Infeksi virus pada manusia Profesor Darmono 17 Januari 2014 Cara

advertisement
Infeksi virus pada manusia
Profesor Darmono
17 Januari 2014
Cara virus menginfeksi manusia mempunyai mekanisme yang berbeda-beda, virus yang
dapat menyebabkan penyakit tersebut sangat bergantung pada spesies/ jenis virus.
Mekanisme patogenesitas pada tingkat seluler dimulai dengan lisisnya sel, sel pecah dan
mengakibatkan kematian sel. Pada hewan dan manusia, bila terjadi kematian banyak sel
dalam tubuh karena infeksi virus, maka efek penyakit virus akan terjadi. Walaupun virus
menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan, pada kondisi tertentu kehadiran virus dalam
tubuh tidak menyebabkan gejala apapun (periode laten). Beberapa jenis virus dapat hidup
lama dalam tubuh penderita atau disebut infeksi kronis. Pada kondisi tersebut virus terus
bereplikasi sehingga menimbulkan reaksi pertahanan tubuh dalam tubuh penderita, hal ini
terjadi pada beberapa virus seperti: HIV,virus hepatitis B dan virus hepatitis C. Orang yang
menderita penyakit tersebut dinamakan karier, dia menyimpan virus dalam tubuhnya dan
dapat ditularkan pada orang lain yang peka. Pada suatu populasi penduduk dalam daerah
tertentu yang orangnya banyak menderita sebagai karier maka penyakitnya disebut sebagai
daerah endemik. Sedangkan infeksi virus yang akut persisten pada individu adalah terjadinya
interaksi antara agen penyakit dengan penderita, dimana virus persisten tersebut berpotensi
untuk mengalami perubahan sehingga virus yang sama dapat menginfeksi lagi pada hospes
yang sama pula. Beberapa contoh virus yang sering menyebabkan penyakit pada manusia
adalah flu(common cold), influenza, cacar ayam (chickenpox) dan sakit demam. Banyak
penyakit penyebab infeksi virus yang berbahaya yang dapat menyebabkan kematian,
misalnya ebola, AIDS, flu burung dan SARS. Kemampuan virus untuk menyebabkan
penyakit dinamakan derajat virulensi, dimana setiap jenis virus mempunyai strain/galur yang
berbeda untuk menyebabkan terjadinya penyakit. Penyakit asal virus lainnya masih banyak
diteliti terutama aspek kemungkinan adanya hubungan antara “human herpes virus six”
(HHV6) dengan penyakit neurologi seperti “multiple sclerosis” dan “chronic fatigue
syndrome”. Ada suatu kontroversi bahwa infeksi borna virus pada mulanya dapat
menyebabkan penyakit saraf pada kuda diduga virus tersebut dapat menyebabkan gangguan
jiwa/psychiatrik pada manusia.
Virus HIV
Penyakit “ aquired immunodeficiency syndroms” (AIDS) yang disebabkan oleh infeksi “
human immunodeficiency virus” (HIV), adalah suatu penyakit yang menyerang sistem
kekebalan baik humoral maupun seluler. Virus HIV adalah virus yang termasuk dalam
kelompok retrovirus dan termasuk virus RNA.
Etiologi
Kelompok retrovirus ini dibedakan dengan kelompok retrovirus lainnya karena
mempunyai “viral riverse transcriptase” yang dapat mentranscript virus RNA menjadi DNA
yang dapat berintegrasi kedalam genome sel inang/hospes (sel penderita). Baik retrovirus
eksogenous maupun endogenous banyak tersebar pada hewan vertebrata (dari reptil sampai
primata), dan biasanya hospes-spesifik, tetapi beberapa jenis virus dapat menginfeksi diantara
spesies bukan sejenis. Virus yang disebut terakhir ini dibagi menjadi dua sub-famili virus
yaitu: a) “oncoretrovirus” yang mempunyai prototipe virus human dan bersifat “human T-cell
lymphotropic virus” (HTLV), dan b) “lentivirus” yang bersifat “non-transforming and
cytopathic activity” dimana nama tersebut berarti mempunyai sifat reaksi infeksi yang
lambat, dan ini adalah HIV yang mempunyai prototipe human.
HIV dibagi menjadi dua tipe yang sangat berbeda yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 adalah
yang predominan tersebar diseluruh dunia dan telah dapat diisolasi dari penderita AIDS dan
mempunyai resiko tinggi untuk penularan AIDS. HIV-2 adalah penyakit endemik pada
penduduk di daerah Barat Afrika.
Asal muasal terbentuknya HIV-1 dan HIV-2 adalah karena terjadinya infeksi silang
diantara spesies yang berbeda. Semua strain HIV-1 sangat erat hubungannya dengan
phylogenetik terhadap strain SIV (simian immunodeficiency virus) yang secara alamiah
menginfeksi subspesies simpanse yang hidup pada habitat daerah Afrika Barat dimana human
HIV-1 menginfeksi secara endemik pada penduduk didaerah tersebut. Sedangkan sebagai
reservoar primata yang mengandung virus HIV-2 telah diidentifikasi didaerah tersebut. Strain
dari HIV-1 yang merupakan virus yang kini menjadi pandemik diseluruh dunia sebagai
penyakit AIDS adalah strain grup M. Kelompok virus yang sekarang dikenal penyebab
AIDS tetapi kelompok yang berbeda dengan strain grup M, disebut grup O. Kelompok virus
ini dikenal sebagai HIV-1 grup O dimana infeksi virus ini tidak dapat secara konsisten
terdeteksi dengan menggunakan standar assay untuk antibodi HIV.
Virion HIV
Virion HIV yang matang berbentuk partikel sferik (icosahedral) yang berdiameter sekitar
110 nanometer. Pada lapisan luar terdapat dua lapisan amplop virus glikoprotein (gp120 dan
gp41). Bagian sentral(core protein) mengandung 4 jenis protein virus (p24-major capsid
protein; p17- matrix protein, p9 dan p7), dua kopi dari HIV RNA genome (yang melekat pada
p7 dan p9), dan tiga enzim virus (reverse transcriptase, integrase dan protease) yang sangat
berguna untuk replikasi (perbanyakan virus).
Gambar 6.1. Diagram virion HIV yang menunjukkan amplop protein (gp120,gp41) pada
lapisan lipida bilayer, core protein (p24, p17, p9,p7), diploid singgel strand HIV RNA dan
viral enzim (reverse transcriptase, integrase, protease) yang diperlukan untuk replikasi
Genome HIV
Kompleksitas genomik dan heterogeneiti dari HIV adalah merupakan efek patologi dari
virus ini. Pada ukuran 9-kilobase strand-singel RNA HIV genome mengandung tiga
gene(gag, env, pol) yang berguna untuk replikasi retroviral dan juga terdapat 6 gen tambahan
yang menjadi media yang berfungsi untuk siklus hidup dari virus HIV(Tabel 6.2).
Tabel 6.1. genom HIV produksi dan fungsinya
Gen
Produksi protein
Fungsi dalam daur hidup
gag
Gag/pusat precursor protein
Pusat (core) protein virus
p24=capsid protein utama
p17=matrix protein
p9=melekat pada RNA virus
p7=melekat pada RNA virus
env
Env/ protein amplop
Amplop protein virus
gp120=amplop protein utama,
sebagai mediator perlekatan pada
sel reseptor (CD4+)
gp41=sebagai mediator untuk fusi
amplop virus dengan membran
sel.
pol
Reverse transcriptase
Mengubah singel strand virus RNA
menjadi virus DNA duplex
Integrase
Integrasi virus DNA duplex
kedalam sel genome inang
sebagai provirus DNA
Protease
Memisahkan core precursor
poliprotein kedalam fungsi core
protein
tat
Tat protein
Regulator protein esensiil,
transaktivasi ekspresi dari semua
gen virus
rev
Rev protein
Virus regulator, mengaktivasi
ekspresi struktur virus HIV dan
gen enzim
vif
Vif protein
Berperan dalam awal pertumbuhan
virus dan aktivitas virion bebas
vpu
Vpu protein
Memacu pembebasan virus baru
(virion) dari sel inang
nef
Nef protein
Protein regulator (esensial untuk
pathogenitas SIV)
vpr
Vpr protein
protein regulatore, peran belum
jelas
Mellors (2002)
Penularan dan gejala
Penularan HIV paling sering terjadi adalah dengan hubungan kelamin tanpa pelindung
(kondom), dimana HIV masuk melalui lapisan mukosa vagina, vulva, penis, rektum ataupun
mulut. HIV juga dapat ditularkan melalui darah yang terinfeksi, dimana HIV ditularkan
melalui transfusi darah atau komponen darah. Akhir-akhir ini telah dilakukan skreening darah
terhadap HIV dengan perlakuan pemanasan, sehingga resiko penularan HIV melalui transfusi
darah sangat kecil. Diantara pengguna obat bius, HIV sering ditularkan melalui injeksi yang
menggunakan jarum suntik bersama-sama, dimana jarum atau siring tersebut telah
terkontaminasi HIV walaupun dalam jumlah yang sangat kecil. Ibu hamil dan menyusui
dapat menularkan HIV melalui plasenta pada janin yang dikandungnya atau melalui air susu
terhadap bayi yang disusuinya. Sekitar ¼ sampai 1/3 ibu hamil yang menderita HIV
menularkan infeksi HIV pada bayinya. Dewasa ini telah dikembangkan pencegahan
penularan HIV dari ibu hamil kepada bayinya dengan pemberian AZT dan ibunya melahirkan
lewat operasi cesar, ternyata dapat mengurangi resiko penularan HIV sampai 1%. Penelitian
yang dilakukan pada sebuah keluarga yang salah satu anggotanya penderita AIDS
menunjukkan bahwa tidak pernah terjadi penularan HIV melalui kontak seperti penggunaan
alat makan (sendok piring dsb), handuk atupun tempat tidur, kolam renang, telepon ataupun
toilet. HIV juga tidak ditularkan melalui gigitan serangga seperti nyamuk ataupun kutu.
Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala pada awal masa
infeksi HIV, tetapi beberapa orang menunjukkan gejala mirip penyakit flu dalam waktu satu
atau dua bulan setelah infeksi. Gejalanya adalah: demam, sakit kepala, kelelahan dan
pembengkakan kelenjar limfe. Gejala tersebut biasanya menghilang dalam waktu satu
minggu sampai satu bulan dan sering dikelirukan dengan gejala infeksi virus lainnya. Selama
periode ini penderita sangat berpotensi untuk menularkan virus dan HIV ditemukan dalam
jumlah besar dalam cairan genital. Gejala yang lebih parah dapat timbul dalam kurun waktu
10 tahun atau lebih setelah HIV pertama kali masuk kedalam tubuh orang dewasa, atau dalam
waktu dua tahun pada anak yang dilahirkan tertular HIV dari ibunya. Pada periode yang
asimptomatik tersebut, timbulnya sangat bervariasi untuk setiap individu. Beberapa orang
kadang menunjukkan gejala dalam waktu beberapa bulan setelah infeksi, sementara yang lain
tidak menunjukkan gejala sampai lebih dari 10 tahun. Pada kondisi asimptomatik tersebut,
virus sangat aktiv berkembang biak (multiplikasi), dapat menular dan membunuh sel pada
sistem imun. Yang paling terlihat pada kondisi ini adalah terjadinya penurunan jumlah sel
CD4+ sel-T yang terdapat dalam darah (kurang dari 200 sel, normalnya lebih dari 1000 sel),
dimana sel CD4+ sel-T ini merupakan kuncinya sistem imun untuk melawan agen penyakit.
Pada awal infeksi, HIV merusak dan membunuh sel tersebut tanpa menunjukkan gejala
penyakit.
