dampak guncangan eksternal dan domestik

advertisement
DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL DAN DOMESTIK
TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA
ANISA NURAINI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Dampak Guncangan Eksternal
dan Domestik terhadap Makroekonomi Indonesia” adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2012
Anisa Nuraini
NRP. H151104364
ii
iii
ABSTRACT
ANISA NURAINI. Effects of External and Domestic Shocks on the Indonesian
Macroeconomy. Under direction of HERMANTO SIREGAR and NUNUNG
NURYARTONO.
As a small open economy country, Indonesia is exposed to various external
and domestic events that can potentially interfere its domestic macroeconomic
stability. Hence, it is necessary to have appropriate policies in order to reduce the
excessive fluctuations in economy. The aim of this study is to assess the main
shocks affecting the domestic economy and also to find out domestic
macroeconomic responses when shocks happen. To achieve aforementioned
objectives we use a SVECM method with a set of short run restrictions based on
the New Keynesian framework. This study finds that the domestic shocks hold an
important role for the fluctuations of the domestic macroeconomy, meanwhile the
external shocks including world oil price shock have less important role. Demand
shock, ultimately real exchange rate shock, evidently become as important as
supply shock, which is permanently responded by GDP and the real exchange
rate. Moreover, this study also find that money neutrality occurs both in the shortrun and long-run.
Keywords: business cycle, Indonesian macroeconomy, agregrat demand shocks,
oil price shock, SVECM
iv
v
RINGKASAN
ANISA NURAINI. Dampak Guncangan Eksternal dan Domestik terhadap
Makroekonomi Indonesia. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR dan
NUNUNG NURYARTONO.
Visi Indonesia 2025 adalah mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan
merupakan kekuatan 12 besar dunia di tahun 2025 dan 6 besar dunia pada tahun
2050 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan
berkelanjutan. Dalam rangka mencapai visi Indonesia tersebut diperlukan
stabilitas dalam perekonomian. Namun fluktuasi ekonomi, ekspansi dan kontraksi
output, senantiasa mengikuti perjalanan perekonomian suatu negara. Kontraksi
perekonomian kadang berlangsung lama, namun tidak berlangsung selamanya.
Meski demikian ternyata kontraksi perekonomian menyebabkan penurunan output
dan peningkatan pengangguran serta kemiskinan, sehingga diperlukan upaya
untuk meredam dampak negatif dari krisis yang terjadi.
Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, Indonesia tidak hanya
terpapar oleh peristiwa domestik seperti kebijakan ekonomi pemerintah namun
juga berbagai peristiwa dunia seperti krisis dan fluktuasi tajam harga minyak
dunia, yang bersifat mengganggu stabilitas ekonomi. Studi fluktuasi
perekonomian dengan pendekatan business cycle masih sedikit dilakukan di
negara berkembang seperti Indonesia meskipun pada level nasional. Berdasarkan
uraian tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis dinamika
respon variabel makroekonomi akibat guncangan tertentu.; dan (2) mengkaji
guncangan yang paling berperan terhadap business cycle Indonesia.
Cakupan penelitian ini adalah kajian dampak berbagai guncangan terhadap
business cycle nasional. Identifikasi guncangan dilakukan berdasarkan kerangka
kerja New Keynesian. Guncangan eksternal dari sisi penawaran adalah guncangan
harga minyak dunia, sedangkan guncangan eksternal dari sisi permintaan berupa
guncangan suku bunga Amerika Serikat (AS). Guncangan domestik dari sisi
penawaran diidentifikasi sebagai guncangan output, sedangkan guncangan
domestik dari sisi permintaan meliputi guncangan kurs riil, guncangan permintaan
uang serta guncangan kebijakan moneter domestik. Penelitian ini menggunakan
data sekunder dari berbagai sumber antara lain BPS, BI dan The Federal Reserve.
Data yang digunakan untuk analisis berupa data triwulanan mulai periode 1990:1
hingga 2012:2.
Metode yang digunakan untuk menjawab tujuan pertama adalah analisis
IRF yang dihasilkan model SVEC, sedangkan untuk menjawab tujuan kedua
digunakan analisis FEVD. Model yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti
model Siregar dan Ward (2000) yang dimodifikasi dengan menambahkan
guncangan baru berupa guncangan harga minyak dunia yang belum dicakup pada
penelitian sebelumnya. Berdasarkan model tersebut variabel yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi PDB, kurs riil, permintaan uang riil, suku bunga
domestik, suku bunga AS dan harga minyak dunia.
Berdasarkan hasil pengujian asumsi time series diperoleh bahwa model
memenuhi asumsi stasioneritas, ditemukan satu rank kointegrasi serta model yang
dibangun adalah stabil. Karena seluruh variabel stasioner pada first difference
vi
kecuali suku bunga domestik yang stasioner dalam level dan ditemui adanya
hubungan kointegrasi maka digunakan VECM yang dilanjutkan dengan
menerapkan restriksi jangka pendek berdasarkan kerangka kerja New Keynesian
sehingga menjadi SVECM.
Berdasarkan hasil IRF ditemukan bahwa respon makroekonomi domestik
terhadap guncangan eksternal berupa guncangan harga minyak dunia ternyata
tidak signifikan. Hal ini disebabkan karena pemerintah merespon kenaikan harga
minyak dunia dengan meningkatkan subsidi harga BBM domestik, sehingga harga
BBM domestik belum mengikuti harga keekonomiannya. Guncangan eksternal
lain yaitu guncangan suku bunga AS hanya direspon secara signifikan oleh suku
bunga domestik, sedangkan PDB dan variabel makroekonomi lainnya tidak
merespon guncangan ini secara signifikan.
Guncangan output direspon secara permanen oleh PDB dan permintaan
uang riil. Guncangan kurs riil menyebabkan perubahan permanen dalam PDB dan
kurs riil, sedangkan guncangan permintaan uang hanya direspon secara signifikan
oleh permintaan uang riil. Guncangan kebijakan moneter penting dalam fluktuasi
jangka pendek suku bunga domestik namun PDB tidak merespon guncangan ini
secara signifikan.
Analisis FEVD membuktikan bahwa guncangan domestik tidak mampu
menjelaskan fluktuasi variabel eksternal. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia
merupakan negara small open economy, sehingga perekonomian Indonesia
terpapar oleh berbagai peristiwa dunia. Namun berdasarkan hasil FEVD
ditemukan bahwa peristiwa eksternal yang dicakup dalam penelitian ini yaitu
guncangan harga minyak dunia dan guncangan suku bunga AS ditemukan tidak
berperan penting bagi fluktuasi perekonomian domestik.
Guncangan domestik ditemukan lebih penting bagi fluktuasi makroekonomi
Indonesia. Guncangan domestik dari sisi permintaan ternyata sama pentingnya
seperti guncangan domestik dari sisi penawaran. Guncangan sisi permintaan yang
utama adalah guncangan kurs riil. Guncangan kebijakan moneter domestik tidak
mampu menjelaskan fluktuasi PDB di jangka pendek maupun di jangka panjang,
mengindikasikan money neutrality di seluruh horizon waktu.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka yang dapat disarankan yaitu:
(1) Meski pengaruh harga minyak dunia bagi perekonomian domestik tidak
signifikan karena harga BBM domestik masih disubsidi, namun arah respon PDB
adalah negatif. Oleh karena itu pemerintah direkomendasikan untuk mulai
mengurangi subsidi BBM dengan cara pembatasan BBM bersubsidi dengan
aturan berbentuk undang-undang atau meningkatkan harga BBM domestik secara
bertahap hingga sesuai harga keekonomiannya disertai realokasi dana subsidi
BBM ke sektor produktif. (2) Guncangan kurs riil perlu diwaspadai karena
menyebabkan PDB terkontraksi secara permanen. Ketika kurs riil berfluktuasi
maka kebijakan fiskal adalah salah satu kebijakan yang dapat diimplementasikan
untuk menstabilkannya. (3) Kebijakan moneter efektif dipakai untuk stabilisasi
fluktuasi permintaan uang riil dan fluktuasi suku bunga domestik.
Kata Kunci:
business cycle, makroekonomi Indonesia, guncangan permintaan,
guncangan harga minyak, SVECM
vii
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah;
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
viii
ix
DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL DAN DOMESTIK TERHADAP
MAKROEKONOMI INDONESIA
ANISA NURAINI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S
xi
Judul Penelitian
Nama
NRP
Program Studi
: Dampak Guncangan Eksternal dan Domestik terhadap
Makroekonomi Indonesia
: Anisa Nuraini
: H151104364
: Ilmu Ekonomi
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec.
Ketua
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 13 September 2012
Tanggal Lulus:
xii
xiii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala ridho
dan rahmat-Nya sehingga tesis ini dapat selesai. Tesis ini berjudul “Dampak
Guncangan Eksternal dan Domestik terhadap Makroekonomi Indonesia”.
Penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing, yang
dalam kesibukannya masih berkenan meluangkan waktu dan kesabaran untuk
memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang sangat bermanfaat dalam
penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir.
Noer Azam Achsani, M.S selaku penguji luar komisi dan Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih,
M.Sc.Agr. selaku perwakilan dari Program Studi Ilmu Ekonomi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Direktur Neraca Pengeluaran,
dan Kepala Subdirektorat Neraca Pemerintah dan Badan Usaha yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program
Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPS) IPB.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Bapak Dr.
Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si. beserta jajarannya selaku pengelola Program
Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB, semua dosen yang telah mengajar penulis dan
rekan-rekan yang senantiasa membantu penulis selama perkuliahan dan
penyelesaian tugas akhir ini.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada
suamiku Brata Sanjaya serta anak-anakku Qiifa dan Ema, berkat dukungan kalian
penulis mampu melewati saat-saat sulit dalam penyelesaian tesis ini. Selain itu
ucapan terima kasih tak terkira untuk Mamah, Bapak dan Ibu serta seluruh
keluarga besar yang telah memberikan do’a dan dukungan sejak awal perkuliahan.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna
karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan
tanggung jawab penulis, sedangkan kebenaran yang ada merupakan karunia Alloh
SWT. Semoga Alloh SWT memberikan balasan kepada pihak-pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Penulis berharap bahwa tesis ini
dapat memberikan kontribusi positif dalam proses pembangunan dan bermanfaat
bagi para pembaca sekalian.
Bogor, September 2012
Anisa Nuraini
xiv
xv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Semarang (Jawa Tengah) pada tanggal 24 Juli 1981
dari pasangan (alm) Bapak Samsudin dan Ibu Kemini. Penulis menikah dengan
Brata Sanjaya dan dianugerahi dua putri yaitu Tsaqiifa Nazhmaa ‘Ushaiyyah
Sanjaya dan Azema Rasyiiqah Sanjaya.
Setelah menamatkan pendidikan dasar hingga jenjang SMA di Semarang,
pada tahun 1999 penulis diterima sebagai mahasiswa kedinasan di Sekolah Tinggi
Ilmu Statistik dan menyelesaikan pendidikan D-IV tersebut pada tahun 2003.
Kemudian penulis ditugaskan pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Halmahera
Tengah, Provinsi Maluku Utara di Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik.
Pada tahun 2006, penulis dipindahtugaskan ke Badan Pusat Statistik Provinsi
Maluku Utara pada Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik dan dipercaya
menjadi Kepala Seksi Neraca Produksi pada tahun 2008. Pada tahun 2009, penulis
dipindahtugaskan ke Badan Pusat Statistik RI pada Subdirektorat Neraca
Pemerintah dan Badan Usaha, Direktorat Neraca Pengeluaran.
Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan Program Magister di
Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB melalui penyelenggaraan khusus, setelah
sebelumnya menyelesaikan Program Alih Jenis S1 di Departemen Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekomoni dan Manajemen IPB. Program Penyelenggaraan Khusus ini
merupakan kerjasama BPS dan IPB.
xvi
xvii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xix
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xx
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xxiii
DAFTAR ISTILAH ....................................................................................... xxv
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................... xxvii
I.
PENDAHULUAN ...................................................................................
1.1 Latar Belakang ................................................................................
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................
1.4 Manfaat Penelitian ..........................................................................
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................
1
1
9
10
11
11
II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
2.1 Definisi Business Cycle ..................................................................
2.2 Teori Business Cycle .......................................................................
2.3 Model Business Cycle New Keynesian Indonesia ..........................
2.3.1 Sisi Permintaan .....................................................................
2.3.1.1 Suku Bunga Amerika Serikat .....................................
2.3.1.2 Permintaan Uang Riil .................................................
2.3.1.3 Kurs Riil .....................................................................
2.3.1.4 Suka Bunga Domestik ................................................
2.3.2 Sisi Penawaran .....................................................................
2.4 Studi Empiris .................................................................................
2.4.1 Studi Business Cycle .............................................................
2.4.2 Studi Fluktuasi Harga Minyak Dunia ...................................
2.5 Kerangka Pemikiran .......................................................................
13
13
14
16
17
19
21
21
22
22
23
23
29
30
III. METODE PENELITIAN .........................................................................
3.1 Jenis dan Sumber Data ...................................................................
3.2 Analisis Deskriptif ..........................................................................
3.3 Prosedur Analisis Business Cycle ...................................................
3.4 Pengujian Time Series .....................................................................
3.4.1 Uji Stasioneritas .....................................................................
3.4.2 Uji Stabilitas Model VAR/VEC ..............................................
3.4.3 Uji Ordo Optimal VAR/VECM ...............................................
3.4.4 Uji Kointegrasi .......................................................................
3.5 Model Vector Auto Regressive (VAR) .............................................
3.6 Model Vector Error Correction (VEC) ...........................................
3.7 Model Structural VAR (SVAR) .......................................................
3.8 Model Structural VEC (SVEC)........................................................
3.9 Analisis Dinamika Respon Business Cycle Indonesia .....................
3.10 Analisis Sumber Guncangan Utama Business Cycle Indonesia ......
33
33
37
37
38
38
40
40
41
42
43
44
45
46
47
xviii
IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA ..................................
4.1 Produk Domestik Bruto (PDB) .........................................................
4.2 Kurs Riil ...........................................................................................
4.3 Permintaan Uang Riil ........................................................................
4.4 Suku Bunga Domestik .......................................................................
49
49
53
55
57
V. SPESIFIKASI MODEL DAN HUBUNGAN CONTEMPORANEOUS...
5.1 Pengujian Asumsi Time Series .........................................................
5.1.1 Uji Stasioneritas ........................................................................
5.1.2 Penetuan Lag Optimal ...............................................................
5.1.3 Uji Kointegrasi ..........................................................................
5.1.4 Uji Stabilitas Model VEC ..........................................................
5.2 Model VEC .........................................................................................
5.3 Restriksi Struktural Model SVEC ......................................................
5.4 Hubungan Contemporaneous Makroekonomi Domestik ..................
59
59
59
60
61
61
62
64
65
VI. DAMPAK
GUNCANGAN
EKSTERNAL
TERHADAP
MAKROEKONOMI INDONESIA .........................................................
6.1 Dinamika Respon Business Cycle Indonesia terhadap
Guncangan Eksternal ..........................................................................
6.1.1 Guncangan Penawaran (Harga Minyak Dunia) .....................
6.1.2 Guncangan Permintaan (Guncangan Suku Bunga Amerika
Serikat) ..................................................................................
6.2 Peran Guncangan Eksternal terhadap Fluktuasi Makroekonomi
Indonesia ...........................................................................................
6.3 Implikasi Kebijakan ...........................................................................
TERHADAP
VII. DAMPAK
GUNCANGAN
DOMESTIK
MAKROEKONOMI INDONESIA ..........................................................
7.1 Dinamika Respon Business Cycle Indonesia terhadap
Guncangan Domestik .........................................................................
7.1.1 Guncangan Penawaran (Output) ............................................
7.1.2 Guncangan Permintaan ..........................................................
7.1.2.1Guncangan Kurs Riil ...................................................
7.1.2.2Guncangan Permintaan Uang ......................................
7.1.2.3Guncangan Kebijakan Moneter Domestik ..................
7.2 Peran Guncangan Domestik terhadap Fluktuasi Makroekonomi
Indonesia ...........................................................................................
7.3 Implikasi Kebijakan ...........................................................................
69
69
69
79
80
83
87
87
87
88
88
90
91
93
96
VIII.KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 99
8.1 Kesimpulan ....................................................................................... 99
8.2 Saran .................................................................................................. 100
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 103
LAMPIRAN .................................................................................................... 107
xix
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Perkembangan produksi minyak mentah dunia menurut kawasan ...........
4
2
Perkembangan konsumsi minyak dunia menurut kawasan ......................
5
3
Data dan sumbernya .................................................................................
33
4
Hasil uji unit root......................................................................................
59
5
Uji kointegrasi dengan Saikkonen & Lütkepohl-test ................................
61
6
Hubungan contemporaneous antar variabel ............................................
65
7
Peran guncangan domestik terhadap fluktuasi variabel eksternal ............
81
8
Peran guncangan eksternal terhadap fluktuasi makroekonomi domestik .
82
9
Peran guncangan domestik terhadap fluktuasi makroekonomi domestik
93
xx
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ..........................
3
2
Perkembangan pertumbuhan supply dan demand minyak dunia ..............
6
3
Perkembangan harga minyak dunia .........................................................
7
4
Business Cycle...........................................................................................
14
5
Kerangka pemikiran penelitian ................................................................
31
6
Perbandingan suku bunga SBI 3 bulan dan suku bunga deposito Bank
Umum 3 bulan ...........................................................................................
35
7
Regresi suku bunga deposito 3 bulan dan suku bunga SBI 3 bulan .........
35
8
Uji structural break ..................................................................................
36
9
Tahapan prosedur analisis penelitian .......................................................
37
10 Perkembangan PDB riil dan pertumbuhan riil tahunan, 1990-2011 .........
49
11 Perkembangan PDB riil dan pertumbuhan riil Indonesia triwulanan .......
52
12 Perkembangan kurs nominal Rp/US$ dan kurs riil ..................................
53
13 Persentase perubahan kurs riil ..................................................................
55
14 Perkembangan permintaan uang M1 dan IHK .........................................
56
15 Perkembangan permintaan uang riil ........................................................
57
16 Perkembangan suku bunga SBI 3 bulan ..................................................
57
17 Perkembangan suku bunga AS Treasury Bill Rate 3 Months ...................
58
18 Uji stabilitas dari VAR(4) dengan CUSUM ..............................................
60
19 Uji stabilitas model VEC(3) dan 1 rank kointegrasi 1 dengan Recursive
Eigenvalue .................................................................................................
61
20 Uji stabilitas model VEC(3) dan 1 rank kointegrasi 1 dengan Tau_t
Statistics ....................................................................................................
62
xxi
21 Uji kausalitas suku bunga AS dan harga minyak dunia ...........................
64
22 Respon harga minyak dunia terhadap guncangan dirinya sendiri ............
69
23 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan harga minyak
dunia .........................................................................................................
70
24 Perkembangan subsidi BBM dan defisit APBN .......................................
71
25 Perkembangan penerimaan pajak dan pembiayaan defisit anggaran .......
72
26 Pekembangan subsidi BBM dan subsidi non-energi ................................
74
27 Pekembangan indeks harga minyak mentah dan indeks harga produk
pertanian ...................................................................................................
75
28 Respon suku bunga AS terhadap guncangan dirinya sendiri ...................
79
29 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan suku bunga AS ...
80
30 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan output .................
87
31 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan kurs riil ...............
89
32 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan permintaan uang
90
33 Respon makroekonomi domestik atas guncangan kebijakan moneter .....
92
xxii
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Uji unit root dengan ADF-test ..................................................................
108
2
Pemilihan panjang lag dalam sistem VECM ............................................
114
3
Uji kointegrasi dengan Saikkonen Lütkepohl-test ....................................
115
4
Model VEC ...............................................................................................
116
5
Representasi VAR dari model VEC ...........................................................
118
6a Uji autokorelasi dengan ACF dan PACF residual (uji diagnostik) ..........
120
6b Uji kenormalan residual (uji diagnostik VECM (3)) ................................
123
6c Plot standardized residual (uji diagnostik VECM (3)) .............................
124
7
Estimasi koefisien contemporaneous SVECM .........................................
125
8a Impulse Response Function atas guncangan harga minyak dunia ............
126
8b Impulse Response Function atas guncangan suku bunga Amerika
Serikat ...................................................................................................... 129
8c Impulse Response Function atas guncangan output ................................
132
8d Impulse Response Function atas guncangan kurs riil ...............................
135
8e Impulse Response Function atas guncangan permintaan uang ................
138
8f
Impulse Response Function atas guncangan kebijakan moneter
domestik ................................................................................................... 141
9a FEVD PDB ..............................................................................................
144
9b FEVD kurs riil...........................................................................................
145
9c FEVD permintaan uang riil.......................................................................
146
9d FEVD suku bunga domestik .....................................................................
147
9e FEVD suku bunga Amerika Serikat .........................................................
148
9f
149
FEVD harga minyak dunia .......................................................................
xxiv
xxv
DAFTAR ISTILAH
Boom dan bust
Booming
Business Cycle
Comovement
Contagion effect
Credit crunch
Ekspansi
Foot loose industry
Full employment
Inflasi
Kontraksi
Kurs
Kurs riil
Laisses faire
M1
Menu cost
Natural Rate Hypothesis
New Keynesian
Nominal rigidities
Offset
Output natural
Overheating
PDB
: karakteristik dari periode kemakmuran ekonomi
yang diikuti dengan depresi
: sebuah periode kenaikan output yang signifikan
: fluktuasi
yang
terjadi
pada
kegiatan
perekonomian agregat suatu negara, berulang
tapi tidak terjadi secara periodik
: pergerakan yang sama pada beberapa variabel
: efek penularan
: penurunan ketersediaan pinjaman (atau kredit)
dari Bank
: perkembangan ekonomi dalam pola konjungtur
yang ditandai oleh kenaikan harga, peningkatan
jumlah uang beredar, produksi, dan konsumsi
: industri yang sedikit kandungan bahan baku
lokal
: tingkat pengangguran alami
: kenaikan harga barang dan jasa secara umum
: kemerosotan ekonomi dalam pola konjungtur,
ditandai oleh menurunnya harga, berkurangnya
jumlah uang beredar, produksi, dan konsumsi
: harga dari suatu mata uang terhadap nilai mata
uang lainnya
: nilai uang yang diukur dengan kemampuan uang
tersebut untuk ditukar dengan barang atau jasa.
: doktrin ekonomi yang tidak menginginkan
campur tangan pemerintah dalam perekonomian
: jumlah uang dalam arti sempit yaitu uang kertas,
uang logam dan uang giral
: biaya kecil atas perubahan harga
: tingkat pengangguran yang kembali ke tingkat
alamiahnya
: sebuah teori dalam ekonomi dimana guncangan
nominal dapat memengaruhi variabel riil akibat
dari adanya kekakuan harga dan upah nominal
serta adanya kegagalan pasar
: kekakuan harga dan upah nominal
: menghilangkan
: output alamiah
: pemulihan ekonomi yang terlalu kuat
: nilai pasar semua barang dan jasa yang
diproduksi oleh suatu negara pada periode
tertentu
xxvi
Permintaan uang
Recovery
Resesi
Sertifikat Bank Indonesia
Shock
Stagflasi
Steady State
Sub- prime mortgage
Surat Utang Negara
Treasury Bill rate
Turning Point
Variabilitas
: jumlah uang yang diminta masyarakat untuk
keperluan transaksi, berjaga-jaga dan untuk
spekulasi dalam sebuah perekonomian.
: pemulihan perekonomian
: keadaan dimana kegiatan ekonomi tidak berjalan
dengan baik, produksi merosot dan banyak
pengangguran, perekonomian yang lesu, dan
hasil produksi kurang dari yang sebenarnya
dapat dicapai dengan kapasitas produksi yang
ada
: surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka
waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem bunga.
: guncangan dalam ekonomi
: suatu kondisi suatu perekonomian dimana terjadi
inflasi dan stagnasi dalam waktu yang
bersamaan
: kondisi keseimbangan perekonomian di jangka
panjang
: praktek pemberian kredit pada debitur yang tidak
memenuhi persyaratan kredit untuk diberikan
pinjaman
: surat berharga yang berupa surat pengakuan
utang dalam mata uang Rupiah maupun valuta
asing yang dijamin pembayaran bunga dan
pokoknya oleh Negara Republik Indonesia,
sesuai masa berlakunya.
: nota jangka pendek (biasanya kurang dari satu
tahun, biasanya tiga bulan) jatuh tempo yang
diterbitkan oleh pemerintah Amerika Serikat
sebagai alat utama untuk mengatur pasokan uang
dan penggalangan dana melalui operasi pasar
terbuka.
: titik balik
: derajad penyebaran nilai variabel dari suatu
tendensi sentral tertentu. Untuk mengetahui
homogenitas dan heterogenitas data.
xxvii
DAFTAR SINGKATAN
ACF
AD
ADF
AIC
APBN
AS
BBM
CUSUM
FEVD
FPE
HQ
IHK
IHSG
IRF
IS
IS-LM
LM
NER
OPEC
PACF
PDB
RER
RMB
ROW
SBC
SBI
SVAR
SVECM
TBill
The Fed
UIP
VECM
WTI
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Autocorrelation Function
Aggregat Demand
Augmented Dickey Fuller
Akaike Information Criterion
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Aggregat Supply
Bahan Bakar Minyak
Cumulative of Sum Square
Forecast Error Variance Decompositions
Final Prediction Error
Hannan-Quinn Information Criterion
Indeks Harga Konsumen
Indeks Harga Saham Gabungan
Impulse Response Functions
Investment equal Saving
Investment equal Saving- Liquidity Preference equal Money
Liquidity Preference equal Money
Nominal Exchange Rate
Organization of Petroleum Exporting Countries
Partial Autocorrelation Function
Produk Domestik Bruto
Real Exchange Rate
Real Money Balance
Rest of The World
Schwarz Bayesian Information Criterion
Sertifikat Bank Indonesia
Structural Vector Auto Regressive
Structural Vector Error Correction Model
Treasury Bill rate
The Federal Reserve
Uncover Interest Parity
Vector Error Correction Model
West Texas Intermediate
1
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perekonomian Indonesia dewasa ini makin berkembang. Peran Indonesia
dalam perekonomian global makin besar dimana Indonesia mampu mencapai 17
besar perekonomian dunia sehingga menjadi salah satu anggota G-20 (Kemenko
Perekonomian 2011). Produk Domestik Bruto (PDB) nominal Indonesia pada
tahun 2011 tercatat sekitar 7.427 triliun rupiah dengan pertumbuhan ekonomi
6,46% (BPS 2012).
Visi Indonesia 2025 adalah mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan
merupakan kekuatan ekonomi 12 besar dunia di tahun 2025 dan 6 besar dunia
pada tahun 2050 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan
dan berkelanjutan. Berkaitan dengan itu, Kementrian Koordinator Perekonomian
dan Bappenas menyatakan bahwa perekonomian Indonesia mampu mencapai visi
tersebut dengan asumsi pertumbuhan riil sekitar 7% - 8% per tahun. Lembaga
keuangan internasional seperti Goldmann Sachs juga memproyeksikan bahwa
pada puncaknya Indonesia akan mencapai 6 besar dunia pada tahun 2050 dengan
PDB nominal sebesar US$ 26.670 miliar dan pendapatan perkapita sebesar US$
78.478 (Kemenko Perekonomian 2011).
Dalam rangka mencapai visi Indonesia tersebut diperlukan stabilitas dalam
perekonomian. Namun fluktuasi ekonomi, ekspansi dan kontraksi output,
senantiasa
mengikuti
perjalanan
perekonomian
suatu
negara.
Kontraksi
perekonomian kadang berlangsung lama, namun tidak berlangsung selamanya.
Meski demikian ternyata kontraksi perekonomian menyebabkan penurunan output
dan peningkatan pengangguran serta kemiskinan, sehingga diperlukan upaya
untuk meredam dampak negatif dari krisis yang terjadi.
Indonesia mengalami beberapa periode kontraksi dan ekspansi. Periode
emas perekonomian Indonesia terjadi pada tahun 1990 – 1996, hingga Indonesia
dijuluki salah satu macan Asia selain Malaysia, Korea Selatan dan Singapura.
Perekonomian Indonesia tumbuh pesat rata-rata sekitar 7% per tahun, depresiasi
Rupiah terhadap US$ mampu dijaga stabil pada kisaran 3% - 5% serta
pertumbuhan ekspor maupun impor yang tinggi. Namun booming ekonomi
2
tersebut tidak ditopang oleh fundamental ekonomi yang kuat. Industrialisasi yang
dikembangkan sebagai jembatan transformasi dari sektor primer ke sektor
sekunder dan tersier adalah foot loose industry yang banyak menggunakan bahan
baku impor.
Kolapsnya perekonomian bermula dari krisis mata uang tahun 1997 yang
kemudian memicu terjadinya krisis ekonomi. Pada tahun 1998, perekonomian
terkontraksi sangat dalam hingga mencapai tingkat terendah yaitu sebesar minus
13%. Setelah itu perekonomian Indonesia berangsur membaik secara perlahan
meski belum sepenuhnya pulih dan mencapai kondisi sebelum krisis ekonomi
terjadi. Dalam perjalanannya, pemulihan ekonomi Indonesia dapat dikatakan lebih
lambat bila dibandingkan dengan negara-negara Asia lain seperti Thailand,
Malaysia dan Korea yang juga mengalami krisis serupa.
Membaiknya kinerja ekonomimakro Indonesia antara lain diindikasikan
dengan terus meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB) dari tahun ke tahun
dengan pertumbuhan yang positif, stabilnya kurs rupiah serta terkendalinya
inflasi. Namun fluktuasi perekonomian, boom dan bust, bisa terjadi setiap saat dan
berbagai peristiwa yang terjadi dapat mengganggu kestabilan perekonomian di
jangka pendek.
Krisis keuangan global melanda dunia pada tahun 2008 sebagai akibat dari
krisis perumahan yang melanda Amerika Serikat dan bangkrutnya lembagalembaga keuangan dunia seperti Lehman Brothers dan Goldmann Sachs.
Keruntuhan perekonomian Amerika Serikat bermula dari krisis sub prime
mortgage dan segera menjalar ke beberapa negara di dunia termasuk negaranegara di wilayah Asia.
Indonesia pun tidak luput dari dampak krisis keuangan global tersebut meski
tidak separah seperti krisis di penghujung tahun 1990-an. Dampak krisis keuangan
global terhadap perekonomian Indonesia pertama kali dirasakan di pasar saham.
Harga saham Bursa Efek Jakarta (BEJ) terkoreksi cukup dalam, dimana Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) menyentuh level terendah di tahun 2008 pada
bulan Oktober yaitu 1.111,39 (Bloomberg 2012). Terlihat dari Gambar 1 bahwa
resesi Amerika Serikat mulai direspon pasar saham domestik pada tahun 2008
pada bulan Juni, diindikasikan dengan mulai menurunnya IHSG.
3
4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Sumber: Bloomberg 2012
Gambar 1 Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Selain itu juga terjadi penurunan kepemilikan asing pada Surat Utang
Negara (SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Kurs rupiah terdepresiasi
hingga Rp 10.650 per US$. Pasar obligasi pemerintah dan swasta tertekan
sehingga merugikan perbankan dan institusi pemegang obligasi (BI 2012).
Meski dampaknya terasa di pasar saham, krisis keuangan global ternyata
tidak begitu besar pengaruhnya ke sektor riil. PDB pada tahun 2009 tetap
meningkat secara riil meski pertumbuhannya sempat melambat dari 6,01% di
tahun 2008 menjadi 4,63% di tahun 2009. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi
mampu mencapai angka 6,20% di tahun 2010 (BPS 2012).
Disamping menghadapi krisis keuangan global yang sedikit banyak
memengaruhi perekonomian domestik, Indonesia juga terpapar oleh berbagai
peristiwa eksternal antara lain fenomena kenaikan harga minyak dunia di pasar
komoditas
internasional.
Minyak
merupakan
komoditi
strategis
dimana
keberadaannya sampai saat ini masih sangat vital sebagai input dalam proses
produksi. Namun sepanjang sejarah, harga minyak dunia mengalami beberapa kali
guncangan. Pada era 1970-an, harga minyak bumi meningkat karena penurunan
supply akibat berbagai konflik yang terjadi di kawasan Timur Tengah yang saat
itu menjadi ladang utama minyak bumi dunia. Diantaranya adalah embargo OPEC
tahun 1972-1973, Revolusi Iran di tahun 1978, Perang Irak-Iran pada tahun 1980
dan Perang Teluk Persia di tahun 1990. Berbagai peristiwa ini meningkatkan
harga minyak dunia secara tajam dan menyebabkan resesi perekonomian global
4
(Hamilton, 2009). Sehingga pada era 1970-an tersebut, fluktuasi harga minyak
sangat berperan dalam fluktuasi perekonomian global.
Tabel 1 Perkembangan produksi minyak mentah dunia menurut kawasan
Kawasan
Amerika Utara
Produksi minyak mentah (juta barel per hari)
1990
1995
2000
2005
2008
2011
14,71 14,93 15,27 15,20 15,05 16,73
Amerika Tengah & Selatan
4,70
6,12
7,31
7,24
7,41
7,80
Eropa
4,82
6,87
7,16
6,11
5,21
4,27
Eurasia
11,30
7,14
8,18 11,76 12,55 13,31
Timur Tengah
17,45 20,42 23,48 25,55 25,84 26,87
Afrika
6,72
7,32
7,99 10,10 10,64
9,36
Asia & Oceania
6,74
7,50
8,31
8,76
Dunia
8,45
8,61
66,44 70,30 77,71 84,42 85,31 87,11
Sumber: US EIA 2012
Tabel 1 menunjukkan perkembangan produksi minyak dunia. Setelah tahun
1990, frekuensi konflik seperti perang semakin berkurang. Hal ini menyebabkan
produksi minyak utamanya yang berasal dari kawasan Timur Tengah, kawasan
yang berperan dalam menyediakan pasokan sebagian besar minyak mentah dunia,
menjadi lebih stabil bila dibandingkan dengan era 1970an. Pada tahun 1990,
produksi minyak mentah dari kawasan Timur Tengah mencapai 17,45 juta barel
per hari dan memiliki share produksi terbesar dibanding pasokan dari kawasankawasan lainnya.
Kawasan Amerika Utara juga berperan penting dalam pasokan minyak
mentah dunia dimana pada tahun 1990 mampu memproduksi sekitar 14,71 juta
barel per hari. Pada waktu yang sama kawasan Eurasia mampu memproduksi
minyak mentah sekitar 11,30 juta barel per hari. Share ketiga kawasan ini bagi
total produksi dunia sekitar 65,42%. Secara agregat, produksi minyak mentah
dunia mencapai 66,44 juta barel per hari pada tahun 1990.
Percepatan produksi terjadi dalam kurun waktu 1995 hingga 2005 dimana
produksi minyak mentah meningkat tajam yaitu dari 70,30 juta barel per hari pada
tahun 1995 menjadi 77,71 juta barel per hari pada tahun 2000 atau terjadi
peningkatan sebesar 7 juta barel per hari dalam kurun waktu tersebut. Kenaikan
5
produksi ini terus berlanjut hingga tahun 2005 yang meningkat menjadi 84,42 juta
barel per hari dari tahun 2000. Namun produksi minyak mentah mulai melambat
setelah tahun 2005. Meski sebagian besar kawasan terus meningkat produksinya,
namun kawasan Amerika Utara dan Eropa mengalami penurunan produksi
minyak mentah.
Selain membahas sisi penawaran minyak mentah, untuk mendapatkan
gambaran mengenai pasar minyak bumi secara lengkap maka perlu diulas sisi
permintaan minyak dunia yang didekati oleh konsumsi dunia. Tabel 2 menyajikan
perkembangan konsumsi minyak dunia dari periode 1990 hingga 2011.
Tabel 2 Perkembangan konsumsi minyak dunia menurut kawasan
Konsumsi minyak dunia (juta barel per hari)
Kawasan
1990
Amerika Utara
Amerika Tengah & Selatan
Eropa
1995
2000
2005
2008
2011
20,32 21,33 23,82 25,24 23,90 23,16
3,76
4,46
5,21
5,50
6,10
6,41
14,69 15,38 15,91 16,42 16,14 15,03
Eurasia
8,39
4,60
3,72
4,15
4,21
4,60
Timur Tengah
3,47
4,13
4,79
5,83
6,55
7,38
Afrika
2,07
2,25
2,50
2,97
3,19
3,51
Asia & Oceania
13,82 17,94 20,83 23,97 25,35 27,90
Dunia
66,52 70,10 76,79 84,11 85,46 87,42
Sumber: US EIA 2012
Pada tahun 1990, permintaan dunia mencapai 66,52 juta barel per hari. Tiga
kawasan yang memiliki permintaan tertinggi adalah Amerika Utara (20,32 juta
barel per hari), Eropa (14,69 juta barel per hari) dan Asia & Oceania (13,82 juta
barel per hari). Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat maka
aktivitas perekonomian juga meningkat dan membutuhkan sumber energi lebih
banyak. Oleh karena itu, dari tahun ke tahun permintaan minyak juga meningkat.
Pada tahun 2000, total konsumsi minyak dunia mencapai 76,79 juta barel per hari
atau meningkat sekitar 10 juta barel per hari bila dibandingkan dengan konsumsi
dunia pada tahun 1990. Hingga tahun 2005, seluruh kawasan mengalami kenaikan
konsumsi minyak.
6
Resesi ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat sebagai konsumen utama
minyak serta adanya krisis zona Euro di Eropa menyebabkan perlambatan
permintaan minyak dunia secara total pada tahun 2008. Permintaan dunia hanya
sedikit meningkat dari 84,11 juta barel per hari pada tahun 2005 menjadi 85,46
juta barel per hari pada tahun 2008. Dominasi konsumsi minyak beralih dari
kawasan Amerika Utara ke kawasan Asia & Oceania, disebabkan oleh pesatnya
perekonomian China dan India. Hingga tahun 2011, dampak krisis di Amerika
Serikat dan Eropa menyebabkan perekonomian di kedua kawasan tersebut masih
melambat sehingga permintaan minyak dari kawasan itu masih menurun. Secara
agregat, permintaan minyak dunia di tahun 2011 mencapai 87,42 juta barel per
hari.
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
(1.00)
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
-
(2.00)
pertumbuhan supply
pertumbuhan demand
Sumber: US EIA 2012
Gambar 2 Perkembangan pertumbuhan supply dan demand minyak dunia
Gambar 2 menunjukkan perkembangan pertumbuhan penawaran dan
permintaan dunia atas komoditi minyak. Pertumbuhan permintaan minyak yang
tidak mampu diikuti oleh pertumbuhan penawaran jarang terjadi pada era 1990an.
Oleh karena itu harga minyak dunia tidak banyak bergejolak pada periode 19902000 dan berada di kisaran 15-40 US$ per barel (Gambar 3). Pada tahun 1991,
1999 dan 2002, terjadi penurunan penawaran ketika permintaan minyak tinggi.
Penurunan penawaran pada periode-periode tersebut berkaitan dengan penurunan
produksi minyak karena Perang Teluk Persia pada tahun 1990, krisis keuangan di
Asia Timur atau Asia Financial Crisis (AFC) pada tahun 1998-1999 serta
7
turunnya produksi minyak dari Venezuela dan invasi Amerika Serikat ke Irak
pada tahun 2002 (Hamilton, 2011).
Setelah tahun 2002, secara umum pertumbuhan penawaran dan permintaan
minyak relatif sama, namun harga minyak mentah mengalami fluktuasi yang
tajam. Di tahun 2005, harga minyak mencapai 59,80 US$ per barel. Banyak
kalangan memperkirakan bahwa harga minyak dunia akan terus meningkat.
Pada tahun 2008, penawaran minyak tumbuh pesat sekitar 1,25%,
sedangkan pertumbuhan permintaan minus 0,45%. Pesatnya perekonomian China
dan India yang meningkatkan permintaan energi diimbangi oleh melemahnya
perekonomian Amerika Serikat dan Eropa sehingga hasil akhir bagi permintaan
dunia adalah tidak ada kenaikan yang berarti atas permintaan minyak. Namun jika
dilihat dari harganya, pada periode 2008:2 terjadi kenaikan tajam dari harga
minyak dunia hingga mencapai level tertinggi sejak tahun 1990 yaitu sekitar
139,96 US$ per barel.
160
140
120
US$/barel
100
80
60
40
20
1990:1
1991:1
1992:1
1993:1
1994:1
1995:1
1996:1
1997:1
1998:1
1999:1
2000:1
2001:1
2002:1
2003:1
2004:1
2005:1
2006:1
2007:1
2008:1
2009:1
2010:1
2011:1
2012:1
0
Sumber: US Department of Energy 2012
Gambar 3 Perkembangan harga minyak dunia
Kenaikan harga minyak dunia tersebut ternyata tidak berlangsung lama,
segera terjadi penurunan harga minyak dunia hingga mencapai 49,64 US$ per
barel pada tahun 2009 triwulan pertama. Dalam perkembangannya, harga minyak
dunia kembali meningkat bahkan kembali mencapai diatas 100 US$ per barel
pada tahun 2011 triwulan pertama. Dilihat dari perkembangan pertumbuhan
8
penawaran dan permintaan minyak ternyata juga tidak dijumpai indikasi
penurunan penawaran atau kenaikan permintaan.
Berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, kenaikan harga terjadi
ketika permintaan meningkat dengan asumsi tidak ada kenaikan penawaran atau
terjadi penurunan produksi ketika permintaan tetap atau meningkat. Bila
dibandingkan antara pertumbuhan produksi dan konsumsi pada tahun 2008 dan
2011, ternyata tidak ada peningkatan permintaan secara drastis dibandingkan
penawaran, yang dapat memicu kenaikan harga minyak dunia secara tajam.
Begitu pula dari sisi penawaran, tidak terjadi penurunan produksi. Sisi penawaran
minyak relatif memiliki pertumbuhan yang sama dengan sisi permintaan. Namun
bila melihat perkembangan harga minyak dunia, ternyata pada tahun 2008 dan
2011 terjadi fluktuasi harga yang tajam.
Realita bahwa kenaikan harga minyak tidak menyeimbangkan supply dan
demand pada tahun 2008 dan 2011, memunculkan dugaan ada faktor lain yang
menggerakkan harga minyak diluar hukum permintaan dan penawaran. Seiring
dengan lesunya investasi di pasar saham dan rendahnya suku bunga deposito
maka banyak investor ingin menempatkan dananya di pasar yang lebih
menguntungkan. Oleh karena itu investor memilih menempatkan dananya di pasar
komoditas dimana minyak dunia diperdagangkan tidak secara fisik melainkan
melalui transfer hak kepemilikan. Minyak mentah menjadi salah satu objek
spekulasi. Ketika banyak investor membeli minyak mentah dengan harga diatas
100 US$ maka harga minyak dunia langsung meningkat, padahal dari basis
permintaan dan penawaran tidak ada perubahan yang berarti.
Bagi Indonesia, minyak masih menjadi sumber energi utama dalam proses
produksi sehingga kenaikan aktivitas ekonomi di Indonesia berarti kenaikan
permintaan minyak. Selain mengandalkan produksi minyak sendiri, Indonesia
juga mengimpor minyak sekitar 456,7 ribu barel per hari di tahun 2009 untuk
memenuhi kebutuhan domestik. Hal ini menjadikan Indonesia merupakan negara
pengimpor minyak terbesar di dunia urutan ke-26. Dari sisi konsumsi minyak,
Indonesia mengkonsumsi 1.292 ribu barel per hari di tahun 2010 dan menjadi
negara yang mengkonsumsi minyak urutan 17 besar dunia. Sebagai negara net
importir minyak, kenaikan harga minyak dunia ini akan berdampak negatif
9
terhadap perekonomian domestik yang menggantungkan sumber energi utamanya
dari minyak.
1.2
Perumusan Masalah
Stabilitas ekonomimakro sangat penting bagi kelancaran pencapaian sasaran
pembangunan nasional. Stabilitas diperlukan untuk dapat meningkatkan standar
hidup masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas.
Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, Indonesia beresiko terkena dampak
dari berbagai peristiwa dunia.
Berbagai krisis dan kenaikan harga minyak dunia bersifat mengganggu
stabilitas. Krisis ekonomi pada penghujung tahun 1990-an yang bermula dari
krisis keuangan menyebabkan dampak serius bagi stabilitas perekonomian
Indonesia, bahkan credit crunch sempat terjadi sehingga sektor riil kehilangan
salah satu sumber pembiayaan. Namun berbeda dengan krisis keuangan global
tahun 2008 lalu, ternyata dampaknya bagi perekonomian Indonesia tidak separah
dampak krisis 1997-1998. Meskipun begitu, krisis keuangan global yang
melumpuhkan sistem keuangan dunia tersebut akan berdampak negatif bagi
Indonesia jika terjadi berlarut-larut.
Selain peristiwa eksternal yang telah diuraikan sebelumnya, berbagai
intervensi pemerintah domestik seperti kebijakan fiskal dan kebijakan moneter
serta guncangan yang meningkatkan output juga dapat menyebabkan PDB
ekspansi atau terkontraksi. Peran pemerintah dalam perekonomian misalnya
menaikkan atau menurunkan pengeluaran pemerintah akan menyebabkan PDB
menyimpang dari trend jangka panjangnya. Begitu juga ketika otoritas moneter
menambah atau mengurangi jumlah uang beredar maka akan berdampak pada
perubahan level PDB.
Masyarakat modern berusaha mengendalikan business cycle dengan
kebijakan ekonomi yang tepat yaitu bagaimana kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter memengaruhi business cycle. Namun perilaku harga adalah berbeda
menurut horizon waktu. Di jangka pendek, harga adalah kaku, yaitu sulit
menyesuaikan berbagai perubahan dalam perekonomian. Di jangka panjang, harga
adalah fleksibel, dapat menyesuaikan dengan cepat berbagai perubahan kondisi
ekonomi. Oleh karena itu kebijakan ekonomi, baik kebijakan fiskal maupun
10
kebijakan
moneter,
yang
dilakukan
pemerintah
dalam
memengaruhi
perekonomian memiliki dampak yang berbeda menurut horizon waktu yang
berbeda. Sehingga ekonom memerlukan model yang berbeda untuk horizon waktu
yang berbeda. Selama horizon waktu harga adalah kaku maka variabel nominal
mampu memengaruhi variabel riil sehingga perekonomian bisa menyimpang dari
keseimbangan yang diprediksi model Klasik (Mankiw, 1993).
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, maka Indonesia dituntut untuk
melakukan upaya lebih keras dalam menjaga stabilitas makroekonominya dan
mencegah timbulnya fluktuasi yang berlebihan dalam perekonomian. Berbagai
gangguan terhadap stabilitas ekonomi dapat diredam dengan melakukan kebijakan
yang tepat. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan diteliti guncanganguncangan apa saja yang berperan besar dalam fluktuasi perekonomian Indonesia
melalui kajian business cycle. Model business cycle yang dibangun tersebut harus
mempertimbangkan perilaku harga yang kaku di jangka pendek, sehingga kajian
business cycle dalam penelitian ini dilakukan dalam kerangka kerja New
Keynesian.
Studi fluktuasi perekonomian dengan pendekatan business cycle masih
sedikit dilakukan di negara berkembang seperti Indonesia meskipun pada level
nasional, diantaranya oleh Siregar dan Ward (2000) serta Supriana (2004).
Berdasarkan pengetahuan penulis, penelitian business cycle Indonesia terkini
dilakukan oleh Supriana pada tahun 2004 dengan menggunakan series data hingga
tahun 2001. Selama kurun waktu lebih dari 10 tahun berselang, muncul
guncangan-guncangan baru seperti shock harga minyak yang tidak tercakup dalam
penelitian business cycle sebelumnya.
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan permasalahan pada penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dinamika respon variabel makoekonomi Indonesia terhadap
beberapa guncangan?
2. Guncangan apa yang paling berperan dalam business cycle Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka
penelitian ini bertujuan untuk:
11
1. Menganalisis dinamika respon variabel makroekonomi akibat guncangan
tertentu.
2. Mengkaji guncangan yang paling berperan terhadap business cycle Indonesia.
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna untuk mengidentifikasi business cycle Indonesia
sehingga dapat diketahui guncangan mana yang paling berperan dalam fluktuasi
makroekonomi nasional. Ketika perekonomian Indonesia berada dalam krisis,
dapat diketahui variabel kunci untuk memonitor dan memulihkan perekonomian
secara cepat, sehingga kebijakan yang tepat dapat diambil untuk meredam
fluktuasi ekonomi. Selain itu juga dapat diketahui apakah guncangan eksternal
berperan penting dalam fluktuasi perekonomian domestik.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian dampak berbagai guncangan
terhadap business cycle nasional. Identifikasi guncangan dilakukan berdasarkan
kerangka kerja New Keynesian. Guncangan eksternal yang dicakup dalam
penelitian ini adalah guncangan dari sisi penawaran yaitu guncangan harga
minyak dunia dan guncangan dari sisi permintaan yaitu guncangan suku bunga
Amerika Serikat. Guncangan harga minyak dunia diasumsikan berasal dari
guncangan terhadap dirinya sendiri.
Guncangan domestik yang dicakup meliputi guncangan dari sisi penawaran
dan guncangan dari sisi permintaan. Guncangan penawaran diidentifikasi sebagai
guncangan output secara umum, tidak dirinci apakah berasal dari guncangan
tenaga kerja, guncangan kapital atau guncangan teknologi. Guncangan permintaan
berupa guncangan kurs riil, guncangan permintaan uang serta guncangan
kebijakan moneter domestik. Analisis business cycle menggunakan data time
series pada periode 1990:1 hingga 2012:2.
12
Halaman ini sengaja dikosongkan
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Business Cycle
Sepanjang sejarah, pertumbuhan ekonomi kerap diganggu oleh penurunan
output. Meski berlangsung dalam periode yang relatif singkat, penurunan PDB
biasanya diiringi oleh peningkatan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Oleh
karena itu pemerintah mencoba untuk menstabilisasi perilaku makroekonomi
melalui kebijakan ekonomi.
Burns dan Mitchell (1946) mendefinisikan business cycle sebagai fluktuasi
yang terjadi pada kegiatan perekonomian agregat suatu negara, berulang tapi tidak
terjadi secara periodik, lebih rincinya sebagai berikut:
“Business cycles are a type of fluctuation found in the aggregate economic
activity of nations that organize their work mainly in business enterprises: a
cycle consists of expansions occurring at about the same time in many economic
activities, followed by similarly general recessions, contractions, and revivals
which merge into the expansion phase of the next cycle; this sequence of
changes is recurrent but not periodic; in duration business cycles vary from
more than one year to ten or twelve years …”.
Lucas (1976) mendefinisikan business cycle sebagai fluktuasi berulang
output dan pengangguran disekitar trend. Menurut Prescott (1998), kuncinya
adalah pada comovement diantara time series ekonomi.
Menurut Diebold dan Rudebusch (1994), definisi Burns dan Mitchell diatas
mencakup dua unsur. Pertama adalah peran comovement diantara variabelvariabel ekonomi dalam penentuan titik balik atau turning point dari business
cycle. Hal ini menjadi isu utama dalam metodologi mereka. Burns dan Mitchell
menggunakan ratusan series seperti output, suku bunga dan sebagainya. Mereka
mengelompokkan turning point series tersebut sehingga dapat ditentukan tanggal
titik balik keseluruhan business cycle. Dari metode tersebut dapat diketahui indeks
komposit leading, coincident dan lagging. Kedua adalah membagi business cycles
menjadi fase-fase yang berbeda yaitu memperlakukan ekspansi berbeda dengan
kontraksi.
14
Dalam jangka panjang PDB cenderung terus meningkat. Namun dalam
jangka pendek PDB fluktuatif, naik dan turun, karena ada kekauan dalam harga
dan upah (Makin 2002).
Sumber: Makin, 2002
Gambar 4 Business Cycle
Gambar 4 menunjukkan hubungan antara business cycle dengan trend PDB.
Pola puncak atau peak dan lembah atau trough dalam kegiatan makroekonomi
disebut sebagai business cycle. Ketika PDB turun yaitu ketika PDB bergerak dari
peak menuju ke trough, maka perekonomian mengalami resesi atau kontraksi.
Untuk praktisnya, perekonomian dikatakan dalam kondisi resesi jika PDB turun
lebih dari dua triwulan berturut-turut. Ketika PDB bergerak dari trough menuju ke
peak maka perekonomian berada dalam fase pemulihan atau recovery atau dalam
periode ekspansi. Pemulihan yang terlalu kuat dikatakan sebagai overheating.
Satu siklus penuh dalam aktivitas perekonomian agregat bisa diukur dari satu
lembah ke lembah berikutnya atau dari satu puncak ke puncak lainnya (Makin
2002). Jarak antara puncak dan garis trend yang bersesuaian merupakan deviasi
siklus dari trend jangka panjangnya.
2.2
Teori Business Cycle
Studi business cycle dikelompokkan menjadi tiga teori yaitu Real Business
Cycle, New Keynesian Business Cycle dan Monetary Business Cycle. Menurut
Saphiro dan Watson (1988), esensi dari teori Keynesian bahwa dalam jangka
pendek, kesediaan agen untuk menyerap output dalam perekonomian menentukan
kuantitas output yang diproduksi. Dalam teori ini, guncangan terhadap aggregat
demand akan menggerakkan perekonomian menjauh dari level output naturalnya
15
secara sementara dimana level output natural ditentukan oleh stok kapital, tenaga
kerja dan teknologi dalam keseimbangan jangka panjangnya.
Dilain pihak, teori klasik dan neo klasik tidak membenarkan kemungkinan
bahwa output bisa terdeviasi dari keseimbangan jangka panjangnya kecuali dalam
periode yang sangat singkat. Dalam teori ini harga dan tingkat pengembalian
menyesuaikan dengan cepat sehingga perubahan dalam aggregat demand tidak
menyebabkan perubahan output. Teori ini menjadi landasan kajian Real Business
Cycle (RBC) dimana variabel nominal tidak bisa memengaruhi variabel riil.
Sedangkan kaum monetaris berpendapat bahwa satu-satunya faktor yang dapat
memengaruhi output adalah faktor moneter.
Dalam penelitian ini digunakan teori New Keynesian. Mazhab New
Keynesian berkembang sebagai respon atas kritik New Classical terhadap
Keynesian tradisional. New Keynesian menambahkan pondasi mikroekonomi
dalam teori ekonomi Keynesian tradisional. Asumsi mazhab New Keynesian
adalah rumahtangga dan perusahaan berekspektasi secara rasional. Selain itu,
terjadi kegagalan pasar bahwa terjadi persaingan tidak sempurna dalam harga dan
penentuan upah sehingga menjelaskan mengapa harga-harga dan upah menjadi
kaku yang artinya tidak menyesuaikan secara cepat perubahan dalam kondisi
perekonomian. Kegagalan pasar dan kekakuan upah tersebut menyebabkan
makroekonomi tidak dapat mencapai tingkat full employment. Oleh karena itu
perlu intervensi pemerintah berupa kebijakan fiskal dan intervensi melalui
kebijakan moneter oleh bank sentral agar tercapai kinerja ekonomi yang lebih
efisien dibandingkan yang dicapai ketika perekonomian diserahkan semua kepada
pasar atau laisses faire.
Nominal rigidities atau kekakuan harga dan upah ini yang menjadi fokus
model New Keynesian. Harga lambat menyesuaikan karena ada menu cost yaitu
biaya kecil yang harus dibayar untuk menyesuaikan harga nominal seperti biaya
membuat katalog, daftar harga atau harga menu. Nominal rigidities inilah yang
menyebabkan fluktuasi jangka pendek dari variabel-variabel riil. Ketika harga
output kaku dalam jangka pendek maka guncangan nominal seperti ekspansi
moneter yaitu peningkatan jumlah uang beredar akan meningkatkan harga output
dengan proporsi yang relatif lebih kecil dibandingkan perubahan uang beredar.
16
Hal ini menyebabkan upah riil turun akibatnya permintaan tenaga kerja meningkat
sehingga lebih banyak output yang dihasilkan. Oleh karena itu, intervensi otoritas
moneter dengan ekspansi moneter dapat menimbulkan fluktuasi jangka pendek
pada variabel riil seperti output dan tenaga kerja.
Teori New Keynesian menyatakan bahwa fluktuasi ekonomi makro
disebabkan oleh fluktuasi pada permintaan agregat dan penawaran agregat.
Intinya bahwa guncangan nominal dapat memengaruhi variabel riil akibat adanya
kekakuan harga dan upah nominal serta kegagalan pasar.
Pemerintah maupun otoritas moneter membuat suatu kebijakan dengan
tujuan meredam fluktuasi yang berlebihan dalam perekonomian. Ketika
perekonomian menghadapi masa resesi maka diperlukan kebijakan yang ekspansif
yang mampu membawa perekonomian keluar dari resesi. Sedangkan ketika
perekonomian sedang overheating maka perlu dilakukan kebijakan yang
kontraktif untuk meredam inflasi. Agar berdampak pada level mikro, maka
kebijakan makro yang dibuat haruslah mempertimbangkan kondisi mikro yang
sesuai dengan realita. Kondisi mikro dengan asumsi pasar persaingan sempurna,
harga yang sangat fleksibel, pergerakan sumber daya yang sempurna dan tidak
terjadi eksternalitas, tidak sesuai dengan realita. Sehingga yang cocok dengan
realita adalah mazhab New Keynesian (Siregar 2009). Oleh karena itu, kajian
business cycle pada penelitian ini dilakukan berdasarkan kerangka New
Keynesian. Selain itu, hasil penelitian sebelumnya seperti Siregar dan Ward
(2000) dan Supriana (2004) juga membuktikan bahwa fluktuasi ekonomi atau
business cycle dapat dijelaskan secara lebih baik oleh model yang berlandaskan
teori New Keynesian.
2.3
Model Business Cycle New Keynesian Indonesia
IS-LM merupakan salah satu model makroekonomi dasar (Blanchard &
Fisher 1993). Model IS-LM Keynesian menunjukkan bahwa fluktuasi ekonomi
yaitu deviasi PDB dari trend-nya disebabkan oleh berbagai penyebab potensial
seperti guncangan terhadap konsumsi rumahtangga, perubahan kebijakan fiskal
dan moneter, guncangan terhadap permintaan investasi dan perubahan fungsi
permintaan uang. Menurut teori New Keynesian, selain permintaan agregat,
penawaran agregat juga menjadi penyebab fluktuasi.
17
Dalam perekonomian terbuka, model IS-LM Keynesian disebut Model
Mundell-Flemming, dikembangkan oleh Robert Mundell dan Marcus Fleming
pada awal tahun 1960-an. Model ini mengasumsikan tingkat harga domestik dan
asing adalah tetap, barang domestik dan asing tidak bersubstitusi sempurna tetapi
aset domestik dan asing bersubstitusi sempurna serta menghasilkan ekspektasi
return yang sama. Negara adalah small open economy sehingga variabel luar
negeri adalah given dan tidak terpengaruh oleh tindakannya (Mankiw 1993).
2.3.1 Sisi Permintaan
Kurva IS atau investment equal saving menunjukkan hubungan antara suku
bunga domestik dengan pendapatan nasional. Kondisi dasar agar ekuilibrium di
pasar barang dan jasa di perekonomian yaitu:
total pengeluaran (C + I + G + NX) = total pendapatan nasional (Y)
sehingga dapat ditulis menjadi:
Y = C + I + G + NX
(1)
dimana:
C
=
I
=
Konsumsi, merupakan fungsi dari pendapatan atau 𝐶 = 𝑐(𝑌)
r
=
Suku bunga riil, dimana r = suku bunga nominal (𝑖) - ekspektasi
Investasi, merupakan fungsi dari suku bunga riil atau 𝐼 = 𝐼(𝑟)
inflasi (𝜋 𝑒 ) atau ditulis menjadi: 𝑟 = 𝑖 − 𝜋 𝑒 . Diasumsikan di
G
=
jangka pendek 𝜋 𝑒 = 0 maka: 𝑟 = 𝑖
Kebijakan fiskal atau pengeluaran pemerintah, merupakan variabel
eksogen
NX
=
Net ekspor, merupakan selisih antara ekspor dan impor.
Menurut Makin (2002), dalam model Mundell-Fleming dasar,
perubahan kurs nominal menyebabkan perubahan yang ekuivalen
dengan kurs riil karena ada asumsi bahwa harga domestik (𝑃) dan
harga asing (𝑃′ ) adalah fixed dalam jangka pendek. Perubahan daya
saing ini akan memengaruhi aliran ekspor dan impor. Membaiknya
daya saing akan meningkatkan ekspor dan menurunkan impor
sehingga meningkatkan net ekspor. Oleh karena itu fungsi net
ekspor menjadi:
18
𝑆𝑃 ′
𝑁𝑋 = 𝑁𝑋( 𝑃 , 𝑌 ∗ )
dimana
𝑆
adalah
kurs
nominal,
yang
didefinisikan sebagai harga mata uang asing dalam mata uang
domestik. Diasumsikan pendapatan dunia (𝑌 ∗ ) tetap dan tidak
masuk dalam model.
Persamaan (1) dapat ditulis kembali menjadi:
𝑆𝑃 ′
𝑌 = 𝐶(𝑌𝑖 ) + 𝐼(𝑖) + 𝐺̅ + 𝑁𝑋 � 𝑃 �
𝑌 = 𝐴 �𝑖, 𝑌𝑖 ,
𝑆𝑃 ′
𝑃
, 𝐺̅ �
Equilibrium condition menyatakan bahwa pendapatan sama dengan output maka:
𝑌𝑖 = 𝑌, maka selanjutnya digunakan notasi 𝑌. Persamaan diatas ditulis sebagai
berikut:
𝑌 = 𝐴 �𝑖,
dimana:
𝜕𝐴
𝜕𝑖
𝑆𝑃 ′
𝑃
, 𝐺̅ �
(2)
< 0. Kenaikan suku bunga menyebabkan penurunan investasi sehingga
menurunkan output.
𝜕𝐴
𝑆𝑃′
)
𝑃
𝜕(
> 0 . Depresiasi kurs riil menyebabkan kenaikan net ekspor sehingga
meningkatkan output.
Keseimbangan di pasar uang ditunjukkan oleh kurva LM atau liquidity
preference equals money. Diasumsikan tidak ada substitusi mata uang, maka
permintaan uang riil atau preferensi likuiditas residen dinyatakan dalam bentuk
sebagai berikut:
𝑀
𝑃
= 𝐿(𝑖, 𝑌)
(3)
dimana:
𝑀
= permintaan uang riil agregat
𝑃
i
= suku bunga nominal
Y
= output riil atau pendapatan
Jumlah uang yang diminta dalam perekonomian tergantung dari suku bunga
nominal dan pendapatan. Makin tinggi suku bunga nominal maka makin besar
opportunity cost memegang aset dalam bentuk uang yang tidak menghasilkan
19
bunga sehingga
𝜕𝐿
𝜕𝑖
< 0. Makin tinggi pendapatan maka makin besar belanja dalam
perekonomian sehingga kebutuhan uang untuk melakukan transaksi sehari-hari
𝜕𝐿
makin meningkat sehingga 𝜕𝑌 > 0.
Money supply, 𝑀 𝑠 , ditentukan secara independen oleh bank sentral. Suku
bunga keseimbangan ditentukan dari keseimbangan di pasar uang yaitu antara
permintaan uang dan penawaran uang.
Dalam perekonomian terbuka untuk small economy, suku bunga domestik
sama dengan suku bunga dunia (𝑖 ∗ ) atau ditulis sebagai 𝑖 = 𝑖 ∗ . Tindakan domestik
tidak dapat memengaruhi perekonomian dunia sehingga suku bunga dunia given
atau ditetapkan sebagai eksogenous dalam model. Suku bunga domestik tidak lagi
menyeimbangkan tabungan domestik dan investasi domestik. Karena asumsi
perfect capital mobility, maka residen domestik selalu memiliki akses penuh pada
pasar keuangan dunia. Oleh karena itu, ketika tabungan domestik lebih rendah
dari investasi domestik, residen suatu negara dapat meminjam dari Rest of the
World (ROW) dengan suku bunga sebesar 𝑖 ∗ . Begitu juga ketika investasi
domestik lebih rendah dari tabungan domestik maka residen domestik dapat
menginvestasikan dananya di luar negeri atau meminjamkannya ke ROW dengan
suku bunga sebesar 𝑖 ∗ .
Perekonomian dalam keseimbangan jika IS = LM. Permintaan barang dan
jasa tergantung oleh pendapatan, kurs riil dan kebijakan fiskal. Depresiasi riil
diasumsikan meningkatkan permintaan agregat. Dengan tingkat harga tetap maka
ekspektasi inflasi 𝜋 𝑒 = 0. Penentuan kurs dalam keseimbangan statis ketika kurs
konstan (𝑑𝑆/𝑑𝑡) = (𝑑𝑆/𝑑𝑡)∗ = 0. Jika kurs konstan maka suku bunga domestik
harus sama dengan suku bunga asing. Sehingga keseimbangan perekonomian
dicirikan oleh:
𝑀
𝑃
= 𝐿(𝑖 ∗ , 𝑌) dan 𝑌 = 𝐴 �𝑖 ∗ ,
𝑆𝑃 ′
𝑃
, 𝐺̅ �
2.3.1.1 Suku Bunga Amerika Serikat
Aliran modal sensitif terhadap perubahan ekspektasi investor termasuk
perubahan ekspektasi kurs. Jika investor berekspektasi di masa depan suatu mata
uang akan jatuh maka mereka akan segera menjual aset finansial dengan
20
denominasi mata uang tersebut untuk menghindari kerugian modal (Makin 2002).
Hubungan antara ekspektasi kurs dengan suku bunga domestik dan suku bunga
asing dikenal dengan Uncover Interest Parity (UIP) yang dirumuskan sebagai:
𝑖 − 𝑖∗ =
dimana:
𝑆𝑒
𝑆
𝜕𝑆
𝑆 𝑒 = ( 𝜕𝑡 )𝑒 , merupakan ekspektasi depresiasi kurs di masa akan datang, yang
ekspektasinya dibentuk saat ini.
𝑆′ =
𝑆𝑒
𝑆
.
Pada kondisi ekuilibrium, perbedaan suku bunga nominal kedua negara
sama dengan ekspektasi depresiasi kurs oleh investor. Ketika UIP terjadi, investor
residen indifferent antara memegang bond domestik atau bond asing meski suku
bunga asing lebih tinggi dari suku domestik. Implikasi penting lainnya dari
adanya UIP ini adalah perbedaan suku bunga domestik dan asing yang
terobservasi merupakan ukuran ekspektasi apresiasi atau depresiasi kurs nominal.
Akibatnya, jika suku bunga domestik lebih tinggi dari suku bunga asing, tidak
menyatakan bahwa kondisi ini akan menguntungkan bagi perekonomian domestik
dalam arti biaya pinjaman asing lebih rendah sehingga akan meningkatkan
pinjaman dengan denominasi mata uang asing. Oleh karena itu terjadi depresiasi
setelah pelarian pinjaman ke asing terjadi dan menghilangkan manfaat rendahnya
suku bunga pinjaman dengan denominasi mata uang asing (Makin 2002).
Karena Indonesia merupakan small open economy maka suku bunga dunia
given dan diasumsikan ditentukan hanya oleh guncangan eksogen seperti
kebijakan moneter dunia sehingga 𝑖 ∗ = ℎ(𝜀𝑖 ∗ ). Dimana 𝜀𝑖 ∗ adalah shock kebijakan
moneter dunia. Apabila kebijakan moneter dunia kontraksi maka suku bunga
dunia meningkat sehingga
𝜕ℎ
𝜕𝜀𝑖∗
> 0.
Besarnya peran perekonomian Amerika Serikat terhadap perekonomian
dunia maka suku bunga dunia didekati dengan suku bunga Amerika Serikat yang
berubah karena kebijakan moneter The Fed. Sehingga fungsi suku bunga AS
adalah sebagai berikut:
𝑖 ∗ = ℎ(𝜀𝑖 ∗ )
(4)
21
2.3.1.2 Permintaan Uang Riil
Dengan asumsi UIP terpenuhi maka untuk menghitung substitusi mata
uang, maka kita dapat memasukkan 𝑖 ∗ atau 𝑆 ′ . Karena 𝑆 ′ tidak diketahui maka
yang dimasukkan dalam persamaan money demand adalah S. Persamaan money
demand menjadi
𝑀
𝑃
= 𝐿(𝑖, 𝑌, 𝑆).
Depresiasi mata uang domestik akan menurunkan permintaan akan mata
uang domestik sehingga
𝜕𝐿
𝜕𝑆
< 0. Diasumsikan bahwa perubahan preferensi yang
berkaitan dengan resiko memegang mata uang adalah konstan di jangka pendek.
Menurut Blanchard dan Fisher (1989), harga adalah fixed. Mengkonstankan harga
di jangka pendek berimplikasi bahwa
𝜕𝐿
𝜕𝑆
𝜕𝐿
= 𝜕𝑄, sehingga suku bunga domestik
sama dengan suku bunga asing. 𝑄 merupakan kurs riil. Sehingga fungsi money
demand menjadi
𝑀
𝑃
= 𝐿(𝑖, 𝑌, 𝑄).
Selain itu diasumsikan juga bahwa fluktuasi money demand disebabkan oleh
guncangan variabel itu sendiri (𝜀𝑚/𝑝 ) dimana
money demand jangka pendek:
𝑀
𝑃
𝜕𝐿
𝜕𝜀𝑚/𝑝
= 𝐿′(𝑖, 𝑌, 𝑄, 𝜀𝑚/𝑝 )
> 0. Oleh karena itu, fungsi
(5)
2.3.1.3 Kurs Riil
Persamaan IS (2) dinyatakan dalam kurs riil:
𝑄 = 𝑞(𝑌, 𝑖 ∗ )
Hubungan output dengan kurs bisa positif maupun negatif tergantung sumber
kenaikan output dari investasi atau net ekspor. Jika kenaikan output berasal dari
kenaikan investasi maka kenaikan investasi tersebut akan meningkatkan suku
bunga domestik sehingga dengan UIP maka akan terjadi apresiasi mata uang
domestik sehingga
𝜕𝑞
𝜕𝑌
< 0. Jika kenaikan output berasal dari kenaikan net ekspor
𝜕𝑞
maka mata uang akan terdepresiasi sehingga 𝜕𝑌 > 0.
Hubungan suku bunga dunia dengan kurs riil adalah positif. Yaitu jika suku
bunga dunia meningkat maka akan terjadi penurunan investasi sehingga supply
𝜕𝑞
mata uang domestik meningkat dan kursnya terdepresiasi sehingga 𝜕𝑖 ∗ > 0.
22
Selain itu, fluktuasi kurs juga disebabkan oleh guncangan pada spending
balance dimana guncangan yang memperburuk spending balance berarti
mendepresiasi kurs atau ditulis
pendek menjadi:
𝜕𝑞
𝜕𝜀𝑄
> 0. Oleh karena itu, persamaan kurs jangka
𝑄 = 𝑞′(𝑌, 𝑖 ∗ , 𝜀𝑄 )
(6)
2.3.1.4 Suku Bunga Domestik
Persamaan LM (3) dinyatakan dalam suku bunga maka:
𝑀
𝑖 = 𝑖( 𝑃 , 𝑌)
Karena harga adalah kaku di jangka pendek, maka untuk membedakan guncangan
permintaan uang dan guncangan kebijakan moneter domestik terhadap suku bunga
𝑀
domestik maka permintaan uang riil ( 𝑃 ) tidak dimasukkan dalam persamaan suku
bunga domestik.
Berdasarkan relasi UIP, maka suku bunga domestik dipengaruhi oleh suku
bunga Amerika Serikat dan apresiasi atau depresiasi kurs, sehingga suku bunga
Amerika Serikat dan kurs dimasukkan dalam persamaan suku bunga domestik.
Oleh karena itu, persamaan suku bunga domestik menjadi:
𝑖 = 𝑖(𝑖 ∗ , 𝑌, 𝑄, 𝜀𝑖 )
(7)
dimana:
𝜕𝑖
𝜕𝑖 ∗
> 0, kenaikan suku bunga Amerika Serikat akan memicu kenaikan suku
bunga domestik.
𝜕𝑖
𝜕𝑌
> 0 𝑎𝑡𝑎𝑢 < 0 tergantung apakah otoritas moneter mengakomodasi kenaikan
real money balance akibat kenaikan output atau tidak.
𝜕𝑖
𝜕𝑄
> 0 𝑎𝑡𝑎𝑢 < 0 tergantung apakah otoritas moneter mengakomodasi apresiasi
atau depresiasi kurs riil atau tidak.
𝜕𝑖
𝜕𝜀𝑖
> 0 adalah kebijakan moneter kontraksi yang menyebabkan kenaikan suku
bunga domestik.
2.3.2 Sisi Penawaran
Sisi penawaran ditunjukkan oleh fungsi agregat supply (AS). Menurut
Mankiw (1999), kenaikan harga minyak dunia (𝑃𝑜 ∗ ) merupakan salah satu
23
guncangan penawaran. Selain itu, guncangan terhadap penawaran agregat
disebabkan oleh guncangannya sendiri atau disebut sebagai supply shock (𝜀𝑦 ).
Sehingga persamaan output jangka pendek:
𝑌 = 𝑦(𝑃𝑜 ∗ , 𝜀𝑦 )
(8)
dimana:
𝜕𝑦
𝜕𝑃𝑜 ∗
< 0, kenaikan harga minyak dunia akan meningkatkan biaya input
perusahaan sehingga menjadi disinsentif bagi pengusaha untuk menaikkan output.
𝜕𝑦
𝜕𝜀𝑦
2.4
> 0, guncangan output yang favorable akan meningkatkan output.
Studi Empiris
2.4.1 Studi Business Cycle
Kajian-kajian business cycle modern menelaah pengaruh relatif dari setiap
guncangan eksogen misalnya mana yang lebih penting pengaruh guncangan
moneter atau guncangan fiskal lalu bagaimana respon dinamis variabel-variabel
endogen terhadap setiap guncangan eksogen (Siregar 2009).
Shapiro dan Watson (1988) meneliti sumber-sumber fluktuasi business
cycle Amerika Serikat. Mereka mengidentifikasi bahwa hanya guncangan
penawaran yang dapat memengaruhi output di jangka panjang seperti guncangan
teknologi, harga minyak dan tenaga kerja. Modelnya dibangun berdasarkan model
pertumbuhan neoklasik dimana pergerakan jangka panjang dalam output
seluruhnya disebabkan oleh perubahan secara eksogen dalam input tenaga kerja
dan kemajuan teknologi. Dalam jangka pendek, output mungkin terdeviasi dari
nilai steady state jangka panjangnya. Deviasi tersebut mungkin berasal dari
guncangan terhadap level permanen input tenaga kerja dan teknologi yang
memicu transisi dari satu steady state ke steady state lainnya atau juga bisa
berasal dari guncangan permintaan. Sehingga pergerakan output bisa disebabkan
oleh tiga sumber yaitu guncangan penawaran berupa guncangan tenaga kerja dan
guncangan teknologi serta guncangan permintaan.
Guncangan penawaran tenaga kerja dan teknologi dalam penelitian Shapiro
dan Watson
didefinisikan sebagai guncangan penawaran dan memiliki efek
permanen terhadap level output sedangkan guncangan permintaan memiliki efek
24
sementara. Variabel yang digunakan dalam model adalah total jam kerja, output,
inflasi, suku bunga nominal dan harga minyak riil. Berdasarkan hasil Forecast
Error Variance Decompositions (FEVD) ditemukan bahwa fluktuasi output
utamanya banyak dijelaskan oleh guncangan penawaran tenaga kerja, selain juga
dijelaskan oleh guncangan teknologi di seluruh horizon waktu. Guncangan
permintaan hanya mampu menjelaskan variabilitas output di jangka pendek.
Sedangkan guncangan penawaran lainnya yaitu harga minyak tidak berperan
penting dalam fluktuasi output dan variabel makroekonomi lainnya di seluruh
horizon waktu. Guncangan permintaan dominan dalam menjelaskan fluktuasi
suku bunga nominal dan riil, harga serta inflasi.
Rapach (1998) menilai relatif pentingnya guncangan pada Aggregat
Demand (AD) dan guncangan pada Aggregat Supply (AS) terhadap fluktuasi
output Amerika Serikat. Variabel yang digunakan adalah real spending, PDB dan
money supply. Rapach menggunakan metode SVAR dimana guncangan
diidentifikasi melalui restriksi struktural jangka panjang berdasar Natural Rate
Hypothesis. Rapach menemukan bahwa guncangan permintaan dan guncangan
penawaran paling berperan terhadap fluktuasi PDB, sedangkan guncangan
moneter sedikit peranannya.
Berdasarkan
analisis
Impulse
Response
Functions
(IRF),
Rapach
menemukan bahwa guncangan penawaran mampu meningkatkan output di jangka
pendek dan jangka panjang. Temuan ini sesuai dengan restriksi yang dibangun
bahwa guncangan penawaran adalah satu-satunya guncangan yang memengaruhi
output di jangka panjang. Respon variabel lainnya atas guncangan penawaran
ditemukan tidak signifikan. Guncangan permintaan (IS) hanya meningkatkan
output di jangka pendek, sesuai dengan restriksi bahwa output kembali ke level
naturalnya di jangka panjang. Suku bunga nominal dan suku bunga riil merespon
guncangan tersebut lebih tinggi dibanding tingkat sebelum guncangan sehingga
menurunkan permintaan uang riil. Bank sentral meresponnya dengan menurunkan
money supply di jangka pendek untuk mengendalikan inflasi. Guncangan money
demand meningkatkan money supply dan permintaan uang riil.
Dari hasil penelitiannya, Rapach menemukan bahwa respon terhadap
guncangan money supply sesuai dengan transmisi moneter yaitu kenaikan money
25
supply menyebabkan kenaikan ekspektasi inflasi, sedangkan respon suku bunga
nominal tidak signifikan sehingga suku bunga riil menjadi lebih rendah dibanding
tingkat sebelum guncangan. Hal ini mendorong peningkatan output. Namun
sejalan dengan waktu, suku bunga riil meningkat untuk kembali ke level sebelum
guncangan begitu pula output yang menurun responnya menuju level sebelum
guncangan (sesuai dengan restriksi). Hal ini menurunkan permintaan uang riil
karena meningkatnya opportunity cost memegang uang. Berdasarkan analisis
FEVD ditemukan bahwa fluktuasi output dominan dijelaskan oleh guncangan IS
di jangka pendek dan guncangan penawaran di jangka panjang. Sedangkan
guncangan money supply dan money demand tidak berperan penting dalam
variabilitas output. Temuan Rapach menolak pandangan monetaris yang
mengklaim bahwa guncangan kebijakan moneter menggerakkan fluktuasi output,
sekaligus mendukung Keynesian dalam hal peran guncangan IS.
Blanchard
dan
Quah
(1988)
mempelajari
dinamika
output
dan
pengangguran atas guncangan aggregate demand dan aggregate supply. Menurut
mereka, level output di jangka panjang ditentukan oleh guncangan penawaran
seperti guncangan teknologi dan guncangan penawaran tenaga kerja. Variabel
yang digunakan yaitu PDB, pengangguran, tingkat produktivitas, harga, upah
nominal dan money supply. Mereka berpendapat bahwa fluktuasi dalam GNP
diakibatkan oleh dua jenis guncangan yaitu guncangan yang memiliki pengaruh
permanen terhadap output disebut guncangan penawaran dan guncangan yang
memiliki pengaruh tidak permanen terhadap output disebut guncangan
permintaan. Karena ada nominal rigidities, guncangan permintaan memiliki efek
jangka pendek atau sementara terhadap output dan pengangguran. Efek ini akan
menghilang sejalan dengan waktu. Dalam jangka panjang, hanya guncangan
penawaran yang memengaruhi output atau memiliki dampak yang permanen.
Berkembangnya
debat
mengenai
apakah
model
Keynesian
dapat
menjelaskan perekonomian direspon Gali (1992) dengan mengevaluasi validitas
model IS-LM dan Kurva Phillips dalam menjelaskan perekonomian Amerika
Serikat setelah Perang Dunia. Gali menggunakan variabel PDB, money supply,
suku bunga Amerika Serikat jangka pendek yaitu T-Bills 3 months dan IHK.
Dalam studinya, Gali mengkombinasikan restriksi jangka pendek dan jangka
26
panjang. Guncangan permintaan direstriksi tidak punya efek pada PDB di jangka
panjang sama halnya dengan restriksi yang dibangun oleh Blanchard dan Quah
(1988). Restriksi jangka pendek digunakan untuk memisahkan guncangan IS dari
guncangan moneter dimana guncangan moneter direstriksi tidak memiliki efek
contemporaneous terhadap output. Artinya output tidak merespon guncangan
moneter dalam triwulan yang sama atau ada lag respon.
Berdasarkan analisis FEVD, Gali menemukan bahwa selain guncangan
penawaran yang mendominasi fluktuasi PDB di seluruh horizon waktu, ternyata
guncangan IS mampu menjelaskan fluktuasi PDB di jangka pendek. Sedangkan
guncangan money supply dan money demand tidak berperan penting bagi fluktuasi
output di jangka pendek dan jangka panjang. Hasil IRF mengungkap bahwa
guncangan IS yang positif hanya sementara efeknya bagi PDB, namun permanen
bagi permintaan uang riil, suku bunga nominal (positif), inflasi (positif) dan
pertumbuhan uang. Guncangan money supply awalnya menaikkan permintaan
uang riil karena harga sulit menyesuaikan. Dengan output yang tetap (karena
direstriksi tidak langsung merespon) maka likuiditas yang tinggi menurunkan
suku bunga baik nominal maupun riil. Setelah itu output baru merespon
rendahnya suku bunga dengan peningkatan output. Seiring dengan kenaikan
output maka inflasi dan suku bunga nominal ikut naik (sesuai dengan kurva
Phillips dan kurva LM). Di jangka panjang, output dan suku bunga riil turun
kembali ke level sebelum guncangan tapi suku bunga nominal, inflasi dan
pertumbuhan uang merespon permanen dan mencapai level steady state baru yang
lebih tinggi sehingga permintaan uang riil menjadi lebih rendah di jangka panjang.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada bukti empiris yang mendukung
model IS-LM-Kurva Phillips dapat menjelaskan perekonomian AS setelah perang
dunia, dimana respon dinamis perekonomian terhadap berbagai tipe guncangan
sesuai dengan prediksi kerangka kerja IS-LM-Kurva Phillips.
