AGAMA DAN PENGETAHUAN Impian tentang ‘my home is my castle’ mempunyai akar yang kuat dalam Islam. Oleh karena itu mengintip dan menguping kelakuan tetangga atau merepotkannya haram hukumnya. Bila setelah mengetuk pintu tiga kali belum ada tanggapan, kita harus tahu diri dan tidak mengganggu tuan rumah. Singkatnya, setiap orang tidak boleh mencampuri urusan orang lain. 1 Lain lagi halnya dalam urusan menuntut ilmu atau kehausan ilmiah. Menurut al-Qur’an dan Sunnah Rasul ini harus menjadi sifat dasar umat Islam. Al-Qur’an berkali-kali menyeru manusia mempergunakan akalnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan (QS. 20:14): “Tiadakah kamu menggunakan akal pikiran?“ (QS. 2:44) “Tidakkah kamu lihat...?“ (QS. 31:20) ”Tidakkah kamu memikirkannya?“ (QS. 6:50) Kita juga dapat mengartikan wahyu pertama yang disampaikan kepada Muhammad (QS. 96:1-5) sebagai seruan untuk menimba ilmu dengan perantara baca tulis; dengan pemberantasan buta huruf. ” Bacalah! dan Tuhanmu-lah yang paling Pemurah, Yang mengajarkan kalian (manusia) dengan perantaraan pena, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui nya“(QS. 96:3-5) Seorang muslim yang senantiasa menggunakan akalnya selalu mengingat Allah dalam keadaan duduk, berdiri dan berbaring, mendahulukan obyektivitas dari kepentingan pribadi dan mengutamakan bukti, bukan dugaan. 2 Ini sesuai dengan hadits Nabi yang terkenal yang menyuruh umat islam untuk menuntut ilmu, bila perlu sampai ke negeri Cina - sebuah upaya yang sama susahnya dengan pergi ke bulan di zaman sekarang. Ia sangat menghormati ilmu pengetahuan, hingga ia pernah mengatakan, bahwa di hari kemudian dawat ulama akan ditimbang dengan darah syuhada - dan dawat ulama akan lebih berat dari darah syuhada. 3 Para sahabat Nabi, di antaranya khalifah-khalifah pertama menganggap serius himbauan ini. Ini dicerminkan oleh jawaban yang diberikan oleh Ali bin Abi Thalib, ketika ia ditanya apakah ia menggunakan tulisan-tulisan lain selain al-Qur’an. Tidak, jawabnya. Ia hanya menggunakan Kitabullah, yang memberikan kekuatan pemahaman pada seorang muslim dan secarik kertas (yaitu catatan tentang tiga keputusan Nabi). 4 1 Bandingkan QS. 24:27 dan Hadits Nabi dalam Shahih Muslim nr. 5354 dan seterusnya, juga Hadits nr. 12, dalam: Al-Nawawi, Hadits ‘Arbain, Leicester 1979 2 lihat QS. 3:75; 30:29; 43:20; 45:24 3 Abduelkadir Karahan, Kirk Hadis, Istanbul 1991, Hadits 22, Halaman 52 4 Shahih al-Bukhari, Buku Pengetahuan (III), Hadits 111 30 Semangat keilmuan ini yang dikaitkan dengan kesediaan menggunakan akalnya merupakan ladang yang subur bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan umat islam sejak abad ke 8. Di bahwa ini adalah 14 buah contohnya 5 : • Ibnu Firas (wafat 888), orang yang pertama menggunakan alat bantu terbang. • Muhammad bin Musa al-Khwarismi (wafat 846), bapak aljabar dan algorithmus - istilah yang diambil dari namanya • Abu Bakr al-Razi atau di Barat di kenal dengan nama Rhazes (864-935). Kitab ilmu kedokterannya, Mansuri, dipakai di universitas-universitas Barat selama berabad-abad - di sana dikenal dengan nama Liber Almansoris. • Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037), seorang