1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk yang selalu gelisah tentang dirinya.
Secara alamiah manusia selalu bertanya mengenai hakekat, asal usul serta
tujuan hidupnya. Usaha manusia untuk mencari dan merumuskan “diri” telah
berlangsung sepanjang zaman. Para filsuf, budayawan, dan ilmuwan berusaha
menjawab pertanyaan tentang diri dengan aneka simbol dan metafora yang
tersedia pada zamannya. Beragam pandangan tentang diri telah berhasil mereka
rumuskan. Meski demikian, sejauh ini masih banyak pertanyaan terbuka tentang
diri yang menarik dan penting untuk digali.
Para ahli memiliki pengertian beragam mengenai konsep diri. James
(1890) mendefinisikan diri sebagai jumlah total dari semua hal yang individu
anggap sebagai miliknya atau bagian dari dirinya. Salah satu filsuf pendiri
Psikologi modern ini menganggap bahwa diri tersusun dari diri yang mengetahui
(the knower) atau “I” dan diri yang diketahui (the known) atau “me”. Kajian
tentang konsep diri pada dasarnya merupakan kajian mengenai diri yang
diketahui atau “me”.
Konsep diri dapat didefinisikan sebagai serangkaian pikiran dan
keyakinan yang dimiliki individu ketika ia mendefinisikan siapa dirinya. Ia
merupakan jawaban-jawaban pertanyaan seseorang dari pertanyaan “Siapakah
diri Saya?” (Bordens & Horowitz, 2008; Myers, 2009; Taylor, Peplau, Sears,
1997; Suls & Marco, 1991). Dalam penelitian ini, konsep diri didefinisikan sebagai
kumpulan ide, pengetahuan, penilaian, keyakinan, serta pengharapan yang
1
2
diakui individu sebagai dirinya ketika mereka menggambarkan dirinya sebagai
seseorang.
Dalam kajian Psikologi, selama beberapa dekade terakhir konsep
tentang “diri” merupakan salah satu topik penting yang banyak diteliti.
Berdasarkan data yang dipublikasikan PsycINFO, sebuah penyedia layanan
arsip penelitian psikologi online, dalam rentang waktu antara tahun 1909 hingga
2008 telah diterbitkan 81.779 judul buku dan artikel yang pada judulnya terdapat
kata “Self”. Jika diperinci, sepanjang tahun 1960an terbit sekitar 2,960 judul;
antara tahun 1970an sampai 1980an ada sekitar 10.000 judul; sementara sejak
tahun 1999 hinggga 2008 muncul sekitar 30.432 judul (Martin, Sugarman &
Hickinbottom, 2010). Sepanjang tahun 2009 sendiri telah dipublikasikan 6.935
judul penelitian (Myers, 2012).
Ketertarikan para ahli untuk meneliti konsep diri tersebut tidak dapat
dilepaskan dari peran penting konsep diri dalam menjelaskan perilaku. Diri
merupakan penentu utama persepsi, emosi, motivasi, dan tindakan seseorang
(Baron & Byrne, 2003; Crisp & Turner, 2007; Deaux & Wrightsman, 1984;
Jopling, 2000; Markus & Kitayama, 1991; Sedidikes & Skowronksi, 1997). Cara
individu menafsirkan diri juga menentukan persepsi, pikiran, perasaan, serta
tindakan mereka (Liu & Li, 2009; Markus & Kitayama, 1991). Gambaran diri
negatif yang dimiliki seseorang dapat menimbulkan perasaan negatif dan
tindakan destruktif (Suls & Marco, 1991) atau ketakutan sosial pada situasi
tertentu (Stopa, 1999).
Brewer
dan
Gardner
(1996)
menyatakan
bahwa
individu
merepresentasikan diri mereka dalam sistem mental pada tiga level, yaitu
representasi diri personal (personal self), diri yang terkait hubungan mereka
3
dengan orang lain (relational self), serta diri yang merujuk pada keanggotaan
individu dalam sebuah kelompok (collective self). Individu selalu mengaktivasi
tiga level representasi diri tersebut secara bergantian untuk menyesuaikan diri
dengan konteks. Contohnya, ketika individu merefleksikan diri personal, maka
yang akan diaktivasi adalah gambaran sifat-sifat atau atribut-atribut personal
mereka. Di sisi lain, ketika individu sedang bersama teman dia akan lebih peka
pada atribut-atribut diri terkait teman, sehingga konsep diri bersangkutan yang
akan diaktivasi.