Pada saat sistem imun sangat menurun, maka akan terjadi komplikasi oleh infeksi
penyakit lain. Pada kebanyakan orang, gejala yang terlihat pertama adalah pembengkakan
kelenjar limfe yang terjadi selama lebih dari tiga bulan. Gejala lain yang terlihat dalam waktu
beberapa bulan sampai beberapa tahun adalah:
- Terasa kelemahan yang sangat
- Bobot badan menurun drastis
- Demam dan berkeringat terus menerus
- Terjadi infeksi persisten karena jamur (oral atau vaginal)
- Kulit kering dan terkelupas
- Peradangan pada bagian pinggul pada wanita dan tidak merespon terhadap
pengobatan
- Hilang ingatan sesaat
Beberapa individu mengalami infeksi virus herpes yang mengakibatkan luka pada mulut,
genital atau anus, dan terasa sakit pada sistem saraf. Pada anak pertumbuhan lambat dan
sering menderita berbagai penyakit.
Siklus/daur hidup HIV
Yang merupakan sel target untuk infeksi HIV secara invitro dan invivo adalah CD4+Tlimposit dan makrofag pada manusia. CD4+ glikoprotein pada permukaan sel Th
menyediakan perlekatan yang kuat sebagai reseptor untuk HIV. Infeksi awal adalah
perlekatan amplop virion gp120 pada CD4+ reseptor dari sel hospes (human). Akihir-akhir
ini telah dikembangkan dan ditemukan koreseptor (CCR5 atau CXCR4) untuk perlekatan
HIV-1 yang merupakan target sel yang memudahkan HIV masuk kedalam tubuh. CCR5
adalah reseptor chemotaktik cytokine (beta-chimokine) adalah reseptor untuk strain
makrofag-tropic (M) dari HIV, sedangkan CXCR4, juga reseptor chemokine yaitu reseptor
untuk strain T-limphocyte-tropic(T) dari HIV. Infeksi HIV dimulai dari perlekatan amplop
virus glikoprotein gp120 pada reseptor CD4+ dan satu atau dua reseptor lainnya oleh gp41mediated fusion dari amplop virus pada sel membran. Setelah melepas core(pusat) dan
componen-RNA virus, protein gag gen dan amplop gen enzim terbebaskan kedalam
sitoplasma. Dalam sitoplasma virus dipengaruhi enzim reverse transcriptase merubah singel
strand virus RNA menjadi strand pertama DNA copy dan secara bertahap akan menjadi dua
strand virus DNA duplex. Virus DNA duplex akan ditransport kedalam nukleus sel dimana
virus tersebut disisipkan (diintegrasi) oleh enzim HIV integrase kedalam sel genome dari
hospes sebagai ikatan kovalen HIV provirus DNA.
Gambar 6.2. Morfologi HIV sebelum matang (atas) dan sesudah matang (bawah).
Gambar 6.3. Foto elektron mikroskop virion HIV belum matang (atas) dan sudah matang
serta mulai melekat pada CD4+ (bawah)
Gambar 6.4. Siklus hidup HIV dalam sel-Th(CD4+)
Yang penting disini adalah enzim HIV riverse transcriptase adalah suatu kelainan prone
(very error-prone), sehingga terjadinya ketidak sesuaian nukleotida yang menyebabkan
mutasi besar-besaran dari genome virus. Terjadinya diversivikasi baik genotipe maupun
phenotipe dari HIV adalah faktor utama dalam patogenesitas didalam sistem pertahanan
tubuh dari hospes, yang akibatnya terjadinya resistensi terhadap pengobatan antivirus seperti:
reverse transcriptase inhibitors (RTIs) dan protease inhibitors (PIs).
Sekali berintegrasi kedalam sel genome hospes sebagai provirus DNA, HIV akan menjadi
stabil sebagai infeksi virus produser atau infeksi laten yang sangat bergantung pada kondisi
dari hospes, terutama apakah sel yang terinfeksi dalam keadaan aktif atau istirahat. Pada
kondisi lingkungan seluler yang baik, provirus DNA dikopi oleh enzim RNA polymerase dari
sel hospes menjadi protein regulator HIV (Tat, Rev dan lainnya) atau precursor protein yang
dikode oleh gen gag, pol dan env. Precursor core protein dilepas oleh HIV protease. Sekali
bergabung, core HIV mengandung HIV RNA (2 kopi), protein core (p24, p17, p9, p7) dan
enzim pol (reverse transcriptase, integrase, protease) yang kemudian bergerak kepermukaan
sel dan mendapatkan protein HIV amplop (gp120, gp41) tumbuh pada membran plasma dan
terbebaskan sebagai virus yang infeksius.
Pada sel laten yang terinfeksi virus, provirus HIV DNA tidak diekspresikan sebagai virus
RNA, protein virus, atau virion tetapi direplikasi sebagai DNA oleh sel DNA polymerase
hospes sebagai gen seluler lainnya dan kemudian ditranmisi kedalam sel progeni dengan cara
pembelahan sel. Kemungkinan besar sel yang terinfeksi HIV pada pasien yang tidak
menunjukkan gejala (periode asimptomatis) pada infeksi-HIV, adalah masa infeksi laten.
Pada periode laten tersebut, sel yang terinfeksi virus, menyebabkan proses mekanisme sistem
imun anti-HIV tidak berefek. Sel yang terinfeksi pada periode laten ini, seperti CD4+ sel-T,
dapat diaktivkan oleh antigen, mitogen, cytokine dan produksi gen virus lainnya untuk
memulai mentranscript dan translasi provirus HIV-DNA yang kemudian memproduksi virus
dan menyebarkan virus infektif.
Defisiensi imun pada infeksi HIV
Infeksi HIV yang persisten dengan berkurangnya CD4+ sel Th merupakan fokus utama
pada proses patogenesis dari penyakit AIDS. Kejadian tersebut merupakan hal yang terjadi
pada defisiensi imun yang menyebabkan penderita peka terhadap infeksi bakteri oportunistik
dan berkembang menjadi bentuk kanker maupun gejala penyakit AIDS. Berkurangnya
jumlah CD4+ sel-T pada darah perifer adalah gejala yang pertama terlihat pada defisiensi
imun yang dapat dideteksi pada pasien penderita AIDS. CD4+ sel-T juga merupakan bukti
pertama yang dapat terlihat bahwa CD4+ sel-T merupakan target dari Infeksi HIV baik secara
invivo maupun invitro. CD4+ glikoprotein pada permukaan CD4+ sel-T dan makrofag pada
manusia ditemukan sebagai daya gabung yang tinggi sebagai reseptor virion HIV pada
amplop gp120. Reseptor esensial untuk HIV {CCR5 (R5) atau CXCR4 (X4), keduanya famili
chemokine reseptor} bekerjasama dengan CD4+ untuk memfasilitasi masuknya HIV kedalam
sel target.
Berkurangnya jumlah CD4+ sel-T dan bertambah parahnya penyakit AIDS sangat
dipengaruhi oleh seluruh bagian dari virus HIV. HIV, baik secara langsung maupun tidak
langsung, menjembatani pengrusakan dan pengurangan jumlah CD4+ sel-T yang matang
(yang biasanya secara normal berfungsi untuk menolong/helper kerja CD8+ sel-T) dan juga
berkurangnya sel CD4+ progenitor dalam sumsum tulang, thymus dan organ limpoid perifer
mengakibatkan gagalnya kompensasi produksi sel-T dan akhirnya menyebabkan kolapsnya
sistem imun.
Tabel 6.2. Akibat berkurangnya jumlah CD4+ sel-T pada infeksi HIV
Mekanisme
Pengaruh
1) direct-mediated cytopathic effect
Membunuh sel
Sel fusi dan formasi synsitium
2) Respon imun spesifik
Cytotoxic CD8+ sel-T (CTL)
Antibody dependent sel cytotoxicity (ADCC)
Natural killer (sel NK)
3) Mekanisme lain
Mekanisme autoimun (molekuler mimikri)
Allergy
Super antigen
Program sel mati (apoptosis)
1) “Direct HIV-mediated cytopathic effects” Pengaruh cytopathik dari virus pertama diteliti
dalam pembenihan jaringan dari darah perifer pada CD4+ sel-T dan makrofag yang kemudian
diinfeksi secara invitro dengan HIV, yang kemudian memperlihatkan adanya kematian sel
tunggal dan adanya bentuk fusi dari sel-sel syncitium (Gambar. 7.5)
Gambar 6.5. Dalam kultur media jaringan, terlihat banyak CD4 sel-T yang tidak terinfeksi
virus berfusi dengan singel sel yang terinfeksi HIV melalui interaksi CD4+-gp120 untuk
membentuk multi nuklear sysitium (giant sel) hal tersebut akan membentuk semacam
pabrik HIV.
Kejadian peningkatan aktivitas pembunuhan sel dan merangsang terbentuknya syncitium
adalah ciri khas dari isolat HIV yang dapat diperoleh (recovered) dalam pembiakan HIV.
Theori lain mengenai mekanisme cytotoksik dari virus ini termasuk akumulasi dari
unintegrated DNA virus yang cytotoksik dan produksi yang berlebihan dari gp120 yang
merupakan media sel virus dan fusi dari sel-sel adalah juga merupakan sitotoksik secara
langsung.
2. Spesifik imun respon dari HIV. Secara normal, CD8+ sel-Tc mengenali dan menempel dan
membunuh virus yang diekspresikan sel dari protein klas I-MHC. Pengaktivan CD8+ selT
adalah sitotoksik terhadap CD4+ selT yang terinfeksi HIV pada ekspresi permukaan kode
protein env-, gag-, atau pol- atau sitotoksik terhadap CD4+ selT yang tidak terinfeksi pada
perlekatan permukaan protein amplop. Dilain pihak CD8+ sel-T dapat memproduksi
chemokin yang dapat menekan replikasi virus dalam kultur jaringan pada CD4+ selT yang
terinfeksi secara akut tanpa membunuhnya.
Sebagian besar individu yang terinfeksi HIV mempertunjukkan respon imun spesifik
seluler dan humoral. HIV–spesifik cytotoxic CD8+ sel-T secara nyata berperan penting
dalam mengontrol infeksi HIV. Sejumlah aktivitas sitotoksik dari sirkulasi HIV-spesifik
CD8+ selT berhubungan langsung dengan plasma HIV-RNA pada pasien yang tidak diobati
pada fase-fase yang berbeda dari infeksi HIV.
3. Netralisasi dan peningkatan jumlah antibodi. Produksi spesifik antibodi yang mengikat
virus dan netralisasi adalah fungsi dari sel-B dan respon imun humoral. Pada infeksi HIV,
amplop virus, terutama gp120 sering berbagi epitop dalam V3 loop, adalah target utama
antigen untuk respon antibodi dari hospes. Sementara netralisasi antibodi mungkin dapat
dideteksi pada beberapa laboratorium penelitian strain HIV tertentu, titer antivirus terhadap
virus pasien tidak selalu konsisten meningkat. Bila infeksi HIV berlanjut pada beberapa
pasien, terjadi peningkatan antibodi yang mengikat amplop virus (tanpa merusaknya) dan
memfasilitasi masuknya virus kedalam makrofag dan sel NK melalui reseptor IgG Fc- pada
permukaan sel tersebut. Antibodi terhadap protein amplop virus dapat juga memicu ADCC
dijembatani oleh sel NK dan makrofag.
