Islam, Negara dan Politik dalam Perspektif Historis

advertisement
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
2. Islam, Negara dan Politik dalam Perspektif Historis
Tujuan utama bab ini adalah untuk menunjukkan bahwa sekularisme yang
didefinisikan sebagai pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara dengan
tetap menjaga keterkaitannya dengan politik lebih konsisten dengan sejarah
masyarakat Islam daripada dengan ide post-kolonial mengenai Negara Islam yang
bisa menerapkan syariah melalui kekuasaan Negara yang memaksa. Pemisahan
antara otoritas keagamaan dengan otoritas Negara merupakan perisai pengaman
yang penting bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan peran politik Islam.
Dengan membuktikan bahwa sekularisme semacam ini merupakan hal yang islami,
saya berharap bisa membantu menghilangkan anggapan ummat Islam bahwa
konsep ini merupakan pemaksaan ala Barat yang akan menyisihkan agama ke
ruang privat. Sebagaimana akan saya jelaskan dalam bab 4, sebetulnya tidak ada
satu model sekularisme Barat yang tunggal, karena setiap masyarakat Barat
menegosiasikan hubungan antara agama dan Negara dan antara agama dan politik
sesuai dengan konteks sejarah mereka. Keliru juga memahami bahwa di Negara
Eropa dan Amerika Utara yang dianggap sekuler, agama telah dipinggirkan ke
ruang privat. Dengan memahai bab 2 dan 4, jelaslah bahwa hubungan antara
Negara dan agama dalam masyarakat Islam tidak jauh berbeda dengan masyarakat
Barat. Mengutip Ira Lapidus,
“ada pembedaan yang jelas antara institusi Negara dan agama dalam masyarakat
Islam. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa tidak ada satu model institusi agama
dan Negara yang baku dalam masyarakat Islam; yang ada adalah sejumlah model
yang saling bersaing. Bahkan, dalam setiap model terdapat ketidakjelasan
mengenai bagaimana distribusi otoritas, fungsi dan hubungan antara institusiinstitusi tersebut.1
Penekanan saya terhadap perbedaan institusi agama dan Negara dalam sejarah
masyarakat Islam bukan berarti bahwa pengalaman masa lalu masyarakat Islam
tersebut harus menjadi model bagi masyarakat Islam saat ini dan di masa depan.
1 1
Ira M. Lapidus, “State and Religion in Islamic Socieites,” Past and Present, No. 151
(May, 1996), p. 4.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Ide seperti ini tidak mungkin dilaksanakan dan juga tidak diinginkan karena
masyarakat muslim saat ini memiliki konteks yang berbeda dengan masyarakat
muslim sebelumnya. Usaha untuk menerapkan pengalaman historis tersebut akan
menjadi tidak konsisten dengan asumsi mengenai pentingnya menegosisasikan
secara kontekstual hubungan agama dan negara serta hubungan agama dan politik.
Tinjauan historis dan analisis terhadap hubungan antara Islam, negara dan politik
dalam bagian ini hanya ditujukan untuk memperlihatkan bahwa pendekatan yang
saya ajukan bisa didukung oleh analisis historis. Saya tidak bermaksud mengklaim
bahwa salah satu masyarakat tersebut telah hidup dalam negara sekuler yang
modern. Namun, tinjauan historis ini tetap akan menjadi signifikan bagi diskusi
kita untuk memperlihatkan bahwa pemahaman terhadap sekularisme yang saya
ajukan di sini, bukanlah ide yang asing dalam sejarah masyarakat Islam.
Untuk memenuhi tujuan tersebut, saya akan memulai dengan menjelaskan cara
saya membaca dan menginterpretasikan sejarah Islam. Setelah itu, pada bagian
dua bab ini, saya akan mengungkapkan visi ideal dan realitas pragmatis sejarah
Islam tersebut. Dalam bagian tiga, saya akan memperlihatkan bagaimana visi ideal
dan realitas pragmatis tersebut dalam sejarah Dinasti Fatimiyah dan Mamluk di
Mesir. Dalam bagian tiga tersebut, saya juga akan membahas status ahl-al-dhimma
(ahl al-kitab) di beberapa negara bagian di Mesir untuk memperlihatkan implikasi
pengalaman sejarah masa lalu tersebut terhadap masa depan penerapan prinsip
konstitusionalisme, kewarganegaraan dan hak asasi manusia dalam masyarakat
Islam saat ini.
Satu hal yang harus saya klarifikasi dari penjelasan ini adalah bahwa sejarah yang
saya kemukakan di sini adalah sejarah ummat Islam yang menjadi mayoritas di
sebuah daerah. Namun bukan berarti status mayoritas ini membuat mereka
dianggap Islami atau ideal menurut sumber-sumber dasar Islam. Ummat Islam
dulu maupun sekarang biasa berpendapat bahwa kegagalan ummat Islam saat ini
bukanlah karena Islam itu sendiri, melainkan karena mereka tidak bisa
menjalankan islam yang ideal. Saya tidak menganggap argumen ini relevan dengan
apa yang akan saya ungkapkan di sini, karena saya lebih tertarik dengan Islam
yang dipraktikkan dan dipahami oleh ummatnya; bukan Islam yang ada dalam
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
tataran ideal dan berbentuk abstrak. Memang selalu ada dimensi Islam yang ada di
luar pemahaman dan pengalaman manusia. Dimensi ini biasanya ada, paling
tidak, dalam ingatan kolektif yang relevan dengan organisasi politik dan sosial
masyarakat. Contohnya seperti yang tersurat dalam Qs. 43: 3 dan 4, “kami telah
menurunkan
al-Qur’an
dalam
bahasa
Arab
kepadamu
agar
kamu
memahaminya,…….”. Ketika mengutip ayat-ayat tersebut atau ayat al-Qur’an
lainnya di sini, berarti kita sedang berusaha untuk menurunkan maknanya dalam
bahasa Inggris karena al-Qur’an tidak bisa diterjemahkan begitu saja. Demikian
juga ketika seseorang mengutip al-Qur’an dalam versi Arabnya, proses penurunan
makna itu akan tetap terjadi karena tidaklah mungkin seseorang merujuk pada alQur’an kecuali jika ia memahaminya.
Dengan kata lain, usaha apapun untuk mengidentifikasi atau mendeskripsikan
islam yang ideal kepada orang lain selalu terhambat oleh keterbatasanketerbatasan dan kemungkinan manusia untuk berbuat salah. Memang tingkat
pemahaman dan pengalaman seseorang terhadap makna al-Qur’an itu berbedabeda,
tapi
tidak
ada
seorang
manusia
pun
yang
bisa
sepenuhnya
mentransendensikan kemanusiaannya, terutama kepada manusia lain. Jika
kemampuan manusia yang terbatas untuk memahami dan mengkomunikasikan
sesuatu itu selalu menjadi dasar bagi usaha untuk mengembangkan hubungan
sosial dan politik sesuai dengan ajaran Islam, saya jadi mempertanyakan apa
sebenarnya yang dimaksud dengan Islami dalam konteks ini? saya tidak bermaksud
menolak adanya keragaman individual dalam memahami dan mengamalkan nilainilai Islam, namun pemahaman dan pengamalan ini tidak bisa dijadikan dasar
organisasi sosial dan politik masyarakat, kecuali jika ada pemahaman yang sama
dan bisa dipatuhi oleh semua pihak. Dengan kata lain, makna kolektif dan praktis
istilah “Islami” itulah yang harus terus dianalisis dan direfleksikan sepanjang
sejarah pengalaman ummat Islam dulu, kini dan nanti.
Dalam bingkai perspektif inilah saya menjadikan bab ini sebagai sebuah usaha
untuk menunjukkan kontradiksi yang terdapat dalam gagasan penyatuan otoritas
politik dan agama. Saya juga ingin menunjukkan bahaya yang tak terhindarkan
jika mengimplementasikan gagasan tersebut. Saya katakan dengan jujur bahwa
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
bahaya itu akan tetap ada, baik jika gagasan tersebut diklaim secara eksplisit
ataupun implisit, atau bahkan jika ia hanya sebuah usaha yang dilakukan secara
selektif tanpa klaim terbuka. Tujuan ini saya ungkapkan di sini dalam konteks
pengalaman sejarah masyarakat muslim dimana kualitas Islami dipahami dengan
cara sebagaimana yang sudah saya ungkapkan tadi. Saya menyadari bahwa saya
tidak mungkin mempresentasikan pembahasan sejarah yang komperehensif atau
mendiskusikan aspek atau peristiwa tertentu yang disebutkan dalam bab ini secara
lengkap. Bahkan jikapun hal ini bisa dilakukan, saya akan sulit mengklarifikasi hal
penting yang ingin saya bahas dalam bab ini. Karena itulah, saya hanya akan
menyoroti beberapa peristiwa dan tema yang cukup familiar dalam sejarah Islam
untuk memperjelas isu yang saya bicarakan di sini. Saya juga akan mengutip
beberapa sumber yang memberikan informasi dan elaborasi lebih lanjut.
I. Kerangka untuk Membaca Sejarah Islam
Sejarah sebuah masyarakat berisi berbagai jenis peristiwa dan dimensi hubungan
manusia. Persepsi yang berbeda mengenai sejarah pasti cenderung menekankan
satu atau beberapa elemen, dan ini dilakukan untuk mendukung institusi sosial,
relasi ekonomi atau organisasi politik tertentu. Sebagai contoh, persepsi yang
berbeda tentang sejarah bisa saja menekankan tradisi toleran atau, malah,
sebaliknya terhadap perbedaan agama, praktik dan pendapat politik dalam
masyarakat. Karena perbedaan persepsi itu dikutip untuk mempengaruhi
pandangan dan perilaku ummat Islam saat ini, pembuat kebijakan dan pihak yang
terlibat dalam debat publik cenderung untuk menekankan persepsi-persepsi yang
cocok dengan posisi mereka. Pihak-pihak yang terlibat dalam debat pasti
menekankan visi mereka tentang sejarah secara meyakinkan. Namun sayangnya,
visi itu tidak serta merta menjadi benar atau sah. Jelas bahwa kerangka dan
interpretasi terhadap sejarah Islam yang akan saya kemukakan berikut ini pun
merupakan salah satu persepsi-persepsi yang saling bersaing dan memiliki sisi
kemanusiaannya. Karena itu, kerangka ini bukan merupakan satu-satunya
pandangan yang sah. Namun, memang begitulah pendekatan sejarah; tidak ada
seorang pun yang bisa bersikap netral atau objektif terhadap sejarah Islam dan
sejarah lainnya.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Studi kasus mengenai dinasti Fatimiyah dan Mamluk Mesir yang saya paparkan di
sini bukanlah wakil dari seluruh masyarakat Islam masa lalu, bahkan bagi
masyarakat yang ada di negeri tersebut dan hidup pada saat itu, apalagi dari
masyarakat Asia Tengah atau masyarakat Afrika. Tetapi, fokus studi kasus ini
sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya bias mengenai posisi Timur Tengah dan
Afrika Utara sebagai pusat Islam. Dominannya fakta sejarah itu membuat Islam
hanya dipahami sebagai pengalaman sosial dan budaya masyarakat Islam di
daerah tersebut, terutama pada masa 4 atau 5 tahun pertama Islam. Akibatnya,
penguasa-penguasa Muslim di daerah lainnya hampir menganggap pengalaman
masyarakat Islam Timur Tengah sebagai kerangka wacana keislaman yang sah dan
otoritatif. Bahkan masyarakat muslim yang tinggal di daerah lain pun menganggap
bahwa pengalaman keagamaan dan sosial mereka lebih rendah dibandingkan
dengan pengalaman masyarakat Timur Tengah jika digunakan sebagai argumen
keagamaan. Ini bisa dipahami karena teks al-Qur’an dan sunnah berbahasa Arab
dan dipahami dalam konteks pengalaman masyarakat Arab saat itu. Namun ketika
kekuatan untuk menentukan diri sendiri (self-determination) semakin menguat,
pengakuan yang sama nampaknya harus diberikan kepada semua pengalaman
masyarakat Islam, dimanapun mereka berada.
Bias yang tadi saya sebutkan nampaknya sudah sangat tertanam dalam sumber
dan sejarah intelektual masyarakat Islam sehingga tidak mungkin dihilangkan
dalam waktu singkat. Namun, upaya tersebut tidak mungkin dimulai jika kita tidak
mengenalinya saat ini. Meskipun mengidentifikasi bias semacam itu bukan
kompetensi saya, namun saya berharap ide saya mengenai pembacaan alternatif
terhadap sejarah masyarakat Islam dapat memunculkan debat mengenai isu
tersebut, terlepas dari pengalaman sejarah yang digunakan untuk melakukan hal
itu. Menurut saya, mengambil pelajaran dari pengalaman satu masyarakat Islam
pra-modern dengan menggunakan sebanyak-banyaknya sumber lebih baik daripada
kita menyesali kurangnya perhatian terhadap pengalaman beberapa masyarakat.
Melalui perspektif inilah, saya akan berusaha untuk mengklarifikasi tema utama
bab ini yaitu memahami pengalaman hubungan Islam dengan negara dan politik
dalam sejarah pengalaman masyarakat Islam.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Hubungan antara Islam, negara dan politik sepanjang sejarah masyarakat Islam
jelas merefleksikan ketegangan permanen antara visi ideal penyatuan Islam dan
negara dengan kebutuhan pemimpin agama untuk melanggengkan otonominya dari
institusi negara. Pemimpin agama membutuhkan otonomi dari negara untuk
mempertahankan
otoritas
moralnya
pada
negara
dan
masyarakat
secara
keseluruhan. Kerangka dasar yang digunakan untuk memediasi ketegangan itu
adalah adanya harapan ummat Islam kepada negara untuk memegang teguh
prinsip-prinsip Islam dalam menjalankan kewajibannya sekaligus menjaga
wataknya yang sekular dan politis. Harapan yang pertama berdasarkan pada
keyakinan ummat Islam bahwa Islam menyediakan model yang komprehensif
untuk kehidupan individu dan publik dalam ruang publik maupun ruang privat.
Namun, negara pada dasarnya memang merupakan institusi yang sekular dan
politis karena kekuasaan dan institusinya menuntut bentuk dan tingkat
kontinuitas dan prediktabilitas yang tidak bisa disediakan oleh otoritas keagamaan.
Memang pemimpin agama bisa dan memang harus menekankan cita keadilan dan
kesetiaan terhadap syariah dalam teori. Tapi, mereka tidak mempunyai kekuasaan
maupun kewajiban untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan praktis seperti
bagaimana mempertahankan perdamaian antar komunitas lokal, mengatur relasi
ekonomi dan sosial atau mempertahankan negara dari ancaman luar. Fungsi
pragmatis itulah yang menuntut negara untuk memiliki kontrol yang efektif
terhadap
wilayah
dan
penduduknya,
serta
memiliki
kemampuan
untuk
menggunakan kekuataan pemaksa agar penduduknya tunduk dan patuh pada
kekuasaanya. Fungsi seperti ini nampaknya lebih mungkin dipenuhi oleh pemimpin
politik daripada pemimpin agama.
Namun demikian, bukan berarti pemimpin agama tidak bisa memiliki otoritas
politis atas pengikutnya. Saya hanya menyarankan untuk membedakan kedua jenis
otoritas ini, bahkan jikapun keduanya dimiliki oleh satu orang. Sebagai contoh:
otoritas keagamaan lebih berdasarkan pada penilaian dan kepercayaan personal
terhadap tingkat kesalehan seorang ulama. Penilaian subjektif seperti ini hanya
mungkin dilakukan melalui interaksi yang rutin dan bersifat lokal. Namun perlu
juga diingat bahwa model interaksi yang seperti ini nampaknya tidak bisa dimiliki
oleh semua orang, apalagi bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan atau di
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
daerah yang sangat jauh. Sebaliknya, otoritas politik cenderung berdasarkan
kualitas yang bisa dinilai secara lebih “objektif”. Kualitas tersebut menyangkut
kemampuan untuk menjalankan kekuasaaan kursif dan administrasi yang efektif
bagi kemaslahatan komunitas. Saya harap pembedaan ini bisa menjadi lebih jelas
pada bagian-bagian selanjutnya.
Setiap masyarakat membutuhkan negara untuk melaksanakan fungsi-fungsi
penting seperti mempertahankan kedaulatan dari ancaman luar, menjaga
perdamaian dan keamanan publik dalam wilayahnya, menyelesaikan perselisihan
antarwarga serta menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk kebaikan
mereka. Agar negara bisa menjalankan fungs-fungsi tersebut, ia harus memilih
salah satu dari sejumlah kebijakan yang saling bertentangan dan mempunyai
monopoli
yang
efektif
untuk
menggunakan
kekuatannya
dalam
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Saya harus tekankan di sini
bahwa kita sedang berbicara tentang kebijakan publik dalam skala yang luas;
bukan kepercayaan personal seseorang terhadap pemimpin agamanya dengan
mematuhi saran-saran yang mereka berikan dalam persoalan-persoalan rutin
maupun spiritual. Kebutuhan untuk melaksanakan kebijakan publik yang umum,
seperti dibedakan dari kepatuhan sukarela seorang individu, menuntut adanya
pemimpin yang ditentukan (baik melalui ditunjuk, dipilih atau dengan cara
apapun)
karena mereka diharapkan bisa melaksanakan fungsi-fungsi tersebut.
Pemimpin-pemimpin itu diharapkan pula memiliki kecakapan politik dan
kemampun untuk menggunakan kekuasaaan kursif.
Kualitas pemimpin politik
yang efektif, dengan demikian, harus ditentukan oleh publik dalam skala yang luas,
dengan cara yang jelas dan teratur, agar bentrokan sipil atau konflik bernuansa
kekerasan dapat diminimalisir. Ketidakpastian mengenai pemimpin politik dan
otoritas mereka menimbulkan resiko perang sipil, kekacauan, bentrokan atau,
paling tidak, kebuntuan dan kebingungan dalam pemerintahan.
Sebaliknya, pemimpin agama mendapatkan pengakuan dari ummat karena
kesalehan dan pengetahuan mereka. Pengakuan ini bisa ditentukan oleh penilaian
personal seseorang yang butuh untuk tahu potensi pemimpin agamanya melalui
interaksi sehari-hari. Identitas dan otoritas pemimpin agama hanya bisa dicapai
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
secara gradual dan tentatif melalui relasi interpersonal dengan pengikutnya. Dalam
pandangan saya, hal ini tidak saja terjadi dalam komunitas sunni, namun juga
dalam komunitas syi’ah yang memiliki hirarki struktural yang sudah mapan.
Dalam komunitas Syi'ah, interaksi harian di level lokal ini diperkuat dengan
otentisitas rantai riwayat yang sampai pada Imam atau Syeikh. Perbedaan antara
otoritas politik dan keagamaan yang saya tekankan di sini, bisa juga diungkapkan
untuk membedakan antara kekuasaan kursif dan kekuasaan eksklusif yang
dimiliki oleh pemimpin politik atas wilayah dan penduduk tertentu, dengan otoritas
moral yang dimiliki oleh pemimpin agama yang bisa juga berlaku luas dan bagi
banyak orang.
Dengan demikian, ada perbedaan fundamental antara kualitas pemimpin politik
dan pemimpin agama dalam cara penunjukkan atau pemilihan mereka dan bentuk
serta jangkauan otoritasnya terhadap pengikutnya. Mungkin saja beberapa
pemimpin politik juga memiliki kesalehan dalam beragama dan pengetahuan.
Begitupun pemimpin agama, mereka bisa memiliki keterampilan berpolitik dan
kemampuan untuk menggunakan kekuasaan kursif. Bahkan nampaknya umat
Islam mengharapkan masing-masing pemimpin memiliki kualitas yang lain.
Seorang pemimpin politik misalnya diharapkan memiliki tingkat kesalehan dan
pengetahuan tertentu, sementara pemimpin agama juga diharuskan memiliki
keterampilan berpolitik untuk bisa memenuhi peran mereka dalam masyarakat.
Namun, penguasa manapun tidak akan mengijinkan adanya penilaian independen
terhadap tingkat kesalehan dan pengetahuannya, apalagi jika itu dikaitkan dengan
klaim legitimasi mereka atas kekuasaan. Sebaliknya, keterampilan politik
pemimpin agama bisa dinilai melalui interaksi inter-personal yang damai dan tanpa
kekerasan. Suatu hal yang tidak realistis untuk mengharapkan penguasa
melepaskan kekuasaan kursifnya karena masyarakat menilai tingkat kesalehan
dan pengetahuan mereka tidak cukup. Sama tidak realistisnya mengharapkan
pemimpin agama melepaskan otoritas mereka hanya karena kualitas dan
keterampilan politiknya tidak memuaskan. Namun, membiarkan orang yang sama
untuk memiliki kedua otoritas ini pun merupakan hal yang berbahaya dan kontra
produktif, karena tidak mungkin memecatnya tanpa resiko terjadinya kekacauan
sipil dan kekerasan.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Karena legitimasi keagamaan merupakan hal yang penting bagi penguasa untuk
mempertahankan otoritas politiknya terhadap ummat Islam, tak heran jika mereka
selalu cenderung mengklaim bahwa mereka memiliki otoritas keagamaan. Namun,
klaim seperti itu tidak serta merta menjadikannya muslim yang hebat atau
menjadikan negara yang dipimpinnya islami. Malah, penguasa biasanya sangat
menginginkan legitimasi keagamaan ketika klaim mereka tidak lagi dianggap sah.
Padahal, kerendahan hati yang merupakan simbol kesalehan, menuntut seseorang
untuk tidak mengklaim dirinya sebagai orang soleh atau paling tidak, tidak secara
aktif mengakui kualitas tersebut. Namun bila cara ini ditempuh, penguasa harus
menyeimbangkan kontrol mereka terhadap pemimpin agama dengan membiarkan
mereka tetap mempertahankan otonomi relatifnya. Otonomi inilah yang justru
menjadi sumber kekuatan untuk memberikan legitimasi bagi otoritas penguasa.