Dalam penelitian ini, penulis hanya fokus pada kajian mengenai diri
relasional. Diri relasional dapat didefinisikan sebagai konsepsi-konsepsi dan
aspek-aspek diri yang menggambarkan diri seseorang terkait relasi mereka
dengan orang-orang dekatnya (significant others) (Andersen & Chen, 2002;
Chen, Boucher, & Kraus, 2011). Individu memiliki relasi dengan banyak
significant others, sehingga mereka juga memiliki banyak diri relasional
(relational selves). Masing-masing diri relasional tersebut mencakup responrespon dalam bentuk kognisi, emosi, motivasi, atau perilaku yang muncul ketika
individu berinteraksi dengan orang-orang sekitar (Andersen & Chen, 2002).
Contoh diri relasional diantaranya diri bersama orang tua, diri bersama teman,
diri bersama guru, diri dalam kelompok bermain, dan sebagainya.
Dari sekian diri yang dimiliki, dalam suatu waktu tertentu individu hanya
dapat mengoperasionalkan sebagian dari total konsepsi-konsepsi dirinya (Chen
et.al, 2011). Pada situasi berbeda individu mengaktivasi diri berbeda (Kashima,
Kashima, Farsides, Kim, Strack, Werth, & Yuki, 2004; Markus & Wurf, 1987).
Markus dan Kunda (1986) menyebut konsep diri yang sedang diaktivasi tersebut
sebagai konsep diri yang sedang bekerja (working self concept). Perubahan
4
konsep diri antar situasi tersebut terlihat dari cara individu menggambarkan diri
mereka yang berubah-ubah tergantung situasi yang dihadapi. Contohnya,
individu akan mengatakan “Saya sedih”, “Saya optimis”, “Saya orang gagal” atau
“Saya orang rajin” pada kesempatan yang berbeda-beda.
Beberapa hasil penelitian mendukung anggapan tersebut. Penelitian
Markus dan Kunda (1986) menunjukan bahwa individu selalu mengubah
konsepsi dirinya ketika berhubungan dengan orang berbeda. Penelitian ini
menemukan bahwa ketika individu merasa dirinya unik ia akan merekrut
konsepsi-konsepsi diri yang sama dengan orang lain. Sebaliknya, ketika individu
merasa dirinya sama dengan orang lain, ia akan merekrut konsepsi-konsepsi diri
yang membuat mereka unik.
Penelitian Harter (1999) pada beberapa remaja perempuan juga
menghasilkan temuan serupa. Remaja yang menjadi subjek penelitian ini
menunjukkan bahwa ketika bersama teman dekat mereka merasa tenang,
nyaman, menjadi peduli dan pengertian, serta dapat menjadi dirinya sendiri.
Ketika bersama ayah mereka merasa ada jarak, merasa serius, kurang terbuka,
hormat, kagum, dan defensif. Sementara ketika bersama ibunya mereka merasa
dekat, tentram, serta menjadi keras kepala, jujur dan lebih terbuka. Ketika
bersama pasangan romantis mereka merasa malu, gugup, sensitif, tidak menjadi
dirinya sendiri, serta dapat menjadi pendengar yang baik. Ketika di tengah
kelompok teman-temannya, mereka menjadi orang yang banyak bicara, ceria,
asertif, sarkastis, ramah dan suka ramai. Sedangkan ketika di kelas mereka
menjadi orang yang serius, kooperatif, frustrasi, bertanggung jawab, menarik diri,
serta hormat.
