1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosi 2.1.1 Definisi

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kecerdasan Emosi
2.1.1 Definisi Emosi
Menurut Goleman (2002) emosi merujukpada suatu perasaan dan pikiran
yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian
kecenderungan untuk bertindak. Crow dan Crow (dalam Sobur, 2003)
mengartikan emosi sebagai suatu keadaan yang bergejolak pada diri
individu yang berfungsi sebagai penyesuaian dari dalam terhadap lingkungan
untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu. Sementara Campos
(dalam Santrock, 2002) memberikan pengertian emosi sebagai perasaan, afek,
yang terjadi ketika seseorang berada dalam sebuah kondisi atau sebuah interaksi
yang penting baginya, khususnya bagi kesejahteraannya. Emosi merupakan
salah satu respon fisiologis yang menimbulkan kecenderungan individu untuk
bertindak dalam usahanya memberi tanggapan terhadap gejala dan rangsang
yang ada di sekitarnya. Wilmot dan Hocker (2007) mengemukakan emosi
sebagai salah satu fungsi psikologi juga berperan sebagai penentu
(predisposisi) tingkah laku. Emosi dapat mengarahkan atau mengatur perilaku
kita ke dalam gerakan yang mengarahkan pada pengalaman unik milik kita
sendiri. Inilah mengapa merefleksikan perasaan orang lain menjadi sangat
penting dan sangat menantang, karena setiap orang memiliki pengalaman emosi
yang berbeda-beda.
2.1.2 Kecerdasan Emosi
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990
oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari
University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional
yang tampaknya penting bagi keberhasilan individu. Salovey dan Mayer (dalam
Sumiyarsih, dkk., 2003) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau
perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-
7
8
milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk mengembangkan pikiran
dan tindakan. Bar-On (dalam Mayer dkk, 2001) mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan
dan tekanan lingkungan. Goleman (1999), mengatakan bahwa koordinasi
suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang
pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat
berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan
akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta
lingkungannya. Lebih lanjut Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri,
ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda
kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut
seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah
kepuasan dan mengatur suasana hati. Kecerdasan emosi bukan merupakan lawan
kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya
berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan
emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di
sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat
(Goleman, 1999).
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Menurut Goleman (1999), ada dua faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosi, faktor tersebut terbagi menjadi faktor internal dan faktor
eksternal. Berikut ini penjelasan masing-masing faktor:
1. Faktor internal. Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam
individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang, otak
emosional dipengaruhi oleh struktur-struktur otak sebagai berikut:
a. Batang otak, merupakan bagian otak yang mengelola instinct untuk
mempertahankan hidup.
b. Amigdala, merupakan tempat penyimpanan semua kenangan baik tentang
kejayaan, kegagalan, harapan, ketakutan, kejengkelan, dan frustrasi.
9
c. Neokorteks/otak pikir, tugas dari neokorteks adalah melakukan penalaran,
berpikir secara intelektual dan rasional dalam menghadapi setiap persoalan
2. Faktor eksternal dimaksudkan sebagai faktor yang datang dari luar individu
dan mempengaruhi individu untuk atau mengubah sikap Faktor eksternal terdiri
dari dua lingkungan yaitu.
a. Lingkungan keluarga : merupakan sekolah pertama dalam mempelajari
emosi. Orangtua adalah subjek pertama yang perilakunya diidentifikasi oleh
anak kemudian diinternalisasi yang akhirnya akan menjadi bagian kepribadian
anak. Orangtua yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan mengerti
perasaan anak dengan baik.
b. Lingkungan non-keluarga : Lingkungan masyarakat dan lingkungan
pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi
seseorang. Kecerdasan emosi dapat ditingkatkan melalui berbagai macam
bentuk pelatihan, misalnya pelatihan asertivitas.
Pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara
kelompok, antara individu mempengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat
bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik cetak
maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa satelit.
2.1.4 Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi
Dalam kecerdasan emosi terdapat lima dimensi kecerdasan emosi yang
dikemukakan oleh Goleman (1999). Lima aspek tersebut di antaranya :
a. Kesadaran Diri(Self Awareness) : kemampuan mengetahui yang dirasakan diri
sendiri seorang individu.
b. Pengaturan Diri (Self Regulation) : kemampuan mengatur emosinya sendiri
sehingga berdampak positif pada
pelaksanaan tugas.
c. Motivasi (Motivation)
: kemampuan menggunakan hasrat untuk
menggerakkan dan menuntun diri menuju
sasaran.
10
d. Empati (Empathy)
: kemampuan merasakan perasaan orang
lain dan mampu memahami perspektif
orang lain.
e. Keterampilan Sosial (Social Skill) : kemampuan untuk menanggapi emosi
dengan baik ketika berhubungan orang
lain, mampu membaca situasi dan
jaringan sosial secara cermat, dapat
berinteraksi atau bekerja sama dengan
lancar.
