BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosi 2.1.1 Definisi Emosi Menurut Goleman (2002) emosi merujukpada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Crow dan Crow (dalam Sobur, 2003) mengartikan emosi sebagai suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai penyesuaian dari dalam terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu. Sementara Campos (dalam Santrock, 2002) memberikan pengertian emosi sebagai perasaan, afek, yang terjadi ketika seseorang berada dalam sebuah kondisi atau sebuah interaksi yang penting baginya, khususnya bagi kesejahteraannya. Emosi merupakan salah satu respon fisiologis yang menimbulkan kecenderungan individu untuk bertindak dalam usahanya memberi tanggapan terhadap gejala dan rangsang yang ada di sekitarnya. Wilmot dan Hocker (2007) mengemukakan emosi sebagai salah satu fungsi psikologi juga berperan sebagai penentu (predisposisi) tingkah laku. Emosi dapat mengarahkan atau mengatur perilaku kita ke dalam gerakan yang mengarahkan pada pengalaman unik milik kita sendiri. Inilah mengapa merefleksikan perasaan orang lain menjadi sangat penting dan sangat menantang, karena setiap orang memiliki pengalaman emosi yang berbeda-beda. 2.1.2 Kecerdasan Emosi Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan individu. Salovey dan Mayer (dalam Sumiyarsih, dkk., 2003) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah- 7 8 milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk mengembangkan pikiran dan tindakan. Bar-On (dalam Mayer dkk, 2001) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan. Goleman (1999), mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Kecerdasan emosi bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat (Goleman, 1999). 2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi Menurut Goleman (1999), ada dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi, faktor tersebut terbagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Berikut ini penjelasan masing-masing faktor: 1. Faktor internal. Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang, otak emosional dipengaruhi oleh struktur-struktur otak sebagai berikut: a. Batang otak, merupakan bagian otak yang mengelola instinct untuk mempertahankan hidup. b. Amigdala, merupakan tempat penyimpanan semua kenangan baik tentang kejayaan, kegagalan, harapan, ketakutan, kejengkelan, dan frustrasi. 9 c. Neokorteks/otak pikir, tugas dari neokorteks adalah melakukan penalaran, berpikir secara intelektual dan rasional dalam menghadapi setiap persoalan 2. Faktor eksternal dimaksudkan sebagai faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi individu untuk atau mengubah sikap Faktor eksternal terdiri dari dua lingkungan yaitu. a. Lingkungan keluarga : merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Orangtua adalah subjek pertama yang perilakunya diidentifikasi oleh anak kemudian diinternalisasi yang akhirnya akan menjadi bagian kepribadian anak. Orangtua yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan mengerti perasaan anak dengan baik. b. Lingkungan non-keluarga : Lingkungan masyarakat dan lingkungan pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang. Kecerdasan emosi dapat ditingkatkan melalui berbagai macam bentuk pelatihan, misalnya pelatihan asertivitas. Pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara kelompok, antara individu mempengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit. 2.1.4 Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi Dalam kecerdasan emosi terdapat lima dimensi kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Goleman (1999). Lima aspek tersebut di antaranya : a. Kesadaran Diri(Self Awareness) : kemampuan mengetahui yang dirasakan diri sendiri seorang individu. b. Pengaturan Diri (Self Regulation) : kemampuan mengatur emosinya sendiri sehingga berdampak positif pada pelaksanaan tugas. c. Motivasi (Motivation) : kemampuan menggunakan hasrat untuk menggerakkan dan menuntun diri menuju sasaran. 10 d. Empati (Empathy) : kemampuan merasakan perasaan orang lain dan mampu memahami perspektif orang lain. e. Keterampilan Sosial (Social Skill) : kemampuan untuk menanggapi emosi dengan baik ketika berhubungan orang lain, mampu membaca situasi dan jaringan sosial secara cermat, dapat berinteraksi atau bekerja sama dengan lancar. 