NANDONG SMONG NYANYIAN WARISAN SARANA PENYELAMATAN DIRI DARI BENCANA TSUNAMI DALAM BUDAYA SUKU SIMEULUE DI DESA SUKA MAJU: KAJIAN MUSIKAL,TEKSTUAL, FUNGSIONAL, DAN KEARIFAN LOKAL SKRIPSI SARJANA O L E H YOMI HARSA JUNINDI ALWI NIM: 120707003 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2017 i 2 NANDONG SMONG NYANYIAN WARISAN SARANA PENYELAMATAN DIRI DARI BENCANA TSUNAMI DALAM BUDAYA SUKU SIMEULUE DI DESA SUKA MAJU: KAJIAN MUSIKAL,TEKSTUAL, FUNGSIONAL, DAN KEARIFAN LOKAL SKRIPSI SARJANA YOMI HARSA JUNINDI ALWI NIM: 120707003 Disetujui Pembimbing I, Pembimbing II, Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001 Drs. Fadlin, M.A. NIP 196102201998031003 Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomuskologi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2017 ii KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Nandong Smong Nyanyian Warisan Sarana Penyelamatan Diri dari Bencana Tsunami dalam Budaya Suku Simeulue di Desa Sukamaju: Kajian Musikal, Tekstual, Fungsional, dan Kearifan Lokalnya.” Skripsi ini diajukan untuk menyelesaikan tugas akhir yang menjadi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn.) dari Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. selaku rektor Universitas Sumatera Utara beserta jajarannya. 2. Bapak Dr. Budi Agustono, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya beserta jajarannya. 3. Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. selaku ketua Departemen Etnomusikologi dan juga pembimbing I. Terima kasih banyak kepada Bapak Drs. Fadlin, M.A. selaku Kepala Laboratorium dan juga sebagai dosen pembimbing II. Tanpa bimbingan dan masukan dari kedua dosen pembimbing skripsi ini tidak akan bisa terselesaikan dengan baik. 4. Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd. selaku sekretaris Departemen Etnomusikologi. Dan terima kasih kepada seluruh staf dosen pengajar, dosen praktek dan pegawai di Departemen Etnomusikologi. iii 5. Pada kesempatan kali ini penulis ingin mempersembahkan dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai, Ayahanda Mohd. Arief, S.H. dan Ibunda tersayang Lawinah, Amd.Keb. Terima kasih atas ketulusan dan kasih sayang serta dukungan dalam bentuk moril dan materil hingga keterlibatan langsung di lapangan. 6. Dan juga terima kasih kepada adik kandung saya Febrina Munawara Alwi yang selalu memberikan semangat,“Rajin-rajin sekolah ya dek”. 7. Terima kasih kepada seluruh informan yang terlibat di dalam skripsi ini, terutama kepada Abangda Suherman dan Abangda Jamil yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan banyak informasi dan data-data mengenai objek penelitian. 8. Kepada Bapak dr. Armidin (salah satu budayawan Simeulue). Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih telah meluangkan waktu untuk wawancara dan memberikan pengetahuan tentang smong di Simeulue. 9. Kepada Kepala Desa Suka Maju Bapak Julnaidi, S.E. beserta staf terima kasih telah memberikan informasi tentang Desa Suka Maju. 10. Untuk yang terus membantu penulis mendapatkan inspirasi, Raudhatul Jannah, S.Sn., Rahmatika Luthfiana Sholikhah, dan Firlianda Ilham: “Semoga kita cepat sarjana juga.” 11. Terima kasih kepada teman-teman satu angkatan 2012 (12EFM) di Etnomusikologi yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu. Begitu juga seluruh pengurus IME (Ikatan Mahasiswa Etnomusikologi) dan seluruh pengurus IKA (Ikatan Alumni Etnomusikologi). iv Penulis telah melakukan hal yang terbaik dan semampu mungkin dalam tulisan ini. Namun, penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak dapat dikatakan sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Medan, Januari 2017 Penulis Yomi Harsa Junindi Alwi NIM: 120707003 v ABSTRAK Skripsi ini bertajuk “Nandong Smong Nyanyian Warisan Sarana Penyelamatan Diri dari Bencana Tsunami dalam Budaya Suku Simeulue di Desa Sukamaju: Kajian Musikal, Tekstual, Fungsional, dan Kearifan Lokalnya.” Penelitian ini mengkaji empat aspek dari nandong smong di Desa Sukamaju Simeulue Aceh, yaitu: (1) musikal, (2) tekstual, (3) fungsional, dan (4) kearifan lokalnya. Dalam penelitian ini, untuk mengkaji keempat aspek nandong smong, digunakan teori-teori tersendiri: untuk musikal digunakan teori weighted scale, untuk tekstual digunakan teori semiotik, untuk fungsional digunakan teori fungsi, dan kearifan lokal digunakan teori etnosains (etnometodologi). Metode dan teknik yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan berdasar kepada observasi lapangan, terlibat langsung, wawancara, dan perekaman data dalam bentuk audiovisual. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) dari aspek musikal, nandong smong menggunakan tangga nada mikrotonal khas Simeulue, dalam bentuk semi free meter, dan tekstur heterofonis; (2) dari aspek tekstual nandong smong adalah termasuk ke dalam jenis syair, terdiri dari lima bait, yang secara keseluruhan bercerita tentang apa itu tsunami (smong) dan bagaimana menyelamatkan diri dari smong tersebut, makna yang dikandung teks smong sebagian besar adalah makna denotatif dan sedikit saja makna konotatif yang metaforik; (3) secara fungsional, nandong smong memiliki guna dan fungsi. Penggunaan nandong smong adalah: (i) memeriahkan suasana pesta perkawinan, (ii) memeriahkan suasana pesta khitanan, (iii) memeriahkan upacara penyambutan tamu, (iv) untuk memeriahkan acara ulang tahun kemerdekaan Indonesia, (v) meresmikan gedung pemerintahan, (vi) untuk kegiatan pariwisata, (vii) pertunjukan budaya, dan lain-lainnya, sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara terdapat dua fungsi utama nandong smong yakni: (a) untuk memberitahu gejala dan fenomena tsunami serta (b) memberitahu bagaimana menyelamatkan diri dari bencana tsunami ini, ditambah fungsi-fungsi lainnya seperti: (c) menjaga keseimbangan kosmologis, (d) komunikasi, (e) kesinambungan kebudayaan, (f) memperkuat identitas kebudayaan Simeulue, (g) penghayatan agama Islam, (h) hiburan, dan (i) integrasi sosiobudaya. (4) Dari aspek keraifan lokal, maka nandong smong mengekspresikan kearifan orang Simeulue dalam menghadapi bencana. Kata kunci: nandong, smong (tsunami), musikal, tekstual, fungsional, kearifan lokal. vi DAFTAR ISI ABSTRAK ............................................................................................ KATA PENGANTAR .......................................................................... DAFTAR GAMBAR ............................................................................ DAFTAR ISI ........................................................................................ i ii iii v BAB I 1 1 17 17 17 18 19 19 25 26 27 28 31 19 25 33 34 35 38 38 39 39 40 PENDAHULUAN.................................................................. 1.1 Latar Belakang Masalah .................................................... 1.2 Pokok Masalah.................................................................. 1.3 Tujuan dan Manfaat .......................................................... 1.3.1 Tujuan ...................................................................... 1.3.2 Manfaat .................................................................... 1.4 Konsep dan Teori .............................................................. 1.4.1 Konsep ..................................................................... 1.4.2 Teori ........................................................................ 1.4.2.1 Teori Weighted Scale ................................... 1.4.2.2 Teori Semiotik ............................................. 1.4.2.3 Teori Fungsi................................................. 1.4.2.4 Teori Etnosains ............................................ 1.4.1 Konsep ..................................................................... 1.4.2 Teori ........................................................................ 1.5 Metode Penelitian ............................................................. 1.5.1 Kerja Lapangan (Field Work) ................................... 1.5.1.1 Studi Pustaka ................................................ 1.5.1.2 Observasi ...................................................... 1.5.1.3 Wawancara ................................................... 1.5.1.4 Dokumentasi ................................................. 1.5.2 Kerja Laboratorium (Desk Work) .............................. 1.6 Lokasi Penelitian ............................................................... BAB II: ETNOGRAFI UMUM SUKU SIMEULUE DI DESA SUKA MAJU, KECAMATAN SIMEULUE TIMUR, KABUPATEN SIMEULUE ACEH DAN NANDONG SMONG .................. 41 2.1 Asal-usul Suku Simeulue ................................................. 42 2.2 Wilayah Budaya Etnik Simeulue ...................................... 43 2.3 Masyarakat Simeulue di Desa Suka Maju ......................... 44 2.4 Sistem Religi .................................................................... 46 2.5 Sistem Kekerabatan .......................................................... 47 2.6 Sistem Matapencaharian................................................... 48 2.7 Bahasa ............................................................................. 49 2.8 Kesenian .......................................................................... 50 2.9 Sekilas Adat Simeulue ..................................................... 52 2.9.1 Adat Makan Sirih ................................................... 54 2.9.2 Masyarakat Adat Simeulue dan Alam ..................... 61 2.10 Nandong Smong di Simeulue ......................................... 66 vii BAB III: KAJIAN MUSIKAL ........................................................ 3.1 Pemusik ....................................................................... 3.2 Instrumen Pengiring dan Klasifikasi Organologi ........... 3.2.1 Biola .................................................................... 3.2.2 Kedang (Gendang) ............................................... 3.3 Transkripsi Vokal dan Musik Pengiring......................... 3.3.1 Teknik Trsnskripsi ................................................ 3.3.2 Hasil Transkripsi .................................................. 3.3.3 Strktur Pertunjukan ............................................... 3.4 Analisis ......................................................................... 3.4.1 Tangga Nada ....................................................... 3.4.2 Nada Dasar (Pitch Center) ................................... 3.4.3 Wilayah Nada ...................................................... 3.4.4 Jumlah Nada ....................................................... 3.4.5 Jumlah Inrterval ................................................... 3.4.6 Pola Kadensa ...................................................... 3.4.7 Formula Melodi ................................................... 3.4.8 Analisis Bentuk, Frase, dan Motif Melodi Nandong Smong .................................................. 3.4.9 Kontur ................................................................. 3.4.10 Analisis Waktu .................................................. 3.4.10.1 Semi Free Meter ................................... 3.4.10.2 Aksentuasi ............................................ 3.4.10.3 Tempo .................................................. 3.4.10.4 Durasi .................................................. 60 60 62 62 63 65 65 67 75 79 79 80 83 84 85 87 88 89 94 95 95 97 98 100 BAB IV: KAJIAN TEKSTUAL ......................................................... 4.1 Nandong Smong sebagai Syair....................................... 4.2 Struktur Teks Nandong Smong ..................................... 4.3 Arti Harfiah ................................................................... 4.4 Makna Denotatif dan Konotatif Nandong Smong ........... 102 103 113 115 116 BAB V: KAJIAN FUNGSIONAL ....................................................... 5.1 Pengetian Penggunaan dan Fungsi ................................ 5.2 Penggunaan Nandong Smong ........................................ 5.2.1 Untuk Memeriahkan Suasana Upacara Pesta Pernikahan ........................................................... 5.2.2 Untuk Mememriahkan Suasana Upacara Pesta Khitanan .............................................................. 5.2.3 Untuk Memeriahka Upacara Penyambutan Tamu Daerah ....................................................... 5.2.4 Berbagai Guna Lainnyya ..................................... 5.3 Fungsi Nandong Smong ................................................. 5.3.1 Fungsi Memberitahu Gejala dan Peristiwa Tsunami ............................................................... 5.3.2 Fungsi Memberitahu Cara Menyelamatkan Diri dari Bencana Tsunami .................................. 5.3.3 Fungsi Menjaga Keseimbangan Kosmologis ........ 121 122 126 viii 127 132 134 135 135 136 137 138 5.3.4 Fungsi Komunikasi ............................................... 5.3.5 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan .................... 5.3.6 Fungsi Memperkuat Identitas Kebudayaan Simeulue ............................................................. 5.3.7 Fungsi Penghayatan Agama Islam ........................ 5.3.8 Fungsi Hiburan ..................................................... 5.3.9 Fungsi Integrasi Sosiobudaya ................................ 139 141 BAB VI: KAJIAN KEARIFAN LOKAL ........................................ 6.1 Pengertian Kearifan Lokal ............................................ 6.2 Kepercayaan Tradisional Simeulue dan Agama Islam sebagai Sumber Kearifan Lokal .......................... 6.3 Kearifan tentang Menghadapi Bencana ......................... 6.3.1 Bencana ............................................................... 6.3.2 Pembagian Bencana dan Faktor-faktor Terjadinya Bencana ............................................. 6.3.3 Bencana Gempa dan Tsunami di Aceh ................. 6.3.4 Kearifan Berguru kepada Alam ............................ 149 149 BAB VII: KESIMPULAN DAN SARAN ......................................... 7.1 Kesimpulan ................................................................... 7.2 Saran ............................................................................. 166 166 168 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 169 ix 143 143 145 146 153 155 155 157 158 163 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mengisi dan menjalani kehidupannya, manusia memiliki keperluan individu dan mengatur dirinya sendiri, serta kepentingan sosial sebagai bahagian dari masyarakatnya.1 Selain itu manusia juga mnjadi bahagian yang tidak terpisahkan dari alam sekitar, baik berupa tumbuhan, hewan, tanah, bahkan bumi, planet lain, bulan, bintang, galaksi, dan seluruhnya. Alam ini mengajarkan manusia bagaimana belajar mengelola kehidupannya. Pada bumi yang berada di kawasan kutub atau daerah dingin, manusia menyesuaikan dengan keadaan di tempat yang seperti ini yang beriklim relatif dingin dengan membuat pakaian yang relatif tebal, yang terbuat dari bulu hewan, atau juga benang katun, wol, dan sejenisnya yang berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan hawa dingin. Sebaliknya pada alam yang beriklim tropis, manusia membuat pakaian relatif lebih tipis, untuk menyesuaikan tubuh dengan kondisi panas yang terjadi di lingkungannya. Demikian pula pengelolaan makanan, di daerah dingin biasanya makanan yang diasup oleh manusia adalah makanan berupa lemak, ditambah dengan rempahrempah untuk menjaga daya panas tubuh, demikian pula minuman yang dapat menjaga pasa tubuh seperti wodka, sake, anggur, dan sejenisnya. Di daerah 1 Masyarakat (society) adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan terikat oleh suatu rasa identiti bersama. Lihat Koentjaraningrat (1974:11). Menurut J.L. Gillin dan J.P. Gillin, yang dimaksud masyarakat adalah: "... the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are operative,"--yang ertinya: "kelompok manusia yang terbesar, yang secara umum memiliki adat istiadat, tradisi, sikap, dan rasa bersatu, yang merupakan kesatuan tingkah laku mereka." Lebih jauh lihat J.L. Gillin dan J.P. Gillin (1954:139). 1 tropis makanan dan minuman yang diasup manusia adalah yang khas kawasan ini, seperti mereka banyak minum air untuk menjaga sirkulasi air dalam tubuh, demikian pula makanan berupa karbohidrat, sayuran segar, dan sejenisnya. Jadi intinya alam memberikan pelajaran berharga bagi manusia di manapun di muka bumi ini. Alam juga selain sebagai sumber kehidupan, juga dapat memunculkan berbagai peristiwa bencana. Di antara bencana-bencana alam itu adalah: banjir (baik dari laut maupun sungai), kemarau, kebakaran hutan, kebakaran hunian, asap, gunung meletus yang memuntahkan lahar dan juga asap, bahkan awan panasnya menyapu bersih lingkungan di seputar gunung tersebut, sampai juga di tepi lautan berupa bencana tsunami. Dalam konteks Indonesia dan dunia, bencana tsunami 2 yang terkenal adalah yang terjadi pada tahun 2004 yang lalu, 2 Tsunami (bahasa Jepang: 津波; tsu = pelabuhan, nami = gelombang, secara harafiah berarti "ombak besar di pelabuhan") adalah perpindahan air yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba, disebabkan oleh gempa bumi yang berpusat di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau hantaman meteor di laut. Gelombang tsunami dapat merambat ke segala arah. Tenaga yang dikandung dalam gelombang tsunami adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan kelajuannya. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat dengan kecepatan 500–1000 km per jam. Setara dengan kecepatan pesawat terbang. Ketinggian gelombang di laut dalam hanya sekitar 1 meter. Dengan demikian, laju gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang berada di tengah laut. Ketika mendekati pantai, kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km per jam, namun ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter. Hantaman gelombang tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir pantai. Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena tsunami bisa diakibatkan karena hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami. Dampak negatif yang diakibatkan tsunami adalah merusak apa saja yang dilaluinya, seperti bangunan, tumbuhan, dan mengakibatkan korban jiwa manusia, genangan, pencemaran air asin pada lahan pertanian, tanah, dan air bersih. Sejarawan Yunani bernama Thucydides merupakan orang pertama yang mengaitkan tsunami dengan gempa bawah laut. Namun hingga abad ke-20, pengetahuan mengenai penyebab tsunami masih sangat minim. Penelitian masih terus dilakukan untuk memahami penyebab tsunami: geologi, geografi, dan oseanografi pada masa lalu menyebut tsunami sebagai "gelombang laut seismik.” Beberapa kondisi meteorologis, seperti badai tropis, dapat menyebabkan gelombang badai yang disebut sebagai meteor tsunami yang ketinggiannya beberapa meter di atas gelombang laut normal. Ketika badai ini mencapai daratan, bentuknya bisa menyerupai tsunami, meski sebenarnya bukan tsunami. Gelombangnya bisa menggenangi daratan. Gelombang badai ini pernah menggenangi Burma (Myanmar) pada Mei 2008. Wilayah di sekeliling Samudra Pasifik memiliki Pacific Tsunami Warning Centre (PTWC) yang mengeluarkan peringatan jika terdapat ancaman tsunami pada wilayah ini. Wilayah di 2 dengan titik pusat kejadian di Aceh. Walau demikian, tsunami yang terjadi di Aceh ini, dalam konteks dunia, bukanlah satu-satunya yang terjadi. Secara sejarah, tsunami terjadi pula di berbagai belahan dunia ini, termasuk di Jepang. Istilah tsunami sendiri berasal dari kata dalam bahasa Jepang. Dalam konteks dunia, berikut ini adalah 27 peristiwa tsunami. 1. Tahun 426 SM: Teluk Maliakos, Yunani Timur. Inilah pertama kalinya orang menghubungkan tsunami dengan gempa yang terjadi sebelumnya. 2. Tanggal 21 Juli 365: Alexandria, Mediterania Timur, Tsunami setinggi lebih dari 30 meter. Membunuh ribuan orang, kapal terhembalang ke daratan sejauh 3,2 kilometer. 3. Tahun 684: Hakuho, Jepang, tsunami pertama yang tercatat di Jepang, setelah gempa 8,4 pada skala Richter. 4. Tahun 887: Ninna Nankai, Jepang, tsunami melantakkan Kyoto. Pantai dan teluk Osaka rusak berat. 5. Tahun 1361: Shuhei Nankai, Jepang, gempa 8,4 SR dan tsunami Nankaido menewaskan 660 orang, menghancurkan 1.700 rumah. 6. Tahun 1541: Nueva Cadiz, Venezuela, Kota Nueva Cádiz, yang berpenghuni 1.500 orang, disapu gempa dan tsunami. 7. Tahun 1605: Keich, Nankaido, Jepang, gempa 8,1 SR dan tsunami 30 meter menenggelamkan 5.000 orang. 8. Tahun 1700: Pulau Vancouver, Kanada, gempa Cascadia, yang berkekuatan 9 MW, menyebabkan tsunami besar yang merambat ke Pasifik Barat Laut hingga ke Jepang. sekeliling Samudera Hindia sedang membangun Indian Ocean Tsunami Warning System (IOTWS) yang akan berpusat di Indonesia (https://id.wikipedia.org/wiki/Tsunami). 3 9. Tahun 1707: Jepang, gempa 8,4 SR memicu tsunami 25,7 meter yang menghantam Kochi Prefecture, menghancurkan 29 ribu rumah dan menewaskan lebih dari 50 ribu orang. 10. Tahun 1755: Lisabon, Portugal, tsunami setinggi 15 meter menewaskan ratusan ribu orang. Dalam empat jam, gelombang tsunami sampai ke Cornwall, Inggris, sejauh 1.600 kilometer. 11. Tahun 1771: Kepulauan Yaeyama, Okinawa, Jepang, tsunami setinggi 85 meter menenggelamkan belasan ribu orang. 12. Tahun 1792: Gunung Unzen, Kyushu, Jepang, letusan gunung api menyebabkan tanah longsor, yang menimbulkan tsunami setinggi 100 meter (megatsunami kecil). 13. Tahun 1833: Sumatera, Hindia Belanda (Indonesia), gempa berkekuatan 8,8-9,2 SR mengakibatkan tsunami besar yang menyapu pesisir barat Sumatera. 14. Tahun 1854: Nankai, Tokai, dan Kyushu, Jepang, gempa Ansei terdiri atas dua gempa 8,4 SR dan satu gempa 7,4 SR dalam tiga hari, yang menghasilkan gelombang setinggi 28 meter dan menewaskan 100 ribu orang. 15. Tahun 1868: Kepulauan Hawaii, gempa 7,5 SR memicu longsor Gunung Mauna Loa, yang memicu tsunami setinggi 18 meter. Tsunami menyapu semua rumah dan manusia di pulau itu. 4 16. Tahun 1868: Arica, Cile, gempa 8,5 SR di palung laut Peru-Cile melahirkan tsunami yang menerjang pelabuhan Arica dan Peru, menewaskan 70 ribu orang. 17. Tahun 1883: Krakatau, Selat Sunda, Hindia Belanda (Indonesia), muntahan magma Krakatau menyebabkan dasar laut runtuh dan menimbulkan tsunami hingga 40 meter di atas permukaan laut. Tsunami menerjang Samudra Hindia dan Pasifik hingga ke pantai barat Amerika dan Amerika Selatan. 18. Tahun 1896: Meiji Sanriku, Jepang, tsunami mencapai 30 meter dan menewaskan 27 ribu orang. 19. Tahun 1923: Kanto, Jepang, gempa besar Kanto meratakan Tokyo, Yokohama, dan sekitarnya, diikuti tsunami 12 meter. 20. Tahun 1958: Teluk Lituya, Alaska, Amerika, gempa menyebabkan megatsunami setinggi 520 meter. 21. Tahun 1960: Valdivia, Cile, gempa terbesar, 9,5 SR di lepas pantai Cile memicu tsunami paling dahsyat pada abad ke-20. Gelombang setinggi 25 meter menyebar ke Samudra Pasifik hingga pantai Sanriku, Jepang, 22 jam kemudian. Lebih dari 6.000 orang di seluruh dunia tewas. 22. Tahun 1964: Alaska, Amerika, gempa 9,2 SR mengguncang Alaska, British Columbia, California, dan kota pantai di barat laut Pasifik serta menimbulkan tsunami lebih dari 30 meter. 23. Tahun 2004: Pantai barat Aceh, Samudra Hindia, pada 26 Desember, gempa 9,1 SR menimbulkan tsunami besar yang menewaskan 166 ribu di Aceh dan 320 ribu orang dari delapan negara yang dilewati gelombang itu 5 hingga ke Thailand, pantai timur India, Sri Lanka, bahkan pantai timur Afrika di Somalia, Kenya, dan Tanzania. 24. Tahun 2005: Nias, Indonesia, gempa 8,7 SR di lepas pantai Nias menewaskan 1.300 orang. 25. Tahun 2006: Pangandaran, Indonesia, gempa 7,7 SR mengguncang dasar Samudra Hindia, 200 km selatan Pangandaran, memicu gelombang tinggi hingga 6 meter di Pantai Cimerak. Sekitar 800 orang dilaporkan hilang. 26. Tahun 2007: Kepulauan Solomon, gempa 8,1 SR dekat Kepulauan Solomon menimbulkan tsunami setinggi 5 meter, yang menyebar hingga ke Jepang, Selandia Baru, dan Hawaii. 27. Tahun 2011: Sendai, Jepang, gempa kekuatan 8,9 SR di pesisir timur Honshu, Jepang, memicu tsunami setinggi 10 meter dan menyebar ke Samudra Pasifik. (sumber: https://m.tempo.co/read/news/2011/03/12 12/095319473/27-tsunami-dahsyat-yang-pernah-mengguncang-dunia). Kembali ke peristiwa tsunai di Aceh. Pada hari Minggu pagi, 26 Desember 2004, di berbagai kawasan di Aceh mengalami bencana alam gempa bumi yang mencapai 9,3 skala Ritcher, yang kemudian menimbulkan tsunami3 yang mengakibatkan kurang lebih 500.000 nyawa melayang dalam sekejap di seluruh tepian pesisir pantai Aceh yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Di daerah Aceh merupakan korban jiwa terbesar di dunia dan ribuan bangunan hancur lebur, ribuan mayat hilang (tidak ditemukan), dan ribuan 3 Dalam skripsi ini kata tsunami ditulis dengan huruf miring (italics) hanya pada kata pertama di setiap bab saja, tidak keseluruhannya, untuk mengefektifkan penulisan. Huruf miring ini biasanya merujuk kepada istilah bukan bahasa Indonesia, seperti bahasa etnik (daerah) dan juga asing. Huruf miring juga digunakan untuk menguatkan tekanan tifografis. Lebih lanjut lihat pada PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015. 6 mayat pula dikuburkan secara massal. Gempa terjadi tepatnya jam 07.58.53 WIB, pusat gempa terletak pada bujur 3.316o N 95.854 o E kurang lebih sebelah barat Aceh sedalam 10 kilometer di bawah permukaan laut. Gempa ini berkekuatan 9,3 dalam skala richter4 dan dengan ini merupakan gempa bumi terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir yang menghantam Aceh, Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka, bahkan sampai pantai Timur Afrika. Kepanikan ini terjadi dalam hitungan 500600 detik (sekitar 10 menit). Beberapa pakar gempa menganologikan kekuatan gempa ini mampu membuat seluruh bola bumi bergetar di atas 1 cm. Gempa yang berpusat di tengah Samudera Indonesia ini juga memicu gempa bumi di berbagai belahan dunia. Begitu dahsyatnya bencana alam tsunami ini, hingga samapai sekarang memori masyarakat Aceh, Indoneia, bahkan dunia masih terus terkenang peristiwa tersebut, terutama setiap tanggal 26 Desember setiap tahunnya. Di sisi lain, selain dari dampak fisik, psikologis, terdapat pula peristiwa lainnya, sebagai ekspresi dari kearifan lokal setempat, khususnya di Simeuleu, dalam merespons bencana tsunami ini. Di pulau Simeulue yang letaknya 4 Skala Richter atau disingkat SR dapat didefinisikan sebagai logaritma (basis 10) dari amplitudo maksimum, yang diukur dalam satuan mikrometer, dari rekaman gempa oleh instrumen pengukur gempa (seismometer) Wood-Anderson, pada jarak 100 km dari pusat gempanya. Sebagai contoh, misalnya kita mempunyai rekaman gempa bumi (seismogram) dari seismometer yang terpasang sejauh 100 km dari pusat gempanya, amplitudo maksimumnya sebesar 1 mm, maka kekuatan gempa tersebut adalah log (10 pangkat 3 mikrometer) sama dengan 3,0 skala Richter. Skala ini diusulkan oleh fisikawan Charles Richter. Untuk memudahkan orang dalam menentukan skala Richter ini, tanpa melakukan perhitungan matematis yang rumit, dibuatlah tabel sederhana seperti gambar di samping ini. Parameter yang harus diketahui adalah amplitudo maksimum yang terekam oleh seismometer (dalam milimeter) dan beda waktu tempuh antara gelombang-P dan gelombang-S (dalam detik) atau jarak antara seismometer dengan pusat gempa (dalam kilometer). Dalam gambar di samping ini dicontohkan sebuah seismogram mempunyai amplitudo maksimum sebesar 23 milimeter dan selisih antara gelombang P dan gelombang S adalah 24 detik maka dengan menarik garis dari titik 24 dt di sebelah kiri ke titik 23 mm di sebelah kanan maka garis tersebut akan memotong skala 5,0. Jadi skala gempa tersebut sebesar 5,0 skala Richter. 7 sekitar 150 km dari lepas pantai barat Aceh dan berada di atas pertemuan lempeng Asia-Australia dan Samudra Hindia ini, hanya tujuh orang warga pulau Simeulue yang meninggal dunia. Salah satu faktor kultural adalah nenek moyang orang Simeulue telah mewariskan nandong smong. Nandong smong adalah sebuah genre nyanyian rakyat Simeulue Aceh, yang dapat dikelompokkan kepada cerita rakyat (folklor)5 berupa penjelasan atau narasi multi-indeksikal mengenai situasi alam yang dikenali dengan tsunami. Dalam nyanyian ini terkandung ajaran budaya, jika terjadi gempa, kemudian terdapat ombak besar di lautan, dan ombak tersebut menenggelamkan kampung, kemudian terjadi lagi gempa yang kuat, dan air laut surut, maka dinasehatkan agar seluruh masyarakat di kawasan ini segera lari ke tempat yang tinggi, agar selamat dari bencana alam, yang kemudian secara internasional disebut dengan tsunami. Peristiwa alam berupa tsunami ini juga direspons oleh masyarakat Aceh pada umumnya dan termasuk Simeulue yang religius. Di dalam ajaran Islam, mengenai bencana (termasuk tsunami ini) juga dijelaskan di berbagai ayatnya. Salah satu ayat Al-Quran adalah Surah Al An’aam ayat 63. 