PERKEMBANGAN EMBRIO MENCIT (Mus musculus albinus) PADA INKUBATOR CO2 TERMODIFIKASI M. MIRSAGERI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perkembangan Embrio Mencit (Mus musculus albinus) Pada Inkubator CO2 Termodifikasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 M. Mirsageri NIM B04080112 ABSTRAK M. MIRSAGERI. Perkembangan Embrio Mencit (Mus musculus albinus) pada Inkubator CO2 Termodifikasi. Dibimbing oleh ARIEF BOEDIONO dan RUDI HERYANTO. Penelitian kali ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas inkubator CO2 portable sederhana dalam produksi embrio mencit secara in vitro. Upaya dalam menentukan sistem kultur adalah dengan menggunakan gas CO2 yang dihasilkan dari serbuk effervescent yang mendekati kondisi inkubator CO2 konvensional (56%) (B), kemudian embrio diuji dengan dosis formulasi dibawah (A), dan diatas (C) kondisi normal. Tingkat perkembangan embrio yang dikultur secara in vitro dalam inkubator CO2 portable tidak berbeda nyata terhadap inkubator CO2 standar (kontrol) dalam berbagai perlakuan, sehingga hal ini menunjukkan bahwa embrio mencit dapat berkembang baik dalam kondisi tersebut. Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan antara dua sistem tersebut dalam perkembangan embrio secara in vitro, tetapi terdapat perbedaan nyata terhadap gas CO2 yang dihasilkan secara in situ pada tiga perlakuan tersebut dibandingkan dengan kontrol. Konsentrasi gas CO2 secara in situ pada inkubator CO2 portable lebih tinggi (P<0.05) dari kontrol (5.02 ± 0.08366%) untuk perlakuan C (6.74 ± 0.24083%), tetapi lebih rendah dari kontrol untuk perlakuan A (2.22 ± 0.08366%) dan B (4.46 ± 0.05477%). Penelitian ini menunjukkan bahwa inkubator CO2 portable dapat digunakan untuk kultur embrio mencit secara in vitro. Penelitian lebih lanjut dengan menggunakan sistem inkubator CO2 portable adalah diperlukan untuk mengetahui level optimum dari O2, CO2, dan tekanan udara. Keywords: embrio mencit, in vitro, inkubator CO2, portable ABSTRACT M. MIRSAGERI. Development of Mouse (Mus musculus albinus) Embryos in the Modified CO2 Incubator. Under direction of ARIEF BOEDIONO and RUDI HERYANTO. The present study was conducted to investigate effectiveness of a simple portable CO2 incubator for embryo production (IVEP) of mouse embryo by in vitro. In an attempt to determine the culture system was using CO2 gas produced from effervescent powder that approaches a standard CO2 incubator condition (56%) (B), than embryos were examine at condition with a dose of effervescent formulations below (A), and upper (C) dose of normal condition. In vitro development rates of mouse embryos cultured in the portable CO2 incubator were not significantly different from the standard (control) CO2 incubator in a variety of treatment, which shows that mouse embryos can growth as well as in these conditions. Although there were no significant differences between the two systems in terms of embryos development, but there was a significantly differences for CO2 gas generated in situ in three treatments were compared with standard CO2 incubator (control). Concentration of CO2 gas in situ in a portable CO2 incubator was higher (P<0.05) than control (5.02 ± 0.08366%) for C (6.74 ± 0.24083%) treatment, but lower than control for A (2.22 ± 0.08366%) and B (4.46 ± 0.05477%) treatments. The present study indicates that a portable CO2 incubator is a useful device for in vitro mouse embryos production. Further studies using this portable incubator system are needed to determine the optimum levels of O 2, CO2, and air pressure. Keywords: in vitro, incubator CO2, mouse embryo, portable X ©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. PERKEMBANGAN EMBRIO MENCIT (Mus musculus albinus) PADA INKUBATOR CO2 TERMODIFIKASI M. MIRSAGERI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 Judul Skripsi: Perkembangan Embrio Mencit (Mus musculus albinus) Pada Inkubator CO2 Termodifikasi Nama : M. Mirsageri NIM : B04080112 Disetujui oleh Prof. drh. Arief Boediono, Ph. D, PAVet (K) Ketua Rudi Heryanto, S. Si., M. Si Anggota Diketahui oleh drh. Agus Setiyono, MS., Ph. D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah embriologi, dengan judul Perkembangan Embrio Mencit (Mus musculus albinus) Pada Inkubator CO2 Termodifikasi. Capaian yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa suatu inkubator CO2 portable termodifikasi dapat digunakan sebagai alat untuk kultur in vitro terhadap perkembangan embrio. Serta, diharapkan dapat membantu distribusi ke wilayah-wilayah terpencil yang membutuhkan, sehingga diperoleh pemerataan capaian strategis baik tingkat daerah maupun kota terkait khazanah bidang bioteknologi reproduksi ini. Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. drh. Arief Boediono, Ph.D, PAVet (K) sebagai pembimbing utama atas segala keterampilan yang diajarkan beserta bimbingannya dan Rudi Heryanto, S.Si, M.Si sebagai pembimbing anggota atas segala dukungan beliau selama ini. Serta, Dr. drh. H. Idwan Sudirman sebagai dosen pembimbing akademik yang telah menyampaikan segala nasihatnya. Kemudian kepada drh. Kusdiantoro Mohamad, M.Si sebagai dosen penilai seminar yang telah memberikan banyak masukan, serta Prof. Dr. drh. Iman Supriatna dan drh. Usamah Afiff, M.Sc sebagai dosen penguji sidang atas segala kritik yang membangun untuk skripsi ini. Tidak lupa pula kepada Keluarga Embriologi yang turut medukung, serta mahasiswa pasca Bu Eka (S3), Mba Devi (S2), Mas Harry (S3), serta Pak Wahyu (Staf Lab). Begitu pula kepada Keluarga LDF DKM An Nahl FKH, Avenzoar-45, dan SalimSalimah 33 H. Kepada tim di belakang layar, Mba Rani, Rio-Aang, Dania, Suci, Neng Tanty, Chanifah, Ibon, Hastin, Yuyun, Viqih, Hario, Didi, Dede, Tofa, Rizal, Fikri, Devi, Ajeng, serta kawan penyemangat Jamal, Rofindra, Erli Chandra, Miftah, dan Andi. Serta pihak-pihak lain yang ikut membantu namun tidak dapat disebutkan satu per satu oleh penulis, baik yang ikut terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan karya ilmiah ini. Penulis sangat menyadari sebagai manusia seringkali melakukan kekhilafan dan memiliki banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Besar harapan penulis adanya kritik dan masukan yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Penulis sangat berterima kasih atas segala kritik dan masukan yang diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Agustus 