perubahan sosial dalam novel orang-orang blanti

advertisement
PERUBAHAN SOSIAL DALAM NOVEL ORANG-ORANG BLANTI
KARYA WISRAN HADI
ARTIKEL ILMIAH
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan (STRATA 1)
BUDI SAPUTRA
NIM 09080126
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) PGRI SUMATERA BARAT
PADANG
2014
PERUBAHAN SOSIAL DALAM NOVEL ORANG-ORANG BLANTI
KARYA WISRAN HADI
Budi Saputra1, Dr. Yasnur Asri, M.Pd.2, Titiek Fujita Yusandra, S.S., M.Pd.3
1) Mahasiswa STKIP PGRI Sumatera Barat
2) 3) Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP PGRI Sumatera Barat
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya ditemukan perubahan sosial dalam novel Orang-orang
Blanti karya Wisran Hadi. Tujuan penelitian ini adalah untuk; (1) mendeskripsikan bentuk perubahan sosial
yang terefleksi dalam novel Orang-orang Blanti karya Wisran Hadi, (2) mendeskripsikan penyebab perubahan
sosial yang terefleksi dalam novel Orang-orang Blanti karya Wisran Hadi. Jenis penelitian ini adalah penelitian
kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis. Berdasarkan hasil penelitian dapat
diketahui bahwa: Pertama, dalam novel Orang-orang Blanti terdapat empat bentuk perubahan sosial, yaitu
perubahan pengelolaan harta pusaka, pergeseran posisi bundo kanduang, perubahan peran penghulu, dan
perubahan sistem perkawinan. Kedua, dalam novel Orang-orang Blanti terdapat dua penyebab terjadinya
perubahan sosial. Dua penyebab yang sangat berpengaruh besar dalam perubahan tersebut yaitu faktor ekonomi
dan kekuasaan, serta kekacauan dalam negeri.
Kata kunci: Perubahan Sosial, Novel Orang-orang Blanti
PERUBAHAN SOSIAL DALAM NOVEL ORANG-ORANG BLANTI
KARYA WISRAN HADI
Budi Saputra1, Dr. Yasnur Asri, M.Pd.2, Titiek Fujita Yusandra, S.S., M.Pd.3
1) Mahasiswa STKIP PGRI Sumatera Barat
2) 3) Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP PGRI Sumatera Barat
ABSTRACT
This research background by the number of found social alteration in novel
Orang-orang Blanti written by Wisran Hadi. This porpuse of this research is: (1) to
describe social alteration form that reflexive in novel Orang-orang Blanti written by
Wisran Hadi, (2) to describe cause of social alteration that reflexive in novel Orangorang Blanti written by Wisran Hadi. This research is a qualitative research resulting
descriptive data on written words. Based on the result of this research can know that:
First, in novel Orang-orang Blanti there are four social alteration forms, among of
inheritance management, displacemen position of bundo kanduang, role change of
penghulu, and system change of marriage. Second, in novel Orang-orang Blanti there are
two causes the happering social alteration. Two causes that very big influential in that
change are economic factor and dominance, as well as disorder in state.
Key words: Social Alteration, Novel Orang-orang Blanti
PENDAHULUAN
Karya sastra tidak tercipta dengan sendirinya. Karya sastra tercipta dari hasil interpretasi
pengarang atas fenomena sosial yang dihadapinya. Seorang pengarang mencermati, menghayati,
mengolah, dan memberi muatan imaji pada hasil interpretasi tersebut. Sebagai interpretasi
pengarang atas fenomena sosial
di sekitarnya, tidak sedikit pula karya sastra memberikan
kekayaan batin bagi pembaca. Karya sastra selain memberikan hiburan, juga sarat dengan nilai,
baik nilai keindahan maupun nilai-nilai ajaran hidup. Orang dapat mengetahui nilai-nilai hidup,
susunan adat istiadat, suatu keyakinan, dan pandangan hidup orang lain atau masyarakat melalui
karya sastra.
