Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan

advertisement
Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan (Analisis Kasus Khmer Merah)
Oleh.
Malahayati1
Abstract
The application of nullum crimen sine lege principle to genocide and crime against humanity by
individual or government official still appears and is debatable in International Law. This rule cannot
be treated alike nullum crimen sine lege principle in municipal law. The atrocities conducted by
Khmer Rouge describe the criteria of war crime, genocide, and crime against humanity. This essay is
aimed to analyze the legal standing of nullum crimen sine lege applied by International Military
Tribunal in Khmer Rouge Case.
Keywords: Individual Responsibility, Crimes, Humanity, Khmer Merah
A. PENDAHULUAN
Saat ini, para pelaku hukum internasional telah mengembangkan beberapa norma dan
prosedur yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap individu dalam kondisi perang
maupun damai. Walaupun perjanjian dan kebiasaan internasional cenderung membebankan kepada
negara sebagai subjek hukum internasional untuk menjalankan norma dan prosedur tersebut, namun
tidak menutup kemungkinan kewajiban itu juga diberikan kepada subjek bukan negara (non-state
actor) yang memiliki potensi untuk menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Masyarakat internasional
juga sudah lama mengakui, melalui hukum pidana, bahwa individu juga harus bertanggung jawab
terhadap perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian terhadap martabat umat manusia.
Berbagai kejadian yang menyedihkan menorehkan sejarah panjang bagi umat manusia,
membuat masyarakat internasional mengakui bahwa individu juga bertanggung jawab terhadap
kejahatan kemanusiaan berdasarkan hukum internasional. Sebenarnya kriminalisasi hukum
internasional sudah dimulai sebelum masa hukum hak asasi manusia diperkenalkan. Walaupun kasus
pidana yang pertama sekali diakui oleh negara adalah kasus pembajakan, yang sebenarnya cukup
berbeda dengan kasus kejahatan terhadap martabat manusia, dan negara-negara kemudian
menjatuhkan hukuman kepada individu karena individu pembajak tersebut bukan merupakan
1
Pengajar Mata Kuliah Hukum Internasional dan Hukum Humaniter pada Fakultas Hukum Universitas
Malikussaleh.
perwakilan dari negara manapun.
Pada awal Abad ke-XV, negara-negara mulai mengadili kasus-kasus kejahatan perang –
dikenal dengan istilah pelanggaran hukum humaniter internasional – dan selanjutnya mulai
merumuskan beberapa ketentuan hukum baru mengenai kejahatan kemanusiaan. Selama Abad keXIX, beberapa negara membuat perjanjian yang menyatakan bahwa perdagangan budak yang
dilakukan oleh individu adalah sebuah kejahatan. Seiring perkembangan hukum internasional modern
setelah Perang Dunia II, negara-negara mengembangkan beberapa perjanjian tambahan tentang
tanggung jawab individu terhadap berbagai pelanggaran hak asasi manusia, yang lebih dikenal
dengan hukum pidana internasional.
Pada dasarnya, hukum hak asasi manusia, hukum humaniter, dan hukum pidana internasional
merupakan tiga lingkaran, yang satu sama lainnya saling terkait, sebagaimana terlihat dalam Gambar
1. Beberapa perjanjian internasional tentang hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional
mengandung ketentuan tentang sanksi atau hukuman. Dalam hal ini, acara pidana merupakan
alternatif dalam menegakkan hak asasi manusia dan hukum humaniter. Di sisi lain, negara-negara
tidak ingin semua kejahatan terhadap hak asasi manusia dan humaniter dibebankan kepada individu,
begitu juga sebaliknya tidak semua hukum pidana internasional terkait dengan hukum humaniter dan
hak asasi manusia. Hukum pidana internasional juga mengatur tentang tindakan-tindakan di luar hak
asasi manusia maupun sengketa bersenjata, seperti pembajakan pesawat, kejahatan narkotika dan
obat terlarang, serta perdagangan vcd/video porno.
Gambar 1:
Hukum Pidana
Internasional
Hukum
Hak Asasi
Manusia
Hukum Humaniter
Internasional
Norma hukum pidana internasional dapat diterapkan pada tingkat nasional maupun
internasional, baik melalui penuntutan secara tradisional (peradilan biasa) maupun di luar pengadilan.
