filosofi seni bangun islam

advertisement
FILOSOFI SENI BANGUN ISLAM
(Ornamentasi Pada Arsitektur “Masjid Turen” Malang)
Musthofa1
Abstract: Boarding Salafiah Biharu Bahri 'Asali Fadlaailir Rahmah is visited by
many tourists from home and abroad. They came to witness and enjoy the beauty
of the architectural ornaments of this cottage. Some states are speculative and a
priori because they feel admiration and emotion of beauty.
The ornamentation of this architecture in a way through the transfiguration of the
function that is coating the basic building materials with a variety of motifs
ornament, from the colors that are symmetrical so that it becomes beautiful.
Through transfiguration structural function, a way to change the basic building,
into a form better and beautiful. Understanding of this beauty through aesthetic
philosophy that is about the values of beauty.
The beauty of the ornaments on this architecture can be viewed form (structure)
the beautiful and diverse as calligraphy, geometric patterns are modified by
natural images of plants, inanimate objects of architectural motifs. This beauty can
be seen from the point of a variety of color and symmetrical, with the apparent
harmony between the motifs color combinations that can be enjoyed by everyone.
These ornaments contain profound meaning in relation to Islamic ideology.
Keywords: transfiguration, coating, abstract, and beauty.
Pendahuluan
Pendahuluan ini berisi tentang latar belakang masalah, permasalahan,
perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan metode pendekatan.
Lembaga Pondok Pesantren Biharu Bahri ‘Asaili Fadlaailir Rahmah
berada di Sananrejo, Turen, Malang, Jawa Timur, memiliki arsitektur pondok
yang indah. Fakta keindahan ini mempunyai daya tarik bagi wisatawan dalam dan
luar negeri. Belakangan, mereka mengenali lingkungan pondok ini dengan
sebutan “Masjid Turen.”
1
Pembantu Rektor I dan Dosen pada Sekolah Tinggi Agama Islam Madiun (STAIM) –
Universitas Islam Indonesia (UII) Madiun Jawa Timur.
1
2
Keindahan arsitektur pondok ini karena dihiasi dengan ornamen-ornamen
Islam berupa motif non figuratif seperti kaligrafi dan motif figuratif berupa benda
hidup seperti tumbuh-tumbuhan dan motif arsitektural. Kemampuan arsitektur
seniman muslim beralih pada motif-motif dekoratif (hiasan) yang bercorak flora
dan geometris2. Keindahan yang ditampilkan dalam karya arsitektur menjadikan
daya tarik terhadap mereka, sehingga sebagian daripada mereka menyatakan
dengan perkataan yang spekulatif dan apriori, karena merasa kagum atas
keindahannya.
Masalah Penelitian
Atas dasar keterangan tersebut di atas maka timbul permasalahan yang
berkaitan dengan teknis pengindahan arsitektur Pondok Pesantren Biharu Bahri
‘Asaili Fadlaailir Rahmah ini. Permasalahan yang dimaksud adalah arsitektur
pondok pesantren ini dibangun dengan bahan berupa material yang dirancang
dengan desain konstruksi sedemikian indahnya. Namun belum ditemukan atau
diketahui tentang teknis perlakuan materi-materi ornamen terhadap konstruksi
dasar atau natural yang dapat menjadikan indah daripada arsitektur pondok
pesantren ini.
Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana deskripsi tentang
ornamentasi Islam, dan penjelasan makna yang terkandung di dalamnya.
Tujuan Penelitian
Tujuan daripada penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang
ornamentasi Islam dan penjelasan makna yang terkandung di dalamnya.
Metode Penelitian
Metode yang disajikan dalam hal ini sumber data dan analisa data. Sumber
data dapat digunakan sebagai sumber data primer dan data sekunder 3. Kata-kata
2
M. Abdul Bin Jabbar, 1988, Seni di Dalam Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka, 1988),
3
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: CV. Alfa Bela, 2010), 225.
65.
3
dan tindakan orang-orang yang diamati atau yang diwawancarai merupakan
sumber data utama atau primer4. Sumber data utama dicatat melalui tulisan atau
rekaman, video, pengambilan foto atau film. Sumber selain kata-kata atau
tindakan merupakan sumber kedua atau sekunder, seperti buku, majalah, dokumen
resmi atau pribadi. Sumber data primer berupa ornamen-ornamen Islam yang
dapat diperoleh melalui pengambilan foto. Metode interview sebagai pelengkap
daripada metode pengambilan foto. Data sekunder berupa buku-buku dokumenter
yang berhubungan dengan pembahasan ini.
Analisa data penelitian ini melalui metode reduksi data, sajian data,
pengambilan kesimpulan. Prosedur analisa data melalui data reduction (analisa
data secara keseluruhan kepada bagian-bagian), data display (sajian data), dan
conclusion drawing (pengambil kesimpulan)5. Untuk mengetahui kandungan
makna fenomena ini melalui teori symboling. Penyimbulan (symboling) adalah
kecakapan memberikan makna yang lebih dalam dan menentukan signifikansinya
atau nilai daripadanya6.
Pemahaman ornamen-ornamen ini berdasarkan pada nilai. Jakob
menyatakan bahwa studi filsafat estetika digolongkan dalam persoalan nilai atau
filsafat tentang nilai. Nilai artinya sesuatu yang penting atau berharga bagi
manusia. Nilai tidak dapat dimengerti atau diapresiasikan dengan akal atau
pikiran, akan tetapi ia dapat dipahami dengan cara menghargainya secara
signifikan, sehingga dalam memahami masalah ini melalui cara menghargai-nya
secara signifikan7.
Pendekatan yang dipilih adalah ornamentasi melalui transfigurasi yaitu
menghiasi dengan mendenaturalisasi dan memperindah material yang digarap.
Penggunaan kata “transfigurasi” karena istilah ini menyiratkan bahwa, objek yang
4
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1990), 112-113.
5
S. Nasution, Metode Penelitian Kualitatif Naturalistik, (Jakarta: Tarsito, 1998), 129130.
6
Leslie A. White, , The Concept of Culture, (USA: Burgess Publishing Company, 1973),
1.
7
Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, (Bandung: Penerbit: ITB, 2000), 26.
4
ditranfigurasikan oleh ornamentasi mengalami perubahan bentuk atau tampilan,
namun bukan perubahan substansi dan istilah “transfigurasi” menyiratkan bahwa,
perubahannya bukan semata-mata perubahan, namun perubahan membawa
kemuliaan.
ORNAMENTASI ISLAM, ARSITEKTUR DAN PONDOK PESANTREN
SALAFIYAH
1.
Ornamentasi Islam
Ornamen berasal dari bahasa Inggris “ornament (verb)”, berarti menghias.