2013 M. Mirsageri DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3 BAHAN DAN METODE 3 Waktu dan Tempat Penelitian 3 Metode Penelitian 3 Rancangan Percobaan 8 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Penentuan Formulasi Secara Stoikiometri dan Analisa Lanjut Dengan Metode Titrasi 9 Penentuan analisa CO2 dengan probe CO2 gas analyzer 10 Viabilitas Embrio Setelah Dilakukan Kultur Selama 96 Jam 11 SIMPULAN DAN SARAN 15 Simpulan 15 Saran 15 DAFTAR PUSTAKA 15 RIWAYAT HIDUP 18 DAFTAR TABEL 1 Analisa CO2 dengan metode titrasi 2 Analisa CO2 dengan probe CO2 gas analyzer 3 Konsentrasi gas CO2 di dalam lingkungan in situ inkubator CO2 9 10 portable 4 Persentase perkembangan embrio pada kultur in vitro dalam inkubator CO2 portable 11 12 DAFTAR GAMBAR 1 Rangkaian desain eksperimen 2 Desain wadah inkubator CO2 termodifikasi sederhana yang digunakan untuk kultur 3 Inkubator standar tempat dimana diletakkan inkubator portable CO2 4 Perkembangan embrio mencit in vitro dalam inkubator CO2 termodifikasi 4 7 7 12 DAFTAR LAMPIRAN 1 Detail perhitungan stoikiometri Error! Bookmark not defined. PENDAHULUAN Latar Belakang Bioteknologi embrio saat ini berkembang sangat pesat, terutama dalam hal produksi dan perekayasaan embrio pada kondisi in vitro. Teknologi kultur in vitro merupakan suatu pendekatan yang menyerupai keadaan aslinya, yaitu in vivo. Beberapa investigasi yang dilakukan oleh peneliti pada kultur embrio mencit yang merujuk asumsi mereka bahwa perkembangan in vitro dan in vivo adalah sebanding (Harlow dan Quinn 1982). Namun, kultur embrio dari berbagai jenis mencit secara acak memiliki tingkat yang lebih lambat pada pembelahan sel dan aktivitas metabolisme (Bowman dan McLaren 1970a; Quinn dan Wales 1973), serta memiliki daya tahan yang rendah saat ditransfer kepada resipien (Bowman dan McLaren 1970b), dan umumnya kurang baik dibedakan daripada perkembangan secara alami, yaitu in vivo (McReynolds dan Hadek 1972). Penelitian lain terkait kultur in vitro, Holm et al. (2002) dan Macháty et al. (1998) berpendapat bahwa terdapat perbandingan terhadap perkembangan embrio pra implantasi, diketahui produksi zigot secara in vitro dari spesies domestik memerlukan waktu lebih lama untuk berkembang mencapai tahap blastosis dan mengandung sel-sel yang lebih sedikit dari pada yang berkembang secara in vivo. Efek ini dapat dikatakan bahwa kultur embrio secara in vitro berada pada kondisi sub optimal. Baru-baru ini diketahui perkembangan dari media kultur embrio tikus, seperti suplemen KSOM dengan asam amino (Ho et al. 1995), menghasilkan perkembangan kinetik dan jumlah sel yang mendekati pertumbuhan alami secara in vivo. Prinsip dasar dari sistem kultur in vitro adalah upaya menyerupai kondisi lingkungan in vivo sehingga embrio dapat berkembang secara optimum (Naomi dan Marcela 2010). Menurut Jaswandi et al. (2001), bahwa keberhasilan produksi embrio dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kualitas gamet (oosit dan sperma), medium kultur, dan sistem kultur. Sato dan Marrs (1989) melaporkan bahwa kualitas oosit dan embrio dipengaruhi oleh jumlah hormon gonadotropin yang digunakan untuk stimulasi superovulasi. Komposisi medium kultur juga berpengaruh pada perkembangan embrio secara in vitro. Pada kultur in vitro embrio mencit, diperlukan medium yang mampu mendukung perkembangan embrio mencit dari zigot menjadi blastosis hatched (Khoirinaya 2011). Sistem kultur mendukung kondisi lingkungan yang dibuat menyerupai keadaan yang sebenarnya di dalam oviduk dari induk mencit. Kondisi lingkungan tersebut secara optimum guna menunjang kultur in vitro adalah suhu 35-390C dan 5% CO2 di udara (Gordon 1994). Secara umum, Itoi et al. (2012) memaparkan bahwa embrio mamalia sensitif terhadap fase gas yang digunakan serta suplai penyediaan gas CO2 sangat diperlukan untuk menjaga kualitas baik dari embrio. Penelitian lain, Geshi et al. (1999) menjelaskan bahwa suatu gas CO2 dengan konsentrasi 5% di udara merupakan kondisi yang biasa digunakan untuk kultur in vitro, karena media kultur dengan bufer natrium bikarbonat dirancang untuk menjaga kondisi pH pada kisaran 7.4. Seiring dengan kemajuan bioteknologi embrio yang terus berkembang pesat, beberapa parameter penunjang kondisi kultur in vitro tersebut telah diaplikasikan 2 kedalam bentuk inkubator CO2 standar untuk kepentingan kultur in vitro. Inkubator CO2 tersebut merupakan inkubator skala laboratorium, ketersediaannya membutuhkan kondisi laboratorium yang baik, harganya relatif mahal, serta cenderung tidak dapat dipindahkan. Oleh karena itu, guna menuntut kondisi kultur yang lebih baik agar memudahkan mobilisasi kultur, maka akan dikembangkan inkubator CO2 portable yang dapat mendukung proses produksi embrio secara in vitro baik dalam kondisi di lapangan (out door) maupun kondisi laboratorium (in door). Dengan upaya ini diharapkan dapat menyediakan sistem kultur atau kondisi lingkungan yang sesuai dengan inkubator CO2 standar. Guna mendukung aplikasi kondisi lingkungan dalam inkubator CO2 tersebut, Pada penelitian ini desain inkubator menggunakan CO2 portable yang digunakan oleh Suzuki et al. (1999) dengan beberapa modifikasi. Desain tersebut juga digunakan oleh peneliti Dong et al. (2001), Khan et al. (1993), serta Iwayama (2005). Telah dilaporkan bahwa inkubator sederhana bentuk portable ini dapat digunakan untuk melakukan produksi in vitro pada sapi dan kultur embrio untuk transfer nuklear (Varisanga et al. 2002). Selain itu, untuk mendukung kondisi lingkungan kultur dalam inkubator CO2 portable, maka diperlukan komposisi kimia untuk gas CO2 dalam in situ. Hal ini dinilai berdasarkan penyesuaian dengan desain inkubator CO2 portable untuk dosis gas CO2 dalam mendukung lingkungan kultur. Gas CO2 secara in situ karena gas diproduksi dari dalam inkubator dalam ruang tertutup. Salah satu zat yang dapat digunakan untuk menghasilkan gas CO2 adalah natrium bikarbonat. Natrium bikarbonat menghasilkan gas CO2 yang sebelumnya direaksikan pada kondisi asam seperti asam sitrat. Campuran ini mendukung dalam pembuatan formulasi effervescent. Penelitian ini akan memformulasikan campuran natrium bikarbonat dengan asam sitrat sehingga menghasilkan CO2 dengan konsentrasi 5%. Keberhasilan rekayasa inkubator CO2 portable tersebut akan diuji dengan menggunakan embrio mencit. Embrio mencit digunakan untuk kepentingan eksperimen, yang dalam hal ini untuk uji coba perkembangan embrio dalam kondisi eksperimen. Kemudian sebagai objek penelitian, dapat berupa hewan model sebagai acuan hewan mamalia, maupun komersil yaitu embrio yang sengaja diproduksi guna memudahkan dalam aplikasi langsung. Hewan coba ini selain sangat ekonomis juga dapat membantu para peneliti untuk digunakan dalam hal kepentingan kedokteran hewan maupun kedokteran manusia. Hal ini berhubungan dengan pendekatan hewan mamalia secara umum kerabat dengan manusia. Perumusan Masalah Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana menyediakan suatu alat dengan kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkembangan embrio secara in vitro dengan menggunakan perangkat portable. 