Tanggung Jawab Hukum PT (Persero) Kereta Api Indonesia Oleh K Martono Tabrakan kereta api (KA) terjadi lagi di Brebes pada 25 Desember antara KA Empu Jaya Yogyakarta dan Gaya Baru Malam dengan korban tidak kurang dari 30 orang tewas dan 48 lukaluka. Peristiwa yang mengingatkan tabrakan sebelumnya, di Cirebon pada 2 September 2001, dengan korban 39 orang tewas dan 62 orang luka berat dan ringan. Penumpang kereta api yang menjadi korban, secara yuridis harus memperoleh perlindungan hukum sebagai salah satu pihak dalam perjanjian transportasi kereta api. Kecelakaan KA telah berulang kali terjadi, seperti kasus tabrakan di Bintaro pada 1987, tabrakan antara KA dan berbagai kendaraan bermotor di persimpangan, pembunuhan maupun kejahatan dalam KA. Semua yang menjadi korban adalah penumpang KA maupun pihak ketiga yang tidak mengetahui pengoperasian KA tetapi terpaksa dirugikan tanpa memperoleh perlindungan hukum yang wajar dari penyelenggara kereta api. Umumnya orang menganggap, santunan yang diberikan oleh PT Jasa Raharja adalah tanggung jawab hukum PT KAI. Padahal, santunan PT Jasa Raharja adalah pembayaran asuransi yang preminya dibayar sendiri oleh penumpang atau pengguna jasa angkutan kereta api berdasarkan UURI No 33 Tahun 1964 dan Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 1965 beserta peraturan pelaksanaannya. Tulisan ini hendak menguraikan seberapa jauh tanggung jawab hukum PT Kereta Api Indonesia (PT KAI), sebagai penyelenggara angkutan kereta api. Untuk itu akan diuraikan secara runtun pengertian tanggung jawab, konsep tanggung jawab, pengaturan kereta api, tanggung jawab PT KAI ditutup dengan kesimpulan dan saran. Peter Salim dalam kamus yang berjudul Contemporary English-Indonesian Dictionary maupun Henry Campbell Black dalam kamusnya yang berjudul Black's Law Dictionary, mengatakan, ada tiga macam tanggung jawab hukum yaitu tanggung jawab hukum dalam arti accountability, responsibility dan liability. Tanggung jawab dalam arti accountability adalah tanggung jawab hukum dalam kaitan dengan keuangan, misalnya akuntan harus bertanggung jawab atas hasil pembukuan, sedangkan responsibility adalah tanggung jawab dalam arti yang harus memikul beban seperti dikemukakan oleh Kasad Jenderal Endriartono Sutarto dalam kasus HAM. Yang bertanggung jawab (responsible) di kalangan ABRI adalah mereka yang memegang tongkat komando perintah kepada prajurit. Tanggung jawab dalam arti liability adalah kewajiban menanggung atas kerugian yang diderita misalnya PT KAI bertanggung jawab (liable) atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/ atau pengirim barang dari tempat keberangkatan sampai tempat tujuan. Penumpang dan/atau pengirim barang dapat mengajukan gugatan kepada PT KAI atas se-gala kerugian yang diderita (PT KAI obliges to pay the damages). Tanggung Jawab Hukum Ada tiga macam konsep tanggung jawab hukum, masing-masing tanggung jawab hukum (legal liability) atas dasar kesalahan (based on fault liability), tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability) dan tanggung jawab hukum tanpa bersalah (liability without fault) yang sering disebut juga tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability). Tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability) diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang sering disebut tindakan melawan hukum (onrechts matigdaad) yang berlaku secara umum kepada siapa pun juga termasuk PT KAI dalam kapasitasnya sebagai penyelenggara angkutan kereta api. Menurut konsep