penentuan risiko tinggi lepra di daerah endemik dengan parameter

advertisement
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
PENENTUAN RISIKO TINGGI LEPRA DI DAERAH
ENDEMIK DENGAN PARAMETER RASIO SUBSET
LIMFOSIT T, TITER MLPA SERUM, DAN PCR
HAPUSAN HIDUNG
A. Kwenang*, M. Hatta**
* Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
** Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedoketran Universitas Hasanuddin
ASTRACT
The goal of this study was to determine the leprosy high risk case in endemic area in
South Sulawesi by using parameters such as subset T lymphocyte ratio, sera MLPA titer
and PCR of nose swabs. Of 513 individuals in Tukamasea village, Maros District examined,
9 were found to be leprosy patients, 23 (4.5%) had contact with leprosy patients and 481
(95.5%)had no contact, CD4+/CD8+ 1 ratio was found in 413 (81.9%) and those with ratio
< 1 were 91 (18.1%). MLPA titer 32 was found in 269 (53.4%) and < 32 was 235 (46.6%).
PCR positive was 74 (14.7%) and PCR negative was 438 (85.3%).The highest sample
distribution based on the age groups in the male and female was in the age group of 11 to 20
years old. There was a significant difference in the seropositive results between the male and
female of those who has never had contact before ( p < 0.05). Data analysis showed that
those with PCR positive, MLPA titer 32 and CD4+/CD8+ < 1 and included in the high risk
leprosy which is likely to develop to type L were 6 person (1.2%) , whereas those with PCR
positive, MLPA titer < 32 and CD4+/CD8+ 1 , and included in the high risk leprosy which is
likely to develop to type T were 27 person (5.4%). In conclusion , high risk leprosy cases
can be determine by using the three parameters mention above , but still need further study
to support the reliability of these parameters.(J Kedokter Trisakti 1999;18(3):131-7)
Key Words : Leprosy, subset T lympocyte, MLPA, PCR
PENDAHULUAN
Mycobacterium leprae adalah obligat
intraselular, di mana mekanisme dari
penghambatan pertumbuhan sel bakteri
tersebut belum jelas. Dari segi klinik
menunjukkan bahwa gejala yang ditimbulkan berbeda pada setiap individu
tergantung pada respon imun terhadap M.
leprae dari masing-masing individu tersebut.
Dilaporkan bahwa pada penderita
Lepra tipe tuberkuloid terdapat peningkaan reaksi "cell mediated immunity" (CMI)
dan meningginya respon proliferasi sel T
secara in vitro.(10) Sebaliknya pada penderita Lepra tipe lepromatous terdapat
defisiensi immunitas selular atau anergi
terhadap
M. leprae, dan
ditemukan
penurunan jumlah limfosit, khususnya
subset sel T. (11,14,16)
Telah banyak penelitian dilakukan
untuk menentukan infeksi subklinis Lepra
dengan menggunakan tehnik immunologi,
baik secara FLA-ABS (Flourescent
Leprosy Antibodi Absorption) test (1,3) ,
maupun dengan mendeteksi adanya IgM
anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) pada
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 131
lic
k
.d o
m
w
o
.c
C
m
Penentuan risiko tinggi Lepra
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
populasi penduduk di daerah endemik
Lepra. (2,13) Dan telah dilakukan pula
penelitian dengan menggunakan Mycobacterium Leprae Particle Agglutination
(MLPA) test dari serum kapiler populasi
penduduk di daerah endemik Lepra di
Sulawesi Selatan secara studi longitudinal.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa
sebanyak 54% dari populasi mempunyai
titer MLPA yang tetap selama kurun waktu
2 tahun dan 16% terjadi penurunan titer
MLPA,
sedang
sebanyak
30%
menunjukkan peningkatan dari titer
MLPA.(5) Tehnik PCR merupakan metode
molekular untuk mendeteksi adanya DNA
M. leprae yang spesifik dan sensitif
(531-bp fragment) dari hapusan hidung.