2.1.5 Ciri-ciri Kecerdasan Emosi yang Tinggi
Dapsari (dalam Ifham dan Helmi, 2002) menjabarkan tentang ciri-ciri
kecerdasan emosi yang tinggi dari seorang individu adalah sebagai berikut :
a. Optimal dan selalu positif pada saat menangani situasi-situasi dalam
hidupnya, seperti saat menangani peristiwa dalam hidupnya dan menangani
tekanan masalah-masalah pribadi yang dihadapi.
b. Terampil dalam membina emosinya, di mana orang tersebut terampil di dalam
mengenali kesadaran emosi diri dan ekspresi emosi, juga kesadaran emosi
terhadap orang lain.
c. Optimal pada kecakapan kecerdasan emosi, di mana hal ini meliputi
kecakapan intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan antarpribadi
dan ketidakpuasan konstruktif.
d. Optimal pada nilai-nilai belas kasihan atau empati, intuisi, radius
kepercayaan, daya pribadi, dan integritas.
e. Optimal pada kesehatan secara umum, kualitas hidup, relationship quotient
dan kinerja optimal.
2.2 Gaya Pengelolaan Konflik
2.2.1 Definisi Konflik
Menurut Janasz, dkk. (2006) konflik adalah setiap situasi dimana tujuantujuan pengetahuan atau emosi dalam diri sendiri atau antar kelompok
bertentangan satu sama lain atau interaksinya bersifat antagonistic dimana
individu atau kelompok yang sama-sama memperjuangkan kepentingan,
11
persepsi, tujuan, nilai-nilai, atau pendekatan terhadap suatu masalah manusia
merupakan mahluk yang unik, memiliki berbagai macam perbedaan fisik
intelektual, emosional, ekonomi, dan sosial.
Liliweri (2005) mengungkapkan bahwa konflik merupakan pertentangan
untuk berusaha memenuhi tujuan dengan jalan menentang pihak lawan. Potensi
konflik terjadi manakala terjadi kontak antar manusia, sebagai individu yang
terorganisasi dalam kelompok, individu ingin mencari jalan untuk memenuhi
tujuannya.
Willmot & Hocker (2007) menjelaskan bahwa konflik adalah pernyataan
perebutan antara dua orang atau kelompok yang saling tergantung yang merasa
bahwa adanya pertentangan tujuan, keterbatasan sumber daya, dan terdapat
campur tangan pihak lain dalam mencapai tujuan tertentu dan persepsi
merupakan inti dari semua analisis terhadap konflik.
Dari definisi-definisi di atas mengenai konflik, maka dapat dikatakan
bahwa konflik merupakan proses interaktif karena adanya ketidaksesuaian atau
perbedaan dalam tujuan dari masing-masing individu atau kelompok . Proses
tersebut terjadi ketika individu atau kelompok merasa bahwa individu atau
kelompok lain melakukan sesuatu yang merugikan atau telah mengenakan
sesuatu yang negatif. Misalnya ketika seorang individu merasa bahwa
pendapatnya atau pilihannya dinilai buruk oleh individu lainnya sehingga
berdampak pada kelangsungan hidupnya.
2.2.2 Sumber-Sumber Konflik
Ada beberapa sumber konflik menurut Moore (dalam Ruman, dkk.,
2013) antara lain emosi-emosi yang kuat, salah persepsi atau stereotype, kurang
atau salah dalam berkomunikasi, perilaku negatif yang terjadi berulang-ulang.
Janasz, dkk. (2006) mengemukakan tentang sumber terjadinya konflik
interpersonal di antaranya terbatasnya sumber daya, perbedaan dalam cita-cita,
miskomunikasi, perbedaan dalam sikap, nilai-nilai dan persepsi, serta perbedaan
dalam gaya.
Nurhidayah (2011) juga mengungkapkan sumber-sumber konflik antara
lain kesalahan persepsi (misperception), kesalahan dalam pendapat (misopinion),
12
kesalahan dalam memahami (misunderstanding), kesalahan komunikasi
(miscommunication), perbedaan tujuan (goal different), nilai-nilai (values), latar
belakang kebudayaan (cultue background), sosial-ekonomi, serta sifat-sifat
pribadi (personality traits).
2.2.3
Tipe-Tipe Konflik
Hunt and Metcalf (1996) membagi konflik menjadi dua jenis, yaitu
intrapersonal conflict (konflik intrapribadi) dan interpersonal conflict (konflik
antarpribadi). Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi dalam diri
individu sendiri, misalnya ketika keyakinan yang dipegang individu
bertentangan dengan nilai budaya masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai
dengan kemampuannya. Konflik intrapersonal ini bersifat psikologis, yang jika
tidak mampu diatasi dengan baik dapat menggangu bagi kesehatan psikologis
atau kesehatan mental (mental hygiene) individu yang bersangkutan.
Sedangkan konflik interpersonal ialah konflik yang terjadi antar individu.
Konflik ini terjadi dalam setiap lingkungan sosial, seperti dalam keluarga,
kelompok teman sebaya, sekolah, masyarakat dan negara. Konflik ini dapat
berupa konflik antar individu dan kelompok, baik di dalam sebuah kelompok
(intragroup conflict) maupun antar kelompok (intergroup conflict).
Konflik interpersonal atau konflik antar pribadi adalah suatu konflik
yang mempunyai kemungkinan lebih sering muncul dalam kaitannya antara
individu dengan individu lainnya dalam suatu organisasi (Wijono, dalam
Rahayu, 2013). Sementara konflik interpersonal menurut Johnson dan Johnson
(dalam Dayaksini & Hudaniah, 2009) adalah suatu situasi dimana tindakan
seseorang berakibat menghalangi, menghambat, menganggu tindakan orang lain.