tersebut, setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan kepada orang yang karena perbuatannya menimbulkan kerugian untuk mengganti kerugian yang diderita oleh korban. Menurut Pasal 1367 KUH Perdata, PT KAI juga bertanggung jawab atas perbuatan pegawai atau karyawan atau petugas atau orang lain dipekerjakan oleh PT KAI yang menimbulkan kerugian terhadap penumpang seperti halnya kasus tabrakan di atas. Menurut konsep tanggung jawab atas dasar kesalahan, penumpang dan/atau pengirim barang harus membuktikan bahwa PT KAI berbuat kesalahan atau kelalaian. Apabila penumpang dan/ atau pengirim barang mampu membuktikan kesalahan atau kelalaian pegawai atau karyawan atau petugas atau orang lain yang dipekerjakan oleh PT KAI, maka PT KAI secara hukum bertanggung jawab penuh seluruh kerugian (unlimited liability) yang diderita oleh penumpang dan atau pengirim barang, tetapi apabila tidak berhasil membuktikan kesalahan PT KAI, maka PT KAI bahwa tidak harus membayar kerugian sedikit pun. Konsep tanggung jawab atas dasar kesalahan hanya berlaku dalam hal para pihak, yaitu korban sebagai penggugat dan pengangkut sebagai tergugat mempunyai kedudukan atau kemampuan yang sama saling membuktikan. Konsep tanggung jawab atas dasar kesalahan tidak dapat diterapkan apabila kedudukan penumpang dan/ atau pengirim barang (sebagai penggugat) lebih rendah dibandingkan dengan kedudukan PT KAI sebagai tergugat, karena penumpang dan/atau pengirim barang tidak mungkin dapat membuktikan kelalaian PT KAI, karena penumpang dan/atau pengirim barang tidak menguasai teknologi KA; karenanya diterapkan konsep tanggung jawab atas dasar praduga bersalah (presumption of liability concept). Dalam konsep itu, penumpang dan/atau pengirim barang tidak perlu membuktikan kesalahan atau kelalaian PT KAI, karena PT KAI dianggap (presume) bersalah, kecuali PT KAI dapat membuktikan tidak bersalah (beban pembuktian terbalik atau pembuktian negatif). Mengingat PT KAI dianggap (presume) bersalah maka tanggung jawab PT KAI terbatas (limited liability) sejumlah tertentu yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, (berapa pun kerugian yang diderita oleh penumpang dan atau pengirim barang) tidak akan dibayar penuh oleh PT KAI. PT KAI hanya mempunyai kewajiban membayar secara terbatas (limited liability) kecuali penumpang dan/atau pengirim barang sebagai penggugat dapat membuktikan PT KAI membuat kesalahan yang disengaja (wilful misconduct). Apabila korban dapat membuktikan PT KAI berbuat kesalahan yang disengaja maka PT KAI wajib membayar ganti rugi tidak terbatas (unlimited liability) dalam arti berapa pun juga yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang harus dibayar penuh. Perkembangan Tekonologi Teknologi berkembang terus yang mengakibatkan perbedaan kedudukan antara korban sebagai penggugat dengan tergugat semakin jauh sehingga korban tidak mungkin mampu membuktikan kesalahan atau kelalaian dari tergugat atau pengangkut. Karena itu lahirlah konsep tanggung jawab hukum tanpa bersalah (liability without fault) yang biasa juga disebut tanggung jawab mutlak (absolute liability) atau strict liability sebagaimana disebutkan di atas. Secara historis ajaran hukum (doctrine), tanggung jawab hukum tanpa bersalah telah berkembang dalam pertengahan abad ke-19 dan berkembang terus didorong oleh kemajuan teknologi. Konsep tanggung jawab hukum tanpa bersalah telah diterapkan dalam Konvensi Paris 1960 tentang kapal nuklir, Guatemala City Protocol 1971 dan Liability Convention of 1972 tentang Tanggung Jawab Hukum Peluncuran