BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Keberhasilan perawatan endodontik sangat dipengaruhi oleh eliminasi bakteri. Sedangkan Biomekanikal Preparasi seringkali terbatas pada debridemen saluran akar. Hal ini disebabkan karena pada infeksi endodontik, bakteri dan produknya tidak hanya terdapat pada ruang pulpa namun juga pada saluran akar1 dan pada gigi sulung adanya morfologi yang bengkok dan resorpsi akar.2 Aplikasi medikamen intrakanal merupakan salah satu hal yang perlu dilakukan untuk mengeliminasi bakteri pada saluran akar. Menurut Silva et al, penggunaan medikamen intrakanal dapat mengurangi dan mengontrol inflamasi periapikal pada pulpa, mempercepat proses penyembuhan dan mengontrol nyeri pasca perawatan.3 Selain itu, Maekawa et al menunjukkan bahwa hanya medikamen intrakanal yang dapat mengurangi jumlah endotoksin yang ada pada saluran akar tanpa penggunaan larutan irigasi.4 Pada kasus dengan pulpa yang masih vital, aplikasi medikamen intrakanal harus dilakukan. Pemilihan agen bergantung pada karakteristik biologisnya, diantaranya : tidak bersifat iritan, pemeliharaan vitalitas pulpa, kontrol intensitas dan durasi, proses inflamasi dan infeksi dan potensi penyembuhannya.3 Agen antimikroba yang paling umum digunakan adalah kalsium hidroksida (Ca(OH)2), sodium hipoklorit (NaOCl) dan klorheksidin. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sodium hipoklorit dan klorheksidin memiliki antimicrobial 1 agent yang hampir sama.5 Sedangkan jika dibandingkan dengan kalsium hidroksida, klorheksidin menunjukkan hasil yang lebih baik, namun kemampuan pemutusan jaringannya tidak baik.6 Baker et al menunjukkan bahwa kalsium hidroksida tidak dapat mengeliminasi bakteri E. faecalis7 sebagai bakteri yang paling banyak ditemukan pada infeksi saluran akar sekunder. Namun C. Estrela at al menegaskan bahwa E. faecalis telah resisten terhadap kalsium hidroksida pada pH 11.1 tapi tidak pada pH 11.5. dan peran positif kalsium hidroksida sebagai tissue healing tidak dapat diabaikan.5 Lele GS et al pada penelitiannya menyimpulkan bahwa efektivitas antibakteri formokresol sebagai medikamen intrakanal pada gigi sulung menunjukkan hasil yang signifikan.2 Walaupun demikian formokresol mengandung formaldehida yang bersifat toksik. Sehingga penggunaannya dalam kedokteran gigi masih diragukan. Lebah menghasilkan produk seperti royal jelly, pollen, venom dan propolis.8 Propolis atau lem lebah adalah nama generik yang diberikan untuk bahan resin yang dikumpulkan oleh madu dari berbagai macam jenis tumbuhan, terutama bagian kuncup dan daun dari tumbuhan tersebut. Berdasarkan analisis dengan menggunakan metode Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) yang dikutip dari Sabir terhadap propolis yang dihimpun oleh lebah yang berasal dari tumbuhan poplar menunjukkan bahwa propolis mengandung berbagai macam senyawa, yaitu ; asam amino, asam alifatik dan esternya, asam aromatik dan esternya, aldehid, khalkon, dihidrokhalkon, flavanon, hidrokarbon, keton dan terpenoid. Hasil yang hampir sama juga diperoleh oleh Merucci yang menemukan senyawa alkohol, aledhida, asam 2 alifatik dan esternya, asam amino, asam aromatik dan esternya, flavanon, keton dan glukosa dalam propolis.9 Beberapa penelitian membuktikan bahwa propolis memiliki efek anti bakteri terhadap bakteri jenis Streptococcus8,10 dan Compylobacter11, anti infalamasi12 dan anti fungi terutama terhadap spesies candida albicans.13 Selain terhadap Streptococcus dan Compylobacter, penelitian propolis sebagai medikamen intrakanal dalam menghambat pertumbuhan bakteri Enterococcus faecalis telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Oncag et al yang dikutip dari artikel oleh Parolia et al membandingkan proplis dengan medikamen intrakanal lain yang umumnya digunakan dan memperlihatkan hasil yang baik terhadap bakteri Enterococcus faecalis. Begitupun dengan Awawdeh et al yang menyimpulkan bahwa propolis efektif mengeliminasi bakteri Enterococcus faecalis secara ex vivo dibandingkan dengan kalsium hidroksida.13 Namun demikian, perbandingan efektivitas ekstrak propolis dan medikamen intrakanal lain terhadap bakteri-bakteri pada abses periapikal belum diketahui. B. RUMUSAN MASALAH Keberhasilan perawatan endodontik sangat dipengaruhi oleh eliminasi bakteri dan aplikasi medikamen intrakanal merupakan hal perlu dilakukan mengeliminasi bakteri pada saluran akar. Efek antibakteri kalsium hidroksida yang kurang baik dan formokresol yang cenderung bersifat toksik, mengharuskan ditemukannya medikamen intrakanal yang memiliki efek antibakteri yang baik namun bersifat alamiah. 