BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laporan keuangan merupakan alat komunikasi bisnis yang sangat penting untuk menghubungkan antara manajemen perusahaan dengan pihak eksternal perusahaan. Tujuan utama laporan keuangan adalah memberikan informasi yang bermanfaat menyangkut kinerja perusahaan yang dapat digunakan oleh pengguna untuk mengambil keputusan. Menurut Wulandari (2013) mengemukakan bahwa laporan keuangan merupakan parameter penting yang digunakan oleh pihak-pihak yang memiliki andil besar dalam perusahaan, baik oleh pihak eksternal perusahaan maupun pihak internal perusahaan, pihak internal misalnya manajemen perusahaan. Manajemen perusahaan menggunakan laporan keuangan sebagai media pertanggungjawaban yang berhubungan dalam pengelolaan sumber daya yang dimiliki serta sebagai acuan untuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan manajemen. Pihak eksternal adalah pihak yang berkepentingan dalam perusahaan tetapi tidak terlibat langsung dalam membuat berbagai keputusan maupun kebijakan operasional perusahaan misalnya pemegang saham, kreditor, pemerintah, karyawan, pemasok, konsumen, dan masyarakat umum lainnya. Salah satu informasi potensial dalam laporan keuangan adalah perolehan laba. Laba merupakan komponen laporan keuangan perusahaan yang bertujuan untuk menilai kinerja manajemen, membantu mengestimasi kemampuan laba yang representatif dalam jangka panjang, dan menaksir resiko investasi atau 1 2 meminjamkan dana (Kirschenheiter dan Melumad 2002). Semakin tinggi laba yang dihasilkan perusahaan maka menunjukan bahwa kinerja perusahaan tersebut semakin bagus, tetapi bahwasannya investor lebih tertarik menanamkan sahamnya pada perusahaan yang memiliki laba yang stabil di setiap tahunnya, di bandingkan dengan perusahaan yang memiliki laba yang cenderung meningkat tajam atau volatile. Hal ini terjadi karena investor beranggapan bahwa perusahaan yang memiliki laba stabil memliki resiko yang lebih rendah, walapun memliki keuntungan yang lebih sedikit. Perusahaan dengan laba yang cenderung stabil akan memudahkan para investor untuk melihat kondisi perusahaan dimasa mendatang dan mempredikisi beberapa return saham yang akan didapatkan. Hal tersebut karena investor memiliki tipe cenderung sebagai risk averse. Perhatian pihak eksternal yang merupakan pihak yang berkepentingan dalam perusahaan lebih terpusat pada informasi laba tetapi cenderung tidak memperhatikan bagaimana prosedur dalam perolehan laba tersebut sehingga Pentingnya informasi laba yang mendasari memicu manajemen cenderung melakukan Disfunction behavior atau prilaku tidak semestinya. (Wulandari, 2013). Berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), manajemen perusahaan diberikan fleksibilitas untuk melakukan kebijakan akuntansi sehingga manajemen memiliki ruang untuk melakukan bebagai alternatif tindakan untuk mengubah kebijakan akuntansi tersebut yang sesuai dengan kepentingan perusahaan. Hal tersebut yang mendorong manajemen untuk melakukan pengelolaan laba (earnings management) atau manipulasi laba (earnings manipulation). 3 Terdapat dua tujuan manajemen perusahaan untuk melakukan praktek pengelolaan laba. Pertama, manajemen perusahaan berusaha untuk menambah tingkat transparasi laba dalam mengkomunikasikan hal yang bersifat informasi internal perusahaan, dalam hal ini pengelolaan laba yang dilakukan bersifat efisien. Sedangkan yang kedua adalah manajemen perusahaan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan bagi diri sendiri, dalam hal ini pengelolaan laba bersifat oportunistik ( Dhamar Yudho Aji, 2012). Laba yang di laporkan dalam laporan keuangan merupakan laba yang dihasilkan dengan metode akrual (IAI, 2009). (Beaver, 2002 dalam Sunarto, 2009) juga menunjukkan bahwa dalam manajemen akrual, perusahaan dapat melakukan manajemen laba melalui beberapa karakteriksik perusahaan (seperti: overstate earnings, loss avoidance, dan income smoothing). Motivasi manajemen akrual dikelompokkan ke dalam motivasi opportunistic dan signaling. Motivasi opportunistic mendorong manajemen menyajikan laporan keuangan (khususnya laporan laba) lebih tinggi daripada yang sesungguhnya (Penman 2003 dalam Sunarto ). Sedangkan pada motivasi signaling, manajemen cenderung me-manage akrual yang mengarah pada persistensi laba (Sloan, 1996; Dechow dan Dichev, 2002 dalam sunarto, 2009 ). Hal ini dapat dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas laporan keuangan