F -X C h a n ge F -X C h a n ge c u -tr a c k N y bu to PENENTUAN RISIKO TINGGI LEPRA DI DAERAH ENDEMIK DENGAN PARAMETER RASIO SUBSET LIMFOSIT T, TITER MLPA SERUM, DAN PCR HAPUSAN HIDUNG A. Kwenang*, M. Hatta** * Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ** Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedoketran Universitas Hasanuddin ASTRACT The goal of this study was to determine the leprosy high risk case in endemic area in South Sulawesi by using parameters such as subset T lymphocyte ratio, sera MLPA titer and PCR of nose swabs. Of 513 individuals in Tukamasea village, Maros District examined, 9 were found to be leprosy patients, 23 (4.5%) had contact with leprosy patients and 481 (95.5%)had no contact, CD4+/CD8+ 1 ratio was found in 413 (81.9%) and those with ratio < 1 were 91 (18.1%). MLPA titer 32 was found in 269 (53.4%) and < 32 was 235 (46.6%). PCR positive was 74 (14.7%) and PCR negative was 438 (85.3%).The highest sample distribution based on the age groups in the male and female was in the age group of 11 to 20 years old. There was a significant difference in the seropositive results between the male and female of those who has never had contact before ( p < 0.05). Data analysis showed that those with PCR positive, MLPA titer 32 and CD4+/CD8+ < 1 and included in the high risk leprosy which is likely to develop to type L were 6 person (1.2%) , whereas those with PCR positive, MLPA titer < 32 and CD4+/CD8+ 1 , and included in the high risk leprosy which is likely to develop to type T were 27 person (5.4%). In conclusion , high risk leprosy cases can be determine by using the three parameters mention above , but still need further study to support the reliability of these parameters.(J Kedokter Trisakti 1999;18(3):131-7) Key Words : Leprosy, subset T lympocyte, MLPA, PCR PENDAHULUAN Mycobacterium leprae adalah obligat intraselular, di mana mekanisme dari penghambatan pertumbuhan sel bakteri tersebut belum jelas. Dari segi klinik menunjukkan bahwa gejala yang ditimbulkan berbeda pada setiap individu tergantung pada respon imun terhadap M. leprae dari masing-masing individu tersebut. Dilaporkan bahwa pada penderita Lepra tipe tuberkuloid terdapat peningkaan reaksi "cell mediated immunity" (CMI) dan meningginya respon proliferasi sel T secara in vitro.(10) Sebaliknya pada penderita Lepra tipe lepromatous terdapat defisiensi immunitas selular atau anergi terhadap M. leprae, dan ditemukan penurunan jumlah limfosit, khususnya subset sel T. (11,14,16) Telah banyak penelitian dilakukan untuk menentukan infeksi subklinis Lepra dengan menggunakan tehnik immunologi, baik secara FLA-ABS (Flourescent Leprosy Antibodi Absorption) test (1,3) , maupun dengan mendeteksi adanya IgM anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) pada J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 131 lic k .d o m w o .c C m Penentuan risiko tinggi Lepra o .d o w w w w w C lic k to bu y N O W ! PD O W ! PD c u -tr a c k .c F -X C h a n ge F -X C h a n ge c u -tr a c k N y bu to populasi penduduk di daerah endemik Lepra. (2,13) Dan telah dilakukan pula penelitian dengan menggunakan Mycobacterium Leprae Particle Agglutination (MLPA) test dari serum kapiler populasi penduduk di daerah endemik Lepra di Sulawesi Selatan secara studi longitudinal. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa sebanyak 54% dari populasi mempunyai titer MLPA yang tetap selama kurun waktu 2 tahun dan 16% terjadi penurunan titer MLPA, sedang sebanyak 30% menunjukkan peningkatan dari titer MLPA.(5) Tehnik PCR merupakan metode molekular untuk mendeteksi adanya DNA M. leprae yang spesifik dan sensitif (531-bp fragment) dari hapusan hidung. (4,9) Hal ini merupakan penerapan penting dalam menelusuri transmisi infeksi M. leprae dalam populasi penduduk di daerah endemik Lepra. Namun hal di atas hanya mampu sampai pada tahap mendeteksi adanya M. leprae pada rongga hidung sedangkan sampai sejauh mana bakteri tersebut dapat menimbulkan manifestasi klinis Lepra belum diketahui secara pasti. Di samping itu telah dilakukan pula studi secara longitudinal untuk mengetahui apakah PCR positif dengan adanya DNA M. leprae dapat bertahan pada rongga hidung setelah kurun waktu 2 tahun dari individu didaerah endemic lepra. (6) Dari hasil studi tersebut, terlihat bahwa PCR positif pada rongga hidung dari populasi penduduk di daerah endemik Lepra mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan mungkin dengan adanya pengobatan MDT menunjukkan adanya penurunan PCR positif dari populasi a. Untuk pemeriksaan rasio CD4+/CD8+ dengan metoda immunomagnetic dari "Dynabeads T4-T8 Quant, Dynal A.S. Oslo, Norway" digunakan darah EDTA segar. Sel limfosit T CD4+ dan CD8+ dipisahkan, kemudian pewarnaan sel dengan Sternheimer-Malbin, lalu jumlah sel dihitung dengan haemocytometer di bawah mikroskop. Perhitungan dilakukan 9 kali dengan mengambil penduduk di daerah tersebut. (17) Dengan demikian hipotesis yang digunakan adalah bila pada individu didapat PCR positif (DNA M. leprae pada rongga hidung), titer IgM anti PGL-1 antibodi yang tinggi disertai dengan penurunan rasio sel CD4+/CD8+ pada daerah endemik Lepra maka akan mempunyai risiko tinggi untuk menderita Lepra tipe L sedangkan bila PCR positif, titer IgM anti PGL-1 rendah disertai peninggian rasio sel CD4+/CD8+ maka akan mempunyai risiko tinggi untuk menderita lepra tipe T. Oleh karenanya penelitian ini berdasarkan pada analisis dari rasio sel CD4+ (sel T helper/inducer) dan CD8+ (sel T suppresor/cytotoxic), titer IgM anti PGL-1 antibodi dengan MLPA tes dan adanya kuman dengan PCR pada orang-orang di daerah endemik lepra. Bahan Dan Cara Lokasi Survey dan Pemeriksaan Sampel Dilakukan di daerah di Sulawesi Selatan dengan rate prevalensi yang tinggi 10 per 1000 (7) dan sampel ditarik secara acak (random). Semua individu yang terkena sampling akan dilakukan pemeriksaan fisik terhadap lepra, disertai pengambilan hapusan hidung dan darah vena. Penderita yang didiagnosis lepra diklasifikasi menurut Ridley dan Jopling (12) Pengambilan Sampel 1. Darah vena : meannya. (pemeriksaan di lokasi) b. Untuk pemeriksaan IgM anti PGL-1 antibodi dengan metode Mycobacterium Leprae Particle Agglutination (MLPA) test (Serodia Leprae Kit FujiRebio, Japan) digunakan serum. Darah vena dipusingkan (sentrifugasi) 3000 rpm selama 4 menit dan serumnya dipindahkan ke dalam eppendorf tube dan disimpan pada suhu -20oC sampai saat analisa J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 132 lic k .d o m w o .c C m Penentuan risiko tinggi Lepra o .d o w w w w w C lic k to bu y N O W ! PD O W ! PD c u -tr a c k .c F -X C h a n ge F -X C h a n ge c u -tr a c k N y bu to 2. (lab.Mikrobiologi Unhas) 2. Hapusan hidung : untuk pemeriksaan DNA 531-bp fragment proline-rich antigen (pra-gene) yang mengkode pada 36-kDa antigen M. leprae dengan metode PCR (primernya adalah S13 dan S62) . Swab diambil pada kedua rongga hidung di mana sebelumnya kapas lidi dicelup dalam aquadest steril, dan sampel disimpan di suhu -20oC sampai saat analisis (lab.Mikrobiologi). Pemeriksaan DNA M. leprae dari sampel hapusan hidung Sampel hapusan hidung dengan menggunakan "nasal swab tube" ditransfer pada 0.5 ml Sarstedt vial yang berisi 100 ul lysis buffer dan ditutup dengan 40 ul parafin. Lysis buffer mengandung 1 M Tris HCl pH 8.5. Proteinase-K (1 mg/ml) dan 0.5% Tween. 2 ul cairan lysate dimasukkan kedalam 48 ul mix reaksi yang berisis 100 mM Tris HCl (pH 9.6), 50 mM NaCl, 0.01 % gelatine, 5 mM MgSO4, 100 ng masing-masing primer S13 dan S62, 10 % DMSC, 1 mM dATP, dCTP, dGTP. dUTP. 0.5 dUDG dan 2.5 Thermostable Taq DNA. Spesimen diinkubasi masing-masing 25oC dan 95oC selama 10 menit. PCR dilakukan 37 siklus, dimana masing-masing siklus terdiri dari 94oC selama 3 menit, 60oC selama 2 menit dan 72oC selama 3 menit. Sebagai kontrol positif dipakai 25 pg, 2.5 pg, 250 fg, 25 fg. dan 2.5 fg chromosomal DNA M. leprae dan kontrol negatif dipakai 10 ul distilled water. Untuk melihat adanya 531 bp fragment dari produk sampel yang telah diamplifikasi, maka dianalisis dengan menggunakan gel elektroforesis dalam 2% (wt/vol) agarose gel. Untuk mengetahui adanya komponen penghambat yang dapat memberi hasil negatif pada amplifikasi sampel, maka ditambahkan 15 copy dari 531 bp modified template. Bila dengan modified masih terlihat hambatan pada amplifikasi sampel maka dilakukan purifikasi dengan menggunakan Glass Max. Sebagai konfirmasi dari 531 bp fragment yang terlihat pada hasil PCR positif ilakukan hybridisasi dengan menggunakan metoda Southern Blotting. Hybridisasi dilakukan dengan 1.0 Kb Ec0-RI fragment yang berisi pra-gene dari M. leprae sebagai DNA probe. Pengumpulan dan analisis serum sampel Darah vena diambil dengan menggunakan jarum dan semprit, kemudian serum dipisahkan dan dipindahkan kedalam 500 ul Sarstedt vial dan disimpan pada -20oC sampai dianalisa. Analisis serum untuk mendeteksi adanya IgM anti PGL-1 antibodi dilakukan dengan menggunakan Serodia lepra microtitre particle agglutination (MLPA test Kit) di sini dipakai gelatine particle sensitized dari sintetik trisacharida phenolic glycolipid-1 (NT-P-BSA). Serum ditipiskan 1: 16 dan 1: 32 pada 96 well U-bottom microplate. Sampel serum yang menunjukkan aglutinasi pada tipisan 1 : 32 dianggap positif. Analisis rasio sel CD4+/CD8+ Analisis statistik Dengan menggunakan metoda imunomagnetik dari "Dyna beads T4-T8 Quant" sel limfosit T CD4+/CD8+ dipisahkan. Jumlah sel 4 CD4+/CD8+ dihitung dengan pewarnaan SternheimerMalbin pada lapangan haemocytometer. Perhitungan dilakukan 9 kali dengan mengambil meannya. Semua data dimasukkan dalam data base dan statistical soft ware package (versi 6-Epi Info). Analisis statistik menggunakan chi-square test dan semua kemungkinan disajikan dalam bentuk two-tailed. Dianggap bermakna secara statistik bila p < 0.05. J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 133 lic k .d o m w o .c C m Penentuan risiko tinggi Lepra o .d o w w w w w C lic k to bu y N O W ! PD