5 Folklor secara umum dapat dikonsepkan sebagai cerita rakyat, yakni cerita yang berkembang di dalam kebudayaan rakat. Dari bentuk atau genre folklor, yang paling banyak diteliti para ahli folklor adalah cerita prosa rakyat. Menurut William R. Bascom, ceritera prosa rakyat dapt dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: (1) mite (myth), (2) legenda (legend) dan (3) dongen (folktale). Mitos adalah ceritera prosa rakyat yag dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Di sisi lain, legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci—namun legenda ditokohi oleh manusia, meski kadangkala memiliki sifatsifat luar biasa, dan sering juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal sekarang, waktu terjadinya belu begitu lama. Konsep mengenai dogeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita, tidak terikat oleh waktu dan ruang (lihat lebih lanjut Bascom 1965:3-20). Parafrase pengertian tiga bentuk ceritera rakyat ini lihat James Danandjaja (1984:50-51). 8 63. Katakanlah: "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan: "Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur." Ayat Al-Quran di atas meberikan penjelasan bahwa Allah menurunkan bencana baik di darat maupun di laut (dalam hal ini tsunami dari laut). Setiap yang ditimpa bencana sudah seharusnya berrdoa dengan rendah diri dan dengan suara yang lembut. Kemudian selepas Allah menyelematkan mereka maka jadilah mereka manusia yang bersyukur. Nandong smong juga selain sebagai pembelajaran tentang apa itu tsunami, juga di dalmnya mengandung unsur-unsur doa, agar manusia diselamatkan dari bencana tsunami. Menurut penjelasan para informan, berangkat dari bencana alam serupa yang terjadi pada tahun 1833 dan 1907 para leluhur di kepulauan ini mewariskan kisah nyata yang mengisahkan tentang tsunami, apabila terjadi gempa besar, air laut surut, dan hewan berlarian ke gunung, maka seluruh penduduk diwajibkan juga untuk segera berlari ke dataran tinggi yang lebih tinggi, guna untuk menghindari hantaman ombak laut yang dahsyat. Para pendahulu kami mewariskan ini melalui sebuah nyanyian yang disebut sebagai nandong smong. Dari beberapa teks dari nandong smong salah satu cuplikan di antaranya adalah sebagai berikut. 9 Unen ne alek linon Fesang bakat ne mali Manoknop sao hampong Tibo-tibo mawi Diawali oleh gempa Disusul ombak yang besar sekali Tenggelam seluruh kampung Tiba-tiba saja Anga linon ne mali Uwek suruik sahuli Maheya mihawali Fano me singa tenggi Jika gempanya kuat Disusul air yang surut Segeralah cari Tempat kalian yang lebih tinggi Teks nandong smong di atas adalah menceritakan tentang jikalau kejadian alam terjadi seperti itu, maka bersiap-siaplah semuanya untuk menyelamatkan diri di tempat yang lebih tinggi untuk menghindari bencana alam, yang kemudian disebut tsunami. Secara musikal, nandong smong ini mengutamakan komunikasi tekstual dibanmdingkan musikalnya. Secara etnomusikologis, nandong smong ini dapat dikategorikan sebagai musik yang logogenik,6 yakni lebih mengutamakan sajian teks dibandingkan melodi atau ritmenya. Tujuan utama adalah memberikan arah bagaimana merespons gejala alam berupa bencana tsunami. Seterusnya nanadong smong ini, apabila dikaitkan dengan konteks kebudayaan di mana ia hidup, maka memiliki guna dan fungsi. Di antara guna nandong smong adalah belajar secara budaya apa itu tsunami dan bagaimana 6 Logogenik adalah sebuah penajian music dalam konteks kebudayaan yang mengutamakan teks atau lirik, sehingga berkaitan erat dengan seni sastra dan bahasa. Di dalam kebudayaan masyarakat Sumatera Utara, sebagai contoh dalam budaya Angkola dan Mandailing dikenal musik onang-onang dan jeir, dalam kebudayaan Pesisir dikenal sikambang, di dalam masyarakat Melayu ditemukan syair, gurindam, nazam, sinandong, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sebaliknya terdapat pula sajian musik melogenik, yaitu mengutamakan sajian musik itu sendiri dalam bentuk ritme, melodi, harmoni, atau gabungan keseluruhannya. Dalam tekik sajian demikian, unsur teks (lirik) lagu tidak diutamakan. Di dalam kebudayaan masarakat Sumatera Utara, sajian seperti ini contohnya adalah gordang sambilan, gordang tano (Angkola dan Mandailing), ensambel genderang sipitu-pitu (Pakpak dan Dairi), gondang sabangunan (Batak Toba), dan lain-lainnya. 10 menyelematkan diri dari bencana tsunami. Lebih jauh, fungsi nandong smong adalah sebagai sarana penyelamatan diri dari bencana tsunami, kontinuitas generasi manusia, menjaga hubungan manusia dengan manusia, juga dengan alam, dan termasuk manusia dengan Tuhan, yang di dalam konsep masyarakat Simeulue yang berpegang kepada ajaran Islam adalah menjaga hubungan horizontal yang disebut hablum minannas dan hubungan vertikal yang diistilahkan dengan hablum minallah. Fungsi lainnya dari nandong smong adalah melestarikan kebudayaan Simeulue, memperkuat identitas kebudayaan, sebagai sarana komunikasi, hiburan, dan lain-lainnya. Selain itu, menurut pengalaman penulis, nandong smong ini selama sekitar dua dasawarsa terakhir selalu disajikan dalam bentuk seni pertunjukan. Misalnya untuk menyambut tetamu di Simeulue, peresmian gedung baru, pertunjukan budaya, dan sejenisnya. Perkembangan ini adalah sebagai salah satu tujuan sosialisasi nandong smong di dalam masyarakat, juga memperkuat identitas kebudayaan Simeulue yang memiliki ciri khasnya, dan juga fungsi merespons gejala alam akan terjadinya bencana tsunami, dan lain-lainnya. Kalau dikaji lebih jauh, nandong smong ini mengandung berbagai kearifan lokal (local wisdom). Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap 11 sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai kearifan. Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai- nilai tersebut yang akan menjadi alasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku mereka (http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifanlokal.pdf, diunduh 2 Maret 2015). Kearifan lokal menurut Ridwan (2008), merupakan pengetahuan yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat penuh keadaban. Dalam kerangka kajian terhadap nandong smong ini, maka menurut penulis terdapat berbagai kearifan lokal. Di antaranya adalah: (1) kearifan 12 manusia menjaga hubungan dengan alam, (2) kearifan merespon tanda-tanda alam yang akan menimbulkan bencana tsunami, (3) kearifan pendidikan kosmologis kepada generasi berikutnya, (4) kearifan menjaga identitas kebudayaan lokal, dan lain-lain. Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut dalam bentuk karya ilmiah dengan pendekatan etnomusikologis. Etnomusikologi adalah sebuah ilmu yang mengkaji musik dalam konteks kebudayaan. Nandong smong ini sangat relevan untuk dikaji secara ilmiah melalui disiplin etnomusikologi, dengan fokus kajian musik di dalam konteks kebudayaan, baik secara struktural dari disiplin musikologi, maupun secara kontekstual dari disiplin antropologi (etnologi), seperti yang didefinisikan oleh Merriam, sebagai berikut. Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many 13 provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies have been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).7 Apa yang dikemukakan oleh Merriam seperti kutipan di atas, bahwa para pakar atau ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benihbenih pembagian ilmu, yaitu musikologi dan antropologi. Selanjutnya dalam memfusikan kedua disiplin ini, maka dalam etnomusikologi akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu, tentu saja setiap etnomusikolog akan berada dalam fokus keahlian ilmu pada salah satu bidangnya saja, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan 7 melakukan studi musik dalam Di dalam konteks pengaplikasian disiplin etnomusikologi di Indonesia dan dunia, terdapat sebuah buku yang terus populer sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya, yaitu karya Alan P. Merriam, yang bertajuk The Anthropology of Music. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang berciri khas etnomusikologis. 14 konteks etnologisnya. Dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Hal tersebut telah disarankan secara bertahap oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" Jerman dan melakukan Amerika, etnomusikologi yang sebenarnya tidak persis sama. studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik di Mereka dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik. Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masingmasing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya. Secara khusus, mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang 15 terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.8 Dari semua penujelasan tentang apa itu etnomusikologi, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa etnomusikologi adalah sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang merupakan hasil fusi dari antropologi (etnologi) dan musikologi, yang mengkaji musik baik secara struktural dan juga sebagai fenomenal sosial dan budaya manusia di seluruh dunia. Para ahlinya (lulusan sarjana etnomusikologi atau peringkat magister dan doktoral) disebut sebagai etnomusikolog. Ilmu ini sangat relevan dalam mengkaji musikal, tekstual, fungsional, dan kearifan yang terkandung di dalam nandong smong pada kebudayaan masyarakat Simeulue. Oleh sebab itu, timbul pertanyaan di benak penulis, apakah sebenarnya pengertian smong bagi masyarakat pendukungnya yakni etnik Simeulue? 8 Buku tersebut ini disunting oleh seorang etnomusikolog dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, yaitu R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan judul ringkas Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya. 16 Bagaimanakah makna yang terkandung pada nandong smong tersebut? Pada saat apa nandong smong tersebut dinyanyikan? Benarkah smong merupakan kearifan lokal? Dengan demikian penulis memberi judul skripsi ini dengan “Nandong Smong Seni Warisan Suku Simeulue di Desa Sukamaju Simeulue sebagai Sarana Penyelamatan Manusia dari Bencana Tsunami: Kajian Musikal, Tekstual, Fungsional dan Kearifan Lokal.” 1.2 Pokok Permasalahan Penulis membatasi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini, agar penulisan ini lebih terarah nantinya. Adapun pokok permasalahan tersebut adalah: 1. Bagaimanakah struktur musikal nandong smong pada suku Simeulue di Desa Sukamaju? 2. Bagaimanakah makna tekstual yang terkandung dalam nandong smong pada suku Simeulue di Desa Sukamaju? 3. Sejauh apa fungsi nandong smong pada suku Simeulue di Desa Sukamaju? 4. Kearifan lokal seperti apa yang terkandung dalam nandong smong pada suku Simeulue di Desa Sukamaju? 1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan Penulis memiliki beberapa tujuan dalam penulisan skripsi ini. Berikut adalah tujuan tersebut: 17 1. Mengetahui dan menganalisis makna tekstual yang terkandung dalam nandong smong pada suku Simeulue di Desa Sukamaju. 2. Mengetahui dan menganalisis struktur musikal nandong smong pada suku Simeulue di Desa Sukamaju. 3. Mengetahui dan menganalisis sejauh apa fungsi nandong smong pada suku Simeulue di Desa Sukamaju? 4. Mengetahui dan menganalisis kearifan lokal seperti apa yang terkandung dalam nandong smong pada suku Simeulue di Desa Sukamaju? 1.3.2 Manfaat Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi: 1. Pemerintah Daerah Penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah daerah dalam melestarikan budaya lokal dengan menjadikan skripsi ini kedalam sebuah buku. 2. Kalangan Akademis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan kalangan akademis mengenai tradisi lisan Smong yang ada di Simeulue. 3. Penulis Manfaat penelitian ini bagi penulis adalah menambah wawasan tentang Smong yang merupakan tradisi lisan dari kampung halaman penulis. 18 1.4 Konsep dan Teori Agar jelas pemahaman mengenai konsep dan teori, maka di dalam skripsi ini dijelaskan dua terminologi tersebut. merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Merton mendefenisikan sebagai berikut: “Konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati. Seterusnya, konsep menentukan antara variabel-variabel mana kita ingin menentukan hubungan empiris” (Merton, 1963:89). Selanjutnya yang dimaksud dengan teori yang menjadi dasar acuan di dalam skripsi ini adalah merujuk kepada uraian Sumantri (1993:143), yang menurutnya, teori merupakan landasan atau kerangka berfikir dalam membahas permasalahan. Teori juga merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan. 1.4.1 Konsep Di dalam skripsi ini konsep yang perlu dijelaskan adalah: (1) nandong, (2) smong, (3) tekstual, (4) musikal, (5) fungsional, dan (6) kearifan lokal. Penjelasan ini diperlukan untuk lebih mengarahkan tema penelitian yang penulis lakukan. Yang pertama, nandong merupakan salah satu kesenian tradisional yang ada di Kabupaten Simeulue. Belum ada buku yang menuliskan tentang arti dari kata nandong, penulis sebagai putra daerah Simeulue berpendapat 19 bahwa kata “nandong” diambil dari bahasa Indonesia, yaitu “senandung.” Senandung berarti nyanyian atau alunan lagu dengan suara lembut untuk menghibur diri atau menidurkan bayi. Oleh karena bahasa yang digunakan mirip seperti minang yang bnayak menggunakan huruf vocal “O”, kata senandung perlahan berubah menjadi “senandong” hingga menjadi kebiasaan masyarakat menyebut nandong. Jadi, nandong adalah nyanyian atau alunan lagu yang dinyanyikan dengan makna lirik yang bertujuan untuk mengingatkan, menasehati, dan memberitahu kepada penonton tentang kehidupan sehari-hari. Kedua, istilah smong berasal dari bahasa Simeulue yang artinya air laut naik ketika gempa bumi atau lebih dikenal dengan istilah tsunami (dalam bahasa Jepang). Jadi, nandong smong adalah jenis nyanyian atau alunan lagu yang berkisah tentang peristiwa tsunami yang menghantam pulau Simeulue pada tahun 1833 dan 1907 silam. Oleh karena itu, pada peristiwa tsunami yang terjadi tahun 2004 lalu sebagian besar masyarakat suku Simeulue dapat selamat. Dari nyanyian tersebut akan menghasilkan suatu makna. Makna tersebut adalah suatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi dari suatu kata atau teks yang kemudian terbagi menjadi dua bagian, yaitu makna konotatif dan makna denotatif. Makna konotatif adalah makna kata yang terkandung arti tambahan sedangkan makna denotatif adalah kata yang tidak mengandung arti tambahan atau disebut makna sebenarnya (Keraf, 1991:25). Ketiga musikal, yang merupakan usnur serapan dari bahasa Inggris musical. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata musikal berarti: (1) berkenaan dengan musik, (2) mempunyai kesan musik, (3) mempunyai rasa 20 peka terhadap musik. Dalam skripsi sarjana ini, konsep musikal dikaitan dan merujuk kepada nandong smong. Dalam hal ini nandong smong berkait dengan musik, di dalamnya memiliki unsur-unsur nada dan waktu. Nandong smong juga memiliki kesan sebagai musik, dalam hal ini adalah teks yang dinyanyikan yang berakar dari tradisi nyanyian Simeulue. Nandong smong juga bagi masyarakat pendukungnya dirasakan memiliki aspek musik, yang bagi senimannya haruslah peka terhadap melodi dan ritme nandong smong ini. Keempat istilah tekstual, yang juga merupakan unsur serapan dari bahasa Inggris, textual. Tekstual adalah kata sifat dari teks. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang dimaksud teks adalah: (1) naskah yang berupa a. kata-kata asli dari pengarang; b. kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan; c. bahan tertulis untuk memberikan pelajaran, berpidato, dean sebagainya. (2) wacana tertulis. Dalam konteks penelitian ini, aspek tekstual nandong smong dikaitkan dengan teks (naskah) tradisi yang diwariskan secara lisan berupa nyanyian, juga kutipan dari ajaran adat berupa teks mengenai tsunami dan cara menyelamatkan diri dsari bencana tsunami tersebut. Juga teks sebagai sarana pembelajaran tentang apa itu tsunami dan cara menyelamatkan diri dari bencana yang ditimbulkannya. Teks nandong smong adalah wacana kelisanan, yang pada masa sekarang sudah dituliskan. Kelima fungsional di dalam bahasa Indonesia ini juga adalah sebagai unsur serapan dari bahasa Inggris functional. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan fungsional adalah kata sifat yang meksudnya (1) berdasarkan jabatan, (2) dilihat dari segi fungsi. Kemudian yang dimaksud dengan fungsi adalah: (a) jabatan atau pekerjaan, (b) faal, yakni 21 kerja bagian-bagian tubuh, (3) dalam ilmu matematika berarti besaran yang berhubungan, jika besaran yang satu berubah, maka besaran yang lain juga berubah; (4) kegunaan suatu hal; (5) Di dalam ilmu linguistik berarti peran sebuah unsur bahasa di satuan sintaksis yang lebih luas (seperti nomina berfungsi sebagai subjek). Kata bentukan dari fungsi adalah kata kerja berfungsi, yang artinya adalah (a) berkedudukan atau bertugas sebagai; dan (b) berguna, menjalankan tugasnya. Dalam kaitannya dengan skripsi ini, yang berkaitan dengan studi fungsional, maka kata fungsional merujuk bagaimana nandong smong berperan, bertugas, berguna, memberikan dampak secara sosiokultural kepada masyarakat pendukungnya, yakni masyarakat Simeulue, khususnya di daerah penelitian. Keenam kearifan lokal yang merupakan istilah yang sangat populer beberapa tahun belakang ini di dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya. Di dalam bahasa Inggris keraifan lokal disebut dengan local wisdom. Terminologi kearifan lokal adalah padanan dari bahasa Inggris local wisdom. Di dalam kamus, kata bentukan ini terdiri dari dua kata, yaitu, kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily, kata local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh segenap anggota masyarakatnya. Dalam konteks disiplin antropologi, dikenal pula istilah sejenis yaitu local genius. Dalam bahasa Indonesia dapat dimaknakan sebagai genius lokal. 22 Dalam sejarah perkembangan ilmu antropologi, terminologi local genius ini merupakan istilah yang pada awalnya dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya ada lima, yaitu sebagai berikut: (1) mampu bertahan terhadap budaya luar; (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; (3) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli; (4) mempunyai kemampuan mengendalikan; dan (5) mampu memberi arah perkembangan budaya. Lebih jauh lagi, Gobyah (2003), mengatakan bahwa kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan 23 pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Menurut Caroline Nyamai-Kisia (2010), kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang, dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya. Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakan pada peringkat lokal di berbagai bidang sosiobudaya, seperti: kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam, kegiatan masyarakat pedesaan, penanganan bencana alam, dan lain-lainnya. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya, serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Dalam konteks penelitian ini, maka nandong smong memiliki dan mengandung kearifan-kearifan lokal, yang ditransmisikan berdasarkan tradisi kelisanan, yang mengacu kepada dasar kebudayaan Simeulue adat bersendikan syarak (agama Islam). Dalam hal ini seperti uraian di atas, kearifan lokal yang terkabdung di dalam nandong smong adalah pemahaman tentang tsunami, cara menyelamatkan diri dari tsunami, dan yang paling dalam adalah pengakuan manusia Simeulue akan eksistensi Allah, yang menurunkan bencana dan sekaligus ilmu menangani bencana tersebut, Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa. Ketujuh tradisi lisan, yang menurut Jan Vansina, dalam tulisannya yang bertajuk Oral Tradition as History (1985:27-28), yang diterbitkan oleh James Currey Publishers, New York, Amerika Serikat, mendefinisikan tradisi 24 lisan sebagai "pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini, dan pesan itu haruslah berupa pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan, atau diiringi alat musik. Lebih jauh menurutnya haruslah ada penyampaian melalui tutur kata dari mulut sekurang-kurangnya sejarak satu generasi.” Lebih jauh Vansina menyatakan bahwa definisi yang diajukannya adalah yang berfungsi untuk kalangan sejarawan. Para sosiolog, pakar bahasa, atau sarjana seni verbal mengajukan pendekatannya masingmasing, yang untuk kasus khusus (sosiologi) mungkin saja menekankan pengetahuan umum, fitur kedua yaitu membedakan bahasa dari dialog (bahasawan) biasa, dan fitur terakhir adalah bentuk dan isi yang mendefinisi seni (pendongeng)." 1.4.2 Teori Sesuai dengan empat pokok masalah seperi yang telah dikemukakan pada pokok permasalah di bab ini, maka setiap pokok masalah dipecahkan dengan menggunakan teori-teori. (1) Untuk pokok masalah musikal, digunakan teori “bobot tangga nada” (weighted scale); (2) pokok malasah tekstual digunalan teori semiotik. (3) Selanjutnya pokok masalah fungsional dengan teori fungsioanl (penggunaan dan fungsi). Pokok masalah kearifan lokal digunakan teori etnosains. Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan (Sumantri 1993:143). Sebagai landasan teori dalam penelitian ini, penulis menggunakan 25 beberapa teori dari para ahli etnomusikolog serta antropolog dunia. Berikut adalah beberapa teori tersebut. 1.4.2.1 Teori Weighted Scale Untuk menganalisis musikal nandong smong digunakan “teori” weighted scale. Pada prinsipnya teori weighted scale adalah teori yang lazim dipergunakan di dalam disiplin etnomusikologi untuk menganalisisi melodi baik itu berupa musik vokal atau instrumental. Ada delapan parameter atau kriteria yang perlu diperhatikan dalam menganalisis melodi, yaitu: (1) tangga nada (scale), (2) nada dasar (pitch center), (3) wilayah nada (range), (4) jumlah nada (frequency of note), (5) jumlah interval, (6) pola-pola kadensa (cadence patterns), (7) formula melodi (melody formula), dan (8) kontur (contour) (Malm dalam terjemahan Takari 1993:13). Dalam hal ini, tangga nada dapat diartikan sebagai nada-nada yang digunakan di dalam suatu komposisi musik, sebagai dasar pengembangan melodi atau harmoni. Misalnya tangga nada C mayor di dalam kebudayaa musik Barat, terdiri dari nada-nada c-d-e-f-g-a-b-c’. Nada dasar adalah nada yang menjadi pusat tonalitas suatu komposisi musik, misalnya nada dasar dari tangga nada C Mayor di dalam kebudayaan musik Barat adalah nada c. Wilayah nada atau teba nada atau interval, adalah jarak antara nada terendah dengan nada tertinggi yang terdapat dalam suatu komposisi musik, biasanya dikur dengan satuan laras, langkah, sent, dan lainnya. Jumlah nada adalah munculnya secara kuantitatif nada-nada dalan suatu komposisi musik, yang juga mempertimbangkan durasi atau nilainya. Jumlah interval adalah 26 bagaimana secara kuantitatif interval (jarank nada yang satu ke nada berikutnya) dalam suatu musik, biasanya diukur dengan istilah musik seperti prima murni, sekunde minor, sekunde mayor, ters minor, ters mayor, dan seterusnya. Pola-pola kadensa adalah beberapa nada di akhir-akhir frase atau bentuk nelodi musik. Sementera formula melodi adalah bentuk-bentuk dasar yang membentuk keseluruhan rangkaian melodi. Sementara unsur melodi yang disebut kontur Adalah garis lintasan melodi. Dalam rangka penelitian ini, sebelum menganalisis melodi nandong smong yang disajikan oleh narasumber penulis, maka terlebih dahulu data audio ditranskripsi ke dalam notasi balok dengan pendekatan etnomusikologis. Setelah dapat ditransmisikan ke dalam bentuk notasi yang bentuknya visual, barulah notasi tersebut dianalisis. Dalam kerja ini juga penulis melakukan penafsiran-penafsiran. 1.4.2.2 Teori Semiotik Selanjuutnya Untuk menganalisis teks yang dinyanyikan, penulis menggunakan teori William P. Malm. Malm menyatakan bahwa dalam musik vokal, hal yang sangat penting diperhatikan adalah hubungan antara musik dengan teksnya. Apabila setiap nada dipakai untuk setiap silabel atau suku kata, gaya ini disebut silabis. Sebaliknya, bila satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa nada disebut melismatik. Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk menemukan hubungan antara aksen dalam bahasa dengan aksen pada musik, serta sangat membantu melihat reaksi musikal bagi sebuah kata yang dianggap penting dan pewarnaan kata-kata dalam puisi (Malm dalam 27 terjemahan Takari 1993:15). Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah teks ini silabis atau melismatis, penulis menggunakan metode weighted scale yang dikemukakan oleh Bruno Nettl. Selain itu dalam konteks menganalisis makna teks nandong smong ini penulis menggunakan teori semiotik. Teori semiotik adalah sebuah teori mengenai lambang yang dikomunikasikan. Istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani, semeion. Panuti Sudjiman dan van Zoest (dalam Bakar 2006:45-51) menyatakan bahwa semiotika berarti tanda atau isyarat dalam satu sistem lambang yang lebih besar. Menurut Ferdinand de Saussure (perintis semiotika dan ahli bahasa), semiotik adalah the study of “the life of signs within society”. Secara harafiah dapat diartikan dengan studi dari tanda-tanda kehidupan dalam masyarakat. Selain itu, teori pendekatan semiotik sosial (social semiotics) yang diperkenalkan oleh Halliday juga menyatakan bahwa bahasa adalah sistem arti dan sistem lain (yaitu sistem bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut. 1.4.2.3 Teori Fungsi Sebagai tambahan penelitian ini, peneliti ingin melihat fungsi apa yang terdapat pada nandong smong. Untuk itu digunakan teori fungsi, baik dalam antropologi maupun etnomusikologi. Dalam disiplin antropologi Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut 28 sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini. By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181). Selaras dengan pandangan Radcliffe-Brown, nandong smong bisa dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakat Simeulue. Pertunjukan nandong smong adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada saatnya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya, yaitu masyarakat Simeulue. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Simeulue, misalnya lingkungan kepulauan dan maritim, daerah penerapan syariat Islam, masyarakat yang merujuk pada adat, dan lain-lainnya. Secara etnomusikologis, kajian mengenai fungsi musik dalam masyarakat ini, selalu didekati dengan teori uses and functions dari Allan P. Merriam yang dalam bukunya The Anthropologhy of Music (1964:223-226) 29 menguraiakn contoh sepuluh fungsi musik yaitu; (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi pengungkapan estetika, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi jasmani, (7) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, (9) fungsi kesinambungan kebudayaan, dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat. Secara lugas, Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para ahli etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada keebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian daripada pelaksanaan adat istiadat, sama ada ditinjau dari aktivitas itu sendiri mahupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut. Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its 30 employment and perticularly the broader purpose which it serves. (1964:210). Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bahagian dari situasi tersebut. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Merriam memberikan contoh, jika seeorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—[yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin dan berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan demikian, selaras dengan Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya. 31 1.4.2.4 Teori Etnosains Meneurut Ahimsa Putra (1985), etnosains dan/atau etnometodologi merupakan teori baru dalam dunia ilmu sosial, khususnya di Indonesia meskipun kedua pendekatan tersebut telah berkembang sejak dekade 1960-an. Perspektif etnosains ada di dalam antropologi, sedangkan etnometodologi berada dalam lingkup kajian sosiologi. Etnosains dan etnometodelogi mempunyai kesamaan dalam penggunaan prefiks etno, atau folk, yaitu pendekatan yang dilakukan peneliti dari kacamata orang-orang yang terlibat di dalamnya. Maka, sebenarnya etnosains dan etnometodologi bukanlah barang baru bagi antropologi karena sudah sejak lama metode verstehen dikenal. Etnosains muncul dan berangkat dari tradisi-tradisi antropologi yang mempunyai tujuan akhir “to grasp the native’s point of view, his relation to life to realize his vision of his world” (Malinowsky). Kemudian diikuti oleh Murdock yang menyusun suatu sistem data dari ratusan kebudayaan untuk memudahkan usaha tersebut yang disebut Human Relation Area Files, yang mana menurut Goodenough, di situ ada tiga masalah pokok, yaitu (1) ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat di kalangan ahli antropologi sendiri. Akibatnya terjadi kepincangan data dalam etnogafi mereka sehingga menyulitkan usaja-usaha untuk menemukan prinsipprinsip kebudayaan lewat studi perbandingan; (2) seberapa jauh data yang tersedia benar-benar dapat diperbandingkan, mengingat para antropolog menggunakan metode yang berbeda-beda dalam menempatkan data tersebut; (3) diperlukan kriteria lagi yang rupanya antara antropologi terdapat perbedaan. Pada masa berikutnya pemikiran Goodenough yang menekankan hakikat 32 kebudayaan pada aspek – aspek pengetahuan kognitif manusia juga menjadi warna tersendiri dalam kajian antropologi kontemporer termasuk di dalamnya etnosains. Penekanan pengertian kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, menurut penulis akan memudahkan antropologi dalam melukiskan kebudayaan, yaitu dengan memakai model dalam fonologi dalam ilmu linguistik. Di dalam fonologi dikenal istilah fonemik (penulisan bunyi bahasa dengan memakai cara si pemakai bahasa) dan fonetik (penulisan bunyi bahasa dengan simbol universal yang telah disepakati oleh ahli bahasa). Analog dengan hal di atas kemudian dalam antropologi dikenal istilah emik dan etik yang akan memudahkan dalam pelukisan kebudayaan serta membuat kajiankajian kebudayaan menjadi kompatible dengan studi komparasi. Dari hal-hal tersebutlah kemudian muncul studi-studi Etnosains. Etnosains sendiri oleh Sturtevant didefinisikan sebagai suatu “system of knowledge and cognition typical of given cultures.” 