Beberapa negara yang mengalami pelanggaran terhadap kemanusiaan akan memilih sistem
peradilan untuk memperjuangkan hak-haknya, sementara sebagian negara lain akan memilih jalur di
luar peradilan, karena kekurangan dana ataupun dukungan politik untuk mengajukannya di
mahkamah internasional. Sebagian juga akan memilih menggunakan kewenangan jurisdiksi nasional
yang mereka miliki untuk mengadili pelaku. Bahkan di beberapa kasus, walaupun jarang terjadi,
negara bersama-sama membentuk tribunal internasional untuk mengadili pelaku.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan mencoba menganalisis kasus Khmer Merah
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan landasan hukum Mahkamah Militer
Internasional dalam menerapkan asas keadilan retroaktif dan nullum crimen sine lege terhadap
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan oleh individu maupun pemerintah secara
institusional, yang terjadi selama masa pemerintahan Khmer Merah di Kamboja.
B. PEMBAHASAN
1. Kelompok Khmer Merah
Di akhir tahun 1960-an, Partai Komunis Kamboja (Communist Party of Kampuchea), dikenal
dengan Khmer Merah atau Red Khmer, mulai melakukan perlawanan bersenjata terhadap
Pemerintahan Pangeran Norodom Sihanouk. Perlawanan ini meningkat setelah kudeta pada tahun
1970 terhadap Sihanouk dan menggantikannya dengan rejim baru, Republik Khmer, pembela setia
Amerika Serikat di perang Vietnam. Sihanouk kemudian bergabung dengan Khmer Merah dan
mendapat dukungan dari negara-negara komunis lain, sehingga gerakan perlawanan terjadi di hampir
semua wilayah negara tersebut. Pada bulan April 1975, mereka telah menaklukkan seluruh negara
dan menamakannya Demokratik Kamboja.
Khmer Merah menyatakan bahwa kemenangan mereka merupakan akhir dari 2000 tahun
penundukan kaum petani Khmer terhadap kekuatan dan musuh asing. Mereka masih terus
menganggap musuh-musuh ini sebagai ancaman. Kemudian mereka melancarkan revolusi
pemusnahan terhadap semua lembaga sosial masyarakat, menghilangkan semua pengaruhpengaruh asing, dan menggantikan seluruh populasi atau rakyatnya menjadi pasukan pekerja.
Mereka juga secara brutal melawan semua unsur yang dicurigai sebagai pihak musuh.
Pelanggaran HAM pada tahun 1975 itu mencapai 1,5 sampai 1,7 juta, dari total populasi 7,3
sampai 7,9 juta jiwa.2 Kekejaman ini dapat dibagi dalam tiga kategori:
-
Forced Population Movement
Yaitu memindahkan penduduk dari pusat kota karena dianggap kota sebagai pusat
berkembangnya musuh-musuh Kamboja. Pemerintah memaksa 2 sampai 3 juta penduduk dari
semua golongan dan umur keluar dari wilayah kota dan pindah ke daerah perkampungan,
sehingga banyak penduduk yang meninggal dalam proses pemindahan paksa tersebut.
-
Forced Labor and Inhumane Living Conditions
Yaitu rakyat yang dijadikan buruh dan dipaksa untuk menanam hasil tani serta membangun
proyek infra struktur skala besar. Bekerja dalam waktu panjang dan tanpa makanan yang
cukup. Kelaparan, penyakit, dan kelelahan membunuh ratusan ribu rakyat Kamboja. Khmer
Merah juga membunuh orang-orang yang menolak untuk bekerja ataupun sudah tidak mampu
lagi bekerja.
-
Attacks on Enemies of the Revolution
Khmer Merah membunuh pimpinan, aparat militer dan birokrat pada pemerintahan
sebelumnya, bahkan sebagian dibunuh di hadapan keluarganya. Kelompok Muslim Cham
yang sudah ada selama 500 tahun di Kamboja dibubarkan secara paksa, bahasa dan adat
istiadat mereka dilarang, dan pimpinan mereka dibunuh. Kebanyakan suku Vietnamese yang
banyak berperan dalam perekonomian dikeluarkan dari Kamboja pada tahun 1975.