(4,9)
Hal ini merupakan penerapan penting
dalam menelusuri transmisi infeksi M.
leprae dalam populasi penduduk di daerah
endemik Lepra. Namun hal di atas hanya
mampu sampai pada tahap mendeteksi
adanya M. leprae pada rongga hidung
sedangkan sampai sejauh mana bakteri
tersebut dapat menimbulkan manifestasi
klinis Lepra belum diketahui secara pasti.
Di samping itu telah dilakukan pula
studi secara longitudinal untuk mengetahui
apakah PCR positif dengan adanya DNA
M. leprae dapat bertahan pada rongga
hidung setelah kurun waktu 2 tahun dari
individu didaerah endemic lepra. (6) Dari
hasil studi tersebut, terlihat bahwa PCR
positif pada rongga hidung dari populasi
penduduk di daerah endemik Lepra
mengalami perubahan dari waktu ke
waktu dan mungkin dengan adanya
pengobatan MDT menunjukkan adanya
penurunan PCR positif dari populasi
a. Untuk pemeriksaan rasio CD4+/CD8+
dengan metoda immunomagnetic dari
"Dynabeads T4-T8 Quant, Dynal A.S.
Oslo, Norway" digunakan darah EDTA
segar.
Sel limfosit T CD4+ dan CD8+ dipisahkan, kemudian pewarnaan sel
dengan Sternheimer-Malbin, lalu jumlah
sel dihitung dengan haemocytometer di
bawah
mikroskop.
Perhitungan
dilakukan 9 kali dengan mengambil
penduduk di daerah tersebut. (17) Dengan
demikian hipotesis yang digunakan adalah
bila pada individu didapat PCR positif
(DNA M. leprae pada rongga hidung), titer
IgM anti PGL-1 antibodi yang tinggi disertai dengan penurunan rasio sel
CD4+/CD8+ pada daerah endemik Lepra
maka akan mempunyai risiko tinggi untuk
menderita Lepra tipe L sedangkan bila
PCR positif, titer IgM anti PGL-1 rendah
disertai peninggian rasio sel CD4+/CD8+
maka akan mempunyai risiko tinggi untuk
menderita lepra tipe T.
Oleh
karenanya
penelitian
ini
berdasarkan pada analisis dari rasio sel
CD4+ (sel T helper/inducer) dan CD8+
(sel T suppresor/cytotoxic), titer IgM anti
PGL-1 antibodi dengan MLPA tes dan
adanya kuman dengan PCR pada
orang-orang di daerah endemik lepra.
Bahan Dan Cara
Lokasi Survey dan Pemeriksaan
Sampel
Dilakukan di daerah di Sulawesi
Selatan dengan rate prevalensi yang
tinggi 10 per 1000 (7) dan sampel ditarik
secara acak (random). Semua individu
yang terkena sampling akan dilakukan pemeriksaan fisik terhadap lepra, disertai
pengambilan hapusan hidung dan darah
vena. Penderita yang didiagnosis lepra
diklasifikasi menurut Ridley dan Jopling (12)
Pengambilan Sampel
1. Darah vena :
meannya. (pemeriksaan di lokasi)
b. Untuk pemeriksaan IgM anti PGL-1
antibodi dengan metode Mycobacterium Leprae Particle Agglutination
(MLPA) test (Serodia Leprae Kit
FujiRebio, Japan) digunakan serum.
Darah vena dipusingkan (sentrifugasi)
3000 rpm selama 4 menit dan
serumnya dipindahkan ke dalam
eppendorf tube dan disimpan pada
suhu -20oC sampai saat analisa
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 132
lic
k
.d o
m
w
o
.c
C
m
Penentuan risiko tinggi Lepra
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
2.
(lab.Mikrobiologi Unhas)
2. Hapusan hidung : untuk pemeriksaan
DNA 531-bp fragment proline-rich antigen
(pra-gene) yang mengkode pada 36-kDa
antigen M. leprae dengan metode PCR
(primernya adalah S13 dan S62) .
Swab diambil pada kedua rongga
hidung di mana sebelumnya kapas
lidi dicelup dalam aquadest steril,
dan sampel disimpan di suhu
-20oC
sampai
saat
analisis
(lab.Mikrobiologi).
