Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman Prof. Dr. Ir. Kasumbogo Untung, M.Sc. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta 2010 1 Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman. Prof. Dr. Ir. Kasumbogo Untung, M.Sc. Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah ini menguraikan Interaksi Tanaman dan Hama; Pendugaan Kehilangan Hasil dan Ambang Pengendalian; Landasan Ekologi Pengelolaan Hama; Pengamatan dan Pengambilan Sampel; Unsur dan Komponen Dasar PHT; Pengendalian dengan Varietas Resisten, Pengembangan Tanaman Transgenik, Karantina Tumbuhan; Pengendalian Hayati; Pengendalian Kimiawi; Pengelolaan Hama Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Pasca Panen; Kebijakan Perlindungan Tanaman. Tujuan Instruksional Khusus: Agar mahasiswa dapat: 1. Memahami dan menjelaskan pengertian + batasan hama tanaman, klasifikasi, identifikasi, taksonomi dan sistematikanya. 2. Memahami dan menjelaskan gejala serangan, mengukur berat serangan dan tingkat kerugian hasil yang diakibatkan oleh hama. 3. Memahami dan menjelaskan jenis-jenis hama dan gejala serangan hama tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan hama pasca panen. 4. Memahami dan menjelaskan sifat dan kemampuan beradaptasi hama pada tingkat individu. 5. Memahami dan menjelaskan faktor-faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi populasi hama dan kerusakan yang diakibatkannya. 6. Memahami dan menjelaskan cara penentuan dan penggunaan Ambang Pengendalian sebagai dasar rekomendasi pengendalian hama. 7. Memahami dan menjelaskan konsep dan prinsip-prinsip PHT dan penerapannya untuk berbagai jenis dan kelompok hama di pertanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan pasca panen. 8. Memahami dan menjelaskan beberapa kasus aktual lapangan yang berkaitan dengan pengendalian hama-hama utama di Indonesia. 2 Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman Materi 1 HAMA TANAMAN Pokok Bahasan: 1. Beberapa batasan dan pengertian. 2. Arti penting hama tanaman untuk program pembangunan pertanian. 3. Data kerusakan dan sebaran beberapa hama utama di Indonesia. 4. Sebab-sebab muncul dan berkembangnya masalah hama tanaman. 5. Tujuan pengendalian hama dan pongelolaan hama. Materi: PERISTILAHAN Hama Tanaman Merujuk pada binatang yang menjadi HAMA yakni merusak tanaman dan merugikan petani Selama binatang tersebut (serangga, tikus, nematoda, tungau, dll) mendatangkan kerugian disebut HAMA TANAMAN Tetapi keberadaan binatang di tanaman tidak selalu mendatangkan kerugian/kerusakan tanaman Banyak jenis binatang herbivora ada di pertanaman tetapi tidak semuanya menjadi hama Di samping itu di ekosistem banyak sekali jenis binatang yang tidak merugikan malahan menguntungkan seperti MUSUH ALAMI (parasitoid, predator), serangga PENYERBUK TANAMAN (lebah, tawon) serangga-serangga netral seperti SEMUT, dll. Istilah HAMA merupakan istilah yang ANTROPOSENTRIS artinya lebih berpusat pada kepentingan manusia. Bagaimana dengan istilah HAMA TUMBUHAN? Sebetulnya kurang tepat karena TUMBUHAN adalah semua jenis tetumbuhan yang hidup di biosfir termasuk tumbuhan di ekosistem alami atau tumbuhan yang tidak dibudidayakan manusia. TANAMAN adalah tumbuhan yang diusahakan manusia untuk diambil manfaatnnya bagi kehidupan manusia. Karena istilah HAMA pada dasarnya antropogenik, yang paling tepat kita gabungkan istilahnya adalah HAMA TANAMAN, istilah HAMA TUMBUHAN dapat juga dipakai meskipun kurang pas kombinasinya. Kalau istilah PENYAKIT TUMBUHAN memang lebih tepat, karena PENYAKIT lebih merujuk pada GEJALANYA. Tumbuhan sedang sakit, kondisi yang secara fisiologi tidak normal, tidak sehat. Setiap jenis tumbuhan termasuk TANAMAN dapat sakit. Sakitnya tumbuhan dapat disebabkan oleh karena infeksi jasad renik seperti virus, jamur, bakteri, dll, tetapi sakitnya mungkin juga karena kondisi fisik/abiotik yang tak sesuai seperti suhu, kering, basah, dll. Karena itu di Ilmu Penyakit Tumbuhan kita kenal Organisme Penyebab Penyakit. Kalau hama merujuk pada binatang yang merugikan, penyakit merujuk pada gejala tumbuhan yang SAKIT. OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan) merupakan istilah “formal/hukum nasional” yang digunakan oleh Pemerintah berdasarkan UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan PP 6/1995 tentang Perlindungan Tanaman. Menurut UU tersebut: 3 “OPT adalah semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan”. Digunakannya istilah OPT untuk mencakup semua kelompok pengganggu tumbuhan termasuk HAMA, PENYAKIT dan GULMA. Tiga kelompok pengganggu tumbuhan ini yang pengendalian atau pengelolaannya dicakup dalam bidang PERLINDUNGAN TANAMAN. Namun harap diperhatikan bahwa definisi OPT menurut UU ada perbedaannya dengan pengertian Hama Tanaman dan Penyakit Tumbuhan yang sudah dijelaskan di depan. Teman-teman Fitopatologi banyak yang tidak sependapat dengan istilah OPT. Dilihat dari sisi ilmu-ilmu dasar pendukung Perlindungan Tanaman sbb: HAMA TANAMAN : - Entomologi (ilmu serangga) - Nematologi (ilmu nematoda) - Rodentologi (Ilmu rodent/tikus) - Akarologi (ilmu akarina) - dll Karena sebagian besar hama termasuk kelompok serangga seringkali Ilmu Hama diartikan entomologi. PENYAKIT TUMBUHAN : - Fitopatologi - Virologi - Mikologi - dst GULMA : - Ilmu gulma Dalam bahasa inggris Istilah PEST sebenarnya digunakan untuk seluruh kelompok OPT, namun secara khusus sering diartikan untuk pengertian HAMA HAMA TANAMAN SEBAGAI PEMBANGUNAN PERTANIAN FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN PROGRAM Program Pembangunan Pertanian Nasional apakah dengan pola Pembangunan Pertanian AGRIBISNIS atau program KETAHANAN PANGAN sangat ditentukan oleh keberhasilan kita dalam mengendalikan, mengelola HAMA TANAMAN. Hal ini disebabkan karena berbagai jenis HAMA dan atau OPT lainnya dapat menurunkan KUANTITAS dan KUALITAS hasil-hasil pertanian, dan sangat sering MENGGAGALKAN PANEN, menyebabkan PUSO, artinya 100% GAGAL. Serangan HAMA mengakibatkan: 1. Produksi TURUN (nasional, propinsi, lokal, tingkat petani) 2. Kualitas ANJLOK (mutu rendah-sulit dipasarkan-diekspor) 3. Harga produk MEROSOT 4. Biaya produksi NAIK 5. RUGI secara ekonomik (biaya lebih besar daripada pendapatan) 6. PENGHASILAN NEGARA/DAERAH (PAD) TURUN 7. PENGHASILAN TURUN ---- KESEJAHTERAAN PETANI MENURUN ---- KEMISKINAN MENINGKAT Taksiran KASAR/KONSERVATIF. Rata-rata kehilangan hasil Produksi Pertanian karena serangan OPT ± 30% dari potensi hasil --- kehilangan hasil karena HAMA sekitar 20 4 – 25%. HITUNG SENDIRI secara finansial berapa kerugian yang kita derita setiap tahun karena hama-hama padi, bila produksi tahun 2003 itu diperkirakan 53 juta ton padi kering panen. Jumlah itu setelah dikurangi 25% kehilangan hasil oleh OPT padi. Menurut catatan DEPTAN 1997-2001, serangan OPT padi, jagung, kedelai sebesar Rp 463 milyar /tahun. Tahun 1999 serangan OPT Perkebunan merugikan sebesar Rp 340 milyar. Serangan OPT Hortikultura (mangga, jeruk, pisang, bawang merah, cabai, kentang, kubis, tomat) diasumsikan rata-rata Rp 1,7 trilyun/tahun. Lihat juga tabel keadaan serangan OPT di Indonesia pada tahun 2001-2002 (jenis dan luas serangan) Mengingat potensi penurunan hasil akibat HAMA yang sangat besar kegiatan Pengelolaan Hama menjadi BAGIAN PENTING - INTEGRAL dari setiap USAHA TANI atau BUDIDAYA TANAMAN agar diperoleh Tingkat PRODUKSI dan KUALITAS produksi yang DIINGINKAN baik oleh PEMERINTAH maupun PETANI – KELOMPOK TANI FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PENINGKATAN SERANGAN DAN KERUSAKAN OLEH HAMA Masalah hama di suatu lokasi pada saat/musim tertentu tidak muncul begitu saja tanpa penyebab atau faktor-faktor pendorong. Banyak faktor yang mendorong terus ada dan meningkatnya masalah hama. Hampir seluruh faktor pendorong tersebut adalah karena ulah/perbuatan/tindakan MANUSIA sehingga ekosistem pertanian menjadi sangat sesuai bagi pertumbuhan, pembiakan dan kehidupan hama tanaman. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Penanaman monokultur (jenis tanaman atau varietas tanaman yang sama) sepanjang waktu dan tempat, contoh padi 2. Penanaman jenis tanaman atau varietas tanaman yang peka hama tetapi unggul produksi 3. Penanaman jenis tanaman baru di suatu daerah sehingga belum ada musuh alami di lokasi baru ---- KARANTINA gagal 4. Penggunaan masukan produksi yang berkelebihan seperti pupuk buatan, pestisida, hormon tumbuh, pengairan dll. 5. Penggunaan pestisida kimia berspektrum lebar yang dilakukan secara tidak bijaksana, terus-menerus dan berlebihan. Pestisida membunuh musuh alami, resistensi dan resurjensi hama. 6. dll, termasuk terjadinya penyimpangan cuaca dan iklim KESIMPULANNYA: Masalah timbul, muncul dan terus ada karena manusia, jadi sering disebutkan bahwa hama saat ini adalah “MAN-MADE PEST” (Hama buatan MANUSIA). Tanpa ada kegiatan manusia tidak ada masalah hama. TUJUAN PENGENDALIAN HAMA DAN PENGELOLAAN HAMA Pada saat ini di kalangan petani, pejabat dan petugas pemerintah akademisi dan masyarakat dikenal 3 istilah pemberantasan hama, pengendalian hama dan pengelolaan hama. Pemberantasan hama: adalah usaha memusnahkan, membunuh hama yang umumnya dilakukan dengan pestisida kimia secara preventif, tidak memperhitungkan keadaan hama di lapangan apakah sedang dalam kondisi populasi rendah atau tinggi, pokoknya disemprot habis-habisan sampai petani merasa puas. Pemberantasan hama yang mengakibatkan munculnya resisitensi hama dan letusan hama yang berkelanjutan Pengendalian hama: lebih hati-hati daripada pemberantasan hama. Penggunaan pestisida hanya dilakukan bila populasi hama telah membahayakan atau melampaui ambang pengendalian atau ambang ekonomi. Bila populasi hama tidak membahayakan tidak perlu dikendalikan dengan pestisida. 5 Pengelolaan hama: Lebih menekankan aspek pengelolaan ekosistem (tanaman, tanah, mikroklimat, budidaya dll) sedemikian rupa sehingga populasi hama tetap berada dalam keseimbangan dengan musuh alaminya sehingga hama tidak membahayakan, tak perlu dilakukan pengendalian dengan pestisida tetapi produksi tanaman tetap tinggi, kualitas produksi baik PHT (Pengendalian Hama Terpadu) merupakan kebijakan Perlintan di Indonesia berdasarkan UU No 12/1992 dan PP 6/1995. PHT adalah usaha pengelolaan agroekosistem dengan memadukan berbagai teknik pengendalian hama (bercocok tanam, fisik, mekanik, varietas resisten, pengendalian hayati, pengendalian kimia, dll) sedemikian rupa sehingga populasi hama tetap berada di bawah Ambang Pengendalian. 6 Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman Materi 2 INTERAKSI TANAMAN DAN HAMA Interaksi antara tanaman dan hama dapat dilihat dari aspek EKOLOGIS dan EKONOMIS. Dari sisi ekologi hubungan antara tanaman dan hama merupakan interaksi yang saling mengendalikan antara tanaman yang autotroph dengan binatang HERBIVORA yang heterotroph dalam suatu sistem trofi yang berjalan secara EFISIEN dan berkesinambungan. Karena kemampuannya mengubah energi surya menjadi energi biokimia melalui proses fotosistesis tanaman menempati aras trofi pertama sebagai PRODUSEN. Energi pada tanaman digunakan oleh binatang yang memakan tanaman (HERBIVORA) yang menempati aras trofi kedua sebagai KONSUMEN PERTAMA. Binatang karnivora memperoleh energinya dengan memangsa herbivora sehingga menempati aras trofi ketiga sebagai KONSUMEN KEDUA, demikian seterusnya. Aliran energi di ekosistem melalui sistem trofi dapat dilihat pada gambar berikut: Energi memasuki ekosistem sebagai radiasi surya EKOSISTEM Produsen Konsumen 1 Konsumen 2 Dekomposer Energi keluar ekosistem sebagai panas Gambar 1. Aliran Energi dalam Ekosistem melalui Sistem Trofi Aras trofi 1 2 3 4 Istilah Ekosistem Antroposentris Tumbuhan Tanaman Herbivora Hama tanaman Karnivora 1 Predator, parasitoid (musuh alami) Karnivora 2 Predator, hiperparasitoid 7 Perlu diperhatikan bahwa di ekosistem termasuk ekosistem persaingan interaksi antara organisme yang menempati aras trofi yang sama atau antar aras trofi sangat kompleks, dan dinamis melalui proses evolusi dan koevolusi. Tujuan interaksi sebenarnya adalah terjadinya keseimbangan dan kestabilan ekosistem. Masalah ini akan dibahas pada kuliah dua minggu lagi. Aspek EKONOMIS Adanya populasi serangga/hama di suatu tanaman akan menimbulkan LUKA (“injury”) pada tanaman. Luka adalah setiap bentuk penyimpangan fisiologis tanaman sebagai akibat aktivitas serangga hama yang hidup, berada dan makan pada tanaman tersebut. Luka tanaman dapat mengakibatkan terjadinya KERUSAKAN (“damage”). Kerusakan adalah kehilangan hasil yang dirasakan oleh tanaman (petani) akibat adanya populasi hama atau serangan hama antara lain dalam bentuk penurunan kuantitas dan kualitas hasil. Pengertian dan istilah LUKA lebih terpusat pada HAMA dan AKTIVITASNYA, sedangkan KERUSAKAN lebih terpusat pada TANAMAN dan respon tanaman terhadap pelukaan oleh hama. Istilah-istilah lain berkaitan dengan hama dan tanaman yang saat ini digunakan dalam kegiatan pengamatan yang dilakukan oleh para petugas pengamat lapangan (dulu namanya PHP- Pengamat Hama dan Penyakit, sekarang namanya POPT- Pengendali OPT). 1. Tanaman terserang adalah tanaman yang digunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biak OPT dan atau mengalami kerusakan karena serangan OPT pada tingkat populasi OPT atau intensitas kerusakan tertentu sesuai dengan jenis OPT nya 2. Luas serangan: adalah luas tanaman terserang yang dinyatakan dalam hektar atau rumpun atau pohon 3. Intensitas serangan: adalah derajat serangan OPT atau derajat kerusakan tanaman yang disebabkan oleh OPT yang dinyatakan secara kuantitatif dan kualitatif. a. Intensitas serangan secara kuantitatif dinyatakan dalam % (persen) bagian tanaman/tanaman atau persen kelompok tanaman terserang. Intensitas serangan dalam % dilaporkan oleh PHP b. Intensitas serangan secara kualitatif dibagi menjadi 4 kategori serangan yaitu: ringan, sedang, berat dan puso. Kategori serangan dilaporkan oleh koordinator PHP, BPTPH. Adapun kategori intensitas serangan serangga hama secara umum dapat digunakan pedoman sbb: a. Serangan ringan bila derajat serangan <25% b. Serangan sedang bila derajat serangan 25-50% c. Serangan berat bila derajat serangan 50-90% d. Serangan puso bila derajat serangan >90 % CARA PELUKAAN TANAMAN OLEH SERANGGA A. Luka Oleh Serangga Pada Tanaman Yang Sedang Tumbuh 1. Luka oleh serangga penggigit 2. Luka oleh serangga pencucuk pengisap 3. Luka oleh serangga yang makan di dalam jaringan tanaman (internal feeders) termasuk penggerek, pengorok dan pembuat puru 4. Luka oleh serangga-serangga tanah 5. Luka oleh serangga yang sedang meletakkan telur dan membuat sarang 6. Luka oleh serangga-serangga yang “memperhatikan” serangga-serangga lain 7. Luka oleh serangga sebagai vektor/pengantar penyakit tumbuhan 8 Berbagai bentuk luka oleh serangga pada tanaman yang biasa kita catat sebagai GEJALA SERANGAN hama. 9 FAKTOR-FAKTOR BIOTIK DAN ABIOTIK Populasi Hama Populasi Tanaman LUKA KERUSAKAN KEHILANGAN HASIL DAN KUALITAS KERUGIAN EKONOMIK PETANI TINDAKAN MANUSIA Keterangan : Hasil interaksi antara populasi hama dan tanaman mengakibatkan luka pada tanaman, luka mengakibatkan kerusakan dan kerusakan tanaman karena hama menyebabkan terjadinya kehilangan atau penurunan hasil tanaman dan kualitas produk/hasil. Kehilangan hasil dapat berakibat pada kerugian ekonomi (biaya lebih besar daripada nilai produksi) yang dialami petani atau pengusaha pertanian. Hasil interaksi populasi hama dan populasi tanmaan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor biotik lainnya dan faktor-faktor abiotik dan terutama oleh tindakan manusia terhadap ekosistem Gambar 2. Interaksi antara Populasi Hama dan Tanaman 10 B. Luka Oleh Serangga Pada Manusia Dan Binatang Lain C. Serangga Sebagai Perusak Produk Di Gudang Dan Bahan-Bahan Lain D. Metode Pendugaan Kerusakan Tanaman Oleh Hama Pendugaan atau penghitungan pengaruh hama terhadap kerusakan tanaman dan kehilangan hasil karena serangan hama dapat dilakukan dengan menghitung atau mengukur luka atau gejala yang ditinggalkan atau diakibatkan oleh hama. Beberapa pengukuran yang sering digunakan adalah terhadap tanaman atau bagian tanaman antara lain seperti: 1. Keseluruhan tanaman Jumlah atau % tanaman mati/busuk atau yang menunjukkan gejala serangan hama tertentu 2. Daun Adanya kerusakan daun, lubang gerekan dan gejala daun lainnya diukur dengan menggunakan luas defoliasi, pengurangan berat kering daun 3. Batang Jumlah atau % puru, sundep, beluk Jumlah lubang keluar Panjang lubang gerekan Luka potongan batang oleh ulat 4. Buah dan benih Jumlah lubang atau luka di buah Jumlah atau % buah rusak seperti terserang PBK (Penggerek Buah Kakao) dan PBKo (Penggerek Buah Kopi) 5. Akar Panjang, berat kering atau volume perakaran yang terserang hama Luas kerusakan umbi seperti pada tanaman kentang. 9 Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman Materi 3 PENDUGAAN KEHILANGAN HASIL Pokok Bahasan: A. Pendugaan Kehilangan Hasil Akibat Serangan Hama (Crop Loss Assesment) B. Penggunaan Ambang Pengendalian sebagai tingkat pengambilan keputusan penggunaan PESTISIDA Materi: Pendugaan kehilangan hasil adalah usaha untuk menduga, menaksir bahkan meramal tentang kerugian ekonomi yang mungkin akan dialami oleh petani, perusahaan pertanian, pemerintah atau pengusaha agribisnis karena adanya serangan hama pada pertanaman yang mereka budidayakan. Dengan melakukan pendugaan kehilangan hasil para produsen pertanian dapat menentukan beberapa hal: Apakah keberadaan populasi hama di lahannya akan merugikan atau menurunkan hasil usahanya dalam kisaran toleransi ekonominya. Bila masih berada pada kisaran toleransi petani tidak perlu melakukan tindakan pengendalian atau mengeluarkan biaya untuk pengendalain. Apakah perlu dilakukan tindakan pengendalian atau pencegahan hama. Apabila perlu berapa besar biaya pengendalian yang harus dikeluarkan. Tentunya petani tidak akan mengeluarkan biaya pengendalian sampai melebihi nilai kehilangan hasil Bila petani sudah memutuskan perlu dilakukan tindakan pengendalian, teknik pengendalian mana yang akan digunakan apakah dengan cara kimiawi dengan pestisida kimia atau dengan secara hayati menggunakan musuh alami, atau menggunakaan varietas tanaman tahan hama dan seterusnya. Dalam menetapkan teknik pengendalian hama yang akan dilakukan petani/produsen adalah mempertimbangkan beberapa faktor yaitu a) efektivitas pengendalian, b) biaya pengendalian, dan c) risiko bahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Pendugaan kehilangan hasil juga akan digunakan untuk menentukan berapa nilai Ambang Pengendalian atau Ambang Kendali atau Ambang Ekonomi yang akan kita bahas pada akhir kuliah ini. Siapa yang memerlukan Kehilangan Hasil? Banyak pihak yang memerlukan data pendugaan kehilangan hasil, diantaranya: 1. Petani secara perseorangan (untuk petak dan lahan miliknya sendiri) atau secara berkelompok (untuk hamparan sawah/lahan). Satu kelompok hamparan besarnya terdiri dari 20-30 petani. 2. Pemeriantah Daerah dan Pemerintah Pusat, biasaya melalui Dinas Pertanian Kabupaten dan Departemen Pertanian melalui Ditjen Tanaman Pangan, Ditjen Tanaman Hortikultura dan Ditjen Perkebunan. 3. Pengusaha Pertanian misal PT Perkebunan milik Pemerintah, PT Pagilaran milik Fak. Pertanian UGM, dst. CARA PENDUGAAN KEHILANGAN HASIL Untuk menghitung kehilangan hasil dalam bentuk satuan berat (ton/ha) atau satuan rupiah (Rp/ha) secara TEPAT jelas sangat sulit dan tidak mungkin, karena tidak mungkin kita mengukur dan menghitung semua lahan yang ada baik milik petani dan kelompok tani maupun lahan pertanaman tertentu di suatu daerah (desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional). 10 Yang dapat kita lakukan adalah melakukan PENDUGAAN, kata-kata lain ESTIMASI, PENAKSIRAN, berdasarkan data hasil pengamatan yang dilakukan pada lahan/petak sawah/tanaman/pohon/rumpun yang digunakan sebagai SAMPEL, CONTOH yang mewakili. Untuk memperoleh taksiran kehilangan hasil untuk suatu petak atau hamparan/sawah atau suatu daerah kita harus mempunyai data seperti: 1. Luas serangan – LSR (dalam ha) 2. Intensitas serangan – ISR (dalam % rumpun/tanaman terserang) a ISR = --------------------- x 100% a + b Hasil Tanaman (ton/ha) a: jumlah rumpun/batang terserang b: jumlah rumpun/batang tak terserang 3. Hubungan antara intensitas serangan dengan hasil tanaman yang diperoleh dari pengalaman petani atau dari hasil penelitian. Suatu contoh: 10 6 5 2 20 50 80 100 Intensitas serangan (%) Gambar 3. Hubungan antara Intensitas Serangan Hama dengan Hasil Tanaman Dari fungsi ini kita mengetahui dugaan hasil tanaman atau produksi tanaman dalam kondisi intensitas serangan (%) tertentu, katakan 50% intensitas serangan, produksi atau hasil tanaman adalah 6 ton/ha. Kita sebut Produksi Tanaman Terserang (PTT) 4. Dari fungsi ini kita ketahui bahwa hasil tanaman yang tidak terserang hama atau produksi tanaman sehat (PTS) adalah 9,5 ton/ha. 5. Harga dari produk/hasil tanaman pada tingkat petani katakan Rp 1000/kg atau Rp 1 juta/ton (HG) 6. Kehilangan hasil (KH) dalam satuan berat (ton) = Luas serangan (LSR) x Produksi Tanaman Sehat (PTS) --- Luas serangan (LSR) x Produksi Tanaman Terserang (PTT) 7. Nilai kehilangan hasil (NKH) dalam rupiah = Harga produk (HG) x KH Suatu contoh: Untuk hama padi di suatu kecamatan ternyata LSR 500 ha. PTT= 6 ton/ha. PTS = 9,5 ton/ha dan harga padi kering panen (HG) Rp 1500/kg. KH = (LSR x PTS) – (LSR x PTT) = (500 x 9,5) – (500 x 6) = 4750 – 3000 ton = Rp 2.625.000.000 = Rp 2,625 milyar 11 Dengan perhitungan tersebut secara kasar kita dapat mengetahui seberapa besar kerugian yang dialami oleh petani, masyarakat dan pemerintah akibat terjadinya serangan hama tertentu. Dari cara penghitungan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa untuk menduga kehilangan hasil kita memerlukan hubungan fungsional antara populasi hama atau intensitas serangan (%) dengan hasil. Tanpa informasi tentang hubungan ini kita tidak dapat menduga/menaksir berapa hasil tanaman yang akan diperoleh bila terserang hama pada intensitas serangan atau populasi hama tertentu. Untuk memperoleh fungsi tersebut perlu dilakukan percobaan pengamatan langsung di lapangan. Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan antara lain: 1. Cara pertama adalah dengan cara ALAMI yaitu dengan: Mengamati beberapa petak sawah dengan menghitung berapa populasi hama atau intensitas serangan hama tertentu. Misal pada petak pertama intensitas serangan 5%, petak kedua 20%, petak ketiga 40%, petak keempat 60%, petak kelima 80%, dan petak keenam puso atau 95%. Pada waktu panen kita lakukan ubinan hasil pada semua 6 petak tersebut. Dari langkah pertama dan kedua tersebut kita dapat memperoleh fungsi hubungan intensitas serangan dan hasil. 2. Namun seringkali di lapangan kita mengalami kesulitan dalam mendapatkan petak-petak sawah yang memiliki kisaran lebar dalam kepadatan populasi hama atau intensitas serangan seperti contoh di atas. Untuk memperoleh intensitas serangan atau populasi hama yang berbeda seringkali kita lakukan secara BUATAN yaitu dengan menginfestasikan hama dalam pertanaman yang dikurung dalam suatu kasa yang selebar petak sawah. Dengan melakukan infestasi hama kita dapat mengatur berapa kepadatan populasi atau intensitas serangan yang kita inginkan. 3. Cara ketiga merupakan cara yang paling murah tetapi tidak teliti yaitu dari data EMPIRIK atau pengalaman dari petani kita lakukan wawancara pada petani yang sudah lama berpengalaman menghadapi masalah hama tertentu yang menyerang tanaman atau komoditas pertanian yang mereka usahakan. Kita tanyakan pada para petani berapa produksi tanaman yang mereka dapatkan dalam kondisi intensitas serangan hama rendah, sedang, tinggi dan puso, serta berapa produksi tanaman dalam kondisi sehat atau tidak terserang hama. Dari data empirik petani akhirnya kita dapat memperoleh hubungan fungsional antara intensitas serangan dan hasil. Cara ini mudah kita lakukan, tetapi sulitnya tidak semua petani ingat apalagi menyimpan data serangan hama dan kerusakan yang pernah mereka alami. PENETAPAN AMBANG PENGENDALIAN Dalam konsep PHT kita kenal beberapa istilah yang arti dan fungsinya sama yaitu: 1. Ambang Ekonomi (AE) “Economic Threshold” 2. Ambang Kendali (AK) “Economic Threshold” atau Ambang Pengendalian “Control Threshold” 3. Ambang Tindakan (AT) “Action Threshold” Artinya adalah suatu aras (tingkat) kepadatan populasi hama atau intensitas serangan hama yang membenarkan dimulainya penggunaan PESTISIDA untuk pengendalian hama. Tujuan penggunaan pestisida adalah menurunkan populasi hama sampai di bawah AE agar 12 Populasi Hama atau Intensitas Serangan PESTISIDA ARAS LUKA EKONOMI AMBANG EKONOMI ARAS KESEIMBANGAN UMUM 20 40 60 80 100 WAKTU (hari) Gambar 4. Populasi Hama dan letak Aras Luka Ekonomi, Ambang Ekonomi dan Aras Keseimbangan Umum pada Keadaan Normal dapat dikendalikan secara alami oleh kompleks musuh alami sehingga populasi hama tetap berkisar sekitar aras keseimbangan umum (Gambar 4). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa dalam keadaan gejolak populasi hama sepanjang musim tanam pestisida hanya diaplikasikan satu kali yaitu pada waktu populasi melampaui AE. Dengan demikian penggunaan pestisida dapat dihemat, petani tak perlu menggunakan pestisida secara berjadwal seperti seminggu sekali, atau pada umur 15, 20, 45, 60 HST (hari setelah tanam). Namun untuk melaksanakan prinsip tersebut ada dua syarat penting yaitu: 1. Harus dilakukan pengamatan secara berkala (katakan seminggu sekali) 2. Harus ada ketentuan mengenai berapa besar nilai AE/AK/AT tersebut Dengan demikian untuk setiap jenis hama yang menyerang komoditas tertentu harus mempunyai nilai AEnya masing-masing bahkan pada prinsipnya nilai AE suatu jenis hama tidak tetap, tidak sama dari satu tempat/lokasi ke tempat lain dari waktu ke waktu lain. Artinya nilai AE dinamis, tidak seragam. Yang menetapkan nilai AE yang paling baik adalah petani/kelompok tani sendiri yang berlaku untuk spesifik lahannya masing-masing. Saat ini karena petani banyak yang belum mampu nilai AE lebih sering mengikuti ketetapan atau rekomendasi pemerintah atau rekomendasi peneliti sehingga nilai AE cenderung seragam. Mungkin untuk sementara keadaan tersebut dapat berjalan tetapi harus diikuti dengan melakukan pelatihan pada petani untuk mengembangkan dan menetapkan AE nya sendiri. Biasanya petani menerima rekomendasi AE dari para PPL atau PHP (Pengamat Hama dan Penyakit). Suatu contoh untuk tanaman padi: AE wereng coklat : 5 nimfa + dewasa/rumpun padi pada fase vegetatif 10 nimfa + dewasa /rumpun pada fase generatif AE penggerek batang: 30% intensitas serangan pada fase vegetatif 10% intensitas serangan pada fase generatif (lihat lampiran) CARA PENETAPAN/PENGHITUNGAN AE Ada beberapa cara penentuan AE yang dapat kita lakukan: 1. Cara empirik atau berdasar pengalaman dari petani, peneliti atau petugas lapangan yang sudah lama menekuni dan merasakan tentang kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh serangan hama tertentu pada komoditas yang diusahakan. Berdasarkan data 13 Hasil (kuintal/ha) empirik/pengalaman selama bertahun-tahun dapat diperoleh informasi tentang pada aras populasi atau intensitas serangan berapa hama tersebut mulai dirasakan merugikan secara ekonomi. Pada aras populasi mulai merugikan tersebut. AE/AK/AT hama berbeda. Karena itu AE/AK/AT ini dapat kita namakan sebagai AE petani atau Ambang Petani saja. Untuk lebih jelasnya secara grafik data empirik tentang aras populasi/intensitas serangan dan hasil dapat dilihat pada gambar 5. Perhatikan sampai populasi 5 larva belum terjadi penurunan hasil sehingga petani masih bisa mentoleransikan tetapi pada populasi 7 petani sudah mulai merasakan kerugian ekonomi. Pada keadaan kurve pengalaman petani demikian, maka AE/AK/AT petani adalah 7 larva/rumpun. Karena pengalaman dan perasaan petani berbeda-beda kita akan memperoleh AE yang sangat khas/spesifik lokasi, spesifik petani sehingga menjadi variatif dan tidak seragam. Dengan pengalaman yang bertambah dan tingkat toleransi yang semakin baik, petani akan selalu menyesuaikan atau memperbarui nilai AE nya! Mulai terjadi kerugian ekonomik AE petani 5 7 10 20 30 Populasi hama larva/rumpun Gambar 5. Hubungan Populasi Hama dengan Hasil 2. Cara Penelitian Penetapan AE melalui penelitian dilakukan oleh para peneliti yang khusus ingin mengetahui berapa AE pada suatu jenis hama pada komoditas tertentu. Biasanya sasaran kegiatan penelitian adalah memperoleh nilai ALE (Aras Luka Ekonomi) dan dari nilai ALE dihitung AE yang besarnya ¾ atau 2/3 ALE. ALE dihitung dengan menggunakan titik impas/BEP (Break Even Point). ALE adalah suatu populasi atau intensitas serangan dimana nilai kehilangan hasil (dalam Rp) yang dapat diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama dengan pestisida sama dengan total baya pengendalian (dalam Rp). BP ALE = -----------------HG x LT x BK dimana BP = Biaya pengendalian (Rp/ha) HG= Harga produk (Rp/kg) LT = Luka tanaman yang diakibatkan oleh satu individu hama BK = Berat kerusakan tanaman per unit luka tanaman Untuk memperoleh LT dan BK perlu dilakukan serangkaian percobaan di lapangan, di rumah kasa atau di laboratorium. 14 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALE DAN AE ALE/AE ALE/AE Banyak faktor yang mempengaruhi nilai ALE dan AE termasuk jenis varietas tanaman, fase tumbuh tanaman, instar hama, lokasi pertanaman, dll. Dari sekian banyak faktor, 4 faktor yang paling penting yaitu: 1. Harga produk 2. Biaya pengendalian 3. Derajat luka yang diakibatkan oleh individu hama 4. Kepekaan tanaman terhadap serangan hama Perhatikan Gambar 6 di bawah. Apa artinya? Harga Produk Biaya Pengendalian Gambar 6. Hubungan antara Harga Produk dan Biaya Pengendalian dengan ALE/AE Kita harus mengetahui bahwa semakin tinggi ALE/AE penggunaan pestisida menjadi semakin jarang atau semakin sedikit, semakin rendah ALE/AE semakin sering/banyak penyemprotan pestisida dilakukan. Bagan alir sistem keputusan pengelolaan hama yang menunjukkan letak pendugaan populasi hama atau infestasi serangan hama dan pendugaan kehilangan hasil serta kegiatankegiatan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 7. Dari ketetapan-ketetapan pada gambar dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan pendugaan kehilangan hasil serta menetapkan dan menerapkan AE/AK/AT diperlukan kerjasama lintas disiplin ilmu (misal ilmu-ilmu perlintan, ekonomi, sosiologi, agronomi, statistis, dll) dan lintas sektor. Tidak dapat dilakukan oleh orang-orang/pakar perlintan. 15 Pendugaan hama Pengamatan Infestasi Pengaruh (i) pada hasil (y) Percobaan Pendugaan kehilangan hasil Pengaruh pengendalian terhadap (i) Hasil (y) AE /AT / AK ? Apa lebih besar dari AE? tidak Tak perlu dikendalikan ya Kendalikan dengan pestisida Gambar 7. Bagan Alir Sistem Keputusan Pengelolaan Hama 16 Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman Materi 4 LANDASAN EKOLOGI PENGELOLAAN HAMA Tujuan: 1. Mengetahui dua model pertumbuhan populasi organisme 2. Mengetahui model dinamika populasi hama 3. Mengetahui mekanisme pengendalian alami dan pengaruh faktor abiotik dan biotik 4. Mempelajari pengaruh kegiatan manusia terhadap dinamika populasi hama Materi: Dari kuliah sebelumnya kita mengetahui bahwa keberadaan populasi hama di pertanaman dan di ekosistem menentukan seberapa besar kerusakan tanaman dan kerugian ekonomi yang dialami oleh petani atau pengusaha pertanian lainnya. Juga kita ketahui bahwa populasi hama sepanjang musim tanam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat tidak tetap tetapi DINAMIS, naik turun, berfluktuasi sekitar suatu garis atau posisi keseimbangan umum (General Equilibrium Position). Banyak faktor abiotik dan biotik yang mempengaruhi dinamika populasi hama. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut kita dapat melakukan pengelolaan hama yang efektif dan efisien. Perlu ditekankan di sini bahwa tujuan pengelolaan hama bukan untuk membasmi hama, memberantas hama sampai habis tetapi mempertahankan populasi hama di pertanaman tetap berada di bawah AE/AK/AT atau pada aras yang secara ekonomi tidak merugikan. Perhatikan gambar tentang posisi AE, ALE dan Garis keseimbangan pada kuliah minggu yang lalu. Diharapkan para mahasiswa setelah kuliah ini dapat menjawab pertanyaan: Apa sebabnya kita tidak mungkin melakukan pembasmian atau pemusnahan hama seperti banyak orang harapkan? Pada prinsipnya keberadaan dan perkembangan populasi hama dan populasi organisme lainnya ditentukan oleh dua kekuatan yaitu: 1. POTENSI BIOTIK atau "Biotic Potential" dan 2. PERLAWANAN LINGKUNGAN atau "Environmental Resistance" Yang disebut POTENSI BIOTIK adalah kemampuan suatu organisme untuk tetap hidup dan berkembang biak. Kalau kita perhatikan kelompok serangga, organisme ini mempunyai potensi biotik yang sangat besar dan kemampuan berbiak sangat cepat. Dengan siklus hidup pendek, ukuran tubuh kecil dan kemampuan bertahan hidup yang tinggi maka populasi serangga sangat cepat meningkat sehingga dalam waktu sebentar saja dapat memenuhi permukaan bumi ini. Apabila suatu organisme berkembang sepenuhnya sesuai dengan kemampuan hayati (potensi biotik)nya, maka pertumbuhan populasi organisme tersebut akan mengikuti model pertumbuhan ekponensial atau pertumbuhan geometrik seperti Gambar 8. dN --- = r N = ( b – d ) N dt N r b d t = populasi = laju pertumbuhan populasi intrinsik = laju kelahiran = laju kematian = waktu 17 (N) Populasi Waktu (t) Gambar 8. Pertumbuhan Populasi Organisme Mengikuti Model Pertumbuhan Ekponensial atau Geometrik Di dunia saat ini satu-satunya organisme yang populasinya tumbuh secara eksponensial adalah MANUSIA. Di alam populasi organisme tidak dapat meningkat secara eksponensial karena adanya kekuatan lain yang me"lawan" atau meng"hambat" yang kita namakan Perlawanan Lingkungan atau Hambatan Lingkungan. Kekuatan ini yang akan menghambat populasi suatu organisme untuk bertambah dan meningkat sesuai dengan kemampuan biotiknya. Karena itu model pertumbuhan populasi yang lebih cocok adalah model pertumbuhan logistik seperti Gambar 9. Populasi (N) K Waktu (t) Gambar 9. Model Pertumbuhan Populasi Logistik dN K-N --- = r N ( ----- ) dt K N t r K = populasi = waktu = laju pertumbuhan populasi = asimtot atas atau nilai N maksimum Kurve tersebut menunjukkan model pertumbuhan secara matematik. Kalau kita bandingkan dengan data lapangan populasi suatu organisme, kita memperoleh gambaran dinamika populasi yang mirip dengan pertumbuhan logistik terutama pada daerah I dan II seperti Gambar 10. Menurut gambar tersebut pertumbuhan populasi organisme dapat kita bagi menjadi 5 daerah. Daerah I merupakan periode peningkatan populasi yang tumbuh secara sigmoid. 18 Populasi (N) Periode ini terdiri dari tahap pembentukan populasi (A), pertumbuhan cepat secara eksponensial (B) serta tahap menuju keseimbangan (C). Daerah II merupakan pencapaian aras keseimbangan yang merupakan garis asimtot kurve sigmoid. Pada tahap ini populasi telah mencapai stabilitas numerik. Setelah daerah II tercapai kemudian populasi bergejolak sekitar aras keseimbangan yaitu pada daerah III. Daerah III merupakan tahap oskilasi dan fluktuasi populasi. Oskilasi populasi adalah penyimpangan populasi sekitar aras keseimbangan secara simetris, sedangkan fluktuasi populasi merupakan penyimpangan populasi yang tidak simetris. Daerah III berjalan dalam waktu cukup lama tergantung pada berfungsinya mekanisme umpan balik negatif yang bekerja pada populasi organisme tersebut. Apabila mekanisme ini oleh sebab-sebab tertentu menjadi tidak berfungsi lagi, terjadilah daerah IV yang merupakan periode penurunan populasi atau periode pertumbuhan negatif. Kalau periode ini terus berlanjut kemudian akan terjadi tingkat terakhir pertumbuhan populasi yaitu daerah V yang merupakan periode kepunahan populasi. A B I C Waktu (t) II III IV V Gambar 10. Pertumbuhan Populasi Organisme yang Terbagi menjadi 5 Tingkat Adanya kekuatan Hambatan Lingkungan terhadap pertumbuhan populasi organisme dalam kondisi oskilasi dan fluktuasi di sekitar aras keseimbangan umum seperti yang terjadi di daerah III. Di daerah III terjadi mekanisme keseimbangan populasi oleh bekerjanya berbagai faktor abiotik dan biotik yang secara bersama kita sebut sebagai faktor PENGENDALI ALAMI. FAKTOR TERGANTUNG KEPADATAN DAN FAKTOR BEBAS KEPADATAN Dilihat dari proses pengendalian dan pengaturan populasi organisme, maka berbagai faktor hambatan lingkungan dapat dikelompokkan menjadi Faktor Tergantung Kepadatan Populasi (FTK) atau "Density Dependent Factors" dan Faktor Bebas Kepadatan Populasi (FBK) atau "Density Independent Factors". Pengelompokan ini lebih sering digunakan bila dibandingkan dengan cara pengelompokan lainnya. Bagan berikut menunjukkan faktor-faktor yang termasuk dalam FTK dan FBK. Faktor Tergantung Kepadatan Faktor tergantung kepadatan adalah faktor pengendali alami yang mempunyai sifat penekanan terhadap populasi organisme yang semakin meningkat pada waktu populasi semakin tinggi, dan sebaliknya penekanan lebih longgar pada waktu populasi semakin rendah. Kalau dihubungkan antara mortalitas yang disebabkan oleh faktor FTK dengan populasi hama misalnya dapat diperoleh garis regresi (Gambar 11). 