3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan komposisi formulasi kimia yang digunakan untuk menghasilkan kondisi CO2 dengan konsentrasi 5% secara in situ. Serta, menguji formulasi kimia tersebut melalui uji ketahanan terhadap proses perkembangan embrio mencit. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah didapatkan formulasi kimia yang menghasilkan kondisi lingkungan CO2 yang sesuai dengan kelayakan serta diperoleh keberhasilan bahwa embrio dapat berkembang hingga tahap siap implan ke rahim induk/hatched. Kemudian melalui inkubator CO2 portable yang ekonomis serta ramah lingkungan ini dapat digunakan untuk membantu ke wilayah-wilayah maupun daerah-daerah terpencil yang membutuhkan, sehingga diperoleh pemerataan capaian strategis baik tingkat daerah maupun kota. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung pada bulan Juli 2012 sampai dengan Januari 2013. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia Fakultas Matematika dan IPA, Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, serta UPT Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Metode Penelitian a. Penentuan formulasi Penentuan formula secara stoikiometri Suatu reaksi kimia yang seimbang menunjukkan hubungan kuantitatif antara mol reaktan dan produk. Hubungan stoikiometri ini memberikan dasar untuk berbagai perhitungan analisis. Formulasi stoikiometri natrium bikarbonat dengan asam sitrat adalah sebagai berikut. CO2 + + NaHCO3 (s) + H (aq) Na (aq) + H2CO3 (aq) H2O Pereaksi asam menggunakan asam sitrat (C6H507.H20). Asam sitrat bersifat monoprotik, karena hanya melepaskan satu proton H+. Jumlah asam dan basa diukur dengan analisis gas CO2 sebagai pereaksi pembatas, kebutuhan CO2 didapatkan dari jumlah CO2 maksimal yang ada dalam inkubator. Kebutuhan CO2 4 dihitung berdasarkan 5% dalam volume inkubator CO2 portable. Volume inkubator CO2 portable sebesar 600 cm3, kondisi yang harus ada pada tekanan 1 atm dan suhu 37° C. Analisa CO2 dengan metode titrasi Suatu percobaan laboratorium konvensional dalam suatu rangkaian analisis kuantitatif, yaitu titrasi, terdiri dari campuran kandungan kombinasi natrium hidroksida, natrium karbonat, dan natrium bikarbonat (Crossno et al. 1996; Harris 1997; Skoog et al. 1996). Rangkaian percobaan ini biasa dilakukan pada analisis produk komersial, seperti minuman bersoda dan antasida, serta penggunaan balon karet dalam rangkaian percobaannya (Arnaiz 1993; Crossno et al. 1996). Mekanisme eksperimennya adalah gas kabon dioksida yang dihasilkan dari reaksi asam-basa dengan pelarut aquades sebanyak 5mL melalui spoit ukuran 10mL. Gas CO2 dilewatkan melalui sebuah alat gelas berupa saluran dihubungkan dengan labu yang berisi larutan natrium hidroksida (NaOH). Dimana larutan tersebut menyerap dan mengubah menjadi setara dengan jumlah dari natrium karbonat. Penahanan gas CO2 dilakukan dalam suatu sistem tertutup, sehingga memberikan waktu kontak yang diperlukan oleh natrium hidroksida untuk penyerapan gas CO2. Detail rangkaian dapat dilihat pada Gambar 1 yang mengacu pada rangkaian yang digunakan oleh Crossno et al. (1996) dengan sedikit modifikasi. Larutan yang dihasilkan, terdiri dari natrium hidroksida dan natrium karbonat yang dititrasi dengan asam klorida (HCl) terstandarisasi. Titrasi pertama dengan menggunakan indikator phenolphthalein (PP) hingga dicapai titik ekuivalen ditunjukkan dengan memudarnya warna larutan menjadi bening atau tidak berwarna, hal ini bertujuan mengkonversi natrium karbonat menjadi natrium bikarbonat dan kelebihan natrium hidroksida yang digunakan. Selanjutnya titrasi kedua dengan indikator methyl orange (metil jingga) hingga dicapai titik Gambar 1 Rangkaian desain eksperimen: (A) labu wadah serbuk effervescent direaksikan dengan pelarut aquades; (B) labu wadah NaOH; (C) gelas penghubung antara labu A dan B; (D) spoit yang digunakan untuk memasukkan aquades. 5 ekuivalen ditandai dengan perubahan hasil titran menjadi warna jingga, bertujuan mengubah natrium bikarbonat (NaHCO3) menjadi air dan karbon dioksida (Crossno et al. 1996). Perbedaan mililiter antara titik ekuivalen pertama dan kedua digunakan untuk menghitung karbon dioksida yang terdapat pada sampel atau gram zat yang dicari. Berikut persamaan dan derivatnya yang digunakan: volume titran (L) xmolaritas x bobot xCO2 (titik ekuivalen x dari standar x molekul dari = (gram) pertama dan kedua) asam CO2 Analisa CO2 dengan probe CO2 gas analyzer Selain dengan pengujian secara titrasi, maka digunakan uji lanjut agar menguatkan hasil dari metode titrasi. Analisa ini menggunakan CO2 gas analyzer, dengan prinsip kerja menyedot/menyerap CO2 melalui lubang khusus untuk mengetahui kadar CO2 dalam suatu inkubator, kemudian gas ditangkap oleh suatu lembaran yang meneruskan ke pembacaan secara digital, sehingga diperoleh kadar gas CO2 yang sedang diuji. Pengukuran dilakukan melalui lubang saluran udara yang terdapat pada inkubator CO2 portable. Selang dari CO2 gas analyzer dipasangkan ke lubang tersebut, kemudian kran penutup dibuka agar udara dapat disedot oleh CO2 gas analyzer. Pembacaan diperoleh hingga angka stabil didapat selama 5 menit. Hasil dari pembacaan analisa ini dapat dibandingkan dengan metode titrasi yang digunakan, sehingga dapat diperoleh angka pasti agar tidak terjadi pembiasan pembacaan yang berselang jauh. b. Superovulasi Pada penelitian ini digunakan mencit (Mus musculus albinus) betina sebanyak 72 ekor dan jantan sebanyak 10 ekor (strain DDY) berumur 8-10 minggu yang berasal dari koloni bebas penyakit. Superovulasi dilakukan dengan menyuntikkan hormon pregnant mare’s serum gonadotropine (PMSG) (Folligon®, Intervet, Boxmeer, Holland) 