STEM CELL DALAM TERAPI PENYAKIT KARDIOVASKULAR Djanggan Sargowo Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Penyakit jantung, termasuk didalamnya Infark miokard dan Iskemik miokard merupakan penyakit yang berhubungan dengan kehilangan yang permanen dari kardiomiosit dan vaskuler, baik dengan cara apoptosis ataupun nekrosis. Bagaimanapun, kemampuan alami tubuh untuk memperbaki dan memperbarui jaringan miokard tidak efektif seperti yang terjadi pada terapi yang saat ini dipergunakan untuk mencegah remodeling dari ventrikel kiri. Transplantasi sel telah muncul sebagai terapi yang berpotensial untuk mempopulasikan dan memperbaiki miokard yang rusak secara langsung. Suatu analisa yang detail dan melihat ke depan sedang di kembangkan pada aplikasi stem cell, keduanya dalam bidang penelitian dan kardilogi klinis disajikan pada tulisan ini, menyorot mengenai penggunaan stem cell/ progenitor sel pada spektrum luas termasuk di dalamnya mengenai stem sel embrionik dan fetal, mieloblast, dan stem sel sumsum tulang pada orang dewasa. Sebuah diskusi mengenai perbandingan yang terbaru dari penggunaan tipe sel donor, dan evaluasi dari gangguan miokard yang mungkin paling dapat diterima sebagai terapi stem cell. Fusi sel dan transdiferensiasi dari sel miokard memiliki peranan penting pada transplantasi stem cell, kekurangan khususnya dalam bidang teknologi, dan rekomendasi cara-cara praktis untuk mengatasi masalah ini juga disajikan dalam tulisan ini. Kata Kunci : Stem cell, diferensiasi, kardiomiosit, penyakit jantung, infark miokard, iskemia miokard. STEM CELL THERAPY IN CARDIOVASCULAR DISEASE Djanggan Sargowo Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Heart disease including myocardial infarction and ischemia is associated with the irreversible loss of cardiomyocytes and vasculature, both via apoptosis or necrosis. However, the native capacity for the renewal and repair of myocardial tissue is inadequate as have been current therapeutic measures to prevent left ventricular remodeling. Cell transplantation has emerged as a potentially viable therapeutic approach to directly repopulate and repair the damaged myocardium. A detailed analysis and a vision for future progress in stem cell application, both in research and clinical cardiology are presented in this review, highlighting the use of wide spectrum of stem/progenitor cell types including embryonic or fetal stem cell, myoblast, and adult bone marrow stem cells. An up-to-date comparison of donor cell-types used, and evaluation of the myocardial disordersthat migh be most amenable to stem cell therapy are discussed. The roles that myocardial cell fusion and transdifferentiation play in stem celkl transplantation, the specific shortcomings of available technologies, and recommenadations for practical ways that these concerns might be overcome, are also presented. Keywords : stem cells, differentiation, cardiomyocytes, heart disease, myocardial infarct, myocardial ischemia. 1 1. Latar Belakang Kemajuan mutakhir dalam bidang penelitian stem cell telah dikonfirmasi berpotensial untuk digunakan untuk regenerasi jaringan. Penyakit jantung, termasuk infark miokard dan iskemi merupakan penyakit yang berhubungan dengan kehilangan yang permanen dari kardiomiosit dan vaskuler, baik dengan cara apoptosis ataupun nekrosis. Kemampuan alami tubuh untuk memperbaki dan memperbarui jaringan miokard tidak efektif seperti yang terjadi pada terapi yang saat ini dipergunakan untuk mencegah remodeling dari ventrikel kiri. Transplantasi sel, yang secara langsung bertujuan untuk mrmpopulasikan jaringan memberikan metode terapi yang dapat digunakan untuk memperbaiki jaringan miokard yang rusak. Bagaimanaupun, disamping kemajuan yang mengagumkan pada bidang ini, terdapat masalah yang cukup signifikan pula, terutama masalah etik, tumorigenic, potensial arrythmogenic yang pada tehnik ini menyajikan diferensiasi pada sel somatic. Terlebih, ketidakpastian mengenai apakah sel membentuk jaringan baru atau apakah sel akan mengeluarkan materi yang justru akan merugikan sel yang sudah ada. 2. Pendahuluan Penyakit