Prosa fiksi, khususnya novel, tidak dapat dilepaskan dari realita fenomena sosial yang ada
dalam kehidupan. Peristiwa-peristiwa yang ditampilkan pengarang dalam cerita rekaan (novel)
memberikan kejutan dan pengalaman tersendiri bagi pembaca. Artinya, ketika pembaca membaca
cerita yang ditulis pengarang, maka pembaca akan masuk ke dunia imajinasi pengarang tersebut.
Pembaca seolah dapat merasakan, menghayati, dan menemukan permasalahan kehidupan yang
ditawarkan pengarang.
Sebuah karya sastra menurut Junus (1986: 11), dianggap sebagai dokumen yang
mencatat unsur-unsur sosio-budaya. Setiap unsur di dalamnya mewakili secara langsung sosiobudaya tertentu. Dalam hal ini, karya sastra dianggap menggambarkan atau memuat kondisi
tertentu pada saat karya itu diciptakan. Mencakup dalam pengertian ini yaitu karya sastra yang
berlatar budaya Minangkabau dan ditulis oleh pengarang yang berasal dari Minangkabau akan
mencerminkan kenyataan sosial dan kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat tersebut.
Kenyataan sosial dan kebudayaan dapat berupa perubahan sosial yang terjadi tergantung
sistem nilai sosial yang ada dalam masyarakat. Itu semua disajikan pengarang melalui tokohtokohnya. Salah satu novel yang dominan mengangkat permasalahan sosial masyarakat
Minangkabau ke dalam karyanya, yaitu novel Orang-orang Blanti karya Wisran Hadi. Novel ini
diterbitkan oleh Yayasan Citra Budaya Indonesia pada tahun 2000. Dalam penelitian ini, penulis
mengambil judul “Perubahan Sosial dalam Novel Orang-orang Blanti Karya Wisran Hadi”.
Masalah ini dianggap penting untuk dibahas karena berhubungan dengan kehidupan masyarakat
yang menitikberatkan kepada nilai-nilai sosial yang tercermin pada kehidupan nyata.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini difokuskan pada perubahan
sosial dalam novel Orang-orang Blanti karya Wisran Hadi. Tujuan penelitian ini adalah (1)
mendeskripsikan bentuk perubahan sosial yang terefleksi dalam novel Orang-orang Blanti karya
Wisran Hadi, (2) mendeskripsikan penyebab perubahan sosial yang terefleksi dalam novel Orangorang Blanti karya Wisran Hadi.
Perubahan sosial adakalanya hanya terjadi pada sebagian ruang lingkup, tanpa
menimbulkan akibat besar terhadap unsur lain dari sistem tersebut. Namun, perubahan mungkin
juga mencakup keseluruhan aspek sistem, dan menghasilkan perubahan secara menyeluruh dan
menciptakan sistem yang secara mendasar berbeda dari sistem yang lama (Martono, 2011: 4).
Menurut Soemardjan (dalam Martono, 2011:4), perubahan sosial meliputi segala perubahanperubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi
sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompokkelompok dalam masyarakat. Mac Iver (dalam Soekanto: 1982:263) juga mendefenisikan, bahwa
perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial (social relationships)
atau perubahan terhadap keseimbangan (equlibrium) hubungan sosial.
Menurut Soekanto (dalam Martono, 2011: 16), perubahan sosial bukanlah sebuah proses
yang terjadi dengan sendirinya. Pada umumnya, ada beberapa faktor yang berkontribusi dalam
memunculkan perubahan sosial. Faktor tersebut dapat digolongkan pada faktor dari dalam dan
faktor dari luar masyarakat. Nanang (2011; 16) menjelaskan, faktor yang berasal dari dalam
terdiri dari dua faktor. Pertama, bertambah dan berkurangnya penduduk. Pertambahan jumlah
penduduk akan menyebabkan perubahan jumlah dan persebaran wilayah pemukiman.
