Muhammadiyah dan Dakwah Pencerahan Oleh Muhbib Abdul Wahab Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ Pada 18 November 2014 ini, Muhammadiyah genap berusia 102 tahun. Umat Islam dan bangsa ini patut beryukur, bahwa Muhammadiyah telah banyak memberikan kontribusi positif bagi pembangunan bangsa, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial melalui amal usahanya yang tersebar luas di penjuru tanah air. Sungguh di balik kemampuan Muhammadiyah bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan dan terus berkembang maju melampaui usia Republik ini terdapat sebuah spirit (ruh) dinamika gerakan, yaitu dakwah pencerahan. Seperti tercermin pada lambangnya, matahari bersinar, Muhammadiyah terus menyinari dan mencerahkan umat, bangsa, dan negeri tercinta. Dakwah pencerahan (da’wah tanwiriyyah) merupakan terminologi dakwah yang relatif baru, meskipun dakwah Islam sejak awal sejatinya adalah dakwah pencerahan. Istilah dakwah pencerahan ini banyak dipopulerkan oleh Pimpinan Pusat Muhammmadiyah. Menurut Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA. Muhammadiyah dewasa ini harus mengembangkan model dakwah pencerahan, yaitu dakwah yang membebaskan (tahrir), memberdayakan (taqwiyah), dan memajukan (taqdim). Inilah tiga kunci dakwah pencerahan yang menjadi elan vital gerakan Muhammadiyah. Dakwah Islam mengandung arti panggilan, seruan, dan ajakan untuk berislam, atau menjadikan Islam sebagai way of life sekaligus sebagai sistem nilai yang mengatur kehidupan ini. Syariat Islam itu sendiri, menurut Ibn Taimiyah dalam Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, dibumikan untuk mewujudkan dan menyempurnakan kemasalahan hidup manusia; sekaligus menolak dan meminimalisir kerusakan dan kebangkrutan hidup manusia. Oleh karena itu, tujuan utama dakwah Islam adalah mewujudkan tatanan kehidupan manusia yang penuh kemaslahatan (kebaikan dan kebahagiaan), bukan kemafsadatan (kerusakan) dan kebangkrutan. Dakwah Islam itu, pertama-tama, harus berorientasi kepada pembebasan manusia dari kegelapan hidup (zhulumat) menuju cahaya pencerahan (nur), yaitu dari kegelapan kekufuran menuju cahaya iman; dari kemaksiatan menuju cahaya ketaatan, dan dari kebodohan menuju cahaya ilmu pengetahuan. Kedua, dakwah Islam diaktualisasikan dalam bentuk penyampaian misi Islam secara sempurna kepada umat manusia. Ketiga, menjaga dan melindungi agama Islam dari kesia-siaan dan penakwilan orang-orang yang tidak memahaminya dengan baik. Keempat, dakwah Islam juga berperan mewujudkan rasa aman, perdamaian, dan stabilitas sosial politik, baik di negeri Muslim maupun negeri non-Muslim. Dakwah pencerahan merupakan paradigma baru dalam mendakwahkan Islam sebagai sumber nilai, ajaran, dan spirit gerakan. Dakwah pencerahan Muhammadiyah bukan sematamata tabligh (menyampaikan ajaran), melainkan ikhraj wa tahrir (membebaskan) manusia dari segala bentuk keyakinan palsu yang menyelimuti hati dan pikirannya. Pada tataran tahrir, dakwah pencerahan tidak hanya menyelematkan akidah Islam, melainkan juga membangun sistem keyakinan yang benar, kokoh, dan terbebas dari segala bentuk kemusyrikan, seperti: syirik teologi, syirik politik, syirik sosial ekonomi, bahkan syirik hawa nafsu. Seiring dengan proses tahrir, dakwah pencerahan Muhammadiyah meniscayakan perubahan (taghyir) pada diri mad’u (yang didakwahi) dengan program pencerdasan agar umat memiliki nalar yang sehat, benar, dan positif dalam menyikapi dan menghadapi persoalan hidup. Dakwah pencerahan harus bermuatan pendidikan berpikir positif dan kreatif. Dengan pencerdasan, umat dibiasakan untuk menjauhi pola-pola hidup yang masih sarat dengan takhayul, bid’ah, dan khurafat (TBC). Dakwah pencerahan membebaskan umat sistem hidup Jahiliyah, sebuah sitem kehidupan yang penuh kegelapan iman, kebobrokan moral, dan kebiadaban perilaku. Setelah mad’u mengalami pembebasan dan perubahan, dakwah pencerahan Muhammadiyah perlu mengembangkan program-program pemberdayaan (taqwiyah), dengan mengoptimalkan segala potensi mad’u untuk meraih hidup sukses: sukses studi, sukses berorganisasi, sukses berprofesi, sukses hidup sebagai suami-istri, dan sukses berakhlak Islami. Oleh karena itu, dakwah pencerahan tidak sekedar tabligh (menyampaikan pesan), melainkan harus diikuti dengan tau’iyah (penyadaran) dan peningkatan kualitas hidup umat. Karena itu, dakwah pencerahan memerlukan manajemen dakwah yang solid dan efektif untuk, misalnya, melakukan pendampingan komunitas sasaran dalam pengembangan sumber daya ekonomi, pemberdayaan ekonomi kreatif, peningkatan mutu hasil pertanian, perkebunan, perikanan, perhutanan, dan sebagainya. Agar komunitas mad’u itu berdaya, tentu, diperlukan adanya edukasi-edukasi dan pelatihan-pelatihan keterampilan