenozoid, dan
halofenozoid. Hormon juvenil yang sekarang telah dipasarkan dan digunakan untuk
pengendalian serangga di Amerika Serikat adalah metoprin, kinoprin, hidroprin, dan
venoksikarb, sedangkan insektisida penghambat sintesis khitin adalah diflubenzuron, bensoil
finil ureas, teflubenzuran, triflumuron, klorfluazuron. Sejak tahun 1986 untuk pengendalian hama
wereng padi terutama wereng coklat kita mulai menggunakan salah satu senyawa penghambat
khitin yaitu buprofezin. Sampai tahun 2002 ini sebagian insektisida IGR tersebut telah terdaftar
di Indonesia seperti tebufenozide, methoxyfenozide, dan halofenozide. Tebufenozide dan
methoxyfenozide untuk mengendalikan Lepidoptera sedangkan halofenozide untuk Coleoptera.
Karena cara kerja IGR terhadap serangga sasaran adalah dengan mempengaruhi sistem
hormonal serangga yang khas, pada dasarnya IGR memiliki sifat selektivitas fisiologi yang tinggi
terhadap serangga sasaran sehingga sangat sesuai dengan prinsip-prinsip PHT. Misalkan
diflubenzuron sangat efektif terutama untuk Lepidoptera dan Diptera, sedangkan buprofezin
khas untuk wereng daun dan wereng batang serta serangga-serangga Homoptera lainnya.
Untuk kelompok serangga lainnya seperti serangga predator dan parasitoid insektisida tersebut
kurang berpengaruh. Berbeda dengan insektisida konvensional yang mempengaruhi sistem
syaraf sehingga mematikan serangga dalam waktu cepat, IGR bekerjanya lambat dan lembut
serangga akan mati beberapa hari setelah diperlakukan dengan IGR. Dengan cara membunuh
63
hama yang demikian, tekanan seleksi terhadap serangga hama juga lemah sehingga timbulnya
sifat resistensi dari serangga hama dapat dihambat.
g. Insektisida Botanik
Bila insektisida sintetik merupakan hasil buatan pabrik dengan melalui proses sintesis
kimiawi, maka insektisida botani atau insektisida nabati merupakan insektisida yang terbuat dari
tanaman. Insektisida botanik atau insektisida nabati merupakan insektisida alami diambil secara
langsung dari tanaman atau dari hasil tanaman. Insektisida jenis ini termasuk insektisida yang
paling tua dan banyak digunakan untuk pengendalian hama sebelum insektisida organik sintetik
ditemukan. Karena kesulitan dalam melakukan ekstraksi, dan kurang stabil karena mudah
terurai, penggunaannya semakin berkurang terutama setelah pestisida kimia sintetik ditemukan
dan digunakan.
Namun akhir-akhir ini setelah timbul kekhawatiran mengenai dampak samping pestisida
kimia, penggunaan pestisida botanik kembali memperoleh perhatian dari pemerintah dan petani
sebagai solusi alternatif bagi pestisida kimia. Pestisida botanik telah lama dikenal sebagai
pestisida yang risikonya kecil bagi kesehatan dan lingkungan hidup.
Direktorat Perlindungan Perkebunan telah melakukan inventarisasi mengenai berbagai
jenis tanaman yang ada di sekitar lahan petani untuk dijadikan pestisida nabati. Petunjuk
mengenai cara penyiapan, ektraksi dan penggunaan pestisida nabati telah dibuat dan diedarkan
kepada para petani pekebun. Dalam kegiatan pelatihan SLPHT-Perkebunan Rakyat juga
diberikan pelatihan penggunaan pestisida nabati. Dari inventarisasi yang dilakukan oleh
Direktorat Jendral Bina Perkebunan yang memuat daftar jenis-jenis tanaman di Indonesia yang
dapat digunakan sebagai pestisida nabati (Lampiran).
Beberapa jenis insektisida botanik yang sudah lama dikenal dan digunakan adalah
piretrum yang diambil dari bunga Chrysanthemum. Demikan juga rotenon diambil dari akar
tanaman leguminosaea Derris elliptica atau tuba. Rotenon dapat berupa racun kontak dan perut
tetapi pengaruhnya tidak pada sistem syaraf. Pestisida nabati yang prospektif dan banyak diteliti
oleh para pakar pada dua dekade akhir ini adalah Azadirachtin salah satu bahan aktif yang
diambil dari tanaman nimba atau mimba (Azadirachta indica). Tanaman mimba sejak lama telah
dikenal dan digunakan sebagai pestisida nabati. Lebih dari 200 spesies serangga hama dapat
dikendalikan secara efektif dengan ekstrak tanaman tersebut. Karena tanaman mimba sudah
banyak tumbuh di Indonesia dan sangat sesuai dengan kondisi tanah dan cuaca di sini, maka
prospek penggunaannya untuk pengendalian hama sangat baik, apalagi bila teknik ekstraksi
dan penggunaannya telah dikuasai petani.
Dari banyak hasil penelitian telah diketahui beberapa cara kerja insektisida nimba yaitu
1) Mengusir dan menghambat nafsu makan serangga, 2) menghambat metamorfosis, 3)
Mengurangi kesehatan dan daya reproduksi 4) Menghambat daya bertelur. Cara kerja ekstrak
nimba tersebut di atas hampir sama dengan cara kerja insektisida IGR. Bagian tanaman mimba
yang sering digunakan adalah tepung biji, ampas biji dan daun. Penyiapannya dilakukan dengan
cara menggerus biji atau daun dan membuat ekstrak sederhana dengan dicampur air dan
kemudian disemprotkan dengan menggunakan alat penyemprot biasa. Untuk memperoleh hasil
yang baik dapat ditambahkan minyak dan pengemulsi. Teknologi sederhana tersebut sangat
mudah dilakukan oleh petani dengan biaya yang sangat murah. Namun untuk keberhasilan
pengendalian perlu diperhatikan waktu dan frekuensi penyemprotan yang tepat sesuai dengan
sifat ekobiologi hama sasaran. Kerena efektivitas dan cara aksinya berbeda dengan pestisida
kimia konvensional, penyemprotan dengan pestisida nabati sebaiknya dilakukan dengan
frekuansi yang lebih banyak dan sewaktu populasi hama masih belum jauh melampaui Ambang
Pengendaliannya.
Beberapa keuntungan penggunaan mimba yaitu efektivitas tinggi, ancaman terhadap
timbulnya resistensi hama relatif kecil karena mengandung banyak zat yang semuanya
64
mempunyai cara kerja yang berlainan. Ekstrak mimba mempunyai risiko kecil bagi kesehatan
manusia, tidak berbahaya bagi lebah madu, ikan, burung dan binatang bermanfaat lainnya.
Persistensi esktrak mimba rendah, sehingga cepat teurai menjadi zat-zat yang tidak berbahaya.
Sampai saat ini belum dilaporkan adanya pencemaran tanah dan air akibat dari mimba.
FORMULASI PESTISIDA
Dalam pabrik pembuat insektisida dihasilkan bahan aktif insektisida dalam bentuk murni.
Bahan tersebut belum dapat langsung digunakan untuk kegiatan pengendalian hama. Agar
dapat dimanfaatkan di lapangan dan diperdagangkan bahan teknis harus diproses lagi menjadi
bahan formulasi insektisida. Proses formulasi insektisida merupakan proses untuk memperbaiki
sifat-sifat bahan teknis agar sesuai untuk keperluan penyimpanan, penanganan, aplikasi,
peningkatan efektivitas, atau keamanan bagi manusia dan lingkungan. Sebelum dipasarkan
bahan teknis perlu dicampurkan dengan bahan-bahan tambahan tertentu. Bahan-bahan
tambahan yang tidak bersifat meracuni serangga (insektisidal) secara umum disebut bahan inert
atau inert material. Menurut fungsinya bahan inert dapat berupa bahan surfaktan, seperti sabun
atau deterjen untuk peningkatan daya sebar, daya emulsi dan pembasahan pada permukaan,
pelarut atau solvent, untuk formulasi pestisida cair agar dapat meningkatkan daya larut,
pembawa atau carrier digunakan untuk formulasi padat seperti serbuk dan butiran agar dapat
mengikat/menyerap serta bahan tambahan khusus seperti a) penstabil (stabilizers), b) sinergis,
bahan yang dapat meningkatkan aktifitas, c) pembasah (wetters), untuk mencegah degradasi
bahan, d) minyak untuk meningkatkan aktifitas biologi insektisida, e) odorants untuk memberi
bau, f) cat dan pigment, g) penebal (thickeners), h) colouring agents (zat pewarna), dan I) zat
anti mikroba.
Pengetahuan dan teknologi pembuatan bahan aktif dan formulasi pestisida berkembang
sangat cepat sehingga ditemukan banyak jenis dan formulasi pestisida. Agar tidak
membingungkan pengguna dan konsumen di pandang perlu dilakukan harmonisasi atau
pembakuan kode formulasi pestisida yang berlaku di tingkat internasional.
Sistem kode formulasi pestisida mulai dibakukan pada tahun 1978 yang kemudian direvisi
pada tahun 1989. Inisiatif pembakuan kode formulasi ini dilakukan oleh asosiasi industri
pestisida global yaitu Crop Life International (dulu GCPF). Kode formulasi tersebut diusahakan
sederhana, sedapat mungkin terdiri dari dua huruf besar yang merupakan singkatan. Sekitar 71
kode formulasi pestisida telah dibakukan. Berikut nama-nama 10 kode formulasi insektisida
penting yang sudah digunakan dan dipasarkan di Indonesia.
1. Emulsifiable Concentrates (EC)
2. Wettable Powders (WP)
3. Suspension Concentrate (SC)
4. Water Soluble Powder (SP)
5. Ultra Low Volume Liiquid (ULV)
6. Dustable Powder (DP)
65
7. Granules (GR)
8. Aerosol Dispenser (AE)
9. Bait (RB)
10.
Capsule Suspension (CS)
TOKSISITAS PESTISIDA
Pestisida tidak hanya beracun (toxic) atau berbahaya bagi serangga hama sasaran juga
berbahaya bagi serangga-serangga musuh alami, binatang-binatang lain, manusia dan
komponen-komponen lingkungan hidup. Toksisitas pestisida dapat dikelompokkan menjadi
toksisitas akut, toksisitas kronik dan toksisitas subkronik. Toksisitas akut adalah pengaruh
meracuni atau merugikan yang timbul segera setelah pemaparan dengan dosis tunggal suatu
pestisida, atau pemberian dosis ganda dalam waktu kurang lebih 24 jam. Toksisitas kronik
adalah pengaruh yang merugikan yang timbul sebagai akibat pemberian takaran harian
berulang pestisida dalam jumlah sedikit atau pemaparan oleh pestisida yang berlangsung
sebagian besar rentang hidup suatu organisme (misal, mamalia).
Keracunan akut merupakan kesakitan atau kematian akibat terkena dosis tunggal
insektisida. Keracunan ini biasanya terjadi pada pekerja yang langsung bekerja dengan
insektisida baik di pabrik, tempat peyimpanan maupun di lapangan, keracunan terjadi biasanya
karena kecerobohan sewaktu penanganan pestisida atau sewaktu penyemprotan atau yang
sengaja meminum insektisida untuk bunuh diri. Keracunan khronik merupakan keracunan
karena penderita terpapar racun dalam jangka waktu panjang dengan dosis yang sangat
rendah. Gejala keracunan ini baru terlihat selang beberapa waktu (bulan atau tahun) setelah
penderita terpapar pestisida. Keracunan khronik yang saat ini oleh masyarakat dunia yang
paling menjadi keprihatinan masyarakat dunia karena semakin tingginya kesadaran terhadap
keperluan adanya lingkungan yang tidak tercemar. Bahaya akibat keracunan kronik karena
terpapar insektisida dapat bersifat carsinogenic (pembentukan jaringan kanker), mutagenic
(kerusakan genetik untuk generasi yang akan datang), teratogenic (kelahiran anak cacat dari
ibu yang keracunan), endocrine destruptor (gangguan hormon endokrin).
1. Pengujian Toksisitas Insektisida
Cara masuk insektisida ke dalam tubuh binatang atau manusia dapat melalui mulut (rute
oral), melalui kulit (rute dermal), atau melalui saluran pernafasan (rute respiratori, rute inhalasi).
Toksisitas akut melalui oral atau dermal merupakan indikasi bahaya insektisida bagi mamalia
dan manusia. Unit pengukuran adalah miligram (mg) bahan aktif per kilogram (kg) berat tubuh
binatang uji (tikus, tikus putih, kelinci, dan marmut). Binatang uji tersebut dipelihara dalam
laboratorium dengan kondisi standar yang ditetapkan.
Metode untuk menentukan toksisitas relatif pestisida yang telah disepakati adalah
dengan menggunakan dosis median letal (LD50). Nilai LD50 adalah suatu dosis insektisida
yang diperlukan untuk membunuh 50% dari individu-individu spesies binatang uji dalam kondisi
percobaan yang telah ditetapkan. Penghitungan mortalitas biasanya dilakukan 24 jam dan 48
jam setelah binatang uji terpapar oleh insektisida. Satuan nilai LD50 adalah miligram bahan
66
racun per kg berat tubuh binatang uji (mg/kg). Pengujian tingkat toksisitas terhadap binatang uji
dilakukan dengan memberikan melalui makanan (oral), aplikasi kulit (dermal) melalui
pernafasan (respiratori, inhalasi). Dari uji laboratorium ini diperoleh nilai LD50 oral dan LD50
dermal dan LD50 inhalasi. Semakin rendah nilai LD50 semakin tinggi toksisitas insektisida
tersebut.
2. Tingkat Bahaya Pestisida
Meskipun sangat sulit mengekstrapolasi nilai LD50 binatang mamalia seperti tikus atau
kelinci untuk menilai tingkat toksisitas pestisida bagi manusia, namun sudah disepakati secara
internaional bahwa nilai dosis letal mamalia tersebut digunakan untuk melihat tingkat bahaya
akut suatu jenis pestisida bagi manusia. Menurut Bahan Kesehatan Dunia (WHO - World Health
Organization) kategori tingkat bahaya pestisida adalah seperti Tabel 6.
Contoh bahan aktif yang termasuk kategori I adalah aldicarb dengan LD 50 oral untuk tikus
adalah 0,93 mg/kg dan LD50 dermal untuk kelinci adalah 5 mg/kg. karbofuran LD50 oral untuk
tikus 8-14 mg/kg. Propoksur termasuk kategori II karena LD50 oral, untuk tikus adalah 100
mg/kg, LD50 diazinon untuk tikus adalah 108 mg/kg, LD50 DDT untuk tikus adalah 113 mg/kg.
Yang termasuk kategori III (sedikit beracun) antara lain sipemetrin (SP) dengan LD 50 tikus
antara 303-4123 mg/kg. Sejak tahun 2000 Pestisida yang termasuk dalam kategori Ia dan Ib
termasuk pestisida dilarang aau tidak boleh didaftarkan di Indonesia.
Tabel 6. Tingkat bahaya insektisida menurut ketentuan WHO
Kategori
LD50 Oral
LD50 Dermal
Padat
Cair
Padat
Cair
(mg/kg)
(mg/kg)
(mg/kg)
(mg/kg)
Keterangan yang perlu dicatat di dalam label
Pernyataan
bahaya
67
Warna
Simbol
bahaya
Simbol
dan Kata
Ia
Sangat
berbahaya
sekali
<5
<20
<10
<40
Sangat
beracun
Coklat
tua
Sangat
beracun
Ib
Berbahaya
Sekali
5-50
20-200
10-100
40-400
Beracun
Merah
tua
Beracun
II
Berbahaya
50-500
200-2000
100-1000
400-4000
Berbahaya
Kuning
tua
Berbahaya
III
Cukup
berbahaya
IV
Tidak
berbahaya
pada
penggunaan
normal
5002000
>2000
20003000
>1000
>4000
Perhatian
>3000
Biru
muda
Perhatian
Hijau
PENGGUNAAN PESTISIDA SECARA SELEKTIF
Dalam kerangka penerapan PHT penggunaan pestisida harus hati-hati seminimal
mungkin serta selektif dengan sasaran mengurangi populasi hama sampai pada aras yang
tidak merugikan tanpa dengan sesedikit mungkin membahayakan kesehatan pengguna,
masyarakat termasuk konsumen serta lingkungan hidup. Karena itu penggunaan pestisida
harus dilakukan secara lebih selektif. Selektivitas penggunaan insektisida dapat dibagi menjadi:
1. selektivitas fisiologi atau selektivitas intrinsik
2. selektivitas ekologi
3. selektivitas melalui formulasi dan aplikasi
1. Selektivitas Fisiologi
Selektivitas fisiologi insektisida di sini adalah penggunaan jenis insektisida yang secara
intrinsik hanya mematikan serangga-serangga hama tetapi tidak membahayakan seranggaserangga yang berharga termasuk musuh alami dan serangga penyerbuk bunga. Karena
sifatnya, maka insektisida yang memiliki selektivitas fisiologis berspektrum sempit dengan
serangga sasaran yang khas.
Meskipun banyak insektisida OP, karbamat yang kurang selektif terhadap predator hamahama padi tetapi ada juga insektisida OP seperti piridafention dan tertraklorvinpos yang lebih
beracun bagi hama sasaran yaitu wereng hijau padi Nephotettix spp dan kurang berbahaya bagi
predator laba-laba serigala Lycosa pseudoannulata. Pengujian tentang selektivitas berbagai
jenis insektisida yang saat ini digunakan di Indonesia terhadap hama dan musuh alaminya
perlu dilakukan agar kita mengetahui seberapa jauh tingkat bahaya insektisida tersebut bagi
serangga bukan sasaran yang bermanfaat seperti musuh alami.
Insektisida bakteri seperti Bacillus thuringiensis dan insektisida biologis lainnya termasuk
jenis insektisida yang memilki selektivitas tinggi bila dibandingkan dengan insektisida
68
konvensional. Bt umumnya ditujukan untuk mengendalikan hama yang termasuk ordo
Lepidoptera.
2. Selektivitas Ekologi
Dengan mempelajari sifat biologi dan ekologi hama sasaran dapat diketahui waktu dan
cara aplikasi insektisida yang tepat dan efektif. Dengan mempelajari neraca kehidupan hama,
perilaku hama, kisaran inang hama kita dapat menentukan bagaimana aplikasi insektisida yang
tepat. Aplikasi terutama ditujukan pada bagian yang lemah pada kehidupan hama yaitu sewaktu
hama berada pada stadium hama yang peka terhadap insektisida dan dalam keadaan yang
"terbuka" terhadap perlakuan insektisida diusahakan sedapat mungkin serangga parasitoid dan
predator dapat terhindar dari perlakuan insektisida.
Dalam praktek di lapangan selektivitas ekologi perlakuan insektisida dapat dalam
beberapa cara yaitu:
a. Penetapan waktu aplikasi yang tepat.
b. Perlakuan insektisida secara parsial atau spot treatment yang meliputi penyemprotan hanya
di pesemaian, pada tanaman batas, atau pernyemprotan hanya pada bagian tanaman
atau pertanaman yang terserang.
c. Perlakuan insektisida pada tanaman perangkap.
d. Perlakuan insektisida pada tanaman inang alternatif harus yang berupa gulma.
e. Perlakuan benih dapat mengurangi perlakuan insektisida pada pertanaman.
f. Aplikasi insektisida melalui tanah atau air pengairan untuk mengurangi terbunuhnya musuh
alami.
