Pemanasan global Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Anomali suhu permukaan rata-rata selama periode 1995 sampai 2004 dengan dibandingkan pada suhu rata-rata dari 1940 sampai 1980 Pemanasan global atau Global Warming adalah adanya proses peningkatan suhu ratarata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut. Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan. Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem,[2] serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan. Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensikonsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca. Daftar isi [sembunyikan] 1 Penyebab pemanasan global o 1.1 Efek rumah kaca o 1.2 Efek umpan balik o 1.3 Variasi Matahari 2 Mengukur pemanasan global 3 Model iklim 4 Dampak pemanasan global o 4.1 Iklim Mulai Tidak Stabil o 4.2 Peningkatan permukaan laut o 4.3 Suhu global cenderung meningkat o 4.4 Gangguan ekologis o 4.5 Dampak sosial dan politik 5 Perdebatan tentang pemanasan global 6 Pengendalian pemanasan global o 6.1 Menghilangkan karbon o 6.2 Persetujuan internasional 7 Lihat pula 8 Referensi 9 Pranala luar [sunting] Penyebab pemanasan global [sunting] Efek rumah kaca Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, sulfur dioksida dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya. Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan suhu rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dari suhunya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global. [sunting] Efek umpan balik Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).[3] Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer. Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3] Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es.[4] Ketika suhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan. Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif. Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.[5] [sunting] Variasi Matahari Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir. Artikel utama untuk bagian ini adalah: Variasi Matahari Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6] Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.[8][9] Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University memperkirakan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan suhu rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat perkiraan berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca. Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.[14] [sunting] Mengukur pemanasan global Hasil pengukuran konsentrasi CO2 di Mauna Loa Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan suhu rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai. Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer. Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Suhu terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya. Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran suhu akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas. Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa suhu udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan suhu rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali.[15] Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan risiko populasi yang sangat besar. [sunting] Model iklim Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim berdasarkan scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mengurangi emisi. Artikel utama untuk bagian ini adalah: Model iklim global Para ilmuan telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model computer berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamikan fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim yang lebih hangat.[16] Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas rumah kaca di masa depan, sensitivitas iklimnya masih akan berada pada suatu rentang tertentu. Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1 °C hingga 6.4 °C (2.0 °F hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia. Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan suhu global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari iklim.[17] Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau aktivitas manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia. Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim di masa depan, dilakukan berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus terhadap Skenario Emisi (Special Report on Emissions Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.[18][19][20] Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketidakpastian terhadap model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini.[21] Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai apakah model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari. [sunting] Dampak pemanasan global Para ilmuan menggunakan model komputer dari suhu, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia. [sunting] Iklim Mulai Tidak Stabil Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Suhu pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat. Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)[22]. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem. [sunting] Peningkatan permukaan laut Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi. Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21. Perubahan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai. Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades. [sunting] Suhu global cenderung meningkat Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat. [sunting] Gangguan ekologis Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah. [sunting] Dampak sosial dan politik Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain. Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climate change)yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu) Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain. [sunting] Perdebatan tentang pemanasan global Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah suhu benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan suhu. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah. Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut. Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih. Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisa baru tentang suhu air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: suhu laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada suhu rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti.[22] Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas. [sunting] Pengendalian pemanasan global Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan. Kerusakan yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin. Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca. [sunting] Menghilangkan karbon Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca. Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, dimana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan. Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, tetapi tidak melepas karbon dioksida sama sekali. [sunting] Persetujuan internasional Artikel utama untuk bagian ini adalah: Protokol Kyoto Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas. Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negaranegara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005. Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaanperusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien. Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida. Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem dimana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa. 1 Latar Belakang Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (Lanscape) yang meliputi lingkungan fisik termasuk iklim, topografi / relief, hidrologi tanah dan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Penggunaan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo seperti pada umumnya di DAS yang lain secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi: hutan, tegalan, perkebunan, sawah, pemukiman dan penggunaan lain. Penetapan penggunaan lahan pada umumnya didasarkan pada karakteristik lahan dan daya dukung lingkungannya. Bentuk penggunaan lahan yang ada dapat dikaji kembali melalui proses evaluasi sumberdaya lahan, sehingga dapat diketahui potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya. Untuk lebih memperluas pola pengelolaan sumberdaya lahan diperlukan tehnologi usaha tani yang tidak terlalu terikat dengan pola penggunaan lahan dan akan lebih parah lagi hasilnya apabila pembangunan pertanian masih melalui pendekatan sektoral tanpa ada integrasi dalam perencanaan maupun implementasinya. Agroforestry adalah pola usaha tani produktif yang tidak saja mengetengahkan kaidah konservasi tetapi juga kaidah ekonomi. Betapa pentingnya masalah konservasi ini perlu diperhatikan apabila mengingat bahwa usaha tani di Indonesia ini ditangani oleh petani kecil apabila ditinjau dari kepemilikan lahan. Pemilikan lahan di DAS Solo seperti halnya di DAS lain rata-rata adalah kecil dan kemungkinan besar akan selalu berkurang dengan selalu bergulirnya waktu. Kesadaran akan perlunya konservasi lahan sebenarnya sudah sejak lama, akan tetapi selalu saja ada kesenjangan antara keinginan para petani pemilik lahan dengan para ahli konservasi tanah karena biasanya adanya keterbatasan biaya dari para petani untuk melaksanakan perlakuan-perlakuan yang diperlukan. Hal ini disebabkan karena pada pendekatan lama konsentrasi kegiatan konservasi ada pada pembuatan bangunan2 bangunan teras, saluran-saluran dan bangunan lainnya dan sering dilakukan dengan cara melarang orang bertanam di lahan miring, dll. Dewasa ini Young (1997) dalam Sabarnurdin (2002) menyatakan bahwa ada pendekatan baru konservasi tanah yang disebut land husbandry yang diwujudkan dalam usaha tani dengan pendekatan konservasi. Ciri dari pendekatan ini adalah: 1. Memfokuskan pada hilangnya tanah dan pengaruhnya terhadap hasil tanaman sehingga perhatian utamanya bukan lagi pada bangunan fisik tetapi kepada metode biologis untuk konservasi seperti halnya penanaman penutup lahan. 2. Memadukan tindakan konservasi tanah dan konservasi air sehingga masyarakat mendapat keuntungan langsung dari usaha tersebut. 3. Melarang bertani dilereng bukan penyelesaian masalah. Tindakan seperti ini tidak bisa diterima secara sosial dan politis. Yang harus dicari adalah metode bertani yang bisa mempertahankan kelestarian sumberdaya lahan dan alam. 4. Konservasi lahan akan berhasil bila ada partisipasi dari masyarakat terutama para petani. Motivasi masyarakat akan timbul bila mereka melihat keuntungan yang akan diperoleh. 5. Yang terpenting lagi adalah perlu adanya pemahaman bahwa kegiatan konservasi lahan adalah bagian integral dari usaha perbaikan sistem usaha tani. Agroforestry sebagai sistem penggunaan lahan makin diterima oleh masyarakat karena terbukti menguntungkan bagi pembangunan sosial ekonomi, sebagai ajang pemberdayaan masyarakat petani dan pelestarian sumberdaya alam dan pengelolaan lingkungan daerah pedesaan. Pola ini dirasa sangat cocok dikembangkan di DAS Solo Hulu yang banyak kawasan bertopografi miring, sehingga banyak erosi, pemilikan lahan sempit dengan kepadatan agraris tinggi ± 6 orang / Ha (CDMP, 2001). Permasalahan Perilaku DAS mencakup sifat-sifat morfometri dan hidrologis. Morfometri DAS sangat ditentukan oleh kondisi fisiografi (topografi dan bantuan) dan iklim terutama hujan. Sifat morfometri antara antara lain pola alur sungai, bentuk DAS, elevasi dan kemiringan DAS. Di Sub DAS Bengawan Solo Hulu terdapat Waduk Gadjah Mungkur dengan daerah tangkapan seluas 1350 Km2 dengan 7 buah sungai utama didalamnya. 3 Daerah tangkapan (DTA) Waduk Gadjah Mungkur terdiri dari beberapa satuan fisiografi yaitu satuan Gunung Lawu, Pegunungan Batur Agung, Pegunungan Selatan Berbatu Vulkanis serta Pegunungan Selatan Berbatu Gamping. 1. Di DTA Waduk Gadjah Mungkur telah terjadi erosi cukup berat yang ditandai adanya permunculan batuan induk, erosi parit dan sedimentasi. Dari 102 Sub DAS di DAS Solo yang meliputi 23 wilayah kabupaten, ada 28 Sub DAS yang memiliki potensi erosi besar. Erosi aktual yang terjadi terkecil adalah 4,72 ton/Ha/th di Sub DAS Precel dan erosi terbesar terjadi di Sub DAS Dengkeng sebesar 195,84 ton/Ha/th (Anonimus, 2002). 2. Daerah tangkapan air antara Gunung Merapi dan Lawu lahannya sangat subur sehingga menyebabkan perkembangan pemukiman dan industri di wilayah ini sangat pesat. Dampak yang terjadi adalah limbah rumah tangga dan limbah pabrik akan mencemari air tanah, koefisien aliran akan meningkat sehingga erosi pun secara potensial meningkat pula. 3. Anak sungai Bengawan Solo di daerah Sragen, Ngawi, di bagian utara berasal dari daerah Pegunungan Kendeng bertipe intermitten (mengalir pada waktu musim hujan) karena daerah tangkapan air tidak terlalu luas tingkat kelulusan batuan rendah (napal), serta curah hujan ± 2000 mm/th dengan bulan kering 5-6 bulan dengan koefisiensi aliran tinggi dan langka air tanah. 4. Bengawan Madiun mengalir dari daerah Kabupaten Ponorogo, Madiun dan Magetan. Dibagian hulu di daerah kabupaten Ponorogo kondisi lahan sangat kritis ditandai adanya erosi parit, longsor lahan dan munculnya batuan induk (Anonimus, 2002). 5. Daerah Bengawan Solo Hilir secara fisiografi berupa Pegunungan Rembang di sebelah utara sungai, Pegunungan Kendeng di sebelah selatan sungai dan dataran aluvial. Daerah ini sering menghadapi masalah banjir dan sering terjadi intrusi air laut terutama pada musim kemarau. Permasalahan - permasalahan di atas sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lahan. Sudah barang tentu memerlukan suatu tehnologi sederhana yang mungkin dapat diterapkan oleh para petani secara langsung misal pola agroforestry seperti telah diterangkan di halaman terdahulu. 4 Maksud, Tujuan dan Kegunaan 1. Maksud. Sosialisasi Aspek Pengelolaan lahan adalah untuk memberikan gambaran kepada berbagai stakeholder utamanya masyarakat dan pemerintah daerah akan pentingnya pengelolaan lahan yang lestari dan terpadu. 2. Tujuan a. Pola Agroforestry menjadi pola pilihan masyarakat dalam mengelola sumberdaya lahan yang lestari dan terpadu. b. Akan segera muncul kemandirian masyarakat dalam mengelola sumberdaya lahan karena pola Agroforestry merupakan pola yang sudah dikenal masyarakat sejak lama. 3. Kegunaan a. Bagi Masyarakat 1. Tersedianya lapangan pekerjaan yang terus menerus karena adanya deversitas kegiatan dalam mengelola agroforestry. 2. Peningkatan kesejahteraan masyarakat akan terjadi dengan adanya deversifikasi hasil pertanian, kehutanan dan peternakan. b. Bagi Swasta 1. Tersedianya bahan baku industri kayu secara lestari bagi industri skala kecil menengah. 2. Tersedianya bahan baku industri pertanian karena pola agroforestry juga mencakup tanaman agroindustri misal tanaman perkebunan dan buah. 3. Berkembangnya usaha peternakan. c. Bagi Pemerintah Daerah 1. Berkurangnya masalah pencari kerja. 2. Meningkatnya Pendapatan Asli Daerah 5 d. Bagi Daerah Aliran Sungai 1. Lebih terkendalinya proses erosi dan banjir. 2. Terbentuknya ekosistem yang lebih nyaman bagi kehidupan. Metode Pengembangan Fungsi Pengelolaan Lahan 1. Tehnik Pengelolaan Lahan yang Produktif dan Konservatif Melalui Agroforestry Berubahnya Lanskap akibat adanya tekanan penduduk dan intensifikasi pemanfaatan sumberdaya lahan, mengarah pada pengakuan terhadap agroforestry sebagai al;ternatif sistem pengelolaan lahan dalam rangka pembangunan berkelanjutan baik didataran tinggi maupun di dataran rendah (Sabarnurdin, 2002). Berbeda dengan bidang pertanian maupun kehutanan murni, kontribusi agroforestry dalam bidang sosial ekonomi bisa lebih bervariasi karena komponen usahanya lebih beragam. Tambahan lagi selain membuka kemungkinan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi dan peningkatan taraf hidup mampu juga menimbulkan multiplier effect dan agroforestry juga memperbaiki serta meningkatkan kondisi lingkungan (Anonimus, 2000). Kelemahan para petani pada umumnya adalah pada sistem pemasaran hasil. Dengan menawarkan kombinasi hasil, produktivitas lebih lestari. Adanya komponen pohon yang bisa diatur pemungutan hasilnya hanya apabila diperlukan, karena apabila tidak diperlukan bisa dibiarkan hidup dengan tidak kawatir rusak dan bahkan nilainya akan bertambah. Kelestarian hasil lebih diperjelas dengan tambahan adanya produksi bidang peternakan, sedang konsumsi harian dapat ditopang oleh produk tanaman pertanian. Produk agroforestry bisa lebih ditingkatkan menjadi produk yang diorientasikan pada agribisnis dengan dukungan dari swasta atau pemerintah daerah misalkan menyediakan pabrik pengolahan hasil misal pabrik pengelolaan nanas atau komoditas lainnya dalam skala kecil menengah. Peluang bagi digunakannya sistem agroforestry dalam pengelolaan lahan juga disebabkan karena (Sabarnurdin, 2002) : 6 1. Agroforestry adalah metode biologis untuk konservasi dan pemeliharaan penutup tanah sekaligus memberikan kesempatan menghubungkan konservasi tanah dengan konservasi air. 2. Dengan agroforestry yang produktif dapat digunakan untuk memelihara dan meningkatkan produksi bersamaan dengan tindakan pencegahan erosi. 3. Kegiatan konservasi yang produktif memperbesar kemungkinan diterimanya konservasi oleh masyarakat sebagai kemauan mereka sendiri. Digunakannya tehnik diagnostik dan designing untuk merumuskan pola tanam secara partisipatif merupakan kelebihan dari tehnik agroforestry. 