Tapi, penguasa juga tidak bisa memberikan kebebasan sepenuhnya kepada
pemimpin agama, karena mereka mungkin menggunakan kebebasan itu untuk
melemahkan otoritas politik negara. Pemimpin agama, memang, harus bersikap
kritis kepada negara karena dengan cara demikian, mereka bisa mempertahankan
otoritas keagamaan mereka di tengah-tengah komunitas dan juga mendorong
negara untuk mengontrol mereka. Dengan demikian, semakin besar otonomi
pemimpin agama, semakin besar pulalah tantangan mereka bagi otoritas politik
negara. Tetapi, jika mereka dianggap dikontrol oleh negara, semakin kecil pulalah
kemungkinan masyarakat menerima penilaian mereka bahwa negara sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan kata lain, sejarah memperlihatkan bahwa
institusi agama dan negara memang harus dipisahkan, namun dalam praktiknya
keadaan ini sulit untuk dipertahankan.
Paradoks yang dalam dan kompleks ini, yang juga merupakan pengalaman
komunitas agama lain dan bukan hanya ummat Islam, mengantarkan kita pada
bagian berikutnya. Otoritas keagamaan harus dipisahkan dari kekuasaan politik
agar pemimpin agama bisa menjaga penguasa untuk tetap akuntabel pada prinsipprinsip Islam. Karena akuntabilitas murni tidak mungkin bergantung pada
kerjasama sukarela penguasa yang pasti merasa terbebani dengan itu, maka
persoalannya adalah bagaimana membuat penguasa tetap akuntabel tanpa harus
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
menghadapi ancaman pemberontakan. Jika otoritas keagamaan mengancam atau
cenderung memberontak, seperti yang terjadi sepanjang sejarah, penguasa akan
berusaha menekan mereka dengan kekerasan yang akhirnya mengarah pada
perang sipil atau kekacauan sipil. Inilah dilema yang dihadapi pemimpin agama
seperti al-Ghazali untuk mentoleransi penguasa yang opresif atau tidak sah dan
menyebutnya sebagai The Lesser of Two Evils (iblis kerdil).
Dari perspektif ini, sejarah Islam bisa dibaca sesuai dengan jarak antara institusi
agama dan negara yang dialami atau dibangun oleh rezim yang berbeda. Model
pertama hubungan ini adalah penyatuan utuh institusi agama dan negara
berdasarkan prototipe masyarakat yang dibangun Nabi di Madinah yang
mengasumsikan keharusan penyatuan kepemimpinan militer dan politik dengan
kepemimpinan agama. Dalam model seperti itu berarti tidak ada pemisahan antara
institusi agama dan politik; masyarakat diorientasikan pada satu figur, dan
nampaknya ada hirarki dan sentralisasi yang kuat. Model yang lain adalah
pemisahan utuh antara otoritas agama dan politik yang nampaknya menjadi
pilihan yang dominan dipraktikkan, meskipun tidak penah diakui secara terbuka
oleh rezim yang bersangkutan karena mereka masih menganggap pentingnya
mendapatkan legitimasi keagamaan. Ambivalensi ini berarti bahwa kebanyakan
rezim politik di negara-negara Islam ada diantara dua model ini. Mereka tidak
pernah mencapai penyatuan secara utuh seperti model ideal yang dicontohkan
Nabi, meskipun mereka selalu mengklaim lebih dekat pada model ini daripada ke
model pemisahan utuh antara otoritas politik dan agama. Hal yang ingin saya
tekankan
dalam
bab
ini
adalah
ummat
Islam
lebih
baik
mengenali
ketidakmungkinannya mencapai model penyatuan utuh agar mereka lebih mudah
untuk mengelola dan mengatur model pemisahan yang lebih pragmatis. Saya akan
jelaskan hal ini lebih lanjut pada bagian lain dalam bab ini.
Penyatuan ideal tidak mungkin dicapai setelah Nabi meninggal karena tidak ada
seorang manusiapun pada saat ini yang memiliki otoritas politik dan keagamaan
yang sama sepertinya. Sebagai perwujudan utama model ini, ummat Islam
menerima Nabi sebagai satu-satunya pembuat undang-undang, hakim dan pemberi
perintah. Pengalaman seperti itu unik dan tidak bisa direplikasi, karena ummat
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Islam percaya bahwa tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad. Semua penguasa
sejak Abu Bakar, Khalifah pertama, harus menegosiasikan atau memediasi
ketegangan permanen antara otoritas politik dan agama, karena tidak satupun dari
mereka yang dianggap mampu oleh semua ummat Islam untuk menggantikan
posisi Nabi yang telah mendefinisikan Islam dan yang menentukan bagaimana ia
harus diimplementasikan oleh ummatnya.
Semua pemimpin, memang, pasti menghadapi oposisi yang bisa jadi sangat kuat
bahkan, kadang-kadang, penuh kekerasan. Namun perbedaan yang signifikan
antara dua model otoritas ini adalah bahwa klaim oposisi terhadap otoritas politik
hanya bisa berdasar pada penilaian manusia yang bisa dinilai oleh manusia lain.
sedangkan oposisi terhadap kepemimpinan agama memerlukan adanya otoritas
ketuhanan yang tentu saja mampu mengatasi tantangan manusia. Karena dasar
otoritas politik, seberapapun despotik dan otoriternya, adalah representasi
pandangan dan kepentingan warga, maka ia bisa ditantang dengan menggunakan
alasan-alasan yang sama. Sebaliknya, karena dasar kepemimpinan agama adalah
klaim otoritas moral, maka ia tidak bisa tunduk pada penilaian manusia. Meskipun
ada kebebasan untuk menerima atau menolak pesan-pesan Islam, namun tidak ada
masalah oposisi politik yang ditujukan kepada Muhammad di kalangan Ummat
Islam yang mengakuinya sebagai nabi terakhir. Sebaliknya, ketika Abu Bakar
menggunakan otoritasnya untuk memerangi suku-suku Arab yang menolak untuk
membayar zakat kepada negara, banyak sahabat Nabi yang terkemuka, termasuk
Umar yang menggantikannya sebagai khalifah kedua, menentang kebijakan ini.
Contoh yang saya kemukakan barusan masih menjadi bahan kontroversi di
kalangan sarjana Islam, seperti yang dijelaskan dalam bagian berikutnya, karena
Abu Bakar menggunakan alasan keagamaan untuk menumpas pemberontakan.
Saya sendiri berpendapat bahwa Abu Bakar membuat keputusan yang benar.
Namun saya juga melihat bahwa pada sahabat menerima pendapat Abu Bakar
karena ia adalah pemimpin politik komunitas muslim saat itu, dan bukan karena
persoalan otoritas keagamaan. Tentu saja benar bahwa, bagi para sahabat Nabi
saat itu, seperti bagi ummat Islam generasi berikutnya, ketaatan kepada penguasa
yang sah merupakan kewajiban agama seperti yang tersurat dalam Qs. 4:59.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Namun, kewajiban ini juga nampaknya berlaku meskipun seseorang tidak setuju
dengan kebijakan penguasa
dengan alasan keagamaan demi mempertahankan
stabilitas dan keamanan masyarakat. Jika saja Umar yang menjadi khalifah pada
saat itu, mungkin pandangannya yang tidak sesuai dengan Abu Bakarlah yang
akan berlaku. Dari perspektif inilah, situasi yang melatari peristiwa-peristiwa itu
jelas-jelas politik dan bukan agama, walaupun kampanye untuk memerangi suku
Arab yang murtad itu memiliki alasan-alasan religius sekaligus politik.
Jelas bahwa para penguasa muslim terus berusaha mengamankan kontrol mereka
atas negara dengan menarik atau memaksa otoritas keagamaan untuk melegitimasi
kekuasaannya. Namun, di sisi lain, otoritas keagamaan juga berusaha untuk
mempertahankan tingkat otonomi dan kemerdekaan mereka dari aparat negara
agar
mereka bisa menantang
atau bahkan
memperbaiki penyalahgunaan
kekuasaan yang dilakukan oleh aparat negara. Seperti yang sudah saya catat
sebelumnya, negara harus menyelesaikan paradoks pemberian otonomi yang cukup
bagi otoritas keagamaan agar mereka bisa mendapatkan legitimasi dari kelompok
ini untuk kekuasaannya. Tapi, penguasa juga tidak bisa membiarkan mereka terus
independen, hingga mereka bisa menantang otoritas negara. Secara historis, model
yang telah ternegosiasikan, telah diperlihatkan melalui sistem patronase dan
pemberian sponsor oleh pihak yang berkuasa kepada institusi-institusi keagamaan.
Beberapa bentuk negosiasi telah kita saksikan sebelumnya, namun bentuk yang
paling jelas bisa ditelusuri ke pertengahan abad ke-10 ketika Dinasti Buwaihhi
menaklukkan Baghdad dan harus menghadapi minoritas syi'ah serta sunni yang
menolak kehendak politiknya. Setelahnya, dinasti Saljuk, Zangid, Ayyub, dan
Mamluk meniru model ini dengan berbagai penyesuaian.
Ini tidak berarti bahwa otoritas keagamaan selalu mengakomodasi atau dikooptasi
dan dipaksa oleh penguasa. Para ulama dan pemimpin sufi, misalnya, memilih
untuk menghindari negara dan aparatusnya. Meskipun kebanyakan pemimpin
agama yang beroposisi kepada pemerintah melakukannya dengan cara damai, tak
sedikit di antara mereka yang terpaksa mengunakan pemberontakan. Mungkin
kasus-kasus oposisi politik para pemimpin agama tidak memperlihatkan model
terpisah, seperti yang terlihat pada respon sejumlah pemimpin agama terhadap
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
penguasa yang berusaha mendapatkan legitimasi bagi negara yang dipimpinnya.
Namun keberadaan respon-respon tersebut tetap menunjukkan adanya pembedaan
antara otoritas agama dan negara, seperti yang sudah diungkapkan oleh Lapidus di
muka. Sekarang saya akan mencoba untuk mengklarifikasi dan mendukung
perspektif tentang sejarah masyakat Islam ini dengan menyoroti pola hubungan
Islam, negara dan politik dan tidak sekedar menarasikan peristiwa dan sosok.
Sekedar
menyimpulkan,
pembacaan
atau
cara
pandang
terhadap
sejarah
masyarakat Islam yang saya ajukan adalah bahwa ada pemisahan yang jelas
antara otoritas agama dan politik yang bisa ditelusuri sejak masa Abu Bakar
menjadi khalifah pertama negara Madinah. Fakta bahwa pandangan ini tidak
berlaku di kalangan ummat Islam tidak berarti bahwa pandangan ini dengan
sendirinya keliru. Malah, krisis hubungan antara Islam dengan negara dan politik
yang sedang dialami oleh ummat Islam saat ini di manapun mereka berada,
mengindikasikan pentingnya cara baru dalam membaca sejarah. Cara ini
diharapkan berguna sebagai pedoman pelaksanaan syariah dalam masyarakat
muslim di masa yang akan datang karena cara pandang lama yang sudah familiar
nampaknya mulai tidak berlaku. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa pandangan
yang saya ajukan di sini seluruhnya benar, hanya saja ajuan ini perlu
dipertimbangkan secara serius sebagai alternatif bagi pandangan umum yang
berlaku saat ini, daripada sekedar dianggap keliru karena sifatnya yang tidak
familiar.
II.
Permulaan Mediasi antara Visi Ideal dan Realitas Pragmatis
Seperti yang sudah saya ungkapkan, karena model Nabi di Madinah terlalu unik
untuk direplikasi, saya akan memfokuskan pembahasan ini dengan mengklarifikasi
signifikansi masa Khulafaurrasyidin (abu Bakar, Ustman, Umar dan Ali) pada
tahun 632-661, dan periode Umayah (661-750).2 Saya akan mempertimbangkan
2
Untuk review terhadap sejarah masa awal yang otoritatif dan mengutip sumber-sumber
Arab lihat Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a
World Civilization, vol. 1, The Classical Age of Islam, Chicago: University of Chicago
Press 1974, pp. 187-230; Wilfred Madelung, The Succession of Muhammad: A Study of
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sejarah masa awal ini dalam hubungannya dengan dua model penyatuan dan
negosiasi hubungan antara Islam dan negara maupun antara Islam dan politik.
Dalam bagian kedua saya akan menguji secara singkat beberapa peristiwa dan
konsekuensi yang ditimbulkan oleh peristiwa mihnah yang dimulai pada masa
Khalifah al-Ma'mun di tahun 833 dan dilanjutkan oleh penguasa setelahnya dalam
hubungannya dengan pertanyaan yang kita bahas dalam bab ini. Karena peristiwaperistiwa itu menekankan pentingnya membedakan Islam dan negara, bagian
ketiga akan menyoroti pentingnya wakaf sebagai kekuataan kelembagaan dan
keuangan institusi keagamaan dan otonomi ulama dalam menegosiasikan
hubungan Islam dengan negara dan politik.
Sebagaimana muslim yang lain, sulit bagi saya untuk menawarkan refleksi analitis
terhadap fase awal sejarah Islam tersebut karena tingginya penghormatan yang
diberikan kepada para sahabat yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada masa itu. Bagaimana saya bisa melakukan penilaian salah atau benar kepada
Abu Bakar, seorang sahabat Nabi yang paling dihormati di kalangan muslim sunni,
ketika ia memutuskan untuk mengobarkan perang terhadap orang murtad atau
yang lebih dikenal sebagai hurub al-rida, atau menilai bagaimana ia mengatasi
persoalan Khalid bin al-Walid karena perilakunya selama masa penaklukan?
Bagaimana saya bisa mengkritik Muawiyah, seorang sahabat lain yang mendirikan
dinasti Umayyah? Namun, sebagai seorang muslim saya juga harus merefleksikan
sosok-sosok tersebut dan perilaku mereka karena saya percaya pentingnya
menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam kini dan nanti. Karena
sebagai Muslim saya tidak mau menghindar dari tanggung jawab dengan hanya
menjauhi isu semacam ini. Saya malah merasa terhormat untuk mengungkapkan
pandangan seperti itu dan karena saya melakukannya untuk kemasalahatann
bersama bukan demi keuntungan pribadi.
Lagipula, keterlibatan saya dalam melakukan refleksi kritis terhadap aksi politik
sosok-sosok religius itu merupakan bagian dari alasan saya untuk tetap
the early Caliphate, Cambridge: Cambridge University Press, 1997; and Ira M. Lapidus,
A History of Islamic Societies, 2nd edition, Cambridge: Cambridge University Press 2002.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
menekankan pentingnya netralitas negara terhadap agama, seperti yang berkalikali saya ajukan dalam buku ini. Pemisahan antara agama dan negara diperlukan
agar ummat Islam bisa memegang teguh kepercayaan agamanya dan hidup sesuai
dengan kepercayaan itu tanpa mengabaikan tanggung jawab mereka untuk
berpartisipasi dalam urusan-urusan publik masyarakatnya. Sejarah menunjukkan
bahwa pemuka agama rentan terhadap rayuan dan paksaan untuk mendukung
agenda politik penguasa, bahkan mereka rentan terhadap konsekuensi yang berat
seperti yang terlihat dalam kasus mihnah berikut ini. Untuk menghindari dilema
ini, beberapa pemimpin agama cenderung menghindari keterlibatan serius dalam
urusan publik. Daripada menghadapi kesulitan yang sama, saya menyarankan agar
ummat Islam saat ini sebaiknya menempuh upaya pemisahan antara Islam dengan
negara, yang berarti bahwa mereka yang mengontrol negara tidak bisa
menggunakan
kekuasaan
kursifnya
memaksakan
atau
menerapkan
kepercayaannya. Tujuan saya merefleksikan relevansi dan signifikansi peristiwaperistiwa sejarah fase awal dan sangat diperdebatkan ini adalah untuk melihat apa
yang mereka perlihatkan kepada kita tentang Islam dan negara, tanpa menilai apa
yang benar dan yang salah, siapa yang baik dan siapa yang jahat.
Perang terhadap Orang-Orang Murtad dan Watak Negara
Suksesi Nabi merupakan topik yang tetap hangat diperdebatkan sepanjang sejarah
masyarakat Islam karena implikasinya yang besar terhadap watak negara dan
hubungannya dengan Islam. Urutan peristiwa yang umum diterima adalah bahwa
klaim kelompok Muhajirun lebih kuat daripada klaim kelompok anshar. Riwayatriwayat yang menunjukkan bahwa kelompok anshar menuntut adanya pemimpin
(amir) dari dua kelompok yang berbeda ini, menunjukkan bahwa mereka khawatir
mengenai resiko adanya pemerintahan yang terkonsolidasikan, daripada sekedar
reaksi penolakan terhadap Abu Bakar atau semacamnya. Fakta ini akan relevan
untuk memahami alasan pemberontakan suku-suku Arab lain yang ditumpas
melalui perang riddah yang akan kita diskusikan berikut ini. Ketika isu pertama ini
terselesaikan, Abu bakar memiliki pengaruh yang lebih kuat di kalangan muslim
Mekah saat itu daripada calon lainnya, hingga Umar menyebutnya "kebetulan yang
tak terrencanakan" (falta). Hal penting yang selalu menjadi kontroversi dalam
proses ini adalah sebagian ummat Islam saat itu, yang kemudian dikenal sebagai
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
kelompok pendukung Ali (shi'at) terus menentang validitas kemenangan Abu Bakar
atas Ali. Hal yang lebih signifikan kita bahas dalam perbicangan kita saat ini
adalah bahwa perbedaan alasan pemilihan pengganti Nabi dan kriteria pemilihan
memiliki konsekuensi yang luar biasa terhadap watak negara sebagai institusi
politik. Masalah yang berkaitan dengan posisi khalifah dan hubungannya dengan
masa Nabi terus memiliki konsekuensi yang besar bagi watak negara itu sendiri.
Sekarang saya akan membahas permasalahan ini melalui analisis terhadap perang
orang-orang murtad dan pentingnya peran peristiwa ini dalam pembentukan watak
negara sebagai institusi politik.
Perang terhadap orang-orang murtad merupakan krisis pertama yang dihadapi oleh
pemerintahan yang baru setelah meninggalnya Nabi Muhammad. Saat itu, Abu
Bakar harus memperlihatkan otoritas negara terhadap sejumlah suku Arab yang
jelas-jelas menolak otoritas tersebut. Ummat Islam umumnya percaya bahwa Abu
Bakar melaksanakan perang itu karena suku-suku itu telah murtad dengan
mengikuti Nabi Palsu atau karena menolak membayar zakat. Namun kedua jenis
resistensi ini ditumpas dengan menggunakan kekuatan atas nama negara. Fase ini
biasanya sangat dibanggakan oleh kalangan sunni sebagai prestasi terbesar Abu
Bakar yang membuktikan keabsahan pemilihannya sebagai khalifah pertama.
Setelah konsolidasi kekuasaan politik di seluruh semenanjung Arab tercapai,
barulah ekspansi ke Kerajaan Byzantium dan Sasanid dimulai.
Saya tidak tertarik dengan pandangan dominan itu, ataupun untuk menilai apakah
tindakan Abu bakar untuk menyulut perang itu salah atau benar. Saya malah
tertarik untuk melihat makna atau signifikansi episode itu dalam membentuk
watak negara pada saat itu. Keputusan Abu Bakar untuk memerangi suku-suku itu
agar mereka taat pada otoritasnya sebagai khalifah diperlihatkan dalam
pernyataannya mengenai zakat yang sangat terkenal: "aku bersumpah demi Tuhan,
jika mereka menolak untuk memberikan meski hanya sekerat daging unta yang
dulu pernah diberikan kepada Nabi, saya akan bertarung dengan mereka
karenanya." Apa sebetulnya alasan sikap ini? mengapa tindakan ini diinterpretasi
sebagai sebuah bukti bahwa dialah khalifah pengganti Rasulullah? Apakah cara
keputusan
untuk
memerangi
suku-suku
Arab
itu
dibuat,
alasan
yang
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
melatarbelakanginya, maupun peristiwa yang berkaitan dengan peristiwa itu
mengindikasikan adanya model penyatuan antara kepemimpinan agama dan politik
dalam Islam atau tidak? Jika ya, apa yang sejarah katakan pada kita tentang
kesulitan dan kontradiski yang terdapat dalam pandangan semacam itu?
Sebagai contoh, pembedaan bisa dibuat antara dua kelompok besar yang diperangi
oleh Abu Bakar yaitu mereka yang menolak untuk membayar zakat kepada
Khalifah dan mereka yang mengabaikan Islam karena mengikuti Nabi Palsu. Bisa
juga kita berargumen bahwa Abu Bakar menganggap penolakan untuk membayar
zakat ke kas negara sama dengan murtad, sehingga pelakunya bisa dihukum mati.
Namun, kita bisa juga melihat penolakan itu sebagai pemberontakan terhadap
otoritas negara sebagai institusi politik yang keberadaannya bisa dijaga dengan
kekuatan militer. Dengan mengatakan demikian, saya tidak bermaksud untuk bisa
menyelesaikan kontroversi yang berlarut-larut, kompleks dan terus menimbulkan
kemarahan bahkan hingga abad kedua dalam sejarah Islam ini. Saya hanya ingin
merefleksikan implikasi kontroversi itu pada watak negara pada masa awal Islam
tersebut, terlepas dari apa yang orang pikirkan tentang apa yang telah dilakukan
oleh Abu Bakar. Sebagai contoh, saya ingin mengajukan pertanyaan: apakah usaha
yang dilakukan Abu Bakar untuk menerapkan kewajiban zakat atau memerangi
orang murtad merupakan caranya untuk memperlihatkan otoritas politiknya
sebagai khalifah? apakah ia menjadi khalifah karena otoritas keagamaan yang
dimilikinya di kalangan ummat Islam saat itu?
Beberapa pertanyaan menyangkut peristiwa itu masih tak terjawab sampai saat
ini. Misalnya, apakah zakat itu dibayarkan secara sukarela pada masa Nabi dan
apakah zakat itu diserahkan ke Madinah atau digunakan untuk kepentingan
masyarakat lokal? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya sebagian dari pertanyaan
yang terus dihindari oleh sejarawan. Ada satu bukti yang menunjukkan bahwa
pada masa Nabi, zakat bukanlah persyaratan yang universal dan harus dipenuhi
untuk menjadi seorang Muslim, dan bahwa Nabi menerima perpindahan seseorang
dari agama lain tanpa syarat-syarat pembayaran. Disebutkan pula bahwa nisab
zakat belum dikodifikasi hingga masa Khalifah Abu Bakar. Bukti yang ada
menunjukkan bahwa Nabi tidak menggunakan kekerasan dalam mengumpulkan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
zakat.3
Beberapa
sahabat
terkemuka
seperti
Umar
dan
Abu
Ubaidah
memperingatkan Abu Bakar supaya "menghapuskan pajak untuk tahun tersebut
dan memperlakukan suku-suku yang loyal kepada Islam dengan lunak agar mereka
memberikan dukungan kepadanya dalam melakukan tindakan terhadap mereka
yang mengabaikan Islam".4 Sahabat lain seperti Ali bahkan tidak berpartisipasi
dalam kampanye tersebut. Adanya ketidaksepakatan sahabat terhadap masalah
tersebut merupakan hal yang penting bagi kita untuk memahami dasar keputusan
Abu Bakar dan implikasinya terhadap watak negara pada saat itu.