4. Sel NK. Sel Nk adalah sel lymfoid bergranula yang besar dan tidak mempunyai penanda
permukaan yang khas untuk sel-T dan sel-B. Sel NK mempunyai kapasitas alamiah untuk
membunuh sel yang terinfeksi virus tanpa bergantung pada sensitisasi dan tanpa protein
MHC. Sel NK dapat membunuh sel target secara kontak langsung tanpa antibodi atau oleh
ADCC. Dimana ADCC adalah sel target yang menunjukkan permukaan antigen, seperti
gp120 atau gp 41, yang dibunuh bila dilapisi oleh antibodi spesifik dan melekat melalui
reseptor IgG Fc pada sel NK atau makrofag. Sel NK dan cytotoxic CD8+ sel-T memproduksi
pori-pori bentuk molekul disebut “perforin” atau “cytolysin” yang mempunyai struktur dan
fungsi mirip dengan C9 dari sistem komplemen yang melekat pada permukaan membran,
membentuk terowongan transmembran menyebabkan kematian sel target secara osmotik.
Gambar 6.6. mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi virus.
5. Mekanisme lain.
i)Mekanisme autoimun. Sejumlah variasi autoantibodi (terhadap limposit, platelet,
neutrofil, eritrosit, myelin, CD4+, HLA, dan sebagainya) dapat dideteksi dalam serum pasien
penderita infeksi HIV.
Tabel 6.3. Sejumlah autoantibodi yang dapat terdeteksi pada pasien penderita AIDS
Autoantibodi terhadap
Gejala klinis
Limposit
Berkurangnya CD4+, CD8+ sel-T
Platelet
Thrombositopenia
Neutrofil
Neutropenia
Eritrosit
Anemia
Saraf (myelin)
Neurophaty perifer
Nuklei (ANA)
Autoimun syndrom
Fosfolipid (lupus antikoagulan)
Thrombosis
Myelin basik protein
Demyelinasi
CD4+
Berkurangnya CD4+ sel-T
HLA
Berkurangnya limposit
Teori mekanisme autoimun termasuk tidak sinkron atau tidak teraturnya mekanisme kerja
sel-T dan sel-B dan terjadinya molekuler mimikri (perubahan molekul) seperti tertukarnya
sequen asam amino homolog antara protein HIV dengan komponen seluler yang normal,
adalah salah satu kemungkinan terjadinya kerusakan sel. Misalnya molekul klas II MHC
(terutama HLA-DR dan HLA-DQ), mempunyai sequen asam amino homolog dengan protein
amplop dari HIV (terutama gp41), dimana mereka berbagi epitop yang sama. Autoantibodi
terhadap protein klas II MHC diduga terekspresikan oleh protein amplop dari virus yang
dapat terdeteksi didalam serum penderita. Autoantibodi tersebut dapat mempengaruhi
interaksi antara klas II MHC dengan antigen peptida yang diperlukan untuk presentasi
makrofag terhadap CD4+ Th secara normal, dimana hal tersebut menyebabkan tidak
berfungsi pada pasien penderita infeksi HIV.
ii) Allergi. Virion HIV, gp 120 dan komplek gp120-anti gp 120 yang melekat pada CD4+
dapat mempengaruhi/mengacaukan reseptor sel-T untuk antigen dan menghambat aktivasi
CD4+ sel-T. Sebagai akibatnya potensi mekanisme respon imunologik pada penderita infeksi
HIV tidak bekerja.
iii) Superantigen. Beberapa jenis antigen (superantigen) asal bakteri (atau retrovirus pada
hewan) mempunyai kapasitas langsung melalui rute yang normal dari pemrosesan antigen
dan melekat pada resptor antigen sel-T serta merangsang sejumlah besar CD4+ sel-T secara
serentak, diikuti dengan penurunan daya imunologi dari sel tersebut sehingga respon
imunologiknya berkurang dan akhirnya hilang sama sekali.
iv) Program kematian sel (apoptosis). Secara alamiah program kematian sel terjadi di
thymus (pada masa perinatal dari saat pematangan dan pemusnahan responsiv- sel-T) atau
dalam sel lain pada masa embryogenesis atau siklus sel normal (pembentukan dan
pemusnahan) yang disebut apoptosis. Proses fisiologik ini ditandai dengan perbedaan
perubahan struktur dan biokimiawi termasuk fragmentasi sel dan nukleus (oleh nuclear
endonuclease), yang tidak disertai necrotik pathologik dan inflamasi. Apoptosis juga dapat
dipacu oleh stimuli pathologik, misalnya pada perbenihan CD4+ sel-T baik secara kronik
maupun akut diinfeksi dengan HIV akan mati secara apoptosis bila diaktivkan oleh antigen
atau mitogen.
Disfungsi sel B
Pada pasien penderita HIV sel-B juga mengalami banyak gangguan fungsi, diantaranya
adalah aktivasi policlonal, hypergamaglobulinemia, produksi autoantibodi dan ketidak
mampuan merespon antibodi primer dan sekunder (memori) terhadap antigen
mikroorganisme seperti bakteri berkapsul sebagai antigen. Tidak normalnya sel B adalah
manifestasi dari infeksi HIV fase permulaan. Aktivasi poliklonal sel-B adalah merupakan hal
yang biasa pada infeksi HIV dan dapat terjadi pada beberapa infeksi virus lainnya seperti
pada infeksi EBV.
Infeksi HIV pada organ limpoid
Akhir-akhir ini telah dilakukan penelitian dengan menggunakan “polymerase chain
reaction (PCR)” untuk amplifikasi DNA dan “reverse transcriptase PCR (RT-PCR)” untuk
amplifikasi RNA HIV, terlihat jelas bahwa organ limpoid (kelenjar limfe, adenoid dan tonsil)
merupakan tempat utama dari infeksi HIV pada fase awal dan periode laten masa infeksi.
Frekuensi sel yang terinfeksi HIV pada penderita HIV fase awal dan laten sangat besar
(sekitar 5 sampai 10 kali) lebih besar didalam organ limpoid daripada dalam darah perifer.
Dengan menggunakan teknik PCR kebanyakan CD4+ dan makrofag adalah terinfeksi laten
oleh HIV, dimana dalam sel tersebut mengandung HIV DNA tanpa ekspresi dari HIV RNA.
Seperti telah diterangkan sebelumnya infeksi laten dalam CD4+ dapat diaktivkan oleh
antigen (dari virus lain atau antigen lain), mitogen, cytokin tertentu dan faktor pertumbuhan,
yang kemudian HIV akan memulai meningkat produksinya.
Dengan menggunakan elektron mikroskop, virion HIV terlihat pada ruang ekstraseluler
selama proses pembentukan “follicular dendritic cells (FDC)” didalam pusat hiperplastik
germinal didalam kelenjar lymfe dari pasien dengan gejala infeksi HIV fase awal. FDCs
adalah CD4 negatif, non-fagositik, merupaka antigen-trap (dan presenting) sel retikuler yang
mempunyai Fc- atau C-reseptor untuk antibodi atau pelapis komplemen virion HIV. Pada
saat berkurangnya respon imun dan disertai meningkatnya gejala infeksi HIV, bentuk struktur
(architecture) dari kelenjar liymfe, germinal senter dan FDC mengalami pengkerutan, hal
tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan virus dalam plasma darah (viremia).
Usaha pengobatan HIV
Sampai sekarang penelitian mengenai pengobatan HIV masih terus berlanjut, sementara
obat antivirus yang diperoleh seperti “nucleoside reverse transcriptase inhibitor (RTi),
“nucleoside analog (AZT)”, dan sebagainya telah dicobakan dan hanya dapat memperlambat
transmisi HIV dalam tubuh dan menunda infeksi bakteri oportunis.
Gambar 6.7. Beberapa jenis obat yang telah diproduksi seperti RT-inhibitor dan proteaseinhibitor dan obat yang sedang diteliti yang dapat memblok perlekatan HIV pada
CD4+
Virus Dengue (dengue heamoragic fever/DHF/demam berdarah)
Penyakit demam berdarah disebabkan oleh infeksi virus dengue yang terciri dengan
gejala demam, sakit kepala, nyeri pada otot dan persendian, gejala yang paling parah dan
menonjol adalah adanya perdarahan dibawah kulit terutama pada bagian punggung dan
lipatan siku. Pada beberapa kasus penyakit ini dapat mengancam kehidupan penderita karena
terjadi perdarahan yang meluas, konsentrasi trombosit menurun drastis karena plasma darah
keluar dari pembuluh darah sehingga menyebabkan shock (dengue shock syndrome) tekanan
darah menurun drastis. Penyakit ditularkan melalui gigitan nyamuk genus Aedes, terutama
spesies A. aegypti. Infeksi virus dengue (virion) terdiri dari empat tipe yanng berbeda,
infeksi pada salah satu tipe terjadi respon kekebalan yang cukup lama pada tipe yang
bersangkutan, tetapi hanya dalam waktu singkat pada tipe virus yang lain. Bila terjadi infeksi
yang berbeda tipe tersebut dapat menyebabkan penyakit yang lebih ganas dan beresiko
terjadinya komplikasi. Sampai sekarang belum ditemukan vaksin untuk mencegah penyakit
DHF ini, usaha pencegahan adalah memberantas nyamuk yang bertindak sebagai vektor
penyakit ini. Pengobatan hanya dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya dehidrasi dengan
minum yang banyak, infus cairan untk mencegah terjadinya kekurangan cairan tubuh. Pada
kasus yang berat perlu diberikan infus dan transfusi darah (trombosit). Dengue menjadi
permasalahan global pada awal avad 20 sampai sekarang dan menjadi endemik pada lebih
dari 110 negara di dunia, bersamaan dengan kejadian yang luarbiasa tersebut maka penelitian
pemberantasan nyamuk sebagai vektor, metoda pengobatan dan produksi vaksin terus
dilakukan.
Gambar 6. 8 Distribusi daerah endemik penyakit DHF diseluruh dunia yang menunjukkan daerah
tropis merupakan daerah yang paling dominan dimana vektor nyamik sangat berperan
terhadap penularan penyakit
Etiologi dan vektor penyakit
Virus Dengue termasuk dalam kelompok virus RNA, famili Flaviviridae genus
Flavivirus. Genom virus dengue terdiri dari 11.000 basa nukleotida, yang dikode untuk tiga
tipe molekul protein yaitu C, M dan E yang berbentuk partikel virus dan tujuh molekul
protein virus yaitu NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b, NS5 yang hanya terdapat dalam sel
hospes/penderita diperlukan replikasi dari virus tersebut. Ada empat serotipe (strain) dari
virus tersebut yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan DENV-4 semuanya dapat
menyebabkan penyakit demam berdarah. Infeksi salah satu dari serotipe virus dapat
menimbulkan respon imun yang cukup lama terhadap virus yang bersangkutan, tetapi respon
imunnya rendah terhadap tipe virus yang lain. Keparahan penyakit infeksi virus dengue dapat
terjadi apabila seseorang terinfeksi virus serottipe DENV-1 kemudian terinfeksi dengan virus
serotipe DENV-2 atau serotipe DENV-3, atau seseorang pernah terinfeksi serotipe DENV-3
kemudian terinfeksi DENV-2.
Gambar 6.9 Bentuk morfologi virus dengueyang memperlihatkan protein kapsid dan gen
RNA (kiri), serta permukaan virus dimer (tengah) dan virion dalam jaringan yang
dilihat dengan elektron mikroskop transmisi (TEM)
Virus dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk genus Aedes, terutama spesies Aedes
aegypti. Spesie nyamuk lain yang juga berperan dalam menulrkan penyakit adalah A.
albopictus, A. polynesiensis dan A. scutellaris. Nyamuk ini bisanya hdup di daerah tropis
sekitar 35o lintang Utara dan 35o lintang Selatan, dengan lokasi ketinggian sekitar kurang dari
1000m diatas permukaan laut. Manusia merupakan hospes primer dari virus ini, sedangkan
primata lain seperti monyet (non human primata), virus ini juga dapat bersirkulasi. Hanya
sekali gigitan nyamuk yang terinfeksi, virus ini dapat menularkan penyakit. Nyamuk betina
yang menghisap darah penderita akan menyebar dalam jaringan tubuh naymuk dan sampai ke
kelenjar ludah nyamuk dalam waktu sekitar 8-10 hari yang kemudian bila menggigit manusia
virus ditularkan.