2. Hutan Sebagai Pengendali Daur Air dan Longsor Lahan Pada masa-masa tertentu terutama pada awal musim hujan atau pada akhir musim hujan kita sering mendengar dan membaca berita tentang banjir dan longsor lahan di beberapa daerah. Kejadian ini sudah barang tentu menimbulkan keprihatinan kita semua. Kejadian demi kejadian akhir-akhir ini terus susul menyusul dimulai dari Cilacap, Purworejo, Kulonprogo, Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat dan Menado. Peristiwa banjir dan longsor lahan telah menelan korban jiwa dan harta benda tidak sedikit sehingga muncul pertanyaan mengapa terjadi demikian dan bagaimana cara mengantisipasinya sehingga peristiwa alam tersebut dapat dihindari atau dikurangi dampak negatifnya. DAS Solo seperti halnya Indonesia pada umumnya sebagai suatu daerah yang beriklim tropis. Di beberapa tempat mempunyai kecenderungan berintensitas hujan tinggi, di beberapa tempat memiliki bentuk lahan yang bergelombang, berbukit maupun bergunung dengan kondisi yang punya potensi longsor lahan yang cukup besar. Disamping itu persebaran penduduk sering tidak memperhatikan tata ruang wilayah atau tata ruang desa, maka untuk menghindari adanya korban, perlu dilakukan usaha-usaha agar masyarakat terhindar dari malapetaka pada kesempatan lain. Usaha itu bisa dalam bentuk perlu disusunnya kembali tata ruang desa atau dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat bagaimana cara mendeteksi, antisipasi dan mengatasi peristiwa yang sangat memilukan tersebut. Disamping itu juga bisa dengan memperbaiki pola pengelolaan lahannya yang lebih ramah lingkungan sehingga banjir, kekeringan dan longsor lahan tidak terjadi. Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam rangka mencegah 7 atau bahkan bersahabat (memiliki tingkat adaptasi yang tinggi) dengan banjir dan longsor lahan dalam lingkungan ekologi yang menyejukkan. Pengendalian daur air, erosi dan longsor lahan merupakan suatu kegiatan yang tak terpisahkan bagai ke dua sisi mata uang yang merupakan satu kesatuan. Akhir-akhir ini masyarakat semakin banyak menopangkan harapan pada hutan untuk mengatasi masalah pengendalian daur air, erosi dan longsor lahan. Harapan yang sangat perlu didukung bersama untuk dapat mewujudkannya karena banyak kelebihan ekosistem hutan untuk dapat mewujudkan harapan tersebut. Akan tetapi perlu disadari bersama bahwa nilai perannya terhadap ketiga hal tersebut diatas sangat ditentukan oleh luas, jenis, watak petumbuhan, keadaan pertumbuhan dan struktur hutannya. Disamping itu untuk suatu keadaan ekosistem hutan tertentu peran tersebut dibatasi oleh keadaan iklim, geologi, watak tanah dan geomorfologi. Sebagai contoh untuk kawasan yang secara geologis rawan longsor lahan, bagi daerah yang mempunyai intensitas hujan yang tinggi dan lereng yang terjal, justru dengan penutupan hutan terlalu rapat dan pohonnya besar-besar, malahan akan menyebabkan terjadinya longsor lahan. Kenyataan ini menyadarkan kita semua bahwa kita perlu mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi, daur air dan longsor lahan. Dalam usaha untuk mengatasi masalah-masalah tersebut maka didalam membangun hutan maupun agroforestry perlu memperhatikan faktor tanah, iklim, tanaman, geologi dan geomorfologi serta masalah kependudukan untuk mengenali watak run off potensial, stabilitas lahan dan tak kalah pentingnya adalah pengenalan atas watak tanaman diantaranya yang berupa evapotranspirasi, dekomposisi seresah, pertumbuhan dan beban mekanik tanaman, seperti yang dapat diperiksa pada Gambar di bawah ini. 8 Diagram Alir Tahapan Pembuatan Rancangan Reboisasi dan Penghijauan untuk Pengendalian Daur Air dan Longsor Lahan secara Teknik Biologik (Pusposutardjo, 1984, dimodifikasi) dalam Sri Astuti Soedjoko (2002). Analisis Mekanik Tanah Watak Mekanik Tanah PENDUDUK TANAH TANAMAN IKLIM Geologik & Geomorfologik Analisis Sosial Ekonomi dan Budaya Analisis Fisik & Kimiawi Analisis Et, Watak Pertumbuhan, BebanTanaman Analisis Etp Potensial & Neraca Air Analisis Geologik & Geomorfologik Lahan Potensi Kesesuaian Kepentingan Potensi, Fisik & Kimiawi Deskripsi Watak Tanaman Deskripsi iklim Watak Geologik & Geomorfoligik lahan Analisis Kesesuaian Tanaman Analisis Watak Run Off Potensial & Stabilitas lahan Analisis Kesesuaian Kepentingan Analisis Kesesuaian Tanah Tanaman-tanaman terpilih Terhadap Kesesuaian Iklim Tanaman Terpilih Terhadap Kesesuaian Iklim, Tanah dan Kepentingan Rancangan tanaman Jenis, Kerapatan, dll, dan Rancangan Mekanik Pola Reboisasi dan Penghijauan Teknik Biologik 9 Berbagai gejala yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pada umumnya, dapatlah diindikasikan bahwa masyarakat kita saat ini sedang mulai mengalami perubahan yang kemungkinan akan menampakkan tuntutan yang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Disamping itu pertumbuhan dan mobilitas penduduk yang cepat akan berpacu dengan ketidak seimbangan antara ketersediaan sumberdaya alam yang murah dengan meningkatnya kebutuhan. Disamping itu tingginya jumlah penduduk yang juga diikuti oleh tingginya laju pertambahan penduduk akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk produksi dan pemukiman maupun meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya air yang sangat penting bagi kehidupan. Akibat banyaknya lahan yang beralih fungsi yang tadinya merupakan kawasan resapan menjadi kawasan pertanian dan pemukiman akan menyebabkan terganggunya daur air kawasan. Tidak kalah memprihatinkan sangat maraknya penjarahan hutan yang mengakibatkan banyaknya penebangan hutan yang tidak terencana mengakibatkan peran hutan sebagai pengendali daur air kawasan menjadi terganggu. Air dipandang sebagai sumberdaya memiliki multidimensi yaitu ketersediaan dalam waktu (musim kemarau atau musim hujan), dalam ruang (digunung sampai di pantai), dalam kualitas dan kuantitas baku mutu yang sesuai kebutuhan atau peruntukannya (Tedjoyuwono N, 1994 dan Soedjarwadi, 1994). Secara alami daur air di suatu kawasan ditentukan oleh ciri-ciri khas lingkungan geofisik. Ditinjau dari sudut peradaban manusia, daur air dapat dipengaruhi pula oleh kondisi sosial ekonomi dan tehnologi yang dikuasai oleh manusia. Dalam abad 21 ke depan semakin dirasakan akan adanya keterbatasan alam dalam menyediakan air bagi kehidupan. Kelimpahan sumberdaya air yang dimiliki Indonesia tidak menjamin melimpahnya ketersediaan air kawasan pada dimensi ruang dan dimensi waktu. Variasi iklim serta kerentanan sistem sumberdaya air terhadap perubahan iklim akan memperparah status krisis air yaitu dengan meningkatnya frekuensi banjir dan panjangnya kekeringan, sehingga ketersediaan air semakin tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan air untuk berbagai penggunaan. Dalam Seminar Sehari Kebutuhan Air Bersih dan Hak Azazi Manusia di Bogor pada tanggal 25 Februari 1999 dinyatakan bahwa ketersediaan air bersih sebesar 50 l/hari/kapita sebagai hak azasi manusia perlu disebarluaskan sehingga adalah wajar keberpihakan kepada seluruh penduduk agar memperoleh hak air bersih bagi kehidupannya secara langsung minimal 10 50 l/hari/kapita. Angka ini sesungguhnya masih rendah apabila dibanding dengan sasaran penyediaan kebutuhan air ibu kota provinsi di Indonesia sebesar 130 l/hari/kapita, dan di DKI 220 l/hari/kapita. Berbagai negara Eropa dan Amerika Utara angka itu telah berkisar antara 300 – 600 l/hari/kapita dan dalam waktu tidak lama akan naik menjadi 500 – 1000 l/hari/kapita. (Hehanusa PE, 1999), sedang secara tidak langsung sesungguhnya manusia membutuhkan air jauh lebih besar yaitu 2600 l/hari/kapita karena untuk menghasilkan 1 kg beras diperlukan 4160 l air, 1 kg gula diperlukan 1040 l air dan 1 kg daging dibutuhkan 20.860 l air (FAO, 1996 dalam Hidayat Pawitaan, 1999). Di samping itu dengan dipacunya pertumbuhan ekonomi, permintaan akan sumberdaya air baik kuantitas maupun kualitasnya semakin meningkat pula dan di tempat-tempat tertentu melebihi ketersediaannya. Hal ini menyebabkan sumberdaya air dapat menjadi barang yang langka. Kerisauan ini lebih ditegaskan oleh pakar dunia dalam rangkaian pertemuannya mulai dari pertemuan di Roma, Stockholm, Dublin, Rio de Janeiro dan terakhir di Paris pada bulan Juni 1998 dalam “International Coonference on World Water in the 21 th Century” disimpulkan bahwa ancaman akan adanya krisis air di awal abad 21 bukanlah suatu khayalan (Hehanusa PE, 1999). Ironisnya kelangkaan sumberdaya air tersebut tidak dicerminkan oleh penghargaan orang atas sumberdaya air tersebut. Dari fakta yang ada tampak bahwa sumberdaya air masih belum mendapat perlindungan secara maksimal untuk mempertahankan neraca air kawasan yang optimal. Terjadinya pencemaran dibanyak tempat dan terjadinya penggundulan hutan di sana-sini menunjukkan bahwa perhatian terhadap kelestarian sumberdaya air perlu secara total ditingkatkan (KMNLH, 1997). Saat ini masih nampak lemahnya posisi tawar-menawar kawasan hutan terhadap perubahan fungsi lain yang lebih menguntungkan selain sebagai produsen kayu. Hal ini dapat ditelusuri sebagai akibat dari lemahnya sistem akunting sumberdaya hutan (Dodi Supriadi, 1998). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sumberdaya hutan sebagai asset pada dasarnya merupakan faktor produksi yang mengalami penurunan akibat kegiatan eksploitasi. Dari sisi akunting penurunan asset atau faktor produksi seharusnya menjadi beban biaya (depresiasi) yang dimasukkan sebagai salah satu komponen cost analisis dalam pengelolaan sumberdaya hutan, namun sampai saat ini depresiasi sumberdaya hutan sebagai faktor produksi tidak pernah diperhitungkan, sehingga keuntungan yang diperoleh selama ini merupakan keuntungan semu. Lebih menarik lagi setelah 11 mencermati hasil penelitian yang dilakukan oleh Dodi Supriadi (1998) disimpulkan bahwa nilai intangible hutan lindung yang utamanya sebagai penyedia air mempunyai nilai ekonomi enam kali lebih besar dari nilai kayu, bahkan total nilai manfaat intangible hutan (plus rekreasi, wildlife dan kualitas lingkungan) akan semakin lebih besar lagi. Saat ini banyak peneliti telah melakukan berbagai penelitian untuk menghubungkan perlakuan-perlakuan hutan terhadap perilaku hidrologi. Hal yang sudah diterima secara umum adalah bahwa penggunaan vegetasi penutup hutan akan dapat memperbaiki fluktuasi aliran air (Seyhan, 1990). Menghadapi berbagai kenyataan di atas maka perhatian orang mulai memandang hutan sebagai suatu sistem penyangga kehidupan dan tidak hanya sebagai produsen kayu. Hutan dengan penyebarannya yang luas, dengan struktur dan komposisinya yang beragam mampu menyediakan manfaat yang amat besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa perlindungan terhadap banjir, erosi, sedimentasi dan longsor lahan. Peran hutan terhadap pengendalian daur air dimulai dari peran tajuk menyimpan air intersepsi. Di hutan klimaks intersepsi bisa mencapai angka 25 – 35 % dari hujan tahunan yang jatuh dan di hutan Pinus bisa mencapai 16-20 % dari hujan tahunan yang jatuh (Sri Astuti et-al, 1998). Peran menonjol yang ke dua yang juga sering menjadi sumber penyebab kekawatiran masyarakat adalah evapotranspirasi. Beberapa faktor yang diduga berperanan terhadap besarnya evapotranspirasi antara lain adalah radiasi matahari, suhu, kelembaban udara, kecepatan angin dan ketersediaan air di dalam tanah atau sering disebut kelengasan tanah. Lengas tanah berperanan terhadap terjadinya evapotranspirasi. Evapotranspirasi berlangsung ketika vegetasi tidak kekurangan suplai air, atau berada diantara titik layu permanen dan kapasitas lapang. Vegetasi memerlukan air untuk pengangkutan unsur hara dari dalam tanah untuk metabolisme tumbuhan bagi kehidupannya. Melalui daun, air yang berasal dari tanah diuapkan sebagai bagian dari proses fisiologis tanaman yang disebut transpirasi. Dalam hal ini transpirasi atau karena susahnya dipisahkan dengan evaporasi maka sering disatukan menjadi evapotranspirasi. Evapotranspirasi punya pengaruh yang penting terhadap besarnya cadangan air tanah terutama untuk kawasan yang berhujan rendah. Sehubungan dengan hal tersebut maka evapotranspirasi yang terjadi dari suatu kawasan, sudah mulai banyak mendapat 12 perhatian dari para peneliti terutama untuk kawasan dengan vegetasi tertentu. Akhir-akhir ini yang paling banyak mendapat perhatian adalah kawasan hutan Pinus. Untuk menjawab kekawatiran tersebut Perum Perhutani telah bekerja sama dengan UGM, IPB dan Unibraw dalam penelitian tentang neraca air kawasan hutan Pinus. Selama 5 tahun penelitian yang dilakukan oleh UGM (Sri Astuti et-al, 1998) didapat informasi bahwa evapotranspirasi yang terjadi di hutan Pinus dalam kisaran sebesar 1002 - 1253 mm/th atau 29 - 69 % dari hujan tahunan yang jatuh. Angka tersebut memunculkan suatu keputusan untuk merekomendasikan bahwa Pinus dapat dikembangkan pada suatu daerah yang mempunyai tebal hujan 2000 mm/th. Oleh tim peneliti dari PPLH Unibraw (Utomo et-al, 1998) dikemukakan bahwa Pinus disarankan tidak ditanam di daerah yang curah hujannya < 1500 mm/th, sedang oleh tim peneliti dari Fak. Kehutanan IPB (Manan et -al 1998) Pinus disarankan ditanam di daerah dengan curah hujan 2000 mm/th, supaya tidak mempengaruhi tata air kawasan. Peran ketiga adalah mampu mengendalikan tingginya lengas tanah hutan. Tanah mempunyai kemampuan untuk menyimpan air (lengas tanah), karena memiliki ronggarongga yang dapat diisi dengan udara/cairan atau bersifat porous. Bagian lengas tanah yang tidak dapat dipindahkan dari tanah oleh cara-cara alami yaitu dengan osmosis, gravitasi atau kapasitas simpanan permanen suatu tanah diukur dengan kandungan air tanahnya pada titik layu permanen yaitu pada kandungan air tanah terendah dimana tanaman dapat mengekstrak air dari ruang pori tanah terhadap gaya gravitasinya. Titik layu ini sama bagi semua tanaman pada tanah tertentu (Seyhan, 1977). Pada tingkat kelembaban titik layu ini tanaman tidak mampu lagi menyerap air dari dalam tanah. Jumlah air yang tertampung di daerah perakaran merupakan faktor penting untuk menentukan nilai penting tanah pertanian maupun kehutanan. Peran ke empat adalah dalam pengendalian aliran air. Kebanyakan persoalan distribusi sumberdaya air selalu berhubungan dengan dimensi ruang dan waktu. Akhirakhir ini kita lebih sering dihadapkan pada suatu keadaan berlebihan air pada musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau. Sampai saat ini masih dipercayai bahwa hutan mampu mengendalikan daur air artinya hutan dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya di musim kemarau. Kepercayaan ini didasarkan atas masih melekatnya dihati masyarakat bukti-bukti bahwa banyak sumber-sumber air dari dalam 13 kawasan hutan yang tetap mengalir pada musim kemarau. Untuk lebih meningkatkan peran hutan dalam pengendalian aliran air, bagi hutan yang berada dalam ekosistem tertentu perlu diberikan perlakuan dibangunnya creek fed ponds atau embung-embung dan bangunan konservasi lainnya. Disamping masalah pengendalian daur air, masalah pengendalian longsor lahan juga merupakan masalah yang memerlukan pemecahan segera. Untuk ikut memecahkan permasalahan tersebut perlu dikenali faktor-faktor penyebabnya. Rangkuman dari beberapa pustaka (Febri Himawan, 1994; Justika Baharsyah dkk, 2000; Karnawati D, 2001) dan pengenalan di lapangan dapat diketahui bahwa beberapa faktor yang menyebabkan suatu kawasan longsor lahan antara lain : 1. Faktor internal a. Genesis morfologi lereng (perubahan kemiringan dari landai ke curam) b. Geologi (jenis batuan, sifat batuan, stratigrafi dan tingkat pelapukan) Jenis batuan/tanah - Tanah tebal dengan tingkat pelapukan sudah lanjut - Kembang kerut tanah tinggi : lempung Sedimen berlapis (tanah permeabel menumpang pada tanah impermeabel) Perlapisan tanah/batuan searah dengan kemiringan lereng. c. Tektonik dan Kegempaan Sering mengalami gangguan gempa Mekanisme tektonik penurunan lahan 2. Faktor luar (eksternal) a. Morfologi atau Bentuk Geometri Lereng Erosi lateral dan erosi mundur (backward erosion) yang intensif menyebabkan terjadinya penggerusan di bagian kaki lereng, akibatnya lereng makin curam. Makin curam suatu kemiringan lereng, makin kecil nilai kestabilannya. Patahan yang mengarah keluar lereng b. Hujan Akibat hujan terjadi peningkatan kadar air tanah, akibatnya menurunkan ketahanan batuan. Kadar air tanah yang tinggi juga menambah beban mekanik tanah. 14 Sesuai dengan letak dan bentuk bidang gelincir, hujan yang tinggi menyebabkan terbentuknya bahan gelincir. c. Kegiatan Manusia Mengganggu kestabilan lereng misal dengan memotong lereng. Melakukan pembangunan tidak mengindahkan tata ruang wilayah/tata ruang desa. Mengganggu vegetasi penutup lahan sehingga aliran permukaan melimpah misal dengan over cutting, penjarahan atau penebangan tak terkendali, hal ini akan menyebabkan erosi mundur maupun erosi lateral. Menambah beban mekanik dari luar misal penghijauan atau hasil reboisasi yang sudah terlalu rapat dan pohonnya sudah besar-besar di kawasan rawan longsor lahan dan tidak dipanen karena merasa sayang. Untuk ini maka sangat diperlukan pengaturan hasil yang baik bagi hutan rakyat, program penghijauan yang lain maupun program reboisasi baik yang berupa pemanenan maupun penjarangan yang teratur. Untuk dapat memberikan perhatian atau perlakuan khusus pada kawasan rawan longsor lahan tersebut perlu dilakukan zonasi kawasan dengan memperhatikan karakteristik kawasan rawan longsor lahan. Karakteristik kawasan rawan longsor antara lain : a. Kawasan yang mempunyai kelerengan 20 % b. Tanah pelapukan tebal c. Sedimen berlapis : Lapisan permeabel menumpang pada lapisan impermeabel d. Tingkat kebasahan tinggi (curah hujan tinggi) e. Erosi lateral intensif sehingga menyebabkan terjadinya penggerusan di bagian kaki lereng, akibatnya lereng makin curam. f. Mekanisme tektonik penurunan lahan g. Patahan yang mengarah keluar lereng h. Dip Perlapisan sama dengan Dip Lereng i. Makin curam lereng, makin ringan nilai kestabilannya. _ 15 Aneka rekayasa dapat dilakukan untuk usaha pengendalian longsor lahan salah satunya adalah rekayasa vegetatif dalam tindakan konservasi lahan. Pemecahan Masalah Kesejahteraan Rakyat Pengendalian Daur Air, Erosi dan Longsor Lahan Melalui Pengelolaan Lahan Dalam rangka merancang pengelolaan lahan yang diarahkan untuk memecahkan masalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengendalikan daur air, mengendalikan erosi dan mengendalikan longsor lahan dapat dirancang melalui beberapa pendekatan yang berupa rekayasa vegetatif yang dipadukan dengan rekayasa tehnik dan didampingi dengan rekayasa sosial. a. Lahan Rakyat Di dalam pengelolaan lahan aspek kelestarian dalam jangka panjang sangat penting. Dalam hal ini kelestarian dapat diartikan sebagai (Anonimus, 2000) : 1. Kecenderungan produktivitas pertanaman tidak menurun atau positif pada rotasi berikutnya seraya menjaga serta meningkatkan kualitas basis sumberdaya lahan. 