5 IU per ekor secara intraperitoneum pada pukul 16.00 WIB. Setelah 48 jam penyuntikan PMSG, dilakukan penyuntikan hormon human chorionic gonadotropine (hCG) (Chorulon®, Intervet, Boxmeer, Holland) 5 IU per ekor secara intraperitoneum untuk menggertak ovulasi. Setelah penyuntikan hCG, setiap mencit betina tersebut dikawinkan dengan mencit jantan dengan perbandingan satu ekor jantan : satu ekor betina (single mating). Pemeriksaan sumbat vagina (vaginal/copulation plug) dilakukan pagi hari berikutnya untuk memastikan mencit tersebut telah kawin. c. Koleksi Embrio Mencit betina yang memperlihatkan sumbat vagina dipisahkan dari mencit jantan ke dalam kandang individu. Hari terlihat adanya vaginal plug, ditandai sebagai hari kebuntingan pertama. Koleksi embrio hari kedua dilakukan 30 – 32 6 jam setelah penyuntikan hormon hCG. Mencit betina bunting dikorbankan dengan cara dislocatio cervicalis. Bagian oviduk atau tuba Falopii diisolasi dan ditempatkan pada medium 3-(N-morpholino) propanesulfonic acid (G-MOPS™, Vitrolife Sweden AB, Goteborg, Swedia) yang telah ditambahkan fetal bovine serum (FBS) 2%. Bagian oviduk yang menggembung (berisi kumpulan zigot) disayat dengan menggunakan jarum suntik 26G. Sambil diamati di bawah mikroskop stereo. Embrio hari kedua ditandai dengan embrio telah membelah menjadi 2 sel, dikumpulkan dan dibilas 2-3 kali di dalam medium kultur (G-1™ v5 PLUS dengan suplemen HSA (human solution albumin) dan gentamisin, Vitrolife Sweden AB, Goteborg, Swedia). Selanjutnya, embrio hasil koleksi dievaluasi dan dihitung jumlahnya. Setelah 24 jam diinkubasi, embrio yang berkembang ditandai dengan membelahnya sel blastomer mencapai tahap 8 sel sampai dengan morula. Pada hari ketiga embrio dipindahkan ke medium kultur selanjutnya (G-2™ v5 PLUS dengan suplemen HSA (human solution albumin) dan gentamisin, Vitrolife Sweden AB, Goteborg, Swedia) sampai mencapai tahap perkembangan blastosis. d. Kultur In Vitro Desain inkubator CO2 portable Pada eksperimen ini, digunakan inkubator standar yang dilengkapi dengan thermostat dan termometer secara digital yang bekerja secara otomatis menjaga kondisi ruangan inkubator tersebut berada pada suhu 37-38 °C (Gambar 3). Kultur embrio dilakukan dalam inkubator portable (kultur in vitro embrio) yang dimuat dalam bentuk kotak plastik (15cm x 10cm x 4cm = 0,6L volume) (Gambar 2). Selanjutnya kotak plastik tersebut dimasukkan ke dalam inkubator standar. Gas CO2 diproduksi melalui serbuk effervescent (natrium bikarbonat dan asam sitrat yang dikemas ke dalam kapsul) yang kemudian ditambahkan aquades agar serbuk effervescent dapat bereaksi. 7 Gambar 2 Desain wadah inkubator CO2 termodifikasi yang digunakan untuk kultur: (A) pengukur tekanan; (B) kran buka/tutup saluran udara; (C) lubang udara masuk/keluar; (D) wadah 5 mL aquades dan serbuk effervescent yang dikemas dalam kapsul (Gambar 3); (E) 4-well dish yang berisi media kultur dan embrio; (F) wadah plastik inkubator CO2 sederhana (berukuran 15cm x 10cm x 4cm = 0,6L volume). Gambar 3 Inkubator standar tempat dimana diletakkan inkubator portable CO2: (A) panel indikator suhu; (B) inkubator CO2 termodifikasi. 8 Viabilitas embrio pada berbagai kondisi inkubator CO2 portable Berbagai kondisi inkubator CO2 portable dengan formulasi kimia dievaluasi dengan mengamati viabilitas perkembangan embrio mencit pada kultur in vitro. Embrio yang dikoleksi pada hari kedua dikultur pada kondisi inkubator CO2 portable yang berbeda. Medium kultur yang digunakan pada penelitian ini adalah sekuensial medium, sampai tahap perkembangan 8 sel (hari ketiga), embrio dikultur dalam medium G-1™ v5 PLUS. Selanjutnya pada hari ketiga, embrio dikultur dalam medium G-2™ v5 PLUS sampai tahap perkembangan blastosis hatched. Sebanyak 10-20 embrio ditempatkan pada polysterene dish 4-well dish (Nunclon™, Roskilde, Denmark) yang berisi medium kultur sebanyak 500μl dan ditutupi dengan mineral oil (Sigma, St Louis, USA) sebanyak 300μl untuk mencegah penguapan medium dan kontaminasi selama kultur. Embrio dikultur dalam inkubator CO2 portable dengan berbagai tingkat dosis dari granul effervescent pada suhu 37°C. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan teracak lengkap (complete random design). Penelitian ini terdiri atas 3 perlakuan yang dibandingkan dengan kelompok kontrol. Perlakuan B, formulasi kimia untuk gas CO2 secara in situ digunakan komposisi yang sesuai dengan inkubator CO2 standar. Perlakuan A, formulasi kimia untuk gas CO2 secara in situ digunakan komposisi dibawah dosis perlakuan B. Kemudian perlakuan C, formulasi kimia untuk gas CO2 secara in situ digunakan komposisi diatas dosis perlakuan B. Pengukuran gas CO2 antar perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Respon yang diamati adalah perkembangan embrio pada tiap kelompok hingga mencapai tahap blastosis hatched. Pengamatan dilakukan setiap 24, 48, 72, dan 96 jam setelah dilakukan kultur, dengan pergantian serbuk effervescent setiap kali pengamatan. Setiap kelompok perlakuan dilakukan ulangan sebanyak 4 kali. Analisis Data Data disajikan dalam bentuk persentase (rata-rata) ± standar deviasi dan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA). Perbedaan antarperlakuan dan masing-masing dosis CO2 diuji lanjut dengan uji Duncan (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Pada analisis statistika, data berupa proporsi ditransformasi terlebih dahulu. Semua perhitungan statistik dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS ver. 16.0. 