Ajaran Sosial Gereja tentang Orang Miskin Norbertus Jegalus Pendahuluan Tahun ini kita merayakan secara khusus sebagai “Tahun Injil Orang Miskin”. Ini sangat sesuai dengan ajakan Paus Fransikus agar kita kaum Kristen kembali kepada semangat dasar Injil, yakni kemiskinan dan perhatian terhadap orang miskin. Tema Tahun Injil Orang Miskin ini, berikut ini, diuraikan berdasarkan “Ajaran Sosial Gereja”, dengan cahaya pemikiran filsafat sosial. Karena itu kita akan berbicara tentang kemiskinan dan ketidakadilan struktural. Ketidakadilan struktural menyebabkan, apa yang sudah umum dikenal dalam sosiologi pembangunan dan juga ekonomi pembangunan, “kemiskinan struktural”. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul sebagai gejala sosial akibat dari struktur masyarakat yang bisa kita sebut “tidak sosial”. Struktur masyarakat itu miskin sehingga tidak mampu memberi jalan keluar dari ketergantungan sejumlah besar anggota masyarakatnya. Bentuk konkretnya dapat kita jumpai apabila kita terjun langsung di tengah-tengah orang hidup terlantar. Begitu banyak petani yang hutangnya menumpuk di tangan para pengijon. Di mana-mana petani-petani kecil terpaksa menjual lahan tanah garapan kepada orang kota yang kaya karena membutuhkan uang tunai untuk membiayai sekolah anak-anak. Di sini Gereja dipanggil untuk menjadi terang di tengah-tengah penderitaan dan kemiskinan masyarakat itu sebagai akibat struktur masyarakat yang tidak sosial atau tidak adil. Ada dua macam ketidakadilan, yaitu ketidakadilan individual dan ketidakadilan sosial (ketidakadilan struktural). Adapun masalah fundamental dalam pastoral Sosial Ekonomi adalah ketidakadilan struktural ini. Bagaimana Gereja menghadapinya? “Ketidakadilan individual” juga masalah pastoral Sosial Ekonomi Gereja, namun masalah ini tidak begitu rumit dan berat untuk dihadapi oleh Gereja. Karena Gereja dapat mewartakan pertobatan kepada orang itu, baik melalui kotbah di Gereja maupun melalui pendekatan kunjungan pribadi, untuk menyadarkannya. Namun “ketidakadilan sosial” tidak mudah dihadapi oleh Gereja, karena ketidakadilan struktural ini tidak secara langsung disebabkan oleh sikap seorang individu yang tidak adil. Ketidakadilan sosial ini terjadi secara bersama-sama melalui tindakan politis, ekonomis dan sosial budaya. Teologi Orang Miskin Kitab Suci tentang Orang Miskin Allah, menurut Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, tidak netral. Allah selalu berpihak, yaitu berpihak kepada orang miskin dan menderita. Kisah tentang persoalan atau perjuangan keadilan sosial tersebar di dalam Alkitab. Di dalam Perjanjian Lama itulah pewartaan para nabi: Nabi-nabi sebelum pembuangan, seperti Amos, Yesaya, Mikha, Hosea, Zefaya dan Habakuk; nabi-nabi Masa Pembuangan, seperti, Yeremia, Yehezkiel, Deutero Yesaya; dan nabi-nabi sesudah Pembuangan, seperti Yesaya, Zakaria dan Maleakhi.1 Perjanjian Lama menampakkan situasi penindasan atas Israel oleh bangsa-bangsa lain, dan juga, di antara kaum Israel sendiri, penindasan atas orang miskin oleh orang kaya dan orang berkuasa. Penindasan yang dimaksud adalah suatu penyalahgunaan kekuasaan serta penggunaan kekerasan 1 Herman Hendriks CICM, Keadilan Sosial dalam Kitab Suci, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 43. untuk memaksakan kehendak, atau dalam bahasa yang lebih umum, perbuatan kasar dari si kuat terhadap si lemah. Para nabi itu secara kasar mencela segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, kecurangankecurangan, monopoli tanah, penyuapan terhadap hakim-hakim. Namun kebanyakan perjuangan para nabi itu gagal untuk memberi dampak yang sungguh-sungguh atas masyarakat zamannya. Mengapa perjuangan para nabi itu gagal? Karena mereka dipandang oleh penguasa sebagai