Gambar 6.10 Nyamuk Aedes aegypti menghisap darah manusia
The image below shows the infection and life cycle of what a Dengue virus goes
thr Pathogenesis, gejala dan respon sistem imun
Setiap tahun sekitar seratus juta orang terinfeksi oleh virus dengue, kebanyakan
kematian terjadi karena perdarahan yang akut yang menunjukkan gejala “dengue haemoragic
fever”/DHF dan gejala sock hemoragik “Dengue shock syndrom”/DSS. Penderita yang
menunjukkan gejala DHF, angka kematian/mortalitasnya sekitar 5%, tetapi bila penyakit
berkembang menjadi DSS angka kematian dapat mencapai 40%. Virus masuk kedalam tubuh
manusia melalui gigitan vektor nyamuk kemudian melekat pada media reseptor endoisitosis
masuk kedalam sel pada membran fusi pada pH yang rendah. Materi genetik virus (+)ssRNA
dilepaskan dan mengalami translasi dan bereplikasi dalam endoplasmik retikuler menjadi
banyak virus baru dan kemudian keluar dari sel untuk menginfeksi sel lainnya.
ough.
Gambar 6.11 memperlihatkan proses virus dengue masuka kedalam tubuh dan
menginfeksi sel dan bereplikasi (kiri), dan kerusakan sel membran Huh7 oleh
infeksi virus dilihat dengan elektron mikroskop(kanan)
Kebanyakan penderita yang terinfeksi virus dengue tidak menunjukkan gejala yang
jelas (asimptomatik), ada sekitar 80% penderita yang menunjukkan gejala ringan seperti
demam. Penderita lain dapat menderita gejala yang parah dan dapat mengancam kehidupan
mereka sekitar 5%. Masa inkubasi penyakit sekitar 3-14 hari tapi lebih sering sekitar 4-7 hari,
tetapi beberapa kasus dapat sampai lebih dari 14 hari. Gejala yang sering ditemukan adalah
demam yang mendadak, sakit kepala terutama terasa pada bagian belakang mata, rasa sakit
pada otot dan persendian, kulit kusam. Fase perjalanan penyakit dibagi menjadi tiga fase
yaitu: fase demam fibril, fase kritis dan fase rekoveri. Fase demam fibril, suhu tubuh dapat
mencapai 40oC, ini erat hubungannya dengan rasa sakit pada otot, kulit kasar dan sakit
kepala, gejala ini terjadi pada 2 sampai 7 hari masa awal penyakit. Pada fase kriis terlihat
kulit yang kasar disertai bintik bintik perdarahan dibawah kulit (petechiae) yang disebabkan
oleh pecahnya pembuluh darah kapiler dan terjadi perdarahan pada lapisan mukosa pada
mulut dan hidung, sedangkan demam kadang menurun dan meningkat lagi pada hari
berikutnya. Pada sebagian penderita terjadi fase kritis, yang menunjukkan terjadinya demam
tinggi terutama pada hari kedua setelah menunjukkan gejala. Pada fase ini terlihat
penimbunan cairan pada daerah pinggang dan rongga perut yang disebabkan olah pembuluh
darah kapiler yang melebar dan menipis sehingga cairan merembes keluar dari pembuluh
darah kapiler tersebut. Sebagai akibatnya penderita mengalami kekurangan cairan tubuh dan
terjadi penurunan aliran darah pada organ yang penting. Pada fase ini terjadi disfungsi organ
dan terjadi perdarahan yang parah terutama pada daerah saluran pencernaan. Terjadi shock
(dengue shock syndrome) dan perdarahan parah (dengue hemorrhagic fever) yang dapat
terjadi pada sekitar 5% kasus penyakit dengue ini, tetapi pada penderita yang pernah
menderita dengue sebelumnya persentase ini dapat meningkat. Fase pemulihan (recovery)
setelah fase kritis berlalu, cairan tubuh yang keluar diresorpsi kembali masuk kedalam aliran
darah yang biasanya terjadi sekitar dua sampai tiga hari setelah fase kritis. Kondisi mulai
membaik tetapi ada gejala gatal gatal dan denyut jantung menurun. Pada fase ini cairan
tubuh meningkat dan bila berefek pada otak dapat menyebabkan penderita kesadarannya
menurun atau kadang gelisah.
Gambar 6.12 Terlihat perdarahan dibawah kulit (kiri) dan mekanisme perembesan
plasma keluar dinding pembulih darah kapiler (kanan)
Walaupun virus dengue menyerang sel imun dan menyebar keseluruh tubuh, sistem
imun juga mampu untuk melawan serangan virus tersebut. Sel imun yang terinfeksi segera
memproduksi interferon (sub klas dari sitokin) yang merupakan protein dengan berat molekul
kecil mampu menghambat replikasi virus. Inerferin menjadi aktive melalui sistem imun inate
(alami) maupun adaptive (perolehan) yang merupakan sistem imun yang berperan mencegah
dan mempertahankan diri terhadap masuknya agen infeksi kedalam tubuh. Sel imun
mengenali sel yang terinfeksi virus dan membantu mempertahankan sel yang belum
terinfeksi dari serangan virus. Pada saat sistem imun bekerja melawan infeksi virus dengue,
penderita akan mengalami demam. Pada saat sistem imun adaptive bekerja melawan virus,
sel B mulai memproduksi antibodi IgM dan IgG yang dilepaskan dalam peredaran darah dan
cairan limfe dimana kedua antibodi tersebut berfungsi untuk mengenali dan menetralisisr
partikel virus dengue. Respon sistem imun adaptive lainnya adalah sel T yang juga
merupakan sel limfosit sebagai pembunuh sel yang terinfeksi virus dengue. Respon imun
tersebut juga mengaktivkan sistem komplemen yang bertindak menolong antibodi dan
leukosit untuk mengeluarkan virus. Kedua respon sistem imun, inate dan adptive bekerja
sama menetralisir infeksi virus dengue dan penderita akan sembuh dari penyakit DHF.
Gamnbar 6.13 Grafik respon sistem imun pada penderita demam berdarah (DHF)
Antibodi IgM dan IgG yang diproduksi sel B hanya mengenali satu molekul protein
virus misalnya NS1, dan respon imun tersebut mengeliminasai virus dari tubuh penderita.
Setelah penderita sembuh dari penyakit DHF tersebut, penderita akan terproteksi/kebal
terhadap virus dengue tipe NS1 selama dua sampai tiga bulan. Tetapi kekebalan tersebut
tidak terlalu lama, penderita yang kebal terhadap seoripe NS1 dapat terinfeksi oleh virus
dengue serotipe lain. Pada tahun 1960 an Dr. Halstead dan tim penelitinya mempelajari
infeksi virus dengue di Thailand. Mereka melaporkan bahwa orang yang pernah terinfeksi
virus dengue sebelumnya akan beresiko tinggi akan menderita DHF lebih parah bila
terinfeksi virus dengue yang kedua kalinya. Mereka mempelajari mekanisme bagaimana hal
tersebut dapat terjadi dan mengapa infeksi virus yang kedua tersebut menjadi lebih parah
daripada infeksi sebelumnya. Pada kondisi normal infeksi agen patogen dalam tubuh akan
menimbulkan respon antibodi dan antibodi tersebut akan mengingat agen infeksi yang
menyerangnya selama waktu yang cukup lama melalui sel B dan T memori yang terbentuk
dalam sistem imun. Bila ada agen infeksi yang sama masuk kedalam tubuh akan segera
merespon melawan antigen yang pernah menginfeksinya tersebut dan proses kekebalan
tersebut dapat berjalan sampai beberapa tahun. Pada infeksi virus dengue mekanisme
kekiebalan tersebut tidak terjadi mengapa?, Halstead dan kawan kawan mengemukakan
fenomena yang disebut "antibody-dependent enhancement of infection" untuk menjelasakan
hasil observasi mereka. Ada empat serotipe virus dengue yang berbeda, tetapi sel memori
hanya mengingat daya imunitas terhadap serotipe virus yang menginfeksi pertama kali. Bila
seseorang terinfeksi dengan serotipe yang kedua atau serotipe lainnya, antibodi yang ada
justru akan memfasilitasi virus dengue yang lain tersebut menyebar dan meningkat
jumlahnya keseluruh tubuh/peredaran darah (viremia). Fenomena tersebut juga terjadi pada
anak yang menerima/mendapatkan antibodi dari ibunya waktu masih dalam kandungan. Hasil
penelitian tersebut menyatakan bahwa antibodi yang ada disamping untuk melawan virus,
antibodi yang diproduksi oleh sel B memori tersebut juga membantu virus dengue
menginfeksi sel lebih efisien (Gambar 7.14). Ironisnya "antibody-dependent enhancement of
infection" merupakan sistem imun yang menyebabkan gejala penyakit DHF menjadi lebih
parah.
Gambar 6.14 Memperlihatkan model antibody-dependent enhancement dari infeski virus
dengue yang berulang atau sesudah terbentuknya antibodi
Protein "antibody-dependent enhancement of infection" dipresentasikan pada saat terjadi
infeksi virus dengue yang pertama, protein tersebut melekat pada virus dengue yang
menginfeksi pertama kali. Pada saat terjadi infeksi virus dengue yang kedua yanng berbeda
serotipe, antibodi yang terbentuk pada infeksi virus yang pertama (infeksi primer) tidak dapat
mnetralisir virus dengue yang menginfeksi berikutnya (infeksi sekunder). Sehingga ikatan
Ab-virus komplek menempel pada reseptor Fcγ reseptor dalam sirkulasi monosit secara
efisien. Sebgai akibatnya terjadi peningkatan replikasi virus secara keseluruhan sehingga
meningkatkan keparahan penyakit dengue.
Penanganan penyakit DHF
Sampai sekarang belum ada pengobatan yang spesifik terhadap penyakit DHF,
Pengobatan hanya diberikan berdasarkan gejala yang timbul. Pengobatan suportif untuk
meningkatkan kondisi penderita diberikan cukup bervariasi dari pemberian cairan melalui
mulut untuk pengobatan gejala dehidrasi biasanya bila pasien dirawat dirumah. Bila pasien
menderita dehidrasi yang parah perlu dirawat di rumah sakit dengan pemberian cairan tubuh
lewat infus intravena atau transfusi darah. Penanganan si rumah sakit sangat bergantung pada
kondisi pasien berdasarkan pemeriksaan dokter. Infus cairan tubuh dapat diberikan selama
satu atau dua hari dengan laju aliran sekitar 0,5 – 1 ml/kg/hari disesuakan dengan volume
urinasi untuk menstabilkan cairan tubuh secara normal. Pemberian paracetamol
(acetaminophen) dapat dilakukan bila terjadi demam, sedangkan obat seperti ibuprofen dan
aspirin tidak boleh diberikan karena dapat memicu terjadinya perdarahan. Transfusi darah
perlu diberikan lebih awal/segera pada pasien yang menunjukkan gejala perdarahan dengan
indikasi penuruna hematokrit dan tanda perdarahan pada feses. Selama masa pemulihan infus
segera dihentikan untuk mencegah terjadinya kelebihan cairan tubuh.