2.2.4 Peran Konflik
Sejatinya, konflik juga memiliki peran dalam kehidupan sosial atau
kehidupan antar kelompok. Menurut Janasz, dkk. (2006) peran konflik dibagi
menjadi dua yaitu peran positif dan peran negatif.
a. Peran positif dari terjadinya suatu konflik bersifat fungsional dan
mendukung atau dapat menguntungkan organisasi atau tujuan-tujuan
13
pribadi. Konflik juga bersifat konstruktif sehingga konflik akan
memungkinkan terjadinya keputusan yang lebih baik, kreatif, dan jalan
keluar yang lebih inovatif terhadap masalah jangka panjang.
b. Peran negatif dari terjadinya suatu konflik yaitu bersifat disfungsional dan
menghambat kinerja organisasi atau orang tersebut atau kemampuan untuk
mencapai tujuan atau sasaran yang ingin dicapai. Dalam kondisi yang
seperti itu, konflik bersifat destruktif. Konflik yang bersifat destruktif
tersebut cenderung menimbulkan tekanan dan kecemasan, membuat orang
menjadi tidak mampu untuk mengambil tindakan, hilangnya harga diri dan
tujuan.
2.2.5 Gaya Pengelolaan Konflik
Wilmot dan Hocker (2007) memberikan definisi tentang gaya
pengelolaan konflik merupakan respon terpola, atau kelompok tingkah laku yang
digunakan orang-orang dalam upaya menyelesaikan konflik setiap orang
memiliki cara atau gaya yang berbeda-beda. Sedangkan taktik konflik
merupakan tingkah laku-tingkah laku individual yang digunakan oleh seseorang
untuk menunjukkan pendekatan mereka secara umum. Gaya menjelaskan
gambaran umumnya, sedangkan taktik menjelaskan bagian-bagian atau
potongan-potongan dari gambaran umum tersebut. Ketika seseorang
menggunakan taktik berkali-kali atau berulang kali, maka hal tersebut akan
menjadi gaya atau respon yang terpola. Pemilihan gaya berkembang selama
kehidupan individu yang berdasarkan pada keterpaduan dari genetik,
pengalaman hidup, latar belakang keluarga, dan filsafat pribadi. Ketika dewasa,
orientasi dasar pada konflik akan menetap. Pilihan pada kerukunan dan
ketenangan atau melawan dengan sekuat tenaga akan jelas terlihat
Ada beberapa klasifikasi gaya pengelolaan konflik salah satunya adalah
klasifikasi gaya pengelolaan konflik yang dijabarkan oleh Thomas dan Kilmann
(dalam Wilmot dan Hocker, 2007) yaitu ada lima gaya pengelolaan konflik,
di antaranya gaya menghindar (avoidance), kompetisi (competition), kompromi
(compromise), mengalah (accommodating), dan kolaborasi (collaboration).
Thomas dan Kilmann (dalam Wilmot dan Hocker, 2007) pertama kali
14
menjelaskan pendekatan lima gaya pengelolaan konflik di atas ketika mereka
menempatkan kelima gaya tersebut dalam suatu bagan berdasarkan dua
kerangka dimensi, yaitu concern for the self dan concern for the other.
Kecenderungan untuk concern for the self membutuhkan tingkat kepedulian
terhadap pencapaian kebutuhan pribadi (assertiveness) dan kecenderungan untuk
concern for the other membutuhkan tingkat kepedulian terhadap pencapaian
kebutuhan orang lain (cooperativeness). Semakin concern for the self maka
individu semakin memiliki kecenderungan assertive, sedangkan apabila individu
semakin concern for the other maka akan semakin memiliki kecenderungan
cooperative. Menurut Putnam (dalam Wilmot dan Hocker, 2007) dalam
menyelesaikan konflik, sebagian individu ada yang menggunakan kelima gaya
penyelesaian konflik ini secara bergantian, sesuai dengan konteks yang
dihadapinya.
Pendekatan lima gaya ini dapat dilihat pada bagan di bawah ini:
Competition
High
Collaboration
nnnn
Concern for
self
Compromise
Assertiveness
Accomodation
Avoidance
Low
Low
High
Concern for other
Cooporativeness
Gambar 2.1 Gambaran Gaya Pengelolaan Konflik Berdasarkan Pendekatan
Lima Gaya
Gaya pengelolaan konflik berdasarkan pendekatan lima gaya
pengelolaan konflik dari Thomas & Kilmann (dalam Wilmot dan Hocker, 2007)
15
a. Menghindar (Avoidance) low assertiveness, low coorporativeness
Gaya pengelolaan konflik avoidance dikarakteristikkan dengan
menyangkal konflik yang ada, mengubah dan menghindari topik konflik, tidak
memberikan pendapat, dan lebih memilih untuk bergurau daripada terlibat
langsung dengan konflik. Individu yang menggunakan gaya pengelolaan
konflik avoidance mungkin menghindari permasalahan dengan mengubah topik
pembicaraan atau langsung menarik diri dari permasalahan. Dalam gaya
pengelolaan konflik avoidance, kadang diiringi dengan criticize loop yaitu
individu menghindar untuk membicarakan permasalahan secara langsung
kepada pihak lawan tetapi menghabiskan banyak waktu membicarakan pihak
lawan kepada orang lain.