19 Laju MortalitasMo rtalitas Populasi Gambar 11. Hubungan antara populasi dan mortalitas yang disebabkan oleh Faktor Tergantung Kepadatan Faktor tergantung kepadatan terbagi menjadi faktor yang timbal balik dan tidak timbal balik. FTK yang timbal balik terutama adalah musuh alami hama seperti predator, parasitoid, dan patogen. Timbal balik di sini berarti bahwa hubungan antara populasi dan mortalitas oleh FTK dapat berjalan dari kedua arah. Apabila populasi spesies A meningkat, maka mortalitas yang disebabkan oleh predator B akan semakin meningkat, antara lain dengan meningkatnya predasi dan jumlah predator B. Sebaliknya apabila populasi spesies A menurun mortalitas oleh predator dan jumlah predator juga menurun. Dengan demikian perubahan populasi spesies A akan selalu diikuti dengan perubahan kepadatan populasi predator B (Gambar 12). FTK yang tidak timbal balik misalkan makanan dan ruang, jumlahnya terbatas yang ditempati oleh populasi organisme yang saling berkompetisi untuk makanan dan ruang yang sama. Proses FTK di sini dapat dijelaskan sebagai berikut: Bila populasi A semakin tinggi, persaingan antar FTK yang tidak timbal balik misalkan makanan dan ruang, jumlahnya terbatas yang ditempati oleh populasi organisme yang saling berkompetisi untuk makanan dan ruang yang sama. Proses FTK di sini dapat dijelaskan sebagai berikut: Bila populasi A semakin tinggi, persaingan antar individu untuk memperoleh makanan dan ruang semakin kuat sehingga mortalitas A menjadi meningkat, dan demikian juga sebaliknya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa apabila populasi A meningkat kemudian jumlah makanan menjadi meningkat, atau jumlah pouplasi A menurun dan jumlah makanan menurun. Berbeda dengan kelompok musuh alami, hambatan lingkungan berupa makanan, ruangan, dan teritorialitas termasuk dalam FTK yang tidak timbal balik. 20 PENGENDALIAN ALAMI FAKTOR BEBAS KEPADATAN FAKTOR TERGANTUNG KEPADATAN FISIK BIOLOGI Tanah Suhu Kebasahan Pergerakan air Ketersediaan TIDAK TIMBAL BALIK inang Makanan Ruang Teritorial Kualitas makanan TIMBAL BALIK Musuh alami -Parasitoid -Predator -Patogen -Herbivora Gambar 12. Komponen Pengendalian Alami yang Tergantung Kepadatan dan Bebas Kepadatan 21 Aras Keseimbangan Populasi FTK FBK FBK FTK Waktu Gambar 13. Gejolak populasi sekitar aras keseimbangan umum, dan bekerjanya FTK dan FBK. Persediaan Makanan Jumlah Predator Predator Meningkat Meningkat Jumlah Inang Jumlah Inang Meningkat Meningkat Jumlah Inang Termakan Titik Imbang Predator-Inang Berkurang Jumlah Inang Termakan Meningkat Jumalah Inang Jumalah Inang Berkurang Berkurang Jumlah Predator Persediaan Makanan Berkurang Predator Berkurang Mortalitas Gambar 14. Mekanisme Umpan Balik pada Pengaturan Populasi Spesies A oleh Predator FBK POPULASI Gambar 15. Hubungan antara populasi organisme dan mortalitas akibat Faktor Bebas Kepadatan. 22 Faktor Bebas Kepadatan Faktor Bebas dari Kepadatan (FBK) atau "Density Independent Factor" merupakan faktor mortalitas yang daya penekanannya terhadap populasi organisme tidak tergantung pada kepadatan populasi organisme tersebut. Faktor abiotik seperti suhu, kebasahan, angin merupakan FBK yang penting. FBK kadang kala dapat membawa populasi semakin menjauh (lebih atau kurang) dari aras keseimbangan. Misal bila keadaan suhu tidak sesuai bagi kehidupan serangga dapat mengakibatkan populasi serangga menurun menjauhi garis keseimbangannya. Setelah hal itu terjadi faktor FBK akan bekerja mengangkat kembali populasi ke aras keseimbangannya. Bila keadaan cuaca sangat menguntungkan bagi kehidupan dan perkembanganbiakan suatu hama, dapat mendorong populasi hama tersebut meningkat cepat menjauhi aras keseimbangannya. Namun, peningkatan populasi tersebut juga tidak akan berjalan terus, karena FTK seperti musuh alami akan mengencangkan penekanannya sehingga populasi kembali lagi ke aras keseimbangannya. Dr. CLARK mengelompokkan beberapa penyebab mortalitas (kematian) serangga menjadi 7 kelompok yaitu: 1. Umur: menjadi tua atau "aging" 2. Vitalitas rendah: kemampuan serangga dalam menghadapi faktor-faktor lingkungan yang jelek seperti cuaca ekstrim 3. Kecelakaan: adanya peristiwa-peristiwa yang tidak normal (fisiologi dan ekologi) yang dapat mengakibatkan kematian 4. Kondisi fisiko kimia: terkait dengan kondisi fisika dan kimia di tempat serangga hidup termasuk kondisi cuaca, kondisi tanah, kondisi air, udara, dll. 5. Musuh alami: sebagai faktor pengendali alami serangga yang bersifat tergantung kepadatan seperti yang telah dijelaskan 6. Kekurangan pakan: serangga hama sangat ditentukan survival dan perkembangannya oleh ketersediaan pangan yang disediakan manusia. Tetapi untuk serangga musuh alami bila tidak tersedia pakan yang sesuai yang menjadi inang atau mangsa akan sangat mempengaruhi survivalnya. 7. Kekurangan tempat berlindung/bernaung: mempengaruhi mortalitas secara tidak langsung 23 Berikut diagram yang menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung faktor-faktor cuaca. Pengaruh Faktor-faktor Cuaca bagi Kehidupan Serangga Langsung Individu Populasi Aktivitas Perkembangan Perilaku Fenologi Mortalitas Natalitas Pergerakan Tak Langsung Habitat Parasitoid Predator Patogen Makanan Natalitas Mortalitas Pergerakan Populasi Dengan demikian dalam jangka waktu panjang di dalam setiap ekosistem, selalu terjadi keseimbangan populasi organisme termasuk populasi hama, yang secara dinamik bergejolak di sekitar aras keseimbangan populasinya masing-masing. Setiap organisme dalam kondisi ekosistem tertentu memiliki aras keseimbangannya sendiri-sendiri. Aras populasi tersebut dapat tinggi, tetapi juga dapat rendah seperti yang kita harapkan. Mangsa (A) Predator Waktu Gambar 16. Hubungan antara kepadatan serangga A dan kepadatan predator B 24 Aras Keseimbangan 2 Populasi Pengaruh Tindakan Manusia terhadap Populasi Hama Faktor-faktor alami seperti suhu, curah hujan sebagai faktor abiotik serta faktor biotik seperti parasitoid, predator, patogen hama, pesaing, dll bekerja secara interaktif yang membawa populasi hama berada di sekitar aras keseimbangannya. Justru faktor MANUSIA dengan segala tindakannya sangat mempengaruhi dinamika populasi hama sehingga dapat sangat menjauhi aras keseimbangan. Manusia dapat mempengaruhi letak aras keseimbangan melalui mekanisme sbb: Dalam mengelola agroekosistem, manusia dapat mempengaruhi atau mengubah letak aras keseimbangan umum suatu spesies hama melalui kegiatan pengelolaan agroekosistem. Aras keseimbangan populasi hama dapat meningkat antara lain dengan penggunaan pestisida yang berlebihan dan kurang tepat, sehingga dapat membunuh musuh alami. Penggunaan pestisida yang dilakukan terus-menerus dapat mengakibatkan aras keseimbangan hama tersebut akan meningkat melebihi aras keseimbangan sebelumnya (Gambar 17). Peningkatan aras keseimbangan populasi hama dapat juga terjadi sebagai akibat tersedianya makanan hama secara luas dan terus menerus. Demikian juga jika varietas tanaman yang ditanam adalah varietas peka, lambat laun aras keseimbangan populasi hama akan meningkat. Bila aras keseimbangan meningkat maka dapat mengakibatkan populasi hama melebihi AE/AT/AK yang ditetapkan. Dalam keadaan demikian petani terpaksa menggunakan pestisida lebih sering lagi sehingga dapat meningkatkan kerugian, tidak hanya bagi petani tetapi juga bagi konsumen dan kualitas lingkungan hidup. Aras keseimbangan populasi hama dapat juga diturunkan apabila yang terjadi sebaliknya yaitu dengan memasukkan atau melakukan konservasi musuh alami. Tindakan manusia demikian ini akan mendorong bekerjanya pengendali alami di daerah tersebut, yang dalam jangka panjang dapat menurunkan aras keseimbangan populasi hama. Salah satu sasaran PHT adalah menurunkan aras keseimbangan populasi hama sehingga berada di bawah ambang pengendalian. Pestisida Aras Keseimbangan 1 Waktu Gambar 17. Peningkatan aras keseimbangan akibat perlakuan pestisida secara terus menerus. 25 Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman Materi 5 FUNGSI PENGAMATAN DALAM SISTEM PHT Tujuan: A. Mempelajari fungsi pengamatan dalam sistem PHT B. Mempelajari prinsip-prinsip pengambilan sampel dan pengamatan C. Mempelajari praktek pengamatan dan pelaporan perlindungan tanaman oleh petugas pengamat hama D. Pengamatan oleh petani Materi: HUBUNGAN PENGAMATAN, PENGAMBILAN SAMPEL DAN PEMANTAUAN Pengamatan adalah kegiatan pengumpulan data dan informasi tentang sesuatu obyek yang diamati/dikaji/diteliti. Pengamatan bisa dilakukan secara berkala maupun insidentil. Ada beberapa maksud atau tujuan pengamatan yaitu pengamatan untuk pengumpulan data penelitian, pengamatan untuk penyusunan lapangan dan pengamatan untuk pengambilan keputusan. Kegiatan pengamatan yang dilakukan secara berkala pada suatu obyek pengamatan tertentu untuk digunakan dalam proses pengambilan keputusan disebut PEMANTAUAN. Kegiatan pemantauan dalam PHT merupakan kegiatan utama yang membedakan sistem PHT dengan sistem pengendalian hama secara konvensional. Peranan pengamatan dan pemantauan hama dan ekosistem dalam penerapan sistem PHT adalah seperti bagan berikut: Analisis Ekosistem Pengambil Keputusan Pemantauan Tindakan Pengelolaan EKOSISTEM PERTANIAN Gambar 18. Hubungan antara pemantauan, pengambilan keputusan dan tindakan pengelolaan dalam sistem pelaksanaan PHT Dari gambar tersebut, kegiatan pertama yang dilakukan adalah pemantauan ekosistem. Kegiatan pemantauan dilakukan untuk mengikuti perkembangan keadaan ekosistem pada suatu saat yang meliputi perkembangan komponen ekosistem, baik komponen biotik seperti keadaan tanaman, tingkat kerusakan tanaman oleh hama, populasi hama dan penyakit, populasi musuh alami dan lain-lain. Juga komponen abiotik seperti suhu, curah hujan, kebasahan, dll. Hasil pemantauan atau data hasil pemantauan dianalisis antara lain dengan membandingkan data 26 ekosistem dengan nilai AE atau Ambang Kendali. Dari hasil analisis ekosistem dapat diambil keputusan mengenai tindakan pengendalian atau pengelolaan yang perlu diterapkan pada ekosistem. Hasil pengambilan keputusan segera diterapkan ke lapangan mengenai tindakan pengelolaan atau pengendalian seperti perbaikan budidaya tanaman, introduksi musuh alami, mengubah habitatnya, pengendalian dengan pestisida, dll. Pengambil keputusan semakin ke bawah yaitu pada pihak pengelola dari ekosistem pertanian, seperti petani atau kelompok tani. MEMPELAJARI PRINSIP-PRINSIP PENGAMBILAN SAMPEL DAN PENGAMATAN Sampel atau contoh merupakan bagian dari suatu populasi yang diamati. Dalam praktek pengamatan tidak mungkin bagi pengamat mengamati seluruh individu dalam populasi tetapi pengamatan dilakukan pada sebagian kecil populasi yang kita sebut sampel. Dari informasi yang diperoleh pada sampel kita ingin menduga sifat populasi yang sebenarnya. Oleh karena itu, sampel yang diambil harus dapat mewakili. Populasi sampel terdiri dari beberapa unit sampel. Jumlah unit sampel sering kita namakan sebagai ukuran sampel. Misalkan kita ingin mengetahui populasi hama atau kerusakan tanaman dalam satu daerah/lahan yang luasnya 1 hektar, sebagai unit sampel ditetapkan rumpun padi. Jumlah rumpun padi yang diamati 30. Hal ini berarti unit sampel adalah rumpun dan ukuran sampel 30. Proses pengambilan sampel dan monitoring memerlukan teknik yang beragam tergantung pada jenis tanaman, jenis hama, atau organisme lain yang diamati. Ada dua syarat yang perlu diperhatikan dalam melakukan teknik pengamatan dan pengambilan sampel yang dilakukan yaitu praktis, dan dapat dipercaya. Praktis berarti metode pengamatan yang dilakukan sederhana, mudah dikerjakan dan tidak memerlukan peralatan dan bahan yang mahal, dan sedapat mungkin tidak mengambil waktu lama. Hasil pengamatan harus dapat dipercaya berarti metode tersebut akan menghasilkan data yang dapat mewakili atau menggambarkan secara benar tentang sifat populasi sesungguhnya. Faktor yang mempengaruhi pengambilan sampel: 1. Sifat dan ketrampilan petugas pengamat 2. Keadaan lingkungan setempat 3. Sifat sebaran spasial serangga PENYUSUNAN PROGRAM PENGAMBILAN SAMPEL DAN PENGAMATAN Dalam menyusun secara lengkap program pengambilan sampel pada suatu wilayah pengamatan perlu dilakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menetapkan beberapa kriteria atau ketentuan tentang pengambilan sampel. Ketentuan-ketentuan tersebut meliputi penetapan tentang: 1. Unit Sampel 2. Interval Pengambilan Sampel 3. Banyak atau Ukuran Sampel 4. Desain Pengambilan Sampel 5. Mekanik Pengambilan Sampel 1. Unit sampel Unit sampel merupakan unit pengamatan yang terkecil. Pada unit tersebut diadakan pengukuran dan penghitungan oleh pengamat terhadap individu serangga yang ada, dan apa yang ditinggalkan oleh serangga yang menjadi obyek pengamatan atau variabel pengamatan. Beberapa variabel pengamatan yang dapat diperoleh dari unit sampel dapat berupa kepadatan atau populasi hama, populasi musuh alami, intensitas kerusakan, dll. Ada berbagai jenis unit sampel yang saat ini digunakan dalam praktek pengamatan baik untuk program penelitian atau untuk pengambilan keputusan pengendalian hama. Biasanya unit 27 sampel dikembangkan berdasarkan sifat biologi serangga dan belajar dari pengalaman sebelumnya. Unit sampel dapat berupa: a. Unit luas permukaan tanah 1 x 1 m2 b. Unit volume tanah c. Bagian tanaman seperti rumpun, batang, daun, pelepah daun d. Dalam bentuk stadia hamanya sendiri. Sering digunakan untuk evaluasi dalam musuh alami seperti jumlah larva parasit atau larva inang, dst. 2. Penentuan interval pengambilan sampel Interval pengambilan sampel merupakan jarak waktu pengamatan yang satu dengan waktu pengamatan yang berikutnya pada petak pengamatan yang sama. Banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan interval pengamatan antara lain tingkat tumbuh tanaman, daur hidup serangga yang diamati, tujuan pengambilan sampel, faktor cuaca, dll. Untuk serangga yang mempunyai siklus pendek dan kapasitas reproduksi tinggi, interval pengamatan harus pendek agar tidak kehilangan informasi dari lapangan. Demikian juga keadaan ini berlaku bagi komoditas tanaman yang peka terhadap serangan hama seperti kapas, dan juga untuk jenis hama yang peningkatan kerusakannya berjalan cepat. 3. Penentuan ukuran sampel Dalam program pengambilan sampel dan pengamatan, penentuan ukuran sampel atau jumlah unit sampel yang harus diamati pada setiap waktu pengamatan sangat menentukan kualitas hasil pengamatan. Ukuran sampel dipengaruhi oleh dua komponen utama yaitu varians (s 2) yang menjelaskan distribusi data sampel, dan biaya pengambilan sampel yang terdiri atas ongkos tenaga dan alat-alat pengambilan sampel. Secara umum dapat dikatakan semakin besar ukuran sampel (n) semakin dapat dipercaya harga penduga parameter populasi. Tetapi apabila ukuran sampel besar maka biaya pengambilan sampel juga semakin besar. Sebaliknya bila unit sampel terlalu sedikit, analisa statistik akan menghasilkan keputusan yang memiliki ketepatan dan ketelitian rendah, sehingga kualitas dan kegunaan hasil pengamatan diragukan. 4. Desain atau pola pengambilan sampel Ada beberapa pola yang dapat digunakan untuk menetapkan unit sampel yang mana dari keseluruhan populasi yang harus diamati yang menjadi anggota sampel. Pola yang paling ideal adalah secara acak (random sampling), kemudian dikenal: a. Pola acak berlapis b. Pola pengambilan sampel sistematik c. Pola pengambilan sampel purposive atau yang sudah ditentukan Beberapa pola pengambilan sampel yang sering digunakan adalah bentuk: A B C Gambar 19. Pola pengambilan sampel A. Pola Diagonal, B. Pola Zigzag, C. Pola Lajur tanaman 28 5. Mekanik Pengambilan Sampel Mekanik pengambilan sampel serangga adalah segala teknik memperoleh, mengumpulkan serta menghitung individu serangga yang diamati atau bahan yang ditinggalkan oleh serangga pada unit sampel yang telah ditentukan. Mekanik sampel yang sering dilakukan oleh para pengamat kita adalah pengamatan langsung di lapangan. Tidak semua serangga dapat dihitung secara langsung sehingga masih diperlukan peralatan atau alat khusus yang dapat digunakan untuk mengumpulkan individu serangga dan kemudian dihitung jumlahnnya. PRAKTEK PENGAMATAN DAN PELAPORAN PETUGAS PENGAMAT Di organisasi Departemen Pertanian saat ini ada 3 Direktorat Jenderal yang mempunyai tugas untuk mengumpulkan pelaporan data populasi dan kerusakan OPT di seluruh propinsi. Tiga Direktorat Jenderal itu adalah Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal Tanaman Perkebunan. Pada tiga Direktorat Jenderal tersebut terdapat Direktorat Perlindungan Tanaman seperti Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan. Kebijakan dan rekomendasi pelaksanaan dan pelaporan perlindungan tanaman disusun dan dikeluarkan oleh 3 direktorat tersebut, sedangkan pelaksanaan pengamatan dilakukan oleh para Petugas Pengamat Hama (PHP) dan penyakit yang ada di daerah yang dikoordinasikan oleh BPTPH yang ada di setiap propinsi. Untuk tanaman pangan dan hortikultura, BPTPH secara struktural berada di bawah Pemerintah Daerah Tingkat I/Propinsi. Sedangkan untuk perkebunan, BPTP masih berada di bawah Direktorat Jenderal Perkebunan atau masih di bawah Pemerintah Pusat. Secara fungsional, PHP saat ini termasuk dalam kelompok POPT (Pengendali OPT). 1. Pengamatan Pengamatan dilakukan oleh PHP dan petani dengan dua cara yaitu pengamatan tetap dan pengamatan keliling atau patroli. Pengamatan bertujuan untuk mengetahui atau mendeteksi jenis dan kepadatan OPT, intensitas serangan OPT, daerah penyebaran, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan OPT serta intensitas kerusakan bencana alam. Dengan informasi tersebut diharapkan petani/kelompok tani bersama petugas dapat mengetahui dan menganalisis secara dini untuk menentukan langkah-langkah penanganan usaha tani, sehingga produksi tanaman yang sudah diusahakan tetap pada taraf tinggi, menguntungkan dan aman bagi lingkungan. Metode Pengamatan Pengamatan OPT pada tanaman pangan dan hortikultura dilakukan dengan dua cara, yaitu pengamatan tetap dan pengamatan keliling atau patroli. Secara rinci pelaksanaan pengamatan tetap dan pengamatan keliling adalah sbb: a. Pengamatan tetap Pengamatan tetap adalah pengamatan yang dilakukan pada petak contoh tetap yang mewakili bagian terbesar dari wilayah pengamatan, perangkap lampu, curah hujan, stasiun meteorologi pertanian khusus. 1). Pengamatan petak tetap Pengamatan pada petak contoh tetap bertujuan untuk mengetahui perubahan kepadatan populasi OPT dan musuh alami serta intensitas serangan. Petak contoh tetap ditempatkan pada lima jenis tanaman dominan. Untuk komoditas terluas diamati empat petak contoh tetap sedangkan empat komoditas lainnya masing-masing diamati satu petak contoh. Dengan demikian pada setiap wilayah pengamatan terdapat delapan petak contoh pengamatan tetap. 29 Petak contoh ditentukan secara purposive, sehingga mewakili bagian terbesar wilayah pengamatan dalam hal waktu tanam, teknik bercocok tanam, dan varietasnya. Pada masa peralihan antara dua musim tanam, pengamatan diteruskan pada petak-petak contoh yang dapat mewakili wilayah pengamatan dalam waktu tersebut. Karena itu petak contoh pada masa antara dua musim tanam dapat berpindah sesuai dengan keadaan tanaman yang dapat mewakili wilayah pengamatan. 2). Pengamatan Perangkap lampu Kepadatan populasi OPT dan musuh alami yang efektif yang tertarik cahaya diamati pada satu atau lebih perangkap lampu yang mewakili wilayah pengamatan. Perangkap lampu ditempatkan jauh dari faktor-faktor yang akan mempengaruhi banyaknya serangga pengganggu tanaman atau musuh alaminya tertarik cahaya. Lampu dinyalakan dari senja sampai fajar. Serangga yang tertangkap diidentifikasi dan dihitung. Pengamatan dilakukan setiap hari serta dilaporkan setiap dua minggu. b. Pengamatan Keliling atau Patroli Pengamatan keliling atau patroli bertujuan untuk mengetahui tanaman terserang dan terancam, luas pengendalian, bencana alam serta mencari informasi tentang penggunaan, peredaran dan penyimpanan pestisida. Pengamatan keliling atau patroli dilaksanakan dengan menjelajahi wilayah pengamatan. Sebelum melaksanakan pengamatan, PHP disarankan menemui petani/kelompok tani pemandu, penyuluh atau sumber lain yang layak dipercaya; untuk memperoleh informasi tentang adanya serangan OPT dan kegiatan pengendalian di wilayah kerjanya. Informasi tersebut digunakan untuk menentukan daerah yang dicurigai dan mengkonsentrasikan pengamatannya. Penentuan daerah yang dicurigai didasarkan pada kerentanan varietas yang ditanam terhadap OPT utama di daerah tersebut, stadia pertumbuhan tanaman dan jaraknya terhadap sumber serangan. Serangan OPT di daerah yang dicurigai, diamati lima petak contoh yang terletak pada perpotongan garis diagonal (A) dan pertengahan potongan-potongan garis diagonal tersebut (B, C, D dan E) seperti terlihat pada Gambar 20. Jumlah rumpun yang diamati tiap unit contoh adalah 10 rumpun/batang. Komponen-komponen yang diamati adalah luas tanaman terserang, intensitas serangan, kepadatan populasi OPT, stadia/umur tanaman, varietas dan tindakan pengendalian yang pernah dilakukan petani. Gambar 20. penyebaran petak contoh pada daerah yang dicurigai terserang. Dalam tiap petak contoh diamati 5 unit contoh seperti pada gambar 20. Jumlah rumpun contoh yang diamati dalam tiap unit contoh adalah sepuluh rumpun/tanaman. Cara pelaksanaan: Untuk memudahkan pelaksanaan pengamatan keliling dilakukan sesudah pengamatan petak tetap pada subwilayah pengamatan dimana petak tetap itu berada. Apabila ada informasi bahwa di subwilayah lainnya terjadi serangan OPT maka harus dilakukan pengamatan keliling tambahan. Adapun pembagian subwilayah adalah sebagai berikut: 30 1. Mula-mula bagilah wilayah pengamatan menjadi 4 strata berdasarkan waktu tanamannya (lihat Gambar 21) 2. Bagilah masing-masing strata menjadi 2 subwilayah, sehingga satu wilayah akan terbagi menjadi 8 subwilayah (lihat Gambar 21). Untuk pengamatan tetap, tempatkan satu petak contoh pengamatan pada masingmasing strata di lokasi yang selalu dilewati saat mengadakan pengamatan keliling di strata tersebut, sehingga setiap petak contoh pengamatan tetap dapat diamati dengan interval waktu satu minggu, sedangkan interval pengamatan keliling dua minggu. Waktu pengamatan OPT dilakukan 4 (empat) hari setiap minggu kecuali untuk tangkapan perangkap lampu dan penakar curah hujan dilakukan setiap hari. Pelaksanaan pengamatan OPT dimulai dari hari senin sampai dengan hari kamis. Hasil pengamatan dan kejadian yang ditemukan pada saat pengamatan keliling dan pengamatan tetap dilaporkan secara rutin pada setiap akhir periode pengamatan. Laporan pengamatan tetap pada periode pelaporan tengah bulan pertama berisi hasil pengamatan minggu ke 1 dan ke 2, sedang pada periode pelaporan tengah bulan kedua berisi hasil pengamatan minggu ke 3 dan ke-4. A 1 Senin 1 B 2 Selasa 1 C 3 Rabu 1 D 4 Kamis 1 5 Senin 2 6 Selasa 2 7 Rabu 2 8 Kamis 2 Keterangan: A, B, C, D …… pembagian menurut strata 1, 2, 3 … dst … subwilayah Gambar 21. Pembagian subwilayah pengamatan di wilayah kerja PHP Metode Pengambilan Contoh a. Tanaman Pangan Pengambilan contoh pada pengamatan OPT tanaman pangan (padi dan palawija) dilakukan dengan metode diagonal. Pada pengamatan tetap tiap petak contoh ditentukan tiga unit contoh yang terletak di titik perpotongan garis diagonal petak contoh (A) dan di pertengahan potongan-potongan garis diagonal yang terpanjang (B dan C), seperti terlihat pada Gambar 22. Tiap unit contoh diamati 10 rumpun contoh. Dari petak contoh itu diamati intensitas serangan OPT, kepadatan populasi OPT dan kepadatan populasi musuh alami yang efektif. Gambar 22. Penyebaran Unit Contoh dalam Petak Contoh. Dalam Tiap Unit Contoh Diamati 10 Rumpun Contoh. 31 b. Tanaman Sayuran Pengambilan contoh pada pengamatan OPT tanaman sayur-sayuran dilakukan pada 10 tanaman contoh setiap 0,1 ha atau 50 tanaman contoh per hektar. Pengambilan tanaman contoh ditentukan secara acak (random). c. Tanaman Buah-buahan, hias, Obat-obatan dan Rempah-rempah Pengambilan contoh pada pengamatan OPT tanaman buah-buahan, hias dan obatobatan dan rempah-rempah dilakukan dengan menggunakan petak contoh, yaitu kecamatan. Tanaman yang diamati dibagi 3 kriteria seperti berikut: a. Tanaman dominan (terbanyak) : 15 tanaman/rumpun b. Tanaman dengan jumlah sedang : 10 tanaman/rumpun c. Tanaman dengan jumlah sedikit : 5 tanaman/rumpun Tanaman contoh ditentukan dengan 2 (dua) cara, yaitu random (acak) dan diagonal. Cara random dilakukan pada perkebunan rakyat/pekarangan rumah, sedangkan cara diagonal dilakukan (seperti pengambilan contoh pada tanaman padi) pada perkebunan besar. Penilaian Serangan OPT Penilaian terhadap kerusakan tanaman dilakukan berdasarkan gejala serangan OPT yang sifatnya sangat beragam. Kerusakan tanaman oleh serangan OPT dapat berupa kerusakan mutlak (atau yang dianggap mutlak) dan tidak mutlak. Untuk menilai serangan OPT yang menyebabkan kerusakan mutlak atau dianggap mutlak digunakan rumus sebgai berikut: a I = ----------- X 100% a+b Keterangan: I : Intensitas serangan (%) A : Banyaknya contoh (daun, pucuk, bunga, buah, tunas, tanaman, rumpun tanaman) yang rusak mutlak atau dianggap rusak mutlak. B : Banyaknya contoh yang tidak terserang (tidak menunjukkkan gejala serangan). 2. Laporan Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura diperlukan untuk menyusun perlindungan tanaman, memberikan anjuran pengendalian, menyusun rencana perlindungan tanaman, memberikan anjuran pengendalian, menyusun bantuan pengendalian, merencanakan bimbingan pengendalian, melaksanakan pengamatan lebih intensif, dan merencanakan penyediaan sarana pengendalian. Oleh karena itu, Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura perlu dibuat sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan segera dikirim ke instansi yang memerlukannya. Sesuai dengan kebijaksanaan dibidang perlindungan tanaman pangan dan hortikultura dan pembagian wewenang dalam struktur organisasi berlaku, Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura disampaikan oleh PHP kepada Mantri Tani (Mantan) dan instansi vertikal di atasnya. Mantri Tani dan Penyuluh menyuluhkan dan menyebarluaskan kepada petani sebagai dasar pengambilan keputusan kelompok tani, dan bila perlu bersama-sama dengan PHP membina petani melaksanakan pengendalian. Instansi vertikal di atasnya menggunakan laporan tersebut sebagai bahan mengevaluasi keadaan serangan, kemampuan petugas membimbing petani dalam pengendalian, merencanakan bimbingan dan bantuan, serta menyusun Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura di wilayah kerjanya. Laporan PHP yang diterima oleh Mantan diteruskan kepada Camat dan Dinas Pertanian (Diperta) Kabupaten/Kotamadya, dan Diperta Kabupaten/Kotamadya meneruskan laporan 32 tersebut ke Diperta Propinsi. Oleh Camat sebagai Ketua Satuan Pelaksana Bimas Kecamatan, laporan tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun kampanye pengendalian secara massal oleh petani dan bila dibutuhkan/diperlukan bantuan pemerintah berupa pestisida dapat dikeluarkan. Sedangkan oleh Diperta Kabupaten/Kotamadya, digunakan untuk membina pengendalian OPT dan mempertimbangkan bantuan pengendalian kepada petani apabila dinilai sebagai serangan eksplosi. Koordinator PHP mengkoordinasikan laporan PHP, laporan serangan OPT yang dilaporkan PHP dari seluruh wilayah pengamatan kabupaten diteruskan ke Diperta Kabupaten/Kotamadya serta laporan lainnya diteruskan ke Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) dan (Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH)/Loka Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (LPTPH)/Satgas BPTPH/LPTPH. PENGAMATAN OLEH PETANI Karena jumlah PHP dan petugas pengamat atau penyuluh di daerah sangat terbatas maka yang paling baik kegiatan pengamatan dilakukan sendiri oleh petani pemilik/penggarap. Petani sendiri yang melakukan kegiatan pemantauan, pengambilan keputusan dan tindakan pengendalian. Dengan demikian petani tidak lagi tergantung pada petugas, pemerintah. Petani dapat melakukan pengamatan secara perseorangan/individual, namun yang paling baik secara berkelompok atau merupakan kegiatan kelompok tani. Agar petani dapat melakukan kegiatan pemantauan ekosistem, mereka perlu mengikuti pelatihan khusus yang dilaksanakan secara intensif, setiap 1 minggu sekali di dalam kegiatan yang disebut SLPHT. Dengan demikian tujuan pelaksanaan kegiatan pengamatan oleh para petugas PHP hanya terbatas pada penyusunan laporan bagi pemda maupun pemerintah pusat tetapi tidak untuk pengambilan keputusan untuk lahan petani dalam menerapkan PHT. 33 Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman Materi 6 PENGENDALIAN DENGAN TANAMAN/VARIETAS TAHAN HAMA Tujuan: 1. Mengenal dan mempelajari komponen PHT - Pengendalian dengan Tanaman Tahan Hama 2. Mengenal dan mempelajari pengembangan tanaman transgenik tahan hama 3. Mengenal dan mempelajari prinsip-prinsip karantina tumbuhan dan sistem karantina pertanian di Indonesia Materi: Pengendalian hama dengan cara menanam tanaman yang tahan terhadap serangan hama telah lama dilakukan dan merupakan cara pengendalian yang efektif, murah, dan kurang berbahaya bagi lingkungan. Penggunaan berbagai varietas padi tahan hama wereng coklat berhasil mengendalikan hama wereng coklat padi di Indonesia yang sejak tahun 1970 menjadi hama padi yang paling penting. Saat ini petani telah mengenal banyak VUTW (Varietas Unggul Tahan Wereng) yang berhasil dikembangkan oleh para peneliti dari IRRI (Filipina) dan dari Indonesia sendiri. Di luar tanaman padi penggunaan varietas tahan hama masih terbatas karena belum banyak tersedia varietas atau jenis tanaman yang memiliki ketahanan tinggi terhadap hama-hama tertentu. Pada tahun 1984 Indonesia telah berhasil berswasembada beras. Kontribusi varietas unggul tahan hama bagi keberhasilan Indonesia berswasembada beras sangat besar. Hal ini berkat kerja keras para ahli hama, pemulia tanaman, agronomi, dll yang telah berhasil menemukan dan mengembangkan VUTW. Namun sayangnya karena berbagai faktor, sampai saat ini status swasembada beras semakin sulit dipertahankan. 1. Mekanisme Ketahanan Tanaman Ketahanan atau resistensi tanaman merupakan pengertian yang bersifat relatif. Untuk melihat ketahanan suatu jenis tanaman sifat tanaman, yang tahan harus dibandingkan dengan sifat tanaman yang tidak tahan atau yang peka. Tanaman yang tahan adalah tanaman yang menderita kerusakan yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan tanaman lain dalam keadaan tingkat populasi hama yang sama dan keadaan lingkungan yang sama. Pada tanaman yang tahan, kehidupan dan perkembangbiakan serangga hama menjadi lebih terhambat bila dibandingkan dengan perkembangbiakan sejumlah populasi hama tersebut apabila berada pada tanaman yang tidak atau kurang tahan. Sifat ketahanan yang dimiliki oleh tanaman dapat merupakan sifat asli (terbawa keturunan faktor genetik) tetapi dapat juga karena keadaan lingkungan yang mendorong tanaman menjadi relatif tahan terhadap serangan hama. Beberapa ahli membedakan ketahanan tanaman dalam dua kelompok yaitu ketahanan ekologi dan ketahanan genetik (Kogan, 1982). Ahli lain menganggap ketahanan ekologi bukan merupakan ketahanan sebenarnya dan disebut ketahanan palsu atau pseudo resistance sedangkan yang disebut sifat ketahanan tanaman adalah ketahanan genetik. Hal ini disebabkan sifat ketahanan ekologi tidak tetap dan mudah berubah tergantung pada keadaan lingkungannya, sedangkan sifat ketahanan genetik relatif stabil dan sedikit dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. 2. Ketahanan Genetik 34 Sampai saat ini klasifikasi resistensi genetik menurut Painter yang banyak diikuti oleh para pakar. Menurut Painter (1951) terdapat 3 mekanisme resistensi tanaman terhadap serangga hama yaitu 1) ketidaksukaan, 2) antibiosis dan 3) toleran. a. Ketidaksukaan/antixenosis Nonpreference merupakan sifat tanaman yang menyebabkan suatu serangga menjauhi atau tidak menyenangi suatu tanaman baik sebagai pakan atau sebagai tempat peletakan telur. Menurut Kogan (1982) istilah yang lebih tepat digunakan untuk sifat ini adalah antixenosis yang berarti menolak tamu (xenosis = tamu). Antixenosis dapat dikelompokkan menjadi penolakan kimiawi atau antixenosis kimiawi dan penolakan morfologi atau antixenosis morfologik. b. Antibiosis Antibiosis adalah semua pengaruh fisiologi pada serangga yang merugikan, bersifat sementara atau tetap, sebagai akibat kegiatan serangga memakan dan mencerna jaringan atau cairan tanaman tertentu. Gejala penyimpangan fisiologi terlihat apabila suatu serangga dipindahkan dari tanaman tidak memiliki sifat antibiosis ke tanaman yang memiliki sifat tersebut. Penyimpangan fisiologi tersebut berkisar mulai dari penyimpangan yang sedikit sampai penyimpangan terberat yaitu terjadinya kematian serangga. c. Toleran Mekanisme resistensi toleran terjadi karena adanya kemampuan tanaman tertentu untuk sembuh dari luka yang diderita karena serangan hama atau mampu tumbuh lebih cepat sehingga serangan hama kurang mempengaruhi hasil, dibandingkan dengan tanaman lain yang lebih peka. 3. Ketahanan Ekologi Ketahanan Ekologi atau dengan istilah lain ketahanan yang kelihatan (apparent resistance) atau ketahanan palsu (pseudo resistance) merupakan sifat ketahanan tanaman yang tidak dikendalikan oleh faktor genetik tetapi sepenuhnya disebabkan oleh faktor lingkungan yang memungkinkan kenampakan sifat ketahanan tanaman terhadap hama tertentu. Oleh karena sifatnya yang tidak tetap, ahli pemulia tanaman tidak mengakui sifat ini sebagai sifat ketahanan tanaman yang sesungguhnya. Sifat ketahanan ini biasanya merupakan sifat sementara dan dapat terjadi pada tanaman yang sebenarnya peka terhadap serangan hama tertentu. Ada 3 bentuk ketahanan ekologi yaitu pengelakan inang (host evasion), ketahanan dorongan (induced resistance) dan inang luput dari serangan (host escape). a. Pengelakan Inang Pengelakan inang terjadi bila waktu pemunculan fase tumbuh tanaman tertentu tidak bersamaan dengan waktu pemunculan stadia hama yang aktif mengkonsumsikan tanaman. b. Ketahanan Dorongan Sifat ketahanan ini timbul dan didorong oleh adanya keadaan lingkungan tertentu sehingga tanaman mampu bertahan terhadap serangan hama. Ketahanan dorongan ini terjadi antara lain akibat adanya pemupukan dan irigasi serta teknik budidaya yang lain. c. Inang Luput dari Serangan Sering dialami pada suatu tempat tertentu ada suatu kelompok tanaman yang sebenarnya memiliki sifat peka terhadap suatu jenis hama, tetapi pada suatu saat tanaman tersebut tidak terserang meskipun populasi hama di sekitarnya pada waktu itu cukup tinggi. Hal tersebut 35 tidak berarti bahwa tanaman tersebut tahan terhadap serangan hama tetapi tanaman tersebut sedang dalam keadaan luput dari serangan hama. 4. Langkah Pengembangan Varietas Tahan Pengembangan varietas tahan hama secara konvensional dilakukan melalui penerapan teknologi pemuliaan tanaman tradisional dengan melakukan persilangan tanaman. Beberapa kegiatan utama dalam melakukan perolehan dan pengembangan guna memperoleh varietas tahan hama yang baru adalah sebagai berikut: a. Identifikasi sumber ketahanan. b. Penetapan mekanisme ketahanan. c. Penyilangan sifat ketahanan dengan sifat agronomi lainnya sehingga dapat diperoleh varietas yang lebih unggul. d. Analisis genetik terhadap sifat ketahanan. e. Identifikasi dasar-dasar kimia dan fisika sifat ketahanan. f. Pengujian lapangan multi lokasi. g. Pelepasan varietas tahan hama yang baru. PENGEMBANGAN VARIETAS TAHAN DENGAN BIOTEKNOLOGI Pengembangan varietas tahan hama secara konvensional banyak dikaji dan telah diperoleh hasil yang menggembirakan. Penggunaan varietas tahan terbukti mampu mengurangi tingkat serangan hama sehingga hasil panen dapat meningkat. Sebagian besar varietas tahan hama yang dilepaskan, diperbanyak dan digunakan di Indonesia saat ini masih merupakan hasil teknologi pemuliaan tanaman secara tradisional yang telah diuraikan sebelumnya. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi akhir-akhir ini tidak menutup kemungkinan penerapan bioteknologi modern dalam bidang pertanian untuk dapat menghasilkan varietas tahan hama. Aplikasi bioteknologi pertanian memberikan peluang yang sangat baik terhadap perkembangan kualitas maupun kuantitas produk-produk pertanian. Beberapa bioteknologi yang telah dikembangkan diantaranya rekayasa genetika yang mencakup rekombinasi DNA, pemindahan gen, manipulasi dan pemindahan embrio, kultur sel dan jaringan, regenerasi tanaman dan antibodi monoklonal. Tanaman hasil rekayasa genetika yang selanjutnya disebut tanaman transgenik dapat direkayasa memiliki sifat ketahanan terhadap jenis hama tertentu. Salah satu sifat unggul tanaman transgenik adalah ketahanan terhadap hama setelah tanaman tersebut disisipi dengan gen toksik yang berasal dari Bacillus thuringiensis (Bt). Sampai akhir tahun 2003 di Indonesia hanya satu varietas kapas Bt yang telah diijinkan dan dilepaskan secara terbatas di Sulawesi Selatan. Di dunia Internasional tanaman transgenik tahan hama yang telah dikembangkan meliputi tanaman kapas, jagung, kentang. Berbagai tanaman tersebut telah disisipi gen yang berasal dari bakteri Bt sehingga tahan terhadap jenis hama tertentu. Aplikasi pemindahan gen dengan teknik biologi molekuler dengan sasaran memperoleh sifat-sifat tertentu dapat dilakukan lebih cepat, dengan ketepatan yang tinggi serta perolehan spektrum sifat yang jauh lebih lebar daripada hasil pemuliaan tanaman konvensional. Perkembangan bioteknologi telah memungkinkan ilmuwan untuk mentransformasikan gen Bt yang dikehendaki ke dalam genom berbagai jenis tanaman pertanian. Gen Bt yang menyandi protein delta-endotoksin telah dapat disisipkan ke dalam tanaman untuk pengendalian hama tertentu. Misal tanaman kapas Bt telah disisipi dengan gen cry1Ac untuk mengendalikan hama penggerek buah kapas Helicoverpa virescens. Tanaman kapas Bt memproduksi toksin secara terus-menerus sehingga serangga peka yang hidup dalam jaringan tanaman akan mati kalau memakan jaringan tersebut. Tanaman transgenik akan terlindung dari serangan hama selama racun protein masih terus diproduksi. Karena racun protein yang dihasilkan hanya aktif bagi beberapa jenis serangga 36 tertentu, suatu jenis tanaman transgenik tahan hama hanya dapat mengendalikan jenis-jenis hama tertentu. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN VARIETAS TAHAN HAMA KONVENSIONAL Kelebihan a. Penggunaannya praktis dan secara ekonomi menguntungkan b. Sasaran pengendalian yang spesifik c. Efektivitas pengendalian bersifat kumulatif dan persisten d. Kompatibilitas dengan komponen PHT lainnya e. Dampak negatif terhadap lingkungan terbatas Kekurangan Beberapa keterbatasan atau permasalahan yang perlu kita ketahui antara lain: a. Waktu dan Biaya Pengembangan b. Keterbatasan Sumber Ketahanan c. Timbulnya Biotipe hama d. Sifat Ketahanan yang Berlawanan KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TANAMAN TRANSGENIK TAHAN HAMA Kelebihan 1. Efektif mengendalikan hama sasaran dan pengurangan kehilangan hasil 2. Penurunan penggunaan pestisida kimia 3. Penurunan biaya pengendalian 4. Pengendalian hama secara selektif 5. Penurunan populasi hama dalam areal yang luas Keterbatasan Tanaman Transgenik 1. Resistensi hama terhadap toksin 2. Pengaruh tanaman transgenik terhadap organisme bukan sasaran 3. Pengurangan keanekaragaman hayati 4. Variasi hasil 5. Kepekaan terhadap jenis hama lain 6. Pengembalian investasi tidak terjamin 7. Risiko bagi kesehatan 8. Ketergantungan pada industri benih transgenik KARANTINA PERTANIAN Tujuan karantina pertanian adalah mencegah masuknya hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu tumbuhan ke wilayah negara RI, mencegah tersebarnya dari suatu area ke area lain, dan mencegah keluarnya dari wilayah negara RI. Karantina Pertanian terdiri dari: 1. Karantina Hewan 2. Karantina Ikan 3. Karantina Tumbuhan Kita memiliki dasar hukum untuk karantina yaitu: 1. UU RI No 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan 37 2. PP No 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan KARANTINA TUMBUHAN Pengertian penting: 1. Organisme Pengganggu Tumbuhan karantina (OPTK) yang terdiri dari OPTK Golongan I, OPTK Golongan II a. OPTK adalah semua organisme pengganggu tumbuhan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian untuk dicegah masuknya ke dalam dan tersebarnya di dalam wilayah Negara Republik Indonesia. b. OPTK Golongan I yaitu OPTK yang tidak dapat dibebaskan dari media pembawanya dengan cara perlakuan. Tidak dapat dibebaskannya OPT tersebut karena sifatnya memang tidak dapat dibebaskan, atau belum diketahui cara untuk membebaskannya, atau cara untuk membebaskannya belum dapat dilakukan di Indonesia. c. OPTK Golongan II yaitu semua OPTK yang dapat dibebaskan dari media pembawanya dengan cara perlakuan. 2. Kawasan Karantina adalah kawasan yang semula diketahui bebas dari hama dan penyakit tumbuhan karantina, sekarang telah ditemukan adanya organisme tertentu yang dahulunya tidak ada. 3. Sertifikat Kesehatan Karantina (Phytosanitary Certificate) adalah surat keterangan yang dibuat oleh pejabat berwenang di negara atau area asal/pengirim/transit yang menyatakan bahwa tumbuhan atau bagian-bagian tumbuhan yang tercantum di dalamnya bebas dari OPT, OPTK, OPTK golongan I, OPTK golongan II, dan atau OPT Penting. 4. Analisis Risiko Hama dan Penyakit Tumbuhan (Pest Risk Analysis/PRA) adalah suatu proses untuk menetapkan bahwa suatu OPT merupakan OPTK, atau OPT Penting, serta menentukan syarat-syarat dan tindakan karantina tumbuhan yang sesuai guna mencegah masuk dan tersebarnya OPT tersebut. Tindakan Karantina: 1. Pemeriksaan 2. Pengasingan 3. Pengamatan 4. Perlakuan 5. Penahanan 6. Penolakan 7. Pemusnahan 8. Pembebasan Kasus “kebobolan” masuknya hama baru di Indonesia: 1. Keong/siput mas 2. Pengorok daun kentang 3. Nematoda Sista Kuning 38 Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman Materi 7 PENGENDALIAN HAYATI A. Parasitoid dan Predator Tujuan: 1. Mempelajari prinsip dan teknik pengendalian hayati sebagai salah satu komponen dalam sistem PHT 2. Mempelajari agens pengendalian hayati yang berupa parasitoid dan predator 3. Mempelajari manfaat dan masalah yang dihadapi dalam penerapan pengendalian hayati Materi: LATAR BELAKANG Pengendalian hayati sebagai komponen utama PHT pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan populasi hama yang merugikan. Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali alami dan keseimbangan ekosistem. Musuh alami yang terdiri atas parasitoid, predator dan patogen merupakan pengendali alami utama hama yang bekerja secara "terkait kepadatan populasi" sehingga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dan perkembangbiakan hama. Adanya populasi hama yang meningkat sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani disebabkan karena keadaan lingkungan yang kurang memberi kesempatan bagi musuh alami untuk menjalankan fungsi alaminya. Apabila musuh alami kita berikan kesempatan berfungsi antara lain dengan introduksi musuh alami, memperbanyak dan melepaskannya, serta mengurangi berbagai dampak negatif terhadap musuh alami, musuh alami dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Meskipun praktek pengendalian hayati telah dilakukan ratusan tahun yang lalu di daratan Cina, pengendalian hayati yang pertama kali didokumentasikan ialah pada tahun 1762, ketika burung Mynah dibawa dari India ke Mauritius untuk memangsa hama belalang. Secara ilmiah keberhasilan pengendalian hayati pertama yang tercatat adalah pengendalian hama kutu berbantal pada kapas Icerya purchasi di California, Amerika Serikat dengan mengintroduksikan predator dari Australia yaitu kumbang vedalia, Rodolia cardinalis pada tahun 1888. Setelah keberhasilan tersebut kemudian ratusan jenis hama telah berhasil dikendalikan dengan cara hayati. Banyak hama di Indonesia berhasil dikendalikan dengan memasukkan musuh alami terutama sebelum tahun 1950-an sewaktu pestisida belum banyak digunakan oleh petani. Salah satu jenis hama adalah hama belalang pedang Sexava sp yang menyerang kelapa yang dapat berhasil dikendalikan oleh parasitoid telur Leefmansia bicolor di Sulawesi Utara. Juga hama ulat daun kubis (Plutella xylostella) di Jawa Barat berhasil dikendalikan oleh parasitoid Diadegma sp. Introduksi parasitoid telur Chelonus sp dari wilayah Bogor ke Flores untuk mengendalikan ngengat mayang kelapa (Batracedra spp). Pembiakan massal parasitoid telur Trichogramma spp dan lalat Jatiroto (Diatraeophaga striatalis) sangat membantu mengendalikan serangan penggerek batang tebu pada tahun 1972. Selanjutnya pada 1975 telah diintoduksikan kumbang moncong Neochetina eichhorniae dari Flores ke Bogor untuk pengendalian eceng gondok. Introduksi kumbang Curinus coreolius dari Hawai dilakukan untuk mengendalikan hama kutu loncat lamtoro Heteropsylla sp tahun 1986. Dari tahun 1950 sampai 1970an pengendalian hayati pamornya berkurang akibat penggunaan pestisida kimia yang sangat dominan di seluruh 39 dunia. Dengan munculnya konsepsi PHT pengendalian hayati kembali diharapkan menjadi tumpuan teknologi pengendalian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ekologi maupun ekonomi. BEBERAPA PENGERTIAN Agar tidak timbul kerancuan lebih dahulu perlu dibedakan pengertian tentang pengendalian hayati (biological control) dan pengendalian alami (natural control) yang seringkali dibicarakan bersama. Pengendalian Hayati merupakan taktik pengelolaan hama yang dilakukan secara sengaja memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk menurunkan atau mengendalikan populasi hama. De Bach tahun 1979 mendefinisikan Pengendalian Hayati sebagai pengaturan populasi organisme dengan musuh-musuh alami sehingga kepadatan populasi organisme tersebut berada di bawah rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian. Pengendalian Alami merupakan proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa ada kesengajaan yang dilakukan oleh manusia. Pengendalian alami terjadi tidak hanya oleh karena bekerjanya musuh alami, tetapi juga oleh komponen ekosistem lainnya seperti makanan, dan cuaca. Ada beberapa ahli yang meluaskan pengertian pengendalian hayati sebagai usaha pengendalian hama yang mengikutsertakan organisme hidup. Varietas tahan hama, manipulasi genetik, dan penggunaan serangga mandul dimasukkan sebagai bagian teknik pengendalian hayati. Untuk selanjutnya dalam kuliah kita gunakan pengertian pengendalian hayati yang pertama. AGENS PENGENDALIAN HAYATI Sebagai bagian kompleks komunitas dalam ekosistem setiap spesies serangga termasuk serangga hama dapat diserang oleh atau menyerang organisme lain. Bagi serangga yang diserang organisme penyerang disebut "musuh alami". Secara ekologi istilah tersebut kurang tepat karena adanya musuh alami tidak tentu merugikan kehidupan serangga terserang. Hampir semua kelompok organisme dapat berfungsi sebagai musuh alami serangga hama termasuk kelompok vertebrata, nematoda, jasad renik, invertebrata di luar serangga. Kelompok musuh alami yang paling penting adalah dari golongan serangga sendiri. Dilihat dari fungsinya musuh alami atau agens pengendalian hayati dapat kita kelompokkan menjadi parasitoid, predator, dan patogen. 1. Parasitoid Perlu sedikit penjelasan antara istilah parasitoid dan parasit. Parasitisme adalah hubungan antara dua spesies yang satu yaitu parasit, memperoleh keperluan zat-zat makanannya dari fisik tubuh yang lain, yaitu inang. Parasit hidup pada atau di dalam tubuh inang. Inang tidak menerima faedah apapun dari hubungan ini, meskipun biasanya tidak dibinasakan. Misalnya kasus cacing pita pada manusia dan caplak pada binatang. Istilah parasit lebih sering digunakan dalam entomologi kesehatan. Serangga yang bersifat parasit yang pada akhirnya menyebabkan kematian inangnya tidak tepat bila dimasukkan ke dalam definisi parasit. Karena itu kemudian diberikan istilah baru yaitu parasitoid yang lebih banyak digunakan dalam entomologi pertanian. Parasitoid adalah binatang yang hidup di atas atau di dalam tubuh binatang lain yang lebih besar yang merupakan inangnya. Serangan parasit dapat melemahkan inang dan akhirnya 40 dapat membunuh inangnya karena parasitoid makan atau mengisap cairan tubuh inangnya. Untuk dapat mencapai fase dewasa suatu parasitoid hanya memerlukan satu inang. Dengan demikian parasitoid adalah serangga yang hidup dan makan pada atau dalam serangga hidup lainnya sebagai inang. Inang akan mati jika perkembangan hidup parasitoid telah lengkap. Parasitoid merupakan serangga yang memarasit serangga atau binatang artropoda yang lain. Parasitoid bersifat parasitik pada fase pradewasanya sedangkan pada fase dewasa mereka hidup bebas tidak terikat pada inangnya. Umumnya parasitoid akhirnya dapat membunuh inangnya meskipun ada inang yang mampu melengkapi siklus hidupnya sebelum mati. Parasitoid dapat menyerang setiap instar serangga. Instar dewasa merupakan instar serangga yang paling jarang terparasit. Oleh induk parasitoid telur dapat diletakkan pada permukaan kulit inang atau dengan tusukan ovipositornya telur langsung dimasukkan dalam tubuh inang. Larva yang keluar dari telur menghisap cairan inangnya dan menyelesaikan perkembangannya dapat berada di luar tubuh inang (sebagai ektoparasitoid) atau sebagian besar dalam tubuh inang (sebagai endoparasitoid). Contoh ektoparasit adalah Campsomeris sp yang menyerang uret sedangkan Trichogramma sp yang memarasit telur penggerek batang tebu dan padi merupakan jenis endoparasit. Fase inang yang diserang pada umumnya adalah telur dan larva, beberapa parasitoid menyerang pupa dan sangat jarang yang menyerang imago. Larva parasitoid yang sudah siap menjadi pupa keluar dari tubuh larva inang yang sudah mati kemudian memintal kokon untuk memasuki fase pupa parasitoid. Imago parasitoid muncul dari kokon pada waktu yang tepat untuk kemudian meletakkan telur pada tubuh inang bagi perkembangan generasi berikutnya. Ada spesies parasitoid yang dapat melengkapi siklus hidupnya sampai fase dewasa pada satu inang. Parasitoid semacam ini disebut parasitoid soliter merupakan suatu spesies parasitoid yang perkembangan hidupnya terjadi pada satu tubuh inang. Satu inang diparasit oleh satu individu parasitoid. Contoh parasitoid soliter antara lain Charops sp (famili Ichneumonidae). Parasitoid gregarius adalah jenis parasitoid yang beberapa individu dapat hidup bersama-sama dalam tubuh satu inang. Contoh parasitoid gregarious adalah Tetrastichus schoenobii. Jumlah imago yang keluar dari satu tubuh inang dapat banyak sekali. Banyak jenis lebah Ichneumonid merupakan parasitoid soliter, dan banyak lebah Braconid dan Chalcidoid yang merupakan parasitoid gregarius. Enam ordo serangga yang meliputi 86 famili anggota-anggotanya tercatat sebagai parasitoid yaitu Coleoptera, Diptera, Hymenoptera, Lepidoptera, Neuroptera, dan Strepsiptera. Namun dua ordo parasitoid yang terpenting yaitu Hymenoptera dan Diptera. Famili-famili dalam ordo Hymenoptera yang terbanyak mengandung parasitoid adalah Ichneumonidae, Braconidae, dan beberapa famili yang termasuk Chalcidoidea. Sedangkan dalam ordo Diptera famili Tachinidae merupakan famili yang terpenting. Tetrastichus schoenobii memiliki kemampuan memarasit kepompong penggerek batang padi bergaris, penggerek batang padi kuning dan penggerek batang padi putih. Apanteles artonae memarasit larva Chilo sp dan Artona catoxantha. Pertanaman pisang yang terserang Erionata thrax dapat dikendalikan oleh parasitoid Xanthopimpla sp. Parasitoid Trichogrammatoidea batrae-batrae cukup efektif memparasit telur penggerek polong kedelai (Etiella spp). Selama ini dari sekian banyak kelompok agens pengendalian hayati, parasitoid yang paling sering berhasil mengendalikan hama apabila dibandingkan dengan kelompok-kelompok agens pengendalian hayati lainnya. Dari 4769 kasus pelepasan agens pengendalian hayati yang tercatat di dunia, hanya 1023 menggunakan predator, sebagian besar kasus adalah pelepasan serangga parasitoid. Keuntungan atau kekuatan pengendalian hama dengan parasitoid adalah: a. Daya kelangsungan hidup ("survival") parasitoid tinggi. 41 b. Parasitoid hanya memerlukan satu atau sedikit individu inang untuk melengkapi daur hidupnya. c. Populasi parasitoid dapat tetap bertahan meskipun pada aras populasi yang rendah. d. Sebagian besar parasitoid bersifat monofag atau oligofag sehingga memiliki kisaran inang sempit. Sifat ini mengakibatkan populasi parasitoid memiliki respons numerik yang baik terhadap perubahan populasi inangnya. Di samping kekuatan pengendalian dengan parasitoid beberapa kelemahan atau masalah yang biasanya dihadapi di lapangan dalam menggunakan parasitoid sebagai agens pengendalian hayati adalah: a. Daya cari parasitoid terhadap inang seringkali dipengaruhi oleh keadaan cuaca atau faktor lingkungan lainnya yang sering berubah. b. Serangga betina yang berperan utama karena mereka yang melakukan pencarian inang untuk peletakan telur. c. Parasitoid yang memiliki daya cari tinggi biasanya menghasilkan telur sedikit. Namun keberhasilan semua teknik pengendalian hayati dengan parasitoid sangat ditentukan oleh sinkronisasi antara fenologi inang dan fenologi parasitoid di lapangan. Fase larva parasitoid hanya dapat hidup pada fase hidup inang tertentu terutama telur dan larva. Kelanjutan hidup parasitoid sangat ditentukan oleh ketersediaan fase inangnya yang tepat. Bila sewaktu induk parasitoid akan meletakkan telurnya tetapi tidak tersedia fase inang yang tepat, parasitoid tersebut tidak akan dapat melanjutkan fungsinya sebagai pengendali populasi hama. Agar pengendalian hayati dengan parasitoid berhasil siklus hidup dan fenologi hama dan inang perlu dipelajari dan diketahui lebih dahulu. Misalkan untuk introduksi dan pelepasan parasitoid di lapangan perlu diketahui banyak hal kecuali fenologi inang dan parasitoid juga tentang pengaruh berbagai faktor lain seperti cuaca dan tindakan manusia terhadap fenologi dan perkembangan populasi parasitoid dan inangnya. Serangga predator dan serangga parasitoid juga memiliki musuh alami yang berupa parasitoid. Fenomena serangga parasitoid menyerang parasitoid lain sebagai inangnya disebut hiperparasitasi sedangkan parasitoid tersebut disebut hiperparasitoid. Apabila kelompok parasitoid yang memarasit hama disebut parasitoid primer maka kelompok hiperparasitoid disebut parasitoid sekunder. Parasitoid sekunder masih mungkin diserang oleh parasitoid tersier. Brachymeria sp yang menyerang kepompong Charops sp merupakan salah satu contoh hiperparasitasi. Adanya parasitoid sekunder perlu diperhitungkan dalam setiap usaha pengendalian hayati dengan menggunakan predator atau parasitoid. Perlu dicatat di sini bahwa tidak semua parasitoid primer berguna untuk pengendalian hayati antara lain parasitoid primer yang menyerang serangga herbivora digunakan pengendalian hayati gulma. 2. Predator Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan, membunuh atau memangsa binatang lainnya. Apabila parasitoid memarasit inang, predator atau pemangsa memakan mangsa. Predator umumnya dibedakan dari parasitoid dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. Parasitoid umumnya monofag atau oligofag, predator pada umumnya mempunyai banyak inang atau bersifat polifag meskipun ada juga jenis predator yang monofag dan oligofag. b. Predator umumnya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan mangsanya. Namun ada beberapa predator yang memiliki ukuran tubuh yang tidak lebih besar daripada mangsanya, contohnya semut yang mampu membawa mangsa secar berkelompok. c. Predator memangsa dan membunuh mangsa secara langsung sehingga harus memiliki daya cari yang tinggi, memiliki kelebihan sifat fisik yang memungkinkan predator mampu membunuh mangsanya Beberapa predator dilengkapi dengan kemampuan bergerak cepat, taktik penangkapan mangsa yang lebih baik daripada taktik pertahanan mangsa, kekuatan 42 yang lebih besar, memiliki daya jelajah yang jauh serta dilengkapi dengan organ tubuh yang berkembang dengan baik untuk menangkap mangsanya seperti kaki depan belalang sembah (Mantidae), mata besar (capung). d. Untuk memenuhi perkembangannya parasitoid memerlukan hanya satu inang umumnya fase pradewasa, tetapi predator memerlukan banyak mangsa baik fase pradewasa maupun fase dewasa. e. Parasitoid yang mencari inang adalah hanya serangga dewasa betina, tetapi predator betina dan jantan dan juga fase pradewasa semuanya dapat mencari dan memperoleh mangsa. f. Sebagian besar predator mempunyai banyak pilihan inang sedangkan parasitoid mempunyai sifat tergantung kepadatan yang tinggi. Predator memiliki daya tanggap rendah terhadap perubahan populasi mangsa sehingga fungsinya sebagai pengatur populasi hama umumnya kurang terutama untuk predator yang polifag. Sifat polifag memberikan keuntungan bagi predator yaitu bila populasi jenis mangsa utama tertentu rendah, dengan mudah predator tersebut mencari mangsa alternatif untuk tetap mampu mempertahankan hidupnya. Sifat pengaturan populasi mangsa secara tergantung kepadatan lebih nampak pada predator yang bersifat oligofag. Respons numerik predator terhadap perubahan populasi mangsa dinampakkan dalam bentuk perubahan reproduksi, imigrasi, emigrasi, dan proses mortalitas. Respons fungsional predator dalam bentuk perubahan proses fisiologi dan perilaku seperti daya cari, waktu penanganan mangsa, rasa lapar, kecepatan pencernaan, kompetisi antar predator, dll. Sinkronisasi fenologi predator dan mangsa tidak merupakan permasalahan utama bagi keberhasilan pemanfaatan predator sebagai agens pengendali hayati. Hal ini berbeda dengan sinkronisasi parasitoid dan inang. Hampir semua ordo serangga mempunyai spesies yang menjadi predator serangga lain. Selama ini ada beberapa ordo yang anggota-anggotanya banyak merupakan predator yang digunakan dalam pengendalian hayati. Ordo-ordo tersebut adalah Coleoptera, Neuroptera, Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera. Beberapa famili predator yang terkenal adalah kumbang kubah (Coleoptera: Coccinellidae), kumbang tanah (Coleoptera: Carabidae), undurundur (Neuroptera: Chrysopidae), kepik buas (Hemiptera: Reduviidae), belalang tanduk panjang (Orthoptera: Tettigonidae), jangkerik (Orthoptera: Gryllidae), Kepinding air (Hemiptera: Vellidae), Anggang-anggang (Hemiptera: Gerridae), capung jarum (Odonata: Coenagrionidae), semut (Hymenoptera: Formicidae) dan dari golongan laba-laba harimau (Araneae: Lycosidae). Banyak ahli yang mempersoalkan tentang efektivitas predator sebagai agens pengendalian hayati apabila dibandingkan dengan parasitoid. Dari sekian banyak usaha pengendalian hayati yang selama ini berhasil dilakukan di dunia lebih banyak menggunakan parasitoid daripada predator. Namun hal itu tidak berarti bahwa predator kurang dapat difungsikan sebagai agens pengendalian hayati. Keberhasilan pengendalian hayati memang sulit untuk diduga dan dianalisis secara tepat karena kerumitan dan dinamika agroekosistem. Predator dan parasitoid mempunyai banyak kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu untuk meningkatkan keberhasilan pengendalian hayati kedua agens tersebut harus dimanfaatkan secara optimal berdasarkan pada informasi dasar yang mencukupi tentang berbagai aspek biologi dan ekologi kedua kelompok agens pengendalian hayati tersebut. PENGENDALIAN HAYATI DENGAN PARASITOID DAN PREDATOR Praktek pengendalian yang dilakukan sampai saat ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu introduksi, augmentasi, dan konservasi. Meskipun ketiga teknik pengendalian hayati tersebut berbeda dalam sasaran dan tekniknya tetapi dalam pelaksanaan pengendalian hayati sering digunakan secara bersama. 43 1. Introduksi Teknik introduksi atau importasi musuh alami seringkali disebut sebagai praktek pengendalian hayati klasik. Hal ini disebabkan karena pada tahap permulaaan sebagian besar usaha pengendalian hayati menggunakan teknik tersebut. Usaha introduksi bertujuan untuk mencari musuh alami hama tersebut di daerah asalnya dan memasukkannya ke daerah baru. Di daerah asal hama tersebut mungkin tidak menjadi masalah bagi petani karena populasinya telah dapat diatur dan dikendalikan oleh agens musuh alami setempat. Keberhasilan penggunaan teknik introduksi dimulai dengan introduksi kumbang vedalia, Rodolia cardinalis dari benua Australia ke California untuk mengendalikan hama kutu perisai Icerya purchasi yang menyerang perkebunan jeruk di California. Pada waktu itu diketahui bahwa hama kutu jeruk tersebut berasal dari benua Australia. Keberhasilan teknik introduksi ini kemudian dicobakan pada hama-hama lain dan banyak juga yang berhasil baik secara lengkap, substansial maupun parsial. Di Indonesia pengendalian dengan introduksi parasitoid yang berhasil antara lain introduksi parasitoid Pediobius parvulus dari Fiji pada sekitar tahun 1920-an ke Indonesia yang ditujukan untuk pengendalian hama kumbang kelapa Promecotheca reichei. Pada beberapa daerah dilaporkan bahwa parasitasi dapat mendekati 100%. Juga pemasukan parasitoid Tetrastichus brontispae dari pulau Jawa ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara dapat berhasil menekan populasi hama kelapa Brontispa longissima. Parasitoid telur Leefmansia bicolor pernah dimasukkan dari pulau Ambon ke pulau Talaud, juga parasitoid Chelonus sp dimasukkan dari Bogor ke pulau Flores untuk mengendalikan hama bunga kelapa Batrachedra (Kalshoven, 1981). Di Indonesia kasus yang paling baru terjadi pada tahun 1986-1990 yaitu introduksi predator Curinus coreolius dari Hawaii untuk pengendalian hama kutu loncat lamtoro Heteropsylla sp. Meskipun telah banyak usaha introduksi musuh alami yang berhasil dilakukan tetapi untuk menjelaskan teori dasar teknik introduksi tersebut sangat sulit karena kerumitan mekanisme dan susunan ekosistem pertanian. Mengingat introduksi musuh alami termasuk dalam rekayasa biologi, agar teknik ini berhasil diperlukan banyak usaha persiapan dan studi yang mendalam terutama tentang sifat penyebaran, sifat biologi dan ekologi spesies hama dan musuh alami yang akan diintroduksikan, dan keadaan ekosistem setempat. Sampai saat ini upaya introduksi musuh alami ada juga yang berhasil mengendalikan hama secara berlanjut meskipun hanya dilandasi dengan metode cobacoba atau metode "trial and error". Namun untuk peningkatan efisiensi dan efektivitas pengendalian pendekatan semacam itu tidak dianjurkan. Ada beberapa langkah klasik yang perlu ditempuh apabila untuk melakukan introduksi musuh alami pada suatu tempat. Langkah-langkah tersebut dilakukan dengan urutan sbb: a. Penjelajahan atau eksplorasi di negeri asal terutama mengenai habitat asal spesies eksotik yang akan diimpor b. Pengiriman parasitoid dan predator dari negeri asal mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku di negara asal maupun di Indonesia c. Karantina pasca masuk parasitoid dan predator yang diimpor di dalam negeri sesuai peraturan dan prosedur karantina yang berlaku di Indonesia d. Perbanyakan parasitoid dan predator di laboratorium yang memenuhi syarat baik fasilitas maupun SDMnya e. Pelepasan dan pemapanan parasitoid dan predator yang diimpor sesuai dengan kondisi ekologi yang menguntungkan kehidupan dan perkembangan agens pengendalian hayati f. Evaluasi efektivitas pengendali hayati dengan menggunakan metode standar yang dibuat oleh para ahli pengendalian hayati (metode eksklusi dan metode neraca kehidupan) Apabila berhasil nilai manfaat yang diperoleh dari pemasukan musuh alami sangat besar karena hasilnya mantap, mapan dan akan berumur panjang sehingga mendatangkan 44 keuntungan ekonomi dan lingkungan yang maksimal. Keuntungan penggunaan pengendalian hayati klasik dengan intorduksi adalah: a. Agens pengendalian hayati yang dipilih biasanya sudah mengkhususkan diri terhadap hama sasaran dan tidak/sedikit berdampak negatif bagi organisme lain, b. Sekali telah menetap di suatu tempat, agens pengendali tersebut akan berkembang sendiri dan tidak diperlukan pemasukan yang berulang-ulang, c. Tidak perlu lagi tindakan-tindakan pengendalian hama lainnya baik oleh petugas lapangan maupun petani, d. Semua pihak diuntungkan baik petani kaya maupun petani miskin, e. Dari perhitungan manfaat dan biaya (Benefit Cost) sangat menguntungkan dibandingkan penggunaan pestisida 2. Augmentasi Teknik augmentasi atau teknik peningkatan merupakan aktivitas pengendalian hayati yang bertujuan meningkatkan jumlah musuh alami atau pengaruhnya. Sasaran ini dapat dicapai dengan dua cara augmentasi yaitu pertama, dengan melepaskan sejumlah tambahan musuh alami ke ekosistem agar dengan tambahan jumlah tersebut dalam waktu singkat musuh alami mampu menurunkan populasi hama. Cara kedua adalah dengan memodifikasikan ekosistem sedemikian rupa sehingga jumlah dan efektivitas musuh alami dapat ditingkatkan. Pelepasan sejumlah populasi musuh alami di ekosistem secara teknik augmentasi sebetulnya sama juga dengan pelepasan musuh alami dengan teknik introduksi. Dengan teknik augmentasi diharapkan populasi hama sementara waktu (satu musim atau kurang) dengan cepat dapat ditekan sehingga tidak merugikan. Pelepasan musuh alami introduksi bertujuan dalam jangka panjang mampu menurunkan aras keseimbangan populasi hama sehingga tetap berada di bawah aras ekonomi. Karena itu pelepasan musuh alami secara augmentatik harus dilakukan secara periodik. Perbedaan lain pelepasan augmentatik menggunakan musuh alami yang sudah berfungsi di ekosistem, sedangkan pelepasan introduksi menggunakan musuh alami yang dimasukkan dari luar ekosistem. Pelepasan periodik menurut Stehr (1982) dapat dibedakan dalam 3 bentuk tergantung pada maksud dan frekuensi pelepasan serta sumber musuh alami yang dilepaskan. Tiga cara pelepasan periodik adalah: b. Pelepasan Inokulatif Pelepasan musuh alami dilakukan satu kali dalam satu musim atau dalam satu tahun dengan tujuan agar musuh alami tersebut dapat mengadakan kolonisasi dan menyebar luas secara alami dan menjaga populasi hama tetap berada pada aras keseimbangannya. Pelepasan musuh alami di sini dimaksudkan agar secara teratur peranan dan kondisi musuh alami tetap dipertahankan dan ditingkatkan. Secara periodik populasi musuh alami berkurang karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai. Pengendalian hama tidak diharapkan dari hasil kerja musuh alami yang dilepas tetapi oleh keturunannya. c. Pelepasan Suplemen Pelepasan musuh alami dapat dilakukan setelah dari kegiatan sampling diketahui populasi hama mulai meninggalkan populasi musuh alaminya. Tujuan pelepasan untuk membantu musuh alami yang sudah ada agar kembali berfungsi dan dapat mengendalikan populasi hama. d. Pelepasan Inundatif atau Pelepasan Massal Apabila pada kedua cara pelepasan sebelumnya diharapkan keturunan dari individu musuh alami yang dilepaskan yang terus berfungsi memperkuat berfungsinya kembali musuh 45 alami sebagai pengendali alami, maka pelepasan inundatif mengharapkan agar individu-individu musuh alami yang dilepas secara sekaligus dapat menurunkan populasi hama secara cepat terutama setelah ratusan ribu atau jutaan individu parasitoid atau predator dilepaskan. Pelepasan inundatif parasitoid sering disebut penggunaan "insektisida biologi" karena dalam hal ini musuh alami seakan-akan diharapkan dapat bekerja secepat insektisida kimiawi dalam penurunan populasi hama. Karena jumlah musuh alami yang dilepaskan sangat banyak diperlukan teknik pembiakan massal musuh alami yang cepat, dan ekonomik. Umumnya inang bagi perbanyakan massal musuh alami bukan serangga inang hama tetapi serangga inang alternatif yang lebih mudah diperbanyak di ruang perbanyakan. Contoh untuk memperbanyak parasitoid telur Trichogramma sp di laboratorium digunakan inang pengganti yaitu Sitotroga cerealia, hama yang menyerang gabah. Sukses yang dicapai oleh teknik inokulatif adalah dilepaskannya secara massal parasitoid telur Trichogramma sp untuk mengendalikan berbagai hama penting seperti penggerek pucuk tebu dan penggerek batang tebu, hama penggerek buah kapas, dll. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelepasan 150.000 telur Trichogramma sp. per hektar dapat menurunkan populasi dan kerusakan penggerek pucuk tebu, sedangkan untuk pengendalian penggerek batang tebu diperlukan 250.000 telur per hektar. Teknik pengendalian hayati lainnya agar teknik augmentasi dengan pelepasan periodik ini berhasil diperlukan informasi yang lengkap tentang biologi dan ekologi hama dan musuh alaminya terutama dalam menentukan tempat, waktu, frekuensi dan cara pelepasan musuh alami. 3. Konservasi Musuh Alami Dalam penerapan PHT konservasi musuh alami terutama pemanfaatan predator dan parasitoid merupakan teknik pengendalian hayati yang sering dilakukan dan dianjurkan. Teknik konservasi bertujuan menghindarkan tindakan-tindakan yang dapat menurunkan populasi musuh alami. Banyak tindakan agronomi yang secara langsung dan tidak langsung dapat merugikan populasi musuh alami terutama penggunaan pestisida kimia. Pengendalian hama tanpa menggunakan pestisida atau kalau digunakan secara selektif berarti usaha konservasi musuh alami sudah dilaksanakan. Dari hasil penelitian Settle et al. (1996) dapat diketahui bahwa aplikasi insektisida pada permulaan musim tanam padi tidak hanya membunuh musuh alami hama-hama padi, tetapi dapat membunuh serangga-serangga akuatik detrivora dan pemakan plankton yang hidup di air sawah. Keberadaan serangga-serangga air tersebut sangat bermanfaat karena menjaga populasi wereng coklat padi pada posisi yang tidak merugikan petani. Menghindarkan aplikasi insektisida pada permulaan musim tanam padi merupakan salah satu bentuk konservasi musuh alami yang efektif untuk pengendalian hama-hama padi di Indonesia. Beberapa cara konservasi musuh alami yang dapat dilakukan antara lain berupa: 1. Menekan pemakaian pestisida. Musuh alami memiliki kepekaan terhadap pestisida lebih tinggi daripada hama sehingga pemakaian pestisida secara terus-menerus akan memusnahkan populasi musuh alami. Parasitoid lebih peka terhadap pestisida daripada predator. 2. Memakai sistem tanam yang lebih beraneka ragam. Sistem tanam yang beraneka ragam akan mempengaruhi lingkungan mikro di suatu lahan. Lingkungan akan lebih terlindung dari pengaruh buruk cuaca seperti angin dan hujan, kelembaban lebih tinggi, dan tempat akan menjadi lebih teduh. Dengan demikian jumlah 46 serangga bermanfaat seperti musuh alami akan lebih beraneka ragam dibandingkan pada sistem monokultur. 3. Menanam dan melestarikan tanaman berbunga. Tanaman berbunga yang menghasilkan sari madu dan serbuk sari dapat menaikkan kemampuan musuh alami untuk berkembang biak sehingga lebih disukai oleh parasitoid dan predator. 4. Melestarikan tanaman liar yang mendukung inang alternatif parasitoid atau mangsa alternatif predator. Parasitoid atau predator akan sulit mempertahankan hidup setelah panen karena inang utama tidak dijumpai lagi. Pelestarian tanaman liar dapat mendukung kehidupan musuh alami sebagai inang alternatif sampai inang utama kembali tersedia sehingga musuh alami tetap mampu menurunkan populasi hama. Adanya tanaman liar juga harus diwaspadai apabila berpotensi menjadi tempat hidup hama di luar musim tanaman budidaya. Sebelumnya Stehr (1982) mengemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memodifikasi ekosistem untuk konservasi musuh alami dengan rincian sebagai berikut: 1. Perlindungan dari penggunaan pestisida kimiawi. 2. Pengembangan musuh alami yang tahan atau toleran terhadap pestisida. 3. Perlindungan atau penjagaan stadia tidak aktif musuh alami (pupa atau fase diapause). 4. Menghindari praktek budidaya tanaman yang merugikan kehidupan musuh alami. 5. Penjagaan keanekaragaman komunitas setempat dan inang yang diperlukan. 6. Penyediaan inang alternatif. 7. Penyediaan makanan alami (nektar, pollen, embun madu) 8. Penyediaan suplemen makanan tambahan. 9. Pembuatan tempat berlindung musuh alami 10. Pengurangan populasi predator yang tidak diinginkan. 11. Pengendalian semut pemakan madu. 12. Pengaturan suhu yang mendukung perkembangan musuh alami. 