Siregar (2001) melakukan penelitian business cycle di New Zealand dengan
membandingkan ketiga teori dalam business cycle yaitu Real Business Cycle, New
Keynesian Business Cycle dan Monetary Business Cycle. Siregar menggunakan
SVAR terkointegrasi dan menemukan bahwa New Keynesian Business Cycle
adalah yang paling sesuai bagi perekonomian New Zealand, dimana seluruh
27
estimasi parameternya sesuai dengan arah yang diharapkan dan dinamika respon
IRF konsisten dengan teori New Keynesian. Selain itu, restriksi jangka pendek
yang diterapkan ternyata didukung oleh data. Temuan penelitian ini yaitu
guncangan
permintaan
ditemukan
sama
pentingnya
dengan
guncangan
penawaran. Guncangan permintaan terpenting adalah guncangan kurs riil yang
didefinisikan sebagai guncangan kebijakan fiskal. Selain penting bagi fluktuasi
kurs riil, guncangan kebijakan fiskal juga berperan penting dalam fluktuasi
permintaan uang dan suku bunga domestik. Guncangan penawaran berupa
guncangan teknologi mampu menjelaskan fluktuasi output, kurs riil, suku bunga
domestik, jam kerja dan permintaan uang.
Temuan lain dari penelitian Siregar yaitu guncangan permintaan uang hanya
penting bagi fluktuasi permintaan uang, sedangkan guncangan kebijakan moneter
(suku bunga domestik) penting dalam fluktuasi suku bunga domestik dan
permintaan uang. Guncangan eksternal khususnya suku bunga dunia ditemukan
penting dalam menjelaskan fluktuasi pengangguran, permintaan uang, kurs riil
dan output.
Cheng (2003) mempelajari dampak fluktuasi money supply sebagai ukuran
kebijakan moneter, defisit anggaran sebagai ukuran kebijakan fiskal dan
pembentukan modal domestik terhadap pertumbuhan ekonomi Malaysia Dalam
penelitiannya
tersebut,
Cheng
menggunakan
metode
VECM.
Temuan
penelitiannya adalah fluktuasi PDB riil selain dominan dijelaskan oleh
guncangannya sendiri juga banyak dijelaskan oleh guncangan kebijakan moneter
yang makin mendominasi di jangka panjang. Guncangan kebijakan fiskal ikut
berperan dalam menjelaskan fluktuasi PDB namun dengan peran yang lebih kecil,
sedangkan guncangan pembentukan modal tetap bruto tidak penting bagi fluktuasi
PDB riil Malaysia. Sehingga kebijakan pemerintah utamanya otoritas moneter
memainkan peran sangat penting dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi
Malaysia. Dari hasil IRF diketahui bahwa guncangan money supply dan
pembentukan modal direspon positif oleh pertumbuhan ekonomi sedangkan
guncangan defisit anggaran direspon negatif.
Siregar dan Ward (2000) meneliti peran guncangan Aggregat Demand
dalam menjelaskan fluktuasi makroekonomi Indonesia. Mereka menggunakan
28
metode SVAR yang dikombinasikan dengan kointegrasi dan menerapkan restriksi
jangka pendek dan jangka panjang. Variabel yang digunakan adalah money
supply, kurs nominal, suku bunga jangka pendek domestik, PDB, IHK Indonesia,
IHK Amerika Serikat serta suku bunga jangka pendek Amerika Serikat.
Berdasarkan hasil FEVD ditemukan bahwa guncangan kurs tidak hanya menjadi
penentu utama fluktuasi kurs di seluruh horizon waktu namun juga variabilitas
output baik di jangka pendek maupun jangka panjang, serta juga dominan dalam
menjelaskan fluktuasi suku bunga domestik dan permintaan uang riil. Sedangkan
guncangan penawaran memainkan peran penting dalam variabilitas output di
jangka pendek dan jangka panjang serta fluktuasi jangka pendek real money
balance. Selain itu ditemukan bahwa guncangan suku bunga dunia hanya berperan
penting dalam menjelaskan variabilitas jangka panjang permintaan uang riil.
Guncangan money supply dan money demand tidak mampu menjelaskan fluktuasi
output di seluruh horizon waktu, namun hanya berperan bagi fluktuasi dirinya
sendiri masing-masing.
Hasil IRF dalam penelitian Siregar dan Ward menemukan bahwa guncangan
eksternal berupa guncangan suku bunga AS tidak berdampak signifikan bagi
perekonomian domestik. Guncangan penawaran hanya direspon permanen oleh
output. Guncangan yang memperburuk spending balance berdampak permanen
bagi turunnya output dan terdepresiasinya kurs riil. Respon permintaan uang riil
atas guncangan permintaan uang hanya signifikan dalam jangka pendek
sedangkan makroekonomi domestik lainnya tidak merespon guncangan ini secara
signifikan. Respon yang sama ditunjukkan oleh makroekonomi domestik atas
guncangan suku bunga domestik dimana respon signifikan hanya oleh suku bunga
domestik di jangka pendek.
Supriana (2004) mengkaji business cycle Indonesia dari sisi permintaan
menggunakan variabel suku bunga jangka pendek Amerika Serikat, PDB, kurs,
permintaan uang, defisit anggaran, suku bunga domestik serta investasi. Metode
yang digunakan adalah VECM. Supriana menemukan bahwa guncangan yang
dapat menjelaskan dinamika business cycle Indonesia dalam jangka pendek dan
jangka panjang adalah guncangan kurs, sedangkan guncangan output hanya dapat
menjelaskan fluktuasi jangka pendek. Selain itu juga diperoleh hasil bahwa
29
guncangan fiskal dan moneter tidak mampu menjelaskan variabilitas PDB dan
kurs Indonesia.
2.4.2 Studi Fluktuasi Harga Minyak Dunia
Nordhaus (2007) menyatakan bahwa kenaikan harga minyak dunia setelah
tahun 2000 direspon berbeda oleh perekonomian dibanding respon pada tahun
1970-an. Invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2002 dipercaya mampu
menurunkan supply minyak dunia sehingga memicu kenaikan harga minyak
dunia. Namun kenaikan harga minyak dunia tersebut ternyata tidak banyak
mengkontraksi perekonomian dimana PDB tetap mampu tumbuh positif dan
inflasi moderat. Pada era 1970-an, guncangan harga minyak dunia disebabkan
oleh konflik di Timur Tengah seperti perang Arab Israel tahun 1973, revolusi Iran
di tahun 1978, invasi Irak ke Kuwait tahun 1990. Guncangan-guncangan tersebut
mampu
memicu
resesi
perekonomian
global,
berbeda
dengan
respon
makroekonomi pada era 2000-an.
Hamilton (2009) meneliti kesamaan dan perbedaan guncangan harga
minyak pada tahun 2007-2008 dibandingkan dengan guncangan harga minyak era
1970-an dengan melihat penyebab dan dampaknya bagi perekonomian.
Guncangan harga minyak era 1970-an lebih banyak dikontribusi oleh gangguan
fisik seperti penurunan supply, sedangkan kenaikan harga minyak di tahun 20072008 lebih karena kenaikan permintaan padahal produksi tetap. Dampak bagi
perekonomian atas guncangan harga minyak pada era 1970-an ternyata buruk
yaitu inflasi yang tinggi dan PDB terkontraksi dalam. Namun bagi perekonomian
saat ini, guncangan harga minyak pada tahun 2007-2008 lalu tidak menyebabkan
resesi perekonomian, dimana inflasi moderat dan pertumbuhan ekonomi tetap
positif.
Blanchard dan Gali (2010) berusaha mengungkap alasan mengapa
guncangan harga minyak dunia berbeda efeknya bagi perekonomian pada era
1970-an dan 2000-an. Pada era 1970-an, kenaikan harga minyak dunia
menyebabkan stagflasi dan tingginya angka pengangguran, sedangkan pada era
2000-an, gucangan harga minyak dunia tidak banyak menjelaskan fluktuasi
perekonomian
dimana
inflasi
dan
pertumbuhan
ekonomi
tetap
terjaga
kestabilannya. Mereka membagi periode penelitian menjadi dua periode waktu
30
yaitu sebelum tahun 1984 dan setelah tahun 1984. Metode SVAR digunakan untuk
mengidentifikasi guncangan harga minyak.
Analisis IRF sebelum periode 1984 pada penelitian Blanchard dan Gali
menunjukkan
bahwa
dampak
guncangan
harga
minyak
dunia
adalah
terkontraksinya PDB yang mencapai minus 75% dibanding level sebelum
guncangan setelah triwulan ke-11, begitu juga dengan respon tertinggi inflasi yang
mencapai 75% melebihi tingkat sebelum ada guncangan. IRF pada periode setelah
1984 menunjukkan bahwa dampak bagi PDB masih negatif namun jauh lebih
kecil dibanding respon sebelum 1984. PDB terkontraksi 25% dan stabil setelah
triwulan ke-7 setelah guncangan, sedangkan inflasi hanya meningkat 25%. Hal ini
disebabkan oleh penurunan kekakuan upah riil sepanjang waktu, meningkatnya
kredibilitas otoritas moneter dalam menjaga inflasi serta turunnya kontribusi
minyak dalam PDB.
Purwanti (2011) melakukan studi mengenai dampak guncangan harga
minyak dunia terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara
ASEAN+3. Metode analisis yang digunakan adalah First Difference-Generalized
Method of Moments (FD-GMM). Temuannya yaitu
kenaikan laju perubahan
harga minyak dunia secara signifikan menyebabkan inflasi karena umumnya
negara-negara ASEAN+3 tidak melakukan subsidi harga bahan bakar. Selain itu,
ternyata kenaikan laju perubahan harga minyak juga signifikan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
2.5
Kerangka Pemikiran
Untuk mencapai visi Indonesia di tahun 2025, dimana Indonesia diharapkan
menjadi kekuatan ekonomi 12 besar dunia, maka diperlukan stabilitas dalam
perekonomian. Namun berbagai peristiwa baik eksternal maupun domestik dapat
mengganggu
kestabilan
perekonomian
sehingga
dapat
mempertinggi
pengangguran dan kemiskinan.
Peristiwa ekternal yang dicakup adalah fluktuasi harga minyak dunia serta
fluktuasi suku bunga Amerika Serikat, sedangkan peristiwa domestik adalah
kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral, guncangan kurs riil, guncangan
permintaan uang serta favorable shock dalam penawaran. Ketika terjadi
guncangan yang memperburuk perekonomian maka kebijakan yang tepat
31
diperlukan untuk membawa perekonomian keluar dari resesi serta mampu
meredam fluktuasi yang berlebihan dalam perekonomian.
Untuk mencapai Visi Indonesia 2025
diperlukan stabilitas perekonomian
Kondisi eksternal:
Krisis moneter 1998,
krisis keuangan
global, kenaikan
harga minyak dunia
Kondisi internal:
Intervensi pemerintah
melalui kebijakan
ekonomi
Guncangan eksternal:
- Penawaran: harga
minyak dunia
- Permintaan: suku
bunga Amerika
Serikat
Guncangan domestik:
- Penawaran: output
- Permintaan: kurs
riil, permintaan uang
dan kebijakan
moneter domestik
Masalah:
Berbagai peristiwa (eksternal dan domestik) dapat
mengganggu stabilitas perekonomian nasional.
Perlu diketahui sumber guncangan utama bagi
fluktuasi makroekonomi Indonesia
Kerangka kerja
New Keynesian
(harga kaku di
jangka pendek)
Kajian Business Cycle
New Keynesian
Implikasi Kebijakan
Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian
Namun perilaku harga adalah berbeda menurut horizon waktu. Harga dan
upah nominal di jangka pendek adalah kaku sedangkan di jangka panjang
fleksibel, sehingga kebijakan ekonomi bisa memiliki dampak yang berbeda
menurut horizon waktu ini. Oleh karena itu dilakukan penelitian business cycle
yang mempertimbangkan kekakuan harga di jangka pendek. Model business cycle
32
yang dibangun dalam penelitian ini didasarkan pada kerangka kerja New
Keynesian.
Diharapkan sumber guncangan utama bagi perekonomian Indonesia dapat
teridentifikasi serta diketahui bagaimana dinamika respon makroekonomi
Indonesia atas berbagai guncangan yang terjadi. Kerangka pemikiran yang
digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 5.
33
III. METODE PENELITIAN
3.1
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
berasal dari berbagai sumber dan dirinci dalam Tabel 3. Data tersebut berupa data
triwulanan mulai periode 1990:1 hingga 2012:2, sehingga terdapat observasi
sebanyak 90 triwulan. Selain itu juga dikumpulkan berbagai data pendukung
seperti subsidi BBM dan APBN dari Kementrian Keuangan.
Tabel 3 Data dan sumbernya
Data
PDB atas dasar harga konstan 2000
IHK Indonesia
Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan
Kurs nominal (Rp/US$)
M1
Suku bunga Amerika Serikat (Treasury Bills rate 3
months)
IHK Amerika Serikat
Harga minyak dunia WTI
Sumber
Badan Pusat Statistik (BPS)
BPS
Bank Indonesia (BI)
BI
BI
The Federal Reserve
US Bureau of Labor Statistics
US Department of Energy
Series data PDB atas dasar harga konstan yang diperoleh dari BPS adalah
dalam bentuk triwulanan dengan tahun dasar yang berbeda-beda. Series PDB riil
pada periode 1990:1-1992:4 diperoleh atas dasar harga konstan 1983, sedangkan
untuk series PDB riil pada periode 1993:1-1999:4 adalah atas dasar harga konstan
1993. Series data PDB riil untuk periode 2000:1-2012:2 adalah atas dasar harga
konstan 2000. Oleh karena itu data PDB perlu disamakan tahun dasarnya dimana
untuk series PDB riil sebelum tahun 2000:1 dirubah tahun dasarnya ke tahun
dasar 2000.
Kurs riil diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
𝐼𝐻𝐾 𝐴𝑆
𝑅𝐸𝑅 = 𝑁𝐸𝑅 × 𝐼𝐻𝐾 𝐼𝑛𝑑
dimana:
𝑅𝐸𝑅
=
𝑁𝐸𝑅 =
real exchange rate atau kurs riil
nominal exchange rate atau kurs nominal, merupakan data pada akhir
triwulan (maret, juni, september dan desember). Kurs nominal dalam
penelitian ini didefinisikan sebagai harga mata uang asing dalam mata
uang domestik (Rp/US$). Ketika kurs riil turun menunjukkan
34
apresiasi mata uang domestik dan ketika kurs riil meningkat
menunjukkan depresiasi mata uang domestik.
𝐼𝐻𝐾 𝐴𝑆 = Indeks Harga Konsumen Amerika Serikat
𝐼𝐻𝐾 𝐼𝑛𝑑 = Indeks Harga Konsumen Indonesia
IHK diperoleh dalam frekuensi bulanan. Data IHK triwulanan diperoleh dari IHK
akhir triwulan (IHK pada bulan maret, juni, september dan desember). Agar
sesuai dengan tahun dasar PDB maka IHK Indonesia dan IHK Amerika Serikat
dirubah tahun dasarnya ke tahun 2000.
Real money atau permintaan uang riil dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
𝑀1
𝑅𝑀𝐵 = 𝐼𝐻𝐾 𝐼𝑛𝑑
dimana:
𝑅𝑀𝐵
𝑀1
= real money balance atau permintaan uang riil
= jumlah uang beredar, merupakan data akhir triwulan (maret, juni,
september, desember). M1 adalah ukuran jumlah uang beredar yang
meliputi uang kertas, uang logam dan uang giral.
Suku bunga jangka pendek Amerika Serikat menggunakan US Treasury
Bills rate 3 months dari secondary market dalam satuan persen per tahun,
diperoleh dalam bentuk bulanan. Series data suku bunga AS dalam bentuk
triwulanan diperoleh dengan menghitung rata-rata suku bunga AS bulanan.
Suku bunga domestik yang digunakan seharusnya sesuai dengan US
Treasury Bills rate 3 months, namun karena tidak tersedia data suku bunga
obligasi pemerintah 3 bulan untuk Indonesia dengan series yang cukup panjang,
maka dalam penelitian ini digunakan series suku bunga SBI 3 bulan.
Pada periode 1993:1, 1994:3 s/d 1996:3 serta 2010:4 s/d 2012:1, tidak
tersedia data suku bunga SBI 3 bulan. Untuk mengisi datanya, dilakukan dengan
interpolasi dan ekstrapolasi dengan meregresikan suku bunga deposito 3 bulan
terhadap suku bunga SBI 3 bulan. Gambar 6 menunjukkan perbandingan suku
bunga SBI 3 bulan dengan suku bunga deposito Bank Umum 3 bulan. Hasil
regresi suku bunga deposito terhadap suku bunga SBI menggunakan Eviews 6
disajikan pada Gambar 7.
35
SBI
deposito
60
persen
50
40
30
20
10
1990:1
1991:1
1992:1
1993:1
1994:1
1995:1
1996:1
1997:1
1998:1
1999:1
2000:1
2001:1
2002:1
2003:1
2004:1
2005:1
2006:1
2007:1
2008:1
2009:1
2010:1
2011:1
2012:1
0
Sumber: BI, 2012
Gambar 6 Perbandingan suku bunga SBI 3 bulan dan suku bunga deposito Bank
Umum 3 bulan
Gambar 6 memperlihatkan pergerakan suku bunga deposito Bank Umum
untuk jangka pendek 3 bulan ternyata sangat mirip dengan pergerakan suku bunga
SBI 3 bulan. Oleh karena itu dicoba untuk meregresikan kedua suku bunga
tersebut untuk interpolasi dan ekstrapolasi suku bunga SBI.
Dependent Variable: DEPO
Method: Least Squares
Sample (adjusted): 1990Q1 2010Q3
Included observations: 73 after adjustments
DEPO=C(1)+C(2)*SBI
C(1)
C(2)
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
0.777865
1.018329
0.538379
0.032817
1.444829
31.03075
0.931328
0.930361
2.333812
386.7141
-164.4363
962.9073
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
Prob.
0.1529
0.0000
15.17425
8.843829
4.559898
4.622650
4.584906
1.132643
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 7 Regresi suku bunga deposito 3 bulan dan suku bunga SBI 3 bulan
Berdasarkan Gambar 7 diperoleh bahwa R-squared regresi suku bunga
deposito Bank Umum 3 bulan terhadap suku bunga SBI 3 bulan sangat tinggi
yaitu 93%. Estimasi konstanta ditemukan tidak signifikan dengan p-value sebesar
0,1529, sedangkan estimasi slope signifikan. Untuk mengisi data SBI yang
kosong dalam rentang waktu penelitian digunakan koefisien slope tersebut.
36
Data harga minyak mentah dunia West Texas Intermediate (WTI) diperoleh
dari US Department of Energy dalam bentuk data triwulanan. Series data harga
tersebut merupakan spot price dan masih berupa harga nominal. Oleh karena itu
harga nominal tersebut dibuat menjadi harga riil dengan membagi harga nominal
minyak mentah dengan IHK Amerika Serikat.
Selain memasukkan enam variabel diatas, model juga diperkaya dengan dua
variabel dummy. Krisis moneter tahun 1998 mengakibatkan terjadinya structural
break sehingga dibuat variabel dummy krisis 1998. Penentuan periode break
dilakukan berdasarkan uji structural break pada PDB dalam unit root with
structural break-test. Dihasilkan bahwa periode 1998:1 adalah awal terjadinya
structural break. Oleh karena itu dalam model dimasukkan shift dummy dengan
nilai 0 untuk periode sebelum 1998:1 dan minus 1 untuk periode 1998:1 hingga
2012:2. Gambar 8 menyajikan hasil uji structural break menggunakan JMulTi
4.24.
Break date search for series:
lpdb
sample range:
[1990 Q4, 2012 Q2], T = 87
searched range:
[1991 Q3, 2011 Q4], T = 82
number of lags (1st diff):
1
suggested break date:
1998 Q1
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 8 Uji structural break
Variabel dummy kedua adalah dummy net impor. Dummy ini dimasukkan
dalam model karena ketika Indonesia masih menjadi net eksportir minyak, maka
guncangan kenaikan harga minyak dunia akan berdampak positif bagi
perekonomian Indonesia. Namun mulai tahun 2004:1, Indonesia menjadi net
importir minyak sehingga kenaikan harga minyak dunia akan membawa dampak
negatif bagi perekonomian domestik. Oleh karena itu dibuat dummy net impor
dengan nilai 0 untuk periode sebelum 2004:1 dan nilai minus 1 untuk periode
2004:1 hingga 2012:2.
Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan Microsoft Excel 2007,
Eviews 6 dan JMulTi 4.24. Eviews 6 digunakan untuk interpolasi dan ekstrapolasi
suku bunga SBI 3 bulan serta untuk uji kausalitas suku bunga AS dan harga
37
minyak dunia. JMulTi 4.24 digunakan untuk menguji asumsi-asumsi time series
dan menganalisis business cycle Indonesia.
3.2
Analisis Deskriptif
Analisis
deskriptif
menyajikan
analisis
tabel
dan
gambar
untuk
memudahkan pemahaman dan penafsiran. Analisis deskriptif dalam penelitian ini
digunakan untuk memberikan gambaran fluktuasi makroekonomi Indonesia
meliputi PDB, kurs riil, permintaan uang riil dan suku bunga domestik selama
periode penelitian.
3.3
Prosedur Analisis Business Cycle
Gambar 9 menunjukkan pilihan metode yang akan digunakan dalam
penelitian, apakah SVAR atau SVECM berdasarkan stasioneritas variabel dalam
model dan kehadiran rank kointegrasi.
Data (level)
Uji Stasioneritas
Stasioner
Tidak Stasioner
Uji Kointegrasi
Tidak ada
kointegrasi
Ada
kointegrasi
Uji stasioneritas dalam
difference hingga stasioner
VAR
VAR Difference
restriksi
struktural
restriksi
struktural
SVAR
Rank
Kointegrasi
VECM
SVECM
IRF
Innovation Accounting
FEVD
Gambar 9 Tahapan prosedur analisis penelitian
38
Apabila seluruh variabel stasioner dalam level maka akan digunakan VAR.
Bila model tidak stasioner dalam level namun ditemui terkointegrasi maka
digunakan VECM. Bila variabel tidak stasioner dalam level dan setelah diuji
kointegrasinya ternyata tidak ditemui adanya hubungan jangka panjang diantara
variabel-variabel tersebut maka digunakan VAR difference.
Analisis
berikutnya
setelah
model
VAR/VECM
ditentukan
adalah
memperkaya model dengan teori business cycle dalam kerangka kerja New
Keynesian sehingga menjadi Structural VAR/Structural VECM. Selanjutnya
menganalisis hasil IRF dengan melakukan bootstrap terlebih dahulu untuk
memperoleh selang kepercayaan bagi IRF. Teknik bootstrap ini bermanfaat untuk
sampel yang relatif kecil sehingga IRF yang dihasilkan menjadi lebih reliable
(Lütkepohl dan Kratzig, 2004). Dalam penelitian ini dilakukan bootstrap dengan
replikasi sebanyak 1000 kali. Langkah berikutnya adalah menganalisis FEVD.
3.4
Pengujian Time Series
3.4.1 Uji Stasioneritas
Umumnya data series ekonomi makro adalah tidak stasioner. Syarat
stasioneritas ini harus dipenuhi agar tidak memperoleh hasil regresi semu atau
spurious. Regresi semu ditandai dengan t statistik dan F statistik yang signifikan
dan 𝑅 2 yang tinggi, namun terjadi autokorelasi. Beberapa metode time series
mensyaratkan data yang stasioner. Suatu variabel disebut stasioner jika memiliki
rata-rata, varians dan kovarians yang konstan atau time invariant, sedangkan
errornya bersifat white noise memiliki rata-rata nol, varians yang konstan dan
tidak ada autokorelasi. Hubungan signifikan yang terjadi antar variabel tidak
memiliki arti ekonomi namun lebih disebabkan adanya common trend pada
variabel-variabel tersebut.
𝑦𝑡 = 𝑎1 𝑦𝑡−1 + 𝜀𝑡
(9)
dimana {𝜀𝑡 } adalah white noise.
Menurut Enders (2004), jika 𝑎1 = 0 maka variabel tersebut mengikuti
model Random Walk. Jika 𝑎1 ≥ 1 maka variabel 𝑦 bersifat memiliki unit root atau
tidak stasioner sehingga nilai variabel 𝑦 akan cenderung divergen dari mean
39
tertentu. Jika 𝑎1 < 1 maka variabel 𝑦 tidak memiliki unit root atau stasioner. Oleh
karena itu perlu diuji apakah 𝑎1 ≥ 1 atau tidak.
Dickey-Fuller (DF) memodifikasi persamaan (9) dengan mengurangkan kedua sisi
dengan 𝑦𝑡−1 : 𝑦𝑡 − 𝑦𝑡−1 = 𝑎1 𝑦𝑡−1 − 𝑦𝑡−1 + 𝜀𝑡
∆𝑦𝑡 = (𝑎1 − 1)𝑦𝑡−1 + 𝜀𝑡
∆𝑦𝑡 = 𝛾𝑦𝑡−1 + 𝜀𝑡
(10)
dimana 𝛾 = 𝑎1 − 1.
Menguji 𝛾 = 0 ekuivalen dengan menguji 𝑎1 = 1.
Dari persamaan (10) maka dapat dibuat hipotesis:
H0: 𝛾 = 0 atau ada unit root
H1: 𝛾 < 0 atau tidak ada unit root
Statistik uji: 𝑡ℎ𝑖𝑡 =
� −𝛾
𝛾
𝜎𝛾�
Kriteria keputusannya yaitu jika 𝑡ℎ𝑖𝑡 lebih besar dari nilai kritis MacKinnon
maka tidak ada cukup bukti untuk menolak H0 berarti {𝑦𝑡 } mengandung unit root
atau tidak stasioner. Jika 𝑡ℎ𝑖𝑡 lebih negatif dari nilai kritis MacKinnon maka H0
ditolak berarti {𝑦𝑡 } tidak mengandung unit root atau dikatakan stasioner.
Untuk menguji kehadiran unit root, selain persamaan (10) terdapat
persamaan regresi lain yang dapat digunakan yaitu:
∆𝑦𝑡 = 𝑎0 + 𝛾𝑦𝑡−1 + 𝜀𝑡
∆𝑦𝑡 = 𝑎0 + 𝛾𝑦𝑡−1 + 𝑎2 𝑡 + 𝜀𝑡
(11)
(12)
Perbedaan ketiga persamaan diatas terletak pada apakah konstanta 𝑎0 dan time
trend 𝑎2 𝑡 dimasukkan dalam persamaan. Persamaan (10) adalah model pure
random walk, persamaan (11) adalah model random walk plus drift, sedangkan
persamaan (12) merupakan model random walk plus drift and time trend.
Karena terdapat 3 model persamaan maka DF juga menyediakan nilai kritis
yang berbeda sesuai model yang digunakan tergantung dari bentuk regresi dan
jumlah sampel. t statistik dari persamaan (10), (11) dan (12) masing-masing
dibandingkan dengan 𝜏,𝜏𝜇 dan 𝜏 𝑇 . Jika dari hasil pengujian stasioneritas DF
ternyata ada unit root maka common trend harus dibuang dengan cara differencing
atau detrending. Differencing dilakukan dengan meregresikan selisih variabel
40
kemudian diuji dengan DF-test jika dihasilkan tolak H0 maka variabel
bersangkutan stasioner pada first difference.
Augmented Dickey Fuller (ADF) mengatasi masalah pengujian unit root
dengan DF-test yang tidak mempertimbangkan lag dalam persamaan.
𝑝
∆𝑦𝑡 = 𝑎0 + 𝛾𝑦𝑡−1 + ∑𝑖=2 𝛽𝑖 ∆𝑦𝑡−𝑖+1 + 𝜀𝑡
𝑝
dimana 𝛾 = −(1 − ∑𝑖=1 𝑎𝑖 )
𝑝
𝛽𝑖 = − ∑𝑗=1 𝑎𝑗
Jika ∑ 𝑎𝑖 , 𝛾 = 0 maka sistem memiliki unit root. Kehadiran unit root diuji dengan
cara yang sama seperti diatas.
3.4.2 Uji Stabilitas Model VAR/VEC
Sebelum hasil estimasi VAR dianalisis, terlebih dahulu dilakukan pengujian
stabilitas model. Hal ini penting karena hasil analisis IRF dan FEVD yang
dihasilkan tidak akan valid jika model VAR/VEC yang diestimasi tidak stabil.
Pengujian stabilitas model VAR dapat dilakukan dengan CUSUM sedangkan
untuk VECM menggunakan recursive eigen value dan tau_t statistics (Lütkepohl
& Kratzig 2004).
3.4.3 Uji Ordo Optimal VAR/VECM
Untuk menentukan panjang lag optimal digunakan kriteria informasi seperti
AIC (Akaike Information Criterion), HQ (Hannan-Quinn Information Criterion),
SBC (Schwarz Bayesian Information Criterion) dan FPE (Final Prediction Error).
Lütkepohl dan Kratzig (2004) menyatakan bahwa kriteria informasi
dihitung dari reduced form VAR/VECM. Panjang lag optimal dipilih dengan
meminimisasi salah satu kriteria informasi berikut:
2
𝐴𝐼𝐶(𝑛) = log det �Σ�𝑢 (𝑛)� + 𝑇 𝑛𝐾 2
2𝑙𝑜𝑔𝑙𝑜𝑔𝑇
𝐻𝑄(𝑛) = log det �Σ�𝑢 (𝑛)� +
𝑛𝐾 2
𝑇
𝑙𝑜𝑔𝑇
𝑆𝐶(𝑛) = log det �Σ�𝑢 (𝑛)� + 𝑇 𝑛𝐾 2
∗
𝐾
𝑇+𝑛
𝐹𝑃𝐸(𝑛) = �𝑇−𝑛∗ � det �Σ�𝑢 (𝑛)�
dimana:
41
Σ�𝑢 (𝑛) diestimasi dengan 𝑇 −1 ∑𝑇𝑡−1 𝑢�𝑡 𝑢�𝑡′
𝑛∗ adalah total parameter setiap persamaan dari model
𝑛 adalah ordo lag dari variabel endogen
Panjang lag yang meminimumkan tiap kriteria informasi diatas adalah yang
disajikan dalam output JMulTi.
3.4.4 Uji Kointegrasi
Kointegrasi adalah hubungan jangka panjang antara variabel-variabel yang
tidak stasioner dalam level. Keberadaan hubungan kointegrasi memberikan
peluang bagi data yang secara individual tidak stasioner untuk menghasilkan
sebuah kombinasi linier diantara mereka sehingga tercipta kondisi yang stasioner.
Secara sederhana, dua variabel disebut terkointegrasi jika hubungan kedua
variabel tersebut dalam jangka panjang akan mendekati atau mencapai kondisi
ekuilibriumnya. Adanya kointegrasi diketahui dengan kehadiran rank kointegrasi.
Untuk menguji adanya kointegrasi dari enam variabel yang digunakan dalam
penelitian ini digunakan Saikkonen & Lütkepohl-test.
Uji kointegrasi dalam JMulTi dilakukan berdasarkan model umum sebagai
berikut:
𝑦𝑡 = 𝐷𝑡 + 𝑥𝑡
dimana:
𝑦𝑡 adalah vektor K variabel
𝐷𝑡 adalah deterministic term, misalnya 𝐷𝑡 = 𝜇0 + 𝜇1 𝑡
𝑥𝑡 adalah VAR(p) dengan representasi VECM:
𝑝−1
Δ𝑥𝑡 = Π𝑥𝑡−1 + ∑𝑗=1 Γ𝑗 Δ𝑦𝑡−𝑗 + 𝑢𝑡
𝑢𝑡 adalah vektor proses white noise dengan 𝑢𝑡 ∼ (0, ∑ 𝑢). Rank Π adalah rank
kointegrasi dari 𝑥𝑡 , sehingga merupakan rank kointegrasi dari 𝑦𝑡 .
Rank kointegrasi diuji berdasarkan hipotesis:
𝐻0 (𝑟0 ): 𝑟𝑘(Π) = 𝑟0
𝐻1 (𝑟0 ): 𝑟𝑘(Π) > 𝑟0
dimana:
𝑟0 = 0, … , 𝐾 − 1
42
3.5
Model Vector Autoregressive (VAR)
Model VAR digunakan jika seluruh variabel stasioner dalam level. Namun
jika variabel tidak stasioner dalam level dan tidak terkointegrasi maka digunakan
VAR difference. Menurut Sims (1980) dalam Lütkepohl (2005), model VAR
merupakan alternatif dari model persamaan simultan yang banyak digunakan
sebelum tahun 1980. Persamaan simultan tidak memperhitungkan struktur
dinamika data time series dengan frekuensi bulanan atau triwulanan. Sims juga
mengkritisi model persamaan simultan klasik mengenai identifikasi dan asumsi
exogeneity untuk beberapa variabel, bahwa sulit untuk menemukan variabel yang
betul-betul eksogen.
Enders (2004) menyatakan bahwa VAR merupakan sistem persamaan
dimana tiap variabel endogen merupakan fungsi dari konstanta dan lag seluruh
variabel endogen dalam sistem. Bentuk standar model VAR dalam JMulTi adalah
sebagai berikut (Lütkepohl & Kratzig 2004):
𝑦𝑡 = 𝐴1 𝑦𝑡−1 + ⋯ + 𝐴𝑝 𝑦𝑡−𝑝 + 𝐵0 𝑥𝑡 + ⋯ + 𝐵𝑞 𝑥𝑡−𝑞 + 𝐶𝐷𝑡 + 𝑢𝑡
(13)
dimana:
𝑦𝑡 = (𝑦1𝑡 , … , 𝑦𝐾𝑡 )′ adalah vektor dari K variabel endogen
𝑥𝑡 = (𝑥1𝑡 , … , 𝑥𝑀𝑡 )′ adalah vektor dari M variabel eksogen
𝐷𝑡 = variabel deterministik, meliputi konstanta, trend linier, seasonal dummy dan
variabel dummy lainnya.
𝑢𝑡 = proses white noise dengan rata-rata nol dan matriks kovarians yang positif,
berdimensi K
𝐴𝑖 , 𝐵𝑗 , 𝐶 = matriks parameter
Jika tidak ada variabel eksogen maka model VAR menjadi:
𝑦𝑡 = 𝐴1 𝑦𝑡−1 + ⋯ + 𝐴𝑝 𝑦𝑡−𝑝 + 𝐶𝐷𝑡 + 𝑢𝑡
Estimasi dapat dilakukan dengan Generalized Least Squares (GLS). Untuk
itu setiap persamaan dalam sistem diestimasi dahulu menggunakan Ordinary
Least Squares (OLS). Residual digunakan untuk mengestimasi matriks kovarian
yang bersifat white noise, Σ𝑢 , sebagai Σ�𝑢 = 𝑇 −1 ∑𝑇𝑡−1 u� t u� ′t . Estimator ini
kemudian digunakan dalam tahap selanjutnya untuk menghitung estimator GLS.
43
3.6
Model Vector Error Correction (VEC)
Sebagian besar data makroekonomi adalah tidak stasioner dalam level.
Untuk menghindari hasil yang spurious, maka data harus distasionerkan dahulu,
salah satu caranya dengan melakukan differencing. Namun memaksa variabel
menjadi stasioner dengan differencing menyebabkan hilangnya informasi jangka
panjang. Oleh karena itu berkembang metode analisis VECM yang dapat
mengakomodir data yang tidak stasioner dalam level dengan tetap memperoleh
hasil yang tidak spurious.
Menurut Enders (2004), VECM adalah VAR terestriksi yang digunakan
untuk variabel yang tidak stasioner tetapi memiliki potensi untuk terkointegrasi.
Setelah dilakukan pengujian kointegrasi pada model yang digunakan maka
persamaan kointegrasi dimasukkan dalam model VAR yang digunakan.
Memasukkan matriks kointegrasi dalam model VAR akan dihasilkan model VAR
terkointegrasi yang disebut VECM. Dalam VECM terdapat speed of adjustment
dari jangka pendek ke jangka panjang. Model umum VEC dalam JMulTi
(Lütkepohl & Kratzig 2004) adalah sebagai berikut:
𝑦𝑡−1
Γ0 Δ𝑦𝑡 = 𝛼[𝛽 ′ : 𝜂′ ] �𝐷∞ � + Γ1 Δ𝑦𝑡−1 + ⋯ + Γ𝑝 Δ𝑦𝑡−𝑝 + 𝐵0 𝑥𝑡 + ⋯ + 𝐵𝑞 𝑥𝑡−𝑞 +
dimana
𝐶𝐷𝑡 + 𝑢𝑡
𝑡−1
(14)
𝑦𝑡 = (𝑦1𝑡 , … , 𝑦𝐾𝑡 )′ adalah vektor K variabel endogen
𝑥𝑡 = (𝑥1𝑡 , … , 𝑥𝑀𝑡 )′ adalah vector M variabel eksogen
𝐷𝑡∞ = mengandung seluruh deterministic term yang dimasukkan dalam hubungan
kointegrasi. Deterministic terms meliputi konstanta, linear trend, seasonal
dummy dan variabel dummy lainnya.
𝐷𝑡
= mengandung seluruh deterministic terms yang tidak dimasukkan dalam
hubungan kointegrasi
𝑢𝑡 = vektor residual diasumsikan zero mean white noise berdimensi K
𝛼
𝛽
= matriks loading coefficient berdimensi K x r
= matriks yang mengandung hubungan kointegrasi berdimensi K x r
Rank kointegrasi (r) berada dalam range: 1 ≤ 𝑟 ≤ 𝐾 − 1
44
Γ𝑖 , 𝐵𝑗 , 𝐶 = matriks parameter
∞
𝜂 memiliki dimensi kolom r dan dimensi baris sesuai dimensi 𝐷𝑡−1
Persamaan (14) merupakan bentuk struktural yang hanya diestimasi jika
identifikasi restriksi diterapkan. Jika Γ0 dispesifikasi menjadi matriks identitas
maka model tersebut menjadi reduced form. Dimungkinkan untuk menspesifikasi
model tanpa memasukkan variabel eksogen.
Estimasi dengan Johansen dapat dilakukan pada model dalam bentuk:
𝑦𝑡−1
Δ𝑌𝑡 = 𝛼𝛽 ∗′ �𝐷∞ � + Γ1 Δ𝑌𝑡−1 + ⋯ + Γ𝑝 Δ𝑌𝑡−𝑝 + 𝐶𝐷𝑡 + 𝑢𝑡
dimana:
𝑡−1
𝛽
𝛽 ∗ = � � dimana dimensi baris dari 𝛽 ∗ adalah 𝐾 ∗ , sehingga 𝛽 ∗ adalah matriks
𝜂
berdimensi 𝐾 ∗ x 𝑟.
𝛽 ∗ adalah matrik kointegrasi yang otomatis dinormalisasi sebagai berikut:
𝐼𝑟
𝛽 ∗ = �𝛽 ∗ ∗ �
(𝐾 −𝑟)
Estimasi dengan metode Johansen dapat dilakukan jika:
1. Γ0 = 𝐼
2. Tidak ada restriksi nol pada matriks Γ𝑖 (𝑗 = 1, … , 𝑝)
3. Tidak ada variabel eksogen
sehingga reduced form dispesifikasi tanpa variabel eksogen dan tiap persamaan
memiliki variabel penjelas yang sama.
3.7
Model Structural VAR (SVAR)
Menurut Keating (1992), IRF dan FEVD yang menjadi alat analisis utama
dalam model VAR merupakan indikator dinamika model empiris yang diperoleh
dari teknik yang tidak ada hubungannya dengan teori ekonomi, yaitu melalui
dekomposisi Choleski pada matriks kovarian residual VAR.
Kritik mengenai tidak diakomodasinya teori ekonomi dalam model VAR
menyebabkan pengembangan model VAR menjadi Structural VAR (SVAR).
Kelebihan SVAR dibandingkan dengan model VAR adalah diakomodasinya teori
ekonomi dalam model VAR. Metode SVAR memungkinkan peneliti untuk
45
menggunakan teori ekonomi dalam mentransformasi reduced form VAR ke sistem
persamaan struktural. Parameter diestimasi dengan menerapkan restriksi struktural
contemporaneous. Perbedaan utama antara atheoritical VAR dengan structural
VAR adalah pada IRF dan FEVD. IRF dan FEVD pada SVAR dapat memberikan
interpretasi struktural sehingga banyak ekonom percaya bahwa SVAR dapat
membuka informasi yang terkandung dalam model time series berbentuk reduced
form (Keating, 1992).
