BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN TEORI 1.1. Sepuluh

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN TEORI
1.1. Sepuluh Elemen Jurnalisme
Ada sejumlah prinsip dalam jurnalisme, yang sepatutnya menjadi pegangan setiap
jurnalis. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan prinsip-prinsip itu dalam Sembilan
Elemen Jurnalisme 1. Namun pada perkembangannya, sembilan elemen bertambah menjadi
sepuluh. Kesepuluh elemen tersebut adalah:
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
Bentuk kebenaran jurnalistik yang ingin dicapai ini bukan sekedar akurasi, namun juga
merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional. Kebenaran dalam penyampaian
peristiwa. Ini bukan soal kebenaran mutlak atau filosofis. Kewajiban utama ini agar
masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat 2.
2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens)
Organisasi
pemberitaan
memang
dituntut
untuk
melayani
berbagai
kepentingan
konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik
saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain untuk pemberitaan yang sukses. Namun,
kesetiaan pertama harus diberikan kepada publik atau warga. Ini adalah implikasi dari
perjanjian dengan publik 3.
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa,
membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak.
Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang sebenar-benarnya terjadi. Dalam
1
Kovach, Bill. Rosenstiel, Tom. 2007. The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public
Should Expect. New York: Crown Publishers.
2
Ibid, hal. 36
3
Ibid, hal. 50
kaitan dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang
obyektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput
berita 4. Ada sejumlah prinsip intelektual dalam ilmu peliputan:
a. Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada.
b. Jangan mengecoh audiens.
c. Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang motif dan metode Anda.
d. Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri.
e. Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.
4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput
Jurnalis harus sebisa mungkin bersikap independen dari faksi-faksi, tanpa takut dan tanpa
tekanan, tanpa konflik kepentingan. Namun, dalam banyak kasus, jurnalis tidak pernah bisa
benar-benar independen. Mereka bekerja untuk majikan yang punya kekuasaan dan uang.
Atau mungkin mereka punya saudara yang dekat kekuasaan. Jika wartawan/media memiliki
hubungan yang bisa dipersepsikan sebagai konflik kepentingan, mereka berkewajiban
melakukan full-disclosure tentang hubungan itu.” Tujuannya adalah agar pembaca waspada
dan menyadari bahwa tulisan/liputan itu tidak benar – benar independen. Wartawan boleh
mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang
wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas 5.
5. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan
Jurnalisme berfungsi pula sebagai pemantau jalannya pemerintahan dan lembaga kuat di
masyarakat. Dengan adanya pers, pejabat dan para pemimpin didorong untuk tidak
melakukan hal yang buruk dan menggunakan kekuasaanya dengan adil. Jurnalis juga
mengangkat suara pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu bersuara sendiri 6.
4
Ibid, hal. 70
Ibid, hal. 94
6
Ibid, hal. 111
5
6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik
Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum dimana
publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong
warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap 7.
7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan
Jurnalis harus mampu mengubah berita penting menjadi semenarik dan serelevan mungkin
untuk dibaca, didengar atau ditonton. Pembaca tidak akan bosan membaca berita dengan
komposisi berita dan penulisan yang baik 8.
8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional
Judul yang sensasional dan isi berita yang terlalu emosional bukanlah suatu produk
jurnalistik yang baik. Isi berita harus proporsional, sedangkan yang dimaksud dengan
komprehensif adalah sifat menyeluruh dimana jurnalis harus mencari fakta-fakta lebih jauh
(tidak hanya menerima fakta yang terlalu mudah bisa diraih) dan disusun dalam sebuah
konteks sehingga terlihat keterkaitannya masing-masing 9.
9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka
Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan tanggung
jawab personal, atau sebuah panduan moral. Jurnalis yang independen adalah yang bisa
exercise hati nurani itu tanpa tekanan dan tanpa iming-iming, termasuk tekanan atasan dan
tekanan kehilangan pekerjaan. Jika seorang jurnalis meyakini suatu kebenaran, tapi dia takut
mengungkapkannya karena takut dipecat, maka dia tidak independen, bertentangan dengan
elemen ke-4 10.
10. Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita.
Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet.
Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan
7
Ibid, hal. 131
Ibid, hal. 147
9
Ibid, hal. 163
10
Ibid, hal. 179
8
media sendiri. Warga masyarakat dapat menyumbangkan berita di blog masing-masing yang
dikenal dengan citizen journalism. Selain blog, terdapat jurnalisme online, jurnalisme warga,
jurnalisme komunitas, dan media alternatif lain.
Dari sepuluh elemen jurnalisme tersebut setidaknya ada empat elemen yang sangat terkait
dengan penelitian ini. Empat elemen tersebut adalah Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada
kebenaran, Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga, Esensi jurnalisme adalah disiplin
verifikasi, dan Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput. Kovach mengatakan
Kewajiban para jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa
memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk “kebenaran jurnalistik”
yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis
dan fungsional. Ini bukan kebenaran mutlak atau filosofis. Tetapi, merupakan suatu proses
menyortir (sorting-out) yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik, sumber
berita (newsmaker), dan jurnalis dalam waktu tertentu. Prinsip pertama jurnalisme —pengejaran
kebenaran, yang tanpa dilandasi kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth)—adalah
yang paling membedakannya dari bentuk komunikasi lain 11.
Loyalitas pertama dari jurnalisme harus diberikan kepada warga. Hal ini penting karena
dimasa kemajuan teknologi ini jurnalisme telah bergeser dari peran media massa menjadi sebuah
unit usaha yang mengutamakan keuntungan secara finansial. Tak jarang wartawan yang bertugas
di lapangan justru lebih berperan sebagai marketing, dari perusahaan media tempatnya bekerja.
Sementara peran utama sebagai pengumpul informasi, dilepamparkan kepada rekan sejawat yang
tentunya berbeda media. Namun pada prakteknya, perusahaan media yang mendahulukan
kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan
bisnisnya sendiri.
Sementara Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi
peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak.
Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan
dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang obyektif
sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita 12.
11
12
Ibid
Ibid
Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang
dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orangorang yang mereka liput. Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting
ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari datadatanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan
memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan 13.
1.2. Orisinalitas Berita
Dan yang menjadi fokus utama di elemen ini jelas masalah orisinalitas berita. Wartawan
dituntut untuk membuat karya orisinil yang merupakan hasil peliputan sendiri, yang tentunya
bisa lebih dipertanggung jawabkan baik secara data maupun secara moral. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, definisi orisinalitas adalah keaslian 14. Sedangkan Bill Kovach dan Tom
Rosenstiel sudah sangat jelas dalam rumusannya, bahwa orisinalitas berita ini sangat penting
dalam pekerjaan peliputan berita. Disiplin verifikasi ini haruslah dicamkan oleh setiap wartawan
di muka bumi ini. Banyak kasus yang terjadi seperti tuntutan narasumber pada media massa,
karena kelemahan sang wartawan dalam melakukan verifikasi. Tak jarang mereka mengutip
pernyataan dari narasumber, tanpa pernah wawancara ataupun tatap muka sekalipun. Kejujuran
adalah sesuatu yang harus dipegang teguh oleh setiap insan pers, mulai dari reporter hingga ke
level redaksi. Karena dalam proses komunikasi, mereka bertindak sebagai komunikator yang
menyampaikan pesan lewat media massa. Jika itu tidak dilandasi kejujuran, tentunya akan
berdampak kurang baik setidaknya pada berita yang mereka tulis. Pesan yang disampaikan harus
bisa dipertanggung jawabkan, terutama dari sisi kebenaran, orisinalitas, dan juga keakuratannya.
Namun apakah hal tersebut bisa diperoleh para komunikator, dari berita yang ditulis tanpa ada
konfirmasi langsung ke sumbernya?