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Formulasi Secara Stoikiometri dan Analisa Lanjut Dengan Metode Titrasi Penelitian ini didahului oleh perhitungan secara stoikiometri guna memperoleh bobot (gram) kebutuhan dari natrium bikarbonat melalui densitas CO2 standar yang telah diketahui. Konsentrasi CO2 yang dibutuhkan adalah 5% dalam volume inkubator CO2 portable sebesar 600 cm3. Jumlah asam dan basa diukur dengan analisis gas CO2 sebagai pereaksi pembatas. Reaksi kimia dalam hal ini penentuan kebutuhan natrium bikarbonat (gram) sebagai berikut NaHCO3 (s) + H+ (aq) Na+ (aq) + H2CO3 (aq) Kemudian untuk memperoleh kebutuhan CO2 diperoleh dari produk natrium bikarbonat. CO2 + + NaHCO3 (s) + H (aq) Na (aq) + H2CO3 (aq) H2O Mol CO2 yang diperoleh adalah dari densitas CO2 standar pada tekanan 1 atm dan suhu 37°C sebesar 0.0017141 g/cm3, sehingga mol CO2 sebesar 0.00117. Setelah memperoleh mol CO2, kemudian bobot natrium bikarbonat dapat diperoleh sebesar 0.09828 g ≈ 0.1 g. Pereaksi asam yang digunakan untuk pembuatan effervescent sederhana ini adalah asam sitrat. Asam sitrat (C6H507.H20) terdapat dalam bentuk serbuk hablur, anhidrat, dan bentuk monohidrat. Asam sitrat bersifat higroskopis sehingga harus dijaga dengan hati-hati untuk mencegah masuknya udara terutama bila disimpan dalam ruang dengan kelembaban udara yang tinggi jika bahan ini di keluarkan dari wadah aslinya dan di kemas kembali dengan tidak sesuai (Wilisa 2009). Pada kelembaban relatif yang lebih rendah dari 65% asam sitrat mengembang pada suhu 25oC (Siregar dan Wikarsa 2010). Gas yang dihasilkan saat pelarutan effervescent adalah karbondioksida sehingga dapat memberikan efek sparkle atau seperti bentukan soda (Lieberman et al. 1989). Bobot asam sitrat diperoleh dari kesetimbangan reaksi dengan natrium bikarbonat, sebesar 0.22857 g. Selanjutnya formulasi ini dilarutkan dalam aquades sebanyak 5 mL. Untuk mensimulasi kondisi CO2 nyata yang dihasilkan, dilakukan analisis penyerapan CO2 yang dihitung dengan NaOH. Jumlah CO2 yang terserap ditentukan dengan titrasi menggunakan HCl. Hasil pengukuran CO2 yang dilakukan dengan titrasi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Analisa CO2 dengan metode titrasi Eksperimen CO2 Titrasi Bobot NaHCO3 (g) HCl 0.234 M (mL) 0.1 6 CO2 Rata-rata (g) 0.0466 ± 0.00116 (%) 4.53 NaHCO3 (g) 0.2 Rata-rata (g) 0.09257 ± 0.00078 (%) 9 C6H8O7 (g) 0.45715 10 Penyerapan CO2 melalui larutan NaOH disertai dengan reaksi kimia, hal ini dikarenakan reaksi tersebut terjadi secara langsung. Berikut reaksi yang terjadi, CO2 (g) + 2NaOH (aq) Na2CO3 (s) + H2O (l). Proses ini merupakan kondisi pada fase gas yang serupa dengan absorbsi fisik. Absorbsi fisik merupakan reaksi absorbsi perpindahan massa dari gas terlarut dalam cairan tanpa disertai reaksi kimia. Sedangkan, reaksi diatas merupakan absorbsi kimia yang disertai dengan reaksi kimia (Kumoro dan Hadiyanto 2000). Diperoleh bahwa hasil titrasi dibandingkan dengan model stoikiometri yang digunakan tidak menunjukkan perbedaan yang jauh, lihat Tabel 1. Hal ini menunjukkan bahwa gas CO2 yang dihasilkan dari reaksi serbuk effervescent tersebut ditangkap dengan baik oleh larutan NaOH. Berdasarkan rangkaian eksperimen dengan konsentrasi gas yang dihasilkan mendekati 5% dan 10% dari dua bobot yang berbeda, diperoleh hasil dengan rentang sekitar 10% mendekati konsentrasi yang diinginkan. Hasil ini menunjukkan bahwa eksperimen yang dilakukan dapat digunakan untuk memprediksi jumlah CO2 yang diserap dalam waktu tertentu. Sebagai perbandingan, Crossno et al. (1996) melaporkan bahwa presisi tingkat pengukuran dari minuman berkarbonasi (12-oz beverage) yang diukur mencapai sekitar 9% dari yang sebenarnya dan dari tablet AlkaSeltzer, sejenis tablet antasid (mengandung natrium bikarbonat) mencapai 3%. Penentuan analisa CO2 dengan probe CO2 gas analyzer Pengukuran analisis CO2 menggunakan suatu alat CO2 gas analyzer dengan pembacaan secara digital. Penentuan ini bertujuan untuk menguatkan pembacaan yang terdapat pada pembacaan secara titrasi. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Analisa CO2 dengan probe CO2 gas analyzer CO2 analyzer Bobot (g) NaHCO3 0.1 0.15 0.2 C6H8O7 0.22857 0.34286 0.45715 CO2 (%) 4.35 ± 0.05773 5.46 ± 0.05773 6.93 ± 0.05773 Target formulasi kimia yang dihasilkan adalah berupa gas CO2 dengan konsentrasi 5-6%. Diperoleh bahwa bobot NaHCO3 yang mendekati konsentrasi gas CO2 yang diinginkan adalah sebesar 0.15 g. Hasil dari CO2 gas analyzer tersebut tidak berbeda jauh dengan model secara stoikiometri yang digunakan untuk memperoleh besarnya konsentrasi CO2 yang diinginkan. Suatu hasil kesalahan positif telah ditentukan dalam nilai tengah yang lebih besar dari nilai sebenarnya, serta kesalahan negatif mengarah pada nilai tengah yang lebih kecil dari nilai sebenarnya. Kedua kesalahan determinasi positif dan negatif dapat mempengaruhi hasil analisis, dengan efek kumulatifnya yang mengarah pada batas kesalahan determinasi positif atau negatif. Hal tersebut dimungkinkan, meskipun cenderung tidak, bahwa kesalahan determinasi positif dan negatif mungkin sama, sehingga menghasilkan nilai tengah dengan tidak adanya batas 11 kesalahan determinasi Kesalahan determinasi dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu kesalahan pengambilan sampel, kesalahan metode, kesalahan pengukuran, dan kesalahan personal (Harvey 2000). Natrium bikarbonat bila pada kelembaban (RH) di atas 85% akan cepat menyerap air di lingkungannya dan akan menyebabkan dekomposisi dan hilangnya karbondioksida sehingga sebagai bahan effervescent diperlukan penyimpanan yang rapat (Juita 2008). Oleh sebab itu bila proses pengemasan serbuk effervescent kurang baik, maka gas CO2 yang dihasilkan tidak optimal karena tidak sesuai dengan yang diinginkan. Kemudian pada Tabel 3 disampaikan konsentrasi CO2 terhadap lingkungan in situ media kultur dengan berbagai perbedaan gas yang dihasilkan oleh serbuk effervescent di dalam inkubator CO2 portable. Tabel 3 Konsentrasi gas CO2 di dalam lingkungan in situ inkubator CO2 portable Perlakuan A B C Kontrol CO2 analyzer setiap 24 jam Bobot (g) NaHCO3 C6H8O7 0.075 0.17143 0.15 0.34286 0.225 0.51428 - CO2 (%) 2.22 ± 0.08366a 4.46 ± 0.05477b 6.74 ± 0.24083d 5.02 ± 0.08366c Keterangan: Superskrip yang berbeda ditiap kolom menunjukkan perbedaan pada taraf nyata 5% Tabel 3 menggambarkan bahwa konsentrasi gas CO2 secara in situ pada inkubator CO2 portable lebih tinggi (P < 0.05) dari kontrol untuk perlakuan C, tetapi lebih rendah dari kontrol untuk perlakuan A dan B. Perlakuan B didesain dengan formulasi dosis kimia yang mendekati dengan kontrol. Terlihat perbedaan yang signifikan disetiap dosis perlakuan terhadap gas CO2 secara in situ. Viabilitas Embrio Setelah Dilakukan Kultur Selama 96 Jam Hampir setengah abad yang lalu, kultur embrio pertama kalinya berhasil dilakukan di media khusus yang telah dirancang dan diuraikan (Whitten 1956). Kultur embrio yang berhasil telah dilaporkan yang tidak hanya dalam hewan laboratorium, tetapi juga pada hewan ternak (Bavister 1995) dan manusia (Edwards 1981). Namun, meskipun kultur in vitro telah berhasil dilakukan dengan berbagai kondisi, termasuk suhu inkubator yang bervariasi dan komponen media (tergantung pada spesies atau tahapan perkembangan embrio), hampir semua telah menggunakan sistem bufer gas CO2. Sistem kultur ini telah banyak digunakan dalam kultur in vitro pada spesies mamalia (Bavister 1995; Nagai 2001), kecuali dalam beberapa kasus (Loskutoff et al. 1995; Vajta et al. 1997; Itoi et al. 2012), misalnya sistem kultur portable yang telah dirancang dimana embrio yang dikultur dalam kantong plastik tertutup dengan media kultur dan direndam di dalam air hangat. Penelitian ini menyediakan cara yang lebih sederhana, lebih mudah untuk kultur in vitro di luar laboratorium, dengan menggunakan peralatan yang sederhana serta praktis. 