Taktik dalam gaya pengelolaan konflik avoidance ditandai dengan:
1. penyangkalan dan pengelakan (denial and equivocation);
2. pengaturan topik konflik (topic management);
3. memberikan perkataan yang datar (noncommittal remarks);
4. memberikan perkataan yang tidak relevan (irreverent remarks).
Gaya pengelolaan konflik avoidance membentuk kategori yang berbeda.
Contohnya, seorang individu yang berada pada posisi yang lemah mungkin
menolak terlibat dengan pihak lawan dengan mengatur topik konflik (topic
management) dan tidak menyatakan pendapat (noncommittal remarks).
Seringkali gaya pengelolaan konflik ini menggunakan bentuk “bujukan” yaitu
dengan menggungkapkan gurauan (jocking), mengelak (evasive remarks), dan
menghindari topik konflik (topic avoidance). Seseorang dengan posisi yang
lemah menggunakan bujukan guna mencoba menyenangkan atau memperdaya
pihak lawan dengan mengikuti apa yang diinginkan orang tersebut.
Taktik dalam penyanggahan bervariasi dari memberikan alasan-alasan
klasik, seperti mengabaikan pertanyaan, tidak mengindahkan pertanyaan,
mengalihkan pernyataan, dan menyatakan ketidaktahuan atau prasangka.
Pertentangan antara permasalahan bersifat tidak langsung, permasalahan
dielakkan dengan cara kadang-kadang memperdaya atau menyenangkan. Tidak
penting bagi orang yang menggunakan gaya avoidance untuk menarik apa
16
pilihan pihak lawan. Individu dengan gaya avoidance mungkin menginginkan
sesuatu tetapi tidak bersedia untuk memintanya secara langsung
b. Kompetisi (Competition) high assertiveness, low cooporativeness
Gaya pengelolaan konflik competiton atau “power over”,
dikarakteristikkan dengan perilaku yang agresif dan tidak kooperatif, mengejar
perhatian dengan mengorbankan orang lain. Berusaha untuk menambahkan
kekuatan melalui konfrontasi langsung, dengan mencoba memenangkan
argumen tanpa menyesuaikan pada tujuan dan keinginan orang lain. Seseorang
dengan gaya pengelolaan konflik competition biasanya berpikir bahwa
menyatakan perbedaan pendapat secara terbuka kepada pihak lawan merupakan
hal yang penting. Konflik dilihat sebagai suatu pertarungan dimana menang
merupakan tujuan yang diharapkan dan perhatian terhadap kebutuhan pihak
lawan merupakan hal yang kurang atau bahkan tidak penting.
Taktik gaya pengelolaan konflik competition melibatkan persaingan
secara lisan atau perilaku individulistis (Sillars, dkk. dalam Willmot dan
Hocker, 2007). Taktik ini berfokus pada orientasi menang/kalah dan sering
menggambarkan keyakinan bahwa seseorang memperoleh sesuatu, orang lain
kehilangan sesuatu (Thomas dan Kilmann, dalam Wilmot dan Hocker,
2007). Oleh karena itu, pihak yang menggunakan taktik competition akan
mencoba selangkah lebih maju dari pihak lawan untuk memperoleh
keberuntungan (Rogers dan Farace dalam Wilmot dan Hocker, 2007).
Taktik-taktik dalam gaya pengelolaan konflik competition antara lain:
1. kritik pribadi (personal criticism)
2. penolakan (rejection)
3. perintah yang bersifat bermusuhan (hostile imperatives)
4. gurauan yang bersifat menyindir (hostile jokes)
5. pertanyaan yang bersifat bermusuhan (hostile questions)
6. komentar yang berdasarkan dugaan (presumptive remarks)
7. menyangkal tanggung jawab (denial of responsibility).
Jika seseorang secara pribadi mengkritik kita, menolak pernyataan kita,
atau berperilaku dalam cara yang bermusuhan (dengan ancaman, gurauan, atau
pertanyaan) kita akan menyadari dengan jelas adanya suatu kompetisi.
17
Pernyataan konfrontasi merupakan dasar dari perspektif konflik “kalahmenang”. Taktik gaya competition seringkali digunakan dalam kombinasi.
Penyangkalan tanggung jawab terhadap konflik biasanya dihubungkan dengan
pernyataan yang berdasarkan praduga.
c. Kompromi (Compromise) medium assertiveness, medium cooperativess
Compromise adalah gaya pengelolaan konflik intermediate yang
menghasilkan beberapa keuntungan dan mengakibatkan kehilangan sesuatu pada
masing-masing pihak yang berkonflik. Dalam gaya pengelolaan konflik
compromise masing-masing pihak menyerahkan beberapa tujuan yang penting
untuk bergabung dengan pihak lain. Gaya pengelolaan konflik compromise ini
terkadang sulit dibedakan dengan gaya pengelolaan konflik collaboration. Gaya
pengelolaan konflik collaboration harus mencari solusi yang kreatif dan
fleksibel yang dapat memenuhi keinginan individu dan pihak lawan.