filosof dan pakar ilmu kedokteran. Ensiklopedi ilmu kedokterannya masih dipakai di Barat hingga abad ke 19. • al-Hassan bin al-Haytsam camera obscura. • Abu al-Rayhan al-Biruni, jenius serba bisa bergaya Wolfgang von Goethe. Ia juga adalah seorang diplomat dan pakar dalam bidang-bidang ilmu sejarah, bahasa Sanskerta, astrologi, mineralogi, pharmakologi, dan lain-lain. • Umar al-Khayyam (wafat antara 1123 dan 1131), seorang pujangga sekaligus ahli matematika, pernah mereformasi sistem penanggalan India yang jauh lebih tepat daripada sistem Gregorian (1582). • Ibnu Rusyd atau Averroes (1126-1198), seorang filosof. Ulasannya tentang filsafat Aristoteles sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan filsafat Barat. Secara sambil lalu ia juga menemukan noda bintik pada matahari (sunspot). • Ibnu an-Nafis (wafat 1288), seorang dokter dari Mesir yang telah menemukan peredaran darah. • Ibnu Battutah (1304-1368 atau 1377), seorang petualang ala Marco Polo dari Maroko, yang telah mengembara dari Timbuktu, Beijing sampai ke Wolga. • Ibnu Khaldun (1332-1406) dari Andalusia. Al-Muqaddimah, tulisannya yang menjadi pembuka karyanya tentang sejarah atau Alhazen (965-1039), penemu 5 Bandingkan dengan beberapa karya Joseph Schacht dan C.E. Bosworth, Das Vermaechtis des Islam, Jilid 2, Munich 1983; Thomas Arnold dan Arthur Guillaume, The Legacy of Islam, Oxford 1931; Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 2 Jilid, Chicago,1974; Alistair Crombie, griechisch-arabische Naturwissenschaften und Abendlaendisches Denken, dalam: Europa und der Orient 800-1900, Guetersloh 1989 31 dunia (Kitab al-Ibar) menetapkannya sebagai sosiologi dan metode kritik sejarah modern. 6 pendiri ilmu • Ahmad ibnu Majid, seorang navigator yang menjadi bapak ilmu bahari di abad ke 15. • Laksamana Piri Reis (1480-1553), ahli geografi laut dari Turki. Karyanya, Kitab-i Bahriye (Kitab ilmu bahari), dan peta-peta maritimnya yang akurat masih mencengangkan hingga kini. 7 Juga rekannya, Seyyidi Ali Reis (wafat 1562) yang telah mengukur pantai-pantai Asia dan mengembangkan astronomi maritim. Keterangan singkat di atas telah membuktikan, bahwa bukan Baratlah yang telah melanjutkan dan mengembangkan warisan Yunani kuno, tapi dunia Islam. Melihat perkembangan yang pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknik, jelas bagi kita bahwa pada abad pertengahan arus budaya hanya mengalir satu arah. Karena, seperti yang dikatakan oleh Marshall Hogdson, orangorang islam hampir tidak menemukan sesuatu yang berharga di Barat. Ketika Barat hanyalah Netto-Importeur (konsumen) - mulai dari kincir angin, dendang troubadour samai bentuk bangunan Gotik. Fenomena yang di masa sekarang ini akan disebut sebagai imperialisme kultur, tentu saja meninggalkan banyak jejak di bidang bahasa. Kita masih menemukan warisan kosakata Arab, bila kita menggunakan kata admiral, algebra, ziffer (angka dalam bahasa Jerman), amalgam, alkohol, laute (semacam gitar), gitare, alkoven (ruangan kecil untuk tidur), muslin (kain muslin/kain kasa), tarif, magazin (tempat penyimpanan, gudang) atau razia. Ilmu-ilmu non eksakta, dan terutama ilmu-ilmu