Pemeriksaan DNA M. leprae dari
sampel hapusan hidung
Sampel hapusan hidung dengan
menggunakan "nasal swab tube" ditransfer pada 0.5 ml Sarstedt vial yang
berisi 100 ul lysis buffer dan ditutup
dengan 40 ul parafin. Lysis buffer
mengandung 1 M Tris HCl pH 8.5. Proteinase-K (1 mg/ml) dan 0.5% Tween.
2 ul cairan lysate dimasukkan kedalam 48
ul mix reaksi yang berisis 100 mM Tris HCl
(pH 9.6), 50 mM NaCl, 0.01 % gelatine, 5
mM MgSO4, 100 ng masing-masing
primer S13 dan S62, 10 % DMSC, 1 mM
dATP, dCTP, dGTP. dUTP. 0.5 dUDG dan
2.5 Thermostable Taq DNA. Spesimen
diinkubasi masing-masing 25oC dan 95oC
selama 10 menit. PCR dilakukan 37 siklus,
dimana masing-masing siklus terdiri dari
94oC selama 3 menit, 60oC selama 2
menit dan 72oC selama 3 menit. Sebagai
kontrol positif dipakai 25 pg, 2.5 pg, 250
fg, 25 fg. dan 2.5 fg chromosomal DNA M.
leprae dan kontrol negatif dipakai 10 ul
distilled water. Untuk melihat adanya 531
bp fragment dari produk sampel yang
telah diamplifikasi, maka dianalisis dengan
menggunakan gel elektroforesis dalam 2%
(wt/vol) agarose gel. Untuk mengetahui
adanya komponen penghambat yang
dapat memberi hasil negatif pada
amplifikasi sampel, maka ditambahkan 15
copy dari 531 bp modified template. Bila
dengan modified masih terlihat hambatan
pada amplifikasi sampel maka dilakukan
purifikasi dengan menggunakan Glass
Max. Sebagai konfirmasi dari 531 bp
fragment yang terlihat pada hasil PCR
positif
ilakukan
hybridisasi
dengan
menggunakan metoda Southern Blotting.
Hybridisasi dilakukan dengan 1.0 Kb
Ec0-RI fragment yang berisi pra-gene dari
M. leprae sebagai DNA probe.
Pengumpulan dan analisis serum
sampel
Darah vena diambil dengan menggunakan jarum dan semprit, kemudian
serum dipisahkan dan dipindahkan
kedalam 500 ul Sarstedt vial dan disimpan
pada -20oC sampai dianalisa. Analisis
serum untuk mendeteksi adanya IgM anti
PGL-1
antibodi
dilakukan
dengan
menggunakan Serodia lepra microtitre
particle agglutination (MLPA test Kit) di
sini dipakai gelatine particle sensitized dari
sintetik trisacharida phenolic glycolipid-1
(NT-P-BSA). Serum ditipiskan 1: 16 dan 1:
32 pada 96 well U-bottom microplate.
Sampel
serum
yang
menunjukkan
aglutinasi pada tipisan 1 : 32 dianggap
positif.
Analisis rasio sel CD4+/CD8+
Analisis statistik
Dengan
menggunakan
metoda
imunomagnetik dari "Dyna beads T4-T8
Quant" sel limfosit T CD4+/CD8+
dipisahkan. Jumlah sel 4 CD4+/CD8+ dihitung dengan pewarnaan SternheimerMalbin pada lapangan haemocytometer.
Perhitungan dilakukan 9 kali dengan mengambil meannya.
Semua data dimasukkan dalam data
base dan statistical soft ware package
(versi 6-Epi Info). Analisis statistik
menggunakan chi-square test dan semua
kemungkinan disajikan dalam bentuk
two-tailed. Dianggap bermakna secara
statistik bila p < 0.05.
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 133
lic
k
.d o
m
w
o
.c
C
m
Penentuan risiko tinggi Lepra
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
terhadap 504 orang yang tergolong bukan
penderita.Distribusi seks dari 5 dusun
(Bontokappong,
Bungaeja,
Pajaiang,
Manarang dan Amessangeng terlihat
dalam Tabel 1.