2.1.5 Ciri-ciri Kecerdasan Emosi yang Tinggi Dapsari (dalam Ifham dan Helmi, 2002) menjabarkan tentang ciri-ciri kecerdasan emosi yang tinggi dari seorang individu adalah sebagai berikut : a. Optimal dan selalu positif pada saat menangani situasi-situasi dalam hidupnya, seperti saat menangani peristiwa dalam hidupnya dan menangani tekanan masalah-masalah pribadi yang dihadapi. b. Terampil dalam membina emosinya, di mana orang tersebut terampil di dalam mengenali kesadaran emosi diri dan ekspresi emosi, juga kesadaran emosi terhadap orang lain. c. Optimal pada kecakapan kecerdasan emosi, di mana hal ini meliputi kecakapan intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan antarpribadi dan ketidakpuasan konstruktif. d. Optimal pada nilai-nilai belas kasihan atau empati, intuisi, radius kepercayaan, daya pribadi, dan integritas. e. Optimal pada kesehatan secara umum, kualitas hidup, relationship quotient dan kinerja optimal. 2.2 Gaya Pengelolaan Konflik 2.2.1 Definisi Konflik Menurut Janasz, dkk. (2006) konflik adalah setiap situasi dimana tujuantujuan pengetahuan atau emosi dalam diri sendiri atau antar kelompok bertentangan satu sama lain atau interaksinya bersifat antagonistic dimana individu atau kelompok yang sama-sama memperjuangkan kepentingan, 11 persepsi, tujuan, nilai-nilai, atau pendekatan terhadap suatu masalah manusia merupakan mahluk yang unik, memiliki berbagai macam perbedaan fisik intelektual, emosional, ekonomi, dan sosial. Liliweri (2005) mengungkapkan bahwa konflik merupakan pertentangan untuk berusaha memenuhi tujuan dengan jalan menentang pihak lawan. Potensi konflik terjadi manakala terjadi kontak antar manusia, sebagai individu yang terorganisasi dalam kelompok, individu ingin mencari jalan untuk memenuhi tujuannya. Willmot & Hocker (2007) menjelaskan bahwa konflik adalah pernyataan perebutan antara dua orang atau kelompok yang saling tergantung yang merasa bahwa adanya pertentangan tujuan, keterbatasan sumber daya, dan terdapat campur tangan pihak lain dalam mencapai tujuan tertentu dan persepsi merupakan inti dari semua analisis terhadap konflik. Dari definisi-definisi di atas mengenai konflik, maka dapat dikatakan bahwa konflik merupakan proses interaktif karena adanya ketidaksesuaian atau perbedaan dalam tujuan dari masing-masing individu atau kelompok . Proses tersebut terjadi ketika individu atau kelompok merasa bahwa individu atau kelompok lain melakukan sesuatu yang merugikan atau telah mengenakan sesuatu yang negatif. Misalnya ketika seorang individu merasa bahwa pendapatnya atau pilihannya dinilai buruk oleh individu lainnya sehingga berdampak pada kelangsungan hidupnya. 2.2.2 Sumber-Sumber Konflik Ada beberapa sumber konflik menurut Moore (dalam Ruman, dkk., 2013) antara lain emosi-emosi yang kuat, salah persepsi atau stereotype, kurang atau salah dalam berkomunikasi, perilaku negatif yang terjadi berulang-ulang. Janasz, dkk. (2006) mengemukakan tentang sumber terjadinya konflik interpersonal di antaranya terbatasnya sumber daya, perbedaan dalam cita-cita, miskomunikasi, perbedaan dalam sikap, nilai-nilai dan persepsi, serta perbedaan dalam gaya. Nurhidayah (2011) juga mengungkapkan sumber-sumber konflik antara lain kesalahan persepsi (misperception), kesalahan dalam pendapat (misopinion), 12 kesalahan dalam memahami (misunderstanding), kesalahan komunikasi (miscommunication), perbedaan tujuan (goal different), nilai-nilai (values), latar belakang kebudayaan (cultue background), sosial-ekonomi, serta sifat-sifat pribadi (personality traits). 2.2.3 Tipe-Tipe Konflik Hunt and Metcalf (1996) membagi konflik menjadi dua jenis, yaitu intrapersonal conflict (konflik intrapribadi) dan interpersonal conflict (konflik antarpribadi). Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi dalam diri individu sendiri, misalnya ketika keyakinan yang dipegang individu bertentangan dengan nilai budaya masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai dengan kemampuannya. Konflik intrapersonal ini bersifat psikologis, yang jika tidak mampu diatasi dengan baik dapat menggangu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental (mental hygiene) individu yang bersangkutan. Sedangkan konflik interpersonal ialah konflik yang terjadi antar individu. Konflik ini terjadi dalam setiap lingkungan sosial, seperti dalam keluarga, kelompok teman sebaya, sekolah, masyarakat dan negara. Konflik ini dapat berupa konflik antar individu dan kelompok, baik di dalam sebuah kelompok (intragroup conflict) maupun antar kelompok (intergroup conflict). Konflik interpersonal atau konflik antar pribadi adalah suatu konflik yang mempunyai kemungkinan lebih sering muncul dalam kaitannya antara individu dengan individu lainnya