pengetahuan alam di dunis Islam menjadi layu sejak abad ke 14. Salah satu penyebabnya adalah teori menutup pintu ijtihad (lihat bab Fundamentalisme). Secara de facto hal ini menghambat penelitian. Ilmu pengetahuan hanya mengandalkan apa-apa yang sudah ditemukan; bernostalgia dengannya dan mengulangnya kembali (taqlid). Menurutnya, hal yang penting dan patut diketahui telah dikenal (baik) oleh generasi yang dekat dengan masa kewahyuan. Untuk ini ada alasan yang mereka temui dalam al-Qur’an dan sunnah rasul. Ayat al-Qur’an berikut ini: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami...”(QS. 2:32) dipandang sebagai pernyataan, bahwa segala usaha untuk mencari ilmu yang tak disinggung al-Qur’an hanya sia-sia belaka. Tidakkah Tuhan menyinggung juga ilmu yang tak bermanfaat (QS 2:102)? 6 The Muqqadimah, diterjemahkan oleh Franz Rosenthal, Princeton 1976 Kitab-i Bahriye Piri Reis, Istanbul 1988 7 32 Demikianlah ulama-ulama yang menentang ilmu pengetahuan dan filsafat berpendapat, sementara di lain kesempatan mereka menghormati Nabi yang kadang-kadang sengaja tidak memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertentu. Dari pandangan ini tumbuh pada abad ke 15 semacam doktrin yang memusuhi ilmu pengetahuan dalam berbagai aspek. 8 Gejala ini diperkuat lagi oleh rasa takut terhadap keburukan yang dapat ditimbulkan oleh pembaharuan (bid’ah). Pada prinsipnya, Sunnah Rasul membedakan pembaruan yang bermanfaat (bid’ah hasanah) dan pembaruan berdampak negatif. Untuk yang terakhir ini hukumannya di akhirat sangat berat. Oleh karena itu orang langsung mencurigai segala macam pembaruan. Dan orang segera mengasosiasikan bid’ah dengan pembaruan yang buruk. “Lindungilah diri kalian dari hal-hal yang baru, karena segala yang baru adalah pembaruan, dan segala pembaruan akan menyesatkan...“ 9 Sepanjang abad pertengahan istilah bid’ah dipergunakan untuk menghambat kemajuan. Tema ini masih hangat di kalangan negara Islam dalam mengantisipasi tantangan zaman. Sehingga Profesor Hassan Ben Saddik (dari Tanger) diperkenankan menyampaikannya dalam sebuah pidato di hadapan Raja Hassan II di Rabat, Maroko pada tanggal 24 Maret 1991. Singkatnya, umat diingatkan kembali, bahwa hadits di atas hanya berkaitan dengan masalah teologi dan etika, dan pada dasarnya tidak menghambat pengembangan teknologi. 10 Keruntuhan yang dimulai di abad ke 14 ini tidak berlangsung sekaligus. Terutama di bidang teologi, literatur dan arsitektur - contohnya Taj Mahal (1634) dan Mesjid Biru di Istanbul yang dibangun bersamaan dengannya masih kita jumpai nama-nama besar seperti Syeikh Wali Allah (1703- 1763) dari India, Muhammad bin Abd al-Wahab (1703-1787) di Arabia dan Amadu Bamba (1850-1927) di Senegal. Mereka semua adalah perintis gerakan reformasi fundamentalis. Tarikat-tarikat yang sekarang menguasai Afrika Barat seperti Muridiyah dan Ahmadiyah atau Tijaniyah yang berpusat di Fes juga lahir di masa keruntuhan ini. Tapi cahaya-cahaya tadi dibuat remang-remang oleh kurangnya jumlah ilmuwan muslim dan aktivitas reaksioner dari ulama-ulama anti pembaharuan. Pada tahun 1580 atas perintah mereka, observatorium di Istanbul yang baru selesai dibangun