Gaya pengelolaan konflik compromise melibatkan taktik-taktik yang
menyarankan pertukaran (trade-offs) dan pergantian (exchanges). Ketika
terdapat perbedaan kekuasaan, gaya compromise biasanya melibatkan taktik
seperti memberikan atau menyerahkan sesuatu. Taktik-taktik gaya compromise
ditandai dengan:
1. permintaan keadilan (appeal to fairness)
2. menyarankan pertukaran (suggest a trade-off);
3. memaksimalkan keuntungan/ meminimalkan kerugian (maximize
wins/minimize losesses)
4. menyarankan solusi yang cepat, bersifat jangka pendek (offer a quick, shortterm solution).
Secara lebih jelas, gaya pengelolaan konflik compromise merupakan
gaya pengelolaan konflik yang berusaha menemukan jalan tengah dan
melibatkan keseimbangan antara perhatian terhadap diri sendiri maupun
perhatian terhadap pihak lawan.
d. Mengalah (Accomodation)low assertiveness, high cooperation
Individu dengan gaya pengelolaan konflik accommodation tidak
memaksakan kebutuhan pribadinya dan lebih memilih pendekatan yang
kooperatif dan harmonis (Neff dan Harter dalam Wilmot dan Hocker,
18
2007). Kepentingan pribadi lebih dikesampingkan dalam rangka menyenangkan
orang lain yang terlibat konflik dengannya (relasinya dengan orang lain mungkin
merupakan tujuan yang paling penting dari individu yang menerapkan gaya
accomodation). Emosi yang menyertai individu dengan gaya accommodation ini
dapat sangat berbeda, dari perasaan menyenangkan yang ringan, sampai dengan
perasaan marah dan kerelaan (compliance) yang sifatnya bermusuhan dan
terpaksa karena seseorang merasa kurang memiliki kuasa untuk melakukan
protes pada apa yang telah dilakukan terhadapnya. Individu ini mungkin berpikir
bahwa dirinya memberikan kebaikan kepada kelompok, keluarga, atau tim-nya
dengan menyerahkan, mengorbankan, atau mengesampingkan kebutuhan
pribadinya.
Taktik-taktik dalam gaya accommodation ini adalah sebagai berikut :
1. menyerah/ mengalah (giving up/giving in)
2. tidak ingin terlibat (disengagement)
3. menyangkal kebutuhan (denial of needs)
4. menginginkan keharmonisan (expression of desire for harmony)
Gaya accommodation dapat dihubungkan dengan codependence. Dalam
hubungan yang bersifat codependence, apa yang dilakukan, dipikirkan, atau
dirasakan oleh seseorang bergantung pada apa yang orang lain lakukan,
pikirkan, atau rasakan.
e. Kolaborasi (Collaboration) high assertiveness, high cooperation
Gaya pengelolaan konflik collaboration merupakan gaya pengelolaan
konflik yang menuntut keterlibatan yang paling konstruktif diantara semua gaya
pengelolaan konflik yang ada. Gaya pengelolaan konflik collaboration
menunjukkan perhatian yang tinggi pada tujuan diri sendiri dan tujuan orang
lain, kesuksesan dalam memecahkan masalah dan peningkatan hubungan.
Berbeda dengan gaya compromise, gaya collaboration melibatkan
perhatian yang tinggi terhadap kedua belah pihak, bukan perhatian dalam
takaran yang seimbang.
Gaya pengelolaan konflik collaboration belum berakhir sampai kedua
belah pihak sama-sama puas dan dapat bersama-sama mendukung solusi yang
telah dibuat. Dengan gaya pengelolaan konflik collaboration maka kedua belah
19
pihak sama-sama dapat memperoleh suatu kepuasan dan relasi yang dihasilkan
akan semakin membaik dan bukannya memburuk. Tidak seorangpun akhirnya
merasa benar atau dibenarkan. Gaya ini collaboration adalah kooperatif, efektif,
dan berfokus pada usaha kelompok, pertemanan, atau membagi bersama tujuan
personal. Kadang kala, gaya ini disebut juga dengan pemecahan masalah secara
bersama-sama. Dalam gaya ini, digunakan seluruh kemampuan berkomunikasi
yang baik.
Dalam berbagai konteks, penggunaan gaya collaboration dapat
menghasilkan suatu keputusan yang lebih baik dan meningkatkan kepuasan pada
kedua belah pihak (Sillars, Wall & Galanes, Pruitt, Gayle-Hackett dalam Wilmot
dan Hocker, 2007).
Taktik-taktik dalam gaya collaboration ini antara lain :
1. adanya ungkapan yang menganalisis konflik dengan membuat deskripsi
tanpa menginterpretasi, menyingkap, memberikan pernyataan yang menjadi
isyarat konflik terjadi, dan mengumpulkan kritik dari pihak lawan sebagai
jalan menuju kolaborasi
2. mengungkapkan pernyataan yang bersifat damai dengan memberikan
pernyataan yang mendukung pihak lawan, memberikan kelonggaran, dan
menerima tanggung jawab atas konflik yang telah disebabkan oleh masingmasing pihak.
Seluruh taktik gaya collaboration menggerakkan konflik pada dimensi
lain di mana masing-masing pihak tidak saling menghindar dan tidak saling
menyalahkan tetapi menghadapi konflik sebagai masalah bersama yang harus
diselesaikan.
2.2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Pengelolaan Konflik
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi gaya pengelolaan konflik
menurut Wirawan (2010), antara lain :
1.