1.5 Metode Penelitian Metode adalah cara atau jalan yang berhubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu: cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1985:7). Dengan demikian dalam tulisan ini penulis menerapkan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Peneletian yang bersifat deskriptif akan menggambarkan secara tepat sifat suatu individu, keadaan, gejala atau frekwensi adanya hubungan tertentu 33 antara satu gejala dengan gejala lainya dalam masyarakat. Sedangkan pendekatan yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses yang dilakukan peneliti dalam mendapatkan data dan informasi mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek kehidupan tertentu pada objeknya. Menurut Bruno Nettl (1964: 62-64) dalam penelitian etnomusikologi terdapat dua cara kerja yaitu field work (kerja lapangan) dan desk work (kerja laboratorium). Dengan demekian untuk menjawab permasalahan dalam penelitian serta untuk mendapat hasil akhir yang diinginkan, penulis menggunakan kedua cara kerja tersebut. 1.5.1 Kerja Lapangan (Field Work) Peristiwa dan fakta budaya pertunjukan musikal di lapangan, menjadi data primer atau utama dalam konteks penelitian etnomusikologi. Lapngan yang dimaksud dalam kajian etnomusikologi adalah peristiwa musikal yang dilatarbelakangi oleh faktor budaya dan sosial, di mana peristiwa musikal tersebut terjadi. Dalam penelitian ini, peristiwa musikal adalah pertunjukan nandong smong dalam berbagai peristiwa budaya di dalam kebudayaan Simeulue, yang fungsi utamanya adalah untuk memberikan penjelasan secara multi-indeksikal peristiwa tsunami dan cara menyelamatkan diri dari peristiwa tsunami tersebut. Kerja lapangan yang dilakukan oleh penulis adalah dengan cara turun langsung pada objek yang akan diteliti, yaitu pertunjukan nandong smong dalam upacara penyembutan tamu. Dalam hal mendapatkan informasi serta data-data yang berkaitan penulis melakukan berbagai macam cara, yaitu 34 melalui studi pustaka, observasi, wawancara atau interview, dan dokumentasi—dengan uraian sebagai berikut. 1.5.1.1 Studi Pustaka Pada tahap ini penulis dituntut untuk mendapatkan konsep dan teori serta informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat melakukaan penelitian dan penulisan skripsi nantinya. Sehingga diperlukan membaca tulisan-tulisan ilmiah, situs internet, buku, dan informasi lain yang berkatitan dengan objek yang akan diteliti. Dalam melakukan studi kepustakaan ini, dijumpai beberapa karya ilmiah berupa makalah, skripsi sarjana, dan artikel yang terkait dengan kajian penelitian penulis yakni nandong smong dan terutama hubungan fungsionalnya dengan bencana alam tsunami. (1) Dina Oktaviani dengan NIM 0806344641,menulis sebuah skripsi sarjana di Universitas Indonesia yang berjudul “Resiliensi Remaja Aceh yang Mengalami Bencana Tsunami (Resilience among Acehnese Adolessence Victims of Tsunami Disaster)” Skripsi ini diajukan ke Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, 2012. Isi dan inti kajian skripsi ini adalah mengenai keadaan resiliensi (meaningfulness, perseverance, equanimity, selfreliance, dan existential aloneness) para remaja Aceh yang mengalami bencana tsunami pada tahun 2004. Pendekatan dalam skripsi ini adalah melalui disiplin psikologis. Skripsi ini menjadi bahan rujukan penulis juga, terutama dari sisi psikologi, namun tema utama penulis adalah nyanyian smong di Simeulue, dengan pendekatan utama etnomusikologis. 35 (2) Fakhriyani dengan NIM 06193031, dari Universitas Andalas, Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, tahun 2011, menulis sebuah skripsi yang berjudul “Implementasi Kebijakan Mitigasi Bencana Gempa dan Tsunami Pemerintah Kota Padang.” Fakhriyani menulis skripsi ini dengan pendekatan ilmu politik, terutama mengkaji pemerintah Kota Padang dalam mengangani atau mengelola bencana gempa dan tsunami sebagai amanat UU No. 4 Tahun 2007, yang terjadi di Kota Padang pada tahun 2004. Dari hasil penelitian yang dilakukan, peneliti menarik kesimpulan bahwa Pemerintah Kota Padang dalam melaksanakan implementasi kebijakan mitigasi bencana baik struktur dan non struktur masih menghadapi banyak kendala. Dalam hal ini Bapak Wali Kota Padang yaitu Fauzi Bahar yang sadar terhadap kekhawatiran dan kecemasan warganya untuk menghadapi bencana telah melakukan upaya dengan membangun shelter dan sosialisasi sadar bencana. Namun dalam pelaksanaannya mitigasi bencana membutuhkan dana dan pelaksana yang tidak hanya berasal dari personil pemerintah yaitu BPBD tetapi juga NGO dan LSM yang sadar bencana. Skripsi ini menjadi acuan penulis dalam melihat penanganan bencana tsunami, namun berbeda dengan fokus kajian penulis yang secara etnomusikologis lebih mengkaji smong sebagai sarana kultural penyelamatan diri dari bencana tsunami. (3) Asriningsih Dewi Murtani dengan NIM 0203033, menulis skripsi tahun 2009, yang berjudul “Potret Kehidupan Anak-anak Aceh pada Tsunami dalam Komik ‘Kisah dari Aceh’: Studi Komunikasi Massa dengan Analisis Semiotika terhadap Komik ‘Kisah dari Aceh’ Karya Garin 36 Nugroho.” Mahasiswi ini adalah berasal dari Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas maret Surakarta. Kajian skripsi ini berfokus pada bagaimana komunikasi massa yang diuraikan di dalam novel karya Garin Nugroho tersebut, dengan pendekatan ilmu komunikasi. Hasil penelitan beliau memperlihatkan ratusan ribu anak Aceh mengalami gangguam psikologs trauma terhadap tsunami, yang juga digambarkan di dalam karya novel tersebut. (4) Kurniawati, dari Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta, menulis sbuat artikel yang thick description, berjudul “Bencana Tsunami NAD serta Dampak Pasca-Tsunami bagi Kesehatan Lingkungan.” Dalam artikel ini, Kurniawati mengkaji tentang berbagai dampak pasca-tsunami Aceh 2004 bagi kesehatan lingkungan. Tulisan ini menggunakan pendekatan ilmu kesehatan, dan menjadi rujukan penulis tentang kesehatan lingkungan dalam konteks tsunami. (5) Surfia Miana dan Didit Dwi Subagyo dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, menulis sebuah artikel hasil penelitiannya tahun 2012 yang bertajuk “Gempa Bumi Besar Jepang Timur dan Tsunami Maret 2011: Upaya Pemerintah Jepang untuk Mmeulihkan Pariwisata Jepang pasca Bencana.” Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah Jepang melalui berbagai upaya dan kebijakannya di bidang pariwisata mampu merekonstruksi wilayah pariwisata (khususnya Tohoku), dan memulihkan geliat pariwisata. Jepang bahkan berhasil meningkatkan rasio pertumbuhan pariwisata nasional secara positif. Tulisan ini menjadi salah satu sumber bagaimana sebuah daerah pariwisata 37 korban bencana tsunami, dapat bangkit kembali, bahkan melebihi eksistensi sebelum tsunami. 1.5.1.2 Observasi Nurkancana (1986:142) mengatakan, “observasi adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian dengan jalan mengadakan pengamatan secara langsung dan sistematis. Data-data yang dieperoleh dalam obsevasi itu dicatat dalam suatu catatan observasi. Kegiatan pencatatan hal ini adalah merupakan bagian dari pada kegiatan pengamatan”. Dalam tahap ini peneliti dituntut untuk melakuakan berbagai pengamatan pada saat proses kegiatan yang diteliti berlangsung. Sehingga peneliti belajar tentang prilaku dan makna dari prilaku tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Marshall (1995) “through observation, the researcher learn about behavior and the meaning attached to those behavior.” Artinya melalui observasi atau pengamatan, seorang peneliti melihat langsung dan belajar mengenai prilaku dan makna-makna dari apa yang diamatinya tersebut. 1.5.1.3 Wawancara Terdapat tiga jenis wawancara yaitu wawancara berfokus (focused interview), wawancara bebas (free interview), wawancara sambil lalu (casual interview) (Koentjaraningrat, 1986:139). Sebelum melakukan ketiga cara dalam wawancara tersebut, tentu saja penulis harus menyiapkan daftar pertanyaan yang perlu ditanyakan pada saat mewawancarai informan sesuai dengan topik penelitian. Selain daftar pertanyaan keahlian dalam melakukan 38 teknik wawancara agar informan menjawab dengan leluasa juga sangat diperlukan bagi seorang peneliti. 1.5.1.4 Dokumentasi Untuk merekam data hasil penelitian dan wawancara penulis menggunakan smartphone LG L-Fino dalam pengambilan gambar maupun perekaman video. Gambar yang didokumentasi adalah mengenai: pertunjukan nandong smong, alat-alat musik untuk pertunjukan, para seniman saat pertunjukan, pakaian yang digunakan dalam mempertunjukan nandong smong, lingkungan dan arena tempat dilksanakannya pertunjukan nandong smong, dan aspek-aspek sejenis lainnya. Selain gambar, dalam penelitian ini juga direkam secara auditif, nyanyian nandong smong. Rekaman untuk bahan dokumentasi ini adalah berbentuk audio dalam format mp3 (dalam ilmu teknologi informasi), yang dijadikan bahan dasar traskripsi dan analisis musik dalam rangkaian kajian musikal. Rekaman lainnya adalah berupa audiovisual (video), dalam format mp4, yang kemudian dijadikan dasar kajian. Selain itu, untuk memback up data-data visual, audio, dan audiovisual ini, dari media smartphone tadi penulis pindahkan (trasferring data) pada laptop dan hard disk external dalam mendokumentasikan bersangkutan, yang diperoleh dari kerja lapangan. 39 data-data yang 1.5.2 Kerja Laboratorium (Desk Work) Data-data yang telah terkumpul baik dalam bentuk rekaman gambar, audio, maupun audiovisual dan catatan selanjutnya diolah kembali dalam tahap kerja laboratorium, sebagaimana yang lazim disarankan di dalam disiplin etnomusikologi. Sehingga hasil kerja ini menentukan apakah kita penulis perlu mencari data tambahan atau justru sebaliknya mereduksi data yang tidak diperlukan. Dalam kerangka kerja laboratorium ini, penulis melakukan analisis data, berupa transkripsi, dengan menggunakan perangkat lunak sibelius, namun dengan transkripsi secara manual, yang kemudian secara notasi dipindahkan ke notasi sibelius (notasi balok). Seterusnya data gambar diolah ke dalam format jpg dan diinsert ke word office, menurut format skripsi di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Analisis data, keseluruhannya dilakukan di laboratorium, yang tentu saja spesifik etnomusikolgi. Analisis dilakukan melalui pendekatan etnomnusikologis, namun dalam konteks multidisiplin ilmu. Analisis mencakup empat bidang, sesuai dengan pokok masalah yang telah ditentukan, yakni: musikal, tekstual, fungsional, dan kearifan lokal. 1.6 Lokasi Penelitian Adapun lokasi penelitian adalah Desa Suka Maju, Kecamatan Simeulue Timur, Kabupaten Simeulue, Aceh. Desa adalah sebuah wilayah pemerintahan administratif yang dipimpin oleh kepala desa, dibantu oleh para perangkat desanya. Di atasnya ada kecamatan dan kabupaten. Lokasi desa ini merupakan 40 salah satu desa yang terkena bencana tsunami 2004, yaikni 7 orang meninggal dunia, desa lain di kecamatan ini tidak terdapat korban manusia. Desa Suka Maju ini adalah salah satu dari 17 desa di Kecamatan Simeulue Timur. 41 BAB II ETNOGRAFI UMUM SUKU SIMEULUE DI DESA SUKA MAJU, KECAMATAN SIMEULUE TIMUR, KABUPATEN SIMEULUE ACEH DAN NANDONG SMONG Pada Bab II ini, penulis mendeskripsikan aspek etnografis1 suku (etnik) Simeulue,2 khususnya yang terdapatbdi lokasi penelitian, yakni Desa Suka Maju, Kecamatan Simeulue Timur, Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh. Deskripsi etnografis ini penting untuk memberikan wawasan dan pemahaman kita mengenai bagaimana latar belakang budaya tempat hidupnya nandong smong, sebagai warisan tradisi yang memiliki fungsi kearifan lokalnya yakni 1 Dalam tulisan ini, pengertian etnografi mengacu kepada disiplin atropologi, seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1990). Etnografi berasal dari istilah ethnic yang arti harfiahnya suku bangsa dan graphein yang artinya mengambarkan atau mendeskripsikan. Etnografi adalah jenis karya antropologis khusus dan penting yang mengandung bahan-bahan kajian pokok dari pengolahan dan analisis terhadap kebudayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik. Oleh karena di dunia ini ada suku-suku bangsa yang jumlahnya relatif kecil, dengan hanya beberapa ratus ribu warga, dan ada pula kelompok etnik yang berjumlahrelatif besar, berjuta-juta jiwa, maka seorang antropolog yang membuat karya etnografi tidak dapat mengkaji keseluruhan aspek budaya suku bangsa yang besar ini. Oleh karena itu, untuk mengkaji budaya Simeulue misalnya, yang mencakup berbagai tempat, maka seorang antropolog bisa saja memilih etnografi masyarakat Simeulue di Desa Suka Maju, atau lebih besar sedikit masyarakat Simeulue Kabupaten Simeulue Timur, atau masyarakat Simeulue Barat, dan seterusnya. Ada pula istilah yang mirip dengan etnografi, yaitu etnologi. Arti etnologi berbeda dengan etnografi. Istilah etnologi adalah dipergunakan sebelum munculnya istilah antropologi. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaannya di seluruh dunia, sama maknanya dengan antropologi, yang lebih lazim dipakai belakang hari oleh para ilmuwannya atau dalam konteks sejarah ilmu pengetahuan manusia. 2 Kesatuan hidup orang-orang Simeulue dalam tulisan ini disebut dengan suku, suku bangsa, atau etnik. Yang dimaksud etnik adalah adalah suatu golongan manusia yang anggotaanggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut seperti kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku, dan ciri-ciri biologis. Menurut pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnik pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia" meskipun definisi ini seringkali mudah diubah-ubah. Yang lain, seperti antropolog Fredrik Barth dan Eric Wolf, menganggap etnisitas sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok (Barth, 1969:831). Proses-proses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenesis. Secara keseluruhan, para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun para sejarawan dan antropolog telah mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada dasarnya adalah temuan yang relatif baru. 42 menjelaskan apa itu tsunami dan bagaiamana manusia menyelematkan diri dari bencana tsunami tersebut. 2.1 Asal-usul Suku Simeulue Suku Simeulue yang ada di pulau Simeulue sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, mulai dari zaman penjajahan Belanda yang mengusai daerah ini, zaman penjajahan jepang, hingga masa kemerdekaan sekarang ini. Tidak dapat dipastikan sejak kapan suku Simuelue ada karena belum ada yang melakukan penelitian terhadap itu, yang penulis dapatkan di lapangan hanyalah sejarah tentang Teungku Diujung yang dianggap sebagai nenek moyang suku Simeulue. Pada abad ke 14 sampai 15 seorang ulama yang berasal dari Sumatera Barat yang bernama Teungku Halilullah sedang melakukan perjalanan menuju Mekkah untuk menunaikan haji, dalam perjalanannya Halilullah singgah di Aceh dan mengunjungi Istana Kesultanan Aceh Darusalam. Beliau berjumpa dengan Sultan Aceh kala itu Sultan Ali Mughayat Syah, dalam silaturahminya, Sultan Aceh menyarankan kepada Halilullah agar niat melaksanakan hajinya diganti dengan mengislamkan sebuah pulau yang bernama Pulo U. Halilullah menerima saran Sultan Aceh tersebut namun ia tidak mengetahui jalan menuju Pulo U tersebut. Sultan Aceh langsung memerintahkan seorang gadis bernama Meulur yang berasal dari Pulo U untuk memberi petunjuk jalan, karena dikhawatirkan akan menyebabkan fitnah, maka Teungku Halilullah dan Putri Meulur dinikahkan. 43 Hal yang menyebabkan Sultan Ali Mughayat Syah memerintahkan Teungku Halilullah untuk mengislamkan Pulo U tersebut karena pulau tersebut telah dikuasai oleh seseorang yang bernama Songsongbulu dan menyebarkan ajaran sesat. Ketika Teungku Halilullah dan Putri Meulur tiba di Pulo U, terjadi peperangan antara Songsongbulu melawan Teungku Halilullah. Namun peperangan tersebut bukanlah perang bersenjata, melainkan perang ilmu sihir. Kedua belah pihak melaksanakan perjanjian jika salah satu dari mereka menang akan menguasai pulau itu dan yang kalah angkat kaki dari pulau tersebut. Peperangan yang terbilang sangat sederhana, yaitu dengan memasak telur di dalam lautan. Teungku Halilullah menang dan mengusir Songsongbulu dari Pulo U, dan mengislamkan seluruh masyarakat yang ada di pulau, pada masa kekuasaannya Teungku Halilullah mengganti nama Pulo U menjadi Pulau Simeulue yang diambil dari nama istrinya yaitu “Putri Meulur.” Sejarah ini terbukti benar dengan adanya artefak dari masa kekuasaan Songsongbulu, hingga makam Teungku Halilullah sekeluarga yang masih ada hingga saat ini. Oleh masyarakat Simeulue saat ini Teungku Halilullah dikenal dengan sebutan Teungku Diujung yang dikarenakan letak makam beliau yang berada diujung Pulau Simeulue (Muhammad Nurdin Faturrahman, 2009). 2.2 Wilayah Budaya Etnik Simeulue Masyarakat suku Simeulue adalah masyarakat yang tersebar di seluruh kepulauan Simeulue saja, kecuali beberapa dari mereka yang berpindah karena alasan khusus seperti tuntutan pekerjaan dan pendidikan. Pulau Simeulue adalah pulau yang terletak di Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh, Indonesia. 44 Berada kurang lebih 150 km dari lepas pantai barat Aceh, Kabupaten Simeulue berdiri tegar di Samudera Hindia (Indonesia). Kabupaten Simeulue merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat sejak tahun 1999. Suku Simeulue adalah suku yang mendominasi di kepulauan ini. Hampir 80 % dari jumlah penduduk pulau Simeulue bersuku Simeulue. Selebihnya suku Aceh, Minangkabau, Batak, Jawa, dan Tionghoa. Peta pulau Simeulue dapat dilihat pada peta berikut ini. Peta 2.1: Wilayah Budaya Suku Simeulue 2.3 Masyarakat Simeulue di Desa Suka Maju Desa Suka Maju adalah satu desa yang terletak di tengah kota Sinabang ibu kota Kabupaten Simeulue, sesuai surat keputusan Gubernur Aceh nomor 52 tahun 1999 tanggal 19 oktober 1999 tentang pengukuhan desa persiapan hasil 45 pemecahan Desa Sinabang menjadi desa definitif. Suka Maju secara geografis memiliki luas lebih kurang 2 km dan mempunyai batas-batas wilayah yaitu, sebelah utara berbatasan dengan laut Samudera Hindia, sebelah selatan berbatas dengan Desa Sinabang, sebelah barat berbatasan dengan Desa Suka Karya, dan sebelah timur berbatasan dengan laut Samudera Hindia. Gambar 2.1: Denah Desa Suka Maju (Sumber: Kantor Kepala Desa Suka Maju, 2016) No 1 2 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Total Jumlah Penduduk 1402 1284 2686 Tabel 2.1: Jumlah Penduduk Desa Suka Maju Berdasarkan Jenis Kelamin (Sumber: Sekretariat Sekretaris Desa Suka Maju, Oktober 2015) 46 Tabel di atas merupakan jumlah penduduk keseluruhan dari tiga dusun dan enam belas RT, yaitu Dusun Melati terdiri dari 6 RT, Dusun Mawar terdiri dari 5 RT dan Dusun Sedap Malam terdiri dari 5 RT. Gambar 2.2: Kantor Kepala Desa Suka Maju, Simeulue Timur (Dilihat dari Depan) Sumber: Yomi, 2016 2.4 Sistem Religi Pada saat sekarang masyarakat Simeulue secara keseluruhan telah menganut agama Islam. Terkait dengan letak geografis masyarakat Simeulue yang berada di daerah pesisir Aceh menjadi alasan kuat bagi masyarakat Simeulue menganut agama islam. Masuknya agama Islam ke pulau Simeulue melalui pendatang-pendatang, baik itu pendatang sebagai pedagang maupun 47 sebagai mubaligh3. Hal ini juga ditandai dengan adanya makam Teungku Di Ujung yang ditemukan sekitar abad ke-15, Teungku Di Ujung yang merupakan seorang ulama besar dari Minangkabau yang menyebarkan Islam di pulau Simeulue. 2.5 Sistem Kekerabatan Masyarakat suku Simeulue menganut sistem kekerabatan patrilineal, yaitu suatu adat masyarakat yang mengatur keturunan berasal dari pihak ayah. Kata patrilineal berasal dari bahasa Latin, yaitu pater yang berarti ayah dan linea yang berarti garis. Jadi patrilineal berarti mengikuti “garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah.” Jika ibu meninggal, yang bertanggung jawab terhadap anak yang ditinggalkan adalah ayah. Namun jika ayah yang meninggal, yang bertanggung jawab terhadap anak bukanlah ibu, melainkan wali dari pihak ayah, yaitu saudara laki-laki kandung dari ayah, masyarakat menyebutnya dengan amarehet.4 Meskipun demikian, bukan berarti bahwa ibu lepas dari tanggungjawab sebagai seorang ibu. Ada upacara adat yang dilaksanakan setelah ayah meninggal. Upacara yang dilakukan dihadiri oleh amarehet dan laulu5 si anak, sanak saudara serta dari hukum adat6 di kampung. 3 Mubaligh merupakan orang-orang yang menyebarkan agama Islam. Dalam Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, mubaligh ialah ahli kumpulan agama yang dihantar ke luar negeri untuk menyebarkan ajaran agama mereka melalui dakwah, pendidikan, khidmat sosial dan sebagainya. Perkataan "mubaligh" berasal dari bahasa Arab yaitu, ﻣﺒﺎﻟﻎyang bermaksud "berlebihan" atau "berluasan," yang menakrifkan usaha memperluaskan penyebaran agama oleh orang yang bergelar mubaligh. 4 Amarehet dalam sistem kekerabatan etnik Simeulue adalah saudara kandung laki-laki dari pihak ayah, baik itu abang ayah maupun adik laki-laki ayah. 5 Laulu dalam sistem kekerabatan etnik Simeulue adalah saudara kandung laki-laki dan perempuan dari pihak ibu. Baik itu abang ibu maupun adik ibu. 6 Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak 48 Pihak amarehet meminta hak asuh anak jatuh kepada mereka dan kemudian pihak laulu menolaknya, dan meminta hak asuh tetap berada pada ibu. Sampai saat sekarang ini adat ini masih dipegang kuat oleh masyarakat suku Simeulue. 2.6 Sistem Matapencaharian Sumber matapencaharian masyarakat pada umumnya adalah bekerja di sektor pertanian, perikanan, peternakan, dan pegawai negeri sipil (PNS). Di sektor pertanian mengusahakan berbagai komoditas, yang paling diandalkan adalah cengkeh, kelapa (kopra), dan kakao. Sektor perikanan yang menjadi andalan masyarakat. Hal ini dikarenakan oleh area tangkapan (fishing ground) seluas 305.000 ha atau sekitar 4 mil dari bibir pantai ke laut bebas di sekeliling pulau. Di samping itu, pesisir barat dan utara merupakan lintasan ikan tuna. Saat ini salah satu investor telah membuka usaha di bidang penangkaran udang lobster yang ditampung dari nelayan setempat untuk kebutuhan dalam negeri dan luar negeri. Peternakan Simeulue terkenal dengan ternak kerbaunya untuk dipasok ke pulau Sumatera. Pegawai Negeri Sipil bekerja pada bidang pemerintahan, kesehatan, dan pendidikan. Dari 2.686 jiwa penduduk di Desa Suka Maju memiliki beragam pekerjaan seperti tabel di bawah ini. tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. 49 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jenis Pekerjaan PNS TNI/Polri Pengusaha Pedagang Petani dan Perkebunan Nelayan dan Buruh Nelayan Buruh Harian Pelajar/Mahasiswa Wiraswasta Lainnya Persentase 12% 3,7% 2% 4,5% 0,5% 33% 13,5% 16,5% 9% 5,3% Tabel 2.2: Persentase Penduduk Desa Suka Maju Berdasarkan Pekerjaan (Sumber: Sekretariat Sekretaris Desa Suka Maju, Oktober 2015) 2.7 Bahasa Kabupaten Simeulue memiliki sepuluh kecamatan dan empat bahasa yang berbeda yang digunakan sesuai dengan letak geografis yang mereka diami. Adapun bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa devayan, sigulai, aneuk jamee (bahasa ini hampir serupa dengan bahasa Minangkabau, banyak menggunakan huruf vocal “O”) dan leukon. Di Desa Suka Maju yang merupakan objek penelitian, mayoritas masyarakat menggunakan bahasa aneuk jamee dan sebagiannya lagi berbahasa Indonesia. Bahasa devayan meliputi daerah Simeulue Timur, Teupah Tengah, Teupah Selatan dan Teupah Barat. Bahasa sigulai meliputi daerah Simeulue Tengah, Simeulue Cut, Teluk Dalam, Simeulue Barat, Sibigo, Alafan, dan Salang. Sedangkan bahasa leukon meliputi daerah Alafan saja, namun bahasa ini sudah jarang digunakan masyarakat, karena masyarakat penuturnya semakin berkurang. 50 Dari keempat bahasa tersebut, masing-masing memiliki struktur bahasa yang sangat jauh berbeda, seperti bahasa devayan dengan bahasa sigulai. Pengguna bahasa devayan tidak mengetahui bahasa sigulai, dan sebaliknya masyarakat pengguna bahasa sigulai tidak mampu berbahasa devayan. Namun demikian, sebagian besar masyarakat penutur bahasa devayan dan sigulai mampu berbahasa aneuk jamee. Bahasa aneuk jamee ini hampir serupa dengan bahasa dari suku Minangkabau, yaitu rata-rata kata-katanya menggunakan huruf vokal “O” di ujungnya. Untuk menjembatani komunikasi antara masyarakat penutur bahasa devayan dengan sigulai, umumnya masyarakat menggunakan bahasa aneuk jamee dan bahasa Indonesia tentunya. Namun ada satu bahasa yang penuturnya sangat sedikit, yaitu bahasa leukon. Bahasa leukon meliputi daerah ujung kepulauan Simeulue, yang bernama Alafan. Struktur bahasa leukon ini sangat jauh berbeda dengan bahasa devayan dan aneuk jamee, namun hampir memiliki kesamaan dengan bahasa sigulai. Oleh karena letak geografis penuturnya yang berada di ujung dan jumlah penuturnya yang sedikit maka bahasa ini sudah jarang ditemukan penuturnya bahkan bisa terbilang punah. 2.8 Kesenian Masyarakat Simeulue memiliki beberapa jenis kesenian, yaitu Nandong, Buai, Nanga-nanga, debus, tari gelombang, tari andalas dan sikambang. Kesenian Simeulue sangat berbeda dengan kesenian Aceh di daratan. Pada umumnya kesenian Simeulue memiliki banyak kesamaan dengan kesenian Melayu dan Minangkabau. Hal ini disebabkan oleh akulturasi budaya 51 yang dibawa oleh para pedagang yang berasal dari pulau Sumatera (Padang, Sibolga, dan Nias) dan juga di pengaruhi oleh letak geografis. Ciri-ciri kesenian yang berada di daerah ini memakai alat musik gendang, biola, dan jenis nyanyian senandung. Kesenian buai merupakan jenis nyanyian vokal yang dinyanyikan oleh perempuan untuk menidurkan anak yang bercerita tentang nasehat, pujian, dan shalawat. Kesenian nanga-nanga juga dinyanyikan oleh perempuan yang berisi tentang ratapan, kesedihan, dan kepahitan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Kedua jenis kesenian ini sudah mulai kurang diminati oleh masyarakat karena menurut mereka musik dan nyanyian yang ada di televisi, radio, dan internet itu lebih nikmat ketika didengarkan. Bahkan menurut pengalaman penulis, tidak sampai setengahnya masyarakat Simeulue, khususnya di daerah desa Suka Maju jika ditanya tentang dua jenis kesenian ini, mereka tidak lagi mengetahuinya dan bahkan kembali memberikan pertanyaan, “Apa itu buai dan nanga-nanga?” Jenis kesenian yang terbilang populer adalah nandong, tari andalas, tari gelombang, dan debus. Keempat jenis kesenian ini adalah bagian dari upacara adat perkawinan. Pada malam-malam sebelum upacara pernikahan, biasanya dimainkan kesenian debus dan nandong, baik di kediaman mempelai pria maupun wanita. upacara penikahan dapat berlangsung di kediaman mempelai wanita dan mesjid, tetapi tidak dapat dilangsungkan di kediaman mempelai pria. Di saat mempelai pria dan wanita pulang ke kediaman mempelai pria, biasanya kedua mempelai disambut dengan tari gelombang. 