tahun sebelumnya dihancurkan. Masih di Istanbul, pada tahun 1745 mereka berhasil menutup percetakan pertama di dunia Islam yang berdiri tahun 1728. Tidak heran kalau di Mesir pada tahun 1875 8 An-Nawawi, ibid, Hadits nr. 30 An-Nawawi, ibid, Hadits nr. 28; bandingkan juga Hadits nr. 5 dan juga Shahih Muslim, al-Hadits nr. 6466-6470 10 Ceramah dimana saya diikutsertakan, pada beberapa hari sesudahnya dimuat dalam 4 episode dari ‘Le Matin du Sahara et du Maghreb’. Pembicara menyatakan bahwa mengheningkan cipta dan undian berhadiah untuk amal adalah (contoh-contoh) pembaharuan yang haram. 9 33 hanya terdapat 5000 sekolah menengah, sementara di Universitas al-Azhar yang tidak berkompeten lagi di dunia ilmu pengetahuan terdapat 11000 mahasiswa. Sebagai akibatnya, hingga kini hanya seorang warga dunia Islam yang berhasil mendapatkan Hadiah Nobel, yaitu Ahmed Abdessalam, ahli fisika dari Pakistan. 11 Filsafat Islam juga berkali-kali dituduh ikut andil dalam menurunnya kemampuan umat di bidang pemikiran. Namun, sejarahnya yang demikian gemilang membuat orang susah 12 menganalisanya. Sudah sejak abad ke 9, cendekiawan muslim berusaha menafsirkan al-Qur’an - yang bukan merupakan sebuah disertasi filsafat - ke dalam sistem pemikiran yang logis dan menyeluruh dengan menggunakan pendekatan filsafat Yunani. Aliran Mu’tazilah yang tumbuh di Bagdad dan Basra memang dapat dipandang sebagai penganut pemikiran Yunani, tapi pendekatan mereka lebih condong pada teologi filsafat ketimbang filsafat teologi. Karena bagi kaum Mu’tazilah juga berlaku prinsip pada mulanya adalah alQur’an. Jadi mereka bersandar pada eksistensi Tuhan dan kewahyuan al-Qur’an. Mereka tidak mempertanyakan Tuhan, melainkan sifat-sifat Tuhan. Dalam usahanya mencari titik temu antara al-Qur’an dan akal, mereka terpeleset ke lembah spekulasi dan bid’ah, meskipun mereka tidak meragukan ayat-ayat al-Qur’an yang tidak sejalan dengan akal mereka, melainkan mentafsirkannya secara alegoris. Namun demikian, tema andalan mereka menyeret mereka ke posisi yang dipandang oleh kaum ortodoks sebagai skandal dan penghujatan. Tuhan tidak memiliki sifat seperti yang digambarkan oleh 99 nama Allah (Asma ul-Husna). Sifat-Nya integral, jadi meskipun ada QS. 41:47, sifat-Nya tidak diferensial. dunia ini bukan makhluk, jadi abadi sifatnya. al-Qur’an adalah makhluk manusia, yang mempunyai hak mencipta, memiliki hak berkehendak (lihat bab Takdir); yang buruk hanya ciptaannya. Ia tak kan bangkit lengkap dengan jasmaninya. Jelas sudah, bahwa kaum Mu’tazilah mendahulukan akalnya daripada al-Qur’an dan dengannya melahirkan gambaran Tuhan yang semarak dan mendebarkan hati. 11 Dia termasuk dalam Sekte-Ahmadiyyah heterodoks Pakistan Bandingkan M. M. Sharif (Penerbit), A History of Muslim Philosophy, 2 Jilid, Wiesbaden 1963; Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, London 1903; Georges Anawati, Filsafat, Teologi dan Mistik, dalam: Das Vermaechtnis des Islam, ibid; Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, Cambridge 1985; dan Buku karyaku terdahulu tentang aturan Filsafat Islam, Zur Rolle der islamische Philosophie, Koeln 1984 12 34 Aliran rasional yang berdasar pada filsafat Aristoteles ini meraih puncaknya melalui Ibnu Rusyd atau Averroes di abad ke 12. 