3. Selektivitas Melalui Penentuan Formulasi dan Cara Aplikasi
Selektivitas insektisida di sini adalah dalam menentukan dan memilih formulasi
insektisida dan teknik aplikasi yang tepat, efektif dalam mengendalikan hama sehingga kurang
membahayakan eksistensi musuh alami hama. Yang termasuk dalam selektivitas ini adalah:
a. Penggunaan formulasi butiran atau Granule dengan insektisida sistemik diharapkan dapat
efektif untuk mengendalikan hama penggerek tanaman dan membatasi pengaruh yang
merugikan bagi serangga predator dan parasitoid dewasa.
b. Penggunaan formulasi ULV (Ultra Low Volume) yang tepat dapat membatasi "drift"
insektisida sehingga dapat mengurangi risiko pencemaran dan membatasi terbunuhnya
musuh alami.
c. Cara aplikasi di lapangan yang kurang tepat dapat mengakibatkan peningkatan kematian
organisme bukan sasaran. Oleh karena itu petani perlu dilatih tentang bagaimana cara
penyemprotan insektisida yang benar.
Bijaksana:
Tepat apa?
69






Sasaran
Dosis
Cara
Waktu
Konsentrasi
----Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman
Materi 9
PENGELOLAAN HAMA TANAMAN PANGAN
Tujuan:
1. Mempelajari dan memahami jenis-jenis hama utama tanaman pangan
2. Mempelajari dan memahami pelaksanaan PHT pada tanaman pangan
Materi Kuliah:
PERMASALAHAN HAMA TANAMAN PANGAN
Yang disebut tanaman pangan adalah jenis tanaman yang menjadi sumber pangan
utama sebagian besar penduduk. Di Indonesia tanaman pangan dibagi dalam dua kelompok
yaitu padi-padian dan palawija. Kelompok padi-padian diwakili oleh PADI yang menghasilkan
BERAS sebagai makanan utama penduduk Indonesia dan JAGUNG, sedangkan palawija terdiri
70
atas KEDELAI dan tanaman kacang-kacangan seperti KACANG TANAH, KACANG PANJANG,
dll.
Dari sekian banyak jenis tanaman dan komoditas pertanian yang dibudidayakan dan
diusahakan, padi merupakan tanaman yang paling memperoleh perhatian utama dari
Pemerintah dan masyarakat. Hal ini disebabkan karena padi menyangkut hidup sebagian besar
penduduk Indonesia. Karena pentingnya padi seringkali padi disebut sebagai TANAMAN
POLITIK.
SWASEMBADA BERAS
Sejak Pemerintah mencanangkan program peningkatan produksi beras untuk mencapai
swasembada beras pada tahun 1970 Pemerintah mengintroduksikan teknologi intensifikasi
produksi padi atau yang dikenal dengan teknologi “revolusi hijau“ atau green revolution. Istilah
yang terkenal dengan teknologi revolusi hijau adalah Panca Usaha yaitu:
1. Pengolahan Tanah
2. Penanaman Bibit atau Benih Unggul
3. Pemupukan
4. Pengendalian Hama dan Penyakit
5. Perbaikan Pengairan
Teknologi revolusi hijau pada tanaman padi sangat tergantung pada bibit unggul, pupuk
buatan atau pupuk kimia (Urea, ZA, TSP, KCL) serta pestisida kimia. Tujuan intensifikasi
pangan agar dapat meningkatkan produksi pangan khususnya beras dengan tujuan agar
Indonesia menjadi swasembada beras atau memenuhi kebutuhan sendiri akan beras sebagai
makanan utama penduduk. Program intensifikasi pangan berjalan sampai saat ini. Nama
program bermacam-macam tergantung kegiatan dan “selera” Kabinet yang bersangkutan. Sejak
tahun 1970an kita kenal banyak nama program intensifikasi yaitu sebagai program BIMAS
(Bimbingan Massal), INMAS (Intensifikasi Massal), INSUS (Intensifikasi Khusus), SUPRA
INSUS, dan lain-lainnya. Kabinet sekarang mempunyai program yang disebut Program
Ketahanan Pangan. Indonesia hanya mencapai Swasembada beras pada tahun 1984, setelah
itu kita masih harus mengimpor beras untuk dapat memenuhi kebutuhan beras penduduknya.
Pada beberapa tahun terakhir ini Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras terbesar
dunia.
Dampak penerapan intensifikasi pertanian pada ekosistem persawahan dan sistem sosial
masyarakat di Indonesia sangat besar antara lain:
1. Ekosistem persawahan menjadi sangat rawan hama dan penyakit padi. Berbagai hama
penyakit “baru” timbul, meluas dan sering meletus setelah program BIMAS dilaksanakan
antara lain hama wereng coklat dan wereng-wereng lainnya, penyakit tungro. Puncak
letusan hama terjadi pada tahun 1979 hampir satu juta hektar sawah gagal panen atau rusak
oleh wereng coklat.
2. Dengan perbaikan sistem pengairan petani dapat menanam padi dua kali sampai 3 kali
setahun, seringkali dengan menanam varietas sama dan masa tanam yang tidak serentak.
Kondisi lingkungan ini menguntungkan perkembangbiakan hama-hama padi seperti tikus
dan wereng coklat. Karena itu sampai saat ini sawah di Indonesia tidak pernah “sepi” akan
serangan hama.
3. Karena penggunaan bahan kimia pertanian yang sangat banyak, kesuburan tanah semakin
menurun sehingga proses produksi tanaman padi menjadi semakin tidak efisien, sasaran
peningkatan produksi tidak tercapai dan lingkungan pertanian semakin tercemar.
Penggunaan pestisida yang masih tinggi dapat menimbulkan resistensi dan resurjensi hamahama utama padi seperti wereng coklat.
71
4. Petani semakin tergantung pada bibit unggul, pupuk kimia dan pestisida yang harganya
semakin mahal. Keadaan ini mendorong terjadinya kesenjangan di pedesaan antara petani
yang kaya dan petani yang miskin terutama buruh tani.
Program PHT pada tanaman padi yang dilaksanakan Pemerintah sejak tahun 1989 yang
telah melatih sekitar satu juta petani padi dengan konsep dan teknologi dapat mengurangi
penggunaan pestisida kimia di tingkat petani. Ada banyak petani padi saat ini yang tidak lagi
menggunakan pestisida karena sudah mengandalkan musuh alami hama-hama padi. Ekosistem
persawahan secara ekologi sebenarnya merupakan ekosistem yang memiliki kestabilan tinggi
apabila kita dapat menerapkan PHT secara konsisten dan konsekuen. Dalam kondisi stabil
letusan hama tidak perlu dikhawatirkan.
Penerapan PHT untuk hama-hama padi secara umum adalah sebagai berikut:
1. Pola tanam padi, padi, palawija.
2. Tanam bibit atau varietas unggul tahan hama terutama VUTW (Varietas Unggul Tahan
Wereng) sesuai dengan biotipe wereng coklat pada suatu tempat. Seperti kita ketahui saat
ini kita mempunyai kelompok Non VUTW, VUTW I, dan VUTW I. Sebaiknya dilakukan
pergiliran varietas antar musim tanam.
3. Pada kondisi populasi wereng coklat tinggi hindarkan penanaman varietas padi peka hama
terutama varietas-varietas lokal (Rojolele, Mentik, Cianjur, dll).
4. Diusahakan di suatu hamparan sawah dilakukan penanaman secara serentak termasuk di
daerah-daerah yang berbukit. Serangan hama tikus berkurang di daerah-daerah yang
menanam padi serentak.
5. Pengendalian hayati terutama dengan teknik augmentasi dan konservasi musuh alami
merupakan teknik pengendalian hama-hama padi utama. Banyak jenis predator dan
parasitoid dijumpai di ekosistem persawahan kita.
6. Bila diperlukan pestisida kimia gunakan secara sangat selektif dengan menggunakan jenisjenis pestisida yang tidak membunuh musuh alami. Penggunaan pestisida diputuskan
setelah mempelajari hasil pengamatan ekosistem.
7. Laksanakan kegiatan pengamatan atau pemantauan hama dan musuh alami seminggu
sekali. Apabila jumlah musuh alami banyak tidak perlu dilakukan kegiatan pengendalian
dengan pestisida.
A. HAMA-HAMA PADI
Pada ekosistem padi dijumpai banyak jenis hama yang menyerang hampir seluruh stadia
tumbuh padi dari persemaian sampai panen dan pasca panen. Yang akan dibahas di sini
beberapa hama utama padi saja. Intensitas serangan hama-hama tersebut dari suatu lokasi ke
lokasi lain sangat berbeda, dengan demikian hama-hama utama di suatu daerah dapat berbeda
dengan hama-hama utama di daerah lain. Namun dari laporan pada 5 tahun terakhir urut-urutan
hama padi utama di Indonesia adalah 1) Tikus, 2) Penggerek Batang dan 3) Wereng Coklat.
Secara singkat sifat hama dengan cara pengelolaannya adalah sbb:
1. Tikus Sawah (Rattus argentiventer)
Tikus sawah aktif pada malam hari. Siang hari mereka selalu berlindung di dalam liang
atau di semak belukar. Untuk tempat tinggal atau lubang biasanya tikus berorientasi ke daerah
yang cukup memberi perlindungan dan rasa aman dari gangguan predator dan tersedia sumber
makanan dan air. Fungsi lubang bagi tikus sawah adalah sebagai tempat bernaung, tempat
memelihara anak dan kelompok keturunan, serta menimbun makanan.
72
Kepadatan populasi tikus berkaitan dengan fase pertumbuhan tanaman padi. Serangan
tikus dapat terjadi sejak di persemaian sampai pasca panen. Populasi tikus umumnya masih
rendah pada persemaian sampai fase vegetatif dan kepadatan populasi meningkat pada fase
generatif.
Gejala serangan:
1. Adanya sarang dari batang rerumputan dan daun diantara vegetasi tanaman yang tumbuh di
lapangan
2. Adanya saluran lubang yang masuk ke dalam tanah yang tidak begitu basah atau tergenang
air
3. Adanya lubang yang biasanya dengan diameter yang lebih besar dari tubuh tikus dan
berbentuk bulat yang merupakan jalan masuk menuju saluran.
4. Adanya lintasan jalan dimana tikus hilir mudik di antara pertanaman tempat makannya
dengan lubang persembunyiannya.
5. Adanya bekas-bekas kotoran tikus sepanjang lintasan
6. Adanya bekas-bekas telapak kaki tikus terutama pada tanah berlumpur
7. Adanya bentuk-bentuk kerusakan tertentu pada tanaman yang diakibatkan oleh tikus seperti
rebahnya tanaman karena pangkal batang putus, terutama pada tanaman-tanaman muda.
Pada kepadatan populasi rendah, serangan tikus biasanya bersifat acak terutama di
bagian tengah petakan, sehingga belum tampak jelas dari pematang. Pada serangan berat,
biasanya hanya menyisakan beberapa baris tanaman pinggir.
Pengelolaan:
1. Diupayakan agar waktu tanam dengan selang <10 hari dalam areal yang luas, sehingga
masa generatif hampir serentak. Dengan demikian masa perkembangbiakan tikus hanya
berlangsung dalam waktu yang singkat.
2. Mengurangi ukuran pematang, di sekitar sawah, sehingga mempersulit tikus membuat liang.
Pematang sebaiknya berukuran < 30 cm.
3. Memanfaatan musuh alami, antara lain burung hantu, elang, ular.
4. Melakukan gropyokan, penggenangan lahan, pemasangan bambu perangkap dan
pemanfaatan jaring.
5. Pengemposan dilakukan pada saat tanaman fase generatif, karena pada saat tersebut
umumnya tikus tinggal di dalam liang.
6. Pengumpanan beracun menggunakan racun antikoagulan, karena kematian tikus oleh racun
ini lambat dan kematian umumnya tidak terlihat karena di dalam inang sehingga dapat
menghindari jera umpan.
7. Yang harus diperhatikan dalam usaha pengendalian tikus sawah yakni harus terorganisasi
dengan baik, melibatkan semua petani dan aparat pemerintah.
2. Penggerek Batang Padi
Di Indonesia dikenal 6 jenis penggerek batang padi (Tabel 7). Dari ke-6 penggerek
batang padi tersebut saat ini yang paling penting adalah PBPK terutama di pulai Jawa yang
memiliki jaringan pengairan baik. Sebelum tahun 1970 di Jawa PBPP yang lebih dominan. Saat
ini di Sulawesi Selatan dan daerah-daerah padi yang hanya dapat menanam padi satu kali
setahun PBPP lebih penting daripada PBPK. PBBBk dan PBPKH sering dijumpai pada
pertanaman padi yang ditanam dekat dengan tanaman tebu dan jagung, sedangkan PBPB
sering menjadi masalah di tanaman padi yang ditanam di dataran yang agak tinggi.
Gejala serangan:
73
Gejala kerusakan penggerek batang padi umumnya mirip. Gejala serangan pada
pertumbuhan vegetatif disebut sundep sedangkan pada pertumbuhan generatif disebut beluk.
Pada pucuk tanaman tampak menguning, layu dan akhirnya mengering. Ulat penggerek
merusak bagian pangkal titik tumbuh sehingga apabila tanaman ditarik dari titik tumbuhannya
akan mudah lepas. Gejala beluk memperlihatkan malai padi yang tegak, berrwarna putih dan
hampa.
No
1
2
3
4
5
6
Tabel 7. Jenis Penggerek Batang Padi di Indonesia
Nama Umum
Nama Latin
Penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas
(PBPK)
Scirpophaga innotata
Penggerek batang padi putih
(PBPP)
Chilo suppressalis
Penggerek batang padi
berrgaris (PBPB)
Penggerek batang padi kepala Chilo polychrysa
hitam (PBPKH)
Penggerek batang padi berkilat Chilo auricilius
(PBBBk)
Sesamia inferens
Penggerek batang padi merah
jambu (PBPMj)
Pengelolaan:
1). Pola tanam
Diusahakan untuk melakukan tanam serempak, pergiliran tanaman dengan tanaman
bukan padi, penanaman varietas padi yang tahan penggerek batang.
Tanam serentak varietas genjah dengan selisih kurang dari 2 minggu meliputi hamparan
seluas-luasnya agar pertumbuhan tanaman dan masa panen dapat serentak, sehingga
tersedianya sumber makanan bagi penggerek dapat dibatasi. Pengolahan tanah sebaiknya
dilakukan pada masa bero di antara waktu tanam. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan
padi dapat memutus daur hidup penggerek batang padi. Persemaian dilakukan secara
berkelompok untuk memudahkan pemeliharaan dan pengumpulan kelompok telur penggerek.
2). Fisik dan mekanik
Mengumpulkan telur sejak di persemaian kemudian dibunuh. Pada saat panen
diusahakan pemotongan jerami sampai serendah mungkin untuk mencegah kesempatan
berkepompong pada pangkal padi. Bila memungkinkan diikuti dengan penggenangan air agar
tunggul jerami cepat membusuk sehingga larva atau pupa mati.
3). Eradikasi
Pembabatan dan pengumpulan jerami lalu dibakar untuk memusnahkan sumber hama
penggerek batang padi.
4). Biologi
Memanfaatkan musuh alami baik predator maupun parasitoid seperti Conocephalus
longipennis, Anaxipha sp, Metioche sp, Trichogramma sp, Telenomus sp, Xanthopimpla sp.
5). Kimiawi
74
Aplikasi insektisida untuk pengendalian harus disesuaikan dengan keadaan populasi
hama, intensitas serangan dan umur tanaman. Insektisida yang digunakan harus dipilih yang
selektif, efektif dan diizinkan untuk digunakan pada tanaman padi.
3. Wereng Coklat (Nilaparvata lugens)
Gejala serangan:
Hama menyerang dengan cara menusuk dan menghisap cairan batang atau pelepah
daun pada bagian pangkal, sehingga menyebabkan tanaman menjadi menguning dan
mengering. Kerusakan berat tampak tanaman seperti gejala terbakar (hopperburn). Wereng
coklat mengeluarkan cairan madu, yang dapat ditumbuhi cendawan jelaga, sehingga batangnya
berwarna hitam. Di samping sebagai hama utama tanaman padi, wereng coklat juga dapat
bertindak sebagai vektor penyakit virus kerdil rumput (grassy stunt) dan virus kerdil hama
(ragged stunt).
Pengelolaan:
1. Sistem tanam serempak dalam satu wilayah kelompok dengan selisih waktu tanam < 2
minggu sehingga tidak terjadi tumpang tindih atau tidak tersedia pakan terus-menerus.
2. Penanaman varietas unggul tahan wereng dapat menghambat perkembangan populasi dari
generasi ke generasi. Pergiliran varietas untuk menghindari timbulnya biotipe baru.
3. Diusahakan persemaian jauh dari lampu dan sumber penyakit virus
4. Menghindari pemupukan N secara berlebihan.
5. Eradikasi dan sanitasi tanaman
6. Memanfaatkan musuh alami seperti Anagrus sp, Tetrastichus sp, Microvelia sp, Ophionea
sp, Paederus sp.
7. Penggunaan insektisida dilakukan pada saat populasi dominan nimfa, dengan
memperhatikan perbandingan antara wereng coklat dengan musuh alami.
4. Wereng Hijau (Nephotetix spp)
Wereng hijau lebih dikenal sebagai pembawa atau vektor beberapa penyakit padi penting
seperti penyakit kerdil rumput, tungro dan kerdil kuning.
Gejala serangan:
Tanaman padi yang terserang menunjukkan gejala pertumbuhan kerdil, jumlah tunas
sedikit berkurang dan berwarna kuning. Apabila serangan terjadi pada waktu tanaman masih
muda, maka jumlah tunas akan sangat berkurang. Malai yang dihasilkan biasanya steril dan
kecil. Gejala kerusakan tanaman padi oleh wereng lebih banyak diakibatkan serangan penyakit
padi yang dibawanya terutama penyakit tungro yang merupakan penyakit padi terpenting di
Indonesia saat ini.
Pengelolaan:
Pengelolaan hampir sama dengan pengelolaan wereng coklat.
5. Ganjur (Orsealia oryzae)
Hama ganjur terbatas menyerang dalam luasan sawah sempit dan terpencar-pencar
terutama di Jawa, Bali, Lombok dan Sumatera Selatan. Pada tahun 1975 sekitar 200.000 ha
sawah di Jawa Tengah dan Jawa Barat terserang hama ini.
Gejala serangan:
Gejala serangan berupa puru yang akan tampak 3-7 hari setelah larva mencapai titik
tumbuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan populasi ganjur diantaranya
75
kelembaban, angin, cahaya, jenis dan jumlah pakan serta musuh alami. Kelembaban minimal
80% sangat mendukung perkembangan larva. Temperatur 26-290C sangat sesuai bagi
perkembangan hama ini.
Pengelolaan:
Pengamatan rutin serangan ganjur harus dimulai sejak umur 7 hari setelah tanam.
Penanaman secara serentak minimal di satu wilayah kelompok, penggunaan varietas tahan,
perlakuan benih dengan insektisida.
6. Hama Putih Palsu (Cnaphalocrosis medinalis)
Bukan merupakan hama utama meskipun kadangkala dilaporkan menyerang di Pantai
Utara Jawa Barat dengan kerusakan 15%. Larva lebih cocok hidup pada tanaman padi di musim
hujan. Pada musim kering larva lebih cocok hidup pada jagung. Inang hama putih palsu adalah
padi, jagung, sorgum, rumput Echinocloa dan tebu.
Gejala serangan:
Larva memakan daun sehingga menimbulkan bekas serangan berupa garis-garis putih.
Gejala serangan yang khas terlihat lipatan daun, larva makan dari dalam, menyebabkan daun
menjadi kering dan berwarna putih.
Pengelolaan:
1. Sanitasi tanaman inang dan rumput liar di sekitar persawahan
2. Budidaya tanaman sehat, sehingga adanya serangan ringan dapat dikompensasi oleh
pertumbuhan tunas.
