Pemanasan global

advertisement
Pemanasan global
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Anomali suhu permukaan rata-rata selama periode 1995 sampai 2004 dengan
dibandingkan pada suhu rata-rata dari 1940 sampai 1980
Pemanasan global atau Global Warming adalah adanya proses peningkatan suhu ratarata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.
Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ±
0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak
pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi
gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan
dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk
semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat
beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan
IPCC tersebut.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan
global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan
2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario
berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model
sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada
periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus
berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah
stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang
lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang
ekstrem,[2] serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global
yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya
berbagai jenis hewan.
Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah
pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan
serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke
daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia
mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau
membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensikonsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah
menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan
emisi gas-gas rumah kaca.
Daftar isi
[sembunyikan]









1 Penyebab pemanasan global
o 1.1 Efek rumah kaca
o 1.2 Efek umpan balik
o 1.3 Variasi Matahari
2 Mengukur pemanasan global
3 Model iklim
4 Dampak pemanasan global
o 4.1 Iklim Mulai Tidak Stabil
o 4.2 Peningkatan permukaan laut
o 4.3 Suhu global cenderung meningkat
o 4.4 Gangguan ekologis
o 4.5 Dampak sosial dan politik
5 Perdebatan tentang pemanasan global
6 Pengendalian pemanasan global
o 6.1 Menghilangkan karbon
o 6.2 Persetujuan internasional
7 Lihat pula
8 Referensi
9 Pranala luar
[sunting] Penyebab pemanasan global
[sunting] Efek rumah kaca
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi
tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini
tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi.
Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya.
Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar.
Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah
gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, sulfur dioksida dan metana yang
menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan
kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan
tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga
mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin
meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang
terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi,
karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan suhu rata-rata sebesar
15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dari suhunya semula, jika
tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh
permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di
atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.
[sunting] Efek umpan balik
Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik
yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan
akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan
menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri
merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap
air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah
kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri.
(Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban
relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi
menghangat).[3] Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2
memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila
dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan,
sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan
tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga
meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau
pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian
awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain
karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas
komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang
digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik
awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan
dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam
Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3]
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya
(albedo) oleh es.[4] Ketika suhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair
dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut,
daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki
kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan
akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah
pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus
yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku
(permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain
itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal
ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga
membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon
yang rendah.[5]
[sunting] Variasi Matahari
Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Variasi Matahari
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan
diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat
ini.[6] Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah
meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah
kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak
telah diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi
kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan
efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.)
Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin
telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek
pendinginan sejak tahun 1950.[8][9]
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin
telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University
memperkirakan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50%
peningkatan suhu rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara
tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang
dijadikan pedoman saat ini membuat perkiraan berlebihan terhadap efek gas-gas rumah
kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek
pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11]
Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan
sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang
terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan
bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari
pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar
0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil
untuk berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood
dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan
variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun
variasi dalam sinar kosmis.[14]
[sunting] Mengukur pemanasan global
Hasil pengukuran konsentrasi CO2 di Mauna Loa
Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan
mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan suhu rata-rata global. Hipotesis
ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian
global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak
gunung Mauna Loa di Hawai.
Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di
atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data
yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari
gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi
mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Suhu terus bervariasi dari
waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun
pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan
(trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan
penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya.
Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga
pengukuran suhu akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan
kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957,
data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta
dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70
persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini
menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar
terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama
seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah
tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) menyimpulkan bahwa suhu udara global telah meningkat 0,6 derajat
Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut
terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke
atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan suhu rata-rata global akan meningkat 1.1
hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak
bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu
akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di
atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali.[15]
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi
karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22
bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim
secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi
beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan
risiko populasi yang sangat besar.
[sunting] Model iklim
Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim berdasarkan
scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada tindakan yang dilakukan untuk
mengurangi emisi.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Model iklim global
Para ilmuan telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model computer
berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamikan fluida, transfer radiasi, dan proses-proses
lainya, dengan beberapa penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer.
Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada
iklim yang lebih hangat.[16] Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap
konsentrasi gas rumah kaca di masa depan, sensitivitas iklimnya masih akan berada pada
suatu rentang tertentu.
Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas rumah kaca
dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1 °C hingga 6.4 °C
(2.0 °F hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Model-model iklim juga
digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi saat ini
dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap
berbagai penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia.
Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan suhu
global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua
aspek dari iklim.[17] Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan
yang terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau aktivitas
manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975
didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.
Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim di masa depan, dilakukan
berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus terhadap
Skenario Emisi (Special Report on Emissions Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang
dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon;
yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum
pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm
CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.[18][19][20]
Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketidakpastian
terhadap model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan
dalam menyelesaikan masalah ini.[21] Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih
berlanjut mengenai apakah model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik
dan tak langsung dari variasi Matahari.
[sunting] Dampak pemanasan global
Para ilmuan menggunakan model komputer dari suhu, pola presipitasi, dan sirkulasi
atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan
telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca,
tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan
manusia.
[sunting] Iklim Mulai Tidak Stabil
Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari
belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain
di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan
lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya
mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di
daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat
mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Suhu pada musim dingin
dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari
lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan
meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan
karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan
efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk
awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke
angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air).
Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1
persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah
meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)[22]. Badai akan menjadi
lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa
daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan
mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh
kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan
pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola
cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem.
[sunting] Peningkatan permukaan laut
Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil
secara geologi.
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga
volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan
mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak
volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 - 10
inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9
– 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi kehidupan di daerah pantai.
Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen
daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir
akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang
akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat
besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin
hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi ekosistem pantai.
Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di
Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan
daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari
Florida Everglades.
[sunting] Suhu global cenderung meningkat
Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak
makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat.
Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih
tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian
tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah
pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat
menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai
reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan
dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
[sunting] Gangguan ekologis
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek
pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan
global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan.
Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat
lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi
perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi
oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang
tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
[sunting] Dampak sosial dan politik
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga
dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi.
Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es
di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana
alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam
biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana
sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma
psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air
(Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne
diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang
(ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim
ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri,
plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adala
organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang
secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang
ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climate change)yang bisa
berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang /
kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga
berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan
polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan
berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi,
coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.
[sunting] Perdebatan tentang pemanasan global
Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global.
Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah suhu benar-benar meningkat. Yang
lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih
terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini
juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap
pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan suhu.
Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat
menguntungkan di beberapa daerah.
Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga
perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan
perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti
selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum
naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20
hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer
terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya
pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.
Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara
yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga
dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar matahari kembali ke angkasa luar.
Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya
kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi
disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuan telah lama
memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada tahun
2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan
hasil analisa baru tentang suhu air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia
selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya
kecenderungan pemanasan: suhu laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat
Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada suhu rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit
perubahan tetapi cukup berarti.[22]
Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di
troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer
tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat
dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy
of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi
tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih rendah dari
prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.
[sunting] Pengendalian pemanasan global
Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun.
Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang
dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah
mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin
berubahnya iklim di masa depan.
Kerusakan yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat
dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara
lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang
lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan
dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang
belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan
berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut
atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration
(menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
[sunting] Menghilangkan karbon
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan
memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang
muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak,
memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh
dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak
area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya
ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan
rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali
yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan
menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong
agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa
dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan
batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas
pantai Norwegia, dimana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam
ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke
permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil.
Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad
ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian
digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas
mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan
bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon
dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila
dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun
demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan
karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan
keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, tetapi tidak melepas karbon dioksida sama
sekali.
[sunting] Persetujuan internasional
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Protokol Kyoto
Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah
kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar
untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini
dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara
merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara
industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca
untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990.
Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika
Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan
pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang
menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen.
Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk
berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W.
Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut
menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negaranegara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini.
Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung
jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak
meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia
Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian
ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini
dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas
rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama
karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan
menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini
memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat
terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaanperusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang
ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol
Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi.
Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya
sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk
penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang
lebih effisien.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus
tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi
karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis
besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi
tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara
reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode
dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas
rumah kaca. Para negoisator merancang sistem dimana suatu negara yang memiliki
program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak
polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon.
Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat
membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah.
Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada
tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi.
Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat
1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri
lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.
1
Latar Belakang
Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (Lanscape) yang meliputi lingkungan
fisik termasuk iklim, topografi / relief, hidrologi tanah dan keadaan vegetasi alami yang
semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Penggunaan
lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo seperti pada umumnya di DAS yang lain
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi: hutan, tegalan, perkebunan, sawah,
pemukiman dan penggunaan lain. Penetapan penggunaan lahan pada umumnya
didasarkan pada karakteristik lahan dan daya dukung lingkungannya. Bentuk penggunaan
lahan yang ada dapat dikaji kembali melalui proses evaluasi sumberdaya lahan, sehingga
dapat diketahui potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya. Untuk lebih
memperluas pola pengelolaan sumberdaya lahan diperlukan tehnologi usaha tani yang
tidak terlalu terikat dengan pola penggunaan lahan dan akan lebih parah lagi hasilnya
apabila pembangunan pertanian masih melalui pendekatan sektoral tanpa ada integrasi
dalam perencanaan maupun implementasinya. Agroforestry adalah pola usaha tani
produktif yang tidak saja mengetengahkan kaidah konservasi tetapi juga kaidah ekonomi.
Betapa pentingnya masalah konservasi ini perlu diperhatikan apabila mengingat bahwa
usaha tani di Indonesia ini ditangani oleh petani kecil apabila ditinjau dari kepemilikan
lahan. Pemilikan lahan di DAS Solo seperti halnya di DAS lain rata-rata adalah kecil dan
kemungkinan besar akan selalu berkurang dengan selalu bergulirnya waktu.