dalam suatu organisasi (Wijono, dalam Rahayu, 2013). Sementara konflik interpersonal menurut Johnson dan Johnson (dalam Dayaksini & Hudaniah, 2009) adalah suatu situasi dimana tindakan seseorang berakibat menghalangi, menghambat, menganggu tindakan orang lain. 2.2.4 Peran Konflik Sejatinya, konflik juga memiliki peran dalam kehidupan sosial atau kehidupan antar kelompok. Menurut Janasz, dkk. (2006) peran konflik dibagi menjadi dua yaitu peran positif dan peran negatif. a. Peran positif dari terjadinya suatu konflik bersifat fungsional dan mendukung atau dapat menguntungkan organisasi atau tujuan-tujuan 13 pribadi. Konflik juga bersifat konstruktif sehingga konflik akan memungkinkan terjadinya keputusan yang lebih baik, kreatif, dan jalan keluar yang lebih inovatif terhadap masalah jangka panjang. b. Peran negatif dari terjadinya suatu konflik yaitu bersifat disfungsional dan menghambat kinerja organisasi atau orang tersebut atau kemampuan untuk mencapai tujuan atau sasaran yang ingin dicapai. Dalam kondisi yang seperti itu, konflik bersifat destruktif. Konflik yang bersifat destruktif tersebut cenderung menimbulkan tekanan dan kecemasan, membuat orang menjadi tidak mampu untuk mengambil tindakan, hilangnya harga diri dan tujuan. 2.2.5 Gaya Pengelolaan Konflik Wilmot dan Hocker (2007) memberikan definisi tentang gaya pengelolaan konflik merupakan respon terpola, atau kelompok tingkah laku yang digunakan orang-orang dalam upaya menyelesaikan konflik setiap orang memiliki cara atau gaya yang berbeda-beda. Sedangkan taktik konflik merupakan tingkah laku-tingkah laku individual yang digunakan oleh seseorang untuk menunjukkan pendekatan mereka secara umum. Gaya menjelaskan gambaran umumnya, sedangkan taktik menjelaskan bagian-bagian atau potongan-potongan dari gambaran umum tersebut. Ketika seseorang menggunakan taktik berkali-kali atau berulang kali, maka hal tersebut akan menjadi gaya atau respon yang terpola. Pemilihan gaya berkembang selama kehidupan individu yang berdasarkan pada keterpaduan dari genetik, pengalaman hidup, latar belakang keluarga, dan filsafat pribadi. Ketika dewasa, orientasi dasar pada konflik akan menetap. Pilihan pada kerukunan dan ketenangan atau melawan dengan sekuat tenaga akan jelas terlihat Ada beberapa klasifikasi gaya pengelolaan konflik salah satunya adalah klasifikasi gaya pengelolaan konflik yang dijabarkan oleh Thomas dan Kilmann (dalam Wilmot dan Hocker, 2007) yaitu ada lima gaya pengelolaan konflik, di antaranya gaya menghindar (avoidance), kompetisi (competition), kompromi (compromise), mengalah (accommodating), dan kolaborasi (collaboration). Thomas dan Kilmann (dalam Wilmot dan Hocker, 2007) pertama kali 14 menjelaskan pendekatan lima gaya pengelolaan konflik di atas ketika mereka menempatkan kelima gaya tersebut dalam suatu bagan berdasarkan dua kerangka dimensi, yaitu concern for the self dan concern for the other. Kecenderungan untuk concern for the self membutuhkan tingkat kepedulian terhadap pencapaian kebutuhan pribadi (assertiveness) dan kecenderungan untuk concern for the other membutuhkan tingkat kepedulian terhadap pencapaian kebutuhan orang lain (cooperativeness). Semakin concern for the self maka individu semakin memiliki kecenderungan assertive, sedangkan apabila individu semakin concern for the other maka akan semakin memiliki kecenderungan cooperative. Menurut Putnam (dalam Wilmot dan Hocker, 2007) dalam menyelesaikan konflik, sebagian individu ada yang menggunakan kelima gaya penyelesaian konflik ini secara bergantian, sesuai dengan konteks yang dihadapinya. Pendekatan lima gaya ini dapat dilihat pada bagan di bawah ini: Competition High Collaboration nnnn Concern for self Compromise Assertiveness Accomodation Avoidance Low Low High Concern for other Cooporativeness Gambar 2.1 Gambaran Gaya Pengelolaan Konflik Berdasarkan Pendekatan Lima Gaya Gaya pengelolaan konflik berdasarkan pendekatan lima gaya pengelolaan konflik dari Thomas & Kilmann (dalam Wilmot dan Hocker, 2007) 15 a. Menghindar (Avoidance) low assertiveness, low coorporativeness Gaya pengelolaan konflik avoidance dikarakteristikkan dengan menyangkal konflik yang ada, mengubah dan menghindari topik konflik, tidak memberikan pendapat, dan lebih memilih untuk bergurau daripada terlibat langsung dengan konflik. Individu yang menggunakan gaya pengelolaan konflik avoidance mungkin menghindari permasalahan dengan mengubah topik pembicaraan atau langsung menarik diri dari permasalahan. Dalam gaya pengelolaan konflik avoidance, kadang