3. Pemanfaatan dengan musuh alami diantaranya Apanteles sp, Pentalitomastix sp, predator
laba-laba dan cocopet dari ordo Dermaptera
7. Kepinding tanah (Scotinophora sp)
Hama ini juga bukan hama utama padi. Serangannya tersebar dan tidak menimbulkan
kerusakan ekonomis bagi petani.
Gejala serangan:
Hama mengisap cairan pelepah dan batang padi. Bekas isapan menjadi coklat dengan
coklat tua pada tepinya. Daun pada rumpun yang terserang berat akan menjadi kering, lamakelamaan semua daun kering dan akhirnya mati. Batang-batang menjadi busuk dan mudah
dicabut. Tanaman yang disukai hama ini terutama bibit di persemaian dan tanaman muda
sampai 50-60 hari. Tanaman tua dapat juga terserang. Serangan dewasa mampu hidup dan
berkembangbiak selama 1-2 musim. Selama musim kemarau mengalami dormansi pada
bongkahan tanah yang berumput. Pada saat cuaca baik dewasa terbang ke pertanaman dalam
jumlah besar. Lebih menyukai keadaan basah atau lembab.
Pengelolaan:
Pembajakan dan pembenaman tunggul-tunggul padi setelah panen akan dapat
mengurangi populasinya untuk musim tanam berikutnya. Pengeringan lahan sawah dapat
menghambat perkembangan hama. Pemupukan saat tanaman terserang, sehingga tanaman
mampu mengkompensasi serangan. Sanitasi lahan dan lingkungan dari tumbuhan inang
rerumputan juga dapat menghambat perkembangan kepinding tanah.
8. Walang Sangit (Leptocorisa acuta)
76
Hama yang menyerang bulir padi ini merupakan hama yang menyerang secara sporadis
di lokasi perswahan yang menyebar. Hama ini menimbulkan masalah di persawahan di luar
Jawa. Di Sulawesi Selatan pernah dimasukkan sebagai salah satu hama padi utama.
Walang sangit mulai aktif pada awal musim hujan setelah menyelesaikan 1-2
generasinya pada rerumputan. Kepadatan populasi meningkat pada kondisi tanaman padi
sedang berbunga, cuaca hangat dan gerimis. Hujan lebat dapat menurunkan kepadatan
populasi.
Gejala serangan:
Butir padi yang terserang hama ini akan menjadi hampa sebab cairan selnya telah habis
dihisap. Butir padi yang setengah hampa akan mudah pecah jika masuk dalam penggilingan.
Butir padi bekas tertusuk walang sangit warnanya berubah menjadi coklat atau kehitam-hitaman
sebagian atau seluruhnya. Kerusakan berat akan terjadi apabila walang sangit dewasa
menyerang padi pada saat malai berbunga.
Pengelolaan:
1. Tanam serempak untuk membatasi ketersediaan makanan yang sesuai
2. Pemanfaatan tanaman perangkap
3. Penanaman tanaman resisten
4. Pemanfaatan musuh alami seperti Conocephalus longipenis, Gryon nixoni, Beauveria
bassiana
B. HAMA-HAMA JAGUNG
Urutan pentingnya hama-hama jagung di Indonesia saat ini adalah 1) Tikus, 2)
Penggerek Tongkol, 3) Penggerek Batang , 4) Lalat bibit dan 5) Ulat grayak. Perilaku, gejala
serangan dan pengendalian hama Tikus sudah dijelaskan di depan.
1. Penggerek Tongkol (Helicoverpa armigera)
Gejala serangan:
Biasanya selain menyerang tongkol jagung juga menyerang pucuk sehingga bunga
jantan tidak terbentuk akibatnya hasilnya berkurang. Telur diletakkan secara terpencar pada
daun, pucuk dan bunga pada malam hari. Biasanya telur diletakkan pada tanaman jagung umur
+ 2 minggu setelah tanam.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serentak
3. Mengumpulkan ulat kemudian mematikannya
2. Penggerek Batang Jagung (Ostrinia furnacalis)
Gejala serangan:
Serangan pada daun dapat menimbulkan bercak putih pada permukaan daun. Serangan
pada pucuk daun yang masih menggulung dapat menimbulkan gejala berlubang dalam barisan
yang melintang daun. Ulat tua menggerek ke dalam batang yang menimbulkan lubang pada
ruas dan meninggalkan kotoran bekas gerekan.
Pengelolaan:
Rotasi tanaman, tanam serentak, pemangkasan bunga jantan
77
3. Lalat Bibit (Atherigona oryzae)
Gejala serangan:
Serangan terjadi pada tanaman umur 5-7 hari setelah tanam dengan tanda-tanda
tanaman layu sebagai akibat kematian titik tumbuh.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan jagung dan padi
2. Tanam serempak dengan selisih waktu kurang dari 10 hari
3. Tanam lebih awal pada musim penghujan
C. HAMA-HAMA KEDELAI
Berbeda dengan padi sawah, kedelai mempunyai banyak jenis hama yang menyerang
sejak di fase pembibitan sampai fase polong. Hama tanaman merupakan faktor pembatas
utama produksi kedelai di Indonesia. Karena serangan hama tinggi, produksi selalu rendah
sehingga kita tidak mampu memenuhi kebutuhan kedelai nasional yang selalu meningkat setiap
tahunnya. Saat ini kita harus mengimpor kedelai lebih dari satu juta ton. Karena banyak
serangan hama, penggunaan pestisida kimia relatif sangat tinggi, rata-rata satu musim aplikasi
pestisida sekitar 4-5 kali.
Urutan 6 besar hama-hama kedelai adalah: 1) Lalat kacang, 2) Penggerek polong, 3)
Tikus, 4) Ulat grayak, 5) Penggulung daun dan 6) ulat jengkal. Di samping menghadapi
serangan hama kedelai juga menghadapi serangan banyak penyakit virus yang vektornya
adalah serangga Bemisia sp dan Aphis sp.
Hama-hama kedelai dapat dikelompokkan menurut fase pertumbuhan kedelai yang
diserang yaitu:
a. Lalat menyerang bibit seperti Agromyza sp
b. Hama-hama pemakan daun seperti Spodoptera sp, Phaedonia sp, Plusia sp
c. Hama-hama pengisap daun seperti Empoasca sp, Bemicia sp, Aphis sp
d. Hama-hama pegisap polong seperti Riptortus sp, Nezara sp
e. Hama-hama penggerek polong seperti Etiella sp dan Heliothis sp.
Berikut diuraikan sedikit sifat, perilaku dan cara pengendalian hama-hama kedelai
menurut urutan bahayanya.
1. Lalat Kacang (Agromyza phaseoli)
Paling sedikit ada 3 spesies lalat kacang yaitu A. phaseoli, A. ojae dan A. dolichostigma.
Yang pertama merupakan yang paling penting. Stadia larva merupakan stadia yang merusak
tanaman kedelai fase perkecambahan dan tanaman muda.
Gejala serangan:
Gejala awal berupa tanda bintik-bintik putih pada keping biji, daun pertama atau daun
kedua. Bintik-bintik tersebut merupakan bekas tusukan alat peletak telur pada pangkal kotiledon
dan pangkal daun. Pada keping biji dan pasangan daun pertama terdapat alur atau garis
berkelok-kelok berwarna coklat yang merupakan lubang gerekan. Akibat gerekan jaringan
pengangkut terputus, sehingga akar mati tanaman layu dan mati. Kematian tanaman dijumpai
pada tanaman berumur 14-30 hari.
Pengelolaan:
78
1.
2.
3.
4.
Pergiliran tanaman dengan tanaman non Leguminosae
Seed treatment
Penggunaan mulsa jerami
Tanam serentak dengan selisih waktu antara tanam awal dan tanam akhir tidak lebih dari 10
hari, dilakukan pada areal yang cukup luas.
2. Penggerek polong (Etiella zinckenella)
Gejala serangan:
Tanda serangan berupa lubang gerekan berbentuk bundar pada kulit polong. Apabila
terdapat dua lubang gerek pada polong tersebut berarti ulat sudah pergi. Di dalam polong
terserang terdapat butir-butir kotoran ulat yang berwarna kuning atau coklat muda yang
menggumpal. Akibat serangan hama ini dapat menurunkan kuantitas dan kualitas hasil panen.
Telur diletakkan pada malam hari, pada bagian bawah kelopak bunga atau pada polong secara
berkelompok. Populasinya tinggi pada saat musim kemarau daripada musim hujan.
Pengelolaan:
1. Pemantauan dini
2. Tanam serempak pada areal yang luas
3. Sanitasi terhadap inang alternatif
4. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
5. Untuk daerah endemis penggerek polong, perlu diterapkan penanaman tanaman perangkap.
6. Pemanfaatan musuh alami seperti Apanteles sp, Trichogramma sp, Tachinidae, predator
Lycosa sp dan Oxyopes sp
7. Pengendalian dengan insektisida efektif dilakukan apabila populasi hama telah mencapai
ambang pengendalian
3. Ulat Grayak (Spodoptera litura)
Gejala serangan:
Larva muda secara bergerombol makan epidermis bawah daun sehingga menimbulkan
gejala transparan, yang tersisa hanya tulang-tulang daun dan epidermis bagian atas, daun yang
rusak tampak berwarna keputih-putihan. Serangan ulat instar awal dapat menimbulkan gejala
transparan pada daun, sedang serangan oleh ulat instar akhir dapat menimbulkan gejala berupa
berlubang pada daun bahkan polong termakan habis.
Pengelolaan:
1. Pemantauan terhadap kelompok instar 1 atau gejala awal daun yang tampak keputih-putihan
dilakukan setiap minggu sejak tanaman berumur 14 HST
2. Melakukan tanam serentak dan pergiliran tanaman
3. Pengendalian dini setelah ditemukan populasi
4. Pengendalian secara fisik dan mekanik yakni dengan mengumpulkan kelompok telur dan
larva kemudian dimusnahkan
5. Penggunaan Sl NPV
6. Pemanfaatan musuh alami predator Carabidae, Reduviidae, parasitoid Telenomus,
Tachinidae, Ichneumonidae
7. Pengendalian dengan insektisida secara spot treatment dibatasi sampai dengan instar 3
4. Ulat Penggulung Daun (Lamprosema indicata)
Gejala serangan:
79
Ulat merusak tanaman kedelai berumur 3-4 minggu setelah tanam. Ulat makan dari
gulungan daun. Apabila gulungan tersebut dibuka, daun akan tampak tinggal tulang-tulangnya.
Ulat diam di dalam gulungan daun yang direkatkan satu sama lain dengan benang air liurnya.
Ulat membentuk kepompong di dalam gulungan daun tersebut.
5. Ulat Jengkal (Plusia chalcites)
Ulat jengkal berwarna hijau dan bergerak seperti menjengkal, bentuk larva tua
mempunyai ciri khas. Ulat jengkal menyerang tanaman kedelai berumur muda dan tua. Dalam
satu musim tanam hanya dijumpai satu generasi. Daun yang terserang ulat pada populasi tinggi
tinggal tulang daun saja atau bahkan habis sama sekali. Pada tahun 1983 luas serangan hama
ini mencapai 24000 ha dengan intensitas serangan 40%.
5. Kepik Hijau (Nezara viridula)
Gejala serangan:
Nimfa dan dewasa menghisap cairan biji kedelai. Serangan pada fase pembentukan dan
pertumbuhan polong/biji menyebabkan polong/biji kempis, mengering dan gugur. Serangan
pada fase pengisian biji menyebabkan biji menjadi hitam dan busuk. Serangan pada polong tua
menyebabkan kualitas biji menurun karena ada biji hitam pada biji atau biji menjadi keriput.
Gejala serangan jelas terlihat kulit biji dan kulit polong bagian dalam berupa bintik hitam
atau coklat.
Pengelolaan:
1. Sanitasi tanaman inang liar jauh sebelum tanam
2. Pengamatan terutama dilakukan pada tanaman perangkap. Pengamatan dilakukan pada
umur 42, 49, 56, 63, dan 70 HST terhadap imago, telur dan nimfa.
3. Penggunaan pestisida dilakukan apabila populasi mencapai ambang pengendalian yang
mungkin terjadi hanya pada tanaman perangkap
7. Kepik Polong (Riptortus linearis)
Tingkat kerusakan secara ekonomis di lapang sulit untuk diperkirakan karena biasanya
terjadinya kerusakan bersamaan dengan pengisap polong lainnya.
Gejala serangan:
Kepik menyerang polong dan biji. Serangan pada fase perkembangan biji dan
pertumbuhan polong menyebabkan polong dan biji kempis, kemudian mengering dan polong
dapat gugur. Serangan pada fase pengisian biji menyebabkan biji menjadi hitam dan busuk.
Serangan pada polong tua menyebabkan kualitas biji menurun karena adanya bintik-bintik hitam
pada biji atau biji menjadi keriput. Gejala serangan jelas terlihat pada kulit biji dan kulit polong
bagian dalam berupa bintik hitam atau coklat. Kerusakan pada biji dan kulit polong disertai
dengan serangan jamur.
8. Kutu Hijau (Aphis sp)
Kutu hidup dalam koloni dan perkembangbiakan secara parthenogenesis sehingga
populasi dapat meningkat dengan cepat. Ekskresi kutu hijau menghasilkan embun madu yang
dapat merangsang tumbuhnya cendawan jelaga yang menutupi permukaan daun dan polong
sehingga mengganggu fotosintesis. Populasi kutu hijau dipengaruhi oleh curah hujan yang
dapat menurunkan populasi. Kutu hijau berperan sebagai vektor penyakit virus kedelai antara
lain virus kerdil kedelai, virus mosaik kuning dan virus kate kedelai.
Pengelolaan:
80
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Tanam serentak pada areal yang cukup luas
Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inangnya
Menanam varietas toleran (berbulu tegak)
Penggunaan benih bermutu dan sehat
Pemantauan sedini mungkin
Pencabutan tanaman muda yang terserang virus
Pemanfaatan musuh alami diantaranya predator Coccinelidae, Menochilus sexmaculata,
Harmonia octomaculata, Verania lineata.
9. Kutu Kebul (Bemisia tabaci)
Serangan berat akan terjadi terutama pada musim kemarau karena didukung dengan
suhu yang tinggi.
Gejala serangan:
Nimfa dan kutu dewasa mengisap cairan daun. Ekskreta kutu kebul menghasilkan embun
madu yang merupakan medium tumbuh cendawan jelaga sehingga sering tanaman tampak
berwarna hitam. Hama ini juga bertindak sebagai vektor penyakit Cowpea Mild Mottle Virus
(CMMV) yang menyebabkan tanaman kerdil dan daunnya belang-belang kuning tersamar.
Hama menyerang tanaman sejak tanaman membentuk daun pertama dan puncak populasinya
terjadi pada fase setelah pembungaan.
Pengelolaan:
1. Tanam serentak dengan kisaran waktu tidak lebih dari 10 hari
2. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
3. Menanam varietas toleran
4. Pemanfaatan musuh alami parasitoid Encarsia sp dan beberapa jenis kumbang Coccinelidae
antara lain Menochilus sp, Scymnus sp
10. Kumbang Daun (Phaedonia inclusa)
Imago dan larva dapat merusak daun, batang pucuk, tangkai daun pucuk, kuncup daun,
kuncup bunga, bunga, polong muda dan kulit polong bagian luar yang telah berisi penuh sampai
polong menguning. Akibat serangan hama ini daun kedelai menjadi gundul dan dapat
menurunkan produksi atau bahkan tanaman tidak menghasilkan sama sekali.
Gejala serangan:
Serangan larva dan dewasa dapat berlangsung pada fase pertumbuhan tanaman. Daun
tampak berlubang dan polong muda luka-luka, sedang pada polong tua kulitnya yang dimakan.
Serangan lebih lanjut pada tangkai daun dan batang pucuk menyebabkan daun dan pucuk
terkulai layu kemudian mengering.
Pengelolaan:
1. Pemantauan dilakukan tiap minggu sampai tanaman berumur 49 HST
2. Tanaman serentak dan pergiliran tanaman penting untuk menurunkan infestasi awal
3. Penurunan populasi dapat dilakukan dengan cara pengumpulan dan pemusnahan imago
dan larva pada pagi dan sore hari.
4. Pemanfaatan musuh alami predator telur, larva dan pupa yaitu Solenopsis geminata.
D. HAMA-HAMA UBI KAYU DAN UBI JALAR
1. Tungau merah (Tetranychus urticae)
81
Gejala serangan:
Tanaman ubi kayu yang terserang berat, permukaan bagian bawah menjadi kusut oleh
adanya anyaman-anyaman halus. Daun dapat kehilangan khlorofil dan mengakibatkan daun
kelihatan menguning, kemudian berubah menjadi coklat dan gugur seluruhnya. Serangan berat
terjadi pada musim panas, sebaliknya pada musim hujan populasinya berkurang karena tercuci
oleh air hujan.
Pengelolaan:
Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Hama Boleng (Cylas formicarius)
Gejala Serangan:
Umbi yang terserang terdapat lubang, terutama di dekat pangkal batang. Di samping itu
kumbang juga membuat lubang lain untuk meletakkan telur. Setelah telur menetas biasanya
larva langsung menggerek ke dalam daging umbi dan membuat lorong gerekan. Akibatnya ubi
akan terasa pahit.
Pengelolaan:
1. Mengatur waktu tanam, yaitu menanam pada awal musim kemarau
2. Melakukan penggenangan
3. Menanam varietas yang pertumbuhan ubinya agak masuk ke dalam tanah
4. Rotasi tanaman dengan tanaman bukan inang
E. KACANG TANAH
Tanaman kacang lebih banyak menghadapi serangan penyakit daripada serangan hama
tanaman. Salah satu hama kacang tanah adalah wereng kacang tanah.
Wereng Kacang Tanah (Empoasca flavescens)
Nimfa dan dewasa mengisap cairan sel daun sehingga bagian ujungnya menjadi
kekuningan. Daun yang terserang menjadi kaku dan menebal. Akibat serangan berat, tanaman
menjadi kerdil dan daun mudah rontok. Selain mengakibatkan tanaman kehilangan cairan,
bekas tusukan alat mulut serangga dapat menimbulkan kematian jaringan sehingga timbul
gejala daun keriting.
F. KACANG PANJANG
Faktor penghambat produksi dan kualitas kacang panjang adalah beberapa hama
tanaman terutama yang menyerang polong sehingga menurunkan kualitas hasil. Pengendalian
hama yang lebih sering digunakan adalah penggunaan pestisida kimia.
1. Kutu Tanaman (Aphis craccivora)
Gejala serangan:
Tanaman yang terserang oleh kutu ini menyebabkan bunga menjadi tidak merekah, dan
apabila menyerang pada buah muda menyebabkan buah menjadi keriput dan tidak dapat
memanjang. Di samping sebagai hama, serangga ini juga bertindak sebagai vektor penyakit
virus.
2. Penggerek Polong (Etiella sp)
82
Ulat masuk dan menggerek ke dalam polong kacang panjang sehingga terlihat bekas
gerekan (lubang gerek) berwarna hitam. Kupu tersebut sering ditemukan di sekitar tanaman,
terutama yang sedang berbunga atau berbuah muda.
3. Nezara viridula
Kepik dan nimfa dewasa mengisap cairan polong kacang. Cara merusak dengan
menusukkan alat mulutnya pada kulit kacang terus ke biji kemudian mengisap cairan yang ada
di dalam biji. Serangan kepik ini menyebabkan biji menjadi hitam dan busuk sehingga kualitas
biji menurun karena adanya bintik-bintik hitam pada biji atau biji menjadi keriput.
Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman
Materi 10
PENGELOLAAN HAMA TANAMAN HORTIKULTURA
Tujuan:
1. Mempelajari dan memahami jenis-jenis hama utama tanaman hortikultura
2. Mempelajari dan memahami pelaksanaan PHT pada tanaman hortikultura
Materi:
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
83
Tanaman Hortikultura sangat penting untuk pemenuhan gizi pangan bagi kesehatan dan
kebugaran tubuh kita. Tubuh kita memerlukan gizi yang berasal dari sayuran dan buah-buahan.
Di samping untuk pemenuhan gizi juga untuk pemenuhan rasa keindahan khususnya untuk
tanaman hias. Di Indonesia banyak sekali jenis tanaman hortikultura tropika yang bernilai gizi,
ekonomi dan keindahan yang tinggi sehingga dapat menjadi obyek agribisnis yang sangat
menguntungkan. Karena banyaknya jenis tanaman hortikultura, kita kelompokkan menjadi 3
kelompok besar yaitu:
1. Tanaman Sayuran yang terdiri atas Sayuran Dataran Tinggi dan Sayuran Dataran Rendah
2. Tanaman Buah-buahan
3. Tanaman Hias
Tanaman hortikultura mempunyai potensi ekonomi yang besar untuk dikembangkan,
tetapi sayangnya perhatian pemerintah, peneliti dan masyarakat terhadap pengembangan
teknologi budidaya dan usaha tani tanaman hortikultura sangat sedikit dibandingkan dengan
padi dan tanaman pangan lainnya. Karena itu, dibandingkan dengan negara-negara lain seperti
Thailand, Malaysia, Cina dan Australia kita sangat ketinggalan. Tidak heran bila saat ini pasar
sayuran dan buah-buahan di negara kita banyak dikuasai oleh produk-produk impor. Data
tentang produksi dan ekspor hortikultura dari Indonesia tidak meningkat dari tahun ke tahun,
malahan cenderung merosot.
Kendala utama budidaya tanaman hortikultura adalah kurang tersedianya benih bermutu,
kesuburan tanah yang semakin menurun, dan ancaman serangan hama dan penyakit.
Kehilangan hasil panen tanaman hortikultura yang diakibatkan serangan hama berkisar antara
46 sampai 100% atau gagal panen. Karena ketakutan petani terhadap serangan hama dan
penyakit, petani hortikultura sangat menggantungkan diri pada penggunaan insektisida dan
fungisida. Penyemprotan dengan pestisida di sayuran dan beberapa jenis buah-buahan sangat
intensif, seperti kubis dapat mencapai 20 kali dalam satu musim. Pengeluaran untuk pestisida
pada tanaman kubis rata-rata 30% dari biaya produksi, sedangkan di kentang dapat mencapai
40%, tomat 50% dan cabai sampai 51%. Tentu saja keadaan ini tidak efisien dan sangat
berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.
Keadaan petani hortikultura Indonesia berbeda dengan petani hortikultura di luar negeri
yang usahanya sudah padat teknologi dan padat modal. Petani horti di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi 3 menurut pengusahaan lahannya yaitu: 1) petani horti di pekarangan,
2) petani horti komersial di dataran rendah, dan 3) petani horti komersial di dataran tinggi.
Petani horti pekarangan umumnya menanam berbagai jenis sayuran dan buah-buahan di
pekarangan untuk kepentingan konsumsi keluarga. Sedangkan petani horti komersial memang
mengusahakan untuk memperoleh produksi dan keuntungan. Namun ketiga kelompok
mempunyai ciri yang sama yaitu luas lahan yang terbatas dan modal yang pas-pasan. Kita
belum mempunyai semacam usaha “perkebunan” sayuran atau perkebunan buah-buahan
seperti di luar negeri. Oleh karena itu umumnya petani horti di Indonesia belum banyak
menguasai teknologi budidaya tanaman dan perlindungan tanaman yang memadai, sehingga
mereka sangat tergantung pada kebiasaan petani di sekitarnya. Dengan demikian usaha
hortikultura belum efisien dan ongkos produksi tinggi.
Pada era perdagangan global sekarang sangat sulit untuk mengekspor produk
hortikultura karena kandungan pestisida yang tinggi, seperti telah terjadi banyak kubis dan
kentang yang berasal dari Tanah Karo di Sumatera Utara tidak dapat masuk Singapura dan
Malaysia karena kandungan residu pestisida. Produk buah-buahan Indonesia pada tahun 2002
ditolak oleh negara Taiwan kerana mengandung lalat buah.
Sejak tahun 1990 sampai 1998 Pemerintah melaksanakan pelatihan PHT untuk lebih dari
50.000 petani hortikultura di beberapa propinsi yang meliputi petani kubis, kentang, bawang
merah, dan cabai merah. Dari evaluasi terhadap penerapan PHT oleh petani pada tanaman
84
hortikultura terlihat bahwa untuk tanaman kubis dan kentang petani dapat mengurangi
penggunaan pestisida sampai 80%, peningkatan produksi dan kualitas produk sehingga sangat
menguntungkan. PHT tanaman cabe dan bawang merah jauh lebih baik hasilnya dibandingkan
kebiasaan petani namun belum sebaik petani kubis dan kentang.
Dari hasil-hasil sementara tersebut dapat disimpulkan bahwa satu-satunya cara
memperbaiki produksi dan kualitas produksi tanaman hortikultura adalah menerapkan dan
mengembangkan teknologi PHT yang sesuai dengan jenis tanaman, lokasi lahan, dan kondisi
sosial ekonomi petani. Untuk dapat mengembangkan teknologi PHT yang sesuai diperlukan
banyak kegiatan penelitian dan pengkajian.
JENIS-JENIS HAMA HORTIKULTURA DAN CARA PENGENDALIANNYA
Karena banyaknya jenis tanaman hortikultura di Indonesia yang akan diuraikan hanya
terbatas pada jenis tanaman horti yang penting dilihat dari prospek bisnis, sedangkan jenis
hama hanya dijelaskan hama-hama utama yang pada 5 tahun terakhir ini menimbulkan
masalah.
Perlu diketahui bahwa sejak tahun 1995 terdapat 2 jenis hama “baru” yang kemudian
menimbulkan masalah serius di pertanaman sayuran terutama menyerang tanaman kentang.
Dua jenis hama tersebut adalah hama pengorok daun (Lyriomyza huidobrensis) dan Nematoda
Sista Kuning (Globodera rostochiensis). Hama Lyriomyza bukan hama “asli” di Indonesia tetapi
berasal dari daerah subtropik. Hama ini terbawa ke Indonesia karena ulah para penggemar
tanaman hias yang mengimpor bunga krisan dari Eropa melewati pemeriksaan petugas
karantina tumbuhan di pintu masuk. Setelah tahun 1995 hama ini menyerang semua pusat
tanaman kentang dan tanaman horti lainnya. Hama nematoda NSK baru diketahui memasuki
Indonesia pada tahun 2002 yang lalu, terbawa oleh bibit kentang yang diimpor melalui
Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Saat ini NSK telah tersebar di semua pusat tanaman kentang
di Indonesia.
Salah satu jenis hama penting yang menyerang buah-buahan adalah lalat buah
(Batrocera spp) yang seringkali menjadi pembatas produksi dan ekspor buah-buahan di
Indonesia seperti nangka dan jambu. Namun dengan penggunaan zat atraktan seperti metil
eugenol dan tanaman selasih, pengendalian lalat buah dapat mengurangi kerugian petani buahbuahan oleh lalat buah.
A. KELOMPOK SAYURAN
Kelompok Sayuran meliputi tanaman-tanaman sayuran dataran tinggi (KUBIS, KENTANG,
TOMAT) dan sayuran dataran rendah (CABAI, dan BAWANG MERAH)
1. KUBIS
a. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon)
Gejala serangan:
Ulat tanah merusak tanaman yang baru ditanam atau tanaman muda. Tanda
serangan pada tanaman muda berupa gigitan larva pada pangkal batang atau sama
sekali terpotong, sehingga dapat menimbulkan kerusakan berat. Serangan berat terjadi di
awal musim kemarau.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Pengolahan tanah yang baik
4. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan mematikannya
85
5. Pemasangan umpan beracun
b. Ulat Daun (Plutella xylostella)
Gejala serangan:
Tanaman yang diserang adalah tanaman muda. Seringkali juga merusak tanaman
kubis yang sedang membentuk krop. Larva makan permukaan bawah daun kubis dan
meninggalkan lapisan epidermis bagian atas. Setelah jaringan daun lapisan epidermis
pecah sehingga terjadi lubang-lubang pada daun. Kerusakan berat mengakibatkan
tanaman kubis hanya tinggal tulang daun saja.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Mengumpulkan larva di sekitar tanaman dan mematikannya
c. Ulat Krop (Crocidolomia binotalis)
Gejala serangan:
Larva muda bergerombol di permukaan bawah daun kubis dan meninggalkan
bercak putih pada daun yang dimakan. Larva instar ketiga sampai kelima memencar dan
menyerang pucuk tanaman kubis sehingga menghancurkan titik tumbuh. Akibatnya
tanaman mati atau batang kubis membentuk cabang dan beberapa crop yang kecil-kecil.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan mematikannya
2. KENTANG
a. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon)
Gejala serangan:
Gejala biasanya terlihat pada pagi hari dengan adanya tanaman muda yang rebah
karena dipotong oleh ulat di bagian pangkal batang.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Pengolahan tanah yang baik
4. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan mematikannya
5. Pemasangan umpan beracun
b. Penggerek Umbi (Pthorimaea operculella)
Gejala serangan:
Daun yang terserang terlihat warna merah tua dan adanya jalinan seperti benang
yang membungkus ulat kecil berwarna kelabu. Kadang-kadang daun kentang
menggulung yang disebabkan karena larva telah merusak permukaan daun sebelah atas,
kemudian bersembunyi dalam gulungan daun tersebut. Gejala serangan pada umbi
dapat dilihat dengan adanya kelompok kotoran berwarna coklat tua pada kulit umbi.
Apabila umbi dibelah, akan kelihatan “alur-alur” yang dibuat ulat sewaktu memakan umbi.
Kerusakan berat pada pertanaman kentang sering terjadi pada musim kemarau. Di dalam
86
gudang penyimpanan, OPT tersebut merusak bibit kentang yang disimpan selama 3-5
bulan sebelum tanam.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Pengolahan tanah yang baik
c. Kutu Daun Persik (Myzus persicae)
Gejala serangan:
Kerusakan secara langsung akibat serangan kutu daun persik sebenarnya tidak
terlalu merugikan. Kutu daun persik mengisap cairan daun, sehingga menyebabkan daun
berkerut/keriting, tumbuhnya kerdil, kekuningan, daun-daunnya terpuntir, menggulung
dan kemudian layu dan mati. Gejala yang lebih penting adalah gejala karena kerusakan
secara tidak langsung, yaitu serangan penyakit virus yang ditularkan oleh kutu ini. Kutu
daun persik merupakan vektor penyakit tanaman kentang antara lain PVA, PVY, PVM,
dan PLRV.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Penyemprotan dengan insektisida selektif dan efektif
d. Lalat Pengorok Daun (Lyriomyza huidobrensis)
Gejala serangan:
Lalat pengorok memakan daun dengan cara masuk ke dalam jaringan daun.
Akibat serangan hama ini terdapat alur-alur pada daun yang dapat mempengaruhi
fotosintesis.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
e. Nematoda Sista Kuning (Globodera rostochiensis)
Gejala serangan:
Pertanaman kentang berumur 70-80 hst yang terserang nematoda tampak daundaun klorosis (menguning).
Pengelolaan:
1. Pengolahan tanah
2. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
3. CABAI
a. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon)
Gejala serangan:
Ulat tanah merusak tanaman yang baru ditanam atau tanaman muda. Tanda
serangan pada tanaman muda berupa gigitan larva pada pangkal batang atau sama
sekali terpotong, sehingga dapat menimbulkan kerusakan berat. Larva dewasa kadangkadang membawa potongan-potongan tanaman ke tempat persembunyiannya.
87
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Pengolahan tanah yang baik
4. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan mematikannya
5. Pemasangan umpan beracun
6. Pemanfaatan musuh alami seperti Metarrhizium sp.
b. Kutu daun persik (Myzus persicae)
Gejala serangan:
Serangan berat pada tanaman cabai muda (umur < 3 minggu) bila infestasinya
tinggi daun akan berkerut keriting, tanaman akan tumbuh kerdil, layu dan kemudian mati.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
c. Trips (Thrip palmi)
Gejala serangan:
Stadium Thrips yang sangat merugikan adalah stadium nimfa dan imago. Thrips
menyerang tanaman dengan jalan menggaruk permukaan daun dan bunga, selanjutnya
mengisap cairan sel tanaman. Gejala serangan pada daun akan terlihat bercak-bercak
klorosis berwarna putih keperakan pada permukaan bagian bawah daun yang akan
menyebabkan daun berkerut dan terpuntir. Bila serangan berat permukaan daun akan
berkerut atau sedikit menggulung yang di dalamnya benyak ditemukan Thrips.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
d. Kutu Daun Kapas (Aphis gossypii)
Gejala Serangan:
Serangan berat dapat terjadi apabila infestasi terjadi pada tanaman muda (< 3
minggu), dengan gejala daun berkerut keriting, tanaman akan tumbuh kerdil, layu dan
kemudian mati.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman
2. Pengamatan secara teratur
3. Mengumpulkan kutu kemudian dimatikan
e. Lalat buah (Batrocera dorsalis)
Gejala serangan:
Gejala serangan lalat buah pada buah cabai ditandai dengan titik hitam pada
pangkal buah, kemudian buah membusuk dan jatuh ke tanah. Hal ini disebabkan
belatung memakan bagian dalam dan daging buah sehingga terjadi saluran-saluran di
dalam buah. Buah yang terserang menjadi busuk, selanjutnya jatuh ke tanah.
Pengelolaan:
1. Tanam serempak
88
2.
3.
4.
5.
Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
Mengumpulkan buah busuk yang rontok kemudian dibakar
Menggunakan perangkap beracun
Penyemprotan insektisida yang efektif dan selektif apabila ditemukan serangan
sedang.
f. Ulat grayak (Spodoptera litura)
Gejala serangan:
Larva makan dengan cara menyayat permukaan dau. Gejala serangan yang
ditimbulkan adalah bercak-bercak putih transparan pada daun, karena bagian daging
daun dimakan sedangkan bagian epidermis atas ditinggalkan. Ulat dewasa memakan
seluruh bagian daun dengan meninggalkan bagian tulang daunnya. Pada serangan berat
tanaman akan gundul.
Pengelolaan:
1. Penanaman tanaman bukan inang
2. Mengumpulkan larva di sore/malam kemudian dimatikan
3. Penyemprotan dengan pestisida yang selektif
g. Nematoda puru (Meloidogyne sp)
Gejala serangan:
Tanda kerusakan yang tampak pada bagian tanaman di atas permukaan tanah
adalah tampak pertumbuhan yang kerdil, daun klorosis, pada cuaca panas daun-daun
cepat layu dibanding tumbuhan sehat, daun-daun banyak yang gugur, tumbuhan tampak
gundul, kadang-kadang tinggal daun pucuk. Tanda kerusakan pada bagian tanaman di
dalam tanah diantaranya dekat ujung akar tampak kerusakan mekanis, berupa bercak
berwarna coklat hitam, terutama pada infeksi populasi yang tinggi, terdapat
kecenderungan pembentukan akar-akar cabang lebih sedikit daripada tumbuhan normal.
Tampak adanya puru pada akar-akar utama.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inagn
2. Di daerah endemik dilakukan perlakuan tanah dengan nematisida yang efektif jika
dijumpai serangan sedang.
4. BAWANG MERAH
a. Ulat bawang (Spodoptera exigua)
Gejala serangan:
Bagian tanaman yang diserang adalah daunnya, baik pada tanaman muda atau
pada tanaman tua. Larva muda melubangi bagian ujung daun kemudian masuk dan
memakan daging daun bagian dalam, sedangkan epidermis bagian luar ditinggalkan.
Akibat serangan tersebut pada daun terlihat bercak-bercak putih menerawang tembus
cahaya dan akhirnya terkulai dan mengering. Pada serangan berat seluruh bagian daun
dimakannya.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Pemusnahan kelompok telur di ujung daun
89
b. Trips (Thrip tabaci)
Gejala Serangan:
Stadium nimfa dan imago merusak tanaman dengan cara menggaruk atau
meraut jaringan daun dan mengisap cairan sel utamanya pada daun yang masih muda.
Gejala serangan yang terlihat adalah daun bernoda putih mengkilat seperti perak,
kemudian menjadi kecoklat-coklatan dengan bintik hitam. Pada serangan berat seluruh
areal terlihat putih dan akhirnya tanaman akan mati. Serangan berat biasanya terjadi
pada suhu rata-rata di atas normal disertai dengan hujan rintik-rintik dan kelembaban
udara di atas 70%. Pada suhu tinggi atau dingin Thrips akan musnah.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman
2. Tanam serentak
3. Waktu tanam pertengahan April, awal Mei atau September
4. Penyemprotan insektisida efektif bila ditemukan tingkat serangan sedang
5. TOMAT
a. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon)
Gejala serangan:
Ulat tanah merusak tanaman yang baru ditanam atau tanaman muda. Tanda
serangan pada tanaman muda berupa gigitan larva pada pangkal batang atau sama
sekali terpotong, sehingga dapat menimbulkan kerusakan berat. Larva dewasa kadangkadang membawa potongan-potongan tanaman ke tempat persembunyiannya.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Pengolahan tanah yang baik
4. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan mematikannya
5. Pemasangan umpan beracun
b. Ulat Buah (Helicoverpa armigera)
Gejala serangan:
Ulat ini menyerang buah tomat dengan cara masuk ke dalam buah dan
memakannya dari dalam. Buah akan tampak berlubang sehingga menurunkan kualitas.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang
2. Tanam serempak
3. Mengumpulkan ulat kemudian mematikannya
4. Pemberian insektisida butiran melalui tanah pada saat menjelang berbunga
5. Penyemprotan insektisida yang selektif
c. Kutu Kebul (Bemisia tabaci)
Gejala serangan:
Kutu menyerang permukaan daun bagian bawah. Kutu tersebut akan mengisap
cairan daun sehingga daun akan berkerut yang akan mempengaruhi fotosintesis.
Pengelolaan:
1. Pergiliran tanaman
90
2. Tanam serempak
3. Mengumpulkan ulat kemudian mematikannya
C. KELOMPOK BUAH-BUAHAN
1. JERUK
a. Kutu loncat jeruk (Diaphorina citri)
Gejala serangan:
Kerusakan karena aktivitas kutu loncat adalah daun jeruk menjadi berkerut-kerut,
menggulung atau kering dan pertumbuhannya menjadi terhambat serta tidak sempurna.
Selain daun muda, kutu ini juga mengisap cairan sel pada tangkai daun, tunas-tunas
muda atau jaringan tanaman. Gejala lainnya adalah hasil sekresi atau kotorannya berupa
benang berwarna putih dan bentuknya menyerupai spiral.
Pengelolaan:
1. Memanfaatkan keberadaan musuh alami antara lain predator Curinus coreluos,
Coccinella repanda, jamur Metarhizium sp.
2. Pengendalian secara kimiawi hendaknya dilakukan saat tanaman menjelang dan
ketika bertunas.
b. Kutu Daun (Toxoptera citricidus)
Gejala serangan:
Kerusakan karena hama ini tampak pada bagian tanaman muda seperti daun dan
tunas. Daun yang terserang akan berkerut dan keriting serta pertumbuhannya terhambat.
Pada bagian tanaman di sekitar aktivitas kutu daun tersebut terlihat adanya kapang hitam
yang tumbuh pada sekresi.