3 Propolis dipercaya memiliki efek antibakteri, anti inflamasi dan antifungi. Walaupun penelitian propolis sebagai medikamen intrakanal telah dilakukan, namun hanya spesifik terhadap bakteri Enterococcus Faecalis sehingga berdasarkan hal tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu apakah ekstrak propolis lebih efektif dibandingkan kalsium hidroksida dan formokresol terhadap bakteri pada abses periapikal ? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ekstrak propolis lebih efektif dibandingkan kalsium hidroksida dan formokresol terhadap bakteri pada abses periapikal. D. HIPOTESIS Hipotesis yang diajukan adalah ekstrak propolis lebih efektif dibandingkan kalsium hidroksida dan formokresol pada abses periapikal. E. MANFAAT PENELITIAN Adapun manfaat dari penelitian ini adalah menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam perawatan endodontik pada anak dengan menggunakan material medikamen intrakanal yang bersifat alamiah. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PROPOLIS Kata propolis berasal dari bahasa Yunani, yaitu pro yang berarti pertahanan dan polis berarti kota. Sehingga propolis bermakna pertahanan kota (sarang lebah). Propolis atau lem lebah adalah nama generik yang diberikan untuk bahan resin yang dikumpulkan oleh lebah madu dari berbagai macam jenis tumbuhan, terutama dari bagian kuncup dan daun tumbuhan tersebut. Lebah kemudian mencampur bahan resin ini dengan enzim yang disekresikan dari kelenjar mandibula lebah, meskipun demikian komponen yang terdapat dalam propolis tidak mengalami perubahan.9,15 Oleh karena itu, kandungan dan senyawa kimia yang teradpat pada propolis beberdabeda menurut letak geografisnya.16 Lebah menggunakan propolis sebagai : (1) memperkuat sarang lebah, (2) bahan pelapis untuk melindungi sarangnya dari faktor penggangu dari luar, misalnya serangga, kumbang atau tikus, (3) meratakan dinding sarang lebah, (4) bahan pengisi lubang atau celah dan perekat pada sarang lebah, (5) melindungi sel sarang tempat ratu lebah menetaskan telurnya sehingga larva lebih terlindungi dari penyakit dan (6) antibakteri.9 Propolis diketahui memiliki beberapa efek farmakologis yang penting, antara lain sifat antibakteri baik terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif. Sifat antibakteri dari propolis ini bukan semata-mata disebabkan karena senyawa tunggal, namun karena efek sinergis dari beberapa senyawa yang terdapat pada propolis yang 5 bersifat antibakteri yakni : flavonoid, asam ferulat, ester asam fenol, asam sinamat dan berbagai ester asam kafeat.9 Gambar 2.1. Propolis (Sumber : Finstrom MS, Spivak M. Propolis and bee health : the natural history and significance of resin use by honey bees. Apidologie 2010;41:295-311) Mekanisme propolis dalam menghambat pertumbuhan bakteri belum sepenuhnya diketahui, namun demikian Simuth et al. melaporkan adanya beberapa komponen yang terdapat pada propolis mampu mengabsorbsi sinar ultraviolet sehingga menghambat kerja enzim polymerase RNA bakteri untuk melekat pada DNA sehingga replikasi DNA tidak terjadi. Selain itu komponen tersebut juga mengahambat kerja dari enzim endonuklease restriksi sehingga transkripisi tidak terjadi pada RNA dan hal ini mengakibatkan pembelahan sel bakteri tidak terjadi karena terganggunya sintesis protein. Mekanisme lain dikemukakan oleh TakaisiKikuni dan Schilcer yang pada penelitiannya mendapatkan bahwa ekstrak etanol propolis bersifat antibakteri terhadap bakteri Streptococcus agalactiae melalui beberapa mekansime, yakni dengan mencegah pembelahan sel bakteri dengan cara