52 Sesudah itu pada malam hari setelah upacara pernikahan, biasanya dimainkan kesenian tari andalas dan sikambang. Tari gelombang juga dimainkan saat ada tamu daerah, misalnya dalam penyambutan presdien, menteri, gubernur, dan tamu istimewa lainnya. Dalam konteks ini, biasanya tari gelombang dimainkan di airport atau bandara, yaitu saat tamu turun dari pesawat. Selain di bandara, tari gelombang juga dimainkan di lokasi tujuan tamu tersebut, sepeti pendopo bupati, pelabuhan, pantai, dan beberapa tempat lainnya yang merupakan tujuan dari kunjungan tamu. 2.9 Sekilas Adat Simeulue Adat adalah kebiasaan yang dibiasakan, kemudian berubah menjadi persyaratan, peraturan dan ketentuan yang melembaga dalam masyrakat. Menurut penjelasan verbal para iniforman, adat menurut masyarakat Aceh, termasuk menurut etnik Simeulue adalah terdiri dari tiga kategori, sebagai berikut. (1) Adat Tullah, ialah aturan atau ketentuan yang berdasarkan Kitabullah (Al-Qur’an). Adat Tullah tidak boleh dirubah-rubah. (2) Adat mahkamah ialah aturan dengan ketentuan yang dibuat mahkamah rakyat atau diputuskan oleh pemerintah yang resmi. (3) Adat tunah ialah adat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan harus sesuai dengan adat tullah dan adat mahkamah. Peristiwa tsunami (smong) yang telah terjadi berkali-kali di Simeulue ataupun di Aceh dan dunia pada umumnya, termasuk ke dalam jenis adat Tullah, yaitu 53 ketentuan berdasarkan kehendak Allah terhadap dunia ini. Jadi bencana apapun di dunia ini datangnya atas kehendak Allah Yang Maha Kuasa. Di dalam kebudayaan suku Simeulue adat ini sangat berperan dalam masyarakat, terutatam di desa-desa bahkan ada pelanggaran atau kecelakaan bahkan pertengkaran, perkelahian dapat di selesaikan melalui adat sesuai dengan tangga-tangganya. Contoh-contohnya adalah sebagai berikut. Jika pelanggaran atau masalah cukup menurut adat dengan 1 (satu) sirih belingkar (batil sirih). Dapat juga ditingkat dangan 1 (satu) buah sipulut atau nasi pulut selengkapnya. Hal-hal yang dianggap berat dengan 1 (satu) ekor kambing bahkan 1 (satu) ekor kerbau. Selanjutnya, kalau pelanggaran sampai adanya darah yang tertumpah dalam istilah “setitik darah, sekunca darah” dibarengi dengan kain putih dan emas. Dengan contoh tersebut di atas dapat dipahami bahwa kekerabatan dan persaudaraan dalam masyarakat simeulue melalui adat masih sangat relevan dan membudaya karena masih dapat diselesaikan persoalan-persoalan dalam masyarakat melalui hukum adat. Dengan contoh tersebut di atas dapat diketahui bahwa dalam realitasnya kekerabatan dan persaudaraan dalam masyarakat Simeulue melalui adat masih sangat relevan dan membudaya karena masih dapat diselesaikan persoalanpersoalan dalam masyarakat melalui hukum adat. Dalam kehidupan kemasyarakatan baik perkawinan, pertanian, dan kehidupan sosial lainnya peran adat sangat menentukan antara lain: (1) peminangan, (2) pernikahan, (3) peresmian perkawinan (walimatul ursy), (4) sarah papar, (5) sunat Rasul (khitan), (6) maulaulu, (7) turun ke sawah, (8) kenduri blang, (9) mendoa padi (shalawat), (10) kenduri laut, dan lain-lain. 54 Konsep utama adat di Aceh, termasuk di Simeulue diungkapkan secara puitis sebagai berikut. Adat bak Po Teumeurohom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Peusan bak Laksamana. Menyangkut adat dikuatkan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, Bab XIII Pasal 98. Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten kota di bidang keamanan, ketentraman, kerukunan, ketertiban masyarakat. Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi: (a) Majelis adat, (b) Imeum Mukim, (c) Kepala Mukim atau nama lain, (d) Imeum Cik atau nama lain, (e) Keucik, (f) Kepala Desa, (g) Ketua Gampong atau nama lain, (h) Tuha Peut atau nama lain, (i) Tuha Lapan atau nama lain, (j) Imeum Meunasah, Imam Mesjid, atau nama lain, (k) Keujreun Blang atau nama lain, (l) Panglima Laot atau nama lain, (m) Pawag Glee atau nama lain, (n) Peutua Seuneubok, (o) Haria Peukan atau nama lain, (p) Syahbanda atau nama lain. 2.9.1 Adat Makan Sirih Kegiatan budaya yang penting di dalam masyarakat Simeulue adalah adat makan sirih. Tradisi makan sirih merupakan warisan budaya masa silam, 55 lebih dari 3000 tahun yang lalu hingga saat ini. Budaya makan sirih hidup di Asia Tenggara yang didukung oleh berbagai golongan, meliputi masyarakat kelas bawah, menengah, dan atas, serta kalangan kerajaan. Tradisi makan sirih ini tidak diketahui secara pasti dari mana berasal, menurut cerita-cerita sastra tradisi ini berasal dari India. Tetapi jika ditelusuri berdasarkan bukti linguistik, kemungkinan besar tradisi makan sirih ini berasal dari Indonesia. Pelaut terkenal Marco Polo menulis dalam catatannya di abad ke-13 bahwa orang India mengunyah segumpal tembakau. Sementara itu penjelajah terdahulu seperti Ibnu Batutah dan Vasco de Gama menyatakan bahwa masyarakat Timur memiliki kebiasaan memakan sirih. Di daerah Aceh, mengunyah ranup (sirih) merupakan salah satu bagian tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan. Apabila dikaji pada masa lalu, para nenekmoyang di Aceh memiliki tradisi makan sirih. Tradisi makan sirih ini dibawa oleh rumpun Melayu yang merantau ke Aceh sekitar tahun 500 sebelum Masehi. Sirih yang dimakan berisikan biji pinang yang sudah diparut, gambir dan sedikit kapur sirih. Kapur diyakini dapat memperkuat cengkraman gusi terhadap gigi. Berikut adalah gambar seperangkat sirih. 56 Gambar 2.3: Batel Angak (Cerana Sirih) Sumber: www.busanamuslimbukittinggi.com Gambar 2.4: Batel Angak (Cerana Sirih) dan Isinya 57 Gambar 2.5: Tutu Angak (Penumbuk Sirih) Sumber: www.melayuonline.com Gambar 2.6: Daun Sirih Sumber: www.melayuonline.com 58 Gambar 2.7: Gambir Sumber: google.com 59 Gambar 2.8: Biji Pinang Sumber: google.com Gambar 2.9: Kapur Sirih Sumber : google.com 60 Masyarakat Aceh (khususnya Simeulue) memiliki beberapa makna sosial dan kultural terhadap batel angak. Pemaknaan yang beragam terjadi karena sirih atau ranup dalam kehidupan masyarakat digunakan dalam berbagai aktivitas, sehingga makna yang terkandung menjadi berlainan. Secara terperinci makna sirih adalah sebagai berikut. a. Batel angak sebagai simbol pemuliaan tamu. Hal ini sangat jelas terlihat dalam kesenian dan berbagai jamuan kepada tamu, besan dan juga orang yang dihormati. Memuliakan tamu dengan batel angak, demikian makna utama dari penyajian sirih kepada tamu. b. Batel angak sebagai simbol perdamaian dan kehangatan sosial. Hal ini dapat dilihat ketika berlangsung musyawarah untuk menyelesaikan persengketaan, upacara perdamaian, upacara peusijuk dan upacara lainnya. Sirih melambangkan sifat dan watak para peserta musyawarah yang dijiwai oleh semangat setia kawan, setia kata, hidup rukun dan damai. c. Batel angak sebagai media komunikasi sosial. Makna sirih secara simbolik adalah sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang akan mengadakan suatu pembicaraan. Batel angak adalah lambang formalitas dalam interaksi masyarakat Aceh, setiap pembicaraan dimulai dengan menghadirkan batel angak dan kelengkapannya. Geertz mengatakan bahwa sirih atau ranup sebagai sebuah bagian dari kebudayaan yang masih dipraktekkan masyarakat Aceh. Tidak hanya sebagai kompleks-kompleks tingkah laku konkret, misalnya, adat istiadat, kebiasaankebiasaan, tradisi-tradisi, kumpulan-kumpulan kebiasaan, seperti yang pada 61 umumnya sampai hari ini, melainkan sebagai seperangkat mekanisme kontrol yaitu rencana, resep, aturan, intruksi untuk mengatur tingkah laku. 2.9.2 Masyarakat Adat Simeulue dan Alam Membicarakan nandong smong sebagai kearifan lokal untuk memahami apa itu tsunami, dan bagaimana cara orang Simeulue mmenyelamatkan diri dari bencana ini, tidak dapat dilepaskan dari bagaimana masyarakat Simeulue memandang alam. Dalam kajian antropologis, bagaimana manusia memandang alam ini disebut dengan kosmologi.7 Etnik Simeulue dapat dikategorikan sebagai orang maritim, karena lingkungan alam tempat tinggalnya adalah pulau Sinmeulue, yang keseluruahn pantainya langsung berhadapan dengan Samudera Hindia. Dalam suasana alam maritim di khatulistiwa ini, segala aktivitas orang Simeulue berkaitan dengan bagaimana cara mengelola alam kelautan atau bahari bagi kepentingan hidup mereka, baik kepentingan jasmani dan ekonomis maupun kebutuhan spiritualnya. Semua ini mengarah kepada kosmologi yang mereka bangun dari masa ke masa. Menurut Zainal Kling (2004:41) kebiasaan dan ketetapan corak kehidupan kelompok manusia tidak hanya ditentukan oleh sifat saling respons 7 Kosmologi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah alam semesta berskala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu subjek. Kosmologi dipelajari dalam astronomi, filosofi, dan agama. Kosmologi yang penulis uraikan ini adalah berkait dengan budaya SImeulue dan agama Islam yang menjadi agama orang Simeulue. Selain itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kosmologi/kos·mo·lo·gi/ n 1 ilmu (cabang astronomi yang menyelidiki asal-usul, struktur, dan hubungan ruang waktu dari alam semesta; 2 ilmu tentang asal-usul kejadian bumi, hubungannya dengan sistem matahari, serta hubungan sistem matahari dengan jagat raya; 3 ilmu (cabang dari metafisika) yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang beraturan. 62 sesama mereka saja, tetapi juga ditentukan oleh kesatuan dengan alam—atau kebiasaan sikap terhadap alam di tempat manusia itu tinggal dan berusaha mencari kehidupan. Setiap hari, secara tetap manusia mencari rezeki dari sumber-sumber alam (dan juga jasa), baik siang maupun malam, juga menurut perjalanan matahari dan bulan, turun naik dan pasang surut air laut, dan juga ketetapan perubahan musim hujan,panas, dan angin. Di daerah-daerah di luar khatulistiwa, bahkan dikenal empat musim, yaitu: panas, daun gugur, dingin, dan semi. Sifat alam yang sangat tetap ini menetapkan pula prilaku manusia, yang berhubung dengan keadaan alamnya untuk dapat menetukan jadwal kerja dan mencari sumber kehidupan mereka. Menurut Takari (2015), keadaan alam lingkungan manusia inilah yang kemudian melahirkan peradaban-peradaban mereka sendiri, yang berbeda dari satu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya. Dalam masyarakat yang tinggal di kawasan laut, pastilah mereka menumpukan kehidupannya pada ekosistem laut. Mereka akan mencari ikan dengan berbagai spesiesnya, menanam rumput laut, membangun kerambah untuk budidaya ikan, mengolah hutan bakau dengan segala kekayaan alamnya, menanam kelapa dan tumbuhan khas pesisir pantai, sampai juga mengadakan sarana wisata maritim, membuat perahu dengan teknologinya, sampan, jermal, dan sejenisnya. Sehingga kebudayaan yang dihasilkan mereka adalah kebudayaan maritim. Masyarakat Simeulue adalah masyarakat kelautan, karena habitat dan ekosistemnya adalah pulau dan lautan. Mereka bekerja menyesuaikan diri 63 dengan alam sekitarnya. Mereka juga memikiki konsep-konsep tersendiri mengenai alam ini. Bagi masyarakat Simeulue alam adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia diciptakan di dunia juga menjadi bahagian dari alam. Jadi oleh karena itu janganlah merusak dan mengeksploitasi alam. Orang-orang Simeulue meyakini bahwa alam itu selain bumi dengan segala isinya, termasuk pulau dengan berbagai tumbuhannya seperti kelapa, bakau, hutan-hutan, dengan dilengkapi berbagai jenis pohon. Demikian pula lautan dengan berbagai kekayaan alamnya seperti berbagai jenis ikan, udang, teripang, kerang, cumicumi, dan lainnya, juga terdapat terumbu karang, dan lain-lainnya. Bagi masyarakat Simeulue selain ajaran adat, mereka juga memandang alam ini sebagai rahmat Allah kepada mereka, seperti yang diajarkan di dalam agama Islam. Alam adalah sumber mata pencaharian manusia, alam juga mengajarkan bagaimana mengisi hdup. Termasuk pula kapan seorang nelayan mesti ke laut, petani menanam tanam-tanaman, disesuaikan dengan keadaan alam di dalam ruang dan waktu yang tertentu. Kepercayaan tentang alam ini di dalam kebudayaan etnik Simeulue secara agama di antaranya merujuk kepada Al-Quran sebagai berikut. (1) Q.S. Al-Mu’min ayat 64 64 Artinya: 64. Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rezki dengan sebahagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam. (2) Q.S. An Nahl ayat 65 Artinya: 65. Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran). Orang-orang Simeulue juga meyakini bahwa alam ini kadangkala dapat memberikan bencana, seperti kebakaran, kebanjiran, kemarau, gerhana, hujan yang disertai angin puting beliung, angin tornado, tsunami, dan lain-lainnya. Dalam menghadapi bencana alam ini, setiap orang Simeulue sebagai umat Islam, perlu berdoa agar dijauhkan dari bencana. Namun kalaupun bencana alam datang, maka diperluakan upaya untuk menyelamatkan diri dari bencana tersebut. Menurut ajaran Islam bencana alam ini juga menjadi bagian dari kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, seperti yang terdapat di dalam Al-Quran berikut ini. 65 (1) Q.S. Surah Al An’aam ayat 63. 63. Katakanlah: "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan: "Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur." (2) Q.S. Al An’aam ayat 64: Artinya: 64. Katakanlah: "Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya." (3) Q.S. Al-Baqarah ayat 164 Artinya: 164. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. 66 Dari sebahagian saja ayat-ayat Al-Qura’an seperti yang dikutip di atas menjelaskan kepada umat Islam, termasuk etnik Simeulue, bahwa alam ini adalah tempat manusia mengisi kehidupannya. Alam adalah sumber dari peradaban manusia. Namun adakalanya Allah mencoba manusia dengan bencana-bencana alam, yang di dalamnya terkandung nilai-niai pembelajaran kerohanian manusia. 2.10 Nandong Smong di Simeulue Nandong merupakan salah satu kesenian tradisional yang ada di Kabupaten Simeulue. Sejauh pengamatan penulis, belum ada buku yang menuliskan tentang arti dari kata nandong. Penulis sebagai putra daerah Simeulue berpendapat bahwa kata nandong diambil dari bahasa Indonesia, yaitu kata senandung. Senandung berarti nyanyian atau alunan lagu dengan suara lembut untuk menghibur diri atau menidurkan bayi. Oleh karena bahasa yang digunakan mirip seperti Minangkabau yang banyak menggunakan huruf vocal “O”, kata senandung perlahan berubah menjadi “senandong” hingga menjadi kebiasaan masyarakat menyebut nandong. Jadi, nandong adalah nyanyian atau alunan lagu yang dinyanyikan dengan makna lirik yang bertujuan untuk mengingatkan, menasehati, dan memberitahu kepada penonton tentang kehidupan sehari-hari. Smong berasal dari bahasa Simeulue yang artinya air laut naik, ketika gempa bumi atau lebih dikenal dengan istilah tsunami (dalam bahasa Jepang). Jadi, nandong smong adalah jenis nyanyian atau alunan lagu yang berkisah 67 tentang peristiwa tsunami. Dalam sejarah tercatat bahwa tsunami ini menghantam pulau Simeulue pada tahun 1833 dan 1907 silam. Pada tahun 1833 terjadi smong (tsunami) di kepulauan ini, berselang 74 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1907 smong kembali melanda daerah kepulauan ini. Dari bencana alam ini, para orang tua menceritakan kepada anak cucu mereka jika terjadi gempa dan air laut surut, segeralah lari ke dataran yang lebih tinggi. Menurut penjelasan seorang informan bernama bapak Suherman (58 tahun), dituturkan sebagai berikut: ”Para nenek moyang kami menurunkan atau memberi tahu nasehat ini melalui cara bernandong, yaitu bersenandung dengan diiringi oleh alunan biola dan kedang. Karena kebiasaan inilah makanya kami selamat waktu tsunami 2004.” Nandong smong ini sering dilantunkan oleh para seniman nandong di saat ada acara berkumpul-kumpul, hari-hari besar nasional maupun daerah bahkan termasuk ke dalam salah satu rangkaian dari pada upacara adat pernikahan, sehingga ini sudah dianggap sebagai “tradisi asli” dari Simeulue. Oleh karena kentalnya tradisi ini sehingga smong mendapat penghargaan dari PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) karena pengetahuan lokal dan tradisi lisannya mampu meminimalisasi korban saat tsunami tahun 2004. UN (United Nations) atau di Indonesia lebih dikenal dengan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) melalui program ISDR8 (International Strategy for Disaster Reduction) memberikan penghargaan kepada masyarakat 8 ISDR adalah sebuah organisasi untuk mengawasi pengembangan kebijakan pengurangan bencana alam. 68 Simeulue, yaitu Sasakawa Award9 pada 13 oktober 2005. Penghargaan ini diberikan karena masyarakat memiliki kearifan lokal smong, sehingga 80.500 masyarakat Simeulue dapat selamat dari bencana tsunami 2004. Bencana tsunami saat ini termasuk dahsyat, karena menyapu dan melanda berbagai negara, seperti: Indonesia, Thailand, Malaysia, India, dan lain-lainnya. Dilihat dari pusat gempa, pulau Simeulue tempat bermukimnya orang Simeulue paling dekat jaraknya. Pemerintah di Kabupaten Simeulue pun dibandingkan dengan berbagai pemerintah di kawasan-kawasan tsunami seperti Jepang, ketinggalan dari segi teknologi komunikasi tentang tsunami, seperti sirene di lautan sebagai tanda terjadinya tsunami, demikian juga teknologi penanda gempa, yang dalam hal ini ditangani oleh BMKG (Badan Meteorologi dan Geofisika) tidaklah secanggih di negara-negara maju. Dalam hal ini tradisi lisan nandung smong sangat berfungsi sebagai sarana ilmu pengetahuan tradisional orang Simeulue, dalam konteks memahami apa itu tsunami, yang ditandai dengan gejalanya dan kemudian peristiwanya. Demikian pula tradisi ini dapat memberikan pengetahuan kolektif masyarakt Simeulue dalam rangka menyelamatkan diri dari bencana tsunami. Itulah beberapa faktor keunggulan kearifan lokal dalam nandong smong ini. Berikut ini adalah penghargaan Sasakawa Award. 9 Sasakawa Award adalah satu dari tiga penghargaan yang sangat prestisius di tingkat Global. Nominasi untuk memenangkan Sasakawa Award for Disaster Reduction tak hanya dari Indonesia. Tapi juga berasal dari negara-negara di seluruh dunia. 69 70 71 Gambar 2.10: Kutipan Penting Sasakawa Award atas Eksistensi Nandong Smong 72 Adapun isi penghargaan PBB kepada masyarakat Simeulue atas nandong smong ini, dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah sebagai berikut. Bupati Kabupaten Simeulue menerima sebuah penghargaan yang bergengsi dari PBB Bangkok, 13 oktober 2005, Bupati Simeulue menerima sebuah penghargaan yang bergengsi dari PBB karena menyelamatkan ribuan nyawa pada tsunami 26 desember. Terima kasih untuk kepercayaan terhadap pengetahuan yang mereka miliki tentang melihat bagaimana tanda-tanda laut dan reaksi kerbau-kerbau menjauh dari laut. Penduduk yang berjumlah sekitar 80.500 jiwa meninggalkan daerah pesisir menuju bukit-bukit terdekat pada hari minggu pagi. Walau demikian, ada juga sebanyak tujuh orang yang meninggal karena tsunami di pulau ini. Ketika 163.795 meninggal di provinsi Aceh. Penduduk pemilik smong menerima penghargaan Sasakawa Award sebagai bencana yang menghancurkan. Cerita tentang apa yang terjadi di laut sebelum tsunami dan bagaimana kerbau-kerbau berlari kencang ke pegunungan, seperti yang telah diceritakan oleh nenek moyang beberapa tahun silam dengan cerita-cerita lain tentang nenek moyang mereka. Seperti yang dikatakan Muhammad Ridwan yang merupakan pemimpin dari penduduk Simeulue, dia mengatakan hal ini setelah mendapatkan penghargaan. Tradisi lisan ini (smong) dibentuk oleh masyarakat Simeulue, karena terjadi kehancuran yang telah mengejutkan penduduk baik itu yang berprofesi sebagai petani, nelayan, dan pedagang ketika sebuah gempa yang diikuti 73 dengan tsunami menghantam kepulauan ini pada tahun 1907, yang telah membunuh ribuan jiwa. Lebih lanjut dikatakan Ridwan, “Sejak itu kami telah belajar bagaimana untuk melarikan diri dan desember yang lalu itu membutuhkan sekitar 30 menit untuk berada di daratan yang lebih tinggi.” Ridwan, umur 53, adalah sekretaris daerah Kabupaten Simeulue. Penerbangan dan ribuan nyawa selamat karenanya. Ini juga yang menakjubkan masyarakat Simeulue berada di lokasi yang sangat dekat dengan pusat gempa bumi yang berada di Samudra Hindia. Gempa bumi inilah yang memicu tsunami. Di lain sisi, “Apa yang terjadi di Simeulue adalah sesuatu prestasi yang unik di tengah kematian di Aceh yang dikarenakan tsunami,” Nannie Hudawati, seorang pejabat senior di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPNB), atau disebut dengan IPS. “itu adalah satu penduduk yang memiliki cara tradisional untuk menanggulangi tsunami.” Dua penduduk lain yang juga bertahan dengan bergantung pada pengetahuan tradisional dan melarikan diri ke tempat yang aman--jipsi laut yang berada di sepanjang pantai selatan Thailand dan penduduk suku yang tinggal di daerah terpencil India, yaitu pulau Andaman dan Nicobar. Nandong smong disajikan pada saat-saat tertentu, seperti pada acara pertunjukan kesenian daerah Aceh, dalam penyambutan tamu istimewa, pada malam hari di saat sebelum atau sesudah upacara pernikahan, dan juga terkadang di saat pesta setelah khitanan10 pun juga dimaikan. Demikian ulasan 10 Pelaksanaan (upacara) memotong kulup; sunatan. Sumber: kbbi.web.id/khitanan 74 mengenai aspek etnografi dan keberadaan nandong smong di dalam kebudayaan etnik Simeulue di Provinsi Aceh. Keberadaan etnik Simelulue terekspresi dalam nandong smong. Dapat dikatakan bahwa nandong smong ini adalah ikon dari peradaban masyarakat Simeulue. Seni inilah yang menjadi garda depan identitas kebudayaan Simelulue, yang dikenal di seluruh Nusantara bahkan dunia. . 75 BAB III KAJIAN MUSIKAL Bab III ini adalah khusus berisikan materi kajian musikal. Kajian ini mencakup tentang pemusik dalam pertunjukan smong, alat-alat musik yang digunakan, transkripsi dan analisis nandong smong (berdasarkan weighted scale, seperti yang telah diuraikan di bab pendahuluan. Tujuan tama dari studi atau kajian musikal ini adalah untuk melihat bagaimana budaya musik smong ini dipertunjukkan, dan bagaimana pula stuktur musik yang dihasilkannya. Dengan mengetahui aspek musikal ini, maka secara keilmuan, berdasarkan pemahaman secara etnomusikologis, msaka kita dapat memahami karakteristik khas kebudayaan masyarakat Simeulue. 3.1 Pemusik Pemusik di dalam kebudayaan etnik Simeulue sangatlah dihormati. Pemusik, termasuk pemusik dalam kesenian nandong smong dipandang sebagai tokoh adat, yang memahami baik secara mendalam maupun meluas mengenai adatistiadat etnik Simeulue. Pemusik dipandang sebagai kelas sosial terpandang secara kebudayaan. Biasanya menjadi pemusik bukanlah sebagai pekerjaan utama dalam kebudayaan Simeulue. Pemusik adalah bahagian dari pengabdian diri dalam konteks memelihara dan mengembangkan kebudayaan. Di dalam kehidupan masyarakat, mereka biasanya bekerja di bidang-bidang lain, seperti sebagai petani, nelayan, pegawai negeri sipil, tentara, dan lain-lainnya. Seorang pemusik melekat statusnya selama ia masih menjadi pemain musik. Pemusik juga sekali gus dipandang sebagai tokoh dan pemelihara adat. Oleh karenanya, seorang pemusik 60 dihormati di dalam kehidupan sehari-hari maupun di atas pentas pertunjukan. Berikut ini adalah foto penampilan pemusik dengan pakaian adat Simeulue, serta alat musik kedang dan biola, sebelum menyajikan pertunjukan nandong smong. Gambar 3.1: Pemusik. Jamil (63 Tahun, Kiri) dan Suherman (58 Tahun, Kanan) (Dokumentasi: Penulis, September 2016) Setiap kelompok seni memiliki pakaian khas yang mewakilkan budaya di daerahnya, begitu juga dengan kelompok seni yang ada di Simeulue. Para musisi tradisional di daerah ini umumnya memakai baju dan celana berwarna kuning mengkilat dan memakai kain songket khas Aceh, yang dikenakan seperti memakai kain sarung, tetapi hanya dari bagian pinggang dan lutut saja yang tertutupi. Foto pakaiannya dapat dilihat pada gambar di atas. 61 Menurut Suherman, “Warna kuning melambangkan kemewahan karena pada zaman dahulu hanya para petinggi seperti Kerajaan yang boleh memakai warna ini dan kain songket ini merupakan upaya kami untuk melestarikan kain tradisional Aceh.” Menurut hasil pengamatan penulis di lapangan, perpaduan pakaian yang digunakan memiliki kesamaan dengan daerah pesisir barat di Indonesia. Hal ini terjadi dikarenakan oleh akulturasi budaya yang dibawa oleh para pendatang dan pedagang ke Simeulue. Para pendatang di Simeulue berasal dari beberapa wilayah pesisir barat, yaitu Minangkabau, Pesisir, Nias, dan Melayu. 3.2 Instrumen Pengiring dan Klasifikasi Organologis Umumnya, dalam sebuah pertunjukan nyanyian selalu ada alat musik sebagai pengiring nyanyian tersebut, walaupun bukan sebagai suatu keharusan. Begitu juga dengan nandong smong ini yang memiliki dua jenis alat musik pengiring nyanyiannya. Curt Sach dan Hornbostel dalam tulisannnya Classification of Musical Instrument menyebutkan bahwa alat musik dapat diklasifikasikan menurut sumber bunyinya. Dalam penelitian lapangan yang penulis lakukan, terdapat dua jenis alat musik pengiring yang mainkan, yaitu biola dan gendang. Berikut adalah penjelasannya. 3.2.1Biola Biola merupakan alat musik yang berasal dari eropa yang tergolong kedalam klarifikasi alat musik chordophone, yaitu alat musik yang sumber bunyinya adalah getaran dari dawai atau senar. Di Indonesia, biola sangat sering digunakan sebagai salah satu alat musik pengiring kesenian tradisional, umumnya di daerah pesisir 62 barat. Biola yang digunakan oleh seniman Simeulue ini secara kasat mata terlihat sama persis dengan biola pada umumnya, namun yang membedakannya adalah biola ini dibuat secara otodidak oleh bapak Gagak, bahan bakunya diambil dari kayu hutan pilihan dan membuat nya sendiri di rumah. Pembuatan biola ini mengadopsi bentuk biola pada umumnya. Yang menjadikan khas dari biola ini ada bentuk nya yang tipis dan suara nya yang nyaring. Pak Gagak merupakan satusatunya pembuat biola di Simeulue. Berikut adalah gambar biola buatan tangan bapak Gagak. Gambar 3.2: Biola Buatan Tangan oleh Bapak Gagak. Dokumentasi: Penulis, September 2016. 3.2.2 Kedang (Gendang) Kedang adalah gendang dalam bahasa Simeulue. Alat musik pukul jenis membranophone double head ini berbentuk silendris atau tabung yang kedua sisi tidak sama besarnya. Alat musik ini terbuat dari kayu yang dilubangkan pada bagian tengahnya dan ditutupi oleh kulit kambing yang sudah diolah pada bagian 63 kanan dan kiri sebagai membrannya. Pada bagian membran kanan diikat menggunakan rotan ke bagian membran kiri, lalu ditarik hingga erat. Namun karena kurangnya bahan baku rotan, pembuat kedang menggunakan tali jenis nylon sebagai pengganti rotan. Gambar 3.3: Kedang dan Pemukulnya Dokumentasi: Penulis, September 2016. 64 Gambar 3.4: Kedang Dokumentasi: Penulis, September 2016. 3.3 Transkripsi Vokal dan Musik Pengiring 3.3.1 Teknik Transkripsi Dalam bidang ilmu musikologi dan etnomusikologi, transkripsi adalah proses mengubah bunyi sebagai hasil dari pengamatan dan pendengaran suatu musik ke dalam bentuk simbol atau notasi. Banyak jenis notasi di dunia ini, baik yang didasari oleh sistem tulisan masyarakatnya, maupun yang diadopsi dari budaya lain, termasuk notasi balok dan angka dari kebudayaan Barat. Pada bagian ini penulis melakukan transkripsi dengan menggunakan notasi Barat. Penulis memilih notasi Barat agar dapat menggambarkan pergerakan melodi secara grafis. Penulis merasa notasi barat merupakan pilihan tangga nada notasi yang paling tepat untuk bisa mewakili nada pada setiap simbolnya, hasil transkripsi yang dibuat oleh penulis merupakan gambaran nada yang mendekati melodi asli 65 dalam lagu, dalam arti kata lain, melodi yang sudah penulis transkrip ke dalam notasi Barat tidak sama persis dengan yang asli. Teknik transkripsi yang penulis gunakan adalah sebagai berikut. (1) Notasi ditulis dalam sebuah sistem (gabungan beberapa alat musik dan vokal), yang mewakili bunyi gendang (kedang) pada paranada atas, kemudian di tenbgahnya paranada untuk menuliskan vokal (nyanyian), dan paranada ketiga paling bawah adalah notasi untuk biola. Contohnya dapat dilihat pada notasi berikut ini. (2) Bunyi gendang ditulis dengan menggunakan tanda berikut ini agar diasosiasikan dengan ritme bukan denggan melodi. (3) Vokal dan biola dalam setiap baris dituliskan dengan menggunakan tanda mula dua mol (yaitu nada bes dan es), sesuai dengan frekuensi aslinya. Namun dalam konteks ini, bukan seperti halnya musik Barat yang jika menggunakan dua mol berarti nada dasar mayornya adalah Bes Mayor (minor relatifnya G Minor). 66 (4) Karena musik nandong smong ini, tidak terlalu terikat pada meter yang pasti, maka tanda birama tidak dituliskan. Musik ini adalah semi free meter. Contohnya adalah sebagai berikut. 3.3.2 Hasil Transkripsi Berdasarkan teknik transkripsi seperti diurai di atas, maka didapatlah hasilnya melalui penulisan yang menggunakan perangkat lunak sibelius. Berikut adalah hasil transkripsi cuplikan nandong smong, yang penulis transkripsikan bersama bantuan dari Mario Y. Sinaga. 67 Notasi 3.1: NANDONG SMONG Transkripsi oleh : Yomi Harsa dan Mario Y Sinaga 175 68 110 69 125 70 71 72 73 74 3.3.3 Struktur Pertunjukan Berdasarkan hasil transkripsi pada notasi di atas, maka menjeaskan kepada kita pertunjukan nandong smong memiliki norama-norma (urutan) pertunjukannya. Pertama sekali yang mengisi pertunjukan ini adalah pola ritme kedang, yang dalam hal ini dimulai dari birama 1 sampai 52. Pola ritme kedang sebanyak 52 bar ini, berdasarkan pola-pola yang dihasilkan pemain kedang adalah pola ritme: (1) empat ketukan yang diisi durasi not seperempat, (2) pola ritme gabungan ketukan-ketukan dupel; (3) gabungan dupel dan kuadrupel, sebagai berikut. 1. . 2. 3. Urutan pertunjukan berikutnya adalah biola. Sebagaimana peran biola pada musik Simeulue pada umumnya, biola berfungsi sebagai melodi yang menjadi acuan penandong masuk, secara heterofonis. Biola juga menjadi jembatan melodis antara bentuk melodi vokal. Demikian pula pertunjukan smong ini. Bentuk melodi biola sebelum masuk vokal, adalah sebagai berikut. 