Pengelolaan:
1. Di alam populasi kutu daun dikendalikan oleh musuh alami.
2. Secara kultur teknis dengan menggunakan mulsa jerami di bedengan pembibitan
jeruk agar dapat menghambat perkembangan populasi kutu.
c. Kutu Perisai (Lepidosaphes sp)
Gejala serangan:
Bagian tanaman jeruk yang terserang adalah daun, buah dan tangkai. Serangan
kutu tersebut menyebabkan daun berwarna kuning, terdapat bercak-bercak klorotis dan
seringkali membuat daun menjadi gugur. Serangan yang lebih berat akan mengakibatkan
ranting dan cabang menjadi kering. Jika serangan terjadi di sekeliling batang, akan
menyebabkan buah gugur. Serangan pada buah mengakibatkan buah tampak kotor.
Pengelolaan:
1. Musuh alami sangat menentukan perkembangan populasi kutu sisik. Oleh karena itu
keberadaannya perlu diperhatikan.
2. Pengendalian secara kimiawi hendaknya menggunakan insektisida yang bersifat
selektif.
d. Ulat Penggerek Buah (Citripestis sagitiferella)
Gejala serangan:
Ulat menggerek buah sampai ke daging buah sehingga terlihat bekas lubang yang
mengeluarkan getah seperti blendok, kadang-kadang tertutup dengan kotoran. Bagian
91
buah yang terserang adalah separuh bagian bawah dan apabila parah, buah akan busuk
dan gugur.
Pengelolaan:
1. Untuk mencegah peletakan telur sebaiknya dilakukan pembungkusan pada buah
jeruk yang masih muda.
2. Memetik buah jeruk yang telah terserang dengan interval setiap 10 hari kemudian
menguburnya cukup dalam
3. Pemanfaatan musuh alami seperti parasit telur Trichogramma sp dan Bracon sp.
4. Pengendalian secara kimiawi pada saat telur belum menetas. Larva yang baru keluar
akan segera terbunuh sebelum sempat menggerek.
e. Kutu dompolan (Planococcus citri)
Gejala serangan:
Kutu menyerang tangkai buah dan meninggalkan bekas berwarna kuning
kemudian kering sehingga banyak buah yang gugur. Pada bagian tanaman yang
terserang tampak dipenuhi kutu-kutu putih seperti kapas.
Pengelolaan:
1. Memanfaatkan musuh alami dengan cara menghindarkan penggunaan insektisida
yang berlebihan
2. Mengatur kepadatan tajuk tanaman agar agar tidak terlalu padat dan saling menaungi
3. Mencegah datangnya semut yang sering memindahkan kutu
2. MANGGA
a. Procontariana matteina
Gejala serangan:
Daun yang terserang hama ini ditandai dengan adanya bisul-bisul kecil pada
permukaan dan bawah daun. Ulat akan meninggalkan bekas lubang pada saat ulat
keluar meninggalkan jaringan daun. Dalam satu daun tampak terdapat banyak sekali
bintil-bintil kecil yang menyebabkan terganggunya proses fotosistesis sehingga
menghambat pertumbuhan tanaman.
Pengelolaan:
Sanitasi lingkungan merupakan salah satu alternatif terbaik untuk mengendalikan
hama ini.
b. Penggerek cabang mangga (Rhytidodera simulans)
Gejala serangan:
Pada bagian cabang atau ranting yang terserang terdapat lubang dan alur gerek
berwarna hitam. Apabila tertiup angin, cabang akan mudah patah, daunnya tampak layu,
lama-lama kering dan mati. Lubang-lubang bekas gerekan dapat menyebabkan infeksi
oleh serangan organisme lain.
Pengelolaan:
Pengendalian mekanik dengan cara memangkas cabang dan ranting terserang.
Pengendalian secara kimiawi dilakukan dengan cara injeksi pada batang tanaman dan
dianjurkan saat tanaman tidak berbunga atau berbuah.
3. PISANG
92
a. Erionata thrax
Gejala serangan:
Daun pisang yang terserang hama ini akan terlihat robek. Hal ini disebabkan hama
menggulung daun dari tepi ke arah tengah.
Pengelolaan:
1. Secara fisik mekanik dengan cara pengambilan telur kemudian mematikannya
2. Mengumpulkan bagian daun yang sudah tergulung dan memusnahkannya
b. Hama Uret
Gejala serangan:
Hama ini menyerang pisang bagian batang sampai ke umbi batang bagian bawah
(bonggol) dan menyebabkan umbi berlubang.
Pengelolaan:
Dengan Seed treatment
c. Kumbang Penggerek Batang (Cosmopolites sordidus)
Gejala serangan:
Tanaman yang terserang hama ini akan menunjukkan pertumbuhan yang kerdil,
daun berkerut. Pada umumnya hama ini tumbuh pada tanaman pisang yang busuk.
Pengelolaan:
Pengendalian dengan sanitasi kebun. Memotong tanaman yang tercemar sampai
ke bonggol bawah.
Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman
Materi 10
PENGELOLAAN HAMA PERKEBUNAN
DAN HAMA PASCA PANEN/HAMA GUDANG
Tujuan:
1. Memahami dan mempelajari berbagai jenis hama tanaman perkebunan dan cara
Pengelolaannya
2. Memahami dan mempelajari berbagai jenis hama pasca panen dan cara pengelolaannya
93
Materi:
PENGERTIAN DAN BATASAN
Pengelompokan beberapa tanaman seperti kelapa, kopi, cengkeh, kelapa sawit,
kakao, karet, teh, tebu, kina, tembakau, lada sebagai tanaman perkebunan lebih dilandasi
oleh faktor historis sejak zaman penjajahan Belanda. Guna memperoleh pendapatan dari
negara jajahannya, Pemerintah Belanda mengundang investor untuk membuka usaha
perkebunan dengan komoditas ekspor sehingga dapat meningkatan pendapatan pemerintah
kolonial Belanda. Perusahaan Perkebunan ditandai dengan pengelolaan berorientasi bisnis
keuntungan, pertanaman dengan luasan tanaman yang besar, ratusan sampai ribuan hektar per
kebun atau afdeling dan jumlah karyawan yang besar dengan menggunakan teknologi budidaya
dan pengolahan hasil/pabrik yang modern. Jenis tanaman yang dipilih adalah tanaman yang
memiliki nilai ekspor tinggi seperti kakao, kopi, teh, kelapa sawit, cengkeh. Semula jenis
tanaman perkebunan mencakup hanya tanaman tahunan (umur tanaman lebih dari 1 tahun),
tetapi kemudian diusahakan juga tanaman musiman atau berumur pendek (umur tanaman
kurang dari 1 tahun) seperti gula dan tembakau, mengingat permintaan dunia akan dua
komoditas tersebut cukup tinggi. Sebelum PD II, Indonesia pernah menjadi penghasil beberapa
komoditas perkebunan yang besar di dunia. Karena orientasi usaha perkebunan adalah ekspor,
sejak sebelum PD II sampai sekarang harga komoditas perkebunan sangat ditentukan oleh
harga pasar dunia.
Perkembangan subsektor perkebunan setelah kita merdeka berbeda dengan masa
kolonial Belanda. Perusahaan perkebunan yang semua dikelola oleh perusahaan asing
sebagian besar dialihkan ke perusahaan milik negara. Kegiatan perkebunan yang semula
diarahkan untuk dilaksanakan oleh perusahaan besar kini berkembang dan akhirnya
diusahakan oleh petani kecil yang memiliki luas kebun yang kecil (kurang dari 5 hektar) bahkan
seringkali di bawah satu hektar per keluarga petani, kepemilikan modal dan teknologi yang
terbatas, serta dikelola oleh keluarga petani. Jenis pengusahaan perkebunan oleh petani-petani
kecil kemudian dikenal sebagai usaha Perkebunan RAKYAT. Karena dorongan dan fasilitasi
pemerintah, perkebunan rakyat semakin lama semakin luas, jauh lebih luas daripada luas
perkebunan besar.
Saat ini perkebunan dibagi menjadi dua kelompok yaitu Perkebunan Besar dan
Perkebunan Rakyat. Perkebunan Besar yaitu perkebunan dengan luas areal besar yang
dikelola oleh PT Perkebunan Negara dan PT Perkebunan Swasta Nasional termasuk milik PT
Pagilaran (Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM) atau Perkebunan Swasta Asing.
Sedangkan perkebunan rakyat adalah usaha perkebunan yang dikelola oleh petani kecil. Dari
sekitar 12 juta hektar luas perkebunan di Indonesia saat ini, lebih dari 70% adalah areal
perkebunan rakyat.
Jenis komoditas yang diusahakan oleh Perkebunan Besar dan Perkebunan Rakyat ada
yang sama tetapi ada yang berbeda. Beberapa komoditas perkebunan yang umumnya dikelola
oleh rakyat saat ini adalah kelapa, lada, jambu mete dan kapas. Sedangkan kelapa sawit pada
umumnya dikelola oleh Perkebunan Besar. Komoditas-komoditas perkebunan lainnya seperti
teh, kopi, kakao, karet, tebu, tembakau dikelola oleh Perkebunan Besar dan juga rakyat.
Pemerintah dengan bantuan lembaga-lembaga internasional seperti ADB/Bank
Pembangunan Asia dan World Bank/Bank Dunia telah banyak melaksanakan program
pembukaan, perluasan, intensifikasi dan rehabilitasi perkebunan rakyat sehingga luas
perkebunan rakyat dan jenis tanaman perkebunan rakyat terus meningkat. Proyek
pembangunan perkebunan yang terkenal adalah PIR (Perkebunan Inti Rakyat), yang
menghubungkan Perkebunan Besar sebagai Kebun Inti dan Perkebunan Rakyat sebagai Kebun
Plasma. Sayangnya dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan kegiatan tersebut hanya
94
dilakukan oleh pemerintah sedangkan pemberdayaan masyarakat tidak dilaksanakan, sehingga
kelanjutan dari kegiatan pemerintah tersebut tidak dapat dijamin.
Dalam melakukan pembahasan tentang pengelolaan hama perkebunan kita akan
mengkonsentrasikan pada Perkebunan Rakyat, meskipun kita ketahui bahwa tidak ada
perbedaan jenis-jenis hama yang menyerang perkebunan besar dan perkebunan rakyat, namun
tingkat dan jenis permasalahannya yang berbeda.
MASALAH PERLINDUNGAN TANAMAN PERKEBUNAN RAKYAT
Dibandingkan dengan perkebunan besar kondisi pertanaman perkebunan rakyat
umumnya kurang terpelihara, produksi rendah, kualitas kurang baik akibat serangan berbagai
jenis hama dan penyakit. Karena modal kurang serta kemampuan teknis rendah, biasanya
setelah tanam petani tidak mampu melakukan pemeliharaan kebun termasuk pemangkasan,
pengolahan tanah dan Pengelolaan hama dan penyakit. Kondisi kebun lemah dan tidak
terpelihara serta meliputi daerah yang sangat luas akan membentuk kondisi ekosistem yang
rentan hama dan penyakit. Hama penyakit akan menyebar dengan cepat ke seluruh kebun di
suatu daerah. Kasus yang terjadi sekarang di Sulawesi dan propinsi-propinsi lain yakni
munculnya serangan Penggerek Buah Kakao yang sedang menghancurkan kakao rakyat.
Kelemahan utama perkebunan rakyat adalah dalam hal penggunaan bibit yang
berkualitas rendah, kurang pemangkasan, pemupukan dan pemeliharaan lain, pengendalian
hama yang tidak tepat dengan menggunakan pestisida kimia yang berlebihan, penanganan
pasca produksi yang kurang baik. Akibatnya hasil rendah, kualitas turun dan tidak diterima di
pasar karena kandungan residu pestisida tinggi, harga rendah dan akhirnya petani menderita
kerugian yang cukup besar. Masalah hama dan penyakit seperti pada tanaman kakao, kopi,
lada, kelapa, kapas seringkali menjadi faktor pembatas produksi perkebunan rakyat di
Indonesia. Tanpa pengetahuan dan ketrampilan tentang bagaimana mengelola hama para
petani perkebunan rakyat akan selalu mengalami kerugian dan kehilangan hasil akibat serangan
hama.
KONDISI EKOSISTEM KEBUN TANAMAN TAHUNAN
Ekosistem perkebunan terutama tanaman tahunan relatif lebih stabil bila dibandingkan
dengan tanaman pangan sehingga sebenarnya risiko terjadinya letusan hama lebih kecil, tetapi
karena kondisi kebun yang kurang terpelihara bila terjadi peningkatan populasi pada satu
tempat akan secara cepat menjalar ke tempat lainnya. Kondisi ekosistem kebun juga
menguntungkan bagi penerapan pengendalian hayati terutama dengan predator, parasitoid dan
patogen mengingat ekosistem memiliki kondisi iklim mikro yang sesuai dan keanekaragaman
tinggi bagi perkembangan musuh alami.
Sebelum tahun 1960 banyak praktek pengendalian hayati klasik dengan introduksi
musuh alami sukses mengendalikan beberapa hama penting pada tanaman kelapa. Untuk
komoditas perkebunan, penerapan PHT yang mengandalkan pengendalian hayati merupakan
teknik pengendalian yang paling tepat. Melalui Program PHT Perkebunan Rakyat yang sampai
tahun 2005 dilaksanakan Pemerintah di 13 propinsi, beberapa teknologi PHT seperti
pemanfaatan seresah untuk meningkatkan populasi predator, penyarungan buah kakao untuk
mencegah peneluran ngengat Penggerek Buah Kakao, pemangkasan dan penjarangan
tanaman, perbanyakan dan pelepasan agens pengendalian hayati dengan patogen, panen
bertahap, dan lain-lainnya ternyata dapat mengurangi populasi hama dan kerusakan tanaman
serta meningkatkan pendapatan petani pekebun. Produk-produk PHT perkebunan saat ini
95
banyak dicari konsumen domestik maupun konsumen global karena kualitasnya tinggi serta
bebas dari kandungan residu pestisida yang membahayakan.
MASALAH HAMA PASCA PANEN
Perlu diketahui bahwa untuk semua kelompok tanaman baik tanaman pangan,
hortikultura maupun perkebunan, kerusakan dan kerugian akibat gangguan hama dan penyakit
pasca panen sangat besar. Kerugian yang diderita oleh petani akibat serangan hama pasca
panen adalah penurunan produksi dan penurunan kualitas produksi. Diperkirakan rata-rata
kerugian hasil antara 25-30%. Kerugian terjadi sewaktu pengangkutan dan penyimpanan hasil
panen sebelum diolah dan dipasarkan. Hama Pasca Panen sering disebut juga sebagai Hama
Gudang.
Petani seringkali tidak memperhatikan aspek-aspek fisika kimia proses penyimpanan
hasil panen sehingga mengundang serangan hama gudang. Petani jarang melakukan kegiatan
khusus untuk mengendalikan hama-hama gudang. Upaya yang paling sering dilakukan adalah
pengeringan dengan panas matahari. Berbagai jenis hama yang menyerang hasil panen di
gudang penyimpanan dapat berasal dari atau terbawa dari pertanaman, atau hama-hama
khusus yang memang menyenangi ekosistem gudang.
Pengendalian hama gudang khusus dilakukan di gudang-gudang milik perusahaan atau
pemerintah seperi gudang BULOG. Karena ekosistem gudang dapat lebih mudah dikuasai
maka pengendalian hama gudang biasanya dilakukan dengan metode pengendalian fisik dan
kimiawi dengan menggunakan fumigan. Banyak jenis fumigan berbahaya bagi kesehatan
karena itu perlakuannya di gudang harus dilakukan secara hati-hati hanya oleh orang atau
petugas yang telah terlatih atau bersertifikat.
HAMA-HAMA PERKEBUNAN DAN PASCA PANEN
A. PERKEBUNAN
1. KOPI
a. Bubuk Buah Kopi (Hypothenemus hampei)
Gejala serangan:
Hama menyerang buah dengan cara menggerek. Lubang gerekan berbentuk bulat
dengan diameter lebih kurang 1 mm dan umumnya dijumpai pada ujung buah. Lubang
kadang-kadang sukar dilihat karena tertutup oleh kotoran atau sisa gerekan. Bubuk buah
kopi pada umumnya menyerang buah yang bijinya telah cukup keras, namun demikian
buah yang bijinya lunak juga diserang. Setelah menyerang buah yang bijinya lunak,
hama segera keluar karena tidak bisa berkembang di dalamnya. Buah muda akan
menjadi busuk dan kemudian gugur. Jenis kopi yang disukai adalah jenis Arabica,
Robusta dan Liberica.
Pengelolaan:
1. Memanfaatkan musuh alami seperti parasitoid Heterospilus coffeicola, jamur Spicaria
javanica, predator Dindymus rubiginosus.
2. Memodifikasi lingkungan seperti mengurangi naungan dan melakukan pemangkasan.
3. Mengusahakan supaya selama jangka waktu tertentu tidak terdapat buah kopi, baik di
pohon ataupun di tanah. Dengan demikian kumbang betina tidak mempunyai buah
kopi untuk makanan atau untuk tempat berkembang biak. Hal tersebut dapat
diusahakan antara lain melalui rampasan, lelesan, petik bubuk
b. Bubuk Ranting Coklat (Xylosandrus morigerus)
96
Gejala serangan:
Hama ini menyerang tanaman kopi di pembibitan, tanaman muda dan tanaman
dewasa. Di pembibitan hama menyerang bagian batang, sehingga daun menjadi kering
dan seringkali menyebabkan kematian. Bila tanaman muda yang terserang maka
pertumbuhan dan masa berbuah akan terhambat. Bubuk ranting coklat dapat menyerang
sampai ke dalam akar tunggang.
Pengelolaan:
1. Pemanfaatan musuh alami misalnya Tetrastichus sp.
2. Sanitasi kebun dengan membersihkan kebun dari cabang-cabang yang berserakan di
bawah pohon, karena dapat menjadi sumber infeksi. Pada saat pemangkasan,
cabang dan ranting yang terserang dikumpulkan kemudian dibakar.
c. Kutu Hijau (Coccus viridis)
Gejala serangan:
Kutu pada umumnya terdapat di bagian bawah tanaman yang masih muda, daun
atau ranting yang masih berwarna hijau. Pada daun, kutu dijumpai di permukaan bawah,
terutama pada pertulangan daun. Bunga dan buah muda juga dapat terserang. Akibat
tusukan dan pengisapan oleh kutu pada tanaman, warna hijau dari bagian yang
terserang akan berubah menjadi kuning sehingga daun akan mengering dan gugur.
Serangan pada ranting muda seringkali menyebabkan ranting mati dan daun gugur.
Selain itu internoda juga menjadi pendek.
Pengelolaan:
1. Secara alami dengan memanfaatkan predator Coccinella sp, parasitoid Coccophagus
sp, jamur Cephalosporium sp.
2. Membersihkan pertanaman dari semut rangrang karena serangan kutu akan sangat
merugikan apabila semut rangrang dibiarkan hidup.
d. Kutu Dompolan (Planococcus citri)
Gejala serangan:
Hama menyerang pembungaan. Kuncup bunga dan buah muda yang baru muncul
menjadi kering dan gugur karena kutu mengisap pada tangkai bunga dan tangkai buah.
Bila buah yang diserang sudah cukup besar, buah tidak gugur tetapi pertumbuhannya
terlambat dan berkerut. Bila populasi kutu tinggi, bagian tanaman yang lain seperti daun,
tangkai daun dan cabang yang masih hijau juga diserang.
Pengelolaan:
1. Memanfaatkan musuh alami seperti predator Scymnus sp, Cryptolaemus sp.
2. Secara mekanis dengan membuang bagian tanaman terserang yang merupakan
sumber infeksi, missal pemangkasan.