jantung merupakan masa kesehatan endemic terbesar di dunia. Terlepas dari pertimbangan klinis dan usaha yang besar pada dekade terakhir ini dan perkembangan obat-obatan baru dan terapi bedah, mortalitas dan morbiditas tetap sangat tinggi. Karena keterbatasan potensial sel miokard untuk memperbaiki dan memperbarui dirinya sendiri, maka sejumlah proporsi otot jantung secara signifikan kehilangan kemampuannya untuk bekerja, dan kehilangan ini mungkin menjadi factor terpenting pada kejadian gagal jantung yang timbul pada apasien dengan penyakit coronary artery dan dilatasi kardiomiopati. Sampai akhir-akhir ini, metode reperfusi untuk iskemik miokard merupakan satusatunya intervensi yang tersedia untuk mengganti beragam fungsi selular yang terimbas oleh iskemi miokard, termasuk mencegah kematian sel karena proses nekrosis atau apoptosis. Sayangnya, metode reperfusi menghasilkan kerusakan miokard yang luas, termasuk miokard stunning, dan pemulihan jantung dapat muncul hanya setelah periode disfungsi kontraktile yang dapat memakan waktu berjam-jam sampai beberapa hari. Hal ini merupakan bukti bahwa keterbatasan kapasitas regenerasi dan proliferasi dari kardiomiosit manusia tidak dapat mencegah pembentukan formasi scar yang mengikuti infark miokard maupun kehilangan dari fungsi jantung yang muncul pada pasien dengan gagal jantung dan kardiomiopati. Fungsi penggantian dan regenarasi otot jantung merupakan tujuan akhir yang sangat penting, yang dapat didapatkan baik dengan menstimulus autologous kardiomiosit resident atau dengan trasplantasi sel allogenic ( contoh : stem sel embrionik, sel mesenchym sumsum tulang, atai myoblast tulang). Bagaimanapun, berbagai masalah untuk mencapai keberhasilan implantasi sel ini tetap ada, dan akan dibahas pada tulisan ini. 3. Stem Cell Embrionik (ES) Stem sel yang paling primitive dari semua stem sel adalah stem sel ambrionik (ES) yang berkembang sebagai massa pada inner cell pada blastosit manusia pada hari 5 setelah fertilisasi. Pada tahap awal ini, sel ES mempunyai potensial masa perkembangan yang tercepat dikarenakan sel ini dapat berkembang menjadi 3 lapis bakal embrio. Jika diisolasi dan dikembangkan pada media kultur yang tepat, pluripotenst tikus dan sel ES manusia dapat melakukan proliferasi sel dan membentuk bentukan agregasi embrio (embryoid bodies) in vitro, beberapa dapat berkontraksi spontan (gambar 1). Badan embrio berisi populasi campuran dari berbagai diferensiasi tipe sel termasuk didalamnya kardiomiosit, berdasar pada tanda gen spesifik kardiak seperti cardiac –myosin heavy chain, troponin I dan T kardiak, factor natriuretik atrial, dan factor transkripsi kardiak GATA-4, Nkx2.5, dan MEF-2. Ultrastruktur selular, dan aktivitas elektrik ekstraselular [1-3]. Kardiomiosit ini dapat dari atrium pacemaker dan tipe seperti 2 ventrikel dan keduanya dapat dibedakan berdasarkan pola spesifik aksi potensial. Gambar. (1). Pluripoten sel induk embrionik secara spontan berdiferensiasi menjadi sel-sel progenitor endotel (EPC), hemangioblasts, sel-sel batang mesenchymal dan badan embryoid (agregat embrio-suka). Hemangioblasts menghasilkan lebih membedakan kedua sel induk hematopoietik (HSC) dan EPC yang menimbulkan baik darah pembuluh darah dan komponen myocyte. Di bawah kondisi yang sesuai (sebagian besar yang tetap akan ditentukan), kardiomiosit dapat membentuk dari tubuh embryoid maupun dari EPC dan stem sel mesenchymal (Gracia JM. CSCRT. 2006). Sementara itu peristiswa selular dan molekular yang tepat yang berisi jalur sel ES pada diferensiasi spesifik kardiomiosit sebagian besar masih tetap belum ditentukan, proses yang signifikan telah dibuat untuk mengidentifikasi faktor yang meregulasi dimana factor tersebut dapat menigkatkan atau menghambat proses (gambar 2). Diferensiasi sampai ke tipe sel partikular tergantung pada faktor ini. Misalnya , penghambatan sinyal bone morphogenetic protein (BMP) oleh antagonisnya Noggin menginduksi diferensiasi kardiomiosit dari sel ES tikus [7], sementara asam retinoic secara spesifik menginduksi pembentukan formasi dari kardiomiosit ventricular yang spesifik. Nitrit oxide (NO), dihasilkan pula oleh aktivitas NO sintetase atau eksposur NO eksogen yang juga telah terlibat pada kemajuan diferensiasi spesifik kardiomiosit dari sel ES tikus. Diferensiasi kardiomiosit pada sel ES manusia dapat ditingkatkan menggunakan treatmen 5-aza-2’deoxycytidine [10]. Juga IGF-1 dapat meningkatkan diferensiasi fenotip dan ekspresi dari fenotip kardiomiosit pada sel ES secara in vivo [1]. Menariknya, peningkatan level dari stress oksidatif muncul untuk mengurangi perkembangan kardiotipik dari badan embrio. Penelitian awal dengan menggunakan kardiomiosit fetus dan transplantasi sel ES dilaporkan sukses membentuk formasi grafts yang stabil dan discus intercalates nascent diantara graft dan host sel miokardial. [13-14]. Sebagai tambahan, kedaua-duanya, baik fetal maupun stem sel embrionik menghasilkan kardiomiosit mempertahankan properti elektromechanical miokard. Sel ES manusia berasal. Demikian pula, transplantasi turunan sel ES kordiomiosit manusia mampu berintegrasi dengan cepat secara in vivo pada jantung babi yang mengalami blok atroventrikular lengkap, seperti yang telah ditunjukkan secara rinci dengan menggunakan pemetaan elektrofisiologi yang detail dan penelitian histopatologi. Kesamaan fenotipe sel ES terdiferensiasi yang telah ditransplantasikam sulit untuk dibedakan dengan cardiomiosit fetalt (terutama pada manusia) menunjukkan bahwa sel ES dapat menjadi pengganti kardiomiosit 3 janin pada manusia pada dalam melakukan prosedur engraftment jantung [14]. Ketika kardiomiosit janin tikus ditransplantasikan ke jantung yang telah mengalami iskemik, sebagian besar kardiomiosit mati setelah ditransplantasikan [15]. Penemuan bahwa tidak terdapat peningkatan ukuran graft yang muncul ketika jumlah kardiomiosit yang disuntikkan ditingkatkan mendorong untuk dilakukan pertimbangan ulang mengenai penggunaan klinis tranplantasi kardiomiosit sebagai pengobatan pada penyakit jantung iskemik. Hal ini memperjelas bahwa dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk mengembangkan strategi yang sukses yang dapat memaksimalkan kemampuan bertahan hidup dan proses diferensiasi dari sel kardiomiosit yang dicangkokkan. 3.1 Keuntungan Transplantasi Sel ES Sel-sel ES yang diperoleh dari lapisan bagian dalam blastocyst dapat dengan mudah dan reproduktif, dan menunujukkan pertumbuhan fenotipe yang sangat baik, baik secara in vivo maupun in vitro. Pengembangan dan penerapan jalur sel ES (P19 misalnya), yang sangat informatif dalam hal indentifikasi dan karakterisasi faktor regulasi., activator transkripsi dan transduksi terlibat dalam diferensiasi kardiomiosit, juga mungkin berguna pada terapi transplantasi sel [17-19]. Data awal menunjukkan bahwa sel ES dapat menjadi suatu nilai tertentu sebagai target dan memodifikasi fenotipe cacat jantung bawaan [20-21]. Setelah keamanan dikonfirmasi, studi klinis lebih lanjut harus membahas penggunaan sel ES yang ditargetkan sebagai terapi pada bayi / anak-anak dengan penyakit jantung berat termasuk cardiomiopati, cacat jantung bawaan dan aritmia. Sel-sel ES juga mungkin lebih dapat menerima rekayasa ex vivo melalui modifikasi DNA (misalnya terapi gen, transfeksi virus, knockouts dan gen overexpressed). Faktanya, transformasi dari kardiomiosit normal pada sel pacemaker telah berhasil dicapai pada hewan model dengan cara menginjeksi vector plasmid atau virus yang membawa gen pengkode terapi berupa protein yang spesifik [2224]. Dalam cara ini, sel ES ditransfeksi dengan reseptor adrenergic β-2 yang terover-ekspresi, atau protein pada channel ion dapat ditransplantasikan untuk mengembalikan fungsi sel-sel miokard yang rusak. Namun, keamanan dan kemanjuran metodologi ini harus benarbenar terbukti sebelum digunakan pada manusia yang mengalami aritmia jantung. 