“Ornamentase” berarti pengindahan ornamen8. Ornamentasi sebagai komponen
produk seni yang ditambahkan, atau dikerjakan pada produk seni itu dengan
tujuan mengkreasikannya. Ia menunjuk pada motif dan tema yang digunakan pada
objek seni, gedung, atau permukaan tanpa menjadi esensial bagi struktur dan
kegunaan. Seluruh ungkapan ini dipakai untuk tujuan ornamental. Gaya
ornamentasi yang digunakan di dunia Muslim antara lain: kaligrafi, pola
geometris, gambar yang dimodifikasi dari alam (tumbuh-tumbuhan, hewan benda
hidup dan benda mati), dan motif arsitektur. Ornamental Islam memiliki empat
fungsi9 yaitu, pengingat tauhid, transfigurasi material, transfigurasi struktur, dan
keindahan10.
2.
Arsitektur
Arsitektur menurut terminologi adalah ilmu seni merancang, mendesain
konstruksi arsitektur. Seni ruang mencakup kreasi arsitektur yang menambahkan
ruang interior dan penutup pada dimensi horizontal dan vertikal, dan memberikan
persepsi terhadap kedalaman, volume dan massa.
8
MDJ. Al-Barry, Kamus (Kamus Ilmiah Kontemporer), (Jakarta: 2000), 231.
“Fungsi” berasal dari bahasa Latin “functio” berarti menjalankan, melaksanakan (Bagus
Lorens, 2005:270).
10
Ismail R. Al-Faruqi, Atlas Budaya (Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang),
(Bandung: Mizan, 2003), 429.
9
5
Adapun arsitektur yang dimaksud dalam penelitian pada pondok pesantren
ini adalah penambahan interior dan penutup pada dimensi horizontal dan vertikal,
dan memberikan persepsi terhadap kedalaman volume dan massa.
3.
Pondok Pesantren Salafiah
Untuk mengenalkan pondok pesantren salafiyah Biharu Bahri „Asaili
Fadlaailir Rahmah ini akan dijelaskan keterangan di bawah ini.
Mahmud Yunus berpendapat bahwa kata pondok berasal dari bahasa Arab
“funduq” berarti penginapan11. Pondok adalah asrama bagi santri yang merupakan
ciri khas bagi pesantren12. Pesantren salafiyah adalah pesantren yang
menyelenggarakan sistem pendidikan Islam non klasikal dengan metode
bandongan dan sorogan dalam mengkaji kitab klasik (kuning) yang ditulis bahasa
Arab.
Adapun Pondok ini bernama Pondok Pesantren Salafiyah Biharu Bahri
„Asaili Fadlaailir Rahmah yang dibangun oleh Romo KH. Ahmad Bahru
Mafadlaluddin Shalih Al-Mahbub Rahmat Alam pada tahun 1963. Arsitektur ini
berlantai sepuluh, dihiasi dengan ornamen-ornamen Islam nampak indah, terletak
di atas tanah seluas 4,5 Hektar, di Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten
Malang, Jawa Timur.
Pembahasan Masalah
Pembahasan masalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengenai
permasalahan-permasalahan yang diperoleh dari lapangan penelitian ini berupa
gambar-gambar ornamen Islam, antara lain: gambar simbul pondok, tembok
berceruk, mimbar, pilar pada ruang transit, lorong, aquarium, pohon yang ada
pada interior ruangan, guci, bintang segi delapan, jendela bentuk cuping, jendela
bentuk tiga dimensi dan buah anggur.
11
Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta: Karya Agung, 1990), 324.
Zamahzari Dhofir, 1994, Tradisi Pesantren (Studi tentang Pandangan Hidup Kyai),
(Jakarta: LP3ES, 1994), 44.
12
6
Ilustrasi 1, adalah sebuah gambar
simbul pondok yang berposisi pada
bagian
atas
sebelah
kanan
dari
pandangan depan pada arsitektur ini.
Arsitektur ini berukuran vertikal 2,5
meter, horizontal 4 meter.
Bagian daripada arsitektur ini berupa dua buah pilar pada samping kiri dan kanan
masing-masing berukuran tinggi 6 meter, berdiameter 10 cm. Bagian atas dihiasi
dengan kubah menyerupai stupa, ditambah hiasan lampu pada ujungnya. Balok
berukuran panjang 5 meter, berdiameter 10 cm. Di antara pilar-pilar dan balokbalok itu terdapat unit volume (space) yang terbagi menjadi tiga bagian. Space
bagian kiri dan kanan masing-masing berukuran vertikal 2,5 meter, horizontal 1,5
meter. Unit volume ini dibuat dengan bahan berasal dari bata merah diberi perekat
dengan lumpur terbuat dari semen, pasir dan ditata sedemikian rupa. Space itu
dilapisi dengan ornamen berupa kaligrafi model tsuluts berlafaz “Biharu Bahri
„Asaili Fadlāili Rahmat”. Tulisan ini berwarna abu-abu. Bagian bawahnya dilapisi
dengan ornamen berupa simbul pondok ini motif burung yang sedang terbang
diberi figura bentuk segilima, dilapisi cat warna biru.
Bagian tengan unit volume ini berukuran vertikal 2,5 meter, horizontal 2,5
meter. Unit volume (space) ini dilapisi dengan ornamen motif bintang
segidelapan. Bagian tengah ornamen bintang ini terdapat kaligrafi berlafaz
“Biharu Bahri „Asaili Fadlāili Rahmat” membentuk lingkaran berdiameter 100
cm, dilapisi cat berwarna biru keputih-putihan. Ornamen-ornamen tersebut di atas
dilapiskan
pada
bangun
dasar
pada
unit
volume
(space)
untuk
mendenaturalisasikannya menjadi abstrak. Ini menunjukkan bahwa Tuhan
berbeda dengan ciptaan-Nya (Tauhid). Warna biru adalah penyimbulan daripada
nasib, tertindas dan berduka cita; warna hitam adalah penyimbulan dari
kemarahan dan kedustaan; warna abu-abu adalah penyimbulan kehidupan di bumi
atau kehidupan di dunia.
7
Ilustrasi
2,
adalah sebuah gambar
tembok berceruk merupakan bagian dari
arsitektur pondok ini. Arsitektur ini
berupa ceruk dua dimensi yakni ruangan
berpetak-petak atau menyerupai gua.
Arsitektur bentuk ceruk ini mempunyai
beberapa bagian diantaranya: dimensi vertikal berukuran 205 cm dan horizontal
180 cm, kedalaman ceruk 20 cm, volume (ruang yang diisi oleh suatu benda)
berukuran panjang 144 cm dan lebar 95 cm. Bagian atas berbentuk cuping (tiga
lengkung). Bagian kiri daripada cuping bergaris lengkung 33 cm, garis lengkung
tengah 93 cm, dan garis lengkung kanan 33 cm. Di bawah garis lengkung terdapat
bulatan yang bertulisan Arab berbentuk tsuluts berlafaz “Biharu Bahri „Asaili
Fadlāili Rahmat”. Pada sudut kiri dan kanan bagian atas terdapat bulatan
bertulisan Arab model tsuluts berlafaz yang sama.