75 76 Kemudian masuklah vokal penandong smong ini pada birama yang ke-120. Adapun ketika nandong smong dipertunjukkan, maka baik kedang maupun biola main bersama-sama dan menghasilkan tekstur musik heterofonis. Dalam hal ini melodi biola dan vokal memiliki garis melodi secara umum hampir sama, namun dengan varisasi-variasi yang berbeda. Selengkapnya dapat dilihat pada notasi awal di atas. Notasi khusus vokal nandong smong ini dapat dilihat pada notasi berikut ini. 77 Notasi 3.2: NANDONG SMONG (Bagian Vokal Saja) 78 3.4 Analisis 3.4.1 Tangga Nada Tangga nada atau scale yang dimaksud dalam skripsi ini adalah nadanada yang dipakai dalam nandong smong, yang berkaitan dengan melodi serta nada dasar (tonika). Tangga nada ini memiliki nada-nada anggota, yang membangun melodi secara keseluruhan. Dalam mendeskripsikan tangga nada, penulis mengurutkan nada-nada yang terdapat dalam melodi nyanyian tersebut, berdasarkan kaidah penyusunan tangga nada atau modus melodi di dalam kebudayaan musik manapun di dunia ini. Dari hasil transkripsi diperoleh nada-nada anggota tangga nada nandong smong ini sebagai berikut. Notasi 3.3: Tangga Nada Nandong Smong Adapun jarak antara nada-nada anggota tanggga nada ini adalah: 200 -- 200 -atau 1 -- 1 -- 200 -1 -- 100 -- 100 -- 100 -- 200 ½ -- ½ -- ½ --- 1 sent laras Tangga nada tersebut dilihat dari hubungan antara nada yang satu dengan yang lainnya memiliki formula-formula interval yang menyusunnya sebagai berikut ini. 79 Notasi 3.4: Hubungan Antarnada dalam Tangga Nada Nandong smong Dengan demikian tangga nada yang digunakan oleh penyanyinya untuk menyanyikan nandong smong ini dapat diklasifikasikan kepada tangga nada yang menggunakan delapan nada, bisa jadi ini pengembangan dari tangga nada yang lazim dalam kebudayaan Aceh yakni heptatonik.19 3.4.2 Nada Dasar (Pitch Center) Dalam menentukan nada dasar pada nandong smong ini, penulis menggunakan tujuh kriteria-kriteria generalisasi yang ditawarkan oleh Bruno Nettl dalam bukunya Theory and Method in Etnomusicology (1963:147), yaitu sebagai berikut. 19 Jika sebuah tangga nada (scale) menggunakan dua nada disebut dengan ditonik, tiga nada tritonik (sedangkan tritonus berkait dengan interval kuart aughmented contohnya F ke B atau balikannya kuint diminished, contoh B ke F), empat tetratonik, lima pentatonik, enam sektatonik, dan tujuh heptatonik. Sementara tangga nada diatonik adalah tangga nada yang mengacu kepada tangga nada musik Barat secara umum, yang menggunakan dua jenis interval yaitu penuh dan setengah, dengan bentuknya pada tangga nada mayor maupun minor (natural, harmonis, melodis, dan zigana). 80 1. Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang paling sering muncul dan nada mana yang paling jarang dipakai dalam suatu komposisi musik. 2. Kadang-kadang nada yang memiliki nilai ritmisnya besar dianggap nada dasar, meskipun jarang dipakai. 3. Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada bagian tengah komposisi dianggap mempunyai fungsi penting dalam tonalitas tersebut. 4. Nada yang menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada ataupun posisi tepat berada ditengah-tengah dapat dianggap penting. 5. Interval-interval yang terdapat antara nada kadang-kadang dipakai sebagai patokan. Contohnya sebuah posisi yang digunakan bersama oktafnya, sedangkan nada lain tidak memakai. Maka nada pertama tersebut boleh dianggap lebih penting. 6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga bisa juga bisa dipakai sebagai patokan tonalitas. 7. Harus diingat barangkali ada gaya-gaya musik yang mempunyai sistem tonalitas yang tidak bisa dideskripsikan dengan patokan-paokan diatas. Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti itu, cara terbaik tampaknya adalah pengalaman lama dan pengenalan akrab dengan musik tersebut (terjemahan Marc Perlman 1963:147). Dengan melihat ketujuh kriteria di atas, maka dapat diuraikan nada dasar pada nandong smong ini adalah seperti berikut. 1 Nada yang paling sering dipakai adalah nada: Bes 81 2 Nada yang memiliki nilai ritmis terbesar: Bes 3 Nada awal yang paling sering dipakai: Bes, dan nada akhir yang paling sering dipakai: D 4 Nada yang memiliki posisi paling rendah: Bes 5 Nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf: D 6 Nada yang mendapat tekanan ritmis: D 7 Berdasarkan dari pengalaman musikal penulis, maka kemungkinan besar nada dasar lagu nandong smong ini adalah nada: Bes Tabel 3.1: Nada Dasar yang Dipergunakan pada Nandong smong No Kriteria Nada 1 K1 Bes 2 K2 Bes 3 K31 Bes 4 K32 D 5 K4 Bes 6 K5 D 7 K6 D 8 K7 Bes 82 3.4.3 Wilayah Nada Wilayah nada dapat didefiniskan merupakan retang antara nada yang terendah sampai yang tertinggi yang digunakan dalam sebuah bangunan musik, terutama yang berkaitan dengan melodi. Wilayah nada ini selalu juga dalam istilah musik disebut dengan ambitus atau range. Dengan berpedoman pada hasil transkripsi seperti terurai di atas maka wilayah nada yang digunakan penyanyi nandong smong ini adalah dari nada terendahnya yaitu Bes di bawah C tengah, dan nada tertinggi adalah nada D. Jika di gambarkan di dalam notasi adalah sebagai berikut ini. Notasi 3.5: Wilayah Nada Nandong smong Bes D 1600 sent 8 laras Dengan demikian tergambar dengan jelas bahwa ambitus suara yang diekspresikan oleh penyaji nandong smong adalah satu oktaf lebih dua laras. 83 3.4.4 Jumlah Nada Jumlah nada adalah banyaknya nada yang dipakai dalam suatu musik atau nyanyian. Dalam menentukan jumlah nada-nada dari vokal dan musik yang dimainkan, terdapat dua cara yang dilakukan. Pertama adalah melihat banyaknya kemunculan setiap nada tanpa melihat durasinya secara komulatif. Kedua, melihat kemunculannya dan menghitung durasi komulatif. Dalam hal ini, penulis menggunakan cara yang pertama, yaitu dengan menghitung nada yang digunakan di dalam nandong smong. Adapun nada-nada yang digunakan di dalam nandong smong adalah sebagai berikut. No Nada 1 Bb 2 C 3 D 4 Eb 5 F 6 Gb 7 G 8 A Jumlah Jumlah 19 17 14 41 39 4 17 16 182 Tabel 3.2: Jumlah Nada yang Digunakan 84 Notasi 3.6: Jumlah Nada-nada yang Digunakan pada Nandong smong 19 17 14 41 39 4 17 16 3.4.5 Jumlah Interval Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lain yang terdiri dari interval naik maupun turun. Sedangkan jumlah interval adalah banyaknya interval yang dipakai dalam suatu musik atau nyanyian. Berikut ini adalah interval dari nyanyian nandong smong tersebut. Tabel 3.3: Interval yang Digunakan Nandong smong Interval Posisi Naik Total Turun 1P 110 110 2m 3 2 5 2M 66 39 105 30 10 40 3m 3M 4P 85 5P 8 20 28 6M 1 8 9 3.4.6 Pola Kadensa Pengertian kadensa adalah pergerakan nada akhir dari suatu frasa lagu. Pola kadens dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu semi kadens (half cadence) dan kadens penuh (full cadence). Semi kadens adalah suatu bentuk istirahat yang tidak lengkap atau tidak selesai dan memberi kesan adanya gerakan ritme yang lebih lanjut. Sedangkan kadens penuh adalah suatu bentuk istirahat di akhir frase yang terasa selesai sehingga pola kadens seperti ini tidak memberikan kesan untuk menambah gerakan ritem. Berikut ini adalah penggunaan kadens pada lagu nandong smong. 86 Notasi 3.7: Pola Kadensa Nandong smong Seperti terlihat pada notasi di atas, kadens a diisi oleh nada G pada posisi up beat durasi not seperenam belas dilanjutkan ke nada F sebesar not seperenam belas dan diakhiri oleh nada Es dengan durasi not sembilan perenam belas. Kemudian kadens b, diisi oleh nada terendah pada komposisi lagu ini yakni Bes sebesar seperenam belas, dilanjutkan dengan meloncat ke nada Es di 87 atasnya dengan durasi not seperenam belas, dilanjutkan ke nada C sebesar not seperenam belas, diakhiri dengan nada D dengan durasi not setengah. Sementara kadens yang mengakhiri bentuk nandong smong ini (kadens c) adalah dimulai dari nada Bes dengan durasi sebesar not seperdelapan, kemudian dilanjutkan ke nada C yang juga berdurasi not seperdelapan, dan diakhiri oleh nada D dengan durasi not setengah. Keempat kadens inilah yang menjadi dasar komposisi kadens dalam nandong smong. 3.4.7 Formula Melodi Formula melodi yang akan dibahas dalam tulisan ini meliputi bentuk, frasa dan motif. Bentuk adalah gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi satu pola melodi. Frasa adalah bagian-bagian kecil dari melodi. Akhirnya unit terkecil yaitu motif adalah ide melodi sebagai dasar pembentukan melodi. William P. Malm mengemukakan bahwa ada beberapa istilah dalam menganalisis bentuk, yaitu: 1. Repetitif yaitu bentuk nyanyian yang diulang-ulang. 2. Ireratif yaitu bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulanag di dalam keseluruhan nyanyian. 3. Strophic yaitu bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks nyanyian yang baru atau berbeda. 4. Reverting yaitu bentuk yang apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi penyimpanganpenyimpangan melodi. 88 5. Progresive yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang selalu baru. Melihat kepada hal yang dikemukakan oleh Malm mengenai bentuk nyanyian, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa melodi dari nyanyian tersebut adalah strophic yang artinya bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks nyanyian yang baru atau berbeda. 3.4.8 Analisis Bentuk, Frase, dan Motif pada Nandong Smong Secara garis besar, bentuk melodi nandong smong, ada dua yang dalam hal ini diidentifikasi dengan bentuk A dan bentuk B. Bentuk melodi nandong smong A, disusun oleh frase a dan frase b. Di sisi lain, bentuk B diisi dan dikomposisikan oleh frase c1 dan c2. Frase-frase yang membentuk komposisi bentuk A dan B nandong smong ini adalah: (1) frase a, (b) frase b, (c) frase c1, dan (d) frase c2. Frase-frase yang kemudian menyusun bentuk binari inilah yang menjadi dasar penandong smong, menyajikan melodinya secara kontinu dalam pertunjukan atau konteks sosialnya. 89 Notasi 4.8: Frase-frase Nandong smong Dari notasi di atas dapat dideskripsikan dua frase yang membentuk melodi vokal smong ini sebagai berikut. (i) Frase A, pada birama pertama dimulai dengan nada Bes dengan durasi not setengah. Diteruskan ke nada Bes dengan durai not seperenam belas, ke nada C durasi seperenam belas, nada Bes kembali durasi seperenam belas, dan nada A durasi seperenam belas. Diteruskan ke beat berikut, dengan nada yang persis sama dengan nada beat sebelumnya, yakni nada Bes, C, Bes, C, A masing-masing durasi 90 seperenam belas. Duteruskan ke beat selanjutnya dengan menggunakan nada Bes durasi seperdelapan dan nada C juga seperdelapan, dilanjutkan ke ketukan berikut yakni nada Bes not seperdelapan, nada A seperenam belas, nada Bes seperenam belas, beat berikutnya masingmasing not seperenam belas dengan nada C, Bes, C, Bes; diteruskan ke ketukan berikut yang juga kuadrupel artinya masing-masing not seperenam belas dengan nada-nada A, Bes, C, Bes. Kemudian kuadrupel dengan rangakain nada A, Bes, D, C. Seterusnya durasi kuadrupel, dengan nada Bes, A, C, Bes. Masih durasi sama dengan nada A, G, A, Bes, diteruskan ke A, G, F, Es. Kemudian masih sama kuadrupel Es, F, Es, G, diteruskan ke F, Es, F, Es. Kemudian dilanjutkan ke Es, F, Es, G, dilanjutkan ke F, G, F, Es, terus ke Es, F, Es, G, serta F, G, F, dan Es dengan durasi yang panjang yakni not sembilan perenam belas. (ii) Frase B, dimulai dengan nada Es not sepeerenam belas, lanjut Ges seperdelapan, ke F seperenam belas, dan dilanjutkan ke ketyukan berikut dengan durasi kuadrupel yang diisi empat nada Es, F, Es, F. Dilanjutkan ke kuadrupel juga dengan nada masibg-masing, Es, F, G, F. Diteruskan ke durasi berikut, yang masih kuadrupel dengan nada-nada G, F, Es, F. Setersunya, kuadrupel dengan nada-nada Es, F (masingmasing seeperenam belas) dan Ges seperdelapan. Kembali lagi ke kuadrupel yang diisi nada-nada Es, F, Es, F. Diteruskan ke kuadrupel G, F, Es, F. Seterusnya adalah Es seperenam belas, F seperenambelas, dan Ges seperdelapan. 91 (iii) Frase C1, diisi oleh durasi kuadrupel dengan masing-masing rangkaian nada Es, F, Es, F. Dilanjutkan ke beat berikut yang juga kuadrupel dengan nada masing-masing Es, F, G, F. Selanjutnya masih kuadrupel dengan menggunakan nada-nada G, F, Es, F. Seterusnya beat ini diisi oleh durasi not seperenam belas dengan nada D, sperenambelas Es, dan seperdelapan nada F. Dilanjutkan ke kuadrupel yang diisi nada-nada D, Bes, Es, dan C. Rangkaian frase C1 ini diakhiri olehh nada D dengan durasi not setengah. (iv) Frase C2, beat awal diisi oleh ritme kuadrupel dengan nada masingmasing D, Es, D, Es. Beat kedua juga kuadrupel dengan nada-nada yang mebgisinya D, Es, D, Es. Demikian pula dua beat berikut menggunakan durasi dan nada yang sama. Setersunya dilanjutkan dengan dua beat dupel, masing-masing menggunakan nada D, C, Bes, dan C. Frase ini diakhiri oleh not setengah dengan menggunakan nada D. Dari empat frase tersebut, maka selanjutnya lebih detil lagi dapat dianalisis motif-motif melodi yang digunakan Selengkapnya dapat diuraikan sebagai berikut. 92 nandong smong ini. Notasi 4.9 Motif-motif Nandong smong Motif melodi frase A terdiri dari: a, b, a1, c, d, a2, dan a3. Sementara di sisi lainnya, frse B dibentuk oleh motif-motif: a4, e, f, dan a21. Dengan demikian motifnya cenderung berkembang terus. Di samping itu, khusus motif 93 a, motif yang statis yaitu rangkaian nada-nada yang sama sangat berkembang di dalam melodi nandong smong ini. 3.4.9 Kontur Kontur adalah garis melodi dalam sebuah lagu. Malm (dalam Irawan 1997: 85), yang dapat dibedakan beberapa jenis kontur, yaitu: 1. Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nadayang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi. 2. Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah. 3. Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke nada yang lebih tinggi atau sebaliknya. 4. Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu nada ke nada yang lain baik naik maupun turun. 5. Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi. 6. Disjuct yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada yang lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor maupun minor. 7. Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai batas-batasan. 94 Garis kontur yang terdapat pada melodi nandong smong adalah ascending, descending dan static. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada penjelasan di bawah ini. (a) Frase A adalah descending, yakni menurun. (b) Frase B adalah statis, agak bergerak ke atas. (c) Frase C1 adalah statis dan agak menurun (d) Frase C2 juga statis dan agak menurun 3.4.10 Analisis Waktu Nandong smong selain dikomposisikan oleh dimensi ruang (tangga nada) juga disusun berdasarkan waktu. Aspek waktu ini mencakup: meter, aksentuasi, tempo, durasi, aksentuasi, dan.lain-lainnya. Inilah aspek-aspek yang mendukung dimensi waktu. 3.4.10.1 Semi Free Meter Meter yang dimaksud di dalam skripsi ini adalah kesatuan unit-unit ketukan yang menjadi siklus dari melodi nandong smong. Secara umum meter 95 yang digunakan dalam nandong smong ini adalah semi free meter, namun masih dapat dilacak, agak mengarah ke meter empat. Oleh karena itu dalam transkripsi tidak dimasukkan tanda biramanya. Proses pembentukan meter dalam lagu ini dapat dikonsepkan sebagai berikut. Bagan 4.1: Meter Nandong Smong yang Semi Free Meter Kemudian diterapkan di dalam melodi dan ritme adalah sebagai berikut. (a) Melodi vokal panandong 96 (b) Melodi biola (c) Ritme kedang dan seterusnya. 3.4.10.2 Aksentuasi Sebagaimana lazimnya melodi yang terikat dalam meter dan juga pulsa dasar, maka nandong smong dalam menyusun dimensi ruang menggunakan aksentuasi-aksentuasi metrik, dan sekaligus juga melodis. Aksentuasiaksentuasi metrik ini, berdasarkan aspek audio, adalah: 1. Untuk ketukan pertama di setiap birama adalah intensitas kuat, 2. Untuk ketukan kedua di setiap birama adalah intensitas lemah, 3. Untuk ketukan ketiga di setiap birama adalah intensitas sedang, dan 4. Untuk ketukan keempat pada setiap birama adalah intensitas lemah, Keempat intensitas (aksentuasi) ini dapat digambarkan sebagai berikut. 97 Bagan 4.1: Aksentuasi Metrik Nandong smong Aksentuasi seperti terurai di atas adalah aksentuasi berdasarkan meter yang digunakan. Selain itu, aksentuasi juga terjadi dalam melodi, yang menjadi bahagian terintegrasi dari keseluruhan melodi. Aksentuasi melodi di dalam nandong smong secara umum memiliki hubungan dengan aksentuasi meter, namun perjalanan melodi juga memberikan aksentuasi ritmenyya tersendiri juga, namun tidak sampai berlawanan. Ang jelas dasar aksentuasinya adalah ostinato (ulangan-ulangan). 3.4.10.3 Tempo Tempo adalah cepat lambatnya sebuah komposisi musik disajikan. Tempo ini bisa saja dideskripsikan dengan kata-kata atau juga bisa ditentukan berdasarkan ketukan-ketukan pada metronom (Metronom Maelzal). Dalam 98 musik Barat misalnya tempo ini dideskripsikan dengan kata-kata: largo, adagio, moderate, tempo dimarcia, presto, prestissimo, dan lain-lainnya. Setelah m,endengarkan secara audio, maka tempo ang digunakan dalam nandong smong, berdasarkan sistem metronom adalah sekitar 120 kietukan dasar per menit. Artinya adalah dalam satu menit terdapat ketukan dasar sebanyak 120. Atau dalam setiap detiknya ada dua ketukan dasar. Jika dideskripsikan dengan kata-kata, maka tempo yang digunakan pada nandong smong ini adalah sedang. Tempo ini dapat dikonsepkan sebagai berikut. Notasi 4.12: Tempo Nandong smong Birama 1 samai 31 MM = 175 Satu menit 175 ketukan dasar Birama 32 sampai 52 MM = 110 Satu menit 110 ketukan dasar Birama 53 sampai 142 MM = 125 99 Satu menit 125 ketukan dasar 3.4.10.4 Durasi Durasi adalah panjang dan pendekna not yang digunakan dalam konteks menyusun ritme (pola rime dan motif ritme). Dengan melihat notasi sebagai hasil transkripsi, maka durasi-durasi yang digunakan dalam nandong smong ini adalah sebagai berikut: Durasi not 1. Not seperempat 2. Not seperdelapan 3. Not seperenam belas Dikaitkan dengan garapan durasi pada setiap ketukan dasar, maka nandong smong ini dikomposisikan dengan: a. Satu ketukan dasar diisi oleh not seperempat b. Satu ketukan dasar diisi oleh dua not seperdelapan c. Satu ketukan dasar diisi oleh satu not seperenam belas, satu not seperenam belas dan satu not seperdelapan. d. Satu ketukan dasar diisi oleh gabungan empat not seperenambelas yang membentuk ritme kuadrupel. Dapat digambarkan sebagai berikut. 100 Notasi 4.13 Garapan Durasi Per Satu Ketukan Dasar Nandong smong 101 BAB IV KAJIAN TEKSTUAL Pada Bab IV ini, penulis khusus melakukan kajian tekstual terhadap teks nandong smong. Kajian tekstual ini, hanya memfokuskan perhatian kepada lima bait nandong smong, yang berupa syair. Kelima bait teks syair nandong smong tersebut, kemudian dianalisis memakai pendekatan teori semiotik. Namun demikin pada bagian ini, diulas juga mengenai apa itu syair secara luas di Nusantara (Alam Melayu), karena syair dalam kebudayaan Simeulue berkait erat dengan syair di dalam kebudayaan Melayu, yang awalnya dipelopori oleh Hamzah Fansuri, berdasarkan kajian pustaka, dan realitas budaya di Simeulue. Sebagai teori utama untuk mengkaji aspek tekstual nandong smong ini adalah semiotik, maka kembali lagi dijelaskan bahwa istilah semiotik sendiri berasal dari kata Yunani, yaitu semion yang berarti tanda. John Fiske (2007) berpandangan bahwa semiotika adalah studi tentang tanda dan cara tanda itu bekerja. Sedangkan Preminger (dalam Sobur, 2007) menyebutkan semiotik merupakan ilmu tentang tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti. Dalam mengungkap tanda-tanda maupun makna yang terkandung dalam lirik smong, penulis terlebih dahulu menuliskan teks dan artinya secara harfiah. Kemudian setelah itu melihatnya secara struktural, baru kemudian mengraikan maknanya secara budaya, baik makna denotatif (harfiah) maupun konotatif, ditambah dengan penafsiran-penafsiran penulis. 102 4.1 Nandong Smong sebagai Syair Nandong smong berdasarkan ilmu sastra, dapat dikategorikan sebagai genre syair. Apa yang dimaksud syair, adalah karya sastra yang umumnya menceritakan sesuatu, terdiri dari bait-bait teks, satu bait umumnya empat baris, mengikuti peratura rina di ujung-ujung barisnya, bisa bersajak rata a-a-aa, mauun binari a-b-a-b. Genre sastra ini umum dijumpai di dalam berbagai kebudayaan di Nusantara, termasuk di Simeulue, yang masuk dalam rumpun bahasa Mdelayu Polinesia. Genre sastra Melayu (termasuk di Simeulue) yang disebut syair ialah suatu bentuk puisi Melayu tradisional yang sangat populer. Kepopularen syair sebenarnya bersandar pada sifat penciptaannya yang berdaya melahirkan bentuk naratif atau cerita, sama seperti bentuk prosa, yang tidak dipunyai oleh pantun, seloka, atau gurindam. Dari bentuk kata atau istilahnya jelas bahwa kata ini berasal dari bahasa Arab. Kamus al-Mabmudiyah (1934) karangan Syed Mahmud ibnu Almarhum Abdul Qadir al-Hindi memberikan makna kata syair sebagai "karangan empat baris yang sama sajak (s-j-?)nya pada akhir keempat-empat kalimat dan sama pertimbangan perkataannya" (Syed Mahmud 1934:159). Dari konteksnya kita faharmi apa yang dimaksudkan dengan sajak (s-j-?) ialah persamaan bunyi di akhir tiap-tiap baris atau rawi. Tentu saja keterangan yang terdapat dalam Kamus Al-Mahmudiyah sangat ringkas, karena penyusun kamus ini menyadari bahwa semua orang Melayu [termasuk orang Simeulue] pasti tahu apa itu syair (Siti Hawa Haji Salleh 2005:1). 103 Begitu pentingnya kedudukan syair ini dalam kebudayaan Islam atau Melayu. Maka Al-Qur’an pun memuat perbincangan tentang syair ini dalam beberapa ayat. Dalam Al-Qur’an Asy Syu’araa’ (26:224) dijelaskan bahwa para penyair itu diikuti oleh orang-orang yan g sesat. Artinya: Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Kemudian dalam surat yang sama Al-Qur’an Asy Syu’araa’ (26:225), bahwa para penyair itu mengembara di tiap-tiap lembah. Artinya: Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap- tiap lembah Yang dimaksud dalam ayat ini ialah bahwa sebagian penyair-penyair itu suka mempermainkan kata-kata dan tidak mempunyai tujuan yang baik yang tertentu dan tidak punya pendirian. Di ayat lain yaitu ayat 226, diterangkan bahwa penyair itu hanya suka mengatakan tetapi tidak melakukan apa yang dikatakannya. Selengkapnya firman Allah dalam Al-Qur’an Asy Syu’araa’(26: 226) adalah sebagai berikut. 104 Artinya: dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? Setelah memberikan peringatan bagi para penyair yang “menyimpang,” di ayat 227 Allah memuji dan memberikan jaminan kepada para penyair yang beriman dan beramal saleh, walau awalnya mereka menderita dan dizalimi. Selengkapnya Al-Qur’an surat Asy Syu’araa’(26: 227) sebagai berikut. Artinya: Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. Di dalam Al-Qur’an surah Yaasiin (36;69), sebagai pernyataan bahwa Al-Qur’an itu bukan ciptaan Nabi Muhammad tetapi adalah wahyu Allah melalui Malaikat Jibril, Allah berfirman sebagai berikut. Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Qur.an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. 105 Ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi tentang penyair dan syair tersebut di atas, tampaknya adalah ingin meluruskan ide dan praktik terhadap sastra syair ini dalam rangka tauhid kepada Allah, bukan sebaliknya “bermain dengan kata-kata” untuk ingkar kepada Tuhan, dan memilih jalan syetan. Dalam Dunia Melayu, lebih lanjut menurut Harun Mat Piah para pengkaji yang meneliti syair sepakat menyatakan baawa kata syair berasal dari bahasa Arab sy’r yang umumnya merujuk kepada pengertian puisi dalam apaapa jua jenisnya seperti yang difahami dalam istilah Inggris poem atau poetry (Harun Mat Piah 1989:210). Sementara itu, dalam bahasa Arab kata sy’r melahirkan kata sya’ir dengan membawa maksud penulis atau pencipta puisi, penyair, atau penyajak. Dalam bentuk asalnya, syair tidak mungkin dikelirukan dengan seloka dan gurindam karena cara penulisannya. Syair yang pada mulanya ditulis dalam tulisan Jawi (Arab Melayu), ditulis berpasang-pasangan, yaitu dua kalimat (ayat) pada baris pertama dengan dipisahkan oleh suatu tanda hiasan atau bunga di tengah-tengahnya. Biasanya dua pasangan ayat (yaitu empat baris) mempunyai bunyi akhir sama, walaupun kadang-kadang ditemui sepasang ayat sahaja yang mempunyai rima akhir yang sama (Siti Hawa Haji Salleh 2005:4). Kekeliruan terjadi ketika syair dalam tulisan Jawi diperturunkn ke dalam tulisan Romawi dan mungkin karena keterbatasan ruang, empat baris syair berpasang-pasangan terpaksa diletakkan sebagai suatu rangkap yang terdiri dari empat baris. Baris-baris syair ini biasanya ditransliterasikan dalam 106 bentuk yang sangat berbeda dengan yang asalnya dalam tulisan jawi (ArabMelayu). Baris-baris membawa maksud atau amanat syair, semuanya membawa maksud amanat yang berkaitan. Jika ditransliterasikan ke dalam tulisan Latin dalam bentuk rangkap empat baris, maka mudah dikelirukan dengan seloka (Siti Hawa Haji Salleh 2005:5). Za’ba dalam bukunya Ilmu Mengarang Melayu (1962 dan sebelumnya) menyatakan bahwa penulisan syair tidaklah terkungkung pada monorima saja. Beliau mengemukakan beberapa contoh yang memperlihatkan variasi yang berbeda, seperti syair dua baris serangkap berima a/b, a/b, a/b, dan seterusnya; syair tiga baris serangkap dengan rima a/a/b, a/a/b, dan seterusnya; syair empat baris serangkap berima a/a/a/b, c/c/c/d, dan seterusnya. Contoh dua baris serangkap berima a/b, a/b: Dihitung banyak tidak terkira, Apabila dijumlahkan menjadi satu. Melompat tak seperti kera, Hanya tak pandai memanjat pintu. Menghidupi memelihara, Tetapi orang benci bercampur bersatu. (Za’ba 1962:236 dalam Harun Mat Piah 1989:232). Contoh syair tiga baris serangkap berima a/a/b, a/a/b: Islam kita wei kejatuhan, Sebab karut masuk tembahan, Quran hadis terbulang-baling. Hadis firman dapat ubahan, Maksud hakiki perpecahan, Punding bengkok kena perguling. (Za’ba 1962:235 dalam Harun Mat Piah 1989:232) 107 Contoh syair empat baris serangkap berima a/b/a/b. Kamilah raja tuan di sini, Harta pun kami yang punya, Orang yang duduk di bumi ini, Mendengar kami gentar semuanya. Bukalah pintu kami titahkan, Nabi Sulaiman empunya perintah, Jangan sekali kamu ingkarkan, Derhaka kamu jika dibantah. (Za’ba 1962:234 dalam Harun Mat Piah 1989:234) Contoh syair empat baris serangkap berima a/a/a/b, c/c/c/d Wahai Ramadhan syahar berpangkat, Tuan kemana lenyap berangkat? Dukanya kami tidak bersukat, Hendak menurut tidak berdaya. Sekali setahun tuan bermegah, Menjelang kami sebulan singgah, Kami bercengkerama belum semenggah, Tuan pun lenyap dari dunia. Syair empat baris serangkap berima a/a/a/b, c/c/c/d, e/e/e/f, dan diulang semula: Kalau kita ditanya orang: Kemudi manusia apakah gerang? Berilah jawab dengannya terang: Akal, akal, akal, akal. Kalau kita lagi ditanya: Haluan manusia apa ditanya? Berilah jawab yang sempurna: Hati, hati, hati, hati. Kalau kita ditanya pula: Perahu manusia nayatakan sila, Terangkan dengan berhati rela: Ilmu yang sihat, ilmu yang sihat. (Za’ba 1962:107-8 dalam Harun Mat Piah 1989:237) 108 Meskipun menggunakan pendekatan yang berbeda, seperti A. Teeuw yang menggunakan pendekatan ekstensif (emik) dan Syed Naquib al-Attas yang menggunakan pendekatan intensif, para sarjana ini tidak dapat menafikan bahwa dalam realitinya Hamzah Fansuri yang memesatkan penggunaan syair dalam perkembangan kesusastraan Melayu. Oleh karenanya, soalan yang perlu dibagi jawaban ialah sangat menentukan seperti yang dikemukakan Harun Mat Piah (1989:216): Pertamanya, apakah syair itu merupakan bentuk puisi MelayuIndonesia yang asli (purba), ertinya telah ada sebelum kedatangan Islam atau, keduanya, benarkah syair dikarang dandicipta oleh Hamzah Fansuri dan hanya dikenali dan berkembang selepas Hamzah Fansuri (m. 1630 Masihi) Harun Mat Piah mengemukakan empat kesimpulan berasaskan kepada berbagai-bagai pendapat dan polemik yang timbul berhubung dengan syair yang dikemukakan oleh para sarjana. Tanpa mengulangi satu per satu penghujahan yang dikemukakan oleh para sarjana dan mengulangi lagi asalusul syair dan lain-lain yang berkaitan dengannya, kita lihat keempat simpulan mengenai syair yang dikemukakan oleh Harun Mat Piah (1989:209-210). (1) Bahwa istilah syair berasal dari bahasa Arab; dan penggunaannya dalam bahasa Melayu hanya sebagai istilah teknik. (2) Bahwa syair Melayu itu, walau ada kaitannya dengan puisi Arab, tetapi tidak berasal dari syair Arab dan Persia, atau sebagai penyesuaian dari mana-mana genre puisi Arab atau Persia. Dengan perkataan lain, syair adalah cipataan asli masyarakat Melayu. (3) Ada kemungkinan syair itu berasal dari puisi Melayu MalaysiaIndonesia asli. 109 (4) Bahwa syair Melayu dicipta dan dimulakan penyebarannya oleh Hamzah Fansuri dan beracuankan puisi Arab-Persia. Pengkaji lainnya yaitu Mohd. Yusof Md. Nor dan Abdul Rahman Kaeh (1985:vii) mengemukakan empat kesimpulan juga, namun sedikit berbeda dengan kesimpulan yang dikemuakakn oleh Harun Mat Piah, yaitu: (1) Karena kata syair datangnya dari Arab-Persia, maka syair dianggap datang dari luar. (2) Meskipun kata syair ada kaitannya dengan bahasa Arab-Persia, tetapi bentuk syair ialah ciptaan orang Melayu di Nusantara ini. (3) Syair sudah ada sejak abad kelima belas di Melaka. (4) Syair dikarang oleh Hamzah Fansuri dan berkembang selepasnya. Sementara Siti Hawa Salleh menambahkan bahwa selain simpulan seperti di atas ada sebuah lagi aspek yang berkaitan dengan eksistensi syair di dunia Melayu. Menurutnya, kegiatan keagamaan dalam tradisi merayakan Maulidur Rasul (Maulid Nabi) memperkenalkan dan merapatkan masyarakat Melayu dengan puisi barzanji. Mungkin pada mulanya puisi didendangkan dalam bahasa Arab asalnya dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu sambil memberi perhatian kepada rima akhir setiap baris. Akhirnya para penyair Melayu sendiri mencipta puisi-puisi dengan berpandukan penulisan puisi barzanji. Contoh-contoh yang dipetik dari buku barzanji memperlihatkan bahwa bentuk penciptaan puisi itu ialah bentuk syair seperti yang wujud sekarang. Kegiatan menyanyikan puisi barzanji dalam majlis Maulidur Rasul (maulid Nabi) setiap tahun pasti meninggalkan kesan terhadap 110 selera puisi masyarakat Melayu. Dengan itu, tentulah sedikit sebanyak lagu barzanji ini memainkan peranan dalam menyebarkan penciptaan puisi jenis ini yang akhirya bernamakan syair. Selain itu, tidak dapat dinafikan bahwa minda masyarakat Melayu lebih mudah menerima puisi barzanji dengan struktur kalimat dan rima akhirnya karena kebiasaan mereka dengan bentuk puisi yang sedia ada dalam kesusastraannya sendiri. Dengan wujudnya berbagai-bagai jenis syair dalam kesusastraan Melayu, ternyata bahwa puisi jenis ini amat disukai oleh masyarakat Melayu zaman silam. Syair menyediakan satu lagi cara untuk menyampaikan cerita selain bentuk prosa. Walaupun pantun berkait berdaya menyam-paikan sesuatu kisah yang panjang, menuruti penceritaannya dapat memberikan tekanan kepada pembaca atau pendengar karena struktur pantun berkait yang terpaksa mengulang sebut maksud dalam rangkap awal sebelum mengungkapkan informasi dalam rangkap yang berikutnya. Oleh itu, pantun berkait tidak digunakan secara meluas untuk menyampaikan cerita yang panjang-panjang seperti yang dapat dilakukan oleh syair (Siti Hawa Salleh 2005:23). Dalam Dunia Melayu hampir setiap genre kesusastraan Melayu tradisional mempunyai versinya dalam bentuk syair, selain dalam bentuk prosa—hingga terdapat satu kumpulan karya yang besar tercipta dalam bentuk syair. Dengan demikian, daam perbendaharaan kesusastraan Melayu terdapat syair agama, syair sejarah, syair hikayat, syair nasehat, dan lain-lain. Syair juga muncul dalam karya prosa tradisional, baik untuk selingan mauun penghias bahasa dan juga dapat sebagai penyampai alternatif. Kepopularannya dikekalkan melalui iramanya yang tersendiri hingga syair termasuk ke dalam 111 kumpulan dendangan irama asli, menjadi sebahagian dari nyanyian dalam persembahan bangsawan dan mempunyai peminat atau audiensnya sendiri. Contoh syair dalam Dunia Melayu: (a) syair sejarah (Syair Sultan Maulana, Syair Perang Mengkasar, Syair Muko-Muko), (b) syair keagamaan (Syair Makrifat, Syair Mekah dan Medinah, Syair Hari Kiamat), (c) syair hikayat/hiburan/romantis (Syair Harith Fadzillah, Syair Gul Bakawali, Syair Jauhar Manikam), (d) syair hikayat panji (Syair Ken tambuhan, Syair Panji), syair nasihat (Syair Nasihat, Syair Nasihat Pengajaran untuk Memelihara Diri, Syair Nasihat kepada Pemerintah), dan (e) syair perlambangan, kiasan atau sindiran (Syair Ikan Terubuk, Syair Ikan Tongkol, Syair Bereng-bereng) (Siti Hawa Haji Salleh 2005:24). Dari uraian secara meluas seperti terurai di atas, maka menurut pendapat para informan dan masyarakat Simeulue, khususnya di daerah penelitian, nandong smong adalah bergenre syair. Apalagi jika dikaitkan dengan keberadaan sastra di Aceh, maka salah seorang tokohnya adalah Hamzah Fansuri, disebut sebagai tokoh awal penulis syair di Nusantara. Kemudian masyarakat Simeulue, dalam rangka menerangkan peristiwa tsunami (smong) dan cara menyelamatkan diri darinya, maka digunakan media syair nadong smong ini. Masih berdasarkan uraian mengenai syair di Alam Melayu atau Nusantara, maka nandong smong ini lebih jauh masuk ke dalam syair hikayat. Dalam hal ini syair nandong smong menceritakan hikayat tentang terjadinya tsunami, tanda-tanda tsunami, dan cara penyelematan diri dari tsunami tersebut. 