pemberontak terhadap status quo politik, sosial, ekonomi, dan agama zamannya. Mereka tidak dianggap pejuang melainkan musuh bangsa, pengacau bangsa. Baru setelah pembuangan ke Babel, nabi-nabi memperoleh pengakuan. Malapetaka pembuangan itu menunjukkan bahwa nabi-nabi benar, dan bahwa istana raja, para pemimpin militer, kalangan atas, dan kalangan agama, salah. Sekarang bangsa yang terhina itu berbalik kepada nabi-nabi untuk mencari harapan serta tuntunan.2 Bagaimana dengan Yesus? Ada banyak kutipan dalam Perjanjian Baru, seperti Injil Markus, Matius, dan terutama Lukas dan Kisah Para Rasul, tentang orang miskin dan menderita. Lukas dikenal sebagai “penginjil kaum miskin”. Dalam bahasa sosiologi, Injil Lukas adalah Injil sosial.3 Cintakasih Allah terhadap orang kecil dan miskin adalah salah satu ciri inti dalam pewartaan Yesus. Allah mencintai semua orang, terlebih mereka yang kecil, miskin dan lemah. Cintakasih itu tidak lepas dari kenyataan bahwa orang kecil dan miskin itu senantiasa menjadi korban para penguasa dan orang kaya (Lk 1: 51-54). Yesus merasa secara khusus diutus kepada orang melarat, tahanan dan sakit itu. Perutusan itu terwujud secara nyata dalam seluruh hidupNya, baik dalam pewartaan maupun dalam karyaNya. Kotbah di Bukit (Lk 6: 20-26), perumpamaan tentang Lazarus (Lk 16: 19-23) adalah contoh jelas bahwa Yesus memihak orang melarat dan tidak enggan menyebut celaka bagi orang kaya. Begitu pula mujizat Yesus terutama ditujukan kepada orang menderita, tetapi tidak pernah dilakukan sebagai tanda bukti bagi para penguasa. Untuk membela kepentingan rakyat kecil, Yesus mencela golongan yang kaya dengan perkataan yang keras dan kasar sekali (Lk 11: 37-53). Kalau orang yang menderita membutuhkan pertolonganNya, Yesus tidak peduli akan aturan dan pendapat para pemuka agama, dan menangkis kecaman mereka dengan tegas (Lk 6: 6-16). Ajaran Vatikan II tentang Orang Miskin Dalam kotbah Pembukaan Konsili Vatikan II, pada 12 Oktober 1962, Paus Yohanes XXIII menyinggung tentang Gereja Orang Miskin, meskipun kemudian tema kemiskinan atau masalah orang miskin tidak menjadi tema sentral konsili. Perspektif kristologis dari Gereja Orang Miskin dan semangat kemiskinan dikemukakan di dalam Lumen Gentium, artikel 8, tentang Gereja miskin, dan Lumen Gentium, artikel 42, tentang semangat kemiskinan. Kemudian di dalam Gaudium et Spes konsili mengajak murid-murid Kristus untuk ikut serta dalam suka dan duka masyarakat, terutama yang miskin dan terlantar. Namun semangat dasar Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Moderen ini bukan tentang kepedulian terhadap orang miskin melainkan mengenai pengakuan otonomi dunia, dan dalam konteks itulah ia menanggapi soal kemiskinan. Artikel 8 ini dibuka dengan pembicaraan tentang eklesiologi, yakni pembicaraan tentang hakikat Gereja yang sekaligus kelihatan dan tak kelihatan, yang kemudian dilanjutkan secara berturut-turut 2 Ibid., hlm. 43-44. 3 Ibid., hlm. 91. tentang tiga gagasan yang menggambarkan kondisi riil Gereja yang dihidupi oleh manusia dengan segala keterbatasannya, yakni: miskin, berdosa dan menderita. Jadi Gereja yang dihidupi oleh manusia konkret adalah Gereja yang memiliki keterbatasan. Dan ada tiga ciri yang menggambarkan keterbatasan itu, yakni “Gereja Miskin”, “Gereja Berdoa”, dan “Gereja Mengembara”. Tentang Gereja Miskin: Konsili di sini mengajarkan bahwa Gereja itu harus serupa dengan Kristus, dan Kristus itu miskin, maka Gereja juga harus miskin: “Seperti Kristus melaksanakan karya keselamatan dalam kemiskinan dan penganiayaan, begitupn Gereja”. Jadi, Gereja sendiri harus hidup miskin seperti Kristus, dan Gereja harus mengikuti kepalanya dalam perhatian dan cintakasihNya terhadap orang miskin. Kemiskinan Kristus