Model SVAR dapat digunakan untuk mengidentifikasi guncangan yang akan
dilacak dalam IRF dengan menerapkan restriksi pada matriks A dan B dalam
model struktural sebagai berikut:
𝐴𝑦𝑡 = 𝐴1∗ 𝑦𝑡−1 + ⋯ + 𝐴∗𝑝 𝑦𝑡−𝑝 + 𝐵0∗ 𝑥𝑡 + ⋯ + 𝐵𝑞∗ 𝑥𝑡−𝑞 + 𝐶 ∗ 𝐷𝑡 + 𝐵𝜀𝑡
(15)
𝜀𝑡 adalah structural error, diasumsikan white noise berukuran (0, 𝐼𝐾 ). Koefisien
matriks pada persamaan (15) berbeda dengan koefisien reduced form pada
persamaan (13). Residual reduced form, 𝑢𝑡 , diperoleh dari model struktural yaitu:
𝑢𝑡 = 𝐴−1 𝐵𝜀𝑡 sehingga Σ𝑢 = 𝐴−1 𝐵𝐵′𝐴−1 ′.
3.8
Model Structural VEC (SVEC)
Restriksi jangka pendek sesuai dengan teori ekonomi juga dapat diterapkan
pada model VEC apabila variabel ditemukan tidak stasioner dalam level namun
terkointegrasi. VECM diperkaya dengan teori ekonomi sehingga menjadi
Structural VECM. Menurut Lütkepohl dan Kratzig (2004), model SVEC dapat
digunakan untuk mengidentifikasi guncangan agar dapat terlacak dalam analisis
IRF dengan menerapkan restriksi pada matriks B yaitu:
𝐵 𝜀𝑡 = 𝑢𝑡
dimana:
𝐵 adalah matriks efek contemporaneous dari guncangan. Estimasi dilakukan oleh
maximum likelihood.
Untuk mengidentifikasi guncangan struktural dalam penelitian ini maka
diterapkan restriksi struktural contemporaneous terhadap matriks B yang
menggambarkan struktur hubungan jangka pendek antar variabel sebagai berikut:
46
dimana:
1
⎡
𝑏
⎢ 21
⎢𝑏31
⎢𝑏41
⎢ 0
⎣ 0
0
1
𝑏32
𝑏42
0
0
0
0
1
0
0
0
0 0 𝑏16 𝜀 𝑌
𝑢𝑌
⎤⎡ 𝑄 ⎤ ⎡ 𝑄 ⎤
0 𝑏25 0 𝜀
𝑢
⎥⎢
⎥ ⎢
⎥
𝑏34 0 0⎥ ⎢𝜀 𝑀/𝑃 ⎥ ⎢𝑢𝑀/𝑃 ⎥
=
1 𝑏45 0⎥ ⎢ 𝜀 𝑖 ⎥ ⎢ 𝑢𝑖 ⎥
∗
∗
0 1 𝑏56 ⎥ ⎢ 𝜀 𝑖 ⎥ ⎢ 𝑢𝑖 ⎥
∗
∗
0 0 1 ⎦ ⎣ 𝜀 𝑃𝑜 ⎦ ⎣ 𝑢𝑃𝑜 ⎦
𝑏16 = efek contemporaneous harga minyak dunia (𝑃𝑜∗ ) terhadap PDB (𝑌)
𝑏21 = efek contemporaneous PDB terhadap kurs riil (𝑄)
𝑏25 = efek contemporaneous suku bunga AS (𝑖 ∗ ) terhadap kurs riil
𝑏31 = efek contemporaneous PDB terhadap permintaan uang riil (𝑀/𝑃)
𝑏32 = efek contemporaneous kurs riil terhadap permintaan uang riil
𝑏34 = efek contemporaneous suku bunga domestik (𝑖) terhadap permintaan uang
riil
𝑏41 = efek contemporaneous PDB terhadap suku bunga domestik
𝑏42 = efek contemporaneous kurs riil terhadap suku bunga domestik
𝑏45 = efek contemporaneous suku bunga AS terhadap suku bunga domestik
𝑏56 = efek contemporaneous harga minyak dunia terhadap suku bunga
3.9
Analisis Dinamika Respon Business Cycle Indonesia
Untuk mengetahui dinamika respon masing-masing variabel dalam
penelitian terhadap guncangan pada salah satu variabel digunakan analisis Impulse
Response Functions (IRF). IRF merupakan suatu metode yang digunakan untuk
melihat respon dinamis setiap variabel endogen terhadap suatu guncangan
variabel tertentu. Hal ini disebabkan karena guncangan variabel ke-i tidak hanya
berpengaruh terhadap variabel ke-i saja namun ditransmisikan kepada semua
variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis atau struktur lag dalam VAR.
Sehingga IRF mengukur pengaruh suatu guncangan pada suatu waktu kepada
inovasi variabel endogen pada saat tersebut dan di masa yang akan datang.
Berdasarkan analisis ini dapat diketahui dampak guncangan eksternal dan
domestik dari sisi permintaan dan penawaran bersifat sementara atau permanen,
serta apakah respon yang ditunjukkan tiap variabel signifikan secara statistik.
47
3.10 Analisis Sumber Guncangan Utama Business Cycle Indonesia
Untuk mengetahui guncangan mana yang paling berperan dalam
menjelaskan setiap variabel makroekonomi dalam model digunakan Forecast
Error Variance Decomposition (FEVD). FEVD merupakan metode yang
digunakan untuk melihat besarnya peran guncangan variabel tertentu dalam
persentase terhadap variabilitas tiap variabel dalam model. Metode ini mencirikan
suatu struktur dinamis dalam model VAR. Melalui metode ini dapat diketahui
kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel dalam kurun waktu yang
panjang. Jadi melalui FEVD dapat diketahui secara pasti faktor-faktor yang
memengaruhi fluktuasi variabel tertentu. Berdasarkan analisis ini dapat
disimpulkan bagaimana peran guncangan-guncangan permintaan dan penawaran
baik eksternal dan domestik terhadap business cycle Indonesia.
48
Halaman ini sengaja dikosongkan
49
IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA
4.1
Produk Domestik Bruto (PDB)
PDB
atas
dasar
harga
konstan
merupakan
salah
satu
indikator
makroekonomi yang menunjukkan aktivitas perekonomian agregat suatu negara
secara riil untuk periode waktu tertentu. Penurunan pertumbuhan PDB
menunjukkan perlambatan perekonomian bahkan kontraksi perekonomian,
sedangkan pertumbuhan PDB yang cepat menunjukkan perekonomian dalam
masa ekspansi. Berbagai perubahan PDB tersebut bisa dijadikan indikasi
membaik atau memburuknya perekonomian suatu negara. Oleh karena itu,
fluktuasi PDB penting dan menarik untuk dikaji. Perkembangan PDB riil
Indonesia selama periode 1990 hingga 2011 serta pertumbuhannya dapat dilihat
15.00
2,500
10.00
2,000
5.00
1,500
0.00
1,000
-5.00
persen
3,000
500
-10.00
0
-15.00
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
triliun rupiah
pada Gambar 10.
PDB riil
Pertumbuhan riil (sumbu kanan)
Sumber: BPS 2012 (diolah)
Gambar 10 Perkembangan PDB riil dan pertumbuhan riil tahunan 1990-2011
Selama kurun waktu 1990-1996, perekonomian Indonesia tumbuh pesat
ditunjukkan oleh meningkatnya PDB secara riil dari hanya sekitar 918,73 triliun
rupiah pada tahun 1990 menjadi 1.444,07 triliun rupiah pada tahun 1996. Dalam
kurun waktu yang sama rata-rata pertumbuhan hampir mencapai 8% per tahun.
Kondisi ini didukung oleh berhasilnya program industrialisasi yang dibangun
pemerintah saat itu. Sektor industri pengolahan menjadi tumpuan transformasi
dari sektor primer ke sektor sekunder. Sektor tersebut tumbuh cepat namun
50
dengan basis foot loose industry. Bahan baku yang melimpah dari dalam negeri
seperti produk-produk pertanian tidak dimanfaatkan dengan baik. Justru industri
yang dikembangkan lebih banyak menggunakan bahan baku impor, sehingga
industrialisasi seperti ini sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Kerentanan
industri yang dibangun pemerintah tersebut mulai terbukti ketika perekonomian
Indonesia melambat menuju resesi setelah tahun 1996.
Pada akhir tahun 1997 perekonomian domestik terkena contagion effect dari
krisis Baht yang melanda Thailand, negara satu kawasan dengan Indonesia.
Peristiwa eksternal ini menyeret perekonomian domestik yang sedang booming
memasuki masa kontraksi. Mata uang Rupiah terdepresiasi tajam, memukul sektor
industri yang sedang ekspansif.
Dampak dari krisis mata uang Rupiah yang terjadi pada penghujung tahun
1997 dan berlangsung sepanjang tahun 1998 tersebut ternyata sangat buruk bagi
Indonesia. Tajamnya depresiasi Rupiah mempersulit dunia usaha khususnya
industri dalam rangka membiayai pembelian bahan baku dan barang modal yang
berasal dari impor yang berdenominasi US$. Bagi penciptaan nilai tambah
nasional, kontribusi industri merupakan yang terbesar, diatas sektor pertanian.
Oleh karena itu, ketika sektor industri ini kolaps maka akan sangat memukul
perekonomian domestik. Perekonomian di tahun 1998 terkontraksi sangat dalam
bahkan hingga minus 13%. Disisi lain, sektor pertanian terbukti mampu bertahan
dari krisis hebat tersebut. Bukti empiris ini memperkuat argumentasi bahwa
agroindustri lebih tepat untuk menjadi jembatan kuat dalam proses transformasi
struktur perekonomian dari primer ke sekunder.
Pada tahun 1999 perekonomian mulai pulih dimana pertumbuhan mampu
positif meski sangat rendah yaitu hanya sekitar 0,79%. Pada tahun 2000,
perekonomian sudah mampu tumbuh hampir mencapai tingkat 5%. Selanjutnya
perekonomian terus tumbuh positif meski belum mampu mencapai tingkat
pertumbuhan seperti sebelum krisis ekonomi terjadi. Pada tahun 2000 hingga
2005, pertumbuhan ekonomi berkisar antara 3,64% - 5,69%.
Membaiknya performa ekonomi setelah krisis hebat pada tahun 1998
tersebut tidak menjamin kondisi perekonomian selanjutnya terus membaik.
Berbagai peristiwa dapat mengganggu perjalanan ekonomi Indonesia pada masa
51
setelah krisis moneter 1998. Harga minyak dunia mengalami beberapa kenaikan
tajam setelah tahun 2000 yaitu yang terjadi pada tahun 2005, 2008 serta 2011 dan
masih terus berlangsung hingga triwulan pertama 2012. Fenomena kenaikan harga
minyak dunia tersebut bisa berakibat positif atau negatif. Ketika Indonesia masih
menjadi negara net eksportir minyak dan tergabung dalam OPEC, kenaikan harga
minyak dunia akan memberi keuntungan bagi Indonesia. Namun, sejak tahun
2004, Indonesia menjadi negara net importir minyak sehingga fluktuasi harga
minyak dunia akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia. Subsidi
minyak membengkak dan mempersulit keuangan negara serta mengurangi alokasi
pengeluaran pemerintah bagi sektor produktif.
Fluktuasi harga minyak dunia dapat memengaruhi perekonomian Indonesia
karena sumber energi utama Indonesia masih bergantung pada minyak. Kenaikan
harga minyak dunia pada tahun 2005 dan 2008 direspon pemerintah dengan
menaikkan harga BBM meski tidak sampai pada harga keekonomiannya dan
ternyata berdampak buruk bagi perekonomian domestik. Inflasi pada tahun 2005
mencapai 17,11% sedangkan inflasi pada tahun 2008 mencapai 11,06%. Setelah
inflasi tinggi di tahun 2005 dan 2008, pertumbuhan PDB pada tahun 2006 dan
2009 melambat. Pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi tercatat mengalami
sedikit penurunan dari 5,69% di tahun 2005 menjadi 5,60% di tahun 2006.
Sedangkan penurunan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 lebih dalam yaitu
turun menjadi 4,63% dari sekitar 6,01% pada tahun 2008.
Mulai tahun 2007, perekonomian Indonesia mampu tumbuh antara 5%
hingga 6%
kecuali pada tahun 2009. Sebagai negara dengan perekonomian
terbuka, berbagai gejolak eksternal dapat memengaruhi perekonomian domestik.
Meski secara riil, PDB tahun 2009 tetap meningkat dibandingkan tahun 2008
yaitu dari 2.082,46 triliun rupiah menjadi 2.178,85 triliun rupiah, namun
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 dibanding tahun 2008 tercatat melambat.
Selain disebabkan oleh dampak kenaikan harga BBM domestik yang
memicu inflasi, perlambatan di tahun 2009 kemungkinan juga disebabkan oleh
imbas krisis keuangan global tahun 2008. Krisis ini bermula dari krisis sub prime
mortgage di Amerika Serikat dan membangkrutkan lembaga keuangan dunia
seperti Goldman Sachs dan Lehmann Brothers, yang kemudian menjalar ke
52
berbagai negara di dunia. Selain itu, Uni Eropa juga mengalami krisis hutang.
Transmisi krisis yang terjadi di Amerika Serikat dan Uni Eropa tersebut ke
Indonesia dapat melalui jalur ekspor. Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dan
Eropa pada tahun 2009 mengalami. Pada tahun 2008, ekspor Indonesia ke
Amerika Serikat tercatat 12,87 miliar US$ kemudian turun menjadi 10,80 miliar
US$ pada tahun 2009. Sedangkan ekspor Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2008
sekitar 15,28 miliar US$ turun menjadi 13,60 miliar US$ (BI 2012). Meski
terimbas krisis keuangan global, dampak bagi makroekonomi Indonesia tidak
seperti krisis moneter 1998. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 tetap positif
meski lebih rendah dibanding tahun sebelumnya.
Pada tahun 2010 perekonomian kembali mampu tumbuh positif sebesar
6,20% dan 6,46% pada tahun 2011. PDB riil di tahun 2010 dan 2011 masingmasing sekitar 2.313,84 triliun rupiah dan 2.463,24 triliun rupiah. Selain itu,
Indonesia juga termasuk salah satu anggota G-20 dengan posisi 17 besar
perekonomian dunia (Menko Perekonomian 2011). Hal ini merupakan indikasi
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
(2.00)
(4.00)
(6.00)
(8.00)
(10.00)
700
600
triliun rupiah
500
400
300
200
100
1990:1
1991:1
1992:1
1993:1
1994:1
1995:1
1996:1
1997:1
1998:1
1999:1
2000:1
2001:1
2002:1
2003:1
2004:1
2005:1
2006:1
2007:1
2008:1
2009:1
2010:1
2011:1
2012:1
-
persen
makin besarnya peran Indonesia dalam perekonomian global.
PDB Riil
Pertumbuhan Riil (sumbu kanan)
Sumber: BPS 2012 (diolah)
Gambar 11 Perkembangan PDB riil dan pertumbuhan riil Indonesia triwulanan
Selama periode krisis, ekonomi tumbuh dengan angka minus selama tiga
triwulan berturut-turut yaitu pada 1997:4, 1998:1 dan 1998:2, masing-masing
tercatat sekitar minus 2,06%, minus 8,52% dan minus 8,75%. Mulai 1998:3,
53
perekonomian mampu tumbuh positif sebesar 2,74%. Jika dilihat secara
triwulanan, pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek ini menunjukkan pola
yang sama mulai tahun 2001 dimana pada tiga triwulan pertama pertumbuhannya
positif kemudian negatif pada triwulan keempat.
Gambar 11 menunjukkan perkembangan PDB jika dilihat dalam jangka
pendek yaitu dalam periode triwulanan. Dalam jangka panjang, PDB cenderung
meningkat secara riil meski dalam jangka pendek terlihat fluktuasi naik dan turun.
Dapat diamati bahwa fluktuasi pertumbuhan secara triwulanan sebelum periode
krisis 1998 ternyata sangat tajam, terjadi dalam range yang besar yaitu plus minus
10%. Setelah periode krisis 1998, fluktuasi pertumbuhan cenderung lebih stabil
berkisar antara plus minus 4%.
Meski guncangan eksternal makin sering terjadi pada era 2000an dan
berpotensi
memperburuk
perekonomian
domestik,
ternyata
fluktuasi
perekonomian Indonesia dalam periode triwulanan terlihat lebih stabil. Hal ini
mengindikasikan bahwa fundamental makroekonomi Indonesia sudah lebih kuat
sehingga berbagai guncangan
yang terjadi tidak sampai menyebabkan
perekonomian terkontraksi.
4.2
Kurs Riil
Sebelum krisis moneter tahun 1998 terjadi, Indonesia menganut rezim fixed
exchange rate dimana kurs Rupiah terhadap US$ dijaga fixed oleh pemerintah.
1990:1
1991:1
1992:1
1993:1
1994:1
1995:1
1996:1
1997:1
1998:1
1999:1
2000:1
2001:1
2002:1
2003:1
2004:1
2005:1
2006:1
2007:1
2008:1
2009:1
2010:1
2011:1
2012:1
20,000
18,000
16,000
14,000
12,000
10,000
8,000
6,000
4,000
2,000
0
kurs nominal
kurs riil
Sumber: BI, BPS, US Bereau of Labor Statistics 2012 (diolah)
Gambar 12 Perkembangan kurs nominal Rp/US$ dan kurs riil
54
Pada periode 1990:1 hingga periode 1997:2, kurs nominal Rupiah Indonesia
terhadap Dollar Amerika Serikat terlihat stabil pada kisaran 1.823 Rp/US$ - 2.450
Rp/US$.
Gambar 12 menunjukkan perkembangan kurs nominal dan kurs riil.
Sebelum tahun 2000, kurs nominal masih dibawah kurs riil namun setelah tahun
2000 terlihat kurs nominal melampaui kurs riil.
Krisis mata uang yang terjadi di Thailand ternyata meluas menjadi krisis
finansial Asia. Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang terkena
dampaknya. Kurs Rupiah terhadap US$ yang stabil dengan rata-rata sekitar Rp
2.126,93/US$ selama periode 1990:1 hingga 1997:2 langsung melemah bahkan
mencapai Rp 14.900/US$ pada 1998:2, Rupiah terdepresiasi tajam secara
nominal.
Sejak terjadinya krisis Rupiah ini, pemerintah tidak lagi mampu menjaga
Rupiah fixed sehingga terjadi perubahan rezim kurs dari fixed exchange rate
menjadi floating exchange rate dengan band tertentu. Sejak Indonesia menganut
rezim kurs mengambang, kurs menjadi fluktuatif menyesuaikan berbagai
perubahan kondisi perekonomian.
Gambar 13 menunjukkan persentase perubahan kurs riil. Kurs riil
menunjukkan daya saing barang domestik. Ketika krisis moneter 1998 menerpa
Indonesia dan mendepresiasikan kurs nominal, maka daya saing barang domestik
meningkat tajam hingga hampir mencapai 60%. Namun kenaikan daya saing
akibat terdepresiasinya kurs nominal ternyata tidak meningkatkan PDB dari jalur
ekspor. Justru PDB terkontraksi dalam dan perekonomian Indonesia mengalami
resesi. Depresiasi riil ini menurunkan daya beli Rupiah relatif terhadap daya beli
asing. Kenaikan ekspor akibat kenaikan daya saing produk domestik ini di offset
oleh tingginya biaya impor bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan sektor
produksi khususnya industri pengolahan. Akibatnya harga bahan input meningkat
dan memicu kenaikan harga output. Dengan segera kenaikan daya saing tersebut
langsung diikuti oleh penurunan tajam yang hampir mencapai minus 40% pada
1998:3. Setelah krisis moneter terjadi, kurs riil berfluktuasi naik dan turun
mengindikasikan kenaikan dan penurunan daya saing produk domestik.
55
80.00
60.00
40.00
20.00
(20.00)
1990:2
1991:2
1992:2
1993:2
1994:2
1995:2
1996:2
1997:2
1998:2
1999:2
2000:2
2001:2
2002:2
2003:2
2004:2
2005:2
2006:2
2007:2
2008:2
2009:2
2010:2
2011:2
2012:2
-
(40.00)
(60.00)
Sumber: BI, BPS, US Bereau of Labor Statistics 2012 (diolah)
Gambar 13 Persentase perubahan kurs riil
4.3
Permintaan Uang Riil
Pada tahun 1990 hingga 1997, jumlah uang yang beredar (M1) masih
dibawah 100 triliun rupiah. Pada periode yang sama IHK bergerak meningkat
dengan slope yang relatif sama dengan slope jumlah uang beredar. Seiring dengan
jatuhnya kurs Rupiah terhadap US$ pada tahun 1998, terjadi lonjakan Indeks
Harga Konsumen (Gambar 14) dimana slopenya berubah menjadi lebih curam
dibanding sebelum ada depresiasi tajam dari kurs riil.
300
800,000
miliar rupiah
700,000
250
600,000
200
500,000
150
400,000
300,000
100
200,000
50
100,000
0
1990:1
1991:2
1992:3
1993:4
1995:1
1996:2
1997:3
1998:4
2000:1
2001:2
2002:3
2003:4
2005:1
2006:2
2007:3
2008:4
2010:1
2011:2
0
M1
IHK (sumbu kanan)
Sumber: BI dan BPS 2012
Gambar 14 Perkembangan permintaan uang M1 dan IHK
56
Kurs riil yang terdepresiasi tajam menyebabkan biaya produksi barangbarang tersebut meningkat tajam. Jatuhnya kurs Rupiah menyebabkan lebih
banyak Rupiah yang digunakan untuk membeli barang impor yang harganya
dalam US$ atau terjadi penurunan daya beli Rupiah atas barang asing.
Terdepresiasinya Rupiah menyebabkan harga barang menjadi sangat mahal.
Padahal industrialisasi yang dikembangkan pemerintah pada era 1990-1996
adalah foot loose industry yang banyak menggunakan bahan baku impor dan
sedikit kandungan lokal.
Kenaikan harga ini direspon masyarakat dengan meningkatkan permintaan
uang lebih banyak untuk membiayai transaksi sehari-hari. Sehingga slope jumlah
uang beredar juga menjadi lebih curam dibanding sebelum krisis. Namun
peningkatan permintaan uang tersebut tidak sebanding dengan lonjakan harga
yang terjadi sehingga terjadi penurunan drastis dalam permintaan uang riil seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 15.
Setelah krisis 1998 berlalu, permintaan uang riil cenderung fluktuatif di
jangka pendek namun dengan trend yang meningkat. Seiring dengan terus
meningkatnya PDB maka kebutuhan uang untuk transaksi sehari-hari ikut
meningkat. Selain itu inflasi lebih terkendali di era 2000-an sehingga permintaan
uang riil pada periode 2012:2 mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat bila
dibandingkan dengan periode 2000:1.
3,500
3,000
2,500
2,000
1,500
1,000
500
1990:1
1991:1
1992:1
1993:1
1994:1
1995:1
1996:1
1997:1
1998:1
1999:1
2000:1
2001:1
2002:1
2003:1
2004:1
2005:1
2006:1
2007:1
2008:1
2009:1
2010:1
2011:1
2012:1
0
Sumber: BI dan BPS 2012 (diolah)
Gambar 15 Perkembangan permintaan uang riil
57
4.4
Suku Bunga Domestik
Sepanjang tahun 1990-1997, suku bunga domestik yang diwakili oleh suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan berada dalam kisaran 10% hingga
25%.
60
50
persen
40
30
20
10
1990:1
1991:1
1992:1
1993:1
1994:1
1995:1
1996:1
1997:1
1998:1
1999:1
2000:1
2001:1
2002:1
2003:1
2004:1
2005:1
2006:1
2007:1
2008:1
2009:1
2010:1
2011:1
2012:1
0
Sumber: BI 2012 (diolah)
Gambar 16 Perkembangan Suku Bunga SBI 3 Bulan
Pada tahun 1998 Indonesia terkena krisis mata uang yang mengakibatkan
buruknya berbagai indikator makroekonomi. Kondisi ini menyebabkan suku
bunga SBI yang tinggi sepanjang tahun 1998. Pada periode 1998:4, suku bunga
SBI 3 bulan mencapai 49,04%. Gambar 16 menunjukkan perkembangan suku
bunga SBI.
Akhir tahun 1999, suku bunga domestik kembali normal pada level sekitar
10%. Selanjutnya suku bunga domestik berfluktuasi hingga 2012 menuju tingkat
dibawah 10%.
Pola yang berbeda ditunjukkan oleh suku bunga AS yang diwakili oleh
Treasury Bill Rate 3 months. Pergerakan suku bunga AS tersebut ditunjukkan
oleh Gambar 17.
Dalam kurun waktu 1990 hingga 2012, suku bunga AS tertinggi terjadi pada
periode 1990 yang mencapai tingkat sekitar 8%. Hingga tahun 1992, suku bunga
AS mengalami penurunan hingga mencapai tingkat 3%. Selanjutnya suku bunga
AS kembali meningkat hingga tahun 2000. Pada 2003:4, suku bunga AS hanya
sekitar 1% namun diikuti oleh peingkatan hingga mencapai 5% akibat dari krisis
sub prime mortgage yang menimpa Amerika Serikat dan membangkrutkan
58
lembaga keuangan dunia seperti Goldman Sachs dan Lehmann Brothers. Setelah
tahun 2008, suku bunga AS mendekati nol persen.
9.00
8.00
7.00
persen
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
1990:1
1991:1
1992:1
1993:1
1994:1
1995:1
1996:1
1997:1
1998:1
1999:1
2000:1
2001:1
2002:1
2003:1
2004:1
2005:1
2006:1
2007:1
2008:1
2009:1
2010:1
2011:1
2012:1
-
Sumber: The Federal Reserve 2012
Gambar 17 Perkembangan suku bunga AS Treasury Bill Rate 3 Months
59
V. SPESIFIKASI MODEL DAN HUBUNGAN
CONTEMPORANEOUS
5.1
Pengujian Asumsi Time Series
5.1.1 Uji Stasioneritas
Uji Stasioneritas merupakan uji awal untuk setiap data time series yang
masuk dalam model dalam penelitian. Stasioneritas menentukan metode analisis
yang akan digunakan, apakah menggunakan model VAR atau VEC. Pengujian
stasioneritas tiap variabel dalam penelitian ini menggunakan Augmented Dickey
Fuller (ADF) test dengan taraf nyata 5%. Hasil pengujian unit root pada level
hingga first difference ditampilkan pada Tabel 4. Hipotesis nol dalam pengujian
adalah ada unit root atau variabel tidak stasioner. Kriteria keputusannya yaitu jika
nilai t-ADF lebih negatif dari nilai kritis MacKinnon maka variabel yang diuji
stasioner.
Tabel 4 Hasil Uji Unit Root
Variabel
Level
First Difference
Level
RER
First Difference
Level
RMB
First Difference
Level
SBI
First Difference
Level
TBILL
First Difference
Level
POIL
First Difference
Keterangan: * = signifikan pada taraf 5%
PDB
Nilai ADF
-1,6869
-6,9732*
-2,2116
-6,0980*
-2,4069
-6,7632*
-4,7225*
-5,3045*
-3,1081
-3,5302*
-2,8429
-9,7689*
Nilai Kritis
MacKinnon 5%
-3,41
-3,41
-3,41
-3,41
-3.41
-3,41
-3,41
-3,41
-3,41
-3,41
-3,41
-3,41
Berdasarkan ADF test, level suku bunga domestik (SBI) memiliki nilai ADF
yang lebih negatif dari nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 5%. Oleh karena
itu, hipotesis nol bagi suku hunga domestik dapat ditolak, artinya berdasarkan
ADF-test, suku bunga domestik stasioner dalam level.
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar variabel tidak stasioner dalam
level. Hasil uji stasioneritas pada variabel Produk Domestik Bruto (PDB), Real
Exchange Rate (RER), Real Money Balance (RMB), suku bunga Amerika Serikat
60
(TBILL) dan harga minyak dunia (POIL) menunjukkan bahwa hipotesis nol yaitu
masing-masing variabel tidak stasioner ternyata tidak dapat ditolak. Artinya
kelima variabel tersebut tidak stasioner pada level. Untuk menghindari hasil yang
spurious maka kelima variabel yang tidak stasioner ini di-difference-kan. Pada
first difference terlihat bahwa nilai ADF kelima variabel ini lebih negatif dari nilai
kritis MacKinnon. Oleh karena itu PDB, RER, RMB, TBILL dan POIL stasioner
pada first difference.
5.1.2 Penentuan Lag Optimal
Setelah diketahui stasioneritas setiap variabel maka langkah selanjutnya
adalah menentukan lag optimal dari model VAR yang membuat model tersebut
stabil berdasarkan kriteria informasi. AIC, HQ dan SC sama-sama menyarankan
panjang lag optimal 4. Atas dasar informasi ini maka dipilih lag optimal 4.
Stabilitas model dengan lag 4 ini ditunjukkan dengan CUSUM pada level
signifikansi 1% dari tiap persamaan yang masih berada dalam rentang batas atas
dan batas bawah (Gambar 18).
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 18 Uji Stabilitas dari VAR (4) dengan CUSUM
Untuk menentukan lag difference yang akan digunakan dalam VECM maka
panjang lag optimal dari VAR(4) yang sudah teruji kestabilannya tersebut
dikurangi satu. Oleh karena itu, dalam model VEC akan digunakan panjang lag 3.
Untuk memperkuat pilihan lag ini, maka dalam sistem VECM juga dilakukan
61
pemilihan panjang lag optimal menggunakan kriteria informasi dan diperoleh
hasil bahwa FPE dan HQ sama-sama menyarankan panjang lag optimal 3.
5.1.3 Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi dilakukan untuk menemukan kemungkinan variabel yang
tidak stasioner dalam level dari hasil pengujian unit root apakah memiliki
hubungan jangka panjang. Dalam penelitian ini, uji kointegrasi dilakukan dengan
Saikkonen & Lütkepohl-test.
Tabel 5 Uji Kointegrasi dengan Saikkonen & Lütkepohl-test
r0
LR
p-value
90%
95%
99%
0
115,97
0,0002
86,64
90,95
99,40
1
59,54
0,1624
62,45
66,13
73,42
2
36,00
0,3145
42,25
45,32
51,45
3
21,70
0,2836
26,07
28,52
33,50
4
5,67
0,8086
13,88
15,76
19,71
5
0,11
0,9922
5,47
6,79
9,73
Sumber: Hasil pengolahan
Dari Tabel 5 diperoleh bahwa tidak ada cukup bukti untuk menolak bahwa
H0 : r=1 dengan p-value sebesar 0,1624. Artinya ditemukan rank kointegrasi
sebanyak 1.
5.1.4 Uji Stabilitas Model VEC
Berdasarkan panjang lag optimal sebanyak 3 dan kehadiran 1 rank
kointegrasi maka dibangun model VEC.
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 19 Uji stabilitas VECM (3) dan rank kointegrasi 1 dengan recursive
eigenvalue
62
VECM yang dibangun tersebut diuji kelayakannya dengan pengujian
stabilitas model. Gambar 19 menunjukkan uji stabilitas VECM menggunakan
recursive eigen value.
Berdasarkan recursive eigenvalue dibuktikan bahwa VECM yang dibangun
adalah stabil. Selain itu, uji stabilitas model juga dilakukan dengan menggunakan
tau_t statistics. Gambar 20 menyajikan hasil uji stabilitas untuk eigenvalue 1
menggunakan tau_t statistics dan kembali dibuktikan bahwa VECM yang
dibangun memenuhi kondisi stabilitas dimana nilai tau_t statistics masih berada
dibawah nilai kritis.
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 20 Uji Stabilitas Model VEC(3) dengan 1 rank kointegrasi menggunakan
tau_t statistics
5.2
Model VEC
Setelah diketahui bahwa model VEC yang dibangun stabil, maka langkah
selanjutnya adalah menyusun model VEC business cycle Indonesia dengan
spesifikasi sebagai berikut:
𝑑(𝑙𝑝𝑑𝑏)(𝑡)
⎡
⎤ ⎡ −0,099 ⎤
𝑑(𝑙𝑟𝑒𝑟)(𝑡)
⎢
⎥ ⎢ −0,389 ⎥
𝑑(𝑙𝑟𝑚𝑏)(𝑡)
⎢
⎥ = ⎢ −0,116 ⎥
⎢ 𝑑(𝑠𝑏𝑖)(𝑡) ⎥ ⎢−14,004⎥
⎢ 𝑑(𝑡𝑏𝑖𝑙𝑙)(𝑡) ⎥ ⎢ 0,732 ⎥
⎣𝑑(𝑙𝑝𝑜𝑖𝑙𝑟)(𝑡)⎦ ⎣ 0,207 ⎦
63
𝑙𝑝𝑑𝑏(𝑡 − 1)
⎡
⎤
𝑙𝑟𝑒𝑟(𝑡 − 1)
⎢
⎥
𝑙𝑟𝑚𝑏(𝑡 − 1) ⎥
⎢
[1,000 0,403 −0,743 0,028 −0,042 0,023]
+
⎢ 𝑠𝑏𝑖(𝑡 − 1) ⎥
⎢ 𝑡𝑏𝑖𝑙(𝑡 − 1) ⎥
⎣𝑙𝑝𝑜𝑖𝑙𝑟(𝑡 − 1)⎦
−0,541 −0,053 −0,059 0,001 −0,008 −0,005 ⎡ 𝑑(𝑙𝑝𝑑𝑏)(𝑡 − 1) ⎤
⎡ 0,035
0,343 −0,820 −0,007 0,025 −0,075⎤ ⎢ 𝑑(𝑙𝑟𝑒𝑟)(𝑡 − 1) ⎥
⎢
⎥
0,081 −0,781 −0,006 0,011 −0,031⎥ ⎢ 𝑑(𝑙𝑟𝑚𝑏)(𝑡 − 1) ⎥
⎢ 0,821
+
⎢−40,792 10,307 −7,545 −0,069 −0,113 2,795 ⎥ ⎢ 𝑑(𝑠𝑏𝑖)(𝑡 − 1) ⎥
0,517 −1,922 −0,017 0,570
0,096 ⎥ ⎢ 𝑑(𝑡𝑏𝑖𝑙𝑙)(𝑡 − 1) ⎥
⎢ 0,716
⎣ −0,870 −0,195 −0,034 −0,000 −0,046 0,040 ⎦ ⎣𝑑(𝑙𝑝𝑜𝑖𝑙𝑟)(𝑡 − 1)⎦
−0,645 −0,126 −0,088 −0,001 −0,005 −0,006 ⎡ 𝑑(𝑙𝑝𝑑𝑏)(𝑡 − 2) ⎤
⎡ 0,601
0,136
−0,277 −0,009 0,076 −0,065⎤ ⎢ 𝑑(𝑙𝑟𝑒𝑟)(𝑡 − 2) ⎥
⎢
⎥
0,031
−0,412 −0,007 −0,010 −0,004⎥ ⎢ 𝑑(𝑙𝑟𝑚𝑏)(𝑡 − 2) ⎥
⎢ 0,224
+
1,712 ⎥ ⎢ 𝑑(𝑠𝑏𝑖)(𝑡 − 2) ⎥
⎢−29,532 13,541 −11,423 −0,347 0,162
−0,119 −1,334 −0,041 0,176 −0,399⎥ ⎢ 𝑑(𝑡𝑏𝑖𝑙𝑙)(𝑡 − 2) ⎥
⎢ 2,756
⎣ 0,332
−0,563
0,265
−0,013 0,015 −0,396⎦ ⎣𝑑(𝑙𝑝𝑜𝑖𝑙𝑟)(𝑡 − 2)⎦
−0,673 −0,107
0,055
−0,000 0,006 −0,024 ⎡ 𝑑(𝑙𝑝𝑑𝑏)(𝑡 − 3) ⎤
⎡−0,584 0,205
−0,253
0,016 −0,076 0,069 ⎤ ⎢ 𝑑(𝑙𝑟𝑒𝑟)(𝑡 − 3) ⎥
⎢
⎥
−0,332
0,001
0,036 −0,038⎥ ⎢ 𝑑(𝑙𝑟𝑚𝑏)(𝑡 − 3) ⎥
⎢−0,194 0,077
+
⎢−1,822 10,075 −22,824 0,082 −0,573 2,493 ⎥ ⎢ 𝑑(𝑠𝑏𝑖)(𝑡 − 3) ⎥
1,814
0,001
0,050
0,245 ⎥ ⎢ 𝑑(𝑡𝑏𝑖𝑙𝑙)(𝑡 − 3) ⎥
⎢ 0,047 −0,103
⎣−0,440 0,024
0,534
−0,008 0,094 −0,078⎦ ⎣𝑑(𝑙𝑝𝑜𝑖𝑙𝑟)(𝑡 − 3)⎦
dimana:
𝑢1(𝑡)
0,003 −0,005 0,473 −0,000
⎡
⎤
⎡ 0,085
𝑢2(𝑡)
1,681 −0,000⎤ 𝑠ℎ𝑖𝑓𝑡98(𝑡)
0,090
⎢
⎥
⎢
⎥
𝑢3(𝑡)⎥
0,001 ⎥ 𝑠ℎ𝑖𝑓𝑡𝑛𝑚(𝑡)
0,505
0,044
⎢ 0,016
+⎢
�
�
⎢−1,657 2,260 60,955 0,005 ⎥ 𝐶𝑂𝑁𝑆𝑇
⎢𝑢4(𝑡)⎥
⎢ 0,339 −0,169 −3,172 0,003 ⎥ 𝑇𝑅𝐸𝑁𝐷(𝑡)
⎢𝑢5(𝑡)⎥
⎣−0,030 −0,094 −0,857 −0,002⎦
⎣𝑢6(𝑡)⎦
𝑙𝑝𝑑𝑏𝑡
= produk domestik bruto
𝑙𝑟𝑒𝑟𝑡
= kurs riil
𝑠𝑏𝑖𝑡
= suku bunga domestik
𝑙𝑝𝑜𝑖𝑙𝑟𝑡
= harga minyak dunia
𝑙𝑟𝑚𝑏𝑡
𝑡𝑏𝑖𝑙𝑙𝑡
= permintaan uang riil
= suku bunga Amerika Serikat
𝑠ℎ𝑖𝑓𝑡98(𝑡)
= dummy krisis 1998
𝐶𝑂𝑁𝑆𝑇
= konstanta
𝑠ℎ𝑖𝑓𝑡𝑛𝑚(𝑡)
= dummy net impor
𝑇𝑅𝐸𝑁𝐷(𝑡)
= trend waktu linier
64
5.3
Restriksi Struktural Model SVEC
Restriksi yang dibangun berdasarkan kerangka kerja New Keynesian di Bab
3 mengalami modifikasi. Ketika guncangan suku bunga AS diidentifikasi hanya
dari guncangan terhadap dirinya sendiri, ternyata menghasilkan restriksi sistem
menjadi tidak valid dan tidak didukung oleh data. Setelah diuji kausalitas suku
bunga AS dan harga minyak dunia menggunakan Granger Causality ternyata
ditemukan bahwa harga minyak dunia granger cause suku bunga AS. Artinya
harga minyak dunia ikut memengaruhi suku bunga AS dalam arah positif yang
signifikan pada taraf nyata 5% dengan p-value sebesar 0,0283. Ketika harga
minyak dunia meningkat maka akan meningkatkan suku bunga AS. Gambar 21
menunjukkan hasil uji kausalitas antara harga minyak dunia dan suku bunga AS
menggunakan Granger Causality dalam Eviews 6.
Pairwise Granger Causality Tests
Sample: 1990Q1 2012Q2
Lags: 2
Null Hypothesis:
Obs
TBILL2 does not Granger Cause LPOILR1
LPOILR1 does not Granger Cause TBILL2
88
F-Statistic
0,60789
3,72363
Prob.
0,5469
0,0283
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 21 Uji kausalitas suku bunga AS dan harga minyak dunia
Namun hubungan tersebut tidak berlaku sebaliknya dimana suku bunga AS
tidak granger cause harga minyak dunia sehingga guncangan harga minyak dunia
tetap berasal dari guncangannya sendiri. Berdasarkan hubungan kausalitas ini,
restriksi bagi persamaan suku bunga AS memasukkan efek contemporaneous
harga minyak dunia. Selanjutnya restriksi model secara keseluruhan diuji
kevalidannya dan diperoleh hasil bahwa restriksi tersebut valid.
Pada model SVEC diterapkan restriksi yang membuat model overidentified
dengan derajad bebas 5. Restriksi struktural tersebut perlu diuji apakah restriksi
yang diterapkan valid dan didukung oleh data. Dengan hipotesis nol bahwa
restriksi adalah valid, dihasilkan LR stastistik sebesar 6,1449 dengan p-value
sebesar 0,2924. Artinya tidak ada cukup bukti untuk menolak hipotesis nol bahwa
model
adalah
valid.
Oleh
karena
itu
diperoleh
hasil
bahwa
model
65
contemporaneous yang diimplikasikan oleh restriksi overidentifikasi adalah valid
dan didukung oleh data.
5.4
Hubungan Contemporaneous Makroekonomi Domestik
Sebelum menganalisis dinamika business cycle Indonesia melalui IRF dan
FEVD, terlebih dahulu dipelajari efek contemporaneous suatu variabel terhadap
variabel lain dalam model. Hubungan contemporaneous ini disusun berdasarkan
restriksi jangka pendek yang diterapkan pada model VEC dalam kerangka kerja
New Keynesian pada Bab 3.