1.3. Media Framing
Dalam pembahasannya, Littlejohn menuliskan bahwa framing mengacu pada proses
menempatkan sebuah berita bersama-sama, termasuk cara-cara dimana cerita diatur dan
dibangun. Media Framing menyoroti aspek-aspek tertentu dari masalah dan menarik perhatian
13
14
http://www.andreasharsono.net/2001/12/sembilan-elemen-jurnalisme.html
Kamus Besar Bahasa Indonesia
kita. Konsep framing telah dikaitkan erat dengan agenda setting selama bertahun-tahun 15.
Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas
sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi yang lebih besar dari isu yang lain 16. Pan dan Kosicki
menyatakan bahwa terdapat dua konsepsi dari framing yang saling berkaitan. Pertama, dalam
konsepsi psikologi yaitu bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya serta
bagaimana seseorang mengolah sejumlah informasi dan ditunjukkan dalam skema tertentu.
Kedua, konsepsi sosiologis yaitu bagaimana individu menafsirkan suatu peristiwa melalui cara
pandang
tertentu.
Bagaimana
seseorang
mengklasifikasikan,
mengorganisasikan,
dan
menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas di luar dirinya. 17
Namun dalam penelitian ini, framing akan digunakan sebagai pedoman untuk memetakan
berita di 3 koran lokal kota Solo yang akan menjadi obyek penelitian. Berita yang akan
digunakan sebagai obyek adalah berita di halaman daerah. Dimana kemiripannya, bagaimana
tingkat kemiripannya, dan di bagian apa saja yang paling sering terlihat kemiripan berita,
disitulah framing digunakan.
1.4. Agenda Setting
Para peneliti telah lama mengetahui bahwa media memiliki kemampuan untuk menyusun
isu-isu bagi masyarakat. Salah satu penulis awal yang merumuskan gagasan ini adalah Walter
Lippmann, yang merupakan seorang jurnalis Amerika Serikat. Lippmann mengambil pandangan
bahwa masyarakat tidak merespon pada kejadian sebenarnya dalam lingkungan, tetapi pada
gambaran dalam kepala kita (media), yang dia sebut dengan lingkungan palsu. Karena
lingkungan yang sebenarnya terlalu besar, terlalu kompleks, dan terlalu menuntut adanya kontak
langsung. 18
Fungsi penyusunan agenda telah dijelaskan oleh Donal Shaw, Maxwell McCombs dan
rekan-rekan mereka yang menulis bahwa, ada bukti besar yang telah dikumpulkan bahwa
penyunting dan penyiar memainkan bagian yang penting dalam membentuk realitas sosial kita
ketika mereka menjalankan tugas keseharian mereka dalam memilih dan menampilakan berita.
Pengaruh media massa ini adalah kemampuan untuk memengaruhi perubahan kognitif
15
Littlejohn, Stephen W. Foss, Karen A. 2011. Theories of Human Communication-Tenth Edition. Waveland Press.
Iiiinois. hal. 344
16
Eriyanto. 2001. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. LKiS. Jogjakarta. hal. 186
17
Eriyanto, Loc cit, hal. 252-253
18
Littlejohn, Foss. Op Cit. hal. 341
antarindividu untuk menyusun pemikiran mereka, telah diberi nama fungsi penyusunan agenda
dari komunikasi massa. Disini terletak pengaruh paling penting dari komunikasi massa,
kemampuannya untuk menata mental dan mengatur dunia kita bagi kita sendiri. Singkatnya,
media massa mungkin tidak berhasil dalam dalam memberi kita apa yang harus dipikirkan, tetapi
mereka secara mengejutkan berhasil dalam memberitahu kita tentang apa yang harus kita
pikirkan. Atau dengan kata lain, penyusunan agenda membentuk gambaran atau isu yang penting
dalam pikiran masyarakat. 19
Teori Agenda Setting yang ditemukan Maxwell McCombs dan Donal L. Shaw sekitar
tahun 1968 ini berasumsi bahwa media memiliki kekuatan untuk mentransfer isu untuk
mempengaruhi agenda publik. Khalayak akan menganggap isu tersebut penting apabila media
menganggap isu itu penting. 20 Jadi disini peran media sangat besar dalam membentuk opini
publik, bahkan jika hal tersebut hanya berdasarkan asumsi saja. Media massa punya fungsi untuk
melakukan kontrol, baik kontro sosial maupun politik, dan memiliki kebijakan agenda setting
yang mana bisa membuat khalayak menganggap sesuatu menjadi penting, asalkan hal tersebut
dianggap penting oleh media. Disinilah media memegang peranan penting dalam kehidupan
sehari-hari. Orang cenderung menganggap apa yang dimuat di media massa adalah sesuatu yang
benar, layak untuk dipercaya, sangat mungkin untuk disebar luaskan. Dalam penelitian ini tentu
akan membahas fungsi media sebagai kontrol sosial, dengan mengacu pada teori agenda setting
ini. Ada tujuan apa dibalik sebuah produksi berita media cetak? Apakah itu kebenaran, atau
hanya mengekor saja.
1.5. Media Massa
Media massa seperti surat kabar, majalah, buku, radio, film, radio, dan televisi pada
umumnya dibedakan menjadi dua jenis yakni media cetak dan media elektronik 21. Surat kabar
atau Koran sudah menjadi bagian dari sejarah dunia sejak kemunculannya lebih dari setengah
millennium lalu atau lebih dari 500 tahun. Media massa juga disebut “Pers” merupakan lembaga
sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk
19
20
21
ibid
Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi. Rineka Cipta, Jakarta
Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 40 Tahun 1999 Tentang Pers, pasal 1
tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya
dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia 22.
Sebagaimana fungsinya sebagai media massa, Koran mewakili masyarakat untuk mendapatkan
informasi.
1.6. Jurnalistik dan Berita
AS Haris Sumadiria mengatakan bahwa secara etimologis jurnalistik berasal dari kata
journ. Dalam bahasa Prancis, kata journ berarti catatan atau laporan harian 23. Sehingga bisa kita
ambil arti secara sederhana, jurnalistik berkaitan dengan pencatatan atau pelaporan. Jurnalistik
adalah kegiatan yang memungkinkan pers atau media massa bekerja dan diakui eksistensinya
dengan baik.
Menurut F. Fraser Bond, jurnalistik adalah segala bentuk yang membuat berita dan ulasan
mengenai berita sampai pada kelompok pemerhati 24. Sedangkan Roland E. Wolseley
menyebutkan, jurnalistik adalah pengumpulan, penulisan, penafsiran, pemrosesan, dan
penyebaran informasi umum, mendapat pemerhati, hiburan umum secara sistematik dan dapat
dipercaya untuk diterbitkan pada surat kabar, majalah, dan disiarkan di stasiun siaran 25.
Kustadi Suhandang mengatakan, jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan
penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari (pada hakikatnya dalam
bentuk penerangan, penafsiran, dan pengkajian) secara berkala, dengan menggunakan saranasarana penerbitan yang ada 26. Dalam Leksikon Komunikasi dirumuskan, jurnalistik adalah
pekerjaan mengumpulkan, menulis, menyunting, dan menyebarkan berita dan karangan untuk
surat kabar, majalah, dan media massa lainnya seperti radio dan televisi 27. Sementara berita
adalah produk dari karya jurnalistik. Doug Newsom dan James A. Wollert mengemukakan,
dalam definisi sederhana, berita adalah apa saja yang ingin dan perlu diketahui orang atau lebih
22
Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran, pasal 13: 2
AS Haris Sumadiria, Drs. M.Si. Jurnalistik Indonesia – Menulis Berita dan Feature. 2006. Bandung. Simbiosa
Rekatama Media. hal. 2
24
Bond, Frank Fraser. An Introduction to Journalism – Second Edition. 1961. New York. The Macmillan Company.
hal. 1
25
Wolseley, Roland E. Understanding Magazine – Second Edition. 1969. Ames : Iowa State University Press. hal. 3
26
Suhandang. Kustadi. 2004. Pengantar Jurnalistik, Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik. Cetakan Pertama.
