HUBUNGAN STATUS EKONOMI DAN TINGKAT PENGETAHUAN

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HUBUNGAN STATUS EKONOMI DAN TINGKAT
PENGETAHUAN TB DENGAN KETERLAMBATAN PASIEN
DALAM DIAGNOSIS KASUS TB PARU
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
CAESARIA SARAH SELLECA
G0009042
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul : Hubungan Status Ekonomi dan Tingkat Pengetahuan TB
dengan Keterlambatan Pasien dalam Diagnosis Kasus TB Paru
Caesaria Sarah Selleca, NIM: G0009042, Tahun: 2012
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari Rabu, Tanggal 31 Oktober 2012
Pembimbing Utama
Nama : Yusup Subagio Sutanto, dr., Sp. P (K)
NIP : 19570315 198312 1 002
………………………..
Pembimbing Pendamping
Nama : Dr. Reviono, dr., Sp. P (K)
NIP : 19651030 200312 1 001
………………………..
Penguji Utama
Nama : Ana Rima Setijadi, dr., Sp. P
NIP : 19620502 198901 2 001
………………………..
Penguji Pendamping
Nama : Slamet Riyadi, dr., M. Kes
NIP : 19600418 199208 1 001
………………………..
Surakarta, ……………………..
Ketua Tim Skripsi
Muthmainah, dr., M.Kes
NIP 19660702 199802 2 001
Dekan FK UNS
Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp-PD-KR-FINASIM
NIP 19510601 197903 1 002
commitii to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 31 Oktober 2012
Caesaria Sarah Selleca
NIM. G0009042
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Caesaria Sarah Selleca. G0009042. 2012. Hubungan Status Ekonomi dan
Tingkat Pengetahuan TB dengan Keterlambatan Pasien dalam Diagnosis Kasus
TB Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Latar Belakang: Pada saat ini keterlambatan pengobatan TB masih sering terjadi.
Faktor status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB mempengaruhi seseorang
dalam usaha pemenuhan kesehatannya, sehingga jika tidak terpenuhi dapat
menyebabkan keterlambatan diagnosis akibat keterlambatan pasien dalam hal ini
pada kasus TB paru. Penelitian ini berguna untuk mengetahui adanya faktor risiko
status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB terhadap terjadinya keterlambatan
pasien.
Subjek dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik
dengan pendekatan cross-sectional Penelitian ini diadakan bulan Mei-Agustus
2012 di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Total 60
subjek, sampel diambil dengan metode consecutive sampling. Penderita TB paru
kasus baru di BBKPM Surakarta diminta untuk menjawab kuesioner tentang
keterlambatan, status ekonomi (pendapatan) dan tingkat pengetahuan TB. Data
dianalisis dengan menggunakan metode analisis regresi linier ganda (multivariat).
Hasil Penelitian: Dari total 60 sampel, diperoleh sampel dengan status ekonomi
rendah berjumlah 31 orang dan sampel berstatus ekonomi tinggi berjumlah 29
orang. Sampel dengan pengetahuan TB tinggi sebanyak 34 orang dan sampel
dengan pengetahuan TB rendah sebanyak 26 orang. Sampel yang mengalami
keterlambatan jumlahnya 38 orang dan yang tidak mengalami keterlambatan
berjumlah 22 orang. Status ekonomi (pendapatan) berpengaruh terhadap
terjadinya keterlambatan pasien. Pasien dengan pendapatan rendah rata-rata
berkunjung untuk pertama kali ke fasilitas kesehatan 165,68 hari lebih lambat
dibandingkan pasien dengan pendapatan tinggi (b : 165,68 ; CI 95% -33,21 s/d
364,56, p = 0,101). Tingkat pengetahuan TB berpengaruh terhadap terjadinya
keterlambatan pasien. Pasien dengan tingkat pengetahuan TB rendah rata-rata
berkunjung untuk pertama kali ke fasilitas kesehatan 128,84 hari lebih lambat
dibandingkan pasien dengan tingkat pengetahuan TB tinggi (b : 128,84 ; CI 95% 71,73 s/d 329,40, p = 0,204).
Simpulan Penelitian: Ada hubungan antara status ekonomi dan tingkat
pengetahuan TB dengan keterlambatan pasien namun hasilnya tidak signifikan
secara statistik.
Kata Kunci: status ekonomi, tingkat pengetahuan TB, keterlambatan pasien
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Caesaria Sarah Selleca. G0009042. 2012. The Relations of Economic Status and
Level of Knowledge of TB Patients with Delay in Cases of Pulmonary
Tuberculosis at Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta.
Mini Thesis. Faculty of Medicine, Sebelas Maret University Surakarta.
Background: At this time of TB treatment delays are still common. Factor of
economic status and level of knowledge of TB affecting the health of someone in
a business meeting, so that if not met could lead to delays in diagnosis due to the
delay in this case the patient with pulmonary tuberculosis. This study is useful to
know the risk factors of economic status and level of knowledge of the occurrence
of TB patient delay.
Subject and Method: This study was an observasional analytic cross-sectional
study approach (cross-sectional) are held May to August 2012 in Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Total of 60 subjects sampled by
consecutive sampling method. New cases of pulmonary TB patients in Surakarta
BBKPM asked to answer a questionnaire about the delay, economic status
(income) and the level of knowledge of TB. Data were analyzed using multiple
linear regression analysis method (multivariate).
Results: The total 60 samples, obtained samples with low economic status
amounted to 31 people and a sample of high economic status amounted to 29
people. Samples with high TB knowledge as many as 34 people and samples with
low TB knowledge as many as 26 people. Samples were late number 38 and who
do not experience delays totaling 22 people. Economic status (income) effect on
patient delays. Patients with lower incomes on average visit for the first time to a
health facility 165.68 days slower than those with higher incomes (b: 165.68; 95%
CI -33.21 s / d 364.56, p = 0.101) . TB affects the level of knowledge in a delay of
the patient. Patients with a low level of TB knowledge the average visit for the
first time to a health facility 128.84 days slower than patients with high levels of
TB knowledge (b: 128.84; 95% CI -71.73 s / d 329.40, p = 0.204).
Conclusions: There is a relationship between economic status and level of
knowledge of TB patients with a delay, but the results were not statistically
significant.
Keywords: economic status, level of knowledge of TB, the patient delays
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PRAKATA
Alhamdulillahhirabbil’aalamin, puja dan puji penulis haturkan atas
kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Hubungan Status Ekonomi dan
Tingkat Pengetahuan TB dengan Keterlambatan Pasien dalam Diagnosis Kasus
TB Paru. Penelitian tugas karya akhir ini merupakan salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa penelitian tugas karya akhir ini tidak akan
berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai p ihak, oleh karena itu dengan penuh
rasa hormat ucapan terima kasih yang dalam saya berikan kepada:
1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Yusup Subagio Sutanto, dr., Sp.P (K) selaku Pembimbing Utama yang telah
menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.
3. Dr. Reviono, dr, Sp.P (K) selaku Pembimbing Pendamping yang tak hentihentinya bersedia meluangkan waktu untuk membimbing hingga
terselesainya skripsi ini.
4. Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P selaku Penguji Utama yang telah memberikan
banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
5. Slamet Riyadi, dr., M.Kes selaku Penguji Pendamping yang telah
memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
6. Nur Hafida Hikmayani, dr., MClinEpid dan Muthmainah, dr., M.Kes selaku
Tim Skripsi FK UNS, atas kepercayaan, bimbingan, koreksi dan perhatian
yang sangat besar sehingga terselesainya skripsi ini.
7. Keluarga besar Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta,
Ibu Uud, Ibu Heni, Ibu Herlina, Ibu Sur yang telah banyak membantu saya
dalam melakukan penelitian.
8. Orang tua tercinta, Ayahanda H. Abbi Yusuf dan Ibunda Natalia Nanik
Heryani, serta adik terganteng Relanfa Farando, dan seluruh keluarga besar
yang senantiasa mendoakan tanpa henti, juga memberikan support dalam
segala hal hingga terselesaikannya penelitian in i.
9. Sahabat-sahabat tersayang, Elsa, Isfalia, Tiara, Lilis, Asri, Mamet, Catur,
Aggil, teman-teman kelompok 11 dan angkatan 2009 atas doanya, semangat
dan bantuan yang tak kunjung henti serta waktu yang selalu tersedia.
10. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses
penelitian tugas karya akhir ini yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu.
Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak
sangat diharapkan.
Surakarta, 31 Oktober 2012
Caesaria Sarah Selleca
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
PRAKATA .....................................................................................................................
vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .........................................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................
xii
BAB I. PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
A. Latar Belakang .........................................................................................
1
B. Perumusan Masalah .................................................................................
2
C. Tujuan Penelitian .....................................................................................
3
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................
3
BAB II. LANDASAN TEORI .....................................................................................