13. Menghindarkan debu-debu yang mengganggu efektivitas musuh alami. PERANAN PENGENDALIAN HAYATI DALAM PHT Sesuai dengan konsepsi dasar PHT pengendalian hayati memegang peranan yang menentukan karena semua usaha teknik pengendalian yang lain secara bersama ditujukan untuk mempertahankan dan memperkuat berfungsinya musuh alami sehingga populasi hama tetap berada di bawah aras ekonomik. Dibandingkan dengan teknik-teknik pengendalian yang lain terutama pestisida kimia, pengendalian hayati memiliki tiga keuntungan utama yaitu permanen, aman, dan ekonomi. Arti permanen di sini karena apabila pengendalian hayati berhasil, musuh alami telah menjadi lebih mapan di ekosistem dan selanjutnya secara alami musuh alami akan mampu menjaga populasi hama dalam keadaan yang seimbang di bawah aras ekonomi dalam jangka waktu yang panjang. Pengendalian hayati aman bagi lingkungan karena tidak memiliki dampak samping terhadap lingkungan terutama terhadap serangga atau organisme bukan sasaran. Karena musuh alami biasanya adalah khas inang. Meskipun pernah dilaporkan kasus terjadinya 47 ketahanan suatu jenis hama terhadap musuh alami antara lain dengan membentuk kapsul dalam tubuh inang, namun kejadian tersebut sangat langka. Pengendalian hayati juga relatif ekonomis karena begitu usaha tersebut berhasil petani tidak memerlukan lagi tambahan biaya khusus untuk pengendalian hama, petani kemudian hanya mengupayakan agar menghindari tindakan-tindakan yang merugikan perkembangan musuh alami. Kesulitan dan permasalahan utama dalam penerapan dan pengembangan pengendalian hayati adalah modal investasi permulaan yang besar yang harus dikeluarkan untuk kegiatan eksplorasi, penelitian, pengujian dan evaluasi terutama yang menyangkut berbagai aspek dasar baik untuk hama, musuh alami maupun tanaman. Aspek dasar dapat meliputi taksonomi, ekologi, biologi, siklus hidup, dinamika populasi, genetika, fisiologi, dll. Identifikasi yang tepat baik untuk jenis hama maupun musuh alaminya merupakan langkah permulaan yang sangat penting. Apabila identifikasi kurang benar kita akan memperoleh kesulitan dalam mempelajari sifat-sifat kehidupan musuh alami dan langkah-langkah kegiatan selanjutnya. Kecuali diperlukan modal, fasilitas yang lengkap juga diperlukan sumber daya manusia terutama para peneliti yang berkualitas dan berpendidikan khusus dan berdedikasi tinggi sesuai dengan yang diperlukan untuk pengembangan teknologi pengendalian hayati. Sampai saat ini tenaga-tenaga ahli dengan kualifikasi demikian masih sangat jarang tersedia di Indonesia. Meskipun ada beberapa ahli yang berpendapat bahwa untuk pengendalian hayati yang penting adalah adanya tenaga peneliti yang berpengalaman dan berdedikasi tinggi serta cukup memiliki rasa seni dan intuisi, namun bagaimanapun untuk keberhasilan pengendalian hayati dalam kerangka PHT diperlukan juga dasar pengetahuan dan teknologi yang mantap. B. Patogen Serangga Tujuan: 1. Mempelajari dan memahami berbagai kelompok dan jenis patogen serangga sebagai agens pengendalian hayati 2. Mempelajari dan memahami strategi dan cara pemanfaatan patogen serangga untuk pengendalian hama 3. Mempelajari dan memahami kelemahan dan kekuatan patogen serangga sebagai agens pengendalian hayati Materi: JENIS-JENIS JASAD RENIK PATOGENIK Serangga seperti juga binatang lainnya dalam hidupnya diserang oleh banyak patogen atau penyakit yang berupa virus, bakteri, protozoa, jamur, rikettsia dan nematoda. Beberapa penyakit dalam kondisi lingkungan tertentu dapat menjadi faktor mortalitas utama bagi populasi serangga, tetapi ada banyak penyakit yang pengaruhnya kecil terhadap gejolak populasi serangga. Serangga yang terkena penyakit menjadi terhambat pertumbuhan dan pembiakannya. Pada keadaan serangan penyakit yang parah serangga terserang akhirnya mati. Saat ini dikenal lebih dari 2000 jenis patogen yang menginfeksi serangga dan jumlah itu mungkin baru sebagian kecil dari jenis patogen serangga di muka bumi. Oleh karena kemampuannya membunuh serangga hama sejak lama patogen digunakan sebagai agens pengendalian hayati (biological control agents). Penggunaan patogen untuk pengendalian hama tercatat pada abad ke-18 yaitu pengendalian hama kumbang moncong pada bit gula, Cleonus punctiventus dengan menggunakan sejenis jamur. Berikut secara singkat 48 diuraikan beberapa kelompok jasad renik yang saat ini sudah banyak dan sering digunakan sebagai agens pengendalian hayati. 1. Virus Sampai saat ini kurang lebih 1500 virus telah berhasil diisolasi dan diidentifikasikan dari serangga dan binatang artropoda lainnya. Virus-virus artropoda sebagian besar masuk dalam genera Nucleopolyhedrovirus, Granulovirus, Iridovirus, Entomopoxvirus, Cypovirus dan Nodavirus. Dari keenam genera ini genus NPV (Nucleopolyhedro virus) merupakan genus terpenting karena sekitar 40% jenis virus yang dikenal menyerang serangga termasuk dalam genus ini. Selain NPV ada kelompok virus lainnya yaitu GV (Granulovirus), CPV (Cytoplasmic Polyhidrosis Virus) dan kelompok lainnya yang lebih kecil jumlahnya. NPV pada umumnya menyerang paling banyak pada ordo Lepidoptera (86%) dan sedikit pada ordo Hymenoptera (7%) serta ordo Diptera (3%). Selain itu virus juga telah diketahui menyerang ordo Coleoptera, Trichoptera, dan Neuroptera. Berbagai virus NPV mempunyai prospek untuk digunakan dalam pengendalian hayati adalah NPV yang diisolasi dari genusgenus Spodoptera, Helicoverpa, Trichoplusia, Plusia, Pectinophora, Neodiprion, Melacosoma, Agrotis, Chilo, dll. Banyak genus serangga tersebut yang merupakan hama penting di Indonesia. Beberapa keunggulan penggunaan NPV antara lain memiliki inang sangat spesifik, mampu menginfeksi serangga yang telah resisten terhadap insektisida, relatif persisten di pertanaman dan tanah, serta tidak meninggalkan residu beracun di alam. Virus NPV dicirikan dengan adanya inclusion bodies yang disebut polihedra atau PIB (“polihedric inclusion body”). PIB dibentuk oleh protein dan mengandung beberapa nukleokapsid atau partikel-partikel virus atau virion. Virion NPV berbentuk batang yang berukuran panjang antara 200-400 nm dengan diameter 20-50 nm. Di dalam tubuh larva Lepidoptera virus berkembang terutama di nuklei selsel darah, hipodermis, jaringan lemak dan lapisan epithel saluran trachea. Larva serangga yang terinfeksi oleh virus pada umumnya melemah pada saluran pencernaan makanan sewaktu larva makan bagian tanaman yang telah mengandung polihedra. Selain itu virus juga dapat masuk ke tubuh serangga sewaktu meletakkan telur atau melalui bagian tubuh yang terluka mungkin oleh serangan musuh alami. Virus juga dapat ditransmisikan dari induk yang telah terinfeksi pada keturunannya melalui telur. Apabila virus telah masuk ke dalam tubuh serangga, polihedra NPV akan larut dan pecah serta melepaskan partikel-partikel virus yang kemudian memasuki sel-sel bagian perut serangga dan akhirnya memperbanyak diri. Setiap sel yang terinfeksi virus, nukleusnya membengkak dan dipenuhi oleh masa padat yang disebut viroplan. Proses perbanyakan nukleokapsid berjalan dengan cepat sehingga terbentuklah banyak polihedra yang memenuhi seluruh sel tubuh serangga akhirnya mengakibatkan kematian. Proses masuknya virus ke tubuh serangga sampai dipenuhinya sel-sel tubuh serangga oleh virus berjalan antara 4 hari sampai 3 minggu tergantung pada jenis NPV, jenis serangga inang, jumlah polihedra yang masuk, instar larva yang mulai terinfeksi dan keadaan suhu. Larva yang terserang virus NPV dapat dilihat dari gejala serangan yang antara lain berupa larva semakin malas bergerak, pertumbuhannya terhambat, kulit berganti warna menjadi semakin pucat dan memutih seperti susu, dan larva bergerak ke pucuk tanaman. Larva yang mati karena virus posisi tubuhnya seperti patah dan menggantung pada bagian tanaman. Penyebaran virus ini melalui berbagai cara dan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain cuaca. Virus telah berada di tanaman dan telah dapat disebarkan oleh angin dan hujan. Beberapa jenis predator termasuk burung dan parasitoid dapat juga menjadi agens penyebaran virus. 49 Aplikasi virus untuk pengendalian hama sebagian besar baru dalam tahap pengkajian laboratorium sedangkan di lapangan masih sangat terbatas. Kendala utama dalam perbanyakan virus diantaranya belum berkembangnya teknik perbanyakan dan penggunaan pakan buatan. Teknik rekayasa genetika diharapkan mampu memacu perkembangan dan perluasan aplikasi virus sebagai agens pengendalian hayati. 2. Jamur Entomopatogenik Kelompok jenis jamur yang menginfeksi serangga dinamakan jamur entomopatogenik. Saat ini telah dikenal lebih dari 750 spesies jamur entomopatogenik dari sekitar 100 genera jamur. Tabel 1 menunjukkan berbagai genus jamur penting yang dapat menjadi patogen serangga. Tabel 1. Kelompok Jamur Patogen Serangga yang Umum Menurut Sistematikanya Subdivisi Kelas Ordo Genus Contoh Inang Mastigomycotina Zygomycotina Ascomycotina Deuteromycotina Chytridiomycetes Zygomycetes Pyrenomycetes Plectomycetes Hypomycetes Blastocladiales Entomophthorales Spaeriales Ascosphaerales Moniliales Coelomomyces Enthomophthora Cordyceps Ascophaera Beauveria Metarhizium Nomuraea Paecilomyces Verticillium Hirsutella Sorosporella Spicaria Lalat hitam Nilaparvata lugens Setora nitens Aphis sp. Nilaparvata lugens Oryctes rhinoceros Helicoverpa zea, S. litura Diaphorina citri Aleurodicus destructor Plutella xylostela Berbagai ulat grayak Helopeltis antonii Sumber: Tanada dan Kaya, 1993 Berbeda dengan virus, jamur patogen masuk ke dalam tubuh serangga tidak melalui saluran makanan tetapi langsung masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau integumen. Setelah konidia jamur masuk ke dalam tubuh serangga, jamur memperbanyak dirinya melalui pembentukan hife dalam jaringan epikutikula, epidermis, hemocoel, serta jaringan-jaringan lainnya. Pada akhirnya semua jaringan dipenuhi oleh miselia jamur. Disamping itu ada beberapa jenis jamur yang mempengaruhi pigmentasi serangga dan menghasilkan toksin yang sangat mempengaruhi fisiologi serangga. Karena pengaruh infeksi jamur terhadap pembentukan pigmen, larva atau instar serangga yang terserang jamur memperlihatkan perubahan warna tertentu seperti warna merah muda dan merah. Proses perkembangan jamur dalam tubuh inang sampai inang mati berjalan sekitar 7 hari. Setelah inang terbunuh, jamur membentuk konidia primer dan sekunder yang dalam kondisi cuaca yang sesuai konidia tersebut muncul keluar dari kutikula serangga. Konidia akan menyebarkan sporanya melalui angin, hujan, air, dll. Penyebaran dan infeksi jamur sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kepadatan inang, kesediaan spora, cuaca terutama angin dan kebasahan. Kebasahan tinggi dan angin kencang sangat membantu penyebaran konidia dan pemerataan infeksi patogen pada seluruh individu pada populasi inang. Saat ini jamur Metarhizium anisopliae telah digunakan secara luas di Indonesia untuk pengendalian hama Oryctes rhinoceros yang menyerang kelapa, wereng coklat, ulat jengkal (Ectropis bhurmitra). Jamur ini juga sudah dikembangkan untuk pengendalian hama wereng daun, penggerek batang padi, hama putih palsu, walang sangit dan kepinding tanah. Jamur Beauveria bassiana telah dicoba untuk pengendalian hama wereng padi coklat dan hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei). Mortalitas Helopeltis sp dapat mencapai 98% setelah disemprot dengan B. bassiana, bahkan hama penting pada kelapa sawit, Darna catenata mampu dikendalikan oleh jamur ini hingga 100%. Pengendalian dengan menggunakan 50 jamur Hirsutella citriformis dapat menurunkan populasi Diaphorina citri hingga 62%. Penurunan populasi mencapai 82% dengan jamur Paecilomyces fumosoroseus terhadap jenis hama yang sama. Hama wereng coklat dapat dikendalikan dengan menggunakan jamur Enthomopthora sp. Ulat api Setora nitens mampu ditekan perkembangannya dengan Cordyceps purpurea. Helopeltis sp. dapat dikendalikan dengan jamur Spicaria sp. Jamur Verticillium mampu menekan populasi Scotinophora coartata, Aphis, dan kutu putih Aleurodichus destructor. Penggunaan pestisida baik insektisida maupun fungisida untuk mengendalikan hama dan penyakit ternyata sangat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan jamur patogenik serangga. Banyak laporan membuktikan pestisida dapat menghambat perkecambahan konidia primer dan pengurangan pelepasan konidia sekunder berikutnya. 3. Bakteri Bakteri yang menyerang serangga dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu bakteri yang tidak membentuk spora dan bakteri pembentuk spora. Kelompok pertama mempunyai peranan sebagai faktor mortalitas alami yang penting, tetapi karena sifatnya yang kosmopolitan sukar digunakan sebagai agens pengendalian hayati. Kelompok bakteri yang lebih penting adalah bakteri pembentuk spora yang pada saat ini telah banyak digunakan sebagai insektisida mikrobia. Dua jenis bakteri patogen yang penting Bacillus popiliae dan Bacillus thuringiensis. Bacillus popiliae menyebabkan gejala seperti penyakit susu yang menyerang kumbang Jepang Popiliae japonica dan kumbang skarabid lainnya. Bacillus thuringiensis sangat efektif digunakan untuk pengendalian larva ordo Lepidoptera, dan larva nyamuk. B. fibourgenesis dapat dipakai pada hama uret Melolontha melolontha. Beberapa famili bakteri yang berpotensi sebagai sumber alternatif baru patogen serangga di masa depan telah banyak ditemukan diantaranya Pseudomonadaceae, Enterobacteriaceae, Lactobacillaceae, Micrococaceae, Bacillaceae (Tabel 2). No 1 2 3 4 5 Tabel 2. Beberapa genera bakteri patogen serangga Macam bakteri Serangga peka Pseudomonadaceae P. aeruginosa P. septica Enterobacteriaceae E. aerogenes P. P. vulgaris Q. P. mirabilis Lactobacilliaceae Diplococcus spp. Micrococaceae Micrococcus spp. Bacillaceae Bacillus popilliae B. cereus Belalang Lepidoptera Belalang Kecoa Lepidoptera Uret Lepidoptera Studi tentang Bacilus thuringiensis (Bt) saat ini sangat menarik dan berkembang sangat cepat. Telah diketahui bakteri ini terdiri atas banyak strain yang berbeda sifatnya. Dikenal lebih dari 700 varietas atau strain Bt, dan penemuan varietas atau strain Bt baru terus berlanjut. Strain Bt diklasifikasikan menjadi 29 subspesies dan lebih dari 40 inklusi kristalin (δ-endotoksin) gen-gen protein berhasil diisolasi. Bakteri ini bersifat selektif terhadap serangga sasaran dan ramah lingkungan. Karena sifat itulah maka banyak perusahaan pestisida tertarik untuk memformulasikannya. Bt dalam sporulasi di dalam tubuh serangga membentuk kristal yang mengandung protein beracun atau endotoksin. Bila spora dan kristal bakteri dimakan oleh serangga yang 51 peka maka terjadi paralisis yang mengakibatkan kematian inang. Kristal bakteri akan melarut dalam saluran pencernaan, dalam jaringan tersebut bakteri mengeluarkan toksin yang dapat mematikan serangga. Dari kristal Bt paling sedikit telah diketahui adanya 4 jenis racun atau toksin. Bila larva muda atau larva tua terkena Bt dapat kita lihat adanya reaksi pertama yang cepat seperti kesakitan, kemudian dalam beberapa waktu larva tidak mau makan dan tidak aktif. Tubuh kemudian menjadi lemah dan lembek. Kematian larva dapat terjadi dalam kurun waktu dalam beberapa jam sampai 4 5 hari setelah infeksi pertama tergantung pada serotipe atau strain Bt dan kepekaan serangga inang. Meskipun Bt telah banyak dipasarkan dengan berbagai nama dagang tetapi masih memerlukan banyak kegiatan pengembangan berhubung karena banyak strain baru ditemukan dan adanya sifat-sifat serangga yang khas baik ketahanannya terhadap strain tertentu maupun kepekaannya (Tabel 3). Tanaman inang hama juga kelihatannya mempengaruhi keberhasilan Bt dalam menginfeksi serangga inangnya. Salah satu kelemahan dari formulasi pestisida ini adalah keterbatasan dalam mencapai sasaran. Insektisida hanya aktif apabila termakan oleh hama sasaran. Bahan aktifnya tidak mampu menembus kutikula serangga maupun jaringan tanaman. Dengan demikian insektisida ini belum mampu mengendalikan hama yang berada di dalam jaringan tanaman seperti penggerek batang padi, penggerek buah kapas. No 1 2 Tabel 3. Beberapa produk Bt yang sudah dipasarkan Strain Merk dagang Serangga sasaran Kurstaki Dipel WP, Thuricide Lepidoptera HP, Bactospeine WP, Condor F Aizawai Bacillin WP, Bite WP, Lepidoptera Turex WP, Florbac FC Munculnya masalah resistensi hama terhadap penggunaan B. thuringiensis belum banyak dilaporkan. P. xylostella strain Lembang dilaporkan telah resisten terhadap insektisida Dipel WP, Thuricide WP dan Thurex WP, namun P. xylostella strain Garut masih rentan terhadap B. thuringiensis. Seleksi ke arah timbulnya resistensi kemungkinan dapat terjadi apabila pemanfaatan teknologi ini tidak dilakukan secara tepat. 4. Protozoa dan Rikettsia Spesies-spesies protozoa yang patogenik terhadap serangga pada umumnya termasuk dalam sub kelompok mikrosporodia. Telah dapat dikenal lebih dari 250 spesies mikrosporodia yang menyerang serangga. Tiga jenis mikrosporodia antara lain Nosema locustae, N. acridophagus, dan N. cuneatum telah dijadikan sebagai agens hayati untuk mengendalikan hama belalang khususnya di Amerika. Jenis Coccidia mampu menginfeksi hama gudang Tribolium confusum hingga 68%. Kelompok protozoa ini ternyata sangat potensial untuk mengendalikan hama Sexava sp. Leptomonas pyrhocoris dari golongan Mastigophora dapat menurunkan populasi kepinding, Malpighamoeba locusta dari jenis Amoeba berpotensi terhadap belalang sedangkan Nosema bombyces yang pertama kali diisolasi dari ulat sutera (Bombyx mori) berpotensi untuk mengendalikan beberapa hama penting seperti Spodoptera litura. Penyebaran mikrosporodia melalui makanan dan dipindahkan dari induk yang terinfeksi ke keturunannya. Pengaruh mikrosporodia terhadap kehidupan inangnya relatif lambat dan gejala luarnya sangat bervariasi. Mikrosporodia tersebar luas yang secara alami dapat menjadi faktor mortalitas yang penting bagi serangga inangnya. 52 Jenis rikettsia banyak menyerang kumbang. Kematian akibat rikettsia baru terjadi pada 14 bulan setelah aplikasi atau lebih lama dibandingkan kematian akibat agens hayati yang lain seperti jamur, bakteri dan nematoda. Walaupun demikian patogen jenis ini memiliki peluang yang besar untuk dijadikan agens pengendalian hayati khususnya di Indonesia. Rikettsia mampu menyebabkan kematian pada Popillia japonica, Melolontha melolontha dan Oryctes rhinoceros. 5. Nematoda Disamping virus, jamur, bakteri, dan protozoa juga ada banyak spesies nematoda yang bersifat parasitik terhadap serangga baik yang bersifat parasit obligat maupun fakultatif. Dari 19 famili nematoda yang menyerang serangga, Mermithidae merupakan famili yang terpenting dan tersebar (terdiri atas 50 genera dan 200 spesies). Nematoda muda meninggalkan telur dan masuk ke dalam tubuh serangga melalui kutikula dan kemudian masuk ke dalam hemocoel. Setelah berganti kulit beberapa kali di dalam tubuh serangga nematoda dewasa keluar dari tubuh serangga untuk kawin dan menyebar. Serangga inang mati sebelum atau sesudah nematoda meninggalkan tubuh inangnya. Jenis nematoda entomopatogen lainnya adalah Heterorhabditis spp dan Steinernema spp. Kedua nematoda ini bersimbiosis dengan bakteri. Inang yang terserang nematoda akan mengalami septisemia dan akhirnya mati. Nematoda masuk ke dalam tubuh serangga melalui lubang-lubang alami serangga seperti mulut, anus dan spirakel. Untuk selanjutnya nematoda menuju ke saluran pencernaan kemudian melepaskan bakteri simbion yang bersifat racun. Dalam beberapa jam bakteri tersebut melakukan replikasi dan akhirnya menyebar dan meracuni tubuh serangga. Serangga akan mengalami kematian dalam waktu 24-48 jam setelah aplikasi. Tubuh serangga akan lemas, terjadi penurunan aktivitas, dan terjadi perubahan warna tubuh menjadi merah kecoklatan jika terserang Steinernema spp dan hitam jika terserang Heterorhabditis spp. Nematoda akan berkembang biak di dalam tubuh serangga inang sampai menghasilkan keturunan yang sangat banyak. Nematoda akan memasuki fase reproduktif yaitu memperbanyak keturunan apabila populasi nematoda dalam tubuh inang rendah sedangkan apabila populasi tinggi akan memasuki fase infektif. Nematoda stadium ketiga atau sering disebut juvenil infektif akan keluar dari tubuh serangga dan berusaha untuk mencari inang baru. Juvenil infektif mampu bertahan hidup lama sampai memperoleh inang kembali dan fase ini merupakan satu-satunya fase yang bersifat infektif terhadap serangga inang. Beberapa kelebihan dari penggunaan nematoda entomopatogen ini adalah kemampuannya dalam mematikan inang yang relatif cepat, memiliki kisaran inang yang luas diantaranya Lepidoptera, Coleoptera, Hymenoptera dan Diptera, tidak menyebabkan resistensi hama, tidak berbahaya bagi lingkungan, tidak berbahaya bagi mamalia dan vertebrata serta kompatibel dengan pengendalian lain. Jenis Steinernema spp telah terbukti mampu mengendalikan lebih dari 100 spesies serangga hama terutama ordo Lepidoptera dan Coleptera. Steinernema carpocapsae dapat mengendalikan hama penggerek (Schirpophaga sp, Chilo sp), Helicoverpa armigera hingga 65%. Pada pengujian yang lain, Steinernema spp mampu menyebabkan kematian Spodoptera exigua sampai 98%, Spodoptera litura 99% bahkan 100% untuk mengendalikan Crocidolomia binotalis. S. carpocapsae juga telah terbukti memiliki kemampuan mengakibatkan mortalitas pada Cylas formicarius. STRATEGI PENGENDALIAN HAYATI DENGAN PATOGEN HAMA Patogen serangga dapat digunakan dalam PHT dengan beberapa strategi atau cara yaitu: 53 1. Memanfaatkan Secara Maksimal Proses Pengendalian Alami oleh Patogen Hama Ada banyak jenis patogen seperti virus dan jamur yang mampu menekan populasi hama secara alami sehingga populasi tetap berada di bawah aras ekonomi. Kita harus menjaga ekosistem sedemikian rupa sehingga patogen dapat melaksanakan fungsinya secara "density dependent". Untuk itu keadaan dan perkembangan patogen hama yang penting perlu terus dipantau dan menjaga tindakan-tindakan yang mengurangi berfungsinya patogen hama dapat dibatasi sekecil mungkin. Salah satu tindakan yang merugikan adalah penggunaan pestisida. Oleh karena itu pestisida sebaiknya hanya digunakan apabila berbagai agens pengendalian alami (termasuk patogen hama) tidak mampu menghentikan laju peningkatan populasi hama yang berhasil melampaui Ambang Pengendalian. 2. Introduksi dan Aplikasi Patogen Hama sebagai Faktor Mortalias Tetap Prinsip penggunaan patogen hama di sini sama dengan introduksi serangga parasitoid atau predator untuk menekan populasi hama untuk jangka waktu yang panjang. Caranya adalah dengan memasukkan dan menyebarkan patogen pada suatu ekosistem sedemikian rupa sehingga patogen tersebut mantap di ekosistem yang baru ini sehingga kemudian menjadi faktor mortalitas tetap bagi spesies hama yang dikendalikan. Cara ini yang paling berhasil dilakukan untuk mengendalikan hama yang nilai Ambang Pengendalian atau Ambang Ekonomi cukup tinggi karena untuk pengembangan permulaan bagi patogen diperlukan kepadatan populasi inang yang cukup. 3. Aplikasi Patogen Hama sebagai Insektisida Mikrobia Sasaran aplikasi patogen hama dengan cara ini adalah guna menekan populasi hama untuk sementara waktu. Oleh karena itu aplikasi patogen perlu dilakukan beberapa kali sama prinsipnya dengan penggunaan insektisida sintetik organik. Saat ini beberapa jenis patogen seperti NPV dan Bacillus thuringiensis telah dipasarkan dengan nama dagang tertentu. Berbeda dengan insektisida sintetik organik maka insektisida mikrobia mempunyai beberapa keuntungan yaitu bersepektrum sempit atau khas inang dan aman bagi lingkungan hidup serta tidak membahayakan binatang bukan sasaran. Kecuali itu apabila keadaan lingkungan memungkinkan patogen hama yang diaplikasikan pada ekosistem mungkin dapat menjadi pengendali alami hama yang permanen di ekosistem tersebut. PEMBIAKAN MASSAL AGENS PENGENDALIAN HAYATI Pengendalian dengan agens hayati dalam skala luas memerlukan jumlah agens hayati yang relatif mencukupi sehingga perlu usaha pembiakan massal. Pembiakan massal dilakukan untuk mengembangbiakkan agens hayati dengan menggunakan media alami maupun media buatan dalam habitat atau lingkungan yang dibentuk sesuai lingkungan aslinya sehingga diperoleh sejumlah tertentu sesuai kebutuhan. Pada saat ini usaha pembiakan massal agens hayati telah banyak dilatihkan dan dilakukan di Indonesia baik oleh laboratorium dinas maupun oleh para kelompok petani terutama yang telah mengikuti SLPHT. Namun dalam pembiakan massal perlu adanya tahap-tahap khusus yang harus diperhatikan dan dilakukan sehingga nanti akan diperoleh hasil yang memuaskan. Tahapan atau kaidah-kaidah pembiakkan tersebut berfungsi sebagai pedoman utama dalam melaksanakan usaha pembiakan. Ada 10 tahapan pembiakan massal agens hayati atau kontrol kualitas pengembangbiakkan agens pengendalian hayati yang diterapkan oleh Balai Penelitian Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) di Propinsi DIY sebagai berikut: 1. Eksplorasi dan Koleksi 54 Eksplorasi bertujuan mencari sumber genetik baru yang berpotensi sebagai agens pengendalian hayati. Eksplorasi dilakukan pada wilayah luas yang diperkirakan terdapat sumber genetik baru. Serangga yang ditemukan terserang patogen dikoleksi dan selanjutnya dimanfaatkan untuk tahapan selanjutnya. 2. Pemurnian Pemurnian dilakukan untuk pemilihan media yang cocok dan memperoleh stok spora. Pemurnian merupakan tahapan yang sangat penting untuk memperoleh stok spora sesuai yang diharapkan. Dalam pemurnian ini kontaminasi sering terjadi akibat sterilisasi alat dan ruangan yang kurang sempurna. 3. Postulat Koch Pengujian akan memperkuat dugaan bahwa agens hayati yang ditemukan benarbenar bersifat patogenik terhadap serangga. Pengujian dilakukan pada serangga yang sama dan dilakukan di laboratorium. 4. Perbanyakan Spora Perbanyakan spora merupakan usaha pemilihan substrat pengganti yang cocok untuk pengembangbiakan selanjutnya. Spora B. bassiana yang berasal dari walang sangit (Leptocorisa acuta) mati dicoba diperbanyak pada media nasi, jagung ataupun dedak. Media yang menghasilkan spora paling tinggi dipilih sebagai media. 5. Sporulasi Media yang paling cocok dan menjadi pilihan adalah media yang memberikan efek sporulasi tinggi, murah dan mudah diperoleh. 6. Viabilitas Viabilitas merupakan kemampuan atau daya kecambah spora agens hayati. Agens hayati dinilai baik apabila viabilitasnya 95%. 7. Uji patogenisitas Pengujian patogenisitas yang bertujuan mengetahui konsentrasi yang tepat dan mampu membunuh serangga sasaran biasanya dilakukan di laboratorium ataupun green house. Pengujian tingkat konsentrasi tersebut akan menghasilkan konsentrasi efektif yang nantinya akan menjadi pedoman rekomendasi di lapangan. 8. Uji efektivitas Konsentrasi efektif yang diperoleh dari uji patogenisitas digunakan untuk uji efektifitas. Pengujian ini bertujuan mencari stadia serangga yang rentan terhadap agens hayati pada konsentrasi tertentu. 9. Uji virulensi Agens pengendalian hayati yang sudah mengalami tahap-tahap uji tersebut sudah dipastikan dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan serangga hama. Uji virulensi dilakukan untuk mengetahui agens hayati tersebut virulen atau tidak baik dalam kondisi baru maupun telah disimpan dalam media dan jangka waktu tertentu. 10. Evaluasi Evaluasi merupakan salah satu cara penting untuk menilai keberhasilan pelepasan agens pengendalian hayati. Evaluasi tehadap hasil yang diperoleh dilakukan segera setelah aplikasi. Dalam evaluasi tersebut dilakukan juga peremajaan agens hayati yang sudah lama disimpan. CARA PENGGUNAAN PATOGEN SERANGGA DI LAPANGAN Mengingat kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh patogen serangga maka dalam pemanfaatan patogen sebagai agens pengendalian hayati perlu diperhatikan beberapa faktor 55 penting yang mempengaruhi tingkat keefektifan patogen terhadap serangga sasaran, antara lain: 1. Dosis. Dosis aplikasi minimum akan lebih baik daripada dosis aplikasi tinggi dalam peningkatan keefektifan patogen. Dosis tinggi menyebabkan persaingan pakan dan ruang antar patogen sejenis dan menghambat perkembangbiakan sehingga mampu menurunkan daya bunuh terhadap serangga sasaran. 2. Waktu aplikasi Kemapanan patogen yang merupakan makhluk hidup di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dalam aplikasinya diharapkan patogen tidak terkena cahaya matahari secara langsung karena sinar ultraviolet menyebabkan patogen tidak aktif bahkan dapat membunuh patogen dalam waktu yang relatif cepat. Agens hayati sebaiknya diaplikasikan pagi atau sore hari. Kelembaban tinggi lebih meningkatkan keefektifan patogen. 3. Penyelimutan Patogen harus benar-benar melekat atau menempel atau menyelimuti bagian tanaman maupun serangga sasaran. Dengan demikian kontak antara patogen dengan serangga sasaran cepat terjadi. Serangga sasaran yang mengkonsumsi patogen dengan cepat diharapkan mengalami kematian secara cepat juga. 4. Derajat kemasaman, pH Kondisi pH pada bahan pelarut sangat mempengaruhi keefektifan patogen. Pelarut dianjurkan memiliki derajat kemasaman yang normal (pH 7). Kondisi basa menyebabkan delta endotoksin pada Bt akan rusak dan efektifitasnya menurun. 5. Anti mikrobiosis Beberapa tanaman mampu menghasilkan senyawa-senyawa anti mikrobia yang dapat mengurangi keefektifan patogen. Senyawa nikotin yang dihasilkan oleh tanaman tembakau dapat menghambat pertumbuhan B. thuringiensis. Patogen tersebut juga terhambat pertumbuhannya karena adanya senyawa phenol dan terpenoid pada tanaman kapas. Senyawa alkaloid, tomatin dari tanaman tomat menghambat pembentukan koloni dan pertumbuhan jamur patogen B. bassiana. Asam klorogenik pada tanaman tomat dapat mengurangi efektifitas NPV dari Helicoverpa zea. 6. Hama sasaran Semakin muda umur serangga akan semakin rentan terhadap patogen. Hama sasaran dalam keadaan tertekan seperti sakit, kekurangan pakan, ketidakcocokan pakan, kepadatan yang terlalu tinggi menyebabkan tingkat kerentanannya semakin tinggi. Oleh karena itu sebelum aplikasi patogen di lapangan harus diketahui kondisi hama sasaran. 7. Kompatibilitas Patogen sebagai agens pengendalian hayati memiliki kemampuan dapat dipadukan dengan agens pengendalian yang lain sehingga daya bunuhnya lebih efektif dan hasilnya akan lebih memuaskan. 8. Ketahanan inang Spesies serangga tertentu yang rentan terhadap patogen dapat menjadi tahan dengan bertambahnya umur dan dipengaruhi oleh faktor genetik maupun lingkungan. 56 Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman Materi 8 PENGENDALIAN KIMIAWI Tujuan: 1. Mempelajari dan memahami sifat dan pengelompokan pestisida khususnya insektisida 2. Mempelajari dan memahami dampak negatif penggunaan pestisida kimia 3. Mempelajari dan memahami penggunaan pestisida sebagai salah satu komponen PHT Materi: Pengendalian hama secara kimiawi adalah penggunaan pestisida kimia untuk mengendalikan hama agar hama tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman yang dibudidayakan. Pestisida mungkin merupakan bahan kimiawi yang dalam sejarah umat manusia telah memberikan banyak jasanya bagi keberhasilan dalam banyak bidang pembangunan termasuk pertanian, kesehatan, pemukiman, dan kesejahteraan masyarakat. Berkat pestisida umat manusia telah dapat dibebaskan dari ancaman penyakit manusia yang membahayakan seperti malaria dan demam berdarah yang ditularkan oleh nyamuk. Di bidang pertanian penggunaan pestisida mampu menekan kehilangan hasil tanaman akibat serangan hama dan penyakit yang memungkinkan peningkatan produksi pertanian dapat dicapai. Karena keberhasilan tersebut di dunia pertanian, pestisida seakan-akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budidaya segala jenis tanaman baik tanaman hortikultura, pangan maupun perkebunan. Pestisida sedemikian melekatnya pada kegiatan pertanian di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari reaksi petani apabila menghadapi terjadinya serangan hama tentu akan menanyakan pestisida apa yang tepat digunakan dan dimana dapat diperolehnya? Kecenderungan peningkatan penggunaan pestisida secara global sejak tahun 1960an juga terjadi di Indonesia. Sejak dicanangkannya program pembangunan nasional di sektor pertanian, penggunaan pestisida meningkat dengan sangat pesat. Sekitar tahun 1970 sampai 1980-an pestisida paling banyak digunakan dalam program intensifikasi pangan terutama dalam program swasembada beras melalui program nasional BIMAS. Bila pada tahun 1970 penggunaan pestisida untuk padi kurang dari 1000 ton pada tahun 1986 pestisida untuk padi sudah mencapai 18.000 ton. Peningkatan penggunaan pestisida ini juga terjadi pada komoditas pertanian lainnya. Namun setelah Pemerintah mencabut subsidi pestisida pada tahun 1989 serta diterapkannya konsep PHT oleh petani padi, penggunaan pestisida khususnya insektisida di tanaman padi cenderung menurun. Tanaman pertanian pangan di Indonesia yang saat ini masih banyak menggunakan insektisida adalah kedelai, sayuran dataran rendah dan sayuran dataran tinggi, sedangkan pada tanaman perkebunan adalah pada tanaman kapas. Seiring dengan perdagangan bebas yang semakin terbuka, saat ini berbagai jenis pestisida generik memasuki Indonesia sehingga pada tahun 2002 jumlah formulasi pestisida yang telah terdaftar di Indonesia sudah melampaui 1000 formulasi. Jumlah pestisida yang diproduksi pada tahun 2000 sekitar 60.000 ton. 57 Meskipun pestisida kimia memiliki banyak keuntungan ekonomi bagi petani dan masyarakat, tetapi risiko yang berupa dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan semakin lama semakin nyata dirasakan oleh masyarakat luas. Salah satu cara agar risiko pestisida dapat ditekan serendah mungkin yakni Pemerintah di semua negara melakukan pengaturan terhadap semua produksi, peredaran, perdagangan, penggunaan, penyimpanan dan pengawasan pestisida. Banyak kesepakatan dan standar pengaturan yang telah ditetapkan secara internasional dan harus diterapkan oleh semua negara. Tujuan pengaturan pestisida oleh pemerintah adalah untuk melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup terhadap dampak samping penggunaan pestisida, serta untuk menjaga tingkat efektivitas pestisida dalam pengendalian hama sasaran. A. PENGELOMPOKAN PESTISIDA Kata insektisida secara harafiah berarti pembunuh serangga yang berasal dari kata insekta = serangga dan kata Latin cida yang berarti pembunuh. Insektisida merupakan salah satu kelompok pestisida. Pestisida adalah pembunuh hama yang berasal dari kata pest = hama dan cida = pembunuh. Sedangkan kelompok pestisida lainnya antara lain rodentisida (pembunuh rodent tikus), akarisida (pembunuh tungau), nematisida (pembunuh nematoda), fungisida (pembunuh jamur), herbisida (pembunuh gulma). Tabel 4 menjelaskan nama kelompok pestisida berdasar pada kelompok organisme sasaran. Karena jumlah kelompok, jenis dan produksi insektisida saat ini lebih banyak daripada kelompok-kelompok pestisida lain, biasanya yang dmaksud dengan pestisida adalah insektisida. Tabel 4. Pengelompokan Pestisida Berdasar pada Kelompok Hama yang Dikendalikan Nama kelompok No Kelompok hama yang dikendalikan pestisida 1. Akarisida Tungau, pinjal dan laba-laba 2. Adultisida Serangga dewasa 3. Algisida Alga 4. Arborisida Pepohonan, semak-semak 5. Avisida Burung 6. Bakterisida Bakteri 7. Fungisida Jamur 8. Insektisida Serangga dan juga pinjal dan tungau 9. Ixosida Pinjal 10. Larvisida Larva 11. Mitisida Tungau, pinjal, dan laba-laba 12. Moluskisida Moluska terutama siput dan keong 13. Nematisida Nematoda 14. Ovisida Telur 15. Piscisida Ikan 16. Predasida Vertebrata hama 17. Rodentisida Tikus 18. Silvisida Pepohonan dan semak 19. Termitisida Rayap, semut PEMBERIAN NAMA PESTISIDA 58 Nomenklatur atau cara pemberian nama suatu jenis pestisida ada ketentuannya. Suatu jenis pestisida ditandai oleh 3 cara penamaan yaitu nama umum, nama dagang, dan nama kimiawi. Nama dagang ditetapkan oleh produsen atau formulator insektisida yang membuat dan memperdagangkan pestisida tersebut. Karena satu jenis pestisida dapat dibuat oleh beberapa perusahaan sehingga untuk pestisida tersebut mempunyai beberapa nama dagang. Nama kimia merupakan nama yang digunakan oleh ahli kimia dalam menjelaskan suatu senyawa kimia sesuai dengan rumus bangun senyawa insektisida tersebut. Suatu contoh diambil jenis insektisida yang sampai saat ini masih diguanakan untuk pengendalian penggerek batang padi di Indonesia. 1. Nama umum : karbofuran 2. Nama dagang : Furadan®, Currater®, Indofur®, Dharmafur®. 3. Nama kimia : 2,3-dihidro 2,2,-dimeti l-7-benzonil metilkarbamat 4. Rumus bangun senyawa tersebut adalah sbb: Gambar 23. Rumus bangun Karbofuran Dalam praktek penggunaan sehari-hari terutama oleh petani, biasanya nama dagang lebih populer. Dalam forum ilmiah seperti publikasi seminar atau tesis, dll. digunakan nama umum. Dalam pembicaraan khusus tentang aspek-aspek kimiawi pestisida nama kimia pestisida digunakan. PENGGOLONGAN INSEKTISIDA Insektisida kimia dapat dikelompokan dalam beberapa cara menurut pengaruhnya terhadap serangga sasaran, menurut cara masuknya dalam tubuh serangga, dan menurut sifat kimianya. 1. Pengelompokan Insektisida Berdasarkan Pengaruhnya Terhadap Hama Insektisida dapat dikelompokkan menurut pengaruh yang merugikan bagi hama sasaran yang akhirnya dapat menurunkan populasi hama. Pengelompokan insektisida menurut pengaruh pada serangga sasaran seperti terlihat pada Tabel 5. 2. Pengelompokan Menurut Cara Masuk ke Tubuh Serangga Dilihat dari cara masuknya (mode of entry) ke dalam tubuh serangga insektisida dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu racun perut, racun kontak, dan fumigan. a. Racun Perut (stomach poison) Insektisida memasuki tubuh serangga melalui saluran pecernaaan makanan (perut). Serangga terbunuh bila insektisida tersebut termakan oleh serangga. Jenis-jenis insektisida lama umumnya merupakan racun perut, sedangkan insektisida modern sangat sedikit yang merupakan racun perut. 