Kesadaran akan perlunya konservasi lahan sebenarnya sudah sejak lama, akan
tetapi selalu saja ada kesenjangan antara keinginan para petani pemilik lahan dengan para
ahli konservasi tanah karena biasanya adanya keterbatasan biaya dari para petani untuk
melaksanakan perlakuan-perlakuan yang diperlukan. Hal ini disebabkan karena pada
pendekatan lama konsentrasi kegiatan konservasi ada pada pembuatan bangunan2
bangunan teras, saluran-saluran dan bangunan lainnya dan sering dilakukan dengan cara
melarang orang bertanam di lahan miring, dll.
Dewasa ini Young (1997) dalam Sabarnurdin (2002) menyatakan bahwa ada
pendekatan baru konservasi tanah yang disebut land husbandry yang diwujudkan dalam
usaha tani dengan pendekatan konservasi. Ciri dari pendekatan ini adalah:
1. Memfokuskan pada hilangnya tanah dan pengaruhnya terhadap hasil tanaman
sehingga perhatian utamanya bukan lagi pada bangunan fisik tetapi kepada metode
biologis untuk konservasi seperti halnya penanaman penutup lahan.
2. Memadukan tindakan konservasi tanah dan konservasi air sehingga masyarakat
mendapat keuntungan langsung dari usaha tersebut.
3. Melarang bertani dilereng bukan penyelesaian masalah. Tindakan seperti ini tidak
bisa diterima secara sosial dan politis. Yang harus dicari adalah metode bertani yang
bisa mempertahankan kelestarian sumberdaya lahan dan alam.
4. Konservasi lahan akan berhasil bila ada partisipasi dari masyarakat terutama para
petani. Motivasi masyarakat akan timbul bila mereka melihat keuntungan yang akan
diperoleh.
5. Yang terpenting lagi adalah perlu adanya pemahaman bahwa kegiatan konservasi
lahan adalah bagian integral dari usaha perbaikan sistem usaha tani.
Agroforestry sebagai sistem penggunaan lahan makin diterima oleh masyarakat
karena terbukti menguntungkan bagi pembangunan sosial ekonomi, sebagai ajang
pemberdayaan masyarakat petani dan pelestarian sumberdaya alam dan pengelolaan
lingkungan daerah pedesaan. Pola ini dirasa sangat cocok dikembangkan di DAS Solo
Hulu yang banyak kawasan bertopografi miring, sehingga banyak erosi, pemilikan lahan
sempit dengan kepadatan agraris tinggi ± 6 orang / Ha (CDMP, 2001).
Permasalahan
Perilaku DAS mencakup sifat-sifat morfometri dan hidrologis. Morfometri DAS
sangat ditentukan oleh kondisi fisiografi (topografi dan bantuan) dan iklim terutama
hujan. Sifat morfometri antara antara lain pola alur sungai, bentuk DAS, elevasi dan
kemiringan DAS. Di Sub DAS Bengawan Solo Hulu terdapat Waduk Gadjah Mungkur
dengan daerah tangkapan seluas 1350 Km2 dengan 7 buah sungai utama didalamnya.
3
Daerah tangkapan (DTA) Waduk Gadjah Mungkur terdiri dari beberapa satuan fisiografi
yaitu satuan Gunung Lawu, Pegunungan Batur Agung, Pegunungan Selatan Berbatu
Vulkanis serta Pegunungan Selatan Berbatu Gamping.
1. Di DTA Waduk Gadjah Mungkur telah terjadi erosi cukup berat yang ditandai
adanya permunculan batuan induk, erosi parit dan sedimentasi. Dari 102 Sub DAS di
DAS Solo yang meliputi 23 wilayah kabupaten, ada 28 Sub DAS yang memiliki potensi
erosi besar. Erosi aktual yang terjadi terkecil adalah 4,72 ton/Ha/th di Sub DAS Precel
dan erosi terbesar terjadi di Sub DAS Dengkeng sebesar 195,84 ton/Ha/th (Anonimus,
2002).
2. Daerah tangkapan air antara Gunung Merapi dan Lawu lahannya sangat subur
sehingga menyebabkan perkembangan pemukiman dan industri di wilayah ini sangat
pesat. Dampak yang terjadi adalah limbah rumah tangga dan limbah pabrik akan
mencemari air tanah, koefisien aliran akan meningkat sehingga erosi pun secara potensial
meningkat pula.
3. Anak sungai Bengawan Solo di daerah Sragen, Ngawi, di bagian utara berasal
dari daerah Pegunungan Kendeng bertipe intermitten (mengalir pada waktu musim
hujan) karena daerah tangkapan air tidak terlalu luas tingkat kelulusan batuan rendah
(napal), serta curah hujan ± 2000 mm/th dengan bulan kering 5-6 bulan dengan
koefisiensi aliran tinggi dan langka air tanah.
4. Bengawan Madiun mengalir dari daerah Kabupaten Ponorogo, Madiun dan
Magetan. Dibagian hulu di daerah kabupaten Ponorogo kondisi lahan sangat kritis
ditandai adanya erosi parit, longsor lahan dan munculnya batuan induk (Anonimus,
2002).
5. Daerah Bengawan Solo Hilir secara fisiografi berupa Pegunungan Rembang di
sebelah utara sungai, Pegunungan Kendeng di sebelah selatan sungai dan dataran aluvial.
Daerah ini sering menghadapi masalah banjir dan sering terjadi intrusi air laut terutama
pada musim kemarau.
Permasalahan - permasalahan di atas sangat erat kaitannya dengan pengelolaan
lahan. Sudah barang tentu memerlukan suatu tehnologi sederhana yang mungkin dapat
diterapkan oleh para petani secara langsung misal pola agroforestry seperti telah
diterangkan di halaman terdahulu.
4
Maksud, Tujuan dan Kegunaan
1. Maksud.
Sosialisasi Aspek Pengelolaan lahan adalah untuk memberikan gambaran kepada
berbagai stakeholder utamanya masyarakat dan pemerintah daerah akan pentingnya
pengelolaan lahan yang lestari dan terpadu.
2. Tujuan
a. Pola Agroforestry menjadi pola pilihan masyarakat dalam mengelola sumberdaya
lahan yang lestari dan terpadu.
b. Akan segera muncul kemandirian masyarakat dalam mengelola sumberdaya lahan
karena pola Agroforestry merupakan pola yang sudah dikenal masyarakat sejak
lama.
3. Kegunaan
a. Bagi Masyarakat
1. Tersedianya lapangan pekerjaan yang terus menerus karena adanya deversitas
kegiatan dalam mengelola agroforestry.
2. Peningkatan kesejahteraan masyarakat akan terjadi dengan adanya
deversifikasi hasil pertanian, kehutanan dan peternakan.
b. Bagi Swasta
1. Tersedianya bahan baku industri kayu secara lestari bagi industri skala kecil
menengah.
2. Tersedianya bahan baku industri pertanian karena pola agroforestry juga
mencakup tanaman agroindustri misal tanaman perkebunan dan buah.
3. Berkembangnya usaha peternakan.
c. Bagi Pemerintah Daerah
1. Berkurangnya masalah pencari kerja.
2. Meningkatnya Pendapatan Asli Daerah
5
d. Bagi Daerah Aliran Sungai
1. Lebih terkendalinya proses erosi dan banjir.
2. Terbentuknya ekosistem yang lebih nyaman bagi kehidupan.
Metode Pengembangan Fungsi Pengelolaan Lahan
1. Tehnik Pengelolaan Lahan yang Produktif dan Konservatif Melalui
Agroforestry
Berubahnya Lanskap akibat adanya tekanan penduduk dan intensifikasi
pemanfaatan sumberdaya lahan, mengarah pada pengakuan terhadap agroforestry sebagai
al;ternatif sistem pengelolaan lahan dalam rangka pembangunan berkelanjutan baik
didataran tinggi maupun di dataran rendah (Sabarnurdin, 2002).
Berbeda dengan bidang pertanian maupun kehutanan murni, kontribusi
agroforestry dalam bidang sosial ekonomi bisa lebih bervariasi karena komponen
usahanya lebih beragam. Tambahan lagi selain membuka kemungkinan untuk
meningkatkan efisiensi ekonomi dan peningkatan taraf hidup mampu juga menimbulkan
multiplier effect dan agroforestry juga memperbaiki serta meningkatkan kondisi
lingkungan (Anonimus, 2000). Kelemahan para petani pada umumnya adalah pada sistem
pemasaran hasil.
Dengan menawarkan kombinasi hasil, produktivitas lebih lestari. Adanya
komponen pohon yang bisa diatur pemungutan hasilnya hanya apabila diperlukan, karena
apabila tidak diperlukan bisa dibiarkan hidup dengan tidak kawatir rusak dan bahkan
nilainya akan bertambah. Kelestarian hasil lebih diperjelas dengan tambahan adanya
produksi bidang peternakan, sedang konsumsi harian dapat ditopang oleh produk
tanaman pertanian. Produk agroforestry bisa lebih ditingkatkan menjadi produk yang
diorientasikan pada agribisnis dengan dukungan dari swasta atau pemerintah daerah
misalkan menyediakan pabrik pengolahan hasil misal pabrik pengelolaan nanas atau
komoditas lainnya dalam skala kecil menengah.
Peluang bagi digunakannya sistem agroforestry dalam pengelolaan lahan juga
disebabkan karena (Sabarnurdin, 2002) :
6
1. Agroforestry adalah metode biologis untuk konservasi dan pemeliharaan
penutup tanah sekaligus memberikan kesempatan menghubungkan konservasi
tanah dengan konservasi air.
2. Dengan agroforestry yang produktif dapat digunakan untuk memelihara dan
meningkatkan produksi bersamaan dengan tindakan pencegahan erosi.
3. Kegiatan konservasi yang produktif memperbesar kemungkinan diterimanya
konservasi oleh masyarakat sebagai kemauan mereka sendiri. Digunakannya
tehnik diagnostik dan designing untuk merumuskan pola tanam secara
partisipatif merupakan kelebihan dari tehnik agroforestry.
2. Hutan Sebagai Pengendali Daur Air dan Longsor Lahan
Pada masa-masa tertentu terutama pada awal musim hujan atau pada akhir musim
hujan kita sering mendengar dan membaca berita tentang banjir dan longsor lahan di
beberapa daerah. Kejadian ini sudah barang tentu menimbulkan keprihatinan kita semua.