Berkurangnya jumlah penduduk juga akan menyebabkan perubahan sosial budaya. Kedua,
penemuan-penemuan baru. Penemuan baru yang berupa teknologi dapat mengubah cara individu
berinteraksi dengan orang lain. Perkembangan teknologi juga dapat mengurangi jumlah kebutuhan
tenaga kerja karena tenaga manusia telah digantikan oleh mesin. Ketiga, pertentangan atau konflik.
Proses perubahan sosial dapat terjadi sebagai akibat adanya konflik sosial dalam masyarakat.
Konflik sosial dapat terjadi manakala ada perbedaan kepentingan atau terjadi ketimpangan sosial.
Sementara itu faktor yang berasal dari luar terbagi atas tiga faktor pula.
Pertama,terjadinya bencana alam atau kondisi lingkungan fisik. Kondisi ini terkadang memaksa
masyarakat suatu daerah untuk mengungsi meninggalkan tanah kelahirannya. Apabila masyarakat
tersebut mendiami tempat tinggal yang baru, maka mereka harus menyesuaikan diri dengan
keadaan alam dan lingkungan baru tersebut. Kedua, peperangan yang terjadi. Peristiwa
perperangan baik perang saudara maupun perang antarnegara dapat menyebabkan perubahan.
Pihak yang menang biasanya akan memaksakan ideologi dan kebudayaannya kepada pihak yang
kalah. Ketiga, adanya pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Adanya interaksi antara dua
kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan perubahan. Jika pengaruh suatu kebudayaan dapat
diterima tanpa paksaan, maka dapat disebut demonstration effect. Jika pengaruh suatu kebudayaan
saling menolak, maka disebut cultural animosity.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif.
Menurut Semi (1993:23) penelitian kualitatif dilakukan dengan tidak menggunakan angka-angka
tetapi mengutamakan penghayatan terhadap interaksi serta terhadap konsep yang dikaji secara
empiris. Penelitian ini dimulai dari pengumpulan data, klasifikasi data, dan sampai pada
pembuatan laporan. Maka dalam penelitian ini dideskripsikan tentang perubahan sosial dalam
novel Orang-orang Blanti karya Wisran Hadi.
Data dalam penelitian sastra adalah kata-kata, kalimat, dan wacana yang terdapat di
dalam karya sastra. Objek penelitian ini adalah perubahan sosial yang terefleksi dalam novel
Orang-orang Blanti karya Wisran Hadi. Sumber data yaitu novel Orang-orang Blanti karya
Wisran Hadi. Diterbitkan oleh Yayasan Citra Budaya Indonesia, tahun 2000 dengan ISBN :
9799583020. Novel ini terdiri atas 186 halaman dengan 12 bagian tanpa judul subbagian.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan cara (1) membaca secara
berulang-ulang novel Orang-orang Blanti karya Wisran Hadi, (2) menandai, mencatat,
menginvetarisasi data yang berhubungan dengan tokoh dan perilaku tokoh, (3) mengiventarisasi
dan mengklasifikasikan data yang berhubungan dengan perubahan social, dengan cara membuat
cacatan kutipan yang digambarkan dalam novel Orang-orang Blanti karya Wisran Hadi
Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara (1) mendeskripsikan data
yang sudah diinvetariskan, (2) mengklasifikasikan bentuk dan penyebab perubahan sosial dalam
novel Orang-orang Blanti karya Wisran Hadi, (3) memberikan interpretasi terhadap data yang
diperoleh, (4) mengambil kesimpulan dari hasil interpretasi, (5) menulis laporan hasil penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Bentuk Perubahan Sosial
Perubahan sosial dalam novel Orang-orang Blanti adalah perubahan yang tidak
direncanakan, yaitu perubahan yang dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak
dikehendaki Ada pun bentuk perubahannya adalah sebagai berikut:
a. Perubahan Pengelolaan Harta Pusaka
Perubahan pengelolaan harta pusaka yang ditemukan dalam novel Orang-orang Blanti
karya Wisran Hadi terdiri atas dua macam, (1) membagi dan menjual harta pusaka, dan (2) adanya
perampasan hak waris harta pusaka.