Hal kontroversial lain yang terjadi pada saat itu adalah keputusan Abu Bakar
untuk menunjuk kalangan aristokrat Mekah sebagai komandan dalam perang
riddah, padahal mereka baru masuk Islam setelah bertahun-tahun memusuhi dan
menolak pesan-pesan kenabian.5 Keputusan itu memperlihatkan sisi politis
kampanye yang dilakukan Abu Bakar karena "penyerahan zakat bisa berarti tanda
penyerahan otonomi kesukuan, penerimaan terhadap pajak resmi sekaligus
pengakuan terhadap hak negara untuk memaksa pihak-pihak yang membangkang
serta ketundukkan suku tersebut terhadap penguasa atau pemerintah.
Hal-hal
tersebut, justru yang selama ini selalu ditentang oleh mereka.6 Apreasiasi terhadap
ketegangan dan ketakutan suku-suku Arab yang menghadapi transformasi drastis
dalam lembaga dan hubungan sosial dan politiknya lah yang barangkali
menyebabkan Nabi tidak pernah tertarik untuk menggunakan kekuatan. "Ketika
pemimpin pemberontakan suku itu tertangkap kemudian dihadapkan kepada
Bakar dan didakwa dengan vonis murtad, mereka membela diri dengan
mengatakan bahwa dengan melakukan tindakan perlawanan itu mereka tidak
bermaksud menjadi orang kafir, melainkan karena mereka tidak mau menyerahkan
kekayaan mereka."7
3
Madelung, The Succession to Muhammad, 46- 47.
Madelung, The Succession to Muhammad, 48, note 55.
5
Fred M. Donner, The Early Islamic Conquests, Princeton: Princeton University Press,
1981, 86-87
6
Madelung, The Succession to Muhammad, 47.
7
M. J. Kister, “…illa bi-haqqihi” Jerusalem Studies in Arabic and Islam, no. 8, pp. 6196, 1986, p. 35, n. 8 mengutip al-Shafi’i “…wa-qalu li-abi bakrin ba’da l-isari: ma
kafarna ba’da imanina wa-lakin shahana ‘ala amwalina…”
4
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Peristiwa lain yang menyebabkan kontroversi adalah perintah Abu Bakar terhadap
Khalid bin al-Walid untuk membunuh Malik bin Nuwayra dari Bani Yarbu, suku
Arab yang menjadi anggota federasi Bani Tamim. Perintah ini muncul karena
Malik bin Nuwayra menolak untuk menyerahkan sejumlah unta yang pernah dia
kumpulkan untuk diberikan sebagai zakat kaumnya kepada Nabi. Walaupun Malik
menyatakan kesetiannya kembali kepada Islam, ia bersama-sama dengan anggota
suku lainnya tetap dibunuh oleh Khalid. Khalid kemudian mengambil istri Malik
dan nampaknya memperlakukannya sebagai "rampasan perang".8
Para sahabat terkemuka mengecam perbuatan Khalid. Bahkan Umar menuntut
khalifah memecatnya dan Ali menetapkan hukuman had terhadapnya karena
Khalid dianggap telah melakukan zina (dengan mengambil paksa istri Malik),9
Namun Abu bakar sebagai Khalifah tidak mengabulkan kedua permintaan itu.10
Tuntutan-tuntutan itu akan nampak tidak masuk akal jika kita memahami
keputusan Abu Bakar sebagai bagian dari otoritas keagamaan yang dimilikinya
dari Nabi karena para Sahabat terkemuka, tentu, tidak akan berselisih dengannya,
karena mereka memahami bahwa keputusan Abu Bakar itu bersifat mengikat dan
merupakan bagian dari ajaran Islam. Tetapi sebaliknya, walaupun para sahabat
tidak sepakat dengan Abu Bakar, mereka tidak berbuat sekehendak hatinya untuk
mewujudkan
apa
yang
mereka
anggap
benar,
mungkin
karena
mereka
menghormati otoritas politik Abu Bakar sebagai khalifah. Ulama-ulama zaman
berikutnya seperti al-Syafi'i, al-Khttabi, Ahmad bin Handal dan Ibnu Rajab
menyikapi situasi itu secara berbeda-beda, baik dengan memberikan analisis
tekstual terhadap hadits maupun sekedar berapologi.11 Barulah kemudian pada
masa-masa berikutnya Ibnu Arabi menjustifikasi keputusan Abu Bakar dengan
8
Untuk beberapa versi kisah ini, lihat EI (Encyclopedia of Islam): Malik b. Nuwayra and
Khalid b. Walid.
9
Madelung, Succession to Muhammad, 50, Catatan Kaki 60, mengatakan bahwa
penyebutan Malik b. Nuwayra sebagai pengikut nabi palsu dari Najd, Sajah, adalah
rekayasa. Ia juga mencatat bahwa Umar pasti tindakan menyatakan keberatan atas
perilaku Khalid, jika ia menganggap Malik sudah murtad.
10
Syed H.M. Jafri, The Origins and Early Development of Shi’a Islam, Oxford:
University Press, 2000, 58-79.
11
Kister, “…illa bi-haqqihi”, 36-37.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
memberikan alasan umum bahwa Abu Bakar memang harus melakukan hal
tersebut. Karena jika tidak, suku-suku pemberontak itu akan mendapatkan
kekuasaan dan terus memberontak. Penjelasan terakhir inilah yang kemudian
menjadi pemahaman terhadap sejarah Islam yang paling populer di kalangan
sunni.
Karena saya tidak bermaksud untuk menilai salah atau benarnya fakta sejarah
tersebut, saya ingin kita melihat ketidakjelasan dan resiko penggunaan kekuasaan
kursif negara untuk mengimplementasikan pendapat seseorang tentang agama.
Ketidakjelasan ini bisa diklarifikasi jika kita memahami isu tersebut dalam konteks
peran Abu Bakar sebagai pemimpin politik dan bukan sebagai pemimpin agama.
Cara pembacaan ini mungkin tidak konsisten dengan motivasi Abu bakar yang
mungkin saja religius, karena ia percaya bahwa ia sedang mempertahankan Islam
pada saat itu, dan bukan sekedar menjaga integritas negara sebagai institusi
politik. Bahkan mungkin dia belum mengerti apa yang dimaksud negara dalam
konteks pembicaraan kita. Di samping itu, kerelaan para sahabat untuk tunduk
pada keputusan Abu Bakar meskipun mereka yakin bahwa keputusan itu keliru
mungkin juga dimotivasi oleh oleh faktor-faktor politik, terutama kebutuhan untuk
mengkonsolidasi dan mengamankan komunitas selama periode-periode kritis itu.
Namun alasan religius juga bisa dikemukakan untuk memperkuat faktor-faktor
tersebut seperti Qs, 4: 59 yang biasa digunakan untuk menuntut ketaatan ummat
Islam terhadap Allah, Rasul-Nya dan penguasa. Dengan kata lain, seorang muslim
memiliki kewajiban untuk menaati khalifah, walaupun ia berpikir bahwa khalifah
itu keliru. Namun kemudian kewajiban ini bisa berbenturan dengan kewajiban
muslim untuk menegakkan keadilan dan melawan kemunkaran (al-amr bil ma'ruf
wa l-nahy an al-munkar). Dikatakan juga dalam sunnah bahwa tidak ada seorang
manusia pun yang harus taat pada perintah untuk melakukan maksiat kepada
Allah (la ta'ata li makhluq fi ma'siyat al-khaliq).
Dengan demikian, dengan justifikasi apapun, nampaknya memisahkan agama dari
politik tetap merupakan hal yang sulit: ummat Islam akan selalu tidak sepakat
dengan dua hal tersebut dan alasan-alasan keagamaan selalu berisi pertimbanganpertimbangan politik dan sebaliknya. Terkait dengan perang terhadap orang-orang
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
murtad, mungkin saja tindakan yang dilakukan Abu Bakar itu sah dalam
pandangan Islam karena keputusannya berdasarkan alasan bahwa mereka sudah
murtad atau memberontak terhadap negara. Kedua hal ini merupakan kejahatan
besar (hadd al-haraba dalam Qs. 5:33-34) dan pelakunya layak mendapatkan
hukuman mati. Apapun alasannya dan meskipun ada sejumlah keberatan dari para
sahabat yang lain, Abu bakar tetap bisa menjalankan keputusannya karena ia
seorang khalifah, tapi bukan karena ia memiliki keputusan yang benar atau tepat
dalam kacamata Islam. Ini bukan berarti Abu Bakar benar atau salah, tapi karena
tidak ada otoritas yang independen yang bisa menyelesaikan atau memediasi
ketidaksepahamannya dengan sahabat lain. Dengan kata lain, jika saja Umar atau
Ali yang menjadi khalifah tentu hasilnya akan sangat berbeda.
Kesimpulannya bagi kita adalah membedakan antara pandangan keagamaan Abu
Bakar dengan keputusan dan tindakan politiknya sebagai khalifah mungkin bisa
membnatu. Pembedaan ini pub bisa berguna dalam memahami beberapa sahabat
besar yang tidak setuju dengan Abu Bakar karena mereka juga bisa memiliki
alasan keagamaan dan politis. Pembedaan ini perlu dipertahankan tanpa melihat
motivasi keagamaan Abu Bakar atau sahabat lain, karena tindakan seseorang tidak
bisa ditentukan oleh motivasinya. Pembedaan seperti itu mungkin masih sulit
diterapkan oleh ummat Islam untuk membaca sejarah periode Madinah karena,
pada saat itu, sifat otoritas politiknya yang masih personal dan negara masih belum
dianggap sebagai sebuah institusi politik. Kesulitan itu juga bisa karena berbagai
faktor termasuk masih barunya contoh yang ditinggalkan Nabi, keterbatasan
pendirian negara di daerah Arab pada saat itu dan cara keempat khalifah itu
terpilih dan menjalankan kekuasaannya. Intinya, apapun pandangan terhadap
peristiwa-peristiwa itu, ketidakjelasan seperti itu tidak bisa bisa dijustifikasi
maupun diterima dalam konteks negara post kolonial model Eropa saat ini.
Ketidakjelasan otoritas politik dan agama seorang khalifah memang sudah tidak
bisa lagi dipertahankan setelah pembunuhan Ali dan permulaan berdirinya negara
Umayah. Walaupun Umayah berbentuk monarki, namun ia masih berusaha untuk
mempertahankan kesan bahwa otoritas khalifah merupakan perpanjangan dari
otoritas Nabi. Gelar-gelar yang dipakai oleh khalifah-khalifah dinasti Umayyah
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
seperti khalifat allah, amin allah, na'ib allah menunjukkan besar dan agungnya
otoritas keagamaan yang dimiliki khalifah. Gelar-gelar tanda otoritas ini selalu
diumumkan menjelang pelaksanaan khutbah jum'at di semua wilayah yang mereka
kuasai. Namun, legitimasi keagamaan terhadap Muawiyah, pendiri dinasti ini,
tidak hanya diperlemah oleh konfrontasinya dengan Ali yang berakhir dengan
terbunuhnya keponakan Nabi itu, namun juga oleh upaya-upaya lunak dan keras
yang dilakukannya untuk memuluskan pemilihan Yazid sebagai penerusnya,
padahal Yazid tidak memiliki kualifikasi untuk menjadi khalifah. Karena Yazid
menghadapi ancaman semakin tingginya tingkat pemberontakan dan kekacauan
yang ditujukan untuk menggoyang otoritas dan legitimasinya sebagai penguasa
muslim, ia pun terpaksa menggunakan kekerasan untuk menekan pihak-pihak
yang membangkang. Sayangnya, tindakan ini malah semakin mengurangi
kualifikasinya yang tidak bagus. Dalam upayanya menekan pemberontakanpemberontakan yang terjadi, ia memerintahkan untuk membunuh Husain bin Ali,
cucu Nabi, keluarga dan kelompok pendukungnya di Karbala. Pada saat yang sama,
sekitar tahun 681 M, Abdullah bin Zubair, cucu Abu Bakar dan anak seorang
sahabat terkemuka lainnya, dan pendukungnya muncul dengan pemberontakan
lain dan ia mengklaim dirinya sebagai khalifah di Mekah dan Madinah.
Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh tentara dinasti Umayah selama 10
tahun. Mekah dan Madinah, bahkan Ka'bah, hancur karena proses penumpasan itu.
Krisis ini terus berlanjut selama delapan dekade pemerintahan dinasti Umayah dan
setelahnya.12
Paradoks permanen yang dihadapi oleh dinasti Umayah dan rezim sesudahnya
adalah karena mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk
mendapatkan
legitimasi
keagamaan
dengan
berusaha
mereflikasi
model
pemerintahan Nabi atau pemerintahan Khulafa al-Rasyidun di Madinah. Ironisnya,
masalah ini diperparah oleh keinginan penguasa untuk mengkonsolidasikan
kekuatannya terhadap masyarakat, yang justru malah melemahkan legitimasi
keagamaan yang mereka miliki. Revolusi Abbasiyah sukses menentang dinasti
12
P. Crone and M. Hinds, God’s Caliph: Religious Authority in the First Centuries of
Islam, London: Cambridge University Press, 1986. 12.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Umayah karena mereka menyatakan bahwa dinasti itu tidak memiliki legitimasi
keagamaan dan mereka mengklaim bisa mendirikan sistem yang ideal bagi ummat
Islam. Namun, jelas kemudian bahwa kekhalifahan sudah terlembagakan menjadi
dinasti kerajaan yang penguasanya dipilih berdasarkan garis keturunan, yang tidak
lebih merupakan adaptasi dari model monarkinya dinasti Sasanid dan Byzantium.13
Kerajaan-kerajaan Arab yang bermunculan, keberadaannya relatif tidak terlalu
pelik, karena aparatur negara dan penerusnya biasanya mengadopsi struktur
dinasti Sasanid dan Byzantium dan sering terus mempekerjakan pejabat yang sama
dengan rezim yang sebelumnya. Untuk mempertahankan legitimasi keagamaannya,
khalifah-khalifah dinasti Abbasiyah, terutama yang berkuasa pada periode-periode
awal, sering memposisikan diri mereka sebagai kurator ilmu-ilmu agama dan
menjadi partisipan dalam upaya interpretasinya.14
Ironisnya, mereka membuat
atau memunculkan ekspektasi itu dengan mendasarkan klaim kekuasaan mereka
pada hubungan kekerabatannya dengan Nabi, sehingga mereka dianggap layak
untuk mempraktikkan kembali modelnya. Khalifah-khalifah periode awal dinasti
Abbasiyah berusaha untuk mempertahankan kesatuan kepemimpinan agama dan
politik dengan menunjuk hakim (qadi), menguasai lembaga dan ilmu agama,
sekaligus memerankan diri sebagai pertahanan militer kerajaan Islam. Namun
usaha-usaha untuk menegakkan model penyatuan antara otoritas politik dan
negara menjadi tidak berguna, karena adanya beberapa peristiwa tragis yang
kemudian dikenal sebagai mihnah.
Implikasi Mihnah terhadap Otoritas dan Institusi Politik dan Agama
Ketidaksesuaian antara cita ideal Islam untuk menyatukan kepemimpinan agama
dan politik dengan realitas empiris sejarah ummat Islam mulai jelas, bahkan
sebelum pemberontakan Khawarij dan Syi'ah. Masalah-masalah politik yang
dihadapi oleh Khulafaurrasyidun di Madinah merupakan bukti yang jelas bahwa
struktur ideal yang diperintahkan oleh Nabi tidak cocok untuk direplikasi. "Secara
implisit, keberadaan para pemberontak merupakan tanda kemunculan kelompok
13
Lapidus, A History of Islamic Societies, 58-66.
Muhammad Qasim Zaman, Religion and Politics under the Early ‘Abbasids: The
Emergence of the Proto-Sunni Elite, Leiden: Brill, 1997, 129-166.
14
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
ummat Islam yang memisahkan diri dari otoritas dan kepemimpinan khalifah."15
Tumbuhnya sejumlah sekte seperti Qadiriyah, Murjiah, dan lainnya menentang
mitos tentang kesatuan Islam. Apalagi, jika mempertimbangkan kemunculan
peristiwa drastis yang lebih dikenal sebagai mihnah melalui perspektif sejarah
sosial. Konflik antara otoritas khalifah dan ulama harus dilihat dalam konteks
relasi sosial antara 3 kelompok yaitu: elite Bangsa Arab yang mewakili Istana
Khalifah dan aparat administratifnya, para pemimpin agama, serta keturunan
pemberontak Bangsa Khurasan yang mengawali kesuksesan revolusi Abbasiyah.
Penting juga untuk membedakan antara kekhalifahan ideal dengan realitasnya
pada masa Abbasiyah. Ia merupakan sebuah pencampuran hibrid antara Kerajaan
Timur Tengah (Sasanid dan Byzantium) Pra Islam dan universalisme Islam. Para
khalifah berusaha untuk mengkombinasikan otoritas keagamaan sebagai penerus
Nabi dengan bentuk kerajaan dan otoritas kelembagaan serta budaya ala Kerajaan
Timur Tengah. Kecendrungan ini terlihat jelas dalam patronase dinasti Umayyah
terhadap artistik, arsitektur dan perayaan ala Byzantium di Istana kerajaan" dan
dalam proyek kerajaan yang lain, serta gaya ekspansi mereka yang kasar.
Sementara itu, dinasti Abasiyyah meniru model Persia dengan berpatron pada
khazanah literature dinasti Pahlavi dan filsafat Hellenistik."16 Sebagai respon, para
ulama periode awal menunjukkan adanya keterputusan antara cita ideal dan
realitas, dan meragukan klaim otoritas para khalifah untuk menginterpretasikan
atau mengelaborasi syariah. Klaim ini merefleksikan fakta bahwa ulama memiliki
pengaruh yang lebih besar di kalangan ummat Islam daripada para khalifah.
"Dengan demikian, independensi otoritas keagamaan dari kekuasaan khalifah
berkembang bersamaan dengan munculnya kelompok-kelompok sektarian dalam
ummat Islam. Dari sudut pandang komunal keagamaan, kekhalifahan dan Islam
tidak lagi terintegrasikan."17 Kemunculan otoritas keagamaan yang independen
dari khalifah dan aparat negara inilah, yang disebut Lapidus sebagai pembedaan
antara otoritas politik dan agama dalam sejarah masyarakat Islam.
15
Ira Lapidus, “The Separation of State and Religion in the Development of Early
Islamic Society”, International Journal of Middle East Studies, vol. 6, 1975, 366.
16
Lapidus, “State and Religion”, 9-10.
17
Lapidus, “The Separation” 369.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Apa yang disebut mihnah adalah inkuisisi teologis yang bertujuan untuk membuat
anggota kelompok ulama, yang pada saat itu merupakan sebuah kelompok yang
bersatu tanpa tujuan tertentu, menyetujui sikap yang diambil oleh kalangan
Mu'tazilah bahwa al-Qur'an adalah ciptaan Allah dan dengan demikian ia adalah
atribut dan bukan kata-kata yang tidak diciptakan oleh-Nya. Isu ini merupakan
bagian dari debat yang berkelanjutan antara kelompok yang lebih menyukai
pendekatan yang lebih alegoris dan rasional terhadap sumber-sumber Islam
(Mu'tazilah) dengan kelompok lain (ahl-alhadits dan Asy'ariah) yang menganut
pendekatan tekstual terhadap teks. Dalam konteks itulah, Khalifah al-Ma'mun
melaksanakan inkuisisi pada tahun 833 M (218 H) untuk memaksa ulama tertentu
agar mengadopasi pandangan mu'tazilah. Walaupun setelah al-Ma'mun wafat,
inkuisisi masih berlanjut hingga masa tiga khalifah setelahnya selama 16 tahun.
Khalifah al-Mutawakkil mengakhiri hukuman itu dengan melepaskan para ulama
yang tidak tunduk pada kebijakan khalifah sebelumnya dari penjara dan
menempatkan beberapa orang diantaranya dalam pemerintahannya.
Al-Ma'mun berkuasa setelah memenangkan perang sipil dengan saudaranya alAmin. Baik al-Ma'mun maupun al-Amin merupakan anak dari Khalifah Harun alRasyid. Secara mengejutkan, al-Ma'mun menunjuk Imam al-Rida, Imam kedelapan
dalam rangkaian imamah syi'ah dua belas, sebagai penggantinya. Ini merupakan
upayanya untuk menenangkan pemberontakan Syi'ah yang terus berlanjut pada
saat itu, atau untuk mengembalikan kekhalifahan pada formulasi orisinalnya
sebagai lembaga keagamaan dan politik. Ia juga mengadopsi warna hijau Syi'ah
untuk atribut pasukannya. Namun dua keputusan itu dibatalkan segera setelah alRida wafat secara misterius. Saat al-Ma'mun kembali ke Baghdad yang saat itu
sedang dilanda kekacauan, ia berusaha untuk memaksakan teologi tertentu kepada
masyarakat, yang akhirnya bukan menambah kekuatannya, malah membuat habis
otoritas kekhalifahahannya. Kekacauan parah yang terjadi di Baghdad diakibatkan
oleh adanya kompetisi sejumlah kelompok untuk mendapatkan kekuasaan dan juga
tentara yang marah dan tidak puas. Situasi ini diperparah dengan adanya geng
kriminal dan penjahat. Kekacauan ini berakhir dengan munculnya sejumlah
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
gerakan yang semakin mengukuhkan fakta bahwa penyatuan kepemimpinan
agama dan politik tidak lagi relevan untuk dipraktikkan.