diiringi dengan criticize loop yaitu individu menghindar untuk membicarakan permasalahan secara langsung kepada pihak lawan tetapi menghabiskan banyak waktu membicarakan pihak lawan kepada orang lain. Taktik dalam gaya pengelolaan konflik avoidance ditandai dengan: 1. penyangkalan dan pengelakan (denial and equivocation); 2. pengaturan topik konflik (topic management); 3. memberikan perkataan yang datar (noncommittal remarks); 4. memberikan perkataan yang tidak relevan (irreverent remarks). Gaya pengelolaan konflik avoidance membentuk kategori yang berbeda. Contohnya, seorang individu yang berada pada posisi yang lemah mungkin menolak terlibat dengan pihak lawan dengan mengatur topik konflik (topic management) dan tidak menyatakan pendapat (noncommittal remarks). Seringkali gaya pengelolaan konflik ini menggunakan bentuk “bujukan” yaitu dengan menggungkapkan gurauan (jocking), mengelak (evasive remarks), dan menghindari topik konflik (topic avoidance). Seseorang dengan posisi yang lemah menggunakan bujukan guna mencoba menyenangkan atau memperdaya pihak lawan dengan mengikuti apa yang diinginkan orang tersebut. Taktik dalam penyanggahan bervariasi dari memberikan alasan-alasan klasik, seperti mengabaikan pertanyaan, tidak mengindahkan pertanyaan, mengalihkan pernyataan, dan menyatakan ketidaktahuan atau prasangka. Pertentangan antara permasalahan bersifat tidak langsung, permasalahan dielakkan dengan cara kadang-kadang memperdaya atau menyenangkan. Tidak penting bagi orang yang menggunakan gaya avoidance untuk menarik apa 16 pilihan pihak lawan. Individu dengan gaya avoidance mungkin menginginkan sesuatu tetapi tidak bersedia untuk memintanya secara langsung b. Kompetisi (Competition) high assertiveness, low cooporativeness Gaya pengelolaan konflik competiton atau “power over”, dikarakteristikkan dengan perilaku yang agresif dan tidak kooperatif, mengejar perhatian dengan mengorbankan orang lain. Berusaha untuk menambahkan kekuatan melalui konfrontasi langsung, dengan mencoba memenangkan argumen tanpa menyesuaikan pada tujuan dan keinginan orang lain. Seseorang dengan gaya pengelolaan konflik competition biasanya berpikir bahwa menyatakan perbedaan pendapat secara terbuka kepada pihak lawan merupakan hal yang penting. Konflik dilihat sebagai suatu pertarungan dimana menang merupakan tujuan yang diharapkan dan perhatian terhadap kebutuhan pihak lawan merupakan hal yang kurang atau bahkan tidak penting. Taktik gaya pengelolaan konflik competition melibatkan persaingan secara lisan atau perilaku individulistis (Sillars, dkk. dalam Willmot dan Hocker, 2007). Taktik ini berfokus pada orientasi menang/kalah dan sering menggambarkan keyakinan bahwa seseorang memperoleh sesuatu, orang lain kehilangan sesuatu (Thomas dan Kilmann, dalam Wilmot dan Hocker, 2007). Oleh karena itu, pihak yang menggunakan taktik competition akan mencoba selangkah lebih maju dari pihak lawan untuk memperoleh keberuntungan (Rogers dan Farace dalam Wilmot dan Hocker, 2007). Taktik-taktik dalam gaya pengelolaan konflik competition antara lain: 1. kritik pribadi (personal criticism) 2. penolakan (rejection) 3. perintah yang bersifat bermusuhan (hostile imperatives) 4. gurauan yang bersifat menyindir (hostile jokes) 5. pertanyaan yang bersifat bermusuhan (hostile questions) 6. komentar yang berdasarkan dugaan (presumptive remarks) 7. menyangkal tanggung jawab (denial of responsibility). Jika seseorang secara pribadi mengkritik kita, menolak pernyataan kita, atau berperilaku dalam cara yang bermusuhan (dengan ancaman, gurauan, atau pertanyaan) kita akan menyadari dengan jelas adanya suatu kompetisi. 17 Pernyataan konfrontasi merupakan dasar dari perspektif konflik “kalahmenang”. Taktik gaya competition seringkali digunakan dalam kombinasi. Penyangkalan tanggung jawab terhadap konflik biasanya dihubungkan dengan pernyataan yang berdasarkan praduga. c. Kompromi (Compromise) medium assertiveness, medium cooperativess Compromise adalah gaya pengelolaan konflik intermediate yang menghasilkan beberapa keuntungan dan mengakibatkan kehilangan sesuatu pada masing-masing pihak yang berkonflik. Dalam gaya pengelolaan konflik compromise masing-masing pihak menyerahkan beberapa tujuan yang penting untuk bergabung dengan pihak lain. Gaya pengelolaan konflik compromise ini terkadang sulit dibedakan dengan gaya pengelolaan konflik collaboration. Gaya pengelolaan konflik collaboration harus mencari solusi yang kreatif dan fleksibel yang dapat memenuhi keinginan individu dan pihak lawan. Gaya