Virus Chikungunya
Penyakit Chikungunya disebabkan oleh infeksi virus Chikungunya (CHIKV) termauk
dalam kelompok genus Alphavirus. Ada sekitar 27 tipr virus yang berbeda dlam kelompok
alphavirus yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan mamalia lainnya, virus
Chikungunya adalah salah satunya. Dalam sistematika klasifikasi virus Chikungunya masuk
dalam kelompok IV yang termaduk dalam famili Togavirus dan genus Alphavirus. Banyak
multipel varian dari virus Chikunya, varian virus baru dapat timbul bila terjadi mutasi genetik
dari virion. Ada tiga genotipe virus yang telah dilapotkan yaitu: Afrika Barat, Afrika
Tengah/Timur/Selatan, dan genotipe Asia. Seperti pada virus dengue, virus chikungunya
disebarkan melalui gigitan nyamuk A. Aegypti, nyamuk spesies lainnya seperti A. Albopictus
ternyata juga dapat menularkan penyakit ini. Hasil penelitian akhir akhir ini dilaporkan
bahwa penularan chikungunya melalui A. albopictus disebabkan karena terjadinya mutasi
dari salah satu gen amplop virus (gen E1) dari virus yang bersangkutan. Hal tersebut berarti
penyakit chikungunya dapat meluas daerah endemiknya pada lokasi dimana habitat nyamuk
A. albopictus berada.
Gambar 6.15 Penyebaran virus chikungunya yang erat hubungannya dengan penyebaran
vektor nyamuk Aedes aegypti dan A. albopictus.
Etiologi, gejala dan patogenesis
Virus Chikungunya adalah virus RNA termasuk dalam kelompok IV, famili
Tohaviridae dan genus Alphvirus. Banyak varian dari virus Chikungunya, varian baru akan
muncul bila terjadi mutasi genetik dari virus. Virus Chikungunya berukuran 50 nm sampai 70
nm, mengandung SS(+) RNA.
Gambar 6.16 Bentuk virus Chikungunya dilihat denan elektron mikroskop
Virus Chikungunya masuk kedalam sel target dengan cara endositosis, dimana
beberapa reseptor virus pada permukaan sel ditempeli oleh virus. Setelah endositosis, dalam
lingkungan/suasana asam dari endosom, hal tersebut memicu terjadinya perubahan bentuk
amplop virus yang mengespose peptida E1yang menjembatani fusi antara virus dengan sel
hospes. Proses tersebut mempermudah pengeluaran core virus dan membebaskan genom
viral. Dua precursor dari “non-structural protein (nsPs) ditranslasi dari viral mRNA, dan
melepaskan precursor generasi 1-4/nsPs1-nsPs4. Precursor nsPs1 berperan dalam sintesis
negatif strand vral RNA, nsP2 memicu RNA helic, RNA trifosfat dan aktivitas proteinase
kemudian berperan dalam menghambat transkripsi sel hospes, nsP3 adalah bagian dari unit
replikasi dan nsP4 adalah viral polymerase. Penggabungan protein tersebut untuk membentuk
suatu replikasi kompleks yang mensintesis intermediate negatif strand RNA secara utuh,
proses tersebut digunakan untuk sintesis subgenomik (26S) dan genomik (48S) RNA.
Subgenomik RNA mengatur ekspresi dari precursor C–pE2–6K–E1 polyprotein, yang
diproses oleh “autoproteolytic serine protease”. Kapsid dibebaskan dan pE1 dan pE2
glikoprotein diproses didalam golgi kemudian dikeluarkan kedalam membran plasma, dimana
pE2 dirbah menjadi E2 dan E3. Viral terbentuk oleh ikatan nukleitida viral kedalam RNA
virus kemudian diselubungi dengan amplop membraneglikoprotein. Dari proses tersebut
terbentuk alfa partikel dengan core icosahedral, menempel pada membran sel hospes.
Gambar 6.17 Siklus hidup virus Chikungunya dalam sel
Masa inkubasi penyakit chikungunya sekitar dua sampai lima hari, gejala yang terlihat
adalah demam samnpai 40oC, peteciae pada bagian tubuh, kadang pada daera paha atau
persendian. Gejala lain yang tidak spesifik adalah sakit kepala, conjunctivitis, dan sedikit
fotopobia. Gejala utama yabg terlihat adalah demam tinggi sekitar2 hari, diikuti gejala lain
rasa sakit pada oersendian, sakit kepala, tidak bisa tidur, kelemahan yang sangat. Gejala
tersebut terjadi bervariasi setiapindividu, biasanya sekitar lima sampai tujuh hari. Sedangka
penderita yang merasa sakit pada persendian gejala agak lebih lama, kadang sampai dua
tahun, bergantung pada umur penderita.
Penanganan chikingunya
Sampai sekarang belum ada obat yang spesifik untuk penyakit ini, vaksin chikungunya
juga belum ditemukan. Pengobtan yang dilakukan adalah hanya secara simptomatis untuk
mengurangi gejala saja. Beberapa obat anti inflamasi dapat mengurangi arthitis/sakit pada
persendian dan penurunan demam/antipyertik.
Virus herpes simplex
Herpes simplex adalah penyakit virus yang disebabkan oleh virus herpes simplex tipe 1
dan tipe 2 (HSV-1 dan HSV-2). Infeksi herpes virus termasuk penyakit virus yang
menimbulkan gejala pada lokasi infeksi (topikal). Pada herpes oral, gejala yang terlihat pada
mulut dan wajah, dimana bentuk herpes oral ini paling sering dijumpai. Juga yang sering
terjadi nomer dua setelah mulut adalah herpes genital, yang menyerang alat kelamin. Gejala
lain yang juga banyak dijumpai pada infeksi virus herpes adalah pada kulit bagian tubuh,
mata (oculer herpes), herpes serebral (meningitis) dan beberapa infeksi virus herpes lainnya.
Virus herpes menjadi aktiv setelah menunjukkan gejala pada penderitanya yaitu adanya luka
lecet yang mengandung partikel virus pada sekitar hari ke 2-21 setelah infeksi, kemudian
diikuti dengan fase remisi. Herpes pada alat kelamin (herpes genital), sering tidak
menunjukkan gejala, walaupun virusnya ada dalam organ ersebut. Pada awal infeksi, virus
bergerak sepanjang saraf sensor menuju badan sel saraf, dan virus tersebut tinggal dalam
waktu yang lama. Virus tersebut akan kambuh dalam waktu yang tidak tentu, walaupun
dipicu oleh faktor lain termasuk obat imunosupresan. Pada kondisi tertentu virus
bermultiplikasi didalam sel saraf kemudian bergerak sepanjang axon dari setiap neuron
menuju terminal saraf pada kulit, dimana virus terbebaskan dan menimbulkan gejala
penyakit. Sesuai berjalannya waktu, penyakit berkembang dan mengalami keparahan dan
kemudian terjadi kesembuhan dengan cepat bila segera diobati. Penyakit herpes simpleks
sangat mudah menular melalui kontak langsung melalui luka lesi atau cairan tubuh penderita
kepada orang yang sehat. Penularan dapat kontak antara kulit dimana penularan terjadi pada
fase asimptomatis (tak ada gejala) dimana virus ada dalam kulit si penderita.
Virion dan replikasinya
Herpes simpleks adalah virus yang termasuk dalam famili herpesviridae beramplop,
mempunyai pita ganda (dobel strand), yang termasuk dalam genom virus yang besar. Virus
bereplikasi dalam nukleus pada berbagai hospes vertebrata termasuk delapan varietas yang
telah diisolasi dari manusia.
Gambar 6.18. Virion herpes simplek yang beramplop (kiri) dan proses multiplikasinya
dalam sel (kanan).
Bentuk morfologi virus herpes beramplop mempunyai empat struktur virion yaitu:
bagian luar adalah amplop virus, tegument, kapsid,dan core. Amplop virus adalah bagian
paling luar dari virion yang terdiri dari glikoprotein yang terbentuk dari sel hospes. Bila
dilihat dengan elektron mikroskop bangunan ini terihat seperti duri yang kecil yang
menempel pada amplop. Pada lapisan yang lebih dalam dibawah amplop terdapat bangunan
yang tak berbentuk, kadang bentuknya asimetris, dinamakan tegument. Dalam tegument
tersebut berisi enzim dari viral, beberapa enzim digunakan untuk proses kimia dalam sel yang
akan memproduksi virus, sebagian untuk perlindungan terhadap respon dari sel, dan sebagian
lain untuk fungsi yang belum jelas. Bangunan paling dalam disebut core (pusat) yang terdiri
dari molekul linear tunggal dari dsDNA, dan bangunan ini diselubungi oleh kapsid bentuk
icosahedral yang berdiameter 100nm dan yang terbentuk oleh 162 kapsomer.
Masuknya virus herpes kedalam sel hospes melalui proses interaksi dari beberapa
glikoprotein pada permukaan amplop virus dengan reseptor permukaan sel hospes. Pada saat
amplop virus menempel pada permukaan sel hospes, amplop akan berfusi dengan membran
sel hospes untuk membuka sel tersebut, dan kemudian virus masuk kedalamnya. Proses
masuknya virus kedalam sel hospes mirip dengan proses virus lainnya, dimana reseptor pada
dinding sel hospes merupakan perlekatan virus HSV untuk memudahkan virus masuk
kedalam sel. Dua lapisan menyatu (amplop virus dan membran sel hospes), terjadi proses
endositosis virus masuk sel. Pada kasus HSV interaksi terjadi antara amplop virus
glikoprotein C (gC) melekat pada permukaan sel yang disebut “heparin sulfat”. Proses
kemudian adalah glikoprotein yang kedua yaitu glikprotein D (gD) melekat pada reseptor
yang spesifik dinamakan “herpesvirus entry mediator receptor” (HVEM) yang menyediakan
ikatan yang kuat terhadap sel hospes. Begitu melekat pada HVEM, gD berubah formasinya
dan berinteraksi dengan glikoprotein H virus (gh) dan L (gL), dan membentuk formasi yang
kompleks. Interaksi gB dan gH atau gL kompleks membentuk lubang masuk bagi kapsid.
Setelah kapsid virus masuk kedalam sitoplasma sel hospes, kemudian terbawa ke nukleus.
Begitu menempel pada nukleus, kapsid mendorong DNA melalui portal kapsid, dimana
portal kapsid ini terdiri dari duabelas protein kopi, membentuk semacam cincin, protein
tersebut terdiri dari sequen asam amino yang melekat satu dengan lainnya. Setiap kapsid
icosahedral mempunyai satu portal, dan DNA keluar dari kapsid membentuk segmen linear.
Keberhasilan infeksi virus herpes dapat terjadi melalui beberapa jalan, yaitu: a) Paling
efisient terjadinya infeksi adalah, virion menyerang sel hospes, mengahambat sintesis protein,
kemudian membebaskan DNA virus kedalam nukleus dan disitu virus langsung bereplikasi.
b) virus herpes berbagi kemampuan untuk menghambat reaksi imun dari sel hospes dengan
jalan menghambat kerja mRNA, memblok presentasi peptida antigenik pada permukaan sel
apoptosis (menghambat program kematian sel) oleh ekspresi gen virus. c) Virus herpes
mampu menyembunyikan bentuk kapsidnya dalam sirkulasi genom dalam nukleus limpoma
dan dalam sistem sel saraf pusat yang kemudian kembali bereproduksi setelah beberapa bulan
atau tahun kemudian. Periode laten infeksi virus herpes sering menimbulkan benigna, dan
dapat menghambat sistem imun hospes.