2004. Nuansa. Bandung. hal. 22
27
Harimurti, Kridalaksana. Leksikon Komunikasi. Cetakan Pertama. 1984. Jakarta. Pradnya Paramita. hal. 44
23
luas lagi oleh masyarakat. Dengan melaporkan berita, media massa memberikan informasi
kepada masyarakat mengenai apa yang mereka butuhkan 28.
Rosihan Anwar : Bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau
bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu : singkat, padat, sederhana,
lancar, jelas, lugas, dan menarik. Bahasa jurnalistik didasarkan pada bahasa baku, tidak
menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa, memperhatikan ejaan yang benar, dalam kosa kata
bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat. Kamus Besar Bahasa Indonesia:
Bahasa jurnalistik adalah salah satu ragam bahasa Indonesia, selain tiga lainnya — ragam bahasa
undang-undang, ragam bahasa ilmiah, dan ragam bahasa sastra 29.
Dari berbagai definisi diatas, maka bisa disimpulkan bahwa berita itu adalah satu
kumpulan informasi yang berdasarkan fakta, akurat, menarik, dan penting bagi sebagian dari
masyarakat, yang dilaporkan secara cepat, dengan pengemasan naskah yang menarik dan
memiliki nilai bagi pembacanya. Dalam hal ini tentu kemampuan dan juga pola pikir sang
penulis atau reporter mempengaruhi tulisan berita yang dilaporkan tersebut.
Klaus Levinsena dan Charlotte Wien menyebutkan bahwa hasil liputan media
mempengaruhi masyarakat dan sebaliknya, reaksi masyarakat juga mempengaruhi peliputan
berita 30. Penelitian menunjukkan adanya interaksi terus-menerus, antara agenda politik, perilaku
pribadi dan publik kita, dan pembentukan opini. Hal ini menunjukkan bahwa sudut pandang
pemberitaan, juga tergantung oleh penerimaan masyarakat. Suatu berita yang mengangkat isu
tertentu, akan dinilai sebagai trending topic apabila menjadi bahan utama, dalam setiap
pembicaraan khalayak. Namun isu tersebut akan hilang, apabila sambutan pembaca hanya
sekadarnya saja. Hal ini juga membuat media, terus berusaha mencari berita yang bisa “dijual”
kepada masyarakat.
1.7. Eksklusivitas Berita
Kita mengenal dan mungkin sering mendengar kata berita eksklusif ataupun eksklusivitas
berita. Keduanya memiliki maksud dan arti yang sama, dan memiliki posisi yang sangat penting
28
Newsom, Doug. Wollert, James Alvin. Media Writing: News for the Mass Media. 1985. University of Minnesota.
Wadsworth Publishing Company. hal. 11
29
Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi keempat 2008)
30
Levinsena, Klaus. Wien, Charlotte Wien. Journal of Youth Studies, Changing media representations of youth in the
news - a content analysis of Danish newspapers 1953 - 2003. 2011. Centre for Journalism, University of Southern
Denmark, Odense. Denmark
dalam media massa. Kata eksklusivitas ini memiliki arti kualitas atau keadaan yang eksklusif 31.
Ini berarti berita yang eksklusif memiliki nilai lebih dibandingkan berita yang lain. Dahulu berita
eksklusif adalah berita yang didapat oleh satu media massa saja. Sementara media lain tidak
memperolehnya, atau hanya kebagian running beritanya saja. Namun kini ditengah kemajuan
teknologi terutama teknologi komunikasi, nyaris tidak ada media yang ketinggalan satu peristiwa
dibandingkan yang lain. Kondisi ini memaksa media cetak, untuk melakukan improvisasi pada
teknik peliputannya. Selain itu terdapat pergeseran makna, dari eksklusivitas berita itu sendiri.
Berita eksklusif bisa jadi adalah satu peristiwa atau satu isu, yang diolah lebih tajam, lebih
dalam, dari sudut pandang yang berbeda dengan media lainnya.
Pada Koran lokal eksklusivitas berita ini seolah menjadi harga mati, yang harus dipenuhi
oleh tim redaksi. Bisa dengan menugaskan satu reporter khusus yang bergerak senyap, tanpa
bergabung dengan rekan reporter lain yang biasanya bergabung di lapangan. atau menugaskan
tim investigasi untuk melakukan liputan mendalam, terhadap satu kasus atau isu yang
sebenarnya juga digarap oleh media lain. Namun dengan angle yang berbeda dan lebih lengkap
menyajikan data maupun fakta, berita tersebut akan lebih menarik pembaca dibandingkan berita
sejenis di media cetak lain.
1.8. Kualitas Informasi
Pengertian Informasi Menurut Jogiyanto HM, “Informasi dapat didefinisikan sebagai
hasil dari pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi
penerimanya yang menggambarkan suatu kejadian – kejadian (event) yang nyata (fact) yang
digunakan untuk pengambilan keputusan” 32.
Sedangkan menurut Anton M. Meliono, “Informasi adalah data yang telah diproses untuk
suatu tujuan tertentu. Tujuan tersebut adalah untuk menghasilkan sebuah keputusan” 33. Informasi
disini adalah sebuah data, yang tentu didapatkan melalui sebuah proses pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara-cara tertentu. Bagi reporter di lapangan, pengumpulan data adalah suatu
kewajiban yang mutlak dan seharusnya tidak boleh diwakilkan, dalam hal ini berarti dilakukan
oleh orang lain atau teman. Secara umum informasi dapat didefinisikan sebagai hasil dari
31
http://www.merriam-webster.com/dictionary/exclusivity
Jogiyanto HM., Analisis dan Disain Informasi: Pendekatan Terstruktur Teori dan Praktek Aplikasi Bisnis. 1999.
Yogyakarta. Andi Offset, hal. 692
33
Anton M. Meliono. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1990. Jakarta. Penerbit Balai Pustaka, hal. 331
32
pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi penerimanya yang
menggambarkan suatu kejadian-kejadian yang nyata yang digunakan untuk pengambilan
keputusan.
Sumber dari informasi adalah data. Data adalah kenyataan yang menggambarkan suatu
kejadian-kejadian dan kesatuan nyata. Kejadian-kejadian adalah sesuatu yang terjadi pada saat
tertentu. Kualitas informasi ditentukan oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut :
1. Keakuratan dan teruji kebenarannya.
Informasi harus bebas dari kesalahan-kesalahan dan tidak menyesatkan.
2. Kesempurnaan informasi
Informasi disajikan dengan lengkap tanpa pengurangan, penambahan, dan pengubahan.
3. Tepat waktu
Infomasi harus disajikan secara tepat waktu, karena menjadi dasar dalam pengambilan
keputusan.
4. Relevansi
Informasi akan memiliki nilai manfaat yang tinggi, jika Informasi tersebut dapat diterima
oleh mereka yang membutuhkan.
5. Mudah dan murah
Apabila cara dan biaya untuk memperoleh informasi sulit dan mahal, maka orang menjadi
tidak berminat untuk memperolehnya, atau akan mencari alternatif substitusinya 34.
Dengan demikian, maka kualitas informasi akan dikatakan bagus apabila mampu memenuhi
faktor-faktor diatas. Bagi ketiga Koran lokal Solo, kualitas informasi menjadi hal utama yang
tidak boleh dikesampingkan. Sebab kualitas informasi, dalam hal ini kualitas pemberitaan,
adalah “dagangan” utama dari Koran. Namun dengan adanya persaingan antar media, maka
kualitas informasi terkadang nyaris dilupakan. Istilahnya siapa cepat dia dapat, hanya berlaku
pada kecepatan pengiriman berita saja. Sementara mengenai konten atau isi dari berita masih
bisa dilakukan perubahan di meja redaksi. Namun tak jarang karena kebutuhan dan juga adanya
tenggat waktu, proses pengeditan naskah di redaksi terkadang hanya formalitas belaka. Hal ini
terkadang menimbulkan masalah tatkala ada kesalahan baik redaksional maupun pengutipan
wawancara yang dipelintir.