Tabel 6 Hubungan contemporaneous antar variabel
Koefisien
Std. error bootstrap t-statistik bootstrap
0,0009
0,0012
0,7089
𝑏16
-0,0383
0,0129
-2,9774
𝑏21 *
-0,0073
0,0086
-0,8572
𝑏25
-0,0032
0,0037
-0,8593
𝑏31
0,0098
0,0048
2,0352
𝑏32 *
-0,0157
0,0047
-3,3390
𝑏34 *
-0,5213
0,2076
-2,5111
𝑏41 *
-0,1538
0,2323
-0,6622
𝑏42
0,3775
0,1709
2,2087
𝑏45 *
0,0713
0,0301
2,3641
𝑏56 *
Sumber: Hasil pengolahan
Keterangan: * = signifikan pada 𝛼 = 5%
**= signifikan pada 𝛼 = 10%
Efek contemporaneous berarti apakah ketika suatu variabel makroekonomi
berubah maka memiliki efek seketika terhadap variabel lainnya, ditunjukkan oleh
signifikan atau tidaknya koefisien contemporaneous pada Tabel 6.
Bagi perekonomian domestik, kenaikan harga minyak dunia ternyata tidak
memiliki efek contemporaneous yang signifikan terhadap PDB Indonesia,
ditunjukkan oleh koefisien 𝑏16 . Artinya ketika harga minyak dunia meningkat
maka PDB tidak langsung meresponnya pada triwulan yang sama. Ketika
hubungan contemporaneous ini tidak signifikan maka ada dua kemungkinan yang
dapat terjadi yaitu respon PDB yang memang tidak signifikan atau PDB
membutuhkan lag dalam merespon perubahan harga minyak dunia. Hasil IRF
akan menjawab manakah dari dua kemungkinan tersebut yang didukung oleh data.
Oleh karena itu, analisis pengaruh harga minyak dunia bagi PDB akan dilakukan
di sub bab selanjutnya.
66
Sesuai dengan teori maka efek contemporaneous dari PDB dan suku bunga
AS terhadap kurs riil juga ingin dilihat. Koefisien 𝑏21 menunjukkan bahwa PDB
signifikan memiliki efek contemporaneous dengan arah yang negatif terhadap
kurs riil. Artinya ketika PDB meningkat maka kurs riil terapresiasi. Kenaikan
PDB menyebabkan kenaikan dalam permintaan uang. Dengan asumsi bank sentral
tidak merespon dengan perubahan money supply maka suku bunga domestik
meningkat. Ketika suku bunga AS tetap maka suku bunga domestik lebih tinggi
dari suku bunga AS dan hal ini memicu terjadinya capital inflow yang
mengakibatkan kurs riil terapresiasi.
Koefisien 𝑏25 yang merupakan efek contemporaneous suku bunga AS
terhadap kurs riil ditemukan tidak signifikan. Hasil ini sesuai dengan temuan
Siregar dan Ward (2000).
Bagi permintaan uang riil, kurs riil dan suku bunga domestik sama-sama
signifikan berdampak contemporaneous. Permintaan uang riil signifikan
dipengaruhi oleh kurs riil secara contemporaneous dalam arah positif. Artinya
ketika kurs terdepresiasi (meningkat) maka permintaan uang riil Rupiah akan
meningkat. Hal ini tidak sesuai dengan yang diharapkan. Siregar dan Ward (2000)
juga menemukan kondisi yang sama. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
adanya motif spekulasi memegang aset dalam bentuk uang. Misalnya ketika krisis
moneter tahun 1998 kurs Rupiah terdepresiasi tajam dan banyak pihak mencoba
memegang lebih banyak Rupiah dengan berspekulasi bahwa Rupiah akan segera
membaik sehingga mereka mendapatkan keuntungan.
Koefisien 𝑏34 yang signifikan menunjukkan bahwa permintaan uang riil
signifikan dipengaruhi secara contemporaneous oleh suku bunga domestik dalam
arah negatif, sesuai dengan teori. Ketika suku bunga domestik meningkat maka
akan menyebabkan penurunan permintaan uang karena suku bunga merupakan
opportunity cost memegang uang. Sehingga ketika terjadi peningkatan suku bunga
maka masyarakat akan lebih memilih aset yang menghasilkan bunga dibanding
memegang uang. Arah hubungan tersebut sesuai dengan temuan Siregar dan Ward
(2000) meski secara statistik tidak signifikan.
Berdasarkan hasil hubungan contemporaneous pada Tabel 6 tenyata ditemui
bahwa PDB tidak signifikan berdampak contemporaneous bagi permintaan uang
67
riil. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien 𝑏31 yang tidak signifikan pada taraf nyata
5% dan 10%.
PDB signifikan memengaruhi suku bunga domestik dalam arah negatif,
dinyatakan dalam koefisien 𝑏41 . Artinya ketika PDB meningkat maka suku bunga
menurun. Temuan ini menunjukkan bahwa bank sentral mengakomodasi kenaikan
PDB. Kenaikan PDB yang memicu kenaikan money demand diakomodasi oleh
bank sentral dengan menaikkan money supply lebih besar sehingga suku bunga
menjadi lebih rendah.
Arah koefisien 𝑏45 ditemukan sesuai dengan yang diharapkan, dimana suku
bunga jangka pendek domestik signifikan dipengaruhi secara contemporaneous
oleh suku bunga AS dalam arah positif pada taraf nyata 10% dimana kenaikan
suku bunga AS akan menyebabkan kenaikan suku bunga domestik. Kurs riil tidak
signifikan memengaruhi suku bunga domestik secara contemporaneous.
68
Halaman ini sengaja dikosongkan
69
VI. DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL TERHADAP
MAKROEKONOMI INDONESIA
6.1
Dinamika Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan
Eksternal
Impulse Response Function (IRF) digunakan untuk menganalisis respon
dinamis setiap variabel dalam model terhadap guncangan sebesar 1 standar
deviasi pada variabel endogen lain.
6.1.1 Guncangan Penawaran (Harga Minyak Dunia)
Shock harga minyak dunia sebesar 1 standar deviasi menyebabkan harga
minyak dunia langsung meningkat sekitar 13% pada periode impact. Selanjutnya
harga minyak dunia menurun dan mencapai respon terendah pada triwulan ke-3.
Respon harga minyak dunia mencapai keseimbangan jangka panjangnya pada
triwulan ke-8 atau sekitar 2 tahun setelah guncangan, dengan level baru yang lebih
tinggi dibanding level sebelum ada guncangan. Guncangan 1 standar deviasi atas
harga minyak dunia menyebabkan harga minyak dunia lebih tinggi 10% di
keseimbangan jangka panjangnya (Gambar 22).
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 22 Respon harga minyak dunia terhadap guncangan dirinya sendiri
Bagi perekonomian domestik, ternyata guncangan harga minyak ini tidak
direspon secara signifikan. Gambar 23 menunjukkan selang kepercayaan dari IRF
masih mengandung nol artinya respon dari makroekonomi domestik tidak berbeda
nyata dari nol.
70
Respon PDB
Respon kurs riil
Respon permintaan uang riil
Respon suku bunga domestik
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 23 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan harga minyak
dunia
Respon suku bunga domestik sedikit berbeda dengan respon makroekonomi
domestik lainnya. IRF suku bunga domestik pada beberapa periode terlihat
signifikan terutama di triwulan pertama hingga triwulan ke-3 dimana suku bunga
domestik meningkat hingga 0,6%. Bank sentral menanggapi guncangan kenaikan
harga minyak dunia dengan tight money policy sehingga meningkatkan suku
bunga dalam rangka stabilisasi inflasi. Di jangka panjang, suku bunga domestik
lebih tinggi 0,4% dibanding tingkat sebelum ada guncangan.
Meski PDB merespon negatif atas kenaikan harga minyak dunia, namun
respon tersebut tidak signifikan secara statistik. Berdasarkan hasil hubungan
contemporaneous
pada
bab
sebelumnya
disampaikan
bahwa
ada
dua
kemungkinan atas tidak signifikannya efek contemporaneous harga minyak dunia
terhadap PDB, dimana ketika harga minyak dunia meningkat tidak langsung
direspon oleh PDB secara signifikan pada triwulan yang sama. Kemungkinan
71
pertama adalah PDB memerlukan lag dalam merespon perubahan harga minyak
dunia atau kemungkinan kedua yaitu memang perubahan harga minyak dunia
tidak memiliki efek pada PDB. Hasil IRF pada sub bab ini memperjelas temuan
tidak signifikannya hubungan contemporaneous antara harga minyak dunia
terhadap PDB di sub bab sebelumnya.
Dapat disimpulkan bahwa guncangan harga minyak dunia memang tidak
berdampak signifikan terhadap PDB. Kondisi ini disebabkan karena pemerintah
terus mengakomodasi kenaikan harga minyak dunia dengan menaikkan subsidi
BBM. Hal ini dilakukan agar harga BBM domestik tidak ikut mengalami
kenaikan atau setidaknya harga BBM domestik naik namun tidak sampai pada
harga keekonomiannya, sehingga masih terjangkau oleh masyarakat domestik.
0
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
-0.5
-1
-1.5
-2
% thd PDB
triliun rupiah
Realita ini ditunjukkan oleh perkembangan subsidi BBM pada Gambar 24.
-2.5
-3
2005
2006 2007
subsidi BBM
2008 2009 2010 2011
defisit APBN (sumbu kanan)
Sumber: Kemenkeu, 2012, diolah
Gambar 24 Perkembangan subsidi BBM dan defisit APBN
Besaran subsidi BBM mengalami kenaikan yang sekaligus memperbesar
defisit fiskal ketika harga minyak dunia meningkat tajam pada tahun 2008 dan
2011. Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2005, juga direspon pemerintah
dengan kenaikan subsidi BBM. Ketika harga minyak dunia meningkat hingga
mencapai rata-rata 60 US$/barel pada tahun 2005 (dari sekitar 40 US$/barel pada
tahun 2004), subsidi juga ikut meningkat menjadi 95,6 triliun rupiah (dari sekitar
69 triliun di tahun 2004. Tambahan subsidi BBM untuk tahun 2005 dari tahun
sebelumnya sekitar 26,58 triliun rupiah.
72
Dilihat dari perkembangan penerimaan negara (Gambar 25), ternyata ada
kenaikan penerimaan negara berupa pajak, yang mengalami peningkatan
pertumbuhan dari 16,89% di tahun 2004 menjadi 23,48% di tahun 2005.
Tingginya penerimaan pajak memungkinkan pemerintah dapat membiayai
belanjanya termasuk subsidi yang lebih besar tanpa meningkatkan defisit
anggaran. Sehingga kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2005 relatif tidak
terlalu membebani APBN mengingat besarnya penerimaan pajak pada tahun
bersangkutan.
Selain pemerintah tetap mensubsidi harga BBM domestik atas kenaikan
harga minyak mentah dunia pada tahun 2005, pemerintah juga menaikkan harga
BBM domestik meski tidak sampai pada harga keekonomian. Akibatnya terjadi
inflasi tinggi pada tahun 2005 yaitu sekitar 17,11%. Untuk mengurangi dampak
negatif bagi perekonomian, pemerintah memberikan kompensasi bagi masyarakat
tidak mampu melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT), program
pemberdayaan usaha rakyat misalnya dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta
berbagai stimulus fiskal. Oleh karena itu, dampak kenaikan harga minyak dunia
yang direspon pemerintah dengan menaikkan harga BBM domestik tidak terlalu
mengkontraksi perekonomian domestik karena pemerintah melakukan ekspansi
fiskal.
900
140
800
120
700
100
600
80
500
60
400
40
300
20
200
0
100
-20
0
-40
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
penerimaan
pajak
triliun rupiah
160
triliun rupiah
1,000
pembiayaan DN
(sumbu kanan)
pembiayaan LN
neto (sumbu
kanan)
Sumber: Kemenkeu, 2012, diolah
Gambar 25 Perkembangan penerimaan pajak dan pembiayaan defisit anggaran
73
Kenaikan harga minyak dunia juga terjadi pada tahun 2008 dan 2011. Hal
ini juga direspon pemerintah dengan menaikkan subsidi yang berdampak pada
membesarnya defisit fiskal. Minyak dunia mencapai harga tertinggi pada tahun
2008 sekitar 139,96 US$/barel (dari harga tertinggi tahun 2007 sebesar 95,95
US$/barel). Agar tidak menyebabkan kontraksi perekonomian, pemerintah
menaikkan subsidi BBM domestik menjadi 139,11 triliun rupiah dari 83,79 triliun
rupiah di tahun 2007. Sehingga tambahan subsidi untuk tahun 2008 dibanding
tahun sebelumnya sekitar 55,31 triliun rupiah. Bila dibandingkan dengan
tambahan subsidi pada tahun 2005, maka tambahan subsidi pada tahun 2008
adalah sebesar dua kali lipatnya.
Penerimaan pajak di tahun 2008 yang tumbuh 34,15% tidak mampu
menutupi membengkaknya subsidi tersebut sehingga defisit fiskal meningkat dari
1,5% di tahun 2007 menjadi 2,1% di tahun 2008. Untuk membiayai defisit fiskal
tersebut, pemerintah mengutamakan perolehan tambahan dana dari pinjaman
dalam negeri yang resikonya lebih rendah, dalam rangka menurunkan
ketergantungan pada pinjaman luar negeri.
Respon pemerintah dengan meningkatkan subsidi tetap disertai dengan
kenaikan harga BBM meski tidak sampai pada harga keekonomiannya. Akibatnya
terjadi inflasi karena peningkatan biaya produksi sehingga harga output juga ikut
meningkat. Inflasi pada tahun 2008 tercatat 11,06%, meningkat dari sekitar 6,59%
pada tahun 2007. Ketika pendapatan tetap maka terjadi penurunan daya beli
masyarakat. Hal ini menjadi disinsentif bagi produsen untuk meningkatkan output
di periode selanjutnya. Selain itu, terjadi krisis keuangan global yang bermula dari
krisis perumahan di AS serta krisis hutang di zona Euro, yang sedikit banyak
berdampak bagi perekonomian domestik pada tahun 2009 (misalnya melalui jalur
penurunan ekspor ke Amerika Serikat dan Eropa). Faktor-faktor ini berkontribusi
pada perlambatan PDB di tahun 2009 dan akhirnya berpengaruh pada turunnya
penerimaan dalam negeri yang bersumber dari pajak. Oleh karena itu terjadi
defisit fiskal yang mencapai tingkat tertinggi sepanjang tahun 2000 yaitu sekitar
minus 2,4% terhadap PDB pada tahun 2009.
Setelah sempat melambat di tahun 2009, perekonomian mulai membaik
sehingga penerimaan negara dari pajak pada tahun 2010 ikut meningkat yaitu
74
mampu tumbuh sekitar 21,48% dibanding penerimaan pajak tahun sebelumnya.
Harga minyak pun sempat turun bahkan mencapai 44,60 US$/barel. Namun pada
tahun 2011, harga minyak dunia kembali meningkat. Pemerintah kembali
meresponnya dengan meningkatkan subsidi BBM dalam jumlah yang sangat
besar.
Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2008 yang direspon pemerintah
dengan menaikkan subsidi atas harga BBM domestik ternyata tidak dilakukan
dengan menurunkan subsidi non energi seperti subsidi pupuk, subsidi pangan dan
lainnya (Gambar 26). Subsidi non energi ikut meningkat untuk menjaga
pertumbuhan ekonomi seluruh sektor tetap baik meski harga minyak dunia
meningkat. Konsekuensi dari hal ini adalah pada membesarnya subsidi yang
memperbesar defisit anggaran. Meski demikian, besaran defisit anggaran terhadap
PDB masih dalam batas wajar yaitu masih dibawah 3%. Oleh karena itu
perekonomian domestik tidak terlalu terimbas dampak kenaikan harga minyak
dunia yang negatif.
2011
2010
2009
2008
subsidi non energi
2007
subsidi BBM
2006
2005
-
50.00
100.00
150.00
200.00
triliun rupiah
Sumber: Kementrian Keuangan 2012 (diolah)
Gambar 26 Perkembangan subsidi BBM dan subsidi non energi
Wangke (2012) menemukan bahwa dampak kenaikan subsidi BBM adalah
pada melambatnya pertumbuhan ekonomi. Subsidi tersebut menjaga harga BBM
domestik tetap terjangkau masyarakat sehingga tidak menekan inflasi dan
akhirnya dapat menurunkan kemiskinan. Penurunan subsidi BBM dan realokasi
75
dana subsidi BBM ke sektor produktif mampu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi.
Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2011 yang menembus angka
diatas 100 US$/barel ternyata banyak menyedot anggaran pemerintah sehingga
alokasi subsidi non energi menjadi lebih rendah dari tahun sebelumnya. Untuk
membiayai defisit anggaran utamanya pada tahun 2008 dan 2011, pemerintah
memperoleh pinjaman dari dalam negeri. Dalam kurun waktu yang sama,
pemerintah memperolah penerimaan dari pajak yang melonjak tinggi akibat
membaiknya perekonomian dan reformasi di bidang perpajakan dalam hal
transparansi dan akuntabilitas administrasi perpajakan.
Seiring dengan kenaikan harga minyak mentah maka sumber energi
alternatif seperti biofuel mulai diminati. Hal ini menjadi pemicu naiknya harga
produk pertanian seperti minyak sawit di pasar komoditas internasional. Indonesia
merupakan negara pengekspor produk-produk pertanian ini sehingga ikut
memperoleh keuntungan atas kenaikan harga tersebut. Pemerintah memperoleh
tambahan penerimaan dari peningkatan pajak ekspor, sehingga bisa dipergunakan
untuk membiayai impor minyak mentah dan produk-produk olahannya.
600.00
500.00
400.00
300.00
200.00
100.00
2001:1
2001:3
2002:1
2002:3
2003:1
2003:3
2004:1
2004:3
2005:1
2005:3
2006:1
2006:3
2007:1
2007:3
2008:1
2008:3
2009:1
2009:3
2010:1
2010:3
2011:1
2011:3
2012:1
0.00
minyak mentah
karet
kopi
minyak sawit
Sumber: IFS 2012 (diolah)
Keterangan: indeks harga terhadap base year 2000=100
Gambar 27 Perkembangan indeks harga minyak mentah dan indeks harga produk
pertanian
Gambar 27 menunjukkan bahwa pergerakan indeks harga karet, kopi dan
minyak sawit mengikuti pergerakan indeks harga minyak mentah dunia. Kenaikan
harga minyak dunia utamanya pada tahun 2008 dan 2011 memicu kenaikan harga
76
ekspor produk pertanian Indonesia di pasar komoditas internasional, sehingga
pendapatan pemerintah dari pajak ekspor ikut meningkat.
Meski tidak signifikan, namun efek kenaikan harga minyak dunia bagi
perekonomian Indonesia adalah negatif. Ketika pemerintah tetap menjaga harga
BBM domestik dibawah harga keekonomiannya atas kenaikan harga minyak
dunia, maka pemerintah harus mengeluarkan subsidi yang dapat memperbesar
defisit anggaran dan menyebabkan postur belanja APBN menjadi tidak sehat.
Selain itu, peningkatan penerimaan dari pajak ekspor ini seharusnya bisa
dialokasikan ke belanja yang lebih produktif seandainya tidak ada kenaikan
subsidi BBM.
Dijadikannya minyak mentah sebagai salah satu komoditas spekulasi
sepertinya dapat menjawab penyebab kenaikan harga minyak dunia yang terjadi
akhir-akhir ini. Seperti ulasan di Bab 4 bahwa kenaikan harga minyak dunia pada
era 2000an ternyata tidak disebabkan oleh penawaran dan permintaan secara riil.
Temuan dalam penelitian ini bahwa dampak guncangan harga minyak dunia
ternyata tidak signifikan bagi perekonomian didukung oleh temuan Nordhaus
(2007). Nordhaus menyatakan bahwa invasi AS ke Irak tahun 2002 yang
diperkirakan akan menurunkan supply minyak dunia ternyata memang
menyebabkan kenaikan harga minyak dunia. Namun dampak negatif dari
kenaikan harga minyak ini pada perekonomian tidak terjadi dimana pertumbuhan
ekonomi tetap positif dengan inflasi yang moderat.
Kemungkinan
penyebab
respon
perekonomian
yang
moderat
atas
guncangan harga minyak tahun 2003 menurut Nordhaus adalah penurunan
volatilitas perekonomian secara keseluruhan. Kondisi ini disebabkan oleh tiga
alasan. Pertama, guncangan di era 2000-an lebih kecil dibanding era 1970-an
untuk dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Kedua,
mekanisme transmisi harga energi terhadap output telah berubah dari negatif
menjadi netral selama 3 dekade terakhir. Ada bukti bahwa The Fed bereaksi lebih
sensitif terhadap harga energi di tahun 2000-an, lebih memperhatikan core
inflation dibanding total inflasi. Selain itu adanya ingatan tentang sejarah
tingginya inflasi dan memutuskan untuk berusaha agar tidak terulang kembali.
Ketiga, adanya faktor lain misalnya variabel lain yang mungkin memperkuat
77
dampak kontraksi atas guncangan di tahun 1970-an sedangkan di tahun 2000-an
variabel lain tersebut cenderung meminimalisir dampak negatif guncangan.
Faktor lain tersebut diantaranya adalah ekspektasi perilaku ekonomi yaitu
konsumen, pelaku bisnis dan pekerja yang memandang bahwa pergerakan harga
minyak di tahun 2000-an adalah fluktuatif dan hanya sementara dibandingkan
kenaikan harga yang sangat mengguncang di tahun 1970-an. Oleh karena itu,
rumahtangga menganggap guncangan harga minyak seperti guncangan pajak,
sehingga reaksi mereka tidak seperti reaksi pada era 1970-an. Bagi pelaku bisnis,
saat ini mereka sudah memperhitungkan perubahan harga minyak yang besar
dalam perencanaan dan investasi mereka sehingga perubahan besar dalam harga
minyak tidak merubah operasi bisnis mereka. Sedangkan pekerja dan serikat
pekerja tidak banyak menuntut kenaikan upah karena ternyata upah menjadi lebih
fleksibel dalam merespon guncangan harga minyak dunia dibanding pada era
1970-an.
Dampak guncangan harga minyak dunia yang tidak memperburuk
perekonomian juga ditemukan oleh Blanchard dan Gali (2010). Mereka
menyatakan bahwa dampak kenaikan harga minyak terhadap makroekonomi
berbeda antara era 1970-an dibandingkan era 2000-an. Ketika era 1970-an
berbagai konflik seperti perang Yom Kippur dan revolusi Iran menyebabkan
produksi atau supply minyak mentah dunia menurun dan memicu kenaikan harga
minyak mentah dunia. Dampaknya bagi perekonomian adalah terjadinya stagflasi,
yaitu inflasi tinggi disertai kontraksi perekonomian, dan tingginya pengangguran.
Sehingga guncangan harga minyak dunia pada era tersebut sangat signifikan
memiliki efek negatif bagi perekonomian. Di akhir era 1990-an, dunia juga
menghadapi guncangan harga minyak dunia dengan besar guncangan relatif sama
dengan era 1970-an namun dampaknya pada makroekonomi ternyata berbeda
dimana inflasi dan PDB di negara-negara industri ternyata relatif stabil. Blanchard
dan Gali menyatakan bahwa kredibilitas bank sentral dalam menjaga inflasi
meningkat setelah era 1970-an, sehingga mampu membatasi ekspektasi inflasi.
Purwanti (2011) menemukan bahwa guncangan harga minyak dunia justru
berpengaruh positif dan signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena
ada peningkatan pendapatan ekspor minyak mentah dan produk olahannya,
78
pendapatan ekspor komoditi lain yang harganya mengikuti kenaikan harga
minyak, peningkatan permintaan agregat dan pemberian subsidi bahan bakar.
Dapat disimpulkan dari uraian-uraian diatas mengenai alasan-alasan tidak
signifikannya dampak guncangan harga minyak bagi perekonomian domestik
adalah sebagai berikut:
1. Harga BBM domestik masih disubsidi atas setiap kenaikan harga minyak
dunia. Meski subsidi tersebut memperbesar defisit anggaran namun tingkat
defisit anggaran terhadap PDB masih dalam batas sehat yaitu masih dibawah
3%. Dalam pembiayaan defisit anggaran tersebut, pemerintah mengandalkan
penerimaan pajak dan pinjaman dalam negeri yang beresiko rendah serta
menurunkan pinjaman luar negeri untuk mengurangi ketergantungan dengan
asing.
2. Adanya kenaikan pendapatan pemerintah dari pajak ekspor yang mampu
membiayai pengeluaran pemerintah untuk impor minyak. Kenaikan pendapatan
ini bersumber dari kenaikan harga ekspor produk pertanian unggulan Indonesia
serta kenaikan harga ekspor batu bara dan gas alam, yang ikut meningkat
seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia.
3. Ada indikasi bahwa Bank Indonesia serius menjaga stabilitas inflasi. Temuan
Nordhaus (2007) serta Blanchard dan Gali (2010), bahwa bank sentral makin
sensitif dalam menanggapi guncangan harga minyak dunia, mendukung respon
suku bunga domestik atas guncangan harga minyak dunia hasil IRF dalam
penelitian ini. Satu-satunya makroekonomi domestik yang merespon signifikan
atas guncangan ini adalah suku bunga domestik. Sedangkan bagi pelaku
ekonomi seperti rumahtangga, pelaku bisnis dan pekerja, kenaikan harga
minyak dunia dianggap hanya sementara dan reaksi mereka tidak berlebihan.
4. Adanya penurunan volatilitas perekonomian domestik. Analisis deskriptif pada
Bab 4 menemukan bahwa fluktuasi pertumbuhan triwulanan PDB sebelum
krisis masih dalam rentang plus minus 10%, namun rentang tersebut menjadi
makin pendek di era 2000-an yang menjadi plus minus 4%. Kondisi ini
merupakan representasi fundamental makroekonomi domestik yang bertambah
baik sehingga berbagai guncangan yang terjadi pada era 2000-an tidak sampai
mengkontraksi perekonomian.
79
Selain itu ada fenomena kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2000-an
lebih disebabkan ulah spekulasi, bukan faktor penawaran dan permintaan.
Berbagai faktor ini yang cenderung mengurangi dampak guncangan harga minyak
dunia terhadap makroekonomi Indonesia setelah tahun 2000-an meski Indonesia
sudah menjadi negara net importir minyak.
6.1.2 Guncangan Permintaan (Guncangan Suku Bunga Amerika Serikat)
Ketika ada guncangan 1 standar deviasi pada suku bunga AS (T-bill) maka
suku bunga AS langsung meningkat sekitar 0,3% pada periode impact. Respon ini
terus meningkat hingga stabil pada level jangka panjangnya setelah triwulan ke-8
yang 0,8% lebih tinggi dibanding level sebelum guncangan (Gambar 28).
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 28 Respon suku bunga AS terhadap guncangan dirinya sendiri
Guncangan eksternal ini belum direspon oleh PDB pada periode impact.
Respon PDB selanjunya atas guncangan suku bunga AS juga tidak signifikan,
begitu pula respon kurs riil dan permintaan uang riil yang tidak signifikan. Satusatunya variabel domestik yang merespon guncangan suku bunga AS dengan
signifikan adalah suku bunga domestik. Meningkatnya suku bunga AS ternyata
mampu meningkatkan suku bunga domestik secara permanen. Sesuai dengan teori
UIP, maka ketika ekspektasi inflasi sama dengan nol, maka ekspektasi depresiasi
kurs juga sama dengan nol. Oleh karena itu suku bunga domestik sama dengan
suku bunga AS. Respon terbesar suku bunga domestik terjadi pada triwulan ke-6
setelah guncangan yang hampir mencapai 1,4%. Selanjutnya keseimbangan
80
jangka panjang suku bunga domestik dicapai setelah triwulan ke-16 atau 4 tahun
setelah guncangan dengan level yang lebih tinggi 1,2% dibanding level sebelum
guncangan. Respon tersebut ditunjukkan oleh Gambar 29.
Respon PDB
Respon permintaan uang riil
Respon kurs riil
Respon suku bunga domestik
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 29 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan suku bunga AS
Respon yang ditunjukkan oleh makroekonomi domestik seperti PDB, kurs
riil dan permintaan uang riil dalam penelitian ini sama dengan temuan Siregar dan
Ward (2000) yaitu tidak signifikan.
6.2
Peran Guncangan Eksternal terhadap Fluktuasi Makroekonomi
Indonesia
Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) digunakan untuk
menganalisa peran setiap guncangan dalam menjelaskan fluktuasi setiap variabel
dalam model. Pada Tabel 7 ditunjukkan bahwa variabilitas harga minyak dunia
ditentukan oleh guncangannya sendiri dalam jangka pendek. Pada triwulan
pertama, 100% fluktuasi harga minyak dunia dijelaskan oleh guncangannya
sendiri dan pada triwulan kedua menjelaskan sekitar 99%. Peran guncangan harga
81
minyak dunia terhadap dirinya sendiri perlahan makin menurun, namun dalam
jangka panjang (triwulan ke-30) perannya tetap dominan sekitar 86%.
Selain itu juga ditemukan bahwa guncangan makroekonomi domestik yaitu
guncangan output, guncangan kurs riil, guncangan permintaan uang serta
guncangan kebijakan moneter domestik ternyata tidak ada yang mampu
menjelaskan variabilitas harga minyak dunia baik di jangka pendek dan jangka
panjang.
Tabel 7 Peran guncangan domestik terhadap fluktuasi variabel eksternal
Guncangan
Variabel
Harga
Minyak
Dunia
Suku
Bunga AS
Triwulan
kedepan
1
2
4
8
16
30
1
2
4
8
16
30
Harga
Minyak
Dunia
100
99
91
90
86
86
7
8
6
6
6
6
Suku
Bunga
AS
0
0
1
1
1
2
93
88
88
80
67
66
Output Kurs Riil
0
0
1
1
3
3
0
0
0
1
4
4
0
0
5
4
5
5
0
1
2
5
15
16
Money
Demand
0
0
1
1
1
1
0
2
3
4
5
5
Kebijakan
Moneter
Domestik
0
0
0
3
3
3
0
1
1
3
3
3
Sumber: Hasil pengolahan
Fluktuasi suku bunga AS banyak disumbang dari guncangannya sendiri di
seluruh horizon waktu. Di jangka pertama 93% fluktuasi suku bunga AS mampu
dijelaskan oleh guncangannya sendiri dan di jangka panjang perannya sekitar
66%.
Guncangan makroekonomi domestik juga tidak mampu berperan dalam
fluktuasi suku bunga AS. Temuan ini sesuai dengan penelitian sebelumnya seperti
Siregar dan Ward (2000) dan Supriana (2004) dimana variabel ekonomi makro
domestik tidak mampu menjelaskan variabilitas indikator eksternal seperti suku
bunga AS.
Temuan penelitian ini, bahwa makroekonomi domestik tidak mampu
menjelaskan variabilitas variabel eksternal seperti harga minyak dunia dan suku
bunga AS, sesuai dengan teori small open economy. Indonesia merupakan negara
kecil terbuka yang tidak mampu memengaruhi perekonomian dunia. Meski posisi
82
Indonesia saat ini menjadi salah satu anggota G-20 pada urutan ke-17, namun
kebijakan
makroekonomi
nasional
masih
belum
mampu
memengaruhi
perekonomian dunia.
Tabel 8 Peran guncangan eksternal terhadap fluktuasi makroekonomi domestik
Variabel
PDB
Kurs Riil
Permintaan Uang
Riil
Suku Bunga
Domestik
Triwulan
kedepan
1
2
4
8
16
30
1
2
4
8
16
30
1
2
4
8
16
30
1
2
4
8
16
30
Guncangan Eksternal
Harga Minyak Dunia
Suku Bunga AS
0
0
0
0
1
0
1
3
1
4
0
4
0
1
0
0
1
3
2
4
2
4
2
4
0
0
0
0
3
2
3
2
2
5
2
6
0
5
2
5
4
6
3
26
4
37
5
51
Sumber: Hasil pengolahan
Guncangan eksternal yaitu guncangan harga minyak dunia tidak penting
dalam menjelaskan fluktuasi PDB di semua horizon waktu. Hal ini mendukung
temuan IRF dan hubungan contemporaneous antara harga minyak dunia terhadap
PDB di bab sebelumnya. Temuan penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
Nordhaus (2007), Blanchard dan Gali (2010) dan Purwanti (2011) bahwa
guncangan harga minyak pada era 2000an tidak menyebabkan resesi dalam
perekonomian. Selain itu, guncangan harga minyak dunia juga tidak berperan
penting dalam fluktuasi makroekonomi domestik seperti kurs riil, permintaan
uang riil dan suku bunga domestik di seluruh horizon waktu.
Guncangan eksternal berupa guncangan suku bunga AS juga ditemukan
tidak berperan penting dalam fluktuasi PDB. Temuan ini sama dengan temuan
83
Siregar dan Ward (2000) dan Supriana (2004). Bagi makroekonomi domestik
lainnya seperti kurs riil dan permintaan uang riil, ternyata guncangan suku bunga
AS juga tidak berperan banyak. Peran guncangan suku bunga AS hanya penting
bagi fluktuasi suku bunga domestik.
6.3
Implikasi Kebijakan
Temuan penelitian mengenai hubungan harga minyak dunia dan PDB
berdasarkan pengujian hubungan contemporaneous, IRF dan FEVD masingmasing adalah tidak signifikannya efek contemporaneous harga minyak dunia
terhadap PDB, respon PDB atas guncangan harga minyak dunia tidak signifikan
serta guncangan harga minyak dunia tidak mampu menjelaskan fluktuasi PDB dan
indikator makroekonomi Indonesia lainnya. Temuan tersebut saling mendukung
satu sama lain, memperkuat bukti empiris bahwa guncangan harga minyak dunia
tidak memengaruhi fluktuasi makroekonomi Indonesia. Berbagai hal yang
menjadi penyebab tidak signifikannya hubungan tersebut telah diulas pada sub
bab sebelumnya. Diantaranya terkait dengan masih disubsidinya harga BBM
domestik. Selama ini pemerintah merespon kenaikan harga minyak dunia dengan
menaikkan subsidi harga BBM domestik.
Temuan tersebut tidak menjadi dasar bagi penelitian ini untuk kemudian
merekomendasikan bahwa pemerintah terus mensubsidi harga BBM domestik atas
kenaikan harga minyak dunia dalam rangka menjaga kestabilan perekonomian
domestik. Karena meski dampaknya tidak signifikan secara statistik, namun arah
respon PDB terhadap guncangan harga minyak dunia adalah negatif. Oleh karena
itu pelaksanaan subsidi harga BBM domestik yang memperbesar defisit anggaran
harus dilakukan secara hati-hati. Bila subsidi BBM terus meningkat maka dapat
menyebabkan rasio defisit APBN terhadap PDB melebihi batas aman 3%.
Dampak guncangan harga minyak dunia bagi perekonomian Indonesia yang
awalnya negatif dan tidak signifikan berpotensi untuk berubah menjadi negatif
dan signifikan dikemudian hari.
Berdasarkan uraian diatas, subsidi harga BBM domestik sebaiknya mulai
dikurangi. Hal ini bisa dicapai dengan dua cara yaitu pertama melalui pembatasan
BBM bersubsidi dan kedua melalui peningkatan harga BBM domestik secara
bertahap hingga sesuai dengan harga keekonomiannya.
84
Cara pertama yaitu mengatur pembatasan BBM bersubsidi. Hal ini sudah
dilakukan pemerintah sejak lama dan diatur dalam Instruksi Presiden. Namun
sampai saat ini belum efektif. Kuota volume BBM bersubsidi selalu tidak dapat
dipenuhi. Oleh karena itu disarankan agar aturan pembatasan BBM bersubsidi
dibuat dalam bentuk undang-undang. Adanya undang-undang berarti memuat
sanksi tegas bagi pelanggar (orang/sektor produksi yang tidak berhak menerima
BBM bersubsidi namun mengkonsumsinya) sehingga menimbulkan efek jera bagi
pelanggar. Dengan cara ini kebijakan aturan pembatasan BBM dapat efektif
dilaksanakan dan tercapai volume BBM bersubsidi sesuai dengan kuota yang
telah ditetapkan.
Cara kedua yaitu menaikkan harga BBM secara bertahap hingga sesuai
dengan harga keekonomiannya. Selain mengeliminir tindakan spekulasi akibat
disparitas harga BBM subsidi dan BBM industri, cara ini juga tidak membebani
APBN. Dana yang tadinya untuk subsidi BBM dapat dialokasikan ke sektor
produktif seperti pembangunan infrastruktur jalan, infrastruktur energi alternatif
seperti gas, infrastruktur sarana transportasi massal seperti Mass Rapid
Transportation (MRT) yang diharapkan dapat mengurangi penggunaaan BBM
bagi kendaraan pribadi, subsidi pendidikan dan kesehatan, kompensasi bagi
masyarakat tidak mampu serta pengembangan sumber energi alternatif.
Berdasarkan hasil penelitian Wangke (2012), penurunan subsidi BBM dan
realokasi anggaran dari penghematan subsidi BBM ke sektor produktif ternyata
mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menurunkan jumlah penduduk
miskin.
Temuan
penelitian
Nordhaus
(2007)
bahwa
reaksi
dan
perilaku
rumahtangga, pelaku bisnis dan pekerja atas guncangan harga minyak ikut
menentukan signifikan atau tidaknya guncangan harga minyak dunia bagi
perekonomian domestik. Oleh karena itu, dalam menyikapi guncangan harga
minyak dunia, pemerintah sebaiknya lebih mengkhawatirkan ekspektasi dan
reaksi pelaku ekonomi seperti konsumen, pelaku bisnis dan pekerja. Otoritas
moneter diharapkan tetap sensitif dalam menjaga stabilitas inflasi akibat kenaikan
harga minyak dunia serta fokus pada core inflation dibanding total inflasi.
85
Hasil penelitian ini mengenai kurang pentingnya guncangan harga minyak
dunia dan guncangan suku bunga AS bagi perekonomian Indonesia menunjukkan
bahwa fundamental makroekonomi Indonesia cukup kuat. Sehingga meski
berbagai guncangan eksternal semakin sering terjadi pada era 2000an,
perekonomian Indonesia tetap mampu bertahan dan tidak sampai terjadi resesi.
Namun guncangan suku bunga AS perlu diwaspadai karena mampu memengaruhi
fluktuasi suku bunga domestik. Kebijakan moneter domestik dapat berperan
menjadi stabilisator jika terjadi fluktuasi suku bunga domestik yang berlebihan.
86
Halaman ini sengaja dikosongkan
87
VII. DAMPAK GUNCANGAN DOMESTIK TERHADAP
MAKROEKONOMI INDONESIA
7.1
Dinamika Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan
Domestik
7.1.1 Guncangan Penawaran (Output)
Guncangan penawaran dalam penelitian ini diidentifikasi sebagai guncangan
output. Favorable shock sebesar satu standar deviasi terhadap output
menyebabkan PDB langsung meningkat 1,3% pada periode impact. Selanjutnya
PDB berfluktuasi menuju keseimbangan jangka panjangnya dengan level baru
yang 1% lebih tinggi dibanding level sebelum ada guncangan (Gambar 30).
Respon PDB
Respon permintaan uang riil
Respon kurs riil
Respon suku bunga domestik
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 30 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan output
Peningkatan PDB tersebut menyebabkan kenaikan transaksi sehari-hari
sehingga permintaan uang riil juga meningkat. Meningkatnya PDB secara
88
permanen mengakibatkan peningkatan permintaan uang riil secara permanen juga.
Di jangka panjang, permintaan uang riil lebih tinggi 0,8% dibanding level
sebelum ada guncangan.
Pada periode impact, kurs riil terapresiasi 4% dibanding kondisi sebelum
ada guncangan. Respon kurs signifikan hanya pada triwulan kedua hingga
keempat setelah guncangan. Selanjutnya kurs riil kembali ke level sebelum ada
guncangan sehingga dampak guncangan output bagi kurs riil hanya sementara.
Otoritas moneter mengakomodasi kenaikan permintaan uang riil dengan
ekspansi moneter yaitu dengan meningkatkan money supply sehingga suku bunga
domestik menjadi lebih rendah dari tingkat sebelum ada guncangan. Pada triwulan
ke-2, suku bunga domestik lebih rendah 1,4%. Seiring dengan menghilangnya
respon kurs riil, respon suku bunga domestik setelah triwulan ke-4 juga
menghilang dimana suku bunga domestik cenderung kembali ke tingkat sebelum
ada guncangan. Dampak guncangan output juga hanya sementara bagi suku bunga
domestik.
7.1.2 Guncangan Permintaan
7.1.2.1 Guncangan Kurs Riil
Gambar 31 menunjukkan respon makroekonomi domestik atas guncangan
kurs riil yang menyebabkan kurs riil terdepresiasi. Guncangan ini mengakibatkan
kurs riil langsung terdepresiasi 8% pada periode impact. Respon terbesar kurs riil
terjadi pada triwulan ke-2 setelah guncangan yaitu terdepresiasi hingga 9%.
Selanjutnya kurs riil merespon dengan makin menguat sehingga setelah triwulan
ke-14, depresiasinya tinggal 5% dibanding level sebelum guncangan. Respon kurs
riil adalah permanen.