Arsitektur bentuk ceruk yang dilapisi dengan ornamen-ornamen: pelapisan
berupa hiasan bintang sebanyak 12 buah, kaligrafi Arab model tsuluts. Pelapisan
berupa cat berwarna kuning gading. Pada kalimat tersebut di atas terdapat kata
“ceruk” berarti lubang atau lekuk yang masuk ke dinding atau tembok. Seperti
halnya ceruk pada arsitektur masjid atau mushalla disebut mihrab, yakni ruang
kecil di dinding masjid (langgar atau mushalla) yang arahnya ke Makkah tempat
imam sembahyang. menjelaskan bahwa, mihrab itu banyak macamnya antara lain,
mihrab Nabi, mihrab Utsman, mihrab Tahajjud, mihrab Fatimah ra, dan mihrab
Hanafi13.
Pada masa Nabi, mihrab belum ada, orang yang pertama kali
membangunnya adalah Umar bin Abdul Azis pada masa perluasan Masjid Nabawi
di Madinah tahun 91 H, dan sejak itu dikenal dengan sebutan Mihrab Nabi.
Pada kalimat tersebut di atas terdapat kata “dua dimensi” yang berarti
norma atau ukuran atau nilai-nilai moral yang dianut masyarakat. Bahar Abu Al13
98-112.
Muhammad Ilyas Abdul Ghani, Sejarah Masjid Nabawi, (Madinah Munawarah, 2004),
8
Suyuţi menyebutkan sebuah hadits dalam kitabnya bahwa, “Dua perkara yang
dibenci oleh keturunan Adam AS adalah membenci maut, maut lebih baik
daripada fitnah baginya, dan membenci sedikitnya harta, sedikit harta dapat
mempersedikit terhadap hisab”14 (Abu Bakar Al-Suyuţi, tt:10-11).
Pada hadits lain juga diterangkan bahwa, Nabi bersabda yang artinya,
“Dua golongan yang doanya tidak ditolak adalah Muadzin (orang yang adzan),
dan orang yang diguyur air hujan”. Pada hadits lain pada sumber yang sama Nabi
bersabda, artinya, “Dua golongan yang doanya tidak ditolak adalah Muadzin
ketika mengumandangkan adzan dan ketika bahaya melekat pada suatu bagian
pada bagian yang lain”15 (Abu Bakar Al-Suyuţi, tt:143).
Ilustrasi 3, adalah sebuah arsitektur
mimbar berukuran panjang 200 cm,
lebar 120 cm, bagian depan terdapat
dua
buah
tiang
masing-masing
berketinggian 150 cm, tinggi sandaran
(bagian belakang) 130 cm dari tempat
duduk.
Bahan arsitektur ini dibuat dengan bahan berasal dari batu bata, bercor bendrat,
pasir, semen, kapur/gamping. Arsitektur ini dilapisi dengan lempenganlempengan dibuat dengan bahan dari pasir, semen, cat dinding warna kuning
emas, dan dilapisi melamin yang dapat menutupinya/denatu-ralisasi, artinya
memindahkan bangungan alamiahnya.
Bagian depan daripada arsitektur ini terdapat dua buah tiang, berketinggian
140 cm, tebal tiang bagian bawah 30 cm, separuh tiang bagian atas terdapat
sebuah lekukan yang panjangnya 54 cm nampak indah, pada ujung/bagian alas
daripada tiang itu membentuk stupa mahkota. Tiang bagian depan dan samping
kiri dan kanan dilapisi ornamen motif bunga.
14
Jalaludin Abdul al-Rahman bin Abu Bakar Al-Suyuţi, Al-Jami Al-Shaghir, (Bandung,
Syirkah Al-Ma‟arif, tt), 10-11.
15
Jalaludin Abdul al-Rahman bin Abu Bakar Al-Suyuţi, …., 143.
9
Mimbar ini bertingkat tiga, tingkat paling bawah merupakan tingkat
pertama, tinggi 10 cm dari lantai, tinggi tingkat dua 10 cm dari tingkat pertama,
tingkat tiga 10 cm dari tingkat dua, bagian tempat duduk daripadanya setinggi 50
cm dari tingkat tiga, panjang 140 cm, lebar, 60 cm, diberi alas berupa spon atau
busa. Bagian sandaran membentuk gunungan dihiasi dengan beberapa ornamen
motif bunga, daun dan tangkainya, kaligrafi bentuk tsuluts dan ornamen bintang.
Arsitek arsitektur tersebut tidak menaruh pertaliannya pada material dasar
yang digarapnya. Dia justru menekankan pola “transfigurasi” yang menjadi
pelapisannya. Pelapisan dinding ornamental berupa lapisan semen, lempengan
(bahan dari semen dan pasir) terdapat kaligrafi bentuk timbul, dan dilapisi cat
dinding warna kuning emas, serta dilapisi melamin, sehingga nampak indah.
Pelapisan itu adalah merupakan pola transfigurasi material dalam seni Islam, yaitu
“abstrak” dan “denaturalisasi dari dunia yang diciptakan”.
Warna kuning merupakan simbul kebesaran, dan emas merupakan simbul
penghargaan. Sehingga warna kuning emas pada mimbar itu merupakan
penyimbulan dari kebesaran dan penghargaan terhadap seorang khatib.
Mimbar bertingkat tiga menyimbulkan tentang hierarki dan suksesi
kekhalifahan. Abdul Ghani berpendapat bahwa mimbar Rasul adalah tiga tingkat,
terbuat dari kayu, yang diambil dari sebuah hutan di bagian utara Madinah pada
tahun 8 H. Rasul duduk paling atas kakinya di tingkat dua. Saat Abu Bakar
menjadi khalifah, beliau duduk di tingkat kedua, kakinya di tingkat paling bawah.
Umar duduk di tingkat paling bawah dan kakinya menyentuh lantai. Utsman
menirukan cara duduk Umar bin Khatab selama 6 tahun, kemudian naik ke atas
tempat duduk pada posisi duduk Nabi saw16.
Keterangan tersebut di atas mengandung makna bahwa, mimbar tingkat
tiga yang dibuat Rasul menavigasikan makna tentang hierarki dan suksesi sesudah
wafat Rasul, diteruskan oleh Abu Bahar Al-Shiddiq ra dan Utsman bin Affan ra.