Asumsi mengenai konflik
Pendapat pihak-pihak yang terlibat terhadap suatu konflik akan
mempengaruhi perilakunya.
20
2.
Persepsi mengenai penyebab konlfik
Pandangan terhadap penyebab konflik menentukan gaya pengelolaan
konflik yang dipilih.
3.
Ekspektasi atas reaksi lawan konfliknya
Kesadaran akan reaksi lawannya terhadap tindakan yang dipilih turut
mempengaruhi gaya pengelolaan konflik.
4.
Pola komunikasi dalam interaksi konflik
Gaya pengelolaan konflik ditentukan juga berdasarkan pola komunikasi
yang terjadi dalam interaski pihak-pihak yang berkonflik.
5.
Kekuasaan yang dimiliki
Jika pihak yang terlibat konflik memiliki kekuasaan maka gaya pengelolaan
konflik yang dipilih juga biasanya ditentukan oleh pihak yang lebih besar
kuasanya.
6.
Pengalaman menghadapi situasi konflik
Pengalaman pihak-pihak yang berkonflik menentukan gaya pengelolaan
konflik berdasarkan konflik yang pernah dialami sebelumnya.
7.
Sumber yang dimiliki
Sumber daya yang dimiliki turut menentukan bagi pihak yang berkonflik
memilih gaya pengelolaan konflik yang akan digunakan.
8.
Jenis Kelamin
Dalam beberapa penelitian sebelumnya tentang gaya pengelolaan konflik,
jenis kelamin turut mempengaruhi seorang individu dalam menerapkan gaya
pengelolaan konflik.
9.
Kecerdasan Emosional
Keterampilan mengelola emosi menjadi salah satu faktor menentukan gaya
pengelolaan konflik.
10. Kepribadian
Kepribadian pihak yang berkonflik mempengaruhi gaya pengelolaan
konfliknya.
11. Budaya organisasi sistem sosial
Budaya organisasi membentuk setiap pihak yang berkonflik dalam
menentukan gaya pengelolaan konflik.
21
12. Prosedur yang mengatur pengambilan keputusan jika terjadi konflik
Keberadaan prosedur yang sudah tersistem dengan baik juga turut menjadi
faktor penentuan gaya pengelolaan konflik
13. Situasi konflik dan posisi dalam konflik
Situasi dan posisi pihak yang terlibat juga memungkinkan pemilihan dan
perubahan gaya pengelolaan konflik.
14. Pengalaman menggunakan salah satu gaya pengelolaan konflik
Pengalaman dengan memakai salah satu gaya pengelolaan konflik yang
berhasil membuat pihak yang terlibat kemungkinan besar memakai gaya
tersebut kembali dalam konflik berikutnya.
15. Keterampilan berkomunikasi
Gaya pengelolaan konflik disesuaikan dengan kemampuan pihak yang
berkonflik dalam hal komunikasi.
2.3 Emerging Adulthood
Menurut Arnett (2006) masa emerging adulthood merupakan tahapan
perkembangan yang bukan merupakan tahapan remaja maupun dewsa diawali dengan
masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa yang melibatkan eksperimentasi
dan eksplorasi dengan rentang usia 18-25 tahun. Arnett (2000) merumuskan emerging
adulthood sebagai sebuah konsep tahap perkembangan yang jelas, yang memiiki
karakterisik perubahan dan eksplorasi dari arah hidup. Secara spesifik Arnett
memisahkan tahap perkembangan ini dari tahap perkembangan remaja dan young
adulthood. Arnett (1994) mengemukakan alasan yang sangat jelas tentang emerging
adulthood yang membedakannya dari tahap perkembangan remaja dan young
adulthood. Tiga hal utama telah diuji secara teoritis dan empiris sehingga menghasilkan
suatu rumusan yaitu demografis, identity exploration, dan persepsi subjektif dengan
penjelasan sebagai berikut :
1. Demografis
Merupakan argumen pertama yang dibangun untuk mengonsepkan emerging
adulthood dibangun melalui data demografis dari usia kronologi dalam tahap ini.
Survei secara demogrfis mengindikaaikan bahwa pada usia 18-25 tahun remaja
berada pada kondisi yang sangat cepat berubah dan tidak stabil. Hal ini
22
memperlihatkan bahwa karakteristik emerging adulthood dihadapkan pada berbagai
macam perubahan, ketidakstabilan secara demografis dan sama sekali tidak
tergantung pada norma yang tetap (Arnett, 2000).
2. Identity Exploration
Proses perkembangan eksplorasi diri meliputi eksperimentasi dengan berbagai
macam arah hidup dan proses pengambilan keputusan. Adapun di tahap emerging
adulthood, eksplorasi identitas lebih digali secara serius dan fokus terutama di area
cinta, pekerjaan, dan world views (Arnett, 2000). Pada area cinta, pada fase emerging
adulthood, mulai ada usaha untuk memikirkan hubungan yang lebih intim mengarah
kepada pernikahan (Arnett, 2000). Pada area pekerjaan, eksplorasi identitas lebih
berfokus dan serius untuk dieksplorsi karena emerging adulthood memandang
pekerjaan mereka sebagai suatu pengalaman untuk mempersiapkan masa depan
pekerjaan mereka. Pada area world views, Smith (2006) mengatakan bahwa
kehidupan di kampus menawarkan banyak sekali paham seperti pluralism,
individualism, dan hedonism juga tawaran akan kehidupan bebas seperti pornografi
dan obat-obatan terlarang. Kehidupan di perkuliahan memberikan kesempatan
seseorang untuk menemukan berbagai macam pandangan hidup dan sebagaian besar
anak dalam masa emerging adulthood bersepakat mengikuti suatu pandangan hidup
yang baru baik dari segi kepercayaan maupun sikap (Perry, 1999).