12 Konsentrasi CO2 sebesar 5% di dalam inkubator, yang biasa digunakan dalam kultur in vitro guna menjaga kondisi pH dari media berkisar 7.4, pH media menjadi signifikan lebih tinggi (7.6-7.7) ketika konsentrasi CO2 berkurang dari 5% menjadi 2% (Geshi et al. 1999). Berikut perkembangan embrio setelah kultur dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 4 dibawah ini: Tabel 4 Persentase perkembangan embrio pada kultur in vitro dalam inkubator CO2 portable Perlakuan n A B C Kontrol 50 72 39 37 Perkembangan Embrio Setelah Kultur In Vitro 24 jam 72 jam 96 jam 48 jam (Cleavage) (Blastosis) (Hatched) (Morula) (%) (%) (%) (%) 100 96.29 ± 3.21 92.06 ± 2.86 45.76 ± 8.63 100 98.71 ± 2.22 75.85 ± 16.07 36.50 ± 9.93 100 93.75 ± 10.82 73.78 ± 9.42 47.71 ± 26.73 100 95.23 ± 8.24 81.63 ± 10.12 81.63 ± 8.61 Keterangan: A: dosis dibawah dosis normal (B) B: dosis normal disesuaikan dengan konsentrasi inkubator CO2 standar C: dosis diatas dosis normal (B) Kontrol: inkubator CO2 standar Gambar 4 Perkembangan embrio mencit in vitro dalam inkubator CO2 termodifikasi. Perkembangan embrio yang ditunjukkan pada Tabel 4 tahap cleavage tiap perlakuan 100% berkembang baik. Selanjutnya, perkembangan menurun sampai 13 tahap blastosis hatched. Semua perkembangan embrio dengan berbagai perlakuan dibandingkan dengan kontrol tidak menunjukkan hasil berbeda nyata (P > 0.05). Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi gas CO2 yang dihasilkan secara in situ baik dosis perlakuan B yang mendekati dengan kondisi kontrol maupun perlakuan A lebih rendah dari dosis B begitu juga sebaliknya dengan dosis C, tidak ada perlakuan yang berpengaruh. Kondisi perkembangan embrio menunjukkan kondisi yang baik pada setiap perlakuan, sehingga apabila dosis sedikit berbeda dengan dosis B yang mendekati kondisi kontrol tidak akan berpengaruh pada perkembangan embrio. Tetapi, standar deviasi yang cukup besar kemungkinan akibat dari apoptosis. Apoptosis adalah suatu proses kematian sel yang terprogram, diatur secara genetik, bersifat aktif, ditandai dengan adanya kondensasi kromatin, fragmentasi sel dan fagositosis sel tersebut oleh sel tetangganya. Apoptosis terjadi pada sitoplasma, nukleus dan DNA. Apoptosis berperan penting pada proses embryonic arrest. Proses ini terjadi baik pada perkembangan embrio yang dikultur in vitro maupun in vivo. Embrio yang mengalami proses tersebut menunjukkan abnormalitas pada kromosom. Peningkatan abnormalitas pada kromosom dapat disebabkan ketidakteraturan atau defisiensi sitoskeleton serta adanya gangguan pada proses mitosis dan sitokinesis (Hardy et al. 2001). Pendekatan dalam penelitian ini sedikit berbeda dari yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti yang menggunakan desain inkubator CO2 portable ini, diantaranya yaitu Suzuki et al. (1999), Dong et al. (2001), Khan et al. (1993), serta Iwayama (2005). Khan et al. (1993) disini menggunakan granul effervescent yang belum diketahui konsentrasi gas CO2 yang diuji, sehingga menggunakan beberapa selang bobot yang akan diuji. Suzuki et al. (1999) menggunakan inkubator CO2 portable hampir sama dengan yang digunakan oleh Khan et al. (1993), tetapi yang membedakan adalah komposisi dan pendekatan disetiap bobot granul effervescent yang diuji, dengan menggunakan granul komersil dapat diperoleh bobot sebenarnya dari tiap eksperimen, serta membedakan perkembangan embrio dengan tekanan yang berbeda-beda. Suzuki et al. (1999) memperoleh hasil bahwa inkubasi embrio sapi dengan konsentrasi CO2 dibawah 2.5% hingga 12.2% dengan tekanan negatif dan kemungkinan konsentrasi O2 berkurang akibat dilakukan aspirasi terlebih dahulu lebih menguntungkan dalam mempengaruhi perkembangan embrio pada tahap awal, sedangkan dengan tekanan positif, dengan peningkatan konsentrasi O2 secara in situ dan konsentrasi CO2 yang berkurang, mengakibatkan perkembangan embrio menurun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa proses kultur in vitro serta maturasi/pematangan embrio dapat dilakukan pada inkubator CO2 portable yang dapat diaplikasikan pada kondisi lapangan. Tingkat perkembangan hingga tahap blastosis dan rasio sel inner cell mass terhadap trophectoderm menyerupai dengan yang diperoleh pada inkubator CO2 standar. Dong et al. (2001) telah memperoleh granul effervescent yang dapat digunakan untuk lingkungan in situ kultur in vitro dalam inkubator CO2 portable, sehingga mengidentifikasi pendekatan media kultur terhadap sistem kondisi kultur yang digunakan dalam inkubator CO2 portable. Iwayama (2005) menggunakan inkubator CO2 portable untuk kultur in vitro embrio dari paus. Perkembangan embrio secara in vitro sangat dipengaruhi oleh kualitas embrio, respon individu embrio, komposisi medium kultur yang digunakan dan 14 lingkungan inkubasi terhadap sistem kultur (Khoirinaya 2011). Hal ini menunjukkan pada produksi embrio baik secara in vitro maupun in vivo dihadapkan pada berbagai faktor yang mengakibatkan pertumbuhan embrio tidak optimal (Cohen et al. 1992; Gordon 1994). Mohamad et al. (1999) melaporkan bahwa 79% embrio mencit tahap morula kompak pada kultur in vitro mampu berkembang menjadi blastosis dan 76% embrio blastosis dapat mencapai tahap blastosis lanjut. Penelitian lain yang saling terkait juga diperoleh bahwa tidak semua embrio mampu hatching. Sato dan Marrs (1989) melaporkan bahwa kualitas oosit dan embrio dipengaruhi oleh jumlah hormon gonadotropin yang digunakan untuk stimulasi superovulasi. Superovulasi pada mencit menyebabkan keterlambatan perkembangan embrio secara in vitro ataupun in vivo, abnormalitas bentuk blastosis dan pertumbuhan fetus terhambat (Van der Auwera dan Hooghe 2001). Selain itu, Ghaemi et al. (2008) mengungkapkan bahwa superovulasi menyebabkan penurunan