16
H), 113
Muhammad Ilyas Abdul Ghani, Sejarah Masjid Nabawi, (Madinah Munawarah, 1429
10
Ilustrasi 4, adalah Sebuah arsitektur
ruang transit, terdapat enam buah tiang
atau pilar. Masing-masing mempunyai
ukuran antara lain: tinggi 300 cm,
bentuk
tiang
segiempat
samasisi
berdiameter 38 cm. Setiap tiang
dilapisi dengan ornamen berupa lempengan-lempengan dengan bahan dasar dari
semen, pasir, kapur (gamping), pada bagian depan lempengan-lempengan (unit
volume) ini bertulisan kaligrafi Arab berwarna biru dengan model “nasta’liq”
berlafaz al-Taufiq, al-Hidayah, al-Ridlo, al-Inayah dan al-Manjā. Lapisan
tersebut menyembunyikan arsitektur alamiahnya atau denaturalisasi.
Keindahan bentuk nasta’liq yakni bentuk huruf miring ke kanan, panjang
huruf diluar kebiasaan dalam alur horizontal, lengkungan huruf fa’, qaf pada
permulaan amat lembut dan tipis, dan pada gerak berikutnya bagaikan gumpalan
bola salju, sehingga nampak indah. Model nasta’liq adalah identik dengan ta’liq,
untuk memperindah generalisasi keduanya yang paling tepat menggunakan istilah
model Faris atau Farisi, secara langsung memper-lihatkan corak primordialisme
(faham paling mendasar) tulisan tersebut.
Baba al-Kamil berpendapat bahwa nasta’liq berasal dari kata nasikh dan
ta’liq (mengembangkan gaya ta’liq dengan memasukkan gaya nasikh padanya),
yang menjadi pedoman/dasar lukisan masyarakat Iran, yang dikenal sekarang khat
Farisi17. Keelokan (keindahan) gaya ini adalah gaya putaran yang elastis,
ditambah garis vertikal yang tidak terbelenggu bekas wilayah penulisan/torehan
(takik yang tak dalam, atau belekan), memanjang yang penuh nuansa, tidak
memerlukan harkat sebagai lipstick dan bedak seperti halnya khat (tsuluts).
Karena indahnya, maka disebut Farisi Shakarasi atau Farisi manis bagaikan gula.
Model ini diawali oleh Sayid Umar Ali Al-Hawari tahun 1518 M. Lafaz-lafaz
tersebut mengandung makna yaitu, orang-orang yang transit atau singgah pada
17
Al-Kamil Baba , 1992, Ruh al-Khat al-Arabi, (Alih Bahasa oleh D. Siradjuddin AR.),
(Jakarta: Darul Ulum Press, 1992), 124-126.
11
tempat itu dapat merasakan kedamaian, mendapat pentunjuk, kerelaan,
pemeliharaan, dan dicintai oleh Allah. Kaligrafi Islam mempunyai pesan spiritual.
Sayyed Hoessein Nasr menyadur dari fatwa Ali bin Abi Thalib bahwa keindahan
tulisan adalah kefasihan tangan dan keluwesan pikiran18.
Ilustrasi 5, adalah sebuah arsitektur
lorong yang disebut lorong utama,
karena lorong ini merupakan jalan
utama
masuk
ruangan
pondok
pesantren ini. Posisi lorong ini berada
pada lantai dasar, membujur dari arah
selatan ke utara. Ukuran panjang 54,3 meter, lebar 4 meter, tinggi 3 meter. Lorong
ini mempunyai fungsi disamping sebagai jalan utama juga berfungsi sebagai jalan
penghubung dari lantai satu ke lantai dua dan tiga dengan tanjakan
berketinggian/kemiringan 22 derajat. Arsitektur ini terdiri dari beberapa bagian,
bagian samping kiri dan kanan merupakan dinding penutup (penyekat), bahan
dibuat dari bata merah direkatkan dengan luluh/semen, pasir, kapur, ditata
sedemikian rupa.
Bagian pilar dibuat dengan bahan dari besi cor, bendrat, semen, pasir, dan
kapur. Berfungsi untuk menyangga arsitektur atasnya. Bagian atap terdiri dari
balok dan dak, berfungsi sebagai penyangga lantai kedua. Atap ini dibuat dengan
bahan dari besi cor, bendrat, semen, dan pasir.
Pada bagian sisi kiri dan kanan terdapat dinding dilapisi berupa
lempengan-lempengan dengan bahan dibuat dari pasir dan semen. Lempenganlempengan itu terdapat unit volume atau ruangan yang dihiasi dengan tulisan Arab
model nasikh berlafaz “Biharu Bahri „Asaili Fadlāili Rahmat”, dan dilapisi dengan
cat berwarna kuning emas, ditambahkan lapisan berupa melamin, sehingga
nampak mengkilat dan indah.
18
Sayyed Hossein Nasr, Spiritual dan Seni Islam, (Bandung: Mizan, 1993), 27.
12
Lapisan-lapisan itu menjalankan fungsinya yaitu menutupi arsitektur dasar
atau alamiahnya, karena untuk mendenaturalisasikannya, artinya peniadaan
terhadap arsitektur alamiahnya. Ini mengandung makna bahwa Tuhan itu berbeda
dengan alam sebagai makhluk atau ciptaan-Nya.
Pada bagian samping kiri dan kanan diberi ornamen motif pohon jambe,
bahan dibuat dari onix (sejenis marmer yang dapat ditembus oleh sinar). Bahan
dinding motif pohon jambe ini dibuat dari potongan besi berukuran 6 mm dan
selang plastik di dalam terdapat beberapa dop warna merah. Apabila dihubungkan
dengan aliran listrik, dop-dop itu dapat meman-carkan sinar, sehingga menambah
keindahan pandangan pada ruangan ini.
Ilustrasi 6, adalah sebuah arsitektur
aquarium taman oval, berukuran 15
meter, lebar 3 meter, terdapat sebuah
balok berukuran panjang 15 meter,
tinggi 30 cm, balok ini dibuat dengan
bahan dari besi, semen, berfungsi
sebagai penyangga lantai atasnya, ditransfigurasi material kualitas renda dengan
bahan dari semen, pasir, gamping, membentuk “stalaktit” berwarna putih yang
nampak indah. Kualitas renda itu dibuat untuk menafikkan atau mengurangi
kualitas arsitektur naturalnya, membuatnya lebih abstrak. Stalaktit menurut
asalnya adalah air yang mengandung kapur bercucuran dari atas ke dalam gua.
Lama-kelamaan menjadi beku dan bertingkat-tingkat seperti batu karang. Model
ini ditiru orang Islam untuk membangun.
Stalaktit ini melambangkan turunnya cahaya ke dunia, dalam bentuk
material. Semua itu seperti cahaya dari matahari samawi yang menyinari
kegelapan dunia19.
“Renda” adalah sebagai kerawang (biku-biku) yang bisa dipasang di tepi
baju atau sarung bantal. Kata “kerawang” (mengerawang) berarti timbul angan-
19
Sayyed Hossein Nasr, Spiritual dan Seni Islam, (Bandung: Mizan, 1993), 67.