O W ! PD c u -tr a c k .c F -X C h a n ge F -X C h a n ge c u -tr a c k N y bu to terhadap 504 orang yang tergolong bukan penderita.Distribusi seks dari 5 dusun (Bontokappong, Bungaeja, Pajaiang, Manarang dan Amessangeng terlihat dalam Tabel 1. Hasil Dari sebanyak 513 orang yang diperiksa, 9 diantaranya adalah penderita lepra. Pemeriksaan lanjut dilakukan Table 1.Distribusi seks, rasio seks, jumlah yang diperiksa fisis serta jumlah klinis positif dan klinis negatif dari lima dusun Desa Tukamasea, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan DUSUN LAKI- WANITA TOTAL L/W LAKI DIPERIKSA FISIS KLINIS(+) KLINIS(-) BONTOKAPPONG 394 451 845 0.87 218 3 215 BUNGAEJA 333 358 691 0.93 124 1 123 PAJAIANG 304 327 631 0.93 116 3 113 MANARANG 301 320 621 0.94 29 2 27 AMESSANGEN 130 156 286 0.83 26 0 26 TOTAL 1462 1612 3074 0.91 513 9 504 L/W= rasio laki-laki dan wanita Berdasarkan kelompok umur, pada kedua jenis kelamin ditemukan jumlah terbanyak adalah 11-20 tahun. Dari 504 orang ditemukan kontak dengan penderita sebanyak 23 orang (4.5%) dan bukan kontak sebanyak 481 orang (95.5%) Pada pemeriksaan Rasio CD4/CD8 ditemukan golongan dengan rasio 1 sebanyak 413 orang (81.9%) dan < 1 sebanyak 91 orang (18.1%). Tidak ada perbedaan antara jenis kelamin baik pada golongan kontak maupun non kontak terhadap persentase rasio CD4/CD8 1 atau < 1 (Fischer exact test, p > 0.05) seperti terlihat dalam tabel 2. Tabel 2. Persentase rasio CD4 / CD8 berdasarkan kontak penderita dan jenis kelamin CD4/CD8 <1 LAKI-LAKI WANITA % CD4/CD8 1 LAKI-LAKI WANITA % KONTAK 1 3 4.1 6 13 4.6 NONKONTAK 34 53 95.9 140 254 95.4 TOTAL 35 56 100 146 267 100 Tes Fischer, p > 0.05 Pada pemeriksaan MLPA (IgM PGL-I) ditemukan golongan dengan titer 32 sebanyak 269 orang (53.4%) dan < 32 sebanyak 235 orang (46,6%). Terlihat ada perbedaan antara jenis kelamin pada golongan non kontak, di mana ditemukan pada wanita lebih banyak seropositif disertai pula titer yang lebih tinggi dibanding laki-laki terhadap persentase MLPA positif maupun negatif (Fischer J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 134 lic k .d o m w o .c C m Penentuan risiko tinggi Lepra o .d o w w w w w C lic k to bu y N O W ! PD O W ! PD c u -tr a c k .c F -X C h a n ge F -X C h a n ge c u -tr a c k N y bu to exact test, p<0,05) seperti terlihat dalam tabel3. Tabel 3. Presentase hasil MLPA berdasarkan kontak penderita dan jenis kelamin MLPA POSITIF MLPA NEGATIF % 32 LAKI-LAKI WANITA KONTAK 4 14 NON KONTAK 74 TOTAL 78 < 32 % LAKI-LAKI WANITA 6.7 3 2 2.1 177 93.3 100 130 97.9 191 100 103 132 100 Tes Fischer, p < 0.05 Pada pemeriksaan PCR ditemukan PCR positif 74 (14.7%) dan negatif 430 (85.3%). Tidak ada perbedaan antara jenis kelamin baik pada golongan kontak maupun nonkontak terhadap PCR positif maupun negatif. (Fischer exact test, p > 0,05) seperti terlihat dalam tabel 4. Tabel 4. Persentase hasil PCR berdasarkan kontak penderita dan jenis kelamin. PCR % PCR POSITIF % NEGATIF LAKI-LAKI WANITA LAKI-LAKI WANITA KONTAK 2 1 NON ONTAK 4.1 5 15 4.7 22 49 95.9 152 258 95.3 TOTAL 24 50 100 157 273 100 Tes Fischer, p > 0.05 Berdasarkan ketiga hasil pemeriksaan diatas ditemukan pada golongan yang PCR positif, titer MLPA 32 dan rasio CD4/CD8 < 1, merupakan golongan kasus RTL menjurus type Lepromatosa sebanyak 6 orang (1.2%) sedangkan PCR positif, titer