menghamabat replikasi DNA sehingga menyebabkan terbentuknya Streptococcus 6 pseudo-multicellular. Selain itu ekstrak etanol propolis juga menyebabkan terjadinya disorganisasi dari sitoplasma, membran sitoplasmik serta dinding sel yang kesemuanya mengakibatkan bakteriolisis parsial dan penghambatan sintesis protein, sehingga dikatakan bahwa mekanisme antibakteri propolis terhadap bakteri sangat kompleks dan tidak dapat dianalogikan dengan cara kerja antibiotika klasik.9 1. Komposisi propolis Propolis sebagian besar disusun oleh tumbuhan resin dan eksudat yang dikumpulkan oleh lebah. Komponen yang terdapat pada propolis bergantung pada letak geografis dan tumbuhan yang dikumpulkan oleh lebah itu sendiri. Secara umum, propolis terdiri dari campuran resin dan getha 39-53%, polifenol1,2-17%, polisakarida 2-3%, lilin (wax) 19-35% dan bahan lain 8-12%. Menurut Kaal (1991), komposisi propolis meliputi resin dan balsam ± 50%, pollen ± 5%, lilin (wax) ± 30%, minyak esensial ± 10% dan senyawa organik dan mineral ± 5 %. Penelitian terhadap propolis yang berasal dari 15 daerah yang berbeda di Rusia menunjukkan hasil yang hampir sama, yaitu resin 50-55%, lilin (wax) maksimal 30%, minyak esensial ± 810% dan bahan padat ± 5%.10 Walaupun propolis memiliki komposisi yang berbedabeda, tapi propolis tetap menunjukkan aktifitas biologi khususnya efek antibakteri.16 2. Aktifitas biologi propolis a. Anti-bakteri Efek antibakteri propolis merupkan aktifitas biologis yang paling penting pada propolis. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa propolis memiliki efek antibakteri baik gram positif maupun gram negatif.15 7 b. Anti-fungi Martins et al pada penelitiannya menunjukkan bahwa ekstrak etanol propolis 20% mampu mengahambat seluruh C. albicans yang diperoleh dari pasien positif HIV yang mengalami oral candidiasis. Walaupun tidak ada perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan nistatin, namun jika dibandingkan dengan antifungsi lain (klotrimazol, ekonazol dan flukonazol) ekstrak etanol propolis 20% memperlihatkan hasil yang signifikan.13 c. Anti-inflamasi Aktifitas anti-inflamasi telah ditunjukkan oleh Almeida dan Menezes. Proplis menghambat aktifitas mieloperoxidase, NADPH-oxidase ornithine decarboxilase, tirosine-protein-kinase, dan hyaluronidase dari sel mast babi . Aktifitas antiinflamasi ini terjadi akibat adanya flavonoids dan cinnamic acid derivatives yang terdapat pada propolis, termasuk acacetin, quercetin, dan naringenin caffeic acid phenyl ester (CAPE) dan caffeic acid (CA). 15 B. MEDIKAMEN INTRAKANAL Walaupun instrumentasi yang tepat pada saluran akar yang terinfeksi dapat mengurangi jumlah bakteri, tapi diketahui bahwa instrumentasi saja tidak dapat membersihkan seluruh permukaan internal saluran akar. Bakteri dapat ditemukan pada dinding saluran akar, dalam tubulus dentinalis dan percabangan saluran akar. Sehingga irigasi dan medikamen intrakanal dibutuhkan untuk membunuh sisa mikroorganisme. 17 Medikamen intrakanal bertujuan untuk ; (1) sebagai agen antimikroba pada pulpa dan periapikal, (2) penetralan sisa-sisa debris pada saluran akar, (3) kontrol 8 dan pencegahan nyeri pasca perawatan, (4) kontrol eksudat dan (5) kontrol inflamasi pada resorpsi akar. 17 1. Kalsium hidroksida Kalsium hidroksida awalnya diperkenalkan oleh Hermann pada tahun 1920 sebagai pulp capping agent. Namun dewasa ini, kalsium hidroksida telah digunakan secara luas dalam perawatan endodontik.18 Selain efek antibakteri, kalsium hidrokasida juga bersifat anti-inflamasi dan kemampuan osteogenic karena kadar alkali yang tinggi sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang ditemukan pada infeksi endodontik.19 a. Mekanisme antibakteri kalsium hidroksida Mekansime antibakteri kalsium hidroksida secara langsung berhubungan dengan pHnya yang dipengaruhi oleh konsentrasi dan laju pelepasan hydroxyl ion OH. Penguraian kalsium hidroksida dipengaruhi oleh penggunaan vehicle. Pemutusan ion disebabkan oleh kalsium hidroksida menjadi solubilized dan diresorpsi atau diabsorpsi pada laju yang berbeda pada jaringan periapikal