Kejadian demi kejadian akhir-akhir ini terus susul menyusul dimulai dari Cilacap,
Purworejo, Kulonprogo, Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat dan Menado. Peristiwa banjir
dan longsor lahan telah menelan korban jiwa dan harta benda tidak sedikit sehingga
muncul pertanyaan mengapa terjadi demikian dan bagaimana cara mengantisipasinya
sehingga peristiwa alam tersebut dapat dihindari atau dikurangi dampak negatifnya.
DAS Solo seperti halnya Indonesia pada umumnya sebagai suatu daerah yang
beriklim tropis. Di beberapa tempat mempunyai kecenderungan berintensitas hujan
tinggi, di beberapa tempat memiliki bentuk lahan yang bergelombang, berbukit maupun
bergunung dengan kondisi yang punya potensi longsor lahan yang cukup besar.
Disamping itu persebaran penduduk sering tidak memperhatikan tata ruang wilayah atau
tata ruang desa, maka untuk menghindari adanya korban, perlu dilakukan usaha-usaha
agar masyarakat terhindar dari malapetaka pada kesempatan lain. Usaha itu bisa dalam
bentuk perlu disusunnya kembali tata ruang desa atau dengan memberikan penyuluhan
kepada masyarakat bagaimana cara mendeteksi, antisipasi dan mengatasi peristiwa yang
sangat memilukan tersebut. Disamping itu juga bisa dengan memperbaiki pola
pengelolaan lahannya yang lebih ramah lingkungan sehingga banjir, kekeringan dan
longsor lahan tidak terjadi. Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam rangka mencegah
7
atau bahkan bersahabat (memiliki tingkat adaptasi yang tinggi) dengan banjir dan longsor
lahan dalam lingkungan ekologi yang menyejukkan.
Pengendalian daur air, erosi dan longsor lahan merupakan suatu kegiatan yang tak
terpisahkan bagai ke dua sisi mata uang yang merupakan satu kesatuan. Akhir-akhir ini
masyarakat semakin banyak menopangkan harapan pada hutan untuk mengatasi masalah
pengendalian daur air, erosi dan longsor lahan. Harapan yang sangat perlu didukung
bersama untuk dapat mewujudkannya karena banyak kelebihan ekosistem hutan untuk
dapat mewujudkan harapan tersebut. Akan tetapi perlu disadari bersama bahwa nilai
perannya terhadap ketiga hal tersebut diatas sangat ditentukan oleh luas, jenis, watak
petumbuhan, keadaan pertumbuhan dan struktur hutannya. Disamping itu untuk suatu
keadaan ekosistem hutan tertentu peran tersebut dibatasi oleh keadaan iklim, geologi,
watak tanah dan geomorfologi. Sebagai contoh untuk kawasan yang secara geologis
rawan longsor lahan, bagi daerah yang mempunyai intensitas hujan yang tinggi dan
lereng yang terjal, justru dengan penutupan hutan terlalu rapat dan pohonnya besar-besar,
malahan akan menyebabkan terjadinya longsor lahan. Kenyataan ini menyadarkan kita
semua bahwa kita perlu mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi,
daur air dan longsor lahan. Dalam usaha untuk mengatasi masalah-masalah tersebut maka
didalam membangun hutan maupun agroforestry perlu memperhatikan faktor tanah,
iklim, tanaman, geologi dan geomorfologi serta masalah kependudukan untuk mengenali
watak run off potensial, stabilitas lahan dan tak kalah pentingnya adalah pengenalan atas
watak tanaman diantaranya yang berupa evapotranspirasi, dekomposisi seresah,
pertumbuhan dan beban mekanik tanaman, seperti yang dapat diperiksa pada Gambar di
bawah ini.
8
Diagram Alir Tahapan Pembuatan Rancangan Reboisasi dan Penghijauan
untuk Pengendalian Daur Air dan Longsor Lahan secara Teknik Biologik
(Pusposutardjo, 1984, dimodifikasi) dalam Sri Astuti Soedjoko (2002).
Analisis
Mekanik
Tanah
Watak
Mekanik
Tanah
PENDUDUK TANAH TANAMAN IKLIM Geologik &
Geomorfologik
Analisis Sosial
Ekonomi dan
Budaya
Analisis
Fisik &
Kimiawi
Analisis Et,
Watak
Pertumbuhan,
BebanTanaman
Analisis
Etp
Potensial
& Neraca
Air
Analisis
Geologik &
Geomorfologik
Lahan
Potensi
Kesesuaian
Kepentingan
Potensi,
Fisik &
Kimiawi
Deskripsi
Watak
Tanaman
Deskripsi
iklim
Watak Geologik
& Geomorfoligik
lahan
Analisis
Kesesuaian
Tanaman
Analisis Watak
Run Off Potensial
& Stabilitas lahan
Analisis
Kesesuaian
Kepentingan
Analisis
Kesesuaian
Tanah
Tanaman-tanaman
terpilih Terhadap
Kesesuaian Iklim
Tanaman Terpilih
Terhadap Kesesuaian
Iklim, Tanah dan
Kepentingan
Rancangan
tanaman Jenis,
Kerapatan, dll, dan
Rancangan
Mekanik
Pola Reboisasi dan
Penghijauan Teknik
Biologik
9
Berbagai gejala yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pada umumnya,
dapatlah diindikasikan bahwa masyarakat kita saat ini sedang mulai mengalami
perubahan yang kemungkinan akan menampakkan tuntutan yang berbeda dengan
keadaan sebelumnya. Disamping itu pertumbuhan dan mobilitas penduduk yang cepat
akan berpacu dengan ketidak seimbangan antara ketersediaan sumberdaya alam yang
murah dengan meningkatnya kebutuhan. Disamping itu tingginya jumlah penduduk yang
juga diikuti oleh tingginya laju pertambahan penduduk akan menyebabkan meningkatnya
kebutuhan akan lahan untuk produksi dan pemukiman maupun meningkatnya kebutuhan
akan sumberdaya air yang sangat penting bagi kehidupan. Akibat banyaknya lahan yang
beralih fungsi yang tadinya merupakan kawasan resapan menjadi kawasan pertanian dan
pemukiman akan menyebabkan terganggunya daur air kawasan. Tidak kalah
memprihatinkan sangat maraknya penjarahan hutan yang mengakibatkan banyaknya
penebangan hutan yang tidak terencana mengakibatkan peran hutan sebagai pengendali
daur air kawasan menjadi terganggu. Air dipandang sebagai sumberdaya memiliki
multidimensi yaitu ketersediaan dalam waktu (musim kemarau atau musim hujan), dalam
ruang (digunung sampai di pantai), dalam kualitas dan kuantitas baku mutu yang sesuai
kebutuhan atau peruntukannya (Tedjoyuwono N, 1994 dan Soedjarwadi, 1994). Secara
alami daur air di suatu kawasan ditentukan oleh ciri-ciri khas lingkungan geofisik.
Ditinjau dari sudut peradaban manusia, daur air dapat dipengaruhi pula oleh kondisi
sosial ekonomi dan tehnologi yang dikuasai oleh manusia. Dalam abad 21 ke depan
semakin dirasakan akan adanya keterbatasan alam dalam menyediakan air bagi
kehidupan. Kelimpahan sumberdaya air yang dimiliki Indonesia tidak menjamin
melimpahnya ketersediaan air kawasan pada dimensi ruang dan dimensi waktu. Variasi
iklim serta kerentanan sistem sumberdaya air terhadap perubahan iklim akan
memperparah status krisis air yaitu dengan meningkatnya frekuensi banjir dan
panjangnya kekeringan, sehingga ketersediaan air semakin tidak dapat mengimbangi
peningkatan kebutuhan air untuk berbagai penggunaan. Dalam Seminar Sehari
Kebutuhan Air Bersih dan Hak Azazi Manusia di Bogor pada tanggal 25 Februari 1999
dinyatakan bahwa ketersediaan air bersih sebesar 50 l/hari/kapita sebagai hak azasi
manusia perlu disebarluaskan sehingga adalah wajar keberpihakan kepada seluruh
penduduk agar memperoleh hak air bersih bagi kehidupannya secara langsung minimal
10
50 l/hari/kapita. Angka ini sesungguhnya masih rendah apabila dibanding dengan sasaran
penyediaan kebutuhan air ibu kota provinsi di Indonesia sebesar 130 l/hari/kapita, dan di
DKI 220 l/hari/kapita. Berbagai negara Eropa dan Amerika Utara angka itu telah berkisar
antara 300 – 600 l/hari/kapita dan dalam waktu tidak lama akan naik menjadi 500 – 1000
l/hari/kapita. (Hehanusa PE, 1999), sedang secara tidak langsung sesungguhnya manusia
membutuhkan air jauh lebih besar yaitu 2600 l/hari/kapita karena untuk menghasilkan 1
kg beras diperlukan 4160 l air, 1 kg gula diperlukan 1040 l air dan 1 kg daging
dibutuhkan 20.860 l air (FAO, 1996 dalam Hidayat Pawitaan, 1999). Di samping itu
dengan dipacunya pertumbuhan ekonomi, permintaan akan sumberdaya air baik kuantitas
maupun kualitasnya semakin meningkat pula dan di tempat-tempat tertentu melebihi
ketersediaannya. Hal ini menyebabkan sumberdaya air dapat menjadi barang yang
langka. Kerisauan ini lebih ditegaskan oleh pakar dunia dalam rangkaian pertemuannya
mulai dari pertemuan di Roma, Stockholm, Dublin, Rio de Janeiro dan terakhir di Paris
pada bulan Juni 1998 dalam “International Coonference on World Water in the 21 th
Century” disimpulkan bahwa ancaman akan adanya krisis air di awal abad 21 bukanlah
suatu khayalan (Hehanusa PE, 1999). Ironisnya kelangkaan sumberdaya air tersebut tidak
dicerminkan oleh penghargaan orang atas sumberdaya air tersebut. Dari fakta yang ada
tampak bahwa sumberdaya air masih belum mendapat perlindungan secara maksimal
untuk mempertahankan neraca air kawasan yang optimal. Terjadinya pencemaran
dibanyak tempat dan terjadinya penggundulan hutan di sana-sini menunjukkan bahwa
perhatian terhadap kelestarian sumberdaya air perlu secara total ditingkatkan (KMNLH,
1997). Saat ini masih nampak lemahnya posisi tawar-menawar kawasan hutan terhadap
perubahan fungsi lain yang lebih menguntungkan selain sebagai produsen kayu. Hal ini
dapat ditelusuri sebagai akibat dari lemahnya sistem akunting sumberdaya hutan (Dodi
Supriadi, 1998). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sumberdaya hutan sebagai asset pada
dasarnya merupakan faktor produksi yang mengalami penurunan akibat kegiatan
eksploitasi. Dari sisi akunting penurunan asset atau faktor produksi seharusnya menjadi
beban biaya (depresiasi) yang dimasukkan sebagai salah satu komponen cost analisis
dalam pengelolaan sumberdaya hutan, namun sampai saat ini depresiasi sumberdaya
hutan sebagai faktor produksi tidak pernah diperhitungkan, sehingga keuntungan yang
diperoleh selama ini merupakan keuntungan semu. Lebih menarik lagi setelah
11
mencermati hasil penelitian yang dilakukan oleh Dodi Supriadi (1998) disimpulkan
bahwa nilai intangible hutan lindung yang utamanya sebagai penyedia air mempunyai
nilai ekonomi enam kali lebih besar dari nilai kayu, bahkan total nilai manfaat intangible
hutan (plus rekreasi, wildlife dan kualitas lingkungan) akan semakin lebih besar lagi.