13
angan yang dipikirnya. Kata “angan-angan” menurut bahasa Arab berarti
“muhāsabah”20. Senada dengan pendapat Al-Ghazali bahwa muhāsabah adalah
suatu jalan menuju keselamatan21. Haris Al-Muhāsibi22 berpendapat bahwa
manhaj di dalam tasawuf adalah maqom muhāsabah yaitu asal taat adalah
wirangi, asal wirangi adalah taqwa, asal taqwa adalah muhāsabah al-nafsi, asal
muhāsabah al-nafsi adalah khauf dan raja, asal khauf dan raja adalah mengetahui
wa’id dan wa’ad, mengetahui wa‟id dan wa‟ad adalah besar pahalanya, asal
semuanya itu adalah berpikir dan mengambil pengajaran23.
Ilustrasi 7, adalah sebuah ornamen
pohon pada ruangan yang berukuran
panjang 8 meter, lebar 8 meter, tinggi
3 meter, di dalam arsitektur ini
terdapat interior dan penutup. Pada
dimensi horizontal berukuran 8 meter
dan vertikal berukuran 3 meter, yang memberikan persepsi kedalaman, volume,
dan massa. pilar atau tiang penyangga lantai atasnya yaitu lantai ketiga. Pilar itu
dibuat bahan dari besi cor, bendrat, semen, kapur (gamping). Tiang itu
mempunyai ukuran: tinggi 300 cm, garis lingkar bawah 180 cm, garis lingkar
tengah 160 cm, garis lingkar atas 140 cm, direlief dengan ornamen-ornamen
bahan dari semen pasir, kapur, dicat berwarna coklat, kekuning-kuningan dan
kehijauan menyerupai kulit sebuah pohon jati. Pada arsitektur tiang itu terdapat
empat cabang pohon. Tiap-tiap cabang pohon itu ditempeli daun-daunan berwarna
hijau, bahan dibuat dari plastik. Tiap ujung pohon itu dipotong dan ditempeli
daun-daun dari plastik, sehingga nampak pengurangan atau peniadaan bentuk
natural pohon itu (dengan teknik transfigurasi struktural). Pada pohon itu diberi
20
Poerwadarminto, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1996), 816.
21
A.J. Arberry, Tasawuf Versi Syariat, Penerjemah: Bambang Irawan, (Jakarta, Al
Hikmah, 2000), 114.
22
Al-Haris bin Asad Al-Muhāsibi yang dilahirkan dari pertengahan abad kedua Hijriyah
wafat tahun 243 H (Al-Ghazali, tt:35).
23
M. Jalal Syarraf, Wirāsātu Fi Al Tasawufi Al Islami, (Beirut: Daru Al Nahdlati A
Arabiyati, 1984), 153.
14
sensor bayangan yang dibangkitkan dengan daya listrik. Apabila terkena
bayangan manusia, maka sensor bayangan itu berbunyi menyerupai bunyi
daripada burung perkutut.
Arsitektur Islam berupa tiang ornamen tiang ini menggambarkan tentang
penegakan pengamalan ibadah shalat, karena shalat merupakan tiang agama,
barangsiapa yang menegakkan shalat, maka ia menegakkan agama, barangsiapa
yang merobohkan shalat, maka ia merobohkan agama.
Produk seni ini dirancang sebagai penyimbulan yang menjauhkan
perhatian dari karakter asli, yaitu mencintai unsur-unsur keduniaan, menuju
tatanan ungkapan yang lebih tinggi. Disbutkan dalam sebuah hadits, artinya,
“Barangsiapa niatnya pada akhirat, maka Allah mengumpulkan semua urusan
yang cerai berai (syamlah), dan menjadikannya kaya hatinya, dan barangsiapa
niatnya pada dunia, maka Allah akan memisahkan semua urusan dan
menjadikannya faqir”24.
Ilustrasi 8, adalah sebuah guci, tinggi
5,5 m, diameter atas 1,7 m, diameter
tengah 2,8 m, bawah 1,7 m; pada
bagian atas (diameter 1,7 m). Guci itu
diberi tutup dengan diameter 170 cm,
membentuk oval, diberi benjolan pada
bagian atas. Guci itu diberi lapisan berupa ornamen motif daun-daunan, dahannya
selalu bersambungan. Dilapisi cat tembok berwarna biru. Guci yang
ditransfigurasi pancuran sebanyak 15 buah, dan dipasang sensor bayangan,
dibangkitkan dengan jasa strum listrik; kalau sensor tersebut menangkap
bayangan seseorang, pancuran tersebut mengeluarkan air secara otomatis dapat
mengurangi bentuk natural daripada bangunan itu (transfigurasi struktural).
Transfigurasi struktural ini memiliki arti yang mendalam bahwa Tuhan itu
berbeda dengan alam sebagai ciptaan-Nya (Tauhid).
24
Umar Nawawi, bin Muhammad Al-Jawi, Nashaihul Ibad, (Semarang, Karya Thana
Putra, tt), 8.
15
Bilangan lima belas pancuran pada arsitektur guci tempat air ini
mengandung makna yang dalam, yaitu mengisyaratkan pada gerakan-gerakan
wudlu yang memiliki lima belas gerakan wudlu, antara lain:
Pertama adalah membasuh “kedua telapak tangan” yaitu tangan kiri dan
kanan. Kedua tangan tersebut adalah organ yang paling pokok digunakan untuk
bekerja. Keduanya digunakan untuk menyentuh, mengambil, dan membersihkan,
sehingga ada peluang kedua tangan berpeluang untuk terkena kotoran. “Hadits
Nabi-Nabi”, artinya, “Kemudian ia (Abdullah bin Zaid) berwudlu sesuai dengan
wudlu Rasul. Ia menuangkan air dari wadahnya ke atas tangannya (epek-epek
tangan), kemudian membasuhnya tiga kali.”
Kedua adalah berkumur karena mulut adalah sangat penting untuk
dibersihkan, ditempat inilah segala makanan dikunyah. Mulut juga tempat
bersemayam bau busuk yang berasal dari lambung dan sisa-sisa makan yang
tertinggal di sela-sela gigi. Sisa-sisa makanan tersebut akan merangsang
pertumbuhan kuman-kuman yang merusak kesehatan, dan menimbulkan bau tidak
sedap. Disebutkan dalam sebuah hadits artinya, “kemudian Rasul membasuh
kedua tangannya tiga kali kemudian berkumur”25.
Ketiga adalah menghirup air pada hidung dan mengeluarkannya. Karena
menghirup air di lubang hidung (istinsyaq) berfungsi untuk menghilangkan
bakteri dan kotoran yang ada pada selaput-selaput dari lendir hidung. Dengan
melakukan secara rutin pernafasan akan menjadi lancar. Rasul bersabda, artinya,
“jika kalian wudlu, masukkan air ke hidung, kemudian keluarkan”26.