Hasil
Dari sebanyak 513 orang yang
diperiksa, 9 diantaranya adalah penderita
lepra. Pemeriksaan lanjut dilakukan
Table 1.Distribusi seks, rasio seks, jumlah yang diperiksa fisis serta jumlah klinis positif dan
klinis negatif dari lima dusun Desa Tukamasea, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan
DUSUN
LAKI-
WANITA
TOTAL
L/W
LAKI
DIPERIKSA
FISIS
KLINIS(+)
KLINIS(-)
BONTOKAPPONG
394
451
845
0.87
218
3
215
BUNGAEJA
333
358
691
0.93
124
1
123
PAJAIANG
304
327
631
0.93
116
3
113
MANARANG
301
320
621
0.94
29
2
27
AMESSANGEN
130
156
286
0.83
26
0
26
TOTAL
1462
1612
3074
0.91
513
9
504
L/W= rasio laki-laki dan wanita
Berdasarkan kelompok umur, pada kedua
jenis kelamin ditemukan jumlah terbanyak
adalah 11-20 tahun. Dari 504 orang
ditemukan kontak dengan penderita
sebanyak 23 orang (4.5%) dan bukan
kontak sebanyak 481 orang (95.5%)
Pada pemeriksaan Rasio CD4/CD8
ditemukan golongan dengan rasio
1
sebanyak 413 orang (81.9%) dan < 1
sebanyak 91 orang (18.1%). Tidak ada
perbedaan antara jenis kelamin baik pada
golongan kontak maupun non kontak
terhadap persentase rasio CD4/CD8
1
atau < 1 (Fischer exact test, p > 0.05)
seperti
terlihat
dalam
tabel
2.
Tabel 2. Persentase rasio CD4 / CD8 berdasarkan kontak penderita dan jenis kelamin
CD4/CD8
<1
LAKI-LAKI
WANITA
%
CD4/CD8
1
LAKI-LAKI
WANITA
%
KONTAK
1
3
4.1
6
13
4.6
NONKONTAK
34
53
95.9
140
254
95.4
TOTAL
35
56
100
146
267
100
Tes Fischer, p > 0.05
Pada pemeriksaan MLPA (IgM PGL-I)
ditemukan golongan dengan titer
32
sebanyak 269 orang (53.4%) dan < 32
sebanyak 235 orang (46,6%). Terlihat ada
perbedaan antara jenis kelamin pada
golongan non kontak, di mana ditemukan
pada wanita lebih banyak seropositif
disertai pula titer yang lebih tinggi dibanding laki-laki terhadap persentase
MLPA positif maupun negatif (Fischer
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 134
lic
k
.d o
m
w
o
.c
C
m
Penentuan risiko tinggi Lepra
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
exact test, p<0,05) seperti terlihat dalam
tabel3.
Tabel 3. Presentase hasil MLPA berdasarkan kontak penderita dan jenis kelamin
MLPA POSITIF
MLPA NEGATIF
%
32
LAKI-LAKI
WANITA
KONTAK
4
14
NON KONTAK
74
TOTAL
78
< 32
%
LAKI-LAKI
WANITA
6.7
3
2
2.1
177
93.3
100
130
97.9
191
100
103
132
100
Tes Fischer, p < 0.05
Pada pemeriksaan PCR
ditemukan
PCR positif 74 (14.7%) dan negatif 430
(85.3%). Tidak ada perbedaan antara jenis
kelamin baik pada golongan kontak
maupun nonkontak terhadap PCR positif
maupun negatif. (Fischer exact test, p >
0,05) seperti terlihat dalam tabel 4.
Tabel 4. Persentase hasil PCR berdasarkan kontak penderita dan jenis kelamin.