Selanjutnya Khmer Merah menargetkan membunuh ribuan guru, pelajar, profesional, dan
siapa saja yang bisa berbahasa asing atau punya hubungan dengan negara asing. Pemerintah
menyerang institusi agama, termasuk Buddha, yang merupakan agama mayoritas orang
Kamboja.
Pada masa ini, Pemerintah Demokratik Kamboja juga terlibat perang perbatasan dengan
Vietnam. Tahun 1977, Kamboja membunuh ratusan orang Vietnam di perkampungan yang ada di
perbatasan. Vietnam kemudian mengirimkan pasukan tentara ke Kamboja pada akhir 1977 dan
melakukan invasi besar-besaran pada Desember 1978. Tentara Vietnam mencapai ibukota negara
2
Dunoff, Jeffrey. L, dkk. International Law: Norms, Actors, Process: a Problem Oriented Approach, 2nd Ed.
(New York: Aspen Publisher, 2006) Hlm. 611.
dalam waktu dua minggu dan menempatkan pejabat Khmer terdahulu yang telah melarikan diri ke
Vietnam sebagai pimpinan.
Selama sepuluh tahun terjadi perang sipil antara pengikut Khmer Merah dan Rejim yang
ditempatkan oleh Vietnam dan menguasai hampir seluruh wilayah negara. Para pihak kemudian
setuju untuk melakukan perjanjian perdamaian pada tahun 1991, diikuti dengan penempatan pasukan
PBB dan pemilihan umum pada tahun 1993, yang diboikot oleh Khmer Merah. Pemerintahan baru
menghimbau Khmer Merah untuk menyerahkan diri dan menawarkan amnesti. Pertangahan 1990-an,
secara efektif kelompok Khmer Merah dibubarkan sebagai kelompok bersenjata. Pol Pot, pimpinan
negara Demokratik Kamboja, mati di tempat persembunyian di pegunungan pertapaan pada tahun
1998, pengikutnya kemudian menyatakan kesetiaanya kembali pada pemerintahan yang baru.
2. Keadilan Retroaktif dan Asas Nullum Crimen Sine Lege
Untuk bisa menyeret pelaku pelanggaran terhadap kemanusiaan di Kamboja, pengadilan
harus menelaah kembali tentang ketentuan larangan yang paling fundamental dalam hukum
internasional maupun hukum nasional tentang kriminalisasi terhadap sebuah tindakan yang pada
waktu dilakukan bukanlah merupakan tindakan pidana. Asas “nullum crimen sine lege, nulla poena
sine lege” atau tiada kejahatan tanpa hukum, tiada hukuman tanpa aturan merupakan asas yang
menjadi catatan penting dalam mengkriminalkan sebuah tindakan. Asas ini kemudian muncul dalam
berbagai bentuk penerapannya, dalam berbagai bidang hukum. Termasuk larangan konstitusional
terhadap hukum ex post facto, pembatasan dalam menafsirkan sebuah hukum pidana, dan ketentuan
dalam hukum hak asasi manusia yang melarang gugatan terhadap tindakan yang belum ada
ketentuan ataupun larangan ketika tindakan itu dilakukan.
Dalam konteks hukum pidana internasional, asas nullum crimen memiliki dimensi yang
berbeda. Berbeda dengan kebanyakan hukum pidana nasional sebuah negara, sebagian besar
hukum pidana internasional tidak dikodifikasikan dalam perjanjian internasional atau bentuk perjanjian
lainnya. Sebagai hukum kebiasaan, norma-norma dalam hukum pidana internasional memiliki resiko
bagi tersangka dalam kasus pidana internasional. Mereka memiliki kemungkinan untuk menghadapi
gugatan dan peradilan dengan berbagai macam metode dan pendekatan dari berbagai kebiasaan
yang ada.
Setelah Perang Dunia II, empat negara Aliansi yang memenangkan perang saat itu merancang
Piagam Mahkamah Militer Internasional (International Military Tribunal – IMT) di Nuremberg. Mereka
menghadapi masalah yang sama ketika harus memutuskan tindakan kriminal apa yang dapat
diajukan terhadap pimpinan Nazi. Dipimpin oleh Robert Jackson, Hakim Mahkamah Agung Amerika
Serikat, para penyusun draft ini sangat berhati-hati dalam menyusun rancangan tersebut, khususnya
terkait dengan asas keadilan retroaktif.