5
Di sisi lain, penelitian Nurius dan Markus (1990) menunjukkan bahwa
konteks sosial lebih dari sekedar mempengaruhi konsepsi-konsepsi tentang diri
tetapi juga mempengaruhi penilaian individu mengenai deskripsi-deskripsi diri
yang sedang berlangsung, dirinya di masa lalu, serta harapan-harapan mengenai
diri mereka di masa depan. Partisipan yang membayangkan pengalaman sukses
cenderung mendeskripsikan dirinya dengan gambaran diri positif. Sebaliknya,
individu yang membayangkan pengalaman gagal lebih banyak menggambarkan
dirinya secara negatif. Gambaran diri yang demikian juga subjek munculkan
ketika mereka menggambarkan dirinya di masa lalu dan masa depan.
Penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis pada 395 remaja Jawa
juga menunjukkan hasil serupa. Ketika remaja sedang bersama teman dekat,
mereka cenderung menjadi orang yang banyak berbagi pikiran dan perasaan
lewat cerita, cenderung mengalami emosi positif, merasa menjadi dirinya sendiri,
serta merasa tergantung dengan temannya. Sebaliknya, ketika sedang sendiri
mereka cenderung banyak merenung, mengalami emosi positif, menggunakan
waktunya untuk menghibur diri dengan beragam aktivitas, serta merasa
kesepian.
Meskipun diri yang bersifat relasional dan sensitif konteks tersebut
terjadi pada seluruh budaya dan menjadi bagian dari pengalaman hidup
seseorang, namun penelitian-penelitian Psikologi Lintas Budaya menunjukkan
adanya perbedaan makna dan tingkat stabilitas diri antar budaya. Hal itu terjadi
karena masing-masing kelompok masyarakat mempunyai kecenderungan untuk
menafsirkan diri secara berbeda-beda tergantung karakteristik budaya mereka.
Terkait hal itu Andersen, Thorpe dan Kooij (2007) menuturkan bahwa diri
relasional tidak hanya dialami masyarakat kolektivis, tetapi juga oleh masyarakat
6
individualis. Perbedaan antara masyarakat Individualis dan kolektivis terkait
hubungan diri dan orang lain bukan pada “ada dan tidak adanya” hubungan
antara diri dengan orang lain, tetapi pada “tingkat” keterhubungan individu
dengan orang lain.
Markus dan Kitayama (1991) menyatakan bahwa pada individu yang
tumbuh pada masyarakat individualis, mayarakat Barat, cenderung menafsirkan
dirinya sebagai entitas yang tunggal, stabil, independen dan terpisah dari
konteks. Mereka menganggap individu yang sehat kepribadiannya memiliki
pandangan diri konsisten antar konteks. Individu yang berubah-ubah konsep
dirinya dianggap mengalami gangguan mental, seperti depresi, kecemasan
sosial, harga dirinya rendah atau mengalami kecemasan. Tuntutan yang
demikian menyebabkan masyarakat Barat memiliki tingkat keterhubungan atau
interdependensi yang lebih rendah dibanding dengan masyarakat Timur.
Pada
masyarakat
kolektivis
seperti
masyarakat
Timur,
Individu
cenderung menafsirkan dirinya terhubung dan saling tergantung dengan orang
lain, tidak konsisten dan menghubungkannya dengan konteks situasi yang
dihadapi. Panafsiran yang demikian membuat otonomi dan konsistensi kurang
begitu penting bagi masyarakat Timur. Individu yang tidak dapat mengubah-ubah
dirinya untuk menyesuaikan diri dengan situasi, tidak dianggap sebagai orang
yang autentik sebagaimana dianggap oleh masyarakat Barat, tetapi justru
dianggap sebagai orang kurang luwes, kaku, dan kurang matang (Markus &
Kitayama, 1994). Kemampuan untuk mengadaptasikan diri terhadap situasi dan
peran memiliki nilai tinggi pada masyarakat Timur.
Penelitian-penelitian dalam kajian Psikologi Lintas Budaya mendukung
pandangan tersebut. Hasil penelitian Bochner (1994) menunjukkan bahwa ketika
7
diminta mendeskripsikan diri, orang Malaysia lebih banyak mengunakan atributatribut diri kolektivis dibanding orang Australia dan Inggris. Penelitian Bond dan
Cheung (1983) menemukan responden orang Amerika cenderung melihat dirinya
dengan atribut-atribut psikis yang abstrak, sementara responden orang Jepang
justru lebih banyak menggambarkan diri merujuk hubungan-hubungan mereka
dengan orang lain. Penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa orang-orang
Asia Timur yang memiliki budaya kolektivis lebih banyak menggambarkan dirinya
dengan merujuk pada peran-peran sosial dan keanggotaan mereka dalam
kelompok sosial. Selain itu, aspek-aspek identitas mereka juga lebih cair. Dalam
arti, responden dari masyarakat kolektivis banyak mengkaitkan dirinya dengan
situasi di mana mereka ada didalamnya (Cousins, 1989; Rhee, Uleman, Lee&
Roman, 1995).