34
Budi Sutedjo Dharma Oetomo. Perancangan & Pengembangan Sistem Informasi. 2002. Yogyakarta, Andi Offset,
hal. 16-17
1.9. Teori Pers
Dalam buku Jurnalistik, Teori dan Praktek Hikmat Kusumaningrat membahas tentang
filosofi pers. Filosofi pers atau jurnalistik modern pertama kali ditulis dalam buku berjudul “Four
Theories of The Press” karangan Sibert, Peterson, dan Schramm pada tahun 1956 dan diterbitkan
oleh Universitas Illinois. Ada empat teori pers, yang kemudian diberi tambahan dua teori
sehingga menjadi enam teori. Tambahan dua teori tersebut dikemukakan oleh Denis McQuail
dalam tulisannya “Uncertainty about Audience and Organization of Mass Communications”.
Adapun keenam teori pers tersebut antara lain:
1. Teori Pers Otoriter
Berpijak pada falsafah: membela kekuasaan absolut. Kebenaran dipercayakan hanya pada
segelintir orang bijaksana yang mampu memimpin.Posisi negara jauh lebih tinggi dibanding
individu 35.
2. Teori Pers Bebas
Berpijak pada falsafah: manusia adalah mahluk rasional yang bisa membedakan baik dan buruk.
Pers adalah alat, mitra untuk mencari kebenaran bukan sebagai alat pemerintah (negara).
Sebaliknya dalam teori ini pers didorong untuk mengawasi pemerintah. Berpijak atas teori ini
pula lahir istilah pers sebagai pilar ke empat dalam negara demokrasi, yaitu setelah kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif 36.
3. Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial
Teori ini adalah turunan dari dua teori di atas. Teori ini bertujuan untuk mengatasi kontradiksi
antara kebebasan media dan tanggung jawab sosialnya. Media harus menyajikan berita yang
dapat dipercaya, lengkap, cerdas, dan akurat. Media tidak boleh berbohong, harus memisahkan
antara fakta dan opini. Lebih dari itu media harus melaporkan kebenaran. Media harus jadi forum
pertukaran komentar dan kritik. Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar
mewakili kelompok konstituen masyarakat. Media harus menyajikan tujuan dan nilai mayarakat.
Media adalah instrumen pendidikan. Media memikul tanggung jawab untuk menjelaskan cita-
35
36
Kusumaningrat, Hikmat. Jurnalistik, Teori dan Praktek. 2006. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya. hal. 19
Ibid. hal. 20
cita yang diperjuangkan masyarakat. Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi
yang tersembunyi. Media harus mendistribusikan informasi secara luas 37.
4. Teori Pers Komunis Sovyet
Teori ini tumbuh dua tahun pasca revolusi Oktober 1917 di Russia dan berakar pada teori pers
otoriatarian. Sistem pers ini memelihara pengawasan yang dilakukan pemerintah. Karena itu di
negara ini yang ada adalah pers pemerintah 38.
5. Teori Pers Pembangunan
Teori ini umumnya terkait dengan teori pers dunia ketiga yang umumnya belum memiliki ciriciri sistem komunikasi yang telah maju. Inti teori ini adalah pers harus digunakan secara positif
dalam pembangunan nasional. Preferensi diberikan pada teori yang menekankan keterlibatan
akar rumput 39.
6. Teori Pers Partisipan Demokratik
Teori ini lahir dalam masyarakat libaral yang sudah maju. Teori ini lahir sebagai reaksi atas
komersialisasi dan monopoli media oleh swasta. Kedua, sebagai reaksi atas sentralisme dan
birokratisasi siaran publik. Teori ini juga mencerminkan kekecewaan terhadap partai politik yang
mapan dan sistem perwakilan yang tak mengakar rumput lagi. Teori ini menyukai
keserbaragaman, skala kecil, lokalitas, de-institusionalisasi, kesetaraan dalam masyarakat, dan
interaksi 40.
Dalam penelitian ini, teori pers yang sesuai adalah Teori Pers Bertanggung Jawab Sosial
dan Teori Pers Partisipan Demokratik. Kebebasan media yang berkembang sejak era reformasi
telah menghasilkan banyak hal dalam praktek jurnalistik di Indonesia. Dampak positifnya adalah
banyak media massa baru yang tumbuh dan berkembang. Mereka membawa warna baru dengan
ciri khas masing-masing. Banyak yang bertahan, tapi tak sedikit yang harus bubar ditengah jalan.
Namun suka atau tidak, kebebasan ini juga memiliki konsekuensi negatif di masyarakat. Adanya
kompetisi antar media membuat kinerja para wartawan di lapangan menjadi semakin berat.
37
Ibid
Ibid. hal. 24
39
Ibid. hal. 25
40
Ibid. hal. 26
38
Mereka ditarget untuk mampu menghasilkan berita yang cukup untuk mengisi halaman,
sementara sumber daya manusianya terbatas. Pada akhirnya praktek saling tukar naskah berita
menjadi jamak, dan sah untuk dilakukan. Tak jarang pula media justru berfungsi sebagai corong
satu kelumpok tertentu, yang tujuannya jelas untuk mengejar target finansial untuk menutup
operasional. Padahal dalam teori Pers Bertanggung Jawab Sosial media harus memproyeksikan
gambaran yang benar-benar mewakili kelompok konstituen masyarakat. Media harus menyajikan
tujuan dan nilai mayarakat. Media adalah instrumen pendidikan. Media memikul tanggung jawab
untuk menjelaskan cita-cita yang diperjuangkan masyarakat. Media harus menyediakan akses
penuh terhadap informasi yang tersembunyi. Media harus mendistribusikan informasi secara
luas.
Sementara Teori Pers Partisipan Demokratik muncul sebagai reaksi atas komersialisasi
dan monopoli media oleh swasta. Kedua, sebagai reaksi atas sentralisme dan birokratisasi siaran
publik. Teori ini juga mencerminkan kekecewaan terhadap partai politik yang mapan dan sistem
perwakilan yang tak mengakar rumput lagi. Bisa dibilang teori ini adalah akibat dari apa yang
telah dilakukan oleh media massa, dalam hal ini pemilik institusi yang cenderung mengejar
keuntungan tanpa memperhatikan fungsi dan peran pers ditengah masyarakat.
1.10. Manajemen Penulisan Berita
Bentuk organisasi penerbitan pers yang baku, belum pernah ada bahkan dimasa sekarang
ini. Masing-masing perusahaan menyusun organisasi tata kerjanya berdasarkan keadaan serta
misi yang dimiliki. Tetapi secara sederhana organisasi perusahaan penerbitan pers umumnya
tersusun dalam bidang-bidang redaksi (news room), bidang usaha (business department) dan
bidang percetakan (printing department) 41. Secara umum manajemen penulisan berita adalah
tentang bagaimana berita dibuat, mulai dari pengumpulan data, menampung informasi,
menyusun kerangka berita, menulis berita, hingga pada akhirnya berita jadi dan siap cetak.
Proses menuju kesana inilah yang menarik, untuk diteliti lebih jauh. Penulisan berita seperti
halnya kemajuan teknologi, telah melalui beberapa fase perubahan dan perkembangan. Proses
produksi di ruang redaksi (news room) utamanya, memegang peranan penting sebelum berita
dinyatakan siap naik cetak. Karenanya tidak boleh ada kesalahan sedikitpun, mulai dari
redaksional hingga fakta yang dipaparkan dalam berita tersebut. Gaye Tuchman menyebut proses
41
Robbins, Stephen P. Organizational Behaviour. 2001. Pretince-Hill Inc.
pembuatan berita di ruang redaksi dengan nilai-nilai yang menyertainya menjadi hal yang
menentukan dalam menyusun berita. Dalam konteks sejarah, pers telah berperan dalam
memfasilitasi publik yang rasional. Atau pers berperan dalam public sphare sebagaimana pada
sejarah Eropa abad 18 sampai 19. Pers dengan isu-isu yang diangkat akan menjadi bahan bagi
pembicaraan publik 42.