4
A. Tinjauan Pustaka ...................................... .............................................
4
1. Tuberkulosis ...................................... ..............................................
4
a. Defin isi ............................................ ..........................................
4
b. Cara Penularan ................. ...................................................... …
4
c. Patofisio logi ....................... ........................................................
4
d. Gejala......................................... ................................................
8
e. Penemuan Pasien TB ........................................ ........................
10
f. Diagnosis ……………………………………………….……..
11
g. Klasifikasi Penderita TB ………...........................................
h. Pengobatan TB ……………………………………………… .
commit to user
vii
12
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
i. Komplikasi ……………………………………………………
15
2. Keterlambatan Pasien ……………………………………………..
15
3. Status Ekonomi .................................................................................
19
4. Tingkat Pengetahuan TB …………………………………………
22
B. Kerangka Pemikiran ...............................................................................
25
C. Hipotesis ..................................................................................................
26
BAB III. METODE PENELITIAN ..............................................................................
27
A. Rancangan Penelitian .............................................................................
27
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................
27
C. Subjek Penelitian ....................................................................................
27
D. Teknik Sampling .....................................................................................
27
E. Besar Sampel ..........................................................................................
27
F.
Rancangan Penelitian .............................................................................
29
G. Identifikasi Variabel Penelitian .............................................................
29
H. Defin isi Operasional Variabel Penelitian ............................................
30
I.
Sumber Data ...........................................................................................
32
J.
Instumental Penelitian ............................................................................
32
K. Cara Kerja ………………………………………….............................
32
L. Teknik Analisis Data Statistik ………………………………………..
33
BAB IV. HASIL PENELITIAN ...................................................................................
34
A. Hasil Penelitian .......................................................................................
34
B. Hasil Uji Analisis Regresi Lin ier Ganda ..............................................
39
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V. PEMBAHASAN ...........................................................................................
41
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ..........................................................................
44
A. Simpulan .................................................................................................
44
B. Saran ........................................................................................................
44
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ........................................
34
Tabel 4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Umur ......................................................
34
Tabel 4.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...............................
35
Tabel 4.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Waktu Tempuh ke UPK (BBKPM) .....
35
Tabel 4.5 Distribusi Sampel Berdasarkan Kepercayaan terhadap UPK (BBKPM).. 36
Tabel 4.6 Distribusi Waktu Diagnosis dan Skor Tingkat Pengetahuan …………..
36
Tabel 4.7 Sampel Berdasarkan Status Ekonomi .......................................................
37
Tabel 4.8 Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pengetahuan TB …………….. 37
Tabel 4.9 Distribusi Sampel Berdasarkan Keterlambatan Pasien ………………... 38
Tabel 4.10 Analisis Bivariat tentang Hubungan Status Ekonomi dengan
Keterlambatan Pasien dalam Diagnosis Kasus TB Paru ……………....
38
Tabel 4.11 Analisis Bivariat tentang Hubungan Tingkat Pengetahuan TB dan
Keterlambatan Pasien ………………………………………………….. 39
Tabel 4.12 Hasil Uji Analisis Regresi Linier Ganda tentang Hubungan Status
Ekonomi dan Tingkat Pengetahuan TB dengan Keterlambatan Pasien
dalam Diagnosis Kasus TB Paru ………………………………………. 40
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ..................................................................................
25
Gambar 2. Rancangan Penelitian ………………………………………………. ....
29
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran
Lampiran 2. Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian
Lampiran 3. Informed Consent
Lampiran 4. Kuesioner Keterlambatan, Status Ekonomi dan Tingkat Pengetahuan TB
Lampiran 5. Data Mentah Hasil Penelitian
Lampiran 6. Analisis Data
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setelah sekian lama hampir 10 tahun Indonesia menempati peringkat
ke-3 dengan banyaknya jumlah penderita TB (Tuberkulosis), pada tahun
2009 World Health Organization (WHO) mencatat bahwa Indonesia telah
berhasil turun peringkat menjadi peringkat ke lima setelah India, Cina,
Afrika Selatan dan Nigeria dengan jumlah penderita TB 429 ribu orang
(WHO, 2010). WHO memperkirakan pada tahun 2006 terdapat 9,24 juta
penderita TB di seluruh dunia, pada tahun 2007 jumlah penderita naik
menjadi 9,27 juta jiwa dan hingga tahun 2009 angka penderita TB menjadi
9,4 juta jiwa.
Pada tahun 2010, angka insidensi semua tipe TB di Indonesia yaitu
450.000 kasus atau 189 per 100.000 penduduk, angka prevalensi semua
tipe TB, 690.000 atau 289 per 100.000 penduduk dan angka kematian
akibat TB, 64.000 atau 27 per 100.000 penduduk atau 175 orang per hari
(WHO, 2011).
Terlepas dari itu permasalahan dalam pengendalian TB masih sangat
besar karena Indonesia masih berkontribusi 5,8% dari kasus TB di dunia.
Masih ada sekitar 430.000 pasien baru per tahun dan angka kematian
sebesar 64.000 per tahun atau 27/100.000 penduduk dan hal ini masih
menjadi tantangan yang besar dalam masalah kesehatan di Indonesia.
(Kemenkes RI, 2011).
Status ekonomi merupakan tingkatan kekayaan seseorang dalam
hubungan dengan masyarakat di sekelilingnya (Poerwadarminta, 2002).
Status ekonomi sering berkaitan dengan pendapatan keluarga, dengan
pendapatan yang baik maka pemenuhan kebutuhan hidup dan kesehatan
akan lebih terjamin. Keadaan sosial ekonomi juga berkaitan erat dengan
pendidikan, sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
kesehatan. Masyarakat yang mempunyai pendapatan rendah cenderung
sangat takut dengan biaya berobat karena alasan tidak mempunyai uang
yang cukup dan mahalnya obat yang harus dibeli (Anderson, 1974).
Pengetahuan berasal dari kata dasar “tahu”. Tingkat pengetahuan
seseorang dipengaruhi kebudayaan, informasi, pendidikan, pengalaman,
usia, pekerjaan dan pendapatan. Masyarakat yang mempunyai kesadaran
tinggi akan lebih mau menerima masukan dan informasi tentang hal baru
terutama dalam masalah kesehatan, sehingga dirinya mampu berperilaku
atau cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dalam hal ini
pemenuhan kesehatan sehingga tidak akan menunda-nunda. Orang yang
lebih peka atau lebih paham terhadap munculnya gejala penyakit maka
cenderung akan lebih cepat dalam mencari bantuan pertolongan dan
mendapatkan pengobatan dengan cepat pula (dikutip dari Hidayati, 2003).
Kedua hal tersebut mempengaruhi sesorang dalam usaha pemenuhan
akan
kesehatannya,
sehingga
jika
tidak
terpenuhi
maka
dapat
menyebabkan keterlambatan diagnosis akibat keterlambatan pasien dalam
hal ini pada kasus TB paru. Jika terjadi keterlambatan diagnosis TB paru
maka akan semakin memperburuk penyakit dan dapat menimbulkan
komplikasi antara lain batuk darah, pneumotoraks, kolaps paru, dan
sebagainya. Kasus TB dengan komplikasi dapat meningkatkan risiko
kematian, selain itu dengan adanya keterlambatan diagnosis juga akan
memperpanjang transmisi infeksi di komunitas (Depkes RI, 2006).
Dari uraian tersebut maka peneliti ingin melakukan penelitian
mengenai hubungan status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB dengan
keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB paru.
B. Perumusan Masalah
Adakah hubungan antara status ekonomi dan tingkat pengetahuan
TB dengan keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB paru?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
C. Tujuan Penelitian
Untuk
mengetahui hubungan
status
ekonomi dan
tingkat
pengetahuan TB dengan keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB
paru.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritik:
Memberikan informasi tentang adanya hubungan antara status
ekonomi dan tingkat pengetahuan TB dengan keterlambatan pasien
dalam diagnosis kasus TB paru.
2. Manfaat Aplikatif:
Penelitian ini diharapkan dapat membantu program pemerintah
untuk semakin
mensukseskan program
pemberantasan
TB di
Indonesia, serta dapat memberikan data masukkan kepada Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Tuberkulosis
a. Definisi
Tuberkulosis
merupakan
penyakit
menular
yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian
besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai
organ tubuh lainnya (Werdhani, 2006).
b. Cara Penularan
Sumber penularannya adalah pasien TB BTA positif, pada
waktu batuk atau bersin, pasien dapat menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk
dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Penularan
terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu
yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan
gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh
banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi
derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular
pasien tersebut. Konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut memungkinkan seseorang terpajan
kuman TB (Depkes RI, 2007).
c. Patofisiologi
1) Tuberkulosis primer
Bila kuman ini terhisap oleh orang sehat, maka kuman akan
menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer
(Amin, 2006). Basil tuberkel yang mencapai permukaan
alveolus biasanya diinhalasi sebagai salah satu unit yang
terdiri dari satu sampai tiga basil. Gumpalan basil yang lebih
besar cenderung lebih tertahan di saluran hidung dan cabang
besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah
berada di ruang alveolus, biasanya bagian bawah lobus atas
paru atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini
membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear
tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun
tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari
pertama, leukosit digantikan oleh makrofag. Alveoli yang
terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul pneumonia
akut (Price, 2006).
Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya
sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat
berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak
di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening dan
menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi lebih panjang dan sebagian bersatu
sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi
oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10-20
hari (Price, 2006).
Bila kuman menetap dalam jaringan paru, kuman akan
berkembang biak dalam sitoplasama makrofag. Dari sini
kuman dapat menuju organ-ogan lainnya. Sarang tuberkulosis
primer disebut fokus ghon yang dapat terjadi di setiap jaringan
paru dan kalau menjalar sampai ke pleura maka terjadilah
efusi pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran
gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring dan kulit, terjadi
limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal dan
tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi
penjalaran ke seluruh jaringan paru menjadi TB millier (Amin,
2006).
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah
bening menuju hillus (limfangitis fokal) dan juga diikuti
pembesaran
kelenjar
getah
bening hillus
(limfadenitis
regional). Sarang primer limfangitis fokal + limfadenitis
regional = kompleks primer (Ranke). Semua proses ini
memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya
dapat menjadi:
a) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
b) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garisgaris fibrotik, kalsifikasi d i hilus, keadaan ini terdapat
pada pneumonia yang luasnya > 5mm dan 10% di
antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang
dormant.
c) Berkomplikasi dan menyebar secara:
(1) Perkontinuitatum (ke sekitarnya)
(2) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan atau
pun pada paru di sebelahnya. Kuman juga dapat
tertelan
bersama
sputum
dan
ludah
sehingga
menyebar ke usus.
(3) Secara limfogen ke organ-organ lainnya.
(4) Secara hematogen ke organ-organ tubuh lainnya
(Amin, 2006).
2) Tuberkulosis pasca-primer (sekunder)
Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul
bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB
dewasa. Mayoritas reinfeksi menjadi 90% TB sekunder terjadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
karena
imunitas
menurun
seperti
malnutrisi,
alkohol,
keganasan, diabetes, AIDS dan gagal ginjal. TB pasca-primer
dimulai dengan sarang din i yang berlokasi terutama di region
atas paru (segmen apical-posterior lobus superior atau lobus
inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak
ke lobus hiler paru. Sarang dini mula-mula tampak seperti
sarang pneumonia kecil dan dalam 3-10 minggu sarang ini
berubah menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri
dari sel-sel histiosit dan sel datia langhans (Amin, 2006).
Tuberkulosis pasca-primer dapat menjadi:
a) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan
cacat.
b) Sarang yang mula-mula meluas tetapi segera menyembuh
dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus
diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini
yang
meluas
sebagai
granuloma
berkembang
menghancurkan jaringan ikat di sekitarnya dan bagian
tengahnya
mengalami
nekrosis
menjadi
lembek
membentuk jaringan tipis, lama-lama dindingnya menebal
karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar
sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya
perkejuan dan kavitas adalah akibat hidrolisis protein lipid
dan asam nukleat oleh enzim yang d iproduksi oleh
makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan
TNF-nya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah
cryptic disseminate TB yang terjad i pada imunodefisiensi
dan usia lanjut (Amin, 2006). Kavitas dapat mengalami:
(1) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia
baru. Bila isi kavitas masuk ke dalam pembuluh darah
arteri maka akan terjadi TB millier.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
(2) Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan
menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan
menjadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas
adalah kolonisasi oleh jamur (contohnya Aspergillus)
sehingga membentuk misetoma.
(3) Menyembuh dan bersih. Kadang berakhir sebagai
kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk
sebagai bintang (stellate shape).
Secara keseluruhan terdapat 3 macam sarang:
(a) Sarang yang sudah sembuh (tidak perlu pengobatan).
(b) Sarang aktif eksudatif (perlu pengobatan lengkap dan
sempurna).
(c) Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang
ini dapat sembuh spontan, tapi mengingat risiko
terjadi
eksaserbasi,
maka
sebaiknya
diberikan
pengobatan sempurna.
d. Gejala
Gejala klinik TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu
gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah
paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (PDPI, 2002).
1)
Gejala respiratorik
a) Batuk 2-3 minggu
b) Batuk darah
Batuk terjadi karena ada iritasi pada bronkus. Batuk
ini diperlukan untuk membuang keluar produk-produk
radang. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit
tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam paru yakni setelah berminggu-minggu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
atau berbulan-bulan sejak awal peradangan (Herryanto,
2004).
Sifat batuk dimulai dari batuk kering (nonproduktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut
adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh
darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada
tuberkulosis terjadi pada kavitas, tapi dapat juga terjadi
pada ulkus dinding bronkus (Amin, 2006).
Gejala TB yang sangat umum ialah batuk produktif
yang tak henti-henti dan terkadang batuk disertai darah
(hemoptisis), seringkali disertai gejala sistemik seperti
demam, keringat malam dan penurunan badan. Batuk
selama 2-3 minggu tidak spesifik, namun batuk yang
berlangsung selama itu secara tradisional digunakan
sebagai kriteria dugaan TB (TBCTA, 2009).
c) Sesak napas
Jika sakit masih ringan, sesak napas masih belum
dirasakan. Sesak napas ditemukan pada penyakit yang
sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah
bagian paru (Amin, 2006).
d) Nyeri dada
Hal ini jarang ditemukan. Nyeri dada dapat timbul
bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik atau melepaskan napasnya
(Amin, 2006).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
2)
Gejala sistemik
a) Demam
Biasanya subfebril seperti demam influenza, tapi
kadang panas badan dapat mencapai 40-41oC. Serangan
demam pertama dapat sembuh sementara tapi kemudian
dapat timbul kembali. Hal ini terjadi terus-menerus
sehingga pasien merasa tidak pernah bebas dari serangan
demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh
daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi
Mycobacterium Tuberculosis yang masuk (Amin, 2006).
b) Malaise
Gejala malaise yang sering ditemukan adalah
berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan semakin
kurus, berat badan menurun, sakit kepala, meriang, nyeri
otot dan keringat malam. Gejala ini semakin lama
semakin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak
teratur.
3)
Gejala TB ekstra paru
Tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat
dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis
tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang
nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan
(PDPI, 2002).
e. Penemuan pasien TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek,
diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Suspek
TB sendiri pengertiannya adalah setiap orang yang datang dengan
gejala atau tanda TB. Penemuan pasien merupakan langkah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan
dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan
dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan
TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan
penularan TB yang paling efektif di masyarakat.
Strategi penemuan
1) Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi
aktif. Penjaringan
tersangka pasien
dilakukan
di unit
pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara
aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk
meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.
2) Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka
yang BTA positif dan pada keluarga, anak yang menderita TB
yang menunjukkan gejala sama harus diperiksa dahaknya.
3) Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak
cost efektif (Depkes RI, 2007).
f. Diagnosis
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu
2 hari, yaitu Sewaktu - Pagi - Sewaktu (SPS).
S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa
sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.
P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua,
segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri
kepada petugas di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK).
S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
Peran
biakan
dan
identifikasi
M.tuberculosis
pada
penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan.
Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman
serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam
beberapa situasi:
1) Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
2) Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak
3) Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan
ganda.
Tes
resistensi
tersebut
hanya
dapat
dilakukan
di
laboratorium yang mampu melaksanakan biakan, identifikasi
kuman serta tes resistensi sesuai standar internasional, dan telah
mendapatkan pemantapan
mutu
(Quality Assurance)
oleh
laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil
pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar sehinggga
kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat dicegah.
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional,
penemuan
BTA
melalui
pemeriksaan
dahak
mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan
mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjad i overdiagnosis. Gambaran
kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit (Depkes RI, 2007).
g. Klasifikasi penderita TB
Klasifikasi
berdasarkan
mikroskopis, yaitu pada TB Paru :
1) Tuberkulosis paru BTA positif
commit to user
hasil
pemeriksaan
dahak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS
hasilnya BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto
toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan
kuman TB positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya
hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
a) Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA
positif.
b) Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
(1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
negatif
(2) Foto
toraks
abnormal
menunjukkan
gambaran
tuberkulosis
(3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non
OAT
(4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan
Klasifikasi
pasien
berdasarkan
riwayat
pengobatan
sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4
minggu).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
b. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
c. Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan
atau lebih dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan.
e. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki
register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas.
Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien
dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan.