Gejala
Infeksi HSV menyebabkan terjadinya beberapa gangguan kesehatan yang cukup serius,
sering terjadi gejala terutama pada kulit atau mukosa pada mulut dan kulit muka (orofacial
herpes), genital (genital herpes), atau pada tangan ( herpes whitlow). Gangguan yang lebih
serius bila virus menginfeksi mata dan mengakibatkan kerusakan pada mata (herpes
keratitis), atau menyerang sistem saraf pusat, dapat menyebabkan kerusakan pada otak
(herpes encephalitis). Pada pasien bayi (baru lahir) atau orang dewasa yang menderita
defisiensi sistem imun ( menjalani tranplantasi organ atau penderita AIDS), mereka sering
menderita komplikasi infeksi HSV. Infeksi HSV juga erat hubungannya dengan gangguan
defisit atau bipolar, juga penderita penyakit Alzheimer, walaupun penyakit tersebut diderita
sebagai penyakit genetik. Pada semua kasus infeksi HSV, virus tidak dapat dikeluarkan dari
tubuh penderita oleh sistem imun. Setelah terjadinya infeksi HSV pertama kali virus masuk
kedalam sistem saraf pada lokasi infeksi pertama kali, kemudian bermigrasi sepanjang sel
saraf neuron dan menjadi infeksi yang laten pada ganglion (simpul saraf). Pada saat terjadi
infeksi HSV pertama kali, tubuh membentuk respon imun terhadap tipe virus yang spesifik
sehingga dapat melindungi tubuh terhadap infeksi virus yang sejenis pada lokasi infeksi yang
berbeda. Individu yang terinfeksi HSV-1 mengalami seorconversi dan melindungi infeksi
HSV-1 lainnya yang menginfeksi jari tangan, mulut, herpes genital, dan keratitis, dan juga
dapat memproteksi terhadap infeksi HSV-2. Sebaliknya juga pada infeksi HSV-2 dapat
memproteksi terjadinya infeksi HSV-1.
Tabel 6.4 Beberapa jenis herpes yang menginfeksi menurut lokasi/organ yang terinfeksi
Herpes
Kondisi
Gejala
Ginggivostomatitis
Radang gusi dan bibir (ginggistomatitis)
adalah gejala awal yang terjadi pada infeksi
tipe ini. Dan kondisinya lebih berat
daripadatipe labialis
Labialis
Infeksi terjafdi bila virus masuk dan kontak
dengan mukosa dan kulit pada bibir
Oesophagitis
Gejala ditandai dengan rasa sakit waktu
menelan(odynophagia) dan kesulitan dalam
menelan (dysphagia). Kadang disertai
dengan gangguan sistem imun (defisiensi
imun) karena infeski HIV, obat imunosupresi pada kasus transplasi jaringan
Tipe yang khas pada infeksi HSV-1 dan
HSV-2 pada herpes genital adalah adanya
lesi inflamasi kluster papulae dan vesikula
pada permukaan bagian luar dari genital
Genitalis
Whitlow
Infeksi terjadi pada jari tangan dan jempol,
kadang terjadi peradangan pada jari kaki
encephalitis
Infeksi virus herpes pada otak erat
hubungannya dengan transmisi virus dari
bagian muka yang dikuti reaksi virus HSV-1
melalui saraf yang menuju otak sepanjang
sarat axon trigeminal.
Diagnosis, pencegahan dan pengobatan
Diagnosis dapat dilakukan dengan pengamatan adanya tanda gejala yang timbul dan
diikuti dengan uji klinis terutama pada penderita yang sebelumnya tidak pernah terinfeksi
HSV-1. Lesi herpes (ulcer) yang terlihat dan distribusi setiap individu penderita terlihat khas,
bentuk bulat superfisial pada ulcer oral, diikuti dengan ginggivitis akut. Pada orang dewasa
kadang tidak khas sehingga sulit untuk didiagnosis, hal tersebut kadang dapat dikelirukan
dengan stomatitis karena alergi. Herpes genital sulit didiagnosis berdasarkan gejala adaripada
herpes oral, karena dapat dikelirukan dengan infeksi fungal, atopik dermatitis dan urethritis.
Uji laboratorium sering digunakan untuk konfirmasi herpes genital. Uji laboratrium
termasuk: Pemupukan virus, “direct fluorescent antibody (DFA)” untuk mendeteksi adanya
virus, skin biopsy, and polymerase chain reaction (PCR) untuk mengetahui adanyaa viral
DNA. Uji ini sanhgat spesifik dan sangat sensitive, tetapi bianya terlalu mahal, sehingga
diagnosis laboratorium dengan cara tersebut jarang digunakan, kecuali pada hal yang
berhubungan dengan penelitian. Sekarang metoda serologi dengan mendeteksi adanya
antibodi terhadap HSV sangat berguna untuk mendiagnosis Infeksi HSV tetapi uji ini tidak
secara rutin untuk praktek secara klinin oleh dokter.
Virus HSV juga dapat ditularkan melalui hubungan seksual, wanita lebih peka terhadap
infeksi HSV-2 daripada pria, sehingga penggunaan kondom untuk mencegah infeksi HSV
cukup baik hasilnya dan dapat mengurangi resiko penularan HSV sampai 50%. Pengobatan
antuviral untuk menghambat perkembangan virus dapat mengurangi infeksi HSV sampai
25%.
Pembuatan vaksin untuk HSV masih dalam taraf penelitian, bila telah berhasil dan
diproduksi, vaksin HSV dapat mencegah dan meminimalisasi infeksi awal dari HSV dan juga
dapat untuk pengobatan virus yang sudah ada dalam tubuh secara reaksi imunologik. Vaksi
yang telah dibuat dalam masa percobaan adalah “Herpevac”, yang merupakan vaksin untuk
melawan HSV-2, sampai tahun 2010 hasilnya cukup baik. Di Ingrgris, Harvard Medical
School, telah mengengembangkan vaksin “ACAM-29” yang merupakan replikasi virus
mutan dan terbukti berhasil untuk mencegah infeksi HSV-1 dan HSV-2 dan dapat melawan
virus yang sudah menginfeksi. Disamping itu vaksin juga dapat memicu/mengindus
terbentuknya antibodi spesifik HSV-2 dan meningkatkan respon sel Tc.
Resiko transmisi/penularan virus dari ibu kepada anak yang dikandungnya pada saat
dilahirkan adalah sekitar 30-60%, tetapi kemudian menurunn menjadi hany a 3% terjadinya
infeksi kembali dan hany 1a5 yang kemudian menjadikan gejala penyakit. Untuk mencegah
terjadinya infeksi neonatal tersebut, ibu yang sedang mengandunga agar menjauhi sumbernya
yaitu lawan jenisnya yang sedang menderita baik dalam hubungan secara genital maupun
oral.
Tidak ada pengobatan yang efektif untuk memberantas penyakit herpes dalam tubuh,
tetapi obat antivirus dapat mengurangi kejadian dan keparahan penyakit serta mempercepat
waktu kesembuhan. Obat analgesik seperti ibuprofen and acetaminophen dapat mengurangi
rasa sakit dan menurunkan demam. Ada beberapa obat abntiviral yang efektive untuk
pengobatan herpes yaitu aciclovir (acyclovir), valaciclovir (valacyclovir), famciclovir, dan
penciclovir. Acyclovir adal obat antiviral yang pertama ditemukan untuk pengobatan herpes
dan sekarang tersedia sebagai obat generik. Beberapa obat topikal antiviral untuk lesi herpes
labialis termasuk acyclovir, penciclovir, and docosanol.
Virus Herpes zoster
Herpes ini sering disebut “shingles” atau zona atau varicella zoster (VZV), yang
merupakan penyakit virus dengan terciri adanya lesi kulit yang sakit dan terasa panas terlihat
lepuh-lepuh kecil bernanah padasebagian tubuh kadang memanjang sepanjang saraf perifer.
Virus akan mengalami periode laten didalam badan sel saraf (simpul saraf/dendrite)dan
jarang berlokasi pada sel satelit saraf (percabangan saraf/akson). Prevalensi kejadian infeksi
“varicela herpes zoster” sekitar 1,2 sampai 3,4 setiap 1000 individu, dan dapat meningkat
sampai 3,9 – 11,8 setiap tahun untuk per 1000 orang diantara umur sekitar 65 tahunan. Obat
antivirus dapat meredakan keparahan gejala penyakit dan mempercepat kesembuhan sampai
7 atau sepuluh hari lebih awal.
Etiologi
Varicella zoster virus (VZV) adalah virus yang beramplop, virus DNA (ds) dengan
capsid icosahedral, merupakan virus yang termasuk dalam famili Herpesviridae, Virus ini ada
hubungannya dengan Epstein-Bar virus (EBV) dari subfamili seperti pada herpes simplex
virus (HSV-1 dan HSV-2). Virion VZV adalah spherik dengan ukuran diameter sekitar
150nm sampai 200nm dengan panjang ukuran genom sekitar 125000 pasangan basa. Kap sid
dikelilingi oleh sejumlah bangunan menyerupai protein yang disebut tegument yang
merupakan materi awal untuk bereproduksi dalam sel yang di infeksi. Tegument diselubungi
oleh amplop glikoprotein yang terlihat pada bagian luar dari virion. Amlopop glikoprotein
tersebut adalah gB, gC, gE, gH, gI, gK dan gL seperti pada HSV. VZV sering menyebabkan
penyakit chickenpox/cacar ayam pada anak dan menyebabkan “posttherpetic neuralgia” pada
orang dewasa.
Pada umumnya infeksi herpes zoster terjadi dengan tiba-tiba dan tidak terjadi outbreak
atau tidak ada epidemik. Tetapi pada daerah subtropis penyakit cacar ayam (chickenpox)
pada anak sering terjadi pada musim dingin dan musim semi, ditularkan melalui kontak
bersinggungan dengan penderita atau pembawa penyakit/karier. Pada daerah tropik penyakit
kebanyakan terjadi pada orang dewasa, insiden sering terjadi pada orang yang berumur lebih
dari 55 tahun, dan kadang erat hubungannya dengan kondisi kejiwaan/stress.
Gambar 6.19. Bentuk virus dilihat dengan elektron mikroskop (kiri) dan skema morfologi
virus (kanan)
Gejala dan patogenesis
Gejala awal yang terlihat adalah gejala umum seperti sakit kepala, demam dam malaise,
gejala tersebut tidaklah spesifik sehingga kadang dikelirukan oleh penyakit lain. Gejala
tersebut kemudian diikuti dengan rasa sakit seperti terbakar/panas, gatal hiperesthesia
(peka/sensitif), parasthesia (sperti ditusuk jarum, geli, gatal). Gejala rasa sakit tersebut
kadang ringan sampai berat dan berefek pada radang daerah kulit yang terkena (dermatoma).
Pada kebanyakan kasus, setelah 1 sampai 2 hari atau kadang 3 hari mulai terlihat lesi kulit.
Rasa sakit dan lesi kulit sering terjadi pada bagian badan, tetapi kadang dapat terjadi pada
kulit muka, mata atau bagian lain dari tubuh. Lesi kulit yang berbentuk lepuh kecil bernanah
terlihat sperti resleting memanjang sepanjang saraf perifer pada kulit. Lesi kemudian
berkembang menjadi vescikula kecil berbentuk lepuh kecil-kecil yang berisi eksudat serous
dan berubah menjadi gelap, tetapi kadang berubah menjadi memutih waktu meninggalkan
jaringan parut setelah mengalami kesembuhan.
Hari ke1
Perkembangan lesi herpes zoster
Hari ke2
Hari ke3
Hari ke 4
Gambar 6.20 Perkembangan lesi kulit infeksi VZV
Patogenesis atau proses berjalannya penyakit adalah sebagai berikut 1)timbul kluster
kecil kecil pada saat virus masih berada dalam badan saraf, 2) lepuh kecil tersebut berisi
eksudat cair warna putih, pada saat virus bergerak ke permukaan saraf tepim 3) lepuh
terbuka mulai mengecil , pada saat jumlah virus mulai menurun, 4) lepuh mengering
membentuk keropeng, pada saat jumlah virus tinggal sedikit, 5) lesi meningglakan
titik/bercak putih yang kemudian menghilang, virus sudah menghilang pada saraf tepi. Lesi
lepuh tersebut sering terjadi pada lokasi saraf bagian dada dan kemudian merambat ke bagian
ketiak dan ke bagian saraf daerah punggung.