1) Membagi dan Menjual Harta Pusaka
Kepemilikan harta disesuaikan dengan cara mendapatkannya. Harta pusaka diperoleh dari
warisan yang diturunkan mamak kepada kemenakan. Kemenakan laki-laki mempunyai hak
mengusahakan dan kalau bisa menambah, sedangkan kemenakan perempuan mempunyai hak
memiliki. Harta ini tidak boleh dibagi-bagi oleh yang berhak. Keutuhan harta pusaka
melambangkan keutuhan kaum kerabat, kecuali kalau terjadi kepunahan dalam suatu keluarga
(tidak ada lagi anggota yang patut jadi ahli waris). Selain harta pusaka ada lagi harta pencarian dan
hibah. Harta ini dimiliki oleh yang mendapatkan baik laki-laki maupun perempuan. Kalau lakilaki ingin memberikan harta itu kepada anak dan istrinya maka ia harus mendapatkan izin saudara
perempuannya (Navis, 1986: 158-160).
Berdasarkan penjelasan di atas terlihat perempuan di Minangkabau berada dalam pusat
penguasaan harta, sedangkan laki-laki mendapat hak mengatur pengelolaan, pengurusan, dan
membagi pemakaiannya secara adil. Harta pusaka yang diwariskan secara turun-temurun menurut
sistem matrilineal tidak dapat dibagi maupun dijual untuk keperluan pribadi. Begitu pula
membagi-bagi harta pusaka kepada ahli waris yang tidak berhak, dengan sendirinya berakibat
memecah-belah keutuhan sistem kekerabatan (Navis, 1986:162)
Apa yang dilakukan oleh Datuk Tuo dalam novel Orang-orang Blanti, merupakan contoh
perilaku yang menyalahgunakan kuasa dan memicu kegoncangan dalam kaumnya. Datuk Tuo
sebagai seorang penghulu yang seharusnya mempertahankan keberadaan harta pusaka itu, malah
membagi dan menjual tanah pusaka kaum untuk keperluan pribadi. Sementara saudara
perempuannya (Nenek Bu Yuk) tidak memiliki kuasa untuk mempertahankan tanah pusaka yang
seharusnya menjadi haknya.
Kenyataan yang sama juga dialami oleh Empon. Sulan yang satu-satunya anak laki-laki
Empon juga ikut menjual tanah pusaka dengan alasan untuk mencari ayahnya yang telah menjual
tanah pusaka dan melarikan uang hasil penjualannya. Dalam hal ini, Empon sebagai seorang
perempuan juga tidak kuasa untuk mempertahankan tanah pusaka miliknya.
2) Adanya Perampasan Hak Waris Harta Pusaka
Perubahan lain dalam pengelolaan harta pusaka yaitu adanya pihak perempuan yang
berusaha menguasai semua harta pusaka. Hal ini terjadi antara Bu Yuk dengan Ciani sebagai
saudara perempuan ibunya yang mendominasi pemakaian tanah pusaka. Ciani berusaha
menguasai rumah gadang dan sawah ladang yang seharusnya juga menjadi hak Bu Yuk sebagai
pewaris dari ibu Bu Yuk. Ciani dan Bu Yuk mempunyai hak yang sama terhadap tanah pusaka
yang diwariskan Nenek. Tapi Ciani sengaja membelakangi tatanan adat bahwa kemenakan
perempuan punya hak dalam pemilikan. Dengan alasan anaknya banyak, Datuk Tuo tidak
menjalankan fungsinya, dan menyatakan bahwa suaminya tidak untuk mencari harta, Ciani tidak
mengizikan Bu Yuk naik ke rumah gadang dan tidak diberi hak waris harta pusaka. Apa yang
dilakukan Ciani tersebut, tentu merupakan bentuk dari keegoan dan kerakusan dalam menguasai
harta pusaka. Ciani ingin mengambil harta pusaka lebih banyak daripada saudara-saudara
perempuannya.