112 4.2 Struktur Teks Nandong Smong Analisis lirik lagu selain dapat dikaji mengenai tema dan isi dari lirik lagu, juga dapat dilihat dari kategorisasi (apakah termasuk pada, nasehat, sindiran, wawasan, puisi bebas, dan lain-lain). Selain itu dapat pula dilihat dari segi hubungan antara setiap suku kata yang dinyanyikan dan melodinya, apakah termasuk pada bentuk silabis atau melismatis. Dapat pula dilihat dari segi kesesuaian antara pemenggalan suku katanya dan melodi yang dihasilkan. Dalam mengkaji stuktur teks smong yang juga merupakan tradisi lisan atau tradisi budaya, dipergunakan konsep struktur wacana Van Dijk dengan modifikasi berdasarkan kebutuhan kajian. Dalam berbagai tulisannya, Van Dijk (1985a: 1-8, 1985b: 1-11, 1985d: 1-8) menyebutkan bahwa ada tiga kerangka struktur teks yakni struktur makro, superstruktur dan struktur mikro. Struktur makro merupakan makna keseluruhan, makna global atau makna umum dari sebuah teks yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari sebuah teks. Jika dilihat dari segi tema smong ini, secara makna keseluruhan terlihat jelas bahwa teks ini termasuk dalam topik atau tema komunikasi. Karena smong merupakan cara masyarakat berkomunikasi dengan sesama masyarakat tentang bagaimana menyelamatkan diri ketika terjadi bencana gempa bumi dan tsunami. Super struktur atau struktur alur merupakan kerangka dasar sebuah teks yang meliputi rangkaian elemen sebuah teks dalam membentuk satu kesatuan bentuk yang koheren. Dengan kata lain superstruktur merupakan skema atau alur sebuah teks. Sebuah teks secara garis besar tersusun atas tiga elemen yaitu 113 pendahuluan (introduction), bagian tengah (body) dan penutup (conclusion), yang masing-masing harus saling mendukung secara koheren. Berikut adalah bentuk alur teks smong. a. Pendahuluan (introduction) Enggelan mon sao surito (dengarlah suatu kisah) Inang maso semonan (pada zaman dahulu kala) Manoknop sao fano (tenggelam suatu desa) Uwilah da sesewan (begitulah dituturkan) b. Bagian tengah (body) Unen ne alek linon (diawali oleh gempa) Fesang bakat ne mali (disusul ombak besar) Manoknop sao hampong (tenggelam seluruh negeri) Tibo-tibo maawi (secara tiba-tiba) Anga linon ne mali (jika gempanya kuat) Uek suruik sahuli (disusul air yang surut) Maheya mihawali (segeralah cari tempat) Fano me senga tenggi (dataran tinggi agar selamat) Ede smong kahanne (itulah smong namanya) Turiang da nenekta (sejarah nenek moyang kita) Miredem teher ere (ingatlah ini semua) Pesan navi-navi da (pesan dan nasihatnya) c. Penutup (conclusion) Smong dumek-dumek mo (tsunami air mandimu) Linon uwak-uwakmo (gempa ayunanmu) Elaik keudang-keudang mo (petir gendang-gendangmu) Kilek suluih-suluih mo (halilintar lampu-lampumu) Struktur mikro adalah struktur teks secara linguistik teoritis. Linguistik teoritis yang dimaksud disini mencakup tataran bahasa seperti bunyi (fonologis), kata (morfologis), kalimat (sintaksis), wacana (diskursus), makna 114 (semantik), maksud (pragmatik), gaya bahasa (stilistik), dan bahasa kiasan (figuratif). 4.3 Arti Harfiah Untuk mempermudah analisis lirik smong, penulis terlebih dahulu mengartikan lirik tersebut secara harfiah, lirik tersebut adalah seperti yang dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut ini. No Bait I II III IV V No Larik 1. 2. 3. 4. Teks Nandong Smong (Bahasa Simeulue) Enggelan mon sao surito Inang maso semonan Manoknop sao fano Uwilah da sesewan Arti harfiah dalam bahasa Indonesia Dengarlah suatu kisah Pada zaman dahulu kala Tenggelam suatu desa Begitulah dituturkan Jenis wacana dan temanya Eksplanasi, Dituturkan nenek moyang dahuku kala tenggelam suatu desa 5. 6. 7. 8. Unen ne alek linon Fesang bakat ne mali Manoknop sao hampong Tibo-tibo maawi Diawali oleh gempa Disusul ombak besar Tenggelam seluruh negeri Secara tiba-tiba 9. 10. 11. 12. Anga linon ne mali Uek suruik sahuli Maheya mihawali Fano me senga tenggi Jika gempanya kuat Disusul air yang surut Segeralah cari tempat Dataran tinggi agar selamat Eksplanasi, Ciri smong: gempa, ombak besar, tenggelam seluruh negeri Eksplanasi, Cara menyelamatkan diri dari smong 13. 14. 15. 16. Ede smong kahanne Turiang da nenekta Miredem teher ere Pesan navi-navi da Itulah smong namanya Sejarah nenek moyang kita Ingatlah ini semua Pesan dan nasihatnya Eksplanasi, Itulah smong 17. 18. 19. 20. Smong dumek-dumek mo Linon uwak-uwakmo Elaik keudang-keudang mo Kilek suluih-suluih mo Tsunami air mandimu Gempa ayunanmu Petir gendang-gendangmu Halilintar lampu-lampumu Nasihat dan hiburan, smong bagian dari kehidupan Tabel 5.1: Analisis Arti Lima Bait Teks Nadong Smong Teks nandong smong di atas, terdiri dari empat bait teks. Setiap bait disusun oleh empak larik (baris). Keseluruhannya berjumlah 20 larik. Kemudian setiap larik disusun oleh empat kata. Suku-suku kata yang mengisi setiap baris bervariasi antara enam sampai delapan suku kata. 115 Bahasa yang digunakan adalah bahasa Simeulue. Pemilihan kata atau diksi adalah kata-kata: benda, kerja, keterangan (keadaan, kejadian, tempat, dan lainnya). Kata-kata yang digunakan lebih cenderung menggunakan katakata yang bermakna denotatif ketimbang konotatif, menjelaskan dengan sejelas-jelasnya, dan mudah ditangkap maknanya. 4.4 Makna Konotatif dan Denotatif Syair Smong Lirik lagu yang menggunakan bahasa daerah ataupun, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia kemungkinan sangatlah tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan pada teks aslinya. Oleh karena itu, penulis ingin menjelaskan makna sebenarnya yang terkandung dalam lirik smong ini, untuk mempermudah proses penggalian makna yang terkandung, penulis membagi liriknya ke dalam lima bagian bait puisi syair, yaitu sebagai berikut. a. Larik nomor 1, 2, 3, dan 4 (bait I) Larik: Enggelan mon sao surito (dengarlah suatu kisah) Inang maso semonan (pada zaman dahulu kala) Manoknop sao fano (tenggelam suatu desa) Uwilah da sesewan (begitulah dituturkan) Makna bait pertama di atas keseluruhannya adalah makna denotatif. Setersunya makna denotatif dari teks di atas adalah, orang tua yang sedang menceritakan kepada anaknya tentang sebuah desa yang tenggelam oleh lautan pada zaman dahulu. Orang tua tersebut mengetahuinya dari orang tuanya dan kemudian menceritakan kembali kepada anaknya. Pada zaman dahulu, terjadi 116 bencana alam luar biasa yang menyebabkan tenggelamnya salah satu desa di pulau Simeulue, begitulah menurut cerita nenek moyang kita. Secara kontekstual teks ini menjelaakan kepada pendengarnya bahwa cerita tentang tenggelamnya suatu desa itu, berasal dari nenek moyang orang Simeulue. Cerita tersebut dituturkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengarkanlah cerita ini, karena penting bagi seluruh masyarakat Simeulue, terutama tentang smong dan bagaimana menyelematkan diri dari vencana smong tersebut. b. Lirik nomor 5, 6, 7 dan 8 (baiat II) Lirik: Unen ne alek linon (diawali oleh gempa) Fesang bakat ne mali (disusul ombak besar) Manoknop sao hampong (tenggelam seluruh negeri) Tibo-tibo maawi (secara tiba-tiba) Makna denotatif (makna sesuangguhnya) dari teks di atas adalah, menjelaskan bahwa sebelum desa tersebut tenggelam, ada beberapa tandatanda alam dan gempa yang berkekuatan besar mengguncang desa itu. Selepas itu, setelah terjadi gempa, berselang beberapa menit, lalu air laut surut hingga mencapai kering di dasar lautan, kemudian air laut yang surut dengan seketika naik membentuk ombak yang sangat besar dan menenggelamkan seluruh desa di pesisir pantai. Teks ini menjelaskan dari satu indeks makna ke indeks makna berikutnya. Secara semiosis dapat digambarkan pada bagan berikut. 117 Bagan 5.1 Makna Multi-indeksikal pada Bait II Nandong Smong c. Lirik nomor 9, 10, 11 dan 12 (baid III) Lirik: Anga linon ne mali (jika gempanya kuat) Uek suruik sahuli (disusul air yang surut) Maheya mihawali (segeralah cari tempat) Fano me senga tenggi (tempat kalian yang tinggi) Makna denotatif teks di atas adalah untuk menghindari bencana alam tersebut, jika terjadi gempa yang dahsyat (pada masa sekarang diukur 7.0 ke atas, dalam skala ricther), perhatikanlah tanda-tanda alam, seperti seluruh hewan berlarian ke gunung terdekat dan air laut surut dari bibir pantai hingga mencapai kering, segeralah berlari ke daratan yang lebih tinggi seperti gunung yang jauh dari bibir pantai. Tinggalkan semua harta benda dan selamatkan sanak saudara. Jika gempanya kuat, maka akan menimbulkan tsunami. Jika gempanya dirasa tidak kuat (berdasarkan pengalaman orang Simeulue), dan air laut Hindia tidak surut, maka tidak perlu mencari tempat yang tinggi, karena gempa tersebut tidak menimbulkan tsunami. Namun dalam hal ini perlu berhati-hati, 118 karena bisa saja setelah gempa yang relatif lemah, akan terjadi gempa yang dahsyat yang dapat menimbulkan tsunami. d. Larik nomor 13, 14, 15 dan 16 (bait IV) Lirik: Ede smong kahanne (itulah smong namanya) Turiang da nenekta (sejarah nenek moyang kita) Miredem teher ere (ingatlah ini semua) Pesan navi-navi da (pesan dan nasihatnya) Makna denotatif dari bait keempat teks nandong smong ini adalah menurut dari cerita nenek moyang di Simeulue, bencana alam tersebut adalah smong namanya. Pesan dan nasihat mereka ini harus kita ingat dan ceritakan kembali ke anak cucu. Dari penggalan lirik ini masyarakat sudah diingatkan tentang bencana alam yang akan terjadi, sehingga masyarakat di pulau simeulue dapat selamat dari bencana tsunami 2004, karena masih melestarikan kearifan lokal dan tradisi lisan ini secara turun-temurun. Teks ini menjleaskan dengan tegas, itulah tsunami atau dalam bahasa Simeulue disebut smong. Tsunami ini sangat berbahaya bagi kehidupan, karena ia berupa gelombang besar dan menyapu bersih daratan yang dilaluinya. Gelombang besar ini adalah sebagai proses alam yang harus dihindari, dengan cara segera lari ke daerah dataran tinggi. e. Lirik nomor 17, 18, 19 dan 20 (bait V) Lirik: Smong dumek-dumek mo (tsunami air mandimu) Linon uwak-uwakmo (gempa ayunanmu) Elaik keudang-keudang mo (petir gendang-gendangmu) Kilek suluih-suluih mo (halilintar lampu-lampumu) 119 Makna dari teks ini keseluruhannya adalah berupa konotatif metaforik. Bagi orang Simeulue teks “Tsunami adalah air mandi kalian,” merupakan sebuah kalimat penyemangat agar tidak takut dengan tsunami, tetapi segeralah berlari ke pegunungan jika ada tsunami. “Gempa itu adalah ayunan kalian,” guncangan gempa bukan lah sesuatu hal untuk ditakuti, melainkan jika terjadi gempa kita jangan panik, tetap lah fokus untuk menghindar dari bangunan yang mudah roboh dan menyelamatkan diri. “Petir sebagai alunan gendang kalian,” bermakna jangan takut pada suara petir, anggaplah petir itu sebagai suara tabuhan gendang. Yang terakhir adalah “kilat sebagai lampumu” bermakna kilat itu adalah penerang jalan kalian di malam hari. Teks tersebut di atas keseluruhannya adalah berupa gaya bahasa metafora. Inti dari teks di atas adalah smong meskipun berbahaya, baik terhadap diri sendiri maupun kehidupan lainnya di dunia ini yang dilanda olehnya, tetaplah berfilsafat hidup alam adalah bahagian dari diri manusia. Bencana sedahsyat apapun, pahami saja sebagai pelajaran di dalam hidup. Filsafat hidup orang Simeulue dalam hal ini adalah mari belajar dari alam yang terkembang ini. Jadi smong atau tsunami tak perlu ditakuti, tetapi direspos dengan penuh kearifan dan kebijakan. Demikian makna konotatif, dalam tafsiran semiotik menurut penulis. 120 BAB V KAJIAN FUNGSIONAL Pada Bab V ini, kajian difokuskan kepada aspek fungsional dari nandong smong dalam kebudayaan etnik Simeulue, Provinsi Aceh. Fungsi yang dimaksudkan di dalam tulisan ini merujuk kepada apad yang dikemukakan Merriam (1964). Kata fungsional pada bab ini merujuk kepada dua pengertian, yakni penggunaan (uses) dan fungsi (functions). Dalam kerangka berpikir etnomusikologis, sebuah kebudayaan musik akan hidup, tumbuh, dan berkembang jika musik tersebut berfungsi di dalam masyarakat. Sebaliknya, sebuah kebudayaan musik akan lenyap seiring datangnya waktu dan perubahan zaman, jikalau musiktersebut tidak lagi fungsional di dalam masyarakat pendukungnya. Di lain sisi kebudayaan musik juga dapat mengalami perubahan atau bertransformasi ke dalam bentuk baru, baik karena menyesuaikan dengan perubahan zaman, atau beradaptasi dengan lingkungan baru, atau pendukung baru. Perubahan juga dapat terjadi karena faktor-faktor: teknologi, ekonomi, organisasi, dan lain-lainnya. Dalam konteks nandong smong, hal yang paling kuat dari seni ini menurut penulis adalah karena fungsinya di dalam masyarakat. Fungsi ini terus menerus menguat dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang disampaikan secara kelisanan. Bagi etnik Simeulue fungsi utama dari nyanyian ini adalah sebagai sarana pembelajaran apa itu tsunami (smong) dan bagaimana menyelematkan diri ketika terjadi tsunami. Inilah yang menjadi fungsi utama 121 smong, sehingga smong hidup terus-menerus di dalam kebudayaan etnik Simeulue, Aceh. 5.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi Menurut Bronislaw Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human need (kebutuhan manusia) itu. Dengan pemahaman ini seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.1 Selaras dengan pendapat Malinowski, nandong smong di dalam kebudayaan etnik Simeulue, timbul dan berkembang karena dibutuhkan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakat Simeulue Aceh pada umumnya. Nandong smong timbul, karena masyarakat pengamalnya ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keselamatan jiwa dari bencana 1 Lihat Koentjaraningrat (ed.) Sejarah Teori Antropologi I (1987:171). Abstraksi tentang fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metodemetode penyelidikan lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial daripada adat, tingkah laku manusia dan institusi-institusi sosial menjadi mantap (Koentjaraningrat, 1987:67). 122 tsunami. Namun lebih jauh dari itu, akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya, pendidikan budaya, komunikasi, penghayatan tentang alam, dan lainnya. A.R. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang dihuraikannya berikut ini. By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181). Selaras dengan pandangan Radcliffe-Brown, nandong smong di dalam budaya Simeulue boleh dianggap sebagai bagian daripada struktur sosial masyarakat Simeulue. Seni pertunjukan smong adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada saatnya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya, yakni etnik Simeulue. Fungsinya lebih jauh adalah untuk 123 mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Simeulue, seperti sebagai masyarakat maritim, teguh memegang adat, sangat bertoleransi, dan selalu berguru kepada alam, serta berbagai faktor sosial dan kebudayaan lainnya. Dalam bidang etnokoreologi atau antropologi tari, Soedarsono yang melihat fungsi seni, terutama dari hubungan praktis dan integratifnya, mereduksi tiga fungsi utama seni pertunjukan (baik tari, musik, teater, dan seejenisnya), yaitu: (1) untuk kepentingan sosial atau sarana upacara; (2) sebagai ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri dan (3) sebagai penyajian estetik (1995). Selaras dengan pendapat Soedarsono nandong smong mempunyai fungsi sosial, ungkapan perasaan peribadi yang dapat menghibur diri dan penyajian estetika. Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya dalam disiplin ilmu etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para ahli etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita merujuk kepada kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih 124 jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut. Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves. (1964:210). Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sesebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bahagian dari situai tersebut. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seeorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—[yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin dan berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai 125 melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan demikian, selaras dengan Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya. Berkaitan dengan penggunaan dan fungsi nandong smong etnik Simeulue di Provinsi Aceh, maka penggunaan mahupun fungsinya mencakup berbagai aktivitas sosial budaya. Lihat uraikan berikut ini. 5.2 Penggunaan Nandong Smong Bagi masyarakat Simeulue nandong smong tujuan dan fungsi utamanya adalah sarana penyelamatan diri terhadap bencana tsunami (smong), sebagai satu kearifan lokal yang sarat nilai. Dari fungsi utama ini, maka secara kultural, nandong smong digunakan dalam berbagai aktivitas masyarakatnya, baik yang sifatnya formal seperti perkawinan atau nonformal seperti untuk mengiringi anak tidur. Yang penting adalah sampainya isi pesan apa itu tsunami dan bagaimana upaya menyelamatkan diri dari tsunami. Berikut ini dianalisis beberapa penggunaan nandong smong di dalam kebudayaan etnik Simeulue Aceh. Penggunaan nandong smong di Simeulue Aceh mencakup berbagaibagai aktivitas, seperti: memeriahkan suasana pesta perkawinan, memeriahkan suasana pesta khitanan, untuk mengiringi upacara-upacara tradisional seperti kenduri laut, untuk festival-festival budaya, untuk mengiringi acara-acara perasmian, untuk kepentingan pariwisata, meresmikan gedung pemerintahan, 126 menyambut tetamu kehormatan, memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia, dan lain-lain. 5.2.1 Untuk Memeriahkan Suasana Pesta Perkawinan Aktivitas perkawinan adat budaya Simeulue, biasanya dimulai dari tahap pelamaran (ba ranub). Selepas itu dilanjutkan dengan pertunangan (jakba tanda). Kemudian dilakukan persiapan menjelang perkawinan, potong gigi, merawat tubuh, khatam Quran, akad nikah dan antar linto, dan peusijeuk. (1) Tahapan melamar (ba ranub), untuk mencarikan jodoh bagi anak lelaki yang sudah dianggap dewasa maka pihak keluarga akan mengirim seorang yang bijak dalam berbicara (disebut theulangke) untuk mengurusi perjodohan ini. Jika theulangke telah mendapatkan gadis yang dimaksud maka terlabih dahulu dia akan meninjau status sang gadis. Jika belum ada yang punya, maka dia akan menyampaikan maksud melamar gadis itu. Pada hari yang telah di sepakati datanglah rombongan orang-orang yang dituakan dari pihak pria ke rumah orang tua gadis dengan membawa sirih sebagai penguat ikatan berikut isinya seperti: gambe, pineung reuk, gapu, cengkih, pisang raja, kain atau baju serta penganan khas Aceh. Setelah acara lamaran iini selesai, pihak pria akan mohon pamit untuk pulang dan keluarga pihak wanita meminta waktu untuk bermusyawarah dengan anak gadisnya mengenai diterima-tidaknya lamaran tersebut. 127 (2) Tahapan pertunangan (jakba tanda), bila lamaran diterima, keluarga pihak pria akan datang kembali untuk melakukan peukeong haba yaitu membicarakan kapan hari perkawinan akan dilangsungkan, termasuk menetapkan berapa besar uang mahar (disebut jeunamee) yang diminta dan beberapa banyak tamu yang akan diundang. Biasanya pada acara ini sekaligus diadakan upacara pertunangan (disebut jakba tanda) Acara ini pihak pria akan mengantarkan berbagai makanan khas daerah Aceh, buleukat kuneeng dengan tumphou, aneka buah-buahan, seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga pria. Namun bila ikatan ini putus ditengah jalan yang disebabkan oleh pihak pria yang memutuskan maka tanda emas tersebut akan dianggap hilang. Namun demikian, kalau penyebabnya adalah pihak wanita maka tanda emas tersebut harus dikembalikan sebesar dua kali lipat. (3) Persiapan menjelang perkawinan, seminggu menjelang akad nikah, masyarakat Simeulue secara bergotong royong akan mempersiapkan acara pesta perkawinan. Mereka memulainya dengan membuat tenda serta membawa berbagai perlengkapan atau peralatan yang nantinya dipakai pada saat upacara perkawinan. Adapun calon pengantin wanita sebelumnya akan menjalani ritual perawatan tubuh dan wajah serta melakukan tradisi pingitan. Selam masa persiapan ini pula, sang gadis akan dibimbing mengenai cara hidup berumah tangga serta diingatkan agar tekun mengaji. (4) Selain itu akan dialksanakan tradisi potong gigi (disebut gohgigu) yang bertujuan untuk meratakan gigi dengancara dikikir. Agar gigi sang calon pengantin terlihat kuat akan digunakan tempurung batok kelapa yang dibakar 128 lalu cairan hitam yang keluar dari batok tersebut ditempelkan pada bagian gigi. Setelah itu calon pengantin melanjutkan dengan perawatan luluran dan mandi uap. Selain tradisi merawat tubuh, calon pengantin wanita akan melakukan upacara kruet andam yaitu mengerit anak rambut atau bulu-bulu halus yang tumbuh agar tampak lebih bersih lalu dilanjutkan dengan pemakaian daun pacar (bohgaca) yang akan menghiasi kedua tangan calon pengantin. Daun pacar ini akan dipakaikan beberapa kali sampai menghasilkan warna merah yang terlihat alami. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan mengadakan pengajian dan khataman Al-Quran oleh calon pengantin wanita yang selanjutnya disebut calon dara baro. Sesudahnya, dengan pakaian khusus, calon dara baro mempersiapkan dirinya untuk melakukan acara siraman (seumano pucok) dan didudukan pada sebuah tikaduk meukasap. Dalam acara ini akan terlihat beberapa orang ibu akan mengelilingi calon dara baro sambil menari-nari dan membawa syair yang bertujuan untuk memberikan nasihat kepada calon dara baro. Pada saat upacara siraman berlangsung, Calon dara baro akan langsung disambut lalu dipangku oleh nye’wanya atau saudara perempuan dari pihak orang tuanya. Kemudian satu persatu anggota keluarga yang dituakan akan memberikan air siraman yang telah diberikan beberapa jenis bunga-bungaan tertentu dan ditempatkan pada meundam atau wadah yang telah dilapisi dengan kain warna berbeda-beda yang disesuaikan dengan silsilah keluarga. 129 (5) Upacara akad nikah dan antar linto, pada hari pelaksanaan yang telah ditentukan, akan dilakukan secara antar linto (menghantar pengantin pria). Namun sebelum berangkat kerumah keluarga calon, calon pengantin pria yang disebut calon linto baro menyempatkan diri untuk terlebih dahulu meminta ijin dan memohon doa restu pada orang tuanya. Setelah itu calon linto baro disertai rombongan pergi untuk melaksanakan akad nikah sambil membawa mas kawin yang diminta dan seperangkat alat solat serta bingkisan yang diperuntukan bagi calon lint calon dara baro. Sementara itu sambil menunggu rombongan calon linto baro tiba hingga acara ijab Kabul selesai dilakukan, calon dara baro hanya diperbolehkan menunggu di kamarnya. Selain itu juga hanya orangtua serta kerabat dekat saja yang akan menerima rombongan calon linto baro. Saat akad nikah berlangsung, ibu dari pengantin pria tidak diperkenankan hadir tetapi dengan berubahnya waktu kebiasaan ini dihilangkan sehingga ibu pengantin pria bisa hadir saat ijab kabul. Keberadaan sang ibu juga diharapkan saat menghadiri acara jamuan besan yang akan diadakan oleh pihak keluarga wanita. Setelah ijab kabul selesai dilaksanakan, keluarga calon linto baro akan menyerahkan jeunamee yaitu mas kawin berupa sekapur sirih, seperangkat kain adat dan paun yakni uang emas kuno seberat 100 gram. Setelah itu dilakukan acara menjamu besan dan seleunbu linto/dara baro yakin acara suap-suapan di antara kedua pengantin. Makna dari acara ini adalah agar keduanya dapat seiring sejalan ketika menjalani biduk rumah tangga. 130 (6) Upacara peusijeuk, yakni melakukan upacara tepung tawar, memberi dan menerima restu dengan cara memerciki pengantin dengan air yang keluar dari daun seunikeuk, akar naleung sambo, maneekmano, onseukee pulut, ongaca dan lain sebagainya minimal harus ada tiga yang pakai. Acara ini dilakukan oleh beberapa orang yang dituakan (sesepuh) sekurangnya lima orang. Pada saat sekarang ini bagi masyarakat Aceh kebanyakan ada anggapan bahwa acara ini tidak perlu dilakukan lagi karena dikhawatirkan dicap meniru kebudayaan Hindu. Namun di kalangan ureungchik (orang yang sudah tua dan sepuh) budaya seperti ini merupakan tata cara adat yang mutlak dilaksanakan dalam upacara perkawinan. Namun kesemuanya tentu akan berpulang lagi kepada pihak keluarga selaku pihak penyelenggara, apakah tradisi seperti ini masih perlu dilestarikan atau tidak kepada generasi seterusnya. Dalam konteks penyajian nandong smong, maka sebelum nandong smong disajikan pada malam hari sebelum upacara pernikahan, orang tua dari mempelai pria atau wanita melakukan pengantaran batel2 yang dibungkus dengan kain kuning ke rumah ketua sanggar. Batel tersebut berisikan daun sirih, kapur sirih, gambir, dan buah pinang. Kemudian ketua sanggar membuka bungkus batel tersebut dan mengolah sirih beserta bahan lain di dalamnya untuk malangak.3 Ini adalah sebagai tanda bahwa mereka mau memainkan nandong4 di rumah mempelai pria atau wanita. 2 Batel berbentuk seperti baskom terbuat dari logam kuningan, tempat untuk meletakkan sirih dan perlengkapannya juga dibungkus kain kuning. Masyarakat Minangkabau menyebutnya sebagai carano. Masyarakat melayu menyebutnya tepak sirih. 3 Malangak adalah aktivitas memakan sirih, di dalam kebudayaan masyakat Simeulue. Dalam konteks makan sirih ini, maka selain sirih, disertai juga dengan gambir, kapur, dan pinang. Aktivitas makan sirih juga terdapat di berbagai kebudayaan etnik di Nusantara, seperti 131 Nandong smong biasanya disajikan ketika malam hari sebelum upacara adat pernikahan dilaksanakan, nandong dipertunjukkan oleh 15-30 orang dengan durasi yang mencapai sekitar 12 jam. Hal yang sama juga berlaku kepada orang tua yang ingin mengkhitan anaknya. Gambar 6.1: Pengantin Simeulue dan Busana Adatnya Sumber: (http://acehtourismagency.blogspot.co.id/2012/07/ upacara-perkawinan-adat-aceh.html 5.2.2 Untuk Memeriahkan Suasana Upacara Khitanan Acara berkhitan (sunat Rasul atau sirkumsisi) merupakan salah satu aktivitas dalam peradaban Islam. Berdasarkan hukum Islam, yang juga menjadi Melayu, Alas, Gayo, Karo, Mandailing-Angkola, Batak Toba, Nias, Minangkabau, dan lainlainnya. 