dan saluran akar.18 Ketika digunakan sebagai medikamen intrakanal pada perawatan endodontik, uap yang terdapat pada saluran akar mengaktivasi kalsium hidroksida kemudian pH pada saluran akar meningkat hingga 12+ dalam beberapa menit. Rata-rata waktu perawatan sekitar 1-4 minggu.18 Ca(OH)2 + H2O Ca+2 + OH pH dentin pada gigi yang dirawat dengan kalsium hidroksida menunjukkan peningkatan secara signifikan antara 2 sampai 24 jam dan turun setelah 7 hari. Tapi 9 jika dibandingkan dengan aqueous suspension kalsium hidroksida pH dapat bertahan hingga 2 minggu. Hal ini disebabkan karena pelepasn ion yang lebih besar dari kalsium hidroksida.18 b. Keuntungan dan kerugian kalsium hidroksida Efek antibakteri pada kalsium hidroksida dihubungkan dengan : 6 1) pH yang tinggi (11-12.5) 2) Interaksi penguraian ion hidroksil yang sangat tinggi yang membunuh sel bakteri dengan merusak membran sitoplasma, denaturasi protein dan merusak DNA4. 3) Kemampuannya dalam mengabsorpsi karbon dioksida dengan menghancurkan bakteri capnophillic, yang diandalkan bakteri untuk asupan nutrisinya dari thriving4. 4) Sifat fisisnya yang mencegah pertumbuhan bakteri baik pada mahkota maupun akar. Walaupun demikian, kalsium hidroksida menunjukkan tidak dapat mengeliminasi E. faecalis dan tentunya beberapa mikroorganisme yang terdapat dalam tubulus dentinalis oleh karena : 6 1) Membutuhkan kontak langsung dengan bakteri dalam sifat antibakterinya. 2) Cenderung menetralkan sistem buffer dentin. 3) Kemampuannya (pH yang tinggi) telah resisten terhdap beberapa bakteri tertentu. 10 4) Difusi dan daya larut yang rendah 2. Formokresol Formokresol telah dikenal sejak satu abad yang lalu dan digunakan sebagai material pulpotomi di Amerika Utara. Pengunaan formokresol sebagai medikamen intrakanal pada gigi sulung memperlihatkan tingkat kesuksesan berkisar 55-98% dalam jangka waktu 1-8 bulan.20 Lele et al juga memperlihatkan hasil yang sama bahwa formokresol secara signifikan dapat mengurangi jumlah bakteri pada saluran akar baik aerob maupun anaeorob.2 Walaupun demikian formokresol mengandung formaldehida yang bersifat toksik. Sehingga penggunaannya dalam kedokteran gigi masih diragukan. C. ABSES PERIAPIKAL Abses merupakan kumpulan pus yang terlokalisasi dalam kavitas dan dibentuk oleh disintegrasi jaringan. Gangguan pada pulpa atau jaringan periapikal dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi. Gangguan utama pada jaringan tersebut dapat dibagi menjadi gangguan hidup dan tidak hidup. Gangguan hidup berupa mikroorgansime dan virus. Sedangkan gangguan yang tidak hidup dapat berupa gangguan mekanik, termal dan kimia. Lesi dengan derajat ringan hingga sedang dengan durasi yang singkat menyebabkan kerusakan jaringan yang bersifat reversible dan recovery. Sedangkan lesi berat biasanya menyebabkan perubahan irreversible pada pulpa dan perkembangan lesi.21 Mikroorganisme yang diidentifikasi pada lesi periapaikal (abses) hampir sama dengan bakteri yang diisolasi dan diidentifikasi dari saluran akar. Hanya beberapa bakteri yang diisolasi dari saluran akar yang dapat menghasilkan atau 11 menyebabkan abses pada biakan murni. Sebuah penelitian terakhir menyatakan bahwa Fusobacterium nucleatum, Peptostreptococcus anaerobius dan Veillonella parvula, tapi tidak ada dari (black-pigmented bacillus) BPB yang dapat memproduksi abses pada kultur murni dengan tikus sebagai model. Pada biakan campuran dengan F. nucleatum, BPB Prevotella intermedia dan Prophyromonas gingivalis secara signifikan bersifat abscessogenic dibandingkan dengan F.nucleatum pada biakan murni. Hal ini mendukung konsep hubungan sinergis antara bakteri pada infeksi endodontik.22 Hasil yang cukup berbeda diperoleh Pazelli et al yang menyatakan bahwa dari 31 sampel saluran akar gigi desidui dengan pulpa nekrose dan lesi periapikal, prevalensi mikroorganisme anaerob ditemukan pada 30 saluran akar ( 96.8%) dan BPB pada 11 kasus (35%). Sedangkan mikroorganisme aerob hanya ditemukan pada 29 saluran akar (93.5) dengan streptococci yang terdapat pada 30 saluran akar (96.8%). Streptococcus mutans ditemukan