Keempat adalah membasuh wajah. Kulit wajah merupakan wilayah kulit
yang sensitif membuatnya senantiasa bersih sangat penting, karena wajah selalu
terbuka, tidak pernah tertutup pakaian, debu-debu dan kotoran yang melekat dari
dahi dapat dibersihkan dengan membersihkan air di wajah. Rasul bersabda
artinya, “dan Rasul membasuh wajahnya tiga kali”27.
25
Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Libanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1416 H), 70.
Imam Bukhari, Al Bukhari, Indonesia, (Indonesia: Syirkah al Aziz, Asia, tt), 119.
27
Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Libanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1416 H), 66.
26
16
Kelima adalah gerakan membersihkan kedua tangan mulai ujung kuku
sampai siku-siku. Karena organ ini banyak berpeluang menempelnya kotoran dan
kuman, dan kedua tangan paling sering bersentuhan dengan benda-benda di
sekitarnya, termasuk makanan yang akan disantap, maka keduanya perlu
dibersihkan.
Keenam adalah membersihkan sela-sela jari tangan. Hal ini dilakukan
karena dengannya dapat menghilangkan kotoran dan kuman yang ada pada selasela jari itu, karena merupakan tempat yang cenderung lembab air. Hadits Nabi,
artinya, “sempurnakan wudlumu dan sela-selailah antara jari-jari” (HR.
Tirmidzi).
Ketujuh adalah mengusap kepala. Mengusap kepala dengan air baik
keseluruhan maupun sebagian dapat menurunkan ketegangan-ketegangan pada
kepala dan menurunkan suhu badan. Bila dilakukan dengan sempurna dengan
membasuh seluruh kepala guna menghindari penyakit stress, tekanan darah tinggi,
melancarkan darah ke otak, fungsi sebagai tonik (cairan untuk menguatkan rambut
dan menyuburkan) terhadap pusat saraf. Firman Allah, artinya, “usap kepalakepalamu.”
Kedelapan adalah mengusap kedua telinga. Ketika manusia dalam keadaan
tegang atau marah, biasanya kedua telinga menjadi panas dan merah. Hal ini dapat
diredam dengan mengusapkan air padanya, dan lebih baik dengan memijatnya
pada daerah akupungtur (sistem terapi dengan tusuk jarum pada titik-titik nadi).
Hadits Nabi, artinya, “…. Nabi mengusap kedua telinganya, bagian dalam
dengan menggunakan jari telunjuk.”28.
Kesembilan adalah membasuh kedua kaki. Mengalirkan air pada kaki
dapat menimbulkan rasa dingin, nyaman dari ketegangan di seluruh tubuh sebab
pada kaki terdapat syaraf-syaraf yang menghubungkan dengan organ-organ di
28
Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Libanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1416 H), 66.
17
seluruh tubuh. Nabi bersabda, artinya, “… kemudian Rasul membasuh kedua
kakinya.”29.
Kesepuluh adalah menyela-nyelai jari kaki. Membasuh kaki serta
menggosok-gorokkan sela-sela jari kaki merupakan cara yang baik untuk
membersihkan kotoran, kuman yang berada di sela-sela jari kaki itu, sehingga
menjadi bersih dan terhindar dari kotoran dan kuman. Hadits Nabi artinya,
“Musayyad bin Sijadah melihat Rasul berwudlu, kemudian menyela-nyelai jarijarinya dengan menggunakan jari kelingking”30.
Kesebelas adalah niat, pengamalan niat berguna untuk membedakan antara amalamal yang bernilai ibadah dengan kebiasaan. Contoh, membasuh muka kalau
tidak disertai niat berwudlu berarti pengamalan yang tidak mengandung nilai
ibadah dan tidak ada nilai pahala.
Ilustrasi 9), adalah sebuah bangunan
ruang transit yang pada dinding
terdapat jendela yang dihiasi dengan
ornamen motif bintang segi delapan,
yang
dibuat
dengan
bahan
dari
pecahan kaca warna yang beragam.
Kaca warna kuning membentuk empat segi panjang dengan ukuran masingmasing sisi 50 cm. Kaca warna ungu membentuk empat persegi panjang dengan
ukuran masing-masing sisi 40 cm. kaca warna biru membentuk empat persegi
panjang dengan ukuran masing-masing sisi berukuran 30 cm. Bagian tengah
berbentuk lingkaran dengan panjang lingkaran 22 cm, di dalamnya terdapat
kaligrafi bentuk tsuluts. Tiap sudut dari kaca warna kuning membentuk segitiga
sama sisi, tiap-tiap sisi berukuran 15 cm. tiap sudut dari kaca warna ungu
membentuk segi tiga sama sisi, tiap sasi berukuran 11 cm. Tiap sudut warna hijau
biru membentuk segi tiga sama sisi tiap sisi berukuran 78 cm.
29
30
Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Libanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1416 H), 67.
Ahid Yasin, 2009, Kreatif Syariah, (Surabaya: Kalista, 2009), 146.
18
Gambar bintang ini adalah menyimbulkan tentang ketuhanan, nasib untung
atau tanda jasa yang berupa medali emas, pangkat pada ketentaraan, kepolisian
berupa gambar bitang dan emas, dan simbul pemain terkemuka. Bahan ini dinilai
kurang berharga, hanya cara pengerjaannya yang bagus, dengan kombinasi warna
yang menarik sehingga menjadikan indah. Gambar bentuk bintang segi delapan
ini adalah struktur modular, artinya diciptakan dari banyak bagian (modul)
digabungkan untuk melukiskan sesuatu yang lebih besar. Masing-masing modul
merupakan entitas (sesuatu yang terlepas dari yang ada) memberikan
kesempurnaan unit expresive yang indah, merupakan ciri seni Islam tak terbatas.
Gambar segi delapan adalah melambangkan tentang mata angin (asal
angin datang) atau arah seperti utara, timur, selatan, barat dan sebagainya.
Hubungan ka‟bah dengan beberapa arah meliputi: utara, rukun Iraqi, timur, rukun
hajar aswad, selatan, rukun Yamani, dan barat, rukun Syam31.
Pemanfaatan bahan-bahan dari barang yang dinilai kurang berharga ini
mengandung makna asketisme dalam Islam yaitu lambang “kezuhudan” dan
“kefakiran”. Zuhud adalah meninggalkan dunia, karena didasarkan perilaku
tentang kebenaran jika didukung dengan nilai-nilai akhirat32. Menurut Sayidina
Ali bahwa zuhud adalah hendaknya kamu tidak terpengaruh dan iri hati terhadap
orang lain yang serakah terhadap keduniaan, baik dari orang mukmin maupun
orang kafir33.