Catatan: TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga
mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus
kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara
patologik,
bakteriologik
(b iakan),
radiologik,
dan
pertimbangan medis spesialistik (Depkes RI, 2007).
h. Pengobatan TB
Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa
jenis
antara
lain,
isoniazid,
rifampicin.
pyrazinamide,
streptomycin dan ethambutol, obat tersebut diberikan dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan. Pengobatan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan Pada
tahap intensif, pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
pengobatan tahap intensif diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
dalam waktu 2 bulan. Pada tahap lanjutan, pasien mendapat jenis
obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
Tahap lanjutan ini penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes RI, 2007).
i. Komplikasi
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi,
baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun
setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungkin
timbul adalah :
1) Batuk darah
2) Pneumotoraks
3) Luluh paru
4) Gagal napas
5) Gagal jantung
6) Efusi pleura
(PDPI, 2006).
2. Keterlambatan Pasien
Tingkah laku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan
bukanlah tingkah laku yang acak tapi tingkah laku yang selektif,
terencana dan berpola dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan
bagian integral dari budaya yang bersangkutan (Foster & Anderson,
1998). Kecepatan pencarian bantuan dalam masalah kesehatan pun
akan semakin cepat jika jarak waktu yang dibutuhkan untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
memutuskan bahwa dirinya dalam kondisi tidak sehat itu cepat. Hal
ini perlu ditunjang dengan pengetahuan tentang konsep sehat-sakit.
Pengetahuan kapan dikatakan sakit dan kapan dikatakan sehat dalam
hal ini adalah kasus TB (Smet, 1994). Ada beberapa perilaku
kesehatan menurut Becker (1979), yaitu:
a. Perilaku sehat (heatlh behavior), dalam pengertian yang luas
perilaku sehat meliputi semua perilaku yang berhubungan dengan
menjaga atau mempertahankan dan meningkatkan status sehat.
b. Perilaku sakit (illness behavior) merupakan semua tindakan dan
kegiatan
yang
dilakukan
seseorang
untuk
merasakan,
mendefinisikan, mengintepretasikan gangguan kesehatan yang
dirasakannya termasuk juga kemampuan atau pengetahuan
individu untuk mengidentifikasi penyakit dan penyebabnya serta
upaya pencegahannya.
c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) merupakan segala
tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang yang sedang
sakit
untuk
memperoleh
kesembuhannya.
Perilaku
ini
berpengaruh terhadap sehat dan sakitnya diri-sendiri, orang lain
juga lingkungan.
Kasus TB yang luput dan keterlambatan diagnosis dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas serta penyebaran penyakit
yang semakin luas. Penelitian menunjukkan bahwa 58-63% kasus
BTA negatif pada periode follow up -58 bulan dapat berkembang
menjadi BTA positif. Pasien dengan BTA negatif dan mendapat
pengobatan pencegahan TB dapat menghambat perkembangan
reaktivasinya sebesar 90% dibanding dengan yang tidak mendapat
pengobatan (Greenaway, 2002).
Interval waktu antara timbulnya gejala pertama kali sampai
datangnya penderita ke fasilitas kesehatan pertama kali disebut
dengan keterlambatan pasien (patient’s delay) (Hidayati, 2003).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
Secara garis besar faktor risiko keterlambatan pasien seperti yang
dikemukakan Anderson (1974), antara lain:
a.
Faktor predisposisi
Merupakan faktor yang mendahului terjadinya perilaku
yang memberikan alasan dan motivasi untuk berperilaku. Faktor
tersebut antara lain demografi (umur dan jenis kelamin), sosial
(pendidikan,
pekerjaan,
suku/ras),
manfaat
kesehatan
(kepercayaan/keyakinan terhadap pelayanan kesehatan). Bila
dalam masyarakat mempunyai kepercayaan yang salah tentang
penyakit maka dapat menghambat dalam proses pencarian
bantuan kesehatan atau membawa berobat kepada orang yang
tidak profesional. Selain itu, masyarakat yang mempunyai
kesadaran tinggi akan lebih mau menerima masukan dan
informasi tentang hal baru terutama dalam masalah kesehatan,
sehingga dirinya mampu berperilaku atau cepat menyesuaikan
diri dengan lingkungannya. Begitu juga dalam mencari bantuan
kesehatan, dirinya akan membawa berobat diri/anggota keluarga
yang sakit tanpa menunda-nunda.
b.
Faktor pendukung
Merupakan
faktor
yang
mendahului
perilaku
yang
menunjang motivasi atau aspirasi dapat terwujud. Faktor tersebut
antara lain ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber
daya untuk menunjang perilaku kesehatan termasuk biaya
pengobatan. Status ekonomi berkaitan dengan pendapatan
keluarga, dengan pendapatan yang baik maka pemenuhan
kebutuhan hidup dan kesehatan akan lebih terjamin. Biaya
kesehatan pun telah dipersiapkan. Sedangkan masyarakat yang
mempunyai pendapatan rendah, masyarakat tersebut sangat takut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
pada biaya berobat karena alasan tidak mempunyai uang yang
cukup dan mahalnya obat yang harus dibeli.
c.
Faktor kebutuhan
Merupakan faktor yang mendorong perilaku kesehatan
karena adanya kebutuhan yang disebabkan antara lain adanya
persepsi yang serius mengenai gejala atau penyakit yang
dialaminya. Bila gejala tidak terlalu dirasakan, orang tersebut
tidak akan mencari pengobatan sampai penyakitnya bertambah
parah. Sebaliknya jika orang yang lebih peka atau lebih paham
terhadap munculnya gejala akan lebih cepat dalam mencari
bantuan pertolongan dan mendapatkan pengobatan dengan cepat
pula (dikutip dari Hidayati, 2003).
Terdapat beberapa cara dan kriteria dalam menentukan batas
keterlambatan diagnosis TB atau pengkategorisasian variabel terikat,
antara lain :
a. Berdasarkan
cut
off point
median
atau
rata-rata
waktu
keterlambatan. Dikatakan terlambat jika waktu keterlambatan di
atas median atau rata-rata (Demissie, Rajeswari).
b. Tetap berdasarkan data kontinyu (Pronyk, Leinhard, Long,
Sherman) dan analisa menggunakan cox regresi.
c. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa
kontak yang terekspos penderita TB aktif sering kali menunjukkan
gejala infeksi setelah 2 bulan terekspos. Sehingga keterlambatan
yang bermakna secara klinis didefinisikam sebagai periode lebih
dari 60 hari dari gejala TB pertama kali timbul sampai pertama
kali berkunjung ke dokter (Asch, 1988).
d. Berdasarkan Lonnroth (1999): Long patient delay: jika lebih dari
4 minggu; long provider delay: jika lebih dari 4 minggu; long
total delay: jika mulai dari gejala pertama hingga diagnosis lebih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
dari 8 minggu. Kriteria ini sesuai dengan WHO yaitu, dalam
program pemberantasan TB sangat didambakan agar paling
lambat 2 bulan setelah penderita merasakan gejala maka diagnosis
TB dapat ditegakkan (Hidayati, 2003).
Berdasarkan penelitian kelambatan diagnosis oleh Reviono
tahun 2008, kelambatan pasien merupakan penyumbang terbanyak
dari kelambatan diagnosis total. Hal itu disebabkan oleh terdapatnya
kasus dengan kelambatan pasien yang cukup panjang meskipun tidak
terjadi kelambatan fasilitas kesehatan akan tetapi secara total waktu
diagnosis melampaui median diagnosis total seh ingga masuk dalam
kelompok kelambatan diagnosis total. Pada penelitian Reviono
disebutkan bahwa kelambatan pasien reratanya yaitu 24,33 hari dan
mediannya 21 hari sedangkan untuk diagnosis total adalah reratanya
40,42 hari dan mediannya 35 hari. Penelitian tersebut menggunakan
cut off point median waktu yang digunakan oleh subjek penelitian
untuk menentukan kelambatan.
Faktor
risiko
keterlambatan
pelayanan
kesehatan
pada
penelitian-penelitian agak berbeda dengan teori perilaku di mana
semua faktor berfokus pada pasien sehingga jika dikaitkan dengan
teori perilaku maka faktor keterlambatan pelayanan kesehatan hanya
merupakan faktor pendorong petugas kesehatan untuk berperilaku
mendiagnosis TB (Hidayati, 2003)
3. Status Ekonomi
Menurut kamus bahasa Indonesia, pengertian status adalah
tingkatan atau kedudukan seseorang dalam hubungan dengan
masyarakat di sekelilingnya, sedangkan pengertian ekonomi adalah
ilmu mengenai azas-azas produksi dan pemakaian barang-barang serta
kekayaan, sehingga pengertian status ekonomi adalah tingkatan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
kekayaan
seseorang dalam
hubungan
dengan
masyarakat di
sekelilingnya (Poerwadarminta, 2002).