adalah tanda cintakasihNya terhadap manusia. Sikap ini harus merupakan sikap Gereja pula. Dan kemiskinan Gereja pertama-tama adalah rasa solidernya dengan orang miskin. Tanda bahwa Gereja adalah Gereja Kristus kalau pewartaan Gereja itu berpusat pada orang miskin dan kecil. Kemiskinan Gereja berarti Gereja bersama dengan Kristus menyatukan diri dengan orang miskin yang oleh Kristus disebut “saudaraKu”.4 Ajaran Sosial Gereja tentang Orang Miskin Berikut ini dapat digambarkan secara sepintas ensiklik-ensiklik dan surat apostolik yang berbicara tentang kemiskinan. Karena Ajaran Sosial Gereja mempunyai keprihatinan tertentu yang muncul dalam konteks zamannya sebagai tanggapan Gereja atas persoalan itu, maka ada perkembangan atau pergeseran ajaran sosial Gereja dari waktu ke waktu. Rerum Novarum (1891), ensiklik pertama tentang Ajaran Sosial Gereja, untuk pertama kali secara resmi Gereja mendekati persoalan buruh secara struktural, artinya sebagai masalah keadilan sosial. Masalah buruh tidak lagi dipandang sebagai masalah individual si pemilik perusahaan berhubungan dengan buruhnya. Sejak itu disadari bahwa kemiskinan buruh diangkat ke ranah sosial, sehingga penanganannya tidak cukup dengan tindakan karitatif saja. Cara pandang struktural ini kemudian dikemukakan lagi dalam Ensiklik Quadragesimo Anno (1931). Ajaran sosial terpenting dari ensiklik ini adalah untuk pertama dalam Gereja Katolik menetapkan prinsip solidaritas dan prinsip subsidiaritas. Kedua prinsip ini untuk mengatur struktur masyarkat demi mengatasi permusuhan kelas. Tanpa solidaritas dan subsidiaritas, yang lemah selalu kalah. Sedangkan dalam Ensiklik Mater et Magistra (1961) untuk pertama kali dalam ajaran sosial Gereja dibicarakan masalah kemiskinan dari negara-negara berkembang, yaitu negara-negara yang membutuhkan bantuan. Setahun kemudian Yohanes XXIII mengeluarkan Ensiklik Pacem in Terris (1962) menghubungkan masalah kemiskinan dan ketidakadilan dengan perdamaian. Perdamaian hanya bisa dicapai kalau tidak ada kemiskinan atau ketidakadilan. Kalau mau damai hapus kemiskinan dan ketidakadilan. Lalu Paus Paulus VI mengeluarkan Populorum Progressio (1967), ensiklik mengenai ajaran sosial pertama yang sepenuhnya berbicara tentang perkembangan bangsa-bangsa serta mengenai hubungan antara negara kaya dan negara miskin. Sedangkan dalam Octogesima Adveniens (1971) Paus Paulus VI membuka kepincangan-kepincangan antara negara kaya dan negara miskin. Ia juga membicarakan diskriminasi rasial dan alienasi oleh konsumerisme. 4 Dr. T. Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” Mengenai Gereja. Terjemahan, Introduksi, Komentar, Jilid I, Yogyakarta: Kanisius, 1970, hlm. 209-213. Pada tahun yang sama Paus Paulus VI mengeluarkan dokumen De Iustitia in Mundo, yang berbicara tentang penegakan keadilan sebagai dimensi konstitutif pewartaan Injil. Pewartaan Injil tanpa usaha menegakkan keadilan bukanlah pewartaan Injil yang sungguh-sungguh. Dalam nada yang sama Paus menulis Surat Apsotolik Evangelii Nuntiandi (1975), bahwa pewartaan Injil baru sebuah pewartaan Injil yang utuh bila memperhatikan timbal balik antara Injil dan kehidupan konkret manusia. Pewartaan Injil tidak boleh mengabaikan masalah-masalah keadilan, pembebasan dan perdamaian di dalam dunia. Kemudian Yohanes Paulus II mengeluarkan Ensiklik Laborem Exercens (1981) mengenai pekerjaan manusia. Martabat manusia pekerja sangat dijunjung tinggi. Ia mendesak perubahan radikal yang membela orang-orang tak berdaya berhadapan dengan orang-orang atau kelompok-kelompok berkuasa. Kerangka ajaran ini kemudian dilanjutkan dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987), yang sangat menekankan perlunya perubahan struktur-struktur dan mekanisme-mekanisme