PCR
%
PCR
POSITIF
%
NEGATIF
LAKI-LAKI
WANITA
LAKI-LAKI
WANITA
KONTAK
2
1
NON ONTAK
4.1
5
15
4.7
22
49
95.9
152
258
95.3
TOTAL
24
50
100
157
273
100
Tes Fischer, p > 0.05
Berdasarkan ketiga hasil pemeriksaan
diatas ditemukan pada golongan yang
PCR positif, titer MLPA
32 dan rasio
CD4/CD8 < 1, merupakan golongan kasus
RTL
menjurus
type
Lepromatosa
sebanyak 6 orang (1.2%) sedangkan PCR
positif, titer MLPA < 32 dan rasio
CD4/CD8 1, merupakan golongan kasus
RTL menjurus type Tuberkuloid sebanyak
27 orang (5.4%). Dan sisanya tidak
tergolong kasus RTL dimana PCR nya
positif disertai MLPA
32 dan rasio
CD4/CD8
1 sebanyak 6 kasus (1.2%)
dan dengan titer MLPA < 32 dan rasio
CD4/CD8 < 1, sebanyak 35 kasus
(14.4%).
Tidak ada perbedaan antara jenis kelamin
pada golongan kontak maupun non kontak
terhadap persentase kasus risiko tinggi
lepra baik pada RTL tipe L maupun pada
RTL tipe T. (Fischer exact test, p > 0.05)
seperti
terlihat
dalam
tabel
5.
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 135
lic
k
.d o
m
w
o
.c
C
m
Penentuan risiko tinggi Lepra
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
Tabel 5.
Persentase kasus risiko tinggi lepra tipe L dan tipe T berdasarkan
kontak penderita dan jenis kelamin
KONTAK
1
0
3.7
0
0
0.0
NON KONTAK
8
18
96.3
2
4
100
TOTAL
9
18
100
2
4
100
Tes Fischer, p > 0.05
KESIMPULAN
Ditemukan distribusi sampel tertinggi
pada golongan umur 11-20 tahun, hasil ini
mendekati hasil penelitian Soebono (15)
yang menemukan tertinggi pada umur
10-19 tahun, sedang pada penelitian Izumi
(8)
, menemukan tertinggi di bawah umur
10 tahun.
Ditemukan perbedaan bermakna seropositif pada golongan non kontak dimana
lebih banyak pada wanita disertai pula titer
tinggi. Pada penelitian Izumi (8), dilaporkan
juga seropositif tinggi bermakna pada
wanita dibanding laki-laki tetapi disini
golongan kontak serumah tinggi bermakna
dibanding non kontak. Selain itu secara
keseluruhan risiko tinggi lepra baik tipe L
maupun tipe T wanita dibanding dengan
laki-laki adalah 2 : 1.
Hal ini mungkin disebabkan jumlah wanita
yang diperiksa lebih banyak dari laki-laki,
dan bila benar kasus RTL pada wanita
lebih tinggi dari laki-laki maka hal ini
menimbulkan
pertanyaan
yang
memerlukan penelusuran genetik lebih
lanjut. Ditemukan 1 kasus kontak dengan
penderita pada golongan RTL tipe T 27
orang, tidak ditemukan kontak dengan
penderita pada golongan RTL tipe L 6
orang. Hal ini menunjukkan sumber infeksi
di luar penderita, sehingga menimbulkan
pertanyaan bahwa keberadaan M. leprae
ini membutuhkan penelitian molekuler
lanjut.
Dapat disimpulkan bahwa kasus risiko
tinggi lepra dapat ditentukan dengan
menggunakan parameter pemeriksaan :
Rasio subset sel limfosit T, titer MLPA
serum dan PCR hapusan hidung. Namun
demikian perlu penelitian lebih lanjut untuk
menentukan
tepatnya
3
parameter
tersebut dalam menentukan kasus Risiko
Tinggi Lepra yaitu dengan follow up kasus
RTL tersebut untuk melihat : (i) profil ke 3
parameter, (ii) timbulnya gejala klinik
kasus RTL tersebut.
4.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Abe, M., Ozawa, T., Minagawa, F., Yoshino, Y.
1990. Immunoepidemiological studies on
Subclinical
Infection
in
Leprosy.
II.Geographical Distribution of Seropositive
Responders with special Reference to Their
Possible source of Infection. Jap. J. Leprosy.
59: 162-168.
Bavagart, K., Britton, W., Basten, A.,
Bagshave, A. 1987. Use of Phenolic glycolipid
for serodiagnosis of leprosy in high prevalence
village in Papua New Guinea. Trans. R. Trop.