Terdepresiasinya kurs riil belum direspon oleh otoritas moneter pada
periode impact. Setidaknya dibutuhkan lag 1 triwulan bagi otoritas moneter untuk
menstabilkan dengan melakukan kebijakan moneter kontraksi yaitu menurunkan
money supply sehingga suku bunga domestik meningkat agar kurs riil menguat.
Pada triwulan ke-3, suku bunga domestik lebih tinggi 1,9% dalam rangka
merespon depresiasi kurs riil yang meningkat pada triwulan ke-2. Setelah kurs riil
mulai menguat, suku bunga domestik menurun untuk kembali ke keseimbangan
jangka panjangnya yang dicapai setelah triwulan ke-4.
89
Guncangan 1 standar deviasi pada kurs riil juga belum direspon oleh PDB
pada periode impact. Dibutuhkan lag 1 triwulan dimana PDB mengalami
kontraksi 0,7% akibat terdepresiasinya kurs riil. Pada triwulan ke-3 PDB
mencapai level terendah yaitu terkontraksi sekitar 2%. Guncangan 1 standar
deviasi pada kurs riil menyebabkan PDB terkontraksi 1,3% di jangka panjang.
Respon PDB
Respon permintaan uang riil
Respon kurs riil
Respon suku bunga domestik
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 31 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan kurs riil
Seiring dengan tingginya suku bunga domestik, maka terjadi penurunan
permintaan uang riil. Ketika suku bunga domestik mencapai respon tertinggi pada
triwulan ke-3, hal ini menjadi opportunity cost terbesar untuk memegang aset
dalam bentuk uang. Kondisi ini direspon dengan penurunan permintaan uang riil
terbesar pada triwulan ke-4 yang mencapai minus 1,9%. Seiring dengan
menghilangnya respon suku bunga domestik mulai triwulan ke-6, respon
permintaan uang riil juga menghilang. Menurunnya suku bunga domestik kembali
ke level sebelum ada guncangan diikuti oleh meningkatnya respon permintaan
90
uang riil menuju keseimbangan jangka panjangnya. Guncangan 1 standar deviasi
atas kurs riil menyebabkan respon yang permanen oleh PDB dan kurs riil, dimana
di jangka panjang PDB terkontraksi 1,3% dan kurs riil terdepresiasi 5%.
7.1.2.2 Guncangan Permintaan Uang
Guncangan 1 standar deviasi pada permintaan uang menyebabkan
permintaan uang riil langsung meningkat sekitar 3%. Namun pada triwulan
pertama setelah guncangan, respon permintaan uang riil menurun tajam.
Selanjutnya respon permintaan uang riil berfluktuasi menuju keseimbangan
jangka panjangnya, dengan level permintaan uang riil baru yang lebih tinggi 1,2%
dibanding level sebelum adanya guncangan. Respon permintaan uang riil atas
guncangan permintaan uang adalah permanen (Gambar 32).
Respon PDB
Respon permintaan uang riil
Respon kurs riil
Respon suku bunga domestik
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 32 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan permintaan
uang
91
Variabel makroekonomi lainnya seperti PDB, kurs riil dan suku bunga
domestik tidak merespon guncangan ini pada periode impact. Setelah triwulan
pertama, PDB merespon guncangan money demand dengan arah positif, namun
respon tersebut tidak signifikan. Respon kurs riil dan suku bunga domestik juga
ditemukan tidak signifikan. Sehingga guncangan permintaan uang hanya direspon
secara permanen oleh permintaan uang riil sendiri.
7.1.2.3 Guncangan Kebijakan Moneter Domestik
Guncangan kebijakan moneter domestik yaitu kebijakan moneter kontraksi
dengan menurunkan money supply menyebabkan suku bunga domestik langsung
meningkat 1,6% di periode impact. Respon suku bunga domestik menurun seiring
dengan waktu. Guncangan kebijakan moneter domestik hanya direspon suku
bunga domestik secara signifikan hingga triwulan ke-4. Selanjutnya suku bunga
domestik cenderung kembali ke level sebelum ada guncangan, sehingga respon
suku bunga domestik atas guncangan kebijakan moneter domestik hanya
sementara (Gambar 33).
PDB membutuhkan lag 1 triwulan dalam merespon guncangan kebijakan
moneter domestik. Tingginya suku bunga domestik di awal periode menyebabkan
penurunan investasi sehingga PDB terkontraksi. Level PDB menjadi lebih rendah
sekitar 0,4% dibanding level sebelum ada guncangan yang signifikan hingga
triwulan kedua setelah guncangan. Selanjutnya PDB kembali meningkat menuju
level sebelum guncangan.
Pada waktu yang sama, tingginya suku bunga domestik berarti
membesarnya opportunity cost memegang aset dalam bentuk uang. Permintaan
uang riil langsung menurun hingga 1,6% pada triwulan yang sama. Respon
terbesar permintaan uang riil terjadi pada triwulan ke-2 setelah guncangan,
dimana permintaan uang riil lebih rendah 2,2% dibanding level sebelum
guncangan. Pada keseimbangan jangka panjangnya, permintaan uang riil lebih
rendah 1% dibanding level sebelum ada guncangan. Artinya dampak guncangan
kebijakan moneter domestik bagi permintaan uang riil adalah permanen.
92
Respon PDB
Respon permintaan uang riil
Respon kurs riil
Respon suku bunga domestik
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 33 Respon makroekonomi domestik atas guncangan kebijakan moneter
Sama dengan respon PDB, kurs riil juga membutuhkan lag dalam merespon
guncangan kebijakan moneter domestik. Tingginya suku bunga domestik
menyebabkan capital inflow. Karena Indonesia adalah small open economy maka
perubahan ekonomi domestik tidak berdampak bagi perekonomian dunia,
termasuk dalam hal ini perubahan suku bunga domestik tidak mampu
memengaruhi suku bunga AS sehingga diasumsikan suku bunga AS tetap. Capital
inflow memicu terapresiasinya kurs riil. Respon terbesar kurs riil terjadi pada
triwulan ke-4 setelah guncangan dengan apresiasi 4,5%. Selanjutnya respon kurs
riil permanen dalam jangka panjang yang terapresiasi sekitar 3% dibanding level
sebelum guncangan.
93
7.2
Peran Guncangan Domestik terhadap Fluktuasi Makroekonomi
Indonesia
Tabel 9 menunjukkan peran berbagai guncangan domestik terhadap
variabilitas makroekonomi Indonesia. Berdasarkan analisis FEVD, fluktuasi PDB
di jangka pendek dominan disebabkan oleh guncangan output. Pada triwulan
pertama 100% fluktuasi PDB dijelaskan oleh guncangannya sendiri. Perlahan
kontribusi peran guncangan output makin menurun dan dalam jangka panjang
(triwulan ke-30) perannya tinggal 36%. Temuan ini sama dengan temuan Siregar
dan Ward (2000) dan Supriana (2004).
Tabel 9 Peran guncangan domestik terhadap fluktuasi makroekonomi domestik
Guncangan Domestik
Variabel
PDB
Kurs Riil
Permintaan
Uang Riil
Suku Bunga
Domestik
Triwulan
kedepan
Output
Kurs Riil
Money
Demand
1
2
4
8
16
30
1
2
4
8
16
30
1
2
4
8
16
30
1
2
4
8
16
30
100
82
37
35
36
36
19
16
9
7
5
4
1
8
14
17
15
14
9
31
31
21
17
13
0
16
56
57
56
57
80
79
79
72
72
72
8
8
9
15
13
9
1
2
28
31
26
18
0
0
4
3
3
3
0
1
2
1
1
1
71
51
34
34
36
38
0
0
3
2
2
2
Kebijakan
Moneter
Domestik
0
2
2
1
1
0
0
2
6
15
16
17
20
33
38
29
30
31
85
59
29
16
14
11
Sumber: Hasil pengolahan
Selain guncangan output, ternyata guncangan kurs riil mendominasi
fluktuasi PDB mulai triwulan ke-3. Di jangka panjang (triwulan ke-30) peran
guncangan kurs riil terhadap fluktuasi PDB sekitar 57%. Hasil ini sesuai dengan
94
temuan Siregar dan Ward (2000) dimana guncangan kurs riil mulai mendominasi
pada triwulan ke-4 hingga di jangka panjang. Supriana (2004) juga menemukan
pentingnya peran guncangan kurs dalam menjelaskan fluktuasi PDB. Rapach
(1998) menemukan bahwa guncangan penawaran berperan di seluruh horizon
waktu fluktuasi PDB sedangkan guncangan permintaan hanya pada fluktuasi
jangka pendek.
Guncangan kebijakan moneter domestik maupun guncangan permintaan
uang tidak mampu menjelaskan fluktuasi PDB baik di jangka pendek maupun di
jangka panjang. Berdasarkan hasil FEVD ada indikasi terjadi money neutrality
baik di jangka pendek maupun jangka panjang dimana kebijakan moneter tidak
mampu memengaruhi output di kedua horizon waktu tersebut. Temuan ini sesuai
dengan temuan Gali (1992) dan Rapach (1998) untuk kasus Amerika Serikat serta
Siregar dan Ward (2000) dan Supriana (2004) di Indonesia. Namun berbeda
dengan temuan Cheng (2003) untuk PDB Malaysia dimana guncangan money
supply berperan sangat penting.
Guncangan kurs riil yang mendepresiasi kurs riil memiliki kontribusi
dominan bagi fluktuasi kurs riil itu sendiri sekitar 80% pada triwulan pertama,
sedangkan 19% lainnya diterangkan oleh guncangan output. Pada triwulan ke-30,
guncangan kurs riil masih penting menerangkan sekitar 72%, mirip dengan hasil
FEVD Siregar dan Ward (2000) yang menghasilkan peran 68%. Namun hasil
FEVD bahwa guncangan permintaan uang dan guncangan kebijakan moneter
domestik tidak mampu menjelaskan variabilitas kurs riil di semua horizon waktu
ternyata berbeda dengan Supriana (2004). Supriana justru menemukan guncangan
permintaan uang penting bagi fluktuasi kurs riil.
Variabilitas permintaan uang riil di jangka pendek banyak dijelaskan oleh
guncangannya sendiri yaitu sekitar 71%, sedangkan 20% lainnya dijelaskan oleh
guncangan kebijakan moneter domestik. Di jangka panjang, guncangan
permintaan uang berperan sekitar 38% dan guncangan kebijakan moneter
domestik sekitar 31%. Guncangan kebijakan moneter penting bagi fluktuasi
permintaan uang riil baik di jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh karena
itu kebijakan moneter dapat diimplementasikan untuk stabilisasi permintaan uang
riil. Hasil penelitian Rapach (1998) sama dengan temuan penelitian ini dimana
95
yang berperan dalam menjelaskan fluktuasi permintaan uang riil adalah
guncangan permintaan uang dan guncangan kebijakan moneter domestik.
Sedangkan penelitian Siregar dan Ward (2000) berbeda bahwa guncangan
kebijakan moneter domestik tidak mampu berperan di seluruh horizon waktu
dalam fluktuasi permintaan uang riil.
Baik guncangan output maupun guncangan kurs riil ternyata kurang mampu
berperan dalam menjelaskan variabilitas permintaan uang riil disemua horizon
waktu. Temuan ini berbeda dengan hasil Siregar dan Ward (2000) yang
menemukan bahwa guncangan kurs riil mampu menjelaskan fluktuasi permintaan
uang riil di jangka panjang. Sedangkan Gali (1992) menemukan bahwa guncangan
penawaran hanya berperan di triwulan pertama, guncangan money demand hanya
berperan di jangka pendek, guncangan money supply di jangka panjang dan
guncangan IS mendominasi seluruh horizon waktu.
Fluktuasi suku bunga domestik di triwulan pertama 85% diterangkan oleh
guncangan kebijakan moneter domestik. Mulai triwulan ke-2, guncangan output
mampu berperan sekitar 31%. Kedua guncangan tersebut ternyata hanya penting
bagi fluktuasi jangka pendek suku bunga domestik, dimana pada jangka panjang,
peran guncangan kebijakan moneter domestik tinggal 11% dan guncangan output
hanya 13%.
Peran guncangan kurs riil mulai penting di triwulan ke-4 dimana sekitar
28% fluktuasi suku bunga domestik mampu dijelaskan oleh guncangan ini. Di
jangka panjang, fluktuasi suku bunga domestik lebih banyak dijelaskan oleh
guncangan kurs riil. Temuan ini sama dengan hasil FEVD Siregar dan Ward
(2000) yang menunjukkan bahwa guncangan kurs riil berperan penting mulai
triwulan ke-4 hingga jangka panjang. Gali (1992) menemukan bahwa hanya
guncangan money supply yang bisa menjelaskan fluktuasi suku bunga domestik di
seluruh horizon waktu, sedangkan guncangan penawaran, permintaan uang dan IS
tidak berperan. Rapach (1998) justru menemukan bahwa guncangan money
demand dan money supply tidak penting bagi fluktuasi suku bunga domestik,
tetapi yang penting peranannya adalah guncangan IS untuk fluktuasi seluruh
horizon waktu suku bunga domestik dan guncangan penawaran untuk fluktuasi
suku bunga domestik di triwulan pertama.
96
Guncangan domestik memiliki peran sangat penting dalam fluktuasi
makroekonomi domestik baik di jangka pendek maupun jangka panjang.
Guncangan dari sisi permintaan ditemukan sama pentingnya dengan guncangan
dari sisi penawaran. Guncangan permintaan yang utama adalah guncangan kurs
riil yang ditemukan dapat menjelaskan seluruh fluktuasi makroekonomi domestik
kecuali permintaan uang riil.
7.3
Implikasi Kebijakan
Penelitian ini menemukan bahwa guncangan penawaran berupa favorable
shock pada output dapat menjelaskan fluktuasi makroekonomi Indonesia dengan
baik. Oleh karena itu, untuk menstimulasi perekonomian dapat dilakukan dengan
mengelola guncangan dari sisi penawaran utamanya guncangan output dengan
baik. Guncangan output ini bisa berasal dari guncangan tenaga kerja, guncangan
kapital dan guncangan teknologi.
Temuan bahwa guncangan kurs riil berperan sebagai sumber utama
fluktuasi makroekonomi domestik menjadi bukti empiris bahwa stabilisasi kurs
riil menjadi sangat penting untuk dilakukan. Dampak guncangan ini bagi
perekonomian adalah terkontraksinya PDB secara permanen sehingga pengelolaan
kurs riil yang tepat diperlukan dalam rangka menjaga stabilitas perekonomian.
Menurut Ickes (2004), kurs riil merepresentasikan relatif harga barang
domestik dan harga barang asing sehingga memengaruhi daya saing barang
tradable. Apresiasi kurs riil berarti kenaikan harga asing atas satu bundel barang
relatif terhadap harga domestik. Atau bisa dikatakan bahwa nilai riil mata uang
asing terdepresiasi sehingga menurunkan daya beli mata uang asing secara relatif.
Salah satu faktor yang dapat merubah kurs riil ini adalah perubahan demand baik
yang berasal dari domestik maupun luar negeri terhadap barang domestik. Ketika
terjadi penurunan permintaan domestik untuk barang domestik, maka pada rasio
harga awal terjadi ketidakseimbangan supply dan demand yaitu terjadi excess
supply. Hal ini memicu penurunan harga barang domestik sehingga rasio harga
asing terhadap harga domestik meningkat. Artinya terjadi depresiasi riil yaitu
penurunan daya beli Rupiah terhadap barang asing.
Berdasarkan uraian diatas maka faktor-faktor yang memengaruhi perubahan
demand domestik terhadap barang domestik dapat memengaruhi kurs riil.
97
Permintaan domestik antara lain berasal dari konsumsi, investasi dan pengeluaran
pemerintah. Perubahan pengeluaran pemerintah baik untuk konsumsi maupun
investasi dapat menjadi sumber fluktuasi daya saing atau fluktuasi kurs riil.
Penurunan pengeluaran pemerintah akan menurunkan agregat demand.
Dengan asumsi agregat supply tetap maka penurunan agregat demand ini akan
menurunkan harga domestik relatif terhadap harga asing. Hal ini menyebabkan
rasio harga asing terhadap harga domestik meningkat sehingga terjadi depresiasi
riil. Artinya daya beli Rupiah relatif turun terhadap barang asing.
Siregar (2001) menyatakan kurs riil sebagai relatif harga barang tradable
dan non-tradable. Apresiasi kurs riil bisa diinterpretasikan sebagai kenaikan harga
barang non-tradable relatif terhadap harga barang tradable. Monacelli dan Perotti
(2010) mengemukakan bahwa pengeluaran pemerintah adalah lebih intensif pada
sektor non-tradable. Sehingga ketika terjadi kenaikan belanja pemerintah maka
akan meningkatkan harga output di sektor non-tradable relatif terhadap harga
output sektor tradable dan memicu apresiasi kurs riil. Dari sisi produksi, output
sektor pemerintah termasuk dalam sektor non-tradable yaitu pada sub sektor Jasa
Pemerintahan Umum dalam PDB sektoral (meliputi jasa administrasi pemerintah
dan pertahanan keamanan). Kenaikan atau penurunan output pemerintah dapat
memengaruhi relatif harga barang non-tradable dan tradable sehingga dapat
memengaruhi kurs riil.
Berdasarkan uraian diatas bahwa ekspansi atau kontraksi output dan belanja
pemerintah dapat merubah daya saing barang domestik atau merubah kurs riil,
maka kebijakan fiskal dapat diimplementasikan untuk stabilisasi fluktuasi daya
saing barang domestik terhadap asing atau yang disebut sebagai kurs riil. Ravn et
al. (2007), Caporale et al. (2008), Monacelli dan Perotti (2010) serta Chatterjee
dan Mursagulov (2011) juga menemukan pentingnya pengeluaran pemerintah atas
fluktuasi kurs riil.
Selain kebijakan fiskal, konsumsi rumahtangga juga penting dalam fluktuasi
kurs riil. Oleh karena itu, faktor-faktor yang memengaruhi perubahan konsumsi
rumahtangga juga dapat memengaruhi kurs riil, termasuk kebijakan fiskal berupa
kenaikan atau penurunan pajak. Keputusan rumahtangga untuk lebih banyak
membelanjakan pendapatannya atau ditabung serta pilihan barang untuk
98
dikonsumsi apakah barang domestik dan barang asing (impor) ikut berkontribusi
pada daya saing barang domestik sehingga memengaruhi fluktuasi kurs riil.
Fluktuasi permintaan uang riil di jangka pendek dapat dijelaskan oleh
guncangan kebijakan moneter domestik. Oleh karena itu, kebijakan tersebut dapat
diimplementasikan untuk meredam fluktuasi yang berlebihan dalam permintaan
uang riil. Selain itu, kebijakan moneter juga berperan penting dalam stabilisasi
fluktuasi suku bunga domestik.
99
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1
Kesimpulan
1.
Respon perekonomian domestik terhadap berbagai guncangan:
a. Respon makroekonomi domestik atas guncangan eksternal berupa
guncangan harga minyak dunia ditemukan tidak signifikan, kecuali
respon suku bunga domestik.
-
Tidak signifikannya respon PDB atas guncangan harga minyak dunia
disebabkan masih disubsidinya harga BBM domestik sehingga belum
mengikuti harga keekonomiannya. Kenaikan harga minyak dunia
direspon pemerintah dengan meningkatkan subsidi harga BBM
domestik agar tetap mampu dijangkau masyarakat. Selain itu, ada
kenaikan pendapatan pemerintah yang berasal dari pajak ekspor
produk batubara, gas alam serta produk pertanian yang mengikuti
kenaikan harga minyak dunia, sehingga sedikit banyak dapat
mengimbangi pengeluaran pemerintah untuk impor minyak.
-
Signifikannya respon suku bunga domestik mengindikasikan bahwa
otoritas moneter konsisten dalam menjaga stabilitas inflasi yang
berpotensi terganggu akibat kenaikan harga minyak dunia.
b. PDB, kurs riil dan permintaan uang riil tidak merespon secara signifikan
atas guncangan suku bunga Amerika Serikat. Hanya suku bunga
domestik yang memiliki respon signifikan dimana kenaikan suku bunga
Amerika Serikat diikuti oleh kenaikan suku bunga domestik.
c. Respon makroekonomi Indonesia atas guncangan domestik ditemukan
lebih signifikan dan permanen. Favorable shock terhadap output direspon
secara permanen dan positif oleh PDB dan permintaan uang riil.
Guncangan kurs riil menyebabkan perubahan permanen yang negatif
dalam PDB dan kurs riil. Guncangan permintaan uang hanya direspon
secara signifikan oleh permintaan uang riil. Guncangan kebijakan
moneter domestik penting dalam fluktuasi jangka pendek suku bunga
domestik namun PDB tidak merespon guncangan ini secara signifikan.
100
2.
Guncangan yang berperan penting dalam business cycle Indonesia:
a. Guncangan domestik ditemukan tidak mampu menjelaskan fluktuasi
variabel eksternal, menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara
perekonomian terbuka yang kecil. Sebagai negara small open economy,
perekonomian Indonesia terpapar oleh berbagai peristiwa dunia.
Peristiwa eksternal yang dicakup dalam penelitian ini yaitu guncangan
harga minyak dunia dan guncangan suku bunga Amerika Serikat ternyata
ditemukan tidak berperan penting bagi fluktuasi perekonomian domestik.
Guncangan suku bunga Amerika Serikat hanya penting bagi fluktuasi
suku bunga domestik.
b. Guncangan domestik mampu menjelaskan fluktuasi makroekonomi
Indonesia dengan baik. Guncangan domestik dari sisi permintaan
ditemukan sama pentingnya seperti guncangan domestik dari sisi
penawaran. Guncangan permintaan yang utama adalah guncangan kurs
riil. Meski penting bagi fluktuasi suku bunga domestik, namun
guncangan kebijakan moneter tidak mampu menjelaskan fluktuasi PDB
di jangka pendek maupun di jangka panjang sehingga mengindikasikan
money neutrality baik di jangka pendek maupun di jangka panjang.
c. Sumber guncangan utama dalam business cycle Indonesia adalah
guncangan domestik. Guncangan eksternal tidak mampu menjelaskan
fluktuasi makroekonomi Indonesia.
8.2
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka saran dalam penelitian ini yaitu:
1.
Terkait dengan guncangan harga minyak dunia yang tidak dapat
memengaruhi perekonomian domestik antara lain karena harga BBM
domestik yang masih disubsidi, maka pelaksanaan subsidi BBM perlu
dilakukan secara hati-hati. Karena meski pengaruhnya tidak signifikan,
namun arahnya negatif. Subsidi BBM yang membengkak selain membuat
postur belanja APBN menjadi tidak sehat, juga memperbesar defisit
anggaran dan berpotensi memperburuk dampak guncangan harga minyak
dunia bagi makroekonomi Indonesia. Untuk itu direkomendasikan agar
pemerintah mulai mengurangi subsidi BBM dengan cara pembatasan BBM
101
bersubsidi yang aturannya dimuat dalam undang-undang agar dapat
memenuhi kuota volume BBM bersubsidi yang ditargetkan. Selain itu harga
BBM domestik dinaikkan secara bertahap hingga sesuai dengan harga
keekonomiannya disertai realokasi dana subsidi BBM ke sektor produktif.
2.
Guncangan suku bunga Amerika Serikat perlu diwaspadai karena dapat
menyebabkan fluktuasi suku bunga domestik. Meski demikian, fluktuasi
dalam suku bunga domestik ini dapat distabilisasi dengan kebijakan
moneter.
3.
Guncangan kurs riil mencerminkan perubahan daya saing barang ekspor
Indonesia. Guncangan ini perlu diwaspadai karena merupakan sumber
fluktuasi makroekonomi utama bagi Indonesia dari sisi permintaan dan
menyebabkan PDB terkontraksi secara permanen. Oleh karena itu fluktuasi
yang berlebihan dalam kurs riil perlu diminimalisir. Kebijakan fiskal
merupakan salah satu kebijakan yang dapat menstabilisasi fluktuasi daya
saing produk ekspor Indonesia melalui perubahan pengeluaran pemerintah
atau perubahan pajak.
4.
Kebijakan moneter efektif untuk diimplementasikan dalam stabilisasi
fluktuasi permintaan uang riil.
Saran untuk penelitian lanjutan berkaitan dengan temuan mengenai tidak
signifikannya dampak fluktuasi harga minyak dunia bagi makroekonomi domestik
adalah memasukkan variabel inflasi serta subsidi BBM atau defisit anggaran
sebagai ukuran kebijakan fiskal, yang kemungkinan dapat memperkuat dampak
fluktuasi harga minyak dunia bagi perekonomian domestik.
Temuan bahwa guncangan dari sisi penawaran berperan penting bagi
fluktuasi makroekonomi domestik, maka saran untuk penelitian selanjutnya
adalah dengan mengidentifikasi guncangan penawaran secara lebih spesifik.
Misalnya dengan memasukkan guncangan tenaga kerja, guncangan kapital atau
guncangan teknologi.
102
Halaman ini sengaja dikosongkan
103
DAFTAR PUSTAKA
[BI] Bank Indonesia. 2012. http://www.bi.go.id.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. http://www.bps.go.id.
Baxter, M., King RG. 1995. Measuring Business Cycles Approximate Band-Pass
Filters for Economic Time Series. National Bureau of Economic Research
Working Paper No. 5022:1-53.
Bernanke, BS., Gertler M., Watson M. 1997. Systematic Monetary Policy and The
Effects of oil Price Shocks. Brookings Papers on Economic Activity 1: 91142.
Blanchard, O. 2009. Macroeconomics. Ed ke-5. New Jersey: Pearson Prentice
Hall.
Blanchard, OJ., Quah D. 1988. The Dynamic Effects of Aggregate Demand and
Supply Disturbances. National Bureau of Economic Research Working
Paper No. 2737:1-24
Blanchard, OJ., Gali J. 2010. The Macroeconomic Effects of Oil Price Shocks:
Why are the 2000s so different from 1970s?. National Bureau of Economic
Research:373-421.
Blanchard, OJ., Fischer S. 1993. Lectures on Macroeconomics. Massachusetts:
The MIT Press.
Burns, AF., Mitchell WC. 1946. Measuring Business Cycles. National Bureau of
Economic Research.
Caporale, GM., Ciferri D., Girardi A., 2008. Fiscal Shocks and the Real Exchange
Rate Dynamics: Some Evidence for Latin America. CESifo Working Paper
2338:1-36.
Carlstrom, CT., Fuerst TS. 2005. Oil Prices, Monetary Policy, and The
Macroeconomy. Federal Reserve Bank of Cleveland Policy Discussion
Paper No.10:1-4.
Chatterjee, S., Mursagulov, A. 2012. Fiscal Policy and the Real Exchange Rate.
IMF Working Paper 52:1-39.
Cheng, M.Y. 2003. Economic Fluctuations and Growth: An Empirical Study of
the Malaysian Economy. The Journal of Business in Developing Nations
7:51-74.
104
Diebold, FX., Rudebusch GD. 1994. Measuring Business Cycles: A Modern
Perspective. National Bureau of Economic Research Working Paper No.
4643:1-33.
Dornbusch, R., Fischer S., Startz R. 1998. Macroeconomics. Ed ke-7. New York:
McGraw-Hill.
.
Enders, W. 2004. Applied Econometrics Time Series. Ed ke-2. New York: John
Willey and Sons, Inc.
Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series.
Bogor: IPB Press.
Funke, M. 1998. Aggregate Demand and Aggregate Supply in Germany and the
United Kingdom. Discussion Paper No. 01-98:1-17.
Gali, J. 1992. How Well Does the IS-LM Model Fit Postwar U.S. Data?. The
Quarterly Journal of Economics 107(2):709-738.
Gottschalk, J. 2001. An Introduction into the SVAR Methodology: Identification,
Interpretation and Limitations of SVAR Models. Kiel Working Paper No.
1072:1-42.
Hamilton, JD., Herrera AM. 2001. Oil Shocks and Aggregate Macroeconomic
Behavior: The Role of Monetary Policy. Journal of Money, Credit, and
Banking 36:1-31.
Hamilton, JD. 2005. Oil and The Macroeconomy. Prepared for Palgrave
Dictionary Economics.
Hamilton, JD. 2009. Causes and Consequences of the Oil Shock of 2007-08.
Brookings Papers on Economic Activity:215-283.
Hamilton, JD. 2011. Historical Oil Shocks. Prepared for the Handbook of Major
Events in Economic History.
Ickes,
BW. 2004. Lecture Note
econ.la.psu.edu/~bickes/realex.pdf.
on
the
Real
Exchange
Rate.
Keating, JW. 1992. Structural Approaches to Vector Autoregressions. Federal
Reserve Bank of St. Louis Review 74 (5): 37–57.
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2012. Handbook of Energy and
Economic Statistics of Indonesia. Jakarta: .
[Kemenkeu] Kementrian Keuangan. 2012. http://www.kemenkeu.go.id.
105
[Kemenko Perekonomian] Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011.
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
2011-2015. Jakarta: Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian.
Khelil, C. 1995. Fiscal Systems for Oil: The Government Take and Competition
for Exploration Investment. Public policy for the Private Sector. The World
Bank No. 46.
Kilian, L. 2007. The Economic Effects of Energy Price Shocks. CEPR Discussion
Paper DP6559:1-59.
Krugman, PR., Obstfeld M. 2003. International Economics Theory and Policy. Ed
ke-6. Boston: Addison Wesley.
Lucas, RE. 1976. Understanding Business Cycles. Paper for Kiel Conference on
Growth without Inflation:1-23.
Lütkepohl, H., Kratzig M. 2004. Applied Time Series Econometrics. Cambridge:
Cambridge University Press.
Lütkepohl, H. 2005. Structural Vector Autoregressive Analysis for Cointegrated
Variables. EUI Working Paper ECO No. 2:1-15.
Makin, AJ. 2002. International Macroeconomics. New York: Prentice Hall.
Mankiw, N.G. 1993. Teori Makroekonomi. Ed ke-4. Jakarta: Erlangga.
Monacelli, T., Perotti, R. 2009. Fiscal Policy, the Real Exchange Rate, and Traded
Goods. The Economic Journal 120(544):437-461.
Nordhaus, W. 2007. Who’s Afraid of a Big Bad Oil Shock?. Brookings Panel on
Economic Activity:1-26.
Nugroho, HT. 2010. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
Terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia [Disertasi].
Bogor. Sekolah Pascasarjana IPB.
Prescott, EC. 1998. Business Cycle Research:Methods and Problems. Working
Paper of Federal Reserve bank of Minneapolis 590:1-28.
Purwanti, D. 2011. Dampak Guncangan Harga Minyak Dunia terhadap Inflasi dan
Pertumbuhan Ekonomi di Negara-negara ASEAN+3 [Tesis]. Bogor.
Sekolah Pascasarjana IPB.
Rapach, DE. 1998. Macro Shocks and Fluctuations. Journal of Economics and
Business 50:23-38.
106
Ravn, MO., Grohe, SS., Uribe, M. 2007. Explaining the Effects of Government
Spending Shocks on Consumption and the Real Exchange Rate. National
Bureau of Economic Research Working Paper No. 13328:1-38.
Shapiro, MD., Watson MW. 1988. Sources of Business Cycle Fluctuations.
National Bureau of Economic Research Working Paper No. 2589:1-52.
Siregar, H. 2001. Empirical Evaluation of Rival Theories of The Business Cycle:
Application of Structural VAR Models to The New Zealand Economy
[Disertasi]. Canterbury. Lincoln University.
Siregar, H., Ward BD. 2000. The Role of Aggregate Demand Shocks in
Explaining Indonesian Macro-Economic Fluctuations. Commerce Division
Discussion Paper of Lincoln University Canterbury 86:1-47.
Siregar, H. 2009. Kebijakan Makroekonomi Berbasis Mikro. Orasi Ilmiah Guru
Besar IPB Dalam Rangka Dies Natalies IPB ke-46.
Siregar, H., Hasanah H., Achsani NA. 2012. Impact of Global Financial Crisis on
the Indonesian Economy: Further Analysis using Export and Investment
Channels. European Journal of Social Sciences Vol. 30 No. 3:438-450.
Supriana, T. 2004. Dampak Guncangan Struktural Terhadap Fluktuasi
Ekonomimakro Indonesia: Suatu Kajian Business Cycle dari Sisi
Permintaan [Disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana IPB.
Unalmis, D., Unalmis I., Unsal DF. 2008. Oil Price Shocks, Macroeconomic
Stability and Welfare in a Small Open Economy. Discussion papers in
Economics The University of York No. 13:1-32.
US Department of Energy. 2012. http:/www.energy.gov.
[US EIA] US Energy Information Administration. 2012. http://www.eia.gov.
_____. 2012. International Energy Outlook 2011. International Energy Agency.
Verbeek, M. 2008. Modern Econometrics. Ed ke-3. Chichester: John Wiley and
Sons Ltd.
Wangke, F. 2012. Dampak Kebijakan Subsidi Bahan Bakar Minyak terhadap
Kinerja Fiskal dan Pendapatan Nasional [Disertasi]. Bogor. Sekolah
Pascasarjana IPB.