Sebagai contoh, Sahl bin Salama al-Ansari, penduduk Baghdad "yang memakai
salinan al-Qur'an di lehernya dan menyeru orang-orang untuk melakukan 'amar
ma'ruf nahyi munkar', berhasil menarik sejumlah pengikut dari seluruh penjuru
kota yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Ia juga menyeru pengikutnya
untuk
tidak
keamanan
hanya
dan
mempertahankan
stabilitas
bagi
lingkungannya
tempat
tinggal
dengan
mereka,
menyediakan
namun
juga
mengimplementasikan ajaran al-Qur'an dan Sunnah yang dibawa oleh Nabi. Sahl
menggambarkan kepatuhan pada prinsip yang lebih tinggi yang memberikan
justifikasi untuk melawan khalifah dan otoritas negara yang gagal untuk
menegakkan Islam. Ia menyeru bahwa kepatuhan kepada al-Qur'an dan Sunnah
harus mengalahkan ketaatan kepada otoritas yang gagal menegakkan Islam."18 Ia
mengadopsi slogan 'tidak ada ketaatan kepada makhluk bila untuk melakukan
ma'siat kepada Allah' (la ta'ata li makhluq fi ma'siat al-khaliq). Pengikutnya di
berbagai penjuru kota membangun menara di depan rumah mereka yang berfungsi
membentengi mereka dalam kota."19 Dengan demikian, organisasi berbasis
komunitas
yang
dibangun
Sahl
mewakili
kemunculan
spontan
sebuah
pemerintahan bersifat keagamaan yang militan dan menolak otoritas khalifah
secara terbuka.
Dengan menggunakan bahasa-bahasa keagamaan, gerakan tersebut berhasil
"menarik sentimen yang berada di luar batas-batas pemerintahan khalifah menjadi
konsepsi komunal tentang Islam. Dalam konteks inilah, gerakan-gerakan di luar
sistem seperti ini merepresentasikan konsepsi yang revolusioner mengenai struktur
masyarakat Islam."20 Kewajiban untuk melaksanakan 'amar ma'ruf nahyi munkar'
pada dasarnya merupakan kewajiban khalifah, namun gerakan Sahl yang didukung
oleh banyak ulama yang percaya bahwa kewajiban itu juga merupakan kewajiban
semua muslim. Gerakan ini, dengan demikian, menggunakan simbol otoritas
18
Lapidus, “The Separation”, p. 372.
Lapidus, “The Separation”, p 373.
20
Lapidus, “The Separation”, p. 376.
19
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
religius yang kuat dan alasan bahwa kewajiban itu dibiarkan kosong oleh penguasa
yang tidak kompeten. Salah satu ulama terkemuka yang terlibat dalam gerakan itu
adalah Ahmad bin Hanbal yang secara kebetulan adalah penduduk di salah satu
sudut kota Baghdad yang menyediakan keamanan dan stabilitasnya sendiri.21
Dengan demikian, kekuatan sosial yang diwakili oleh Sahl dan lainnya muncul
bersamaan dengan kemerdekaan teologis para ulama seperti Ahmad bin Hanbal
dan pengikutnya seperti Ahmad bin Nasr bin Malik (keduanya adalah penduduk
kota Baghdad yang diwakili oleh Sahl dan penentang khalifah lainnya).
Ahmad bin Nasr lah yang memimpin gerakan oposisi terhadap kebijakan mihnah
selama masa pemerintahan al-Watsiq dan yang menghidupkan kembali gerakan
Sahl yang meredup setelah al-Ma'mun memasuki Baghdad lagi. Pada periode
berikutnya, slogan yang sama, yang memproklamirkan oposisi otoritas keagamaan
terhadap khalifah, terus muncul dan berkembang dengan mengorganisasi
perekrutan masa untuk gerakan pemberontakan. Namun usaha-usaha seperti itu
terhenti karena buruknya perencanaan yang dilakukan oleh pengikut Ahmad bin
Nasr dan karena ia sendiri akhirnya ditangkap bersama sejumlah pengikutnya.
Penting untuk dicatat bahwa Ahmad bin Nasr dimejahijaukan karena pandangan
keagamaannya dan bukan karena tuduhan menghasut. Ia kemudian dieksekusi dan
kepalanya dipajang di hadapan publik untuk memperingatkan yang lain tentang
hukuman yang akan diterima jika membangkang kepada khalifah.22
Inkuisisi yang berlarut-larut memperlihatkan adanya konfrontasi antara ulama dan
khalifah dalam mengklaim otoritas keagamaan. Penolakan Ahmad bin Hanbal
untuk menerima klaim keagamaan khalifah yang kemudian membuatnya dipenjara
hingga akhir hayatnya, membenarkan penolakan terhadap penyatuan otoritas
negara dan agama. seperti yang Lapidus ungkapkan:
"perdebatan tentang status makhluk al-Qur'an menegaskan adanya pemisahan
kelembagaan khalifah dan komunitas, pemisahan otoritas di antara keduanya
21
22
Lapidus, “The Separation”, p. 375-77
Lapidus, “The Separation”, pp. 381-2.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sekaligus memberikan peran yang berbeda kepada masing-masing yang sebelumnya
dimiliki oleh Nabi. Dengan demikian, berbeda dengan bayangan ideal ummat Islam,
kekhalifahan berkembang menjadi institusi kerajaan dan militer yang disahkan
dengan
cara
Byzantium
dan
Sasanid,
sementara
para
pemuka
agama
mengembangkan otoritas yang lebih lengkap terhadap aspek komunal, personal,
keagamaan dan doktrin dalam Islam."23
Isu yang akan kita bicarakan dan sesuai dengan tujuan diskusi kita adalah
mengenai hubungan antara komunitas muslim dengan negara muslim. Bagaimana
hubungan itu dibentuk dalam rezim dan lokasi yang berbeda? Bagaimana ia
berubah
sepanjang
waktu?
Seberapa
besar
pengaruh
ulama
terhadap
perkembangan negara? Seberapa besar kontrol negara terhadap ulama dan
komunitas keagamaan?24 Namun penting pula untuk menekankan bahwa
pembedaan antara lembaga keagamaan dan politik belum dikenal oleh mayoritas
ummat Islam saat itu. Meskipun, pemisahan kelembagaan ini ternyata mendapat
dukungan dari sejumlah ulama seperti al-Baqullani, al-Mawardi dan Ibnu Taimiah.
"Hasil terorisasi mereka adalah, negara bukanlah ekspresi langsung Islam. Ia
adalah institusi sekuler yang bertugas untuk menegakkan Islam; komunitas ummat
Islam yang sebenarnya adalah komunitas ulama dan orang suci yang melaksanakan
sunnah rasul dalam kehidupannya."25 Pandangan ini selaras dengan saran saya
untuk menerapkan sekularisme sebagai sebuah prinsip yang menjaga netralitas
negara terhadap agama dengan tetap mempertahankan keterhubungan antara
Islam dan politik.
Nampaknya kita perlu mempertimbangkan kembali dinamika sosial dan implikasi
mihnah dalam kerangka teori Habermas tentang "ruang publik" tempat ide-ide
diperdebatkan dalam ruang publik sehingga orang yang berbeda dapat mengakses
dan berpartisipasi di dalamnya. Dengan berpihak pada Mu'tazilah, al-Makmun
telah mencabut legitimasi atas kekuasaannya dengan menentang arus massa yang
diwakili oleh Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya. Dari perspektif ini, jelas bahwa
23
Lapidus, “State and Religion”, 12.
Lapidus, “Separation”, p. 385.
25
Lapidus, “State and Religion”, p. 19.
24
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
khalifah dan ulama memperoleh ruang pengaruh yang berbeda dan kedua pihak
memahami bahwa artikulasi dogma keagamaan adalah wilayah ulama…mihnah
dengan demikian merupakan akibat perseteruan antar tren pemikiran ulama
sekaligus konsekuensi kehendak khalifah yang ingin membentuk doktrin."26
Relevansi pandangan ini untuk proposal kita adalah bahwa inkuisisi menandai
pentingnya otonomi "public reason" dari otoritas negara, seperti yang nanti akan
kita diskusikan dalam buku ini.
Pembedaan antara Islam dan negara terkonsolidasikan dengan baik melalui
kemunculan kontrol militer terhadap kekhalifahan pada saat yang bersamaan.
Kesulitan
para
khalifah
Abbasiyah
dalam
mengelola
problem
internal
kekhalifahannya berakhir dengan menurunnya loyalitas dan kesetiaan terhadap
lembaga kekhalifahan di Baghdad. Untuk merespon pemberontakan Syi'ah dan
Khawarij di hampir seluruh wilayah kerajaan, khalifah Abbasiyah mempekerjakan
tentara budak untuk memperkuat kekuasaannya. Ketergantungan terhadap
Mamluk sebagai tentara dimulai pada masa pemerintahan al-Mu'tasim (833-42),
periode setelah pecahnya kekacauan pada masa al-Ma'mun berkuasa sebagai
khalifah.27 Tentara non Arab dan para komandan militer hanya memiliki sedikit
kesetiaan
kepada
kekhalifahan
sebagai
sebuah
institusi,
dan
cenderung
menganggap jabatannya sebagai sumber kekuatan politik dan keuntungan ekonomi.
Karena diharapkan menjadi mesin militer yang efektif, Mamluk memang didorong
untuk tidak berinteraksi dengan penduduk sipil dan tetap diposisikan sebagai
kekuatan asing.
Sebagai contoh, para komandan dari suku Buwaihi yang berasal dari daerah Kaspia
di Iran memasuki Baghdad pada tahun 945. Walaupun Syi'ah, mereka mendukung
dan berpihak kepada khalifah al-Mustakfi. Suku Buwaihi berusaha mengelola
perbedaan tren keagamaan di Baghdad dengan melindungi minoritas Syi'ah.
26
Nimrod Hurvitz, “The Mihna (Inquisition) and the Public Sphere” in The Public
Sphere in Muslim Societies, M. Hoexter, S. Eisenstadt, and N. Levitzion, eds. Albany
NY: State University of New York Press, 2002, 27
27
Carl Petry, The Civilian Elite of Cairo in the Later Middle Ages, Princeton: Princeton
University Press, 1981, 15.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Mereka juga menggunakan otoritas negara untuk mendukung prosesi peringatan
syahidnya Imam Husain dan membuat peringatan idul ghadir secara resmi,
peristiwa kontroversial dalam sejarah Islam yang dipercara syi'ah sebagai hari
ditunjuknya Ali sebagai pewaris kepemimpinan Nabi. Namun, suku ini juga
mempertahankan
mendukung
toleransi
yang
lembaga-lembaga
penuh
utamanya,
terhadap
tidak
golongan
mencampuri
Sunni
dengan
urusan-urusan
ritualnya dan berusaha untuk tampil sebagai pemimpin yang netral dalam suasana
perpecahan. Yang paling penting adalah institusi kekhalifahan tetap dipertahankan
hingga karakter sunni yang melekat pada kerajaan dan rezim pun tetap ada.
Namun kurang dari satu abad kemudian, setelah konflik
internal di kalangan
Buywaihi mengganggu kemampuan mereka untuk memerintah, pasukan Seljuk
dengan ambisi mendirikan dinasti, menduduki Baghdad dan mendukung massa
sunni dan ulamanya untuk mengklaim diri sebagai penjaga ortodoksi.
Sejak saat itu, ulama menyerahkan otoritas politik atau militer kepada rezim
militer luar. Apakah itu Saljuk, Ayyubiyah, Mamluk maupun Ottoman, namun
tetap mempertahankan otoritasnya terhadap institusi, doktrin dan praktik
keagamaan. Yang saya sebut dengan model negosiasi kemudian menguat dengan
dua institusi besar yang bekerja dalam hubungan yang saling menguntungkan;
ulama mendukung negara militer sedangkan negara melindungi daerah-daerah
muslim. Pembesar-pembesar militer dan pejabat sipil terkemuka mengamankan
kerjasama mereka dengan komunitas keagamaan melalui wakaf sekolah-sekolah
agama, masjid, dan lembaga-lembaga komunitas muslim lainnya. Model ini terus
berlanjut hingga masa pra kolonial, dan sisa-sisanya masih tetap ada hingga saat
ini seperti terlihat dalam dominannya kultur militer di negeri-negeri Muslim.
Sementara model seperti tadi berlaku di Baghdad dan daerah-daerah sekitarnya,
model pemerintahan lain berlaku di Afrika Utara. Dinasti Fatimiah memulai
kekuasaannya pada tahun 909 di Tunisia ketika Ubaidillah al-Mahdi, seorang
penganut Syi'ah Ismailiyah, mengklaim diri sebagai satu-satunya pewaris sah Nabi
dari keturunan Ali dan Fatimah (ahl al-bayt).
Gerakan itu, sebagaimana yang
nanti akan kita diskusikan, berusaha untuk menegakkan kembali penyatuan
kepemimpinan agama dan politik. Namun dinasti Fatimiah hanyalah salah satu
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
contoh kecendrungan yang berlaku umum di kawasan Afrika Utara saat itu karena
kawasan ini telah didominasi dengan model kepemimpinan seperti itu sejak
jatuhnya dinasti Umayyah. Penguasa muslim dari berbagai rezim di Afrika Utara
seperti
dinasti
Idrisiyah,
Fatimiyah,
al-Murabithun,
dan
al-Muwahhidun
mengklaim otoritas ketuhanan untuk berkuasa berdasarkan kualifikasi individu
dan keturunan Nabi. Dinasti Idrisiyah dan Fatimiyah adalah penganut syi'ah dan
sangat otoriter. Bahkan dinasti Fatimiyah mengklaim dirinya bebas dari dosa. Di
sisi lain, pemimpin gerakan al-Murabithun dan al-Muwahhidun, Syaikh Abdullah
Yasin dan Abdullah bin Tumart, hanya berusaha untuk menjalankan bentuk rigid
dari Islam.
Namun dalam kasus Afrika Selatan itu, usaha untuk menegakkan model penyatuan
antara otoritas politik dan agama berakhir dengan kekerasan, ketidaktoleranan
dalam beragama, dan hilangnya stabilitas. Sebagai contoh, sarjana Yahudi
terkemuka, Maimonades, meninggalkan Afrika menuju Spanyol pada masa alMuwahhidun berkuasa. Masyarakat Islam di timur Iran dan Asia mengambil
bentuk yang berbeda sesuai dengan kondisi geografis dan demografis negerinya,
dimana keluarga dan suku merupakan faktor penting untuk organisasi sosial di
tingkat lokal. Selain itu, koalisi bersama yang disatukan oleh peninggalan sejarah
dan budaya yang sama nampaknya menjadi komponen yang fundamental bagi
aparat negara di daerah-daerah tersebut. Tetapi, mereka juga melindungi
kelompok-kelompok persaudaraan Sufi dan Syeikh daripada ulama profesional yang
ada di pusat kekuasaan Islam. Pola ini terus berlanjut sejak masa invasi Mongol
sampai periode pra-modern.
Sebagai kesimpulan bagian ini, jelas bahwa model hubungan antara otoritas agama
dan negara beragam baik dari tingginya kontrol negara terhadap institusi-institusi
sentral keagamaan hingga hubungan yang lebih independen namun kooperatif, dan
otonomi penuh bahkan oposisi terbuka terhadap kebijakan negara".28 Saya akan
berusaha mengklarifikasi dan mengilustrasikan pandangan ini dengan merujuk
pada pengalaman historis Mesir dari abad sembilan sampai empat belas masehi.
28
Lapidus, “State and Religion”, 24
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
III. Dinasti Fatimiyah dan Mamluk di Mesir
Seperti yang sudah dicatat di bagian lalu, saya tidak sedang berusaha untuk
memaparkan sejarah dinasti Fatimiyah dan Mamluk di Mesir secara umum. Tapi,
saya akan memaparkan masing-masing periode dan kemudian menandai aspekaspek
tertentu
untuk
memberikan
ilustrasi
mengenai
ketidakmungkinan
penyatuan antara agama dan negara. Saya mengatakan demikian bukan karena
klaim penyatuan itu tidak pernah ada pada masa lalu karena dinasti Fatimiyah
jelas-jelas menyatakan bahwa mereka memiliki hak dari Tuhan untuk berkuasa.
Namun, jika pun demikian, tidak berarti bahwa klaim itu serta merta menjadi sah
atau realistis. Hal yang penting untuk kita catat adalah bahwa klaim seperti itu
tidak hanya gagal dalam tingkat praksis, tetapi juga tidak mungkin berhasil karena
adanya perbedaan fundamental antara otoritas agama dan negara. Saya harap
diskusi kita mengenai Imam-imam Syi'ah Ismailiyah pada bagian awal bab ini
(bagian yang membahas dinasti Fatimiyah) bisa menegaskan hal yang saya sebut
tadi. Bahaya negara yang berusaha untuk memaksakan otoritas keagamaan,
walaupun tidak membuat klaim eksplisit tentang itu, bisa menjadi lebih jelas dalam
diskusi kita tentang dinasti Mamluk berikut ini.
Selayang Pandang tentang Dinasti Fatimiyah di Mesir
Dinasti Fatimiyah didirikan pertama kali pada tahun 909 di Afrika Utara (Tunisia
sekarang) oleh Ubaidillah yang dianggap sebagai Imam Mahdi oleh pengikut Syi'ah
Ismailiyah. Periode dinasti Fatimiyah di Mesir mulai ketika Jauhar, komandan
pasukan al-Mu'izz (Imam Syi'ah Dinasti Fatimiyah untuk periode 953-975)
menaklukkan negeri itu dan memasuki ibukotanya Fustat pada tahun 969. alMu'izz sendiri baru memasuki Mesir 4 tahun berikutnya. Al-Aziz bin al-Mu'izz
memerintah dari tahun 975 sampai tahun 996, yang kemudian diikuti oleh alHakim yang berkuasa selama 25 tahun (996-1021). Setelah al-Hakim dianggap
menghilang, atau menurut riwayat lain dibunuh oleh atas perintah saudara
perempuannya, Sitt al-Mulk, anaknya al-Zahir menggantikannya dan memerintah
selama 15 tahun berikutnya (1021-1036). Masa pemerintahan al-Mustansir yang
cukup panjang (1036-1094) menyaksikan pecahnya perang sipil yang berakhir
dengan berkuasanya militer dalam pemerintahan. Sejak saat itu, usaha-usaha yang
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dilakukan oleh para wazir, hakim, komandan militer, dan gubernur adalah untuk
meluaskan kekuasaan mereka melebihi kekuasaan kekhalifahan Fatimiyah sendiri.
75 tahun berikutnya kita menyaksikan munculnya 6 imam yang berbeda, yang
otoritasnya terus berkurang di tengah-tengah perpecahan sekte, kup militer dan
disintegrasi. Dinasti Fatimiyah berakhir ketika Saladin, Komandan pasukan Bani
Ayyub, menduduki kementrian dinasti Fatimiyah dan mengumumkan kesetiaannya
kepada Khalifah Abbasiyah di Baghdad pada tahun 1171.
Pencitraan diri dinasti Fatimiyah sebagai kekhalifahan dan institusi imamah yang
sah merupakan tanda untuk menegaskan keberlanjutan otoritas politik dan
spiritual yang dimiliki Nabi karena baik syi'ah Imamiyah maupun syi'ah Ismailiyah
mengidentifikasi bahwa kepala negara yang sah adalah wakil Tuhan di muka
bumi."29 Kualitas yang harus dicapai seorang imam agar bisa dianggap memiliki
otoritas ketuhanan tidak bisa dianggap remeh. Seorang Imam harus menjadi
a'immat al-huda, imam keadilan yang bisa menjauhkan ummat dari siksaan", "suar
kebenaran dan pedoman… yang bersinar seperti matahari dan bercahaya seperti
bintang, dan menjadi pilar agama, rizki dan kehidupan manusia."30 Bagi orang
awam, imam adalah sosok yang sempurna dalam pelaksanaan shalat, zakat, puasa,
ibadah haji dan jihad, mendapatkan bagian lebih dari ghanimah dan zakat, dan
memutuskan pelaksanaan hudud…pendek kata, ia lebih dari siapapun kecuali
Nabi."31 Karena imam juga dianggap mendapatkan posisi istimewa dalam bidang
keilmuan, maka seorang imam juga dituntut untuk menjadi penjaga ilmu-ilmu
keagamaan.
Status
ma'shumnya
menjamin
ummat
Islam
untuk
selalu
mendapatkan bimbingan dari penguasa yang sangat adil dan sempurna. Imam juga
harus mempunyai kualitas mufahham artinya ia bisa dipahami oleh Tuhan, seperti
Sulaiman yang dideskripsikan dalam al-Qur'an.32
29
Crone and Hinds, God’s Caliph, p. 99.
Crone and Hinds, God’s Caliph, pp. 100-101. Pengarang buku ini mengutip ulamaulama Syi'ah seperti Kulayni and Nu’man.
31
Crone and Hinds, God’s Caliph, p. 102.
32
Crone and Hinds, God’s Caliph, p. 103.
30
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Namun dalam praktiknya, upaya mewujudkan model kepemimpinan rasul itu tidak
terreflesksikan
dalam
sikap
Imam-Imam
Dinasti
Fatimiyah
cenderung
menunjukkan sikap materialitik di ruang publik. Mulai tahun 990 M, penguasa
selanjutnya yaitu, Khalifah al-Aziz, mengimplementasikan prosesi festival ibadah
(biasanya idul fitri) dimana khalifah berkeliling dengan pasukannya dengan
memakai pakaian berornamen brokat dan dilengkapi dengan pedang dan sabuk
emas. Para sedadu yang menunggangi gajah dan mengangkat senjata berbaris di
hadapannya. Khalifah sendiri berpawai dengan memakai tenda yang dihiasi
mutiara.”33 Citra kemakmuran dan kekuasaan yang diperlihatkan di hadapan
publik yang kelaparan nampaknya memang digunakan untuk menegakkan otoritas
keagamaan khalifah.