viabilitas dan perkembangan embrio serta peningkatan kematian atau degenerasi embrio. Penurunan viabilitas kemungkinan disebabkan oleh tingginya abnormalitas pada kromosom oosit dan embrio pada mencit betina yang disuperovulasi. Namun demikian, hal ini juga dimungkinkan bahwa degenerasi embrio pada mencit yang disuperovulasi disebabkan oleh proses apoptosis. Embrio yang mengalami proses tersebut menunjukkan abnormalitas pada kromosom. Peningkatan abnormalitas pada kromosom dapat disebabkan ketidakteraturan atau defisiensi sitoskeleton serta adanya gangguan pada proses mitosis dan sitokinesis (Hardy et al. 2001). Li et al. (2010) melaporkan bahwa pada tahap awal perkembangan (tahap cleavage) embrio mencit memperlihatkan fenomena cell block, fenomena ini sering terjadi pada embrio dari tahap zigot membelah menjadi 2 sel. Untuk menghindari fenomena tersebut, embrio yang digunakan pada penelitian ini adalah embrio tahap 2 sel. Faktor lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan kultur embrio meliputi: O2, CO2, pH, suhu, inkubator, cahaya, volume inkubasi dan jumlah embrio yang dikultur dalam satu kelompok. Karbondioksida diperlukan untuk mempertahankan pH protein dan asam nukleat oleh embrio mencit pada semua tahap perkembangan sebelum implantasi. Beberapa faktor yang dapat mengurangi tingkat perkembangan embrio sampai ke tahap blastosis diantaranya ialah: fluktuasi pH yang signifikan, fluktuasi suhu pada tahap awal perkembangan embrio, lama waktu pemaparan embrio pada suhu ruang dan jumlah embrio yang dikultur. Mikromanipulasi dan kultur embrio di bawah cahaya redup akan meningkatkan perkembangan embrio (Gardner 2007). Gardner (2007) menyatakan bahwa tingkat pembelahan dan pembentukan blastosis pada embrio mencit akan meningkat apabila embrio dikultur dalam grup (dengan jumlah 5 – 10 embrio dalam satu drop media). Hal ini karena embrio mamalia tahap preimplantasi memproduksi faktor pertumbuhan (growth factor) yang dapat memberikan pengaruh positif terhadap embrio lainnya. Berdasarkan hasil eksperimen tersebut, telah diperoleh gambaran formulasi kimia yang digunakan dalam serbuk effervescent. Formulasi ini dapat digunakan untuk membuat kondisi lingkungan suatu inkubator CO2 portable secara in situ menyerupai dengan kondisi inkubator CO2 standar. 15 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa suatu inkubator CO2 portable sederhana yang termodifikasi dapat digunakan sebagai alat untuk kultur in vitro embrio mencit. Kondisi lingkungan sistem kultur dengan konsentrasi gas CO2 sebesar 5% dapat dicapai dengan penggunaan serbuk effervescent yang dihasilkan secara in situ. Saran Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut terhadap perkembangan embrio mencit dengan menggunakan berbagai kondisi tekanan untuk mendapatkan konsentrasi O2 yang lebih rendah. Serta, diperolehnya kemasan praktis untuk sediaan effervescent. DAFTAR PUSTAKA Arnaiz FJ. 1993. J. Chem. Educ. 70: 1020-1021. Bavister BD. 1995. Culture of preimplantation embryos: facts and artifacts. Hum Reprod Update, 1: 91–148. Bowman P, McLaren A. 1970a. Cleavage rate of mouse embryos in vivo and in vitro. J. Embryol. Exp. Morphol. 24: 203-7. Bowman P, McLaren A. 1970b. Viability and growth of mouse embryos after in vitro culture and fusion. J. Embryol. Exp. Morphol. 23: 693-704. Cohen J, Malter HE, Talansky BE, Grifo J. 1992. Micromanipulation of Human Gametes and Embryos. America: Raven Press. Crossno SK, Kalbus LH, Kalbus GE. 1996. J. Chem. Educ. 73: 175 and references therein. Dong YJ, Varisanga MD, Mtango NR, Aono M, Otoi T, Suzuki T. 2001. Improvement of the culture conditions for in vitro Production of cattle embryos in a portable CO2 incubator. Reprod Dom Anim. 36: 313–318. Edwards RG, Purdy JM, Steptoe PC, Walters DE. 1981. The growth of human preimplantation embryos in vitro. Am J Obstet Gynecol. 141: 408–16. Gardner D. 2007. In Vitro Fertilization: A Practical Approach. New York: Informa Healthcare. Geshi M, Yonai M, Sakaguchi M, Nagai T. 1999. Improvement of in vitro coculture systems for bovine embryos using a low concentration of carbon dioxide and medium supplemented with b-mercaptoethanol. Theriogenology. 51: 551–8. Ghaemi SR, Salehnia M, Valojerdi MR. 2008. The effect of progesterone and exogenous gonadotropin on Preimplantation Mouse Embryo Development and Implantation. Exp Anim. 57: 23-34. 16 Gordon I .1994. Laboratory Production of Cattle Embryo. Biotech. In Agric. Series. CAB International Singapore. Hardy K, Spanos S, Becker D, Iannelli P, Winston RML, Stark J. 2001. From cell death to embryo arrest: mathematical models of human preimplantation embryo development. Proceedings of the National Academy of Sciences USA. 98(4): 1655-1660. Harlow GM, Quinn P. 1982. Development of Preimplantation Mouse Embryos in vivo and in vitro. Aust. J. Biol. Sci. 35: 187-93. Harvey D. 2000. Modern Analytical Chemistry, 1st Edition. Boston: McGraw-Hill. Harris DC. 1997. Exploring Chemical Analysis. New York: W. H. Freeman. p 392–393. Ho Y, Wigglesworth K, Eppig JJ, Schultz RM. 1995. Preimplantation development of mouse embryos in KSOM: augmentation by amino acids and analysis of gene expression. Mol. Reprod. Dev. 41: 232-238. Holm P, Booth PJ, Callesen H. 2002. Kinetics of early in vitro development of bovine in vivo- and in vitro-derived zygotes produced and/or cultured in chemically defined or serum-containing media. Reproduction. 123: 553-565. Itoi F, Tokoro M, Terashita Y, Yamagata K, Fukunaga N, Asada Y, Wakayama T. 2012. Offspring from Mouse Embryos Developed Using a Simple IncubatorFree Culture System with a Deoxidizing Agent. PloS one. 7(10): e47512. Iwayama H, Ishikawa H, Ohsumi S, Fukui Y. 2005. Attempt at in vitro maturation of minke whale (Balaenoptera Bonaerensis) oocytes using a portable CO2 incubator. The Journal of reproduction and development. 51(1): 69-75. Jaswandi, Arief Boediono, Muhammad Agus Setiadi. 2001. In Vitro Maturation and Fertilization of Ovine Oocytes in a System with Absence of 5% CO2. Reprotech. 1: 19-22. Juita Y. 2008. Formulasi Tablet Tepung Lidah Buaya. http://www.digilib.ui.ac.id [26 Januari 2013] Khan NH, Kikkawa Y, Sumantri C, Saba S, Murakami MS, Boediono A, Suzuki T. 1993. Effect of gas atmosphere on the development of bovine embryos using a simple portable incubator. Journal of Japan Embryo Transfer Society. 