2. Praktek-praktek managemen pertanaman tidak berpengaruh buruk pada lingkungan. 3. Pertanaman secara ekonomis layak dan berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Seperti telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa pola penggunaan lahan pada umumnya adalah sawah, tegal, hutan, pekarangan, kebun, dan penggunaan lainnya. Khusus untuk penggunaan lahan sawah bagi masyarakat petani di Indonesia masalah utamanya adalah masalah managemennya bukan pada masalah pengelolaan lahannya, misal masalah penggunaan air, pemilihan bibit unggul, adanya kecenderungan peningkatan penggunaan pestisida yang justru akan mengganggu siklus kehidupan dan penurunan produktivitas untuk sawah maka tidak diuraikan lebih lanjut di uraian ini. Dalam realitas penggunaan lahan pedesaan yang berupa tegal, pekarangan, kebun dan hutan rakyat, petani dapat mengelola sektor pertanian, kehutanan dan peternakan secara terpadu dalam proporsi yang berbeda sesuai dengan kondisi fisiknya. Dengan 16 rekayasa vegetatif melalui pengetrapan pola agroforestry petani tidak terlalu penting membedakan pertanian dan kehutanan atau peternakan. Konsern petani adalah bahwa petani perlu menanam jenis tanaman pertanian, pohon maupun pakan ternak untuk berbagai kebutuhan. Masing - masing komoditas memiliki peran sendiri - sendiri dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat misal tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, buah, dll., untuk memenuhi kebutuhan jangka menengah, sedang kayu untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang misal kebutuhan biaya sekolah, biaya punya hajatan atau biaya kesehatan, dll. Dengan demikian pemilihan jenis tanaman sangat ditentukan oleh kebutuhan masyarakat setempat misal tanaman pangan berupa jagung, ketela, empon-empon dan pakan ternak sebagai tanaman etase pertama; tanaman buah misal mangga, sirsat, melinjo, kopi, petai,dll sebagai tanaman etase kedua; sengon, akasia, jati, mahoni, dll sebagai tanaman etase ketiga dan kelapa dipilih sebagai tanaman etase keempat. Pola agroforestry biasanya dipilih masyarakat untuk mengelola lahannya apabila memiliki tenaga kerja yang cukup dan untuk lahan yang dekat jaraknya dari rumah, sedang apabila tenaga kerja kurang cukup dan utamanya yang jauh dari rumah masyarakat dapat memilih menghutankan lahan miliknya dengan jenis tanaman kayukayuan tetapi tidak disarankan monokultur dan seumur. Disamping rekayasa vegetatif, berbagai macam rekayasa tehnik utamanya yang sederhana perlu di bangun di lahan-lahan tersebut misal teras guludan, teras individu, teras bangku, embung, creeck fed ponds, rorak, saluran-saluran dan terjunan disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan. Untuk mewujudkan pengelolaan lahan yang memenuhi prinsip kelestarian beberapa rekayasa sosial juga diterapkan dalam pengelolaan hutan rakyat antara lain : 1. Hutan rakyat dikelola oleh kelompok tani yang dipimpin oleh seorang ketua kelompok. _ _ Anggota kelompok patuh pada pranata-pranata sosial yang dibuat oleh kelompok misal: _ a. Untuk dapat menebang pohon harus seijin kelompok. _ _ Pohon yang boleh ditebang adalah yang sudah masuk umur daur yang disepakati kelompok._ 17 _ _ Penebangan harus dengan sistem tebang pilih._ _ _ Bagi yang akan menebang harus sudah menyiapkan bibit baru._ _ _ Selesai menebang harus menanami kembali._ __ Bagi yang menebang bersedia menyerahkan dana ke kelompok yang nantinya untuk studi banding atau perbaikan lingkungan. _ _ b. Lahan Hutan Negara Lahan hutan negara di DAS Solo dapat dikatakan seluruhnya berada dalam pengelolaan PT. Perhutani. Akhir-akhir ini muncul gangguan berupa pencurian dan penjarahan kayu dalam skala kecil sampai skala besar. Penyebab tejadinya lahan kosong atau lahan tidak produktif lainnya antara lain karena tanaman gagal yang disebabkan adanya penggembalaan, kebakaran atau karena tidak sesuainya jenis tanaman, juga dapat disebabkan karena bencana alam kekeringan, erosi dan longsor lahan. Areal bekas penjarahan dan areal tidak produktif lainnya tersebut perlu direboisasi dan direhabilitasi dengan pola yang tepat dengan mempertimbangkan berbagai hal terutama pengalaman dan arah perkembangan pengelolaan dimasa mendatang dan sesuai dengan prinsip kelestarian yang terdiri dari : 1. Kelestarian Produksi. _ _ Kelestarian Usaha. _ _ Kelestarian Sosial._ Untuk mencapai tujuan tersebut sudah barang tentu bukan suatu hal yang sangat mudah, terutama karena semakin banyaknya permintaan masyarakat akan fungsi hutan yaitu fungsi produksi, sosial, ekonomi, lingkungan, meningkatkan PAD, penghasil tanaman pangan / pertanian dan perkebunan. Untuk itu maka dasar penetapan pola reboisasi dan rehabilitasi hutan yaitu (Anonimus, 2000) : 1. Kelas perusahaan hutan. _ _ Permintaan industri_ a. Skala industri _ _ Lokasi industri_ 3. Jenis tanah. 18 _ Tekanan sosial ekonomi masyarakat._ _ _ Aksesibilitas (jalan hutan menuju lokasi bagian hutan, sedang strategi yang diusulkan :_ a. Masih dipertimbangkan kelas perusahaan yang ada dengan tidak menutup kemungkinan adanya peluang pengembangan kelas hutan jenis lain. _ _ Dalam pelaksanaan dapat dikaitkan dengan pengembangan semacam buffer zone melalui model kemitraan dengan masyarakat, penetapan jenis tanaman, penurunan daur secara khusus._ _ _ Pengembangan desentralisasi dan otonomi pada aspek manajerial atau operasional kepada KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan)._ _ _ Perluasan kerjasama dengan masyarakat dengan model kemitraan yang diperluas pada kegiatan pengelolaan lainnya bahkan pada bagi hasil produksi._ _ _ Adanya alternatif daur jati diperpendek dan mengembangkan jenis kayu lain untuk perkakas dengan daur ± 10 - 15 tahun. _ _ Berbagai pola yang diusulkan untuk mereboisasi dan merehabilitasi lahan hutan sesuai dengan dasar penutupannya serta strategi yang dibuat antara lain (Anonimus, 2000) : Pola I 1. Pola I diperuntukkan bagi kelas perusahaan jati. _ _ Permintaan bahan baku jati pesat._ _ Tanah tidak begitu baik bagi tanaman pertanian._ _ Tekanan penduduk berat._ _ _ Aksesibilitas ke lokasi bagian hutan sangat baik, maka perlakuan yang diberikan berupa :_ a. Dibentuk kelas hutan dengan tujuan istimewa semacam buffer zone dengan bentuk pengelolaan bersama masyarakat mulai dari penanaman (pola agroforestry), pemeliharaan, perlindungan, dan pemanenan. _ _ Dapat dilakukan penurunan daur jati menjadi 30 - 40 tahun._ 19 c. Dapat dipertimbangkan peningkatan uang kontrak untuk membantu kesejahteraan masyarakat. d. Dapat dilakukan perubahan jenis tanaman pokok kehutanan. Pola II Pola II diberlakukan bagi : 1. Bagian hutan dengan kelas perusahaan Jati 2. Permintaan bahan baku industri baik 3. Jenis tanah memiliki keterbatasan kesuburan untuk tanaman pertanian. 4. Tekanan sosial ekonomi masyarakat cukup 5. Aksesibilitas ke lokasi bagian hutan baik, dapat diberikan perlakuan : a. Intensifikasi tumpang sari b. Kontrak kerja sama dalam berbagai jenis kegiatan pengelolaan hutan (fresh money). Pola III Pola III dapat diberlakukan bagi : 1. Bagian hutan dengan kelas perusahaan Jati 2. Permintaan bahan baku industri sedang 3. Jenis tanah memiliki keterbatasan kesuburan untuk tanaman pertanian. 4. Tekanan sosial ekonomi penduduk sedang 5. Aksesibilitas ke lokasi bagian hutan tidak baik, dapat diselesaikan dengan managemen rutin PT. Perhutani (tumpangsari 2 th). Pola IV Pola IV dapat diberlakukan bagi : 1. Bagian hutan dengan kelas perusakan kayu rimba (non Pinus). 2. Permintaan bahan baku kayu industri baik. 3. Jenis tanah memiliki keterbatasan kesuburan tanah untuk tanaman pertanian. 