hanya pada 15 aluran akar (48.4%).22 12 BAB III KERANGKA KONSEPTUAL Keberhasilan perawatan endodontik Eliminasi bakteri Formokresol Klorheksidin Larutan Irigasi Medikamen Intrakanal Kalsium hidroksida Sodium hipoklorit Propolis Anti-bakteri Anti-fungi Anti-inflamasi Keterangan : Variabel yang tidak diteliti Variabel yang diteliti 13 BAB IV METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan efek antibakteri ekstrak propolis dan medikamen intrakanal (kalsium hidroksida dan formokresol) terhadap bakteri-bakteri yang diperoleh dari intrapulpa akar gigi pasien endodontik pada Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak (IKGA) RSGMP Tamalanrea Universitas Hasanuddin dan selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk dievaluasi. B. IDENTIFIKASI VARIABEL Variabel sebab pada penelitian ini adalah ekstrak propolis, formokresol dan kalsium hidroksida dengan skala pengukuran nominal dan variabel akibat adalah bakteri abses periapikal dengan skala pengukuran rasio.23 C. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Bagian IKGA RSGMP Tamalanrea, Laboratorium Fitokimia Fak. Farmasi dan Laboratorium Mikrobiologi Fak. Kedokteran Universitas Hasanuddin pada Bulan Februari – Juni 2012. D. DEFINISI OPERASIONAL 1. Medikamen intrakanal adalah obat-obatan yang diaplikasikan untuk mengurangi bakteri pada saluran akar. 2. Ekstrak propolis adalah propolis yang diekstraksi dengan pelarut etanol 96%. 14 3. Bakteri pada abses periapikal adalah bakteri yang diisolasi dari pulpa gigi anak yang menderita abses periapikal. E. BESAR SAMPEL Untuk menentukan besar sampel (replikasi) yang dibutuhkan digunakan rumus sebagai berikut : (t-1)(r-1)≥ 15 Dimana t = banyaknya kelompok perlakuan r = jumlah replikasi Sehingga pada penelitian ini jumlah replikasi yang dibutuhkan adalah : (4-1)(r-1) ≥ 15 (r-1) ≥ 15/3 r ≥6 F. DATA Jenis data pada penelitian ini adalah data primer, dianalisis dengan menggunakan Uji One Way ANOVA melalui software SPSS 16 dan kemudian disajikan dalam bentuk tabel. G. ALAT DAN BAHAN Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini diantaranya diagnostik set, cawan petri, tabung reaksi, blank disc, labu erlenmeyer, micropipet dan timbangan. Sedangkan bahan yang digunakan adalah propolis, kalsium hidroksida, formokresol, ethanol 96% sebagai pelarut propolis pada saat proses ekstraksi, DMSO (Dimetil Sulfoksida) sebagai pelarut ekstrak propolis dan aquades steril. 15 H. KRITERIA PENILAIAN Aktifitas antibakteri diukur dengan menentukan jumlah terkecil dari agen yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme berdasarkan tingkat kekeruhan yang terjadi pada tabung reaksi, nilainya disebut minimum inhibitory concentration (MIC). Sedangkan untuk membandingkan efktivitas dari masing-masing sampel digunakan metode difusi agar. Pengukuran diameter dari zona ihibisi pertumbuhan bakteri yang terjadi disekeliling silinder dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Zona inhibisi adalah jarak terdekat (mm) dari tepi luar silinder hingga mulai terjadinya pertumbuhan bakteri.25 I. PROSEDUR KERJA 1. Estraksi propolis Ekstraksi propolis dilakukan secara refluks dengan proses sebagai berikut. Propolis ditimbang (120 gr) selanjutnya ditambahkan 96% etanol sebagai pelarut dan dimasukkan kedalam mesin berpengaduk elektrik selama tiga jam dengan suhu 60°C dan kemudian didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan corong dan kertas saring untuk memisahkan filtrat dan ampas kedalam labu erlenmeyer dan kemudian didiamkan kembali selama 48 jam agar kandungan etanolnya menguap sehingga diperoleh ekstrak dengan konsistensi yang kental.26 2. Pengumpulan sampel bakteri Bakteri diperoleh dengan menggunakan paper point steril pada kunjungan pertama yaitu pada saat pembukaan saluran akar. Pertama-tama, paper point steril dimasukkan kedalam saluran akar untuk menghilangkan kelebihan saline solution. 16 Kultur diperoleh dengan memasukkan paper point steril kedalam saluran akar dan didiamkan beberapa menit untuk menyerap eksudat. Sementara itu, tabung reaksi yang mengandung thioglycollate disiapkan (tabung reaksi ditutup dengan kapas). paper point kemudian dipindahkan kedalam tabung reaksi dan kembali ditutup untuk selanjutnya diberi label. 