Dalam menggali berita untuk mendapatkan sumber berita yang bisa dipercaya bisa
dilakukan dengan tiga cara 43. Tiga cara tersebut adalah:
a. Penulis berita menerima data atau informasi langsung dari sumber berita atau informan.
Istilah menerima disini sifatnya pasif, artinya bahan berita sudah matang dan tinggal
dilakukan pengeditan dan memuatnya. Contohnya: menerima press release dari instansi
pemerintah ataupun swasta.
b. Meliput acara. Artinya penulis menghadiri sebuah acara untuk kemudian menulis
beritanya, mendatangi tempat kejadian perkara atau TKP untuk meliput sebuah peristiwa,
dan juga datang langsung menemui narasumber yang berkompeten dengan apa yang
tengah ditulisnya.
c. Menggali berita. Penulis atau reporter melakukan penelitian sendiri, untuk menghasilkan
sebuah berita mendalam atau depth news terhadap satu isu ataupun peristiwa. Data yang
diperoleh berasal dari berbagai pihak.
Dengan tiga cara ini dapat kita pahami bahwa sang penulis atau reporter, turun langsung ke
lapangan untuk melakukan kegiatan peliputan. Bukan hanya pasif menunggu datangnya kiriman
naskah dari sesama wartawan, atau bahkan hanya melakukan copy paste dari sumber yang sudah
menulis terlebih dahulu. Dengan demikian manajemen penulisan berita memang langsung
berasal dari tangan pertama, bukan berasal dari orang lain yang terkadang kurang bisa
dipertanggungjawabkan.
Dahulu kala saat teknologi masih dikuasai pita, teknik penulisan saat melakukan
reportase atau peliputan pun sangat terbatas. Hanya ada dua media yang dipakai, yaitu pena dan
mesin ketik. Reporter mencatat semua hal penting, disebuah notes serta mengabadikannya dalam
bentuk foto dengan kamera yang menggunakan pita atau klise. Tentunya hal ini sangat
merepotkan, jika dilihat betapa kerja reporter di lapangan sangat berat. Mereka dituntut harus
42
Tuchman, Making News: A Study in the Construction of Reality. Lihat Utomo, Tesis Pascasarjana UNS, 2007,
Keberlangsungan Hidup Koran Daerah
43
Djuroto, Totok, Drs, M.si. Manajemen Penerbitan Pers. 2004. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya Offset. hal. 53
cepat dalam berpikir, mengambil gambar, menentukan sudut pandang berita, dan mengejar
narasumber. Usai melakukan peliputan, reporter juga dituntut untuk bekerja dalam tekanan untuk
memenuhi deadline dari kantor redaksi. Alatnya pun terbatas, hanya dengan menggunakan mesin
ketik. Untuk reporter yang bekerja di kota yang sama dengan kantor redaksi, pekerjaan akan
selesai saat naskah berita diserahkan kepada redaktur. Tapi lain ceritanya bagi reporter, yang
lokasi peliputan berbeda dengan kota tempat kantor redaksi berada. Reporter tersebut harus
mengirimkan naskah berita, menggunakan sarana yang ada dimasa itu yaitu mesin faksimili.
Sedangkan foto berita, dikirimkan menggunakan jasa kurir.
Namun hal tersebut sudah lama berlalu, seiring kemajuan teknologi yang semakin pesat.
Kini kerja para reporter di lapangan sangat terbantu, oleh alat-alat canggih yang mudah dibawa.
Untuk merekam suara narasumber, tersedia alat perekam yang berformat mp3 dengan media
penyimpanan kartu memori. Untuk mengabadikan setiap kejadian, tersedia kamera digital yang
mudah untuk digunakan. Untuk melakukan penulisan berita, para reporter cukup mengandalkan
laptop yang dengan mudah dibawa kemana saja. Ditambah dengan perlengkapan berupa modem
internet, naskah berita lengkap dengan foto bisa segera dikirimkan ke kantor redaksi melalui email. Semua itu bisa dilakukan dalam hitungan jam, bahkan menit jika sudah mendekati
deadline.
Namun semua kemajuan teknologi tersebut, seperti halnya penemuan-penemuan lainnya,
tidak hanya membawa dampak positif. Dampak negatif pun menyertainya, tak terkecuali pada
kinerja reporter di lapangan. Dengan semakin majunya teknologi, membuat persaingan bisnis
media massa menjadi semakin hebat. Semua media cetak kini telah memiliki media online yang
isinya merupakan representasi dari apa yang akan dimuat di edisi cetaknya. Dengan demikian,
para reporter dituntut untuk lebih cepat dalam bekerja. Tak jarang saling berbagi data, bahkan
juga berbagi naskah berita, mereka lakukan untuk mempercepat proses penulisan berita. Di
komunitas wartawan yang memiliki ikatan kuat, saling berbagi tugas menulis ataupun liputan
menjadi hal yang biasa. Hal ini dilakukan dengan sukarela, untuk menunjang kinerja masingmasing.
Proses produksi berita masih terus berlanjut, hingga ke kantor redaksi masing-masing.
Disini ada yang disebut redaktur, bertugas untuk mengedit setiap berita yang dikirim ke reporter.
Pengeditan ini sekaligus menyaring, apakah berita yang dikirim tersebut sudah sesuai dengan
kaidah berita yang baku, sudah memenuhi 5W 1H, dan apakah berita tersebut berdasarkan fakta
yang dapat dipertanggung jawabkan, serta tidak mirip dengan berita yang dimuat Koran lain?
Untuk yang terakhir ini tidak bisa diketahui secara langsung, namun bisa diketahui dari gaya
penulisan sang reporter yang sudah dihapal oleh redaktur.
1.11. Plagiarisme dan Wartawan Copy, Paste, Kloning
Menurut Adimihardja, plagiarisme adalah pencurian dan penggunaan gagasan atau
tulisan orang lain (tanpa cara-cara yang sah) dan diakui sebagai miliknya sendiri. Plagiarisme
juga didefinisikan sebagai kegiatan dengan sengaja menyalin pemikiran atau kerja orang lain
tanpa cara-cara yang sah 44. Pelaku plagiarisme dikenal juga dengan sebutan plagiat 45. Di
Indonesia perlindungan hak cipta diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Pembajakan karya ini, bisa terjadi diberbagai bidang seperti
sastra, musik, hingga ke perangkat lunak atau software. Dalam pasal 12 huruf a dijelaskan,
semua karya ciptayang dilindungi adalah buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay
out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain 46. Jadi jelas bahwa karya
jurnalistik adalah termasuk karya tulis yang diterbitkan, yang masuk dalam perlindungan
Undang-Undang ini. Ancaman hukumannya dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah),
atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 47.
Namun plagiarisme justru dikatakan bukan suatu kejahatan, kecuali dalam kesusastraan
ataupun karya yang memiliki hak cipta. Namun didalam bidang akademis dan jurnalistik,
tindakan ini dianggap salah dan tidak pantas untuk dilakukan. Hukumannya pun beragam, mulai
dari sanksi moral hingga pemecatan, tentunya dengan melihat seberapa parah tindakan plagiat
yang dilakukan. Tindakan plagiarism sudah terjadi sejak berabad-abad silam, namun di masa kini
semakin marak dan berkembang pesat. Hal ini tidak bisa dilepaskan, dari kemunculan internet.
Disini siapapun bisa menyalin sebagian, atau bahkan keseluruhan artikel, tulisan, jurnal, dan
karya ilmiah milik orang lain 48.
44
Adimihadja, M. 2005. Plagiarisme. Makalah Disampaikan dalam Lokakarya Etika diPerguruan Tinggi yang
Dilaksanakan di Medan pada Tanggal 19—20 April 2005. Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Medan.