Med & Hyg. 81: 1030-1032.
Bharadwaj, V.B., Ramu, G., Desikan, K.V.,
Katoch, K. 1984. Extended studies on
subclinical infection in leprosy. Indian J.
Leprosy. 56: 807-812.
5.
6.
de Wit, M.Y.L., Douglas, T., Mc. Fadden,
J., Klatser, P.R. 1993. Polymerase
Chain Reaction for
Detection Mycobactertium Leprae in
Nasal swabs specimens. J. Clin.
Microbiol. 31; 502-506.
Hatta, M., Izumi, S., Klatser, P.R. 1995.
Evaluation of Mycobacterium leprae
particle agglutination (MLPA) test as a
Tool in the epidemiology of leprosy in
high prevalence village in South
Sulawesi, Indonesia. Southeast Asian J.
Trop. Med. Public Health. 26:4: 1-6.
Hatta, M., et al. 1995. Distribution and
persistence of Mycobacterium leprae
nasal carriage among a population in
which leprosy is endemic in Indonesia.,
Transactions of the Royal Society of
Trop. Med. & Hygiene. 89:381-385.
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 136
lic
k
.d o
m
w
o
.c
C
m
Penentuan risiko tinggi Lepra
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Hatta, M. 1996. Schoolchildren survey and
community survey for the determination of
seroprevalence against IgM anti Phenolic
Glycolipid-I antibody in leprosy endemic areas,
South Sulawesi, Indonesia. A Comparative
study.
Medical Journal
of
Indonesia.
5:4:203-209.
Izumi, S., Hatta, M., Kawatsu, K., Matsuoka,
M. 1996. Seroepidemiological study of M.
leprae infection in the inhabitants of endemic
villages in South Sulawesi, Indonesia.
International J. Leprosy. 63:4: 650.
Kwenang, A., Hatta, M., Izumi, S., Klatser,
P.R.
1995. Detection of 531-bp DNA
Mycobacterium leprae from nasal swabs on
population where leprosy is endemic in the
area of South Sulawesi, Indonesia. Proceed in
International Symposium of Biochemistry and
Molecular Biology approaches on Ageing,
Bandung, Indonesia. 19.
Myrvang, B., Godal, T., Ridley, D.S., Froland,
S., Song, S.Y.K. 1983. Immune responsiveness to Mycobacterium leprae and other
mycobacterial antigens throughout the clinical
and histopathological spectrum of leprosy.
Clin. Exp. Immunol. 14: 541-553.
Narayanan, R.B., Bhutani, I.K., Sharman, A.K.,
Nath, I. 1993. T cell subset in leprosy lesions
in situ characterization using monoclonal
antibodies. Clin. Exp. Immunol. 51: 421-429.
Ridley,
D.S.,
Jopling,
W.H.
1966.
Classification of leprosy according to immunity
: a five group system. Int. J. Lepr. 34:
255-273.
Saad, M.H.F., Medeiros, M.A., Gallo, M.E.N.,
Fouseca, L.S. 1991. Use of the anti PGL-1
antibody ELISA and The Mitsuda Reaction in
early Diagnosis of Leprosy. Brazilian. J. Med.
Biol. Res. 24: 801-805.
Salgame, P.R., Abrama, J.S., Clasberger C.,
Goldstein, H., Convit, J., Modlin, R.L., Bloom,
B.R. 1991. Differing lymphokine profiles of
functional subset of human CD4 and CD8 T
cell clones. Science. 254: 279-282.
Soebono, H., Klatser, P.R. 1991 A
seroefidemiological study of leprosy in high
and low endemic Indonesia villages. Int. J.
Lepr. 59(3):416-425.
Wallach, D., Flageul. B., Bach, M.A., Cottenot,
F. 1984. The cellular of contact of dermal
leprous granulomatous :
an immuno
histological approach. Int. J. Lep. 52: 318-326.
World Health Organization, 1990, WHO
Features, 139. WHO. Geneva.
J Kedokter Trisakti, September-Desember 1999-Vol.18, No.3 137
lic
k
.d o
m
w
o
.c
C
m
Penentuan risiko tinggi Lepra
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
Download