Benda-benda Angkasa. Di Indonesia tanggung jawab tanpa bersalah telah diterapkan dalam UURI No 4 Tahun 1962 mengenai Lingkungan Hidup, UURI No 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dan UURI tentang Perlindungan Konsumen. Menurut konsep tanggung jawab hukum tanpa kesalahan apabila seseorang atau badan hukum telah menyadari bahwa kegiatan tersebut sangat berbahaya, tetapi tetap dilakukan, maka apabila menimbulkan kerugian orang tersebut mutlak bertanggung jawab walaupun mereka tidak berslah. Ajaran hukum demikian makin berkembang dengan adanya kegiatan angkasa akhir-akhir ini. Pengaturan Angkutan KA Pengangkutan KA pada dasarnya merupakan perjanjian sehingga berlaku Pasal 1235, 1338 KUH Perdata di mana PT KAI sebagai pengangkut menyediakan jasa untuk mengangkut penumpang dan/atau barang dari suatu tempat tertentu ke tempat tertentu lainnya dengan selamat, tidak menimbulkan kerugian, tidak menimbulkan penderitaan, barang lengkap diterima dengan baik di tempat tujuan. Sebaliknya, penumpang dan/atau pengirim barang berdasarkan Pasal 491 KUHD mempunyai kewajiban membayar ongkos-ongkos angkutan kepada PT KAI, sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang dibuktikan dengan karcis atau surat muatan yang dimiliki oleh penumpang dan atau pengirim barang. Karcis penumpang maupun surat muatan tersebut merupakan salah satu bukti adanya perjanjian, namun tanpa karcis atau surat muatan bukan berarti hilang perjanjian, sebab dapat dilakukan alat bukti lainnya. Di samping KUH Perdata dan KUHD tersebut di atas, pengangkutan KA juga diatur dalam BVS-Stb 1927-262, Stb 11939-558, PP No 33 Tahun 1981, UURI No 33 Tahun 1965, PP No 17 Tahun 1965, PP No 61 Tahun 1971 dan UURI No 13 Tahun 1992 tentang Perkereta Apian, namun demikian yang relevan dengan tulisan ini adalah UURI No 13 Tahun 1992 dan UURI No 33 Tahun 1964 yo PP No 17 Tahun 1965 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang yang dikenal sebagai Jasaraharja. Tanggung Jawab Hukum PT KAI Tanggung jawab hukum PT KAI diatur dalam pasal 28 UURI No. 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian. Menurut Pasal tersebut PT KAI sebagai badan penyelenggara angkutan, bertanggung jawab (liable) atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan atau pengirim barang, apabila kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pegawai atau karyawan atau petugas atau orang lain yang dipekerjakan oleh PT KAI. Penumpang dan atau pengirim barang wajib membuktikan kesalahan atau kelalaian karyawan atau petugas atau orang lain yang dipekerjakan oleh PT KAI, sedangkan tanggung jawab PT KAI terbatas sejumlah tertentu yang diasuransikan oleh PT KAI. Apabila ketentuan tersebut dicermati benar, dapat disimpulkan disatu pihak menggunakan konsep tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability) di lain pihak menggunakan konsep praduga bersalah (presumption of liability). Hal ini jelas dengan adanya kewajiban penumpang dan atau pengirim barang sebagai penggugat untuk membuktikan kesalahan atau kelalaian karyawan atau petugas atau orang lain yang dipekerjakan oleh PT KAI, namun demikian jumlah ganti kerugian dibatasi sejumlah maksimum asuransi yang ditutup oleh PT KAI yang berarti menggunakan konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability). Secara konseptual ketentuan Pasal 28 UURI No 13 Tahun 1992 saling bertentangan, di satu pihak menggunakan konsep tanggung jawab hukum praduga bersalah (presumption of liability). Dalam praktek sehari-hari sampai saat ini belum pernah ada