3. Prosedur laboratorium a. Penentuan konsentrasi hambat minimum (KHM) Penentuan KHM setiap variabel terhadap bakteri yang telah diperoleh dari saluran akar dilakukan dengan proses sebagai berikut : 1) Ekstrak propolis, formokresol dan kalsium hidroksida dibuat dalam beberapa konsentrasi yaitu 0.2%; 1.0% 2.0%; 4.1% dan 8.3%. 2) Untuk konsentrasi 0.2 %, setiap sampel ditimbang seberat 0,01 gr dan dilarutkan dengan DMSO untuk propolis dan aquades steril untuk kalsium hidroksida dan formokresol dalam lumping hingga mencapai volume 5 ml kemudian dimasukkan kedalam labu ukur. Begitupun dengan konsentrasi lainnya. 3) Masing-masing sampel dimasukkan kedalam botol yang berbeda, kemudian ditutup dengan kapas dan aluminium foil. 4) Buat medium kemudian masukkan kedalam tabung reaksi sebanyak 2.5 ml dan ditambahkan dengan 2.5 ml dari sampel dan bakteri yang sebanyak 0.02 ml bakteri yang disesuaikan dengan 0.5 Standar Mc Farland. 5) Inkubasi selama 24 jam pada suhu 37℃. 17 b. Perbandingan efek antibakteri Prosedur perbandingan efek antibakteri sampel adalah sebagai berikut : 1) Buat medium dalam labu Erlenmeyer. 2) Medium dimasukkan kedalam cawan petri steril dan dibiarkan hingga mengeras. 3) Blank disc dimasukkan kedalam masing-masing sampel dan kemudian diletakkan diatas medium agar pada cawan petri. 4) Cawan petri dimasukkan kedalam inkubator selama 24 jam pada temperatur 37℃. 18 BAB V HASIL PENELITIAN Telah dilakukan penelitian mengenai perbandingan efektifitas ekstrak propolis, kalsium hidroksida dan formokresol terhadap bakteri pada abses periapikal. Bakteri yang terdapat di dalam petri merupakan hasil perkembangbiakkan dari bakteri saluran akar yang diambil dari eksudat saluran akar pada saat pembukaan pertama. Adapun bahan terdiri atas berbagai macam konsentrasi, yang dimulai dari konsentrasi 0.2%, 1%, 2%, 4,1% dan 8.3%. Penelitian ini menggunakan campuran kalsium hidroksida dan formokresol dengan perbandingan 1:1 sebagai kontrol positif. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi Unhas dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Unhas pada bulan Februari – Juni 2012. Tujuan dari penelitian ini untuk melihat sejauh mana ekstrak propolis dapat menghambat bakteri pada abses periapikal dibandingkan kalsium hidroksida dan formokresol, sehingga penelitian ini akan melihat perbedaan luas zona inhibisi yang dihasilkan oleh ketiga material eksperimen ini, yang akan diimbangi dengan kontrol positif (kalsium hidroksida+formokresol). Penelitian ini menggunakan desain postest only control group design, sehingga pengukuran luas zona hanya dilakukan satu kali setelah pemberian obat-obatan. Selanjutnya, hasil penelitian akan dibandingkan untuk melihat sejauh mana efektifitas masing-masing bahan terhadap koloni bakteri. Hasil penelitian diolah dengan menggunakan program SPSS 16.0 dan dianalisis dengan uji beda, serta ditampilkan dalam tabel sebagai berikut: 19 Tabel 5.1. Distribusi jenis bahan dan konsentrasi sampel penelitian Jenis Bahan Ekstrak propolis Formokresol Kalsium Hidroksida Konsentrasi 0.2% 1% 2% 4.1% 8.3% 0.2% 1% 2% 4.1% 8.3% 2% 4.1% 8.3% Kontrol positif (kalsium hidroksida + formokresol 1:1) Jumlah Frekuensi (n) Persen (%) 2 6.2 2 6.2 2 6.2 2 6.2 2 6.2 2 6.2 2 6.2 2 6.2 2 6.2 2 6.2 2 6.2 2 6.2 2 6.2 6 18.8 32 100 Distribusi karakteristik sampel penelitian dapat terlihat pada tabel 5.1. Pada penelitian ini, dari 32 jumlah secara keseluruhan terbagi atas 10 ekstrak propolis, 10 kalsium hidroksida, 6 formokresol, dan 6 kontrol positif. Adapun dari masing-masing bahan terbagi atas beberapa konsentrasi dan pada tiap konsentrasi, terdiri atas dua petri. Pada ekstrak propolis dan formokresol, terdapat lima jenis konsentrasi, yaitu 0.2%, 1%, 2%, 4.1%, dan 8.3%. Sedangkan, pada kalsium hidroksida hanya tiga jenis konsentrasi, yaitu 2%, 4.1%, dan 8.3%. Pembagian konsentrasi ini bergantung pada daya hambat minimal masing-masing bahan. 