3. Persepsi Subjektif
Persepsi subjektif atau subjective perceptions menjadi dasar konseptualisasi
emerging adulthood sebagai tahap perkembangan yang berbeda adalah keterlibatan
persepsi individual mengenai kedewasaan. Arnett (2000) mengintepretasikan hasil
tersebut sebagai karakter yang harus dimiliki oleh seorang yang menjadi dewasa
adalah sukses dengan mampu memenuhi kecukupan diri.
Arnett (2000) menggolongkan lima criteria emerging adulthood yang dapat
dilihat dari perilaku seseorang pada tahapan ini antara lain :
1. Identity Exploration
Pada tahapan ini manusia akan mencari dan mengeksplorasi identitas yang ia cari
secara serius dan fokus untuk mempersiapkannya memasuki tahapan kehidupan
selanjutnya seperti cinta dan pekerjaan.
23
2. Instability
Pada emerging adulthood, seseorang memiliki sebuah rencana yang akan ia bawa
dan wujudkan saat dewasa kelak. Namun, seiring masuknya ke tahapan emerging
adulthood mereka banyak mengalami perubahan rencana yang telah disusun.
3. Being self-focused
Pada tahapan ini, tujuan dari tahapan self-focused adalah mampu mandiri, termasuk
juga mampu mencukupi kebutuhan diri sendiri.
4. Feeling in between and in transition
Pada masa emerging adulthood
yang berada pada perasaan antara dewasa dan
remaja dan ia harus memenuhi beberapa kriteria untuk menjadi dewasa karena ia
masih belum dewaa secara penuh.
5. Possibilities
Ini merupakan bagian tahapan yang dipenuhi dengan harapan dan ekspektasi yang
luar biasa akan masa depan. Sebagian mimpi mereka diupayakan untuk dicoba dalam
kehidupan nyata.
2. 4 Kerangka Berpikir
Binus University merupakan salah satu universitas swasta di Jakarta yang
didalamnya terdapat banyak civitas akademika yang berasal dari latar belakang seperti
etnis, agama, serta status sosial-ekonomi yang beragam. Binus University menerapkan
satu mata kuliah yang bernama Character Building. Dua dari mata kuliah Character
Building yang diajarkan di Binus University ialah Self Development yang sebelum
tahun akademik 2013-2014 bernama Character Building Relasi Dengan Diri Sendiri
dan Interpersonal Development yang sebelum tahun akademik 2013-2014 bernama
Character Building Relasi Dengan Sesama.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti yang melibatkan 7 orang yang terdiri dari
3 mahasiswa dan 4 mahasiswi, ada fenomena dimana mahasiswa dan mahasiswi
psikologi binus terlibat konflik karena adanya selisih pendapat, perbedaan kepentingan,
persepsi etnis dan stereotype tentang satu ras tertentu 14,3% mahasiswi yang peneliti
wawancara cenderung menggunakan gaya pengelolaan konflik menghindar (avoidance)
karena tidak ingin terlibat ke dalam konflik yang berkepanjangan dan merasa bahwa
lawan konfliknya sudah sama-sama tahu tentang penyebab konflik dan tidak perlu untuk
24
disampaikan secara langsung, 14,3% mahasiswa menerapkan gaya pengelolaan konflik
mengalah (accomodation) karena mahasiswa tersebut mengaku sebagai mahasiswa yang
cinta damai dan tidak ingin konflik yang berlarut-larut, 14,3% mahasiswi yang
menerapkan gaya pengelolaan konflik kolaborasi (collaboration) karena ingin mencapai
kesepakatan bersama agar kedua belah pihak yang berkonflik merasa puas dan konflik
terselesaikan. Saat mengalami konflik, Mahasiswa dan Mahasiswi Psikologi Binus
University juga menerapkan gaya pengelolaan konflik yang berbeda-beda tergantung
mood serta orang yang berkonflik dengannya misalnya saat berkonflik dengan teman
lawan jenis.