Status ekonomi kemungkinan besar merupakan pembentuk gaya
hidup keluarga. Faktor-faktor yang mempengaruhi status sosial
ekonomi adalah:
a. Pendidikan
Pendidikan
berarti
bimbingan
yang
diberikan
oleh
seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah
suatu cita-cita
tertentu.
Makin
tinggi tingkat
pendidikan
seseorang, maka makin mudah dalam memperoleh pekerjaan
sehingga semakin banyak juga penghasilan yang diperoleh.
Sebaliknya,
pendidikan
yang
kurang
akan
menghambat
perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru
dikenal.
b. Pekerjaan
Pekerjaan adalah simbol status seseorang di masyarakat.
Pekerjaan merupakan jembatan untuk memperoleh uang dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup dan untuk mendapatkan
tempat pelayanan kesehatan yang diinginkan.
c. Keadaan ekonomi
Kondisi ekonomi keluarga yang rendah berkaitan dengan
status gizi yang buruk.
d. Latar belakang budaya
Culture Universal adalah suatu kebudayaan yang bersifat
universal, ada di dalam semua kebudayaan dunia, seperti
pengetahuan bahasa dan khasanah dasar, cara pergaulan sosial,
adat istiadat dan penilaian umum. Tanpa disadari, kebudayaan
telah menanamkan garis pengaruh sikap terhadap berbagai
masalah.
Kebudayaan
telah
mewarnai
sikap
anggota
masyarakatnya karena kebudayaan pulalah yang member corak
pengalaman
individu-individu
commit to user
menjadi
anggota
kelompok
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
masyarakat asuhannya. Hanya kepercayaan individu yang telah
mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan
dalam pembentukan sikap individual.
e. Pendapatan
Pendapatan adalah hasil yang diperoleh dari kerja atau
usaha yang dilakukan. Pendapatan akan mempengaruhi gaya
hidup seseorang. Orang atau keluarga yang mempunyai status
ekonomi atau pendapatan tinggi akan mempraktikan gaya hidup
mewah atau konsumtif karena orang tersebut mampu untuk
membeli semua yang dibutuhkan bila dibandingkan dengan
keluarga yang status ekonominya rendah (Indrawati, 2009).
Upah minimum Provinsi Jawa Tengah untuk tahun 2012 adalah
Rp 991.500,00. Berdasarkan Susenas 2009, pengeluaran rata-rata
perkapita sebulan penduduk Jawa Tengah tahun 2008 tercatat sebesar
409,33 ribu rupiah. Besarnya pendapatan yang diterima rumah tangga
dapat menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat.
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan,
sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan.
Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan
untuk memenuhi konsumsi makanan sehingga berpengaruh terhadap
status gizi. Apabila status gizi buruk akan menyebabkan kekebalan
tubuh menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB paru.
Pada penelitian Reviono tahun 2008 dikatakan bahwa variabel
pendapatan pasien tidak ada hubungannya dengan keterlambatan
namun hal itu disebabkan besaran Upah Minimum Regional (UMR)
pada sat itu bukan batasan yang tepat untuk menilai pendapatan orang
tersebut cukup atau kurang. Selain itu, penelitian Ohmori mengatakan
bahwa diagnosis TB dipengaruhi oleh sistem
pembiayaan kesehatan.
commit to user
asuransi atau
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
4. Tingkat Pengetahuan
Kata pengetahuan berasal dari kata dasar “tahu”, biasanya
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek.
Penginderaan terjadi melalu panca indera manusia, tetapi pengetahuan
manusia
lebih
banyak
didapat
melalui
mata
dan
telinga
(Notoadmodjo, 2003). Komponen pengetahuan, antara lain:
a. Tahu
Pengetahuan berkenan dengan bahan yang dipelajari
sebelumnya disebut juga istilah recal (mengingat lagi) namun apa
yang telah diketahui hanya sekedar informasi yang diingat saja.
Oleh sebab itu, ini merupakan tongkat pengetahuan yang rendah.
b. Pemahaman
Adalah kemampuan mengetahui arti sesuatu bahan yang
telah dipakai dipelajari seperti menafsirkan. Menjelaskan dan
meringkas tentang sesuatu kemampuan. Ini lebih tinggi dari
pengetahuan.
c. Penerapan
Adalah kemampuan menggunakan suatu bahan yang telah
dipelajari dalam sesuatu yang baru atau konkrit.
d. Analisis
Adalah suatu komponen untuk menjabarkan materi atau
suatu bahan obyek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di
dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya sama
lain.
e. Sintesa
Kemampuan untuk menghimpun bagian dalam keseluruhan
seperti merugikan tema rencana atau melihat hubungan abstrak
dan sebagian fakta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
f. Evaluasi
Adalah
pengetahuan
berkenan
dengan
untuk membantu
kemampuan
penelitian
menggunakan
terhadap
sesuatu
berdasarkan maksud atau kriteria tertentu (Notoadmodjo, 2003).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan:
a. Faktor eksternal
1) Kebudayaan
Kebudayaan
dimana
seseorang
hidup
dibesarkan
mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikapnya.
Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk selalu
menjaga kebersihan lingkungan
maka sangat mungkin
masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga
kebersihan lingkungan maka sangatlah mungkin berpengaruh
dalam pembentukan sikap pribadi seseorang (Saifuddin,
2009).
2) Informasi
Informasi adalah keseluruhan makna dapat diartikan
sebagai pemberitahuan sesering adanya informasi baru bagi
terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestis
dibawa oleh informasi tersebut pendidikan ini biasanya
digunakan.
b. Faktor internal
1) Pendidikan
Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh pelindung dan
bantuan yang diberikan kepada anak yang tertuju pada
kedewasaan. GBHN Indonesia mengidentifikasi lain bahwa
pendidikan dari dalam dan dari luar sekolah dan berlangsung
seumur hidup (Notoadmodjo, 2003).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
2) Pengalaman
Pengalaman terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut
terjadi dalam situasi yang melibatkan emosi penghayatan.
Pengalaman akan lebih mendalam dan lama membekas
(Saifuddin, 2009).
3) Usia
Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari
segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang telah dewasa
akan lebih dipercaya daripada seseorang yang belum cukup
tinggi kedewasaanya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman
dan kematangan jiwanya.
4) Pekerjaan
Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari
nafkah atau pencaharian. Masyarakat yang sibuk dengan
kegiatan atau pekerjaan sehari-hari akan mempunyai waktu
yang lebih sedikit untuk memperoleh informasi.
5) Pendapatan
Pendapatan merupakan sesuatu yang didapatkan dan
pendapatan erat sekali dengan status kesehatan.
6) Informasi
Informasi yang diperoleh dari berbagai sumber akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Bila seseorang
memperoleh banyak informasi maka dirinya cenderung
mempunyai pengetahuan lebih luas.
Penelitian Reviono menunjukkan bahwa pada pasien yang tahu
mengenai
TB
jumlah
kelambatan
pasiennya
lebih
sedikit
dibandingkan dengan yang tidak tahu. Penelitian oleh Golub tahun
2005 juga mencatat bahwa pasien yang tahu gejala TB dan kemana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
harus pergi berobat ternyata lebih sedikit terjadi kelambatan
dibanding yang tidak tahu secara bermakna.
B. Kerangka Pemikiran
Gejala pertama
suspek TB
Jenis kelamin
(batuk berdahak)
Umur
Pendidikan
Waktu tempuh ke UPK
Mengunjungi
fasilitas kesehatan
Status ekonomi
Diagnosis TB
Tingkat
pengetahuan TB
Keterlambatan
diagnosis
Keterlambatan
pasien
Pasien
terlambat
Kepercayaan
terhadap UPK
Keterlambatan
fasilitas kesehatan
Pasien tidak
terlambat
Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Yang mempengaruhi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
C. Hipotesis
Ada hubungan antara status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB
dengan keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB paru.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
pendekatan cross-sectional (Taufiqqurahman, 2008).
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
(BBKPM) Surakarta.
C. Subjek Penelitian
1. Populasi
Pasien TB paru yang baru pertama kali mengunjungi BBKPM
Surakarta untuk berobat.