4 Nandong merupakan kesenian tradisional Simeulue, nandong smong adalah salah satu judul senandung yang dilantunkan. 132 rujukan adat Simeulue, berkhitan adalah wajib ‘ain—wajib dilakukan oleh setiap individu muslim, sesuai ajaran Nabi Muhammad. Usia untuk berkhitan tidak ada ketentuannya, tetapi biasanya untuk anak perempuan dilakukan setelah berusia lebih setahun, anak lelaki lebih dari tujuh tahun menjelang akil baligh (usia remaja). Biasanya pada saat anak dikhitan, disertai acara yang berhubungan dengan adat-istiadat, iaitu kenduri sebagai rasa syukur dan mohon keselamatan kepada Allah. Dalam budaya Simeulue, acara khitan ini dilaksanakan menurut hari baik dan bulan baik, biasanya Sya’ban, Syawal, Zulhijjah, atau Zulkaidah. Sesuai dengan penanggalan Islam, berdasarkan pada siklus tahun qamariah (siklus bulan mengedari bumi),5 dimulai dari tahun awal kali Nabi Muhammad dan pengikutnya hijrah (migrasi sementara) dari Mekah ke Medinah. Acara khitan untuk anak lelaki biasanya dilangsungkan dengan meriah. Sehari sebelum anak dikhatan, ia diarak keliling kampung, didandani seperti layaknya seorang pengantin, dan dipeuseujuk, agar selamat dan sejahtera dalam hidupnya. Pada hari yang ditentukan, anak tersebut dikhitan. Setelah selesai dikhatan ditidurkan di sebuah ranjang. Beberapa masa kemudian, didudukkan di pelaminan. Di depan pelaminan disediakan makanan. Saat anak didudukkan di pelaminan inilah biasanya dipersembahkan berbagai kesenian Simeuleu seperti nandong, nandong smong, syaer, panton, 5 Di dunia ini ada pelbagai sistem kalender yang digunakan oleh manusia. Ada yang mengikut sistem bumi mengedari matahari seeperti kalender Masihi. Ada pula yang mengikut bulan mengelilingi bumi seperti kalender Islam dan Jawa. Ada juga kalender-kalender lain seperti China, Thailand, Batak Toba, Karo, Simalungun dan lainnya. 133 dan lain-lainnya. Kesenian smong dianggap sebagai bahagian dari seni khas Simeulue. Nandong yang disajikan di dalam pernikahan atau khitanan dimainkan semalam suntuk, dimulai pada pukul 20.00 WIB setelah shalat Isya dan jamuan makan malam dari tuan rumah, penandong mulai memainkan rall6 dan saramo pada kedang sebagai tanda dimulainya nandong (intro) dan diikuti oleh alunan biola. Setelah beberapa bar alunan biola yang dimainkan, kemudian masuk nyanyian vokal. Pada pukul 22.00–23.00 WIB adalah waktu istirahat sambil meminum kopi hitam dan beberapa jenis kue-kue. Setelah dirasa istirahat cukup, para penandong melanjutkan kembali melantunkan beberapa tema, lirik-lirik yang di lantukan pun dapat dalam bahasa aneuk jamee maupun devayan, kegiatan ini berlangsung hingga pukul 03.00 WIB. Istirahat kedua pada pukul 03.00–04.00 WIB. Setelah itu nandong pun dilanjutkan kembali, pada bagian ini suara penandong umumnya melengking tinggi, dengan frekuensi yang juga tinggi. Suara vokal bernada tinggi bertujuan agar para pemain tidak mengantuk. Nandong berakhir di saat adzan Subuh berkumandang dan para pemain melaksanakan shalat Subuh, dan pulang ke rumah masing-masing. 5.2.3 Untuk Memeriahkan Upacara Penyambutan Tamu Daerah Sedangkan untuk acara nasional seperti penyambutan tamu baik dari ibukota Jakarta maupun dari daerah lain, ulang tahun daerah, dan sebagainya 6 Rallentando adalah sebuah rangkaian untuk menunjukkan bagian dari komposisi dengan memperlambat tempo secara bertahap. Singkatannya adalah rall. 134 biasanya panitia penyelenggara cukup membuat undangan resmi atau menghubungi melalui telepon atau handphone, whatsapp, dan pesan singkat kepada ketua sanggar nandong smong. Dalam konteks tersebut di atas, tidak hanya nandong bertema smong saja yang dimainkan. Untuk keperluan ini, para penandong juga memainkan atau mempertunjukkan tema-tema lainnya, misalnya tema pembangunan, agama, filsafat hidup, perkembangan sosial budaya, pemerintahan, yang temanya ini bisa saja diminta oleh para pejabat eksekutif melalui orang-orang kepercayaannya kepada para seniman nandong. 5.2.4 Berbagai Guna Lainnya Guna lainnya nandong smong ini juga tidak terbatas, sesuai dengan keseuaian konteks sosialnya. Selain untuk memeriahkan upacara perkawinan, upacara khitanan, menyambut tamu, juga digunakan untuk berbagai konteks seperti: (1) menyambut ulang tahun kemerdekaan Indonesia; (2) meresmikan gedung-gedung pemerintahan; (3) pembukaan dan mengisi acara-acara kepariwisataan; (4) pertunjukan budaya; dan lain-lainnya. Demikian kira-kira kajian penulis mengenai guna nandong smong ini dalam konteks kebudayaan etnik Simeulue secara khusus, Aceh dan Nusantara secara umum. Selanjutnya kajian yang lebih jauh dan lebih abstrak adalah fungsi nandong smong. 5.3 Fungsi Nandong Smong Menurut penulis, berdasarkan teori fungsionalisme antropologi (dari Malinowski maupun Radcliffe-Brown) juga uses and functions etnomusikologi 135 (dari Merriam), maka fungsi nandong smong adalah: (1) fungsi memberi tahu gejala dan peristiwa tsunami; (2) fungsi memberitahu cara menyelamatkan diri dari bencana tsunami; (3) fungsi menjaga keseimbangan kosmologis; (4) fungsi komunikasi; (5) fungsi kesinambungan kebudayaan; (6) fungsi memperkuat identitas kebudayaan Simeulue; (7) fungsi penghayatan agama Islam, (8) fungsi hiburan, (9) fungsi integrasi sosiobudaya, dan lain-lainnya, seperti uraian berikut ini. 5.3.1 Fungsi Memberitahu Gejala dan Peristiwa Tsunami Fungsi utama nandong smong, menurut kajian dan tafsiran penulis adalah untuk mempelajari gejala dan peristiwa tsunami, yang dialami oleh nenek moyang Simeulue beberapa ratus tahun yang lampau, dan sangat mungkin akan terulang kembali. Mengenai gejala dan peristiwa tsunami ini jelas terkandung di dalam teksnya. Unen ne alek linon (diawali oleh gempa) Fesang bakat ne mali (disusul ombak besar) Manoknop sao hampong (tenggelam seluruh negeri) Tibo-tibo maawi (secara tiba-tiba) Teks dari tradisi lisan ini mengisyaratkan bahwa apa itu tsunami (smong), yakni peristiwa alam yang dimulai dengan gempa. Gempa ini umumnya terjadi di Samudera Hindia, tentu saja gempa yang berkeuatan dahsyat (kini dapat diukur oleh skala Ritcher). Setelah gempa, maka, akan disusul ombak besar dari Lautan Hindia, bahkan sangat besar dibanding ombak hari-hari biasa, bisa mencapai puluhan meter. Kemudian tenggelamlah seluruh negeri, terutama 136 kawasan tepi pantai. Kejadian ini hanya makan waktu sekejap saja atau tibatiba saja yang dalam bahasa Simeulue disebut dengan tibo-tibo maawi. Dari teks ini tegambar fungsi utama nandong smong menjelaskan dengan sejelas-jelasnya gejala tsunami dan peristiwanya, yang menurut penulis adalah multi indeksikal. Artinya satu kejadian akan disusul dengan kejadian lain, sampai akhirnya tenggelamlah seluruh negeri (wilayah Simeulue). Inilah salah satu fungsi utama nandong smong. 5.3.2 Fungsi Memberitahu Cara Menyelamatkan Diri dari Bencana Tsunami Fungsi nandong smong berikutnya adalah memberitahu cara menyelamatkan diri dari bencana tsunami. Fungsi ini penting ditinjau dari aspek kontinuitas generasi manusia Simeulue, agar tidak menjadi korban dari tsunami. Cara menyelamatkan diri itu terkandung dalam contoh teks yang dikutip berikut ini. Anga linon ne mali (jika gempanya kuat) Uek suruik sahuli (disusul air yang surut) Maheya mihawali (segeralah cari tempat) Fano me senga tenggi (dataran tinggi agar selamat) Ede smong kahanne (itulah smong namanya) Turiang da nenekta (sejarah nenek moyang kita) Miredem teher ere (ingatlah ini semua) Pesan navi-navi da (pesan dan nasihatnya) Teks di atas memiliki fungsi penyelamatan diri dari tsunami. Dimulai dari penjelasan atau pemberitahuan jika gempanya kuat, yang kemudin disusul air yang surut, maka nenek moyang orang Simeulue melalui syair ini 137 menganjurkan agar keturunannya segeralah mencari tempat dataran tinggi, agar mereka semua selamat dari bencana tsunami atau smong. Pemberitahuan ini, tentu saja dikaitkan juga dengan peristiwa gempa yang tidak menimbulkan smong, yaitu jika gempanya tidak kuat, dan air laut tidak surut, maka tidak perlu terburu-buru mencari dataran yang tinggi, karena peristiwa gempa tersebut tidak akan menyebakan tsunami. Namun demikian mereka perlu juga berhati-hati setiap adanya gempa. Dalam budaya Simeulue, gempa kuat dan kemudian air laut turun, kemudian berubah menjadi gelombang besar yang dahsyat dan biasanya memuluh-lantakkan daratan (pulau) disebut dengan smong. Melalui tradisi lisan ini dijelaskann bahwa smong menjadi sejarah kebudayaan mereka, sejak zaman nenek moyangnya ada, dan mengalami peristiwa tersebut. Oleh karena itu, nenek moyang orang Simeulue mengajarkan dan memberitahukan tentang tsunami ini melalui nandong smong. Dengan demijian dua fungsi utama nandong smong, adalah untuk memberitahu apa itu tsunami dan memberitahu bagaimana menyelematkan diri dari bencana tsunami ini, berdasarkan pengalaman nenek moyang mereka. 5.3.3 Fungsi Menjaga Keseimbangan Kosmologis Fungsi lainnya nandong smong, menurut penulis adalah untuk menjaga keseimbangan kosmologis. Masyarakat Simeulue memiliki konsep tersendiri dalam memandang alam. Bagi orang-orang Simeulue, alam ini mencakup juga dirinya. Alam terdiri dari alam kasat mata, yakni bumi, planet, satelit, bintang, tata surya, galaksi, dan lain-lainnya, juga alam gaib. Hal ini juga selaras 138 dengan ajaran agama Islam yang nereka anut, bahwa Allah menciptakan alam dan seisinya ini. Kemudian dijelaskan bahwa alam itu ada yang kasat mata dan juga ada alam gaib. Menyatunya orang Simeulue dengan alam, terutama dalam konteks smong, tercermin dalam teks yang penuh dengan makna berikut. Smong dumek-dumek mo (tsunami air mandimu) Linon uwak-uwakmo (gempa ayunanmu) Elaik keudang-keudang mo (petir gendang-gendangmu) Kilek suluih-suluih mo (halilintar lampu-lampumu) Dalam rangka mengisi dan menjalani kehidupannya, orang-orang Simeulue, tidak mengeksploitasi alam, merusak alam, dan melawan kehendak alam yang telah diatur regulasinya oleh Allah. Bagi orang Simeulue, alam adalah tempat mencari kehidupan, untuk membutuhi kehidupan individu, keluarga inti, keluarga luas, suku, bangsa, dan semua manusia. Olehh karena itu jangan merusak alam. Dalam konteks tsunami ini, maka selain nandong smong, orang-orang Simeulue juga memelihara hutan bakau di sekitar pantai, menanam tanam-tanaman khas pulau, gunanya adalah untuk memecah gelombang dahsyat jika terjadi tsunami. Jadi salah satu fungsi lainnya dari nandong smong adalah untuk menjaga keseimbangan kosmologis. 5.3.4 Fungsi Komunikasi Fungsi lainnya dari nandong smong ini adalah sebagai sarana komunikasi. Dalam fungsi yang sedemikian rupa ini, pertunjukan nandong smong yang digunakan pada berbagai acara kutural, selain memberikan 139 pengetahuan juga berfungsi komunikasi. Dalam hal ini orang yang menyajikan nandong smong adalah sebagai komunikator. Mereka ini adalah penyanyi (penandong), pemain biola, dan kedang. Selanjutnya orang yang menonton pertunjukan nandong smong dalam ilmu komunikasi disebut sebagai komunikan. Mereka menerima pesan-pesan pertunjukan nandong smong. Pesan yang diterima ada dua bentuk. Yang pertama adalah bentuk verbal melalui teks nandong smong yang dilantunkan penandong. Yang kedua adalah bentuk nonverbal, berupa alunan melodi, ritme nyanyian, maupun ritme kedang. Kesemua bentuk komunikasi ini menjadi bahagian yang saling menguatkan dalam proses komunikasi mengenai tema utamanya smong. Jadi fungsi komunikasi dalam hal ini, masih dalam kaitan dengan fungsi utama memberitahu apa itu tsunami dan bagaimana upaya menyelamatkan diri dari tsunami. Selain itu, disadari atau tidak nandong smong ini juga adalah sebagai bagian dari komunikasi orang-orang Simeulue yang masih hidup dengan nenek moyangnya yang telah meninggal. Baik yang baru meninggal atau beberapa generasi ke atas. Komunikasi ini berupa nenek moyang mereka memberikan pesan komunikasi tentang tsunami. Bagi orang Simeulue sebagaimana umat Islam lainnya di dunia, setiap saat mereka dapat berkomunikasi kepada kerabatnya melalui doa kepada Allah, agar nenek moyang mereka diterima di sisi Allah dalam tempat yang sebaik-baiknya. Demikian nandong smong yang berfungsi sebagai sarana komunikasi. 140 5.3.5 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan Berkenaan dengan fungsi sumbangan musik untuk kesinambungan dan stabilitas kebudayaan, Merriam menjelaskan bahwa tidak semua unsur kebudayaan memberikan tempat untuk mengekspresikan emosi, hiburan, komunikasi, dan seterusnya. Musik adalah perwujudan kegiatan untuk mengekspresikan nilai-nilai. Dengan demikian fungsi musik ini menjadi bagian dari berbagai ragam pengetahuan manusia lainnya, seperti sejarah, mite, dan legenda, yang berfungsi menyumbang kesinambungan kebudayaan, yang diperoleh melalui pendidikan, pengawasan terhadap prilaku yang salah, menekankan kepada kebenaran, dan akhirnya menyumbangkan stabilitas kebudayaan (Merriam, 1964:225). Dalam kaitannya dengan fungsi nandong smong untuk kesimabungan dan stabilitas kebudayaan, maka menjadi bagian dari fungsi utamanya yakni sebagai sarana pengetahuan orang Simeulue tentang tsunami dan cara menyelamatkan diri dari tsunami. Dengan memahami hal ini, selanjutnya orang-orang Simeulue sebagian besar selamat dari bencana tersebut. Selanjutnya setelah tsunami selesai mereka kembali ke rumah masing-masing, walaupun telah diluluhlantakkan tsunami. Mereka masih bisa membangun sarana dan prasarana kehidupannya kembali. Kemudian perlahan tetapi pasti mengisi hidupnya kembali dengan penuh harapan ke masa depan. Mereka kemudian membangun kebudayaannya. Dengan demikian terjadi kesinambungan dan stabilitas kebudayaa. Bahkan lebih jauh fungsi nandong smong ini adalah untuk kesinambungan keturunan manusia Simeulue, dalam konteks menyelematakan diri dari bencana tsunami, dan kemudian setelah 141 selamat membangun peradabannya kembali. Terjadi pula stabilitas kebudayaan setelah itu. Hal ini tercermin dari dua bait nandong smong berikut. Enggelan mon sao surito (dengarlah suatu kisah) Inang maso semonan (pada zaman dahulu kala) Manoknop sao fano (tenggelam suatu desa) Uwilah da sesewan (begitulah dituturkan) Ede smong kahanne (itulah smong namanya) Turiang da nenekta (sejarah nenek moyang kita) Miredem teher ere (ingatlah ini semua) Pesan navi-navi da (pesan dan nasihatnya) Sesuai dengan kajian Merriam di atas, nandong smong dalam budaya Simeulue Aceh, berfungsi pula memberikan sumbangan untuk kelestarian dan stabilitas kebudayaan Simeulue. Di dalam nandong smong ini terkandung unsur-unsur sejarah, mite, dan legenda, yang pada saatnya mampu memberikan sumbangan untuk kelestarian kebudayaan. Melalui nandong smong bisa dipelajari prilaku-prilaku yang dipandang benar dan salah oleh masyarakat pendukungnya. Di dalam nandong smong terkandung nilai-nilai moral. Fungsi nandong smong lainnya adalah sebagai sarana untuk kelestarian budaya Simeulue. Bahwa seperti dicontohkan di dalam ajaran agama, kebudayaan manusia itu bisa saja mati, dan ada juga yang lestari. Contoh berbagai kebudayaan yang musnah itu adalah: Ad, Tsamud, Madyan, Ur, dan lainnya—dan yang lestari adalah beberapa umat Nabi Nuh, dan tentu saja umat Islam, sejak Nabi Adam Alaihissalam hingga kini. Melalui nandong smong, ajaran-ajaran adat berakarkan agama Islam akan terus lestari mengikuti dimensi ruang dan waktu. Bahawa kebudayaan Simeulue itu harus diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya agar tidak musnah ditelan zaman. 142 Generasi muda haruslah dikawal dan dipandu agar mereka meneruskan dan melestarikan kebudayaan Simeulue ini ke generasi-generasi mendatang. 5.3.6 Fungsi Memperkuat Identitas Kebudayaan Simeulue Menurut penulis, salah satu fungsi nandong smong yang lain adalah memperkuat identitas kebudayaan Simeulue. Nandong smong hanya terdapat di dalam kebudayaan masyarakat Simeulue. Nandong smong juga meruapakan tradisi lisan yang penuh dengan kearifan lokal, yang membuat orang Simeulue dikenal di seluruh dunia. Bahkan PBB pun memberikan penghargaan atas eksistensi nandong smong di Simeulue ini. Sebagai sebuah seni yang memprkuat identitas kebudayaan, maka masyarakat Simeulue, sangat giat melakukan sosialisasi seni ini dalam berbagai aktivitas sosial dan kebudayaan. Bahkan dalam paket-paket olahan makanan, teks nandong smong juga ditulisakan di bungkus paket tersebut. Demikian pula pembelajarannya untuk anak sekolah, mulai dari taman kanakkanak, sekolah dasar, menengah perta, dan menegah atas, sebagai bagian dari muatan lokal. Demikian pula dalam aktivitas kampanye politik pun, biasanya para calon selalu mensosialisasikan nandong smong ini. Dengan dermikian nandong smong adalah memperkuat identitas kebudayaan Simeulue, di samping tradisi-tradisi lisan lainnya. 5.3.7 Fungsi Penghayatan Agama Islam Fungsi nandong smong lainnya adalah untuk penghayatan agama Islam. Artinya adalah di dalam nandong smong terdapat nilai-nilai ajaran Islam, 143 terutama tenrang alam, bencana, menyikapi bencana, dan yang penting adalah semua itu datangnya dari Allah Subhanahu Wataala. Menurut keterangan para informan, ajaran Islam yang terkadung dari nandong smong ini, adalah seperti yang difirmankan Allah di dalam Al-Quran, mengenai kisah Nabi Nuh dan bahteranya. Orang-orang yang beriman meyakini bahwa akan terjadi banjir besar, dan sesuai dengan arahan nabi Nuh naik ke dalam bahtera, selanjutnya orang-orang yang memusuhi Nabi Nuh dan mengingkari kekuasaan Allah tidak mau naik ke perahu karena tidak meyakini akan adanya banjir besar. Akhirnya selamatlah orang-orang beriman yang berada di perahu Nabi Nuh dan tenggelamlah orang-orang yang memusuhi Nabiyullah Nuh. Hal ini digambarkan di dalam Al-Quran, Surah Yunus ayat 73 sebagai berikut. Artinya: 73. Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu. Selain itu, seni budaya nandong smong di Simeuue Aceh ini berfungsi sebagai ekspresi spiritualitas Islam. Bahwa seni Islam tidak hanya menghargai bentuk, material dan fisiknya saja. Nandong smong terdiri dari aspek spiritualitas dan fisik sekali gus. Kedua-duanya berjalan selaras dan seiring. Spiritualitas dalam seni Islam adalah memancarkan hakikat kebenaran dan 144 kesempurnaan. Bahwa dimensi spiritualitas dalam seni Islam di Simeulue mencerminkan jiwa seniman muslim melalui karyanya, didasari oleh nilai-nilai kebenaran yang diarahkan dan dibimbing oleh Allah sebagai Tuhan semesta alam. Dengan demikian, spiritulitas dalam seni nandong smong dibimbing oleh hakikat ketuhanan. Nilai-nilai spiritualitas ini melampaui batas-batas bentuk dan fisik. 5.3.8 Fungsi Hiburan Berkaitan dengan fungsi seni untuk hiburan, Merriam membicarakannya seperti yang penulis kutip berikut ini. Music provides an entertainment function in all societies. It needs only to be pointed out that a distinction must be probably be drawn between “pure” entertainment, which seems to be a particular feature of music in Western society, and entertainment combined with other functions. The latter may well be a more prevalent feature of nonliterate societies (Merriam, 1964:223). Nandong smong milik masyarakat Simeulue, salah satu fungsinya adalah untuk hiburan. Di Simeulue Aceh, nandong smong tetap hidup karena salah satunya adalah berfungsi untuk hiburan. Kelompok-kelompok seni pertunjukan tradisional biasanya melakukan kegiatannya di panggung, di rumah yang punya hajat, di gedung, dan lainnya. Fungsi dalam konteks ini adalah menghibur pengunjung. Dalam kaitan ini, menurut, faktor ekonomi adalah menjadi alasan utama dalam rangka hiburan ini. Fungsi nandong smong sebagai sarana hiburan bukanlah bermakna hiburan yang terlepas dari ajaran Islam. Justeru hiburan di sini adalah untuk 145 memenuhi keinginan dasar manusia akan rasa keindahan melalui berbagai dimensinya. Bahwa manusia secara alamiah, menyukai keindahan. Sesudah menikmati keindahan ia akan terhibur, dan jiwanya terisi oleh aspek-aspek ruhiyah dan pencerahan (aufklärung). Dengan demikian nandong smong juga mengandung fungsi sebagai hiburan, yang berdasar kepada fitrahnya dan sebagai salah satu anugerah dan nikmat yang diberikan oleh Allah. 5.3.9 Fungsi Integrasi Sosiobudaya Fungsi nandong smong lainnya adalah untuk integrasi masyarakat Simeulue. Berkenaan dengan fungsi seni sebagai sumbangan untuk integrasi masyarakat, Merriam menjelaskannya seperti yang penulis kutip berikut ini. Music, then, provides a rallying point around which the members of society gather to engage in activities which require the cooperation and coordination of the group. Not all music is thus performed, of course, but every society has occasions signalled by music which draw its members together and reminds them of their unity (Merriam, 1964:227). Menurut Merriam, salah satu fungsi musik adalah sebagai wahana untuk berkumpul para anggota masyarakatnya. Musik seperti ini biasanya mengajak para warga masyarakatnya untuk turut serta beraktivitas. Dalam konteks itu, mereka saling memerlukan kerjasama dan koordinasi kelompok. Walau demikian, Merriam juga tidak menyatakan bahwa semua musik berfungsi sebagai kontribusi untuk integrasi, tetapi umumnya setiap kelompok masyarakat mempunyai muSik seperti yang digambarkannya itu. Melalui musik ini para anggota masyarakatnya diajak untuk beraktivitas 146 bersama, dan mengingatkan akan pentingnya mereka sebagai satu kesatuan kelompok. Konsep yang dikemukakan Merriam tersebut sangat tepat dalam menggambarkan salah satu fungsi yang terjadi dalam nandong smong dalam kebudayaan etnik Simeulue. Dari serangkaian fungsi nandong smong, menurut penulis, fungsinya yang juga penting adalah memberi sumbangan kepada integrasi masyarakat. Melalui nandong smong ini, orang Simeulue diingatkan pentingnya bekerjasama dalam memahami, meyelamatkan diri dari tsunami, saling berkomunikasi, dan itu akan lebih terintegrasi dengan cara bekerjasama. 7 Fungsi nandong smong sebagai integrasi sosiobudaya, artinya adalah bahwa masyarakat Simeulue atau yang lebih luas seluruh umat manusia, memiliki berbagai perbedaan ras, bangsa (nasional), status sosial dan ekonomi, agama, kepercayaan, sekte, stereotipe, jenis kelamin, dan lainlainnya. Mereka yang berbeda ini, perlu berkomunikasi dan saling 7 Contoh lain fungsi seni yang memberikan sumbangan untuk integrasi masyarakat adalah tarian yang terdapat pada masyarakat Andaman, yang dideskripsikan Radcliffe-Brown seperti berikut: The Andamanese dance (with its accompanying song) may therefore be described as an activity in which, by virtue of the effect of rhythm and melody, all the members of a community are able harmoniously to cooperate and act in unity ... The pleasure that the dancer feel irradiates itself over everything arouns him and he is filled with geniality and good-will towards his companions. The sharing with others of an intense pleasure, or rather the sharing in a collective expression of pleasure, must ever incline us to such expansive feelings. ... In this way the dance produces a condition in which the unity, harmony and concord of the community are at a maximum, and in which they are intensely felt by every member. It is also produce this condition. I would maintain, that is the primary social function of the dance. The well-being, or indeed the existence, of the society depends on the unity and harmony that obtain in it, and the dance, by making that unity intensely felt, is a menas of maintaning it. For the dance affords an opportunity for the direct action of the community upon the individual, and we have seen that it exercises in the individual those sentiments by which the social harmony is maintained (Radcliffe-Brown, 1948:249-252). 147 berhubungan sosial, karena makhluk manusia itu memerlukan manusia lain. Dalam konteks sedemikian rupa mereka memerlukan integrasi sosial, agar terjalin hubungan antara individu atau kumpulan manusia, yang diatur oleh hukum atau norma-norma sosial yang ada. Salah satu fungsi nandong smong adalah untuk mewujudkan integrasi sosiobudaya. Bahwa masyarakat Simeulue itu sendiri memiliki berbagai perbedaan. Oleh kerana itu mereka perlu mengadakan integrasi sosiobudaya dalam tingkat suku maupun kawasan Aceh dan Nusantara. Selain itu juga, Islam sebagai panduan etnik Simeulue di Aceh, secara konseptual adalah sebuah agama dengan gagasan dan melakukan konsep rahmat kepada seluruh sekalian alam. Jadi Islam tentu saja harus toleran dan menghargai perbedaan-perbedaan sesama umat manusia dan lingkungan alam. Hal ini juga tercermin dalam nandong smong. 148 BAB VI KAJIAN KEARIFAN LOKAL 6.1 Pengertian Kearifan Lokal Istilah kearifan lokal (lokal wisdom) terdiri atas dua kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Kata kearifan (wisdom) berarti kebijaksanaan, sedangkan kata lokal berarti setempat. Dengan demikian, kearifan lokal atau kearifan setempat (local wisdom) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki, dipedomani, dan dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal itu diperoleh dari tradisi budaya atau tradisi lisan. Alasannya adalah karena kearifan lokal merupakan kandungan tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara turun-temurun diwarisi dan dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya atau untuk mengatur tatanan kehidupan komunitas. Kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Jika kearifan lokal itu difokuskan pada nilai budaya, maka juga dapat didefinisikan dengan cara lain. Kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif dan bijaksana (Sibarani: 2012). Definisi pertama lebih menekankan pada kebijaksanaan atau kearifan untuk menata kehidupan sosial yang berasal dari nilai budaya yang luhur, sedangkan definisi kedua 149 menekankan nilai budaya luhur yang digunakan untuk kebijaksanaan atau kearifan menata kehidupan sosial. Pemahaman bahwa nandong smong dapat dikatakan sebagai kearifan lokal dapat dilihat dari pendekatan perspektif struktural, kultural, dan fungsional. Dari perspektif struktural, kearifan lokal dapat dipahami dari keunikan struktur sosial yang berkembang di lingkungan masyarakat. Struktur sosial tersebut tidak hanya menjelaskan tentang institusi sosial, organisasi sosisal dan kelompok sosial, yang hadir di tengah masyarakat lokal, tetapi bertautan dengan dominasi wewenang dan kekuasaan yang melahirkan kelas, stratifikasi atau tipologi masyarakat. Perspektif kultural lebih menekankan pada konteks kearifan lokal sebagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan dari masyarakat sendiri dan karena kemampuannya mampu bertahan dan menjadi pedoman hidup masyarakat. Pada dasarnya, ada 5 (lima) dimensi kultural tentang kearifan lokal, yaitu: (1) pengetahuan lokal, (2) budaya lokal, (3) keterampilan lokal, (4) sumber daya lokal, dan (5) proses sosial lokal (Ife, 2002:101-102). Perspektif fungsional lebih memahami kearifan lokal dari perspektif kemampuan masyarakat untuk melaksanakan fungsi-fungsinya. Parsons (1986) meletakkan fungsi masyarakat dari dimensi: adaptasi (adaptation), pencapaian tujuan (goal achievement), integrasi (integration), dan pemeliharaan pola (latern pattern maintanace), yang secara akronim fungsi-fungsi itu dalam ilmu pengetahuan sosial dan budaya disebut dengan AGIL. 150 Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai dan norma budaya yang berlaku dalam menata kehidupan masyarakat. Nilai dan norma yang diyakini kebenarannya menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Greetz mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan identitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi nilai dan norma budaya untuk kedamaian dan kesejahteraan dapat digunakan sebagai dasar dalam pembangunan masyarakat. Tradisi budaya yang hidup di setiap masyarakat pada umumnya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui media lisan dari “mulut ke telinga.” Oleh karena sifat pewarisannya, tradisi budaya seperti itu disebut juga tradisi lisan. Tradisi budaya itu mungkin dalam bentuk proses aktivitas, proses penciptaan kebudayaan, atau proses berkomunikasi. Dengan demikian, tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan (non-verbal). Tradisi budaya atau tradisi lisan memiliki ciri-ciri sebagai berikut ini: (1) Merupakan kegiatan budaya berbentuk lisan (sebagaian lisan dan bukan lisan); (2) Memiliki konteks penggunaannya yakni konteks situasi, konteks sosial, konteks budaya, dan konteks ideologi; (3) Dapat diamati dan ditonton; (4) Bersifat tradisional; (5) Diwariskan secara turun-temurun; (6) Proses penyampaian “dari mulut ke telinga;” (7) Mengandung nilai-nilai dan normanorma budaya; (8) Memiliki versi-versi; (9) Milik bersama komunitas tertentu; 151 (10) Berpotensi direvitalisasi, dilestarikan, dan diangkat sebagai sumber industri budaya (Sibarani, 2012: 43-46). Ciri-ciri di atas bersifat komulatif, artinya semua tradisi budaya atau tradisi lisan sekaligus memiliki ciri-ciri itu kalau hanya memiliki satu atau dua ciri di atas kebiasaan itu belum tentu tergolong pada tradisi lisan atau tradisi budaya. Dalam pemahaman penulis selama penelitian, baik itu di lapangan maupun pada saat wawancara, smong memiliki seluruh ciri-ciri tradisi lisan tersebut. Kearifan lokal dapat dikaji melalui tradisi budaya atau tradisi lisan yang dimiliki oleh suatu masyarakat, berikut adalah uraian bahwa smong dapat dikatakan sebagai kearifan lokal karena memiliki ciri-ciri sebagai tradisi budaya atau tradisi lisan: 1. Merupakan kegiatan budaya berbentuk lisan, sebagaian lisan dan bukan lisan; 2. Memiliki konteks penggunaannya yakni konteks situasi, konteks sosial, konteks budaya, dan konteks ideologi; 3. Dapat diamati dan ditonton; 4. Bersifat tradisional; 5. Diwariskan secara turun-temurun; 6. Proses penyampaian “dari mulut ke telinga”; 7. Mengandung nilai-nilai dan norma-norma budaya; 8. Memiliki versi-versi; 9. Milik bersama komunitas tertentu; dan 152 10. Berpotensi direvitalisasi, dilestarikan, dan diangkat sebagai sumber industri budaya. 