4. Tekanan sosial ekonomi masyarakat berat. 5. Aksesibilitas ke lokasi bagian hutan baik dapat diselesaikan dengan : 20 a. Ada kelas hutan dengan tujuan istimewa semacam buffer zone dengan bentuk Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) mulai dari penanaman, pemeliharaan, perlindungan hutan dan pemanenan. b. Kontrak kerjasama dalam berbagai kegiatan pengelolaan hutan. Pola V Pola V diberlakukan bagi kelas perusahaan hutan non kayu (kayu putih). Pola ini program reboisasinya dapat diselesaikan dengan tumpangsari. Pola VI Pola VI diberlakukan bagi kelas perusahaan Pinus dan dalam Pola VI dapat diselesaikan dengan : 1. Program Banjar Harian 2. Program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) 3. Kontrak kerjasama dalam berbagai kegiatan pengelolaan hutan (fresh money). 4. Produksi getah. c. Pengendalian Longsor Lahan Rekayasa vegetatif dan rekayasa tehnik dalam rangka usaha pencegahan atau mengurangi longsor lahan baik di lahan rakyat maupun di lahan hutan negara antara lain dengan: a. Menghindari atau mengurangi penebangan pohon yang tidak terkendali dan tidak terencana (over cutting, penebangan cuci mangkuk, dan penjarahan). b. Penanaman vegetasi tanaman keras yang ringan dengan perakaran intensif dan dalam bagi kawasan yang curam dan menumpang di atas lapisan impermeabel. c. Mengembangkan usaha tani ramah longsor lahan seperti penanaman hijauan makanan ternak (HMT) melalui sistem panen pangkas. d. Mengurangi beban mekanik pohon-pohon yang besar-besar yang berakar dangkal dari kawasan yang curam dan menumpang di atas lapisan impermeabel. 21 GAMBAR e. Membuat Saluran Pembuangan Air (SPA) pada daerah yang berhujan tinggi dan merubahnya menjadi Saluran Penampungan Air dan Tanah (SPAT) pada hujan yang rendah. f. Mengurangi atau menghindari pembangunan teras bangku di kawasan yang rawan longsor lahan yang tanpa dilengkapi dengan SPA dan saluran drainase di bawah permukaan tanah untuk mengurangi kandungan air dalam tanah. g. Mengurangi intensifikasi pengolahan tanah daerah yang rawan longsor. h. Membuat saluran drainase di bawah permukaan (mengurangi kandungan air dalam tanah). i. Bila perlu, di tempat-tempat tertentu bisa dilengkapi bangunan teknik sipil/bangunan mekanik. Beberapa contoh jenis tanaman yang mempunyai akar tunggang dalam dan akar cabang banyak serta yang berakar tunggang dalam dengan sedikit akar cabang sebagai berikut : A. Pohon-pohon yang mempunyai akar tunggang dalam dan akar cabang banyak. 1. Aleurites moluccana (kemiri) 2. Vitex pubescens (laban) 3. Homalium tomentosum (dlingsem) 4. Lagerstroemia speciosa (bungur) 22 5. Melia azedarach (mindi) 6. Cassia siamea (johar) 7. Acacia villosa 8. Eucalyptus alba 9. Leucaena glauca B. Pohon-pohon yang mempunyai akar tunggang dalam dengan sedikit akar cabang 1. Swietenia macrophylla (mahoni daun besar) 2. Gluta renghas (renghas) 3. Tectona grandis (jati) 4. Schleichera oleosa (kesambi) 5. Pterocarpus indicus (sono kembang) 6. Dalbergia sissoides (sono keling) 7. Dalbergia latifolia 8. Cassia fistula (trengguli) 9. Bauhinia hirsula (tayuman) 10. Tamarindus indicus (asam jawa) 11. Acacia leucophloea (pilang) 23 DAFTAR PUSTAKA Dodi Supriadi, 1998. Potensi Peran Akuntansi Sumberdaya Hutan dalam Perumusan Kebijaksanaan dan Strategi Manajemen Hutan. Makalah Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air Untuk Kelangsungan Pembangunan, 23 September 1998. Jakarta. Fakultas Kehutanan UGM, 2000. Kesesuaian Lahan Hutan untuk Tanaman Agroindustri dalam Rangka Pelaksanaan Agroforestry di Lahan Kehutanan di KPH Telawa dan KPH Gundih. Febri Himawan, Pemahaman Sistem Dinamis Kestabilan Lereng Untuk Mitigasi Kebencanaan Longsor, Fakultas Teknik Geologi, UNPAD. Proceding Seminar Mitigasi Bencana Alam di UGM 16 – 17 September 1994. Yogyakarta. Hehanusa, P.E. 1999. Ketersediaan Air Dalam Perspektif Abad 21 Kaitannya dengan Hak Azazi Manusia. Seminar Kebutuhan Air Bersih dan Hak Azazi Manusia. Masyarakat Hidrologi Indonesia Bersama Himpunan Ahli Teknik Hidraulika Indonesia. Di Bogor. Justika S. Baharsyah, Irsal Las dan Hidayat Pawitan. Perilaku Prakiraan Anomali Iklim serta Dampaknya Terhadap Ketersediaan Air dan Produksi Pertanian. Makalah Seminar Usaha Peningkatan Ketahanan Pangan di Jawa Tengah dalam Mengantisipasi Dampak Anomali Iklim El Nino Terhadap Pertanian. Semarang, 15 November 2000. Karnawati D.K., 2001. Sistem Peringatan Dini Tanah Longsor Dengan Pemberdayaan Masyarakat. Makalah Lokakarya Pengembangan Sistem Peringatan Dini Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengurangan Dampak Bencana Alam. Kerjasama Antara Pusat Studi Bencana Alam UGM dengan PMI Pusat, 31 Januari 2001, Yogyakarta. KMNLH (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup), 1997. Agenda 21 Indonesia. Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan (Ringkasan). Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. United Nations Development Programme. Manan, S., Rusdiana, O., Anifjaya, N.M., Wasis, B. dan Purwowidodo. 1999. Pengaruh Kelas Perusahaan Hutan Pinus (Pinus Merkusii) terhadap produksi air : Studi Kasus di KPH Tasikmalaya Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air Untuk Kelangsungan Pembangunan. Perum Perhutani Bekerjasama dengan Yayasan Institut Manajemen dan Teknologi Kehutanan. Jakarta. 24 Seyhan E, 1977. Fundamentals of Hydrology, Geografisch Institut der Ryksuniversiteit te Utrecht Seyhan, E., 1990. Dasar-dasar Hidrologi (terjemahan oleh Sentot Subagya) Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sri Astuti Soedjoko, Suyono, Darmadi, 1998. Kajian Neraca Air di Hutan Pinus. Makalah Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan Pembangunan, 23 September 1998, Jakarta. Sri Astuti Soedjoko, Hatma Suryatmojo. 2002. Pembangunan Kawasan Gunung Kidul Dengan Konservasi Lahan Yang Berwawasan Lingkungan. Makalah Lokakarya Pengembangan Agribisnis Berbasis Sumberdaya Lokal dalam Mendukung Pengembangan Ekonomi Kawasan Selatan Jawa, Malang, 22 Oktober 2002. Sri Astuti Soedjoko, 2002. Konservasi Tanah dan Air di Hutan Produksi Berbasis Unit Daerah Aliran Sungai. Makalah Workshop Konservasi Sumberdaya Hutan Yogyakarta, 9 – 11 Agustus 2002 Sri Astuti Soedjoko, 2002. Rekayasa Vegetatif Dalam Pengendalian Longsor Lahan. Utomo, WH, Titiek I dan Widianto, 1998. Pengaruh Tanaman Terhadap Hasil Air. Makalah Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan Pembangunan. 23 September 1998, Jakarta. Lingkungan Alam Rabu, 17 November 2010 UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Melestarikan lingkungan hidup merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda lagi dan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemimpin negara saja, melainkan tanggung jawab setiap insan di bumi, dari balita sampai manula. Setiap orang harus melakukan usaha untuk menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar kita sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan sangat besar manfaatnya bagi terwujudnya bumi yang layak huni bagi generasi anak cucu kita kelak. Upaya pemerintah untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur bagi rakyatnya tanpa harus menimbulkan kerusakan lingkungan ditindaklanjuti dengan menyusun program pembangunan berkelanjutan yang sering disebut sebagai pembangunan berwawasan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan adalah usaha meningkatkan kualitas manusia secara bertahap dengan memerhatikan faktor lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan dikenal dengan nama Pembangunan Berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan kesepakatan hasil KTT Bumi di Rio de Jeniro tahun 1992. Di dalamnya terkandung 2 gagasan penting, yaitu: a. Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan pokok manusia untuk menopang hidup. b. Gagasan keterbatasan, yaitu keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan baik masa sekarang maupun masa yang akan datang. Adapun ciri-ciri Pembangunan Berwawasan Lingkungan adalah sebagai berikut: a. Menjamin pemerataan dan keadilan. b. Menghargai keanekaragaman hayati. c. Menggunakan pendekatan integratif. d. Menggunakan pandangan jangka panjang. Pada masa reformasi sekarang ini, pembangunan nasional dilaksanakan tidak lagi berdasarkan GBHN dan Propenas, tetapi berdasarkan UU No. 25 Tahun 2000, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mempunyai tujuan di antaranya: a. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. b. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat. c. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan. 1. Upaya yang Dilakukan Pemerintah Pemerintah sebagai penanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya memiliki tanggung jawab besar dalam upaya memikirkan dan mewujudkan terbentuknya pelestarian lingkungan hidup. Hal-hal yang dilakukan pemerintah antara lain: a. Mengeluarkan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang mengatur tentang Tata Guna Tanah. b. Menerbitkan UU No. 