59 b. Racun Kontak (contact poison) Insektisida memasuki tubuh serangga bila serangga mengadakan kontak dengan insektisida atau serangga berjalan diatas permukaan tanaman yang telah mengandung insektisida. Di sini insektisida masuk ke dalam tubuh serangga melalui dinding tubuh. Insektisida modern pada umumnya merupakan racun kontak. Apabila permukaan tanaman yang mengandung insektisida tersebut dimakan serangga, racun tersebut juga memasuki tubuh serangga melalui saluran pencernaan. Contoh insektisida racun kontak adalah BHC dan DDT. Tabel 5. Pengelompokan Pestisida Berdasarkan Pengaruhnya pada Serangga Kelompok Pestisida Pengaruh pada hama Antifidan Menghambat nafsu makan sehingga serangga kelaparan (anti-feedant) yang akan menyebabkan kematian Antitranspiran Mengurangi sistem transpirasi serangga (Anti-transpirant) Atraktan Penarik hama, seperti atraktan seks (attractant) Khemosterilan Menurunkan kemampuan reproduksi hama (chemosterilant) Defolian Merontokkan bagian tanaman yang tidak diinginkan, (defoliant) tanpa membunuh seluruh bagian tanaman Desikan Mengeringkan bagian tanaman dan serangga (desiccant) Disenfektan Merusak atau mematikan organisme berbahaya (disinfectant) Perangsang makan Menyebabkan serangga lebih giat makan (feeding stimulant) Pengatur Menghentikan, mempercepat, atau memperlambat pertumbuhan proses pertumbuhan tanaman atau serangga (growth regulator) Repelen Mengarahkan serangga agar menjauh dari yang (repellent) diperlakukan Feromon, alomon dan kairomon; zat kimia yang Semiokimia dikeluarkan oleh tanaman atau hewan, yang merangsang atau menghambat perilaku serangga Sinergis Meningkatkan efektivitas bahan aktif (synergist) c. Fumigan Fumigan merupakan insektisida yang mudah menguap menjadi gas dan masuk ke dalam tubuh serangga melalui sistem pernafasan serangga atau sistem trachea yang kemudian diedarkan ke seluruh jaringan tubuh. Karena sifatnya yang mudah menguap fumigan biasanya digunakan untuk mengendalikan hama simpanan yang berada di ruang atau tempat tertutup dan juga untuk mengendalikan hama yang berada di dalam tanah. Contoh fumigan adalah hidrogen sianida (HCN), fosfin dan metil bromida. 3. Pengelompokan Menurut Sifat Kimianya Pengelompokan insektisida yang paling penting adalah menurut sifat kimianya. Insektisida kimia konvensional secara garis besar dapat dibagi menurut sifat dasar senyawa 60 kimianya yaitu dalam insektisida anorganik yaitu insektisida yang tidak mengandung unsur Karbon dan insektisida organik yang mengandung unsur Karbon. Insektisida-insektisida lama yang digunakan sebelum tahun 1945 umumnya merupakan insektisida anorganik. Contoh insektisida anorganik adalah kalsium arsenat, Pb arsenat, sodium fluorid, kriolit, dan belerang. Kelemahan insektisida anorganik adalah toksisitas tinggi untuk mamalia termasuk manusia, residu di lingkungan lama atau persisten, fitotoksisitas tinggi, masalah ketahanan hama terhadap insektisida, dan umumnya memiliki efikasi lebih rendah bila dibandingkan insektisida organik sintetik. Sedangkan insektisida kimia setelah masa Perang Dunia II setelah ditemukannya DDT umumnya merupakan insektisida organik. Insektisida organik masih dapat dibagi menjadi insektisida organik alami dan insektisida organik sintetik. Insektisida organik alami merupakan insektisida yang terbuat dari tanaman (insektisida botani/nabati) dan bahan alami lainnya. Sedangkan insektisida sintetik merupakan hasil buatan pabrik dengan melalui proses sintesis kimiawi. Pembagian insektisida organik sintetik konvensional menurut susunan kimia bahan aktif (senyawa yang memilki sifat racun) terdiri dari 6 kelompok besar yaitu 1) organoklorin (OK), 2) organofosfat (OP), 3) karbamat, 4) piretroid sintetik, 5) kloronikotinil dan 6) IGR (Insect Growth Regulator). Kecuali 6 kelompok besar tersebut masih ada beberapa kelompok insektisida baru yang mulai banyak digunakan dalam praktek pengendalian hama saat ini, seperti heterosiklik, dinitrofenol, tiosianat dan sulfanat. a. Organo Klorin (OK) Insektisida Organo Klorin atau sering disebut Hidrokarbon Klor merupakan kelompok insektisida sintetik yang pertama dan paling tua dan dimulai dengan ditemukannya DDT oleh ahli kimia Swiss Paul Mueller pada tahun 1940-an. Setelah DDT ditemukan kemudian berhasil dikembangkan banyak jenis insektisida baru dengan susunan kimia dasar yang mirip dengan DDT dan kemudian dikelompokkan dalam golongan Hidrokarbon Klor. Insektisida kelompok ini merupakan racun kontak dan racun perut, efektif untuk mengendalikan larva, nimfa, dan imago dan kadang-kadang untuk pupa dan telur. Insektisida yang termasuk OK pada umumnya memiliki toksisitas sedang untuk mamalia. Masalah yang paling merugikan bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat adalah sifat persistensinya yang sangat lama di lingkungan baik di tanah maupun di jaringan tanaman dan dalam tubuh hewan. Misal di daerah sub tropis DDT dalam kurun waktu 17 tahun residunya masih 39 % yang berada di dalam tanah, sedangkan residu endrin pada 14 tahun setelah perlakuan ternyata masih dijumpai sebanyak 40% dari residu semula. Persistensi OK di lingkungan menimbulkan dampak negatif seperti perbesaran hayati dan masalah keracunan khronik yang membahayakan kesehatan masyarakat. Permasalahan lain yang timbul akibat digunakannya DDT secara besarbesaran adalah berkembangnya sifat resistensi serangga sasaran seperti nyamuk dan lalat terhadapp DDT. Oleh karena bahayanya insektisida golongan OK sejak tahun 1973 tidak boleh digunakan untuk pengendalian hama pertanian di Indonesia. Sedangkan di bidang kesehatan DDT tidak lagi digunakan untuk mengendalian vektor penyakit malaria sejak 1993. b. Organofosfat (OP) Insektisida OP dengan unsur P meliputi semua ester asam fosforik (H3PO4) sebagai inti yang aktif saat ini merupakan kelompok insektisida yang terbesar dan sangat bervariasi jenis dan sifatnya. Saat ini telah tercatat sekitar 200.000 senyawa OP yang pernah dicoba dan diuji untuk mengendalikan serangga. OP merupakan insektisida yang sangat beracun bagi serangga dan bersifat baik sebagai racun kontak, racun perut maupun fumigan. Berbeda dengan OK, OP di lingkungan kurang 61 stabil sehingga lebih cepat terdegradasi dalam senyawa-senyawa yang tidak beracun. Daya racun OP mampu menurunkan populasi serangga dengan cepat, persistensinya di lingkungan sedang sehingga OP secara bertahap dapat menggantikan OK. Sampai saat ini OP masih merupakan kelompok insektsida yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Kebanyakan insektisida OP adalah penghambat bekerjanya enzim asetilkoline sterase. OP memiliki berbagai bentuk alkohol yang melekat pada atom-atom P dan berbagai bentuk ester asam fosforik. Ester-ester ini mempunyai kombinasi Oksigen, Karbon, Sulfur, dan Nitrogen. OP yang dikembangkan dari kombinasi tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelompok derivat yaitu alifatik, fenil, dan heterosiklik. Derivat alifatik meliputi insektisida-insektisida yang antara lain TEPP, malation, dimetoat, oksidemetonmetil, dikrotofos, disulfoton, metamidofos, triklorfon, asefat, forat, terbufos, etoprop, dikloruos, mevinfos, naled, monotrotofos, fosfamidin. Insektisida OP yang termasuk dalam derivat fenil adalah paration, metil paration, etil paration, stirofos, fention, fonofos, profenofos, isofenfos, fenitrotion, triazofos, dan fentoat. Insektisida OP derivat heterosiklik banyak jenisnya. Dari kelompok ini insektisida yang terkenal adalah diazinon dan lainnya seperti asinfos, klorpirifos , fention, fosmet, stirofos, temefos, metidation, fosmet, kuinalfos, dll. c. Karbamat Karbamat merupakan insektisida yang berspektrum lebar dan telah banyak digunakan secara luas untuk pengendalian hama tanaman. Insektisida karbamat relatif baru bila dibandingkan dengan 2 kelompok insektisida OK dan OP. Cara karbamat mematikan serangga sama dengan insektisida OP yaitu melalui penghambatan aktivitas enzim kolinesterase pada sistem syaraf. Insektisida tersebut cepat terurai dan hilang daya racunnya dari jaringan binatang, sehingga tidak terakumulasi dalam jaringan lemak dan susu seperti OK. Beberapa karbamat memiliki toksisitas rendah bagi mamalia tetapi ada yang sangat beracun. Pestisida karbamat dapat dikelompokkan dalam 3 kelas yaitu 1) metil karbamat dengan bangunan cincin fenil. Yang termasuk dalam kelas ini adalah BPMC, MICP, Isokarb, dll; 2) metil karbamat dan dimetil karbamat dengan struktur heterosiklik seperti dijumpai pada bendiokarp, karbofuran, dioxakarb, dll; 3) metil karbamat dari oksin yang mempunyai struktur rantai. Termasuk dalam kelas ini adalah aldikarb, metomil, dan yang lain. Aldikarb merupakan insektisida karbamat yang paling beracun juga merupakan insektisida sistemik yang digunakan untuk pengendalian serangga dan nematoda. Karena toksisitas sangat tinggi aldikarb sekarang dilarang di Indonesia. Propoksur merupakan insektisida yang umum digunakan di dalam rumah untuk pengendalian serangga rumah tangga seperti nyamuk, kecoa, lalat, dll. d. Sintetik Piretroid (SP) Piretroid merupakan kelompok insektisida organik sintetik konvensional yang baru digunakan secara luas sejak tahun 1970-an dan saat ini perkembangannya sangat cepat. Keunggulan piretroid sintetik (PS) karena memiliki pengaruh knock down atau kemampuan menjatuhkan serangga dengan cepat dan tingkat toksisitas rendah bagi manusia dan mamalia. Kelompok Piretroid Sintetik merupakan tiruan dari bahan aktif insektisida nabati piretrum yaitu sinerin I yang berasal dari ekstrak bunga Chrysanthemum cinerariaefolium. PS seringkali dikelompokan menurut generasi perkembangannya di laboratorium. Biasanya generasi yang lanjut merupakan perbaikan sifat PS generasi sebelumnya. Sampai saat ini sudah dikenal 4 generasi PS. Salah satu anggota generasi pertama adalah alletrin, generasi kedua adalah resmetrin. Yang paling banyak digunakan sekarang adalah generasi PS yang ketiga dan keempat. Generasi PS ketiga antara lain fenvalerat dan permetrin banyak digunakan untuk pengendalian hama-hama kapas, kedelai dan sayuran. Untuk memperoleh efektivitas yang sama dosis aplikasi inesktisida PS generasi baru lebih kecil bila dibandingkan dengan aplikan OP dan OK. Generasi PS keempat lebih hemat lagi dibandingkan dengan 62 generasi ketiga. Untuk lahan seluas 1 ha hanya diperlukan 10-40 g bahan aktif. Beberapa PS yang termasuk generasi keempat yang saat ini juga sudah diijinkan di Indonesia antara lain sipermetrin, flusitrinat, fenpropatrin, fluvalinat, sihalotrin, deltametrin dan siflutrin. Pada umumnya PS menunjukkan toksisitas rendah bagi mamalia tetapi sangat beracun bagi ikan dan lebah. Residu PS di hasil-hasil pertanian tidak menjadi masalah. Meskipun daya mematikan hama sasaran sangat tinggi dan PS sedikit menghadapi permasalahan lingkungan, namun insektisida PS menghadapi permasalahan utama yaitu percepatan perkembangan strain hama baru yang tahan. e. Kloronikotinil Kloronikotinil merupakan kelas baru insektisida sintetik. Bila piretroid merupakan tiruan produk alami piretrum, kloronikotinil juga merupakan tiruan atau analog produk nikotin. Kelas insektisida ini sampai sekarang baru diwakili oleh satu bahan aktif yaitu imidakloprid yang telah diijinkan di Indonesia. Imidakloprid meruapakan insektisida sistemik dan kontak dengan sasaran hama yang mempunyai tipe mulut pencucuk dan pengisap seperti aphis, wereng, trips dan kutu daun. Juga efektif untuk mengendalikan rayap, serangga tanah dan beberapa jenis kumbang. Karena cara aksi terhadap serangga sasaran berbeda dengan kelompok-kelompok insektisida kimia lain, kloronikotinil dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan jenis hama yang telah resisten terhadap kelompok/jenis insektisida tertentu. f. Pengatur Pertumbuhan Serangga (IGR = Insect Growth Regulator) Kelompok insektisida lain yang memiliki sifat selektivitas fisiologi yang tinggi adalah kelompok insektisida baru yang tidak termasuk dalam kelompok insektisida konvensional. Kelompok insektisida baru adalah yang termasuk dalam golongan IGR (Insect Growth Regulator) atau Zat Pengatur Pertumbuhan Serangga. IGR pada hakekatnya mengganggu aktivitas normal sistem endokrin serangga. Pengaruh IGR tersebut dapat terjadi pada waktu perkembangan embrionik, perkembangan larva atau nimfa, metamorfosis, proses reproduksi, ataupun perilaku diapause. Yang termasuk dalam IGR adalah ekdison (hormon penggantian kulit), hormon juvenil (JH), mimik atau tiruan hormon juvenil, analog hormon juvenil (JHA), antihormon juvenil serta insektisida penghambat khitin. Agonis ekdison merupakan IGR yang paling baru tetapi sudah cukup tersedia di pasar. Contoh IGR ini adalah tebufenozoid, metoxyfenozoid, dan halofenozoid. Hormon juvenil yang sekarang telah dipasarkan dan digunakan untuk pengendalian serangga di Amerika Serikat adalah metoprin, kinoprin, hidroprin, dan venoksikarb, sedangkan insektisida penghambat sintesis khitin adalah diflubenzuron, bensoil finil ureas, teflubenzuran, triflumuron, klorfluazuron. Sejak tahun 1986 untuk pengendalian hama wereng padi terutama wereng coklat kita mulai menggunakan salah satu senyawa penghambat khitin yaitu buprofezin. Sampai tahun 2002 ini sebagian insektisida IGR tersebut telah terdaftar di Indonesia seperti tebufenozide, methoxyfenozide, dan halofenozide. Tebufenozide dan methoxyfenozide untuk mengendalikan Lepidoptera sedangkan halofenozide untuk Coleoptera. Karena cara kerja IGR terhadap serangga sasaran adalah dengan mempengaruhi sistem hormonal serangga yang khas, pada dasarnya IGR memiliki sifat selektivitas fisiologi yang tinggi terhadap serangga sasaran sehingga sangat sesuai dengan prinsip-prinsip PHT. Misalkan diflubenzuron sangat efektif terutama untuk Lepidoptera dan Diptera, sedangkan buprofezin khas untuk wereng daun dan wereng batang serta serangga-serangga Homoptera lainnya. Untuk kelompok serangga lainnya seperti serangga predator dan parasitoid insektisida tersebut kurang berpengaruh. Berbeda dengan insektisida konvensional yang mempengaruhi sistem syaraf sehingga mematikan serangga dalam waktu cepat, IGR bekerjanya lambat dan lembut serangga akan mati beberapa hari setelah diperlakukan dengan IGR. Dengan cara membunuh 63 hama yang demikian, tekanan seleksi terhadap serangga hama juga lemah sehingga timbulnya sifat resistensi dari serangga hama dapat dihambat. g. Insektisida Botanik Bila insektisida sintetik merupakan hasil buatan pabrik dengan melalui proses sintesis kimiawi, maka insektisida botani atau insektisida nabati merupakan insektisida yang terbuat dari tanaman. Insektisida botanik atau insektisida nabati merupakan insektisida alami diambil secara langsung dari tanaman atau dari hasil tanaman. Insektisida jenis ini termasuk insektisida yang paling tua dan banyak digunakan untuk pengendalian hama sebelum insektisida organik sintetik ditemukan. Karena kesulitan dalam melakukan ekstraksi, dan kurang stabil karena mudah terurai, penggunaannya semakin berkurang terutama setelah pestisida kimia sintetik ditemukan dan digunakan. Namun akhir-akhir ini setelah timbul kekhawatiran mengenai dampak samping pestisida kimia, penggunaan pestisida botanik kembali memperoleh perhatian dari pemerintah dan petani sebagai solusi alternatif bagi pestisida kimia. Pestisida botanik telah lama dikenal sebagai pestisida yang risikonya kecil bagi kesehatan dan lingkungan hidup. Direktorat Perlindungan Perkebunan telah melakukan inventarisasi mengenai berbagai jenis tanaman yang ada di sekitar lahan petani untuk dijadikan pestisida nabati. Petunjuk mengenai cara penyiapan, ektraksi dan penggunaan pestisida nabati telah dibuat dan diedarkan kepada para petani pekebun. Dalam kegiatan pelatihan SLPHT-Perkebunan Rakyat juga diberikan pelatihan penggunaan pestisida nabati. Dari inventarisasi yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Bina Perkebunan yang memuat daftar jenis-jenis tanaman di Indonesia yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati (Lampiran). Beberapa jenis insektisida botanik yang sudah lama dikenal dan digunakan adalah piretrum yang diambil dari bunga Chrysanthemum. Demikan juga rotenon diambil dari akar tanaman leguminosaea Derris elliptica atau tuba. Rotenon dapat berupa racun kontak dan perut tetapi pengaruhnya tidak pada sistem syaraf. Pestisida nabati yang prospektif dan banyak diteliti oleh para pakar pada dua dekade akhir ini adalah Azadirachtin salah satu bahan aktif yang diambil dari tanaman nimba atau mimba (Azadirachta indica). Tanaman mimba sejak lama telah dikenal dan digunakan sebagai pestisida nabati. Lebih dari 200 spesies serangga hama dapat dikendalikan secara efektif dengan ekstrak tanaman tersebut. Karena tanaman mimba sudah banyak tumbuh di Indonesia dan sangat sesuai dengan kondisi tanah dan cuaca di sini, maka prospek penggunaannya untuk pengendalian hama sangat baik, apalagi bila teknik ekstraksi dan penggunaannya telah dikuasai petani. Dari banyak hasil penelitian telah diketahui beberapa cara kerja insektisida nimba yaitu 1) Mengusir dan menghambat nafsu makan serangga, 2) menghambat metamorfosis, 3) Mengurangi kesehatan dan daya reproduksi 4) Menghambat daya bertelur. Cara kerja ekstrak nimba tersebut di atas hampir sama dengan cara kerja insektisida IGR. Bagian tanaman mimba yang sering digunakan adalah tepung biji, ampas biji dan daun. Penyiapannya dilakukan dengan cara menggerus biji atau daun dan membuat ekstrak sederhana dengan dicampur air dan kemudian disemprotkan dengan menggunakan alat penyemprot biasa. Untuk memperoleh hasil yang baik dapat ditambahkan minyak dan pengemulsi. Teknologi sederhana tersebut sangat mudah dilakukan oleh petani dengan biaya yang sangat murah. Namun untuk keberhasilan pengendalian perlu diperhatikan waktu dan frekuensi penyemprotan yang tepat sesuai dengan sifat ekobiologi hama sasaran. Kerena efektivitas dan cara aksinya berbeda dengan pestisida kimia konvensional, penyemprotan dengan pestisida nabati sebaiknya dilakukan dengan frekuansi yang lebih banyak dan sewaktu populasi hama masih belum jauh melampaui Ambang Pengendaliannya. Beberapa keuntungan penggunaan mimba yaitu efektivitas tinggi, ancaman terhadap timbulnya resistensi hama relatif kecil karena mengandung banyak zat yang semuanya 64 mempunyai cara kerja yang berlainan. Ekstrak mimba mempunyai risiko kecil bagi kesehatan manusia, tidak berbahaya bagi lebah madu, ikan, burung dan binatang bermanfaat lainnya. Persistensi esktrak mimba rendah, sehingga cepat teurai menjadi zat-zat yang tidak berbahaya. Sampai saat ini belum dilaporkan adanya pencemaran tanah dan air akibat dari mimba. FORMULASI PESTISIDA Dalam pabrik pembuat insektisida dihasilkan bahan aktif insektisida dalam bentuk murni. Bahan tersebut belum dapat langsung digunakan untuk kegiatan pengendalian hama. Agar dapat dimanfaatkan di lapangan dan diperdagangkan bahan teknis harus diproses lagi menjadi bahan formulasi insektisida. Proses formulasi insektisida merupakan proses untuk memperbaiki sifat-sifat bahan teknis agar sesuai untuk keperluan penyimpanan, penanganan, aplikasi, peningkatan efektivitas, atau keamanan bagi manusia dan lingkungan. Sebelum dipasarkan bahan teknis perlu dicampurkan dengan bahan-bahan tambahan tertentu. Bahan-bahan tambahan yang tidak bersifat meracuni serangga (insektisidal) secara umum disebut bahan inert atau inert material. Menurut fungsinya bahan inert dapat berupa bahan surfaktan, seperti sabun atau deterjen untuk peningkatan daya sebar, daya emulsi dan pembasahan pada permukaan, pelarut atau solvent, untuk formulasi pestisida cair agar dapat meningkatkan daya larut, pembawa atau carrier digunakan untuk formulasi padat seperti serbuk dan butiran agar dapat mengikat/menyerap serta bahan tambahan khusus seperti a) penstabil (stabilizers), b) sinergis, bahan yang dapat meningkatkan aktifitas, c) pembasah (wetters), untuk mencegah degradasi bahan, d) minyak untuk meningkatkan aktifitas biologi insektisida, e) odorants untuk memberi bau, f) cat dan pigment, g) penebal (thickeners), h) colouring agents (zat pewarna), dan I) zat anti mikroba. Pengetahuan dan teknologi pembuatan bahan aktif dan formulasi pestisida berkembang sangat cepat sehingga ditemukan banyak jenis dan formulasi pestisida. Agar tidak membingungkan pengguna dan konsumen di pandang perlu dilakukan harmonisasi atau pembakuan kode formulasi pestisida yang berlaku di tingkat internasional. Sistem kode formulasi pestisida mulai dibakukan pada tahun 1978 yang kemudian direvisi pada tahun 1989. Inisiatif pembakuan kode formulasi ini dilakukan oleh asosiasi industri pestisida global yaitu Crop Life International (dulu GCPF). Kode formulasi tersebut diusahakan sederhana, sedapat mungkin terdiri dari dua huruf besar yang merupakan singkatan. Sekitar 71 kode formulasi pestisida telah dibakukan. Berikut nama-nama 10 kode formulasi insektisida penting yang sudah digunakan dan dipasarkan di Indonesia. 1. Emulsifiable Concentrates (EC) 2. Wettable Powders (WP) 3. Suspension Concentrate (SC) 4. Water Soluble Powder (SP) 5. Ultra Low Volume Liiquid (ULV) 6. Dustable Powder (DP) 65 7. Granules (GR) 8. Aerosol Dispenser (AE) 9. Bait (RB) 10. Capsule Suspension (CS) TOKSISITAS PESTISIDA Pestisida tidak hanya beracun (toxic) atau berbahaya bagi serangga hama sasaran juga berbahaya bagi serangga-serangga musuh alami, binatang-binatang lain, manusia dan komponen-komponen lingkungan hidup. Toksisitas pestisida dapat dikelompokkan menjadi toksisitas akut, toksisitas kronik dan toksisitas subkronik. Toksisitas akut adalah pengaruh meracuni atau merugikan yang timbul segera setelah pemaparan dengan dosis tunggal suatu pestisida, atau pemberian dosis ganda dalam waktu kurang lebih 24 jam. Toksisitas kronik adalah pengaruh yang merugikan yang timbul sebagai akibat pemberian takaran harian berulang pestisida dalam jumlah sedikit atau pemaparan oleh pestisida yang berlangsung sebagian besar rentang hidup suatu organisme (misal, mamalia). Keracunan akut merupakan kesakitan atau kematian akibat terkena dosis tunggal insektisida. Keracunan ini biasanya terjadi pada pekerja yang langsung bekerja dengan insektisida baik di pabrik, tempat peyimpanan maupun di lapangan, keracunan terjadi biasanya karena kecerobohan sewaktu penanganan pestisida atau sewaktu penyemprotan atau yang sengaja meminum insektisida untuk bunuh diri. Keracunan khronik merupakan keracunan karena penderita terpapar racun dalam jangka waktu panjang dengan dosis yang sangat rendah. Gejala keracunan ini baru terlihat selang beberapa waktu (bulan atau tahun) setelah penderita terpapar pestisida. Keracunan khronik yang saat ini oleh masyarakat dunia yang paling menjadi keprihatinan masyarakat dunia karena semakin tingginya kesadaran terhadap keperluan adanya lingkungan yang tidak tercemar. Bahaya akibat keracunan kronik karena terpapar insektisida dapat bersifat carsinogenic (pembentukan jaringan kanker), mutagenic (kerusakan genetik untuk generasi yang akan datang), teratogenic (kelahiran anak cacat dari ibu yang keracunan), endocrine destruptor (gangguan hormon endokrin). 1. Pengujian Toksisitas Insektisida Cara masuk insektisida ke dalam tubuh binatang atau manusia dapat melalui mulut (rute oral), melalui kulit (rute dermal), atau melalui saluran pernafasan (rute respiratori, rute inhalasi). Toksisitas akut melalui oral atau dermal merupakan indikasi bahaya insektisida bagi mamalia dan manusia. Unit pengukuran adalah miligram (mg) bahan aktif per kilogram (kg) berat tubuh binatang uji (tikus, tikus putih, kelinci, dan marmut). Binatang uji tersebut dipelihara dalam laboratorium dengan kondisi standar yang ditetapkan. Metode untuk menentukan toksisitas relatif pestisida yang telah disepakati adalah dengan menggunakan dosis median letal (LD50). Nilai LD50 adalah suatu dosis insektisida yang diperlukan untuk membunuh 50% dari individu-individu spesies binatang uji dalam kondisi percobaan yang telah ditetapkan. Penghitungan mortalitas biasanya dilakukan 24 jam dan 48 jam setelah binatang uji terpapar oleh insektisida. Satuan nilai LD50 adalah miligram bahan 66 racun per kg berat tubuh binatang uji (mg/kg). Pengujian tingkat toksisitas terhadap binatang uji dilakukan dengan memberikan melalui makanan (oral), aplikasi kulit (dermal) melalui pernafasan (respiratori, inhalasi). Dari uji laboratorium ini diperoleh nilai LD50 oral dan LD50 dermal dan LD50 inhalasi. Semakin rendah nilai LD50 semakin tinggi toksisitas insektisida tersebut. 2. Tingkat Bahaya Pestisida Meskipun sangat sulit mengekstrapolasi nilai LD50 binatang mamalia seperti tikus atau kelinci untuk menilai tingkat toksisitas pestisida bagi manusia, namun sudah disepakati secara internaional bahwa nilai dosis letal mamalia tersebut digunakan untuk melihat tingkat bahaya akut suatu jenis pestisida bagi manusia. Menurut Bahan Kesehatan Dunia (WHO - World Health Organization) kategori tingkat bahaya pestisida adalah seperti Tabel 6. Contoh bahan aktif yang termasuk kategori I adalah aldicarb dengan LD 50 oral untuk tikus adalah 0,93 mg/kg dan LD50 dermal untuk kelinci adalah 5 mg/kg. karbofuran LD50 oral untuk tikus 8-14 mg/kg. Propoksur termasuk kategori II karena LD50 oral, untuk tikus adalah 100 mg/kg, LD50 diazinon untuk tikus adalah 108 mg/kg, LD50 DDT untuk tikus adalah 113 mg/kg. Yang termasuk kategori III (sedikit beracun) antara lain sipemetrin (SP) dengan LD 50 tikus antara 303-4123 mg/kg. Sejak tahun 2000 Pestisida yang termasuk dalam kategori Ia dan Ib termasuk pestisida dilarang aau tidak boleh didaftarkan di Indonesia. Tabel 6. Tingkat bahaya insektisida menurut ketentuan WHO Kategori LD50 Oral LD50 Dermal Padat Cair Padat Cair (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) Keterangan yang perlu dicatat di dalam label Pernyataan bahaya 67 Warna Simbol bahaya Simbol dan Kata Ia Sangat berbahaya sekali <5 <20 <10 <40 Sangat beracun Coklat tua Sangat beracun Ib Berbahaya Sekali 5-50 20-200 10-100 40-400 Beracun Merah tua Beracun II Berbahaya 50-500 200-2000 100-1000 400-4000 Berbahaya Kuning tua Berbahaya III Cukup berbahaya IV Tidak berbahaya pada penggunaan normal 5002000 >2000 20003000 >1000 >4000 Perhatian >3000 Biru muda Perhatian Hijau PENGGUNAAN PESTISIDA SECARA SELEKTIF Dalam kerangka penerapan PHT penggunaan pestisida harus hati-hati seminimal mungkin serta selektif dengan sasaran mengurangi populasi hama sampai pada aras yang tidak merugikan tanpa dengan sesedikit mungkin membahayakan kesehatan pengguna, masyarakat termasuk konsumen serta lingkungan hidup. Karena itu penggunaan pestisida harus dilakukan secara lebih selektif. Selektivitas penggunaan insektisida dapat dibagi menjadi: 1. selektivitas fisiologi atau selektivitas intrinsik 2. selektivitas ekologi 3. selektivitas melalui formulasi dan aplikasi 1. Selektivitas Fisiologi Selektivitas fisiologi insektisida di sini adalah penggunaan jenis insektisida yang secara intrinsik hanya mematikan serangga-serangga hama tetapi tidak membahayakan seranggaserangga yang berharga termasuk musuh alami dan serangga penyerbuk bunga. Karena sifatnya, maka insektisida yang memiliki selektivitas fisiologis berspektrum sempit dengan serangga sasaran yang khas. Meskipun banyak insektisida OP, karbamat yang kurang selektif terhadap predator hamahama padi tetapi ada juga insektisida OP seperti piridafention dan tertraklorvinpos yang lebih beracun bagi hama sasaran yaitu wereng hijau padi Nephotettix spp dan kurang berbahaya bagi predator laba-laba serigala Lycosa pseudoannulata. Pengujian tentang selektivitas berbagai jenis insektisida yang saat ini digunakan di Indonesia terhadap hama dan musuh alaminya perlu dilakukan agar kita mengetahui seberapa jauh tingkat bahaya insektisida tersebut bagi serangga bukan sasaran yang bermanfaat seperti musuh alami. Insektisida bakteri seperti Bacillus thuringiensis dan insektisida biologis lainnya termasuk jenis insektisida yang memilki selektivitas tinggi bila dibandingkan dengan insektisida 68 konvensional. Bt umumnya ditujukan untuk mengendalikan hama yang termasuk ordo Lepidoptera. 2. Selektivitas Ekologi Dengan mempelajari sifat biologi dan ekologi hama sasaran dapat diketahui waktu dan cara aplikasi insektisida yang tepat dan efektif. Dengan mempelajari neraca kehidupan hama, perilaku hama, kisaran inang hama kita dapat menentukan bagaimana aplikasi insektisida yang tepat. Aplikasi terutama ditujukan pada bagian yang lemah pada kehidupan hama yaitu sewaktu hama berada pada stadium hama yang peka terhadap insektisida dan dalam keadaan yang "terbuka" terhadap perlakuan insektisida diusahakan sedapat mungkin serangga parasitoid dan predator dapat terhindar dari perlakuan insektisida. Dalam praktek di lapangan selektivitas ekologi perlakuan insektisida dapat dalam beberapa cara yaitu: a. Penetapan waktu aplikasi yang tepat. b. Perlakuan insektisida secara parsial atau spot treatment yang meliputi penyemprotan hanya di pesemaian, pada tanaman batas, atau pernyemprotan hanya pada bagian tanaman atau pertanaman yang terserang. c. Perlakuan insektisida pada tanaman perangkap. d. Perlakuan insektisida pada tanaman inang alternatif harus yang berupa gulma. e. Perlakuan benih dapat mengurangi perlakuan insektisida pada pertanaman. f. Aplikasi insektisida melalui tanah atau air pengairan untuk mengurangi terbunuhnya musuh alami. 3. Selektivitas Melalui Penentuan Formulasi dan Cara Aplikasi Selektivitas insektisida di sini adalah dalam menentukan dan memilih formulasi insektisida dan teknik aplikasi yang tepat, efektif dalam mengendalikan hama sehingga kurang membahayakan eksistensi musuh alami hama. Yang termasuk dalam selektivitas ini adalah: a. Penggunaan formulasi butiran atau Granule dengan insektisida sistemik diharapkan dapat efektif untuk mengendalikan hama penggerek tanaman dan membatasi pengaruh yang merugikan bagi serangga predator dan parasitoid dewasa. b. Penggunaan formulasi ULV (Ultra Low Volume) yang tepat dapat membatasi "drift" insektisida sehingga dapat mengurangi risiko pencemaran dan membatasi terbunuhnya musuh alami. c. Cara aplikasi di lapangan yang kurang tepat dapat mengakibatkan peningkatan kematian organisme bukan sasaran. Oleh karena itu petani perlu dilatih tentang bagaimana cara penyemprotan insektisida yang benar. Bijaksana: Tepat apa? 69 Sasaran Dosis Cara Waktu Konsentrasi ----Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman Materi 9 PENGELOLAAN HAMA TANAMAN PANGAN Tujuan: 1. Mempelajari dan memahami jenis-jenis hama utama tanaman pangan 2. Mempelajari dan memahami pelaksanaan PHT pada tanaman pangan Materi Kuliah: PERMASALAHAN HAMA TANAMAN PANGAN Yang disebut tanaman pangan adalah jenis tanaman yang menjadi sumber pangan utama sebagian besar penduduk. Di Indonesia tanaman pangan dibagi dalam dua kelompok yaitu padi-padian dan palawija. Kelompok padi-padian diwakili oleh PADI yang menghasilkan BERAS sebagai makanan utama penduduk Indonesia dan JAGUNG, sedangkan palawija terdiri 70 atas KEDELAI dan tanaman kacang-kacangan seperti KACANG TANAH, KACANG PANJANG, dll. Dari sekian banyak jenis tanaman dan komoditas pertanian yang dibudidayakan dan diusahakan, padi merupakan tanaman yang paling memperoleh perhatian utama dari Pemerintah dan masyarakat. Hal ini disebabkan karena padi menyangkut hidup sebagian besar penduduk Indonesia. Karena pentingnya padi seringkali padi disebut sebagai TANAMAN POLITIK. SWASEMBADA BERAS Sejak Pemerintah mencanangkan program peningkatan produksi beras untuk mencapai swasembada beras pada tahun 1970 Pemerintah mengintroduksikan teknologi intensifikasi produksi padi atau yang dikenal dengan teknologi “revolusi hijau“ atau green revolution. Istilah yang terkenal dengan teknologi revolusi hijau adalah Panca Usaha yaitu: 1. Pengolahan Tanah 2. Penanaman Bibit atau Benih Unggul 3. Pemupukan 4. Pengendalian Hama dan Penyakit 5. Perbaikan Pengairan Teknologi revolusi hijau pada tanaman padi sangat tergantung pada bibit unggul, pupuk buatan atau pupuk kimia (Urea, ZA, TSP, KCL) serta pestisida kimia. Tujuan intensifikasi pangan agar dapat meningkatkan produksi pangan khususnya beras dengan tujuan agar Indonesia menjadi swasembada beras atau memenuhi kebutuhan sendiri akan beras sebagai makanan utama penduduk. Program intensifikasi pangan berjalan sampai saat ini. Nama program bermacam-macam tergantung kegiatan dan “selera” Kabinet yang bersangkutan. Sejak tahun 1970an kita kenal banyak nama program intensifikasi yaitu sebagai program BIMAS (Bimbingan Massal), INMAS (Intensifikasi Massal), INSUS (Intensifikasi Khusus), SUPRA INSUS, dan lain-lainnya. Kabinet sekarang mempunyai program yang disebut Program Ketahanan Pangan. Indonesia hanya mencapai Swasembada beras pada tahun 1984, setelah itu kita masih harus mengimpor beras untuk dapat memenuhi kebutuhan beras penduduknya. Pada beberapa tahun terakhir ini Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia. Dampak penerapan intensifikasi pertanian pada ekosistem persawahan dan sistem sosial masyarakat di Indonesia sangat besar antara lain: 1. Ekosistem persawahan menjadi sangat rawan hama dan penyakit padi. Berbagai hama penyakit “baru” timbul, meluas dan sering meletus setelah program BIMAS dilaksanakan antara lain hama wereng coklat dan wereng-wereng lainnya, penyakit tungro. Puncak letusan hama terjadi pada tahun 1979 hampir satu juta hektar sawah gagal panen atau rusak oleh wereng coklat. 2. Dengan perbaikan sistem pengairan petani dapat menanam padi dua kali sampai 3 kali setahun, seringkali dengan menanam varietas sama dan masa tanam yang tidak serentak. Kondisi lingkungan ini menguntungkan perkembangbiakan hama-hama padi seperti tikus dan wereng coklat. Karena itu sampai saat ini sawah di Indonesia tidak pernah “sepi” akan serangan hama. 3. Karena penggunaan bahan kimia pertanian yang sangat banyak, kesuburan tanah semakin menurun sehingga proses produksi tanaman padi menjadi semakin tidak efisien, sasaran peningkatan produksi tidak tercapai dan lingkungan pertanian semakin tercemar. Penggunaan pestisida yang masih tinggi dapat menimbulkan resistensi dan resurjensi hamahama utama padi seperti wereng coklat. 71 4. Petani semakin tergantung pada bibit unggul, pupuk kimia dan pestisida yang harganya semakin mahal. Keadaan ini mendorong terjadinya kesenjangan di pedesaan antara petani yang kaya dan petani yang miskin terutama buruh tani. Program PHT pada tanaman padi yang dilaksanakan Pemerintah sejak tahun 1989 yang telah melatih sekitar satu juta petani padi dengan konsep dan teknologi dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia di tingkat petani. Ada banyak petani padi saat ini yang tidak lagi menggunakan pestisida karena sudah mengandalkan musuh alami hama-hama padi. Ekosistem persawahan secara ekologi sebenarnya merupakan ekosistem yang memiliki kestabilan tinggi apabila kita dapat menerapkan PHT secara konsisten dan konsekuen. Dalam kondisi stabil letusan hama tidak perlu dikhawatirkan. Penerapan PHT untuk hama-hama padi secara umum adalah sebagai berikut: 1. Pola tanam padi, padi, palawija. 2. Tanam bibit atau varietas unggul tahan hama terutama VUTW (Varietas Unggul Tahan Wereng) sesuai dengan biotipe wereng coklat pada suatu tempat. Seperti kita ketahui saat ini kita mempunyai kelompok Non VUTW, VUTW I, dan VUTW I. Sebaiknya dilakukan pergiliran varietas antar musim tanam. 3. Pada kondisi populasi wereng coklat tinggi hindarkan penanaman varietas padi peka hama terutama varietas-varietas lokal (Rojolele, Mentik, Cianjur, dll). 4. Diusahakan di suatu hamparan sawah dilakukan penanaman secara serentak termasuk di daerah-daerah yang berbukit. Serangan hama tikus berkurang di daerah-daerah yang menanam padi serentak. 5. Pengendalian hayati terutama dengan teknik augmentasi dan konservasi musuh alami merupakan teknik pengendalian hama-hama padi utama. Banyak jenis predator dan parasitoid dijumpai di ekosistem persawahan kita. 6. Bila diperlukan pestisida kimia gunakan secara sangat selektif dengan menggunakan jenisjenis pestisida yang tidak membunuh musuh alami. Penggunaan pestisida diputuskan setelah mempelajari hasil pengamatan ekosistem. 7. Laksanakan kegiatan pengamatan atau pemantauan hama dan musuh alami seminggu sekali. Apabila jumlah musuh alami banyak tidak perlu dilakukan kegiatan pengendalian dengan pestisida. A. HAMA-HAMA PADI Pada ekosistem padi dijumpai banyak jenis hama yang menyerang hampir seluruh stadia tumbuh padi dari persemaian sampai panen dan pasca panen. Yang akan dibahas di sini beberapa hama utama padi saja. Intensitas serangan hama-hama tersebut dari suatu lokasi ke lokasi lain sangat berbeda, dengan demikian hama-hama utama di suatu daerah dapat berbeda dengan hama-hama utama di daerah lain. Namun dari laporan pada 5 tahun terakhir urut-urutan hama padi utama di Indonesia adalah 1) Tikus, 2) Penggerek Batang dan 3) Wereng Coklat. Secara singkat sifat hama dengan cara pengelolaannya adalah sbb: 1. Tikus Sawah (Rattus argentiventer) Tikus sawah aktif pada malam hari. Siang hari mereka selalu berlindung di dalam liang atau di semak belukar. Untuk tempat tinggal atau lubang biasanya tikus berorientasi ke daerah yang cukup memberi perlindungan dan rasa aman dari gangguan predator dan tersedia sumber makanan dan air. Fungsi lubang bagi tikus sawah adalah sebagai tempat bernaung, tempat memelihara anak dan kelompok keturunan, serta menimbun makanan. 