b. Pergeseran Posisi Bundo Kanduang
Perempuan di Minangkabau dipanggil dengan sebutan bundo kanduang. Bundo artinya
adalah ibu, kanduang adalah sejati. Artinya bundo kanduang adalah ibu sejati yang memiliki
sifat-sifat keibuan dan kepemimipinan. Bundo kanduang sebagai golongan perempuan penerus
keturunan yang memelihara diri, serta mendudukkan diri sendiri dengan aturan adat basandi
syarak. Membedakan buruk dan baik, halal dan haram dalam makanan serta perbuatan lahiriahnya,
karena sebagai penerus keturunan mempunyai tugas pokok dalam membentuk dan menentukan
watak manusia dalam melanjutkan keturunan (Hakimy, 2004: 69).
Bundo kanduang sebagai sosok yang memiliki posisi yang kuat dalam mengambil
keputusan dalam budaya Minangkabau, di dalam novel Orang-orang Blanti, diperankan oleh
Nenek. Nenek sebagai bundo kanduang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Seharusnya, Nenek
berhak dan berkuasa melarang kaum laki-laki untuk menjual dan membagi harta pusaka yang
keluar dari ketentuan adat. Dengan demikian, tampaklah bahwa sosok bundo kanduang sebagai
orang yang diikutkan dalam musyawarah menentukan keputusan, dan memiliki kekuasaan dalam
memelihara tanah pusaka ternyata tidak berlaku dalam masyarakat Blanti. Peran bundo kanduang
dilemahkan dan dikuasai oleh pihak laki-laki.
c. Perubahan Peran Penghulu
Perubahan peran penghulu yang ditemukan dalam novel Orang-orang Blanti karya
Wisran Hadi terdiri atas lima macam, (1) penghulu tidak berperan sebagai tampuk kekuasaan, (2)
beralihnya fungsi penghulu, (3) perubahan gelar penghulu, (4) penghulu meresmikan kuburan, dan
(5) pengangkatan penghulu tidak sesuai adat.
1) Penghulu Tidak Berperan sebagai Tampuk Kekuasaan
Seharusnya, tugas seorang penghulu yaitu untuk mengatur segala yang ada di dalam
perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta pusaka. Dalam hal ini peranan laki-laki
di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankan. Namun karena pergeseran
waktu, mereka tidak lagi berperan sebagai pemegang tampuk kekuasaan, melainkan hanya sebagai
simbol yang keberadaannya hanya sebagai pelengkap dalam masyarakat maupun dalam
pemerintahan. Pola hidup dan kebiasaan mereka sudah terpengaruh oleh perkembangan zaman.
2) Beralihnya Fungsi Penghulu
Seseorang yang menyandang gelar penghulu bertugas menjalankan tugasnya yang
mencakup segala bidang, seperti di bidang ekonomi, pendidikan, agama, dan lain sebagainya.
Seorang penghulu menyelesaikan dengan sebaik-baiknya apabila terjadi perselisihan dalam
lingkungan anak kemenakannya dan masyarakat nagari. Jika tugas dalam lingkungan anakkemenakannya ini telah dilaksanakan sebagaimana mestinya menurut hukum adat Minangkabau,
maka ia dapat dikatakan sebagai penghulu yang arif dan bijaksana dan penghulu yang peduli
terhadap pembangunan pemerintahan di Minangkabau. Namun seiring berjalannya waktu, realita
semacam itu tidak lagi ditemui sekarang. Fungsi penghulu sudah bergeser.
3) Perubahan Gelar Penghulu
Selain bergesernya fungsi dan kewibawaan seorang penghulu sebagai orang yang
menempati tempat tertinggi di dalam struktur masyarakat di Minangkabau, gelar penghulu juga
mengalami perubahan. Perubahan gelar ini karena adanya unsur-unsur kepentingan politik dalam
pengangkatan penghulu dari zaman ke zaman tak dapat dihindari. Pengangkatan ini dilakukan oleh
para penguasa yang seharusnya bukan hak mereka untuk melakukan pengangkatan penghulu baru.