pengelolaan konflik compromise melibatkan taktik-taktik yang menyarankan pertukaran (trade-offs) dan pergantian (exchanges). Ketika terdapat perbedaan kekuasaan, gaya compromise biasanya melibatkan taktik seperti memberikan atau menyerahkan sesuatu. Taktik-taktik gaya compromise ditandai dengan: 1. permintaan keadilan (appeal to fairness) 2. menyarankan pertukaran (suggest a trade-off); 3. memaksimalkan keuntungan/ meminimalkan kerugian (maximize wins/minimize losesses) 4. menyarankan solusi yang cepat, bersifat jangka pendek (offer a quick, shortterm solution). Secara lebih jelas, gaya pengelolaan konflik compromise merupakan gaya pengelolaan konflik yang berusaha menemukan jalan tengah dan melibatkan keseimbangan antara perhatian terhadap diri sendiri maupun perhatian terhadap pihak lawan. d. Mengalah (Accomodation)low assertiveness, high cooperation Individu dengan gaya pengelolaan konflik accommodation tidak memaksakan kebutuhan pribadinya dan lebih memilih pendekatan yang kooperatif dan harmonis (Neff dan Harter dalam Wilmot dan Hocker, 18 2007). Kepentingan pribadi lebih dikesampingkan dalam rangka menyenangkan orang lain yang terlibat konflik dengannya (relasinya dengan orang lain mungkin merupakan tujuan yang paling penting dari individu yang menerapkan gaya accomodation). Emosi yang menyertai individu dengan gaya accommodation ini dapat sangat berbeda, dari perasaan menyenangkan yang ringan, sampai dengan perasaan marah dan kerelaan (compliance) yang sifatnya bermusuhan dan terpaksa karena seseorang merasa kurang memiliki kuasa untuk melakukan protes pada apa yang telah dilakukan terhadapnya. Individu ini mungkin berpikir bahwa dirinya memberikan kebaikan kepada kelompok, keluarga, atau tim-nya dengan menyerahkan, mengorbankan, atau mengesampingkan kebutuhan pribadinya. Taktik-taktik dalam gaya accommodation ini adalah sebagai berikut : 1. menyerah/ mengalah (giving up/giving in) 2. tidak ingin terlibat (disengagement) 3. menyangkal kebutuhan (denial of needs) 4. menginginkan keharmonisan (expression of desire for harmony) Gaya accommodation dapat dihubungkan dengan codependence. Dalam hubungan yang bersifat codependence, apa yang dilakukan, dipikirkan, atau dirasakan oleh seseorang bergantung pada apa yang orang lain lakukan, pikirkan, atau rasakan. e. Kolaborasi (Collaboration) high assertiveness, high cooperation Gaya pengelolaan konflik collaboration merupakan gaya pengelolaan konflik yang menuntut keterlibatan yang paling konstruktif diantara semua gaya pengelolaan konflik yang ada. Gaya pengelolaan konflik collaboration menunjukkan perhatian yang tinggi pada tujuan diri sendiri dan tujuan orang lain, kesuksesan dalam memecahkan masalah dan peningkatan hubungan. Berbeda dengan gaya compromise, gaya collaboration melibatkan perhatian yang tinggi terhadap kedua belah pihak, bukan perhatian dalam takaran yang seimbang. Gaya pengelolaan konflik collaboration belum berakhir sampai kedua belah pihak sama-sama puas dan dapat bersama-sama mendukung solusi yang telah dibuat. Dengan gaya pengelolaan konflik collaboration maka kedua belah 19 pihak sama-sama dapat memperoleh suatu kepuasan dan relasi yang dihasilkan akan semakin membaik dan bukannya memburuk. Tidak seorangpun akhirnya merasa benar atau dibenarkan. Gaya ini collaboration adalah kooperatif, efektif, dan berfokus pada usaha kelompok, pertemanan, atau membagi bersama tujuan personal. Kadang kala, gaya ini disebut juga dengan pemecahan masalah secara bersama-sama. Dalam gaya ini, digunakan seluruh kemampuan berkomunikasi yang baik. Dalam berbagai konteks, penggunaan gaya collaboration dapat menghasilkan suatu keputusan yang lebih baik dan meningkatkan kepuasan pada kedua belah pihak (Sillars, Wall & Galanes, Pruitt, Gayle-Hackett dalam Wilmot dan Hocker, 2007). Taktik-taktik dalam gaya collaboration ini antara lain : 1. adanya ungkapan yang menganalisis konflik dengan membuat deskripsi tanpa menginterpretasi, menyingkap, memberikan pernyataan yang menjadi isyarat konflik terjadi, dan mengumpulkan kritik dari pihak lawan sebagai jalan menuju kolaborasi 2. mengungkapkan pernyataan yang bersifat damai dengan memberikan pernyataan yang mendukung pihak lawan, memberikan kelonggaran, dan menerima tanggung jawab atas konflik yang telah disebabkan oleh masingmasing pihak. Seluruh taktik gaya collaboration menggerakkan konflik pada dimensi lain di mana masing-masing pihak tidak saling menghindar dan tidak saling menyalahkan tetapi menghadapi konflik sebagai masalah bersama yang harus diselesaikan. 