melalui angka-angka akuntansi yang mengarah pada kualitas laba (Sunarto, 2009). Dengan adanya asimetri informasi dalam laporan keuangan tersebut tidak lepas dari sebuah konsep Theory Agency. Menurut Brigham dan Houston (1978) menyatakan bahwa konflik keagenan muncul ketika satu orang individu atau lebih 4 yang disebut pemilik (principal) memperkerjakan individu lain atau organisasi yang disebut agent untuk melaksanakan pekerjaan dan kemudian mendelegasikan otorisasi pengambilan keputusan kepada agen tersebut . Dalam teori keagenan terdapat dua kepentingan agent dan principal, sehingga bisa saja pihak manajemen perusahaan tidak selalu melakukan tindakan yang terbaik untuk kepentingan pemilik perusahaan. Manajemen mempunyai keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan bagi diri nya sendiri. Sedangkan pemegang saham ingin meningkatkan kekayaannya. Perbedaan kepentingan ini tidak hanya terjadi antara manajemen dengan pemegang saham saja, tetapi juga dengan pengguna informasi lainnya seperti kreditur dan pemerintah. Kreditur hanya akan memberikan kredit sesuai dengan kemampuan perusahaan sedangkan manajemen ingin mendapatkan kredit sebesar-besarnya dengan bunga yang kecil. Pemerintah ingin memungut pajak sebesar mungkin sedangkan manajemen ingin membayar pajak sekecil mungkin (Jin dan Macfoedz, 1998 dalam Kartika 2005). Oleh karena di landasi hal-hal tersebut maka memotivasi dan mendorong manajemen untuk melakukan manajemen laba atau manipulasi data. Diantara manajemen laba tersebut salah satu bentuk diantaranya adalah praktek perataan laba atau income smoothing yang merupakan salah satu pola manajemen laba yang merupakan fenomena umum yang dilakukan di berbagai negara yang didasarkan pada berbagai alasan baik untuk memuaskan kepentingan pemilik perusahaan seperti menaikan nilai dari perusahaan sehingga muncul anggapan bahwa perusahaan memiliki resiko yang rendah (Dwiatmini dan Nurkolis, 2001 dalam Nurhayatun 2008). Ataupun menaikan harga saham itu sendiri seperti 5 mendapatkan kompensasi atau mempertahankan jabatan (Juniarti dan Carolina, 2005). Perataaan laba menurut Beidelman (1973) adalah sebagai suatu upaya yang disengaja yang dilakukan untuk memperkecil fluktuasi pada tingkat laba yang dianggap normal bagi suatu perusahaan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perataan laba adalah salah satu cara perusahaan untuk menormalisasikan laba ke dalam level atau tingkatan tertentu yang dilakukan secara sengaja. Hal tersebut diasumsikan bahwa dengan begitu perusahaan dapat memperbaiki hubungan antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam perusahaan, serta sebagai upaya untuk memperbaiki citra perusahaan yang beranggapan bahwa perusahaan memliki resiko yang rendah sehingga para investor merasa aman (safety) untuk menanamkan modalnya pada perusahaan. Namun perataan laba hanya dapat dilkakukan pada beberapa periode pelaporan, berbeda dengan teknik perataan laba lainnya, apabila hanya dilakukan pada satu periode pelaporan hal tersebut dimungkinkan adalah peningkatan laba (income Increasing) atau menurunkan laba (income descreasing). Praktik Perataan laba merupakan fenomena yang umum dan dilakukan banyak negara. Namun demikian, praktik perataan ini dilakukan dengan sengaja dan dibuat buat dapat menyebabkan pengungkapan laba yang tidak memadai atau menyesatkan. Sebagai akibatnya, investor mungkin tidak memperoleh informasi yang akurat, yang memadai mengenai laba untuk mengevaluasi hasil dan risiko dari portofolio mereka (Diastiti, 2010). 6 Ada beberapa cara yang dilakukan dalam praktek perataan laba menurut Sofyan Syafri Harahap diantaranya mengatur waktu kejadian transaksi, memilih prinsip atau metodologi alokasi dan mengatur penggolongan antara laba operasi dan laba yang bukan dari operasi normal. Adapun praktek perataan laba atau income smoothing ini masih menjadi pebincangan hangat apakah praktek ini baik dilakukan atau tidak. Perataan laba sah saja dilakukan selama dalam pelaksanaannya tidak melakukan fraud. Selama hal tersebut digunakan untuk memperbaiki laba apada perusahaan untuk meningkatakan nilai ekonomi perusahaan dan dinilai oleh pasar tidak efisien. Tetapi di sisi lain beranggapan bahwa praktek perataan laba merupakan suatu tindakan yang perlu di cegah karena ketekaitan nya dengan asumsi yang ada pada teori keagenan (Agency theory). Namun di beberapa negara mengganggap bahwa praktek income smoothing merupakan