45
http://rosyidi.com/plagiarisme-merugikan-semua-pihak
46
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta
47
Ibid
48
Isaacs, David. 2011. Journal of Paediatrics and Child Health. Royal Australasian College of Physicians. hal. 159
Terlepas dari kejahatan atau bukan, jelas plagiarisme adalah satu tindakan yang
melanggar etika. Dalam dunia jurnalistik, hal ini sangat dilarang dan bahkan masuk dalam kode
etik jurnalistik. Dalam pasal 13 Kode Etik Jurnalistik disebutkan, bahwa wartawan tidak
melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip karya jurnalistik tanpa menyebut sumbernya 49. Jadi
disini walaupun sudah meminta ijin dari penulis aslinya, pengutipan ini tetap harus menyertakan
sumbernya. Namun karena produk jurnalistik bukan termasuk dalam karya ilmiah, biasanya
penyertaan sumber ini selalu diabaikan. Praktek saling berbagi naskah berita, memang tidak bisa
langsung dikategorikan sebagai tindakan plagiarisme. Hal ini dikarenakan si penulis naskah,
sadar dan tahu jika naskah bertanya digunakan sebagai referensi. Bahkan secara sukarela,
membagi naskah beritanya tersebut. Tapi hal inilah yang menarik, dan membutuhkan penelitian
untuk membuktikannya. Apakah Fenomena ini memang muncul karena suatu kondisi dimana
reporter saling diuntungkan, karena tanpa harus susah payah melakukan peliputan berita sudah
datang dengan sendiri. Bahkan tidak hanya datang, namun sudah menjadi paket lengkap dengan
kutipan wawancara dan foto.
Cara pengumpulan berita oleh para wartawan, dalam hal ini disebut reporter, sangat
beragam. Di masa teknologi maju seperti saat ini, kinerja para reporter sangat terbantu dan
menjadi lebih mudah. Sebagai contoh, reporter cukup menelepon narasumber dan melakukan
wawancara jarak jauh. Untuk foto pendukung berita, juga bisa dikirimkan lewat e-mail atau
bahkan lewat media jejaring sosial. Namun ada kalanya kemajuan teknologi tersebut,
menjadikan reporter tidak sungguh-sungguh memahami kondisi di lapangan. hal ini dikarenakan
mereka tidak terjun langsung, melainkan hanya mendapat informasi dari orang lain, baik
narasumber atau bahkan sesama reporter.
Dalam buku Rambu-Rambu Jurnalistik, Sirikit Syah membahas hal yang cukup menarik.
Bahkan di salah satu sub bab, dia menulis tentang wartawan copy paste, kloning, dan
plagiarisme. Permasalahan ini senada dengan apa yang menjadi obyek penelitian ini, yaitu
tentang manajemen produksi berita di media cetak, ditengah kian pesatnya kemajuan teknologi.
Syah mengatakan bahwa tradisi saling berbagi berita ini, justru muncul akibat adanya
pembatasan pemberitaan yang dilakukan oleh pemerintahan orde baru. Di masa orde baru
tersebut, berita-berita memiliki topik yang sama akibat pembatasan tersebut. Penulisan hingga
49
Kode Etik Jurnalistik untuk Wartawan Indonesia No.03/SK-DP/III/2006
penerbitan diawasi dengan ketat, dan sensor adalah hal yang lazim dilakukan. Namun ditengah
pembatasan tersebut, para wartawan masih memiliki kebanggaan bila angle beritanya berbeda
dengan rekan sejawatnya. Hal inilah yang memunculkan kesan eksklusif, namun bukan dari
siapa yang dapat berita dan siapa yang tidak. Eksklusivitas berita diihat dari narasumber yang
berbeda, lead berita yang benar-benar baru, hingga isi berita yang lebih “tajam.” Namun dimasa
sekarang ini, dimana kebebasan pers sudah didapatkan, justru para wartawan seolah
menyeragamkan tulisannya. Judul, lead, angle, kutipan, bahkan tanda baca, bisa dibilang identik
jika tidak dikatakan mirip 50.
Eksklusivitas berita sendiri saat ini seperti mengalami pergeseran makna, baik bagi
wartawan maupun sebuah kantor media. Jika dulu berita eksklusif adalah berita yang benarbenar didapat sendiri, dengan narasumber yang berbeda, lead dan angle yang tajam. Namun kini
eksklusif bukan berarti yang lain tidak memuat berita tersebut, melainkan ditentukan oleh
pemilihan angle dan lead. Media lain boleh mendapatkan berita tersebut, namun konten berita
akan mengalami perubahan di meja redaktur. Tentunya dengan bahasa atau ulasan yang tajam,
dan sebisa mungkin berbeda dengan yang lain. Namun dari pengamatan yang dilakukan di
sejumlah media cetak, terutama media cetak lokal, justru yang muncul adalah sebaliknya.
Banyak berita yang mirip, bahkan identik diantara media-media cetak tersebut. Dan cara-cara
seperti wartawan copy paste dan kloning, menjadi penyebab utama hal tersebut.
Dan seperti yang sudah dibahas sebelumnya, kemudahan dalam penggunaan komputer
dan internet, juga mempengaruhi munculnya tentang wartawan copy paste, kloning, yang
kemudian mengarah ke tindak plagiarisme. Sebagai contoh kemudahan tersebut, adalah praktek
copy paste dari situs berita atau portal berita di internet. Adalah hal yang lazim di masa sekarang
ini, sebuah kantor media cetak meng-copy paste berita dari situs berita atau dotcom, untuk
digunakan di media cetaknya. Tindakan ini bisa bervariasi, seperti menyadur, mengambil
sebagian teks, atau bahkan seluruhnya. Tindakan ini sah, apabila kantor media cetak tersebut
sudah berlangganan situs berita, tentunya dengan adanya kontrak kerjasama. Namun karena
mudahnya praktek copy paste ini, ada juga yang mengambil secara ilegal tanpa menyebutkan
narasumber ataupun penulis aslinya. Tentunya apa yang dilakukan media cetak tersebut, bisa
dikategorikan sebagai plagiarisme. Dalam Kode Etik Jurnalistik, jelas-jelas tercantum larangan
50
Sirikit Syah. Rambu-Rambu Jurnalistik, Dari Undang-Undang Hingga Hati Nurani. 2011. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar. hal. 30
plagiarisme. Dalam pasal 10 Kode Etik Jurnalistik disebutkan, Wartawan Indonesia menempuh
cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik 51. Disini cara yang profesional,
salah satunya adalah dengan tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan
wartawan lain sebagai karya sendiri.
Dalam pembahasannya, Syah merasa bahwa kode etik ini seringkali diabaikan oleh para
wartawan. Wartawan masa kini tetap melakukan copy paste, terkadang tanpa ijin pemiliknya,
namun tak jarang pula atas ijin dari pemilik berita aslinya. Hal ini terjadi, karena adanya rasa
saling membutuhkan diantara para wartawan ini. Sudah bukan hal yang tabu di kalangan
wartawan, terdapat pembagian tugas melakukan liputan di lapangan, bahkan diantara para
wartawan yang berbeda media. Dari hasil pembagian tersebut, maka tidak ada wartawan yang
“kebobolan” dan semua pun senang. Bagi para pelaku di lapangan, mungkin hal ini tidak
merugikan namun justru menguntungkan. Tapi bagi para pembaca yang berlangganan dua atau
lebih Koran, hal ini bisa jadi sangat merugikan. Karena walau sudah berlangganan lebih dari satu
Koran, namun isi beritanya sama dan bahkan penulisannya pun mirip. Padahal tujuan dari
berlangganan lebih dari satu Koran, adalah untuk membaca perspektif yang berbeda 52.
1.12. Kompetisi antar Media
Kota Solo adalah sebuah kota yang sangat dinamis, baik isu maupun realita kehidupan
masyarakatnya. Hal ini membuat Solo menjadi satu kota, yang menjadi basis dari beberapa
media cetak baik lokal maupun nasional. Media cetak atau koran sangat penting untuk bagi
sebuah negara karena dua alasan yang penting. Di satu sisi koran nasional dapat fokus pada
gambaran yang lebih besar, sementara itu koran lokal bisa menganalisa dengan detail, apa yang
pemerintah pusat dan daerah lakukan serta dampak dari kebijakan mereka terhadap masyarakat.