6.2 Kepercayaan Tradisional Simeulue dan Agama Islam sebagai Sumber Kearifan Lokal Masyarakat Simeulue Aceh memiliki sejumlah kearifan lokal dalam penanggulangan bencana. Di antaranya, masyarakat Simeulue Aceh memiliki institusi adat yang bertangung jawab mengelola lingkungan dan memastikan tidak ada pengrusakan yang bisa menimbulkan bencana, seperti institusi adat: Ulee Seneuboek, Ketuha Uteun yang menjaga pengelolaan hutan dalam pemukiman mereka dan Panglima Laot yang bertanggung jawab dalam mengatur penggunaan sumberdaya laut dan menjaga kelestarian alam laut (Aswar, 2009). Beberapa orang yang dituakan di desa mampu memprediksi lebih akurat tentang waktu terjadinya banjir, sehingga musim cocok tanam disesuaikan untuk menghindari bersamaan dengan datangnya banjir. Pengetahuan ini belakangan semakin hilang di desa-desa, terutama pasca tsunami terjadi perubahan besar pada kondisi alam, sehingga ilmu tradisonal yang dimiliki oleh masyarakat di desa-desa di Aceh sudah sulit memperkirakan tanda-tanda alam (Aswar, 2009). Masyarakat Aceh memiliki memori kolektif tentang tsunami yang terjadi pada tahun 1907. Memori kolektif bahwa setiap gempa besar orang 153 harus mencari bukit sudah direkam dalam hadih maja1 lokal di Simeulue, sehingga memori ini mudah diturunkan kepada generasi berikutnya yang tidak mengalami tsunami tahun 1907. Pengetahuan inilah yang telah membantu masyarakat Aceh bisa menyelamatkan diri dari tsunami 2004 (Aswar, 2009). Dilihat dari aspek pranata sosial, masyarakat Simeulue Aceh mempunyai kelembagaan pranata sosial yang cukup lengkap, dan demokrasi yang sangat kuat. Lembaga tersebut mempunyai struktur yang diisi oleh berbagai cerdik pandai, yaitu ahli agama/ ulama, ahli pemerintahan/ mukim, ahli ekonomi (hariya) dan tokoh adat. Dari bawah hingga ke atas mempunyai saluran yang saling berkoordinasi satu sama lainnya sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara musyawarah, demokratis, cepat, dan tepat (Aswar, 2009). Fungsi yang dijalankan oleh kelembagaan pranata sosial masyarakat tidak hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, tetapi juga menyangkut kegiatan ekonomi masyarakat. Hingga saat ini, kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin-pemimpin pranata sosial seperti; tokoh ulama, mukim di pemerintahan, tokoh ekonomi, dan tokoh adat masih sangat kuat (Aswar, 2009). Kesemuanya ini mengacu kepada adat dan ajaran agama Islam, yang menjadi cirri khas masyarakat Simeulue dan Aceh pada umumnya. Selanjutnya dasar adat itu juga tercermin di dalam nandong smong yang memiliki kearifan lokal. 1 Hadih maja merupakan peribahasa Aceh yang diucapkan sebagai salah satu kearifan lokal. Kini sudah jarang digunakan oleh masyarakat, budaya linguistik permainan bahasa aceh menjadi sebuah tradisi yang biasanya diucapkan orang tua saat ini, untuk mengingatkan kembali jangan sampai budaya peradaban aceh masa lalu hilang begitu saja. 154 6.3 Kearifan tentang Menghadapi Bencana 6.3.1 Bencana Menurut Bakornas PB (2007), bencana terjadi jika ada ancaman yang muncul dengan kondisi kerentanan yang ada secara sederhana hubungan ancaman dan kerentanan dapat digambarkan sebagai berikut. Ancaman + Kerentanan = Bencana Bagan 6.1: Kejadian Bencana Ancaman termasuk smong adalah suatu kejadian atau peristiwa yang berpotensi menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, kerusakan lingkungan, dan menimbulkan dampak suatu kondisi yang ditentukan oleh psikologis. Kerentanan adalah suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi, dan sosial budaya dan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana (Bakornas PB, 2007). Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas manusia. Kerugian yang terjadi dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian yang disebabkan karena ketidakberdayaan manusia akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat. Kerugian yang 155 dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka. Pemahaman ini berhubungan dengan pernyataan “bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan.” Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah “alam” juga ditentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia (Tohari, 2008). Namun demikian, pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki kerentanan/ kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi dampak yang hebat/ luas jika manusia yang berada di sana memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana merupakan evaluasi kemampuan sistem dan infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah, dan menangani tantangan-tantangan serius yang hadir. Meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketahanan terhadap bencana yang cukup akan meminimalisir dampak yang di timbulkan akibat bencana (Hilman, 2007). Bencana lingkungan yang melanda berbagai daerah di tanah air diperkirakan akan terus meluas dan mengkhawatirkan apabila faktor pencegahan tidak menjadi fokus penanganan. Secara geologis, klimatologis, dan geografis, wilayah Indonesia tergolong rentan. Kajian geologis 156 menunjukkan, batuan belum padat atau solid mendominasi struktur batuan di Indonesia. Hujan di atas normal bertempo lama, didukung kemiringan bukit, dan terbatasnya tutupan lahan menimbulkan gerakan tanah (Tohari, 2008). 6.3.2 Pembagian Bencana dan Faktor-faktor Terjadinya Bencana Menurut Depkes RI (2007), bencana dapat dikelompokkan menjadi bencana alam dan bencana non alam, yaitu bencana yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan tingginya risiko bencana baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun non alam antara lain sebagai berikut. (a) Kondisi alam serta perbuatan manusia dapat menimbulkan bahaya bagi makluk hidup, yang dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi, bahaya hidrometeorologi, bahaya biologi, bahaya teknologi dan penurunan kualitas lingkungan. (b) Kerentanan yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemenelemen di dalam suatu wilayah yang berisiko bencana. (c) Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat. Dengan beragamnya faktor penyebab bencana serta luasnya ruang lingkup dan dimensi bencana sesuai UU No 24 Tahun 2007, maka dibutuhkan keterlibatan beragam keahlian dalam upaya mengatasi dan pengurangan risiko bencana, mulai dari keilmuan sosial menyangkut kelembagaan, organisasi, pemberdayaan keluarga dan masyarakat, sampai di bidang teknik dan ahli dinamika model dan analisis system (Depkes RI, 2007). 157 6.3.3 Bencana Gempa dan Tsunami di Aceh Istilah gempa bumi sesungguhnya bermacam-macam tergantung dari penyebabnya, misalnya gempa vulkanik, gempa runtuhan, gempa imbasan dan gempa buatan. Gempa vulkanik disebabkan oleh desakan magma ke permukaan, gempa runtuhan banyak terjadi di pengunungan yang runtuh, gempa imbasan biasanya terjadi di sekitar dam (penahan air) dikarenakan fluktuasi air dam (penahan air) dan gempa buatan adalah gempa yang dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari bahan mineral. Sedangkan gempa yang disebabkan oleh tabrakan atau tumbukan antar lempeng. Skala gempa tektonik jauh lebih besar di bandingkan dengan jenis gempa lainnya sehingga dampaknya lebih besar terhadap bangunan (Ella dan Usman, 2008). Teori tentang gempa dikatakan bahwa lapisan kulit bumi dengan ketebalan 100 Km mempunyai temperatur relatif jauh lebih rendah di bandingkan dengan lapisan dalamnya (mantel dan inti bumi) sehingga terjadi aliran konveksi dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir kedaerah temperatur rendah atau sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang untuk menerangkan pergeseran lempeng tektonik yang menjadi penyebab utama terjadinya gempa bumi tektonik atau lebih dikenal dengan gempa bumi (Ella dan Usman, 2008). Teori yang terbaru menerangkan bahwa gempa tektonik berasal dari dekade 1960-an. Menurut teori ini kerak bumi terdiri dari 14 lempeng tektonik besar dan puluhan lempeng kecil yang selalu bergerak. Lempengan ini terus bergerak karena bagian dalam bumi bentuknya adalah cairan pekat. Cairan- 158 cairan tersebut selalu mengalir, walaupun rata-rata pergerakannya hanya beberapa sentimeter pertahun (Ella dan Usman, 2008). Menurut Ella dan Usman (2008), bentuk lempengan yang tidak rata sering terjadi gesekan dalam pergerakan ini. Energi yang disebabkan oleh gesekan ini sebagian besar lepas dalam bentuk panas ke dalam bumi dan sebagian kecil saja yang terasa oleh kita sebagai goncangan atau di kenal sebagai energi seismik. Selain terjadi pergeseran lempeng bisa juga terjadi perekahan di dalam lempeng itu sendiri. Jika ada gaya yang bekerja cukup besar, maka lempeng kerak bumi akan retak dan mengakibatkan goncangan. Goncangan tersebut akan menyebabkan timbulnya patahan pada permukaan bumi. Secara umum terdapat tiga tipe patahan, yaitu patahan normal, patahan balik dan patahan mendatar. Jika kekuatan gempa saling berlawanan arah maka akan terjadi saling tarik menarik sehingga menimbulkan patahan normal yang saling menjauh dan terjadi bidang naik turun, namun jika kekuatan gempa searah maka akan terjadi tumbukan sehingga menimbulkan patahan balik ada kedua bidang akan naik turun, sedangkan jika arah kekuatan gempa bergeser ke kiri atau ke kanan maka patahan terjadi secara mendatar (Ella dan Usman, 2008). Gempa bumi atau letusan gunung berapi yang terjadi di bawah laut mengakibatkan terjadinya kerak bumi keatas dan kebawah dan kemudian menyebabkan dasar laut naik dan turun secara tiba-tiba. Pergerakan naik dan turun dasar laut ini seterusnya menggerakkan air laut, menciptakan pergerakan gelombang yang kuat dan ketika gelombang ini sampai di pantai atau daratan, 159 kecepatannya melambat dan tumbuh menjadi tembok air yang tinggi (Ella dan Usman, 2008). Menurut Ella dan Usman (2008), laut yang dalam ukuran gelombang tsunami agak rendah, gelombang tampak seperti ombak biasa, tingginya hanya sekitar satu meter dan lewat tanpa disadari oleh kebanyakan nelayan, namun ketika mencapai laut dangkal gelombang tsunami tumbuh hingga tiga puluh meter. Dalam laut yang gelombang tsunami dapat bergerak hingga 900 km/jam, tapi ketika mencapai laut dangkal dekat daratan gelombang tersebut melambat. Pada kedalaman 15 meter kecepatannya bisa menjadi 45 km/jam, kecepatan ini masih terlalu sukar bagi orang-orang di pantai untuk dapat lari menyelamatkan diri. Gelombang tersebut mendorong ke depan dengan berat lautan di belakangnya, ketika itu rumah dan bangunan roboh, jalan hilang, kapal terlempar, jembatan putus, manusia dan hewan terhempas dan tertarik ke laut serta semua yang tidak tertanam kuat di dalam tanah akan tercabut oleh tsunami (Ella dan Usman, 2008). Gempa dengan 9.1 skala richter dan menyebabkan tsunami yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 merupakan salah satu bencana alam terbesar di dunia yang menimpa Indonesia. Setelah 45 menit terjadi gempa, gelombang tsunami menyapu bersih pesisir pantai NAD sepanjang 800 km hanya dalam beberapa menit. Gempa susulan yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2005 menambah jumlah korban, termasuk di Nias, Simeulue dan Aceh Bagian Selatan (LIPI-UNESCO/ISDR, 2006). 160 Berdasarkan laporan bersama BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi) dan mitra internasional (Desember, 2005), dinyatakan bahwa bencana tersebut telah menyebabkan 167.900 orang meninggal atau hilang, 500.000 orang kehilangan rumah di Aceh, 13.500 orang kehilangan rumah di Nias. Laporan Media Center Aceh menyebutkan bahwa bencana tersebut telah menyebabkan 192.000 orang mengungsi, 120.000 rumah rusak/hancur serta sebagian besar infrastruktur ekonomi dan sosial juga rusak. Bagi semua korban yang tertimpa bencana, peristiwa tersebut telah meninggalkan beragam trauma yang mendalam. Korban jiwa yang begitu besar secara langsung mempengaruhi ketersediaan SDM di Aceh, maupun kemampuan kelembagaan pemerintah dan non pemerintah untuk merekonstruksi, merehabilitasi dan me-recovery wilayah yang rusak dan masyarakat yang tingkat ekonominya rentan dan miskin (LIPIUNESCO/ISDR, 2006). Aceh dalam peta geologi termasuk wilayah yang rawan gempa, sehingga gempa dalam berbagai skala sering terjadi. Data seratus tahun terakhir menunjukkan bahwa gempa yang menimbulkan bencana di Aceh terjadi pada tahun 1936 (9 orang meninggal), 1983 (100 orang luka-luka), 2004 (menimbulkan tsunami dan kurang lebih 230.000 orang meninggal). Hingga saat ini gempa skala kecil sering terjadi di NAD (Badan Arsip NAD, 2005). Dalam seratus tahun terakhir, tsunami terjadi di Aceh sebanyak 2 kali (tahun 1907 dan 2004). Korban jiwa pada tsunami tahun 1907 mencapai 400 orang, sedangkan pada tahun 2004 mencapai kurang lebih 230.000 orang dengan kerusakan yang sangat parah pada berbagai infrastruktur dasar (Badan Arsip NAD, 2005). 161 Secara teoritis, tsunami lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan gempa. Adanya tenggang waktu antara terjadinya gempa dan tibanya tsunami di pantai memungkinkan untuk dapat menganalisa karakteristik gempa. Informasi tersebut kemudian dapat segera disampaikan ke masyarakat sebelum gelombang tsunami menerjang pantai. Ide inilah yang mendasari didirikannya pusat system peringatan dini tsunami (Tsunami Warning System) di beberapa Negara Pasifik (Hilman, 2007). Persoalan di Indonesia adalah tenggang waktu tersebut hanya berkisar antara 10-50 menit saja, karena jarak antara pusat gempa dan garis pantai tidak lebih dari 200 km. Hal ini berbeda dengan di negara-negara pasifik yang tenggang waktunya dapat mencapai satu sampai tiga jam. Akibat terbatasnya waktu untuk menyampaikan informasi dan fasilitas komunikasi yang belum memadai, sangat mungkin terjadi informasi belum sampai sementara gelombang tsunami telah menyapu pantai (Hilman, 2007). Pemahaman masyarakat terutama terhadap karakter bencana merupakan jaminan investasi keselamatan hidup di masa depan, mengingat pengalaman sejarah peristiwa bencana lebih banyak menyisakan kepiluan dan penderitaan. Sekalipun peristiwa bencana di Indonesia merupakan kejadian yang selalu berulang, namun begitu mudahnya masyarakat melupakan dahsyatnya akibat yang ditimbulkan. Hal ini terutama terdapat pada peristiwa bencana yang siklus kejadiannya cukup lama, sementara upaya untuk menyediakan media bagi pembelajaran bencana untuk masyarakat belum terencana dengan baik. Sehingga pada setiap kejadian bencana selalu timbul kepanikan dan tidak 162 pernah siap. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah memasyarakatkan pendidikan kebencanaan sehingga mampu memberi jaminan investasi bagi keselamatan hidup manusia di masa depan (PSB-UGM, 2008). Untuk dapat memahami suatu situasi ataupun kejadian apakah situasi tersebut membahayakan dirinya atau tidak, masyarakat membutuhkan pengetahuan khususnya dibidang bencana atau bahaya yang ditimbulkan akibat bencana. Terutama bagi keluarga yang memilih berdomisili di daerah rawan bencana, karena seharusnya masyarakat yang berdomisili di daerah yang rawan terhadap bencana perlu ditekankan bagaimana cara seharusnya mempersiapkan diri dan keluarganya untuk menghadapi bencana sebaik mungkin. 6.3.4 Kearifan Berguru kepada Alam Nenek moyang orang Aceh menetapkan suatu kearifan lokal selalu belajar dari alam, sebagai Contoh kearifan lokal juga telah mampu menjadi peringatan dini yang efektif dan terbukti menyelamatkan banyak orang dari tsunami sebagaimana kearifan lokal yang dikembangkan masyarakat Pulau Simelue. Sehingga ketika terjadi megatsunami pada 2004, ribuan manusia terselamatkan. Mereka belajar dari kejadian tsunami yang terjadi beberapa ratusan tahun silam dan mengembangkannya menjadi sistem peringatan dini. Teriakan smong yang berarti air laut surut dan segera lari menuju ke bukit merupakan kearifan lokal yang melekat di hati setiap penduduk Pulau Simeulue (Yusuf, 2007). Sebagai manusia yang bijak tentu kita dapat memaknai segala bencana yang terjadi di alam ini, yang memiliki pertanda dan maksud yang dapat kita 163 tangkap, tidak saja melalui kecerdasan intelegensi (IQ) tetapi juga melalui kecerdasan spiritual (SQ) kita. Kearifan lokal dan mitos yang berkaitan dengan gempa tidak saja muncul pada saat sekarang. Hal tersebut telah ada sejak dulu dan setiap wilayah yang pernah mengalami gempa akan menjaga kelestarian mitos tersebut secara turun temurun (Yusuf, 2007). Peristiwa smong tahun 1907 diceritakan secara turun-temurun antar genarasi dalam masyarakat Simeulue. Bukan hanya cerita tentang kedahsyatan smong dan akibat yang ditimbulkannya, tetapi juga mengenai gejala-gejala alam yang mendahuluinya. Sehingga generasi yang hidup pada masa sekarang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gejala-gejala alam yang berpotensi mendatangkan smong. Kisah smong diceritakan oleh nenek atau ibu kepada cucu dan anak-anak pada waktu senggang atau menjelang tidur. Cerita lisan yang dikisahkan secara turun-temurun itu disebut terma nafi-nafi (Abubakar, 2009). Melalui nafi-nafi, pengetahuan tentang tanda-tanda smong tetap lestari dan tersebar luas di Simeulue dan nyaris meliputi semua tingkatan usia. Karena nafi-nafi, saat tsunami membunuh ratusan ribu penduduk Aceh tahun 2004, masyarakat Pulau Simeulue yang dikelilingi lautan hanya mendapati tujuh orang penduduknya meninggal dunia. Ketika gempa dahsyat menggoyang Simeulue pada Minggu kelabu itu, laki-laki dewasa di sana segera berlari ke pinggir laut. Begitu melihat air laut surut, mereka membawa anggota keluarganya ke gunung atau perbukitan, sehingga terhindar dari amukan tsunami (Abubakar, 2009). 164 Keberhasilan masyarakat Simeulue dalam menghadapi bencana smong/tsunami kiranya dapat menjadi pelajaran penting bagi kita untuk mempelajari kembali dan merevitalisasi kearifan-kearifan budaya lokal (local wisdom). Kearifan budaya lokal tersebut secara kontinu dan simultan perlu dilestarikan, jika tidak maka secara gradual akan terlupakan dan hilang. Upaya melestarikan pengetahuan tentang bencana alam melalui nafi-nafi, sayangnya tidak tersosialisasi. Terma smong sendiri hanya dimiliki oleh masyarakat Simeulue, tanpa tersosialisasi kepada masyarakat di luar pulau itu. Seandainya seluruh masyarakat yang berdomisili di Aceh memiliki pengetahuan itu, tentu saja korban manusia yang jatuh dapat diminimalisir secara drastis. Begitupun tentang terma yang digunakan, tentu bencana dahsyat pada 26 Desember 2004 itu akan dinamai dengan smong, bukan tsunami (Abubakar, 2009) Selain yang telah disebutkan di atas, masyarakat Aceh juga memiliki kearifan lokal dalam menghadapi bencana yaitu pada arsitektur bangunan Rumoh Aceh. Sebagai aset budaya arsitektur rumoh Aceh masih harus tetap dipelihara dan dipertahankan, karena di samping identitas budaya suku bangsa, juga ada sisi positifnya didalamnya yaitu mampu mengantisipasi terhadap bencana seperti kebakaran, angin topan, banjir dan tsunami serta bencana gempa (Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006). 165 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Setelah diuraikan dan dikaji secara intensif dan ekstensif dari Bab I sampai Bab VI, maka pada Bab VII ini, penulis menarik kesimpulan dan kemudian memberikan saran-saran, baik untuk kepentingan akademis mauun kepentingan pengelolaan seni budaya warisan tradisi masyarakat Simeulue nandong smong ini Skripsi ini bertajuk “Nandong Smong Nyanyian Warisan Sarana Penyelamatan Diri dari Bencana Tsunami dalam Budaya Suku Simeulue di Desa Sukamaju: Kajian Musikal, Tekstual, Fungsional, dan Kearifan Lokalnya.” Penelitian ini mengkaji empat aspek dari nandong smong di Desa Sukamaju Simeulue Aceh, yaitu: (1) musikal, (2) tekstual, (3) fungsional, dan (4) kearifan lokalnya. Dalam penelitian ini, untuk mengkaji keempat aspek nandong smong, digunakan teori-teori tersendiri: untuk musikal digunakan teori weighted scale, untuk tekstual digunakan teori semiotik, untuk fungsional digunakan teori fungsi, dan kearifan lokal digunakan teori etnosains (etnometodologi). Metode dan teknik yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan berdasar kepada observasi lapangan, terlibat langsung, wawancara, dan perekaman data dalam bentuk audiovisual. Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Dari aspek musikal, nandong smong menggunakan tangga nada mikrotonal khas Simeulue, dalam bentuk semi free meter, dan tekstur heterofonis; 166 (2) Dari aspek tekstual nandong smong adalah termasuk ke dalam jenis syair, terdiri dari lima bait, yang secara keseluruhan bercerita tentang apa itu tsunami (smong) dan bagaimana menyelamatkan diri dari smong tersebut, makna yang dikandung teks smong sebagian besar adalah makna denotatif dan sedikit saja makna konotatif yang metaforik; (3) secara fungsional, nandong smong digunakan dalam berbagai aktivitas budaya Simeulue seperti pesta perkawinan, khitanan, menyambut tetamu, pesta budaya, pertunjukan, dan lainnya. Sementara terdapat dua fungsi utama nandong smong yakni untuk memberitahu gejala dan fenomena tsunami serta memberitahu bagaimana menyelamatkan diri dari bencana tsunami ini, ditambah fungsi-fungsi lainnya seperti: komunikasi, kesinambungan kebudayaan, hiburan; (4) dari aspek keraifan lokal, maka nandong smong mengekspresikan kearifan orang Simeulue dalam menghadapi bencana. 167 DAFTAR PUSTAKA Al-Quran, 1995. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia. Abdullah Sanny, 2007. “The Smong Wave From Simeulue”. Pemerintah Kabupaten Simeulue Alex Sobur, 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya. Amiruddin, 2006. Aceh dan Serambi Mekkah. Banda Aceh. Anonim.2009.Pemetaan Resiko Bencana Gunung Api Merapi Sebuah “Jejak Langkah” Pembelajaran. Yogyakarta: Pusat Studi Bencana UPN Veteran Yogyakarta dan Oxfam GB Indonesia Untuk Forum Merapi. Azharudin Agur, 1996. Bunga Rampai Simeulue. Banda Aceh: Aneuk Mentua. Arsin Rustam, 2007. Simeulue Menapak Jalan Hutan Belantara. Asriningsih Dewi Murtani, 2009. “Potret Kehidupan Anak-anak Aceh pada Tsunami dalam Komik ‘Kisah dari Aceh’: Studi Komunikasi Massa dengan Analisis Semiotika terhadap Komik ‘Kisah dari Aceh’ Karya Garin Nugroho.” (skripsi sarjana). Jakarta: Universitas Indonesia. Azwar, 2009. Teori Manusia: Sikap dan Pengukurannya. Jakarta: Pustaka Pelajar. Ayatrohaedi, 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya Bascom, William R., 1965. “The Forms of Folklore: Prose Narratives.” Journal of American Folklore. Volume 78, nombor 307, Januari-Mac 1965. Barth, Fredrik (ed.), 1969. Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Cultural Difference. Bergen: Universitetsforlaget; London: Allen & Unwin. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta: PT Balai Pustaka. Dina Oktaviani, 2010, “Resiliensi Remaja Aceh yang Mengalami Bencana Tsunami (Resilience among Acehnese Adolessence Victims of Tsunami Disaster).” skripsi sarjana, Jakarta: Universitas Indonesia. Ella Yulaelawati dan Usman Syihap. 2008. Mencerdasi Bencana Banjir. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Fakhriyani, 2011. “Implementasi Kebijakan Mitigasi Bencana Gempa dan Tsunami Pemerintah Kota Padang” (skripsi sarjana). Padang: Universitas Andalas, Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Fiske, John. 2007. Cultural and Communication Studies: Suatu pengantar paling komperensif. Jogjakarta: Jalasutra. (Diterjemahkan oleh Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim) Friedlander 1975 Being Indian in Hueyapan, Hobsbawm and Ranger 1983 The Invention of Tradition, Sider 1993 Lumbee Indian Histories. Gillin, J.L. dan J.P. Gillin. 1954. For A Science of Social Man. New Yor: McMillan. Harun Mat Piah, 1989. Puisi Melayu Tradisional: Suatu Pembicaraan Genre dan Fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. 168 Heddy Shri Ahimsa-Putra, 1985. “Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan” dalam. Masyarakat Indonesia. Agustus 1985 Jilid XII Nomor 2. Ife, James William, 2002. Community-Basede Alternative in an Age of Globalization. Canberra: Pearson Education. James Danandjaja, 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers. Koentjaraningrat. 1991. Metode-metode Penelitian Lapangan. Jakarta: PT Gramedia Utama. Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat (ed.), 1980a. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat, 1980b. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Rineka Cistra. Koentjaraningrat, 1980c. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kurniawati, 2009. “Bencana Tsunami NAD serta Dampak Pasca-Tsunami bagi Kesehatan Lingkungan.” Malm, William P. 1979. Music Culture of the Pacific, Near East, and Asia. (Diterjemahkan oleh Muhammad Takari). Medan: USU Press. Marshall, J., 1995. Gender and Management: A Critical Review of Research. California: University of California. Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. USA: Northwestern University Press.Marshall, C dan Rossman. 1995. Designing Qualitative Research. London: Sage Publication. Merton, Robert K., 1963. Concepts and Social Order. Pennsylvania: University of Pennsylvania. Muhammad Takari et al., 2015. Adat Perkawinan Melayu: Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya. Medan: Bartong jaya. Muhammad Umar, 2002. Darah dan Jiwa Aceh. Banda Aceh. Nasarudin, 1995. Benda Cagar Budaya. Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Aceh. Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. London: Collier Macmillan. Nettl, Bruno, 1973. Folk and Traditional of Western Continents, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Nettl, Bruno, 1992. “Ethnomusicology: Some Definitions, Problems and Directions.” Music in Many Cultures: An Introduction. Elizabeth May (ed.). California: University California Press. Nurkancana, Wayan dan Sumartana. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (peny.) 1992. Serba-serbi Semiotik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Parsons, Talcott and Edward A. Shils, (eds). 1962. Toward A General Theory of Action. New York. Harper Torch Books. Pudentia (eds). 2008. Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan. 169 Putra, Dedi Shri Ahimsa, 1985. “Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan,” dalam Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia Nomor 2. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Radcliffe-Brown, A.R., 1952., Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press. Rahayu Supanggah (ed.), 2005. Etnomusikologi. Surakarta: yayasan Bentang Budaya. Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik dan Linguistik Antropologi. Medan: Penerbit Poda. Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Siti Hawa Haji Saleh, 2005. Hikayat Merong Mahawangsa. Kuala Lumpur: Dewan bahasa dan Pustaka. Sobary, Mohammad. 1999. “Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan” dalam Warta ATL. Edisi V/JUNI/1999 Soedarsono, 1995. “Notasi Laban: Suatu Kemungkinan Sistem Notasi Tari bagi Indonesia.” Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa Masalah Tari. F.X. Sutopo Cokrohamijoyo (ed.). Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Surfia Miana dan Didit Dwi Subagyo, 2012. “Gempa Bumi Besar Jepang Timur dan Tsunami Maret 2011: Upaya Pemerintah Jepang untuk Mmeulihkan Pariwisata Jepang pasca Bencana” (laporan penelitian). Jakarta: FIB Universitas Indonesia. Syed Mahmud ibnu Abdul Kadir Al-Hindi, 1934. Kamus Al-Mahmudiyah. Vansina, Jan. 1985. Oral Tradition as History. Wisconsin: University of Wisconsin. Wayan Nurkancana dan P.P.N. Sumartana, 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Yuyun S. Suriasumantri, 1983. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor dan Leknas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Za’ba, 1962. Ilmu Mengarang Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Zainal Kling, 2004. “Adat Melayu.” di dalam Abdul Latiff Abu Bakar dan Hanipah Hussin (ed.), 2004. Kepimpinan Adat Perkawinan Melayu Melaka. Melaka: Institut Seni Malaysia Melaka. Sumber Internet https://m.tempo.co/read/news/2011/03/1212/095319473/27-tsunami-dahsyatyang-pernah-mengguncang-dunia https://id.wikipedia.org/wiki/Tsunami http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf, www.busanamuslimbukittinggi.com www.busanamuslimbukittinggi.com kbbi.web.id/khitanan I Ketut Gobyah, “Berpijak pada Kearifan Lokal”, dalam http://www.balipos. co.id , didownload 17/9/03. 170 Nyamai-Kisia, Caroline. 2010. Kearifan Lokal dan Pembangunan Indonesia. http://phenomenaaroundus. blogspot. com/2010/06/ kearifan-lokal … 171 LAMPIRAN 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189