Hasil penelitian Kashima et.al (2004) juga mendukung anggapan
tersebut. Mereka menguji tingkat dan makna kepekaan diri partisipan penelitan
terhadap konteks (context-sensitive self) antara orang dari Australia, German,
Inggris, Jepang dan Korea. Peserta penelitian menunjukkan bahwa mereka
memiliki tingkat kepekaan terhadap konteks berbeda-beda. Partisipan dari
Jepang memiliki kepekaan paling tinggi diantara partisipan lainnya.
Hasil penelitian Eaton dan Louw (2000) pada mahasiswa Afrika yang
berbahasa Afrika dan mereka yang berbahasa Inggris juga menunjukkan adanya
perbedaan konsep diri di antara mereka. Mahasiswa yang menggunakan bahasa
Afrika lebih banyak menafsirkan dirinya sebagai diri yang interdependen dan
kongkret daripada mahasiswa yang menggunakan bahasa Inggris. Penelitian
Suh (2002) juga menghasilkan kesimpulan tidak jauh berbeda. Dalam
penelitiannya Suh (2002) meminta responden untuk memeringkat diri mereka
8
dengan dua puluh daftar sifat kepribadian yang disediakan, saat mereka
berinteraksi dengan lima individu berbeda : teman, orang tua, profesor, orang
asing, orang yang lebih muda dan saat mereka sendiri. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa mahasiswa Korea mendeskripsikan dirinya lebih bervariasi
dibanding mahasiswa Amerika. Sementara itu, penelitian Kanagawa, Cross dan
Markus (2001) meneliti cara mahasiswa Amerika dan Jepang saat mereka
mendeskripsikan diri saat mereka sedang dalam kelompok, bersama staf
fakultas, saat bersama teman sebaya, serta saat sendiri di kamar. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa situasi mempengaruhi isi, jumlah, valensi, dan
rentang deskripsi diri peserta penelitian. Dalam hal ini, orang Jepang lebih
banyak dipengaruhi situasi ketika mendeskripsikan diri dibanding orang Amerika.
Hwang (2000) berkeyakinan bahwa pada masyarakat kolektivis seperti
masyarakat China, seseorang mengalami dirinya sebagai pusat jejaring sosial
dalam situasi tertentu. Orang lain selalu ada sebagai bagian dari lingkaran
konsentris medan psikis seseorang. Realitas semacam itu muncul sebagai
dampak pandangan filosofis masyarakat China yang cenderung melihat dunia
dalam tatanan yang holistik.
Pandangan
demikian memiliki
konsekuensi
terhadap
metodologi
pengkajian tentang diri. Hwang (2000) mengungkapkan bahwa diri orang China
perlu dikaji atau diselidiki sebagai diri relasionalisme, diri-dalam-relasinyadengan-orang-lain. Unit dasar analisis dalam kajian diri tidak pada individu
sebagaimana dilakukan Psikologi Barat, tetapi individu harus dipahami dalam
konteks sosialnya. Ho dan Chiu (dalam Hwang, 2000) menambahkan bahwa
kajian diri relasional tersebut dapat fokus pada individu pada berbagai konteks
hubungan atau fokus pada interaksi individu dalam sebuah konteks hubungan.
9
Adanya kanyataan bahwa budaya berbeda melahirkan konsep diri
berbeda tersebut merupakan ikhwal yang melatarbelakangi peneliti untuk
mengeksplorasi lebih mendalam mengenai konsep diri orang Jawa. Untuk kasus
Indonesia, diakui atau tidak, embrio pemikiran-pemikiran Psikologi juga banyak
dipengaruhi oleh tradisi pemikiran Barat. Termasuk didalamnya kajian-kajian
tentang konsep diri. Sementara dalam kenyataannya budaya Jawa berbeda
dengan budaya Barat. Masyarakat Indonesia, Jawa pada khususnya, merupakan
masyarakat dengan budaya kolektivis (Mikarsa, 2007).