2.2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Pengelolaan Konflik Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi gaya pengelolaan konflik menurut Wirawan (2010), antara lain : 1. Asumsi mengenai konflik Pendapat pihak-pihak yang terlibat terhadap suatu konflik akan mempengaruhi perilakunya. 20 2. Persepsi mengenai penyebab konlfik Pandangan terhadap penyebab konflik menentukan gaya pengelolaan konflik yang dipilih. 3. Ekspektasi atas reaksi lawan konfliknya Kesadaran akan reaksi lawannya terhadap tindakan yang dipilih turut mempengaruhi gaya pengelolaan konflik. 4. Pola komunikasi dalam interaksi konflik Gaya pengelolaan konflik ditentukan juga berdasarkan pola komunikasi yang terjadi dalam interaski pihak-pihak yang berkonflik. 5. Kekuasaan yang dimiliki Jika pihak yang terlibat konflik memiliki kekuasaan maka gaya pengelolaan konflik yang dipilih juga biasanya ditentukan oleh pihak yang lebih besar kuasanya. 6. Pengalaman menghadapi situasi konflik Pengalaman pihak-pihak yang berkonflik menentukan gaya pengelolaan konflik berdasarkan konflik yang pernah dialami sebelumnya. 7. Sumber yang dimiliki Sumber daya yang dimiliki turut menentukan bagi pihak yang berkonflik memilih gaya pengelolaan konflik yang akan digunakan. 8. Jenis Kelamin Dalam beberapa penelitian sebelumnya tentang gaya pengelolaan konflik, jenis kelamin turut mempengaruhi seorang individu dalam menerapkan gaya pengelolaan konflik. 9. Kecerdasan Emosional Keterampilan mengelola emosi menjadi salah satu faktor menentukan gaya pengelolaan konflik. 10. Kepribadian Kepribadian pihak yang berkonflik mempengaruhi gaya pengelolaan konfliknya. 11. Budaya organisasi sistem sosial Budaya organisasi membentuk setiap pihak yang berkonflik dalam menentukan gaya pengelolaan konflik. 21 12. Prosedur yang mengatur pengambilan keputusan jika terjadi konflik Keberadaan prosedur yang sudah tersistem dengan baik juga turut menjadi faktor penentuan gaya pengelolaan konflik 13. Situasi konflik dan posisi dalam konflik Situasi dan posisi pihak yang terlibat juga memungkinkan pemilihan dan perubahan gaya pengelolaan konflik. 14. Pengalaman menggunakan salah satu gaya pengelolaan konflik Pengalaman dengan memakai salah satu gaya pengelolaan konflik yang berhasil membuat pihak yang terlibat kemungkinan besar memakai gaya tersebut kembali dalam konflik berikutnya. 15. Keterampilan berkomunikasi Gaya pengelolaan konflik disesuaikan dengan kemampuan pihak yang berkonflik dalam hal komunikasi. 2.3 Emerging Adulthood Menurut Arnett (2006) masa emerging adulthood merupakan tahapan perkembangan yang bukan merupakan tahapan remaja maupun dewsa diawali dengan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa yang melibatkan eksperimentasi dan eksplorasi dengan rentang usia 18-25 tahun. Arnett (2000) merumuskan emerging adulthood sebagai sebuah konsep tahap perkembangan yang jelas, yang memiiki karakterisik perubahan dan eksplorasi dari arah hidup. Secara spesifik Arnett memisahkan tahap perkembangan ini dari tahap perkembangan remaja dan young adulthood. Arnett (1994) mengemukakan alasan yang sangat jelas tentang emerging adulthood yang membedakannya dari tahap perkembangan remaja dan young adulthood. Tiga hal utama telah diuji secara teoritis dan empiris sehingga menghasilkan suatu rumusan yaitu demografis, identity exploration, dan persepsi subjektif dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Demografis Merupakan argumen pertama yang dibangun untuk mengonsepkan emerging adulthood dibangun melalui data demografis dari usia kronologi dalam tahap ini. Survei secara demogrfis mengindikaaikan bahwa pada usia 18-25 tahun remaja berada pada kondisi yang sangat cepat berubah dan tidak stabil. Hal ini 22 memperlihatkan bahwa karakteristik emerging adulthood dihadapkan pada berbagai macam perubahan, ketidakstabilan secara demografis dan sama sekali tidak tergantung pada norma yang tetap (Arnett, 2000). 