Sebagai contoh, dalam prosesi idul fitri, khalifah, para pejabat tinggi dan hakim
yang berpakaian mewah layaknya sedang melakukan peragaan busana, keluar dari
istana ke lapangan dimana shalat idul fitri yang diikuti oleh khalayak ramai
diselenggarakan. Sepanjang prosesi, takbir tak henti dikumandangkan hingga sang
Khalifah memasuki tempat shalat. Sebagaimana pengamatan para sejarawan saat
itu, karena panggilan untuk melaksanakan shalat id tidak membutuhkan adzan,
tapi cukup dengan takbir, “maka dapat kita katakan bahwa pelaksanaan shalat id
dimulai sejak datangnya khalifah dan bahkan prosesi kedatangan khalifah pun
menjadi bagian dari perayaan shalat id.”34 Qadi al-Nu’manlah yang pertama kali
membuat Muslim mengasosiasikan pertunjukkan ini sebagai bagian dari doktrin
syi,ah Ismailiyah karena ia mengklaim adanya hubungan yang mendalam antara
shalat jum’at, idul fitri, idul adha dan peran imam dalam seluruh missi Islam. Bisa
saja kita menganggap klaim seperti itu hanya terjadi pada Syi’ah Ismailiyah atau
Syi’ah Fatimiyah dan konteks historisnya. Namun seperti yang akan saya tekankan
nanti, ciri-ciri seperti itu ada dalam setiap usaha mengkombinasikan otoritas politik
dan agama. Apapun sebutannya: imam, khalifah ataupun presiden, penguasa yang
mendasarkan otoritas politiknya pada klaim keagamaan akan selalu mencari cara
untuk mengasosiasikan kekuasaan mereka dengan otoritas Islam yang suci.
33
Paula Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, Albany:
University of New York Press, 1994, 49.
34
Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, pp. 49-50.
State
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Aspek lain yang membuat asosiasi seperti ini berbahaya adalah karena asosiasi
semacam itu mengharuskan penguasa untuk mengakumulasi kekayaan dengan
menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan patronase politik atau untuk
tujuan-tujuan lainnya. Dalam kasus Dinasti Fatimiah, sumber-sumber keuangan
dinasti ini didapat dari hampir toko-toko yang disewakan bulanan di Kairo, tempat
mandi, gedung pernikahan, kebun buah-buahan, lebih dari 8.000 bangunan, tanah
pedesaan dan lain sebagainya. Sumber-sumber itu, tentu saja, hanya merupakan
bagian dari perdagangan milik pribadi imam yang meliputi seluruh pelabuhan dan
armada laut.35
Sebagai penentu semua urusan negara, “Imam Fatimiyah juga
bertanggung jawab terhadap perlengkapan dan peralatan tentara.”36
Tanggung
jawab ini tidak sejalan dengan posisi Imam sebagai pemimpin spiritual karena
sistem militer yang mempekerjakan budak pada saat itu membutuhkan dana yang
sedikit lebih tinggi daripada biaya untuk mendapatkan perbekalan dan pembayaran
honor tentara bayaran.37 Selain membayar tentara, imam juga nampaknya harus
membayar gaji pegawai negara.38
Namun, justru penyatuan fungsi penguasa
militer dengan simbol keagamaan yang tertinggi dalam negara inilah yang harus
kita perhatikan sebagai bahan pertimbangan untuk melihat karakter opresif
sebuah rezim militer. Permusuhan antara kelompok militer yang beranggotakan
budak pecah menjadi peristiwa penuh kekerasan karena adanya ketegangan rasial
dam perlakuan negara yang diskriminatif dan diperparah oleh terlibatnya
masyarakat umum.39
Sekedar penjelasan singkat, institusi-institusi peradilan dinasti Fatimiyah terdiri
dari pengadilan umum(qada), pengadilan privat
35
(mazalim), pengadilan publik
Lev, State and Society in Fatimid Egypt, Leiden: Brill, 65-66.
Yacoy Lev, “Army, Regime and Society in Fatimid Egypt, 358-487/968-1094”,
International Journal of Middle Eastern Studies, Vol. 19:3, 354
37
Lev, “Army, Regime and Society”, 355.
38
Lev, State and Society, p. 70.
39
Lev, “Army, Regime and Society”, 340, 341; M. Conrad, “Fatimids”, in The
Encyclopaedia of Islam, volume 2.
36
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
(hisbah), dan polisi (shurta).
Semua institusi ini berada di bawah pengawasan
Hakim Agung (qadi al-qudat). Hakim agung dinasti Fatimiyah bertanggung jawab
atas seluruh lembaga-lembaga yang sama di seluruh provinsi, walaupun berada di
bawah kebijaksaan khalifah. Namun ada beberapa daerah yang dikuasai oleh
kekuatan politik lain seperti Palestina yang saat itu berada di bawah kekuasaan alnamun tidak berada di bawah pengawasan Hakim Agung Abi al-Awwam yang
bermazhab Hanbali. Tentara juga tidak harus tunduk kepada Hakim Agung, tetapi
mereka menjadi pelindung yurisdiksi mazalim, jika dianggap akuntabel.40
“Tanggung jawab hakim agung juga bisa diperluas sampai ke persoalan agama
seperti menjadi imam shalat, pengurusan masjid dan jenazah, dan juga tanggung
jawab lain seperti mengepalai kantor percetakan uang (dar al-darb), mengawasi
standar timbangan (mi'yar), dan mengurusi baitul mal.”41 Penyatuan peran
peradilan dan tanggung jawab keuangan ini memberikan kesempatan kepada
aparatur negara untuk menyalahgunakan kekuasaan. Otoritas yang dimiliki
mazalim
memperlihatkan
hak
pregoratif
khalifah
untuk
menginvestigasi
pengaduan-pengaduan individual tentang ketidakadilan, kekeliruan administratif
yang dilakukan oleh pejabat negara dan menyelesaikan keluhan-keluhan seperti itu
tanpa harus mengikuti prosedur yang biasa berlaku. Perwakilan dari seluruh
departemen hadir pada saat pengadilan mazalim, yang juga menjadi tempat yang
tepat untuk menyortir dan mendistribusikan keluhan kepada pejabat negara
terkait.42
Kepala polisi, sahib al-shurta, diharapkan untuk memperlakukan orang secara
setara, menjaga hak-hak korban ketidakadilan, mengeksekusi hukuman yang
ditetapkan, dan menghadirkan pihak-pihak yang terkait dengan kasus ke hadapan

Mazalim nampaknya seperti PTUN karena ia adalah lembaga peradilan yang menangani
masalah kelaliman penguasa beserta keluarganya terhadap rakyat, namun kadang-kdang
fungsinya lebih dari itu. Sedangkan peradilan hisbah nampaknya seperti pengadilan
syari'at yang seperti diberlakukan di Aceh karena pengadilan ini menangani pelanggaran
terhadap prinsip amar ma'ruf nahi munkar. (catatan penerjemah)
40
Amin Haji, “Institutions of Justice in Fatimid Egypt (358-567/969-1171)”, Aziz AlAzmeh, ed. Islamic Law: Social and Historical Contexts, Routledge, 1988, 198-200.
41
Haji, “Institutions of Justice”, 200. See also Lev, State and Society, 135.
42
Haji, “Institutions of Justice”, 203
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
hakim jika diperlukan. Ia memegang fungsi-fungsi jaksa, pengintegorasi, algojo
(pelaksana hukuman) dan pengelola penjara.43 Meskipun kepala polisi seharusnya
ada di bawah kendali Hakim Agung, sebetulnya ada ketegangan yang cukup besar
antara pejabat negara yang berada di dua departemen yang berbeda itu
menyangkut batas-batas otoritas mereka dalam penyelenggaraan hukuman
hudud.44
Insitusi kenegaraan lain yang terdapat pada masa Dinasti Fatimiah adalah al-
muhtasib. Institusi ini muncul pada masa Dinasti Fatimiah di Mesir dan terus
berkembang di bagian negara lain. Terlepas dari perbedaan pendapat yang
menyatakan bahwa institusi ini berasal dan berkembang dari masa pra-Islam, jelas
bahwa peran al-muhtasib (orang yang mengeksekusi aturan hisbah) telah mapan
pada akhir abad ke 4 sebagai satu-satunya lembaga sensor, pengawas pasar, dan
juga penjaga moral publik berdasarkan aturan amar ma’ruf nahyi munkar.45
Seorang pelaksana hukum hisbah menjadi figur sentral di mata publik karena ia
memegang otoritas yang sangat besar baik sebagai pegawai pemerintahan maupun
sebagai otoritas keagamaan yang bertugas menjaga kepentingan dan moralitas
publik. Pasar (suq) yang menjadi wilayah kekuasaan muhtasib, menurut manual
hisbah yang dibuat oleh Ibnu Abdun, dianggap mewakili seluruh kehidupan sosial.46
Muhtasib
merupakan
bagian
dari
pegawai
lembaga
peradilan
karena
penunjukkannya merupakan tanggung jawab hakim agung (qadi al-qudat). Dengan
demikian, muhtasib juga merupakan institusi keagamaan (wadzifa diniyah). Ia
ditempatkan di Masjid Agung di Kairo dan Fustat untuk mendengarkan pengaduan
dalam pengadilan mazalim. Penempatan ini memperlihatkan penitngnya posisi
muhtasib dalam sistem peradilan dinasti ini.47 Namun karena kekuasaan muhtasib
43
Haji, “Institutions of Justice”, 208, 209.
Lev, State and Society, 153-157.
45
See, for example, Lev State and Societ, 160-176; Jonathan Berkey, “The Muhtasibs of
Cairo Under the Mamluks: Toward an Understanding of an Islamic Institution”, Michael
Winter and Amalia Levanoni, eds., The Mamluks in Egyptian and Syrian Politics and
Society Leiden: Brill NV, 2004.
46
Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 247, note 14.
47
Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 251.
44
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dianggap memiliki fungsi religius, maka orang yang ditunjuk sebagai muhtasib
harus memiliki kualitas moral yang tinggi.48 Ia berkewajiban dan diberi otoritas
untuk menjatuhkan hukuman ta’zir, meskipun hudud tidak berada di bawah
mandatnya secara langsung.49 Begitu penting dan besarnya jabatan ini tercermin
dari terpilihnya wazir atau imam itu sendiri untuk menduduki posisi ini. al-Hakim,
Menteri Ibu Killis, dan hakim Ali bin al-Nu’man misalnya pernah menduduki
jabatan ini.50 Namun fakta ini juga mencerminkan bahwa otonomi dan indepensi
jabatan ini terbatas dan bahwa institusi ini mencoba menggabungkan otoritas
keagamaan dan politik.
Dengan demikian, peran muhtasib dalam sejarah Fatimiyah sebagai pengawas
tidak hanya terbatas pada pasar (suq) saja, namun meliputi semua aspek yang
berkaitan dengan produksi, distribusi, dan impor produk makanan. Jabatan
muhtasib menjadi istimewa karena ia tidak hanya menjadi badan arbitrase
perdagangan tetapi juga agen pemerintah dan sekaligus pelaku yang aktif (karena
bisa melakukan monopoli) dalam aktivitas perdagangan masyarakat Mesir saat
itu.51 Pemerintah mendapatkan gandum dengan membelinya dari pasar bebas,
kemudian menanamnya di ladang-ladang pribadi milik imam, dan kadang-kadang
memonopoli komoditas sehingga harus berhadapan dengan para pedagang yang
menjualnya.52 Karena hal itulah, membedakan milik pribadi, kepentingan penguasa
dan domain publik menjadi sulit.53
Peran muhtasib sebagai agen negara bagi
publik dan simbol keagamaan merupakan hal yang problematik. Praktik penjualan
gandum oleh elite penguasa pada masa dinasti Fatimiyah lebih bertujuan untuk
mencari keuntungan sendiri dan mengabaikan permintaan rakyat miskin.54
48
Lev, State and Society, 161; Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 249, note 28.
Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 248.
50
Boaz Shoshan, “Fatimid Grain Policy and the Post of the Muhtasib”, International
Journal of Middle East Studies, vol. 13, 1981, 185 and Lev, State and Society, 161
51
Lev, State and Society, 162.
52
Shoshan, “Fatimid Grain Policy”, 182
53
Lev, State and Society, 162-63
54
Lev, State and Society, 176.
49
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Seperti yang terlihat dalam fungsi muhtasib sebagai pengumpul pajak dan penjaga
moralitas publik, masalah yang potensial muncul dari penyatuan antara insitusi
keagamaan dan negara adalah ketidakjujuran dan korupsi. Ulama-ulama seperti alMawardi dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah, menggambarkan tanggung jawab
muhtasib meliputi penyelenggaraan shalat, puasa, membayar zakat, termasuk
pengaturan urusan moralitas publik seperti pengaturan penyatuan laki-laki
perempuan di ruang publik, mabuk di muka umum, atau pengunaan alat-alat
musik. Fungsi-fungsi itu diselengarakan dengan cara paksa di jalan-jalan kota
Kairo dan kota lainya.55 Ada pula hukum resmi yang berkaitan dengan warga
dzimma seperti larangan untuk menunggang kuda atau keledai dalam kota, atau
kewajiban untuk memakai baju yang berbeda dan mengalungkan lonceng di leher
jika memasuki tempat mandi umum (hammam).56 Saya akan mengulang penjelasan
mengenai hal ini di bagian lain.
Pengaruh dinasti Fatimiyah terhadap Institusi Peradilan dan Keagamaan
Penjelasan
mengenai
dinasti
Fatimiyah
dan
institusi-institusinya
diatas
diharapkan bisa menjadi latar dan konteks untuk penjelasan utama kita dalam
bagian ini tentang konsekuensi penyatuan otoritas agama dan politik. Walaupun
dinasti Fatimiyah memerintah Mesir selama dua abad, mazhab Syi'ah yang dianut
oleh negara tidak pernah benar-benar tersebarkan kepada masyarakat banyak, dan
mayoritas masyarakat Mesir tetaplah penganut sunni. Jadi, apa konsekuensi dari
patronase rezim fatimiyah terhadap mazhab Syi'ah dan apa implikasinya terhadap
model penyatuan otoritas agama dan politik yang dipakainya?
Pada saat penaklukkan Jawhar al-Mishriyyah, gubernur militer dinasti Fatimiyah,
menawarkan surat jaminan keamanan (aman) kepada para bangsawan kota Fustat
(kelak kota ini dijadikan ibu kota Dinasti Fatimiyah) untuk memuluskan jalan bagi
terlaksananya
program-program
politik
rezim
baru,
termasuk
pengaturan
kehidupan keagamaan masyarakat.57 Referensinya kepada sunnah dan persatuan
55
Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 261- 64
Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 262-63
57
Yaacov Lev, “The Fatimid Imposition of Isma`ilism on Egypt (358-386/969-996)”,
Zeitschrift der Deutschen Morgenandischen Gesellschaft, vol. 138, 1988, 315.
56
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Islam jelas sesuai dengan interpretasi khas Ismaili yang dirumuskan oleh Jauhar.
Pada hari pertama penaklukkan, nama khalifah Fatimiyah, al-Muizz, yang saat itu
masih berkuasa di Tunisia disebut-sebut dalam khutbah Jum'at di masjid Agung
Fustat. Ini juga dimaksudkan sebagai cara untuk memperlihatkan keinginan rezim
baru untuk menegakkan citra Islam dengan cara mengembalikan fungsi kota-kota
suci dan keadilan di negeri-negeri Islam.58 Penyebutan nama khalifah al-Mu'izz dan
khalifah-khalifah setelahnya, walaupun bukan fenomena baru, merupakan simbol
yang amat kuat bagi dinasti Fatimiyah untuk mengklaim otoritas keagamaan dan
politik dan menentang dinasti Abbasiyah. Klaim otoritas politik juga dilakukan
dinasti ini dengan membuat uang logam yang berpahatkan nama al-Mu'izz dan
penguasaan keluarga Jawhar atas pengadilan mazalim. Setelah kekuasaan di
Fustat mulai stabil, Hakim Agung membagikan infak kepada warga di
masid
Agung Fustat sebagai cara untuk memperlihatkan keagungan dan keberadaan
rezim Fatimiyah baru.59
Selain model ini, ada pula model penyatuan institusi agama dan politik yang lebih
tingi tingkatnya yaitu ketika 2 masjid agung mencampurkan fungsi keagamaan,
sipil dan administratif sementara pada saat yang sama istana khalifah atau imam
dipandang sebagai tempat yang tepat untuk proses diseminasi pengetahuan.
"Hakim agung Muhammad bin an-Nu'man mengajar ilmu ahlul bait disana.
Begitupun para da'i. Selain di Istana, mereka pun memberikan kuliah di al-Azhar.60
Khalifah atau Imam sering menjadi kurator dan patron bagi berbagai institusi dan
aktivitas keagamaan seperti wakaf masjid, perpustakaan dan sekolah disamping ia
juga menjadi tuan rumah penyelenggaraan kuliah umum atau debat seperti
menteri-menteri sipilnya.61
58
Mekah diobrak-abrik oleh Penganut Karmatiyah yang berusaha mencuri hajar aswad
dari Ka'bah. Perlu dicatat bahwa Karmatiyah adalah salah satu sekte Syi'ah Ismailiyah
yang tidak menyatakan kesetiannya kepada dinasti Fatimiyah, dan malah dipergunakan
oleh komandan-komandan dinasti Buwaihi untuk menyerang dinasti Fatimiyah,
walaupun kedua kelompok ini sebetulnya adalah Syi'ah. Farhad Daftary, The Ismai`ilis:
Their History and Doctrines, Cambridge: Cambridge University Press, 1990, 161-165.
59
Lev, “The Fatimid Imposition of Isma’ilism on Egypt”, 315-316.
60
Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, 43-44.
61
Lev, State and Society, 71
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Dalam proses perdebatan dan perselisihan (munazarat), "para oposan dihadapkan
pada otoritas negara untuk diinterogasi, atau paling tidak, untuk menjawab
sejumlah pertanyaan mengenai masalah-masalah pemahaman dan interpretasi
agama."62 Prestise negara dipertaruhkan dalam peristiwa semacam itu .63 Adapula
majlis keilmuan (majlis al-ilm dan majlis alhikma) yang menjadi wahana untuk
penumbuhan, pengembangan dan pengajaran mazhab syi'ah ismailiyah.
64
Dar al-
Hikmah, misalnya, didirikan tahun 1005 dengan sebuah perpustakaan besar. Ia
berfungsi sebagai sekolah tempat berbagai cabang ilmu termasuk teologi, filsafat,
kedokteran, astronomi dan bahkan hukum sunni diajarkan. Dar al-hikmah juga
berfungsi sebagai pusat pelatihan bagi para da'I syi'ah Ismailiyah. Kuliah-kuliah
yang diselenggarakan di Dar al-Hikmah ditujukan tidak hanya bagi kalangan Syiah
Ismailiyah tetapi juga bagi kalangan non-Syi'ah Ismailiyah."65 Lembaga ini
kemudian diwakafkan setelah berdiri selama lima tahun sebagai upaya pemberian
otonomi kepada para ulama sunni dan syi'ah. Satu abad kemudian, ketika dua
orang ulama mulai mengajarkan teologi asy'ariyah dan ajaran-ajaran yang
terinspirasi oleh al-Hallaj, "Wazir al-Afdal memerintahkan penahanan kedua orang
itu dan Dar al-Ilm pun ditutup."66 Sejak saat itu, Dar al-ilm mulai dipimpin oleh
para da'I ismailiyah dan akhirnya dihancurkan oleh Salahuddin ketika ia
mengakhiri kekuasaan Dinasti Fatimiyah dan Mesir.67
Dinasti Fatimiyah mulai mengadakan penyesuaian praktik dan kepercayaan agama
di Mesir secara bertahap termasuk dengan cara memperkenalkan cara adzan
Syi'ah.68 Namun sejak awal, nampaknya ada resistensi dan negosiasi dari kalangan
sunni. Sebagai contoh, dalam khutbah jum'at, imam shalat dari kalangan sunni
menyebutkan nama Jawhar, penguasa militer dinasti Fatimiyah, namun tidak
menyebutkan nama al-Mu'izz, Imam Syi'ah masa dinasti Fatimiyah. Dengan
62
Paul Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, Journal of the American Research
Center in Egypt, vol. 34, 1997, 180, 181.
63
Walker, “Fatimid Institutions of Learning, 181.
64
Walker, “Fatimid Institutions of Learning, 184-5.
65
Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, p. 56
66
Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, 192
67
Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, 193.
68
Lev, “The Fatimid Imposition”, 317
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
demikian, "ia berusaha untuk menegosiasikan batas-batas antara politik dan agama
yang tidak jelas itu, untuk mengakui adanya pengaruh politik. Namun pada saat
yang sama, ia pun menolak otoritas spiritual."69 Imam-lokal dengan demikian
mendeklarasikan kesetiaannya kepada penguasa militer Dinasti Fatimiyah sebagai
otoritas yang sah secara de fakto, namun menolak otoritas keagamaannya.
Kebiasaan dinasti Fatimiyah yang lebih menyukai menggunakan hisab untuk
menentukan akhir Ramadhan daripada ru'yah langsung dilembagakan walaupun
masyarakat dan ulama sunni
tidak ikut dalam tradisi itu sampai setahun
kemudian.70 Ada laporan yang menyebutkan bahwa Hakim Barqa dihukum mati
pada tahun 953 oleh al-Mu'izz karena melakukan observasi ru'yah untuk
menentukan awal puasa Ramadlan, daripada dengan menggunakan perhitungan
astronomi yang biasa dilakukan oleh Sang imam.71 Seorang laki-laki juga dihukum
karena ia melakukan qunut, mungkin pada saat shalat Tarawih.72 Namun
hukuman-hukuman ini nampaknya tidak pernah tercatat terjadi di Mesir, mungkin
demi menjaga hubungan politik dengan kalangan mayoritas sunni.
Ritual syi'ah lain seperti perayaan Id al-Ghadir dan Ashura yang biasanya menjadi
lebih publik dan provokatif bagi kalangan sunni, juga menguat di bawah
perlindungan dinasti Fatimiyah. Nampaknya baru di tahun 973, perayaan Id alGhadir diakui secara formal keabsahannya, seperti sebelumnya pernah terjadi pada
masa Dinasti Buwaihi di daerah Timur.73 Perayaan Ashura mulai diformalkan pada
tahun 970 walaupun berakhir dengan terjadinya kekerasan dengan komunitas
sunni.74
Selama perayaan ashura 1005, mereka yang mengikuti perayaan
berkumpul di Masjif al-Amr dan setelah melakukan shalat juma't mereka
memenuhi jalan dan meneriakkan kutukan kepada para sahabat Nabi. Untuk
69
Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, 45-46.
Lev, “The Fatimid Imposition” p. 316 and Sanders, Ritual, Politics, and the City in
Fatimid Cairo, p. 45.
71
Michel Brett, “The Realm of the Imam: The Fatimids in the Tenth Century”, Bulletin
of the School of Oriental and African Studies, vol. 59:3, 1996, 437-38.