4) Penghulu Meresmikan Kuburan
Pengaruh Gampo Alam dan orang-orangnya di Blanti sangat begitu besar. Datuk Tuo
dan penghulu lain yang memang telah terikat sumpah, tidak berdaya meredam pelanggaran demi
pelanggaran dalam tatanan adat. Hal ini menunjukkan bahwa sifat kepemimpinan penghulu telah
goyah dan mudah saja dilumpuhkan. Semenjak Gampo Alam membuat kompleks pekuburan, para
penghulu pun mendapatkan tugas baru untuk meresmikan kuburan
5 ) Pengangkatan Penghulu Tidak Sesuai Adat
Perubahan yang lain juga terlihat dari berlomba-lombanya orang untuk menjadi penghulu.
Semua orang memerlukan jabatan dan berusaha merebutnya. Mendapatkan gelar penghulu adalah
sebuah kebanggaan. Begitu pula cara pengangkatan penghulu yang tidak sesuai dengan
persyaratan yang telah ditetapkan adat. . Menurut mamangan, jabatan penghulu ialah jabatan yang
diwariskan dari ninik ke mamak, dari mamak ke kemenakan. Kemenakan seorang penghulu secara
sosiologis, ialah semua orang yang menjadi warga sukunya pada nagari kediamannya. Namun
tidak semua laki-laki warga suku itu berhak dicalonkan sebagai penghulu. Yang berhak dicalonkan
menjadi pengganti penghulu ialah kemenakan di bawah dagu, yakni kemenakan yang mempunyai
pertalian darah (Navis, 1986:136).
d) Perubahan Sistem Perkawinan
Perkawinan ideal dalam adat Minangkabau dilakukan, apabila terjadi perkawinan antara
keluarga dekat, seperti perkawinan awak sama awak, yang dilakukan antar orang sekorong,
sekampung, senagari atau se-minangkabau (Navis, 1986:194). Dengan adanya perkawinan awak
samo awak ini akan memperkukuh hubungan kekerabatan terutama dalam mempertahankan harta
pusaka agar tidak jatuh ke tangan orang lain, seperti perkawinan Ciani dengan Datuk Pinang Sirah
yang berkedudukan sebagai seorang penghulu merupakan bentuk perkawinan yang diterima oleh
masyarakat Blanti. Sedangkan perkawinan yang dilakukan dengan orang luar dipandang sebagai
perkawinan yang bisa merusak struktur adat Minangkabau. Dengan demikian rnasyarakat
Minangkabau tidak mengakui adanya perkawinan antarsuku budaya, antaragama dan perkawinan
dalam suku. Bagi mereka yang melanggar ketetapan ini akan terasing dalam masyarakat dan tidak
akan mendapatkan pengakuan sebagai orang Minangkabau yang beradat.
Hal ini juga terlihat dari pernikahan Buk Yuk dengan Eko. Bu Yuk yang lama hidup di
rantau dan terpisah dari adat Blanti, menikah dengan Eko yang tidak seagama dan berbeda suku
budaya. Ketika masyatakat Blanti mengetahui perihal pernikahnnya itu, keberadaan Bu Yuk pun
tidak diakui. Selain itu Bu Yuk juga tidak mendapatkan haknya untuk mengelola tanah pusaka
sebagaimana mestinya. Bahkan Bu Yuk diusir dari rumah gadang yang seharusnya juga menjadi
bagiannya
2. Penyebab Perubahan Sosial
Berikut analisis dari penyebab terjadinya perubahan sosial dalam novel Orang-orang
Blanti karya Wisran Hadi. Penyebab yang dimaksud yaitu: (a) faktor ekonomi dan kekuasaan, dan
(b) kekacauan dalam negeri.