Sebagai bagian dari masyarakat dengan budaya kolektivis, masyarakat
Indonesia secara kultural juga dituntut untuk selalu melihat dirinya dalam relasirelasinya dengan orang lain ketika mendefinisikan diri. Tuntutan demikian
menyebabkan individu juga selalu mengubah dirinya mengikuti situasi. Hal itu
secara ekplisit terlihat pada nilai dan norma yang mengharuskan individu untuk
“menyesuaikan diri” dengan situasi atau orang lain. Pada masyarakat Jawa,
tuntutan kultural tersebut tercermin diantaranya dalam ungkapan bahwa individu
harus dapat “ajur-ajer” (melebur), “ngumumi” (mengikutiorang pada umumnya),
serta “empan papan” (menempatkan diri pada tempatnya). Adanya norma yang
demikian tidak terlepas dari pandangan hidup dan nilai-nilai yang dipegang
masyarakat Jawa, misalnya nilai rukun, hormat (Suseno, 1999), toleransi
(Anderson, 2003), kekeluargaan, tenggang rasa, dan sebagainya.
Merujuk pada tesis Hwang (2000) dan pandangan-pandangan tentang
diri relasional di atas; juga dengan mempertimbangkan latar budaya masyarakat
Jawa yang cenderung kolektivis; maka kajian-kajian mengenai konsep diri pada
masyarakat Indonesia akan lebih tepat bila dikaji dengan menempatkan individu
dalam relasinya dengan orang lain atau sebagai diri relasional. Konsep diri perlu
10
dikaji dengan mempertimbangkan konteks situasi dengan siapa individu
berhuhungan. Karena pada masyarakat kolektivis, seperti masyarakat Jawa
individu selalu mengalami dirinya dalam relasi dengan orang lain.
Untuk konteks kajian Psikologi di Indonesia, sejauh ini kajian-kajian
mengenai diri relasional masih Jarang dilakukan. Minimnya kajian tentang diri
relasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari kuatnya pengaruh tradisi Psikologi
Individual dalam khasanah pemikiran Psikologi di Indonesia. Gagasan Psikologi
Barat yang cenderung melihat diri lepas dari konteks sosialnya tersebut tentunya
kurang cocok dengan masyarakat Indonesia yang cenderung memiliki budaya
kolektivis. Dalam tradisi Psikologi Barat sendiri anggapan-anggapan yang
demikian juga banyak mendapatkan kritik dan koreksi. Penelitian-penelitian
tentang konsep diri terkini di Barat juga banyak yang bergeser pada paradigma
Psikologi sosiokultural, yang menganggap diri bersifat sosial relasional, jamak,
dan dinamis (misal : Andersen & Chen, 2002; Gergen, 2011; McConnel & Strain,
2007; Rochat, 2009)
Berdasar realitas demikian, maka penelitian ini hanya fokus menyelidiki
konsep diri relasional orang Jawa. Lebih khusus lagi, penelitian ini hanya fokus
pada topik tentang konsep diri remaja Jawa saat bersama teman. Pemilihan
remaja sebagai subjek penelitian didasarkan pada anggapan banyak ahli
Psikologi Perkembangan bahwa soal identitas diri merupakan isu penting pada
tahap perkembangan ini. Masa remaja merupakan masa bagi individu untuk
membentuk ulang dirinya. Seorang remaja sedang berusaha untuk membuat
kerangka tentang diri mereka ketika dewasa (Hurlock, 1999; Monks, Knoers &
Haditono, 1998).
11
Erikson (1989) menganggap masa remaja sebagai masa pencarian
identitas diri. Remaja berusaha mencari hakikat diri, cita-cita, pandangan hidup,
serta beragam pandangan orang lain tentang dirinya (Santrock, 1995).
Keberhasilan dan kegagalan dalam merumuskan identitas diri ini berdampak
penting bagi kehidupan remaja serta kehidupan mereka pada masa selanjutnya.