3. Pengendalian kimiawi dengan menggunakan insektisida sistemik.
2. KAKAO
a. Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella)
Gejala serangan:
Ulat merusak buah kakao dengan cara menggerek buah, memakan kulit buah,
daging dan saluran ke biji. Buah yang terserang lebih awal menjadi berwarna kuning, dan
jika digoyang tidak berbunyi. Biasanya lebih berat dari yang sehat. Biji-bijinya saling
melekat, berwarna kehitaman serta ukuran biji lebih kecil.
97
Pengelolaan:
Hama ini dapat dikendalikan dengan sanitasi, pemangkasan, membenam kulit
buah, memanen satu minggu sekali, kondomisasi, serta dengan cara hayati/biologi
seperti Trichogramma sp, cecopet.
b. Kepik Pengisap Buah Kakao (Helopeltis sp)
Gejala serangan:
Serangan pada buah tua tidak terlalu merugikan, tetapi sebaliknya pada buah
muda. Buah muda yang terserang mengering lalu rontok, tetapi jika tumbuh terus,
permukaan kulit buah retak dan terjadi perubahan bentuk. Serangan pada buah tua,
tampak penuh bercak-bercak cekung berwarna coklat kehitaman, kulitnya mengeras dan
retak. Serangan pada pucuk atau ranting menyebabkan pucuk layu dan mati, ranting
mengering dan meranggas.
Pengelolaan:
1. Pemangkasan
2. Pemanfaatan musuh alami seperti parasitoid Telenomus sp, jamur Beauveria
bassiana, pemangsa cecopet, belalang sembah, laba-laba
c. Penggerek Batang/Cabang (Zeuzera coffeae)
Gejala serangan:
Hama merusak bagian batang/cabang dengan cara menggerek menuju xylem
batang/cabang. Selanjutnya gerekan membelok ke arah atas. Menyerang tanaman
muda. Pada permukaan lubang yang baru digerek sering terdapat campuran kotoran
dengan serpihan jaringan. Akibat gerekan ulat, bagian tanaman di atas lubang gerekan
akan merana, layu, kering dan mati.
Pengelolaan:
1. Membersihkan lubang gerekan dan ulat yang ditemukan dimusnahkan.
2. Secara mekanik dengan memotong batang/cabang terserang 10 cm di bawah lubang
gerekan ke arah batang/cabang kemudian ulatnya dimusnahkan.
3. Pemanfaatan jamur Beauveria bassiana.
d. Tikus dan tupai
Gejala serangan:
Buah kakao yang terserang tikus akan berlubang dan akan rusak atau busuk
karena kemasukan air hujan dan serangan bakteri dan jamur. Tikus menyerang buah
kakao yang masih muda dan memakan biji beserta dagingnya. Tikus menyerang malam
hari. Gejala serangan tupai umumnya dijumpai pada buah yang sudah masak karena
tupai hanya memakan daging buah, sedangkan bijinya tidak dimakan. Biasanya di bawah
buah-buah yang terserang tupai selalu berceceran biji-biji kakao. Jadi tikus benar-benar
hama, tetapi tupai tidak karena biji bisa dikumpulkan kembali. Tupai menjadi hama
(merugikan) apabila biji-biji tadi tidak dikumpulkan.
Pengelolaan:
Pengelolaan tikus dilakukan dengan sanitasi, umpan racun
3. KAPAS
a. Sundapteryx bigutulla
98
Gejala serangan:
Tanda pertama dari serangan hama ini adalah menguningnya ujung daun dan
agak mengkerut. Pada tingkat serangan berat, warna daun agak coklat memerah dan
pertumbuhannya menjadi kerdil. Pada permukaan bawah daun yang terserang sering
terdapat bercak berwarna kuning. Kemudian daun akan mengering dan gugur. Kuncup
dan buah muda dapat membuka lebih awal dan gugur. Hama ini menyerang sejak
tanaman muda di lapang.
Pengelolaan:
Pemanfaatan musuh alami kumbang kubah, kepik dan berbagai macam laba-laba.
Secara fisik mekanik dengan mengumpulkan hama kemudian mematikannya.
b. Penggerek pucuk (Earias vittela)
Gejala serangan:
Ulat penggerek pucuk memakan pucuk tanaman kapas sehingga menyebabkan
kematian. Kuncup bunga dan buah muda akan rontok. Buah besar juga dimakan tetapi
tidak menimbulkan kerontokan.
Pengelolaan:
Memanfaatkan musuh alami seperti Trichogramma sp, Brachymeria sp, Diadegma
sp, laba-laba.
c. Ulat buah (Helicoverpa armigera)
Gejala serangan:
Hama ini memakan daun, bunga dan buah kapas. Cara makannya dengan
melubangi bagian bawah. Buah yang terserang akan menjadi busuk.
Pengelolaan:
Memanfaatkan musuh alami Trichogramma sp, Apanteles sp, Encarsia sp.
d. Kutu daun (Aphis gossypii)
Gejala serangan:
Kutu ini memakan daun kapas dari bawah. Daun menggulung, dan tanaman
tumbuh kerdil. Ada yang berwarna kuning, hijau dan hitam.
Pengelolaan:
Kumpulan kutu merupakan makanan paling enak untuk kumbang kubah.
4. TEH
a. Tungau Jingga (Tenuipelpus obovatus)
Gejala serangan:
Hama ini merusak pada musim kemarau. Serangan hama berakibat sedikitnya
pucuk teh yang dihasilkan. Serangan yang hebat menyebabkan hamparan teh tampak
merata kecoklat-coklatan. Daun muda yang diserang akan gugur, sedangkan daun tua
yang dan pada tangkainya berubah menjadi kecoklatan.
Pengelolaan:
1. Penggunaan tanaman pelindung yang dapat mengurangi perkembangbiakan hama.
2. Pengelolaan dengan insektisida selektif dan efektif
99
b. Ulat Penggulung Daun Teh (Enarmonia leucastoma)
Gejala serangan:
Enarmonia memiliki daya lekat yang berasal dari air liurnya pada tepi pucuk daun
yang ditempatinya. Karena benang liurnya ditempatkan secara melintang, pucuk daun
tersebut seakan-akan terikat sehingga sulit sekali untuk membuka dan ulat ini selanjutnya
berada di dalam pucuk tanaman. Hama ini menggerek daun muda dari dalam daun.
Terkadang lebih dari sehelai daun muda yang berhasil digereknya selama ulat itu tidak
berpindah tempat. Gejala yang tampak jelas adalah pucuk daun teh yang menggulung
dalam keadaan rusak di bagian dalamnya, pertumbuhan daun teh selanjutnya menjadi
tidak normal.
Pengelolaan:
Pengelolaan dilakukan secara mekanik yakni dengan pemetikan daun teh yang
menggulung dan melakukan sortasi terhadap daun-daun teh sewaktu penimbangan.
Semua daun teh terserang dimusnahkan dengan berbagai cara diantaranya pembakaran.
c. Ulat penggulung daun melintang (Homona coffearia)
Gejala serangan:
Ulat melakukan pengrusakan dari dalam daun sehingga daun tampak berkerut dan
rusak. Ulat menggulung daun yang tidak terlalu tua sedang cara menggulungnya hampir
sama dengan Enarmonia sp, tetapi hanya bagian tepinya saja yang dilekatkan.
Pengelolaan:
Pengelolaan dilakukan secara mekanik yakni dengan pemetikan daun teh yang
menggulung dan melakukan sortasi terhadap daun-daun teh sewaktu penimbangan.
Semua daun teh terserang dimusnahkan dengan berbagai cara diantaranya pembakaran.
d. Setora nitens
Gejala serangan:
Biasanya menyerang daun muda dan tua, sehingga tidak mengherankan jika
serangan berat dapat mengakibatkan perkebunan teh menjadi gundul.
Pengelolaan:
Menggunakan musuh alami seperti Cryptus caymorus, Chlorocryptus sp, Corypus
javenus, kepik Sycanus sp, Canthecona sp.
5. TEBU
a. Penggerek Pucuk Putih (Schirpophaga nivella intacta)
Gejala serangan:
Bila serangan terjadi pada daun yang belum membuka, maka apabila daun telah
membuka akan tampak deretan lubang pada daun yang ditembus larva berwarna coklat.
Pada ibu tulang daun yang tergerek tampak lorong gerekan yang berwarna kecoklatan.
Serangan pada titik tumbuh mengakibatkan kematian tanaman yang ditandai dengan
mengeringnya daun-daun muda yang masih menggulung dan terletak di tengah tajuk
yang dikenal sebagai “mati puser”. Daun termuda yang mati mudah dicabut.
Pengelolaan:
Pemanfaatan musuh alami parasit telur Telenomus sp.
b. Penggerek Batang Bergaris Tebu (Chilo sacchariphagus)
100
Gejala serangan:
Ulat-ulat muda yang baru menetas hidup di dalam pupus, diantara daun-daun
muda yang masih menggulung. Ulat-ulat itu memakan jaringan-jaringan daun. Akibatnya
jika daun-daun muda sudah terbuka akan terlihat luka-luka pada daun yang memanjang
dan tidak teratur. Ulat yang telah beberapa hari hidup dalam pupus kemudian akan turun
melalui sebelah luar pucuk tanaman dan ulat akan menembus masuk ke dalam tanaman
lagi melalui ruas tanaman. Bagian luar ruas muda yang digerek akan didapati lubang
tepung gerek. Apabila ruas terserang dibelah akan terlihat lorong-lorong gerek lebar serta
jalannya sangat tidak teratur. Dalam satu ruas terdapat satu atau lebih ulat.
Pengelolaan:
Pemanfaatan parasitoid telur Telenomus sp, Trichogramma sp, parasitoid larva
Apanteles sp, dan parasitoid pupa Xanthopimpla sp.
c. Kutu Bulu Putih (Ceratovacuna lanigera)
Gejala serangan:
Kutu sewaktu-waktu dapat mengeluarkan cairan yang mengandung gula. Cairan
tersebut menetes ke permukaan daun di bawahnya. Tetesan cairan tersebut merupakan
medium yang baik untuk pertumbuhan cendawan jelaga yang berwarna hitam sehingga
asimilasi akan terhambat. Serangan yang parah menyebabkan pertumbuhan terhambat
serta tanaman menjadi kerdil.
Pengelolaan:
Pemanfaatan musuh alami Encarsia flavoscutellum.
d. Tikus (Bandiota indica, rattus argentiventer)
Gejala serangan:
Tanaman tebu yang terserang menunjukkan tanda bekas keratan sepotongsepotong pada batang tebu. Pada serangan berat mengakibatkan tanaman patah. Selain
itu untuk mengetahui adanya tikus dapat pula dilihat jejak-jejaknya dan adanya lubang
aktif dengan tanda khusus.
Pengelolaan:
1. Pemasangan umpan beracun
2. Pemanfaatan musuh alami seperti kucing, ular, burung elang.
6. KELAPA
a. Kumbang Janur Kelapa (Brontispa longissima)
Gejala serangan:
Larva dan serangga dewasa hidup di dalam lipatan anak daun pucuk yang belum
membuka, Larva menggerigiti dan mengorok kulit anak daun secara memanjang
membentuk garis-garis. Akibatnya daun tidak mau membuka atau hanya membuka
sedikit. Daun yang terserang mudah menjadi kering serta salah bentuk. Dari jauh, pucuk
pohon kelapa yang terserang nampak kisut, keriting dan kering. Hal ini berpengaruh
terhadap produksi buah. Tandan yang akan berkurang jumlah buahnya terutama yang
berada di ketiak daun yang terserang tersebut.
Pengelolaan:
1. Cara mekanis dengan mengerat sedalam-dalamnya pucuk yang terserang hama.
2. Pemanfaatan parasit larva Tetrastichus brontispae.
101
b. Kumbang Nyiur (Oryctes rhinoceros)
Gejala serangan:
Bekas serangan dapat terlihat dari adanya potongan-potongan yang berbentuk
segitiga pada daun kelapa. Bagian yang diserang adalah pucuk pohon dan pangkal daun
muda, yaitu jaringan yang mengandung cairan yang kaya gizi. Bila titik tumbuh terserang,
pohon kelapa akan mati karena tidak menghasilkan daun lagi. Serangan hama ini dapat
mengakibatkan kerusakan sekunder seperti serangan kumbang tanduk kelapa, kumbang
sagu dan cendawan.
Pengelolaan:
1. Membersihkan semua tempat yang diduga menjadi tempat perkembangbiakan hama.
Membakar tanaman yang mati akibat serangan hama.
2. Penggunaan jamur Metarhizium anisopliae
c. Kumbang Sagu (Rhynchophorus sp)
Gejala serangan:
Larva merusak akar, batang dan tajuk tanaman muda. Pada tanaman dewasa
hanya tajuknya saja. Apabila menyerang tajuk, gerekan pada pucuk dapat
mengakibatkan patah pucuk dan jika larva mencapai titik tumbuh berakibat tanaman tidak
dapat menghasilkan daun baru. Dari liang gerekan pada tanaman muda sering keluar
lendir merah coklat.
Pengelolaan:
Serangan hama ini merupakan kelanjutan dari serangan kumbang Oryctes, karena
itu serangan Oryctes harus dihindari. Dijaga pula supaya tidak terjadi luka-luka pada
pohon kelapa. Secara preventif dengan memotong tanaman yang telah terserang dan
mengambil serangga hamanya serta sanitasi kebun. Pemanfaatan parasit larva Scolia
erratica dan tungau buas yang menyerang kepompong dalam “kokonnya”.
d. Belalang Pedang (Sexava coreacea)
Gejala serangan:
Serangga muda dan tua memakan daun kelapa dari pinggir, meninggalkan bekas
yang tidak rata. Serangan dimulai dari pelepah terbawah. Sebelum daun bagian bawah
habis dimakan, mereka pindah ke daun sebelah atas. Serangan berat hanya
meninggalkan beberapa pelepah pucuk sedangkan bagian bawah tinggal lidinya saja dan
pohon kelapa sama sekali tidak menghasilkan buah selam 1-2 tahun.
Pengelolaan:
1. Pengelolaan telur dengan pengolahan tanah, bercocok tanam atau pemberian
insektisida ke dalam tanah.
2. Pengelolaan secara hayati dengan memanfaatkan parasit telur Leefmansia bicolor
dan Tetrastichus sp.
3. Apabila parasit tidak mampu lagi menekan peningkatn populasi, dapat dilakukan
injeksi batang dengan pestisida.
e. Artona catoxantha
Gejala serangan:
Ada tiga tingkat gejala serangan:
102
1. Gejala serangan titik. Ulat muda memakan jaringan anak daun bagian bawah. Bekas
yang dimakan menyerupai titik.
2. Gejala serangan bergaris. Ulat muda yang sudah lebih tua mengetam lapisan anak
daun bagian bawah setempat-setempat. Bekas ketamannya seperti garis.
3. Gejala serangan pinggir. Ulat yang sudah dewasa memakan helaian anak daun dari
pinggir ke tengah, sehingga anak daun itu terpotong tak teratur bagian pinggirnya.
Akibat serangan Artona, daun tua tampak kering berwarna merah-coklat
seluruhnya dan tinggal hijau segar hanya 2 atau 3 daun di pucuknya saja. Serangan
Artona tidak sampai mematikan pohon kelapa. Serangan yang hebat menyebabkan buah
termuda gugur, kemudian disusul oleh buah muda yang agak besar, kelapa muda dan
akhirnya buah-buah tua. Serangan akan lebih hebat dan lama pengaruhnya saat awal
musim kemarau.
Pengelolaan:
Secara mekanik dengan pemotongan pelepah daun tua pada periode kepompong
kemudian dibakar. Beberapa musuh alami yang dapat mengendalikan hama ini
Apanteles sp, Neoplecturs bicarinatus, Cadursia leefmansia, Goryphus inferus. Secara
kimiawi dilakukan dengan memberikan insektisida sistemik melalui pengeboran batang
atau pemotongan akar. Untuk tanaman yang masih rendah dilakukan penyemprotan
tajuk.
f. Kutu Kapuk Kelapa (Aleurodicus destructor)
Gejala serangan:
Serangga merusak daun kelapa karena mengisap cairan sel sehingga
meninggalkan bekas berupa bercak-bercak kuning. Kutu ini secara berkoloni pada
permukaan bawah daun. Permukaan bawah daun dimana ada koloni tampak tertutup
oleh benang wol putih.
Pengelolaan:
Hama ini dapat dikendalikan oleh parasit Tetrastichus sp dan Encarsia sp. Secara
kimiawi dapat dilakukan dengan insektisida sistemik melalui suntikan.
g. Kutu Perisai (Aspidiotus destructor)
Gejala serangan:
Hama menyerang dengan cara mengisap jaringan sehingga menimbulkan bercak
kuning. Bercak ini jelas nampak dari bagian atas daun, sedangkan serangganya terdapat
pada permukaan daun bagian bawah. Disebut serangan ringan apabila anak daun yang
bergejala menunjukkan warna kuning emas pada tempat yang diduduki kutu perisai. Bila
anak daun yang menunjukkan gejala tersebut dalam jumlah yang besar maka seluruh
daun akan mati lebih dini dan warnanya berubah menjadi kelabu dengan sedikit merah
jambu. Pada serangan yang sangat berat daun yang berkembang tetap kecil, tidak tegak
dan kemudian tajuknya terkulai, akhirnya mati.
Pengelolaan:
Bila hanya beberapa anak daun yang terserang, cukup dengan membuang anak
daun tersebut, bila seluruhnya sebaiknya pelepah dipangkas dan dibakar. Kutu-kutu ini
sulit dikendalikan dengan insektisida karena tubuhnya ditutupi oleh lilin padat berbentuk
perisai. Penggunaan musuh alami seperti Chilocorus politus sangat efektif
mengandalikan kutu perisai.
103
h. Penggerek Bunga Kelapa (Batrachedra arenosella)
Gejala serangan:
Akibat serangan larvanya yang menggerek seludang mayang untuk memakan
bunga jantan dan betina, maka pada bekas liang gerekannya tadi keluar sejenis getah
yang berwarna kuning dan dapat dilihat dari bawah. Bunga jantan akan menjadi hitam
dan bunga betina mengeluarkan getah. Kerusakan biasanya terjadi pada perbungaan di
pangkal mayang. Mayang yang terserang dapat sedikit menghasilkan buah, bahkan bila
serangannya berat sama sekali tidak menghasilkan buah.
Pengelolaan:
Dititikberatkan pada cara hayati dengan menggunakan Chelonus sp. Dapat juga
digunakan cara kimiawi dengan pelaburan seludang.
i. Tikus Pohon
Gejala serangan:
Hama tikus hidup di atas pohon dan sering merusak buah-buah kelapa yang
masih muda. Akibat serangan tersebut buah muda gugur.
Pengelolaan:
Karena populasinya umumnya rendah, jarang dilakukan pengendalian secara
khusus. Pada umumnya dikendalikan dengan menggunakan senapan angin atau umpan
racun.
j. Bajing
Gejala serangan:
Hama menyerang buah kelapa yang tua atau yang daging buahnya telah tebal.
Tiap ekor bajing dapat menghabiskan sebutir kelapa pada tiap kali makan. Mereka
membuat sarang di atas pohon yang terbuat dari sabut pelepah kelapa atau aren dan
daun-daun kering.
Pengelolaan:
Pada umumnya dilakukan dengan diburu menggunakan senapan angin.
B. PASCA PANEN
1. BERAS
a. Bubuk beras (Sitophilus sp)
Gejala serangan:
Larva berada dalam butiran, demikian pula kepompongnya. Serangga dewasa
yang muncul dari kepompong akan keluar dari butiran-butiran beras sehingga
mengakibatkan butir-butir beras berlubang. Selain itu, komoditas yang terserang menjadi
kelihatan kotor karena ekskresinya maupun sisa-sisa kulit larvanya.
b. Kupu-kupu beras (Corcyra cephalonica)
Gejala serangan:
Ulat akan menggandeng-gandeng butir-butir beras dengan benang liurnya.