MLPA < 32 dan rasio CD4/CD8 1, merupakan golongan kasus RTL menjurus type Tuberkuloid sebanyak 27 orang (5.4%). Dan sisanya tidak tergolong kasus RTL dimana PCR nya positif disertai MLPA 32 dan rasio CD4/CD8 1 sebanyak 6 kasus (1.2%) dan dengan titer MLPA < 32 dan rasio CD4/CD8 < 1, sebanyak 35 kasus (14.4%). Tidak ada perbedaan antara jenis kelamin pada golongan kontak maupun non kontak terhadap persentase kasus risiko tinggi lepra baik pada RTL tipe L maupun pada RTL tipe T. (Fischer exact test, p > 0.05) seperti terlihat dalam tabel 5. J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 135 lic k .d o m w o .c C m Penentuan risiko tinggi Lepra o .d o w w w w w C lic k to bu y N O W ! PD O W ! PD c u -tr a c k .c F -X C h a n ge F -X C h a n ge c u -tr a c k N y bu to Tabel 5. Persentase kasus risiko tinggi lepra tipe L dan tipe T berdasarkan kontak penderita dan jenis kelamin KONTAK 1 0 3.7 0 0 0.0 NON KONTAK 8 18 96.3 2 4 100 TOTAL 9 18 100 2 4 100 Tes Fischer, p > 0.05 KESIMPULAN Ditemukan distribusi sampel tertinggi pada golongan umur 11-20 tahun, hasil ini mendekati hasil penelitian Soebono (15) yang menemukan tertinggi pada umur 10-19 tahun, sedang pada penelitian Izumi (8) , menemukan tertinggi di bawah umur 10 tahun. Ditemukan perbedaan bermakna seropositif pada golongan non kontak dimana lebih banyak pada wanita disertai pula titer tinggi. Pada penelitian Izumi (8), dilaporkan juga seropositif tinggi bermakna pada wanita dibanding laki-laki tetapi disini golongan kontak serumah tinggi bermakna dibanding non kontak. Selain itu secara keseluruhan risiko tinggi lepra baik tipe L maupun tipe T wanita dibanding dengan laki-laki adalah 2 : 1. Hal ini mungkin disebabkan jumlah wanita yang diperiksa lebih banyak dari laki-laki, dan bila benar kasus RTL pada wanita lebih tinggi dari laki-laki maka hal ini menimbulkan pertanyaan yang memerlukan penelusuran genetik lebih lanjut. Ditemukan 1 kasus kontak dengan penderita pada golongan RTL tipe T 27 orang, tidak ditemukan kontak dengan penderita pada golongan RTL tipe L 6 orang. Hal ini menunjukkan sumber infeksi di luar penderita, sehingga menimbulkan pertanyaan bahwa keberadaan M. leprae ini membutuhkan penelitian molekuler lanjut. Dapat disimpulkan bahwa kasus risiko tinggi lepra dapat ditentukan dengan menggunakan parameter pemeriksaan : Rasio subset sel limfosit T, titer MLPA serum dan PCR hapusan hidung. Namun demikian perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan tepatnya 3 parameter tersebut dalam menentukan kasus Risiko Tinggi Lepra yaitu dengan follow up kasus RTL tersebut untuk melihat : (i) profil ke 3 parameter, (ii) timbulnya gejala klinik kasus RTL tersebut. 4. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. Abe, M., Ozawa, T., Minagawa, F., Yoshino, Y. 1990. Immunoepidemiological studies on Subclinical Infection in Leprosy. II.Geographical Distribution of Seropositive Responders with special Reference to Their Possible source of Infection. Jap. J. Leprosy. 59: 162-168. Bavagart, K., Britton, W., Basten, A., Bagshave, A. 1987. Use of Phenolic glycolipid for serodiagnosis of leprosy in high prevalence village in Papua New Guinea. Trans. R. Trop. Med & Hyg. 81: 1030-1032. Bharadwaj, V.B., Ramu, G., Desikan, K.V., Katoch, K. 1984. Extended studies on subclinical infection in leprosy. Indian J. Leprosy. 