Wilmot dan Hocker (2007) mengungkapan bahwa onflik adalah pernyataan
perebutan antara dua orang atau kelompok yang saling tergantung yang merasa bahwa
adanya pertentangan tujuan, keterbatasan sumber daya, dan terdapat campur tangan
pihak lain dalam mencapai tujuan tertentu dan persepsi merupakan inti dari semua
analisis terhadap konflik. Konflik bersumber dari emosi-emosi yang kuat, salah persepsi
atau stereotype, kurang atau salah dalam berkomunikasi, perilaku negatif yang terjadi
berulang-ulang (Moore, dalam Ruman, dkk. 2013). Wilmot dan Hocker (2007)
menjelaskan mengenai gaya pengelolaan konflik individu. Upaya menyelesaikan
konflik setiap orang memiliki cara atau gaya yang berbeda-beda. Thomas dan Kilmann
(dalam Wilmot dan Hocker, 2007) mengklasifikasi lima gaya pengelolaan konflik, di
antaranya gaya menghindar (avoidance), kompetisi (competition), kompromi
(compromise), mengalah (accommodating), dan kolaborasi (collaboration). Pada
dasarnya orientasi dalam menyelesaikan konflik ada dua hal, yaitu menghindar atau
melawan (Wilmot dan Hocker, 2007). Namun menurut Putnam (dalam Wilmot dan
Hocker, 2007) dalam menyelesaikan konflik, sebagian individu ada yang menggunakan
kelima gaya pengelolaan konflik ini secara bergantian, sesuai dengan konteks yang
dihadapinya. Akan tetapi setiap individu menggunakan gaya pengelolaan konflik
tertentu secara lebih dominan digunakan dibandingkan gaya pengelolaan konflik
lainnya (Wilmot dan Hocker, 2007).
Aspek-aspek kecerdasan emosi menurut Goleman (1999) antara lain Kesadaran
Diri (Self Awareness), Pengaturan Diri (Self Regulation), Motivasi (Motivation), Empati
(Empathy), dan Keterampilan Sosial (Social Skill) adalah dimensi-dimensi yang
25
menjadi tolak ukur seorang individu dalam mengelola emosinya. Salah satu dimensi
kecerdasan emosi dari Goleman (1999) yaitu Keterampilan Sosial (Social Skill) yang
merupakan kemampuan untuk menanggapi emosi dengan baik ketika berhubungan
orang lain, mampu membaca situasi dan jaringan sosial secara cermat, dapat
berinteraksi atau bekerja sama dengan lancar. Apabila mahsiswa juga memiliki
kecerdasan emosi yang tinggi seperti yang terdapat dalam ciri-ciri kecerdasan emosi
yang tinggi oleh Dapsari (dalam Ifham dan Helmi, 2002) yaitu optimal pada kecakapan
kecerdasan emosi, di mana hal ini meliputi kecakapan intensionalitas, kreativitas,
ketangguhan, hubungan antarpribadi dan ketidakpuasan konstruktif.. Ciri kecerdasan
emosi tesebut dapat dihubungkan dengan mahasiswa yang memiliki kecerdasan emosi
yang tinggi mempunyai kecakapan dalam hubungan antarpribadi dan apabila mahasiswa
tersebut cakap dalam hubungan antar pribadi maka mahasiswa tersebut dapat mengelola
konflik dengan cara yang tepat dengan tujuan agar konflik tersebut selesai dan tidak
menimbulkan perpecahan. Salah satu faktor yang mempengaruhi gaya pengelolaan
konflik seorang individu adalah kecerdasan emosi (Wirawan, 2010). Menurut Imran
(2013) mengelola konflik sesuatu tantangan. Karena dalam mengelola konflik
membutuhkan strategi-strategi pilihan dimana bergantung pada keterampilan mengelola
dari seorang individu yang disebut kecerdasan emosi.
Dari penelitian-penelitian sebelumnya, kebanyakan meneliti tentang korelasi
kecerdasan emosi dengan gaya pengelolaan konflik dan belum ada penelitian yang
meneliti tentang perbedaan tingkat kecerdasan emosi berdasarkan gaya pengelolaan
konflik terlebih lagi penelitian tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia. Peneliti
ingin melihat apakah ada perbedaan kecerdasan emosi berdasarkan gaya pengelolaan
konflik pada mahasiswa tingkat akhir jurusan psikologi Binus University
26
Fenomena konflik
yang terjadi antar
mahasiswa
psikologi Binus
University
bersumber dari
selisih pendapat,
persepsi atau
stereotype, dan
perbedaan
kepentingan
Mahasiswa psikologi Binus
University menerapkan gaya
pengelolaan konflik yang
berbeda-beda
Gaya pengelolaan konflik
gaya menghindar
(avoidance)
kompetisi (competition)
kompromi (compromise)
mengalah (accommodating)
kolaborasi (collaboration)
Mahasiswa psikologi
Binus University telah
mempelajari mata
kuliah yang
mempelajari tentang
emosi serta mata kuliah
Charater Building Self
Development
Kecerdasan Emosi
Rendah Sedang Tinggi
Keterkaitan antar dua variabel
Salah satu faktor yang
mempengaruhi gaya
pengelolaan konflik seorang
individu adalah kecerdasan
emosi (Wirawan, 2010)
Dalam mengelola
konflik membutuhkan
strategi-strategi
pilihan dimana
bergantung pada
keterampilan
mengelola dari
seorang individu yang
disebut kecerdasan
emosi (Imran, 2013)
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berpikir
2.5 Hipotesis
Hipotesis merupakan kesimpulan sementara yang masih harus diuji
kebenarannya melalui analisis terhadap bukti-bukti empiris (Iskandar, 2008). Hipotesis
dalam penelitian ini adalah :
Ha:
Ada perbedaan kecerdasan emosi berdasarkan gaya pengelolaan konflik
pada mahasiswa psikologi Binus University.
Ho:
Tidak ada peredaan kecerdasan emosi berdasarkan gaya pengelolaan
konflik pada mahasiswa psikologi Binus University.
Download