2. Sampel
Kriterianya sebagai berikut:
a. Kriteria inklusi :
1) Usia antara 24-44 tahun
2) Pasien TB paru kasus baru
b. Kriteria eksklusi:
Tidak bersedia mengikuti penelitian
D. Teknik Sampling
Pengambilan
sampel dilakukan
dengan
teknik
consecutive
sampling, di mana setiap penderita TB yang termasuk dalam kriteria
inklusi dimasukkan dalam penelitian
E. Besar Sampel
Rumus untuk menghitung besar sampel rancangan cross sectional adalah:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
n=
Keterangan:
n
: jumlah sampel
p
: perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti atau
paparan pada populasi
q
: 1-p
: nilai statistik Z pada kurva normal standar pada
d
: presisi absolute yang dikehendaki pada kedua sisi
proporsi populasi, misalnya +/- 5%
Sehingga perhitungannya adalah:
n=
n = 280 orang
Pada penelitian ini d ibutuhkan sampel 280 orang, namun dikarenakan
keterbatasan waktu maka rumus perhitungan sampel yang digunakan
adalah dengan menggunakan rumus multivariat, yaitu:
n = (15-20) x variabel independen
Dalam penelitian in i terdapat 3 variabel independen. Jadi, besar sampel
yang digunakan adalah (15-20) x 3 = 45- 60 orang (Murti, 2006).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
F. Rancangan Penelitian
Berikut merupakan jalannya penelitian pada bulan Mei 2012:
Populasi Pasien TB paru
kasus baru di BBKPM
Surakarta
Sampel Sesuai Kriteria
Inklusi dan Eksklusi
Kuesioner keterlambatan
pasien
Pasien
terlambat
Pasien tidak
terlambat
Kuesioner status
ekonomi dan
tingkat
pengetahuan TB
Analisis Data dan
Simpulan
Gambar 2. Rancangan Penelitian
G. Identifikasi Variabel Peneltian
1. Variabel bebas
: status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB
2. Variabel terikat
: keterlambatan pasien
3. Variabel perancu
: jenis kelamin, umur, pendidikan, waktu tempuh
ke
Unit
Pelayanan
Kesehatan
kepercayaan terhadap UPK
commit to user
(UPK),
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
H. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Status ekonomi (pendapatan)
Defin isi :
Tingkatan kekayaan seseorang dalam hubungan dengan masyarakat di
sekelilingnya. Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan
pendidikan, sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan
kesehatan (Poerwadarminta, 2002).
a. Alat ukur :
Menggunakan batasan Upah Minimum Regional (UMR) Jawa
Tengah saat ini yang sudah sesuai dengan Kebutuhan Hidup
Layak (KHL), yaitu Rp 991.500,b. Cara pengukuran :
Sampel dengan pendapatan di bawah UMR tergolong tidak
mampu dan sampel dengan pendapatan di atas UMR tergolong
mampu.
c. Skala pengukuran :
Kontinyu. Dalam analisis data skala kontinyu diubah menjadi
dikotomi (Dikelompokkan menjadi mampu dan tidak mampu).
2. Tingkat pengetahuan TB
a. Defin isi :
Kemampuan menjawab pertanyaan tentang penyakit TB
b. Alat Ukur :
Kuesioner yang diambil dari tesis Nurma Hidayati tahun 2003
dengan
judul “Faktor Risiko
yang
Berhubungan dengan
Keterlambatan Diagnosis Tuberkulosis Paru di Kecamatan
Ciracas Jakarta Timur”.
c. Cara pengukuran :
Membuat skor dan pembobotan dari 7 pertanyaan. Nilai skor tiap
butir pertanyaan minimal 1 dan maksimal 3. Total skor dihitung
dengan menjumlahkan skor seluruh pertanyaan. Pengetahuan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
tinggi jika nilai skor
uan rendah jika nilai <
median.
d. Skala pengukuran :
Kontinyu. Dalam analisis data, skala kontinyu diubah menjadi
dikotomi (pengetahuan tinggi dan rendah).
3. Keterlambatan pasien
a. Defin isi :
Interval waktu antara timbulnya gejala pertama kali sampai
datangnya penderita ke fasilitas kesehatan pertama kali (Hidayati,
2003).
b. Alat ukur :
Kuesioner berupa pertanyaan yang diambil dari tesis Nurma
Hidayati pada tahun 2003 dengan judul “Faktor Risiko yang
Berhubungan dengan Keterlambatan Diagnosis Tuberkulosis Paru
di Kecamatan Ciracas Jakarta Timur”.
c. Cara pengukuran :
Berdasarkan
cut
off point
median
atau
rata-rata
waktu
keterlambatan (Hidayati, 2003). Cut off point median digunakan
jika data yang didapatkan berdistribusi tidak normal, sedangkan
cut off point mean digunakan jika data yang didapatkan
berdistribusi normal (Murti, 2006).
d. Skala pengukuran
:
Kontinyu
4. Variabel perancu:
a.
Jenis kelamin
Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah laki-laki dan
perempuan namun jumlah tiap kelompok diseimbangkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
b. Umur
TB leb ih banyak menyerang individu pada usia produktif. Pada
penelitian digunakan subjek 24-44 tahun.
c. Pendidikan
Pada penelitian ini pengelompokan tingkat pendidikan pada
masing-masing kelompok diseimbangkan jumlahnya.
d. Waktu tempuh ke UPK
Pada penelitian ini waktu tempuh pasien ke UPK diseimbangkan
jumlahnya antara yang kurang dari 30 menit dengan yang lebih
dari 30 menit.
e. Kepercayaan terhadap UPK
Peneliti melakukan penelitian di BBKPM sehingga subjek
penelitian
dianggap
sudah percaya terhadap
UPK
yang
didatanginya yaitu BBKPM.
I. Sumber Data
Data yang diambil adalah data primer dari kuesioner yang diisi oleh
pasien TB paru pada bulan Mei-Agustus 2012.
J. Instrumental Penelitian
1. Informed Consent
2. Kuesioner
K. Cara Kerja
1. Melakukan wawancara pada pasien yang sudah terdiagnosis TB
a. Wawancara data diri (nama, umur, jenis kelamin, alamat, dan
pekerjaan)
b. Menjelaskan maksud, tujuan, prosedur, dan mendapat persetujuan
keikutsertaan dalam penelitian dengan penandatanganan informed
consent
c. Wawancara berdasarkan kuesioner keterlambatan pasien
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
d. Wawancara berdasarkan kuesioner status ekonomi
e. Wawancara berdasarkan kuesioner tingkat pengetahuan TB
2. Melakukan perhitungan analisis data.
L. Teknik Analisis Data Statistik
Hubungan antara status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB
dengan keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB paru dianalisis
dengan menggunakan metode analisis regresi linier ganda (multivariat).
Secara sistematis, model regresi linier ganda dinyatakan dalam persamaan
berikut:
Y = a +b1X1+b2X2
Keterangan:
Y
= variabel terikat
a
= konstanta
b 1, b 2
= Koefisien regresi variabel independen
X1
= Status ekonomi (0 = tidak mampu ; 1 = mampu)
X2
= Tingkat pengetahuan TB (0 = rendah ; 1 = Tinggi)
Hubungan status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB dengan
keterlambatan pasien dalam diagnosis TB paru ditunjukkan oleh koefisien
regresi b. Signifikansi statistik dari koefisien regresi b diuji dengan uji t,
hasilnya ditunjukkan oleh nilai p (Murti, 2006).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah pasien TB kasus baru di
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Penelitian telah
dilakukan pada tanggal 24 Mei sampai dengan 25 Agustus 2012. Pada
penelitian ini didapatkan 68 pasien sebagai sampel. Dari total sampel yang
didapat yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 60 pasien dan sebanyak 8
pasien tergolong dalam kriteria eksklusi. Sebanyak 60 pasien yang memenuhi
kriteria inklusi tersebut seluruhnya digunakan sebagai subjek penelitian.
Tabel 4.1. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin (N = 60)
No
Jenis Kelamin
Jumlah (n)
Persentase (%)
1.
Laki-laki
31
51,67
2.
Perempuan
29
48,33
Total
60
100
Sumber : Data Primer Agustus 2012
Berdasarkan Tabel 4.1 terdapat perbedaan distribusi sampel di mana
jumlah sampel laki-laki lebih banyak daripada jumlah sampel perempuan,
yaitu laki-laki berjumlah 31 orang sedangkan perempuan berjumlah 29 orang.
Tabel 4.2. Distribusi sampel berdasarkan umur (N = 60)
No
Umur (tahun)
Jumlah (n)
Persentase (%)
1
24-44
41
68,33
2
45-65
19
31,67
Total
60
100
Sumber : Data Primer Agustus 2012
Berdasarkan Tabel 4.2 terdapat perbedaan distribusi sampel di mana
jumlah sampel berumur 24-44 tahun lebih banyak daripada jumlah sampel
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
berumur 45-65, yaitu jumlah pasien yang berumur 24-44 tahun adalah 41
orang dan jumlah pasien yang berumur 45-65 tahun adalah 19 orang.
Tabel 4.3. Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan (N = 60)
No
1
Tingkat Pendidikan
< SMA
2
Total
Jumlah (n)
Persentase (%)
31
51,67
29
48,33
60
100
Sumber : Data Primer Agustus 2012
Berdasarkan Tabel 4.3 terdapat perbedaan distribusi sampel di mana
jumlah sampel dengan tingkat pendidikan kurang dari SMA lebih banyak
yaitu berjumlah 31 orang, sedangkan sampel dengan tingkat pendidikan lebih
dari sama dengan SMA berjumlah 29 orang.