Sebagian dalam sebuah hadits, artinya, “Sederhana dalam berpakaian itu
termasuk sebagian daripada iman”34. Dalam sebuah hadits dikatakan, artinya,
Rasul bersabda, “Zuhud adalah mencintai apa (ciptaan) yang dicintai Allah, dan
membenci ciptaan atau apa yang dibenci oleh Allah, dan keluar dari halalnya
31
Muhammad Abdul Hamid Asy-Syarqawi dan Muhammad Raja‟i Ath-Thahtawi,
Ka’bah Rahasia Kiblat Dunia, (Jakarta: Mizan Publika, 2009), 49.
32
Imam Ahmad bin Hanbal, Zuhud, Terjemahan, (Jakarta: Amul Falah, 2000), XVI.
33
Abi Bakar Ishak bin Muhammad Al-Kalabadzi, Bahrul Ribanan, (Darul Kutub Ilmiyah,
tt), 109.
34
Imam Ahmad bin Hanbal, Zuhud, Terjemahan, (Jakarta: Amul Falah, 2000), 5.
19
dunia seperti haramnya dunia”35. Ini juga melambangkan kefakiran. Tuhan
memuliakan kefakiran dan menjadikannya derajat-derajat khusus (istimewa) pada
orang fakir yang telah melepaskan semua urusan lahir dan batin, dan benar-benar
berpulang kepada “Sang Penyebab” yaitu Allah. Kefakiran mempunyai figur
(rasm) dan hakikat (haqiqat) yaitu kemiskinan36.
Di sini dapat dibedakan antara fakir dan miskin. Fakir adalah ketiadaan
sarana hidup, sedang miskin adalah terbebaskan dari keduniaan (sarana hidup)
menggantungkan kepada Allah semata.
Ilustrasi 10, adalah sebuah jendela
pada lantai dasar dengan bentuk tiga
lengkung (cuping atau daun telinga)
dengan ukuran tinggi 4 meter, lebar
130 cm. Dua cuping kiri dan kanan
masing-masing
berukuran
garis
lengkung 40 cm, cuping bagian tengah bergaris lengkung 50 cm, dilapisi warna
putih kekuning-kuningan seperti gading yang nampak indah dipandang mata.
Beberapa jendela itu merupakan kombinasi aditif (keseluruhan adalah dengan
bagian-bagian), pengulangan motif, model, struktur, dan kombinasi berurutan,
mereka nampak berkelanjutan adinfinition (melekat tak terbatas) abstrak diperkuat
dengan individualisme bagian ini. Abstrak ini bertujuan supaya tidak menirukan
modul lain. Ini merupakan ciri seni Islam yaitu tak terbatas. Ornamen ini seperti
ornamen yang dipakai di Wilayah I (Maghrib, Afrika Utara dan Spanyol). Kata
“cuping” berarti daun telinga. Hal ini menyimbulkan tentang cara untuk
mengetahui Tuhan, yaitu melalui pendengaran atau telinga.
Fahruddin Al-Razzi mengambil pengajaran firqah tertentu pada madzhab
tasawuf pada asalnya dari perbedaan Islam. Ahlusunnah memandang bahwa,
35
Ash-Shon‟ani, Muhammad bin Ismail Al Kahlani, Subulus Salam, (Bandung, Dahlan,
36
Al-Hujwiri, Kasyfu Al-Mahjub, (terjemahan), (Bandung: Mizan, 1997), 31.
tt), 41
20
thoriqoh (cara) untuk mengetahui Allah adalah dengan jalan “al-sam’u”37. Aba
Husain Muhammad bin Ahmad Al-Farisi berpendapat bahwa kata “al-sam’u”
artinya mendengar dengan keadaan, tidak dengan mengetahui saja. 38. Kata “alsam’u” menurut kaum sufi menganggap bahwa “mendengar” lebih utama
daripada melihat dalam wilayah taklif (kewajiban agama), dengan alasan karena
untuk memperoleh ilmu pengetahuan ada lima cara, yaitu: mendengar, melihat,
mencacap, mencium, dan meraba. Menurut Ahli Sufi pangkat orang yang
mendengar yaitu orang yang taubat, memutuskan diri dari keduniaan, dan orang
fakir kerohanian. Warna putih kekuning-kuningan seperti gading merupakan
penyimbulan daripada orang yang telah meninggal dunia sebagai penguasa, tetapi
masih diseganinya39.
Ilustrasi 11, adalah sebuah gambar
arsitektur pada lantai 4, pandangan
dari arah utara, terdapat tiga jendela
yang
membentuk
tiga
dimensi.
Masing-masing jendela mempunyai
ukuran: tinggi 200 cm, lebar 90 cm.
Pada bagian atas daripada jendela itu membentuk model cuping atau tiga
lengkung. Bagian kiri dan kanan masing-masing bergaris lengkung 40 cm,
sedangkan garis lengkung bagian tengah 50 cm. Jendela itu dibuat dengan bahan
berasal dari beton (besi, bendrat, semen, kapur) nampak indah dipandang mata. Ini
menunjukkan seni Islam yang terbatas karena terdapat pengulangan, modul,
struktur, kombinasi berurutan yang bersifat aditif. Tiga dimensi ini menyimbulkan suatu paradigma ilmu. Pada keterangan lain dijelaskan bahwa ilmu riel
bertumpu pada tiga landasan, yaitu: (1) dimensi ontologis (apa sebenarnya hakikat
dari sesuatu yang harus diketahui/knowable); (2) dimensi epistemologi (apakah
37
M. Jalal Syarraf, Wirāsātu Fi Al Tasawufi Al Islami, (Beirut: Daru Al Nahdlati A
Arabiyati, 1404), 29.
38
Abi Bakar Ishak bin Muhammad Al-Kalabadzi, Bahrul Ribanan, (Darul Kutub Ilmiyah,
1413), 103.
39
Al-Hujwiri, Kasyfu Al-Mahjub, (terjemahan), (Bandung: Mizan, 1997), 344-360.
21
sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu/inquirer) dan objek yang
ditemukan; (3) dimensi aksiologi (peran nilai dalam suatu kegiatan penelitian)40.
Ilustrasi 12, adalah sebuah arsitektur
tembok
berornamen
motif
flora
berupa pohon anggur, terdiri dari:
pohon, daun dan buah. Ornamen itu
dibuat dengan bahan dari semen,
pasir,
dibentuk
sedemikian
rupa,
dilapisi dengan cat cair berwarna coklat, hijau dan merah. Pohon anggur ini
berbentuk silinder dengan garis lingkar 20 cm, berwarna coklat. Daun berwarna
hijau berjumlah 12 helai, tiap-tiap helai membentuk telapak tangan manusia
(berjari lima). Buah anggur berwarna merah, tiap pohon terdapat dua sampai
empat untai, tiap untai berisi 50 sampai 56 biji. Ornamen-ornamen tersebut
terdapat pada dinding arsitektur pondok ini sehingga menjadikan indah dan tak
terbatas karena pengulangan motif. Hal ini senada dengan ornamen yang dipakai
di Wilayah V (Iran dan Asia Tenggara) yaitu gambar modis (mengikuti bentuk)
dari alam termasuk buah anggur.