Pada Agustus 1945, sesaat perang berakhir, kelompok Aliansi menyelesaikan Piagam
Mahkamah Militer Internasional. Adapun ketentuan tentang perbuatan atau tindakan yang
dikategorikan tindakan pidana pada masa perang diatur dalam Pasal 6 Piagam Mahkamah Militer
Internasional. Isinya sebagai berikut:
Charter of International Military Tribunal at Nuremberg3
Article 6
The Tribunal … shall have the power to try and punish persons who, acting in the interests of
the European Axis Countries, whether as individuals or as members of organizations,
committed any of the following crimes. The following acts, or any of them, are crimes coming
within jurisdiction of the Tribunal for which there shall be individual responsibility:
(a) Crimes against peace, namely: planning, preparation, initiation or waging of a war of
agression, or a war in violation of international treaties, agreements or assurances, or
participation in a common plan or conspiracy for the accomplishment of any of the
foregoing;
(b) War crimes, namely: violation of the laws or customs of war. Such violations shall
include, but not limited to, murder, ill-treatment or deportation to slave labour or for any
other purpose of civilian population of or in occupied territory, murder or ill-treatment of
prisoners of war or persons on the seas, killing of hostages, plunder of public or private
property, wanton destruction of cities, towns or villages, or devastation not justified by
military necessity;
(c) Crimes against humanity, namely: murder, extermination, enslavement, deportation, and
other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war,
or persecutions on political, racial, or religious grounds, in execution of or in connection
with any crime within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of the
domestic law of the country where perpetrated…
3
82 U.N.T.S. 279 (1945)
Article 7
The official position of defendants whether as Heads of State or responsible officials in
Government Department, shall not be considered as freeing them from responsibility or
mitigating punishment.
Article 8
The fact that the Defendant acted pursuant to order of his Government or of the superior
shall not free him from responsibility, but may be considered in mitigating of punishment if the
Tribunal determines that justice so requires.
Setelah persidangan terhadap penjahat perang pimpinan Nazi oleh IMT, negara Aliansi
melaksanakan persidangan terhadap ribuan anggota Nazi. Sebagian besar peradilan ini dilaksanakan
di wilayah negara jajahan mereka (Nazi) sebelumnya, seperti Perancis, Belanda, dan Polandia,
berdasarkan hukum nasional negara tersebut. Namun Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis
melaksanakan peradilan di wilayah pendudukan di Jerman. Pengadilan-pengadilan ini umumnya
memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang juga menjadi kewenangan IMT. Kebanyakan kasus
dituntut berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 yang dibentuk oleh Dewan Pengawas yang
mengatur pemerintahan pendudukan Jerman. Pengadilan ini umumnya terdiri dari hakim pengadilan
negeri Amerika Serikat dan mengadili kelompok-kelompok tergugat, termasuk komandan tinggi
Jerman, pemimpin kelompok gerilya (Einsatzgruppen), dokter-dokter yang melakukan praktik medis,
dan pelaku-pelaku industri.
Dalam sebuah kasus yang disebut Justice Case4, 14 orang tergugat yang terdiri dari hakim
dan jaksa Nazi dituntut telah menyalahgunakan kewenangan sistem peradilan terhadap para tawanan
politik, Kaum Yahudi, dan target lainnya. Persidangan ini sering berakhir pada hukuman mati. Mereka
dijatuhi hukuman atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam kasus ini
hakim memberikan argumentasi terkait dengan asas Ex Post Facto. Para tergugat mencari
perlindungan berdasarkan asas nullum crimen sine lege, walaupun mereka sendiri tidak mengakui
asas tersebut selama rejim Hitler. Dengan jelas prinsip ini tidak membatasi hak ataupun kewenangan
IMT dalam memutuskan tindakan mereka, yang nyata-nyata telah melanggar hukum internasional
4
Kasus United States v. Josepf Alstoetter et al, Catatan Persidangan Mahkamah Neurenberg, 1948, hlm.
954.
ketika dilakukan. Sangat difahami bahwa prinsip ex post facto tidak melarang, baik secara moral
maupun secara hukum, untuk mengadili perkara ini.