a) Faktor Ekonomi dan Kekuasaan
Penyebab perubahan sosial yang terjadi dalam novel Orang-orang Blanti salah satunya
disebabkan oleh faktor ekonomi dan kekuasaan. Datuk Tuo yang sebagai penghulu bagi kaumnya
telah mencontohkan perbuatan yang tidak sepatutnya, yaitu membagi-bagi tanah pusaka demi
kepentingan pribadi. Tanah pusaka yang berhasil ia rebut dari nenek itu pun, selanjutnya ia jual
kepada Gampo Alam yang berniat mengukuhkan kehadiran keluarga Orang Pulau sebagai
keluarga terhotmat di tengah-tengah orang Blanti.
Menurut Navis (1986: 166), tanah pusaka hanya boleh digadaikan apabila terjadi empat
hal besar dalam kaum. Itu pun harus atas kesepakatan semua warga kaum, seperti (a), mayat
terbujur di atas rumah, (b) mendirikan gelar pusaka, (c) gadis dewasa yang belum kawin, dan
(d) rumah gadang ketirisan. Dengan demikian, apa yang dilakukan Datuk Tuo tentu telah
menyalahi ketentuan adat. Atas nama kepentingan pribadi, Datuk Tuo merebut seuma tanah
pusaka dari nenek. Bertolak belakang dari fungsi penghulu yang seharusnya mengatur dan
menetapkan penguasaan harta pusaka dan membaginya secara adil. Apa yang dilakukan Ciani
yang menguasai rumah gadang dan sawah ladang tanpa mempedulikan hak Bu Yuk, adalah
contoh akibat dari tidak berpungsinya peran Datuk Tuo.
Pertengkaran Nenek dengan Datuk Tuo berpengaruh besar dalam sistem kemasyarakatan
di Blanti. Nenek sebagai bundo kanduang telah ditindas oleh Datuk Tuo. Sementara Datuk Tuo
sebagai penghulu tidak menjalankan fungsi kepenghuluan dengan semestinya dan memberi
contoh yang buruk. Sehingga perpecahan di dalam kaum pun tidak dapat dihindari dan terus
memanas. Terlebih sejak kedatangan Gampo Alam dengan kekuasaan dan kekayaan yang
dimilikinya, sedikit demi sedikit tanah pusaka pun jatuh ke tangannya.
Gampo Alam membeli tanah dan sawah Datuk Tuo, mendirikan rumah gadang, merebut
gelar ampuan, mendirikan kompleks pekuburan, hingga mengangkat penghulu yang tidak sesuai
dengan ketentuan adat. Semua itu jelaslah pelanggaran-pelanggaran yang dibuat Gampo Alam
dengan orang-orangnya. Tidak jarang pula Gampo Alam mengancam bahkan membunuh orangorang yang berusaha menghalangi rencananya. Gampo Alam berhasil menjalankan rencananya itu
tentu berawal dari Datuk Tuo yang dengan mudahnya menjual tanah pusaka kepada Gampo Alam.
Selain menyalahgunakan kekuasaannya sebagai penghulu dalam merebut tanah pusaka,
Datuk Tuo juga tidak mau gelarnya itu diusik oleh siapa pun. Sebenarnya, gelar penghulu bisa
diwariskan kepada Dawis. Namun Datuk Tuo tidak mempercayai Dawis melanjutkan tugas dan
fungsi kepenghuluan di dalam kaum.