Tabel 4.4. Distribusi sampel berdasarkan waktu tempuh ke UPK
(BBKPM) (N = 60)
No
Waktu Tempuh ke
Jumlah (n)
Persentase (%)
30
50
>30 menit
30
50
Total
60
100
UPK
1
2
Sumber : Data Primer Agustus 2012
Berdasarkan Tabel 4.4 distribusi sampel antara sampel dengan waktu
tempuh ke UPK kurang dari 30 menit dengan sampel yang waktu tempuh ke
UPK lebih dari 30 menit jumlahnya sama yaitu 30 orang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
Tabel 4.5. Distribusi sampel berdasarkan kepercayaan terhadap UPK
(BBKPM) (N = 60)
No
Kepercayaan terhadap
Jumlah (n)
Persentase (%)
UPK (BBKPM)
1
Percaya
60
100
2
Tidak percaya
0
0
Total
60
100
Sumber : Data Primer Agustus 2012
Berdasarkan Tabel 4.5 distribusi sampel yang percaya dengan UPK dalam
hal ini BBKPM adalah seluruhnya (100%).
Tabel 4.6 Distribusi waktu diagnosis dan skor tingkat pengetahuan sampel
(N = 60)
Mean
Median
Minimum
Maksimum
Standar Deviasi
117,65
30
1
2920
385,12
6,8
7
2
10
1,96
Waktu diagnosis
(hari)
Skor tingkat
Pengetahuan
Berdasarkan tabel 4.6 distribusi hasil mengenai waktu diagnosis
didapatkan bahwa mean waktu diagnosis adalah 117,65 hari, median 30 hari,
minimum 1 hari, maksimum 2920 hari dan Standar Deviasinya 385,12,
sedangkan untuk skor tingkat pengetahuan didapatkan bahwa mean skor
tingkat pengetahuan TB adalah 6,8, mediannya 7, minimum 1, maksimum 10
dan Standar Deviasinya 1,96.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
Tabel 4.7 Distribusi sampel berdasarkan status ekonomi (N = 60)
No
Status Ekonomi
Jumlah (n)
Persentase (%)
1
Rendah
31
51,67
2
Tinggi
29
48,33
Total
60
100
Sumber : Data Primer Agustus 2012
Berdasarkan Tabel 4.7 distribusi sampel dengan status ekonomi rendah
jumlahnya lebih banyak daripada sampel dengan status ekonomi tinggi.
Sampel dengan status ekonomi rendah berjumlah 31 orang dan sampel
berstatus ekonomi tinggi berjumlah 29 orang..
Tabel 4.8 Distribusi sampel berdasarkan tingkat pengetahuan TB (N = 60)
No
Tingkat Pengetahuan
Jumlah (n)
Persentase (%)
TB
1
Rendah
26
43,33
2
Tinggi
34
56,67
Total
60
100
Sumber : Data Primer Agustus 2012
Berdasarkan Tabel 4.8 distribusi sampel dengan tingkat pengetahuan TB
tinggi jumlahnya lebih banyak daripada sampel dengan tingkat pengetahuan
TB rendah. Jumlahnya masing-masing adalah sampel dengan pengetahuan TB
tinggi sebanyak 34 orang dan sampel dengan pengetahuan TB rendah
sebanyak 26 orang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
Tabel 4.9 Distribusi sampel berdasarkan keterlambatan pasien (N = 60)
No
Keterlambatan
Jumlah (n)
Persentase (%)
1
Tidak terlambat
22
36,67
2
Terlambat
38
63,33
Total
60
100
Sumber : Data Primer Agustus 2012
Berdasarkan Tabel 4.9 distribusi sampel yang mengalami keterlambatan
jumlahnya lebih tinggi daripada yang tidak mengalami keterlambatan, yaitu 38
orang yang mengalami keterlambatan sedangkan yang tidak mengalami
keterlambatan berjumlah 22 orang.
4.10
Analisis
bivariat
tentang
hubungan
status
ekonomi
dengan
keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB paru
Variabel
Keterlambatan
Tidak terlambat
Terlambat
n (%)
n (%)
OR
p
Total
n (%)
Status ekonomi
-
Rendah
Tinggi
12 (38,7)
10 (34,5)
19 (61,3)
19 (65,5)
31 (100)
29 (100)
1,20
0,734
Berdasarkan Tabel 4.10 didapatkan bahwa distribusi sampel berdasarkan
status ekonomi dan keterlambatan pasien adalah sampel dengan status
ekonomi rendah yang tidak mengalami keterlambatan berjumlah 12 orang,
sampel dengan status ekonomi rendah yang mengalami keterlambatan
berjumlah 19 orang, sampel dengan status ekonomi tinggi yang tidak
mengalami keterlambatan berjumlah 10 orang dan sampel dengan status
ekonomi tinggi yang mengalami keterlambatan berjumlah 19 orang. Dari data
tersebut dapat disimpulkan bahwa sampel dengan status ekonomi rendah ratarata berkunjung ke fasilitas kesehatan pertama kali 1,2 kali lebih lambat
dibandingkan sampel dengan status ekonomi tinggi. Hal tersebut sesuai
dengan teori namun tidak sign ifikan secara statistik (p = 0,734).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
4.11 Analisis bivariat tentang hubungan tingkat pengetahuan TB dan
keterlambatan pasien
Variabel
Keterlambatan
Tidak terlambat
Terlambat
n (%)
n (%)
OR
p
1,15
0,801
Total
n (%)
Tingkat pengetahuan TB
-
Rendah
Tinggi
10 (38,5)
12 (35,3)
16 (61,5)
22 (64,7)
25 (100)
34 (100)
Berdasarkan Tabel 4.11 didapatkan bahwa distribusi sampel berdasarkan
tingkat pengetahuan TB dan keterlambatan pasien adalah sampel dengan
tingkat pengetahuan TB rendah yang tidak mengalami keterlambatan
berjumlah 10 orang, sampel dengan tingkat pengetahuan TB rendah yang
mengalami keterlambatan berjumlah 16 orang, sampel dengan tingkat
pengetahuan TB tinggi yang tidak mengalami keterlambatan berjumlah 12
orang dan sampel dengan tingkat pengetahuan TB tinggi yang mengalami
keterlambatan berjumlah 22 orang. Dari data tersebut dapat disimpulkan
bahwa sampel yang tingkat pengetahuan TB nya rendah rata-rata berkunjung
ke fasilitas kesehatan pertama kali 1,15 kali lebih lambat dibandingkan dengan
sampel yang tingkat pengetahuan TB nya tinggi. Hal tersebut sesuai dengan
teori namun tidak signifikan secara statistik (p = 0,801).
B. Hasil Uji Analisis Regresi Linier Ganda
Penelitian ini menggunakan model analisis multivariat regresi linier ganda
dengan program Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 17.0 for
Windows untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara status ekonomi
dan tingkat pengetahuan TB dengan keterlambatan pasien dalam diagnosis
kasus TB paru.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
Tabel 4.12 Hasil uji analisis regresi linier ganda tentang hubungan status
ekonomi dan tingkat pengetahuan TB dengan keterlambatan
pasien dalam diagnosis kasus TB paru
Variabel Independen
Koefisien µ (B)
CI 95%
p
Batas bawah
Batas atas
Konstanta
270,74
82,72
458,75
0,006
Pengetahuan rendah
128,84
-71,73
329,40
0,204
Status ekonomi rendah
165,68
-33,21
364,56
0,101
N = 60
Adjusted R Square = 3%
p = 0,156
Berdasarkan hasil uji statistik dapat dilihat adanya hubungan yang secara
statistik tidak signifikan antara status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB
dengan keterlambatan pasien. Pasien dengan pendapatan rendah rata-rata
berkunjung untuk pertama kali ke fasilitas kesehatan 165,68 hari lebih lambat
dibandingkan pasien dengan pendapatan tinggi (b : 165,68 ; CI 95% -33,21 s/d
364,56, p = 0,101). Begitu pula dengan tingkat pengetahuan TB, hasil analisis
menunjukkan pasien dengan tingkat pengetahuan TB rendah rata-rata
berkunjung untuk pertama kali ke fasilitas kesehatan 128,84 hari lebih lambat
dibandingkan dengan pasien dengan tingkat pengetahuan TB tinggi (b :
128,84 ; CI 95% -71,73 s/d 329,40, p = 0,204). Adjusted R Square 3%
menggambarkan model dengan status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB
hanya 3% dari varian keterlambatan pasien.
Dapat dilihat dari hasil analisis d i atas menggambarkan hubungan positif
antara status ekonomi dan tingkat pengetahuan dengan keterlambatan pasien.
Semakin rendah status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB pasien maka
semakin lama pula keterlambatan yang dialami pasien. Namun, dengan nilai
R2= O,156 maka kebenaran pernyataan ini hanya sebesar 15,6%.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
BAB V
PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, faktor yang dinilai adalah status ekonomi dan tingkat
pengetahuan pasien mengenai TB. Untuk faktor perancu lain seperti jenis
kelamin, umur, pendidikan, waktu tempuh ke UPK dan kepercayaan pasien
terhadap UPK sudah dikendalikan.