72 Kepadatan populasi tikus berkaitan dengan fase pertumbuhan tanaman padi. Serangan tikus dapat terjadi sejak di persemaian sampai pasca panen. Populasi tikus umumnya masih rendah pada persemaian sampai fase vegetatif dan kepadatan populasi meningkat pada fase generatif. Gejala serangan: 1. Adanya sarang dari batang rerumputan dan daun diantara vegetasi tanaman yang tumbuh di lapangan 2. Adanya saluran lubang yang masuk ke dalam tanah yang tidak begitu basah atau tergenang air 3. Adanya lubang yang biasanya dengan diameter yang lebih besar dari tubuh tikus dan berbentuk bulat yang merupakan jalan masuk menuju saluran. 4. Adanya lintasan jalan dimana tikus hilir mudik di antara pertanaman tempat makannya dengan lubang persembunyiannya. 5. Adanya bekas-bekas kotoran tikus sepanjang lintasan 6. Adanya bekas-bekas telapak kaki tikus terutama pada tanah berlumpur 7. Adanya bentuk-bentuk kerusakan tertentu pada tanaman yang diakibatkan oleh tikus seperti rebahnya tanaman karena pangkal batang putus, terutama pada tanaman-tanaman muda. Pada kepadatan populasi rendah, serangan tikus biasanya bersifat acak terutama di bagian tengah petakan, sehingga belum tampak jelas dari pematang. Pada serangan berat, biasanya hanya menyisakan beberapa baris tanaman pinggir. Pengelolaan: 1. Diupayakan agar waktu tanam dengan selang <10 hari dalam areal yang luas, sehingga masa generatif hampir serentak. Dengan demikian masa perkembangbiakan tikus hanya berlangsung dalam waktu yang singkat. 2. Mengurangi ukuran pematang, di sekitar sawah, sehingga mempersulit tikus membuat liang. Pematang sebaiknya berukuran < 30 cm. 3. Memanfaatan musuh alami, antara lain burung hantu, elang, ular. 4. Melakukan gropyokan, penggenangan lahan, pemasangan bambu perangkap dan pemanfaatan jaring. 5. Pengemposan dilakukan pada saat tanaman fase generatif, karena pada saat tersebut umumnya tikus tinggal di dalam liang. 6. Pengumpanan beracun menggunakan racun antikoagulan, karena kematian tikus oleh racun ini lambat dan kematian umumnya tidak terlihat karena di dalam inang sehingga dapat menghindari jera umpan. 7. Yang harus diperhatikan dalam usaha pengendalian tikus sawah yakni harus terorganisasi dengan baik, melibatkan semua petani dan aparat pemerintah. 2. Penggerek Batang Padi Di Indonesia dikenal 6 jenis penggerek batang padi (Tabel 7). Dari ke-6 penggerek batang padi tersebut saat ini yang paling penting adalah PBPK terutama di pulai Jawa yang memiliki jaringan pengairan baik. Sebelum tahun 1970 di Jawa PBPP yang lebih dominan. Saat ini di Sulawesi Selatan dan daerah-daerah padi yang hanya dapat menanam padi satu kali setahun PBPP lebih penting daripada PBPK. PBBBk dan PBPKH sering dijumpai pada pertanaman padi yang ditanam dekat dengan tanaman tebu dan jagung, sedangkan PBPB sering menjadi masalah di tanaman padi yang ditanam di dataran yang agak tinggi. Gejala serangan: 73 Gejala kerusakan penggerek batang padi umumnya mirip. Gejala serangan pada pertumbuhan vegetatif disebut sundep sedangkan pada pertumbuhan generatif disebut beluk. Pada pucuk tanaman tampak menguning, layu dan akhirnya mengering. Ulat penggerek merusak bagian pangkal titik tumbuh sehingga apabila tanaman ditarik dari titik tumbuhannya akan mudah lepas. Gejala beluk memperlihatkan malai padi yang tegak, berrwarna putih dan hampa. No 1 2 3 4 5 6 Tabel 7. Jenis Penggerek Batang Padi di Indonesia Nama Umum Nama Latin Penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas (PBPK) Scirpophaga innotata Penggerek batang padi putih (PBPP) Chilo suppressalis Penggerek batang padi berrgaris (PBPB) Penggerek batang padi kepala Chilo polychrysa hitam (PBPKH) Penggerek batang padi berkilat Chilo auricilius (PBBBk) Sesamia inferens Penggerek batang padi merah jambu (PBPMj) Pengelolaan: 1). Pola tanam Diusahakan untuk melakukan tanam serempak, pergiliran tanaman dengan tanaman bukan padi, penanaman varietas padi yang tahan penggerek batang. Tanam serentak varietas genjah dengan selisih kurang dari 2 minggu meliputi hamparan seluas-luasnya agar pertumbuhan tanaman dan masa panen dapat serentak, sehingga tersedianya sumber makanan bagi penggerek dapat dibatasi. Pengolahan tanah sebaiknya dilakukan pada masa bero di antara waktu tanam. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan padi dapat memutus daur hidup penggerek batang padi. Persemaian dilakukan secara berkelompok untuk memudahkan pemeliharaan dan pengumpulan kelompok telur penggerek. 2). Fisik dan mekanik Mengumpulkan telur sejak di persemaian kemudian dibunuh. Pada saat panen diusahakan pemotongan jerami sampai serendah mungkin untuk mencegah kesempatan berkepompong pada pangkal padi. Bila memungkinkan diikuti dengan penggenangan air agar tunggul jerami cepat membusuk sehingga larva atau pupa mati. 3). Eradikasi Pembabatan dan pengumpulan jerami lalu dibakar untuk memusnahkan sumber hama penggerek batang padi. 4). Biologi Memanfaatkan musuh alami baik predator maupun parasitoid seperti Conocephalus longipennis, Anaxipha sp, Metioche sp, Trichogramma sp, Telenomus sp, Xanthopimpla sp. 5). Kimiawi 74 Aplikasi insektisida untuk pengendalian harus disesuaikan dengan keadaan populasi hama, intensitas serangan dan umur tanaman. Insektisida yang digunakan harus dipilih yang selektif, efektif dan diizinkan untuk digunakan pada tanaman padi. 3. Wereng Coklat (Nilaparvata lugens) Gejala serangan: Hama menyerang dengan cara menusuk dan menghisap cairan batang atau pelepah daun pada bagian pangkal, sehingga menyebabkan tanaman menjadi menguning dan mengering. Kerusakan berat tampak tanaman seperti gejala terbakar (hopperburn). Wereng coklat mengeluarkan cairan madu, yang dapat ditumbuhi cendawan jelaga, sehingga batangnya berwarna hitam. Di samping sebagai hama utama tanaman padi, wereng coklat juga dapat bertindak sebagai vektor penyakit virus kerdil rumput (grassy stunt) dan virus kerdil hama (ragged stunt). Pengelolaan: 1. Sistem tanam serempak dalam satu wilayah kelompok dengan selisih waktu tanam < 2 minggu sehingga tidak terjadi tumpang tindih atau tidak tersedia pakan terus-menerus. 2. Penanaman varietas unggul tahan wereng dapat menghambat perkembangan populasi dari generasi ke generasi. Pergiliran varietas untuk menghindari timbulnya biotipe baru. 3. Diusahakan persemaian jauh dari lampu dan sumber penyakit virus 4. Menghindari pemupukan N secara berlebihan. 5. Eradikasi dan sanitasi tanaman 6. Memanfaatkan musuh alami seperti Anagrus sp, Tetrastichus sp, Microvelia sp, Ophionea sp, Paederus sp. 7. Penggunaan insektisida dilakukan pada saat populasi dominan nimfa, dengan memperhatikan perbandingan antara wereng coklat dengan musuh alami. 4. Wereng Hijau (Nephotetix spp) Wereng hijau lebih dikenal sebagai pembawa atau vektor beberapa penyakit padi penting seperti penyakit kerdil rumput, tungro dan kerdil kuning. Gejala serangan: Tanaman padi yang terserang menunjukkan gejala pertumbuhan kerdil, jumlah tunas sedikit berkurang dan berwarna kuning. Apabila serangan terjadi pada waktu tanaman masih muda, maka jumlah tunas akan sangat berkurang. Malai yang dihasilkan biasanya steril dan kecil. Gejala kerusakan tanaman padi oleh wereng lebih banyak diakibatkan serangan penyakit padi yang dibawanya terutama penyakit tungro yang merupakan penyakit padi terpenting di Indonesia saat ini. Pengelolaan: Pengelolaan hampir sama dengan pengelolaan wereng coklat. 5. Ganjur (Orsealia oryzae) Hama ganjur terbatas menyerang dalam luasan sawah sempit dan terpencar-pencar terutama di Jawa, Bali, Lombok dan Sumatera Selatan. Pada tahun 1975 sekitar 200.000 ha sawah di Jawa Tengah dan Jawa Barat terserang hama ini. Gejala serangan: Gejala serangan berupa puru yang akan tampak 3-7 hari setelah larva mencapai titik tumbuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan populasi ganjur diantaranya 75 kelembaban, angin, cahaya, jenis dan jumlah pakan serta musuh alami. Kelembaban minimal 80% sangat mendukung perkembangan larva. Temperatur 26-290C sangat sesuai bagi perkembangan hama ini. Pengelolaan: Pengamatan rutin serangan ganjur harus dimulai sejak umur 7 hari setelah tanam. Penanaman secara serentak minimal di satu wilayah kelompok, penggunaan varietas tahan, perlakuan benih dengan insektisida. 6. Hama Putih Palsu (Cnaphalocrosis medinalis) Bukan merupakan hama utama meskipun kadangkala dilaporkan menyerang di Pantai Utara Jawa Barat dengan kerusakan 15%. Larva lebih cocok hidup pada tanaman padi di musim hujan. Pada musim kering larva lebih cocok hidup pada jagung. Inang hama putih palsu adalah padi, jagung, sorgum, rumput Echinocloa dan tebu. Gejala serangan: Larva memakan daun sehingga menimbulkan bekas serangan berupa garis-garis putih. Gejala serangan yang khas terlihat lipatan daun, larva makan dari dalam, menyebabkan daun menjadi kering dan berwarna putih. Pengelolaan: 1. Sanitasi tanaman inang dan rumput liar di sekitar persawahan 2. Budidaya tanaman sehat, sehingga adanya serangan ringan dapat dikompensasi oleh pertumbuhan tunas. 3. Pemanfaatan dengan musuh alami diantaranya Apanteles sp, Pentalitomastix sp, predator laba-laba dan cocopet dari ordo Dermaptera 7. Kepinding tanah (Scotinophora sp) Hama ini juga bukan hama utama padi. Serangannya tersebar dan tidak menimbulkan kerusakan ekonomis bagi petani. Gejala serangan: Hama mengisap cairan pelepah dan batang padi. Bekas isapan menjadi coklat dengan coklat tua pada tepinya. Daun pada rumpun yang terserang berat akan menjadi kering, lamakelamaan semua daun kering dan akhirnya mati. Batang-batang menjadi busuk dan mudah dicabut. Tanaman yang disukai hama ini terutama bibit di persemaian dan tanaman muda sampai 50-60 hari. Tanaman tua dapat juga terserang. Serangan dewasa mampu hidup dan berkembangbiak selama 1-2 musim. Selama musim kemarau mengalami dormansi pada bongkahan tanah yang berumput. Pada saat cuaca baik dewasa terbang ke pertanaman dalam jumlah besar. Lebih menyukai keadaan basah atau lembab. Pengelolaan: Pembajakan dan pembenaman tunggul-tunggul padi setelah panen akan dapat mengurangi populasinya untuk musim tanam berikutnya. Pengeringan lahan sawah dapat menghambat perkembangan hama. Pemupukan saat tanaman terserang, sehingga tanaman mampu mengkompensasi serangan. Sanitasi lahan dan lingkungan dari tumbuhan inang rerumputan juga dapat menghambat perkembangan kepinding tanah. 8. Walang Sangit (Leptocorisa acuta) 76 Hama yang menyerang bulir padi ini merupakan hama yang menyerang secara sporadis di lokasi perswahan yang menyebar. Hama ini menimbulkan masalah di persawahan di luar Jawa. Di Sulawesi Selatan pernah dimasukkan sebagai salah satu hama padi utama. Walang sangit mulai aktif pada awal musim hujan setelah menyelesaikan 1-2 generasinya pada rerumputan. Kepadatan populasi meningkat pada kondisi tanaman padi sedang berbunga, cuaca hangat dan gerimis. Hujan lebat dapat menurunkan kepadatan populasi. Gejala serangan: Butir padi yang terserang hama ini akan menjadi hampa sebab cairan selnya telah habis dihisap. Butir padi yang setengah hampa akan mudah pecah jika masuk dalam penggilingan. Butir padi bekas tertusuk walang sangit warnanya berubah menjadi coklat atau kehitam-hitaman sebagian atau seluruhnya. Kerusakan berat akan terjadi apabila walang sangit dewasa menyerang padi pada saat malai berbunga. Pengelolaan: 1. Tanam serempak untuk membatasi ketersediaan makanan yang sesuai 2. Pemanfaatan tanaman perangkap 3. Penanaman tanaman resisten 4. Pemanfaatan musuh alami seperti Conocephalus longipenis, Gryon nixoni, Beauveria bassiana B. HAMA-HAMA JAGUNG Urutan pentingnya hama-hama jagung di Indonesia saat ini adalah 1) Tikus, 2) Penggerek Tongkol, 3) Penggerek Batang , 4) Lalat bibit dan 5) Ulat grayak. Perilaku, gejala serangan dan pengendalian hama Tikus sudah dijelaskan di depan. 1. Penggerek Tongkol (Helicoverpa armigera) Gejala serangan: Biasanya selain menyerang tongkol jagung juga menyerang pucuk sehingga bunga jantan tidak terbentuk akibatnya hasilnya berkurang. Telur diletakkan secara terpencar pada daun, pucuk dan bunga pada malam hari. Biasanya telur diletakkan pada tanaman jagung umur + 2 minggu setelah tanam. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 2. Tanam serentak 3. Mengumpulkan ulat kemudian mematikannya 2. Penggerek Batang Jagung (Ostrinia furnacalis) Gejala serangan: Serangan pada daun dapat menimbulkan bercak putih pada permukaan daun. Serangan pada pucuk daun yang masih menggulung dapat menimbulkan gejala berlubang dalam barisan yang melintang daun. Ulat tua menggerek ke dalam batang yang menimbulkan lubang pada ruas dan meninggalkan kotoran bekas gerekan. Pengelolaan: Rotasi tanaman, tanam serentak, pemangkasan bunga jantan 77 3. Lalat Bibit (Atherigona oryzae) Gejala serangan: Serangan terjadi pada tanaman umur 5-7 hari setelah tanam dengan tanda-tanda tanaman layu sebagai akibat kematian titik tumbuh. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan jagung dan padi 2. Tanam serempak dengan selisih waktu kurang dari 10 hari 3. Tanam lebih awal pada musim penghujan C. HAMA-HAMA KEDELAI Berbeda dengan padi sawah, kedelai mempunyai banyak jenis hama yang menyerang sejak di fase pembibitan sampai fase polong. Hama tanaman merupakan faktor pembatas utama produksi kedelai di Indonesia. Karena serangan hama tinggi, produksi selalu rendah sehingga kita tidak mampu memenuhi kebutuhan kedelai nasional yang selalu meningkat setiap tahunnya. Saat ini kita harus mengimpor kedelai lebih dari satu juta ton. Karena banyak serangan hama, penggunaan pestisida kimia relatif sangat tinggi, rata-rata satu musim aplikasi pestisida sekitar 4-5 kali. Urutan 6 besar hama-hama kedelai adalah: 1) Lalat kacang, 2) Penggerek polong, 3) Tikus, 4) Ulat grayak, 5) Penggulung daun dan 6) ulat jengkal. Di samping menghadapi serangan hama kedelai juga menghadapi serangan banyak penyakit virus yang vektornya adalah serangga Bemisia sp dan Aphis sp. Hama-hama kedelai dapat dikelompokkan menurut fase pertumbuhan kedelai yang diserang yaitu: a. Lalat menyerang bibit seperti Agromyza sp b. Hama-hama pemakan daun seperti Spodoptera sp, Phaedonia sp, Plusia sp c. Hama-hama pengisap daun seperti Empoasca sp, Bemicia sp, Aphis sp d. Hama-hama pegisap polong seperti Riptortus sp, Nezara sp e. Hama-hama penggerek polong seperti Etiella sp dan Heliothis sp. Berikut diuraikan sedikit sifat, perilaku dan cara pengendalian hama-hama kedelai menurut urutan bahayanya. 1. Lalat Kacang (Agromyza phaseoli) Paling sedikit ada 3 spesies lalat kacang yaitu A. phaseoli, A. ojae dan A. dolichostigma. Yang pertama merupakan yang paling penting. Stadia larva merupakan stadia yang merusak tanaman kedelai fase perkecambahan dan tanaman muda. Gejala serangan: Gejala awal berupa tanda bintik-bintik putih pada keping biji, daun pertama atau daun kedua. Bintik-bintik tersebut merupakan bekas tusukan alat peletak telur pada pangkal kotiledon dan pangkal daun. Pada keping biji dan pasangan daun pertama terdapat alur atau garis berkelok-kelok berwarna coklat yang merupakan lubang gerekan. Akibat gerekan jaringan pengangkut terputus, sehingga akar mati tanaman layu dan mati. Kematian tanaman dijumpai pada tanaman berumur 14-30 hari. Pengelolaan: 78 1. 2. 3. 4. Pergiliran tanaman dengan tanaman non Leguminosae Seed treatment Penggunaan mulsa jerami Tanam serentak dengan selisih waktu antara tanam awal dan tanam akhir tidak lebih dari 10 hari, dilakukan pada areal yang cukup luas. 2. Penggerek polong (Etiella zinckenella) Gejala serangan: Tanda serangan berupa lubang gerekan berbentuk bundar pada kulit polong. Apabila terdapat dua lubang gerek pada polong tersebut berarti ulat sudah pergi. Di dalam polong terserang terdapat butir-butir kotoran ulat yang berwarna kuning atau coklat muda yang menggumpal. Akibat serangan hama ini dapat menurunkan kuantitas dan kualitas hasil panen. Telur diletakkan pada malam hari, pada bagian bawah kelopak bunga atau pada polong secara berkelompok. Populasinya tinggi pada saat musim kemarau daripada musim hujan. Pengelolaan: 1. Pemantauan dini 2. Tanam serempak pada areal yang luas 3. Sanitasi terhadap inang alternatif 4. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 5. Untuk daerah endemis penggerek polong, perlu diterapkan penanaman tanaman perangkap. 6. Pemanfaatan musuh alami seperti Apanteles sp, Trichogramma sp, Tachinidae, predator Lycosa sp dan Oxyopes sp 7. Pengendalian dengan insektisida efektif dilakukan apabila populasi hama telah mencapai ambang pengendalian 3. Ulat Grayak (Spodoptera litura) Gejala serangan: Larva muda secara bergerombol makan epidermis bawah daun sehingga menimbulkan gejala transparan, yang tersisa hanya tulang-tulang daun dan epidermis bagian atas, daun yang rusak tampak berwarna keputih-putihan. Serangan ulat instar awal dapat menimbulkan gejala transparan pada daun, sedang serangan oleh ulat instar akhir dapat menimbulkan gejala berupa berlubang pada daun bahkan polong termakan habis. Pengelolaan: 1. Pemantauan terhadap kelompok instar 1 atau gejala awal daun yang tampak keputih-putihan dilakukan setiap minggu sejak tanaman berumur 14 HST 2. Melakukan tanam serentak dan pergiliran tanaman 3. Pengendalian dini setelah ditemukan populasi 4. Pengendalian secara fisik dan mekanik yakni dengan mengumpulkan kelompok telur dan larva kemudian dimusnahkan 5. Penggunaan Sl NPV 6. Pemanfaatan musuh alami predator Carabidae, Reduviidae, parasitoid Telenomus, Tachinidae, Ichneumonidae 7. Pengendalian dengan insektisida secara spot treatment dibatasi sampai dengan instar 3 4. Ulat Penggulung Daun (Lamprosema indicata) Gejala serangan: 79 Ulat merusak tanaman kedelai berumur 3-4 minggu setelah tanam. Ulat makan dari gulungan daun. Apabila gulungan tersebut dibuka, daun akan tampak tinggal tulang-tulangnya. Ulat diam di dalam gulungan daun yang direkatkan satu sama lain dengan benang air liurnya. Ulat membentuk kepompong di dalam gulungan daun tersebut. 5. Ulat Jengkal (Plusia chalcites) Ulat jengkal berwarna hijau dan bergerak seperti menjengkal, bentuk larva tua mempunyai ciri khas. Ulat jengkal menyerang tanaman kedelai berumur muda dan tua. Dalam satu musim tanam hanya dijumpai satu generasi. Daun yang terserang ulat pada populasi tinggi tinggal tulang daun saja atau bahkan habis sama sekali. Pada tahun 1983 luas serangan hama ini mencapai 24000 ha dengan intensitas serangan 40%. 5. Kepik Hijau (Nezara viridula) Gejala serangan: Nimfa dan dewasa menghisap cairan biji kedelai. Serangan pada fase pembentukan dan pertumbuhan polong/biji menyebabkan polong/biji kempis, mengering dan gugur. Serangan pada fase pengisian biji menyebabkan biji menjadi hitam dan busuk. Serangan pada polong tua menyebabkan kualitas biji menurun karena ada biji hitam pada biji atau biji menjadi keriput. Gejala serangan jelas terlihat kulit biji dan kulit polong bagian dalam berupa bintik hitam atau coklat. Pengelolaan: 1. Sanitasi tanaman inang liar jauh sebelum tanam 2. Pengamatan terutama dilakukan pada tanaman perangkap. Pengamatan dilakukan pada umur 42, 49, 56, 63, dan 70 HST terhadap imago, telur dan nimfa. 3. Penggunaan pestisida dilakukan apabila populasi mencapai ambang pengendalian yang mungkin terjadi hanya pada tanaman perangkap 7. Kepik Polong (Riptortus linearis) Tingkat kerusakan secara ekonomis di lapang sulit untuk diperkirakan karena biasanya terjadinya kerusakan bersamaan dengan pengisap polong lainnya. Gejala serangan: Kepik menyerang polong dan biji. Serangan pada fase perkembangan biji dan pertumbuhan polong menyebabkan polong dan biji kempis, kemudian mengering dan polong dapat gugur. Serangan pada fase pengisian biji menyebabkan biji menjadi hitam dan busuk. Serangan pada polong tua menyebabkan kualitas biji menurun karena adanya bintik-bintik hitam pada biji atau biji menjadi keriput. Gejala serangan jelas terlihat pada kulit biji dan kulit polong bagian dalam berupa bintik hitam atau coklat. Kerusakan pada biji dan kulit polong disertai dengan serangan jamur. 8. Kutu Hijau (Aphis sp) Kutu hidup dalam koloni dan perkembangbiakan secara parthenogenesis sehingga populasi dapat meningkat dengan cepat. Ekskresi kutu hijau menghasilkan embun madu yang dapat merangsang tumbuhnya cendawan jelaga yang menutupi permukaan daun dan polong sehingga mengganggu fotosintesis. Populasi kutu hijau dipengaruhi oleh curah hujan yang dapat menurunkan populasi. Kutu hijau berperan sebagai vektor penyakit virus kedelai antara lain virus kerdil kedelai, virus mosaik kuning dan virus kate kedelai. Pengelolaan: 80 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Tanam serentak pada areal yang cukup luas Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inangnya Menanam varietas toleran (berbulu tegak) Penggunaan benih bermutu dan sehat Pemantauan sedini mungkin Pencabutan tanaman muda yang terserang virus Pemanfaatan musuh alami diantaranya predator Coccinelidae, Menochilus sexmaculata, Harmonia octomaculata, Verania lineata. 9. Kutu Kebul (Bemisia tabaci) Serangan berat akan terjadi terutama pada musim kemarau karena didukung dengan suhu yang tinggi. Gejala serangan: Nimfa dan kutu dewasa mengisap cairan daun. Ekskreta kutu kebul menghasilkan embun madu yang merupakan medium tumbuh cendawan jelaga sehingga sering tanaman tampak berwarna hitam. Hama ini juga bertindak sebagai vektor penyakit Cowpea Mild Mottle Virus (CMMV) yang menyebabkan tanaman kerdil dan daunnya belang-belang kuning tersamar. Hama menyerang tanaman sejak tanaman membentuk daun pertama dan puncak populasinya terjadi pada fase setelah pembungaan. Pengelolaan: 1. Tanam serentak dengan kisaran waktu tidak lebih dari 10 hari 2. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 3. Menanam varietas toleran 4. Pemanfaatan musuh alami parasitoid Encarsia sp dan beberapa jenis kumbang Coccinelidae antara lain Menochilus sp, Scymnus sp 10. Kumbang Daun (Phaedonia inclusa) Imago dan larva dapat merusak daun, batang pucuk, tangkai daun pucuk, kuncup daun, kuncup bunga, bunga, polong muda dan kulit polong bagian luar yang telah berisi penuh sampai polong menguning. Akibat serangan hama ini daun kedelai menjadi gundul dan dapat menurunkan produksi atau bahkan tanaman tidak menghasilkan sama sekali. Gejala serangan: Serangan larva dan dewasa dapat berlangsung pada fase pertumbuhan tanaman. Daun tampak berlubang dan polong muda luka-luka, sedang pada polong tua kulitnya yang dimakan. Serangan lebih lanjut pada tangkai daun dan batang pucuk menyebabkan daun dan pucuk terkulai layu kemudian mengering. Pengelolaan: 1. Pemantauan dilakukan tiap minggu sampai tanaman berumur 49 HST 2. Tanaman serentak dan pergiliran tanaman penting untuk menurunkan infestasi awal 3. Penurunan populasi dapat dilakukan dengan cara pengumpulan dan pemusnahan imago dan larva pada pagi dan sore hari. 4. Pemanfaatan musuh alami predator telur, larva dan pupa yaitu Solenopsis geminata. D. HAMA-HAMA UBI KAYU DAN UBI JALAR 1. Tungau merah (Tetranychus urticae) 81 Gejala serangan: Tanaman ubi kayu yang terserang berat, permukaan bagian bawah menjadi kusut oleh adanya anyaman-anyaman halus. Daun dapat kehilangan khlorofil dan mengakibatkan daun kelihatan menguning, kemudian berubah menjadi coklat dan gugur seluruhnya. Serangan berat terjadi pada musim panas, sebaliknya pada musim hujan populasinya berkurang karena tercuci oleh air hujan. Pengelolaan: Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 2. Hama Boleng (Cylas formicarius) Gejala Serangan: Umbi yang terserang terdapat lubang, terutama di dekat pangkal batang. Di samping itu kumbang juga membuat lubang lain untuk meletakkan telur. Setelah telur menetas biasanya larva langsung menggerek ke dalam daging umbi dan membuat lorong gerekan. Akibatnya ubi akan terasa pahit. Pengelolaan: 1. Mengatur waktu tanam, yaitu menanam pada awal musim kemarau 2. Melakukan penggenangan 3. Menanam varietas yang pertumbuhan ubinya agak masuk ke dalam tanah 4. Rotasi tanaman dengan tanaman bukan inang E. KACANG TANAH Tanaman kacang lebih banyak menghadapi serangan penyakit daripada serangan hama tanaman. Salah satu hama kacang tanah adalah wereng kacang tanah. Wereng Kacang Tanah (Empoasca flavescens) Nimfa dan dewasa mengisap cairan sel daun sehingga bagian ujungnya menjadi kekuningan. Daun yang terserang menjadi kaku dan menebal. Akibat serangan berat, tanaman menjadi kerdil dan daun mudah rontok. Selain mengakibatkan tanaman kehilangan cairan, bekas tusukan alat mulut serangga dapat menimbulkan kematian jaringan sehingga timbul gejala daun keriting. F. KACANG PANJANG Faktor penghambat produksi dan kualitas kacang panjang adalah beberapa hama tanaman terutama yang menyerang polong sehingga menurunkan kualitas hasil. Pengendalian hama yang lebih sering digunakan adalah penggunaan pestisida kimia. 1. Kutu Tanaman (Aphis craccivora) Gejala serangan: Tanaman yang terserang oleh kutu ini menyebabkan bunga menjadi tidak merekah, dan apabila menyerang pada buah muda menyebabkan buah menjadi keriput dan tidak dapat memanjang. Di samping sebagai hama, serangga ini juga bertindak sebagai vektor penyakit virus. 2. Penggerek Polong (Etiella sp) 82 Ulat masuk dan menggerek ke dalam polong kacang panjang sehingga terlihat bekas gerekan (lubang gerek) berwarna hitam. Kupu tersebut sering ditemukan di sekitar tanaman, terutama yang sedang berbunga atau berbuah muda. 3. Nezara viridula Kepik dan nimfa dewasa mengisap cairan polong kacang. Cara merusak dengan menusukkan alat mulutnya pada kulit kacang terus ke biji kemudian mengisap cairan yang ada di dalam biji. Serangan kepik ini menyebabkan biji menjadi hitam dan busuk sehingga kualitas biji menurun karena adanya bintik-bintik hitam pada biji atau biji menjadi keriput. Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman Materi 10 PENGELOLAAN HAMA TANAMAN HORTIKULTURA Tujuan: 1. Mempelajari dan memahami jenis-jenis hama utama tanaman hortikultura 2. Mempelajari dan memahami pelaksanaan PHT pada tanaman hortikultura Materi: IDENTIFIKASI PERMASALAHAN 83 Tanaman Hortikultura sangat penting untuk pemenuhan gizi pangan bagi kesehatan dan kebugaran tubuh kita. Tubuh kita memerlukan gizi yang berasal dari sayuran dan buah-buahan. Di samping untuk pemenuhan gizi juga untuk pemenuhan rasa keindahan khususnya untuk tanaman hias. Di Indonesia banyak sekali jenis tanaman hortikultura tropika yang bernilai gizi, ekonomi dan keindahan yang tinggi sehingga dapat menjadi obyek agribisnis yang sangat menguntungkan. Karena banyaknya jenis tanaman hortikultura, kita kelompokkan menjadi 3 kelompok besar yaitu: 1. Tanaman Sayuran yang terdiri atas Sayuran Dataran Tinggi dan Sayuran Dataran Rendah 2. Tanaman Buah-buahan 3. Tanaman Hias Tanaman hortikultura mempunyai potensi ekonomi yang besar untuk dikembangkan, tetapi sayangnya perhatian pemerintah, peneliti dan masyarakat terhadap pengembangan teknologi budidaya dan usaha tani tanaman hortikultura sangat sedikit dibandingkan dengan padi dan tanaman pangan lainnya. Karena itu, dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Thailand, Malaysia, Cina dan Australia kita sangat ketinggalan. Tidak heran bila saat ini pasar sayuran dan buah-buahan di negara kita banyak dikuasai oleh produk-produk impor. Data tentang produksi dan ekspor hortikultura dari Indonesia tidak meningkat dari tahun ke tahun, malahan cenderung merosot. Kendala utama budidaya tanaman hortikultura adalah kurang tersedianya benih bermutu, kesuburan tanah yang semakin menurun, dan ancaman serangan hama dan penyakit. Kehilangan hasil panen tanaman hortikultura yang diakibatkan serangan hama berkisar antara 46 sampai 100% atau gagal panen. Karena ketakutan petani terhadap serangan hama dan penyakit, petani hortikultura sangat menggantungkan diri pada penggunaan insektisida dan fungisida. Penyemprotan dengan pestisida di sayuran dan beberapa jenis buah-buahan sangat intensif, seperti kubis dapat mencapai 20 kali dalam satu musim. Pengeluaran untuk pestisida pada tanaman kubis rata-rata 30% dari biaya produksi, sedangkan di kentang dapat mencapai 40%, tomat 50% dan cabai sampai 51%. Tentu saja keadaan ini tidak efisien dan sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Keadaan petani hortikultura Indonesia berbeda dengan petani hortikultura di luar negeri yang usahanya sudah padat teknologi dan padat modal. Petani horti di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3 menurut pengusahaan lahannya yaitu: 1) petani horti di pekarangan, 2) petani horti komersial di dataran rendah, dan 3) petani horti komersial di dataran tinggi. Petani horti pekarangan umumnya menanam berbagai jenis sayuran dan buah-buahan di pekarangan untuk kepentingan konsumsi keluarga. Sedangkan petani horti komersial memang mengusahakan untuk memperoleh produksi dan keuntungan. Namun ketiga kelompok mempunyai ciri yang sama yaitu luas lahan yang terbatas dan modal yang pas-pasan. Kita belum mempunyai semacam usaha “perkebunan” sayuran atau perkebunan buah-buahan seperti di luar negeri. Oleh karena itu umumnya petani horti di Indonesia belum banyak menguasai teknologi budidaya tanaman dan perlindungan tanaman yang memadai, sehingga mereka sangat tergantung pada kebiasaan petani di sekitarnya. Dengan demikian usaha hortikultura belum efisien dan ongkos produksi tinggi. Pada era perdagangan global sekarang sangat sulit untuk mengekspor produk hortikultura karena kandungan pestisida yang tinggi, seperti telah terjadi banyak kubis dan kentang yang berasal dari Tanah Karo di Sumatera Utara tidak dapat masuk Singapura dan Malaysia karena kandungan residu pestisida. Produk buah-buahan Indonesia pada tahun 2002 ditolak oleh negara Taiwan kerana mengandung lalat buah. Sejak tahun 1990 sampai 1998 Pemerintah melaksanakan pelatihan PHT untuk lebih dari 50.000 petani hortikultura di beberapa propinsi yang meliputi petani kubis, kentang, bawang merah, dan cabai merah. Dari evaluasi terhadap penerapan PHT oleh petani pada tanaman 84 hortikultura terlihat bahwa untuk tanaman kubis dan kentang petani dapat mengurangi penggunaan pestisida sampai 80%, peningkatan produksi dan kualitas produk sehingga sangat menguntungkan. PHT tanaman cabe dan bawang merah jauh lebih baik hasilnya dibandingkan kebiasaan petani namun belum sebaik petani kubis dan kentang. Dari hasil-hasil sementara tersebut dapat disimpulkan bahwa satu-satunya cara memperbaiki produksi dan kualitas produksi tanaman hortikultura adalah menerapkan dan mengembangkan teknologi PHT yang sesuai dengan jenis tanaman, lokasi lahan, dan kondisi sosial ekonomi petani. Untuk dapat mengembangkan teknologi PHT yang sesuai diperlukan banyak kegiatan penelitian dan pengkajian. JENIS-JENIS HAMA HORTIKULTURA DAN CARA PENGENDALIANNYA Karena banyaknya jenis tanaman hortikultura di Indonesia yang akan diuraikan hanya terbatas pada jenis tanaman horti yang penting dilihat dari prospek bisnis, sedangkan jenis hama hanya dijelaskan hama-hama utama yang pada 5 tahun terakhir ini menimbulkan masalah. Perlu diketahui bahwa sejak tahun 1995 terdapat 2 jenis hama “baru” yang kemudian menimbulkan masalah serius di pertanaman sayuran terutama menyerang tanaman kentang. Dua jenis hama tersebut adalah hama pengorok daun (Lyriomyza huidobrensis) dan Nematoda Sista Kuning (Globodera rostochiensis). Hama Lyriomyza bukan hama “asli” di Indonesia tetapi berasal dari daerah subtropik. Hama ini terbawa ke Indonesia karena ulah para penggemar tanaman hias yang mengimpor bunga krisan dari Eropa melewati pemeriksaan petugas karantina tumbuhan di pintu masuk. Setelah tahun 1995 hama ini menyerang semua pusat tanaman kentang dan tanaman horti lainnya. Hama nematoda NSK baru diketahui memasuki Indonesia pada tahun 2002 yang lalu, terbawa oleh bibit kentang yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Saat ini NSK telah tersebar di semua pusat tanaman kentang di Indonesia. Salah satu jenis hama penting yang menyerang buah-buahan adalah lalat buah (Batrocera spp) yang seringkali menjadi pembatas produksi dan ekspor buah-buahan di Indonesia seperti nangka dan jambu. Namun dengan penggunaan zat atraktan seperti metil eugenol dan tanaman selasih, pengendalian lalat buah dapat mengurangi kerugian petani buahbuahan oleh lalat buah. A. KELOMPOK SAYURAN Kelompok Sayuran meliputi tanaman-tanaman sayuran dataran tinggi (KUBIS, KENTANG, TOMAT) dan sayuran dataran rendah (CABAI, dan BAWANG MERAH) 1. KUBIS a. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon) Gejala serangan: Ulat tanah merusak tanaman yang baru ditanam atau tanaman muda. Tanda serangan pada tanaman muda berupa gigitan larva pada pangkal batang atau sama sekali terpotong, sehingga dapat menimbulkan kerusakan berat. Serangan berat terjadi di awal musim kemarau. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 2. Tanam serempak 3. Pengolahan tanah yang baik 4. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan mematikannya 85 5. Pemasangan umpan beracun b. Ulat Daun (Plutella xylostella) Gejala serangan: Tanaman yang diserang adalah tanaman muda. Seringkali juga merusak tanaman kubis yang sedang membentuk krop. Larva makan permukaan bawah daun kubis dan meninggalkan lapisan epidermis bagian atas. Setelah jaringan daun lapisan epidermis pecah sehingga terjadi lubang-lubang pada daun. Kerusakan berat mengakibatkan tanaman kubis hanya tinggal tulang daun saja. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 2. Tanam serempak 3. Mengumpulkan larva di sekitar tanaman dan mematikannya c. Ulat Krop (Crocidolomia binotalis) Gejala serangan: Larva muda bergerombol di permukaan bawah daun kubis dan meninggalkan bercak putih pada daun yang dimakan. Larva instar ketiga sampai kelima memencar dan menyerang pucuk tanaman kubis sehingga menghancurkan titik tumbuh. Akibatnya tanaman mati atau batang kubis membentuk cabang dan beberapa crop yang kecil-kecil. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 2. Tanam serempak 3. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan mematikannya 2. KENTANG a. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon) Gejala serangan: Gejala biasanya terlihat pada pagi hari dengan adanya tanaman muda yang rebah karena dipotong oleh ulat di bagian pangkal batang. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 2. Tanam serempak 3. Pengolahan tanah yang baik 4. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan mematikannya 5. Pemasangan umpan beracun b. Penggerek Umbi (Pthorimaea operculella) Gejala serangan: Daun yang terserang terlihat warna merah tua dan adanya jalinan seperti benang yang membungkus ulat kecil berwarna kelabu. Kadang-kadang daun kentang menggulung yang disebabkan karena larva telah merusak permukaan daun sebelah atas, kemudian bersembunyi dalam gulungan daun tersebut. Gejala serangan pada umbi dapat dilihat dengan adanya kelompok kotoran berwarna coklat tua pada kulit umbi. Apabila umbi dibelah, akan kelihatan “alur-alur” yang dibuat ulat sewaktu memakan umbi. Kerusakan berat pada pertanaman kentang sering terjadi pada musim kemarau. Di dalam 86 gudang penyimpanan, OPT tersebut merusak bibit kentang yang disimpan selama 3-5 bulan sebelum tanam. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 2. Tanam serempak 3. Pengolahan tanah yang baik c. Kutu Daun Persik (Myzus persicae) Gejala serangan: Kerusakan secara langsung akibat serangan kutu daun persik sebenarnya tidak terlalu merugikan. Kutu daun persik mengisap cairan daun, sehingga menyebabkan daun berkerut/keriting, tumbuhnya kerdil, kekuningan, daun-daunnya terpuntir, menggulung dan kemudian layu dan mati. Gejala yang lebih penting adalah gejala karena kerusakan secara tidak langsung, yaitu serangan penyakit virus yang ditularkan oleh kutu ini. Kutu daun persik merupakan vektor penyakit tanaman kentang antara lain PVA, PVY, PVM, dan PLRV. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 2. Tanam serempak 3. Penyemprotan dengan insektisida selektif dan efektif d. Lalat Pengorok Daun (Lyriomyza huidobrensis) Gejala serangan: Lalat pengorok memakan daun dengan cara masuk ke dalam jaringan daun. Akibat serangan hama ini terdapat alur-alur pada daun yang dapat mempengaruhi fotosintesis. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 2. Tanam serempak e. Nematoda Sista Kuning (Globodera rostochiensis) Gejala serangan: Pertanaman kentang berumur 70-80 hst yang terserang nematoda tampak daundaun klorosis (menguning). Pengelolaan: 1. Pengolahan tanah 2. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 3. CABAI a. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon) Gejala serangan: Ulat tanah merusak tanaman yang baru ditanam atau tanaman muda. Tanda serangan pada tanaman muda berupa gigitan larva pada pangkal batang atau sama sekali terpotong, sehingga dapat menimbulkan kerusakan berat. Larva dewasa kadangkadang membawa potongan-potongan tanaman ke tempat persembunyiannya. 87 Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 2. Tanam serempak 3. Pengolahan tanah yang baik 4. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan mematikannya 5. Pemasangan umpan beracun 6. Pemanfaatan musuh alami seperti Metarrhizium sp. b. Kutu daun persik (Myzus persicae) Gejala serangan: Serangan berat pada tanaman cabai muda (umur < 3 minggu) bila infestasinya tinggi daun akan berkerut keriting, tanaman akan tumbuh kerdil, layu dan kemudian mati. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 2. Tanam serempak c. Trips (Thrip palmi) Gejala serangan: Stadium Thrips yang sangat merugikan adalah stadium nimfa dan imago. Thrips menyerang tanaman dengan jalan menggaruk permukaan daun dan bunga, selanjutnya mengisap cairan sel tanaman. Gejala serangan pada daun akan terlihat bercak-bercak klorosis berwarna putih keperakan pada permukaan bagian bawah daun yang akan menyebabkan daun berkerut dan terpuntir. Bila serangan berat permukaan daun akan berkerut atau sedikit menggulung yang di dalamnya benyak ditemukan Thrips. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 2. Tanam serempak d. Kutu Daun Kapas (Aphis gossypii) Gejala Serangan: Serangan berat dapat terjadi apabila infestasi terjadi pada tanaman muda (< 3 minggu), dengan gejala daun berkerut keriting, tanaman akan tumbuh kerdil, layu dan kemudian mati. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman 2. Pengamatan secara teratur 3. Mengumpulkan kutu kemudian dimatikan e. Lalat buah (Batrocera dorsalis) Gejala serangan: Gejala serangan lalat buah pada buah cabai ditandai dengan titik hitam pada pangkal buah, kemudian buah membusuk dan jatuh ke tanah. Hal ini disebabkan belatung memakan bagian dalam dan daging buah sehingga terjadi saluran-saluran di dalam buah. Buah yang terserang menjadi busuk, selanjutnya jatuh ke tanah. Pengelolaan: 1. Tanam serempak 88 2. 3. 4. 5. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang Mengumpulkan buah busuk yang rontok kemudian dibakar Menggunakan perangkap beracun Penyemprotan insektisida yang efektif dan selektif apabila ditemukan serangan sedang. f. Ulat grayak (Spodoptera litura) Gejala serangan: Larva makan dengan cara menyayat permukaan dau. Gejala serangan yang ditimbulkan adalah bercak-bercak putih transparan pada daun, karena bagian daging daun dimakan sedangkan bagian epidermis atas ditinggalkan. Ulat dewasa memakan seluruh bagian daun dengan meninggalkan bagian tulang daunnya. Pada serangan berat tanaman akan gundul. Pengelolaan: 1. Penanaman tanaman bukan inang 2. Mengumpulkan larva di sore/malam kemudian dimatikan 3. Penyemprotan dengan pestisida yang selektif g. Nematoda puru (Meloidogyne sp) Gejala serangan: Tanda kerusakan yang tampak pada bagian tanaman di atas permukaan tanah adalah tampak pertumbuhan yang kerdil, daun klorosis, pada cuaca panas daun-daun cepat layu dibanding tumbuhan sehat, daun-daun banyak yang gugur, tumbuhan tampak gundul, kadang-kadang tinggal daun pucuk. Tanda kerusakan pada bagian tanaman di dalam tanah diantaranya dekat ujung akar tampak kerusakan mekanis, berupa bercak berwarna coklat hitam, terutama pada infeksi populasi yang tinggi, terdapat kecenderungan pembentukan akar-akar cabang lebih sedikit daripada tumbuhan normal. Tampak adanya puru pada akar-akar utama. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inagn 2. Di daerah endemik dilakukan perlakuan tanah dengan nematisida yang efektif jika dijumpai serangan sedang. 4. BAWANG MERAH a. Ulat bawang (Spodoptera exigua) Gejala serangan: Bagian tanaman yang diserang adalah daunnya, baik pada tanaman muda atau pada tanaman tua. Larva muda melubangi bagian ujung daun kemudian masuk dan memakan daging daun bagian dalam, sedangkan epidermis bagian luar ditinggalkan. Akibat serangan tersebut pada daun terlihat bercak-bercak putih menerawang tembus cahaya dan akhirnya terkulai dan mengering. Pada serangan berat seluruh bagian daun dimakannya. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 2. Tanam serempak 3. Pemusnahan kelompok telur di ujung daun 89 b. Trips (Thrip tabaci) Gejala Serangan: Stadium nimfa dan imago merusak tanaman dengan cara menggaruk atau meraut jaringan daun dan mengisap cairan sel utamanya pada daun yang masih muda. Gejala serangan yang terlihat adalah daun bernoda putih mengkilat seperti perak, kemudian menjadi kecoklat-coklatan dengan bintik hitam. Pada serangan berat seluruh areal terlihat putih dan akhirnya tanaman akan mati. Serangan berat biasanya terjadi pada suhu rata-rata di atas normal disertai dengan hujan rintik-rintik dan kelembaban udara di atas 70%. Pada suhu tinggi atau dingin Thrips akan musnah. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman 2. Tanam serentak 3. Waktu tanam pertengahan April, awal Mei atau September 4. Penyemprotan insektisida efektif bila ditemukan tingkat serangan sedang 5. TOMAT a. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon) Gejala serangan: Ulat tanah merusak tanaman yang baru ditanam atau tanaman muda. Tanda serangan pada tanaman muda berupa gigitan larva pada pangkal batang atau sama sekali terpotong, sehingga dapat menimbulkan kerusakan berat. Larva dewasa kadangkadang membawa potongan-potongan tanaman ke tempat persembunyiannya. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 2. Tanam serempak 3. Pengolahan tanah yang baik 4. Mengumpulkan ulat pada sore/malam hari di sekitar tanaman dan mematikannya 5. Pemasangan umpan beracun b. Ulat Buah (Helicoverpa armigera) Gejala serangan: Ulat ini menyerang buah tomat dengan cara masuk ke dalam buah dan memakannya dari dalam. Buah akan tampak berlubang sehingga menurunkan kualitas. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang 2. Tanam serempak 3. Mengumpulkan ulat kemudian mematikannya 4. Pemberian insektisida butiran melalui tanah pada saat menjelang berbunga 5. Penyemprotan insektisida yang selektif c. Kutu Kebul (Bemisia tabaci) Gejala serangan: Kutu menyerang permukaan daun bagian bawah. Kutu tersebut akan mengisap cairan daun sehingga daun akan berkerut yang akan mempengaruhi fotosintesis. Pengelolaan: 1. Pergiliran tanaman 90 2. Tanam serempak 3. Mengumpulkan ulat kemudian mematikannya C. KELOMPOK BUAH-BUAHAN 1. JERUK a. Kutu loncat jeruk (Diaphorina citri) Gejala serangan: Kerusakan karena aktivitas kutu loncat adalah daun jeruk menjadi berkerut-kerut, menggulung atau kering dan pertumbuhannya menjadi terhambat serta tidak sempurna. Selain daun muda, kutu ini juga mengisap cairan sel pada tangkai daun, tunas-tunas muda atau jaringan tanaman. Gejala lainnya adalah hasil sekresi atau kotorannya berupa benang berwarna putih dan bentuknya menyerupai spiral. Pengelolaan: 1. Memanfaatkan keberadaan musuh alami antara lain predator Curinus coreluos, Coccinella repanda, jamur Metarhizium sp. 2. Pengendalian secara kimiawi hendaknya dilakukan saat tanaman menjelang dan ketika bertunas. b. Kutu Daun (Toxoptera citricidus) Gejala serangan: Kerusakan karena hama ini tampak pada bagian tanaman muda seperti daun dan tunas. Daun yang terserang akan berkerut dan keriting serta pertumbuhannya terhambat. Pada bagian tanaman di sekitar aktivitas kutu daun tersebut terlihat adanya kapang hitam yang tumbuh pada sekresi. Pengelolaan: 1. Di alam populasi kutu daun dikendalikan oleh musuh alami. 2. Secara kultur teknis dengan menggunakan mulsa jerami di bedengan pembibitan jeruk agar dapat menghambat perkembangan populasi kutu. c. Kutu Perisai (Lepidosaphes sp) Gejala serangan: Bagian tanaman jeruk yang terserang adalah daun, buah dan tangkai. Serangan kutu tersebut menyebabkan daun berwarna kuning, terdapat bercak-bercak klorotis dan seringkali membuat daun menjadi gugur. Serangan yang lebih berat akan mengakibatkan ranting dan cabang menjadi kering. Jika serangan terjadi di sekeliling batang, akan menyebabkan buah gugur. Serangan pada buah mengakibatkan buah tampak kotor. Pengelolaan: 1. Musuh alami sangat menentukan perkembangan populasi kutu sisik. Oleh karena itu keberadaannya perlu diperhatikan. 2. Pengendalian secara kimiawi hendaknya menggunakan insektisida yang bersifat selektif. d. Ulat Penggerek Buah (Citripestis sagitiferella) Gejala serangan: Ulat menggerek buah sampai ke daging buah sehingga terlihat bekas lubang yang mengeluarkan getah seperti blendok, kadang-kadang tertutup dengan kotoran. Bagian 91 buah yang terserang adalah separuh bagian bawah dan apabila parah, buah akan busuk dan gugur. Pengelolaan: 1. Untuk mencegah peletakan telur sebaiknya dilakukan pembungkusan pada buah jeruk yang masih muda. 2. Memetik buah jeruk yang telah terserang dengan interval setiap 10 hari kemudian menguburnya cukup dalam 3. Pemanfaatan musuh alami seperti parasit telur Trichogramma sp dan Bracon sp. 4. Pengendalian secara kimiawi pada saat telur belum menetas. Larva yang baru keluar akan segera terbunuh sebelum sempat menggerek. e. Kutu dompolan (Planococcus citri) Gejala serangan: Kutu menyerang tangkai buah dan meninggalkan bekas berwarna kuning kemudian kering sehingga banyak buah yang gugur. Pada bagian tanaman yang terserang tampak dipenuhi kutu-kutu putih seperti kapas. Pengelolaan: 1. Memanfaatkan musuh alami dengan cara menghindarkan penggunaan insektisida yang berlebihan 2. Mengatur kepadatan tajuk tanaman agar agar tidak terlalu padat dan saling menaungi 3. Mencegah datangnya semut yang sering memindahkan kutu 2. MANGGA a. Procontariana matteina Gejala serangan: Daun yang terserang hama ini ditandai dengan adanya bisul-bisul kecil pada permukaan dan bawah daun. Ulat akan meninggalkan bekas lubang pada saat ulat keluar meninggalkan jaringan daun. Dalam satu daun tampak terdapat banyak sekali bintil-bintil kecil yang menyebabkan terganggunya proses fotosistesis sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Pengelolaan: Sanitasi lingkungan merupakan salah satu alternatif terbaik untuk mengendalikan hama ini. b. Penggerek cabang mangga (Rhytidodera simulans) Gejala serangan: Pada bagian cabang atau ranting yang terserang terdapat lubang dan alur gerek berwarna hitam. Apabila tertiup angin, cabang akan mudah patah, daunnya tampak layu, lama-lama kering dan mati. Lubang-lubang bekas gerekan dapat menyebabkan infeksi oleh serangan organisme lain. Pengelolaan: Pengendalian mekanik dengan cara memangkas cabang dan ranting terserang. Pengendalian secara kimiawi dilakukan dengan cara injeksi pada batang tanaman dan dianjurkan saat tanaman tidak berbunga atau berbuah. 3. PISANG 92 a. Erionata thrax Gejala serangan: Daun pisang yang terserang hama ini akan terlihat robek. Hal ini disebabkan hama menggulung daun dari tepi ke arah tengah. Pengelolaan: 1. Secara fisik mekanik dengan cara pengambilan telur kemudian mematikannya 2. Mengumpulkan bagian daun yang sudah tergulung dan memusnahkannya b. Hama Uret Gejala serangan: Hama ini menyerang pisang bagian batang sampai ke umbi batang bagian bawah (bonggol) dan menyebabkan umbi berlubang. Pengelolaan: Dengan Seed treatment c. Kumbang Penggerek Batang (Cosmopolites sordidus) Gejala serangan: Tanaman yang terserang hama ini akan menunjukkan pertumbuhan yang kerdil, daun berkerut. Pada umumnya hama ini tumbuh pada tanaman pisang yang busuk. Pengelolaan: Pengendalian dengan sanitasi kebun. Memotong tanaman yang tercemar sampai ke bonggol bawah. Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman Materi 10 PENGELOLAAN HAMA PERKEBUNAN DAN HAMA PASCA PANEN/HAMA GUDANG Tujuan: 1. Memahami dan mempelajari berbagai jenis hama tanaman perkebunan dan cara Pengelolaannya 2. Memahami dan mempelajari berbagai jenis hama pasca panen dan cara pengelolaannya 93 Materi: PENGERTIAN DAN BATASAN Pengelompokan beberapa tanaman seperti kelapa, kopi, cengkeh, kelapa sawit, kakao, karet, teh, tebu, kina, tembakau, lada sebagai tanaman perkebunan lebih dilandasi oleh faktor historis sejak zaman penjajahan Belanda. Guna memperoleh pendapatan dari negara jajahannya, Pemerintah Belanda mengundang investor untuk membuka usaha perkebunan dengan komoditas ekspor sehingga dapat meningkatan pendapatan pemerintah kolonial Belanda. Perusahaan Perkebunan ditandai dengan pengelolaan berorientasi bisnis keuntungan, pertanaman dengan luasan tanaman yang besar, ratusan sampai ribuan hektar per kebun atau afdeling dan jumlah karyawan yang besar dengan menggunakan teknologi budidaya dan pengolahan hasil/pabrik yang modern. Jenis tanaman yang dipilih adalah tanaman yang memiliki nilai ekspor tinggi seperti kakao, kopi, teh, kelapa sawit, cengkeh. Semula jenis tanaman perkebunan mencakup hanya tanaman tahunan (umur tanaman lebih dari 1 tahun), tetapi kemudian diusahakan juga tanaman musiman atau berumur pendek (umur tanaman kurang dari 1 tahun) seperti gula dan tembakau, mengingat permintaan dunia akan dua komoditas tersebut cukup tinggi. Sebelum PD II, Indonesia pernah menjadi penghasil beberapa komoditas perkebunan yang besar di dunia. Karena orientasi usaha perkebunan adalah ekspor, sejak sebelum PD II sampai sekarang harga komoditas perkebunan sangat ditentukan oleh harga pasar dunia. Perkembangan subsektor perkebunan setelah kita merdeka berbeda dengan masa kolonial Belanda. Perusahaan perkebunan yang semua dikelola oleh perusahaan asing sebagian besar dialihkan ke perusahaan milik negara. Kegiatan perkebunan yang semula diarahkan untuk dilaksanakan oleh perusahaan besar kini berkembang dan akhirnya diusahakan oleh petani kecil yang memiliki luas kebun yang kecil (kurang dari 5 hektar) bahkan seringkali di bawah satu hektar per keluarga petani, kepemilikan modal dan teknologi yang terbatas, serta dikelola oleh keluarga petani. Jenis pengusahaan perkebunan oleh petani-petani kecil kemudian dikenal sebagai usaha Perkebunan RAKYAT. Karena dorongan dan fasilitasi pemerintah, perkebunan rakyat semakin lama semakin luas, jauh lebih luas daripada luas perkebunan besar. Saat ini perkebunan dibagi menjadi dua kelompok yaitu Perkebunan Besar dan Perkebunan Rakyat. Perkebunan Besar yaitu perkebunan dengan luas areal besar yang dikelola oleh PT Perkebunan Negara dan PT Perkebunan Swasta Nasional termasuk milik PT Pagilaran (Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM) atau Perkebunan Swasta Asing. Sedangkan perkebunan rakyat adalah usaha perkebunan yang dikelola oleh petani kecil. Dari sekitar 12 juta hektar luas perkebunan di Indonesia saat ini, lebih dari 70% adalah areal perkebunan rakyat. Jenis komoditas yang diusahakan oleh Perkebunan Besar dan Perkebunan Rakyat ada yang sama tetapi ada yang berbeda. Beberapa komoditas perkebunan yang umumnya dikelola oleh rakyat saat ini adalah kelapa, lada, jambu mete dan kapas. Sedangkan kelapa sawit pada umumnya dikelola oleh Perkebunan Besar. Komoditas-komoditas perkebunan lainnya seperti teh, kopi, kakao, karet, tebu, tembakau dikelola oleh Perkebunan Besar dan juga rakyat. Pemerintah dengan bantuan lembaga-lembaga internasional seperti ADB/Bank Pembangunan Asia dan World Bank/Bank Dunia telah banyak melaksanakan program pembukaan, perluasan, intensifikasi dan rehabilitasi perkebunan rakyat sehingga luas perkebunan rakyat dan jenis tanaman perkebunan rakyat terus meningkat. Proyek pembangunan perkebunan yang terkenal adalah PIR (Perkebunan Inti Rakyat), yang menghubungkan Perkebunan Besar sebagai Kebun Inti dan Perkebunan Rakyat sebagai Kebun Plasma. Sayangnya dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan kegiatan tersebut hanya 94 dilakukan oleh pemerintah sedangkan pemberdayaan masyarakat tidak dilaksanakan, sehingga kelanjutan dari kegiatan pemerintah tersebut tidak dapat dijamin. Dalam melakukan pembahasan tentang pengelolaan hama perkebunan kita akan mengkonsentrasikan pada Perkebunan Rakyat, meskipun kita ketahui bahwa tidak ada perbedaan jenis-jenis hama yang menyerang perkebunan besar dan perkebunan rakyat, namun tingkat dan jenis permasalahannya yang berbeda. MASALAH PERLINDUNGAN TANAMAN PERKEBUNAN RAKYAT Dibandingkan dengan perkebunan besar kondisi pertanaman perkebunan rakyat umumnya kurang terpelihara, produksi rendah, kualitas kurang baik akibat serangan berbagai jenis hama dan penyakit. Karena modal kurang serta kemampuan teknis rendah, biasanya setelah tanam petani tidak mampu melakukan pemeliharaan kebun termasuk pemangkasan, pengolahan tanah dan Pengelolaan hama dan penyakit. Kondisi kebun lemah dan tidak terpelihara serta meliputi daerah yang sangat luas akan membentuk kondisi ekosistem yang rentan hama dan penyakit. Hama penyakit akan menyebar dengan cepat ke seluruh kebun di suatu daerah. Kasus yang terjadi sekarang di Sulawesi dan propinsi-propinsi lain yakni munculnya serangan Penggerek Buah Kakao yang sedang menghancurkan kakao rakyat. Kelemahan utama perkebunan rakyat adalah dalam hal penggunaan bibit yang berkualitas rendah, kurang pemangkasan, pemupukan dan pemeliharaan lain, pengendalian hama yang tidak tepat dengan menggunakan pestisida kimia yang berlebihan, penanganan pasca produksi yang kurang baik. Akibatnya hasil rendah, kualitas turun dan tidak diterima di pasar karena kandungan residu pestisida tinggi, harga rendah dan akhirnya petani menderita kerugian yang cukup besar. Masalah hama dan penyakit seperti pada tanaman kakao, kopi, lada, kelapa, kapas seringkali menjadi faktor pembatas produksi perkebunan rakyat di Indonesia. Tanpa pengetahuan dan ketrampilan tentang bagaimana mengelola hama para petani perkebunan rakyat akan selalu mengalami kerugian dan kehilangan hasil akibat serangan hama. KONDISI EKOSISTEM KEBUN TANAMAN TAHUNAN Ekosistem perkebunan terutama tanaman tahunan relatif lebih stabil bila dibandingkan dengan tanaman pangan sehingga sebenarnya risiko terjadinya letusan hama lebih kecil, tetapi karena kondisi kebun yang kurang terpelihara bila terjadi peningkatan populasi pada satu tempat akan secara cepat menjalar ke tempat lainnya. Kondisi ekosistem kebun juga menguntungkan bagi penerapan pengendalian hayati terutama dengan predator, parasitoid dan patogen mengingat ekosistem memiliki kondisi iklim mikro yang sesuai dan keanekaragaman tinggi bagi perkembangan musuh alami. Sebelum tahun 1960 banyak praktek pengendalian hayati klasik dengan introduksi musuh alami sukses mengendalikan beberapa hama penting pada tanaman kelapa. Untuk komoditas perkebunan, penerapan PHT yang mengandalkan pengendalian hayati merupakan teknik pengendalian yang paling tepat. Melalui Program PHT Perkebunan Rakyat yang sampai tahun 2005 dilaksanakan Pemerintah di 13 propinsi, beberapa teknologi PHT seperti pemanfaatan seresah untuk meningkatkan populasi predator, penyarungan buah kakao untuk mencegah peneluran ngengat Penggerek Buah Kakao, pemangkasan dan penjarangan tanaman, perbanyakan dan pelepasan agens pengendalian hayati dengan patogen, panen bertahap, dan lain-lainnya ternyata dapat mengurangi populasi hama dan kerusakan tanaman serta meningkatkan pendapatan petani pekebun. Produk-produk PHT perkebunan saat ini 95 banyak dicari konsumen domestik maupun konsumen global karena kualitasnya tinggi serta bebas dari kandungan residu pestisida yang membahayakan. MASALAH HAMA PASCA PANEN Perlu diketahui bahwa untuk semua kelompok tanaman baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan, kerusakan dan kerugian akibat gangguan hama dan penyakit pasca panen sangat besar. Kerugian yang diderita oleh petani akibat serangan hama pasca panen adalah penurunan produksi dan penurunan kualitas produksi. Diperkirakan rata-rata kerugian hasil antara 25-30%. Kerugian terjadi sewaktu pengangkutan dan penyimpanan hasil panen sebelum diolah dan dipasarkan. Hama Pasca Panen sering disebut juga sebagai Hama Gudang. Petani seringkali tidak memperhatikan aspek-aspek fisika kimia proses penyimpanan hasil panen sehingga mengundang serangan hama gudang. Petani jarang melakukan kegiatan khusus untuk mengendalikan hama-hama gudang. Upaya yang paling sering dilakukan adalah pengeringan dengan panas matahari. Berbagai jenis hama yang menyerang hasil panen di gudang penyimpanan dapat berasal dari atau terbawa dari pertanaman, atau hama-hama khusus yang memang menyenangi ekosistem gudang. Pengendalian hama gudang khusus dilakukan di gudang-gudang milik perusahaan atau pemerintah seperi gudang BULOG. Karena ekosistem gudang dapat lebih mudah dikuasai maka pengendalian hama gudang biasanya dilakukan dengan metode pengendalian fisik dan kimiawi dengan menggunakan fumigan. Banyak jenis fumigan berbahaya bagi kesehatan karena itu perlakuannya di gudang harus dilakukan secara hati-hati hanya oleh orang atau petugas yang telah terlatih atau bersertifikat. HAMA-HAMA PERKEBUNAN DAN PASCA PANEN A. PERKEBUNAN 1. KOPI a. Bubuk Buah Kopi (Hypothenemus hampei) Gejala serangan: Hama menyerang buah dengan cara menggerek. Lubang gerekan berbentuk bulat dengan diameter lebih kurang 1 mm dan umumnya dijumpai pada ujung buah. Lubang kadang-kadang sukar dilihat karena tertutup oleh kotoran atau sisa gerekan. Bubuk buah kopi pada umumnya menyerang buah yang bijinya telah cukup keras, namun demikian buah yang bijinya lunak juga diserang. Setelah menyerang buah yang bijinya lunak, hama segera keluar karena tidak bisa berkembang di dalamnya. Buah muda akan menjadi busuk dan kemudian gugur. Jenis kopi yang disukai adalah jenis Arabica, Robusta dan Liberica. Pengelolaan: 1. Memanfaatkan musuh alami seperti parasitoid Heterospilus coffeicola, jamur Spicaria javanica, predator Dindymus rubiginosus. 2. Memodifikasi lingkungan seperti mengurangi naungan dan melakukan pemangkasan. 3. Mengusahakan supaya selama jangka waktu tertentu tidak terdapat buah kopi, baik di pohon ataupun di tanah. Dengan demikian kumbang betina tidak mempunyai buah kopi untuk makanan atau untuk tempat berkembang biak. Hal tersebut dapat diusahakan antara lain melalui rampasan, lelesan, petik bubuk b. Bubuk Ranting Coklat (Xylosandrus morigerus) 96 Gejala serangan: Hama ini menyerang tanaman kopi di pembibitan, tanaman muda dan tanaman dewasa. Di pembibitan hama menyerang bagian batang, sehingga daun menjadi kering dan seringkali menyebabkan kematian. Bila tanaman muda yang terserang maka pertumbuhan dan masa berbuah akan terhambat. Bubuk ranting coklat dapat menyerang sampai ke dalam akar tunggang. Pengelolaan: 1. Pemanfaatan musuh alami misalnya Tetrastichus sp. 2. Sanitasi kebun dengan membersihkan kebun dari cabang-cabang yang berserakan di bawah pohon, karena dapat menjadi sumber infeksi. Pada saat pemangkasan, cabang dan ranting yang terserang dikumpulkan kemudian dibakar. c. Kutu Hijau (Coccus viridis) Gejala serangan: Kutu pada umumnya terdapat di bagian bawah tanaman yang masih muda, daun atau ranting yang masih berwarna hijau. Pada daun, kutu dijumpai di permukaan bawah, terutama pada pertulangan daun. Bunga dan buah muda juga dapat terserang. Akibat tusukan dan pengisapan oleh kutu pada tanaman, warna hijau dari bagian yang terserang akan berubah menjadi kuning sehingga daun akan mengering dan gugur. Serangan pada ranting muda seringkali menyebabkan ranting mati dan daun gugur. Selain itu internoda juga menjadi pendek. Pengelolaan: 1. Secara alami dengan memanfaatkan predator Coccinella sp, parasitoid Coccophagus sp, jamur Cephalosporium sp. 2. Membersihkan pertanaman dari semut rangrang karena serangan kutu akan sangat merugikan apabila semut rangrang dibiarkan hidup. d. Kutu Dompolan (Planococcus citri) Gejala serangan: Hama menyerang pembungaan. Kuncup bunga dan buah muda yang baru muncul menjadi kering dan gugur karena kutu mengisap pada tangkai bunga dan tangkai buah. Bila buah yang diserang sudah cukup besar, buah tidak gugur tetapi pertumbuhannya terlambat dan berkerut. Bila populasi kutu tinggi, bagian tanaman yang lain seperti daun, tangkai daun dan cabang yang masih hijau juga diserang. Pengelolaan: 1. Memanfaatkan musuh alami seperti predator Scymnus sp, Cryptolaemus sp. 2. Secara mekanis dengan membuang bagian tanaman terserang yang merupakan sumber infeksi, missal pemangkasan. 3. Pengendalian kimiawi dengan menggunakan insektisida sistemik. 2. KAKAO a. Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella) Gejala serangan: Ulat merusak buah kakao dengan cara menggerek buah, memakan kulit buah, daging dan saluran ke biji. Buah yang terserang lebih awal menjadi berwarna kuning, dan jika digoyang tidak berbunyi. Biasanya lebih berat dari yang sehat. Biji-bijinya saling melekat, berwarna kehitaman serta ukuran biji lebih kecil. 97 Pengelolaan: Hama ini dapat dikendalikan dengan sanitasi, pemangkasan, membenam kulit buah, memanen satu minggu sekali, kondomisasi, serta dengan cara hayati/biologi seperti Trichogramma sp, cecopet. b. Kepik Pengisap Buah Kakao (Helopeltis sp) Gejala serangan: Serangan pada buah tua tidak terlalu merugikan, tetapi sebaliknya pada buah muda. Buah muda yang terserang mengering lalu rontok, tetapi jika tumbuh terus, permukaan kulit buah retak dan terjadi perubahan bentuk. Serangan pada buah tua, tampak penuh bercak-bercak cekung berwarna coklat kehitaman, kulitnya mengeras dan retak. Serangan pada pucuk atau ranting menyebabkan pucuk layu dan mati, ranting mengering dan meranggas. Pengelolaan: 1. Pemangkasan 2. Pemanfaatan musuh alami seperti parasitoid Telenomus sp, jamur Beauveria bassiana, pemangsa cecopet, belalang sembah, laba-laba c. Penggerek Batang/Cabang (Zeuzera coffeae) Gejala serangan: Hama merusak bagian batang/cabang dengan cara menggerek menuju xylem batang/cabang. Selanjutnya gerekan membelok ke arah atas. Menyerang tanaman muda. Pada permukaan lubang yang baru digerek sering terdapat campuran kotoran dengan serpihan jaringan. Akibat gerekan ulat, bagian tanaman di atas lubang gerekan akan merana, layu, kering dan mati. Pengelolaan: 1. Membersihkan lubang gerekan dan ulat yang ditemukan dimusnahkan. 2. Secara mekanik dengan memotong batang/cabang terserang 10 cm di bawah lubang gerekan ke arah batang/cabang kemudian ulatnya dimusnahkan. 3. Pemanfaatan jamur Beauveria bassiana. d. Tikus dan tupai Gejala serangan: Buah kakao yang terserang tikus akan berlubang dan akan rusak atau busuk karena kemasukan air hujan dan serangan bakteri dan jamur. Tikus menyerang buah kakao yang masih muda dan memakan biji beserta dagingnya. Tikus menyerang malam hari. Gejala serangan tupai umumnya dijumpai pada buah yang sudah masak karena tupai hanya memakan daging buah, sedangkan bijinya tidak dimakan. Biasanya di bawah buah-buah yang terserang tupai selalu berceceran biji-biji kakao. Jadi tikus benar-benar hama, tetapi tupai tidak karena biji bisa dikumpulkan kembali. Tupai menjadi hama (merugikan) apabila biji-biji tadi tidak dikumpulkan. Pengelolaan: Pengelolaan tikus dilakukan dengan sanitasi, umpan racun 3. KAPAS a. Sundapteryx bigutulla 98 Gejala serangan: Tanda pertama dari serangan hama ini adalah menguningnya ujung daun dan agak mengkerut. Pada tingkat serangan berat, warna daun agak coklat memerah dan pertumbuhannya menjadi kerdil. Pada permukaan bawah daun yang terserang sering terdapat bercak berwarna kuning. Kemudian daun akan mengering dan gugur. Kuncup dan buah muda dapat membuka lebih awal dan gugur. Hama ini menyerang sejak tanaman muda di lapang. Pengelolaan: Pemanfaatan musuh alami kumbang kubah, kepik dan berbagai macam laba-laba. Secara fisik mekanik dengan mengumpulkan hama kemudian mematikannya. b. Penggerek pucuk (Earias vittela) Gejala serangan: Ulat penggerek pucuk memakan pucuk tanaman kapas sehingga menyebabkan kematian. Kuncup bunga dan buah muda akan rontok. Buah besar juga dimakan tetapi tidak menimbulkan kerontokan. Pengelolaan: Memanfaatkan musuh alami seperti Trichogramma sp, Brachymeria sp, Diadegma sp, laba-laba. c. Ulat buah (Helicoverpa armigera) Gejala serangan: Hama ini memakan daun, bunga dan buah kapas. Cara makannya dengan melubangi bagian bawah. Buah yang terserang akan menjadi busuk. Pengelolaan: Memanfaatkan musuh alami Trichogramma sp, Apanteles sp, Encarsia sp. d. Kutu daun (Aphis gossypii) Gejala serangan: Kutu ini memakan daun kapas dari bawah. Daun menggulung, dan tanaman tumbuh kerdil. Ada yang berwarna kuning, hijau dan hitam. Pengelolaan: Kumpulan kutu merupakan makanan paling enak untuk kumbang kubah. 4. TEH a. Tungau Jingga (Tenuipelpus obovatus) Gejala serangan: Hama ini merusak pada musim kemarau. Serangan hama berakibat sedikitnya pucuk teh yang dihasilkan. Serangan yang hebat menyebabkan hamparan teh tampak merata kecoklat-coklatan. Daun muda yang diserang akan gugur, sedangkan daun tua yang dan pada tangkainya berubah menjadi kecoklatan. Pengelolaan: 1. Penggunaan tanaman pelindung yang dapat mengurangi perkembangbiakan hama. 2. Pengelolaan dengan insektisida selektif dan efektif 99 b. Ulat Penggulung Daun Teh (Enarmonia leucastoma) Gejala serangan: Enarmonia memiliki daya lekat yang berasal dari air liurnya pada tepi pucuk daun yang ditempatinya. Karena benang liurnya ditempatkan secara melintang, pucuk daun tersebut seakan-akan terikat sehingga sulit sekali untuk membuka dan ulat ini selanjutnya berada di dalam pucuk tanaman. Hama ini menggerek daun muda dari dalam daun. Terkadang lebih dari sehelai daun muda yang berhasil digereknya selama ulat itu tidak berpindah tempat. Gejala yang tampak jelas adalah pucuk daun teh yang menggulung dalam keadaan rusak di bagian dalamnya, pertumbuhan daun teh selanjutnya menjadi tidak normal. Pengelolaan: Pengelolaan dilakukan secara mekanik yakni dengan pemetikan daun teh yang menggulung dan melakukan sortasi terhadap daun-daun teh sewaktu penimbangan. Semua daun teh terserang dimusnahkan dengan berbagai cara diantaranya pembakaran. c. Ulat penggulung daun melintang (Homona coffearia) Gejala serangan: Ulat melakukan pengrusakan dari dalam daun sehingga daun tampak berkerut dan rusak. Ulat menggulung daun yang tidak terlalu tua sedang cara menggulungnya hampir sama dengan Enarmonia sp, tetapi hanya bagian tepinya saja yang dilekatkan. Pengelolaan: Pengelolaan dilakukan secara mekanik yakni dengan pemetikan daun teh yang menggulung dan melakukan sortasi terhadap daun-daun teh sewaktu penimbangan. Semua daun teh terserang dimusnahkan dengan berbagai cara diantaranya pembakaran. d. Setora nitens Gejala serangan: Biasanya menyerang daun muda dan tua, sehingga tidak mengherankan jika serangan berat dapat mengakibatkan perkebunan teh menjadi gundul. Pengelolaan: Menggunakan musuh alami seperti Cryptus caymorus, Chlorocryptus sp, Corypus javenus, kepik Sycanus sp, Canthecona sp. 5. TEBU a. Penggerek Pucuk Putih (Schirpophaga nivella intacta) Gejala serangan: Bila serangan terjadi pada daun yang belum membuka, maka apabila daun telah membuka akan tampak deretan lubang pada daun yang ditembus larva berwarna coklat. Pada ibu tulang daun yang tergerek tampak lorong gerekan yang berwarna kecoklatan. Serangan pada titik tumbuh mengakibatkan kematian tanaman yang ditandai dengan mengeringnya daun-daun muda yang masih menggulung dan terletak di tengah tajuk yang dikenal sebagai “mati puser”. Daun termuda yang mati mudah dicabut. Pengelolaan: Pemanfaatan musuh alami parasit telur Telenomus sp. b. Penggerek Batang Bergaris Tebu (Chilo sacchariphagus) 100 Gejala serangan: Ulat-ulat muda yang baru menetas hidup di dalam pupus, diantara daun-daun muda yang masih menggulung. Ulat-ulat itu memakan jaringan-jaringan daun. Akibatnya jika daun-daun muda sudah terbuka akan terlihat luka-luka pada daun yang memanjang dan tidak teratur. Ulat yang telah beberapa hari hidup dalam pupus kemudian akan turun melalui sebelah luar pucuk tanaman dan ulat akan menembus masuk ke dalam tanaman lagi melalui ruas tanaman. Bagian luar ruas muda yang digerek akan didapati lubang tepung gerek. Apabila ruas terserang dibelah akan terlihat lorong-lorong gerek lebar serta jalannya sangat tidak teratur. Dalam satu ruas terdapat satu atau lebih ulat. Pengelolaan: Pemanfaatan parasitoid telur Telenomus sp, Trichogramma sp, parasitoid larva Apanteles sp, dan parasitoid pupa Xanthopimpla sp. c. Kutu Bulu Putih (Ceratovacuna lanigera) Gejala serangan: Kutu sewaktu-waktu dapat mengeluarkan cairan yang mengandung gula. Cairan tersebut menetes ke permukaan daun di bawahnya. Tetesan cairan tersebut merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan cendawan jelaga yang berwarna hitam sehingga asimilasi akan terhambat. Serangan yang parah menyebabkan pertumbuhan terhambat serta tanaman menjadi kerdil. Pengelolaan: Pemanfaatan musuh alami Encarsia flavoscutellum. d. Tikus (Bandiota indica, rattus argentiventer) Gejala serangan: Tanaman tebu yang terserang menunjukkan tanda bekas keratan sepotongsepotong pada batang tebu. Pada serangan berat mengakibatkan tanaman patah. Selain itu untuk mengetahui adanya tikus dapat pula dilihat jejak-jejaknya dan adanya lubang aktif dengan tanda khusus. Pengelolaan: 1. Pemasangan umpan beracun 2. Pemanfaatan musuh alami seperti kucing, ular, burung elang. 6. KELAPA a. Kumbang Janur Kelapa (Brontispa longissima) Gejala serangan: Larva dan serangga dewasa hidup di dalam lipatan anak daun pucuk yang belum membuka, Larva menggerigiti dan mengorok kulit anak daun secara memanjang membentuk garis-garis. Akibatnya daun tidak mau membuka atau hanya membuka sedikit. Daun yang terserang mudah menjadi kering serta salah bentuk. Dari jauh, pucuk pohon kelapa yang terserang nampak kisut, keriting dan kering. Hal ini berpengaruh terhadap produksi buah. Tandan yang akan berkurang jumlah buahnya terutama yang berada di ketiak daun yang terserang tersebut. Pengelolaan: 1. Cara mekanis dengan mengerat sedalam-dalamnya pucuk yang terserang hama. 2. Pemanfaatan parasit larva Tetrastichus brontispae. 101 b. Kumbang Nyiur (Oryctes rhinoceros) Gejala serangan: Bekas serangan dapat terlihat dari adanya potongan-potongan yang berbentuk segitiga pada daun kelapa. Bagian yang diserang adalah pucuk pohon dan pangkal daun muda, yaitu jaringan yang mengandung cairan yang kaya gizi. Bila titik tumbuh terserang, pohon kelapa akan mati karena tidak menghasilkan daun lagi. Serangan hama ini dapat mengakibatkan kerusakan sekunder seperti serangan kumbang tanduk kelapa, kumbang sagu dan cendawan. Pengelolaan: 1. Membersihkan semua tempat yang diduga menjadi tempat perkembangbiakan hama. Membakar tanaman yang mati akibat serangan hama. 2. Penggunaan jamur Metarhizium anisopliae c. Kumbang Sagu (Rhynchophorus sp) Gejala serangan: Larva merusak akar, batang dan tajuk tanaman muda. Pada tanaman dewasa hanya tajuknya saja. Apabila menyerang tajuk, gerekan pada pucuk dapat mengakibatkan patah pucuk dan jika larva mencapai titik tumbuh berakibat tanaman tidak dapat menghasilkan daun baru. Dari liang gerekan pada tanaman muda sering keluar lendir merah coklat. Pengelolaan: Serangan hama ini merupakan kelanjutan dari serangan kumbang Oryctes, karena itu serangan Oryctes harus dihindari. Dijaga pula supaya tidak terjadi luka-luka pada pohon kelapa. Secara preventif dengan memotong tanaman yang telah terserang dan mengambil serangga hamanya serta sanitasi kebun. Pemanfaatan parasit larva Scolia erratica dan tungau buas yang menyerang kepompong dalam “kokonnya”. d. Belalang Pedang (Sexava coreacea) Gejala serangan: Serangga muda dan tua memakan daun kelapa dari pinggir, meninggalkan bekas yang tidak rata. Serangan dimulai dari pelepah terbawah. Sebelum daun bagian bawah habis dimakan, mereka pindah ke daun sebelah atas. Serangan berat hanya meninggalkan beberapa pelepah pucuk sedangkan bagian bawah tinggal lidinya saja dan pohon kelapa sama sekali tidak menghasilkan buah selam 1-2 tahun. Pengelolaan: 1. Pengelolaan telur dengan pengolahan tanah, bercocok tanam atau pemberian insektisida ke dalam tanah. 2. Pengelolaan secara hayati dengan memanfaatkan parasit telur Leefmansia bicolor dan Tetrastichus sp. 3. Apabila parasit tidak mampu lagi menekan peningkatn populasi, dapat dilakukan injeksi batang dengan pestisida. e. Artona catoxantha Gejala serangan: Ada tiga tingkat gejala serangan: 102 1. Gejala serangan titik. Ulat muda memakan jaringan anak daun bagian bawah. Bekas yang dimakan menyerupai titik. 2. Gejala serangan bergaris. Ulat muda yang sudah lebih tua mengetam lapisan anak daun bagian bawah setempat-setempat. Bekas ketamannya seperti garis. 