13 Selain itu golongan ortodoks juga dibuat pusing oleh filosof muslim lainnya, yang mencoba menciptakan harmoni antara ajaran islam dan ajaran emanasi, gnostik dan mistik cahaya di bawah pengaruh neo platonisme yang memiliki cara pandang iluminatoris, seperti yang ditunjukkan oleh tiga nama besar, yaitu Abu Nasr Muhammad al-Farabi atau Alpharabius (sekitar 873-950), Muhy al-Din Ibnu ‘Arabi (1165-1240) 14 dan Abu Ali Husain bin Sina atau Avicenna (980-1037). 15 Tak lama kemudian timbul reaksi dalam bentuk aliran Asy’ariyah. Mereka membantah premis-premis yang menjadi dasar seluruh pemikiran Mu’tazilah, yaitu pandangan, bahwa persepsi manusia dan logika dapat membawa manusia pada pemahaman hakikat metafisika. Pimpinannya, Abu al-Hasan al-Asy’ari (873-935) tidak hanya menjadikan filsafat sebagai bawahan teologi kembali. Ia mengobrak-abrik seluruh jajaran metafisika termasuk pemikiran tentang hukum-hukum kausalitas. Menurut al-Asy’ari dan penyempurnanya, Abu Hamid al-Ghazali atau Algazel (10581111) 16 sesuatu yang ada di luar hukum ilahi - dan tak dapat diduga manusia - hanya kehendak dan ide Tuhan. Serangan terakhir yang dilancarkan atas filsafat spekulatif tersebut adalah buku al-Ghazali tentang filsafat yang inkoheren (Tahafut al-Falasifah) yang membantah Ibnu Sina. Polemik ini memancing Ibnu Rusyd satu generasi kemudian untuk menulis ‘inkoheren yang inkoheren’. Sejak itu tercapailah titik puncak di mana, golongan Sunni yakin, bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan sifat-Nya hanya dapat ditemukan dalam wahyu - yang menutup pertanyaan-pertanyaan selanjutnya -, dan tidak melalui akal pikiran manusia. Seorang muslim harus menerima kalam ilahi sebagaimana adanya, dan tidak terjerumus ke dalam kecenderungan filsafat yang terlalu bersemangat mengucap kata bagaimana. Sejak itu cendekiawan muslim menghindari metafisika. Filsafat Islam hanya ada dalam bentuk mistik yang seringkali dipengaruhi pemikiran Syiah (lihat bab: Mistik), seperti tarekat al-Ikhwan al-Safa di Basra. 17 Dengannnya filsafat ortodoksi telah mencapai klimaks dalam hal pemikiran kritis yang radikal yang membawanya pada logika yang bersahaja melalui agnotisme (yang dijiwai oleh al-Qur’an), yang kini - setelah 1000 tahun - tampak modern. Bukan Ludwig 13 Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence), London 1978; juga, On the Harmony of Religion and Philosophy, London 1961; Hans Wilderotter, Aristoteles, Averroes und der Weg der arabischen Philosophie nach Europa, dalam: Europa dan Dunia Timur 800-1900, Gueterloh 1989 14 Ibn ‘Arabi, La Profession de Foi, Paris 1985 15 Bandingkan Gerhard Endress, “Der erste Lehrer”, tentang Aristoteles dari Arab dan Konsep Filsafat, dalam: Festschrift fuer A. Falaturi, Koeln 1991, hal 151 dan seterusnya; lebih jauh Avicenna on Theology, London 1951 16 sangat berkesan sentuhan ’pengakuan’ darinya: Der Erretter aus der Irrtum, Felix Meiner nr. 389, Hamburg 1988; diantara Karya besarnya yang lebih dari 400 tulisan lihat Ihya Ulum al-Din, 4 Jilid, Lahore; untuk yang beraliran mistik lihat ‘Al-Ghazali Misykat al-Anwar’, Pancaran Relung Cahaya, Felix Meiner nr. 390, Hamburg 1987,; Farid Jabre, La Notion de la Ma’rifa chez Ghazali, Beirut 1958 17 Bandingkan Ikhwan al-Safa, Manusia dan Hewan Didepan Raja Jin, Felix Meiner nr. 433, Hamburg 1990 35 Wittgenstein di abad ke 20, melainkan al-Asy’ari di abad ke 9 yang telah mendengungkan akhir filsafat. Bukan David Hume dan teori ilmiah baru, tapi aliran al-Asy’ari yang pertama kali menyadari, bahwa hukum kausalitas tak dapat dibuktikan. Bukan Immanuel Kant dan kritikus bahasa modern yang mengembangkan pemikiran kriis yang radikal, tapi filosof-filosof muslim di abad ke 9. Bila pemikir-pemikir kritis dari Barat ini tidak membawa kultur Barat menuju keruntuhan, mengapa orang menuduh filsafat Islam yang bertanggungjawab atas kemunduran kultur di dunia Islam? Dari latar belakang ini timbul pertanyaan, bagaimana hubungan Islam dengan disiplin ilmu lainnya, terutama ilmu pengetahuan alam modern. Sebelumnya harus kita ketahui, bahwa kaum muslimin beranggapan bahwa hasil-hasil penelitian tak kan bertentangan dengan alQur’an. Oleh karena itu, bila ada yang tidak selaras, ini diakibatkan oleh kesalahan penafsiran - baik al-Qur’an maupun hasil penelitian. Masalah yang sesungguhnya dalam kaitan ini adalah pemahaman ilmiah modern. Umat Islam tidak hanya menuduh ilmu pengetahuan telah merampas kedudukan agama, tapi juga tidak berprestasi dalam posisinya yang baru. Seyyed Hossein Nasr telah memformulasikannya dengan tepat dalam sebuah sidang fisika dan astrofisika yang diadakan oleh Max-Planck-Gesellschaft bulan April 1983: “Islam tidak dapat menerima reduksionisme yang dianut ilmu pengetahuan modern, yaitu degradasi metafisika menjadi psikologi, psikologi menjadi biologi, biologi menjadi kimia, kimia menjadi fisika, dan dengannya semua faktor kebenaran didepresiasikan ke titik terendah, yaitu dalam bentuk fisis.” Ini perlu dijelaskan lebih lanjut: Yang pertama, islam menganggap ilmu pengetahuan di Barat terlalu otonom (l’art pour l’art) dan terlalu percaya diri. ‘Extra scientiam nulla salus’ (tiada kesucian di luar ilmu pengetahuan), demikian kira-kira kredo para ilmuwan, sebagai umat tanpa agama. Mereka mendefinisikan Tuhan sebagai titik celah, manusia sebagai faktor risiko dalam proses teknik dan sistem sosial sebagai mesin trivial. Sehingga seperti yang diformulasikan oleh Jürgen Habermas, moral berubah menjadi modernitas seperti seni berubah menjadi prinsip Pada kenyataannya, agama di era ilmu subyektifitas. 18 pengetahuan ini dipandang sebagai bentuk pemecahan masalah kehidupan yang irrasional dan ketinggalan zaman. Nietzsche mencoba membunuh Tuhan - pasti tidak berhasil; ilmuwan mencoba membunuh kepercayaan pada-Nya - ini mungkin berhasil. 