Pada hasil statistik didapatkan median keterlambatan pasien yaitu 30 hari
dan meannya 117,65 hari dengan range-nya 1 hingga 2920 hari. Pada
penelitian lain seperti penelitian di Mwanza, Tanzania pada tahun 2000
didapatkan mean keterlambatan pasien adalah 162 hari sedangkan mediannya
adalah 120 hari (Wandwalo, 2000). Penelitian lain seperti di Bangladesh, India
dan Malawi didapatkan median keterlambatan yaitu 60 hari di Bangladesh, 74
hari di India dan 33,5 hari di Malawi dengan range keterlambatannya yaitu 1
hingga 335 hari di Bangladesh, 3 hingga 730 hari di India dan 3 hingga 2555
hari di Malawi (Gosoniu, et al., 2008). Terdapat variasi mean dan median
masing-masing penelitian mungkin disebabkan oleh gejala TB yang mirip
dengan gejala penyakit lain sehingga pasien sulit untuk membedakan.
Penilaian status ekonomi pada penelitian ini sebelumnya menggunakan
kategori kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS), namun hasilnya tidak
terlalu
menggambarkan
status
ekonomi
pasien
yang
sesungguhnya
dikarenakan hampir seluruh pasien termasuk golongan status ekonomi tinggi
bahkan hanya ada 1 orang yang tergo long status ekonomi rendah, sedangkan
kenyataannya mungkin tidak seperti itu. Hal tersebut juga dikarenakan banyak
sampel yang sesuai kuesioner hampir memenuhi kategori status ekonomi
rendah, namun masuk ke dalam kategori status ekonomi tinggi. Akhirnya
digunakanlah penilaian status ekonomi berdasarkan pendapatan sesuai Upah
Minimum Regional (UMR) Jawa Tengah yang pada saat ini berada pada nilai
Rp 991.500,-. Pada penelitian sebelumnya yaitu penelitian Reviono tahun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
2007 juga menggunakan UMR, penelitian tersebut mengatakan bahwa UMR
dirasa kurang tepat untuk menentukan status ekonomi seseorang sehingga
pada penelitian tersebut status ekonomi tidak begitu berpengaruh terhadap
terjadinya keterlambatan. Namun UMR saat ini telah memenuhi standar
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sehingga bisa diperhitungkan dalam
menentukan status ekonomi seseorang.
Dari penelitian ini didapatkan bahwa pasien dengan pendapatan rendah
rata-rata berkunjung untuk pertama kali ke fasilitas kesehatan 165,68 hari
lebih lambat dibandingkan pasien dengan pendapatan tinggi, hal tersebut
sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang
menyebabkan penundaan pengobatan adalah biaya pengobatan yang dirasakan
mahal terutama untuk orang miskin (Taylor, 1999). Orang akan menganggap
gejala yang dirasakan tidak serius sebagai alasan mahalnya biaya kesehatan
(Smet,1994). Namun secara statistik hal tersebut tidak signifikan (p = 0,101).
Status ekonomi (pendapatan) sendiri juga berpengaruh terhadap risiko terkena
penyakit TB, dengan status ekonomi yang rendah maka dalam memperoleh
makanan atau gizi juga semakin sulit. Beberapa data menunjukkan bahwa
kekurangan gizi mikro dapat meningkatkan risiko terkena TB, selain itu Body
Mass Index (BMI) sangat berbanding terbalik dengan risiko perkembangan
penyakit (penurunan kejadian TB dari 14% per unit peningkatan BMI).
Terhadap pengobatan juga berpengaruh, gizi buruk dapat memperburuk hasil
pengobatan tetapi masih sedikit bukti yang menyatakan bahwa dukungan
nutrisi akan meningkatkan hasil pengobatan TB (WHO, 2011).
Penilaian tingkat pengetahuan TB diperoleh dari wawancara dengan
menggunakan kuesioner yang dijawab langsung oleh sampel. Dari penelitian
ini juga didapatkan bahwa pasien dengan tingkat pengetahuan TB rendah ratarata berkunjung untuk pertama kali ke fasilitas kesehatan 128,84 hari lebih
lambat dibandingkan dengan pasien dengan tingkat pengetahuan TB tinggi.
Hasil analisis sesuai dengan teori namun tidak signifikan secara statistik (p =
0,204). Kurangnya pengetahuan atau pemahaman tentang penyakit dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
pengobatannya serta penggunaan tidak maksimum fasilitas kesehatan dapat
menyebabkan
keterlambatan
dalam
diagnosis,
juga
mengakibatkan
ketidakpatuhan dalam pengobatan (Sockrider, 2005). Selain itu, faktor lain
yang dapat berpengaruh terhadap terjadinya keterlambatan antara lain, status
perkawinan, menurut Clark (1959) dan Sarwono (1997), seorang pasien
tidaklah bebas dalam membuat keputusan yang bersifat segera dan
menentukan kesehatannya sendiri, pasien tidak bertindak sebagai individu tapi
sebagai anggota keluarga. Menurut Blackwell (1963) dan Muzaham (1995),
banyak juga pasien yang takut mendengar keterangan dari dokter sehingga
menunda memeriksakan diri ke dokter. Riwayat keluarga atau pengalaman
juga berpengaruh dalam upaya menangani gejala penyakit, misalnya jika salah
satu anggota keluarga pernah mengalami kanker, maka dapat menjadi
pertimbangan
bagi
(Muzaham,1995).
pasien
Namun
untuk
dalam
mengobati
penelitian
ini
sakitnya
hal
atau
tersebut
tidak
belum
diikutsertakan.
Hasil analisis multivariat regresi linier ganda menunjukkan hasil sesuai
teori namun tidak signifikan, hal tersebut mungkin dapat disebabkan jumlah
sampel yang kurang besar, kurang tajamnya alat ukur serta masih banyak
faktor perancu lain contohnya seperti status perkawinan, rasa takut mendengar
keterangan dokter dan riwayat penyakit keluarga yang pada penelitian ini
tidak dimasukkan sehingga dapat membuat hasilnya tidak signifikan.
Dari hasil penelitian seluruhnya menunjukkan bahwa hipotesis diterima,
ada hubungan antara status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB dengan
keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB paru namun kendalanya tidak
signifikan secara statistik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis regresi linier ganda, penelitian ini menyimpulkan
dan memberikan saran sebagai berikut:
A. Simpulan
1. Status
ekonomi (pendapatan) berpengaruh
terhadap
terjadinya
keterlambatan pasien. Pasien dengan pendapatan rendah rata-rata
mengunjungi untuk pertama kali ke fasilitas kesehatan 165,68 hari
lebih lambat daripada pasien dengan pendapatan tinggi (b : 165,68 ; CI
95% -33,21 s/d 364,56, p = 0,101).
2. Tingkat
pengetahuan
TB
berpengaruh
terhadap
terjadinya
keterlambatan pasien. Pasien dengan tingkat pengetahuan TB rendah
rata-rata mengunjungi untuk pertama kali ke fasilitas kesehatan 128,84
hari lebih lambat daripada pasien dengan tingkat pengetahuan TB
tinggi (b : 128,84 ; CI 95% -71,73 s/d 329,40, p = 0,204).
3. Keterlambatan diagnosis TB paru akan semakin memperburuk
penyakit dan dapat menimbulkan komplikasi antara lain batuk darah,
pneumotoraks, kolaps paru, dan sebagainya. Kasus TB dengan
komplikasi dapat meningkatkan risiko kematian, selain itu dengan
adanya keterlambatan diagnosis juga akan memperpanjang transmisi
infeksi di komunitas (Depkes RI, 2006).
B. Saran
1. Pemerintah dan fasilitas kesehatan perlu melakukan sosialisasi tentang
keberadaan skema jaminan kesehatan, misalnya, Jamkesmas dan
Jamkesda, kepada masyarakat, agar anggota masyarakat yang tidak
mampu yang kiranya menderita TB paru tidak ragu-ragu untuk
memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan, karena telah
tersedia skema jaminan kesehatan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
2. Petugas kesehatan sebaiknya lebih meningkatkan kualitas dan
kuantitasnya dalam
melakukan penyuluhan kepada masyarakat
mengenai TB agar masyarakat paham dan segera memeriksakan
dirinya apabila kiranya menderita TB.
3. Untuk penelitian selanjutnya dalam mencapai signifikansi diharapkan
jumlah sampelnya diperbesar, pertajam
alat ukur serta lebih
memperhatikan faktor perancu lain seperti status perkawinan, rasa
takut dalam mendengar keterangan dokter, juga riwayat penyakit
keluarga yang dalam penelitian ini belum diikutsertakan.
commit to user
Download