Saat ini banyak peneliti telah melakukan berbagai penelitian untuk
menghubungkan perlakuan-perlakuan hutan terhadap perilaku hidrologi. Hal yang sudah
diterima secara umum adalah bahwa penggunaan vegetasi penutup hutan akan dapat
memperbaiki fluktuasi aliran air (Seyhan, 1990). Menghadapi berbagai kenyataan di
atas maka perhatian orang mulai memandang hutan sebagai suatu sistem penyangga
kehidupan dan tidak hanya sebagai produsen kayu. Hutan dengan penyebarannya yang
luas, dengan struktur dan komposisinya yang beragam mampu menyediakan manfaat
yang amat besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa perlindungan terhadap banjir,
erosi, sedimentasi dan longsor lahan.
Peran hutan terhadap pengendalian daur air dimulai dari peran tajuk menyimpan
air intersepsi. Di hutan klimaks intersepsi bisa mencapai angka 25 – 35 % dari hujan
tahunan yang jatuh dan di hutan Pinus bisa mencapai 16-20 % dari hujan tahunan yang
jatuh (Sri Astuti et-al, 1998).
Peran menonjol yang ke dua yang juga sering menjadi sumber penyebab
kekawatiran masyarakat adalah evapotranspirasi. Beberapa faktor yang diduga
berperanan terhadap besarnya evapotranspirasi antara lain adalah radiasi matahari, suhu,
kelembaban udara, kecepatan angin dan ketersediaan air di dalam tanah atau sering
disebut kelengasan tanah. Lengas tanah berperanan terhadap terjadinya evapotranspirasi.
Evapotranspirasi berlangsung ketika vegetasi tidak kekurangan suplai air, atau berada
diantara titik layu permanen dan kapasitas lapang. Vegetasi memerlukan air untuk
pengangkutan unsur hara dari dalam tanah untuk metabolisme tumbuhan bagi
kehidupannya. Melalui daun, air yang berasal dari tanah diuapkan sebagai bagian dari
proses fisiologis tanaman yang disebut transpirasi. Dalam hal ini transpirasi atau karena
susahnya dipisahkan dengan evaporasi maka sering disatukan menjadi evapotranspirasi.
Evapotranspirasi punya pengaruh yang penting terhadap besarnya cadangan air tanah
terutama untuk kawasan yang berhujan rendah. Sehubungan dengan hal tersebut maka
evapotranspirasi yang terjadi dari suatu kawasan, sudah mulai banyak mendapat
12
perhatian dari para peneliti terutama untuk kawasan dengan vegetasi tertentu. Akhir-akhir
ini yang paling banyak mendapat perhatian adalah kawasan hutan Pinus. Untuk
menjawab kekawatiran tersebut Perum Perhutani telah bekerja sama dengan UGM, IPB
dan Unibraw dalam penelitian tentang neraca air kawasan hutan Pinus.
Selama 5 tahun penelitian yang dilakukan oleh UGM (Sri Astuti et-al, 1998)
didapat informasi bahwa evapotranspirasi yang terjadi di hutan Pinus dalam kisaran
sebesar 1002 - 1253 mm/th atau 29 - 69 % dari hujan tahunan yang jatuh. Angka tersebut
memunculkan suatu keputusan untuk merekomendasikan bahwa Pinus dapat
dikembangkan pada suatu daerah yang mempunyai tebal hujan 2000 mm/th. Oleh tim
peneliti dari PPLH Unibraw (Utomo et-al, 1998) dikemukakan bahwa Pinus disarankan
tidak ditanam di daerah yang curah hujannya < 1500 mm/th, sedang oleh tim peneliti dari
Fak. Kehutanan IPB (Manan et -al 1998) Pinus disarankan ditanam di daerah dengan
curah hujan 2000 mm/th, supaya tidak mempengaruhi tata air kawasan.
Peran ketiga adalah mampu mengendalikan tingginya lengas tanah hutan. Tanah
mempunyai kemampuan untuk menyimpan air (lengas tanah), karena memiliki
ronggarongga
yang dapat diisi dengan udara/cairan atau bersifat porous. Bagian lengas tanah
yang tidak dapat dipindahkan dari tanah oleh cara-cara alami yaitu dengan osmosis,
gravitasi atau kapasitas simpanan permanen suatu tanah diukur dengan kandungan air
tanahnya pada titik layu permanen yaitu pada kandungan air tanah terendah dimana
tanaman dapat mengekstrak air dari ruang pori tanah terhadap gaya gravitasinya. Titik
layu ini sama bagi semua tanaman pada tanah tertentu (Seyhan, 1977). Pada tingkat
kelembaban titik layu ini tanaman tidak mampu lagi menyerap air dari dalam tanah.
Jumlah air yang tertampung di daerah perakaran merupakan faktor penting untuk
menentukan nilai penting tanah pertanian maupun kehutanan.
Peran ke empat adalah dalam pengendalian aliran air. Kebanyakan persoalan
distribusi sumberdaya air selalu berhubungan dengan dimensi ruang dan waktu.
Akhirakhir
ini kita lebih sering dihadapkan pada suatu keadaan berlebihan air pada musim
hujan dan kekurangan air di musim kemarau. Sampai saat ini masih dipercayai bahwa
hutan mampu mengendalikan daur air artinya hutan dapat menyimpan air selama musim
hujan dan melepaskannya di musim kemarau. Kepercayaan ini didasarkan atas masih
melekatnya dihati masyarakat bukti-bukti bahwa banyak sumber-sumber air dari dalam
13
kawasan hutan yang tetap mengalir pada musim kemarau. Untuk lebih meningkatkan
peran hutan dalam pengendalian aliran air, bagi hutan yang berada dalam ekosistem
tertentu perlu diberikan perlakuan dibangunnya creek fed ponds atau embung-embung
dan bangunan konservasi lainnya.
Disamping masalah pengendalian daur air, masalah pengendalian longsor lahan
juga merupakan masalah yang memerlukan pemecahan segera. Untuk ikut memecahkan
permasalahan tersebut perlu dikenali faktor-faktor penyebabnya. Rangkuman dari
beberapa pustaka (Febri Himawan, 1994; Justika Baharsyah dkk, 2000; Karnawati D,
2001) dan pengenalan di lapangan dapat diketahui bahwa beberapa faktor yang
menyebabkan suatu kawasan longsor lahan antara lain :
1. Faktor internal
a. Genesis morfologi lereng (perubahan kemiringan dari landai ke curam)
b. Geologi (jenis batuan, sifat batuan, stratigrafi dan tingkat pelapukan)
Jenis batuan/tanah
- Tanah tebal dengan tingkat pelapukan sudah lanjut
- Kembang kerut tanah tinggi : lempung
Sedimen berlapis (tanah permeabel menumpang pada tanah impermeabel)
Perlapisan tanah/batuan searah dengan kemiringan lereng.
c. Tektonik dan Kegempaan
Sering mengalami gangguan gempa
Mekanisme tektonik penurunan lahan
2. Faktor luar (eksternal)
a. Morfologi atau Bentuk Geometri Lereng
Erosi lateral dan erosi mundur (backward erosion) yang intensif menyebabkan
terjadinya penggerusan di bagian kaki lereng, akibatnya lereng makin curam.
Makin curam suatu kemiringan lereng, makin kecil nilai kestabilannya.
Patahan yang mengarah keluar lereng
b. Hujan
Akibat hujan terjadi peningkatan kadar air tanah, akibatnya menurunkan
ketahanan batuan.
Kadar air tanah yang tinggi juga menambah beban mekanik tanah.
14
Sesuai dengan letak dan bentuk bidang gelincir, hujan yang tinggi
menyebabkan terbentuknya bahan gelincir.
c. Kegiatan Manusia
Mengganggu kestabilan lereng misal dengan memotong lereng.
Melakukan pembangunan tidak mengindahkan tata ruang wilayah/tata ruang
desa.
Mengganggu vegetasi penutup lahan sehingga aliran permukaan melimpah
misal dengan over cutting, penjarahan atau penebangan tak terkendali, hal ini
akan menyebabkan erosi mundur maupun erosi lateral.
Menambah beban mekanik dari luar misal penghijauan atau hasil reboisasi
yang sudah terlalu rapat dan pohonnya sudah besar-besar di kawasan rawan
longsor lahan dan tidak dipanen karena merasa sayang. Untuk ini maka
sangat diperlukan pengaturan hasil yang baik bagi hutan rakyat, program
penghijauan yang lain maupun program reboisasi baik yang berupa
pemanenan maupun penjarangan yang teratur.