b) Kekacauan dalam Negeri
Penyebab berikutnya yang memicu terjadinya perubahan sosial dalam novel Orangorang Blanti adalah karena terjadinya kekacauan di dalam negeri. Kekacauan ini terjadi manakala
ada perbedaan kepentingan antarindividu atau kelompok. Sebagaimana halnya Gampo Alam dan
orang-orangnya yang berupaya mengukuhkan kehadiran keluarga orang Pulau sebagai keluarga
terhormat di tengah-tengah orang Blanti. Kepentingan Gampo Alam jelas berbeda dengan
kepentingan orang-orang di Blanti. Gampo Alam yang menginginkan banyak pembangunan dari
tanah pusaka yang berhasil dikuasainya, banyak ditentang orang-orang Blanti. Tapi upaya itu
tidak membuahkan hasil dan hanya sia-sia. Tidak jarang pula Gampo Alam dan orang-orangnya
mengancam hingga membunuh orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Kaum Bu Yuk yang
terancam, telah membuat Bu Yuk harus meninggalkan kampung halamannya hingga akhirnya
kawin dengan orang yang tidak seagama karena lama meninggalkan adat Blanti. Begitu pula,
sebuah keluarga yang menentang Gampo Alam ikut ditangkap dan dibunuh.
SIMPULAN
Berdasarkan deskripsi data dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut. Pertama, dalam novel Orang-orang Blanti terdapat empat bentuk perubahan sosial, yaitu
perubahan pengelolaan harta pusaka, pergeseran posisi bundo kanduang, perubahan peran
penghulu, dan perubahan sistem perkawinan. Kedua, dalam novel Orang-orang Blanti terdapat
dua penyebab terjadinya perubahan sosial. Dua penyebab yang sangat berpengaruh besar dalam
perubahan tersebut yaitu faktor ekonomi dan kekuasaan serta kekacauan dalam negeri.
Perubahan sosial yang terjadi dalam novel Orang-orang Blanti adalah perubahan profil
budaya Minangkabau. Hal itu terlihat pada empat unsur budaya, yaitu (a) pengelolaan dan
pemilikan harta pusaka yang awalnya ada di pihak perempuan, telah berpindah tangan kepada
pihak laki-laki, (b) posisi dan peran bundo kanduang sebagai simbol sistem matrilineal dan figur
sentral dalam keluarga, bergeser ke sistem patrilineal, (c) keberadaan penghulu sebagai pimpinan
adat telah digeser oleh penguasa kaya dan berpangkat tinggi, dan (d) perubahan sistem
perkawinan dari sistem perkawinan yang ideal menurut adat ke bentuk sistem perkawinan di luar
adat.
Secara keseluruhan, tokoh-tokoh yang dilukiskan Wisran Hadi dalam novel Orang-orang
Blanti adalah tokoh-tokoh yang sedang mengalami kehilangan identitas dalam tatanan adat
Minangkabau. Terutama tokoh-tokoh perempuan yang erat kaitannya dengan sistem matrilineal.
Dalam novel ini, terlihat bahwa budaya patriaki begitu dominan menguasai aspek budaya yang
melekat dalam diri perempuan sebagai bundo kanduang.
SARAN
Saran yang ingin penulis sampaikan sehubungan dengan penelitian ini antara lain adalah
sebagai berikut. Pertama, kajian sosiologi sastra dapat diterapkan untuk menelaah, menganalisis,
serta mengkritik karya sastra, khususnya prosa. Kedua, pentingnya melakukan kajian karya sastra
yang intens terkait dengan masalah sosial budaya di Minangkabau. Hal ini penting sebagai upaya
membuka cakrawala berpikir masyarakat intelektual, terkait dengan masalah-masalah krusial yang
berkembang di tengah masyarakat saat ini. Ketiga, bagi lembaga pendidikan, khususnya untuk
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah perlu diberi perhatian khusus karena
pelajaran ini dapat memberikan kontribusi besar terhadap dunia pendidikan, khususnya pada
pembelajaran apresiasi sastra yang dapat menanamkan nilai-nilai karakter kepada siswa tentang
bagaimana cara berperilaku, bertindak, serta cara berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat.
KEPUSTAKAAN
Hadi, Wisran. 2000. Orang-orang Blanti. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia.
Hakimy, Idrus. 2004. Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Adat
di Minangkabau. Bandung: Rosdakarya.
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.
Martono, Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan
Poskolonial. Jakarta: Rajawali Pers.
Navis, A.A. 1986. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Budaya Minangkabau. Jakarta:
Pustaka Grafiti Pers.
Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Download