Ulatnya hidup di dalam gendengan beras tersebut dan menggerek dari dalam.
104
2. Biji-bijian
a. Kumbang tepung (Tribolium sp)
Gejala serangan:
Jenis komoditas yang diserang antara lain tepung, kacang tanah, beras, dan
kopra. Material yang berbentuk biji-bijian bila diserang akan berlubang-lubang,
sedangkan material yang berbentuk tepung akan kelihatan kotor karena ekskresinya
maupun sisa-sisa kulit larva.
b. Penggerek biji-bijian (Rhyzoperta dominica)
Gejala serangan:
Jenis komoditas yang diserang antara lain padi-padian, ketela pohon, gaplek, dan
jagung. Baik larva maupun dewasa merupakan pemakan yang sangat rakus, kerusakan
pada komoditas yang disimpan lebih hebat dibandingkan dengan serangga hama yang
lain. Hama ini bertindak sebagai hama primer. Material yang diserang akan berlubanglubang.
c. Kumbang padi-padian bergerigi (Oryzeaphilus sp)
Gejala serangan:
Hama ini merupakan hama sekunder pada material yang utuh tetapi merupakan
hama primer pada material yang telah digiling. Beberapa komoditas yang diserang antara
lain padi-padian, kopra, beras, dedak, rempah-rempah, dan buah-buahan yang
dikeringkan. Material yang terserang akan berlubang.
3. Umbi-umbian
a. Cylas formicarius
Gejala Serangan:
Umbi yang terserang terdapat lubang dan membuat lorong gerekan. Apabila
serangan masih baru biasanya dari lubang tersebut keluar sisa gerekan berwarna
keputih-putihan. Lama-kelamaan di sekitar lubang menjadi busuk. Apabila umbi tersebut
dibelah maka akan tampak lubang-lubang serta jalur-jalur bercabang-cabang. Akibatnya
ubi akan terasa pahit.
4. Tembakau
a. Lasioderma serricorne
Gejala serangan:
Hama ini dikenal dengan sebutan “cigarette beetle” karena kumbang ini
merupakan hama penting pada simpanan tembakau dan cerutu. Pada awalnya serangga
dewasa meletakkan telur di antara bahan (tembakau) dan setelah menetas langsung
membuat rongga dan merusak bahan. Komoditas yang terserang akan mengalami
kerusakan dengan adanya bekas gerekan larva sehingga akan menurunkan kualitas
tembakau atau cerutu.
Hama pasca panen lain yang juga sangat membahayakan komoditas di dalam
simpanan adalah tikus. Jenis-jenis tikus yang umum ditemukan dan merusak di gudang
penyimpanan diantaranya tikus wirok, tikus riul, tikus sawah, tikus rumah, dan mencit rumah.
Selain memakan biji-bijian, umbi-umbian dan beberapa jenis buah-buahan, tikus juga
105
memiliki kebiasaan menggigit benda-benda seperti kayu, plastik, dan lain-lain. Tikus aktif
pada malam hari. Untuk mengetahui ada tidaknya tikus di gudang dapat dilakukan
pemeriksaan kotoran yang biasanya dapat ditemukan di atas lantai gudang, pemeriksaan
terhadap kerusakan/bekas serangan tikus, misalnya karung goni yang sobek, komoditas
simpanan yang berceceran di lantai. Selain itu juga dapat melihat adanya sarang di dalam
atau di luar gudang. Pengelolaan tikus dapat dilakukan dengan Rodent Proofing untuk
mencegah keluar masuknya tikus. Eradikasi di dalam gudang dapat dilakukan dengan cara
gropyokan (jika memungkinkan) dan fumigasi. Umpan beracun, perangkap, gropyokan dan
emposan juga dapat dilakukan di luar gudang.
Pengelolaan hama-hama pasca panen:
1. Sanitasi sangat penting dilakukan untuk menghindari munculnya hama pasca panen.
Sanitasi dapat meliputi sanitasi gudang, sekitar gudang, dan komoditas.
2. Spraying
Spraying bertujuan untuk pencegahan terhadap barang yang disimpan supaya tidak
terinfeksi oleh hama dan mengurangi tingkat perkembangan hama serta pencegahan
serangan kembali. Spraying dengan insektisida dilakukan pada bangunan gudang,
ruangan, permukaan karung, dan dicampur langsung dengan biji-bijian. Yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan spraying adalah menghindari terjadinya kontak langsung
antar tubuh, kulit dengan insektisida, dosis dan aplikasi harus tepat agar tidak terjadi
penumpukan residu, waktu aplikasi tepat, dan dipastikan tidak ada hewan atau manusia
di sekitar tempat yang dispraying.
3. Fogging
Fogging merupakan salah satu cara yang efektif memberantas serangga yang aktif
terbang di dalam ruangan tertutup, seperti gudang. Biasanya menggunakan insektisida
yang mudah menguap.
4. Fumigasi
Fumigasi merupakan suatu cara Pengelolaan hama menggunakan fumigan. Cara ini
tidak dapat dipakai sebagai tindakan preventif karena setelah gas hilang tidak
mempunyai efek residu terhadap hama sehingga kemungkinan reinfestasi hama
sewaktu-waktu dapat terjadi. Fumigasi lebih bersifat eradikatif.
5. Di gudang tembakau biasanya digunakan lampu perangkap berwarna merah karena
hama Lasioderma sp tertarik dengan cahaya merah.
Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman
Materi 12
KEBIJAKAN PERLINDUNGAN TANAMAN
Tujuan:
1. Mempelajari dan memahami latar belakang sejarah perkembangan PHT di Indonesia
2. Mempelajari dan memahami pelaksanaan SLPHT
3. Mempelajari dan memahami penerapan PHT sebagai kebijakan perlindungan tanaman
nasional
Materi:
106
LANDASAN HUKUM
Di Indonesia ada beberapa peraturan perundang-undangan atau landasan hukum yang
berkaitan dengan kegiatan Perlindungan Tanaman. Yang dimaksud peraturan perundangundangan di sini meliputi:
 Undang-Undang (disyahkan oleh DPR dan Pemerintah),
 Peraturan Pemerintah (disyahkan oleh Pemerintah/Presiden dengan pemberitahuan pada
DPR)
 Keputusan Presiden (Keppres) dan Instruksi Presiden yang dikeluarkan dan ditandatangani
oleh Presiden
 Keputusan Menteri Pertanian dikeluarkan dan ditandatangani oleh Menteri Pertanian
Peraturan-peraturan yang tingkatannya di bawah KepmenTan mulai dari Peraturan
Direktorat Jenderal sampai Peraturan Daerah tidak akan dibahas.
Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur kebijakan dan
pelaksanaan perlindungan tanaman yaitu:
1. UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
2. PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman
3. PP No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan
Pestisida
4. Inpres No. 3 Tahun 1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng Coklat pada
Tanaman Padi.
5. KepmenTan No.434.1/Kpts/2001 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida
6. KepmenTan No. 517/Kpts/2002 tentang Pengawasan Pestisida
7. Kpts Bersama Mentan dan Menkes 711/Kpts/1996 tentang Batas Maksimum Residu
Pestisida Pada Hasil Pertanian.
Semua kegiatan perlindungan tanaman di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh
Pemerintah, petani maupun masyarakat harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan
tersebut, termasuk pasal-pasal mengenai Tindakan Pidana yang diberlakukan bagi pihak yang
melakukan pelanggaran atau yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
SEJARAH PHT SEBAGAI KEBIJAKAN NASIONAL
Dilihat dari sejarah, PHT dalam kebijakan perlindungan tanaman telah lama dibahas dan
disarankan oleh para pakar perlindungan tanaman kepada Pemerintah. Sejak tahun 1970
Komisi Perlindungan Tanaman telah mendesak Pemerintah untuk menerapkan PHT dalam
setiap program perlindungan tanaman. Namun karena Pemerintah masih asyik melaksanakan
program BIMAS dengan Panca Usaha Tani dimana pada usaha ke-4 (Pengendalian Hama dan
Penyakit) lebih mengutamakan penggunaan pestisida kimia, maka usulan Komisi Perlindungan
Tanaman kurang diperhatikan. Saran para pakar tentang penerapan PHT baru diperhatikan
Pemerintah setelah terjadi letusan wereng coklat yang menyerang tanaman padi seluas hampir
1 juta hektar pada tahun 1979-1980. Akhirnya pada tahun 1986 Presiden mengeluarkan
Instruksi Presiden No. 3/1986 yang terdiri atas banyak butir, yang paling penting diantaranya:
1. Pengendalian hama wereng coklat padi dengan prinsip PHT, antara lain dengan penanaman
VUTW, tanam serentak, pergiliran tanaman, penggunaan pestisida kimia secara selektif
terutama yang berbahan aktif buprofezin (kelompok IGR)
2. Sebanyak 57 formulasi pestisida kimia dinyatakan dilarang digunakan untuk pengendalian
hama padi.
107
3. Para petugas lapangan dan petani harus ditingkatkan kemampuannya dalam menerapkan
PHT melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan.
Sebagai tindak lanjut Inpres 3/1986, dengan bantuan dana internasional yang berasal
dari Pemerintah Belanda, Amerika Serikat dan Bank Dunia, sejak tahun 1989 Pemerintah
menyelenggarakan kegiatan SLPHT sebagai wahana pelatihan petugas dan petani padi dalam
menerapkan dan mengembangkan PHT. Empat Prinsip PHT yang dikembangkan sendiri oleh
petugas dan petani dalam SLPHT yaitu:
1. Budidaya Tanaman Sehat
2. Pelestarian dan Pemanfaatan Musuh Alami
3. Pengamatan Mingguan
4. Petani sebagai “Ahli” PHT
Sampai akhir tahun 1998 sekitar satu juta petani dan ribuan petugas (PHP dan PPL)
telah mengikuti SLPHT. Peranan sivitas akademika UGM dalam persiapan Inpres 3/1986,
persiapan dan pelaksanaan program SLPHT di tingkat nasional sangat menonjol, bahkan diakui
oleh dunia internasional. Secara politik pelaksanaan SLPHT memberikan tekanan yang kuat
pada Pemerintah dan DPR sehingga pada tahun 1992 disyahkan UU No. 12 tahun 1992
tentang Sistem Budidaya Tanaman. Sebagai tindak lanjut UU tersebut, Pemerintah
mengeluarkan PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman.
PHT MENURUT UNDANG-UNDANG
Menurut UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dikatakan bahwa
“Perlindungan tanaman adalah segala upaya untuk mencegah kerugian pada budidaya tanaman
yang diakibatkan oleh organisme pengganggu tumbuhan”.
OPT diartikan sebagai semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan,
atau menyebabkan kematian tumbuhan. OPT dapat dikelompokkan dalam kelompok hama,
penyakit dan gulma.
UU No. 12 pada Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman pasal 20 menyatakan
dua hal:
(1) Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem Pengendalian Hama Terpadu
(Sistem PHT).
(2) Pelaksanaan perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud ayat (1), menjadi
tanggungjawab masyarakat dan Pemerintah.
Menurut UU dan PP tersebut yang dimaksud Sistem PHT adalah upaya pengendalian
populasi atau tingkat serangan OPT dengan menggunakan satu atau lebih dari berbagai teknik
pengendalian yang dikembangkan dalam suatu kesatuan, untuk mencegah timbulnya kerugian
secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam sistem ini penggunaan pestisida
merupakan alternatif terakhir. Pengendalian OPT bersifat dinamis.
TEKNOLOGI PENGENDALIAN TERPADU
Sebagai landasan kebijakan perlindungan tanaman, UU tersebut telah menentukan
bahwa untuk pengendalian setiap jenis OPT harus dilakukan dengan memadukan berbagai
teknik pengendalian hama yang kompatibel. Dalam pemilihan teknologi pengendalian, UU
menekankan bahwa penggunaan pestisida kimia sebagai alternatif terakhir. Apabila sampai saat
ini ada pejabat, petugas atau mahasiswa yang berpendapat bahwa penggunaan pestisida kimia
108
harus dilaksanakan, berarti bahwa mereka belum mengetahui mengenai kebijakan perlindungan
tanaman nasional.
Sebagai penjabaran UU No. 12 Tahun 1992, PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan
Tanaman telah merinci mengenai penerapan teknologi pengendalian OPT secara terpadu
khususnya pada pasal 8 sampai pasal 16. Pasal-pasal tersebut menekankan pentingnya
kegiatan pemantauan dan pengamatan OPT sebelum dilaksanakan tindakan pengendalian
(pasal 9). Pasal 10 menguraikan beberapa komponen PHT yang meliputi:
a. cara fisik melalui pemanfatan unsur fisika tertentu,
b. cara mekanik, melalui penggunaan alat dan atau kemampuan fisik manusia,
c. cara budidaya, melalui pengaturan kegiatan bercocok tanam
d. cara biologi, melalui pemanfaatan musuh alami OPT
e. cara genetik, melalui manipulasi gen baik terhadap OPT maupun tanaman
f. cara kimiawi, melalui pemanfaatan pestisida, dan atau
g. cara lain sesuai perkembangan teknologi
PERLINDUNGAN TANAMAN TANGGUNGJAWAB MASYARAKAT
UU menyatakan bahwa teknik pengendalian OPT tidak seragam atau statis tetapi
dinamis sesuai dengan keadaan ekosistem lokal. UU juga menyatakan bahwa tujuan PHT
bukan membasmi atau memusnahkan hama tetapi mencegah kerugian secara ekonomis, dan
lingkungan.
Kalau kita ke desa-desa di pulau Jawa apalagi di luar Jawa ada kecenderungan yang
memprihatinkan tentang kesadaran dan pengertian masyarakat tentang siapa yang bertanggung
jawab terhadap kegiatan pengendalian OPT serta perbaikan teknologi budidaya di tempatnya
masing-masing. Petani cenderung menyerahkan kegiatan pengendalian pada aktivitas petugas
Pemerintah khususnya Dinas Pertanian atau Dinas Perkebunan. Petani banyak pasif dan
menunggu tindakan pemerintah dalam menanggulangi OPT yang sedang eksplosif. Keadaan ini
tidak baik karena kegiatan pengendalian selalu terlambat, menjadi tidak efektif karena populasi
hama telah meningkat dan menyebar di daerah yang luas. Dalam kondisi populasi dan
serangan OPT yang sedang dalam keadaan eksplosif pengendalian sangat sulit dilakukan.
Kegiatan pengendalian yang paling baik harus dilakukan sedini mungkin oleh masyarakat petani
sendiri tidak bergantung pada inisiatif pemerintah.
Kalau kita baca UU 12/1992 pasal 20 dikatakan bahwa “Pelaksanaan perlindungan
tanaman menjadi tanggungjawab masyarakat dan Pemerintah”. UU tersebut menyatakan bahwa
pada dasarnya perlindungan tanaman menjadi tanggungjawab masyarakat. Dalam hal-hal
tertentu seperti terjadinya eksplosi suatu jenis OPT yang luas, pelaksanaan perlindungan
tanaman dilakukan oleh masyarakat bersama Pemerintah. Pemerintah dalam hal ini akan
memberikan fasilitasi dalam hal penyediaan teknologi, ketrampilan dan sarana pengendalian di
lapangan. Dalam melaksanakan kegiatan pengendalian di lapangan atau pada lahan milik
petani sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat petani.
Apa sebab petani pasif, acuh tak acuh serta menyerahkan sepenuhnya tindakan
pengendalian OPT pada Pemerintah? Penyebab utama karena rendahnya kualitas kesadaran,
pengetahuan dan ketrampilan petani dalam melakukan pengelolaan ekosistem pertanian
mereka termasuk dalam melakukan pengendalian OPT. Dengan rendahnya kualitas SDM petani
kita, mereka tidak mampu mengelola lahan pertaniannya secara produktif dan profesional.
Keadaan ini diperparah dengan kepemilikan modal kerja dan tanah garapan yang sangat
marginal. Akibatnya hasil, kualitas dan harga produk pertanian dan perkebunan rakyat lebih
sering rendah sehingga tidak dapat memberikan penghasilan yang cukup bagi keluarga petani.
Kegiatan SLPHT (Sekolah Lapangan PHT) memberikan alternatif yang terbaik untuk
meningkatkan kualitas petani dan pekebun sehingga mereka secara mandiri dan aktif dapat
109
mengelola lahan pertanian atau perkebunannya secara profesional dan dapat memanfaatkan
sebanyak mungkin sumber daya alam yang ada di sekitarnya sehingga dapat menghasilkan
produk yang memiliki kuantitas dan kualitas hasil yang tinggi. Tujuan pelatihan dalam SLPHT
tidak hanya untuk penerapan pengendalian hama dengan prinsip dan teknologi PHT tetapi lebih
komprehensif yaitu mengelola ekosistem pertanian secara terpadu sehingga diperoleh produksi
dan hasil yang menguntungkan petani dengan mempertahankan populasi hama dan OPT pada
umumnya pada tingkat yang tidak merugikan hasil.
Kegiatan pemberdayaan petani dengan SLPHT sangat berbeda dengan kegiatan
penyuluhan pertanian konvensional yang masih sering dilaksanakan oleh para petugas
penyuluh lapangan secara rutin yang dikenal dengan kegiatan LAKU (Latihan Kunjungan).
Perbedaan utama adalah pada proses pembelajaran. Proses pembelajaran pada penyuluhan
konvensional dari atas (petugas penyuluh) ke bawah (petani), tetapi pada SLPHT adalah
pembelajaran bersama dari bawah (petani) ke atas (kelompok tani dan masyarakat). Para
Pemandu lapangan (PL) di SLPHT tidak berperan sebagai instruktor tetapi sebagai teman
belajar dan fasilitator petani peserta SLPHT.
PELAKSANAAN SLPHT
Sebanyak 20-25 petani dipilih sebagai peserta kelompok SLPHT yang dipandu oleh 2 PL.
Program pelatihan dilaksanakan selama satu musim tanam atau sekitar 3 bulan untuk tanaman
musiman (padi, kedelai, bawang merah, cabe, kubis, kentang, kapas), dan sekitar 3-4 bulan
untuk tanaman tahunan (kopi, kakao, teh, lada, jambu mete).
Kelompok tani bertemu setiap minggu sekali pada hari yang ditetapkan kelompok.
Mereka belajar tidak di ruang tertutup tetapi langsung di lapangan, pada petak pembelajaran
yang dibagi dua sub petak yaitu petak PHT dan petak Kebiasaan Petani sebagai pembanding.
Atas bimbingan para PL petani belajar mengamati, mengumpulkan OPT dan musuh
alami, melakukan analisis ekosistem serta mengambil keputusan pengelolaan ekosistem sesuai
dengan analisis hasil pengamatan. Mereka mempelajari dinamika ekosistem, dinamika hama
dan musuh alami serta mengambil keputusan secara berkelompok. Hasil keputusan kelompok
segera dilaksanakan di kebun pembelajaran, pembahasan hasil pada minggu berikutnya, dan
seterusnya sampai tanaman dipanen. Petani membandingkan hasil yang diperoleh dari petak
PHT dengan petak Non PHT yang masih mengandalkan penggunaan pestisida.