72
Lev, State and Society, 143 note 48
73
Lev, “The Fatimid Imposition” 317 and Sanders, 124-5.
74
Lev, “Fatimid Imposition”, 318.
70
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
meredam kericuhan, petugas menahan dan menghukum seorang laki-laki dan
mengumumkan kepada khalayak bahwa hukuman yang sama akan ditimpakan
bagi siapapun yang mengutuk Aisyah dan Abu Bakar lagi.75 Walaupun perayaan
Ashura dilaksanakan di luar kota oleh qadi dinasti Fatimiyah, namun perayaan itu
terus menimbulkan kerusuhan di dalam kota.76 In 1009, al-Hakim melarang
perayaan Ashura dan kemudian menunjuk seorang alim dari kalangan Hanbali
untuk menempati posisi Hakim Agung untuk meredam oposisi sunni. Namun,
beberapa perayaan syi'ah yang lain seperti malam rajab dan sya'ban, maulid nabi
dan maulid para Imam Syi'ah Ali, Hasan dan Husein tetap disponsori oleh negara.
Pembuatan kalender yang khas ini memang hanya mungkin dicapai dengan adanya
infrastruktur negara yang kuat yang mempergunakan sumberdaya untuk
mengimplementasikan dan memanipulasinya. Penggunaan kekuasaan seperti ini
biasanya ditentang dan dikritik keras oleh para ulama.
Dinasti Fatimiyah perlahan namun pasti mulai memaksakan doktrin syi'ah
Ismailiyah di negeri itu melalui institusi peradilan. Seperti yang terlihat dalam
kasus Abu Tahir (Hakim agung Mazhab Maliki yang sudah ada di Mesir sebelum
Dinasti Fatimiah menaklukkan negeri ini). Walaupun Jawhar langsung berusaha
untuk menerapkan hukum syi'ah Ismailiyah dalam kasus perceraian dan warisan,
namun Abu Tahir, hakim agung mazhab Maliki, masih diperkenankan untuk
menjabat sebagai hakim di Fustat karena ia setia kepada Jawhar dan al-Mu'izz. Di
samping itu, abu Tahir juga bisa mempertahankan jabatannya sebagai Hakim
Fustat meskipun Qadi al-Nu'man datang dan bertanggung jawab atas tentara
Dinasti Fatimiyah dan kasus-kasus mazalim. Namun,
qadi berikutnya, Ali bin
Nu'man, dengan bantuan khalifah yang berkuasa saat itu, Al-Aziz, bisa
menyingkirkan Abu Tahir hingga semua kewenangan yang dimilikinya jatuh ke
tangan Ali bin Nu'man yang menjabat sebagai Qadi baru. Ali bin Nu'man kemudian
menunjuk saudaranya, Muhammad, sebagai deputi dan mereka bersama-sama
menerapkan hukum dinasti Fatimiyah di Kairo, Fustat dan di kota-kota lainnya.
Muhammad bin Nu'man mengangkat seorang ahli hukum Syi'ah Ismailiyah di
75
76
Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, 125-26.
Lev, “Fatimid Imposition”, 318.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Masjid Agung untuk memberikan fatwa sesuai dengan ketentuan hukum dinasti
Fatimiyah dan menekan oposisi dari kalangan sunni.77 Dengan demikian, pada
masa-masa awal, Dinasti Fatimiyah memang nampak enggan menentang elite-elite
agama yang sudah ada, namun mereka terus mengkonsolidasikan kekuasaannya
ketika mereka mulai lebih stabil. Untuk untuk tujuan diskusi kita pada bagian ini,
kita bisa katakan bahwa pendekatan Dinasti Fatimiyah terhadap isu ini murni
tindakan politis.
Watak otoriter kekuasaan Imam dalam dinasti Fatimiyah Mesir berarti bahwa
birokrat sipil, bahkan yang berpangkat tinggi sekalipun, harus mencari dukungan
dari jaringan personal dan profesionalnya. Kebiassan ini akhirnya menyebabkan
terjadinya korupsi dan nepotisme.78 Strategi yang umum digunakan, seperti yang
sudah disebutkan tadi, adalah melalui pemberian dukungan kepada ulama-ulama
dan ilmu-ilmu keagamaan. Cara ini misalnya dilakukan oleh Ibnu Killis, menteri
dinasti Fatimiyah yang awalnya Yahudi dan baru masuk Islam, dengan
mempekerjakan para sarjana dan intelektual yang berpartisipasi dalam berbagai
forum-forum munazharat.79 Namun penting untuk diperhatikan, posisi Ibnu Killis
ketika melakukan tindakan itu tidak jelas, apakah ia melakukannya sebagai
bentuk kedermawanan personal atau dalam posisinya sebagai menteri?80 Para
khalifah tentu saja mengembil peran langsung dalam patronase semacam itu,
seperti
yang
dilakukan
al-Hakim
dengan
dar
al-ilminya,
atau
dengan
mengalokasikan sejumlah besar uang bagi dua masjid agung dan masjid lainnya
walaupun masjid-masjid tersebut tidak memberi pemasukan.81
Al-Hakim juga
membangun masjid al-Hakim yang berisi sejumlah inskripsi yang menggambarkan
keagungan Sang Imam dan dianggap setara posisinya dengan masjid-masjid yang
ada di Mekah, Madinah dan Jerussalem.82 Inovasi keagamaan yang dilakukan oleh
dinasti Fatimiyah Mesir ini berakar pada struktur hirarkis syi'ah Ismailiyah yang
sudah ada sebelumnya. Kadang-kadang negara mencoba memaksakan pelaksanaan
77
Lev, “Fatimid Imposition”, pp. 320-23.
Lev, “State and Society” 73-4.
79
Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, p. 181.
80
Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, p. 188.
81
Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, p. 62.
82
Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, pp. 56-57.
78
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
doktrin-doktrin Syiah Ismailiyah pada rakyat banyak, seperti dengan menekan
perkembangan mazhab-mazhab lain dan mengharuskan setiap orang untuk
menghapal isi buku-buku fiqih Syiah Ismailiyah.83 Namun usaha-usaha semacam
itu ditentang oleh menteri-menteri dari kalangan sunni dan kristen seperti dalam
kasus pendirian sejumlah madrasah pada abad ke-12 oleh dua orang menteri sunni
yaitu Ridwan dan Sallar.84
Dinasti "Bahri" Mamluk di Mesir
Korps militer Mamluk yang terdiri dari para budak mendapatkan prestise yang
cukup besar pada masa dinasti Fatimiyah dan Ayyubiyah meski mereka tak pernah
mendapatkan kekuasaan untuk diri mereka sendiri. prestise tertinggi dicapai pada
tahun 1260 ketika mereka mengalahkan pasukan Mongol di Ain Jalut, selatan
Damaskus.85 Karena kekuasaan dan status Mamluk tergantung pada penguasa
atau ologarki dominan yang bertanggung jawab atas pembelian, pelatihan dan
pengurusan mereka, maka Mamluk merupakan mesin militer yang efektif
digunakan oleh sejumlah negara penjajah untuk menekan pemberontakan maupun
mempertahankan diri dari serangan luar. Namun status mereka sebagai budak
juga menimbulkan ketegangan sosial serta kerusakan struktur politik dan ekonomi
di negara-negara tempat mereka mengabdi.86
Pasukan mamluk adalah pendukung setia ortodoksi sunni, bahkan mereka
menyandang gelar kesetiaan kepada Khalifah yang membuat mereka menjadi
simbol kesatuan sunni menjadi kekuatan politik independen. Mereka juga
menyandang image sebagai pelayan atau penjaga sunni Islam bahkan pada saat
mereka menjadi penguasa. Serdadu Turki misalnya digunakan oleh Dinasti Saljuk
untuk mempertahankan Islam sunni dari ancaman Syi'ah yang terus meningkat
ketika berdirinya dinasti-dinasti Buwaihi, Haman, Fatimiyah dan Qamaritiyah.
Kombinasi kesetiaan terhadap sunni dan kemampuan militer membuat mamluk
83
Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, p. 185.
Lev, State and Society, 140
85
Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World
Civilization, Vol. II, 467; Lapidus, A History of Islamic Societies, 292.
86
Carl Petry, “The Civilian Elite” 16.
84
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
menjadi penekan yang keras bagi elemen-elemen non sunni dalam masyarakat
Islam termasuk ahl al-dzimma dan pengikut Syi'ah. Namun pada 1517, seluruh
kesultanan Mamluk berakhir oleh serangan militer Dinasti Utsmaniyah.87 Dalam
bagian ini, saya akan mereview institusi kepemimpinan, administrasi dan
keagamaan Dinasti Mamluk Bahri di Mesir untuk menekankan adanya ketegangan
hubungan antara otoritas dan institusi politik dan agama dalam salah satu periode
sejarah Islam.
Kesultanan Mamluk dikuasai oleh beberapa komandan (amir) dengan oligarki yang
esklusif dan memiliki kekuasaan politik/militer berdasarkan kekuatan resimen
militer Mamluk yang dimilikinya. Tidak hanya kalangan elite, dalam hal ini Sultan,
bahkan semua elite militer berasal dari budak atau orang asing yang dibeli dan
dibesarkan
sebagai
budak
kemudian
dilatih
sebagai
tentara
dan
tenaga
administratif. Karena mereka tidak mempunyai keluarga atau hubungan apapun di
daerah tersebut, maka mereka sangat setia kepada tuannya dan mengabdi dengan
sangat baik di kemiliteran. Rezim mamluk mengandalkan sumber keuangannya
dari sistem iqta dimana mereka bisa mendapatkan hasil tanah namun tidak
mempunyai kekuasaan untuk mengaturnya.88 Seperti Dinasti Ayyubi dan Seljuk,
dinasti Mamluk juga tidak mempunyai justifikasi lain untuk berkuasa selain
kekuatan militer yang mereka miliki. Dengan demikian legitimasi yang mereka
dapatkan untuk dinasti mereka berasal dari klaim mereka sebagai penjaga Islam.
Dominannya berbagai dinasti Mamluk sejak abad 10 di Baghdad dan di beberapa
daerah Islam lain diikuti dengan berkuasanya Turki Utsmani yang membuat
institusi negara menjadi institusi sekuler yang tersendiri.
Kampanye militer terhadap tentara salib, wakaf bagi institusi keagamaan dan
perlindungan terhadap tanah-tanah ummat Islam merupakan simbol-simbol publik
yang sengaja ditampilkan untuk menekankan pengabdian Mamluk terhadap Islam.
Ribuan ulama dilatih, dihidupi, diajari di institusi-institusi tersebut dan dijamin
kehidupannya dari waqaf-waqaf yang dikelola oleh Dinasti Mamluk. Walaupun
87
88
Hodgson, The Venture of Islam, Vol. II, p. 419.
Lapidus, A History of Islamic Societies, 287, 291-92.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Amir-amir itu memiliki tujuan-tujuan keagamaan, namun ada motivasi politik yang
jelas terlihat dalam wakaf-wakaf tersebut terutama untuk mendapatkan legitimasi
keagamaan bagi elite yang sedang berkuasa dan jajaran aparatnya.89 Selain
memberikan wakaf kepada institusi pendidikan agama, para penguasa Mamluk
juga menekankan pentingnya kehadiran mereka di kota suci Mekah dan Madinah
dengan menyelenggarakan festival haji tahunan dan berperan sebagai pelindung
utama Ka'bah. Tahun 1281 misalnya, Sultan Qalawun melakukan perjanjian
dengan suku Qatadah yang saat itu bertanggung jawab atas pengurusan kota
Mekah untuk memasangkan kelambu khusus yang dikirim dari Mesir pada Ka'bah
dan memasang lambang-lambang kerajaan Mamluk di depan lambang-lambang
penguasa Muslim lain.90
Karena Mamluk tidak mempunyai klaim yang independen bagi kekuasaannya,
mereka mengunakan beberapa tokoh pemimpin untuk mengontrol negara. Tahun
1261 setelah Baghdad jatuh ke tangan Mongol pada tahun 1258, Sultan al-Zahir
Baybars mendukung klaim al-Mustansir atas dinasti Abbasiyah. Ia mengundang alMustansir ke Mesir dan melantiknya sebagai Khalifah. Sebagai imbalan, Khalifah
al-Mustansir mengakui Baybars sebagai sultan.91 Sultan kemudian mengirim
khalifah ke Baghdad untuk menghadapi kehadiran Mongol di Ibukota Islam
tersebut. Ketika al-Mustansir terbunuh dalam ekspedisi mematikan itu, sultan
kemudian menggantinya dengan melantik al-Hakim sebagai khalifah pada tahun
tersebut. Namun kekhalifahan al-Hakim memang hanya merupakan kegiatan
seremonial dan lebih banyak diwarnai dengan penahanan rumah. Walaupun sultansultan Mamluk umumnya melakukan pengawasan yang ketat terhadap para
Khalifah yang mereka angkat dan memperlakukan mereka hanya sebagai
pelengkap acara-acara publik, mereka tetap sadar akan potensi kekuasaan politik
dan ancaman yang mungkin muncul dari khalifah-khalifah tersebut. Karena
mereka tidak memiliki gelar untuk berkuasa kecuali kekuatan pemaksa, dinasti
89
Donald Little, “Religion Under the Mamluks”, The Muslim World, 1983, 73; reprinted
in History and Historiography of the Mamluks, Variorum Reprints, 1986. 169 - 172.
90
Little, “Religion under the Mamluks”, 171
91
Robert Irwin, The Middle East in the Middle Ages: The early Mamluk Sultanate 12501382, London: Croom Helm, 1986, 43.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Mamluk menggunakan simbol keagamaan Khalifah untuk maksud-maksud politik
mereka melalui menampilkan khalifah-khalifah rekaan mereka.92
Perkembangan hubungan antara institusi politik dan agama yang cukup signifikan
terjadi pada saat transformasi lembaga peradilan yang dilakukan oleh Sultan alZahir Baybars (1260-77). Baybars melakukan perubahan tersebut pada periode
1262-1265 dengan merubah komposisi majelis hakim yang biasanya diisi hanya oleh
seorang hakim agung yang bermazhab syafi'I dengan memberikan tempat yang
sama kepada hakim dari tiga mazhab lain, dengan demikian majelis hakim terdiri
dari 4 orang hakim dari empat mazhab sunni. Keputusan ini nampaknya
disebabkan beberapa hal termasuk keinginan Baybars untuk mendapatkan
dukungan dari kalangan sunni yang bermazhab Maliki, Hanafi dan Hanbali yang
memang menjadi mayoritas pada saat ia naik tahta. Dengan melakukan hal itu, ia
juga bermaksud untuk mengarahkan mereka untuk berkonfrontasi dengan hakim
bermazhab Syafi'i yang saat itu sangat berkuasa yaitu Taj al-Din bin Bint al-A'zz.93
Episode ini sengaja saya ungkapkan untuk memperlihatkan peran negara untuk
menegosiasikan
kekuasaannya
dengan
institusi
keagamaan
dalam
rangka
mendapat legitimasi dan juga peran negara untuk memediasi sejumlah institusi
keagamaan dalam tradisi sunni.94
Kompetisi antara para ulama untuk mendapatkan atau menarik dukungan
terhadap negara memperlihatkan betapa kompleksnya hubungan antara institusi
agama dan negara. Walaupun berbagai mazhab memiliki ketentuan-ketentuan
khusus dalam menyelesaikan masalah-masalah fiqih, mereka membutuhkan
dukungan sukarela atau kekuasaan negara untuk mengimplementasikannya. Sifat
hirarkis lembaga peradilan membagi hakim ke dalam dua kategori yaitu hakim
ketua dan hakim deputi. Hakim ketua memberikan otorisasi terhadap keputusan
para deputi agar putusan tersebut bisa dicatat dalam daftar hukum pengadilan
92
Little, “Religion Under the Mamluks”, 173-74.
Sherman Jackson, “The Primacy of Domestic Politics: Ibn Bint al-Aazz and the
Establishment of Four Chief Judgeships in Mamluk Egypt”, Journal of the American
Oriental Society, vol. 115:1, 52-65.
94
Jackson, “The Primacy of Domestic Politics”, 53.
93
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
(diwan al-hukum) dan dengan demikian bisa dilaksanakan oleh negara.95 namun
bila deputi yang mengeluarkan keputusan tidak menganut mazhab yang sama
dengan hakim ketua, maka hakim ketua tetap berkewajiban untuk melaksanakan
keputusan itu. Namun minoritas hakim bermazhab syafi'I tidak mengizinkan hal
tersebut karena itu berarti melanggar aturan mazhab orang lain. Dengan demikian,
bila seorang hakim bermazhab syafi'i menduduki jabatan tertinggi daalam struktur
pengadilan, dia tidak akan mengeimplementasikan keputusan yang dihasilkan oleh
hakim dari mazhab lain. Karena pada saat Baybar naik tahta, jabatan hakim ketua
dipegang oleh hakim bermazhab syafi'i yang memiliki pandangan seperti yang
tersebut di atas, maka ia mulai memutuskan untuk menunjuk hakim agung lain
yang mewakili kelompok-kelompok sunni yang bisa menerima keputusannya.96
Kebijakan ini memberikan keuntungan politis yang sangat jelas bagi penguasapenguasa Mamluk. Mereka
tidak hanya menerima ucapan terimakasih dan
kesetiaan dari kelompok-kelompok mazhab baru di lembaga peradilan yang tentu
bisa membuat keputusan yang sesuai dengan kepentingan mereka, tetapi juga
mereka bisa mempengaruhi khalayak banyak untuk menerima keberadaan mereka
sebagai penguasa yang berasal dari tentara budak asing.97 Pada saat perang, rezim
Mamluk mengandalkan dukungan ulama untuk memberikan mereka izin untuk
memungut pajak baru dan mengalihkan dana wakaf untuk kepentingan perang.98
Mari berbalik sejenak untuk melihat kewenangan muhtasib dalam periode
Fatimiyah, posisi ini tetap memiliki fungsi yang sama di bawah kekuasaan Mamluk
yaitu menjadi penjaga moral publik, pengawas pasar dan sekaligus pengumpul
pajak. Pada masa ini, posisi muhtasib juga memperlihatkan adanya negosiasi yang
sama antara institusi politik dan agama seperti yang terjadi pada masa
sebelumnya. Awalnya, pada saat berdirinya dinasti Mamluk jabatan muhtasib lebih
dikenal sebagai jabatan keagamaan (wadzifa diniyyah) yang biasanya dipegang oleh
para fuqaha, ulama, pengajar madrasah, dan praktisi ilmu-ilmu keislaman selama
hampir 150 tahun. Namun akhirnya rezim-rezim Mamluk yang saling bermusuhan
95
Jackson, “The Primacy of Domestic Politics”, p. 61, note 91
Jackson, “The Primacy of Domestic Politics”, p. 54.
97
Little, “Religion under the Mamluks”, 174.
98
Lapidus, “Muslim Cities in the Later Middle Ages”, p. 135
96
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
menguasai jabatan ini untuk kepentingan kelompok dan diri mereka sendiri, dan
berakhir dengan konsekuensi ekonomi yang buruk. Perubahan posisi jabatan ini
juga terrefleksikan dalam perubahan hubungannya dengan negara dan persepsi
masyarakat umum.99
Kasus Ibnu Taimiyah bisa menjadi contoh intervensi rezim Mamluk dalam masalah
diskursus kegamaan. Sebagaimana mafhum, Ibnu Taimiyah dipenjarakan tidak
kurang lima kali selama hidupnya pada zaman kekuasaan Mamluk karena
kepercayaannya dianggap tidak mendapat dukungan dari kalangan salaf dan
bertentangan dengan konsensus para ulama dan para pembuat hukum (hakkam)
yang hidup pada zamannya. Fatwa ibnu Taimiyah juga dianggap membuat
kekhawatiran di kalangan masyarakat awam".100 Pendapat Ibnu Taimiyah yang
kontroversi itu diantaranya adalah pemisahan antara kelompok masyarakat ahl al-
dzimma dengan muslim dan penggunaan kekuasaan negara untuk melawan musuh
dari dalam seperti komunitas syiah yang termasuk dalam kekuasaan rezim
Mamluk. Tanpa melihat kebijakan aparat negara terhadap Ibnu Taimiyah, kita bisa
melihat bahwa dinasti Mamluk memperlakukan Ibnu Taimiyah dengan sikap
politik yang cukup keras karena Ibnu Taimiyah memiliki pengaruh yang cukup
besar di kalangan masyarakat Islam dan amir-amir Syiria. Namun Ibnu Taimiyah
sendiri bekerja sama dan melayani pejabat-pejabat negara, atau melemahkan dam
mengancam mereka tergantung apakah ia setuju dengan pandangan dan kebijakan
mereka atau tidak.
Sebaliknya,
para
ulama,
terutama
ulama
Damaskus,
cenderung
segera
mendeklarasikan kesetiaan mereka kepada rezim militer manapun yang memasuki
kota tersebut agar ketertiban segera bisa dikembalikan secepat mungkin. Sikap
seperti ini berdasarkan pada pendapat bahwa negara, seperti apapun bentuknya,
lebih baik daripada perang dan pentingnya penyerahan diri. Ironisnya, janji
perdamaian dan pengampunan yang diharapkan para ulama itu tidak mereka
99
Berkey, “The Muhtasibs of Cairo Under the Mamluks”, 252, 253
Little, “The Detention of Ibn Taymiyya” 321.
100
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
dapatkan ketika pasukan Mongol menyerang kota itu pada tahun 1299-1300.101
Bahkan hal yang sama terjadi pada saat Timur Lenk menginvasi kota itu satu abad
setelahnya pada tahun 1400. Sementara ulama-ulama lain bersedia untuk bertahan
dan melawan dengan mempersiapkan blokade atau perang gerilya, ahli fiqih
Hanbali yang terkemuka, Ibnu Muflih, malah memperingatkan masa untuk
menyerah dan mempercayakan keselamatan kota kepada penjajah. Timur Lenk
menproklamirkan diri menjadi Sultan setelah berhasil memblokade kota selama 2
hari. Ia mengangkat Ibnu Muftih menjadi qadi dan agen Timur Lenk, namun kota
tetap saja dihancurkan.