Untuk dapat memberikan perhatian atau perlakuan khusus pada kawasan rawan
longsor lahan tersebut perlu dilakukan zonasi kawasan dengan memperhatikan
karakteristik kawasan rawan longsor lahan. Karakteristik kawasan rawan longsor antara
lain :
a. Kawasan yang mempunyai kelerengan 20 %
b. Tanah pelapukan tebal
c. Sedimen berlapis : Lapisan permeabel menumpang pada lapisan impermeabel
d. Tingkat kebasahan tinggi (curah hujan tinggi)
e. Erosi lateral intensif sehingga menyebabkan terjadinya penggerusan di bagian kaki
lereng, akibatnya lereng makin curam.
f. Mekanisme tektonik penurunan lahan
g. Patahan yang mengarah keluar lereng
h. Dip Perlapisan sama dengan Dip Lereng
i. Makin curam lereng, makin ringan nilai kestabilannya.
_
15
Aneka rekayasa dapat dilakukan untuk usaha pengendalian longsor lahan salah
satunya adalah rekayasa vegetatif dalam tindakan konservasi lahan.
Pemecahan Masalah Kesejahteraan Rakyat Pengendalian Daur Air, Erosi dan
Longsor Lahan Melalui Pengelolaan Lahan
Dalam rangka merancang pengelolaan lahan yang diarahkan untuk memecahkan
masalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengendalikan daur air,
mengendalikan erosi dan mengendalikan longsor lahan dapat dirancang melalui beberapa
pendekatan yang berupa rekayasa vegetatif yang dipadukan dengan rekayasa tehnik dan
didampingi dengan rekayasa sosial.
a. Lahan Rakyat
Di dalam pengelolaan lahan aspek kelestarian dalam jangka panjang sangat
penting. Dalam hal ini kelestarian dapat diartikan sebagai (Anonimus, 2000) :
1. Kecenderungan produktivitas pertanaman tidak menurun atau positif pada
rotasi berikutnya seraya menjaga serta meningkatkan kualitas basis
sumberdaya lahan.
2. Praktek-praktek managemen pertanaman tidak berpengaruh buruk pada
lingkungan.
3. Pertanaman secara ekonomis layak dan berkontribusi terhadap
kesejahteraan masyarakat.
Seperti telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa pola penggunaan lahan pada
umumnya adalah sawah, tegal, hutan, pekarangan, kebun, dan penggunaan lainnya.
Khusus untuk penggunaan lahan sawah bagi masyarakat petani di Indonesia masalah
utamanya adalah masalah managemennya bukan pada masalah pengelolaan lahannya,
misal masalah penggunaan air, pemilihan bibit unggul, adanya kecenderungan
peningkatan penggunaan pestisida yang justru akan mengganggu siklus kehidupan dan
penurunan produktivitas untuk sawah maka tidak diuraikan lebih lanjut di uraian ini.
Dalam realitas penggunaan lahan pedesaan yang berupa tegal, pekarangan, kebun
dan hutan rakyat, petani dapat mengelola sektor pertanian, kehutanan dan peternakan
secara terpadu dalam proporsi yang berbeda sesuai dengan kondisi fisiknya. Dengan
16
rekayasa vegetatif melalui pengetrapan pola agroforestry petani tidak terlalu penting
membedakan pertanian dan kehutanan atau peternakan. Konsern petani adalah bahwa
petani perlu menanam jenis tanaman pertanian, pohon maupun pakan ternak untuk
berbagai kebutuhan. Masing - masing komoditas memiliki peran sendiri - sendiri dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat misal tanaman pangan untuk memenuhi
kebutuhan jangka pendek, buah, dll., untuk memenuhi kebutuhan jangka menengah,
sedang kayu untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang misal kebutuhan biaya sekolah,
biaya punya hajatan atau biaya kesehatan, dll. Dengan demikian pemilihan jenis tanaman
sangat ditentukan oleh kebutuhan masyarakat setempat misal tanaman pangan berupa
jagung, ketela, empon-empon dan pakan ternak sebagai tanaman etase pertama; tanaman
buah misal mangga, sirsat, melinjo, kopi, petai,dll sebagai tanaman etase kedua; sengon,
akasia, jati, mahoni, dll sebagai tanaman etase ketiga dan kelapa dipilih sebagai tanaman
etase keempat.
Pola agroforestry biasanya dipilih masyarakat untuk mengelola lahannya apabila
memiliki tenaga kerja yang cukup dan untuk lahan yang dekat jaraknya dari rumah,
sedang apabila tenaga kerja kurang cukup dan utamanya yang jauh dari rumah
masyarakat dapat memilih menghutankan lahan miliknya dengan jenis tanaman
kayukayuan
tetapi tidak disarankan monokultur dan seumur.
Disamping rekayasa vegetatif, berbagai macam rekayasa tehnik utamanya yang
sederhana perlu di bangun di lahan-lahan tersebut misal teras guludan, teras individu,
teras bangku, embung, creeck fed ponds, rorak, saluran-saluran dan terjunan disesuaikan
dengan kemampuan dan kebutuhan.
Untuk mewujudkan pengelolaan lahan yang memenuhi prinsip kelestarian
beberapa rekayasa sosial juga diterapkan dalam pengelolaan hutan rakyat antara lain :
1. Hutan rakyat dikelola oleh kelompok tani yang dipimpin oleh seorang
ketua kelompok.
_ _ Anggota kelompok patuh pada pranata-pranata sosial yang dibuat oleh
kelompok misal: _
a. Untuk dapat menebang pohon harus seijin kelompok.
_ _ Pohon yang boleh ditebang adalah yang sudah masuk umur daur yang
disepakati kelompok._
17
_ _ Penebangan harus dengan sistem tebang pilih._
_ _ Bagi yang akan menebang harus sudah menyiapkan bibit baru._
_ _ Selesai menebang harus menanami kembali._
__ Bagi yang menebang bersedia menyerahkan dana ke kelompok yang
nantinya untuk studi banding atau perbaikan lingkungan. _
_
b. Lahan Hutan Negara
Lahan hutan negara di DAS Solo dapat dikatakan seluruhnya berada dalam
pengelolaan PT. Perhutani. Akhir-akhir ini muncul gangguan berupa pencurian dan
penjarahan kayu dalam skala kecil sampai skala besar. Penyebab tejadinya lahan kosong
atau lahan tidak produktif lainnya antara lain karena tanaman gagal yang disebabkan
adanya penggembalaan, kebakaran atau karena tidak sesuainya jenis tanaman, juga dapat
disebabkan karena bencana alam kekeringan, erosi dan longsor lahan. Areal bekas
penjarahan dan areal tidak produktif lainnya tersebut perlu direboisasi dan direhabilitasi
dengan pola yang tepat dengan mempertimbangkan berbagai hal terutama pengalaman
dan arah perkembangan pengelolaan dimasa mendatang dan sesuai dengan prinsip
kelestarian yang terdiri dari :
1. Kelestarian Produksi.
_ _ Kelestarian Usaha. _
_ Kelestarian Sosial._
Untuk mencapai tujuan tersebut sudah barang tentu bukan suatu hal yang sangat
mudah, terutama karena semakin banyaknya permintaan masyarakat akan fungsi hutan
yaitu fungsi produksi, sosial, ekonomi, lingkungan, meningkatkan PAD, penghasil
tanaman pangan / pertanian dan perkebunan.
Untuk itu maka dasar penetapan pola reboisasi dan rehabilitasi hutan yaitu
(Anonimus, 2000) :
1. Kelas perusahaan hutan.
_ _ Permintaan industri_
a. Skala industri
_ _ Lokasi industri_
3. Jenis tanah.
18
_ Tekanan sosial ekonomi masyarakat._
_ _ Aksesibilitas (jalan hutan menuju lokasi bagian hutan, sedang strategi
yang diusulkan :_
a. Masih dipertimbangkan kelas perusahaan yang ada dengan tidak
menutup kemungkinan adanya peluang pengembangan kelas hutan
jenis lain.
_ _ Dalam pelaksanaan dapat dikaitkan dengan pengembangan semacam
buffer zone melalui model kemitraan dengan masyarakat, penetapan
jenis tanaman, penurunan daur secara khusus._
_ _ Pengembangan desentralisasi dan otonomi pada aspek manajerial atau
operasional kepada KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan)._
_ _ Perluasan kerjasama dengan masyarakat dengan model kemitraan
yang diperluas pada kegiatan pengelolaan lainnya bahkan pada bagi
hasil produksi._
_ _ Adanya alternatif daur jati diperpendek dan mengembangkan jenis
kayu lain untuk perkakas dengan daur ± 10 - 15 tahun. _
_
Berbagai pola yang diusulkan untuk mereboisasi dan merehabilitasi lahan hutan
sesuai dengan dasar penutupannya serta strategi yang dibuat antara lain (Anonimus,
2000) :
Pola I
1. Pola I diperuntukkan bagi kelas perusahaan jati.
_ _ Permintaan bahan baku jati pesat._
_ Tanah tidak begitu baik bagi tanaman pertanian._
_ Tekanan penduduk berat._
_ _ Aksesibilitas ke lokasi bagian hutan sangat baik, maka perlakuan yang
diberikan berupa :_
a. Dibentuk kelas hutan dengan tujuan istimewa semacam buffer zone dengan
bentuk pengelolaan bersama masyarakat mulai dari penanaman (pola
agroforestry), pemeliharaan, perlindungan, dan pemanenan.
_ _ Dapat dilakukan penurunan daur jati menjadi 30 - 40 tahun._
19
c. Dapat dipertimbangkan peningkatan uang kontrak untuk membantu
kesejahteraan masyarakat.
d. Dapat dilakukan perubahan jenis tanaman pokok kehutanan.
Pola II
Pola II diberlakukan bagi :
1. Bagian hutan dengan kelas perusahaan Jati
2. Permintaan bahan baku industri baik
3. Jenis tanah memiliki keterbatasan kesuburan untuk tanaman pertanian.
4. Tekanan sosial ekonomi masyarakat cukup
5. Aksesibilitas ke lokasi bagian hutan baik, dapat diberikan perlakuan :
a. Intensifikasi tumpang sari
b. Kontrak kerja sama dalam berbagai jenis kegiatan pengelolaan hutan
(fresh money).
Pola III
Pola III dapat diberlakukan bagi :
1. Bagian hutan dengan kelas perusahaan Jati
2. Permintaan bahan baku industri sedang
3. Jenis tanah memiliki keterbatasan kesuburan untuk tanaman pertanian.
4. Tekanan sosial ekonomi penduduk sedang
5. Aksesibilitas ke lokasi bagian hutan tidak baik, dapat diselesaikan dengan
managemen rutin PT. Perhutani (tumpangsari 2 th).