3. Gejala serangan pinggir. Ulat yang sudah dewasa memakan helaian anak daun dari pinggir ke tengah, sehingga anak daun itu terpotong tak teratur bagian pinggirnya. Akibat serangan Artona, daun tua tampak kering berwarna merah-coklat seluruhnya dan tinggal hijau segar hanya 2 atau 3 daun di pucuknya saja. Serangan Artona tidak sampai mematikan pohon kelapa. Serangan yang hebat menyebabkan buah termuda gugur, kemudian disusul oleh buah muda yang agak besar, kelapa muda dan akhirnya buah-buah tua. Serangan akan lebih hebat dan lama pengaruhnya saat awal musim kemarau. Pengelolaan: Secara mekanik dengan pemotongan pelepah daun tua pada periode kepompong kemudian dibakar. Beberapa musuh alami yang dapat mengendalikan hama ini Apanteles sp, Neoplecturs bicarinatus, Cadursia leefmansia, Goryphus inferus. Secara kimiawi dilakukan dengan memberikan insektisida sistemik melalui pengeboran batang atau pemotongan akar. Untuk tanaman yang masih rendah dilakukan penyemprotan tajuk. f. Kutu Kapuk Kelapa (Aleurodicus destructor) Gejala serangan: Serangga merusak daun kelapa karena mengisap cairan sel sehingga meninggalkan bekas berupa bercak-bercak kuning. Kutu ini secara berkoloni pada permukaan bawah daun. Permukaan bawah daun dimana ada koloni tampak tertutup oleh benang wol putih. Pengelolaan: Hama ini dapat dikendalikan oleh parasit Tetrastichus sp dan Encarsia sp. Secara kimiawi dapat dilakukan dengan insektisida sistemik melalui suntikan. g. Kutu Perisai (Aspidiotus destructor) Gejala serangan: Hama menyerang dengan cara mengisap jaringan sehingga menimbulkan bercak kuning. Bercak ini jelas nampak dari bagian atas daun, sedangkan serangganya terdapat pada permukaan daun bagian bawah. Disebut serangan ringan apabila anak daun yang bergejala menunjukkan warna kuning emas pada tempat yang diduduki kutu perisai. Bila anak daun yang menunjukkan gejala tersebut dalam jumlah yang besar maka seluruh daun akan mati lebih dini dan warnanya berubah menjadi kelabu dengan sedikit merah jambu. Pada serangan yang sangat berat daun yang berkembang tetap kecil, tidak tegak dan kemudian tajuknya terkulai, akhirnya mati. Pengelolaan: Bila hanya beberapa anak daun yang terserang, cukup dengan membuang anak daun tersebut, bila seluruhnya sebaiknya pelepah dipangkas dan dibakar. Kutu-kutu ini sulit dikendalikan dengan insektisida karena tubuhnya ditutupi oleh lilin padat berbentuk perisai. Penggunaan musuh alami seperti Chilocorus politus sangat efektif mengandalikan kutu perisai. 103 h. Penggerek Bunga Kelapa (Batrachedra arenosella) Gejala serangan: Akibat serangan larvanya yang menggerek seludang mayang untuk memakan bunga jantan dan betina, maka pada bekas liang gerekannya tadi keluar sejenis getah yang berwarna kuning dan dapat dilihat dari bawah. Bunga jantan akan menjadi hitam dan bunga betina mengeluarkan getah. Kerusakan biasanya terjadi pada perbungaan di pangkal mayang. Mayang yang terserang dapat sedikit menghasilkan buah, bahkan bila serangannya berat sama sekali tidak menghasilkan buah. Pengelolaan: Dititikberatkan pada cara hayati dengan menggunakan Chelonus sp. Dapat juga digunakan cara kimiawi dengan pelaburan seludang. i. Tikus Pohon Gejala serangan: Hama tikus hidup di atas pohon dan sering merusak buah-buah kelapa yang masih muda. Akibat serangan tersebut buah muda gugur. Pengelolaan: Karena populasinya umumnya rendah, jarang dilakukan pengendalian secara khusus. Pada umumnya dikendalikan dengan menggunakan senapan angin atau umpan racun. j. Bajing Gejala serangan: Hama menyerang buah kelapa yang tua atau yang daging buahnya telah tebal. Tiap ekor bajing dapat menghabiskan sebutir kelapa pada tiap kali makan. Mereka membuat sarang di atas pohon yang terbuat dari sabut pelepah kelapa atau aren dan daun-daun kering. Pengelolaan: Pada umumnya dilakukan dengan diburu menggunakan senapan angin. B. PASCA PANEN 1. BERAS a. Bubuk beras (Sitophilus sp) Gejala serangan: Larva berada dalam butiran, demikian pula kepompongnya. Serangga dewasa yang muncul dari kepompong akan keluar dari butiran-butiran beras sehingga mengakibatkan butir-butir beras berlubang. Selain itu, komoditas yang terserang menjadi kelihatan kotor karena ekskresinya maupun sisa-sisa kulit larvanya. b. Kupu-kupu beras (Corcyra cephalonica) Gejala serangan: Ulat akan menggandeng-gandeng butir-butir beras dengan benang liurnya. Ulatnya hidup di dalam gendengan beras tersebut dan menggerek dari dalam. 104 2. Biji-bijian a. Kumbang tepung (Tribolium sp) Gejala serangan: Jenis komoditas yang diserang antara lain tepung, kacang tanah, beras, dan kopra. Material yang berbentuk biji-bijian bila diserang akan berlubang-lubang, sedangkan material yang berbentuk tepung akan kelihatan kotor karena ekskresinya maupun sisa-sisa kulit larva. b. Penggerek biji-bijian (Rhyzoperta dominica) Gejala serangan: Jenis komoditas yang diserang antara lain padi-padian, ketela pohon, gaplek, dan jagung. Baik larva maupun dewasa merupakan pemakan yang sangat rakus, kerusakan pada komoditas yang disimpan lebih hebat dibandingkan dengan serangga hama yang lain. Hama ini bertindak sebagai hama primer. Material yang diserang akan berlubanglubang. c. Kumbang padi-padian bergerigi (Oryzeaphilus sp) Gejala serangan: Hama ini merupakan hama sekunder pada material yang utuh tetapi merupakan hama primer pada material yang telah digiling. Beberapa komoditas yang diserang antara lain padi-padian, kopra, beras, dedak, rempah-rempah, dan buah-buahan yang dikeringkan. Material yang terserang akan berlubang. 3. Umbi-umbian a. Cylas formicarius Gejala Serangan: Umbi yang terserang terdapat lubang dan membuat lorong gerekan. Apabila serangan masih baru biasanya dari lubang tersebut keluar sisa gerekan berwarna keputih-putihan. Lama-kelamaan di sekitar lubang menjadi busuk. Apabila umbi tersebut dibelah maka akan tampak lubang-lubang serta jalur-jalur bercabang-cabang. Akibatnya ubi akan terasa pahit. 4. Tembakau a. Lasioderma serricorne Gejala serangan: Hama ini dikenal dengan sebutan “cigarette beetle” karena kumbang ini merupakan hama penting pada simpanan tembakau dan cerutu. Pada awalnya serangga dewasa meletakkan telur di antara bahan (tembakau) dan setelah menetas langsung membuat rongga dan merusak bahan. Komoditas yang terserang akan mengalami kerusakan dengan adanya bekas gerekan larva sehingga akan menurunkan kualitas tembakau atau cerutu. Hama pasca panen lain yang juga sangat membahayakan komoditas di dalam simpanan adalah tikus. Jenis-jenis tikus yang umum ditemukan dan merusak di gudang penyimpanan diantaranya tikus wirok, tikus riul, tikus sawah, tikus rumah, dan mencit rumah. Selain memakan biji-bijian, umbi-umbian dan beberapa jenis buah-buahan, tikus juga 105 memiliki kebiasaan menggigit benda-benda seperti kayu, plastik, dan lain-lain. Tikus aktif pada malam hari. Untuk mengetahui ada tidaknya tikus di gudang dapat dilakukan pemeriksaan kotoran yang biasanya dapat ditemukan di atas lantai gudang, pemeriksaan terhadap kerusakan/bekas serangan tikus, misalnya karung goni yang sobek, komoditas simpanan yang berceceran di lantai. Selain itu juga dapat melihat adanya sarang di dalam atau di luar gudang. Pengelolaan tikus dapat dilakukan dengan Rodent Proofing untuk mencegah keluar masuknya tikus. Eradikasi di dalam gudang dapat dilakukan dengan cara gropyokan (jika memungkinkan) dan fumigasi. Umpan beracun, perangkap, gropyokan dan emposan juga dapat dilakukan di luar gudang. Pengelolaan hama-hama pasca panen: 1. Sanitasi sangat penting dilakukan untuk menghindari munculnya hama pasca panen. Sanitasi dapat meliputi sanitasi gudang, sekitar gudang, dan komoditas. 2. Spraying Spraying bertujuan untuk pencegahan terhadap barang yang disimpan supaya tidak terinfeksi oleh hama dan mengurangi tingkat perkembangan hama serta pencegahan serangan kembali. Spraying dengan insektisida dilakukan pada bangunan gudang, ruangan, permukaan karung, dan dicampur langsung dengan biji-bijian. Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan spraying adalah menghindari terjadinya kontak langsung antar tubuh, kulit dengan insektisida, dosis dan aplikasi harus tepat agar tidak terjadi penumpukan residu, waktu aplikasi tepat, dan dipastikan tidak ada hewan atau manusia di sekitar tempat yang dispraying. 3. Fogging Fogging merupakan salah satu cara yang efektif memberantas serangga yang aktif terbang di dalam ruangan tertutup, seperti gudang. Biasanya menggunakan insektisida yang mudah menguap. 4. Fumigasi Fumigasi merupakan suatu cara Pengelolaan hama menggunakan fumigan. Cara ini tidak dapat dipakai sebagai tindakan preventif karena setelah gas hilang tidak mempunyai efek residu terhadap hama sehingga kemungkinan reinfestasi hama sewaktu-waktu dapat terjadi. Fumigasi lebih bersifat eradikatif. 5. Di gudang tembakau biasanya digunakan lampu perangkap berwarna merah karena hama Lasioderma sp tertarik dengan cahaya merah. Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman Materi 12 KEBIJAKAN PERLINDUNGAN TANAMAN Tujuan: 1. Mempelajari dan memahami latar belakang sejarah perkembangan PHT di Indonesia 2. Mempelajari dan memahami pelaksanaan SLPHT 3. Mempelajari dan memahami penerapan PHT sebagai kebijakan perlindungan tanaman nasional Materi: 106 LANDASAN HUKUM Di Indonesia ada beberapa peraturan perundang-undangan atau landasan hukum yang berkaitan dengan kegiatan Perlindungan Tanaman. Yang dimaksud peraturan perundangundangan di sini meliputi: Undang-Undang (disyahkan oleh DPR dan Pemerintah), Peraturan Pemerintah (disyahkan oleh Pemerintah/Presiden dengan pemberitahuan pada DPR) Keputusan Presiden (Keppres) dan Instruksi Presiden yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Presiden Keputusan Menteri Pertanian dikeluarkan dan ditandatangani oleh Menteri Pertanian Peraturan-peraturan yang tingkatannya di bawah KepmenTan mulai dari Peraturan Direktorat Jenderal sampai Peraturan Daerah tidak akan dibahas. Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur kebijakan dan pelaksanaan perlindungan tanaman yaitu: 1. UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman 2. PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman 3. PP No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida 4. Inpres No. 3 Tahun 1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng Coklat pada Tanaman Padi. 5. KepmenTan No.434.1/Kpts/2001 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida 6. KepmenTan No. 517/Kpts/2002 tentang Pengawasan Pestisida 7. Kpts Bersama Mentan dan Menkes 711/Kpts/1996 tentang Batas Maksimum Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian. Semua kegiatan perlindungan tanaman di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah, petani maupun masyarakat harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan tersebut, termasuk pasal-pasal mengenai Tindakan Pidana yang diberlakukan bagi pihak yang melakukan pelanggaran atau yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. SEJARAH PHT SEBAGAI KEBIJAKAN NASIONAL Dilihat dari sejarah, PHT dalam kebijakan perlindungan tanaman telah lama dibahas dan disarankan oleh para pakar perlindungan tanaman kepada Pemerintah. Sejak tahun 1970 Komisi Perlindungan Tanaman telah mendesak Pemerintah untuk menerapkan PHT dalam setiap program perlindungan tanaman. Namun karena Pemerintah masih asyik melaksanakan program BIMAS dengan Panca Usaha Tani dimana pada usaha ke-4 (Pengendalian Hama dan Penyakit) lebih mengutamakan penggunaan pestisida kimia, maka usulan Komisi Perlindungan Tanaman kurang diperhatikan. Saran para pakar tentang penerapan PHT baru diperhatikan Pemerintah setelah terjadi letusan wereng coklat yang menyerang tanaman padi seluas hampir 1 juta hektar pada tahun 1979-1980. Akhirnya pada tahun 1986 Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 3/1986 yang terdiri atas banyak butir, yang paling penting diantaranya: 1. Pengendalian hama wereng coklat padi dengan prinsip PHT, antara lain dengan penanaman VUTW, tanam serentak, pergiliran tanaman, penggunaan pestisida kimia secara selektif terutama yang berbahan aktif buprofezin (kelompok IGR) 2. Sebanyak 57 formulasi pestisida kimia dinyatakan dilarang digunakan untuk pengendalian hama padi. 107 3. Para petugas lapangan dan petani harus ditingkatkan kemampuannya dalam menerapkan PHT melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan. Sebagai tindak lanjut Inpres 3/1986, dengan bantuan dana internasional yang berasal dari Pemerintah Belanda, Amerika Serikat dan Bank Dunia, sejak tahun 1989 Pemerintah menyelenggarakan kegiatan SLPHT sebagai wahana pelatihan petugas dan petani padi dalam menerapkan dan mengembangkan PHT. Empat Prinsip PHT yang dikembangkan sendiri oleh petugas dan petani dalam SLPHT yaitu: 1. Budidaya Tanaman Sehat 2. Pelestarian dan Pemanfaatan Musuh Alami 3. Pengamatan Mingguan 4. Petani sebagai “Ahli” PHT Sampai akhir tahun 1998 sekitar satu juta petani dan ribuan petugas (PHP dan PPL) telah mengikuti SLPHT. Peranan sivitas akademika UGM dalam persiapan Inpres 3/1986, persiapan dan pelaksanaan program SLPHT di tingkat nasional sangat menonjol, bahkan diakui oleh dunia internasional. Secara politik pelaksanaan SLPHT memberikan tekanan yang kuat pada Pemerintah dan DPR sehingga pada tahun 1992 disyahkan UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Sebagai tindak lanjut UU tersebut, Pemerintah mengeluarkan PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman. PHT MENURUT UNDANG-UNDANG Menurut UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dikatakan bahwa “Perlindungan tanaman adalah segala upaya untuk mencegah kerugian pada budidaya tanaman yang diakibatkan oleh organisme pengganggu tumbuhan”. OPT diartikan sebagai semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan. OPT dapat dikelompokkan dalam kelompok hama, penyakit dan gulma. UU No. 12 pada Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman pasal 20 menyatakan dua hal: (1) Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem Pengendalian Hama Terpadu (Sistem PHT). (2) Pelaksanaan perlindungan tanaman sebagaimana dimaksud ayat (1), menjadi tanggungjawab masyarakat dan Pemerintah. Menurut UU dan PP tersebut yang dimaksud Sistem PHT adalah upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan OPT dengan menggunakan satu atau lebih dari berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan dalam suatu kesatuan, untuk mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup. Dalam sistem ini penggunaan pestisida merupakan alternatif terakhir. Pengendalian OPT bersifat dinamis. TEKNOLOGI PENGENDALIAN TERPADU Sebagai landasan kebijakan perlindungan tanaman, UU tersebut telah menentukan bahwa untuk pengendalian setiap jenis OPT harus dilakukan dengan memadukan berbagai teknik pengendalian hama yang kompatibel. Dalam pemilihan teknologi pengendalian, UU menekankan bahwa penggunaan pestisida kimia sebagai alternatif terakhir. Apabila sampai saat ini ada pejabat, petugas atau mahasiswa yang berpendapat bahwa penggunaan pestisida kimia 108 harus dilaksanakan, berarti bahwa mereka belum mengetahui mengenai kebijakan perlindungan tanaman nasional. Sebagai penjabaran UU No. 12 Tahun 1992, PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman telah merinci mengenai penerapan teknologi pengendalian OPT secara terpadu khususnya pada pasal 8 sampai pasal 16. Pasal-pasal tersebut menekankan pentingnya kegiatan pemantauan dan pengamatan OPT sebelum dilaksanakan tindakan pengendalian (pasal 9). Pasal 10 menguraikan beberapa komponen PHT yang meliputi: a. cara fisik melalui pemanfatan unsur fisika tertentu, b. cara mekanik, melalui penggunaan alat dan atau kemampuan fisik manusia, c. cara budidaya, melalui pengaturan kegiatan bercocok tanam d. cara biologi, melalui pemanfaatan musuh alami OPT e. cara genetik, melalui manipulasi gen baik terhadap OPT maupun tanaman f. cara kimiawi, melalui pemanfaatan pestisida, dan atau g. cara lain sesuai perkembangan teknologi PERLINDUNGAN TANAMAN TANGGUNGJAWAB MASYARAKAT UU menyatakan bahwa teknik pengendalian OPT tidak seragam atau statis tetapi dinamis sesuai dengan keadaan ekosistem lokal. UU juga menyatakan bahwa tujuan PHT bukan membasmi atau memusnahkan hama tetapi mencegah kerugian secara ekonomis, dan lingkungan. Kalau kita ke desa-desa di pulau Jawa apalagi di luar Jawa ada kecenderungan yang memprihatinkan tentang kesadaran dan pengertian masyarakat tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap kegiatan pengendalian OPT serta perbaikan teknologi budidaya di tempatnya masing-masing. Petani cenderung menyerahkan kegiatan pengendalian pada aktivitas petugas Pemerintah khususnya Dinas Pertanian atau Dinas Perkebunan. Petani banyak pasif dan menunggu tindakan pemerintah dalam menanggulangi OPT yang sedang eksplosif. Keadaan ini tidak baik karena kegiatan pengendalian selalu terlambat, menjadi tidak efektif karena populasi hama telah meningkat dan menyebar di daerah yang luas. Dalam kondisi populasi dan serangan OPT yang sedang dalam keadaan eksplosif pengendalian sangat sulit dilakukan. Kegiatan pengendalian yang paling baik harus dilakukan sedini mungkin oleh masyarakat petani sendiri tidak bergantung pada inisiatif pemerintah. Kalau kita baca UU 12/1992 pasal 20 dikatakan bahwa “Pelaksanaan perlindungan tanaman menjadi tanggungjawab masyarakat dan Pemerintah”. UU tersebut menyatakan bahwa pada dasarnya perlindungan tanaman menjadi tanggungjawab masyarakat. Dalam hal-hal tertentu seperti terjadinya eksplosi suatu jenis OPT yang luas, pelaksanaan perlindungan tanaman dilakukan oleh masyarakat bersama Pemerintah. Pemerintah dalam hal ini akan memberikan fasilitasi dalam hal penyediaan teknologi, ketrampilan dan sarana pengendalian di lapangan. Dalam melaksanakan kegiatan pengendalian di lapangan atau pada lahan milik petani sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat petani. Apa sebab petani pasif, acuh tak acuh serta menyerahkan sepenuhnya tindakan pengendalian OPT pada Pemerintah? Penyebab utama karena rendahnya kualitas kesadaran, pengetahuan dan ketrampilan petani dalam melakukan pengelolaan ekosistem pertanian mereka termasuk dalam melakukan pengendalian OPT. Dengan rendahnya kualitas SDM petani kita, mereka tidak mampu mengelola lahan pertaniannya secara produktif dan profesional. Keadaan ini diperparah dengan kepemilikan modal kerja dan tanah garapan yang sangat marginal. Akibatnya hasil, kualitas dan harga produk pertanian dan perkebunan rakyat lebih sering rendah sehingga tidak dapat memberikan penghasilan yang cukup bagi keluarga petani. Kegiatan SLPHT (Sekolah Lapangan PHT) memberikan alternatif yang terbaik untuk meningkatkan kualitas petani dan pekebun sehingga mereka secara mandiri dan aktif dapat 109 mengelola lahan pertanian atau perkebunannya secara profesional dan dapat memanfaatkan sebanyak mungkin sumber daya alam yang ada di sekitarnya sehingga dapat menghasilkan produk yang memiliki kuantitas dan kualitas hasil yang tinggi. Tujuan pelatihan dalam SLPHT tidak hanya untuk penerapan pengendalian hama dengan prinsip dan teknologi PHT tetapi lebih komprehensif yaitu mengelola ekosistem pertanian secara terpadu sehingga diperoleh produksi dan hasil yang menguntungkan petani dengan mempertahankan populasi hama dan OPT pada umumnya pada tingkat yang tidak merugikan hasil. Kegiatan pemberdayaan petani dengan SLPHT sangat berbeda dengan kegiatan penyuluhan pertanian konvensional yang masih sering dilaksanakan oleh para petugas penyuluh lapangan secara rutin yang dikenal dengan kegiatan LAKU (Latihan Kunjungan). Perbedaan utama adalah pada proses pembelajaran. Proses pembelajaran pada penyuluhan konvensional dari atas (petugas penyuluh) ke bawah (petani), tetapi pada SLPHT adalah pembelajaran bersama dari bawah (petani) ke atas (kelompok tani dan masyarakat). Para Pemandu lapangan (PL) di SLPHT tidak berperan sebagai instruktor tetapi sebagai teman belajar dan fasilitator petani peserta SLPHT. PELAKSANAAN SLPHT Sebanyak 20-25 petani dipilih sebagai peserta kelompok SLPHT yang dipandu oleh 2 PL. Program pelatihan dilaksanakan selama satu musim tanam atau sekitar 3 bulan untuk tanaman musiman (padi, kedelai, bawang merah, cabe, kubis, kentang, kapas), dan sekitar 3-4 bulan untuk tanaman tahunan (kopi, kakao, teh, lada, jambu mete). Kelompok tani bertemu setiap minggu sekali pada hari yang ditetapkan kelompok. Mereka belajar tidak di ruang tertutup tetapi langsung di lapangan, pada petak pembelajaran yang dibagi dua sub petak yaitu petak PHT dan petak Kebiasaan Petani sebagai pembanding. Atas bimbingan para PL petani belajar mengamati, mengumpulkan OPT dan musuh alami, melakukan analisis ekosistem serta mengambil keputusan pengelolaan ekosistem sesuai dengan analisis hasil pengamatan. Mereka mempelajari dinamika ekosistem, dinamika hama dan musuh alami serta mengambil keputusan secara berkelompok. Hasil keputusan kelompok segera dilaksanakan di kebun pembelajaran, pembahasan hasil pada minggu berikutnya, dan seterusnya sampai tanaman dipanen. Petani membandingkan hasil yang diperoleh dari petak PHT dengan petak Non PHT yang masih mengandalkan penggunaan pestisida. Pada setiap hari pertemuan SLPHT dari jam 7 pagi sampai 13.00 siang diisi dengan acara: Pengamatan dan pengambilan sampel hama dan musuh alami Analisis Agroekosistem Pengambilan Keputusan Secara Berkelompok Topik Khusus untuk melakukan kajian topik-topik tertentu sesuai kebutuhan kelompok Dinamika Kelompok untuk meningkatkan kekompakan kelompok Dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh tim independen baik terhadap SLPHT Pangan maupun SLPHT Perkebunan diperoleh kesimpulan yang hampir sama yaitu: 1. Produksi petak PHT lebih tinggi 2. Kualitas produk lebih baik sehingga memperoleh penghargaan yang lebih tinggi 3. Penggunaan insektisida dan fungisida sangat menurun 4. Penggunaan pengendalian hayati dengan agens pengendalian hayati meningkat 5. Kemampuan dan kepercayaan diri petani terhadap konsep dan teknologi PHT meningkat 6. Keuntungan usaha petani meningkat. Sayangnya saat ini perhatian Pemerintah terhadap tindak lanjut program pelatihan SLPHT Pangan menurun karena diserahkan kepada pembiayaan Pemerintah Daerah, 110 sedangkan kegiatan SLPHT Perkebunan masih berjalan sampai akhir 2005. Jumlah petani yang telah mengikuti SLPHT masih terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah petani pangan dan perkebunan di Indonesia yang bekisar antara 30-40 juta. KEBIJAKAN TENTANG PENDAFTARAN, PEREDARAN DAN PENGGUNAAN PESTISIDA Pada dasarnya pestisida merupakan bahan kimia yang memiliki risiko bahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan sehingga penggunaannya perlu dilakukan secara hati-hati dengan pengawasan yang ketat. Karena itu setiap negara harus membuat peraturan yang berhubungan dengan pendaftaran, perijinan, peredaran, penggunaan dan pengawasan pestisida. Secara historis sejak tahun 1970 Pemerintah telah menerapkan prosedur pendaftaran dan perijinan pestisida yang mengacu tatacara yang berlaku secara internasional. Pada tahun 1973 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 7/1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, penyimpanan dan penggunaan Pestisida. Pasal 2 PP 7/1973 menyatakan bahwa: 1) Setiap orang atau badan hukum dilarang menggunakan pestisida yang tidak didaftarkan atau memperoleh izin Menteri Pertanian 2) Prosedur permohonan pendaftaran dan izin diatur lebih lanjut oleh Menteri Pertanian 3) Peredaran dan penyimpanan pestisida diatur oleh Menteri Perdagangan atau Menteri Pertanian Pasal 3 1) Izin yang dimaksudkan diberikan sebagai IZIN TETAP, IZIN SEMENTARA atau IZIN PERCOBAAN 2) Izin sementara dan izin percobaan diberikan untuk jangka waktu 1 tahun 3) Izin tetap diberikan untuk jangka waktu 5 tahun, dengan ketentuan bahwa izin tersebut dalam jangka waktu itu dapat ditinjau kembali atau dicabut apabila dianggap perlu karena pengaruh samping yang tidak diinginkan. Meskipun sudah ada UU No. 12 Tahun 1992 dan PP 6 Tahun 1995 yang di dalamnya juga mengandung pengaturan tentang pestisida, namun PP No.7 Tahun 1973 belum dicabut sehingga masih diberlakukan sampai saat ini. Mengenai pengaturan pestisida UU No. 12/1992 menyatakan bahwa: “Pestisida yang akan diedarkan dalam wilayah Negara RI wajib terdaftar, memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya, aman bagi manusia dan lingkungan hidup, serta diberi label” “Pemerintah melakukan pendaftaran dan mengawasi pengadaan, peredaran serta penggunaan pestisida”. “Pemerintah dapat melarang atau membatasi peredaran dan/atau penggunaan pestisida tertentu” Dalam melaksanakan tugas pendaftaran dan pengelolaan pestisida secara nasional, Menteri Pertanian dibantu oleh KOMISI PESTISIDA atau terkenal dengan nama KOMPES. Komisi mempunyai tugas: 1. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri Pertanian sebagai bahan dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan di bidang pestisida. 111 2. Mengkoordinasikan instansi/pihak terkait baik di dalam dan di luar Departemen Pertanian di bidang pestisida kepada Menteri Pertanian, 3. Melakukan evaluasi data/informasi dalam rangka pendaftaran pestisida, 4. Melakukan evaluasi terhadap pestisida yang telah terdaftar dan telah memperoleh izin Menteri Pertanian. Saat ini Komisi Pestisida di bawah koordinasi Dirjen Bina Sarana Pertanian dan anggotaanggotanya dari seluruh jajaran Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan pengelolaan pestisida seperti dari DepKes, Kementerian Lingkungan Hidup, Dep. Tenaga Kerja, dll beserta beberapa pakar pestisida. Untuk melaksanakan tugas ke-3 dan ke-4 Kompes membentuk Tim Pakar Evaluasi Pestisida. Peraturan tentang prosedur perijinan pestisida telah beberapa kali direvisi yang terbaru adalah SK Mentan No. 434.1/Kpts/2001 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pestisida. Pendaftaran pestisida dipersyaratkan dalam bentuk Bahan Teknis dan Bahan Formulasi. Sampai bulan Mei 2004 ini sekitar 1000 formulasi pestisida telah terdaftar untuk pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, pengendalian vektor penyakit manusia, pengendalian rayap, pestisida rumah tangga, fumigasi, pestisida industri, dll. KELEMBAGAAN PERLINDUNGAN TANAMAN Dengan telah diundangkannya UU tentang Otonomi Daerah yaitu UU 22/1999 maka terjadi perubahan struktur, wewenang serta status kepegawaian beberapa lembaga perlindungan tanaman nasional. BPTPH (Balai Proteksi Tanaman dan Hortikultura) Propinsi yang dahulu berada di bawah struktur Departemen Pertanian Pusat sekarang berada di bawah Pemerintah Daerah Propinsi. Kelembagaan Pemerintah Pusat Dalam organisasi Departemen Pertanian, lembaga-lembaga yang tugas dan fungsi khususnya perlindungan tanaman terdapat di 4 Direktorat Jenderal dan 1 (satu) Badan yaitu: 1. Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian yang membawahi Direktorat Pupuk dan Pestisida 2. Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan yang membawahi Direktorat Perlindungan Pangan 3. Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura yang membawahi Direktorat Perlindungan Hortikultura 4. Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan yang membawahi Direktorat Perlindungan Perkebunan 5. Badan Karantina Pertanian yang membawahi Karantina Tumbuhan Dalam struktur organisasi Pemerintah Pusat dan Daerah dikenal lembaga dengan status dan fungsi pelaksanaan aspek-aspek teknis tertentu yang disebut Unit Pelaksana Teknis (UPT). UPT Perlindungan Tanaman yang dibentuk Pemerintah Pusat cukup banyak baik yang berada di Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat Perlindungan Hortikultura dan Direktorat Perlindungan Perkebunan. Sebagian besar UPT di bawah Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Ditlin Hortikultura sudah diserahkan ke daerah sehingga berubah statusnya menjadi UPT Pemerintah Daerah. Dua unit kerja yang termasuk UPT Ditlin Pangan adalah Sentra Peramalan Jasad Pengganggu Tanaman Pangan di Jatisari Cikampek, dan Laboratorium Analisis Pestisida di Pasar Minggu Jakarta. Sedangkan UPT Direktorat Perlindungan Perkebunan sampai tahun ini masih belum diserahkan ke Daerah. UPT Ditlin Perkebunan adalah BPTP (Balai Proteksi Tanaman Perkebunan) di Medan, Bandung, Jombang dan Ambon, dan beberapa Laboratorium 112 (Lab. Lapangan/LL, Laboratorium Utama Pengendalian Vertebtara/LUV, dan Laboratorium Analisis Pestisida/LAP). Hayati/LUPH, Lab Utama Perlindungan Tanaman di Organsiasi Pemerintah Propinsi Sebagai konsekuensi kebijakan otonomi daerah struktur organisasi Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten sangat beragam, tergantung pada kebijakan dan program kerja daerah yang bersangkutan. Sampai tahun 2003 Indonesia memiliki 33 propinsi, 273 kabupaten, dan 63 kotamadya yang mempunyai struktur organisasi yang sangat beragam. Hal ini termasuk mengenai keberadaan, kedudukan, dan letak lembaga yang berwewenang dalam mengelola perlindungan tanaman. Operasionalisasi kegiatan pengkajian dan pengendalian OPT di tingkat daerah dilakukan oleh BPTPH Propinsi sebagai UPT Daerah. BPTPH di lapangan mempunyai beberapa laboratorium perlindungan tanaman seperti BPTPH DIY memiliki laboratorium di Bantul. Karena itu pada struktur organisasi Dinas-dinas yang ditetapkan oleh SK Kepala Daerah seringkali posisi perlindungan tanaman tidak ada terutama di Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan/atau Hortikultura. Di Dinas Perkebunan seperti di Jawa Tengah dan DIY bagian perlindungan tanaman masih tampak kadangkala sebagai eselon II (Sub Dinas Perlindungan Tanaman) atau sebagai eselon III (Seksi Perlindungan Tanaman). LAMPIRAN I AMBANG EKONOMI BERBAGAI JENIS HAMA PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN 1. Padi No. 1. Jenis hama Rattus argentiventer Sampel pengamatan - 30 rumpun pada masa vegetatif. - 20 rumpun pada 113 Ambang ekonomi Persentase tanaman terpotong >5% 2. 3. 4. Nilaparvata lugens Sogatella furcifera Nephotettix virescens, N. malayanus, dan N. nigropictus 5. - 4. Scirpophaga incertulas S. innotata Chilo supressalis C. polychrysus Sesamia inferens Mythimma separata Spodoptera litura S. exemta S. mauritia pemasakan bulir 20 rumpun / petak 20 rumpun / petak 20 rumpun / petak 20 rumpun / petak 20 rumpun / petak 5. Cnapalocrosis medinalis 20 rumpun / petak 6. Nymphula depunctalis 20 rumpun / petak 7. 8. Leptocoryza acuta Orseolia oryzae 20 rumpun / petak 20 rumpun / petak 1 nimfa / tunas 1 nimfa dewasa / tunas a. Ada tungro : 1 nimfa dewasa / tunas b. Tidak ada tungro : 5 nimfa / tunas a. Tanam – malai berisi : 2 kel. telur / 20 rumpun b. Malai berisi – akhir pembungaan : 1 kel. telur / 20 rumpun a. Pesemaian : kerusakan daun sebesar 50 % b. Tanam – pembentukan malai : kerusakan daun sebesar 25 % c. Pembentukan malai – masak : kerusakan daun sebesar 15 % a. Fase vegetatif : kerusakan daun sebesar 20 % b. Sebelum pembentukan malai–pembentukan bunga: kerusakan daun 5 % a. Semai – tanam : kerusakan daun sebesar 50 % b. Tanam – anakan terbentuk : kerusakan daun sebesar 25 % 10 nimfa 2 telur/rumpun 2. Kedelai No. 1. Jenis hama Spodoptera litura Sample pengamatan 114 Ambang ekonomi a. Umur tan. (31 – 50 hst) : 3 ekor larva instar 3 / rumpun dan 4 kel. telur / 100 rumpun b. Umur tan. (51 – 70 hst) : 6 ekor larva instar 3 / 2. Chrysodeixis chalcites 10 rumpun/ petak 3. Phaedonia inclusa 10 rumpun / petak 4. Nezara viridula 10 rumpun 115 rumpun dan 7 kel. telur / 100 rumpun c. Kerusakan daun 12,5 % atau populasi ulat 10 larva / 20 rumpun (Balittan Malang) a. Fase vegetatif (11-30 hst): - 200 larva instar 1 - 120 larva instar 2 - 20 larva instar 3 - kerusakan daun sebesar 25 % b. Umur tan. (31-50 hst): - 200 larva instar 1 - 120 larva instar 2 - 30 larva instar 3 - kerusakan daun sebesar 12,5 % c. Umur tan. (51 – 70 hst): - 200 larva instar 1 - 120 larva instar 2 - 50 larva instar 3 - kerusakan daun sebesar 12,5 % d. Populasi ulat 15 larva / 20 rumpun (Balittan Malang) a. Fase tanam- 10 hst : 1 imago b. Fase vegetatif : 1 imago c. Sebelum 45 hst : kerusakan sebesar > 2 % / 20 rumpun acak d. Umur tanaman 45 hst, ditemukan serangan sebesar 2 % (Balittan Malang) a. Umur tan (31 – 50 hst): - 1 pasang kepik hijau - 1 pasang kepik coklat b. Umur tan. (51 –70 hst) : - 1 pasang - kerusakan polong > 2,5 % c. Umur tan 71 hst – panen : 1 pasang d. Umur 45- 50 hst, bila ditemukan 3 ekor kepik / 5 tanaman atau 5 Piezodorus hybneri a. b. c. d. 6 Riptortus linearis a. Umur tan (31 – 50 hst): - 1 pasang kepik hijau - 1 pasang kepik coklat 7. Etiella zinckenella 10 rumpun / petak 8. Ophiomyia phaseoli 30 rumpun / petak 9. - Lamprosema indicata - Plusia chalcites (Agromyza) kerusakan polong 2% (Balittan Malang) Umur tan (31 – 50 hst): - 1 pasang kepik hijau - 1 pasang kepik coklat Umur tan. (51 –70 hst) : - 1 pasang - kerusakan polong > 2,5 % Umur tan 71 hst – panen : 1 pasang Umur 45- 50 hst, bila ditemukan 3 ekor kepik / 5 tanaman atau kerusakan polong 2% (Balittan Malang) 10 rumpun / petak 116 b. Umur tan. (51 –70 hst) : - 1 pasang - kerusakan polong > 2,5 % c. Umur tan 71 hst – panen : 1 pasang d. Umur 45- 50 hst, bila ditemukan 1 ekor kepik / 4 tanaman atau kerusakan polong 2% (Balittan Malang) a. Pertumbuhan polong (51 – 70hst) : 1 pasang atau 1 ekor dan polong terserang > 2,5 % b. Umur tanaman 45 hst , bila terdapat serangan ratarata 2 % (Balittan Malang) a. Umur tan. (tanam – 10 hst) : 2 ekor atau 2,5 % tanaman terserang b. Umur tan. Sebelum 10 hst : kerusakan > 2 % c. Terdapat serangan 2 % atau adanya 1 ekor lalat / 5m baris tanaman (Balittan Malang, 1991) a. vegetatif (11-30 hst) : kerusakan daun sebesar 25 % atau ditemukan 30 larva 10. Melanogromyza sojae 10 rumpun / petak 11. Spodoptera litura 12 rumpun / petak b. Umur tan. (31-50 hst) : kerusakan daun sebesar 12,5 % c. Umur tan (51 – 70 hst) : kerusakan daun sebesar 12,5 % d. Terdapat kerusakan daun sebesar 12,5 % atau ditemukan 15 ulat (Balittan malang,1991) a. Umur tanaman kurang dari 10 hari kerusakan sebesar >2% b. Umur tanaman 0-30 hst : terdapat serangan > 2 % a. 58 larva instar 1 b. 32 larva instar 2 c. 17 larva instar 3 (Ditlin) d. 4 larva / 12 rumpun yang berdekatan e. Terdapat kerusakan daun sebesar 12,5 % atau 15 larva / 20 rumpun (Balittan Malang, 1991) Lampiran 2 Daftar tumbuhan di Indonesia yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati No 1 Nama Spesies Achalypha indica Nama Umum Indian nettle Nama Daerah Rumput bolong 117 Bagian yang digunakan Daun, kulit 2 Acarus columus 3 Allium cepa 4 Allium sativum 5 Andropogon nordus 6 Annona muricata 7 Annona reticulata 8 Annona squamosa 9 Azadirachta indica Bischo Bischofia javanica 10 11 Chrysantemum sp. 12 Cinnamomum burmanii 13 Citrus aurantium 14 Citrus hystrix Cocos nucifera 15 16 Coleus sp. 17 Coriandum sativum Croton triglium 18 19 Crynura sp. 20 Cucumis sativus Cucurbita moschata 21 22 Cymbopogon sp. 23 Dahlia sp. 24 Derris elliptica 25 Derris malaccensis 26 Eclipta alba 27 Eugenia syzigium 28 Eunymus japonicus 29 Eupatorium triplinerpe Ficus carca 30 31 Geranium sp. 32 Hedera nodosa 33 Impatiens sultani 34 Ipomea batatas Lonchocarpus nicou 35 36 Lycopercicum sp. 37 Mammea Americana 38 Mundulae suberosa 39 Nerium oleander 40 Nicotiana tabaccum 41 Oxalis deppei 42 Pachyrrhyzus erosus Pangium edulo 43 44 Pelargonium sp. 45 Peperomia sp. 46 Piper nigrum 47 Pogostemon cablin 48 Punica granatum Ricinus communis 49 50 Rosa sp. 51 Sepindus rarak Red onion Garlic Citronella Custard apple Sugar apple Neem tree Chrysant Cinnamon leaf Sour orange Lemon Coconut Cucumber Lemon grass Frenchmarigold Clove Spindle tree Delinggo Bawang merah Bawang putih Serai wangi Sirsak Buah nina Srikaya, delima Nimba Glintungan Piretrum Kayu manis Jeruk Jeruk purut Kelapa Daun jinten Ketumbar Kamalakian Beluntas Cina Mentimun Labu besar Serai dapur Dahlia Tuba Tuba laut Urang aring Cengkeh Kumbang Ayapana Fong tree Zingiber balsam Batate, patate Daun ambrei Pepaya hutan Pacar air Ubi jalar Timbo, neku Leunca, komir Mamey Common oleander Tobacco Lucky clover Chinesse yan Geranium Black pepper Cublin Ponegranate Costa bean Mundula Oleander, jure Tembakau Celincing Bengkuang Kapayang Keranyam Saladaan Lada Nilam Delima Jarak, kaliki Mawar Rerek, lerek 118 Daun Daun Daun Daun Daun, biji Kulit, buah Akar, buah Seluruh bagian Daun Bunga Daun, kulit, buah Daun Daun, kulit, buah Daging Daun Biji Biji Daun Daun Daun, biji Daun Daun Akar Akar Akar, tangkai Daun, bunga Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Akar Seluruh bagian Akar, ubi, kulit Kulit, akar, batang Akar, kulit, batang Daun Daun Seluruh bagian Dahan, daun Daun, batang Daun Biji Daun Daun Biji Daun Daun 52 53 54 Solanum tuberosum Tephorisa vogelii Zingiber officinale Iris potato Vogel teprosia Ginger Kentang Jahe Daun Daun, biji Rimpang Sumber : DirJen Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian 119