Seorang remaja yang dapat mencapai identitas diri akan dapat menyadari
kepribadiannya; mampu merasakan dirinya sebagai orang yang sama sepanjang
waktu; dapat mengatur orientasi hidupnya; memperoleh kepuasan hidup; serta
sadar dengan aspirasi dan tujuan hidupnya. Sebaliknya, remaja yang gagal
merumuskan identitas diri dapat merasa tidak puas dengan dirinya, bingung
tujuan hidup, serta dapat memicu munculnya aneka perilaku menyimpang
(Erikson, 1989).
Pada masa remaja individu juga mengalami perubahan orientasi sosial.
Pada masa ini seseorang secara perlahan mengurangi kedekatannya dengan
orang tua dan mulai mengembangkan dunia sosialnya di luar rumah. Remaja
lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman sebayanya daripada
bersama orang tua atau orang dewasa lain (Goede, et al., 2009; Brown & Klute,
2003; Dijkstra & Veenstra, 2011; Nurmi, 2004; Steinberg, 2011). Hasil penelitian
Csikszenmihalyi dan Larson (1984) menunjukkan bahwa selama masa remaja
jumlah waktu yang remaja bersama orang tua menurun, dari 25 % pada masa
remaja wal menjadi 15 % pada masa remaja akhir.
Realitas demikian menyebabkan teman memiliki kedudukan dan
pengaruh
penting
terhadap
kehidupan
remaja.
Keberadaan
mereka
mempengaruhi dan menentukan sikap, perilaku serta karakteristik remaja.
Beberapa peneliti menuturkan, bagi remaja teman dapat memberikan dukungan
12
sosial dan emosi, tempat berbagi, tempat belajar mengenali diri. Remaja
seringkali lebih terbuka pada teman-temannya daripada kepada orang dewasa
lain (misal, Cobb, 2000; Steinberg, 2011).
Penelitian-penelitian tentang pertemanan pada remaja menunjukkan
bahwa teman memiliki pengaruh negatif maupun positif terhadap remaja. Bagi
remaja, teman dapat mempengaruhi prestasi akademik (Suarni, 2011),
meningkatkan harga diri dan keterlibatan diri di sekolah (Berndt dan Keefe,
1995),
serta
berhubungan
dengan
munculnya
prokrastinasi
dalam
menyelesaikan tugas (Rahmawati, 2011). Teman juga dapat mempengaruhi
remaja sehingga mereka melakukan tindak kenakalan (Puspitawati, 2008);
menggunakan alkohol dan narkoba (Gaughan, 2006; Piehler, Véronneau, &
Dishion, 2012; Ramirez, Hinman, Sterling, Weisner, Campbell, 2012); bertindak
agresif (Nilakusumastuti & Srinadi, 2008), melakukan cyberbullying (Mawardah,
2012), serta merokok (Drapela,Gebelt & McRee, 2006; Mcleod, White, Mullins,
Davey, Wakefield & Hill, 2008). Pertemanan turut berpengaruh terhadap
munculnya gejala depresi dan bunuh diri (Bearman & Moody, 2004).
Sebagaimana diungkapkan oleh para ahli sebelumnya, beragam
perilaku remaja yang khas saat bersama teman tersebut muncul dipengaruhi
oleh konsep diri mereka. Penelitian-penelitian di Psikologi juga mendukung
adanya pengaruh konsep diri terhadap perilaku tersebut. Beberapa penelitian
tentang konsep diri pada remaja menunjukkan bahwa konsep diri berhubungan
dengan kecenderungan untuk melakukan tindak kenakalan (Maria, 2007; Wiyata,
2005), perilaku konsumtif (Parma, 2007), coping stress, kecemasan berbicara di
depan umum (Marlina, 2003), prestasi belajar siswa, penyesuaian diri (Yessa,
2008).
13
Merujuk pada penjelasan bahwa konsep diri menjadi mediator
munculnya beragam perilaku individu, maka adanya hubungan dan pengaruh
teman terhadap perilaku remaja tersebut menunjukkan bahwa ketika bersama
teman remaja memiliki konsep diri yang khas. Keberagaman perilaku remaja saat
bersama teman tersebut merupakan bentuk aktualisasi dari konsep diri mereka.