yang tidak adil, serta perlunya solidaritas global. Paus di sini menekankan bahwa Gereja dipanggil untuk membela orang miskin, Gereja harus berdiri di pihak orang miskin. Sedangkan dalam Centesimus Annus (1991), Yohanes Paulus II mengemukakan kembali prinsip perhatian khusus bagi orang miskin, dengan beberapa nada baru, seperti: penilaian yang agak positif tentang ekonomi sistem pasar, ekonomi persaingan bebas dan ekonomi internasional yang liberal. Namun Paus tetap menekankan bahwa negara tetap harus berperan untuk mengatur sistem ekonomi pasar demi tidak mengorbankan orang msikin dan kecil. Tanggapan Gereja Gereja Karitatif Bentuk yang paling tua tanggapan terhadap orang miskin dan menderita adalah tindakan cintakasih (caritas) berupa memberi derma, pakaian dan makan, melayani orang sakit dan yatim-piatu. Singkatnya, memberikan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh yang berkekurangan guna mengurangi penderitaan mereka. Karya karitatif bisa dalam dua model, yakni karya karitatif individual dan karya karitatif institusional. Karya karitatif individual adalah tindakan amal secara perorangan, seperti umumnya dilakukan oleh orang-orang kaya, dan jangan lupa, juga dilakukan oleh orang-orang berkuasa. Sedangkan karya karitatif institusional itulah yang dilakukan oleh lembaga-lembaga bantuan, baik itu miliki Gereja maupun milik masyarakat. Karya amal itu sesuatu yang sangat nyata, jadi sesuatu yang positif. Akan tetapi Gereja karitatif ini tidak tanpa masalah, atau tidak tanpa kritik. Masalahnya, apakah Gereja selalu memiliki secara memadai barang-barang untuk didermakan kepada orang miskin dan menderita. Masalah berikutnya, dan itulah kritik terhadap model pendekatan karitatif ini, orang miskin dan kecil yang menderita itu langsung kita pandang sebagai “objek”, meski objek kebaikan. Orang kecil dan miskin itu sebagai objek kebaikan kita, sebagai objek belaskasihan kita. Jadi, kita sudah menempatkan mereka sebagai orang di luar, sebagai bukan orang kita. Kita tidak sanggup lagi menerima mereka sebagai “subjek”, sebagai saudara kita.5 5 Franz Magnis Suseno, Beriman dalam Masyarakat. Butir-butir Teologi Kontekstual, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm. 29. Penderma, yang pada umumnya adalah orang kaya dan orang berkuasa, membanggakan diri karena telah berbuat baik bagi orang miskin, dan karenanya ia dihormati oleh masyarakat. Pendekatan karya amal ini memang mudah tergelincir kepada kesombongan sosial. Penderma memberikan sumbangan sering didamping oleh media untuk diwartakan, supaya diketahui oleh banyak orang bahwa mereka telah berbuat baik bagi sesama. Tentu kita tidak menghapus model pendekatan karya amal ini. Karena bagaimanapun tindakan karitatif ini adalah model pelayanan tertua dalam Gereja. Dalam kondisi tertentu, misalnya, bencana alam, kita masih membutuhkan “dapur umum”. Jadi, kita tetap pertahankan karya karitatif itu, hanya perlu dengan hati-hati, agar kita tidak tergelincir pada kesombongan sosial, yang juga sudah dikritik oleh Yesus. Gereja Solider Bentuk tanggapan Gereja yang kedua dalam sejarah pelayanan Gereja terhadap yang menderita miskin dan sakit adalah solidaritas. Mengikuti Yesus berarti mengikuti sikap Yesus dan terutama sikap Allah sendiri, yang bersolider dengan manusia yang menderita dan berdosa. Salah satu sikap Yesus yang mencolok adalah solidaritas-Nya terhadap semua orang, terutama mereka yang sakit dan menderita, dengan pendosa, dengan mereka yang lapar, bahkan Ia solider sampai mati di kayu salib. Kekhasan solidaritas kristiani adalah bahwa kesetiakawanan itu kelihatan dalam sikap kita berhadapan dengan orang kecil yang miskin dan lemah, dan bukan dalam sikap kita terhadap orang kaya dan orang berkuasa. Mengapa