Pola IV
Pola IV dapat diberlakukan bagi :
1. Bagian hutan dengan kelas perusakan kayu rimba (non Pinus).
2. Permintaan bahan baku kayu industri baik.
3. Jenis tanah memiliki keterbatasan kesuburan tanah untuk tanaman pertanian.
4. Tekanan sosial ekonomi masyarakat berat.
5. Aksesibilitas ke lokasi bagian hutan baik dapat diselesaikan dengan :
20
a. Ada kelas hutan dengan tujuan istimewa semacam buffer zone dengan
bentuk Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) mulai dari
penanaman, pemeliharaan, perlindungan hutan dan pemanenan.
b. Kontrak kerjasama dalam berbagai kegiatan pengelolaan hutan.
Pola V
Pola V diberlakukan bagi kelas perusahaan hutan non kayu (kayu putih). Pola
ini program reboisasinya dapat diselesaikan dengan tumpangsari.
Pola VI
Pola VI diberlakukan bagi kelas perusahaan Pinus dan dalam Pola VI dapat
diselesaikan dengan :
1. Program Banjar Harian
2. Program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)
3. Kontrak kerjasama dalam berbagai kegiatan pengelolaan hutan (fresh
money).
4. Produksi getah.
c. Pengendalian Longsor Lahan
Rekayasa vegetatif dan rekayasa tehnik dalam rangka usaha pencegahan atau
mengurangi longsor lahan baik di lahan rakyat maupun di lahan hutan negara antara lain
dengan:
a. Menghindari atau mengurangi penebangan pohon yang tidak terkendali dan tidak
terencana (over cutting, penebangan cuci mangkuk, dan penjarahan).
b. Penanaman vegetasi tanaman keras yang ringan dengan perakaran intensif dan dalam
bagi kawasan yang curam dan menumpang di atas lapisan impermeabel.
c. Mengembangkan usaha tani ramah longsor lahan seperti penanaman hijauan makanan
ternak (HMT) melalui sistem panen pangkas.
d. Mengurangi beban mekanik pohon-pohon yang besar-besar yang berakar dangkal dari
kawasan yang curam dan menumpang di atas lapisan impermeabel.
21
GAMBAR
e. Membuat Saluran Pembuangan Air (SPA) pada daerah yang berhujan tinggi dan
merubahnya menjadi Saluran Penampungan Air dan Tanah (SPAT) pada hujan yang
rendah.
f. Mengurangi atau menghindari pembangunan teras bangku di kawasan yang rawan
longsor lahan yang tanpa dilengkapi dengan SPA dan saluran drainase di bawah
permukaan tanah untuk mengurangi kandungan air dalam tanah.
g. Mengurangi intensifikasi pengolahan tanah daerah yang rawan longsor.
h. Membuat saluran drainase di bawah permukaan (mengurangi kandungan air dalam
tanah).
i. Bila perlu, di tempat-tempat tertentu bisa dilengkapi bangunan teknik sipil/bangunan
mekanik.
Beberapa contoh jenis tanaman yang mempunyai akar tunggang dalam dan akar
cabang banyak serta yang berakar tunggang dalam dengan sedikit akar cabang sebagai
berikut :
A. Pohon-pohon yang mempunyai akar tunggang dalam dan akar cabang banyak.
1. Aleurites moluccana (kemiri)
2. Vitex pubescens (laban)
3. Homalium tomentosum (dlingsem)
4. Lagerstroemia speciosa (bungur)
22
5. Melia azedarach (mindi)
6. Cassia siamea (johar)
7. Acacia villosa
8. Eucalyptus alba
9. Leucaena glauca
B. Pohon-pohon yang mempunyai akar tunggang dalam dengan sedikit akar cabang
1. Swietenia macrophylla (mahoni daun besar)
2. Gluta renghas (renghas)
3. Tectona grandis (jati)
4. Schleichera oleosa (kesambi)
5. Pterocarpus indicus (sono kembang)
6. Dalbergia sissoides (sono keling)
7. Dalbergia latifolia
8. Cassia fistula (trengguli)
9. Bauhinia hirsula (tayuman)
10. Tamarindus indicus (asam jawa)
11. Acacia leucophloea (pilang)
23
DAFTAR PUSTAKA
Dodi Supriadi, 1998. Potensi Peran Akuntansi Sumberdaya Hutan dalam Perumusan
Kebijaksanaan dan Strategi Manajemen Hutan. Makalah Seminar
Pengelolaan Hutan dan Produksi Air Untuk Kelangsungan Pembangunan, 23
September 1998. Jakarta.
Fakultas Kehutanan UGM, 2000. Kesesuaian Lahan Hutan untuk Tanaman Agroindustri
dalam Rangka Pelaksanaan Agroforestry di Lahan Kehutanan di KPH Telawa
dan KPH Gundih.
Febri Himawan, Pemahaman Sistem Dinamis Kestabilan Lereng Untuk Mitigasi
Kebencanaan Longsor, Fakultas Teknik Geologi, UNPAD. Proceding
Seminar Mitigasi Bencana Alam di UGM 16 – 17 September 1994.
Yogyakarta.
Hehanusa, P.E. 1999. Ketersediaan Air Dalam Perspektif Abad 21 Kaitannya dengan Hak
Azazi Manusia. Seminar Kebutuhan Air Bersih dan Hak Azazi Manusia.
Masyarakat Hidrologi Indonesia Bersama Himpunan Ahli Teknik Hidraulika
Indonesia. Di Bogor.
Justika S. Baharsyah, Irsal Las dan Hidayat Pawitan. Perilaku Prakiraan Anomali Iklim
serta Dampaknya Terhadap Ketersediaan Air dan Produksi Pertanian.
Makalah Seminar Usaha Peningkatan Ketahanan Pangan di Jawa Tengah
dalam Mengantisipasi Dampak Anomali Iklim El Nino Terhadap Pertanian.
Semarang, 15 November 2000.
Karnawati D.K., 2001. Sistem Peringatan Dini Tanah Longsor Dengan Pemberdayaan
Masyarakat. Makalah Lokakarya Pengembangan Sistem Peringatan Dini
Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengurangan Dampak Bencana Alam.
Kerjasama Antara Pusat Studi Bencana Alam UGM dengan PMI Pusat, 31
Januari 2001, Yogyakarta.
KMNLH (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup), 1997. Agenda 21 Indonesia.
Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan (Ringkasan). Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup. United Nations Development
Programme.
Manan, S., Rusdiana, O., Anifjaya, N.M., Wasis, B. dan Purwowidodo. 1999. Pengaruh
Kelas Perusahaan Hutan Pinus (Pinus Merkusii) terhadap produksi air : Studi
Kasus di KPH Tasikmalaya Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Seminar
Pengelolaan Hutan dan Produksi Air Untuk Kelangsungan Pembangunan.
Perum Perhutani Bekerjasama dengan Yayasan Institut Manajemen dan
Teknologi Kehutanan. Jakarta.
24
Seyhan E, 1977. Fundamentals of Hydrology, Geografisch Institut der Ryksuniversiteit te
Utrecht
Seyhan, E., 1990. Dasar-dasar Hidrologi (terjemahan oleh Sentot Subagya) Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Sri Astuti Soedjoko, Suyono, Darmadi, 1998. Kajian Neraca Air di Hutan Pinus. Makalah
Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan
Pembangunan, 23 September 1998, Jakarta.
Sri Astuti Soedjoko, Hatma Suryatmojo. 2002. Pembangunan Kawasan Gunung Kidul
Dengan Konservasi Lahan Yang Berwawasan Lingkungan. Makalah
Lokakarya Pengembangan Agribisnis Berbasis Sumberdaya Lokal dalam
Mendukung Pengembangan Ekonomi Kawasan Selatan Jawa, Malang, 22
Oktober 2002.
Sri Astuti Soedjoko, 2002. Konservasi Tanah dan Air di Hutan Produksi Berbasis Unit
Daerah Aliran Sungai. Makalah Workshop Konservasi Sumberdaya Hutan
Yogyakarta, 9 – 11 Agustus 2002
Sri Astuti Soedjoko, 2002. Rekayasa Vegetatif Dalam Pengendalian Longsor Lahan.
Utomo, WH, Titiek I dan Widianto, 1998. Pengaruh Tanaman Terhadap Hasil Air.
Makalah Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan
Pembangunan. 23 September 1998, Jakarta.
Lingkungan Alam
Rabu, 17 November 2010
UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Melestarikan lingkungan hidup merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi dan
bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin negara saja, melainkan
tanggung jawab setiap insan di bumi, dari balita sampai manula. Setiap orang harus
melakukan usaha untuk menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar kita sesuai dengan
kapasitasnya masing-masing. Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan sangat besar
manfaatnya bagi terwujudnya bumi yang layak huni bagi generasi anak cucu kita kelak.
Upaya pemerintah untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur bagi rakyatnya tanpa
harus menimbulkan kerusakan lingkungan ditindaklanjuti dengan menyusun program
pembangunan berkelanjutan yang sering disebut sebagai pembangunan berwawasan
lingkungan.
Pembangunan berwawasan lingkungan adalah usaha meningkatkan kualitas manusia
secara bertahap dengan memerhatikan faktor lingkungan. Pembangunan berwawasan
lingkungan dikenal dengan nama Pembangunan Berkelanjutan. Konsep pembangunan
berkelanjutan merupakan kesepakatan hasil KTT Bumi di Rio de Jeniro tahun 1992. Di
dalamnya terkandung 2 gagasan penting, yaitu:
a. Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan pokok manusia untuk menopang hidup.
b. Gagasan keterbatasan, yaitu keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan baik masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Adapun ciri-ciri Pembangunan Berwawasan Lingkungan adalah sebagai berikut:
a. Menjamin pemerataan dan keadilan.
b. Menghargai keanekaragaman hayati.
c. Menggunakan pendekatan integratif.
d. Menggunakan pandangan jangka panjang.