107
LAMPIRAN
108
Lampiran 1 Uji unit root dengan ADF-test
ADF Test for series:
lpdb
sample range:
[1990 Q4, 2012 Q2], T = 87
lagged differences:
1
intercept, time trend
asymptotic critical values
reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993),
"Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1,
Oxford University Press, London
1%
5%
10%
-3.96
-3.41
-3.13
value of test statistic: -1.6869
regression results:
--------------------------------------variable
coefficient
t-statistic
--------------------------------------x(-1)
-0.0828
-1.6869
dx(-1)
-0.1438
-1.3227
constant
0.5063
1.7340
trend
0.0008
1.6672
RSS
0.0761
ADF Test for series:
lpdb_d1
sample range:
[1990 Q4, 2012 Q2], T = 87
lagged differences:
1
intercept, time trend
asymptotic critical values
reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993),
"Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1,
Oxford University Press, London
1%
5%
10%
-3.96
-3.41
-3.13
value of test statistic: -6.9732
regression results:
--------------------------------------variable
coefficient
t-statistic
--------------------------------------x(-1)
-1.1741
-6.9732
dx(-1)
-0.0086
-0.0790
constant
0.0137
3.5483
trend
0.0000
0.1422
RSS
0.0787
109
ADF Test for series:
lrer
sample range:
[1990 Q4, 2012 Q2], T = 87
lagged differences:
1
intercept, time trend
asymptotic critical values
reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993),
"Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1,
Oxford University Press, London
1%
5%
10%
-3.96
-3.41
-3.13
value of test statistic: -2.2116
regression results:
--------------------------------------variable
coefficient
t-statistic
--------------------------------------x(-1)
-0.1013
-2.2116
dx(-1)
0.1652
1.5187
constant
0.8827
2.2118
trend
-0.0001
-0.2007
RSS
1.0767
ADF Test for series:
lrer_d1
sample range:
[1990 Q4, 2012 Q2], T = 87
lagged differences:
1
intercept, time trend
asymptotic critical values
reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993),
"Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1,
Oxford University Press, London
1%
5%
10%
-3.96
-3.41
-3.13
value of test statistic: -6.0980
regression results:
--------------------------------------variable
coefficient
t-statistic
--------------------------------------x(-1)
-0.8930
-6.0980
dx(-1)
0.0053
0.0484
constant
0.0005
0.0408
trend
-0.0003
-0.5901
RSS
1.1402
110
ADF Test for series:
lrmb
sample range:
[1990 Q4, 2012 Q2], T = 87
lagged differences:
1
intercept, time trend
asymptotic critical values
reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993),
"Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1,
Oxford University Press, London
1%
5%
10%
-3.96
-3.41
-3.13
value of test statistic: -2.4069
regression results:
--------------------------------------variable
coefficient
t-statistic
--------------------------------------x(-1)
-0.1871
-2.4069
dx(-1)
-0.1575
-1.4276
constant
1.3766
2.4418
trend
0.0027
2.4748
RSS
0.2805
ADF Test for series:
lrmb_d1
sample range:
[1990 Q4, 2012 Q2], T = 87
lagged differences:
1
intercept, time trend
asymptotic critical values
reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993),
"Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1,
Oxford University Press, London
1%
5%
10%
-3.96
-3.41
-3.13
value of test statistic: -6.7632
regression results:
--------------------------------------variable
coefficient
t-statistic
--------------------------------------x(-1)
-1.1710
-6.7632
dx(-1)
-0.0667
-0.6079
constant
0.0185
2.6757
trend
0.0001
0.5132
RSS
0.2988
111
ADF Test for series:
sbi
sample range:
[1991 Q1, 2012 Q2], T = 86
lagged differences:
2
intercept, time trend
asymptotic critical values
reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993),
"Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1,
Oxford University Press, London
1%
5%
10%
-3.96
-3.41
-3.13
value of test statistic: -4.7225
regression results:
--------------------------------------variable
coefficient
t-statistic
--------------------------------------x(-1)
-0.2403
-4.7225
dx(-1)
0.3014
3.1005
dx(-2)
0.3800
3.7062
constant
3.2262
4.1749
trend
-0.0370
-2.4667
RSS
721.3714
ADF Test for series:
sbi_d1
sample range:
[1991 Q1, 2012 Q2], T = 86
lagged differences:
2
intercept, time trend
asymptotic critical values
reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993),
"Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1,
Oxford University Press, London
1%
5%
10%
-3.96
-3.41
-3.13
value of test statistic: -5.3045
regression results:
--------------------------------------variable
coefficient
t-statistic
--------------------------------------x(-1)
-0.7201
-5.3045
dx(-1)
0.0172
0.1310
dx(-2)
0.2977
2.8383
constant
-0.0923
-0.2662
trend
-0.0032
-0.2279
RSS
836.7658
112
ADF Test for series:
tbill
sample range:
[1990 Q4, 2012 Q2], T = 87
lagged differences:
1
intercept, time trend
asymptotic critical values
reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993),
"Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1,
Oxford University Press, London
1%
5%
10%
-3.96
-3.41
-3.13
value of test statistic: -3.1081
regression results:
--------------------------------------variable
coefficient
t-statistic
--------------------------------------x(-1)
-0.0752
-3.1081
dx(-1)
0.6599
8.1210
constant
0.2215
2.5105
trend
-0.0040
-2.0462
RSS
8.7967
ADF Test for series:
tbill_d1
sample range:
[1990 Q4, 2012 Q2], T = 87
lagged differences:
1
intercept, time trend
asymptotic critical values
reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993),
"Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1,
Oxford University Press, London
1%
5%
10%
-3.96
-3.41
-3.13
value of test statistic: -3.5302
regression results:
--------------------------------------variable
coefficient
t-statistic
--------------------------------------x(-1)
-0.3316
-3.5302
dx(-1)
-0.1048
-0.9623
constant
-0.0259
-0.6877
trend
0.0003
0.1729
RSS
9.7122
113
ADF Test for series:
lpoilr
sample range:
[1990 Q3, 2012 Q2], T = 88
lagged differences:
1
intercept, time trend
asymptotic critical values
reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993),
"Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1,
Oxford University Press, London
1%
5%
10%
-3.96
-3.41
-3.13
value of test statistic: -2.8429
regression results:
--------------------------------------variable
coefficient
t-statistic
--------------------------------------x(-1)
-0.1865
-2.8429
dx(-1)
-0.0128
-0.1185
constant
-0.1922
-2.5669
trend
0.0031
2.4348
RSS
2.8716
ADF Test for series:
lpoilr_d1
sample range:
[1990 Q4, 2012 Q2], T = 87
lagged differences:
1
intercept, time trend
asymptotic critical values
reference: Davidson, R. and MacKinnon, J. (1993),
"Estimation and Inference in Econometrics" p 708, table 20.1,
Oxford University Press, London
1%
5%
10%
-3.96
-3.41
-3.13
value of test statistic: -9.7689
regression results:
--------------------------------------variable
coefficient
t-statistic
--------------------------------------x(-1)
-1.3511
-9.7689
dx(-1)
0.2697
2.9024
constant
0.0068
0.3848
trend
0.0010
1.4519
RSS
2.2452
114
Lampiran 2 Pemilihan panjang lag dalam sistem VECM
OPTIMAL ENDOGENOUS LAGS FROM INFORMATION CRITERIA
endogenous variables:
lpdb lrer lrmb sbi tbill lpoilr
deterministic variables:
shift98 shiftnm CONST TREND
sample range:
[1991 Q2, 2012 Q2], T = 85
optimal number of lags (searched up to 4 lags of 1. differences):
Akaike Info Criterion:
4
Final Prediction Error:
3
Hannan-Quinn Criterion:
3
Schwarz Criterion:
0
115
Lampiran 3 Uji kointegrasi dengan Saikkonen Lütkepohl-test
user specified dummies [break dates]
shift(s): [1998 Q1] [2004 Q1]
S&L Test for:
lpdb lrer lrmb sbi tbill lpoilr
included dummy variables: shift98 shiftnm
sample range:
[1990 Q4, 2012 Q2], T = 87
included lags (levels):
3
dimension of the process: 6
trend and intercept included
response surface computed:
----------------------------------------------r0
LR
pval
90%
95%
99%
----------------------------------------------0
115.97
0.0002
86.64
90.95
99.40
1
59.54
0.1624
62.45
66.13
73.42
2
36.00
0.3145
42.25
45.32
51.45
3
21.70
0.2836
26.07
28.52
33.50
4
5.67
0.8086
13.88
15.76
19.71
5
0.11
0.9922
5.47
6.79
9.73
116
Lampiran 4 Model VEC
VEC REPRESENTATION
endogenous variables:
exogenous variables:
deterministic variables:
endogenous lags (diffs):
exogenous lags:
sample range:
estimation procedure:
lpdb lrer lrmb sbi tbill lpoilr
shift98 shiftnm CONST TREND
3
0
[1991 Q1, 2012 Q2], T = 86
One stage. Johansen approach
Lagged endogenous term:
=======================
d(lpdb)
d(lrer)
d(lrmb)
d(sbi)
d(tbill) d(lpoilr)
----------------------------------------------------------------------------d(lpdb) (t-1)|
-0.541
0.035
0.821
-40.792
0.716
-0.870
|
(0.069)
(0.458)
(0.183)
(8.955)
(1.399)
(0.663)
|
{0.000}
{0.940}
{0.000}
{0.000}
{0.609}
{0.190}
| [-7.884]
[0.075]
[4.487] [-4.555]
[0.512] [-1.312]
d(lrer) (t-1)|
-0.053
0.343
0.081
10.307
0.517
-0.195
|
(0.017)
(0.113)
(0.045)
(2.204)
(0.344)
(0.163)
|
{0.002}
{0.002}
{0.072}
{0.000}
{0.133}
{0.233}
| [-3.128]
[3.047]
[1.798]
[4.677]
[1.502] [-1.193]
d(lrmb) (t-1)|
-0.059
-0.820
-0.781
-7.545
-1.922
0.034
|
(0.042)
(0.280)
(0.112)
(5.479)
(0.856)
(0.406)
|
{0.162}
{0.003}
{0.000}
{0.169}
{0.025}
{0.934}
| [-1.398] [-2.927] [-6.981] [-1.377] [-2.245]
[0.083]
d(sbi)
(t-1)|
0.001
-0.007
-0.006
-0.069
-0.017
0.000
|
(0.001)
(0.004)
(0.002)
(0.085)
(0.013)
(0.006)
|
{0.031}
{0.094}
{0.001}
{0.418}
{0.206}
{0.964}
|
[2.151] [-1.677] [-3.255] [-0.810] [-1.266]
[0.046]
d(tbill) (t-1)|
-0.008
0.025
0.011
0.113
0.570
-0.046
|
(0.005)
(0.036)
(0.014)
(0.696)
(0.109)
(0.052)
|
{0.134}
{0.479}
{0.435}
{0.871}
{0.000}
{0.374}
| [-1.499]
[0.708]
[0.780]
[0.163]
[5.244] [-0.889]
d(lpoilr)(t-1)|
-0.005
-0.075
-0.031
2.795
0.096
0.040
|
(0.011)
(0.076)
(0.030)
(1.486)
(0.232)
(0.110)
|
{0.682}
{0.321}
{0.307}
{0.060}
{0.679}
{0.718}
| [-0.410] [-0.992] [-1.022]
[1.880]
[0.414]
[0.362]
d(lpdb) (t-2)|
-0.645
0.601
0.224
-29.532
2.756
0.332
|
(0.080)
(0.537)
(0.214) (10.495)
(1.640)
(0.778)
|
{0.000}
{0.263}
{0.296}
{0.005}
{0.093}
{0.670}
| [-8.026]
[1.120]
[1.044] [-2.814]
[1.681]
[0.427]
d(lrer) (t-2)|
-0.126
0.136
0.031
13.541
-0.119
-0.563
|
(0.017)
(0.115)
(0.046)
(2.254)
(0.352)
(0.167)
|
{0.000}
{0.238}
{0.506}
{0.000}
{0.736}
{0.001}
| [-7.317]
[1.180]
[0.665]
[6.006] [-0.337] [-3.369]
d(lrmb) (t-2)|
-0.088
-0.277
-0.412
-11.423
-1.334
0.265
|
(0.049)
(0.327)
(0.131)
(6.402)
(1.000)
(0.474)
|
{0.071}
{0.398}
{0.002}
{0.074}
{0.182}
{0.577}
| [-1.804] [-0.846] [-3.150] [-1.784] [-1.334]
[0.558]
d(sbi)
(t-2)|
-0.001
-0.009
-0.007
0.347
-0.041
-0.013
|
(0.001)
(0.004)
(0.002)
(0.074)
(0.012)
(0.005)
|
{0.028}
{0.013}
{0.000}
{0.000}
{0.000}
{0.018}
| [-2.200] [-2.483] [-4.375]
[4.704] [-3.581] [-2.375]
d(tbill) (t-2)|
-0.005
0.076
-0.010
0.162
0.176
0.015
|
(0.006)
(0.038)
(0.015)
(0.737)
(0.115)
(0.055)
|
{0.396}
{0.044}
{0.517}
{0.826}
{0.127}
{0.787}
| [-0.849]
[2.010] [-0.648]
[0.219]
[1.524]
[0.270]
d(lpoilr)(t-2)|
-0.006
-0.065
-0.004
1.712
-0.399
-0.396
|
(0.009)
(0.058)
(0.023)
(1.144)
(0.179)
(0.085)
|
{0.500}
{0.267}
{0.880}
{0.134}
{0.025}
{0.000}
| [-0.674] [-1.109] [-0.151]
[1.497] [-2.234] [-4.679]
d(lpdb) (t-3)|
-0.673
-0.584
-0.194
-1.822
0.047
-0.440
|
(0.081)
(0.542)
(0.217) (10.605)
(1.657)
(0.786)
|
{0.000}
{0.281}
{0.370}
{0.864}
{0.978}
{0.575}
| [-8.279] [-1.077] [-0.896] [-0.172]
[0.028] [-0.560]
d(lrer) (t-3)|
-0.107
0.205
0.077
10.075
-0.103
0.024
|
(0.017)
(0.113)
(0.045)
(2.204)
(0.344)
(0.163)
|
{0.000}
{0.070}
{0.087}
{0.000}
{0.765}
{0.881}
| [-6.340]
[1.815]
[1.709]
[4.572] [-0.300]
[0.150]
d(lrmb) (t-3)|
0.055
-0.253
-0.332
-22.824
1.814
0.534
|
(0.043)
(0.287)
(0.115)
(5.610)
(0.877)
(0.416)
117
|
{0.203}
{0.378}
{0.004}
{0.000}
{0.038}
{0.199}
|
[1.274] [-0.882] [-2.901] [-4.069]
[2.070]
[1.286]
d(sbi)
(t-3)|
0.000
0.016
0.001
0.082
0.001
-0.008
|
(0.001)
(0.005)
(0.002)
(0.093)
(0.015)
(0.007)
|
{0.532}
{0.001}
{0.539}
{0.376}
{0.968}
{0.273}
| [-0.625]
[3.266]
[0.614]
[0.885]
[0.040] [-1.095]
d(tbill) (t-3)|
0.006
-0.076
0.036
-0.573
0.050
0.094
|
(0.005)
(0.034)
(0.013)
(0.657)
(0.103)
(0.049)
|
{0.270}
{0.023}
{0.007}
{0.384}
{0.629}
{0.054}
|
[1.102] [-2.268]
[2.674] [-0.871]
[0.483]
[1.924]
d(lpoilr)(t-3)|
-0.024
0.069
-0.038
2.493
0.245
-0.078
|
(0.010)
(0.066)
(0.026)
(1.289)
(0.201)
(0.096)
|
{0.014}
{0.293}
{0.153}
{0.053}
{0.223}
{0.416}
| [-2.452]
[1.051] [-1.430]
[1.934]
[1.218] [-0.814]
-----------------------------------------------------------------------------Deterministic term:
===================
d(lpdb)
d(lrer)
d(lrmb)
d(sbi)
d(tbill) d(lpoilr)
-----------------------------------------------------------------------------shift98(t)|
0.003
-0.085
0.016
-1.657
0.339
-0.030
|
(0.008)
(0.056)
(0.022)
(1.086)
(0.170)
(0.080)
|
{0.736}
{0.124}
{0.457}
{0.127}
{0.046}
{0.705}
|
[0.337] [-1.538]
[0.744] [-1.526]
[1.998] [-0.379]
shiftnm(t)|
-0.005
0.090
0.044
2.260
-0.169
-0.094
|
(0.007)
(0.044)
(0.017)
(0.852)
(0.133)
(0.063)
|
{0.419}
{0.038}
{0.011}
{0.008}
{0.205}
{0.137}
| [-0.808]
[2.076]
[2.548]
[2.652] [-1.266] [-1.488]
CONST (t)|
0.473
1.681
0.505
60.955
-3.172
-0.857
|
(0.065)
(0.432)
(0.173)
(8.447)
(1.320)
(0.626)
|
{0.000}
{0.000}
{0.003}
{0.000}
{0.016}
{0.171}
|
[7.314]
[3.891]
[2.928]
[7.216] [-2.403] [-1.369]
TREND (t)|
0.000
0.000
0.001
0.005
0.003
-0.002
|
(0.000)
(0.001)
(0.001)
(0.025)
(0.004)
(0.002)
|
{0.154}
{0.895}
{0.025}
{0.846}
{0.400}
{0.415}
| [-1.424] [-0.131]
[2.238]
[0.194]
[0.841] [-0.815]
-----------------------------------------------------------------------------Loading coefficients:
=====================
d(lpdb)
d(lrer)
d(lrmb)
d(sbi)
d(tbill)
d(lpoilr)
----------------------------------------------------------------------------ec1(t-1)|
-0.099
-0.389
-0.116
-14.004
0.732
0.207
|
(0.015)
(0.098)
(0.039)
(1.911)
(0.299)
(0.142)
|
{0.000}
{0.000}
{0.003}
{0.000}
{0.014}
{0.145}
| [-6.763] [-3.984] [-2.978] [-7.328]
[2.451]
[1.459]
----------------------------------------------------------------------------Estimated cointegration relation(s):
====================================
ec1(t-1)
----------------------lpdb (t-1)|
1.000
|
(0.000)
|
{0.000}
|
[0.000]
lrer (t-1)|
0.403
|
(0.090)
|
{0.000}
|
[4.483]
lrmb (t-1)|
-0.743
|
(0.204)
|
{0.000}
| [-3.647]
sbi
(t-1)|
0.028
|
(0.002)
|
{0.000}
| [14.378]
tbill (t-1)|
-0.042
|
(0.008)
|
{0.000}
| [-5.619]
lpoilr(t-1)|
0.023
|
(0.054)
|
{0.677}
|
[0.417]
-----------------------
118
Lampiran 5 Representasi VAR dari model VEC
VAR REPRESENTATION
Legend:
=======
Equation 1
Equation 2 ...
-----------------------------------------Variable 1 | Coefficient
...
| (Std. Dev.)
| {p - Value}
| [t - Value]
Variable 2 |
...
...
-----------------------------------------Lagged endogenous term:
=======================
lpdb
lrer
lrmb
sbi
tbill
lpoilr
------------------------------------------------------------------------lpdb (t-1)|
0.360
-0.355
0.704
-54.796
1.448
-0.664
|
(0.070)
(0.468)
(0.187)
(9.157)
(1.431)
(0.678)
|
{0.000}
{0.449}
{0.000}
{0.000}
{0.311}
{0.328}
|
[5.134] [-0.758]
[3.767] [-5.984]
[1.012] [-0.979]
lrer (t-1)|
-0.093
1.186
0.034
4.661
0.813
-0.112
|
(0.018)
(0.119)
(0.048)
(2.335)
(0.365)
(0.173)
|
{0.000}
{0.000}
{0.475}
{0.046}
{0.026}
{0.519}
| [-5.184]
[9.935]
[0.714]
[1.996]
[2.227] [-0.645]
lrmb (t-1)|
0.015
-0.531
0.305
2.864
-2.466
-0.120
|
(0.043)
(0.290)
(0.116)
(5.660)
(0.885)
(0.419)
|
{0.731}
{0.067}
{0.008}
{0.613}
{0.005}
{0.775}
|
[0.344] [-1.834]
[2.640]
[0.506] [-2.788] [-0.286]
sbi
(t-1)|
-0.001
-0.018
-0.009
0.537
0.004
0.006
|
(0.001)
(0.005)
(0.002)
(0.101)
(0.016)
(0.007)
|
{0.072}
{0.000}
{0.000}
{0.000}
{0.810}
{0.413}
| [-1.798] [-3.547] [-4.343]
[5.344]
[0.241]
[0.819]
tbill (t-1)|
-0.004
0.042
0.016
0.704
1.540
-0.055
|
(0.005)
(0.036)
(0.014)
(0.701)
(0.110)
(0.052)
|
{0.477}
{0.246}
{0.264}
{0.315}
{0.000}
{0.293}
| [-0.712]
[1.161]
[1.117]
[1.004] [14.059] [-1.051]
lpoilr(t-1)|
-0.007
-0.084
-0.034
2.477
0.113
1.045
|
(0.011)
(0.076)
(0.030)
(1.487)
(0.232)
(0.110)
|
{0.544}
{0.268}
{0.268}
{0.096}
{0.627}
{0.000}
| [-0.607] [-1.108] [-1.108]
[1.666]
[0.485]
[9.483]
lpdb (t-2)|
-0.104
0.566
-0.597
11.259
2.040
1.202
|
(0.087)
(0.580)
(0.231) (11.333)
(1.771)
(0.840)
|
{0.229}
{0.328}
{0.010}
{0.320}
{0.249}
{0.152}
| [-1.202]
[0.977] [-2.579]
[0.993]
[1.152]
[1.432]
lrer (t-2)|
-0.074
-0.207
-0.050
3.233
-0.636
-0.368
|
(0.024)
(0.158)
(0.063)
(3.090)
(0.483)
(0.229)
|
{0.002}
{0.189}
{0.425}
{0.295}
{0.188}
{0.108}
| [-3.108] [-1.312] [-0.797]
[1.046] [-1.317] [-1.607]
lrmb (t-2)|
-0.030
0.543
0.369
-3.878
0.588
0.231
|
(0.046)
(0.305)
(0.122)
(5.966)
(0.932)
(0.442)
|
{0.514}
{0.075}
{0.002}
{0.516}
{0.528}
{0.601}
| [-0.652]
[1.781]
[3.031] [-0.650]
[0.630]
[0.523]
sbi
(t-2)|
-0.003
-0.002
-0.001
0.416
-0.024
-0.013
|
(0.001)
(0.006)
(0.002)
(0.109)
(0.017)
(0.008)
|
{0.002}
{0.709}
{0.671}
{0.000}
{0.150}
{0.100}
| [-3.169] [-0.374] [-0.425]
[3.818] [-1.439] [-1.645]
tbill (t-2)|
0.003
0.051
-0.021
0.049
-0.395
0.061
|
(0.010)
(0.064)
(0.026)
(1.251)
(0.196)
(0.093)
|
{0.739}
{0.429}
{0.415}
{0.969}
{0.043}
{0.513}
|
[0.333]
[0.791] [-0.816]
[0.039] [-2.019]
[0.654]
lpoilr(t-2)|
-0.001
0.011
0.027
-1.082
-0.495
-0.436
|
(0.014)
(0.093)
(0.037)
(1.828)
(0.286)
(0.135)
|
{0.930}
{0.910}
{0.461}
{0.554}
{0.083}
{0.001}
| [-0.088]
[0.113]
[0.737] [-0.592] [-1.734] [-3.222]
lpdb (t-3)|
-0.027
-1.185
-0.418
27.711
-2.709
-0.772
|
(0.082)
(0.551)
(0.220) (10.769)
(1.683)
(0.798)
|
{0.740}
{0.031}
{0.057}
{0.010}
{0.107}
{0.333}
| [-0.331] [-2.152] [-1.900]
[2.573] [-1.610] [-0.967]
lrer (t-3)|
0.019
0.069
0.046
-3.466
0.016
0.587
|
(0.021)
(0.142)
(0.057)
(2.782)
(0.435)
(0.206)
119
|
{0.364}
{0.630}
{0.415}
{0.213}
{0.972}
{0.004}
|
[0.907]
[0.482]
[0.815] [-1.246]
[0.036]
[2.848]
lrmb (t-3)|
0.143
0.024
0.080
-11.400
3.149
0.270
|
(0.041)
(0.274)
(0.109)
(5.356)
(0.837)
(0.397)
|
{0.000}
{0.931}
{0.467}
{0.033}
{0.000}
{0.497}
|
[3.491]
[0.087]
[0.727] [-2.128]
[3.762]
[0.680]
sbi
(t-3)|
0.001
0.025
0.008
-0.265
0.042
0.005
|
(0.001)
(0.006)
(0.002)
(0.118)
(0.018)
(0.009)
|
{0.379}
{0.000}
{0.001}
{0.025}
{0.023}
{0.536}
|
[0.880]
[4.124]
[3.215] [-2.238]
[2.267]
[0.619]
tbill (t-3)|
0.010
-0.152
0.046
-0.734
-0.126
0.079
|
(0.009)
(0.060)
(0.024)
(1.169)
(0.183)
(0.087)
|
{0.248}
{0.011}
{0.056}
{0.530}
{0.490}
{0.362}
|
[1.156] [-2.544]
[1.913] [-0.628] [-0.690]
[0.912]
lpoilr(t-3)|
-0.018
0.134
-0.034
0.780
0.645
0.319
|
(0.012)
(0.083)
(0.033)
(1.616)
(0.253)
(0.120)
|
{0.139}
{0.105}
{0.301}
{0.629}
{0.011}
{0.008}
| [-1.478]
[1.623] [-1.034]
[0.483]
[2.552]
[2.661]
lpdb (t-4)|
0.673
0.584
0.194
1.822
-0.047
0.440
|
(0.081)
(0.542)
(0.217) (10.605)
(1.657)
(0.786)
|
{0.000}
{0.281}
{0.370}
{0.864}
{0.978}
{0.575}
|
[8.279]
[1.077]
[0.896]
[0.172] [-0.028]
[0.560]
lrer (t-4)|
0.107
-0.205
-0.077
-10.075
0.103
-0.024
|
(0.017)
(0.113)
(0.045)
(2.204)
(0.344)
(0.163)
|
{0.000}
{0.070}
{0.087}
{0.000}
{0.765}
{0.881}
|
[6.340] [-1.815] [-1.709] [-4.572]
[0.300] [-0.150]
lrmb (t-4)|
-0.055
0.253
0.332
22.824
-1.814
-0.534
|
(0.043)
(0.287)
(0.115)
(5.610)
(0.877)
(0.416)
|
{0.203}
{0.378}
{0.004}
{0.000}
{0.038}
{0.199}
| [-1.274]
[0.882]
[2.901]
[4.069] [-2.070] [-1.286]
sbi
(t-4)|
0.000
-0.016
-0.001
-0.082
-0.001
0.008
|
(0.001)
(0.005)
(0.002)
(0.093)
(0.015)
(0.007)
|
{0.532}
{0.001}
{0.539}
{0.376}
{0.968}
{0.273}
|
[0.625] [-3.266] [-0.614] [-0.885] [-0.040]
[1.095]
tbill (t-4)|
-0.006
0.076
-0.036
0.573
-0.050
-0.094
|
(0.005)
(0.034)
(0.013)
(0.657)
(0.103)
(0.049)
|
{0.270}
{0.023}
{0.007}
{0.384}
{0.629}
{0.054}
| [-1.102]
[2.268] [-2.674]
[0.871] [-0.483] [-1.924]
lpoilr(t-4)|
0.024
-0.069
0.038
-2.493
-0.245
0.078
|
(0.010)
(0.066)
(0.026)
(1.289)
(0.201)
(0.096)
|
{0.014}
{0.293}
{0.153}
{0.053}
{0.223}
{0.416}
|
[2.452] [-1.051]
[1.430] [-1.934] [-1.218]
[0.814]
------------------------------------------------------------------------Deterministic term:
===================
lpdb
lrer
lrmb
sbi
tbill
lpoilr
---------------------------------------------------------------------shift98(t)|
0.003
-0.085
0.016
-1.657
0.339
-0.030
|
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.000)
|
{0.000}
{0.000}
{0.000}
{0.000}
{0.000}
{0.000}
|
[0.000]
[0.000]
[0.000]
[0.000]
[0.000]
[0.000]
shiftnm(t)|
-0.005
0.090
0.044
2.260
-0.169
-0.094
|
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.000)
|
{0.000}
{0.000}
{0.000}
{0.000}
{0.000}
{0.000}
|
[0.000]
[0.000]
[0.000]
[0.000]
[0.000]
[0.000]
CONST (t)|
0.473
1.681
0.505
60.955
-3.172
-0.857
|
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.000)
|
{0.000}
{0.000}
{0.000}
{0.000}
{0.000}
{0.000}
|
[0.000]
[0.000]
[0.000]
[0.000]
[0.000]
[0.000]
TREND (t)|
0.000
0.000
0.001
0.005
0.003
-0.002
|
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.000)
|
{0.000}
{0.000}
{0.000}
{0.000}
{0.000}
{0.000}
|
[0.000]
[0.000]
[0.000]
[0.000]
[0.000]
[0.000]
----------------------------------------------------------------------
120
Lampiran 6a Uji Autokorelasi dengan ACF dan PACF Residual (Uji Diagnostik)
Persamaan PDB
Persamaan Kurs Riil
121
Persamaan Permintaan Uang Riil
Persamaan Suku Bunga Domestik
122
Persamaan Suku Bunga Amerika Serikat
Persamaan Harga Minyak Dunia
123
Lampiran 6b Uji Kenormalan Residual (Uji Diagnostik VECM (3))
TESTS FOR NONNORMALITY
Reference: Lütkepohl (1993), Introduction to Multiple Time Series
Analysis, 2ed, p. 153
joint test statistic:
p-value:
12.0673
0.4403
degrees of freedom:
12.0000
skewness only:
6.6038
p-value:
0.3590
kurtosis only:
5.4635
p-value:
0.4859
JARQUE-BERA TEST
variable
teststat
p-Value(Chi^2)
skewness
kurtosis
u1
0.3128
0.8552
0.0887
2.7637
u2
33.7888
0.0000
0.9633
5.3912
u3
2.6565
0.2649
-0.2101
3.7515
u4
1.7797
0.4107
0.1772
3.6092
u5
6.4966
0.0388
-0.3189
4.1859
u6
7.1778
0.0276
-0.1814
4.3680
124
Lampiran 6c Plot Standardized Residual (Uji Diagnostik VECM (3))
125
Lampiran 7 Estimasi Koefisien Contemporaneous SVECM
This is a B-model with long run restrictions
Long run restrictions provide(s) 0 independent restriction(s).
Contemporaneous
restrictions
provide(s)
20
additional
restriction(s).
Structural VAR Estimation Results
ML Estimation, Scoring Algorithm (see Amisano & Giannini (1992))
Convergence after 16 iterations
Log Likelihood: 890.2266
Structural
VAR
is
over-identified
with
5.0000
freedom
LR Test: Chi^2(
5.0000 ):
6.1449 , Prob:
0.2924
Estimated B matrix
0.0131
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0009
-0.0383
0.0787
0.0000
0.0000
-0.0073
0.0000
-0.0032
0.0098
0.0296
-0.0157
0.0000
0.0000
-0.5213
-0.1538
0.0000
1.5889
0.3775
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.2586
0.0713
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.1271
Bootstrap standard errors:
0.0022
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0012
0.0129
0.0144
0.0000
0.0000
0.0086
0.0000
0.0037
0.0048
0.0056
0.0047
0.0000
0.0000
0.2076
0.2323
0.0000
0.3047
0.1709
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0458
0.0301
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0224
Bootstrap t-values:
6.0084
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.7089
-2.9774
5.4519
0.0000
0.0000
-0.8572
0.0000
-0.8593
2.0352
5.2622
-3.3390
0.0000
0.0000
-2.5111
-0.6622
0.0000
5.2138
2.2087
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
5.6405
2.3641
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
5.6783
degrees
of
126
Lampiran 8a Impulse Response Function atas guncangan harga minyak dunia
SVEC Impulse Responses
Selected Confidence Interval (CI):
a) 95% Hall Percentile CI (B=1000 h=30)
Selected
point estimate
CI a)
Impulse Responses: "impulse variable -> response variable"
lpoilr_1
lpoilr_1
lpoilr_1
lpoilr_1
->lpdb_2
->lrer_1
->lrmb_1
->sbi
0.0009
0.0000
0.0000
0.0000
[ -0.0015, 0.0034] [ 0.0000, 0.0000] [ 0.0000, 0.0000] [ 0.0000, 0.0000] [
lpoilr_1
->tbill_2
0.0713
0.0275, 0.1356] [
lpoilr_1
->lpoilr_1
0.1271
0.1236, 0.1701]
1 point estimate
CI a)
-0.0008
-0.0080
-0.0025
0.3177
[ -0.0038, 0.0019] [ -0.0268, 0.0099] [ -0.0099, 0.0043] [ -0.0191, 0.7447] [
0.1253
0.0462, 0.2481] [
0.1283
0.1205, 0.1889]
2 point estimate
CI a)
-0.0014
-0.0139
-0.0053
[ -0.0051, 0.0017] [ -0.0426, 0.0111] [ -0.0138, 0.0010] [
0.4537
0.1322, 1.0014] [
0.1177
0.0059, 0.2825] [
0.0808
0.0646, 0.1332]
3 point estimate
CI a)
-0.0024
-0.0113
-0.0088
[ -0.0082, 0.0024] [ -0.0428, 0.0211] [ -0.0193, -0.0014] [
0.5691
0.1435
0.1209, 1.3358] [ -0.0007, 0.3551] [
0.0781
0.0575, 0.1311]
4 point estimate
CI a)
0.0005
-0.0102
-0.0053
0.4034
[ -0.0062, 0.0065] [ -0.0392, 0.0185] [ -0.0152, 0.0015] [ -0.1959, 1.2229] [
0.1859
0.0329, 0.4329] [
0.1005
0.0847, 0.1512]
5 point estimate
CI a)
-0.0003
-0.0134
-0.0030
0.3073
[ -0.0067, 0.0051] [ -0.0367, 0.0103] [ -0.0133, 0.0059] [ -0.2526, 1.1555] [
0.2015
0.0454, 0.4695] [
0.0958
0.0814, 0.1441]
6 point estimate
CI a)
-0.0021
-0.0086
-0.0022
0.2762
[ -0.0082, 0.0029] [ -0.0283, 0.0106] [ -0.0117, 0.0062] [ -0.2158, 1.0328] [
0.2065
0.0531, 0.4834] [
0.0916
0.0740, 0.1389]
7 point estimate
CI a)
-0.0025
-0.0118
-0.0051
0.2807
[ -0.0088, 0.0024] [ -0.0297, 0.0055] [ -0.0143, 0.0022] [ -0.1718, 0.9359] [
0.2247
0.0655, 0.5133] [
0.1009
0.0844, 0.1511]
8 point estimate
CI a)
-0.0001
-0.0131
-0.0038
0.3329
[ -0.0058, 0.0048] [ -0.0310, 0.0015] [ -0.0117, 0.0018] [ -0.0580, 0.9194] [
0.2389
0.0701, 0.5439] [
0.1039
0.0915, 0.1566]
9 point estimate
CI a)
0.0003
-0.0129
-0.0015
0.2685
[ -0.0052, 0.0051] [ -0.0313, 0.0012] [ -0.0084, 0.0038] [ -0.0879, 0.8668] [
0.2469
0.0709, 0.5636] [
0.1011
0.0845, 0.1533]
10 point estimate
CI a)
-0.0011
-0.0112
-0.0014
0.2661
[ -0.0058, 0.0030] [ -0.0288, 0.0023] [ -0.0079, 0.0038] [ -0.1055, 0.8365] [
0.2476
0.0554, 0.5776] [
0.0992
0.0819, 0.1508]
time
127
11 point estimate
CI a)
-0.0018
-0.0096
-0.0028
0.3049
[ -0.0063, 0.0022] [ -0.0281, 0.0045] [ -0.0095, 0.0020] [ -0.0666, 0.8198] [
0.2506
0.0465, 0.5891] [
0.1018
0.0836, 0.1543]
12 point estimate
CI a)
-0.0004
-0.0100
-0.0028
[ -0.0048, 0.0038] [ -0.0296, 0.0060] [ -0.0090, 0.0021] [
0.4001
0.0388, 0.8984] [
0.2533
0.0530, 0.5993] [
0.1033
0.0878, 0.1570]
13 point estimate
CI a)
0.0000
-0.0103
-0.0017
[ -0.0045, 0.0043] [ -0.0308, 0.0065] [ -0.0077, 0.0034] [
0.4164
0.0208, 0.9372] [
0.2520
0.0495, 0.5954] [
0.1002
0.0854, 0.1530]
14 point estimate
CI a)
-0.0011
-0.0098
-0.0019
[ -0.0053, 0.0031] [ -0.0302, 0.0084] [ -0.0075, 0.0034] [
0.4190
0.0124, 0.9752] [
0.2468
0.0487, 0.5795] [
0.0983
0.0828, 0.1503]
15 point estimate
CI a)
-0.0017
-0.0092
-0.0032
[ -0.0064, 0.0026] [ -0.0296, 0.0093] [ -0.0095, 0.0022] [
0.4394
0.0282, 1.0508] [
0.2442
0.0394, 0.5706] [
0.0997
0.0859, 0.1503]
16 point estimate
CI a)
-0.0008
-0.0100
-0.0035
[ -0.0057, 0.0034] [ -0.0309, 0.0093] [ -0.0103, 0.0014] [
0.4698
0.0760, 1.0946] [
0.2440
0.0390, 0.5643] [
0.1009
0.0882, 0.1518]
17 point estimate
CI a)
-0.0004
-0.0108
-0.0027
[ -0.0051, 0.0042] [ -0.0319, 0.0077] [ -0.0097, 0.0027] [
0.4493
0.0362, 1.0605] [
0.2433
0.0427, 0.5579] [
0.0992
0.0860, 0.1495]
18 point estimate
CI a)
-0.0011
-0.0106
-0.0025
[ -0.0058, 0.0036] [ -0.0312, 0.0064] [ -0.0094, 0.0031] [
0.4096
0.0362, 1.0027] [
0.2416
0.0460, 0.5544] [
0.0982
0.0840, 0.1484]
19 point estimate
CI a)
-0.0016
-0.0103
-0.0033
[ -0.0066, 0.0030] [ -0.0308, 0.0059] [ -0.0098, 0.0018] [
0.3957
0.0376, 0.9356] [
0.2421
0.0392, 0.5557] [
0.0997
0.0854, 0.1493]
20 point estimate
CI a)
-0.0009
-0.0107
-0.0033
[ -0.0059, 0.0037] [ -0.0312, 0.0050] [ -0.0099, 0.0016] [
0.4022
0.0804, 0.9361] [
0.2446
0.0336, 0.5630] [
0.1011
0.0878, 0.1519]
21 point estimate
CI a)
-0.0005
-0.0112
-0.0026
[ -0.0053, 0.0042] [ -0.0319, 0.0040] [ -0.0095, 0.0022] [
0.3888
0.0685, 0.9120] [
0.2464
0.0365, 0.5668] [
0.1003
0.0860, 0.1511]
22 point estimate
CI a)
-0.0009
-0.0109
-0.0023
[ -0.0056, 0.0036] [ -0.0311, 0.0042] [ -0.0087, 0.0023] [
0.3678
0.0465, 0.8695] [
0.2466
0.0358, 0.5694] [
0.0996
0.0834, 0.1509]
23 point estimate
CI a)
-0.0013
-0.0104
-0.0028
[ -0.0061, 0.0030] [ -0.0303, 0.0056] [ -0.0088, 0.0018] [
0.3700
0.0384, 0.8622] [
0.2471
0.0317, 0.5697] [
0.1004
0.0839, 0.1507]
24 point estimate
CI a)
-0.0009
-0.0104
-0.0029
[ -0.0056, 0.0035] [ -0.0306, 0.0066] [ -0.0091, 0.0017] [
0.3910
0.0526, 0.9001] [
0.2484
0.0324, 0.5663] [
0.1013
0.0854, 0.1528]
128
25 point estimate
CI a)
-0.0006
-0.0107
-0.0025
[ -0.0051, 0.0041] [ -0.0310, 0.0063] [ -0.0088, 0.0023] [
0.3982
0.0712, 0.9071] [
0.2488
0.0305, 0.5730] [
0.1006
0.0849, 0.1522]
26 point estimate
CI a)
-0.0009
-0.0105
-0.0023
[ -0.0053, 0.0037] [ -0.0308, 0.0059] [ -0.0083, 0.0022] [
0.3937
0.0514, 0.8922] [
0.2477
0.0294, 0.5718] [
0.0997
0.0831, 0.1505]
27 point estimate
CI a)
-0.0012
-0.0101
-0.0027
[ -0.0058, 0.0033] [ -0.0303, 0.0066] [ -0.0089, 0.0020] [
0.3989
0.0572, 0.9131] [
0.2468
0.0274, 0.5707] [
0.1000
0.0843, 0.1501]
28 point estimate
CI a)
-0.0010
-0.0102
-0.0030
[ -0.0056, 0.0035] [ -0.0304, 0.0068] [ -0.0091, 0.0018] [
0.4135
0.0824, 0.9329] [
0.2468
0.0296, 0.5731] [
0.1006
0.0864, 0.1512]
29 point estimate
CI a)
-0.0007
-0.0105
-0.0027
[ -0.0052, 0.0039] [ -0.0303, 0.0061] [ -0.0093, 0.0020] [
0.4159
0.0915, 0.9314] [
0.2467
0.0321, 0.5715] [
0.1002
0.0860, 0.1505]
30 point estimate
CI a)
-0.0009
-0.0105
-0.0026
[ -0.0054, 0.0037] [ -0.0305, 0.0057] [ -0.0089, 0.0020] [
0.4061
0.0751, 0.9179] [
0.2458
0.0346, 0.5682] [
0.0996
0.0847, 0.1496]
129
Lampiran 8b Impulse Response Function atas guncangan suku bunga Amerika Serikat