setiakawan dengan orang kaya atau berkuasa bukan solidaritas yang diharapkan Yesus? Menurut Yesus, solidaritas yang sebenarnya kelihatan dimana kita tidak dapat mengharapkan balasan dari kebaikan kita itu. Sedangkan kesetiakawanan kita dengan orang kaya atau berkuasa selalu terbuka kemungkinan adanya balasan. Sikap ini sesuai dengan pesan Injil yakni bahwa Allah tidak netral melainkan berpihak. Tetapi mengapa Allah berpihak kepada orang miskin dan bukan orang kaya atau orang berkuasa? Jawabannya, bukan karena orang miskin memiliki sifat-sifat yang istimewa. Allah berada di pihak kaum miskin sebab mereka adalah orang yang tak berdaya dan tak seorang pun yang membela mereka. Karena itu, keberpihakan kita kepada orang miskin diambil tidak berdasarkan suatu gembaran ideal mengenai orang miskin, seakan-akan pada mereka akan kita temukan segala kebajikan yang kita tidak temukan pada orang kaya dan orang berkuasa, melainkan karena kita konsekuen pada komitmen kita dengan Allah sendiri yang berpihak orang miskin. Gereja Profetis Solidaritas itu harus dimiliki oleh setiap pengikut Kristus. Akan tetapi keprihatinan atau solidaritas itu bersifat mendua. Di satu pihak sikap solidaritas memang merupakan dasar segenap perjuangan demi keadilan yang berorientasi pada manusia konkret. Di lain pihak sikap solidaritas itu tidak memadai karena bersifat sepihak dan tidak menghapus sebabnya, yakni ketergantungan. Berprihatin dapat menjadi kedok untuk mengelak dari apa yang harus dituntut dari kita, yakni membebaskan mereka yang menderita miskin, mengakui hak mereka yang lemah, dan melepaskan kekuasaan kita atas mereka. Kalau kita hanya sampai pada sikap “karitatif” dan “solider”, maka itu berarti kita masih memandang bahwa kemiskinan dan penderitaan orang-orang kecil itu sebagai fakta alamiah, sebagai nasib, dan bukan sebagai akibat dari struktur sosial yang tidak adil. Karitas dan solidaritas tetap kita pertahankan dan jalankan, namun harus dilengkapi dengan sikap “profetis”. Gereja harus berani membongkar ketidakadilan struktur-struktur masyarakat yang menyebabkan adanya kemiskinan, atau boleh juga kita sebut pemiskinan. Sikap profetis di sini ada dua model: “profetis kritis” dan “profetis kreatif”. Profetis kritis, itu berarti, Gereja mengeritik atau membongkar sampai ke akarnya struktur sosial yang tidak adil yang menyebabkan kemiskinan atau pemiskinan itu. Sedangkan profetis kreatif, itu berarti, Gereja melibatkan diri secara konkret mengambil tindakan mengatasi keadaan itu, misalnya, dengan membangun pertanian dan peternakan. Gereja membangun di sini sebenarnya juga sebuah kritik kepada pemerintah, karena sesungguhnya pemerintahlah yang melakukan pembangunan itu. Dengan kata lain, harus dihindari bahaya mengeritik melulu, tanpa usulan positif yang lebih baik. Pendekatan profetis kreatif ini juga akan lebih meyakinkan daripada hanya kritik. Penutup Kerinduan untuk mengikuti Kristus dan mencari serta menemukan Allah, hanyalah otentik kalau diwujudkan dalam keterlibatan cinta mendahulukan orang miskin dan menderita. Akan tetapi perwujudan tanggung jawab sosial itu, baik dijalankan secara pribadi maupun secara institusional, selalu berhadapan dengan kenyataan, yang bisa kita sebut dosa sosial atau struktur-struktur dosa. Menurut amanat aspostolik Yohanes Paulus II (1984), Reconciliatio et paenitentia”, dosa sosial itu berarti: pertama, menunjuk pengaruh sosial atas dosa, sebagai akibat solidaritas manusiawi kena dan mempengaruhi orang lain; kedua, dosa-dosa yang melawan sesama, seperti dosa-dosa melawan keadilan yang dilakukan oleh individu melawan komunitas maupun oleh komunitas melawan individu; ketiga, melawan rencana Allah berkaitan dengan struktur-struktur sosial. Dalam arti