Pada masa reformasi sekarang ini, pembangunan nasional dilaksanakan tidak lagi
berdasarkan GBHN dan Propenas, tetapi berdasarkan UU No. 25 Tahun 2000, tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mempunyai tujuan di antaranya:
a. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan,
dan berkelanjutan.
b. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
c. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
dan pengawasan.
1. Upaya yang Dilakukan Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya memiliki
tanggung jawab besar dalam upaya memikirkan dan mewujudkan terbentuknya
pelestarian lingkungan hidup. Hal-hal yang dilakukan pemerintah antara lain:
a. Mengeluarkan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang mengatur tentang Tata Guna
Tanah.
b. Menerbitkan UU No. 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
c. Memberlakukan Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun 1986, tentang AMDAL
(Analisa Mengenai Dampak Lingkungan).
d. Pada tahun 1991, pemerintah membentuk Badan Pengendalian Lingkungan, dengan
tujuan pokoknya:
1) Menanggulangi kasus pencemaran.
2) Mengawasi bahan berbahaya dan beracun (B3).
3) Melakukan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
e. Pemerintah mencanangkan gerakan menanam sejuta pohon.
2. Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup oleh Masyarakat Bersama Pemerintah
Sebagai warga negara yang baik, masyarakat harus memiliki kepedulian yang tinggi
terhadap kelestarian lingkungan hidup di sekitarnya sesuai dengan kemampuan masingmasing.
Beberapa upaya yang dapat dilakuklan masyarakat berkaitan dengan pelestarian
lingkungan hidup antara lain:
a. Pelestarian tanah (tanah datar, lahan miring/perbukitan)
Terjadinya bencana tanah longsor dan banjir menunjukkan peristiwa yang berkaitan
dengan masalah tanah. Banjir telah menyebabkan pengikisan lapisan tanah oleh aliran air
yang disebut erosi yang berdampak pada hilangnya kesuburan tanah serta terkikisnya
lapisan tanah dari permukaan bumi. Tanah longsor disebabkan karena tak ada lagi unsur
yang menahan lapisan tanah pada tempatnya sehingga menimbulkan kerusakan. Jika hal
tersebut dibiarkan terus berlangsung, maka bukan mustahil jika lingkungan berubah
menjadi padang tandus. Upaya pelestarian tanah dapat dilakukan dengan cara
menggalakkan kegiatan menanam pohon atau penghijauan kembali (reboisasi) terhadap
tanah yang semula gundul. Untuk daerah perbukitan atau pegunungan yang posisi
tanahnya miring perlu dibangun terasering atau sengkedan, sehingga mampu
menghambat laju aliran air hujan.
b. Pelestarian udara
Udara merupakan unsur vital bagi kehidupan, karena setiap organisme bernapas
memerlukan udara. Kalian mengetahui bahwa dalam udara terkandung beranekaragam
gas, salah satunya oksigen.
Udara yang kotor karena debu atau pun asap sisa pembakaran menyebabkan kadar
oksigen berkurang. Keadaan ini sangat membahayakan bagi kelangsungan hidup setiap
organisme. Maka perlu diupayakan kiat-kiat untuk menjaga kesegaran udara lingkungan
agar tetap bersih, segar, dan sehat. Upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga agar udara
tetap bersih dan sehat antara lain:
1) Menggalakkan penanaman pohon atau pun tanaman hias di sekitar kita
Tanaman dapat menyerap gas-gas yang membahayakan bagi manusia. Tanaman mampu
memproduksi oksigen melalui proses fotosintesis. Rusaknya hutan menyebabkan jutaan
tanaman lenyap sehingga produksi oksigen bagi atmosfer jauh berkurang, di samping itu
tumbuhan juga mengeluarkan uap air, sehingga kelembapan udara akan tetap terjaga.
2) Mengupayakan pengurangan emisi atau pembuangan gas sisa pembakaran, baik
pembakaran hutan maupun pembakaran mesin Asap yang keluar dari knalpot kendaraan
dan cerobong asap merupakan penyumbang terbesar kotornya udara di perkotaan dan
kawasan industri. Salah satu upaya pengurangan emisi gas berbahaya ke udara adalah
dengan menggunakan bahan industri yang aman bagi lingkungan, serta pemasangan filter
pada cerobong asap pabrik.
3) Mengurangi atau bahkan menghindari pemakaian gas kimia yang dapat merusak
lapisan ozon di atmosfer Gas freon yang digunakan untuk pendingin pada AC maupun
kulkas serta dipergunakan di berbagai produk kosmetika, adalah gas yang dapat
bersenyawa dengan gas ozon, sehingga mengakibatkan lapisan ozon menyusut. Lapisan
ozon adalah lapisan di atmosfer yang berperan sebagai filter bagi bumi, karena mampu
memantulkan kembali sinar ultraviolet ke luar angkasa yang dipancarkan oleh matahari.
Sinar ultraviolet yang berlebihan akan merusakkan jaringan kulit dan menyebabkan
meningkatnya suhu udara. Pemanasan global terjadi di antaranya karena makin
menipisnya lapisan ozon di atmosfer.
c. Pelestarian hutan
Eksploitasi hutan yang terus menerus berlangsung sejak dahulu hingga kini tanpa
diimbangi dengan penanaman kembali, menyebabkan kawasan hutan menjadi rusak.
Pembalakan liar yang dilakukan manusia merupakan salah satu penyebab utama
terjadinya kerusakan hutan. Padahal hutan merupakan penopang kelestarian kehidupan di
bumi, sebab hutan bukan hanya menyediakan bahan pangan maupun bahan produksi,
melainkan juga penghasil oksigen, penahan lapisan tanah, dan menyimpan cadangan air.
Upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan hutan:
1) Reboisasi atau penanaman kembali hutan yang gundul.
2) Melarang pembabatan hutan secara sewenang-wenang.
3) Menerapkan sistem tebang pilih dalam menebang pohon.
4) Menerapkan sistem tebang–tanam dalam kegiatan penebangan hutan.
5) Menerapkan sanksi yang berat bagi mereka yang melanggar ketentuan mengenai
pengelolaan hutan.
d. Pelestarian laut dan pantai
Seperti halnya hutan, laut juga sebagai sumber daya alam potensial. Kerusakan biota laut
dan pantai banyak disebabkan karena ulah manusia. Pengambilan pasir pantai, karang di
laut, pengrusakan hutan bakau, merupakan kegatan-kegiatan manusia yang mengancam
kelestarian laut dan pantai. Terjadinya abrasi yang mengancam kelestarian pantai
disebabkan telah hilangnya hutan bakau di sekitar pantai yang merupakan pelindung
alami terhadap gempuran ombak.
Adapun upaya untuk melestarikan laut dan pantai dapat dilakukan dengan cara:
1) Melakukan reklamasi pantai dengan menanam kembali tanaman bakau di areal sekitar
pantai.
2) Melarang pengambilan batu karang yang ada di sekitar pantai maupun di dasar laut,
karena karang merupakan habitat ikan dan tanaman laut.
3) Melarang pemakaian bahan peledak dan bahan kimia lainnya dalam mencari ikan.
4) Melarang pemakaian pukat harimau untuk mencari ikan.
e. Pelestarian flora dan fauna
Kehidupan di bumi merupakan sistem ketergantungan antara manusia, hewan, tumbuhan,
dan alam sekitarnya. Terputusnya salah satu mata rantai dari sistem tersebut akan
mengakibatkan gangguan dalam kehidupan.
Oleh karena itu, kelestarian flora dan fauna merupakan hal yang mutlak diperhatikan
demi kelangsungan hidup manusia. Upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga
kelestarian flora dan fauna di antaranya adalah:
1) Mendirikan cagar alam dan suaka margasatwa.
2) Melarang kegiatan perburuan liar.
3) Menggalakkan kegiatan penghijauan.
KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP
Berdasarkan faktor penyebabnya, bentuk kerusakan lingkungan hidup dibedakan menjadi
2 jenis, yaitu:
1. Bentuk Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Peristiwa Alam
Berbagai bentuk bencana alam yang akhir-akhir ini banyak melanda Indonesia telah
menimbulkan dampak rusaknya lingkungan hidup. Dahsyatnya gelombang tsunami yang
memporak-porandakan bumi Serambi Mekah dan Nias, serta gempa 5 skala Ritcher yang
meratakan kawasan DIY dan sekitarnya, merupakan contoh fenomena alam yang dalam
sekejap mampu merubah bentuk muka bumi.
Peristiwa alam lainnya yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup antara lain:
a. Letusan gunung berapi
Letusan gunung berapi terjadi karena aktivitas magma di perut bumi yang menimbulkan
tekanan kuat keluar melalui puncak gunung berapi.
Bahaya yang ditimbulkan oleh letusan gunung berapi antara
lain berupa:
1) Hujan abu vulkanik, menyebabkan gangguan pernafasan.
2) Lava panas, merusak, dan mematikan apa pun yang dilalui.
3) Awan panas, dapat mematikan makhluk hidup yang dilalui.
4) Gas yang mengandung racun.
5) Material padat (batuan, kerikil, pasir), dapat menimpa perumahan, dan lain-lain.
b. Gempa bumi
Gempa bumi adalah getaran kulit bumi yang bisa disebabkan karena beberapa hal, di
antaranya kegiatan magma (aktivitas gunung berapi), terjadinya tanah turun, maupun
karena gerakan lempeng di dasar samudra. Manusia dapat mengukur berapa intensitas
gempa, namun manusia sama sekali tidak dapat memprediksikan kapan terjadinya gempa.
Oleh karena itu, bahaya yang ditimbulkan oleh gempa lebih dahsyat dibandingkan
dengan letusan gunung berapi. Pada saat gempa berlangsung terjadi beberapa peristiwa
sebagai akibat langsung maupun tidak langsung, di antaranya:
1) Berbagai bangunan roboh.
2) Tanah di permukaan bumi merekah, jalan menjadi putus.
3) Tanah longsor akibat guncangan.
4) Terjadi banjir, akibat rusaknya tanggul.
5) Gempa yang terjadi di dasar laut dapat menyebabkan tsunami (gelombang pasang).
c. Angin topan
Angin topan terjadi akibat aliran udara dari kawasan yang bertekanan tinggi menuju ke
kawasan bertekanan rendah.
Perbedaan tekanan udara ini terjadi karena perbedaan suhu udara yang mencolok.