Gambar 6.21 proese barjalannya penyakit (patogenesis) infeksi VZV pada saraf perifer
(kiri) dan lepuh kecil sepanjang saraf dada sampai ke ketiak (kanan)
Diagnosis, pencegahan dan pengobatan
Bilamana lesi kulit mulai muncul, identifikasi penyakit dapa dilihat dari gejala yang
khas dari infeksi VZV tersebut. Tetapi kadang gejala tersebut dapat dikelirukan dengan
infeksi HSV, walaupun bentuk lesinya agak berbeda. Bilamana lesi kulit tidak muncul atau
tidak jelas, maka diagnosis agak sulit dilakukan. Uji laboratorium dapat dilakukan dengan
jalan mendeteksi adanya antibodi IgM dalam darah. Pada laboratorium yang sudah maju,
lepuh dapat diambil dan diuji dengan PCR terhadap DNA VZV atau di lihat dengan elektron
mikroskop terhadap partikel virus. Beberapa penelitian mengenai uji diagnosis VZV dengan
membedakan antara uji Isolasi virus dengan uji PCR telah dilakukan. Pada uji dengan kultur
virus/isolasi virus diperoleh sensitivitas sekitar 14,3%, sedangkan dengan uji PCRdapat
mencapai 100% yang berarti sensitivitstas dan spesivitasnya sangat tinggi.
Pengobatan VZV hanya ditujukan untuk mengurangi keparahan dan mempercepat
kesembuhan saja dan juga mencegah terjadinya komplikasi dengan penyakit infeksi lainnya.
Pengobatan simptomatis perlu dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah
terjadinya komplikasi neuralgia, tetapi biasanya bila sudah mengalami kesembuhan gejala
tersebut hilang dengan sendirinya terutama pada penderita usia muda (<50 th). Orang yang
menunjukkan gejala ringan sampai sedang dapat diobati dengan obat analgesik untuk
mengurangi rasa sakit. Obat topikal juga dapat dioleskan pada lesi, obat tersebut
mengandung “calamine”. Obat topikal lain seperti lidocain dapat jua dioleskan pada lesi
lepuh, dan obat yang dapat memblok sistem sarah sehingga dapat mengurangi rasa sakit.
Obat antiviral diberikan dapat menghambat replikasi VZV sehingga dapat
mengurangikeparahan penyakit dan mempercepat kesembuhan Obat tersebut adalah acyclovir
yang telah banyak digunakan sebagai obat standar, tetapi obat lain seperti valaciclovir dan
famciclovir terbukti sangat baik digunakan untuk penigobatan infeksi VZV.
Virus hepatitis A
Hepatitis A adalah penyakit menular akut pada hati yang disebabkan oleh infeksi virus
hepatitis A (HAV), yang sering ditularkan melalui fekal pada makanan atau air minum yang
tercemar. Setiap tahun dilaporkan sekitar 10 juta orang diseluruh dunia terinfeksi oleh virus
ini. Masa inkubasi penyakit ini adalah sekitar dua sampai enam minggu dengan rataan
periode inkubasi adalah sekitar 28 hari. Di negara berkembang dan beberapa daerah yang
kurang memperhatikan sanitasi dan kebersihan, prevalensi infeksi virus HAV sangat tinggi
dan biasanya penyakit timbul pada anak usia dini. Infeksi virus hepatitis A tidak
memperlihatkan gejala atau tanda lainnya pada 90% anak yang terinfeksi, virus tinggal dalam
tubuh dalam waktu tang cukup lama dan akan terbentuk respon imun. Di negara maju seperti
USA maupun Eropa, infeksi banyak terjadai pada orang dewasa yang masih muda,
kebanyakan mereka terinfeksi pada saat melakukan perjalanan ke negara yang merupakan
daerah endemik HAV. Penyakit hepstitis A tidak mempunyai fase kronis, dan tidak
menyebabkan kerusakan hati yang permanen. Begitu terjadi infeksi, sistem imun tubuh
langsung membentuk antibodi untuk melawan HAV yang dapat menangkal infeksi virus yang
masuk berikutnya/kemudian. Penyakit hepatitis A dapat dicegah dengan cara vaksinasi, dan
vaksin hepatititis A terbukti efektif untuk mencegah terjangkitnya penyakit hepatitis A.
Etiologi
Penyakit hepatitis A disebabkan oleh infeksi virion hepatititis, yang merupakan virus
kecil dalam klas hepatovirus, tidak beramplop, virus RNA simetrik/dalam famili
picornaviridae. Virion HAV terdiri dari selubung protein yang melapisi material genetik
RNA. HAV mempunyai karakteristik seperti pada famili picornavirus lainnya yang dapat
menyebabkan penyakit infeksius hepatitis. Infeksi virus ini terjadi apabila penderita menelan
makanan atau minuman yang terkontaminasi feses, atau makanan seperti kerang yang
terkontaminasi virus. Virus sampai pada organ hati melalui peredaran darah, virus menyerang
hati menyebabkan inflamasi pada hati yang menimbulkan gejala demam dan jaundice
(penyakit kuning). Diluar tubuh virus dapat hidup dalam air selama beberapa bulan.
Gambar 6.22 Virion HAV yang termasuk dalam kelompok: Group IV ((+)ssRNA); Family:
Picornaviridae; Genus: Hepatovirus; Species: Hepatitis A virus (kiri), dan siklus
hidupnya (kanan)
Gejala penyakit
Virus hepatititis A yang tertelan melalui mulut akan di absorpsi kedalam darah melalui
epithel tenggorokan atau usus dan masuk kedalam sirkulasi darah. Darah membawa virus
kedalam jaringan target yaitu hati dan berkembang biak dalam sel hati dan sel kupffer
(makrofag dalam hati). Virion disekresikan lagi melalui cairan empedu dan terbawa oleh
feses dan dikeluarkan dari tubuh. Virus disekresikan dalam jumlah besar sekitar 11 hari
setelah penderita menunjukkan gejala penyakit atau terdeteksinya antibodi IgM didalam
darah. Masa inkubasi terjadi selama 15-50 hari dan mortalitas kurang dari 5%. Didalam sel
hati/hepatosit, genome RNA dibebaskan dari selubung protein dan ditranslasi oleh ribosoma
dari selnya sendiri. Proses translasi tersebut tidak seperti anggota kelompok picornavirus
lainnya yang memerlukan “eukaryocyt initiating factor 4G” (eIF4G) untuk memulai translasi.
Keperluan penggunaan faktor tersebut adalah untuk mensintesis protein dari hospes oleh
virus picorna lainnya, karena HAV tidak dapat menggunakan faktor tersebut maka HAV
tidak efisien untuk berkompetisi dalam translasi seluler, sehingga virus tersebut tidak dapat
tumbuh baik dalam biakan jaringan.
Gejala awal dari infeksi HAV dapat dikelirukan dengan penyakit influenza biasa, tetapi
beberapa penderita terutama anak-anak tidak memperlihatkan gejala yang nyata. Gejala
biasanya terlihat setelah 2-6 minggu virus masuk kedalam tubuh (masa inkubasi). Gejala
akan timbul kembali setalah 6-9 bulan, dengan tanda sebagai berikut:
-
Kelemahan yang sangat (fatigue), demam, sakit perut, mual, dan diare
-
Kehilangan nafsu makan(anorexia), depresi, jaundice (warna kuning pada kulit dan
mata), rasa sakit seperti ditusuk pada bagian atas kanan dari perut(sakit hati), bobot
badan turun, rasa gatal-gatal, urin berwarna gelap (karena cairan empedu), feces
berwana pucat (karena kurang bilirubin dari empedu).
Pencegahan dan pengobatan
Penyakit hepatitis A dapat dicegah dengan cara vaksinasi, menjaga keberihan dan
sanitasi. Penggunaan vaksin dapat melindungi diri dari infeksi HAV sampai mencapai 95%
selama sekitar sepuluh tahun. Vaksin tersebut mengandung virus yang dapat mengaktifkan
sistem imun untuk melawan infeksi HAV yang akan menginfeksi. Vaksin tersebut teloah
digunakan sejak tahun 1996 untuk anak yang tinggal pada daerah yang beresiko tinggi
terhadap infeksi HAV, dan pada tahun 1999 dan dikembangkan kedaerah yang beresiko
tingkat tinngi untuk berjangkitnya penyakit. Vaksin diberikan dengan cara injeksi pada otot
bagian atas dari lengan. Dosis awal terbukti dapat memproteksi selama dua sampai empat
minggu setelah vaksinasi, dosis kedua (dosis booster), diberikan pada bulan ke enam sampai
ke duabelas, dan terbukti dapat memproteksi selama sampai duapuluh tahun.
Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit hepatitis A, penderita dianjurkan
untuk istirahat, menghindari makanan yang berlemak dan alkohol, mengkonsumsi makanan
dengan diet yang seimbang dan banyak minum. Sekitar 6-10% penderita yang terdiagnosis
hepatitis A akan memperlihatkan gejala setelah 40 minggu kemudian.
Virus polio (PV)
Poliovirus (PV), adalah merupakan agen penyakit radang otak poliomyelitis yang
termasuk dalam famili Picornaviridae. Poliovirus terdiri dari singgel strand RNA genome
dengan panjang nukleosida 7500 dengan kapsid protein. Poliovirus pertama diisolasi pada
tahun 1909 oleh Karl Landsteiner dan Erwin Popper. Genom poliovirus pertama dipublikasi
pada tahun 1981 oleh dua kelompok tim peneliti yang berbeda yaitu: Vincent Racaniello dan
David Baltimore di MIT dan oleh Naomi Kitamura dan Eckard Wimmer pada Stony Brook
University. Poliovirus adalah salah satu virus yang paling baik yang dapat dikarakterisasi dan
digunakan sebagai model untuk dipelajari mengenai biologi dari virus RNA. Pada tahun 2008
spesies poliovirus dieliminasi dari genus Enterovirus dan tiga serotipe dimasukkan dalam
spesies Human enterovirus-C, dalam genus Enterovirus dan famili Picornaviridae. Tipe
spesies dari genus Enterovirus dirubah dari poliovirus menjadi Human enterovirus.
Etiologi dan serotipe poliovirus
Ukuran diameter partikel poliovirus adalah 30 nm dengan bentuk/morfologi icosahedral
simetri. Poliovirus sangat sederhana, karena genomnya yang pendek (RNA) dan bentuk
ikosahedral encapsulated protein. tidak beramplop. Struktur poliovirus mirip dengan jenis
enteroviruspafa manusia lainnya seperti coxsackieviruses, echoviruses, dan rhinoviruses,
yang selalu menggunakan fasilitas imunoglobulin untuk masuk kedalam sel hospes. Hasil
analisis filogenetik RBA dan sequen protein poliovirus menunjukkan bahwa PV berevolusi
dari kluster-C “Coxsackie A virus ancestor”, yang terjadi karena mutasi dalam kapsid protein.