Ketika bersama teman remaja menggambarkan dirinya sebagai orang berbeda,
sehingga mereka juga memiliki perasaan, pikiran, motivasi, dan harapan
berbeda. Sehingga karenanya mereka juga memiliki sikap dan perilaku berbeda.
Merujuk pada penjelasan bahwa konsep diri dipengaruhi oleh konteks
budaya dan situasi sebagaimana dijelaskan di atas, maka kajian mengenai
konsep diri remaja Jawa saat bersama teman penting dilakukan. Temuan dan
kesimpulan penelitian ini diharapkan dapat membantu menjelaskan dinamika
perilaku remaja Jawa saat bersama teman secara lebih komprehensif dan
kontekstual. Dengan demikian, para pemangku kepentingan dapat memilih
pendekatan yang tepat untuk menghadapi beragam persoalan yang mengemuka
terkait hubungan remaja dengan temannya.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan penelitian dalam pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah gambaran konsep diri remaja Jawa saat bersama teman?
2. Bagaimana konsep diri tersebut diaktivasi oleh remaja saat bersama teman?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsep diri remaja jawa saat
bersama teman?
14
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengekplorasi konsep diri remaja
dengan latar belakang budaya Jawa. Lebih rinci, penelitian ini berusaha untuk
memperoleh penjelasan dalam bentuk rumusan teori mengenai konsep diri
remaja Jawa saat bersama teman.
2. Manfaat
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi
sumbangan yang berarti bagi perkembangan ilmu Psikologi Indigenes di
Indonesia. Secara khusus, hasil penelitian ini dapat memperkaya konsepkonsep untuk bidang Psikologi Sosial dan Psikologi Perkembangan,
terutama terkait kajian mengenai konsep diri.
2. Manfaat Praktis
Bagi partisipan penelitian dan remaja pada umumnya, hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
membantu
usaha
remaja
dalam
merumuskan jati dirinya. Bagi para pemangku kepentingan, seperti orang
tua, guru, atau pemerintah, temuan penelitian ini diharapkan dapat menjadi
sumber rujukan untuk menjelaskan dan memahami perilaku remaja,
sehingga mereka dapat membimbing, mendidik dan mengarahkan remaja
dengan cara yang lebih tepat.
D. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran penulis, sejauh ini banyak penelitian tentang
konsep diri remaja yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Pangestuti
(2011) melakukan penelitian mengenai konsep diri pelaku bullying pada siswa
15
Sekolah Menengah Pertama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep diri
sosial dan fisik pada pelaku bullying positif, sementara konsep diri moral mereka
negatif. Di sisi lain, remaja bukan pelaku bullying memiliki konsep diri fisik
negatif, sementara konsep diri sosial, keluarga dan moral mereka positif.
Sitepu (2010) melakukan studi mengenai peran konsep diri, kompetensi
sosial dan program belajar terhadap coping stress pada remaja. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa konsep diri memiliki hubungan positif dengan strategi
koping yang tepat. Dalam arti, siswa yang memiliki konsep diri positif mampu
membuat strategi koping yang tepat, yaitu strategi yang berfokus pada masalah,
sehingga mereka dapat bertahan terhadap stress.
Marlina (2003) melakukan penelitian tentang peran konsep diri dan
dukungan sosial pada kecemasan berbicara di muka umum pada mahasiswa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari kelima aspek diri, yaitu diri fisik, diri
moral etik, diri keluarga, dan diri sosial, hanya aspek diri personal yang secara
signifikan berperan dalam kecemasan di depan umum. Temuan lainnya, konsep
diri memiliki hubungan negatif dengan kecemasan berbicara di depan umum,
dalam arti konsep diri positif dapat menurunkan kecemasan remaja ketika
berbicara di depan umum. Maria (2007) melakukan penelitian tentang peran
konsep diri dan persepsi keharmonisan keluarga terhadap kecenderungan
kenakalan
remaja.