Kedua, koran lokal sangat penting dalam membantu untuk membangun masyarakat yang lebih
besar dan lebih kuat. Ada kesenjangan besar antara negara di satu sisi, dan individu pada sisi
lain, dan Koran lokal membantu mengisi ruang di antara pembaca, dan membangkitkan mereka
ke dalam satu tindakan 53.
51
Op cit Kode Etik Jurnalistik untuk Wartawan Indonesia No.03/SK-DP/III/2006
Ibid, hal. 31
53
Shabir, Ghulam. Safdar, Ghulam. Seyal-Asad Mumtaz. Imran, Muhammad. Bukhari-Ali Raza. 2015. Maintaining
Print Media in Modern Age: A Case Study of Pakistan. Asian Journal of Social Sciences & Humanities. Department
of Media Studies, The Islamia University of Bahawalpur, Pakistan. hal. 2
52
Khusus untuk Koran lokal, Solo lebih dikenal sebagai kuburan Koran. Sudah tak
terhitung berapa Koran lokal yang muncul, namun kemudian tutup ditengah jalan. Sebut saja
Bengawan Pos, Suara Bengawan, atau Pos Kita, semua tutup ditengah kuatnya persaingan.
Tingkat melek informasi masyarakat yang tinggi, membuat mereka selektif dalam memilih
Koran sebagai sumber informasi sehari-hari. Selain itu pengelolaan Koran-koran yang telah tutup
usia tersebut dikatakan kurang profesional. Tenaga ahli yang terlibat sangat sedikit dan pada
akhirnya memaksakan dengan sumber daya yang tersedia. Kini di era kemajuan teknologi,
profesionalitas adalah hal yang mutlak. Koran yang hendak melebarkan sayap di kota Solo ini
haruslah tahan banting, mampu memberi warna yang berbeda, serta memiliki ide segar yang bisa
diterima masyarakat.
Untuk Solopos, nasibnya lebih beruntung dibandingkan Koran-koran yang lebih dahulu
tutup. Kerusuhan yang melanda Solo pada tahun 1998 mendatangkan “berkah” bagi Solopos.
Karena Solo terisolir, satu-satunya Koran yang masih beredar adalah Solopos. Hal ini membuat
oplah hariannya naik pesat, hingga bisa mencapai balik modal di tahun ketiga berdiri.
Terlepas dari itu semua, kondisi Solo sebagai kuburan Koran memang mempengaruhi
kompetisi antar media cetak lokal. Namun perkembangan teknologi tetap memegang peranan
utama, dalam persaingan ini. Langkah pertama dalam Membangun hubungan antara kualitas
berita dan kompetisi berita adalah untuk menentukan konsep-konsep kunci. Tidak ada Konsep
yang mudah untuk mengukur dan kini bahkan semakin sulit untuk menentukan. Lebih rumit
masalahnya adalah bahwa saya ingin membuat perbandingan di berbagai waktu, tempat, dan
jenis media, kadang-kadang menggunakan data saya sendiri dan kadang-kadang bergantung pada
data yang dikumpulkan oleh orang lain. Kebutuhan, Oleh karena itu, untuk konsep yang mudah
untuk dilakukan dan diadaptasi.” 54
Dengan kondisi seperti ini, media cetak lokal pun mau tak mau harus punya strategi yang
bisa mengungguli kompetitornya. Zaller juga berpendapat, bahwa Persaingan antar media
memungkinkan adanya kesamaan dalam fokus pemberitaan. Gaye Tuchman mengatakan bahwa
para pemilik dari media massa, dalam permasalahan ini tentu akan mengambil kebijakan dan
prosedur pemberitaan, yang dapat memberikan jaminan keuntungan baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Dengan demikian mereka harus merespon segala reaksi, baik dari
54
Zaller, John. Market Competition and News Quality, UCLA (Paper prepared for presentation at the 1999 annual
meetings of the American Political Science Association, Atlanta, GA). hal. 2
pembaca maupun para pemasang iklan. Selain itu para owner ini, juga wajib memperhatikan para
pesaing yang juga berada di wilayah operasi yang sama 55. Tuchman menjelaskan pengaruh
lingkungan serta audiens kepada isi dan idealisme media massa, dalam sebuah bagan sebagai
berikut:
Gambar 1. Organisasi berita dalam bidang kekuatan sosial 56
Pressure Groups
Investors
Sources
News Organization C
News Organization A
Advertisers
Regulatory Agencies
Owners
News Organization B
Audiences
Other Social Institutions
Dari gambaran diatas jelas terlihat, bahwa media massa kini lebih dari sekedar sebuah
alat kontrol dari masyarakat terhadap suatu pemerintahan ataupun sebagai satu sumber informasi
belaka. Media massa telah tumbuh sebagai sebuah kerajaan bisnis, dimana didalamnya
melibatkan berbagai macam kepentingan. Media tak bisa berdiri sendiri, mengatur opini publik
dengan total, seperti yang terjadi di masa lalu. Kasus ini bisa terjadi pada media lokal, yang
memiliki fokus pemberitaan sama dalam satu peristiwa 57. Hal ini menarik untuk dikaji lebih
55
A Handbook of Media and Communication Research, Qualitative and quantitative Methodologies. Edited by
Klaus Bruhn Jensen. 2002. Routledge. London. hal. 79
56
ibid
57
Zaller, Op Cit, hal. 2-3
lanjut lewat sebuah penelitian. Apakah semakin ketatnya persaingan, telah menggeser makna
“eksklusivitas” dari satu berita?
Brian McNair menuliskan, isi media dapat ditentukan oleh:
1. Kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik (the political-economy approach).
2. Pengelola berita sebagai pihak yang aktif dalam proses produksi berita (organizational
approach).
3. Gabungan berbagai faktor, baik internal media atau pun eksternal media (culturalis
approach) 58.
Sedangkan Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese memandang bahwa telah terjadi
pertarungan dalam memaknai realitas dalam isi media. Pertarungan itu disebabkan oleh berbagai
faktor, yaitu:
•
Latar belakang awak media (wartawan, editor, dll).
•
Rutinitas media (media routine), yaitu mekanisme dan proses penentuan berita. Misalnya,
berita hasil investigasi langsung akan berbeda dengan berita yang dibeli dari kantor
berita.
•
Struktur organisasi, bahwa media adalah kumpulan berbagai job descriptions. Misalnya,
bagian marketing dapat mempengaruhi agar diproduksi isi media yang dapat dijual ke
pasar.
•
Kekuatan ekstramedia, yaitu lingkungan di luar media (sosial, budaya, politik, hukum,
kebutuhan khalayak, agama, dan lainnya).
•
Ideologi (misalnya ideologi negara) 59.
Dengan kondisi semacam ini, mau tidak mau kinerja para wartawan di lapangan pun
terpengaruh. Mereka dituntut untuk menjadi “mata dan telinga” dari redaksi masing-masing.
Selain harus melakukan peliputan dan produksi berita, mereka juga dituntut untuk memantau
para kompetitor di lapangan. Namun hal ini bisa dilakukan, bisa juga tidak dilakukan. Dalam
Jurnal Internasional yang berjudul Markets, Ownership, and the Quality of Campaign News
Coverage, Johanna Dunaway menuliskan bahwa pemilik entitas tunggal yang beroperasi dalam
58
McNair, Brian, News and Journalism in the UK: A Texbook. 1994. Routledge, London and New York. hal. 39-58
Shoemaker, Pamela J. Reese, Stephen D. Mediating the Message: Theories of Influences on Mass Media Content.
1996. Longman Trade/ Caroline House.
59
kondisi persaingan yang terbatas dapat mengontrol arah ideologis dari sebuah peliputan berita 60.