Bihzar (seorang Persia terbaik wafat tahun 941 H) berpendapat bahwa
anggur sering ditempatkan sebagai sesuatu yang tidak dipresentasikan anggur itu
sendiri, tetapi memiliki makna spiritual, yaitu pandangan mabuk/teler akibat
alkohol. Akan tetapi, para penguasa tidak berkeberatan memesan lukisan anggur
pada cairan-cairan mereka. Ini melukiskan dalam “fana” atau ekstasi karena dzikir
kepada Tuhan telah mencabut semua rasa mereka, sama halnya orang yang mabuk
karena alkohol41.
Kesimpulan
Pengindahan arsitektur ini melalui fungsi transfigurasi material dengan
cara melapisi bangunan dasar berupa ornamen yang beragam motif, kombinasi
40
Liek Wilardjo, 2007, Metodologi Penelitian, (Semarang: Hand Out, Kuliah S3, IAIN,
2007), 17.
41
Oliver Leaman, 2005, Estetika Islam (Menafsirkan Seni dan Keindahan), (Bandung:
Mizan, 2005), 50.
22
warna yang simetris sehingga dinilai indah, melalui fungsi transfigurasi struktural
dengan cara merubah bangunan dasar menjadi bentuk yang lebih baik yang dinilai
indah.
Keindahan ornamen-ornamen Islam pada arsitektur pondok pesantren ini
dapat dipahami melalui nilai-nilainya, artinya menghargai terhadap ornamenornamen secara signifikan. Seperti model kaligrafi motif tsuluts dinilai indah
karena kelenturan hurufnya. Motif nasta’liq dinilai indah karena lengkungan,
kehalusan huruf menyerupai gumpalan bola salju, dan torehan atau belekannya,
dan elastis kemiringan hurufnya.
Model arsitektur dinilai indah karena keberagaman bentuknya, seperti
motif tumbuh-tumbuhan dinilai indah karena bentuk batang, daun dan buahnya
serta kombinasi warna yang simetris.
Keindahan ornamen-ornamen Islam dapat dinilai dari norma-norma agama
yang membawa kesalihan yaitu Tauhid.
23
DAFTAR PUSTAKA
A.J. Arberry, 2000, Tasawuf Versi Syariat, Penerjemah: Bambang Irawan,
Jakarta, Al Hikmah.
Abdullah, Taufik, dkk, (2003), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jakarta, PT.
Ihtiar Baru Van Hoeve.
Al-Barry, MDJ., 2000, Kamus, Kamus Ilmiah Kontemporer, Jakarta.
Al-Faruqi, Ismail R., dan Lamya Lois, 2003, Atlas Budaya, Menjelajah Khazanah
Peradaban Gemilang, Bandung, Mizan.
Al-Hujwiri, 1997, Kasyfu Al-Mahjub, terjemahan, Bandung, Mizan.
Al-Kalabadzi, Abi Bakar Ishak bin Muhammad, (tt), Bahrul Ribanan, Darul
Kutub Ilmiyah.
_______, 1413 H, Al-Ta’rif, Limadzahi Ahli Tasawuf, Beirut, Lebanon, Darul
Kutub Ilmiah.
Al-Suyuţi, Jalaludin Abdul al-Rahman bin Abu Bakar, (tt), Al-Jami Al-Shaghir,
Bandung, Syirkah Al-Ma‟arif.
Ash-Shon‟ani, Muhammad bin Ismail Al Kahlani, (tt), Subulus Salam, Bandung,
Dahlan.
Baba, Al-Kamil, 1992, Ruh al-Khat al-Arabi, (Alih Bahasa oleh D. Siradjuddin
AR.), Jakarta, Darul ulum Press.
Bagus, Loren, 2002, Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Gramedia.
Bin Jabbar, Abdul M., 1988, Seni di Dalam Peradaban Islam, Bandung, Pustaka.
Bungin, Burhan M, 2009, Penelitian Kualitatif, Jakarta, PT. Fajar Interpratama
Offset.
Daud, Abu, (tt), Sunan Abu Daud, 1996 H, Libanon, Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Dhofir, Zamahzari, 1994, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai, Jakarta, LP3ES.
Hamidi, 2008, Metode Penelitian Kualitatif, Malang, UMM Press.
Hanbal, Imam Ahmad bin, 2000 M, Zuhud, Terjemahan, Jakarta, Amul Falah.
24
Hoesen, Amin Umar, (tt), Kultur Islam, Sejarah Perkembangan Kebudayaan
Islam dan Pengaruhnya dalam Dunia Internasional, Jakarta, Bulan
Bintang.
Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Prima Pena Press, 2001.
Leaman, Olever, 2005, Estetika Islam, Menafsirkan Seni dan Keindahan,
Bandung, Mizan.
Moleong, J. Lexy, 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja
Rosdakarya.
Muslih, Muhammad, 2006, Filsafat ilmu, Yogyakarta, Belukar.
Muslim, Imam, (tt), Shahih Muslim Juz Awal, Darul Al-Hayat Al-Kutubi AlMabighah.
Nasr, Sayyed Hossein, 1993, Spiritual dan Seni Islam, Bandung, Mizan.
Nurbaksi, Javad, 2000, Psikologi Sufi, (terjemahan), Yogyakarta, Fajar Pustaka
Baru.
Parta, Seriyoga, dan Wayan Sudana, (tt), Mengenal Ornamen, Makalah
Universitas Negeri Gorontalo.
Poerwadarminto, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.
Pulungan, Suyuţi J, 2002, Universalitas Islam, Jakarta, Moyo Sogoro Agung.
Qayyubi, Al-Salamah bin Syihabu Al-Din Ahmad, (tt), Al-Nawaidim, Jiddah, Lil
Ihabāah wa Al-Nasyrah, wa Al-Nawa‟ 21.
Qordhowi, Yusuf, 1998, Islam Bicara Seni, Terjemahan Wahid Ahmad, Solo,
Intermedia.
_______, 2000, Islam dan Seni, Bandung, Pustaka Hidayah.
Sahabuddin, 2002, Nur Muhammad, Pintu Menuju Allah, Jakarta, Logos.
Sugiyono, 2009, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung, CV. Alfa Bela.
Sumardjo, Yakob, 2000, Filsafat Seni, Bandung, Penerbit: ITB.
Wilardjo, Liek, 2007, Metodologi Penelitian, Hand Out, Kuliah S3, IAIN
Semarang.
Yasin, Ahid dkk, 2009, Kreatif Syariah, Surabaya, Kalista.
Yatim, Badrul, 2000, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Grafindo Persada.
Yunus, Mahmud, 1990, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta, Karya Agung.
25
Zahri, Mustafa, 1995, Kunci Memahami Tasawuf, Surabaya.
Download