Studi
ini
menyimpulkan
bahwa
persepsi
terhadap
keharmonisan remaja dan konsep diri memiliki peran terhadap munculnya
kecenderungan kenakalan pada remaja.
Sandra (2012) melakukan penelitian yang berjudul Dinamika Psikologis
Interaksi Konsep Diri Online dan Identitas Online. Penelitian ini diantaranya
menyimpulkan bahwa pengguna identitas online mengubah-ubah identitas
16
dirinya ketika berinteraksi dengan teman onlinenya. Pengubahan diri tersebut
mereka lakukan dengan tujuan untuk pemaparan diri, manajemen kesan, tujuan
dan pertimbangan mereka berinteraksi, perasaan mereka tentang lingkungan,
serta karena penilaian mereka mengenai penggunaan internet.
Palila (2008) juga melakukan studi ekplorasi mengenai konsep diri dan
perilaku koping individu yang mengalami perlakuan salah pada masa anak. Dari
tiga orang informan yang diteliti ditemukan hasil bahwa salah satu informan
memiliki konsep diri positif, sementara dua lainnya konsep dirinya negatif.
Perilaku koping yang dikembangkan informan ketika mengalami dan mengingat
perlakuan salah pada masa anak secara umum adalah koping yang fokus pada
emosi dengan strategi impunitive dan defensive.
Hasil studi korelasi antara konsep diri dengan variabel psikologis lain
pada remaja juga menunjukan bahwa konsep diri memiliki hubungan signifikan
dengan banyak aneka variabel psikologi yang lain. Penelitian-penelitian tersebut
diantaranya menunjukkan bahwa konsep diri berhubungan secara signifikan atau
sangat signifikan dengan daya juang siswa pesantren (Mubarak, 2008),
penyesuaian diri (Partosuwido, 1992), prestasi belajar (Suarni, 2011; Sugeng,
1995;
Suparman,
2000),
kompetensi
interpersonal
(Nashori,
2000),
kebermaknaan hidup (Mazaya & Supradewi, 2011).
Meskipun sudah banyak penelitian tentang konsep diri remaja dilakukan
oleh peneliti sebelumnya, namun sejauh ini masih sedikit penelitian yang
menaruh perhatian pada tema mengenai diri relasional. Sebagian besar
penelitian menganggap diri sebagai entitas yang tunggal, stabil, serta lepas dari
orang lain serta konteks sosial. Dengan demikian, untuk memperkaya literatur
yang ada, dalam penelitian ini penulis berusaha mengkaji topik tentang konsep
17
diri relasional tersebut. Sejauh pengetahuan penulis, belum ada penelitian
sebelumnya yang mengangkat topik ini sebagai fokus penelitian. Lebih dari itu,
mengingat kompleksitas konstruk diri dalam pendekatan ini, maka penelitian ini
hanya akan fokus pada kajian mengenai konsep diri remaja Jawa saat bersama
teman.
Pilihan peneliti untuk menggunakan studi kualitatif didasari pada
pertimbangan bahwa dengan studi ini peneliti dapat menggali konsep diri
relasional partisipan penelitian dengan lebih mendalam. Studi-studi kuantitatif
yang peneliti paparkan di atas, khususnya studi korelasi mengenai konsep diri
dengan konsep psikologi yang lain, perlu diperjelas dengan uraian-uraian data
yang hanya dapat diperoleh dengan studi kualitatif. Dengan adanya penelitian ini,
hasil penelitian di atas dapat diurai dan perjelas lebih lanjut, sehingga dapat
diperoleh pemahaman mengenai konstruk diri individu secara lebih utuh dan
mendalam.
Secara khusus, penelitian ini menggunakan pendekatan grounded
theory, dengan tujuan agar dapat diperoleh sebuah teori baru tentang konsep diri
remaja Jawa. Teori baru yang diperoleh dari penelitian ini dapat berupa teori
yang bersifat substantif maupun teori formal. Kebutuhan untuk menjelaskan
perilaku orang Jawa dengan kerangka teori baru ini penting dilakukan, mengingat
selama ini penjelasan psikologi mengenai orang Jawa masih banyak merujuk
ilmu Psikologi konvensional yang menempatkan kebudayaan Amerika sebagai
landasan berfikirnya.
Download