hidup (life skills), keterampilan sosial (social skills), dan keterampilan lunak (soft skills), sehingga komunitas itu menjadi mandiri secara sosial ekonomi. Dengan kata lain, dakwah pencerahan seyogyanya mampu merubah komunitas mustahiqq (penerima zakat) menjadi muzakki dan mutashaddiq (pembayar zakat dan pemberi sedekah). Dalam konteks ini, Rasulullah SAW sejak awal dakwahnya menekankan pentingnya kemandirian hidup dengan spirit filantropis (semangat berderma, memberi). Bahkan, Rasulullah SAW dilarang oleh Allah SWT untuk berharap mendapat balasan lebih banyak dari apa yang telah diberikan. “Dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS. al-Muddatstsir: 6) Dalam sejarah dakwah Islam, pembentukan mentalitas kemandirian pada diri mad’u merupakan salah satu faktor determinan dalam keberhasilan dakwah perncerahan itu sendiri. Meskipun saat di Mekkah umat Islam tergolong minoritas, namun mentalitas kemandirian mereka sangat kuat. Embargo ekonomi yang dilancarkan oleh kaum kafir Quraisy terhadap para sahabat Nabi SAW saat itu tidak sedikitpun menyurutkan dan menggoyahkan mentalitas mereka. Dengan demikian, dakwah pencerahan yang dilakukan oleh Nabi SAW itu bermuatan peneguhan akidah dan pengokohan syakhsyiyyah (keperibadian) yang mandiri. Dakwah pemberdayaan mengharuskan pelaku dan lembaga dakwah untuk memahami segala potensi yang dimiliki oleh sasaran dakwah (mad’u). Sekedar contoh pemberdayaan, ketika hijrah dari Mekkah ke Madinah, Nabi SAW memberdayakan Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai mitra pendamping hijrahnya, sedangkan putra-putrinya, yaitu Abdullah dan Asma’, diberdayakan sebagai inteligen dan pemasok logistik bagi perjalanan hijrah Nabi SAW yang waktu itu harus “transit” selama 3 hari di gua Tsur, sebelum melanjutkan perjalanan hijrahnya ke Yatsrib (Madinah). Pada waktu yang sama, Ali bin Abi Thalib –karramallu wajhahu-- juga diberdayakan untuk menggantikan tempat tidur Nabi SAW. Setelah dimerdekakan dari perbudakan, Bilal bin Rabah juga diberdayakan oleh Nabi SAW sebagai muadzin beliau karena kompetensinya dalam melantunkan adzan yang sangat bagus. Bahkan, ketika Abu Sufyan menyatakan diri masuk Islam saat fathu Makkah (pembebasan kota Mekkah), Nabi SAW pun kemudian memberdayakannya sebagai salah satu penulis wahyu al-Qur’an, karena beliau mengetahui benar bahwa dia mempunyai kompetensi yang mumpuni dalam mencatat dan menulis. Jika jiwa kemandirian itu sudah tertanam kuat dalam diri mad’u, maka agenda dakwah pencerahan berikutnya adalah pemajuan, yaitu memajukan taraf hidupnya dalam berbagai aspek. Sedemikian mandirinya, Abdurrahman bin ‘Auf, pebisnis ulung, begitu tiba di Madinah, langsung meminta ditunjukkan di mana pasar berada. Dia tidak ingin menggantungkan uluran tangan dari kaum Anshar, melainkan tergerak untuk mengembangkan wirausaha dan bisnisnya. Dia bertekad kuat untuk menghidupkan dan memajukan pasar kota Madinah, dan ternyata berhasil. Demikian pula Utsman bin Affan RA, dengan kemandiriannya, membangun pertanian, perkebunan, dan peternakan Madinah, sehingga dia dikenal sebagai saudagar kaya yang gemar bersedekah. Sejarah mencatat bahwa di hari penuh kesulitan menjelang perang Tabuk, Utsman mendermakan 950 unta, lalu menggenapinya dengan 50 kuda sebagai logistik dan perlengkapan perang. Tidak hanya itu, Utsman juga menyerahkan uang sebanyak 1.000 dinar dan beberapa ons emas kepada Rasulullah SAW untuk keperluan perbekalan perang tersebut. Bahkan keberdayaan dan kemajuan ekonomi Utsman RA membuatnya menjadi dermawan sekaligus juga agen pembebasan dan pemerdekaan. Sejak masuk Islam, Utsman tercatat sebagai satu-satunya sahabat Nabi yang setiap Jum’at selalu memerdekakan budakbudak. Hingga akhirnya hayatnya, tercatat Utsman tidak kurang telah memerdekakan 2.400 budak, yang kemudian mereka juga masuk Islam. Itulah dakwah pencerahan Rasulullah yang tidak hanya membuat para sahabat selalu berkomitmen terhadap ajaran Islam, melainkan juga tergerak untuk memberdayakan dan memajukan umat. Dalam konteks ini, Muhammadiyah termasuk paling depan dalam memberdayakan dan mencerahkan umat dan bangsa. Melalui amal usaha yang dikelolanya, terutama lembagalembaga pendidikan Muhammadiyah dan rumah sakit Islam yang tersebar di pelosok negeri ini sesungguhnya Muhammadiyah telah memainkan peran penting dalam dakwah pencerahan tersebut. Dengan da’wah bil uswah hasanah (keteladanan yang baik) melalui amal usaha yang konkti bagi gerakan pencerdasan, edukasi, pelatihan, pendampingan, dan penerampilan para mad’u, niscaya dakwah pencerahan Muhammadiyah akan menunjukkan hasil yang efektif dan bermanfaat bagi bangsa dan umat. Semoga! Sumber: Artikel ini pernah dimuat dalam kolom OPINI Koran REPUBLIKA, 19 November 2014