Peran para Qadi dalam kekuasaan Mamluk terintegarasi dan terpenetrasi oleh
aparat negara. ada 4 jabatan qadi di setiap kota-kota Dinasti Mamluk, masingmasing qadi memiliki jaringan deputi yang memiliki kekuasaan politik yang setara
dengan menempatkan diri mereka sebagai penengah antara ulama dan rezim
Mamluk
yang menuntut pajak
militernya.102
yang tinggi untuk
membiayai kebutuhan
Memang sulit untuk mengetahui parameter otoritas dan wilayah
kewenangan peradilan ketika tidak ada satupun prinsip pemisahan kekuasaan
diketahui, meskipun pada saat itu telah ada pembedaan institusi dan pejabat
peradilan seperti qada, mazalim, hisba, dan lain sebagainya. Pengadilan Mazalim
misalnya menjadi tempat bagi masyarakat untuk mengadukan penindasan atau
ketidakpedulian yang dilakukan oleh aparat negara, sekaligus menjadi tempat bagi
para
pejabat
negara
dan
orang-orang
berpengaruh
untuk
memenangkan
kepentingannya atau menghentikan lawan-lawannya.103 Kasus-kasus wakaf dan
properti individu sering menjadi kasus dalam pengadilan mazalim karena semasa
rezim Mamluk beberapa amir dengan pengawal miiternya biasa merampas tanah
milik orang lain.
101
Ira Lapidus, Muslim Cities in the Later Middle Ages, Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1967, 131-34.
102
Lapidus, Muslims Cities, 135.
103
J. Nielson, “Secular Justice in an Islamic State: Mazalim under the Bahri Mamluks
662/1264-789/1387”, Leiden: Nederlands Historisch-Archaeologisch Istituut te Istanbul,
1985, 123
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Ahl al-Dzimma di bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah dan Mamluk
Dinasti Fatimiya sangat menekankan peran pemimpin dalam membangun
masyarakat Islam yang adil. Bahkan keadilan nampaknya menjadi platform dasar
bagi setiap gerakan syi'ah untuk mendapatkan legitimasi. Secara teoritis, semua
urusan negara, masyarakat, dan agama harus berada di bawah pengawasan imam
yang maksum yang mengatur masyarakat berdasarkan otoritas ketuhanan yang
komprehensif.
Berbeda
dengan
Dinasti
Fatimiyah,
dinasti
Mamluk
tidak
mempunyai klaim ideologis dari ajaran lama. Mereka mendasarkan diri pada klaim
yang mereka buat sendiri untuk mempertahankan dan mendukung ajaran Islam.
Selama pejabat dinasti Mamluk tidak menyalahi tatanan Islam di depan publik,
kekuasaan mereka akan selalu dilegitimasi oleh mayoritas ulama.
Status dan peran ahl al-dzimmah dalam masyarakat Islam selalu menjadi bahan
perdebatan dan ketegangan. Sementara teks-teks dasar Islam lebih banyak
dipahami untuk merefleksikan sikap toleransi kepada ahl al-kitab dan penganut
agama lain, data historis menunjukkan bahwa permusuhan lebih banyak mewarnai
hubungan antara muslim dan non muslim daripada hubungan simpatik. Dalam
kasus Mesir misalnya yang merupakan negara yang mayoritas penduduknya
beragama Kristen Koptik, umat islam berhutang budi kepada masyarakat Mesir
koptik atas keahlian yang mereka miliki untuk mengelola ekonomi pertanian
Sungai Nil dan aspek lain dalam kehidupan masyarakat Mesir. Kelebihan
kemampuan teknik yang dimiliki oleh komunitas Koptik dalam kegiatan ekonomi
lokal sering menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial di kalangan penduduk
yang beragama Islam yang walaupun menjadi elite penguasa namun tetap
tergantung pada minoritas luar. Cara bagaimana ketegangan seperti ini
dinegosiasikan dalam kasus-kasus yang akan saya paparkan nanti memperlihatkan
adanya pola perlakuan yang berbeda terhadap ahl al-dzimmah dalam masyarakat
muslim.
Selama periode Fatimiyah, kita bisa melihat adanya pola yang toleran dimana tidak
adanya pembatasan bagi penduduk beragama Kristen atau Yahudi untuk
mendapatkan kesempatan bekerja atau kemungkinan untuk melakukan mobilitas
sosial. Bahkan orang-orang Kristen dan Yahudi berkerja di pemerintahan selama
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
masa dinasti Fatimiyah dan awal masa Dinasti Ayyubi, meskipun pada dinasti
Ayyubi, beberapa pelarangan sempat terjadi.104 Namun praktik ini tidak boleh kita
besar-besarkan juga, Dinasti Fatimiyah yang berada di Mesir tidak memiliki sistem
yang bisa menyeimbangkan sejumlah kelompok dalam masyarakat yang bersaing
untuk mendapatkan kekuasaan. Yang ia miliki hanyalah seorang imam yang
memiliki otoritas yang tinggi. Rezim Fatimiyah yang bermazhab Ismailiyah sendiri
juga merupakan kelompok minoritas di Mesir yang mengelola kelompok minoritas
muslim lain yang mengklaim dirinya memiliki otoritas keagamaan atas mayoritas
orang Koptik. Dengan demikian semua segmen masyarakat Fatimiyah dan Mamluk
di Mesir sangat rentan mengalami ketegangan yang sama dan penggunaan
kekuasaan secara sewenang-wenang dan kekuatan yang tak terdeteksi oleh negara.
Walaupun rezim dinasti Fatimiyah nampaknya agak sedikit lebih toleran dan
mendukung institusi ahl-al-dzimmah (terutama kristen Koptik) karena berbagai
alasan, penduduknya yang mayoritas sunni sangat anti-dzimmi dan mereka marah
kepada rezim Fatimiyah karena mendukung ahl-dzimmah. Masyarakat sunni
memandang keberadaan kristen Koptik dan yahudi dalam pemerintahan dinasti
Fatimiyah Mesir mewakili sistem pemerintah yang tidak sah dan tidak bisa
diterima dalam masyarakat Islam. dengan demikian, tekanan negara kepada
kelompok dzimmi harus dilihat sebagai konsesi terhadap kemarahan dan
permusuhan kalangan sunni kepada kelompok ini dan sebagai sikap politik yang
layak diambil untuk mencegah konfrontasi serius antara kelompok ini dengan
masyarakat muslim. Dengan demikian,
Posisi orang kristen dan Yahudi di negara Islam (selama dinasti fatimiyah
berkuasa) dilindungi namun tidak cukup aman. Hukum Islam melindungi
hidup, hak milik, serta kebebasan mereka, meskipun dengan beberapa
pembatasan, untuk melaksanakan ajaran agamanya. tetapi, hukum Islam
juga menuntut mereka untuk dipisahkan dari masyarakat lain dan
mengharuskan mereka untuk tunduk pada aturan. Jika aturan-aturan itu
dijalankan di bawah pemerintahan yang lemah atau buruk`,maka kondisi ini
dapat dan pasti mengarah pada absennya hukum dan perlakuan buruk.
104
S.D. Goitein, A Mediterranean Society: The Jewish Communities of the Arab World as
Portrayed in the Documents of the Cairo Geniza, 6 volumes, Berkeley: University of
California, 1967-94, vol. II, 1971, 288
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Kebijakan yang diambil rezim Fatimiyah ini selaras dengan karakter umum
periode saat itu dimana… perdagangan internasional yang cepat dibuat untuk
interaksi bebas antara kelompok yang berbeda dalam masyarakat disamping
karena perilaku tertentu yang dianggap masuk akal.105
Debat akademis mengenai status dzimmah di kalangan ummat Islam sering
merujuk pada apa yang disebut "perjanjian Umar", sebuah teks yang berasal dari
perjanjian antara Umar bin Khatab dengan ahl al-dzimmah di Syiria, namun
dianggap oleh sebagian sarjana baru muncul pada beberapa masa berikutnya.106
Kondisi yang nampaknya telah diatur oleh perjanjian itu adalah perbedaan gaya
berpakaian (ghiyar), larangan untuk mendirikan gereja atau sinagog, pembatasan
kegiatan ibadah yang dilakukan di ruang publikm dan aturan-aturan mengenai
kemungkinan ahl-dzimmah bekerja dalam pemerintahan Islam. Aturan-aturan ini
tentu saja merupakan tambahan atas kewajiban membayar pajak (jizyah). Aturanaturan tersebut nampaknya tidak pernah dikodifikasikan di Mesir baik sebelum
ataupun semasa dinasti Fatimiyah berkuasa, namun implikasi dan pengaruhnya
masih terlihat dalam berbagai kasus.
Praktiknya, memang, beragam tergantung faktor politik dan faktor-faktor lainnya.
Negara
bisa
saja
mengizinkan
pendirian
gereja
dan
sinagog
baru
atau
merehabilitasi bangunan lama, tetapi ia juga bisa saja menyerah pada tuntutan
ulama
dan
masyarakat
untuk
menolak
permintaan
komunitas
dzimmi.
Khalifah/Imam al-Mu'izz mengizinkan pembangunan gereja baru walaupun
perasaan anti-kristen sangat umum di masyarakat Islam Fustat saat itu, dan
Khalifah Abdul Aziz mengizinkan rehabilitasi sebuah gereja. Imam-imam dinasti
Fatimiyah memperluas pengaruh mereka kepada masyarakat non-muslim dengan
mewakafkan tanah untuk gereja, melindungi hak-hak lembaga biarawan St.
Catherine, bahkan mendukung pendirian seminari Yahudi di Yerussalem. Namun
kompleksitas masalah ini bisa dilihat dari kasus Muhammad bin Tughj, penguasa
dinasti Ikhsid (dinasti sebelum Fatimiyah), yang menghadapi tekanan yang sangat
besar dari masyarakat muslim yang sangat marah untuk melarang perbaikan
gereja Abu Shenuda yang sebagian bangunannya mulai rusak. Dua dari tiga ahli
105
106
Goitein, A Mediterranean Society, 289
Lev, State and Society, 180-81
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
hukum
yang
ditunjuk
untuk
memeriksa
legalitas
perbaikan
gereja
itu
menyimpulkan bahwa upaya tersebut memang dilarang, tetapi Ibnu Tughj lebih
suka mengambil pendapat hakim ketiga yang menyatakan legalitas perbaikan
tersebut. Namun setelah ahli hukum ketiga ini diserang oleh kerumunan massa di
jalanan dan bahkan menimbulkan kerusuhan yang melibatkan pasukan bersenjata,
jelaslah bagi Ibnu Tughj bahwa ia tidak bisa mengimplementasikan kebijakannya
itu karena akan menimbulkan ketidakstabilan yang berkelanjutan. Ibnu Tughj
akhirnya menyerah pada tuntutan masa dan usaha perbaikan gereja tidak
diizinkan untuk diteruskan.107
Pada tingkat lokal, wazir, amir dan ulama berusaha menggunakan kekuasaan
mereka untuk mengeksploitasi, memeras dan menekan rekan non-muslimnya.
Sebagai contoh, ummat Yahudi di Yerussalem kadang-kadang harus membayar
untuk mendapatkan izin penyelenggaraan kegiatan agama. Pada masa wazir alYazuri berkuasa (1055-1056), qadi lokal mengajukan keberatan atas pembangunan
dan perbaikan sejumlah gereja di wilayah mereka. Namun kasus ini akhirnya bisa
diselesaikan setelah komunitas Kristen koptik di wilayah itu membayar sejumlah
besar uang kepada pimpinan militer wilayahnya, Nasir al-Daulah bin Hamdan.
Peristiwa ini terjadi meskipun ada resiko terjadinya ketegangan antara rezim
dinasti Fatimiyah dengan Pimpinan Kristen koptik dan akan mengganggu peran
komunitas koptik yang cukup besar dalam mengelola pertanian Mesir. Pendukung
Nasir al-daulah memang yang harus bertanggung jawab atas perusakan terhadap
sejumlah gereja dan pembunuhan sejumlah pendeta yang terjadi sepuluh tahun
berikutnya pada perang sipil di masa al-Mustansir.108 Meskipun ada banyak contoh
perlakukan buruk terhadap ahl al-dzimmah seperti yang sudah saya kemukakan
tadi dan adanya kebijakan resmi pemerintah untuk melindungi dan memberikan
toleransi kepada kalangan minoritas, kita akan lebih menekankan perhatian pada
kasus diskriminasi yang dilakukan atas perintah khalifah, seperti yang terjadi pada
masa Khalifah al-Hakim.
107
108
Lev, State and Society, 185-89.
Lev, State and Society, 188.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Sejarawan periode ini umumnya setuju bahwa karakter dinasti ini cukup bagus
karena mereka memperlakukan kelompok non-muslim dan non-syiah Ismailiyah
dengan baik. Namun, pada masa al-Hakim bi Amr Allh (996-1021) sebetulnya
terjadi penganiayaan atas nama agama, terror yang disponsori negara dan
tumbuhnya semangat keagamaan yang tidak terkontrol. Selain memberlakukan
aturan pembedaan gaya berpakaian (ghiyar) dan memerintahkan penghancuran
gereja, al-Hakim juga melakukan kampanye sistematis untuk menganiaya dan
melakukan tindakan kekerasan kepada non-Muslim. Pada masa terburuk
pemerintahannya, 1004-1012,
gereja dan biara di Kairo dan seluruh kota-kota
Dinasti Fatimiyah dihancurkan termasuk Gereja Suci Sepulchure di Yerussalem,
bangunan-bangunan non Muslim diubah peruntukkannya menjadi masjid, kas-kas
gereja dirampas, dan tanah pemakaman gereja dihancurkan. Al-Hakim juga
merampas wakaf sejumlah gereja dan biara, dan kebijakannya ini berimplikasi
sangat buruk bagi kehidupan sosial dan ekonomi komunitas dzimmi pada masa
itu.109 Walaupun al-Hakim membatalkan beberapa kebijakannya setahun sebelum
ia meninggal (menghilang), kerusakan, terutama yang disebabkan oleh hilangnya
wakaf dan perubahan bangunan gereja menjadi masjid, bisa dikatakan permanen.
Namun pada pemerintahan khalifah Fatimiyah berikutnya, sejumlah orang kristen
dan Yahudi yang beremigrasi ke Byzantium pada masa al-Hakim, mulai kembali ke
Mesir dan melakukan rehabilitasi, hingga hubungan antar agama mulai kembali
membaik.
Tidak seperti rezim Fatimiyah, rezim Mamluk tidak memandang dirinya sebagai
pemimpin agama atau berusaha menempatkan diri mereka dalam urusan-urusan
yang dianggap urusan ulama. Malah, mereka tergantung pada ulama dan
pemimpin agama lainnya untuk melegitimasi otoritas politiknya. Ironisnya, sikap
ini membuat posisi ahl al-dzimmah di masa Dinasti Mamluk lebih buruk daripada
di masa Dinasti Fatimiyah. Meskipun para penguasa Mamluk tidak berniat untuk
menyulut permusuhan dengan komunitas ahl-dzimmah tertentu, namun mereka
109
Lev, “Persecutions and Conversion to Islam in Eleventh-Century Egypt”, The
Medieval Levant. Studies in Memory of Eliyahu Ashtor, Asian and African Studies, 22
(1988) pp. 77 - 84.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
cenderung menyerah pada permintaan para pemimpin agama yang menekan
mereka untuk memperlakukan ahl al-dzimmah dengan buruk.
Hampir di seluruh negeri-negeri Muslim, ahl al-dzimmah sering dipekerjakan oleh
Mamluk sebagai pengontrol
atau penjaga badan-badan negara, konsultan
kesehatan para sultan, akuntan, staf keuangan pejabat-pejabat tinggi atau juru
tulis bagi kalangan militer dan amir-amir lokal. Posisi yang cukup berpengaruh itu
jelas memancing permusuhan dan kecurigaan komunitas muslim. Sentimen ini
nampaknya semakin meningkat ketika mayoritas sunni yang tinggal di Mesir
menghadapi tantangan hegemoni kalangan syi'ah selama dua abad berikutnya dan
menghadapi perang salib. Dalam suasana seperti itu, kejadian kecil saja bisa
menyebabkan terjadinya kekacauan dan protes terhadap ahl al-dzimmah, dan
biasanya sultan-sultan dinasti Mamluk meresponnya dengan cara menekan
kalangan dzimmi untuk menenangkan para pemrotes. Sikap pemerintah ini
membuat masyarakat semakin menuntut adanya tindakan yang lebih keras kepada
kalangan Kristen Koptik hingga menyebabkan terjadinya penjarahan dan
pembunuhan. Namun ketika Mamluk berusaha untuk menegakkan otoritas mereka
dan mengembalikan perdamaian, mereka juga berusaha untuk tidak terlihat
mendukung Kristen Koptik, hingga Mamluk terpaksa menjatuhkan hukuman
ekstra judicial kepada mereka dan memecat mereka dari pekerjaan.110 Namun
perlakuan buruk ini tidak terjadi pada kristen Koptik yang menjadi pejabat tinggi
negara. Mereka biasanya ditawari untuk masuk Islam, namun hanya beberapa
orang di antara mereka yang merespon tawaran itu dengan serius.
Kadang-kadang tuntutan untuk memperlakukan ahl-dzimmah dengan buruk itu
datang dari luar. Misalnya ketika seorang menteri Dinasti Hafasid Algeria Timur
dayang berkunjung ke Mesir pada tahun 1301. Ia mengungkapkan ketidak
sukaannya terhadap sikap baik dinasti Mamluk terhadap orang-orang kristen dan
Yahudi yang ada di Mesir karena di negerinya orang-orang ini diperlakukan dengan
sangat buruk. Akibatnya, beberapa Amir mamluk yang oportunis berusaha untuk
110
Donald P. Little, “Coptic Conversion to Islam under the Bahri Mamluks, 692755/1293-1354”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, vol. 39 (1976),
553-54.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
melaksanakan tuntutan umum masyarakat ini dan mereka memberlakukan
tindakan keras kepada ahl al-dzimmah dengan menutup atau merubuhkan gerejagereja di daerah kekuasaan Mamluk bahkan hingga mencapai Damaskus. Namun
tindakan represif ini hanya berlangsung selama satu tahun, setelahnya sejumlah
gereja kembali dibuka. Protes massa Muslim terhadap peningkatan status dan
perlakuan kepada ahl al-dzimmah cenderung menyebabkan negara bertindak keras
kepada mereka hingga banyak di antara mereka yang masuk Islam. Nampaknya
ada hasutan dan sejenis koordinasi antara kerusuhan yang melibatkan orang Islam
dan ditujukan kepada Kristen Koptik di seluruh wilayah Mamluk. Tahun 1321
misalnya ada 11 gereja yang dihancurkan oleh massa di Kairo dan pada hari yang
sama, sekitar 60 gereja di daerah lainnya juga dihancurkan. Kristen Koptik
melakukan pembalasan dengan membakar sejumlah masjid di Kairo. Akhirnya,
Sultan
Mamluk
menggunakan
tindakan
kekerasan
untuk
mengamankan
suasana.111
Pada tahun 1354, Negara beberapa kali menggunakan kekerasan untuk meredam
perlawanan kalangan Kristen Koptik yang disebabkan oleh kejadian-kejadian kecil.
Seperti pada masa sebelunya, pembatasan ketat yang berdasarkan Perjanjian Umar
kembali diberlakukan. Kalangan Kristen Koptik dan Yahudi yang menjadi pejabat
tinggi dipecat dari jabatannya, dipaksa masuk Islam dengan ancaman akan
dibunuh di jalanan kota Kairo. Pada tahun itu pula, semua tanah wakaf yang
diberikan kepada gereja-gereja dan biara-biara Kristen diambil alih dan
didistribusikan kepada para amir dan beberapa ulama, hingga lembaga-lembaga
kristen kehilangan sumber utama keuangannya. Tekanan dan pengambil alihan
sumber-sumber keuangan lembaga itu dimaksudkan untuk menarik ahl aldzimmah agar masuk Islam dalam jumlah besar.112
IV. Negosiasi AntarLembaga
Pengalaman sejarah yang saya ungkapkan tadi hanya merupakan contoh
pendekatan Islam terhadap sekularisme sebagai negosiasi konstan antara institusi
111
112
Little, “Coptic Conversion to Islam”, 556-64.
Little, “Coptic Conversion to Islam”, 567-68
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
negara dan politik. Seperti yang sudah saya tekankan di awal bab ini, sejarah selalu
diperdebatkan dan diinterpretasikan dengan cara yang berbeda untuk mendukung
pandangan yang berbeda bahkan yang saling bertentangan. Karena itulah saya
sadar bahwa cara pembacaan terhadap sejarah yang saya lakukan di sini bukanlah
satu-satunya cara.
Namun bukan berarti interpretasi sejarah dan penjelasan
mengenai implikasinya yang saya lakukan di sini harus ditolak atau diterima
sepenuhnya. Yang saya inginkan adalah mudah-mudahan cara pembacaan sejarah
yang saya lakukan bisa masuk akal dan berguna bagi ummat Islam sekarang yang
sedang berusaha merekonsiliasikan komitmen mereka untuk tetap berpegang teguh
kepada syariat dalam konteks mereka saat ini baik dalam konteks lokal maupun
global. Melalui perspektif ini, saya akan menyusun beberapa implikasi tentatif yang
saya dapat dari kilas balik sejarah yang saya lakukan tadi dan mengaitkannya
dengan proposisi utama yang saya ajukan dalam buku ini, tanpa membuat
kesimpulan apapun.
Bab ini saya mulai dengan menyatakan bahwa saya setuju dengan padangan Ira
Lapidus tentang
adanya pembedaan antara institusi agama dan negara dalam
sejarah masyarakat Islam. Dalam bagian selanjutnya, saya berusaha untuk
mendukung dan menjelaskan validitas pandangan ini dan menghubungkannya
dengan ide mengenai pemisahan antara lembaga keagamaan dan negara dengan
tetap mengakui keterhubungan antara agama dan politik dalam masyarakat Islam
saat ini. Dengan kata lain, pentingnya pembedaan otoritas negara dan agama bisa
dilakukan melalui teori dan dibuktikan dengan analisis sejarah seperti berikut ini.