20 Tabel 5.2. Perbedaan luas zona inhibisi berdasarkan jenis bahan Luas zona inhibisi Jenis Bahan Konsentrasi Mean ± SD 0.2% 9.25 ± 0.353 1% 10.00 ± 0.00 Ekstrak propolis 2% 10.25 ± 0.353 4.1% 12.50 ± 0.707 8.3% 12.00 ± 0.00 0.2% 10.00 ± 2.822 1% 10.25 ± 2.474 Formokresol 2% 12.75 ± 3.182 4.1% 19.75 ± 0.353 8.3% 22.00 ± 1.414 2% 7.50 ± 0.00 Kalsium Hidroksida 4.1% 8.00 ± 0.00 8.3% 7.75 ± 0.353 Kontrol positif 22.167 ± 3.71 (kalsium hidroksida + formokresol, 1:1) Total 13.65 ± 5.96 p-value 0.002* 0.009* 0.192** *One Way Anova test: p<0.05; significant; **One Way Anova test: p>0.05; not significant Tabel 5.2 memperlihatkan luas zona inhibisi masing-masing jenis bahan sekaligus memperlihatkan perbedaan yang diperoleh dari hasil uji analisis statistik. Pada tabel 5.2, terlihat terjadi peningkatan luas zona inhibisi seiring dengan peningkatan konsentrasi pada formokresol (Gambar 5.3). Namun pada jenis bahan ekstrak propolis dan kalsium hidroksida didapatkan konsentrasi yang paling efektif adalah pada 4.1%, sebab terjadi penurunan pada konsentrasi 8.3% (Gambar 5.2 dan Gambar 5.4). Kontrol positif yang merupakan gabungan dari kalsium hidroksida dan formokresol (1:1), memiliki luas zona inhibisi mencapai 22.167. Berdasarkan hasil uji statistik ANOVA satu arah, diperoleh nilai p<0.05 pada jenis bahan ekstrak propolis dan formokresol, artinya terdapat perbedaan luas zona inhibisi yang signifikan paling tidak diantara dua kelompok konsentrasi ekstrak propolis dan formokresol. Adapun, didapatkan nilai p>0.05 untuk jenis bahan kalsium hidroksida 21 yang berarti tidak terdapat perbedaan luas zona inhibisi yang signifikan diantara kelompok konsentrasi kalsium hidroksida. Tabel 5.3. Perbedaan luas zona inhibisi berdasarkan konsentrasi hambat minimum Luas zona inhibisi (mm) Jenis bahan dan konsentrasi daya hambat minimal Mean ± SD p-value Ekstrak propolis 0.2% 9.25 ± 0.353 Formokresol 0.2% 10.00 ± 2.822 0.411** Kalsium hidroksida 2% 7.50 ± 0.00 Total 13.65 ± 5.96 **One Way Anova test: p>0.05; not significant Konsentrasi hambat minimum untuk ekstrak propolis dan formokresol sebesar 0.2%, sedangkan konsentrasi hambat minimum untuk kalsium hidroksida adalah 2%. Dengan demikian, pada tabel 3 ini konsentrasi daya hambat minimal untuk masing-masing jenis bahan dibandingkan. Berdasarkan luas zona inhibisi masing-masing bahan, kalsium hidroksida berada diurutan terakhir dengan luas hanya 7.5 mm. Adapun, formokresol berada pada urutan pertama dengan luas yang mencapai 10 mm, sedangkan ekstrak propolis memiliki luas zona inhibisi mencapai 9.25 mm. Akan tetapi, berdasarkan hasil uji statistik analysis of variance (anova) satu arah, diperoleh nilai p>0.05 (p:0.411). Hal ini berarti bahwa walaupun terdapat perbedaan luas zona inhibisi pada masing-masing bahan, namun perbedaan tersebut tidak signifikan. 22 Gambar 5.1. Hasil ji luas zona inhibisi ekstrak propolis pada konsentrasi 0.2%, 1%, 2%, 4.1%, 8.3% dan kontrol positif pada bagian tengah. Gambar 5.2. Hasil ji luas zona inhibisi formokresol pada konsentrasi 0.2%, 1%, 2%, 4.1%, 8.3% dan kontrol positif pada bagian tengah. 23 Gambar 5.3. Hasil ji luas zona inhibisi kalsium hidroksida pada 2%, 4.1%, 8.3% dan kontrol positif pada bagian tengah. Tabel 5.4. Perbedaan luas zona inhibisi berdasarkan konsentrasi paling efektif Luas zona inhibisi (mm) Jenis bahan dan konsentrasi daya hambat paling efektif Mean ± SD p-value Ekstrak propolis 4.1% 12.50 ± 0.707 Formokresol 8.3% 22.00 ± 1.414 0.001* Kalsium hidroksida 4.1% 8.00 ± 0.00 Kontrol positif 22.167 ± 3.71 Total 13.65 ± 5.96 *One Way Anova test: p<0.05; significant Berdasarkan tabel 5.2, diperoleh konsentrasi yang paling efektif untuk ekstrak propolis dan kalsium hidroksida adalah 4.1%, sedangkan pada formokresol adalah 8.3%. Tabel 5.4 memperlihatkan hasil uji statistik ANOVA satu arah dan diperoleh p<0.05, artinya terdapat perbedaan luas zona inhibisi yang signifikan antara ekstrak propolis 4.1%, formokresol 8.3%, kalsium hidroksida 4.1% dan kontrol positif. Akhirnya, dari tabel 4, diketahui bahwa formokresol 8.3% memiliki efektifitas yang 24 paling tinggi (luas zona inhibisi: 22 mm), selanjutnya ekstrak propolis 4.1% (luas zona inhibisi: 12.5 mm), dan yang memiliki efektifitas yang paling rendah adalah kalsium hidroksida 8.3% (luas zona inhibisi 8 mm). Dari tabel 4 juga diperoleh bahwa gabungan kalsium hidroksida dan formokresol menghasilkan zona inhibisi yang cukup besar (luas zona inhibisi: 22.167 mm). 