Serangan angin topan bagi negara-negara di kawasan Samudra Pasifik dan Atlantik
merupakan hal yang biasa terjadi. Bagi wilayah-wilayah di kawasan California, Texas,
sampai di kawasan Asia seperti Korea dan Taiwan, bahaya angin topan merupakan
bencana musiman. Tetapi bagi Indonesia baru dirasakan di pertengahan tahun 2007. Hal
ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan iklim di Indonesia yang tak lain
disebabkan oleh adanya gejala pemanasan global.
Bahaya angin topan bisa diprediksi melalui foto satelit yang menggambarkan keadaan
atmosfer bumi, termasuk gambar terbentuknya angin topan, arah, dan kecepatannya.
Serangan angin topan (puting beliung) dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup
dalam bentuk:
1) Merobohkan bangunan.
2) Rusaknya areal pertanian dan perkebunan.
3) Membahayakan penerbangan.
4) Menimbulkan ombak besar yang dapat menenggelamkan kapal.
2. Kerusakan Lingkungan Hidup karena Faktor Manusia
Manusia sebagai penguasa lingkungan hidup di bumi berperan besar dalam menentukan
kelestarian lingkungan hidup. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berakal budi
mampu merubah wajah dunia dari pola kehidupan sederhana sampai ke bentuk kehidupan
modern seperti sekarang ini. Namun sayang, seringkali apa yang dilakukan manusia tidak
diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan generasi berikutnya. Banyak
kemajuan yang diraih oleh manusia membawa dampak buruk terhadap kelangsungan
lingkungan hidup.
Beberapa bentuk kerusakan lingkungan hidup karena faktor manusia, antara lain:
a. Terjadinya pencemaran (pencemaran udara, air, tanah, dan suara) sebagai dampak
adanya kawasan industri.
b. Terjadinya banjir, sebagai dampak buruknya drainase atau sistem pembuangan air dan
kesalahan dalam menjaga daerah aliran sungai dan dampak pengrusakan hutan.
c. Terjadinya tanah longsor, sebagai dampak langsung dari rusaknya hutan.
Beberapa ulah manusia yang baik secara langsung maupun tidak langsung membawa
dampak pada kerusakan lingkungan hidup antara lain:
a. Penebangan hutan secara liar (penggundulan hutan).
b. Perburuan liar.
c. Merusak hutan bakau.
d. Penimbunan rawa-rawa untuk pemukiman.
e. Pembuangan sampah di sembarang tempat.
f. Bangunan liar di daerah aliran sungai (DAS).
g. Pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan di luar batas.
Menanamkan Rasa Cinta Lingkungan Alam
Barangkali kurang kita sadari bahwa semakin sempurna dunia orang dewasa, semakin
membosankanlah hal itu bagi anak-anak. Di kota-kota, anak-anak sudah tidak
mempunyai peluang lagi untuk mengumpulkan pengalaman-pengalaman, yang bagi
anak-anak yang berada di luar kota merupakan hal biasa yang sehari-hari dijumpai.
Berjalan-jalan menerobos rumput setinggi lutut, memanjat pohon dan memetik buah,
berjungkir-jungkir menuruni bukit atau menyelusuri sebuah sungai kecil. Nah, tempat
bermain yang baik hendaknya bisa membuka kesempatan-kesempatan seperti itu.
Sebagaimana kita lihat, masih banyak tempat-tempat di pinggiran yang belum terjangkau
oleh perencanaan kota. terutama dalam hal tempat dan sarana bermain yang ideal bagi
anak-anak. Tetapi kalau kita sendiri tahu, bahwa anak-anak membutuhkan suatu
lingkungan yang beraneka corak yang dapat dijajaginya, mungkin kita bisa
mengarahkannya. Paling sedikit pada tempat yang di sekitarnya, anak-anak dapat
menciptakan sendiri suatu arena untuk kegiatannya.
Anak-anak yang tinggal di desa, dalam hal ini boleh dikatakan lebih mujur. Alam telah
membantu mereka. Padang yang luas, sungai-sungai dan bukit-bukit serta semak belukar
di sekeliling mereka merupakan arena bermain yang tidak terbatas. Dan kalau kita
perhatikan apa yang bisa mereka lakukan dengan semua itu, alangkah beranekaragamnya! Mereka ciptakan sendiri caranya, situasi dan alat-alatnya dari yang terdapat di
sana. Tetapi bagaimana dengan anak-anak yang tinggal di kota? Keadaannya memang
jauh berbeda. Tanah yang hampir setiap jengkal dipergunakan sebagai tempat tinggal,
sudah barang tentu memperkecil kesempatan bagi mereka untuk bermain sebebasbebasnya. Belum lagi situasi lalu-lintas yang ramai yang menjadi penghalang bagi
mereka untuk lebih merasa aman bermain.
Rupanya anak memang membutuhkan suatu keunikan bagi tempat bermainnya. Di
banyak tempat di pusat kota, anak-anak hampir tak menemukan cara lain yang cukup
menarik dan penuh tantangan daripada hanya saling baku hantam dan melepas keinginan
untuk memperoleh yang bukan-bukan. Dengan kata lain, di lingkungan yang padat dan
penuh sesak itu anak seperti kehilangan sesuatu. Rumah-rumah yang dibatas dan teratur
rapi tidak memberi peluang bagi anak untuk bergerak, halaman yang sempit tidak
memberikan kesempatan untuk melakukan penjajagan. Bayangkan! Kalau keadaan
memaksa segalanya berjalan rutin, tidak ada lagi yang bisa dirubah-rubah, tak ada lagi
yang bisa dicoba-coba atau dicari-cari, apalagi yang akan timbul di benak anak-anak
sebagai suatu kreasi?
Manusia dan lingkungan boleh dikatakan memiliki sifat-sifat yang kurang lebih sama,
yakni hidup, berkembang dan berfungsi. Hubungan dan pengaruh yang saling berkaitan
antara kedua 'jasad alam' itu menimbulkan dampak-dampak, baik yang positif maupun
yang negatif. Tetapi yang jelas, dampak positif yang sangat diharapkan dapat membantu
kelangsungan hidup secara nyaman, aman dan tentram menuntut adanya tanggung jawab
akan pemeliharaan demi kelestarian alam secara keseluruhan.
Bila suatu anak kelihatan terpaku pada sesuatu yang sesungguhnya biasa, inilah
kesempatan bagi orang tua dan guru untuk memberikan penjelasan padanya. Langkah
pertama adalah menjalin komunikasi untuk bersama-sama memperhatikan sesuatu. Yang
mungkin agak sulit adalah membangkitkan minatnya ke arah 'penelitian' pada waktu kita
mengajaknya berjalan-jalan. Jika anak lebih suka memperhatikan seekor serangga yang
mati atau ia lebih senang berlari-lari di padang rumput yang menghijau, maka sulit untuk
menemukan sesuatu yang 'berharga' di sana. Tentu saja anak akan menyatakan keinginan
dan kegembiraannya, sehingga mau tak mau kita akan menurutinya pula. Bila segala
macam bujukan tak ada hasilnya, satu-satunya jalan adalah bersabar.
Sambil berjalan-jalan kita dapat menerangkan segala sesuatu kepada anak terutama
hubungannya dengan kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Anak harus diberitahu,
bahwa sebatang pohon itu bisa berasal dari sebuah biji yang cukup matang dan tua. Dan
jika pohon itu dipelihara dengan baik, maka ia akan tumbuh dan mendatangkan hasil
yang bisa dipetik manfaatnya bagi kehidupan kita. Biji jagung, kacang dan kedelai yang
tercampak di tanah, akan menjadi pohon yang berdaun, berbunga dan berbuah, sementara
biji buah-buahan sudah barang tentu demikian pula. Apalagi kalau biji-biji itu sengaja
ditanam, dipupuk dan dipelihara. Burung-burung, kupu-kupu, kumbang dan cacing tanah
sekali pun, adalah makhluk hidup yang besar manfaatnya bagi kehidupan manusia. Kalau
anak-anak itu tidak mengetahui apa fungsi dan kegunaannya, tidak mengherankan bila
mereka akan mengganggu atau membinasakannya.
Setelah anak mengerti tentang kebutuhan hidup setiap makhluk dan hubungannya satu
sama lain, kita dapat meningkatkan pengetahuannya tentang di mana binatang atau
tumbuhan itu bisa hidup. Jika kita jelaskan tempat hidup yang sesungguhnya, kita sendiri
mungkin akan tergugah melihat betapa setiap jenis makhluk itu memilih-milih
tempatnya. Barulah kita sadari bahwa hal-hal seperti persediaan makanan, tempat bertelur
dan lain-lain sangat menentukan apakah suatu jenis makhluk dapat hidup di suatu tempat.
Jelaslah bahwa tidak setiap tempat mempunyai kondisi yang sama. Dengan demikian
dapat kita simpulkan, bahwa perusakan yang terjadi pada suatu lingkungan hidup dapat
mengakibatkan punahnya kelangsungan hidup suatu makhluk.
Tepat sekali jika pada kanak-kanak sejak kecil sudah ditanamkan rasa sayang terhadap
lingkungan. Mula-mula lewat binatang piaraan, lalu kebersihan sekitar rumah dan
halaman, termasuk membuatnya selalu hijau, karena akrab dibelai tangan-tangan
manusia. Usaha ini memang tidak gampang. Tantangan yang nyata ialah bahwa banyak
sekali daerah pemukiman yang berhalaman sempit.
Di musim liburan, ketika berpuluh-puluh bis dikerahkan untuk membawa murid pergi
rekreasi, hendaknya bisa dipakai sebagai kesempatan untuk menanamkan cinta alam. Di
sini guru perlu mengadakan suatu persiapan. Apa artinya alam bagi manusia? Mengapa
kita harus menghormati alam dan menyayanginya? Mengapa harus dilestarikan? Apa
bedanya suasana kota yang hiruk-pikuk dengan suasana di luar kota yang lebih tenang?
Mengapa demikian?
Bagaimana pun juga, salah satu aspek dari keadaan pendidikan kita yang bergerak maju
dengan segala perubahan yang menyertainya, adalah anjuran untuk menanamkan
perhatian dan pengertian terhadap lingkungan hidup kepada anak didik kita.
Download