Perbedaannya adalah spesiasi dari virus polio mungkin terjadi dari hasil perubahan pada
reseptror seluler yang spesifik yaitu “inter-cellular adhesion molekul-1(ICAM-1), yang
digunakan oleh c-celluler Coxsack A virus, pada CD15; menyebabkan perubahan
pathogenesis dan merubah virus menginfeksi jaringan saraf. Laju mutasi virus relative tinggi
walaupun poliovirus termasuk virus RNA, dengan substitusi sinonim 1,0X10-2 lokasi, dan
yang non sinonim adalah 1,0X10-4 lokasi per tahun. Berdasarkan pada genom mutasi terjadi
tidak secara acak dengan adenosin lebih jarang dari yang diharapkan pada 5’ end dan lebih
tinggi pada 3’ end. Ada tiga serotipe dari PV yaitu yaitu PV1, PV2 dan PV3, masing masing
sedikit berbeda pada kapsid proteinnya. Pada protein kapsid terciri adanya perbedaan pada
reseptor sifat antigeniknya. PV1 paling sering dijumpai di alam, tetapi semua tipe adalah
sangat infeksius. Tie “wild” ditemukan pada dua benua, seperti yang telah dilaporkan pada
tahun 2012, PV1 terlokalisasi di Pakistan dan Afganistan , Nigeria dan Chad di Afrika
ditemukan wild poliovirus tipe 2 yang diduga telah diberantas, dideteksi terakhir pada bulan
Oktober 1999 di Utar Prades India. Tipe wild PV3 ditemukan di sebagian negara Nigeria dan
Pakistan. Strain/galur yang spesifik tersebut digunakan untuk membuat vaksin terhadap
poliovirus. Inaktive poliovaksin (IPV) dibuat dengan cara diinaktifkan dengan menambahkan
formalin untuk ketiga tipe wild poliovirus, sedankan strain referens adalah Mahoney atau
Brunenders (PV1), MEF1/Lansing(PV2), dan Saukett (PV3). Oral polio vaksin (OPV) berisi
“live attenuated” (virus yang lemah/dilemahkan) strain dari ketiga serotipe poliovirus
tersebut. Strain virus yang di pasase pada sel epithel ginjal monyet dapat menyebabkan
mutasi dari virus tersebut dan melemahkan virus, sehingga tidak dapat menginfeksi jaringan
saraf.
Gambar 6.23 Poliovirus dilihat dibawah elektronmikroskop
Siklus hidup, patogenesis dan gejala
Siklis perkembang-biakan poliovirus dimulai dari perlekatan pada permukaan dinding
sel hospes pada reseptor CD155 (immunoglobulin like receptor) atau juga disebut poliovirus
receptor (PVR) pada permukaan sel hospes. Interaksi antara poliovirus dengan CD155
bersufat irreversibel. Mekanisme bagaimana poliovirus masuk kedalam sel hospes masih
belum jelas. Penempelan virus pada membran sel, dan masuknya asam nukleat kedalam sel
diduga ada dua cara yaitu: melalui formasi pori-pori dalam plasma membran, dimana RNA
diiknjeksikan kedalam sitoplama, atau virus diambil oleh reseptor mediated endositosis.
Pada hasil penelitian mutakhir melaporkan bahwa poliovirus melekat pada CD155 dan
ditelan melalui cara endositosis. Segera setelah partikel virus masuk dalam sitoplasma, RNA
virus yang merupakan singgel strand positive RNA dibebaskan. Genome yang menutupi
partikel virus digunakansebagai “messenger RNA” segera ditranslasi oleh sel hospes. Pada
waktu masuk dalam sel, virus menggunakan translasi sel hospes sebagai alat yang
menyebabkan terhambatnya produksi sintesis protein seluler hospes, karena digunakan untuk
memprodukasi spesifik protein dari virus. Tidak seperti mRNA sel hospes, 5’end dari
mRNA poliovirus sangat panjang yaitu sekitar lebih dari 700 nukleotida dan strukturnya
sngat baik. Daerah genom viral tersebut disebut “internal ribosoma entry side” (IRES) dan
langsung mentranslasi viral RNA. Mutasi genetik pada daerah ini dpat mencegah terjadinya
produksi protein viral.
.
Gambar 6.24 Siklus hidup poliovirus (kiri) dan genomnya (kanan)
Poliovirus mRNA ditranslasi sebagai polipeptida yang panjang, kemudian membelah
diri oleh protease internal menjadi sekitar 10 individu virala protein, yaitu:
3Dpol, an “RNA dependent RNA polymerase” yang berfungsi untuk mengkopi dan
memperbanyak genome ciral RNA
2Apro and 3Cpro/3CDpro, “proteases” yang membelah viral polipeptida
VPg (3B), protein kecil yang mengikat viral RNA yang berfungsi untuk mensintesis
stran positiv dean negativ RNA
2BC, 2B, 2C, 3AB, 3A, 3B proteins, Mengkompromasi protein komplek diperlukan
untuk replikasi virus.
VP0, VP1, VP2, VP3, VP4 proteins, untuk kapsid virus.
Pembentukan partikel virus baru, (mis: pengepakan genom virus dalam kapsid supaya
dapat hidup diluar sel hospes) masih belum jelas. Waktu yang diperlukan sejak mulai infeksi
sampai masuk dalam sel dan mulai pembentukan virus adalah sekitar 4-6 jam (dalam biakan
jaringan sel mamalia). Mekanisme bagimana virus dibebaskan dari sel masih bekum jelas,
tetapi setiap terjadinya kematian sel diproduksi sekitar 10.000 virion polio.
Keberadaan reseptor CD155 diperkirakan sebagai penyebab terjadinya infeksi virus
masuk kedalam sel hewan atau manusia. Reseptor CD155 hanya ditemukan pada sel manusia,
jenis primata dan jenis monyet lainnya. Tetapi poliovirus hanya dapat menyebabkan penyakit
pada manusia dan tidak menginfeksi secara alamiah pada spesies lain, sedangkan simpanse
dan monyet hanya diinfeksi sebagai hewan coba. Protein CD155 mempunyai beberapa
domain, D1 mengandung lokasi perlekatan (binding site) poliocirus, dalam domain ini berisi
37 asam amino yang berperan dalam perlekatan virus. Poliovirus termasuk famili enterovirus,
maka jalur infeksinya terjadi melalui mulut, viral replikasi terjadi dalam saluran pencernaan.
Virus dieksresikan melalui feces dan menular ke individu lain melalui makanan yang
terkontaminasi. Pada banyak kasus virus dapat ditemukan dalam peredaran darah (viremia)
dan infeksi virus ini tidak menunjukkan adanya gejala (asimptomatis). Pada sekitar 5% kasus,
virus menyebar dan bereplikasi dalam jaringan lain seperti jaringan lemak, retikuloendotelial,
dan jaringan otot. Replikasi yang permanen pada suatu jaringan dapat menyebabkan
terjadinya viremia sekunder dan dapat menimbulkan gejala seperti demam, sakit kepala dan
sakit tenggorokan. Kelumpuhan/paralysis poliomyelitis dapat terjadi pada sekitar kurang dari
1% penderita infeksi poliovirus. Penyakit paralysis terjadi bila virus masuk kedalam sistem
saraf pusat danbereplikasi dalam sel sraf motorik dan sumsum tulang belakang, batang otak
atau korteks motorik, hal tersebut menyebabkan kerusakan motorik neuron (sel saraf
gerak/motorik) mengakibatkan terjadinya kelumpuhan temporer atau permanen. Pada
beberapa kasus yang jarang terjadi poliomyelitis dapat menyebabkan kelumpuhan respirasi
sehingga terjadi kasus kematian. Pada kasus poliomyelitis penyakit paralysis, jaringan otot
dirasakan sakit/nyeri dan kejang-kejang yang diikuti dengan kelemahan dan paralysis.
Paralysis terjadi secara persisten pada jaringan otot dalam waktu beberapa hari sampai
beberapa minggu. Mekanisme bagaimana virus masuk kedalam saraf otak masih belum jelas.
Ada tiga teori bagaimana mekanisme poliovirus masuk kedalam sistem saraf pusat, semuanya
diawali terjadinya viremia. Teori pertama virion langsung masuk melalui pembuluh darah
yang mengalir kedalam otak melewati barier darah otak, tidak melalui reseptor CD155. Teori
kedua, virion ditransport dari jaringan perifer yang telah terinfeksi virus dan dilepas dalam
darah, misalnya jaringan otot menuju sumsum tulang bealakang melalui jalur saraf
(“retrograde axonal transport”). Teori ketiga adalah poliovirus diimport dari jaringan yang
terinfeksi masuk kedalam sistem saraf pusat melalui infeksi monosit atau makrofag.
Poliomyelitis adalah penyakit yang menyeran sistem saraf pusat, tetapi CD155 ditemukan
pada permukaan semua sel pada manusia. Dari hal tersebut maka reseptor tidak terekpresi
dan poliovirus memilih menginfeksi jaringan tertentu, hal ini diduga jaringan yang ditempati
terdeterminasi oleh virus setelah virus masuk menginfeksi kedalam sel. Hasil penelitian
terakhir melaporkan bahwa interferon alpha dan bettha adalah faktor yang penting untuk
menentukan tipe sel yang mana yang mensuport poliovirus bereplikasi. Pada hewan coba
mencit, melalui rekayasa genetik mengekspresikan CD155, tetapi sedikit reseptor interferon,
poliovirus dapat bereplikasi dalam berbagai jaringan dan juga dapat diinfeksi melalui oral.
Walaupun poliovirus dapat menyebabkan paralysis dan kematian, kebanyakan orang
yang terinfeksi oleh poliovirus tidak menjadi sakit dan tidak begitu memperhatikan bahwa
mereka telah terinfeksi oleh virus ini. Ada dua bentuk infeksi poliovirus menurut gejala yang
timbul yaitu:nNonparalytik polio dan paralitik polio
Nonparalytik polio
Beberapa orang yang terinfeksi poliovirus momparalytik tidak menunjukkan gejala
paralysis (disebut abortive polio). Biasanya komndisi tersebut hanya menyebabkan gejala
mirip flu dan gejala umum lainnya, seperti demam \, sakit tenggorokan, sakit kepala, muntah,
lesu, sakit punggung, leher, nyeri atau kekakuan pada lengan dan kaki, kekejangan, dan
meningitis. Gejala ini berjalan sekitar satu \sampai 10 hari.
Paralytik polio
Pada kasus yang sangat jarang terjadi infeksi poliovirus dapat menyebabkanparalysis,
yang merupakan gejala paling serius pada infeksi poliovirus. Paralytik polio mampunyai
beberapa tipe, berdasarkan bagian tubuh yang terkena yaitu susmsum tulang belakang (spinal
polio) dan batang otaqk/brainstem (bulbar polio) atau keduanya (bulbospinal polio). Gejala
awal dari paralytik polio adalah demam dan sakit kepala, dalam satu minggu gejala spesifik
paralytik polio mulai timbul yaitu:
-
Kehilangan refleks
Nyery poada otot dan kejeng/spasmus
Pinggang kumpuh dan menggantung (flacid paralysis),sering lebih parah lumpuh pada
sebagian tubuh.
Terjadinya paralysis dapat datang dengan tiba-tiba
Gambar 6.25 Gejala penyakit polio pada anak, terlihat terjadi kelemahan pada otot kaki yang
menimbulkan atrofi pada otot dan sendi sehingga terjadi salah bentuk tulang kaki
Post-polio syndrom
Setelah terjadinya paralysis gejala disabilitas/ketidak mampuan timbul dalam waktu
beberapa tahun dengan rataan sekitar 25-35 tahun setelah menderita penyakit polio. Gejala
yang timbul antaralain:
-
Rasa nyeri dan kelemahan pada otot dan persendian berjalan progresif
Kelemahan secara umum dan kehabisan tenaga terutama dalam beraktifitas
Otot atrofi (mengecil)
Kesulitan bernafas dan menelan
Waktu tidur nafas terasa sesak, sesak nafas waktu tidur
Penurunan rasa pada suhu yang dingin
Pencehgahan
Vaksinasi polio perlu dilakukan terutama bika akan bepergian ke daerah atau negara
dimana penyakit polio pernah ada kasus, atau vaksinasi oral (OPV) masih diberikan. Daerah
atau suatu negara yang masih melakukan program vaksinasi oral seperti Amerika Tengah dan
Selatan, Afrika dan Asia. Vaksin polio oral adalah vaksin hidup yang dilemahkan
(attenuated), resiko terjadinya penyakit paralitik poli amat sangat rendah, tetapi tidak nol
sama sekali. Segera hubungi dokter bila:
-
Anak anda tidak megikuti program vaksinasi polio secara komplit
Anak anda mengalami alergi setelah menerima vaksinasi
Anak anda mengalami peradangan atau sakit pada lokasi injeksi vaksin
Download