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. c. Memberlakukan Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun 1986, tentang AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan). d. Pada tahun 1991, pemerintah membentuk Badan Pengendalian Lingkungan, dengan tujuan pokoknya: 1) Menanggulangi kasus pencemaran. 2) Mengawasi bahan berbahaya dan beracun (B3). 3) Melakukan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). e. Pemerintah mencanangkan gerakan menanam sejuta pohon. 2. Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup oleh Masyarakat Bersama Pemerintah Sebagai warga negara yang baik, masyarakat harus memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian lingkungan hidup di sekitarnya sesuai dengan kemampuan masingmasing. Beberapa upaya yang dapat dilakuklan masyarakat berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup antara lain: a. Pelestarian tanah (tanah datar, lahan miring/perbukitan) Terjadinya bencana tanah longsor dan banjir menunjukkan peristiwa yang berkaitan dengan masalah tanah. Banjir telah menyebabkan pengikisan lapisan tanah oleh aliran air yang disebut erosi yang berdampak pada hilangnya kesuburan tanah serta terkikisnya lapisan tanah dari permukaan bumi. Tanah longsor disebabkan karena tak ada lagi unsur yang menahan lapisan tanah pada tempatnya sehingga menimbulkan kerusakan. Jika hal tersebut dibiarkan terus berlangsung, maka bukan mustahil jika lingkungan berubah menjadi padang tandus. Upaya pelestarian tanah dapat dilakukan dengan cara menggalakkan kegiatan menanam pohon atau penghijauan kembali (reboisasi) terhadap tanah yang semula gundul. Untuk daerah perbukitan atau pegunungan yang posisi tanahnya miring perlu dibangun terasering atau sengkedan, sehingga mampu menghambat laju aliran air hujan. b. Pelestarian udara Udara merupakan unsur vital bagi kehidupan, karena setiap organisme bernapas memerlukan udara. Kalian mengetahui bahwa dalam udara terkandung beranekaragam gas, salah satunya oksigen. Udara yang kotor karena debu atau pun asap sisa pembakaran menyebabkan kadar oksigen berkurang. Keadaan ini sangat membahayakan bagi kelangsungan hidup setiap organisme. Maka perlu diupayakan kiat-kiat untuk menjaga kesegaran udara lingkungan agar tetap bersih, segar, dan sehat. Upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga agar udara tetap bersih dan sehat antara lain: 1) Menggalakkan penanaman pohon atau pun tanaman hias di sekitar kita Tanaman dapat menyerap gas-gas yang membahayakan bagi manusia. Tanaman mampu memproduksi oksigen melalui proses fotosintesis. Rusaknya hutan menyebabkan jutaan tanaman lenyap sehingga produksi oksigen bagi atmosfer jauh berkurang, di samping itu tumbuhan juga mengeluarkan uap air, sehingga kelembapan udara akan tetap terjaga. 2) Mengupayakan pengurangan emisi atau pembuangan gas sisa pembakaran, baik pembakaran hutan maupun pembakaran mesin Asap yang keluar dari knalpot kendaraan dan cerobong asap merupakan penyumbang terbesar kotornya udara di perkotaan dan kawasan industri. Salah satu upaya pengurangan emisi gas berbahaya ke udara adalah dengan menggunakan bahan industri yang aman bagi lingkungan, serta pemasangan filter pada cerobong asap pabrik. 3) Mengurangi atau bahkan menghindari pemakaian gas kimia yang dapat merusak lapisan ozon di atmosfer Gas freon yang digunakan untuk pendingin pada AC maupun kulkas serta dipergunakan di berbagai produk kosmetika, adalah gas yang dapat bersenyawa dengan gas ozon, sehingga mengakibatkan lapisan ozon menyusut. Lapisan ozon adalah lapisan di atmosfer yang berperan sebagai filter bagi bumi, karena mampu memantulkan kembali sinar ultraviolet ke luar angkasa yang dipancarkan oleh matahari. Sinar ultraviolet yang berlebihan akan merusakkan jaringan kulit dan menyebabkan meningkatnya suhu udara. Pemanasan global terjadi di antaranya karena makin menipisnya lapisan ozon di atmosfer. c. Pelestarian hutan Eksploitasi hutan yang terus menerus berlangsung sejak dahulu hingga kini tanpa diimbangi dengan penanaman kembali, menyebabkan kawasan hutan menjadi rusak. Pembalakan liar yang dilakukan manusia merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kerusakan hutan. Padahal hutan merupakan penopang kelestarian kehidupan di bumi, sebab hutan bukan hanya menyediakan bahan pangan maupun bahan produksi, melainkan juga penghasil oksigen, penahan lapisan tanah, dan menyimpan cadangan air. Upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan hutan: 1) Reboisasi atau penanaman kembali hutan yang gundul. 2) Melarang pembabatan hutan secara sewenang-wenang. 3) Menerapkan sistem tebang pilih dalam menebang pohon. 4) Menerapkan sistem tebang–tanam dalam kegiatan penebangan hutan. 5) Menerapkan sanksi yang berat bagi mereka yang melanggar ketentuan mengenai pengelolaan hutan. d. Pelestarian laut dan pantai Seperti halnya hutan, laut juga sebagai sumber daya alam potensial. Kerusakan biota laut dan pantai banyak disebabkan karena ulah manusia. Pengambilan pasir pantai, karang di laut, pengrusakan hutan bakau, merupakan kegatan-kegiatan manusia yang mengancam kelestarian laut dan pantai. Terjadinya abrasi yang mengancam kelestarian pantai disebabkan telah hilangnya hutan bakau di sekitar pantai yang merupakan pelindung alami terhadap gempuran ombak. Adapun upaya untuk melestarikan laut dan pantai dapat dilakukan dengan cara: 1) Melakukan reklamasi pantai dengan menanam kembali tanaman bakau di areal sekitar pantai. 2) Melarang pengambilan batu karang yang ada di sekitar pantai maupun di dasar laut, karena karang merupakan habitat ikan dan tanaman laut. 3) Melarang pemakaian bahan peledak dan bahan kimia lainnya dalam mencari ikan. 4) Melarang pemakaian pukat harimau untuk mencari ikan. e. Pelestarian flora dan fauna Kehidupan di bumi merupakan sistem ketergantungan antara manusia, hewan, tumbuhan, dan alam sekitarnya. Terputusnya salah satu mata rantai dari sistem tersebut akan mengakibatkan gangguan dalam kehidupan. Oleh karena itu, kelestarian flora dan fauna merupakan hal yang mutlak diperhatikan demi kelangsungan hidup manusia. Upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga kelestarian flora dan fauna di antaranya adalah: 1) Mendirikan cagar alam dan suaka margasatwa. 2) Melarang kegiatan perburuan liar. 3) Menggalakkan kegiatan penghijauan. KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP Berdasarkan faktor penyebabnya, bentuk kerusakan lingkungan hidup dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: 1. Bentuk Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Peristiwa Alam Berbagai bentuk bencana alam yang akhir-akhir ini banyak melanda Indonesia telah menimbulkan dampak rusaknya lingkungan hidup. Dahsyatnya gelombang tsunami yang memporak-porandakan bumi Serambi Mekah dan Nias, serta gempa 5 skala Ritcher yang meratakan kawasan DIY dan sekitarnya, merupakan contoh fenomena alam yang dalam sekejap mampu merubah bentuk muka bumi. Peristiwa alam lainnya yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup antara lain: a. Letusan gunung berapi Letusan gunung berapi terjadi karena aktivitas magma di perut bumi yang menimbulkan tekanan kuat keluar melalui puncak gunung berapi. Bahaya yang ditimbulkan oleh letusan gunung berapi antara lain berupa: 1) Hujan abu vulkanik, menyebabkan gangguan pernafasan. 2) Lava panas, merusak, dan mematikan apa pun yang dilalui. 3) Awan panas, dapat mematikan makhluk hidup yang dilalui. 4) Gas yang mengandung racun. 5) Material padat (batuan, kerikil, pasir), dapat menimpa perumahan, dan lain-lain. b. Gempa bumi Gempa bumi adalah getaran kulit bumi yang bisa disebabkan karena beberapa hal, di antaranya kegiatan magma (aktivitas gunung berapi), terjadinya tanah turun, maupun karena gerakan lempeng di dasar samudra. Manusia dapat mengukur berapa intensitas gempa, namun manusia sama sekali tidak dapat memprediksikan kapan terjadinya gempa. Oleh karena itu, bahaya yang ditimbulkan oleh gempa lebih dahsyat dibandingkan dengan letusan gunung berapi. Pada saat gempa berlangsung terjadi beberapa peristiwa sebagai akibat langsung maupun tidak langsung, di antaranya: 1) Berbagai bangunan roboh. 2) Tanah di permukaan bumi merekah, jalan menjadi putus. 3) Tanah longsor akibat guncangan. 4) Terjadi banjir, akibat rusaknya tanggul. 