Pembedaan instituisonal ini bisa didukung secara teoritis dengan memperlihatkan
perbedaan karakter otoritas politik dan agama seperti yang sudah saya jelaskan
dalam bab I. Hal terpenting yang perlu saya ungkapkan di sini adalah bahwa
negara memang harus sekuler dan politis karena kekuasaan dan institusinya
membutuhkan tingkat dan bentuk kontinuitas dan prediktabilitas tertentu yang
tidak dimiliki oleh otoritas keagamaan. Secara teoritis, pemimpin agama memang
harus memperjuangkan keadilan dan kesetiaan terhadap Syari'ah, namun mereka
tidak punya kekuasaan maupun kewajiban untuk bertanggung jawab atas
ketertiban kekomunitas lokal, pengaturan relasi ekonomi dan sosial, atau
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
pertahanan terhadap ancaman luar. Fungsi-fungsi ini membutuhkan adanya
kontrol yang efektif atas wilayah dan penduduk, serta kemampuan untuk
menggunakan kekuatan pemaksa. Kualitas ini memang harus dimiliki oleh pejabat
negara, namun tidak oleh pemimpin agama.
Seperti yang sudah disebutkan di awal, beberapa pemuka agama mungkin memiliki
otoritas politik atas pengikutnya, dan beberapa pemimpin politik mungkin
mendapatkan legitimasi keagamaan dari kelompok tertentu dalam masyarakat.
Namun yang perlu kita perhatikan di sini adalah ada dua tipe otoritas yang
berbeda, bahkan meskipun keduanya dipegang oleh yang sama. Keduanya memiliki
kriteria yang berbeda dan mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang lain.
Otoritas agama didasarkan pada tingkat pengetahuan dan kesalehan seorang
ilmuwan dan dinilai oleh yang menerima otoritasnya berdasarkan penilaian
pribadinya yang subjektif di luar interaksi personal rutinnya dengan orang itu.
Sementara otoritas politik pejabat negara berdasarkan kualitas yang bisa dinilai
secara lebih objektif seperti kemampuannya untuk menggunakan kekuasaan dan
mengelola administrasi yang efektif untuk kemaslahatan ummat. Bahwa ada
seseorang yang bisa mengkombinasikan otoritas politik dan keagamaan, tidak
berarti bahwa kedua otoritas ini sama atau kemampuan tersebut harus dimiliki
oleh orang lain yang akan melakukan fungsi-fungsi politik dan keagamaan.
Pentingnya pembedaan otoritas ini juga bisa dilihat dari konsekuensi-konsekuensi
yang ditimbulkan oleh keinginan untuk memaksakan penyatuan antara Islam dan
negara seperti pecahnya perang terhadap orang-orang murtad di masa Khalifah
Abu Bakar (632-634). Kesimpulan yang saya tarik dari terjadinya perang terhadap
orang-orang murtad ini adalah apapun alasannya, Abu Bakar tetap bisa
melaksanakan kebijakannya ini walaupun ditentang oleh para sahabat utama
karena ia adalah seorang khalifah dan bukan karena ia mengambil keputusan yang
benar dan tepat menurut pandangan Islam. Ini bukan berarti Abu Bakar benar
atau sah. Ummat Islam memang akan terus berbeda pendapat mengenai hal ini
tanpa adanya kemungkinan untuk mendapatkan kepastian yang independen dan
bisa diterima oleh semua pihak. Namun menurut saya, akan lebih konstruktif bila
kita membedakan antara pandangan keagamaan Abu Bakar dengan kebijakan dan
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
tindakan politiknya sebagai khalifah. Seperti Umar dan Ali yang berbeda pendapat
dengannya, Abu Bakar juga seorang sahabat yang memiliki justifikasi religius
untuk posisi mereka. Namun ini tidak berarti keputusannya untuk menyerang
suku-suku Arab yang memberontak adalah keputusan agama dan bukan keputusan
politik. Arti sebuah tindakan tidak boleh ditentukan oleh motivasi pelakunya.
Pembedaan ini mungkin terasa masih sulit bagi ummat Islam untuk melihat
periode Madinah karena otoritas politik pada masa itu masih sangat personal
dimana negara bukanlah institusi politik. Kondisi ini terjadi karena
berbagai
faktor diantaranya contoh yang diberikan Rasul, tiadanya pembentukan negara di
wilayah Arabia sebelumnya dan cara 4 khalifah pertama dipilih dan menjalankan
kekuasaannya. Masalahnya adalah apapun pandangan yang digunakan untuk
melihat peristiwa-peristiwa sejarah itu, kebingungan seperti ini tidak bisa
dijustifikasi dan diterima dalam konteks negara post kolonial model eropa saat ini.
Pentingnya pemisahan otoritas agama dan negara dalam masyarakat Islam juga
bisa dipahami dengan melihat konsekuensi kebijakan mihnah yang dikeluarkan
oleh Khalifah Abbasiyah, al-Ma'mun pada tahun 833, persis 200 tahun setelah
perang terhadap orang-orang murtad terjadi. Episode tragis yang terjadi dalam
sejarah Ummat Islam ini penting bagi diskusi kita kali ini karena peristiwa mihnah
jelas memperlihatkan bahayanya penyatuan otoritas agama dan negara sekaligus
menandai runtuhnya dominasi model ini karena ulama bisa menegaskan otonomi
mereka dari negara dengan sukses walaupun beberapa di antara mereka harus
membayar mahal. Pengalaman ini juga menegaskan pentingnya melindungi
otonomi aktor-aktor masyarakat sipil, termasuk otoritas keagamaan karena
perlindungan ini merupakan hal penting bagi suksesnya pemisahan antara Islam
dan negara dengan tetap mengatur keterhubungan antara Islam dan politik. Agar
proses negosiasi antara pemimpin agama dan negara berlangsung mulus, perlu
adanya dasar kelembagaan dan sumber keuangan yang mendukung mereka. Dari
perspektif inilah, saya akan secara singkat membahas pentingnya peran waqaf
dalam konteks historis tersebut.
Sejak periode awal sejarah Islam, ummat Islam yang mampu telah berusaha untuk
mewakafkan tanah atau harta milik mereka yang lain untuk mendukung masjid,
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
madrasah dan apapun yang bisa bermanfaat bagi komunitas. Alasan mereka
melakukannya adalah layanan publik yang disediakan oleh waqaf terus mengalir
manfaatnya dan mungkin akan menjadi rahmat bagi wakif saat dia hidup mauopun
setelah mati. Waqaf memang telah memainkan peran yang sangat besar dan cukup
kompleks dalam masyarakat Islam, lebih dari pernah diperkirakan. Regulasi
mengenai wakaf menjadi bidang yang sangat komplek dalam hukum Islam karena
ia berkaitan dengan hal-hal yang juga penting seperti warisan termasuk di
dalamnya kehendak waris, pernyataan waris, dan penunjukkan penerima waris,
dan etika pertanggung jawaban keuangan. Para fuqaha juga memperhatikan
aturan mengenai wakif karena institusi waqaf sangat rentan dimanipulasi oleh
orang-orang yang menghindari aturan zakat dan waris. Namun, karena wakaf
sangat penting dari segi praksis maupun keagamaan, memiliki konsekuensi sosial
dan politik serta kompleksitas teknis, ia menjadi rentan terhadap manipulasi yang
dilakukan oleh penguasa atau pejabat negara. dan ini bisa menjadi
indikasi
bahayanya penyatuan otoritas politik dan keagamaan dalam masyarakt Islam.
Selain memiliki implikasi hukum, wakaf atau donasi semacamnya yang ditujukan
untuk kepentingan publik atau kelompok tertentu, juga memiliki implikasi sosial
dan politik. Wakaf memang telah menjadi bagian yang penting dalam ruang publik
masyarakat Islam karena wakaf menyediakan tempat bagi penumbuhan normanorma dan etika Islam dalam bentuk institusi pendidikan, institusi peribadatan dan
penyediaan layanan sosial. "meskipun tindakan mewakafkan merupakan urusan
individu, namun pengguna wakaf selalu berada di ruang publik". karena itulah,
"dengan mewakafkan hak miliknya… pewakaf telah mengekspresikan rasa
keterikatanya dengan komunitas kaum beriman dan identifikasi dirinya dengan
nilai-nilai yang dianut komunitas itu."113
Ulama-ulama Syafi'I mendefinisikan wakaf sebagai, "Penggunaan hasil yang
didapat dari benda hak milik untuk tujuan-tujuan kebaikan dengan tetap
113
Miriam Hoexter, “The Waqf and The Public Sphere”, The Public Sphere in Muslim
Societies, M. Hoexter, S. Eisenstadt, and N. Levitzion, eds., Albany NY: State University
of New York Press, 2002, 121
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
mempertahankan wujud bendanya".114 Namun insitusi atau bagian—bagian wakaf
yang tidak ditujukan untuk mencari penghasilan seperti sekolah agama, madrasah,
masjid, tempat-tempat para sufi, dan institusi-institusi keagamaan lainnya
biasanya didanai dari hasil aset wakaf yang produktif seperti tanah pertanian,
apartemen atau bisnis lainnya. Sebagai balasannya, para pewakaf akan terus
didoakan oleh orang-orang yang memanfaatkan institusi-institusi yang didirikan di
atas properti yang mereka wakafkan baik dengan belajar, beribadah atau menerima
santunan. Doa-doa para donatur itu biasanya dilakukan dalam acara publik. Sudah
barang tentu, pejabat, sultan, pedagang dan pemuka masyarakat berusaha untuk
mewakafkan harta mereka sebanyak-banyaknya untuk memperkuat bahwa kesan
mereka adalah pemimpin yang soleh di mata masyarakat. Namun bisa saja sikap
itu didorong oleh tujuan untuk mendapatkan pahala. Wakaf sebenarnya merupakan
wahana bagi pewakaf untuk terus diingat dan didoakan oleh orang-orang di
sekelilingnya. Namun di samping itu, tak kalah pentingnya, wakaf juga berfungsi
untuk melayani masyarakat.115
Besarnya fungsi sosial dan keagamaan yang dimiliki oleh wakaf jelas mempunyai
implikasi politik tertentu. Wakif bisa menjamin kesetiaan orang-orang yang
memanfaatkan wakafnya, dan sekaligus menjamin lingkaran jaringan dan
hubungan sosialnya. Tak heran bila wakaf yang ditujukan untuk keperluan
kegiatan keagamaan seperti untuk madrasah dan masjid banyak bermunculan pada
saat taruhan politik sedang meninggi.116 Sebagai contoh, Sekolah agama Dar al-Ilmi
merupakan wakaf yang diberikan oleh khalifah dinasti Fatimiyah al-Hakim untuk
memenuhi kebutuhan kalangan sunni pada saat terjadinya kekerasan publik yang
diakibatkan politik sektarian kalangan Syi'ah Fatimiyah di Kairo. Begitupun Nizam
al-Muluk, ia mewakafkan sekolah pada saat Baghdad sedang dalam suasana tidak
menentu.
114
Adam Sabra, Poverty and Charity in Medieval Islam: Mamluk Egypt, 1250-1517,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000, 70.
115
Sabra, Poverty and Charity, 95-100
116
Leonor Fernandes, “Mamluk Politics and Education: The Evidence FromTwo
Fourteenth Century Waqfiyya” Annals Islamoques, vol. 23, 1987, 87-98.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
Akhirnya, wakaf menjadi tempat bagi penguasa dan ulama untuk menegosiasikan
dan memediasi hubungan antara keduanya. Penguasa tidak bisa berfungsi tanpa
restu dari rakyatnya yang menginginkan mereka untuk memegang teguh dan
mengimplementasikan ajaran Islam seperti yang sudah dijelaskan oleh para ulama.
pada saat yang sama, ulama dan institusi keagamaan juga tidak berfungsi tanpa
dukungan penguasa yang tidak hanya melindungi batas-batas negara Islam dan
menjaga stabilitas dan perdamaian domestik, tetapi juga memberikan wakaf
kepada institusi-institusi keagamaan dan menegakkan aturan-aturan wakaf.
Namun, seperti yang sudah saya jelaskan, penguasa perlu menghormati otonomi
para ulama karena para ulama mempunyai kredibilitas untuk memberikan
legitimasi keagamaan bagi negara. Dengan kata lain, independensi kelembagaan
dan keuangan ulama sangat bermanfaat tidak hanya bagi mereka, tetapi juga bagi
pengikut mereka dan negara. Wakaf menyediakan mekanisme hukum dan sosial
untuk menjaga keseimbangan antara otonomi dan ketergantungan ulama terhadap
negara. Sebagai wahana bagi para pemimpin untuk mendoakan pemberi wakaf
secara publik maupun privat, wakaf menjadi representasi hubungan yang
tersembunyi namun konstan antara yang berkuasa dan yang diatur. Namun
dinamika dan peran wakaf di satu daerah bisa berbeda dengan daerah lain dan
berimplikasi pada penyebaran mazhab.
Aturan mengenai wakaf memberikan perhatian khusus pada posisi wakif, yang
sering memiliki hak untuk menunjuk dirinya sendiri atau orang pilihannya untuk
mengurus aset wakaf. Ia juga mempunyai hak untuk mendapapatkan manfaat
meskipun tidak ekslusif dari hasil pengelolaa aset wakaf. Aturan ini nampaknya
merupakan konsekuensi dari prinsip bahwa wakfi tetap memiliki hak kepemilikan
tertentu terhadap aset wakaf dan bisa terus mendapatkan keuntungan dari
pengelolaan wakaf tersebut. Sebagai prinsip umum, wakif memiliki kekuasaan
untuk menentukan aturan-aturan tertentu terhadap harta yang diwakafkannya.
Aturan ini sudah sangat sering diulang-ulang dalam fatwa dan kajian mengenai
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
wakaf bahwa "nash al-waqif ka nash al-syar'I (keputusan pemberi wakaf sama
kuatnya dengan keputusan syariat).117
Prinsip tetapnya hak kepemilikan wakif terhadap harta yang diwakafkannya
dianut oleh semua mazhab fiqih sunni kecuali oleh mazhab Maliki yang
menyatakan bahwa pemberi wakaf harus melepaskan hak kepemilikan atas harta
yang diwakafkannya. Karakter mazhab Maliki ini menurunkan minat penganut
mazhab ini untuk mewakafkan hartanya hingga popularitas mazhab ini di Baghdad
menurun pada Abad Pertengahan, sementara mazhab lainnya mengail keuntungan
pada saat itu. Bahkan mazhab Maliki nampaknya tidak pernah memiliki madrasah
di Baghdad maupun di negeri Islam lainnya."118 Meski demikian, karakter ini
menyebabkan lembaga-lembaga mazhab Maliki memiliki otonomi yang sangat
tinggi. Dengan tidak mengizinkan pemberi wakaf ikut campur dalam urusan
penggunaan wakaf (sekolah dan masjid), lembaga-lembaga mazhab Maliki hendak
mengurangi kemungkinan terjadinya ekploitasi sistem terhadap institusi-institusi
keagamaan untuk tujuan-tujuan politik.
Pemberi wakaf bisa saja memiliki motif berbeda ketika mewakafkan hartanya
kepada satu atau beberapa mazhab. Salahuddin misalnya mewakafkan hartanya
kepada madrasah-madrasah syafi'I dan Maliki ketika hendak menaklukkan Mesir
walaupun ia sendiri penganut mazhab hanafi.119 Nampaknya pemberian wakaf
kepada mazhab Maliki bertujuan untuk menenangkan penduduk lokal yang telah
menderita di bahwa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sementara mazhab syafii
didirikan untuk menunaikan ambisi mereka untuk mengikatkan dirinya dan
kekuasaannya kepada istana khalifah di Baghdad yang menganut mazhab ini.
Salahuddin juga membangun madrasah di lokasi-lokasi yang bagus yang dulunya
117
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West,
Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981, 35
118
Makdisi, The Rise of Colleges, 38.
119
Yehoshua Frenkel, “Political and Social Aspects of Islamic Religious Endowments
(“awqaf”): Saladin in Cairo (1169-73) and Jerusalem (1187-93)”, Bulletin of the School
of Oriental and African Studies, University of London, vol. 62, 1999, 1-20.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
digunakan dinasti Fatimiyah untuk mensimbolisasikan kekuasaannya, seperti
istana dan stasiun polisi.120
Tingkat
otonomi
wakaf
kemudian
memainkan
peranan
penting
dalam
menegosiasikan hubungan antara ulama dan penguasa. Karena ditujukan untuk
untuk tujuan atau komunitas tertentu, wakaf boleh diberikan kepada kelompok
otonom yang memiliki tingkat pengaruh dan partisipasi tertentu dalam ruang
publik. Lembaga-lembaga yang memainkan peran dan sosial keagamaan seperti
mengundang para sufi, mengembangkan dan mempertahankan fasilitas-fasilitas
peribadatan, atau mempromosikan mazhab lokal membuat para pemberi wakaf dan
penerimanya penghormatan yang cukup tinggi dari masyarakat. Wakaf merupakan
alat penting bagi keluarga terkemuka untuk mengamankan kekuasaan mereka dari
otoritas
penguasa,
dan
mempertahankan
posisi
mereka
di
tengah-tengah
masyarakat. Wakaf juga merupakan alat pendukung yang penting jika mereka
hendak
melindungi kepentingan masyarakat
dengan menentang kebijakan
pemerintah."121
Namun, otonomi penuh tidak bisa diraih melalui wakaf dan malah bisa
dikompromikan karena berbagai faktor. Misalnya, jika pemberi wakaf adalah
pejabat terkemuka, kita tidak akan menemukan resistensi terhadap kebijakan
pemerintah, seperti yang bisa kita temukan dari institusi yang diwakafkan oleh
pedagang atau pemuka masyarakat sipil, dari institusi wakafnya. Otonomi sebuah
institusi wakaf mungkin bisa meningkatkan kredibilitasnya, namun bisa juga
menurunkan tingkat ketertarikan masyarakat terhadapnya. Mazhab Hanbali (yang
dinisbatkan kepada nama pendirinya, Ibnu Hanbal, yang sukses menolak
permintaan khalifah Abbasiyah selama masa inkuisisi) dikenal enggan menerima
pemberian dari institusi-institusi negara atau terlibat dalam masalah-masalahitu
dengan negara. posisi seperti ini mungkin bisa membuat satu mazhab atau seorang
ulama memiliki otonomi yang lebih tinggi dan pengaruh yang lebih besar pada
120
Leonor Fernandez, “Mamluk Politics and Education: The Evidence From Two
Fourteenth Century Waqfiyya” Annals Islamoques, v. 24, 1987, p. 87. See also Yacov
Lev, Yacov, State and Society, 153, n.5;
121
Hoexter, “The Waqf and The Public Sphere”, 129.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
lembaga-lembaga negara daripada mazhab atau ulama yang bersikap lebih
kompromis. Namun sikap seperti ini tidak selalu menghasilan kebijakan yang lebih
plural
dan toleran. Mazhab Hanbali misalnya malah cenderung memberikan
pengaruh konservatif atau ortodoks.
Dengan demikian, madrasah-madrasah yang ada di Baghdad pada abad ke-11
adalah wakaf dari para menteri dan sultan dinasti Saljuk yang juga "membayar gaji
para guru dan memberikan biaya kepada para siswa."122 Setelah itu Baghdad
dikuasai oleh Dinasti Buwaihi yang penguasanya berhaluan syi'ah dan mendukung
penyelengaraan
ritual-ritual syi'ah
di
ruang
publik.
Sikap
ini
kemudian
memprovokasi massa sunni di Baghdad dan di daerah lainnya. Dengan kata lain,
munculnya sistem patronase dinasti Seljuk, tekanan mereka terhadap ulama-ulama
Syi'ah, dan penghancuran sejumlah kuil Syi'ah menunjukkan adanya dimensi lain
dalam hubungan antara institusi negara dan agama yaitu peran sektarianisme.
Pola patronase ini tidak hanya terjadi di antara dua jenis institusi ini secara
ekslusif, tetapi di dalam kedua institusi ini. Jadi, patronase terjadi antara aktoraktor negara yang mempunyai kepentingan berbeda dan bersaing satu sama lain
dengan institusi agama yang terdiri dari berbagai kelompok yang bersaing dan
bertentangan satu sama lain. Selama peristiwa mihnah, kalangan Syi'ah adalah
korban dominasi Sunni yang mendapatkan keuntungan dari sistem patronase yang
berlaku saat itu.
Jelaslah bahwa ada banyak pelajaran dan hikmah yang bisa ditarik dari beberapa
penggal sejarah Islam. aspek-aspek yang telah saya terangkan dan diskusikan,
yang mungkin kadang-kadang terlalu mendetil, ditujukan untuk memperlihatkan
adanya beberapa peristiwa dalam sejarah yang bisa mendukung argumen utama
yang saya bangun dalam buku ini. selain elemen dan implikasi yang disebutkan di
bagian akhir, saya juga telah menekankan posisi kritis ahl al-dzimmah, yang
seharusnya dilindungi oleh syari'at. Bagian tersebut ditujukan untuk menunjukkan
bahwa aspek normatif Syari'ah bisa menjadi lemah karena faktor-faktor ekonomi,
122
Daphna Ephrat, “Religious Leadership and Associations in the Public Sphere of
Seljuk Baghdad” in Hoexter, Eisenstadt, and Levitzion, eds., The Public Sphere in
Muslim Societies, eds. State University of New York Press, Albany, NY, p. 32-3.
©Abdullahi Ahmed An-Na`im
sosial dan politik dan tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya mekanisme
kelembagaan yang tepat. Karena itulah konstitusionalisme menjadi penting untuk
memberikan landasan yang kuat bagi berjalannya mekanisme tersebut dalam
masyarakat Islam saat ini. Saya juga berharap bahwa bagian yang menerangkan
tentang ahl al-dzimmah di masa Fatimiyah dan Mamluk bisa memberikan landasan
historis untuk menjawab pertanyaan ini terutama dalam hubungannya dengan
pentingnya
prinsip-prinsip
konstitusionalisme,
hak
asasi
manusia
dan
kewarganegaraan yang akan kita diskusikan dalam bab selanjutnya.
Akhirnya, nampaknya masih terlalu dini untuk menyimpulkan argumen saya
dalam bab ini karena kita tidak mungkin mengaitkan analisis historis dengan
proposisi utama yang saya bangun mengenai Islam, negara dan politik sebelum
mengklarifikasi karakter negara pasca kolonial. Kemungkinan yang dihasilkan dari
dimensi historis dan tantangan masa depan syariah dalam masyarakat Islam hanya
bisa dipahami lebih baik dengan membaca bab-bab berikutnya dalam buku ini.
Download