2: 113122 (Unpublished) Khoirinaya C. 2011. Viabilitas embrio mencit (Mus musculus albinus) setelah kriopreservasi dengan vitrifikasi ganda pada tahap perkembangan zigot dan dilanjutkan pada tahap blastosis [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kumoro AC, Hadiyanto H. 2000. Absorpsi Gas Karbondioksid Dengan Larutan Soda Api Dalam Kolom Unggun Tetap. In Forum Teknik (Vol. 24, No. 2, p 186-195). Yogyakarta (ID): Biro Penerbit Universitas Gadjah Mada. Lane M, Gardner DK, 2004. Preparation of gametes, in vitro maturation, in vitro fertilization, embryo recovery and transfer. In: Gardner DK, Lane M, Watson AJ. (Eds.), A Laboratory Guide to the Mammalian Embryo. New York: Oxford Press. p 24–40. Lieberman HA, Lachman L, Schwart JB. 1989. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Volume ke-1. Siti Suyatmi, penerjemah. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: The Theory and Practice of Industrial Pharmacy, Vol 1. Li L, Zheng P, Dean J. 2010. Maternal control of early mouse development. Development. 137: 859-870. 17 Loskutoff NM, Bartels P, Meintjes M, Godke RA, Schiewe MC. 1995. Assisted reproductive technology in nondomestic ungulates: a model approach to preserving and managing genetic diversity. Theriogenology. 43: 3–12. Maarif F, Januar Arif F. 2009. Absorbsi Gas Karbondioksida (CO2) dalam Biogas dengan Larutan NaOH secara Kontinyu. Dalam: "Seminar Tugas Akhir S1 Jurusan Teknik Kimia UNDIP 2009", Semarang (ID): Universitas Diponegoro (Unpublished) Macháty Z, Day BN, Prather RS. 1998. Development of early porcine embryos in vitro and in vivo. Reproduction. 59: 451–455. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid 1. Bogor (ID): IPB Press. McReynolds HD, Hadek R. 1972. A comparison of the fine structure of late mouse blastocysts developed in vivo and in vitro. J. Exp. Zool. 182: 95-118. Mohamad K, Eriani K, Djuwita I, Boediono A. 1999. Perkembangan in vitro dan in vivo embrio mencit tanpa zona pelusida. Media Veteriner. 6: 1-4. Nagai T. 2001. The improvement of in vitro maturation systems for bovine and porcine oocytes. Theriogenology. 55: 1291–301. Naomi F, Marcela V. 2010. Optimal in vitro Culture Conditions for Sustainable Development of Preimplantation Mouse Embryos during Prolonged Culture. Health and the Environment Journal. 1: 2. Olutoye MA, Mohammed A. 2006. Modelling of a Gas-Absorption Packed Column for Carbon Dioxide-Sodium Hydroxide System. African Union Journal of Technology. 10(2): 132-140. Quinn P, Wales RG. 1973. The effect of culture in vitro on the levels of adenosine triphosphate in preimplantation mouse embryos. J. Reprod. Fertil. 32: 231-41. Sato F, Marrs RP. 1989. The effect of pregnant mare serum gonadotropin on mouse embryo fertilized in vivo or in vitro. J In Vitro Embryo Transfer. 3: 353357. Siregar CJP, Wikarsa S. 2010. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet Dasar-Dasar Praktis. Jakarta (ID): Kedokteran EGC. Skoog DA,West DM, Holler FJ. 1996. Fundamentals of Analytical Chemistry, 7th ed. Fort Worth: Saunders College Publishing. p 257–260. Suzuki T, Sumantri C, Khan NHA, Murakami M, Saha S. 1999. Development of a simple, portable carbon dioxide incubator for in vitro production of bovine embryos. Anim Reprod Sci. 54: 149–157. Vajta G, Holm P, Greve T, Callesen H. 1997. The submarine incubation system, a new tool for in vitro embryo culture: a technique report. Theriogenology. 48: 1379–85. Van der Auwera I, Hooghe TD. 2001. Superovulation of female mice delays embryonic and fetal development. Hum Reprod. 16:1237-1243. Varisanga MD, Dong YJ, Mtango NR, Suzuki T. 2002. Comparison of the effects of using standard and simple portable CO2 incubators on the in vitro developmental competence of bovine embryos reconstituted by somatic cell nuclear transfer. Theriogenology. 58: 77–86. Whitten WK. 1956. Culture of tubal mouse ova. Nature. 177: 96. Wilisa OY. 2009. Pengaruh Variasi Konsentrasi Bahan Pengikat Polivinilpirolidon Terhadap Sifat Fisik Tablet Effervescent Kombinasi Ekstrak Herba Sambiloto (Andrographis Paniculata (Burm F.) Ness.) dan Daun 18 Dewandaru (Eugenia Uniflora Linn.) Dengan Bahan Pengisi Xylitol, http://www.ums.ac.id [26 Januari 2013] 19 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Oktober 1990 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Rustam Effendi dan Ibu Sunarti. Penulis memulai pendidikan formal di TK Bhayangkari, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (1995-1996); SD Negeri Sidorejo 1, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (1996-2001); lanjut SD Negeri Johar Baru 11 Pagi, Percetakan Negara, Jakarta Pusat (2001-2002); SLTP Negeri 76 Jakarta (2002); lanjut SMP Negeri 1 Arut Selatan, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (2002-2005); dan SMU Negeri 1 Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (2005-2008). Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima pada Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjalani studi di IPB, penulis aktif dalam beberapa organisasi diantaranya LDK Alhurriyyah sebagai staf minat dan bakat (2008-2009), Pengembangan Sumber Daya Manusia DKM An Nahl FKH IPB sebagai ketua divisi (2009-2010 dan 2010-2011), Himpunan Minat dan Profesi Satwaliar sebagai pengurus staf eksternal (2009-2010 dan 2010-2011) serta bergabung dalam UKM Tenis Lapangan sebagai staf humas (2010). Selain itu penulis sering mengikuti kepanitiaan dan seminar-seminar di berbagai kegiatan kampus diantaranya Open House Mahasiswa IPB tahun 2009, MPKMB “PASTI GEMILANG 46” tahun 2009, Penyambutan SALAM ISC LDK Alhurriyyah angkatan 47 tahun 2010, Open House Mahasiswa IPB tahun 2011, Seminar Materials and Processes for The Replacement and Regeneration of Human Tissues tahun 2011, Pelatihan Penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) pada Unit Usaha Pangan Asal Hewan Angkatan 1 tahun 2012, dan berbagai kegiatan lainnya. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, penulis melakukan penelitian di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia Fakultas Matematika dan IPA, Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, serta UPT Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor yang berjudul ”Perkembangan Embrio Mencit (Mus musculus albinus) Pada Inkubator CO2 Termodifikasi”. Dibawah bimbingan Bapak Prof. drh. Arief Boediono, Ph. D, PAVet (K) dan Bapak Rudi Heryanto, S. Si., M. Si.