5) Gempa yang terjadi di dasar laut dapat menyebabkan tsunami (gelombang pasang). c. Angin topan Angin topan terjadi akibat aliran udara dari kawasan yang bertekanan tinggi menuju ke kawasan bertekanan rendah. Perbedaan tekanan udara ini terjadi karena perbedaan suhu udara yang mencolok. Serangan angin topan bagi negara-negara di kawasan Samudra Pasifik dan Atlantik merupakan hal yang biasa terjadi. Bagi wilayah-wilayah di kawasan California, Texas, sampai di kawasan Asia seperti Korea dan Taiwan, bahaya angin topan merupakan bencana musiman. Tetapi bagi Indonesia baru dirasakan di pertengahan tahun 2007. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan iklim di Indonesia yang tak lain disebabkan oleh adanya gejala pemanasan global. Bahaya angin topan bisa diprediksi melalui foto satelit yang menggambarkan keadaan atmosfer bumi, termasuk gambar terbentuknya angin topan, arah, dan kecepatannya. Serangan angin topan (puting beliung) dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dalam bentuk: 1) Merobohkan bangunan. 2) Rusaknya areal pertanian dan perkebunan. 3) Membahayakan penerbangan. 4) Menimbulkan ombak besar yang dapat menenggelamkan kapal. 2. Kerusakan Lingkungan Hidup karena Faktor Manusia Manusia sebagai penguasa lingkungan hidup di bumi berperan besar dalam menentukan kelestarian lingkungan hidup. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang berakal budi mampu merubah wajah dunia dari pola kehidupan sederhana sampai ke bentuk kehidupan modern seperti sekarang ini. Namun sayang, seringkali apa yang dilakukan manusia tidak diimbangi dengan pemikiran akan masa depan kehidupan generasi berikutnya. Banyak kemajuan yang diraih oleh manusia membawa dampak buruk terhadap kelangsungan lingkungan hidup. Beberapa bentuk kerusakan lingkungan hidup karena faktor manusia, antara lain: a. Terjadinya pencemaran (pencemaran udara, air, tanah, dan suara) sebagai dampak adanya kawasan industri. b. Terjadinya banjir, sebagai dampak buruknya drainase atau sistem pembuangan air dan kesalahan dalam menjaga daerah aliran sungai dan dampak pengrusakan hutan. c. Terjadinya tanah longsor, sebagai dampak langsung dari rusaknya hutan. Beberapa ulah manusia yang baik secara langsung maupun tidak langsung membawa dampak pada kerusakan lingkungan hidup antara lain: a. Penebangan hutan secara liar (penggundulan hutan). b. Perburuan liar. c. Merusak hutan bakau. d. Penimbunan rawa-rawa untuk pemukiman. e. Pembuangan sampah di sembarang tempat. f. Bangunan liar di daerah aliran sungai (DAS). g. Pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan di luar batas. Menanamkan Rasa Cinta Lingkungan Alam Barangkali kurang kita sadari bahwa semakin sempurna dunia orang dewasa, semakin membosankanlah hal itu bagi anak-anak. Di kota-kota, anak-anak sudah tidak mempunyai peluang lagi untuk mengumpulkan pengalaman-pengalaman, yang bagi anak-anak yang berada di luar kota merupakan hal biasa yang sehari-hari dijumpai. Berjalan-jalan menerobos rumput setinggi lutut, memanjat pohon dan memetik buah, berjungkir-jungkir menuruni bukit atau menyelusuri sebuah sungai kecil. Nah, tempat bermain yang baik hendaknya bisa membuka kesempatan-kesempatan seperti itu. Sebagaimana kita lihat, masih banyak tempat-tempat di pinggiran yang belum terjangkau oleh perencanaan kota. terutama dalam hal tempat dan sarana bermain yang ideal bagi anak-anak. Tetapi kalau kita sendiri tahu, bahwa anak-anak membutuhkan suatu lingkungan yang beraneka corak yang dapat dijajaginya, mungkin kita bisa mengarahkannya. Paling sedikit pada tempat yang di sekitarnya, anak-anak dapat menciptakan sendiri suatu arena untuk kegiatannya. Anak-anak yang tinggal di desa, dalam hal ini boleh dikatakan lebih mujur. Alam telah membantu mereka. Padang yang luas, sungai-sungai dan bukit-bukit serta semak belukar di sekeliling mereka merupakan arena bermain yang tidak terbatas. Dan kalau kita perhatikan apa yang bisa mereka lakukan dengan semua itu, alangkah beranekaragamnya! Mereka ciptakan sendiri caranya, situasi dan alat-alatnya dari yang terdapat di sana. Tetapi bagaimana dengan anak-anak yang tinggal di kota? Keadaannya memang jauh berbeda. Tanah yang hampir setiap jengkal dipergunakan sebagai tempat tinggal, sudah barang tentu memperkecil kesempatan bagi mereka untuk bermain sebebasbebasnya. Belum lagi situasi lalu-lintas yang ramai yang menjadi penghalang bagi mereka untuk lebih merasa aman bermain. Rupanya anak memang membutuhkan suatu keunikan bagi tempat bermainnya. Di banyak tempat di pusat kota, anak-anak hampir tak menemukan cara lain yang cukup menarik dan penuh tantangan daripada hanya saling baku hantam dan melepas keinginan untuk memperoleh yang bukan-bukan. Dengan kata lain, di lingkungan yang padat dan penuh sesak itu anak seperti kehilangan sesuatu. Rumah-rumah yang dibatas dan teratur rapi tidak memberi peluang bagi anak untuk bergerak, halaman yang sempit tidak memberikan kesempatan untuk melakukan penjajagan. Bayangkan! Kalau keadaan memaksa segalanya berjalan rutin, tidak ada lagi yang bisa dirubah-rubah, tak ada lagi yang bisa dicoba-coba atau dicari-cari, apalagi yang akan timbul di benak anak-anak sebagai suatu kreasi? Manusia dan lingkungan boleh dikatakan memiliki sifat-sifat yang kurang lebih sama, yakni hidup, berkembang dan berfungsi. Hubungan dan pengaruh yang saling berkaitan antara kedua 'jasad alam' itu menimbulkan dampak-dampak, baik yang positif maupun yang negatif. Tetapi yang jelas, dampak positif yang sangat diharapkan dapat membantu kelangsungan hidup secara nyaman, aman dan tentram menuntut adanya tanggung jawab akan pemeliharaan demi kelestarian alam secara keseluruhan. Bila suatu anak kelihatan terpaku pada sesuatu yang sesungguhnya biasa, inilah kesempatan bagi orang tua dan guru untuk memberikan penjelasan padanya. Langkah pertama adalah menjalin komunikasi untuk bersama-sama memperhatikan sesuatu. Yang mungkin agak sulit adalah membangkitkan minatnya ke arah 'penelitian' pada waktu kita mengajaknya berjalan-jalan. Jika anak lebih suka memperhatikan seekor serangga yang mati atau ia lebih senang berlari-lari di padang rumput yang menghijau, maka sulit untuk menemukan sesuatu yang 'berharga' di sana. Tentu saja anak akan menyatakan keinginan dan kegembiraannya, sehingga mau tak mau kita akan menurutinya pula. Bila segala macam bujukan tak ada hasilnya, satu-satunya jalan adalah bersabar. Sambil berjalan-jalan kita dapat menerangkan segala sesuatu kepada anak terutama hubungannya dengan kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Anak harus diberitahu, bahwa sebatang pohon itu bisa berasal dari sebuah biji yang cukup matang dan tua. Dan jika pohon itu dipelihara dengan baik, maka ia akan tumbuh dan mendatangkan hasil yang bisa dipetik manfaatnya bagi kehidupan kita. Biji jagung, kacang dan kedelai yang tercampak di tanah, akan menjadi pohon yang berdaun, berbunga dan berbuah, sementara biji buah-buahan sudah barang tentu demikian pula. Apalagi kalau biji-biji itu sengaja ditanam, dipupuk dan dipelihara. Burung-burung, kupu-kupu, kumbang dan cacing tanah sekali pun, adalah makhluk hidup yang besar manfaatnya bagi kehidupan manusia. Kalau anak-anak itu tidak mengetahui apa fungsi dan kegunaannya, tidak mengherankan bila mereka akan mengganggu atau membinasakannya. Setelah anak mengerti tentang kebutuhan hidup setiap makhluk dan hubungannya satu sama lain, kita dapat meningkatkan pengetahuannya tentang di mana binatang atau tumbuhan itu bisa hidup. Jika kita jelaskan tempat hidup yang sesungguhnya, kita sendiri mungkin akan tergugah melihat betapa setiap jenis makhluk itu memilih-milih tempatnya. Barulah kita sadari bahwa hal-hal seperti persediaan makanan, tempat bertelur dan lain-lain sangat menentukan apakah suatu jenis makhluk dapat hidup di suatu tempat. Jelaslah bahwa tidak setiap tempat mempunyai kondisi yang sama. Dengan demikian dapat kita simpulkan, bahwa perusakan yang terjadi pada suatu lingkungan hidup dapat mengakibatkan punahnya kelangsungan hidup suatu makhluk. Tepat sekali jika pada kanak-kanak sejak kecil sudah ditanamkan rasa sayang terhadap lingkungan. Mula-mula lewat binatang piaraan, lalu kebersihan sekitar rumah dan halaman, termasuk membuatnya selalu hijau, karena akrab dibelai tangan-tangan manusia. Usaha ini memang tidak gampang. Tantangan yang nyata ialah bahwa banyak sekali daerah pemukiman yang berhalaman sempit. Di musim liburan, ketika berpuluh-puluh bis dikerahkan untuk membawa murid pergi rekreasi, hendaknya bisa dipakai sebagai kesempatan untuk menanamkan cinta alam. Di sini guru perlu mengadakan suatu persiapan. Apa artinya alam bagi manusia? Mengapa kita harus menghormati alam dan menyayanginya? Mengapa harus dilestarikan? Apa bedanya suasana kota yang hiruk-pikuk dengan suasana di luar kota yang lebih tenang? Mengapa demikian? Bagaimana pun juga, salah satu aspek dari keadaan pendidikan kita yang bergerak maju dengan segala perubahan yang menyertainya, adalah anjuran untuk menanamkan perhatian dan pengertian terhadap lingkungan hidup kepada anak didik kita.