56: 807-812. 5. 6. de Wit, M.Y.L., Douglas, T., Mc. Fadden, J., Klatser, P.R. 1993. Polymerase Chain Reaction for Detection Mycobactertium Leprae in Nasal swabs specimens. J. Clin. Microbiol. 31; 502-506. Hatta, M., Izumi, S., Klatser, P.R. 1995. Evaluation of Mycobacterium leprae particle agglutination (MLPA) test as a Tool in the epidemiology of leprosy in high prevalence village in South Sulawesi, Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 26:4: 1-6. Hatta, M., et al. 1995. Distribution and persistence of Mycobacterium leprae nasal carriage among a population in which leprosy is endemic in Indonesia., Transactions of the Royal Society of Trop. Med. & Hygiene. 89:381-385. J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 136 lic k .d o m w o .c C m Penentuan risiko tinggi Lepra o .d o w w w w w C lic k to bu y N O W ! PD O W ! PD c u -tr a c k .c F -X C h a n ge F -X C h a n ge c u -tr a c k N y bu to 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Hatta, M. 1996. Schoolchildren survey and community survey for the determination of seroprevalence against IgM anti Phenolic Glycolipid-I antibody in leprosy endemic areas, South Sulawesi, Indonesia. A Comparative study. Medical Journal of Indonesia. 5:4:203-209. Izumi, S., Hatta, M., Kawatsu, K., Matsuoka, M. 1996. Seroepidemiological study of M. leprae infection in the inhabitants of endemic villages in South Sulawesi, Indonesia. International J. Leprosy. 63:4: 650. Kwenang, A., Hatta, M., Izumi, S., Klatser, P.R. 1995. Detection of 531-bp DNA Mycobacterium leprae from nasal swabs on population where leprosy is endemic in the area of South Sulawesi, Indonesia. Proceed in International Symposium of Biochemistry and Molecular Biology approaches on Ageing, Bandung, Indonesia. 19. Myrvang, B., Godal, T., Ridley, D.S., Froland, S., Song, S.Y.K. 1983. Immune responsiveness to Mycobacterium leprae and other mycobacterial antigens throughout the clinical and histopathological spectrum of leprosy. Clin. Exp. Immunol. 14: 541-553. Narayanan, R.B., Bhutani, I.K., Sharman, A.K., Nath, I. 1993. T cell subset in leprosy lesions in situ characterization using monoclonal antibodies. Clin. Exp. Immunol. 51: 421-429. Ridley, D.S., Jopling, W.H. 1966. Classification of leprosy according to immunity : a five group system. Int. J. Lepr. 34: 255-273. Saad, M.H.F., Medeiros, M.A., Gallo, M.E.N., Fouseca, L.S. 1991. Use of the anti PGL-1 antibody ELISA and The Mitsuda Reaction in early Diagnosis of Leprosy. Brazilian. J. Med. Biol. Res. 24: 801-805. Salgame, P.R., Abrama, J.S., Clasberger C., Goldstein, H., Convit, J., Modlin, R.L., Bloom, B.R. 1991. Differing lymphokine profiles of functional subset of human CD4 and CD8 T cell clones. Science. 254: 279-282. Soebono, H., Klatser, P.R. 1991 A seroefidemiological study of leprosy in high and low endemic Indonesia villages. Int. J. Lepr. 59(3):416-425. Wallach, D., Flageul. B., Bach, M.A., Cottenot, F. 1984. The cellular of contact of dermal leprous granulomatous : an immuno histological approach. Int. J. Lep. 52: 318-326. World Health Organization, 1990, WHO Features, 139. WHO. Geneva. J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 137 lic k .d o m w o .c C m Penentuan risiko tinggi Lepra o .d o w w w w w C lic k to bu y N O W ! PD O W ! PD c u -tr a c k .c