18 Juergens Habermas, Der philosophische Diskurs der Moderne, Frankfurt 1985 36 Ilmu pengetahuan yang positif dan empiris sekalipun tak kan dapat mengganti agama yang didesaknya sebagai pemberi makna dan norma. Keduanya beroperasi di wilayah yang berbeda. Bahkan dengan metode serius trial and error - dengan terus menyalahkan hipotesa baru - yang diperkenalkan Popper ilmu pengetahuan tetap tidak memiliki wewenang normatif, dan tetap terikat pada hal-hal yang quantitatif. Moral bukanlah fungsi fisiologi, makna bukanlah hasil dari ikatan kimia, dan cinta benar-benar tidak ilmiah. Fakta menunjukkan, bahwa ilmu pengetahuan hanya membawa skepsis, ketidakpastian, pemujaan data dan statistik serta krisis identitas yang laten bagi manusia modern di bidang ideologi. Paling ia hanya dapat menawarkan semacam eskatologi pasca Kristen yang sekular dengan ideologi kemajuannya. 19 Ia terus-menerus membawa masalah baru, tanpa memberikan jawaban yang pasti, sehingga André Malraux pernah bertanya, apakah peradaban ‘masalah dan sesaat’ ini benar-benar peradaban yang ideal. Michael Harrington juga pernah menanyakan hal yang sama, di mana kita bisa menemukan etika sosial, yang dapat menyelamatkan kita dari kejeniusan kita, dalam masyarakat teknologi yang serba relatif ini? 20 Bukan hanya kaum muslimin yang menolak ilmu pengetahuan menggantikan agama. 21 Pencari norma baru, seperti Hans-Georg Gadamer atau Helmut Kuhn tidak mau ketinggalan. Orang menyebut fenomena ini kembali ke metafisika, yang diakibatkan oleh kesadaran yang terlambat, bahwa semakin tercerahkan dunia, semakin diperlukan agama; paling tidak untuk melegitimasi kekuasaan dan hukum, motivasi dan pembentukan kelompok masyarakat. Singkatnya, semakin jelas, bahwa teologi dan ilmu politik saling membutuhkan dan ide penyingkiran agama terbatas sifatnya. 22 Ini merupakan dampak dari bergugurannya paham darwinisme, freudanisme, marxisme dan fisika klasik, ditambah oleh fakta, bahwa otak tak dapat meneliti otak. 23 Pakar-pakar sains mulai rendah hati sejak mereka menyadari, bahwa apa yang mereka sebut hukum alam hanyalah berupa aproksimasi, dan dunia bukanlah sebuah mesin yang berfungsi berdasarkan pemahaman kausalitas yang umum dewasa ini. Ilmu pengetahuan yang mulai bersahaja ini masih belum dianggap tidak memihak oleh para akademisi muslim, dan karenanya harus diislamisasi. Maksud ini dilatarbelakangi oleh: 19 Bandingkan Karl Loewith, Meaning in History, Chicago 1949 Juergens Habermas, ibid; Michael Harrington, The Politics at God’s Funeral: The Spritual Crisis of Western Civilization, New York 1983 21 Bandingkan juga Alfre North Whitehead, Wie entsteht Religion?, Frankfurt 1985; Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition, Manchester 1986; Ernest Gellner, Relativism and the Social Science, Cambridge 1985 22 Parvez Manzoor, The Crisis of Intellect and Reason in the West, The Moslem World Book Review, Leicester 1987 nr.2, halaman 3 23 Bandingkan Ed. Quinteen Skinner, The Return of Grand Theory in the Human Sciences,; persoalan utama dari penelitian otak terletak pada keadaan kesadaran bukan pada panca-indera (mata ataupun telinga) 20 37 kolonisasi dunia Arab membuat kelompok elitnya terdorong untuk menjiplak peradaban Barat. Tapi hasilnya mengecewakan. Kebanyakan mahasiswa muslim masih tertinggal dari rekanrekannya dari Barat dalam menguasai ilmu. Sementara mereka yang berhasil malah kehilangan ikatan pada akar budayanya sendiri. Terombang-ambing antara dua budaya membuatnya frustrasi dan menjadikannya konsumen teknologi yang tidak mereka kuasai. Dampak buruknya yang banyak kita amati adalah teknofobia. Mereka mempersetan teknologi Barat, karena dia diciptakan di lingkungan ateis dan mendorong sikap skepsis yang kritis. Sebaliknya muslim yang bijak menganggap netral teknik apa pun dan mendukung penggunaannya dalam konteks masyarakat Islam. 