Dalam kondisi seperti ini, para pemilik media juga berperan dalam mempengaruhi kinerja dari
para reporter di lapangan. Tuntutan dari redaksi pun bisa berseberangan, dengan idealisme sang
reporter sendiri. Sehingga pada akhirnya, idealisme tersebut “dikalahkan” oleh kepentingan
media untuk tetap berjalan sambil mengakomodir keinginan sang pemilik.
Dalam Media Competition and Information Disclosure, Ascensión Andina-Díaz
mengatakan bahwa ada kepercayaan bahwa media memainkan peran penting dalam masyarakat
dengan menyediakan informasi kepada masyarakat. Namun, tidak ada konsensus besar seperti
pada pertanyaan apakah kompetisi media yang meningkatkan akurasi berita 61. Karena kompetisi
media murni berdasarkan kepentingan ekonomi, sedangkan akurasi berita lebih kepada identitas
dari media itu sendiri. Jadi penting sekali untuk dibedakan, antara kepentingan pemilik media
dengan kualitas pemberitaan pada media tersebut. Walau begitu, dua hal tersebut memang tidak
bisa dilepaskan satu sama lain.
Ignatius Haryanto mengatakan, media cetak yang ingin terus maju, harus menghasilkan
produk yang berkualitas prima. Artinya media cetak harus menghasilkan informasi yang lebih
memiliki nilai dan makna bagi masyarakat., mengembangkan liputan mendalam dan meluas
untuk membuat masyarakat jadi semakin mengerti lingkungan sekitarnya. Untuk hal ini
Haryanto memberikan beberapa masukan bagi para pengelola media cetak, salah satunya dengan
memberikan keleluasaan bujet untuk liputan-liputan bermutu, serta mengembangkan lembaga
riset internal 62.
B. PENELITIAN TERDAHULU
Berbagai penelitian tentang jurnalistik, kinerja reporter, analisis isi dari pemberitaan
suatu kantor berita, sudah dilakukan oleh banyak orang. Juga penelitian yang membandingkan isi
dari beberapa media cetak atau Koran, sudah banyak dilakukan oleh para peneliti ataupun
akademisi di bidang komunikasi. Penelitian ini lebih kepada meneliti isi media namun tidak
60
Dunaway, Johanna. Markets, Ownership, and the Quality of Campaign News Coverage. 2008. The Journal of
Politics. Southern Political Science Association, Louisiana State University. hal. 1194
61
Andina- Díaz. A. Media Competition and Information Disclosure. 2007. Academic Journal. Dpto Teoría e Historia
Económica, Campus de El Ejido, Universidad deMálaga. Spain. hal. 1
62
Haryanto, Ignatius. Jurnalisme Era Digital, Tantangan Industri Media Abad 21. 2014. Jakarta. PT. Kompas Media
Nusantara. hal. 37
terfokus pada satu isu atau permasalahan tertentu. Media framing dan agenda setting digunakan
dalam penelitian ini, untuk menjawab pertanyaan penelitian. Serta mencari apakah ada upaya
atau kegiatan yang mengarah ke tindak plagiarisme, pada saat melakukan produksi berita di
lapangan. Dan kenapa saling berbagi naskah menjadi kebiasaan, bahkan menjadi satu hal yang
tak bisa dilepaskan oleh para reporter. Penelitian sejenis sejauh ini belum pernah dilakukan,
karena memang akses untuk berinteraksi dan menggali informasi dari para wartawan bukan
sesuatu yang mudah. Ada kecenderungan untuk menutup diri, apabila mereka ditanya segala
sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya. Bisa dikatakan penelitian ini, adalah awal dari
penelitian sejenis dimasa mendatang.
C. KERANGKA PIKIR
Kerangka pikir dalam penelitian ini, bisa dijelaskan sebagai berikut. Penelitian ini
berangkat dari adanya fenomena, yang peneliti temukan di 3 koran lokal kota Solo yaitu Solopos,
Radar Solo, dan Joglosemar. Sebagian berita di halaman daerah, memiliki kemiripan satu dengan
yang lain. Kemiripan ini terlihat dari sudut pandang berita, beberapa kesamaan pemilihan kata
dan kalimat, serta penyusunan kerangka berita. Peneliti ingin menelusuri proses produksi berita
mulai dari liputan reporter di lapangan, pengetikan naskah berita, pengeditan di redaksi, hingga
berita naik cetak. Seberapa besar pengaruh interaksi wartawan dalam komunitas non formal,
dalam melakukan kegiatan peliputan dan saling berbagi naskah berita, juga menjadi satu hal
yang menarik untuk diteliti. Apakah dengan menyadur naskah orang lain, bisa dikategorikan
sebagai plagiarisme, walau sang pemilik naskah dengan sukarela membagi data dan naskahnya.
Apakah tindakan para reporter di lapangan tersebut sah dimata redaksi, ataukah sebenarnya
tindakan tersebut dilarang? Dan seberapa besar pengaruh saling berbagi naskah, terhadap
eksklusivitas sebuah berita. Karena saat ini peneliti menyadari, ada pergeseran makna berita
eksklusif di dalam dunia jurnalistik. Jika dahulu eksklusif berarti hanya satu media saja yang
memperoleh berita tertentu, saat ini eksklusif justru tergantung dari sudut pandang media
terhadap satu kejadian atau isu yang tengah menjadi topik hangat.
Yang terpenting lagi sebuah media bisa menggiring opini publik. Semua media massa
memiliki agenda setting masing-masing, yang seharusnya tidak sama satu sama lain. Agenda
setting ini penting, karena dari situlah fungsi media massa sebagai alat kontrol sosial bisa
berjalan. Apabila media massa memiliki kesamaan sudut pandang dari sebuah permasalahan,
agenda setting ini yang akan membedakan langkah media massa tersebut selanjutnya. Apabila
ternyata dalam prosesnya ada kerjasama antar wartawan dari media yang berbeda, tentu saja
agenda settingnya akan berubah dan tidak lagi bisa menjalankan fungsi kontrolnya seperti apa
yang sudah dilakukan sebelumnya.
Seorang wartawan bagaimanapun juga, haruslah memegang teguh kode etik jurnalistik.
Sebagaimana sudah dijelaskan diatas, wartawan bertugas untuk membuat laporan mengenai
suatu peristiwa, dengan bahasanya sendiri dan sejujur-jujurnya. Seperti yang dikatakan oleh
Luwi Ishwara dalam Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, Wartawan mengumpulkan informasi,
menganalisis, dan membentuk bahan-bahan itu menjadi tulisan yang ramping, akurat, dan
jernih 63. Namun disamping itu wartawan juga harus memiliki rasa kebanggaan atas karya orisinil
miliknya. Dengan inilah maka praktek saling berbagi naskah berita akan bisa dikurangi.
Tentunya setiap keputusan aka nada konsekuensinya, terutama bagi wartawan yang dinilai
“pelit” dalam berbagi naskah berita. Bisa saja akses informasinya akan ditutup, atau juga tidak
diberi informasi tentang kejadian atau peristiwa. Namun bagi seorang wartawan profesional yang
memang berdedikasi, hal tersebut bukanlah masalah. Karena informasi bisa diperoleh dari mana
saja, tanpa harus bergantung pada sesama wartawan. Tinggal bagaimana wartawan mengelola
informan yang berasal dari masyarakat, pejabat teritorial, dan juga kalangan intelejen. Jika dibuat
bagan, kerangka pikir penelitian ini bisa dijabarkan sebagai berikut:
63
Ishwara, Luwi. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar – Seri Jurnalistik Kompas. 2005. Jakarta. PT. Kompas Media
Nusantara. hal. 100
Analisis Isi di 3 koran
lokal Solo
Ada kesamaan pada
penulisan berita
Reporter
• Teknik peliputan
• Penulisan Berita
• Kode Etik Jurnalistik
• Plagiarisme
Redaksi
• Manajemen Penulisan
• Teori Pers
• Sembilan Elemen
Jurnalisme
• UU RI No. 19 tahun
2002 Tentang Hak
Cipta
Download