2. Identity Exploration Proses perkembangan eksplorasi diri meliputi eksperimentasi dengan berbagai macam arah hidup dan proses pengambilan keputusan. Adapun di tahap emerging adulthood, eksplorasi identitas lebih digali secara serius dan fokus terutama di area cinta, pekerjaan, dan world views (Arnett, 2000). Pada area cinta, pada fase emerging adulthood, mulai ada usaha untuk memikirkan hubungan yang lebih intim mengarah kepada pernikahan (Arnett, 2000). Pada area pekerjaan, eksplorasi identitas lebih berfokus dan serius untuk dieksplorsi karena emerging adulthood memandang pekerjaan mereka sebagai suatu pengalaman untuk mempersiapkan masa depan pekerjaan mereka. Pada area world views, Smith (2006) mengatakan bahwa kehidupan di kampus menawarkan banyak sekali paham seperti pluralism, individualism, dan hedonism juga tawaran akan kehidupan bebas seperti pornografi dan obat-obatan terlarang. Kehidupan di perkuliahan memberikan kesempatan seseorang untuk menemukan berbagai macam pandangan hidup dan sebagaian besar anak dalam masa emerging adulthood bersepakat mengikuti suatu pandangan hidup yang baru baik dari segi kepercayaan maupun sikap (Perry, 1999). 3. Persepsi Subjektif Persepsi subjektif atau subjective perceptions menjadi dasar konseptualisasi emerging adulthood sebagai tahap perkembangan yang berbeda adalah keterlibatan persepsi individual mengenai kedewasaan. Arnett (2000) mengintepretasikan hasil tersebut sebagai karakter yang harus dimiliki oleh seorang yang menjadi dewasa adalah sukses dengan mampu memenuhi kecukupan diri. Arnett (2000) menggolongkan lima criteria emerging adulthood yang dapat dilihat dari perilaku seseorang pada tahapan ini antara lain : 1. Identity Exploration Pada tahapan ini manusia akan mencari dan mengeksplorasi identitas yang ia cari secara serius dan fokus untuk mempersiapkannya memasuki tahapan kehidupan selanjutnya seperti cinta dan pekerjaan. 23 2. Instability Pada emerging adulthood, seseorang memiliki sebuah rencana yang akan ia bawa dan wujudkan saat dewasa kelak. Namun, seiring masuknya ke tahapan emerging adulthood mereka banyak mengalami perubahan rencana yang telah disusun. 3. Being self-focused Pada tahapan ini, tujuan dari tahapan self-focused adalah mampu mandiri, termasuk juga mampu mencukupi kebutuhan diri sendiri. 4. Feeling in between and in transition Pada masa emerging adulthood yang berada pada perasaan antara dewasa dan remaja dan ia harus memenuhi beberapa kriteria untuk menjadi dewasa karena ia masih belum dewaa secara penuh. 5. Possibilities Ini merupakan bagian tahapan yang dipenuhi dengan harapan dan ekspektasi yang luar biasa akan masa depan. Sebagian mimpi mereka diupayakan untuk dicoba dalam kehidupan nyata. 2. 4 Kerangka Berpikir Binus University merupakan salah satu universitas swasta di Jakarta yang didalamnya terdapat banyak civitas akademika yang berasal dari latar belakang seperti etnis, agama, serta status sosial-ekonomi yang beragam. Binus University menerapkan satu mata kuliah yang bernama Character Building. Dua dari mata kuliah Character Building yang diajarkan di Binus University ialah Self Development yang sebelum tahun akademik 2013-2014 bernama Character Building Relasi Dengan Diri Sendiri dan Interpersonal Development yang sebelum tahun akademik 2013-2014 bernama Character Building Relasi Dengan Sesama. Berdasarkan hasil wawancara peneliti yang melibatkan 7 orang yang terdiri dari 3 mahasiswa dan 4 mahasiswi, ada fenomena dimana mahasiswa dan mahasiswi psikologi binus terlibat konflik karena adanya selisih pendapat, perbedaan kepentingan, persepsi etnis dan stereotype tentang satu ras tertentu 14,3% mahasiswi yang peneliti wawancara cenderung menggunakan gaya pengelolaan konflik menghindar (avoidance) karena tidak ingin terlibat ke dalam konflik yang berkepanjangan dan merasa bahwa lawan konfliknya sudah sama-sama tahu tentang penyebab konflik dan tidak perlu untuk 24 disampaikan secara langsung, 14,3% mahasiswa menerapkan gaya pengelolaan konflik mengalah (accomodation) karena mahasiswa tersebut mengaku sebagai mahasiswa yang cinta damai dan tidak ingin konflik yang berlarut-larut, 14,3% mahasiswi yang menerapkan gaya pengelolaan konflik kolaborasi (collaboration) karena ingin mencapai kesepakatan bersama agar kedua belah pihak yang berkonflik merasa puas dan konflik terselesaikan. Saat mengalami konflik, Mahasiswa dan Mahasiswi Psikologi Binus University juga menerapkan gaya pengelolaan konflik yang berbeda-beda tergantung mood serta orang yang berkonflik dengannya misalnya saat berkonflik dengan teman lawan jenis. Wilmot dan Hocker (2007) mengungkapan bahwa onflik adalah pernyataan perebutan antara dua orang atau kelompok yang saling tergantung yang merasa bahwa adanya pertentangan tujuan, keterbatasan sumber daya, dan terdapat campur tangan pihak lain dalam mencapai tujuan tertentu dan persepsi merupakan inti dari semua analisis terhadap konflik. Konflik bersumber dari emosi-emosi yang kuat, salah persepsi atau stereotype, kurang atau salah dalam berkomunikasi, perilaku negatif yang terjadi berulang-ulang (Moore, dalam