Berdasarkan aturan dasar yang tertulis, ketentuan ex post facto melarang undang-undang atau
peraturan lainnya dalam sebuah negara yang menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindakan
pidana, padahal tidak ada hukum yang mengatur tentang itu sebelumnya. Tapi prinsip ini tidak dapat
diterapkan dalam hukum internasional sebagaimana ketentuan dalam hukum nasional. Hukum
internasional bukanlah sebuah undang-undang tertulis yang dapat dibuat dengan sangat mudah dan
memang belum ada kewenangan untuk dapat menerapkan aturan internasional tertulis tersebut
secara universal. Hukum internasional adalah produk dari perjanjian dari berbagai pihak atau negara,
konvensi, putusan pengadilan, dan kebiasaan yang sudah diterima sebagai kaidah hukum
internasional. Akan menjadi sangat mustahil memaksakan agar ketentuan ex post facto yang diakui
dalam negara konstitusional untuk diterapkan dalam konteks perjanjian, kebiasaan maupun putusan
Mahkamah Internasional.
Sebagaimana yang pernah dipraktikkan dalam hukum internasional, asas nullum crimen sine
lege telah ditafsirkan secara gamblang dalam pendapat Mahkamah Militer Internasional terkait kasus
kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh anggota Nazi. Penafsiran ini muncul terhadap
pertanyaan mengenai pengertian kejahatan terhadap perdamaian – yang menyebabkan terjadinya
Perang Dunia II – dan penafsiran ini dapat diterapkan juga terhadap pengertian kejahatan perang dan
kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh kelompok Khmer Merah.
Adapun pendapat Mahkamah saat itu adalah:
“In the first place, it is to be observed that the maxim nullum crimen sine lege is not a limitation
of sovereignty, but is in general a principle of justice. To assert that it is unjust to punish those
who defiance of treaties and assurances have attacked neighboring states without warning is
obviously untrue, for in such circumstances the attacker must know that he is doing wrong, and
so far from it being unjust to punish him, it would be unjust if his wrong were allowed to go
punished…”5
Di sini terlihat bahwa walaupun asas nullum crimen sine lege diakui dalam praktik hukum
internasional, namun terhadap kasus-kasus tertentu seperti invasi terhadap negara lain, pembunuhan
massal, dan kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya, asas ini tidak berlaku. Pengertian kejahatan
5
Persidangan Kasus Nuremberg 1945-1946
terhadap kemanusiaan juga sudah jelas. Nazi ketika melakukan pembunuhan terhadap kelompok
Yahudi dan lawan politik di Jerman, sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan mereka salah dan
tindakan tersebut melawan hukum dan tindakan pidana yang telah diakui oleh seluruh sistem
peradilan negara-negara beradab di dunia.
3. Kejahatan Genosida
Peristiwa Holocaust yang dituduhkan kepada kelompok Nazi memicu negara-negara untuk
mengkriminalkan beberapa kekejaman yang terjadi melalui perjanjian internasional. Selama perang,
juri Polandia, Raphael Lemkin, telah memperkenalkan terminologi ‘genosida’ untuk menggambarkan
tindakan yang dilakukan oleh Nazi. Raphael menuliskan pengertian terminologi genosida sebagai
kejahatan dengan perencanaan yang ditujukan untuk menghapus elemen dasar yang sangat penting
dari sebuah kelompok tertentu6. Genosida ditujukan untuk melawan kelompok nasional sebagai
sebuah keutuhan, dan tindakan tersebut ditujukan terhadap kapasitas individu seseorang namun
sebagai bagian dari kelompok tersebut.
Pada bulan Desember 1948, PBB telah menyetujui sebuah Konvensi tentang Pencegahan dan
Hukuman terhadap Kejahatan Genosida. Sampai tahun 2006, anggota konvensi telah mencapai 138
negara. Adapun ketentuan dalam konvensi di antaranya mengatur tentang pengertian dan ruang
lingkup kejahatan genosida.
Pasal I
Negara anggota menyatakan bahwa genosida, baik dilakukan pada masa damai maupun
masa perang, adalah kejahatan menurut Hukum Internasional dan harus dicegah dan
dihukum.