Pada setiap hari pertemuan SLPHT dari jam 7 pagi sampai 13.00 siang diisi dengan
acara:
 Pengamatan dan pengambilan sampel hama dan musuh alami
 Analisis Agroekosistem
 Pengambilan Keputusan Secara Berkelompok
 Topik Khusus untuk melakukan kajian topik-topik tertentu sesuai kebutuhan kelompok
 Dinamika Kelompok untuk meningkatkan kekompakan kelompok
Dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh tim independen baik terhadap SLPHT Pangan
maupun SLPHT Perkebunan diperoleh kesimpulan yang hampir sama yaitu:
1. Produksi petak PHT lebih tinggi
2. Kualitas produk lebih baik sehingga memperoleh penghargaan yang lebih tinggi
3. Penggunaan insektisida dan fungisida sangat menurun
4. Penggunaan pengendalian hayati dengan agens pengendalian hayati meningkat
5. Kemampuan dan kepercayaan diri petani terhadap konsep dan teknologi PHT meningkat
6. Keuntungan usaha petani meningkat.
Sayangnya saat ini perhatian Pemerintah terhadap tindak lanjut program pelatihan
SLPHT Pangan menurun karena diserahkan kepada pembiayaan Pemerintah Daerah,
110
sedangkan kegiatan SLPHT Perkebunan masih berjalan sampai akhir 2005. Jumlah petani yang
telah mengikuti SLPHT masih terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah petani pangan dan
perkebunan di Indonesia yang bekisar antara 30-40 juta.
KEBIJAKAN TENTANG PENDAFTARAN, PEREDARAN DAN PENGGUNAAN PESTISIDA
Pada dasarnya pestisida merupakan bahan kimia yang memiliki risiko bahaya bagi
kesehatan manusia dan lingkungan sehingga penggunaannya perlu dilakukan secara hati-hati
dengan pengawasan yang ketat. Karena itu setiap negara harus membuat peraturan yang
berhubungan dengan pendaftaran, perijinan, peredaran, penggunaan dan pengawasan
pestisida. Secara historis sejak tahun 1970 Pemerintah telah menerapkan prosedur pendaftaran
dan perijinan pestisida yang mengacu tatacara yang berlaku secara internasional. Pada tahun
1973 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 7/1973 tentang Pengawasan atas Peredaran,
penyimpanan dan penggunaan Pestisida.
Pasal 2 PP 7/1973 menyatakan bahwa:
1) Setiap orang atau badan hukum dilarang menggunakan pestisida yang tidak didaftarkan atau
memperoleh izin Menteri Pertanian
2) Prosedur permohonan pendaftaran dan izin diatur lebih lanjut oleh Menteri Pertanian
3) Peredaran dan penyimpanan pestisida diatur oleh Menteri Perdagangan atau Menteri
Pertanian
Pasal 3
1) Izin yang dimaksudkan diberikan sebagai IZIN TETAP, IZIN SEMENTARA atau IZIN
PERCOBAAN
2) Izin sementara dan izin percobaan diberikan untuk jangka waktu 1 tahun
3) Izin tetap diberikan untuk jangka waktu 5 tahun, dengan ketentuan bahwa izin tersebut
dalam jangka waktu itu dapat ditinjau kembali atau dicabut apabila dianggap perlu karena
pengaruh samping yang tidak diinginkan.
Meskipun sudah ada UU No. 12 Tahun 1992 dan PP 6 Tahun 1995 yang di dalamnya
juga mengandung pengaturan tentang pestisida, namun PP No.7 Tahun 1973 belum dicabut
sehingga masih diberlakukan sampai saat ini. Mengenai pengaturan pestisida UU No. 12/1992
menyatakan bahwa:
“Pestisida yang akan diedarkan dalam wilayah Negara RI wajib terdaftar, memenuhi standar
mutu, terjamin efektivitasnya, aman bagi manusia dan lingkungan hidup, serta diberi label”
“Pemerintah melakukan pendaftaran dan mengawasi pengadaan, peredaran serta penggunaan
pestisida”.
“Pemerintah dapat melarang atau membatasi peredaran dan/atau penggunaan pestisida
tertentu”
Dalam melaksanakan tugas pendaftaran dan pengelolaan pestisida secara nasional,
Menteri Pertanian dibantu oleh KOMISI PESTISIDA atau terkenal dengan nama KOMPES.
Komisi mempunyai tugas:
1. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri Pertanian sebagai bahan dalam
pengambilan keputusan mengenai kebijakan di bidang pestisida.
111
2. Mengkoordinasikan instansi/pihak terkait baik di dalam dan di luar Departemen Pertanian di
bidang pestisida kepada Menteri Pertanian,
3. Melakukan evaluasi data/informasi dalam rangka pendaftaran pestisida,
4. Melakukan evaluasi terhadap pestisida yang telah terdaftar dan telah memperoleh izin
Menteri Pertanian.
Saat ini Komisi Pestisida di bawah koordinasi Dirjen Bina Sarana Pertanian dan anggotaanggotanya dari seluruh jajaran Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan pengelolaan pestisida
seperti dari DepKes, Kementerian Lingkungan Hidup, Dep. Tenaga Kerja, dll beserta beberapa
pakar pestisida. Untuk melaksanakan tugas ke-3 dan ke-4 Kompes membentuk Tim Pakar
Evaluasi Pestisida.
Peraturan tentang prosedur perijinan pestisida telah beberapa kali direvisi yang terbaru
adalah SK Mentan No. 434.1/Kpts/2001 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida.
Pendaftaran pestisida dipersyaratkan dalam bentuk Bahan Teknis dan Bahan Formulasi.
Sampai bulan Mei 2004 ini sekitar 1000 formulasi pestisida telah terdaftar untuk pertanian,
peternakan, kehutanan, perikanan, pengendalian vektor penyakit manusia, pengendalian rayap,
pestisida rumah tangga, fumigasi, pestisida industri, dll.
KELEMBAGAAN PERLINDUNGAN TANAMAN
Dengan telah diundangkannya UU tentang Otonomi Daerah yaitu UU 22/1999 maka
terjadi perubahan struktur, wewenang serta status kepegawaian beberapa lembaga
perlindungan tanaman nasional. BPTPH (Balai Proteksi Tanaman dan Hortikultura) Propinsi
yang dahulu berada di bawah struktur Departemen Pertanian Pusat sekarang berada di bawah
Pemerintah Daerah Propinsi.
Kelembagaan Pemerintah Pusat
Dalam organisasi Departemen Pertanian, lembaga-lembaga yang tugas dan fungsi
khususnya perlindungan tanaman terdapat di 4 Direktorat Jenderal dan 1 (satu) Badan yaitu:
1. Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian yang membawahi Direktorat Pupuk dan Pestisida
2. Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan yang membawahi Direktorat
Perlindungan Pangan
3. Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura yang membawahi Direktorat Perlindungan
Hortikultura
4. Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan yang membawahi Direktorat Perlindungan
Perkebunan
5. Badan Karantina Pertanian yang membawahi Karantina Tumbuhan
Dalam struktur organisasi Pemerintah Pusat dan Daerah dikenal lembaga dengan status
dan fungsi pelaksanaan aspek-aspek teknis tertentu yang disebut Unit Pelaksana Teknis (UPT).
UPT Perlindungan Tanaman yang dibentuk Pemerintah Pusat cukup banyak baik yang berada
di Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat Perlindungan Hortikultura dan
Direktorat Perlindungan Perkebunan.
Sebagian besar UPT di bawah Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Ditlin
Hortikultura sudah diserahkan ke daerah sehingga berubah statusnya menjadi UPT Pemerintah
Daerah. Dua unit kerja yang termasuk UPT Ditlin Pangan adalah Sentra Peramalan Jasad
Pengganggu Tanaman Pangan di Jatisari Cikampek, dan Laboratorium Analisis Pestisida di
Pasar Minggu Jakarta. Sedangkan UPT Direktorat Perlindungan Perkebunan sampai tahun ini
masih belum diserahkan ke Daerah. UPT Ditlin Perkebunan adalah BPTP (Balai Proteksi
Tanaman Perkebunan) di Medan, Bandung, Jombang dan Ambon, dan beberapa Laboratorium
112
(Lab. Lapangan/LL, Laboratorium Utama Pengendalian
Vertebtara/LUV, dan Laboratorium Analisis Pestisida/LAP).
Hayati/LUPH,
Lab
Utama
Perlindungan Tanaman di Organsiasi Pemerintah Propinsi
Sebagai konsekuensi kebijakan otonomi daerah struktur organisasi Pemerintah Propinsi
dan Pemerintah Kabupaten sangat beragam, tergantung pada kebijakan dan program kerja
daerah yang bersangkutan. Sampai tahun 2003 Indonesia memiliki 33 propinsi, 273 kabupaten,
dan 63 kotamadya yang mempunyai struktur organisasi yang sangat beragam. Hal ini termasuk
mengenai keberadaan, kedudukan, dan letak lembaga yang berwewenang dalam mengelola
perlindungan tanaman.
Operasionalisasi kegiatan pengkajian dan pengendalian OPT di tingkat daerah dilakukan
oleh BPTPH Propinsi sebagai UPT Daerah. BPTPH di lapangan mempunyai beberapa
laboratorium perlindungan tanaman seperti BPTPH DIY memiliki laboratorium di Bantul. Karena
itu pada struktur organisasi Dinas-dinas yang ditetapkan oleh SK Kepala Daerah seringkali
posisi perlindungan tanaman tidak ada terutama di Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan/atau
Hortikultura. Di Dinas Perkebunan seperti di Jawa Tengah dan DIY bagian perlindungan
tanaman masih tampak kadangkala sebagai eselon II (Sub Dinas Perlindungan Tanaman) atau
sebagai eselon III (Seksi Perlindungan Tanaman).
LAMPIRAN I
AMBANG EKONOMI BERBAGAI JENIS HAMA
PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN
1. Padi
No.
1.
Jenis hama
Rattus argentiventer
Sampel pengamatan
- 30 rumpun pada
masa vegetatif.
- 20 rumpun pada
113
Ambang ekonomi
Persentase tanaman terpotong
>5%
2.
3.
4.
Nilaparvata lugens
Sogatella furcifera
Nephotettix virescens, N.
malayanus, dan N.
nigropictus
5.
-
4.
Scirpophaga incertulas
S. innotata
Chilo supressalis
C. polychrysus
Sesamia inferens
Mythimma separata
Spodoptera litura
S. exemta
S. mauritia
pemasakan bulir
20 rumpun / petak
20 rumpun / petak
20 rumpun / petak
20 rumpun / petak
20 rumpun / petak
5.
Cnapalocrosis medinalis
20 rumpun / petak
6.
Nymphula depunctalis
20 rumpun / petak
7.
8.
Leptocoryza acuta
Orseolia oryzae
20 rumpun / petak
20 rumpun / petak
1 nimfa / tunas
1 nimfa dewasa / tunas
a. Ada tungro : 1 nimfa
dewasa / tunas
b. Tidak ada tungro : 5 nimfa
/ tunas
a. Tanam – malai berisi : 2 kel.
telur / 20 rumpun
b. Malai berisi – akhir
pembungaan : 1 kel. telur /
20 rumpun
a. Pesemaian : kerusakan daun
sebesar 50 %
b. Tanam – pembentukan malai
: kerusakan daun sebesar
25 %
c. Pembentukan malai – masak
: kerusakan daun sebesar
15 %
a. Fase vegetatif : kerusakan
daun sebesar 20 %
b. Sebelum pembentukan
malai–pembentukan bunga:
kerusakan daun 5 %
a. Semai – tanam : kerusakan
daun sebesar 50 %
b. Tanam – anakan terbentuk :
kerusakan daun sebesar 25
%
10 nimfa
2 telur/rumpun
2. Kedelai
No.
1.
Jenis hama
Spodoptera litura
Sample pengamatan
114
Ambang ekonomi
a. Umur tan. (31 – 50 hst) : 3
ekor larva instar 3 /
rumpun dan 4 kel. telur /
100 rumpun
b. Umur tan. (51 – 70 hst) : 6
ekor larva instar 3 /
2.
Chrysodeixis chalcites
10 rumpun/ petak
3.
Phaedonia inclusa
10 rumpun / petak
4.
Nezara viridula
10 rumpun
115
rumpun dan 7 kel. telur /
100 rumpun
c. Kerusakan daun 12,5 %
atau populasi ulat 10 larva
/ 20 rumpun (Balittan
Malang)
a. Fase vegetatif (11-30
hst):
- 200 larva instar 1
- 120 larva instar 2
- 20 larva instar 3
- kerusakan daun
sebesar 25 %
b. Umur tan. (31-50 hst):
- 200 larva instar 1
- 120 larva instar 2
- 30 larva instar 3
- kerusakan daun
sebesar 12,5 %
c. Umur tan. (51 – 70 hst):
- 200 larva instar 1
- 120 larva instar 2
- 50 larva instar 3
- kerusakan daun
sebesar 12,5 %
d. Populasi ulat 15 larva /
20 rumpun (Balittan
Malang)
a. Fase tanam- 10 hst : 1
imago
b. Fase vegetatif : 1 imago
c. Sebelum 45 hst :
kerusakan sebesar > 2 %
/ 20 rumpun acak
d. Umur tanaman 45 hst,
ditemukan serangan
sebesar 2 % (Balittan
Malang)
a. Umur tan (31 – 50 hst):
- 1 pasang kepik hijau - 1
pasang kepik coklat
b. Umur tan. (51 –70 hst) :
- 1 pasang
- kerusakan polong > 2,5
%
c. Umur tan 71 hst – panen
: 1 pasang
d. Umur 45- 50 hst, bila
ditemukan 3 ekor kepik /
5 tanaman atau
5
Piezodorus hybneri
a.
b.
c.
d.
6
Riptortus linearis
a. Umur tan (31 – 50 hst):
- 1 pasang kepik hijau
- 1 pasang kepik coklat
7.
Etiella zinckenella
10 rumpun / petak
8.
Ophiomyia
phaseoli
30 rumpun / petak
9.
- Lamprosema indicata
- Plusia chalcites
(Agromyza)
kerusakan polong 2%
(Balittan Malang)
Umur tan (31 – 50 hst):
- 1 pasang kepik hijau
- 1 pasang kepik coklat
Umur tan. (51 –70 hst) :
- 1 pasang
- kerusakan polong >
2,5 %
Umur tan 71 hst – panen
: 1 pasang
Umur 45- 50 hst, bila
ditemukan 3 ekor kepik /
5 tanaman atau
kerusakan polong 2%
(Balittan Malang)
10 rumpun / petak
116
b. Umur tan. (51 –70 hst) :
- 1 pasang
- kerusakan polong >
2,5 %
c. Umur tan 71 hst – panen
: 1 pasang
d. Umur 45- 50 hst, bila
ditemukan 1 ekor kepik /
4 tanaman atau
kerusakan polong 2%
(Balittan Malang)
a. Pertumbuhan polong (51 –
70hst) : 1 pasang atau 1
ekor dan polong terserang
> 2,5 %
b. Umur tanaman 45 hst , bila
terdapat serangan ratarata 2 % (Balittan Malang)
a. Umur tan. (tanam – 10 hst)
: 2 ekor atau 2,5 %
tanaman terserang
b. Umur tan. Sebelum 10 hst
: kerusakan > 2 %
c. Terdapat serangan 2 %
atau adanya 1 ekor lalat /
5m baris tanaman (Balittan
Malang, 1991)
a. vegetatif (11-30 hst) :
kerusakan daun sebesar 25
% atau ditemukan 30 larva
10.
Melanogromyza sojae
10 rumpun / petak
11.
Spodoptera litura
12 rumpun / petak
b. Umur tan. (31-50 hst) :
kerusakan daun sebesar
12,5 %
c. Umur tan (51 – 70 hst) :
kerusakan daun sebesar
12,5 %
d. Terdapat kerusakan daun
sebesar 12,5 % atau
ditemukan 15 ulat (Balittan
malang,1991)
a. Umur tanaman kurang dari
10 hari kerusakan sebesar
>2%
b. Umur tanaman 0-30 hst :
terdapat serangan > 2 %
a. 58 larva instar 1
b. 32 larva instar 2
c. 17 larva instar 3 (Ditlin)
d. 4 larva / 12 rumpun yang
berdekatan
e. Terdapat kerusakan daun
sebesar 12,5 % atau 15
larva / 20 rumpun (Balittan
Malang, 1991)
Lampiran 2
Daftar tumbuhan di Indonesia yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati
No
1
Nama Spesies
Achalypha indica
Nama Umum
Indian nettle
Nama Daerah
Rumput bolong
117
Bagian yang
digunakan
Daun, kulit
2 Acarus columus
3 Allium cepa
4 Allium sativum
5 Andropogon nordus
6 Annona muricata
7 Annona reticulata
8 Annona squamosa
9 Azadirachta indica
Bischo Bischofia javanica
10
11 Chrysantemum sp.
12 Cinnamomum burmanii
13 Citrus aurantium
14 Citrus hystrix
Cocos nucifera
15
16 Coleus sp.
17 Coriandum sativum
Croton triglium
18
19 Crynura sp.
20 Cucumis sativus
Cucurbita moschata
21
22 Cymbopogon sp.
23 Dahlia sp.
24 Derris elliptica
25 Derris malaccensis
26 Eclipta alba
27 Eugenia syzigium
28 Eunymus japonicus
29 Eupatorium triplinerpe
Ficus carca
30
31 Geranium sp.
32 Hedera nodosa
33 Impatiens sultani
34 Ipomea batatas
Lonchocarpus nicou
35
36 Lycopercicum sp.
37 Mammea Americana
38 Mundulae suberosa
39 Nerium oleander
40 Nicotiana tabaccum
41 Oxalis deppei
42 Pachyrrhyzus erosus
Pangium edulo
43
44 Pelargonium sp.
45 Peperomia sp.
46 Piper nigrum
47 Pogostemon cablin
48 Punica granatum
Ricinus communis
49
50 Rosa sp.
51 Sepindus rarak
Red onion
Garlic
Citronella
Custard apple
Sugar apple
Neem tree
Chrysant
Cinnamon leaf
Sour orange
Lemon
Coconut
Cucumber
Lemon grass
Frenchmarigold
Clove
Spindle tree
Delinggo
Bawang merah
Bawang putih
Serai wangi
Sirsak
Buah nina
Srikaya, delima
Nimba
Glintungan
Piretrum
Kayu manis
Jeruk
Jeruk purut
Kelapa
Daun jinten
Ketumbar
Kamalakian
Beluntas Cina
Mentimun
Labu besar
Serai dapur
Dahlia
Tuba
Tuba laut
Urang aring
Cengkeh
Kumbang
Ayapana
Fong tree
Zingiber balsam
Batate, patate
Daun ambrei
Pepaya hutan
Pacar air
Ubi jalar
Timbo, neku
Leunca, komir
Mamey
Common oleander
Tobacco
Lucky clover
Chinesse yan
Geranium
Black pepper
Cublin
Ponegranate
Costa bean
Mundula
Oleander, jure
Tembakau
Celincing
Bengkuang
Kapayang
Keranyam
Saladaan
Lada
Nilam
Delima
Jarak, kaliki
Mawar
Rerek, lerek
118
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun, biji
Kulit, buah
Akar, buah
Seluruh bagian
Daun
Bunga
Daun, kulit, buah
Daun
Daun, kulit, buah
Daging
Daun
Biji
Biji
Daun
Daun
Daun, biji
Daun
Daun
Akar
Akar
Akar, tangkai
Daun, bunga
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Akar
Seluruh bagian
Akar, ubi, kulit
Kulit, akar, batang
Akar, kulit, batang
Daun
Daun
Seluruh bagian
Dahan, daun
Daun, batang
Daun
Biji
Daun
Daun
Biji
Daun
Daun
52
53
54
Solanum tuberosum
Tephorisa vogelii
Zingiber officinale
Iris potato
Vogel teprosia
Ginger
Kentang
Jahe
Daun
Daun, biji
Rimpang
Sumber : DirJen Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian
119
Download