24 Lebih positif lagi adalah seruan islamisasi pengetahuan, yang bukannya bermaksud memusnahkan sama sekali pola Barat, tapi ide untuk mereformasi sistem pendidikan dan perguruan tinggi yang islami. 25 Pada kenyataannya, sekolah dan universitas di negeri-negeri muslim berada dalam kondisi yang buruk, karena pelajaran dilaksanakan berdasarkan metode meniru dan mencontoh tanpa adanya analisa kritis. Otoritas guru masih dirasa absolut, hafalan masih diutamakan. Karena itu masyarakat Islam secara keseluruhan - dimulai oleh ayah dalam keluarga - harus menyadari, bahwa kemajuan teknologi bisa dicapai bila tersedia suasana yang memungkinkan kebebasan berpikir yang kreatif. Hal ini sudah harus dimulai di taman kanak-kanak. Tak ada jalan lain - apalagi jalan yang lebih singkat - untuk mencapai prestasi tinggi dalam ilmu pengetahuan. Sayang masih ada ide islamisasi ilmu pengetahuan yang bertujuan lain, yang mengingatkan kita pada Jerman di tahun 30-an, yaitu usaha untuk memuliakn bangsa Jerman dengan menyingkirkan unsur Yahudi di bidang matematika dan menjadikan Biologi sebagai sarana legitimasi keunggulan ras Aria. Sama konyolnya, bila mahasiswa muslim secara sungguh-sungguh menuntut penelitian di bidang ilmu sejarah, sosiologi, kedokteran, politologi dan biologi (pelajaran evolusi) dikaitkan dengan ‘fakta’ dalam alQur’an dan Sunnah. Hal ini jelas sebuah kekeliruan. Ilmu pengetahuan baru bisa disebut islami, bila ada prestasi menonjol yang dihasilkan oleh muslim yang saleh, dan bila masyarakat menetapkan proritas lain, karena telah bisa melihat dari kacamata muslim. Impian tentang penyatuan ilmu pengetahuan tak dapat menggantikan spesialisasi. Juga tidak dengan komputerisasi bank data Islam yang universal dan analisa teks al-Qur’an dengan cara digital seperti di Institut Alif di Paris. 24 Demikian misalnya peraih Hadiah Nobel A. Abdessalam, dalam, Islam et Sciences, El Moujahid, Aljazair, tanggal 16-17 April 1989 25 Bandingkan Das Einbringen des Islam in das Wissen, Int. Inst. fuer Islamisches Gedenkengut und Muslim Studenten Vereinigung e.V..1988; Dawud Assad, The Islamisation of Knowledge, dalam: The Muslim World tanggal 21 Des 1985. 38 Singkatnya, ilmu pengetahuan Islam adalah ilmu pengetahuan, yang ditekuni oleh kaum muslimin dengan metode ilmiah dan dalam semangat ilmiah. Definisi lainnya hanyalah merupakan permainan kata-kata atau mempunyai makna yang berbeda. Untungnya, terutama di bidang ilmu non-eksakta, ada tanda-tanda kembalinya rasa haus akan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Dan wajar kalau muslim asal Eropa atau Amerika memainkan peranan penting dalam hal ini. Di antaranya adalah karya kehidupan islami yang luar biasa dari Leopold Weiss (Muhammad Asad, lahir tahun 1900 - 1992). Dalam tafsir al-Qur’annya ia tulis sebuah dedikasi: “li qawmin yatafakkarun - dipersembahkan bagi orang-orang yang berpikir.” 39