penumpang dan atau pengirim barang yang mengalami kerugian akibat pelayanan PT KAI yang mengajukan gugatan perdata ke pengadilan negeri, karena apabila ketentuan Pasal 28 diterapkan penumpang dan atau pengirim barang kecil kemungkinannya dapat membuktikan kesalahan atau kelalaian PT KAI, walaupun secara yuridis PT KAI mempunyai kewajiban hukum untuk mengangkut penumpang dan atau pengirim barang ke tempat tujuan dengan selamat sesuai dengan perjanjian pengangkutan sebagaimana diuraikan di atas. Umumnya para korban kecelakaan KA hanya memperoleh santunan dari PT Jasaraharja berdasarkan UURI No 33 Tahun 1964 yang dijabarkan dengan PP No 17 Tahun 1965. Santunan yang diterima oleh korban bukanlah tanggung jawab hukum pengangkut, yaitu PT KAI, sebab UURI No 33 Tahun 1964 yo PP No 17 Tahun 1965 tidak mengatur tanggung jawab hukum pengangkut, melainkan mengatur Dana Pertanggung Wajib Kecelakaan Penumpang yang sehari-hari dikenal sebagai Jasaraharja. Menurut Pasal 22 PP No 17 Tahun 1965 sebagai penjabaran UURI No 33 Tahun 1964 dikatakan setiap penumpang kendaraan umum, termasuk kereta api, wajib membayar iuran wajib melalui perusahaan angkutan yang bersangkutan (PT KAI) untuk menutup kerugian kecelakaan selama perjalanan berlangsung. Iuran wajib tersebut akan digunakan untuk memberi santunan apabila terjadi kerugian akibat meninggal dunia, cacad tetap akibat kecelakaan. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa santunan yang diterima oleh korban bukan berasal PT KAI, tetapi dari asuransi yang memang preminya telah dibayar sendiri oleh penumpang. PT KAI sebagai pengangkut hanya mempunyai kewajiban pungut premium dari penumpang kemudian diserahkan kepada PT Jasaraharja dan sebaliknya PT Jasaraharja sebagai penangung mempunyai kewajiban membayar santunan kepada korban. Hal ini lebih jelas apabila dibandingkan dengan transportasi udara. Dalam transportasi udara penumpang dan atau pengirim barang memperoleh santunan berdasarkan UURI No 15 Tahun 1992 yang dijabarkan lebih lanjut dengan PP No 40 Tahun 1995, di samping STb. 1939-100 mengenai tanggung jawab pengangkut dengan UURI No 33 Tahun 1964 yo PP No 17 Tahun 1965 sebagai sumber dari Jasaraharja. Sedangkan dalam angkutan kereta api hanya berdasarkan UURI No 33 Tahun 1964 yo PP No 17 tahun 1965 tanpa ada tanggung jawab hukum pengangkut (PT KAI), kecuali ketentuan Pasal 28 UURI No 13 Tahun 1992 yang dirasakan tidak adil karena saling bertentangan konsep yang digunakan. Saran Konsep tanggung jawab hukum PT KAI yang diatur dalam Pasal 28 UURI No 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, saling bertentangan satu sama lain sehingga menimbulkan ketidakadilan, sebab di satu pihak menggunakan konsep tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability) di lain pihak menggunakan tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability). Santunan yang diberikan kepada para korban kecelakaan KA bukanlah tanggung jawab hukum PT KAI, karena santunan itu merupakan asuransi yang preminya dibayar sendiri oleh penumpang melalui PT KAI. Sebab itu, disarankan menggunakan konsep agar konsep tanggung tanggung jawab atas jawab hukum PT KAI dasar praduga bersalah. Keuntungan konsep praduga bersalah adalah penumpang dan/atau pengirim barang tidak perlu membuktikan kesalahan PT KAI, tetapi bagi PT KAI tanggung jawabnya terbatas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. u Penulis adalah mantan Kepala Bagian Hukum Perhubungan Udara, dosen tetap STMT-Trisakti, dan Universitas Islam Jakarta. Last modified: 3/1/2002