terakhir ini dosa tertanam dalam struktur-struktur kehidupan masyarakat. Maka dari itu, dosa sosial itu menciptakan lingkungan yang memungkinkan dosa personal dipermudah dan dianggap wajar. Di sini ada hubungan timbal balik antara dosa pribadi dan dosa sosial, dosa pribadi memperkuat struktur dosa dan struktur dosa menyeret dosa pribadi. Strukturstruktur itu adalah kenyataan konkret, yang meskipun semula berakar pada dosa pribadi, namun pada gilirannya mempunai kekuatan sendiri. Artinya, pada gilirannya kekuatan-kekuatan dosa yang terwujud dalam struktur sosial tersebut menjadi sulit dibasmi, juga kalau individu-individu menghendakinya. Menurut Yohanes Paulus II, struktur-struktur dosa itu hanya bisa dihadapi dengan tindakan bersama, yakni solidaritas. Dan perwujudan solidaritas itu berbeda-beda menurut posisi sosial setiap orang beriman. Misalnya: (1) Bagi orang berkuasa, solidaritas adalah perubahan sikap hati mereka untuk menolak kehausan akan kuasa dan membuat kebijakan politik yang mencakupi kepentingan semua masyarakat. (2) Bagi orang kaya, solidaritas adalah perubahan sikap untuk melawan keserakahan keuntungan dan melibatkan diri pada penciptaan kebaikan bersama. (3) Bagi orang miskin sendiri, solidaritas adalah tekad mereka bersama untuk menuntut hak-hak mereka secara legitim. Adapun tantangan terhadap solidaritas saat ini adalah konsumerisme. Mengapa konsumerisme sebagai tantangan solidaritas dengan orang miskin? Karena sesungguhnya konsumerisme itu suatu sikap yang tidak wajar secara sosial. Konsumerisme adalah sikap orang yang terdorong untuk terusmenerus menambahkan tingkat konsumsi, bukan karena konsumsi itu dibutuhkan melainkan lebih demi status sosial. Jadi, konsumerisme adalah sebuah hedonisme. Dan budaya hedonistik itu dapat mengkorupsikan tatanan sosial. Karena untuk memenuhi keinginan itu orang akan berusaha dengan berbagai jalan, entah pantas atau tidak pantas secara moral, untuk mencapai uang dan barang-barang mewah secara banyak-banyaknya. Tatanan sosial ekonomi pun rusak. Karena dosa pribadi dan struktur dosa mempunyai hubungan timbal balik, maka pertobatan pribadi dan pertobatan sosial diperlukan agar perubahan struktur demi kemajuan masyarakat bisa tercipta. Pertobatan pribadi mempunayi pengaruh sosial dan dapat menggerakkan pertobatan komunal. Pada gilirannya pertobatan pribadi-pribadi dan pertobatan komunal diharapkan dapat mewujud dalam tindakan atau gerakan sosial yang bersifat struktural untuk mengubah struktur-struktur yang menindas.* Kupang, 10 Oktober 2014 Norbertus Jegalus Dilahirkan di Manggarai, 23 Juni 1962: Menamatkan SDK di Manggarai; SMP dan SMA di Seminari Kisol, Manggarai; Studi Filsafat/Teologi di STFK Ledalero, Maumere dan meraih Sarjana Filsafat 1989; menjadi Staf Pengajar Seminari Kisol, 1989-1990; kemudian sebagai Awam menjadi Asisten Dosen Teologi Dogmatik pada STFK Ledalero di bawah bimbingan Dr. Georg Kirchberger, SVD, sambil menerjemahkan dari Inggris dan Jerman bahan-bahan teologi untuk kebutuhan perkuliahan di STFK Ledalero, 1990-1991, dan satu semester mengajar teologi pada Institut Pastoral Indonesia Filial Dili (1991); sejak berdiri Seminari Tinggi St. Michael, Penfui-Kupang (Fakultas Filsafat Agama, Unwira Kupang) pada 1991, menjadi dosen filsafat sampai saat ini. Menerima beasiswa KAAD (Lembaga Beasiswa Konferensi Para Uskup Jerman untuk Kaderisasi Awam Katolik) untuk melanjutkan studi program MA (Magister Artium) dalam bidang Filsafat Politik pada Institut für Gesellschaftspolitik, Hochschule für Philosophie, SJ, München (2000), dan Dr.phil. (Doctor philiosophiae) juga dalam bidang Filsafat Politik, pada Geschwister-Scholl Intsitut für Politische Wissenschaft, Ludwig-MaximiliansUniversität, München, Jerman (2008).