Pasal II
Dalam Konvensi ini, yang dimaksud dengan genosida adalah setiap tindakan di bawah ini,
yang dilakukan dengan tujuan menghancurkan, sebagian maupun seluruhnya, sebuah
bangsa, etnis, ras, atau kelompok agama, yaitu:
(a) Membunuh anggota kelompok;
(b) Menyebabkan luka/penderitaan yang serius baik jiwa maupun raga terhadap anggota
kelompok;
6
Raphael Lemkin, Axis Rule in Occupied Europe, 79 (1944)
(c) Dengan senagaja mengakibatkan kerusakan terhadap kehidupan kelompok baik
sebagian maupun secara keseluruhan;
(d) Memaksakan ketentuan dengan tujuan mencegah kelahiran dalam sebuah kelompok;
(e) Memindahkan anak-anak secara paksa dari satu kelompok ke kelompok yang lain.
Adapun tindakan yang dapat dihukum dalam konvensi ini adalah genosida itu sendiri,
konspirasi untuk melakukan genosida, himbauan kepada publik secara langsung untuk melakukan
tindakan genosida; dan terlibat dalam genosida. Tindakan ini dihukum walaupun dilakukan karena
tugas jabatan mereka maupun sebagai individu.
Dari ketentuan di atas dapat kita analisis bahwa dalam Kasus Khmer Merah, dapat diduga
telah terjadi genosida karena tindakan pembunuhan dan kekejaman yang mereka lakukan ditujukan
terhadap kelompok tertentu berdasarkan kriteria sosial dan politik, dalam hal ini kelompok minoritas
Cham, Etnis Vietnam, Cina, Thailand, dan kaum Budhist. Namun sebagian sarjana berpendapat
bahwa kekejaman yang dilakukan bukan semata-mata ditujukan terhadap kelompok sosial politik,
namun juga karena kriteria ekonomis mereka, yang tidak termasuk dalam ketentuan Konvensi.7 Hal
ini harus dapat dibuktikan bahwa tujuan kelompok Khmer Merah memang semata-mata untuk
menghapus etnis atau kelompok tertentu karena alasan sosial politik atau karena alasan ekonomis.
Apabila terbukti karena alasan sosial politik, maka Kamboja dalam hal ini memiliki kewajiban untuk
mengadili pelaku kejahatan tersebut, dan negara, dalam hal ini pemerintahan yang baru, harus
bertanggung jawab terhadap pelanggaran tersebut.8
4. Kejahatan Kemanusiaan
Walaupun Konvensi Genosida tidak melingkupi seluruh kekejaman yang dilakukan oleh
kelompok Khmer Merah, pimpinan kelompok Khmer merah tetap dapat dituntut dengan delik
kejahatan terhadap kemanusiaan. Piagam Mahkamah Militer Internasional mengenal beberapa jenis
kekejaman terhadap peradaban sebagaimana kejahatan kemanusiaan. Walaupun Konvensi Genosida
hanya berfokus pada kejahatan yang ditujukan terhadap kelompok tertentu, pengertian yang lebih
luas tentang kejahatan kemanusiaan dapat dikembangkan melalui praktik negara-negara dalam
hukum kebiasaan internasional.
7
8
Steven R Ratner & Jason S Abrams, Accountability for Human Rights Atrocities in International Law: Beyond
the Nuremberg Legacy, (London: Oxford University Press, 2nd ed, 2001) Hlm. 285-287
Baca juga Draft ICJ Memorial Hlm. 133-150 (1986) Kasus Komite Partai Komunis Kamboja oleh Husrt
Hannum dan David Hawk.
Beberapa pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan muncul dari hukum nasional beberapa
negara, dalam Statuta Mahkamah Pidana PBB terkait kejahatan yang dilakukan pada bekas negara
Yugoslavia dan Rwanda, Rancangan Ketentuan Pidana Internasional yang disusun oleh Komisi
Hukum Internasional PBB, dan terkahir dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Pengertian ini memberikan beberapa kriteria yang dapat digunakan terhadap Kasus Khmer Merah.