SVEC Impulse Responses
Selected Confidence Interval (CI):
a) 95% Hall Percentile CI (B=1000 h=30)
Selected
time
point estimate
CI a)
Impulse
tbill_2
->lpdb_2
Responses: "impulse variable -> response variable"
tbill_2
->lrer_1
tbill_2
->sbi
tbill_2
->tbill_2
tbill_2
->lpoilr_1
0.0000
0.0000, 0.0000] [
0.3775
0.1170, 0.7517] [
0.2586
0.2542, 0.3412] [
1 point estimate
CI a)
-0.0008
-0.0048
0.0005
[ -0.0038, 0.0018] [ -0.0319, 0.0209] [ -0.0065, 0.0086] [
0.3506
0.0385, 0.8271] [
0.3936
-0.0110
0.3805, 0.5485] [ -0.0358, 0.0151]
2 point estimate
CI a)
-0.0014
0.0190
-0.0024
[ -0.0067, 0.0031] [ -0.0120, 0.0564] [ -0.0117, 0.0060] [
0.6083
0.1803, 1.2974] [
0.4930
-0.0164
0.4624, 0.7238] [ -0.0513, 0.0187]
3 point estimate
CI a)
-0.0013
0.0246
0.0084
[ -0.0085, 0.0048] [ -0.0044, 0.0693] [ -0.0008, 0.0193] [
0.6762
0.1660, 1.6136] [
0.6052
0.0018
0.5718, 0.9086] [ -0.0348, 0.0385]
4 point estimate
CI a)
-0.0046
0.0188
0.0058
[ -0.0137, 0.0013] [ -0.0100, 0.0662] [ -0.0050, 0.0173] [
1.1423
0.5969, 2.3505] [
0.6620
-0.0039
0.6223, 1.0273] [ -0.0436, 0.0357]
5 point estimate
CI a)
-0.0066
0.0227
0.0037
[ -0.0170, -0.0008] [ -0.0022, 0.0710] [ -0.0079, 0.0153] [
1.4361
0.9436, 2.7287] [
0.6784
-0.0018
0.6333, 1.0778] [ -0.0430, 0.0344]
6 point estimate
CI a)
-0.0041
0.0097
-0.0021
[ -0.0151, 0.0020] [ -0.0153, 0.0541] [ -0.0159, 0.0086] [
1.4054
1.0473, 2.7261] [
0.7135
0.0140
0.6571, 1.1515] [ -0.0266, 0.0550]
7 point estimate
CI a)
-0.0025
0.0078
0.0045
[ -0.0136, 0.0041] [ -0.0175, 0.0470] [ -0.0075, 0.0150] [
1.3516
0.9996, 2.6234] [
0.7341
0.0097
0.6586, 1.2032] [ -0.0269, 0.0549]
8 point estimate
CI a)
-0.0033
0.0105
0.0053
[ -0.0136, 0.0027] [ -0.0144, 0.0458] [ -0.0063, 0.0151] [
1.0946
0.6918, 2.2777] [
0.7515
0.0090
0.6558, 1.2615] [ -0.0310, 0.0562]
9 point estimate
CI a)
-0.0054
0.0111
0.0051
[ -0.0152, -0.0000] [ -0.0120, 0.0420] [ -0.0051, 0.0143] [
1.0586
0.7323, 2.1798] [
0.7625
0.0113
0.6592, 1.2990] [ -0.0272, 0.0576]
10 point estimate
[
0.0000
-0.0073
0.0000, 0.0000] [ -0.0255, 0.0086] [
tbill_2
->lrmb_1
-0.0037
0.0120
0.0039
1.0208
0.7862
0.0000
0.0000, 0.0000]
0.0190
130
CI a)
[ -0.0125,
0.0016] [ -0.0099,
0.0406] [ -0.0061,
0.0116] [
0.6453,
2.0648] [
0.6752,
1.3430] [ -0.0195,
0.0696]
11 point estimate
CI a)
-0.0025
0.0113
0.0074
[ -0.0110, 0.0033] [ -0.0117, 0.0410] [ -0.0009, 0.0165] [
1.1203
0.7525, 2.0858] [
0.7995
0.0184
0.6763, 1.3820] [ -0.0197, 0.0712]
12 point estimate
CI a)
-0.0026
0.0131
[ -0.0101, 0.0025] [ -0.0099, 0.0444] [
0.0075
0.0008, 0.0162] [
1.0939
0.7358, 1.9702] [
0.8048
0.0154
0.6610, 1.3939] [ -0.0228, 0.0696]
13 point estimate
CI a)
-0.0047
0.0139
[ -0.0122, 0.0000] [ -0.0102, 0.0466] [
0.0071
0.0012, 0.0161] [
1.1777
0.8591, 2.0051] [
0.8025
0.0151
0.6509, 1.3926] [ -0.0228, 0.0681]
14 point estimate
CI a)
-0.0036
0.0153
0.0051
[ -0.0109, 0.0012] [ -0.0092, 0.0495] [ -0.0015, 0.0139] [
1.2545
0.8933, 2.1176] [
0.8056
0.0182
0.6450, 1.3925] [ -0.0210, 0.0710]
15 point estimate
CI a)
-0.0029
0.0140
0.0067
[ -0.0104, 0.0030] [ -0.0119, 0.0497] [ -0.0002, 0.0163] [
1.3456
1.0091, 2.3033] [
0.8025
0.0160
0.6319, 1.3726] [ -0.0229, 0.0675]
16 point estimate
CI a)
-0.0029
0.0145
[ -0.0102, 0.0030] [ -0.0123, 0.0510] [
0.0063
0.0003, 0.0160] [
1.3207
0.9790, 2.3154] [
0.7978
0.0130
0.6234, 1.3626] [ -0.0241, 0.0623]
17 point estimate
CI a)
-0.0047
0.0146
0.0062
[ -0.0125, 0.0008] [ -0.0116, 0.0499] [ -0.0006, 0.0160] [
1.3356
1.0598, 2.3692] [
0.7914
0.0123
0.6191, 1.3443] [ -0.0258, 0.0608]
18 point estimate
CI a)
-0.0039
0.0148
0.0043
[ -0.0122, 0.0018] [ -0.0112, 0.0495] [ -0.0030, 0.0141] [
1.3388
1.0543, 2.3772] [
0.7917
0.0151
0.6152, 1.3343] [ -0.0238, 0.0642]
19 point estimate
CI a)
-0.0035
0.0132
0.0056
[ -0.0117, 0.0028] [ -0.0128, 0.0478] [ -0.0019, 0.0154] [
1.3490
1.0789, 2.3849] [
0.7910
0.0143
0.6142, 1.3296] [ -0.0245, 0.0642]
20 point estimate
CI a)
-0.0032
0.0131
0.0056
[ -0.0114, 0.0033] [ -0.0129, 0.0476] [ -0.0017, 0.0147] [
1.2837
0.9960, 2.2590] [
0.7916
0.0133
0.6055, 1.3323] [ -0.0248, 0.0627]
21 point estimate
CI a)
-0.0044
0.0132
0.0060
[ -0.0132, 0.0014] [ -0.0122, 0.0473] [ -0.0012, 0.0150] [
1.2606
1.0201, 2.1915] [
0.7908
0.0132
0.6053, 1.3333] [ -0.0262, 0.0606]
22 point estimate
CI a)
-0.0038
0.0136
0.0048
[ -0.0124, 0.0017] [ -0.0110, 0.0466] [ -0.0025, 0.0129] [
1.2451
0.9966, 2.1411] [
0.7946
0.0159
0.6064, 1.3401] [ -0.0227, 0.0664]
23 point estimate
CI a)
-0.0035
0.0127
0.0059
[ -0.0123, 0.0025] [ -0.0120, 0.0457] [ -0.0018, 0.0142] [
1.2590
0.9795, 2.1331] [
0.7968
0.0156
0.6015, 1.3505] [ -0.0248, 0.0657]
24 point estimate
CI a)
-0.0031
0.0131
0.0060
[ -0.0112, 0.0028] [ -0.0118, 0.0466] [ -0.0011, 0.0143] [
1.2293
0.9676, 2.0828] [
0.7989
0.0150
0.5981, 1.3552] [ -0.0246, 0.0647]
131
25 point estimate
CI a)
-0.0041
0.0134
0.0064
[ -0.0124, 0.0015] [ -0.0118, 0.0466] [ -0.0009, 0.0150] [
1.2358
0.9648, 2.0635] [
0.7981
0.0145
0.5937, 1.3573] [ -0.0245, 0.0634]
26 point estimate
CI a)
-0.0037
0.0140
0.0054
[ -0.0119, 0.0017] [ -0.0114, 0.0476] [ -0.0018, 0.0133] [
1.2461
0.9917, 2.0783] [
0.7997
0.0161
0.5938, 1.3581] [ -0.0227, 0.0649]
27 point estimate
CI a)
-0.0036
0.0135
0.0061
[ -0.0119, 0.0021] [ -0.0117, 0.0465] [ -0.0012, 0.0144] [
1.2786
1.0072, 2.1269] [
0.7995
0.0156
0.6020, 1.3591] [ -0.0231, 0.0658]
28 point estimate
CI a)
-0.0032
0.0137
0.0060
[ -0.0110, 0.0026] [ -0.0121, 0.0466] [ -0.0007, 0.0143] [
1.2701
0.9992, 2.1334] [
0.7993
0.0149
0.6071, 1.3586] [ -0.0227, 0.0638]
29 point estimate
CI a)
-0.0040
0.0138
0.0063
[ -0.0120, 0.0019] [ -0.0114, 0.0470] [ -0.0008, 0.0152] [
1.2789
0.9664, 2.1425] [
0.7970
0.0141
0.6083, 1.3533] [ -0.0239, 0.0635]
30 point estimate
CI a)
-0.0037
0.0141
0.0054
[ -0.0118, 0.0020] [ -0.0111, 0.0479] [ -0.0017, 0.0141] [
1.2809
0.9616, 2.1435] [
0.7970
0.0152
0.6123, 1.3529] [ -0.0222, 0.0650]
132
Lampiran 8c Impulse Response Function atas guncangan output
SVEC Impulse Responses
Selected Confidence Interval (CI):
a) 95% Hall Percentile CI (B=1000 h=30)
Selected
time
Impulse
lpdb_2
->lpdb_2
Responses: "impulse variable -> response variable"
lpdb_2
->lrer_1
lpdb_2
->lrmb_1
lpdb_2
->sbi
point estimate
CI a)
[
0.0131
-0.0383
-0.0032
-0.5213
0.0132, 0.0170] [ -0.0663, -0.0191] [ -0.0113, 0.0037] [ -0.9875, -0.2020]
1 point estimate
CI a)
[
0.0089
-0.0389
0.0070, 0.0133] [ -0.0725, -0.0138] [
0.0116
-1.1848
0.0063, 0.0200] [ -1.7063, -0.9736]
2 point estimate
CI a)
[
0.0116
-0.0188
0.0071, 0.0194] [ -0.0528, 0.0117] [
0.0126
-1.4779
0.0057, 0.0219] [ -2.2862, -1.0859]
3 point estimate
CI a)
[
0.0108
-0.0175
0.0052, 0.0190] [ -0.0500, 0.0113] [
0.0144
-1.3229
0.0068, 0.0249] [ -2.2640, -0.7060]
4 point estimate
CI a)
[
0.0156
-0.0090
0.0121, 0.0244] [ -0.0385, 0.0145] [
0.0142
-0.9914
0.0049, 0.0266] [ -1.8478, -0.4904]
5 point estimate
CI a)
[
0.0115
-0.0023
0.0078, 0.0193] [ -0.0286, 0.0183] [
0.0180
-0.5262
0.0114, 0.0311] [ -1.2022, -0.0918]
6 point estimate
CI a)
[
0.0116
0.0032
0.0072, 0.0201] [ -0.0198, 0.0222] [
0.0102
-0.1166
0.0037, 0.0213] [ -0.7371, 0.2354]
7 point estimate
CI a)
[
0.0090
0.0013
0.0039, 0.0170] [ -0.0217, 0.0211] [
0.0084
0.2588
0.0015, 0.0182] [ -0.3513, 0.6585]
8 point estimate
CI a)
[
0.0117
0.0000
0.0042
0.3712
0.0084, 0.0194] [ -0.0210, 0.0199] [ -0.0026, 0.0125] [ -0.2385, 0.8339]
9 point estimate
CI a)
[
0.0088
-0.0044
0.0057, 0.0153] [ -0.0247, 0.0143] [
0.0058
0.3444
0.0004, 0.0146] [ -0.2487, 0.8561]
133
10 point estimate
CI a)
[
0.0092
-0.0059
0.0012
0.1197
0.0058, 0.0156] [ -0.0253, 0.0133] [ -0.0047, 0.0088] [ -0.4146, 0.6212]
11 point estimate
CI a)
[
0.0077
-0.0103
0.0026
-0.0441
0.0036, 0.0137] [ -0.0311, 0.0095] [ -0.0028, 0.0102] [ -0.5499, 0.4481]
12 point estimate
CI a)
[
0.0107
-0.0121
0.0017
-0.3000
0.0079, 0.0169] [ -0.0336, 0.0068] [ -0.0044, 0.0074] [ -0.7700, 0.1682]
13 point estimate
CI a)
[
0.0094
-0.0145
0.0065, 0.0153] [ -0.0370, 0.0026] [
14 point estimate
CI a)
[
0.0103
-0.0128
0.0047
-0.6549
0.0072, 0.0166] [ -0.0355, 0.0067] [ -0.0016, 0.0114] [ -1.1916, -0.2392]
15 point estimate
CI a)
[
0.0093
-0.0127
0.0061, 0.0158] [ -0.0368, 0.0060] [
16 point estimate
CI a)
[
0.0116
-0.0108
0.0064
-0.6347
0.0087, 0.0185] [ -0.0349, 0.0077] [ -0.0002, 0.0130] [ -1.2385, -0.2157]
17 point estimate
CI a)
[
0.0105
-0.0105
0.0078, 0.0172] [ -0.0343, 0.0080] [
0.0092
-0.5383
0.0037, 0.0170] [ -1.1366, -0.1582]
18 point estimate
CI a)
[
0.0110
-0.0078
0.0081, 0.0180] [ -0.0311, 0.0117] [
0.0072
-0.4864
0.0014, 0.0152] [ -1.0768, -0.1480]
19 point estimate
CI a)
[
0.0097
-0.0075
0.0060, 0.0165] [ -0.0301, 0.0125] [
0.0078
-0.3432
0.0022, 0.0156] [ -0.9403, -0.0210]
20 point estimate
CI a)
[
0.0111
-0.0067
0.0079, 0.0182] [ -0.0288, 0.0129] [
0.0059
-0.2850
0.0000, 0.0134] [ -0.8730, 0.0123]
21 point estimate
CI a)
[
0.0100
-0.0078
0.0071, 0.0167] [ -0.0287, 0.0123] [
0.0073
-0.2195
0.0021, 0.0150] [ -0.7608, 0.0954]
22 point estimate
CI a)
[
0.0104
-0.0072
0.0073, 0.0171] [ -0.0276, 0.0123] [
0.0053
-0.2476
0.0000, 0.0124] [ -0.7795, 0.0392]
23 point estimate
CI a)
[
0.0093
-0.0084
0.0058, 0.0156] [ -0.0286, 0.0106] [
0.0059
-0.2307
0.0007, 0.0131] [ -0.7282, 0.0642]
0.0060
-0.4753
0.0006, 0.0132] [ -0.9567, -0.0621]
0.0071
-0.6408
0.0013, 0.0140] [ -1.2209, -0.2306]
134
24 point estimate
CI a)
[
0.0105
-0.0086
0.0046
-0.2840
0.0073, 0.0170] [ -0.0287, 0.0093] [ -0.0005, 0.0109] [ -0.7424, 0.0307]
25 point estimate
CI a)
[
0.0098
-0.0100
0.0071, 0.0161] [ -0.0303, 0.0068] [
0.0062
-0.3094
0.0012, 0.0130] [ -0.7369, -0.0345]
26 point estimate
CI a)
[
0.0103
-0.0095
0.0073, 0.0166] [ -0.0301, 0.0084] [
0.0052
-0.3830
0.0005, 0.0117] [ -0.7846, -0.1046]
27 point estimate
CI a)
[
0.0096
-0.0101
0.0064, 0.0159] [ -0.0308, 0.0080] [
0.0063
-0.3874
0.0012, 0.0126] [ -0.7861, -0.1161]
28 point estimate
CI a)
[
0.0106
-0.0096
0.0075, 0.0171] [ -0.0307, 0.0090] [
0.0055
-0.4181
0.0002, 0.0115] [ -0.8155, -0.1144]
29 point estimate
CI a)
[
0.0101
-0.0100
0.0074, 0.0165] [ -0.0313, 0.0081] [
0.0069
-0.4026
0.0019, 0.0135] [ -0.8032, -0.1159]
30 point estimate
CI a)
[
0.0106
-0.0091
0.0075, 0.0170] [ -0.0304, 0.0086] [
0.0061
-0.4185
0.0011, 0.0129] [ -0.8387, -0.1381]
135
Lampiran 8d Impulse Response Function atas guncangan kurs riil
SVEC Impulse Responses
Selected Confidence Interval (CI):
a) 95% Hall Percentile CI (B=1000 h=30)
Selected
time
point estimate
CI a)
Impulse
Responses: "impulse variable -> response variable"
lrer_1
-> lpdb_2
[
0.0000
0.0000, 0.0000] [
lrer_1
-> lrer_1
0.0787
0.0783, 0.1042] [
lrer_1
-> lrmb_1
lrer_1
-> sbi
0.0098
-0.1538
0.0028, 0.0201] [ -0.6107, 0.2649]
1 point estimate
CI a)
-0.0069
[ -0.0108, -0.0056] [
0.0910
0.0070
0.3123
0.0855, 0.1317] [ -0.0005, 0.0178] [ -0.0122, 0.7345]
2 point estimate
CI a)
-0.0170
[ -0.0243, -0.0157] [
0.0928
-0.0016
0.0797, 0.1433] [ -0.0125, 0.0097] [
1.1453
0.7668, 1.8668]
3 point estimate
CI a)
-0.0204
[ -0.0313, -0.0183] [
0.0865
-0.0131
0.0749, 0.1408] [ -0.0249, -0.0038] [
1.9051
1.5281, 2.9526]
4 point estimate
CI a)
-0.0145
[ -0.0248, -0.0114] [
0.0631
-0.0190
0.0469, 0.1154] [ -0.0346, -0.0088] [
1.8772
1.4734, 3.0641]
5 point estimate
CI a)
-0.0142
[ -0.0249, -0.0105] [
0.0436
-0.0132
0.0272, 0.0907] [ -0.0279, -0.0028] [
1.1292
0.6056, 2.2661]
6 point estimate
CI a)
-0.0174
[ -0.0293, -0.0148] [
0.0419
-0.0105
0.2703
0.0239, 0.0857] [ -0.0259, -0.0009] [ -0.2480, 1.2485]
7 point estimate
CI a)
-0.0173
[ -0.0296, -0.0146] [
0.0403
-0.0096
-0.3211
0.0251, 0.0854] [ -0.0243, -0.0007] [ -0.9152, 0.5443]
8 point estimate
CI a)
-0.0118
[ -0.0224, -0.0078] [
0.0375
-0.0051
-0.6815
0.0213, 0.0778] [ -0.0186, 0.0038] [ -1.3515, 0.0950]
9 point estimate
CI a)
-0.0102
[ -0.0203, -0.0061] [
0.0403
0.0040
-0.8613
0.0238, 0.0792] [ -0.0071, 0.0147] [ -1.6646, -0.1104]
136
10 point estimate
CI a)
-0.0121
[ -0.0218, -0.0084] [
0.0481
0.0060
-0.8145
0.0318, 0.0868] [ -0.0039, 0.0165] [ -1.6736, -0.1734]
11 point estimate
CI a)
-0.0132
[ -0.0227, -0.0103] [
0.0544
0.0045
-0.4645
0.0397, 0.0915] [ -0.0044, 0.0135] [ -1.2507, 0.1727]
12 point estimate
CI a)
-0.0105
[ -0.0188, -0.0071] [
0.0576
0.0037
-0.0385
0.0430, 0.0935] [ -0.0049, 0.0128] [ -0.7012, 0.6288]
13 point estimate
CI a)
-0.0102
[ -0.0182, -0.0070] [
0.0593
0.0055
0.3026
0.0447, 0.0971] [ -0.0022, 0.0156] [ -0.2967, 0.9979]
14 point estimate
CI a)
-0.0125
[ -0.0207, -0.0096] [
0.0621
0.0031
0.5059
0.0491, 0.1019] [ -0.0050, 0.0135] [ -0.0758, 1.2467]
15 point estimate
CI a)
-0.0145
[ -0.0236, -0.0118] [
0.0625
-0.0006
0.0519, 0.1046] [ -0.0092, 0.0091] [
0.6912
0.1798, 1.5090]
16 point estimate
CI a)
-0.0131
[ -0.0219, -0.0103] [
0.0601
-0.0029
0.0497, 0.1024] [ -0.0122, 0.0074] [
0.7705
0.3168, 1.6446]
17 point estimate
CI a)
-0.0127
[ -0.0215, -0.0100] [
0.0565
-0.0018
0.0465, 0.0981] [ -0.0110, 0.0078] [
0.7017
0.2579, 1.6008]
18 point estimate
CI a)
-0.0138
[ -0.0231, -0.0113] [
0.0551
-0.0023
0.0444, 0.0952] [ -0.0122, 0.0072] [
0.5139
0.0397, 1.4259]
19 point estimate
CI a)
-0.0149
[ -0.0249, -0.0124] [
0.0539
-0.0031
0.3706
0.0428, 0.0937] [ -0.0132, 0.0053] [ -0.0915, 1.2509]
20 point estimate
CI a)
-0.0134
[ -0.0231, -0.0109] [
0.0524
-0.0031
0.2556
0.0418, 0.0915] [ -0.0136, 0.0052] [ -0.1708, 1.1757]
21 point estimate
CI a)
-0.0125
[ -0.0220, -0.0096] [
0.0510
-0.0007
0.1508
0.0398, 0.0895] [ -0.0105, 0.0080] [ -0.3099, 1.0268]
22 point estimate
CI a)
-0.0128
[ -0.0222, -0.0097] [
0.0519
0.0003
0.0539
0.0401, 0.0900] [ -0.0090, 0.0096] [ -0.4380, 0.8201]
23 point estimate
CI a)
-0.0136
[ -0.0231, -0.0105] [
0.0533
0.0003
0.0575
0.0417, 0.0908] [ -0.0084, 0.0092] [ -0.4153, 0.7833]
24 point estimate
-0.0126
0.0542
-0.0000
0.1170
137
CI a)
[ -0.0216, -0.0091] [
0.0416,
0.0914] [ -0.0088,
0.0089] [ -0.3732,
0.7826]
25 point estimate
CI a)
-0.0121
[ -0.0208, -0.0088] [
0.0544
0.0012
0.1862
0.0422, 0.0904] [ -0.0070, 0.0099] [ -0.2749, 0.8486]
26 point estimate
CI a)
-0.0125
[ -0.0211, -0.0091] [
0.0555
0.0011
0.2264
0.0439, 0.0916] [ -0.0072, 0.0099] [ -0.2277, 0.8415]
27 point estimate
CI a)
-0.0134
[ -0.0222, -0.0103] [
0.0564
0.0004
0.2913
0.0455, 0.0928] [ -0.0077, 0.0087] [ -0.1581, 0.9093]
28 point estimate
CI a)
-0.0130
[ -0.0216, -0.0101] [
0.0565
-0.0006
0.3488
0.0459, 0.0925] [ -0.0093, 0.0079] [ -0.0543, 0.9741]
29 point estimate
CI a)
-0.0127
[ -0.0212, -0.0098] [
0.0557
-0.0002
0.3763
0.0454, 0.0922] [ -0.0087, 0.0077] [ -0.0271, 1.0177]
30 point estimate
CI a)
-0.0129
[ -0.0215, -0.0100] [
0.0555
-0.0004
0.3525
0.0453, 0.0920] [ -0.0090, 0.0077] [ -0.0954, 1.0138]
138
Lampiran 8e Impulse response Function atas guncangan permintaan uang
SVEC Impulse Responses
Selected Confidence Interval (CI):
a) 95% Hall Percentile CI (B=1000 h=30)
Selected
time
point estimate
CI a)
Impulse
Responses: "impulse variable -> response variable"
lrmb_1
->lpdb_2
[
0.0000
0.0000, 0.0000] [
lrmb_1
->lrer_1
0.0000
0.0000, 0.0000] [
lrmb_1
->lrmb_1
0.0296
0.0303, 0.0390] [
lrmb_1
->sbi
0.0000
0.0000, 0.0000]
1 point estimate
CI a)
0.0004
-0.0157
[ -0.0017, 0.0027] [ -0.0329, -0.0034] [
0.0090
0.0847
0.0052, 0.0173] [ -0.1839, 0.4093]
2 point estimate
CI a)
0.0011
-0.0118
[ -0.0016, 0.0041] [ -0.0356, 0.0083] [
0.0117
-0.2008
0.0075, 0.0210] [ -0.6002, 0.1603]
3 point estimate
CI a)
[
0.0070
-0.0177
0.0043, 0.0122] [ -0.0437, 0.0044] [
0.0109
-0.6409
0.0056, 0.0195] [ -1.2022, -0.3135]
4 point estimate
CI a)
[
0.0047
-0.0017
0.0009, 0.0105] [ -0.0238, 0.0179] [
0.0254
-0.2865
0.0226, 0.0384] [ -0.8891, 0.1522]
5 point estimate
CI a)
0.0030
0.0064
[ -0.0012, 0.0089] [ -0.0132, 0.0246] [
0.0146
-0.3520
0.0090, 0.0258] [ -0.9567, 0.1099]
6 point estimate
CI a)
-0.0003
0.0022
[ -0.0041, 0.0042] [ -0.0142, 0.0167] [
0.0142
0.1236
0.0097, 0.0251] [ -0.3571, 0.5801]
7 point estimate
CI a)
[
0.0048
0.0054
0.0020, 0.0106] [ -0.0101, 0.0191] [
0.0107
0.2311
0.0066, 0.0192] [ -0.2315, 0.6322]
8 point estimate
CI a)
0.0028
0.0003
[ -0.0004, 0.0078] [ -0.0129, 0.0130] [
0.0158
0.0135, 0.0259] [
0.4475
0.0470, 0.8694]
139
9 point estimate
CI a)
0.0020
0.0018
[ -0.0014, 0.0068] [ -0.0103, 0.0156] [
0.0092
0.2153
0.0057, 0.0174] [ -0.2343, 0.5864]
10 point estimate
CI a)
-0.0012
-0.0017
[ -0.0046, 0.0023] [ -0.0143, 0.0107] [
0.0103
0.2625
0.0069, 0.0182] [ -0.1089, 0.6579]
11 point estimate
CI a)
[
0.0036
-0.0016
0.0010, 0.0080] [ -0.0135, 0.0120] [
0.0073
0.1139
0.0037, 0.0143] [ -0.2263, 0.4578]
12 point estimate
CI a)
0.0023
-0.0063
[ -0.0006, 0.0060] [ -0.0189, 0.0062] [
0.0132
0.0354
0.0109, 0.0213] [ -0.2526, 0.4048]
13 point estimate
CI a)
0.0024
-0.0038
[ -0.0005, 0.0064] [ -0.0172, 0.0104] [
0.0103
-0.2027
0.0072, 0.0174] [ -0.5457, 0.1462]
14 point estimate
CI a)
-0.0001
-0.0044
[ -0.0033, 0.0029] [ -0.0188, 0.0091] [
0.0124
-0.1662
0.0093, 0.0198] [ -0.4985, 0.1995]
15 point estimate
CI a)
[
0.0038
-0.0033
0.0011, 0.0080] [ -0.0176, 0.0106] [
0.0099
-0.2028
0.0066, 0.0165] [ -0.5594, 0.1846]
16 point estimate
CI a)
0.0027
-0.0052
[ -0.0000, 0.0069] [ -0.0203, 0.0078] [
0.0148
-0.1481
0.0121, 0.0226] [ -0.5146, 0.2394]
17 point estimate
CI a)
[
0.0031
-0.0020
0.0002, 0.0075] [ -0.0171, 0.0112] [
0.0124
-0.2084
0.0094, 0.0198] [ -0.6371, 0.1479]
18 point estimate
CI a)
0.0008
-0.0018
[ -0.0026, 0.0044] [ -0.0163, 0.0110] [
0.0136
-0.0841
0.0107, 0.0213] [ -0.4856, 0.2521]
19 point estimate
CI a)
[
0.0034
-0.0007
0.0009, 0.0078] [ -0.0144, 0.0120] [
0.0107
-0.0499
0.0078, 0.0178] [ -0.4173, 0.2384]
20 point estimate
CI a)
0.0024
-0.0025
[ -0.0002, 0.0067] [ -0.0164, 0.0095] [
0.0140
0.0302
0.0116, 0.0219] [ -0.3135, 0.3013]
21 point estimate
CI a)
0.0029
-0.0008
[ -0.0000, 0.0073] [ -0.0138, 0.0120] [
0.0116
-0.0239
0.0095, 0.0188] [ -0.3744, 0.2251]
22 point estimate
CI a)
0.0008
-0.0016
[ -0.0021, 0.0046] [ -0.0142, 0.0111] [
0.0125
0.0334
0.0101, 0.0198] [ -0.2817, 0.3079]
23 point estimate
0.0029
-0.0013
0.0100
0.0070
140
CI a)
[
0.0001,
0.0071] [ -0.0134,
0.0118] [
0.0076,
0.0169] [ -0.2871,
0.2869]
24 point estimate
CI a)
0.0021
-0.0032
[ -0.0005, 0.0061] [ -0.0157, 0.0096] [
0.0128
0.0242
0.0104, 0.0198] [ -0.2522, 0.3159]
25 point estimate
CI a)
0.0028
-0.0022
[ -0.0003, 0.0069] [ -0.0141, 0.0110] [
0.0112
-0.0598
0.0092, 0.0180] [ -0.3555, 0.2419]
26 point estimate
CI a)
0.0012
-0.0028
[ -0.0019, 0.0046] [ -0.0150, 0.0101] [
0.0124
-0.0437
0.0099, 0.0193] [ -0.3290, 0.2198]
27 point estimate
CI a)
0.0028
-0.0022
[ -0.0001, 0.0067] [ -0.0146, 0.0107] [
0.0106
-0.0758
0.0083, 0.0174] [ -0.3615, 0.2148]
28 point estimate
CI a)
0.0022
-0.0035
[ -0.0003, 0.0060] [ -0.0163, 0.0084] [
0.0129
-0.0517
0.0106, 0.0197] [ -0.3446, 0.2533]
29 point estimate
CI a)
0.0029
-0.0024
[ -0.0001, 0.0069] [ -0.0150, 0.0103] [
0.0117
-0.0997
0.0097, 0.0187] [ -0.4080, 0.1923]
30 point estimate
CI a)
0.0015
-0.0026
[ -0.0013, 0.0051] [ -0.0158, 0.0094] [
0.0127
-0.0657
0.0106, 0.0195] [ -0.3766, 0.2207]
141
Lampiran 8f Impulse Response Function atas guncangan kebijakan moneter domestik
SVEC Impulse Responses
Selected Confidence Interval (CI):
a) 95% Hall Percentile CI (B=1000 h=30)
Selected
time
point estimate
CI a)
Impulse
Responses: "impulse variable -> response variable"
sbi
-> lpdb_2
sbi
-> lrmb_1
sbi
-> sbi
0.0000
-0.0157
0.0000, 0.0000] [ -0.0260, -0.0102] [
1.5889
1.6039, 2.1155]
1 point estimate
CI a)
-0.0024
-0.0207
-0.0190
[ -0.0051, -0.0004] [ -0.0392, -0.0091] [ -0.0297, -0.0164] [
0.8088
0.6820, 1.3094]
2 point estimate
CI a)
-0.0043
-0.0393
-0.0224
[ -0.0079, -0.0022] [ -0.0673, -0.0252] [ -0.0346, -0.0192] [
1.1990
1.0418, 1.8562]
3 point estimate
CI a)
-0.0007
-0.0200
-0.0158
[ -0.0051, 0.0035] [ -0.0466, -0.0023] [ -0.0268, -0.0120] [
0.7255
0.3717, 1.3463]
4 point estimate
CI a)
0.0005
-0.0447
-0.0180
0.2565
[ -0.0044, 0.0053] [ -0.0734, -0.0272] [ -0.0314, -0.0117] [ -0.1670, 0.8779]
5 point estimate
CI a)
-0.0012
-0.0369
-0.0117
-0.1326
[ -0.0065, 0.0035] [ -0.0621, -0.0216] [ -0.0230, -0.0054] [ -0.6937, 0.4034]
6 point estimate
CI a)
-0.0013
-0.0340
-0.0111
-0.2622
[ -0.0065, 0.0026] [ -0.0563, -0.0217] [ -0.0215, -0.0043] [ -0.7281, 0.2656]
7 point estimate
CI a)
0.0016
-0.0340
-0.0103
-0.1542
[ -0.0030, 0.0064] [ -0.0547, -0.0216] [ -0.0196, -0.0049] [ -0.5588, 0.2835]
8 point estimate
CI a)
0.0021
-0.0325
-0.0072
-0.1475
[ -0.0019, 0.0063] [ -0.0540, -0.0229] [ -0.0159, -0.0016] [ -0.5495, 0.2970]
9 point estimate
CI a)
0.0007
-0.0280
-0.0067
0.0409
[ -0.0032, 0.0045] [ -0.0480, -0.0198] [ -0.0137, -0.0025] [ -0.3417, 0.5021]
[
0.0000
0.0000, 0.0000] [
sbi
-> lrer_1
142
10 point estimate
CI a)
0.0001
-0.0242
-0.0085
0.2470
[ -0.0037, 0.0034] [ -0.0422, -0.0158] [ -0.0157, -0.0045] [ -0.1222, 0.7203]
11 point estimate
CI a)
0.0010
-0.0251
-0.0100
[ -0.0021, 0.0046] [ -0.0430, -0.0168] [ -0.0171, -0.0071] [
0.4649
0.1276, 0.9285]
12 point estimate
CI a)
0.0010
-0.0248
-0.0096
[ -0.0020, 0.0045] [ -0.0429, -0.0161] [ -0.0167, -0.0053] [
0.5627
0.2253, 1.0206]
13 point estimate
CI a)
-0.0001
-0.0250
-0.0106
[ -0.0033, 0.0032] [ -0.0438, -0.0150] [ -0.0180, -0.0068] [
0.5946
0.2624, 1.0675]
14 point estimate
CI a)
-0.0009
-0.0255
-0.0124
[ -0.0042, 0.0022] [ -0.0440, -0.0149] [ -0.0203, -0.0084] [
0.5942
0.2769, 1.0968]
15 point estimate
CI a)
-0.0002
-0.0274
-0.0129
[ -0.0033, 0.0032] [ -0.0470, -0.0156] [ -0.0208, -0.0092] [
0.5559
0.1953, 1.1142]
16 point estimate
CI a)
0.0002
-0.0290
-0.0121
[ -0.0033, 0.0039] [ -0.0487, -0.0180] [ -0.0205, -0.0077] [
0.4710
0.1016, 1.0446]
17 point estimate
CI a)
-0.0002
-0.0295
-0.0117
[ -0.0038, 0.0032] [ -0.0489, -0.0179] [ -0.0199, -0.0076] [
0.3636
0.0126, 0.9070]
18 point estimate
CI a)
-0.0006
-0.0296
-0.0119
0.2961
[ -0.0043, 0.0030] [ -0.0486, -0.0196] [ -0.0203, -0.0072] [ -0.0375, 0.8302]
19 point estimate
CI a)
0.0001
-0.0298
-0.0116
0.2667
[ -0.0036, 0.0038] [ -0.0487, -0.0194] [ -0.0195, -0.0082] [ -0.0224, 0.7681]
20 point estimate
CI a)
0.0006
-0.0299
-0.0106
0.2500
[ -0.0031, 0.0043] [ -0.0487, -0.0202] [ -0.0185, -0.0066] [ -0.0239, 0.7131]
21 point estimate
CI a)
0.0003
-0.0291
-0.0101
0.2441
[ -0.0032, 0.0041] [ -0.0489, -0.0192] [ -0.0175, -0.0063] [ -0.0455, 0.6756]
22 point estimate
CI a)
-0.0000
-0.0283
-0.0104
[ -0.0036, 0.0034] [ -0.0467, -0.0189] [ -0.0179, -0.0066] [
0.2728
0.0064, 0.6774]
23 point estimate
CI a)
0.0003
-0.0279
-0.0106
[ -0.0030, 0.0039] [ -0.0462, -0.0186] [ -0.0178, -0.0075] [
0.3225
0.0366, 0.7292]
-0.0278
0.3604
24 point estimate
0.0005
-0.0104
143
CI a)
[ -0.0027,
0.0041] [ -0.0462, -0.0194] [ -0.0177, -0.0069] [
0.0823,
0.7578]
25 point estimate
CI a)
0.0003
-0.0276
-0.0104
[ -0.0029, 0.0037] [ -0.0460, -0.0191] [ -0.0175, -0.0072] [
0.3782
0.0904, 0.7564]
26 point estimate
CI a)
-0.0001
-0.0274
-0.0109
[ -0.0034, 0.0032] [ -0.0457, -0.0188] [ -0.0183, -0.0075] [
0.3948
0.1122, 0.7734]
27 point estimate
CI a)
0.0000
-0.0276
-0.0113
[ -0.0031, 0.0034] [ -0.0456, -0.0186] [ -0.0185, -0.0082] [
0.4080
0.1376, 0.7895]
28 point estimate
CI a)
0.0002
-0.0281
-0.0111
[ -0.0029, 0.0036] [ -0.0463, -0.0191] [ -0.0186, -0.0078] [
0.4036
0.1398, 0.8011]
29 point estimate
CI a)
0.0001
-0.0283
-0.0111
[ -0.0032, 0.0036] [ -0.0463, -0.0191] [ -0.0185, -0.0078] [
0.3821
0.1190, 0.7842]
30 point estimate
CI a)
-0.0001
-0.0283
-0.0112
[ -0.0036, 0.0032] [ -0.0461, -0.0191] [ -0.0186, -0.0074] [
0.3642
0.0989, 0.7742]
144
Lampiran 9a FEVD PDB
Proportions of forecast error in "lpdb_2" accounted for by:
forecast horizon
lpdb_2
lrer_1
lrmb_1
1
1.00
0.00
0.00
2
0.82
0.16
0.00
3
0.51
0.45
0.00
4
0.37
0.56
0.04
5
0.41
0.52
0.04
6
0.39
0.52
0.04
7
0.38
0.55
0.03
8
0.35
0.57
0.03
9
0.36
0.56
0.03
10
0.36
0.55
0.03
11
0.36
0.56
0.03
12
0.35
0.56
0.03
13
0.36
0.56
0.03
14
0.36
0.56
0.03
15
0.36
0.56
0.03
16
0.36
0.56
0.03
17
0.36
0.56
0.03
18
0.36
0.56
0.03
19
0.36
0.56
0.03
20
0.36
0.56
0.03
21
0.36
0.56
0.03
22
0.36
0.56
0.03
23
0.36
0.56
0.03
24
0.36
0.57
0.03
25
0.36
0.57
0.03
26
0.36
0.57
0.03
27
0.36
0.57
0.03
28
0.36
0.57
0.03
29
0.36
0.57
0.03
30
0.36
0.57
0.03
sbi
0.00
0.02
0.03
0.02
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
tbill_2
0.00
0.00
0.00
0.00
0.01
0.03
0.03
0.03
0.03
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
lpoilr_1
0.00
0.00
0.00
0.01
0.01
0.00
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
145
Lampiran 9b FEVD kurs riil
Proportions of forecast error in "lrer_1" accounted for by:
forecast horizon
lpdb_2
lrer_1
lrmb_1
1
0.19
0.80
0.00
2
0.16
0.79
0.01
3
0.11
0.78
0.01
4
0.09
0.79
0.02
5
0.08
0.76
0.02
6
0.08
0.74
0.02
7
0.07
0.73
0.01
8
0.07
0.72
0.01
9
0.06
0.71
0.01
10
0.06
0.70
0.01
11
0.06
0.71
0.01
12
0.06
0.71
0.01
13
0.06
0.71
0.01
14
0.06
0.71
0.01
15
0.05
0.72
0.01
16
0.05
0.72
0.01
17
0.05
0.72
0.01
18
0.05
0.72
0.01
19
0.05
0.72
0.01
20
0.05
0.72
0.01
21
0.05
0.72
0.01
22
0.04
0.72
0.01
23
0.04
0.72
0.01
24
0.04
0.72
0.01
25
0.04
0.72
0.01
26
0.04
0.72
0.01
27
0.04
0.72
0.01
28
0.04
0.72
0.01
29
0.04
0.72
0.01
30
0.04
0.72
0.01
sbi
0.00
0.02
0.07
0.06
0.10
0.12
0.13
0.15
0.16
0.16
0.16
0.16
0.16
0.16
0.16
0.16
0.16
0.16
0.16
0.16
0.17
0.17
0.17
0.17
0.17
0.17
0.17
0.17
0.17
0.17
tbill_2
0.01
0.00
0.01
0.03
0.03
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
lpoilr_1
0.00
0.00
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
146
Lampiran 9c FEVD permintaan uang riil
Proportions of forecast error in "lrmb_1" accounted for by:
forecast horizon
lpdb_2
lrer_1
lrmb_1
1
0.01
0.08
0.71
2
0.08
0.08
0.51
3
0.11
0.06
0.41
4
0.14
0.09
0.34
5
0.14
0.13
0.36
6
0.17
0.14
0.34
7
0.17
0.15
0.34
8
0.17
0.15
0.34
9
0.17
0.15
0.36
10
0.17
0.14
0.36
11
0.16
0.14
0.36
12
0.16
0.14
0.36
13
0.15
0.14
0.36
14
0.15
0.14
0.36
15
0.15
0.13
0.36
16
0.15
0.13
0.36
17
0.14
0.12
0.36
18
0.14
0.12
0.36
19
0.14
0.11
0.37
20
0.14
0.11
0.36
21
0.14
0.11
0.37
22
0.14
0.10
0.37
23
0.14
0.10
0.37
24
0.14
0.10
0.37
25
0.14
0.10
0.38
26
0.14
0.09
0.38
27
0.14
0.09
0.38
28
0.14
0.09
0.38
29
0.14
0.09
0.38
30
0.14
0.09
0.38
sbi
0.20
0.33
0.41
0.38
0.32
0.30
0.29
0.29
0.28
0.28
0.28
0.29
0.29
0.29
0.29
0.30
0.30
0.30
0.30
0.30
0.30
0.30
0.30
0.31
0.31
0.31
0.31
0.31
0.31
0.31
tbill_2
0.00
0.00
0.00
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.03
0.03
0.03
0.04
0.04
0.04
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
lpoilr_1
0.00
0.00
0.01
0.03
0.03
0.02
0.02
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
147
Lampiran 9d FEVD suku bunga domestik
Proportions of forecast error in "sbi" accounted for by:
forecast horizon
lpdb_2
lrer_1
lrmb_1
1
0.09
0.01
0.00
2
0.31
0.02
0.00
3
0.35
0.13
0.00
4
0.31
0.28
0.03
5
0.27
0.36
0.02
6
0.25
0.35
0.02
7
0.23
0.33
0.02
8
0.21
0.31
0.02
9
0.21
0.30
0.03
10
0.20
0.31
0.03
11
0.19
0.31
0.03
12
0.18
0.30
0.03
13
0.17
0.29
0.03
14
0.17
0.28
0.02
15
0.17
0.26
0.02
16
0.17
0.26
0.02
17
0.16
0.25
0.02
18
0.16
0.25
0.02
19
0.16
0.24
0.02
20
0.15
0.24
0.02
21
0.15
0.23
0.02
22
0.15
0.22
0.02
23
0.14
0.22
0.02
24
0.14
0.21
0.02
25
0.14
0.21
0.02
26
0.14
0.20
0.02
27
0.13
0.20
0.02
28
0.13
0.19
0.02
29
0.13
0.19
0.02
30
0.13
0.18
0.02
sbi
0.85
0.59
0.42
0.29
0.22
0.19
0.18
0.16
0.15
0.15
0.14
0.14
0.14
0.14
0.14
0.14
0.13
0.13
0.13
0.12
0.12
0.12
0.11
0.11
0.11
0.11
0.11
0.11
0.11
0.11
tbill_2
0.05
0.05
0.06
0.06
0.10
0.16
0.21
0.26
0.27
0.29
0.30
0.32
0.33
0.35
0.36
0.37
0.38
0.40
0.41
0.42
0.44
0.45
0.46
0.47
0.48
0.49
0.49
0.50
0.51
0.51
lpoilr_1
0.00
0.02
0.03
0.04
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
148
Lampiran 9e FEVD suku bunga Amerika Serikat
Proportions of forecast error in "tbill_2" accounted for by:
forecast horizon
lpdb_2
lrer_1
lrmb_1
1
0.00
0.00
0.00
2
0.00
0.01
0.02
3
0.00
0.01
0.04
4
0.00
0.02
0.03
5
0.00
0.02
0.03
6
0.00
0.03
0.04
7
0.01
0.04
0.04
8
0.01
0.05
0.04
9
0.02
0.07
0.04
10
0.03
0.09
0.04
11
0.03
0.11
0.05
12
0.03
0.13
0.05
13
0.04
0.14
0.05
14
0.04
0.15
0.05
15
0.04
0.15
0.05
16
0.04
0.15
0.05
17
0.04
0.15
0.05
18
0.04
0.15
0.05
19
0.04
0.15
0.05
20
0.04
0.15
0.05
21
0.04
0.15
0.05
22
0.04
0.16
0.05
23
0.04
0.16
0.05
24
0.04
0.16
0.05
25
0.04
0.16
0.05
26
0.04
0.16
0.05
27
0.04
0.16
0.05
28
0.04
0.16
0.05
29
0.04
0.16
0.05
30
0.04
0.16
0.05
sbi
0.00
0.01
0.01
0.01
0.01
0.02
0.02
0.03
0.03
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
0.03
tbill_2
0.93
0.88
0.87
0.88
0.87
0.85
0.83
0.80
0.77
0.74
0.71
0.69
0.68
0.67
0.67
0.67
0.67
0.67
0.67
0.67
0.67
0.67
0.66
0.66
0.66
0.66
0.66
0.66
0.66
0.66
lpoilr_1
0.07
0.08
0.07
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
0.06
149
Lampiran 9f FEVD harga minyak dunia
Proportions of forecast error in "lpoilr_1" accounted for by:
forecast horizon
lpdb_2
lrer_1
lrmb_1
sbi
1
0.00
0.00
0.00
0.00
2
0.00
0.00
0.00
0.00
3
0.01
0.05
0.00
0.00
4
0.01
0.06
0.01
0.00
5
0.01
0.05
0.01
0.01
6
0.01
0.05
0.01
0.01
7
0.01
0.04
0.01
0.02
8
0.01
0.04
0.01
0.03
9
0.02
0.04
0.01
0.03
10
0.02
0.05
0.01
0.03
11
0.03
0.05
0.01
0.03
12
0.03
0.05
0.01
0.04
13
0.03
0.06
0.01
0.03
14
0.03
0.06
0.01
0.03
15
0.03
0.06
0.01
0.03
16
0.03
0.05
0.01
0.03
17
0.03
0.05
0.01
0.03
18
0.03
0.05
0.01
0.03
19
0.03
0.05
0.01
0.03
20
0.03
0.05
0.01
0.03
21
0.03
0.05
0.01
0.03
22
0.03
0.05
0.01
0.03
23
0.03
0.05
0.01
0.03
24
0.03
0.05
0.01
0.03
25
0.03
0.05
0.01
0.03
26
0.03
0.05
0.01
0.03
27
0.03
0.05
0.01
0.03
28
0.03
0.05
0.01
0.03
29
0.03
0.05
0.01
0.03
30
0.03
0.05
0.01
0.03
tbill_2
0.00
0.00
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
lpoilr_1
1.00
0.99
0.93
0.91
0.91
0.92
0.91
0.90
0.89
0.88
0.86
0.86
0.85
0.85
0.85
0.86
0.86
0.86
0.86
0.86
0.86
0.86
0.86
0.86
0.86
0.86
0.86
0.86
0.86
0.86
Download