Ruman, dkk. 2013). Wilmot dan Hocker (2007) menjelaskan mengenai gaya pengelolaan konflik individu. Upaya menyelesaikan konflik setiap orang memiliki cara atau gaya yang berbeda-beda. Thomas dan Kilmann (dalam Wilmot dan Hocker, 2007) mengklasifikasi lima gaya pengelolaan konflik, di antaranya gaya menghindar (avoidance), kompetisi (competition), kompromi (compromise), mengalah (accommodating), dan kolaborasi (collaboration). Pada dasarnya orientasi dalam menyelesaikan konflik ada dua hal, yaitu menghindar atau melawan (Wilmot dan Hocker, 2007). Namun menurut Putnam (dalam Wilmot dan Hocker, 2007) dalam menyelesaikan konflik, sebagian individu ada yang menggunakan kelima gaya pengelolaan konflik ini secara bergantian, sesuai dengan konteks yang dihadapinya. Akan tetapi setiap individu menggunakan gaya pengelolaan konflik tertentu secara lebih dominan digunakan dibandingkan gaya pengelolaan konflik lainnya (Wilmot dan Hocker, 2007). Aspek-aspek kecerdasan emosi menurut Goleman (1999) antara lain Kesadaran Diri (Self Awareness), Pengaturan Diri (Self Regulation), Motivasi (Motivation), Empati (Empathy), dan Keterampilan Sosial (Social Skill) adalah dimensi-dimensi yang 25 menjadi tolak ukur seorang individu dalam mengelola emosinya. Salah satu dimensi kecerdasan emosi dari Goleman (1999) yaitu Keterampilan Sosial (Social Skill) yang merupakan kemampuan untuk menanggapi emosi dengan baik ketika berhubungan orang lain, mampu membaca situasi dan jaringan sosial secara cermat, dapat berinteraksi atau bekerja sama dengan lancar. Apabila mahsiswa juga memiliki kecerdasan emosi yang tinggi seperti yang terdapat dalam ciri-ciri kecerdasan emosi yang tinggi oleh Dapsari (dalam Ifham dan Helmi, 2002) yaitu optimal pada kecakapan kecerdasan emosi, di mana hal ini meliputi kecakapan intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan antarpribadi dan ketidakpuasan konstruktif.. Ciri kecerdasan emosi tesebut dapat dihubungkan dengan mahasiswa yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi mempunyai kecakapan dalam hubungan antarpribadi dan apabila mahasiswa tersebut cakap dalam hubungan antar pribadi maka mahasiswa tersebut dapat mengelola konflik dengan cara yang tepat dengan tujuan agar konflik tersebut selesai dan tidak menimbulkan perpecahan. Salah satu faktor yang mempengaruhi gaya pengelolaan konflik seorang individu adalah kecerdasan emosi (Wirawan, 2010). Menurut Imran (2013) mengelola konflik sesuatu tantangan. Karena dalam mengelola konflik membutuhkan strategi-strategi pilihan dimana bergantung pada keterampilan mengelola dari seorang individu yang disebut kecerdasan emosi. Dari penelitian-penelitian sebelumnya, kebanyakan meneliti tentang korelasi kecerdasan emosi dengan gaya pengelolaan konflik dan belum ada penelitian yang meneliti tentang perbedaan tingkat kecerdasan emosi berdasarkan gaya pengelolaan konflik terlebih lagi penelitian tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia. Peneliti ingin melihat apakah ada perbedaan kecerdasan emosi berdasarkan gaya pengelolaan konflik pada mahasiswa tingkat akhir jurusan psikologi Binus University 26 Fenomena konflik yang terjadi antar mahasiswa psikologi Binus University bersumber dari selisih pendapat, persepsi atau stereotype, dan perbedaan kepentingan Mahasiswa psikologi Binus University menerapkan gaya pengelolaan konflik yang berbeda-beda Gaya pengelolaan konflik gaya menghindar (avoidance) kompetisi (competition) kompromi (compromise) mengalah (accommodating) kolaborasi (collaboration) Mahasiswa psikologi Binus University telah mempelajari mata kuliah yang mempelajari tentang emosi serta mata kuliah Charater Building Self Development Kecerdasan Emosi Rendah Sedang Tinggi Keterkaitan antar dua variabel Salah satu faktor yang mempengaruhi gaya pengelolaan konflik seorang individu adalah kecerdasan emosi (Wirawan, 2010) Dalam mengelola konflik membutuhkan strategi-strategi pilihan dimana bergantung pada keterampilan mengelola dari seorang individu yang disebut kecerdasan emosi (Imran, 2013) Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berpikir 2.5 Hipotesis Hipotesis merupakan kesimpulan sementara yang masih harus diuji kebenarannya melalui analisis terhadap bukti-bukti empiris (Iskandar, 2008). Hipotesis dalam penelitian ini adalah : Ha: Ada perbedaan kecerdasan emosi berdasarkan gaya pengelolaan konflik pada mahasiswa psikologi Binus University. Ho: Tidak ada peredaan kecerdasan emosi berdasarkan gaya pengelolaan konflik pada mahasiswa psikologi Binus University.