Contohnya, Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg menyebutkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan
termasuk dalam kategori tindakan yang “in execution of or in connection with any crime within
jurisdiction of the Tribunal.” Maksudnya bahwa tindakan yang dilakukan harus terkait dengan
kejahatan terhadap perdamaian atau kejahatan perang, sehingga terkait juga dengan kejahatan
dalam konflik bersenjata. Jika unsur ini menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional selama
masa kekejaman Khmer Merah, maka asas nullum crimen sine lege akan memerlukan hubungan
antara kekejaman mereka dengan konflik bersenjata.
Ketika negara-negara dan NGO menyusun Rancangan Statuta ICC, mereka setuju untuk
menjelaskan pengertian-pengertian genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan
perang. Berikut pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan menurut Pasal 7 Statuta ICC9:
Article 7
Crimes Against Humanity
1. For the purpose of this Statute, “crime against humanity” means any of the following acts
when committed as part of widespread os sytematic attack directed against any civilian
population, with knowledge of the attack:
(a) Murder;
(b) Extermination;
(c) Enslavement;
(d) Deportation or forcible transfer of population;
(e) Imprisonment or other severe deprivation of physical liberty in violation of
fundamental rules of international law;
(f) Torture;
9
U.N. Doc. A/CONF.183/9 (1998)
(g) Rape, sexual slavery, enforced prostitution, forced pregnancy, enforced sterilization,
or any other form of sexual violence of comparable gravity;
(h) Persecution against any identifiable group or collectivity on political, racial, national,
ethnic, cultural, religious, gender as defined in paragraph 3, or other grounds that
are universally recognized as impermissible under international law, in connection
with any act referred to in this paragraph or any crime within the jurisdiction of the
Court;
(i) Enforced disappearance of persons;
(j) The crime of apartheid;
(k) Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or
serious injury to body or mental or physical health.
Maksud dari “attack directed against any civilian population” adalah tindakan yang melibatkan
beberapa bagian atau unsur sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) di atas terhadap populasi
penduduk, yang dilakukan berdasarkan kebijakan negara ataupun kelompok tertentu. Statuta ini
hampir mencakup seluruh kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti pembunuhan, perbudakan,
pemindahan penduduk secara paksa, penyiksaan, perkosaan, pelecehan seksual, kehamilan paksa,
sterilisasi secara paksa, penindasaan terhadap hak-hak politik, ras, etnis, budaya, agama, dan
penculikan. Dalam Statuta ini semakin jelas bahwa kekejaman yang dilakukan oleh Khmer Merah
dapat dikategorikan dalam beberapa delik, sehingga tidak ada kemungkinan untuk berkelit dari
tuntutan, walaupun tidak memenuhi unsur-unsur kejahatan perang, kejahatan genosida, namun masih
bisa dituntut dengan menggunakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
C. PENUTUP
Asas nullum crimen sine lege terhadap kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan oleh individu maupun pemerintah secara institusi dapat diterapkan dalam kasus Khmer
Merah. Hal ini tidak dapat disamakan dengan asas nullum crimen sine lege yang dikenal dalam
hukum nasional di negara-negara anggota. Kekejaman yang dilakukan oleh kelompok Khmer Merah
di Kamboja tetap dapat dikategorikan atau dituntut di Mahkamah Pidana Internasional. Walaupun
tidak semua kriteria kekejaman mereka masuk dalam kategori kejahatan perang ataupun kejahatan
genosida, masih ada peluang untuk menuntut dari delik kejahatan terhadap kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
82 U.N.T.S. 279 (1945)
Dunoff, Jeffrey. L, dkk. International Law: Norms, Actors, Process: a Problem Oriented Approach,
Aspen Publisher, 2nd Ed. New York, 2006.
Hurst Hannum dan David Hawk, 1986, Draft ICJ Memorial Kasus Komite Partai Komunis Kamboja.
Catatan Persidangan Mahkamah Neurenberg, 1948, Kasus United States v. Josepf Alstoetter et al.
Persidangan Kasus Nuremberg 1945-1946
Raphael Lemkin, 1944, Axis Rule in Occupied Europe, 79.
Steven R Ratner & Jason S Abrams, 2001, Accountability for Human Rights Atrocities in International
Law: Beyond the Nuremberg Legacy, (London: Oxford University Press, 2nd ed)
U.N. Doc. A/CONF.183/9 (1998)
Download