25 BAB VI PEMBAHASAN Bakteri memiliki peran yang sangat penting terhadap terjadinya lesi periapikal. Sehingga eliminasi atau reduksi mikroorgansime pada saluran akar merupakan hal penting yang perlu dilakukan dalam tahap perawatannya. Biomekanikal Preparasi dan larutan irigasi saja dianggap tidak mampu mengeliminasi seluruh bakteri yang ada pada saluran akar.4 Oleh karena itu¸ aplikasi medikamen intrakanal merupakan hal yang perlu dilakukan pada perawatan lesi perapikal. Bakteri diperoleh dari pasien anak yang menderita abses periapikal di RSGMP Halimah Dg. Sikati. Konsentrasi hambat minimum ekstrak propolis terhadap bakteri pada abses periapikal mulai pada konsentrasi 0.2% setelah inkubasi selama 24 jam dengan suhu 37℃. Berbeda dengan hasil yang diperoleh Fathoni et al11 bahwa propolis mulai dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 1 %. Perbedaan ini mungkin diakibatkan oleh perbedaan komposisi kimiawi yang sangat bergantung pada jenis tumbuhan dan letak geografis propolis tersebut.16 Formokresol mulai mampu menghambat perumbuhan bakteri pada lesi periapikal pada konsentrasi terendah yaitu 0.2%. Sedangkan kalsium hidroksida mulai mampu menghambat pertumbuhan bakteri pada lesi periapikal pada konsentrasi 2% setelah inkubasi selama 24 jam dengan suhu 37℃. 26 Efek antibakteri propolis memperlihatkan hasil yang baik dibanding kalsium hidroksida. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Awawdeh et al13 pada tahun 2009 dengan menggunakan non-setting kalsium hidroksida dalam jangka waktu yang pendek namun hanya spesifik terhadap bakteri E. Faecalis. Selanjutnya pada tahun ini Jahromi et al27 juga memperlihatkan hasil yang sama bahwa propolis memiliki potensi antibakteri yang lebih besar dibandingkan kalsium hidroksida juga pada bakteri E. Faecalis. Diameter zona inhibisi ekstrak propolis memperlihatkan hasil yang lebih kecil dibanding formokresol. Hal ini mengindikasikan bahwa propolis memiliki efek antibakteri yang lebih rendah dalam menghambat bakteri pada lesi periapikal. Rendahnya diameter zona inhibisi ekstrak propolis mungkin disebabkan oleh jangka waktu yang terlalu lama antara ekstraksi dan penentuan efek antibakteri sehingga menyebabkan berkurangnya efek antibakteri ekstrak propolis itu sendiri. Cara penyimpanan ekstrak propolis yang kurang baik juga mungkin mempengaruhi efek antibakteri ekstrak propolis. Walaupun ekstrak propolis memiliki efek antibakteri yang lebih rendah, namun propolis dapat menjadi agen antibakteri baru yang bersifat natural dengan alasan ; Pertama, propolis terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri lesi periapikal dan dengan kompleksitas dan efek sinergi kandungan pada propolis membuat bakteri sulit untuk berkembangbiak. Kedua, propolis relatif tidak bersifat toksik.12 27 BAB VII PENUTUP A. SIMPULAN Propolis merupakan agen antibakteri yang mampu mengahambat pertumbuhan bakteri pada lesi periapikal. Diameter zona inhibisi terluas berturutturut adalah formokresol, ekstrak propolis kemudian kalsium hidroksida. Hal ini mengindikasikan bahwa ekstrak propolis memiliki efek antibakteri yang lebih baik dibanding kalsium hidroksida namun lebih rendah dibanding formokresol. Walaupun demikian, propolis dapat dijadikan sebagai alternatif agen antibakteri baru dalam aplikasi medikamen intrakanal pada perawatan endodontik yang bersifat alamiah. B. SARAN 1. Mengingat bahwa propolis memiliki efek antibakteri yang cukup baik, maka disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut secara in-vivo dengan jumlah sampel yang lebih besar. 2. Untuk meminimalkan perbedaan hasil efek antibakteri propolis, maka perlu ditelusuri lebih lanjut mengenai metode ekstraksi dan pengaruh hasil ekstraksi terhadap efek antibakteri propolis 28