tindakan yang tidak dilarang. Salah satu nya adalah di Negara Swedia yang memperbolehkan praktek tersebut dilakukan dengan syarat hal ini dilakukan dengan transparan. Adapun praktek perataan laba (income smoothing) merupakan suatu tindakan yang mengarah kepada peningkatan nilai perusahaan pada saat tertentu sehingga dapat menyesatkan para pemilik atau pemegang saham Hal-hal yang mengindikasikan terjadinya manajemen laba seperti kenaikan atau penurunan laba kotor yang besar, defisit yang cukup besar dalam arus kas operasi relatif terhadap laba bersih, perubahan prinsip akuntansi dan estimasi serta perbedaan substansial antara pertumbuhan penjualan dan penerimaan dapat mempengaruhi nilai perusahaan pada suatu periode tertentu sehingga akan berpengaruh pula terhadap 7 persepsi pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengambil keputusan. Untuk meminimumkan terjadinya tindakan manajemen laba, maka perusahaan perlu menerapkan mekanisme corporate governance. Dalam sistem pengendalian dan pengelolaan perusahaan. mekanisme corporate governance dilakukan untuk memastikan bahwa pemilik atau pemegang saham memperoleh pengembalian (return) dari kegiatan yang dijalankan oleh agen atau manajer (Schleifer dan Visny, 1997 dalam Siswantaya, 2007). Corporate governance merupakan upaya yang dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk menjalankan usahanya secara baik sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing (Arifin, 2005). Menurut Rizki Januar (2013) perusahaan yang menerapkan asas Good Corporate Goverence dalam kegiatan bisnis nya akan lebih transparan dan bertanggung jawab dalam menyediakan informasi yang tidak hanya sekedar mematuhi peraturan atau undang- undang yang ada, tetapi juga infoemasi yang relevan dan material untuk kepentingan stakeholder. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Dhamar Yudho Aji (2010) yang meneliti faktor yang memperngaruhi tindakan perataan laba seperti profitabilitas, resiko Keuangan, nilai perusahaan dan struktur kepemilikan yang merupakan variabel independen dan perataan laba itu sendiri menjadi variabel dependen penelitian tersebut menggunakan sampel perusahaan manufkatur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2003-2008. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa praktek perataan laba dilakukan untuk menjaga variabilitas laba agar terhindar dari pelanggaran perjanjian hutang. Selain itu, ditunjukan 8 bahwa nilai perusahaan yang semakin tinggi memeberikan intensif bagi perusahaan untuk melakukan perataan laba untuk menjaga agar nilai perusahaan tetap tinggi sehingga semakin banyak investor yang ingin bekerja sama dan tidak sulit untuk menarik sumber daya untuk perusahaan. Adapun penelitian lain yang mendukung penelitian ini adalah penelitian Juniati dan Carolina (2005) yang menyebutkan bahwa perusahaan yang berukuran kecil akan lebih cenderung untuk melakukan praktik perataan laba dibandingkan dengan perusahaan besar, karena perusahaan besar cenderung mendapatkan perhatian yang lebih besar dari analis dan investor dibandingkan perusahaan kecil. Sebaliknya perusahaan yang memiliki aktiva besar yang kemudian dikategorikan sebagai perusahaan besar umumnya akan mendapat lebih banyak perhatian dari berbagai pihak seperti, para analis, investor, maupun pemerintah. Untuk itu perusahaan besar diperkirakan akan menghindari fluktuasi laba yang terlalu drastis, sebab kenaikan laba yang drastis akan menyebabkan bertambahnya pajak. Sebaliknya penurunan laba yang drastis akan memberikan image yang kurang baik. Oleh karena itu perusahaan besar diperkirakan memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan tindakan perataan laba Nasser dan Herlina dalam Juniarti dan Carolina (2005). Healy dan Moses dalam Juniarti dan Carolina (2005) juga mengemukakan bahwa perataan laba dapat dihubungkan dengan ukuran perusahaan. Sedangkan Smith dalam Juniarti dan carolina (2005) menunjukkan perusahaan yang dikendalikan oleh manajer cenderung melakukan perataan laba dibanding yang dikendalikan oleh pemilik. Koch (1981) menemukan bukti empiris bahwa 9 perataan laba lebih banyak dilakukan oleh widely held company daripada closely held company. Menurut Suwito dan Arleen (2005) Hasil penelitian tersebut berhasil membuktikan bahwa leverage operasi merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya praktik perataan laba, sekalipun terdapat perbedaan variasi rata-rata karakteristik perusahaan antara perusahaan perata laba dengan perusahaan non perata laba. Nilai rata-rata ukuran perusahaan dan profitabilitas perusahaan yang melakukan perata laba lebih rendah daripada perusahaan non perata laba. Hal ini mengindikasikan bahwa perataan laba cenderung banyak dilakukan oleh perusahaan kecil. Sedangkan nilai rata-rata leverage perusahaan yang melakukan perata laba lebih tinggi daripada non perata laba. Hal ini mengindikasikan bahwa perataan laba cenderung banyak dilakukan oleh perusahaan yang memiliki rasio hutang yang tinggi. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ashari, dkk. (1994). Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Iqbal (2007) menyatakan bahwa corporate governance secara serentak berpengaruh terhadap praktek manajemen laba. Namun demikian, secara individual, tidak semua variabel independen menunjukkan konfirmasi positif. Sedangkan menurut Herawaty (2008) menyatakan bahwa manajemen laba berpengaruh secara negatif terhadap nilai perusahaan jika tidak memasukkan variabel corporate governance. Sebaliknya, manajemen laba mempertimbangkan berpengaruh variabel positif corporate terhadap nilai governance. perusahaan Penelitian ini jika juga membuktikan bahwa praktek corporate governance dapat digunakan untuk memoderasi pengaruh manajemen laba terhadap nilai perusahaan. Adanya 10 penerapan mekanisme corporate governance dalam sistem pengendalian dan pengelolaan perusahaan, diharapkan dapat berpengaruh pada tindakan manajemen laba dan nilai perusahaan pada periode tertentu. Jika manajemen laba dilakukan dengan tujuan meningkatkan jumlah laba yang dilaporkan sekarang, maka laba periode yang akan datang akan lebih rendah dibandingkan laba periode sekarang. Manajemen akan direspon oleh investor dengan penurunan harga saham perusahaan di periode yang akan datang. Perbedaan penelitian ini dari penelitian yang dilakukan oleh Dhamar Yudho Aji (2010) terletak pada penambahan junlah variabel dependen dan independent yaitu Financial Leverage, Ukuran Perusahaan, dan Mekanisme Corporate Goverence dan Nilai Perusahaan Pergantian periode pengamatan dan sampel pengamatan bertujuan supaya data yang didapatkan lebih baru sehingga mengetahui perbedaan penelitian dimasa lalu dan dimasa sekarang, maka peneliti mengangkat judul “Analisis Pengaruh Nilai Perusahaan, mekanisme Corporate Goverence, Ukuran Perusahaan dan Financial Leverage Terhadap Praktek Perataan (Studi Kasus Pada Perusahaan Manufaktur di BEI 2010-2012)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang uaraian diatas, maka rumusan permasalahan pada pokok pembahasan penelitian ini adalah : 1. Apakah nilai perusahaan berpengaruh positif terhadap praktek perataan laba? 11 2. Apakah jumlah anggota dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap praktek perataan laba? 3. Apakah ukuran komite audit berpengaruh negatif terhadap praktek perataan laba? 4. Apakah struktur kepemilikan saham berpengaruh positif terhadap praktek perataan laba? 5. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap praktek perataaan laba? 6. Apakah financial leverage berpengaruh positif terhadap praktek perataan laba? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaruh nilai perusahaan terhadap praktek perataan laba. 2. Untuk mengetahui pengaruh jumlah anggota dewan komisaris terhadap praktek perataan laba. 3. Untuk mengetahui ukuran komite audit terhadap praktek perataan laba. 4. Untuk mengetahui struktur kepemilikan saham terhadap praktek perataan laba. 5. Untuk mengetahui pengaruh ukuran perusahaan terhadap tindakan perataan laba. 12 6. Untuk mengetahui pengaruh financial leverage terhadap tindakan perataan laba. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan memberikan kontirbusi dari berbagai bidang yang berkaitan. Adapun manfat yang diharapkan adalah sebagai berikut : 1. Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh nilai perusahaan, mekanisme corporate governance, ukuran perusahaan dan financial leverage, terhadap praktek perataan laba 2. Diharapkan dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya dengan memberikan hasil penelitian mengenai pengaruh pengaruh nilai perusahaan, mekanisme corporate governance, ukuran perusahaan dan financial leverage, terhadap praktek perataan laba 3. Bagi praktisi diharapkan dapat memberikan informasi mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi perataan laba dan menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.