4 Gambar. (2). Signaling jalur berpotensi terlibat dalam diferensiasi kardiomiosit. BMP, protein morphogenetic tulang; Wnt, campuran dari bersayap (Wg) dan int (lokus integrasi); FGF, faktor pertumbuhan fibroblast, OM, membran luar; transisi permeabilitas (PT) membuka pori-pori, PLC, fosfolipase C. 3.2. Keterbatasan dan Kekhawatiran Mengenai Transplantasi ESC Pertimbangan mengenai kekhawatiran masalah etika dan hukum tentang penggunaan sel-sel ES tetap ada, dan masalah ini telah merintangi penelitian upaya lebih lanjut, dimana upaya tersebut diperlukan karena dapt memberikan jalur sel sehingga dapat menjawab banyak pertanyaan mengenai efikasi, stabilitas jangka panjang, fungsi dan bahkan tingkat efek negatif dari transplantasi sel ES pada penyakit kardiovaskuler (dan juga di penyakit manusia lainnya). Sebuah keprihatinan sering diajukan tentang penggunaan sel-sel ES berhubungan dengan sumbernya (yakni apakah sel-sel tersebut berasal dari jalur sel atau langsung dari embrio), terutama heterolog versus autologous, muncul problem potensial jika menghasilkan reaksi alogenik atau rejeksi imun pada saat transplantasi. Sebagai tambahan, sel ES pluripoten yang berpotensial mempunyai pertumbuhan yang tak terbatas dapt menghasilkan efek tumorigenic, sehingga merupakan saran yang baik untuk dilakukan screening pembentukan teratoma. Terlebih lagi, terdapat bukti bahwa diferensiasi dari populasi sel ES yang heterogen tidak terlalu efisien, meskipun beberapa agen (misalnya asam retinoat) tampaknya efektif dalam mengaktifkan perluasan yang lebih bagus pada mediated-sel ES yang terdiferensiasi sel kardiomiosit spesifik. Stablitas jangka panjang pada fenotipe sel ES yang terdiferensiasi juga mendapat perhatian yang beragam karena beberapa penelitian telah menunjukkan hilangnya diferensiasi sel ES kardiomiosit dari waktu ke waktu. Transplantasi sel ES progeny mungkin tidak selalu memiliki fungsi normal karena sel-sel ES dapat memicu aritmia pada jantung yang ditransplantasi. Di sisi lain, penerapan sel-sel ES dalam memperbaiki jantung yang rusak akibat penuaan juga terbatas; bagaimanapun juga keterbatasan ini telah diusulkan, saat ini tidak ada pendukung data yang solid. Namun demikian, tranplantasi sel (baik ES atau stem sel dewasa) pada jantung manula telah terbukti kurang efektif. Ketidakmampuan miokardium yang rusak 5 untuk menyediakan molekul sinyal yang tepat untuk engraftment stem sel tampaknya membatasi kapasitas sel-sel tersebut untuk rekrutment dan berintegrasi ke dalam miokardium yang telah mengalami penuaan [16]. 3.3. Rekomendasi 1. Penggunaan terapi tranplantasi sel ES pada penyakit jantung terutama membutuhkan demonstrasi yang ketat yang dapat bekerja secara stabil dan dengan efek samping yang terbatas. 2. Meskipun dikenakan dana yang terbatas dari pemerintah federal, sumber baru sel-sel ES dan cell-lines untuk penelitian transplantasi sel ES perlu untuk ditingkatkan dan tampaknya akan ditingkatkan, memberikan kekuatan yang luas pada dunia, korporasi dan dana dari Negara yang berminat pada teknologi dan manfaat dari peneltiian ini. Invenstigasi menjadi cara baru untuk mengisolasi dan mengkultur autolog sel ES juga harus terbukti menjadi sesuatu yang penting. 3. Pemahaman secara menyeluruh tentang faktor-faktor yang mungkin dapat menghambat penempatan sel-sel ES ke jantung dan menstimulasi atau mengarahkan diferensiasi sel-sel ES untuk menjadi kardiomiosit yang berfungsional saat ini tampaknya belum sempurna. (kritik juga berlaku untuk stem sel dewasa). Identifikasi factor-faktor ini seperti juga mekanisme kerjanya sepertinya akan mengoptimalkan penempatan dan proses diferensiasi serta berkontribusi untuk mendefinisikan scenario kasus terbaik dimana transplantasi sel ES akan bermanfaat. 4. Sel Rangka Myoblast Dewasa Transplantasi satelit sel stem (myoblast) dari otot rangka dapat dengan sukses ditempatkan dan ditanamkan pada mikoard yang rusak, mencegah progresifitas dilatasi ventrikel dan meningkatkan fungsi jantung. Myoblast ini dapat disalurkan ke miokardium dengan cara impalantasi intra mural atau melalui arteri, dan akhir-akhir ini penyebaran yang efektif dari metode kateter yang kurang invasif telah dilaporkan [30]. Sel otot rangka satelit pada kultur dapat berproliferasi secara berlimpah, dan dapat dengan mudah tumbuh dari pasien sendiri (diturunkan sendiri atau autolog) dengan demikian menghindari respon imun yang potensial. Myoblast relatif resisten terhadap iskemi (dibandingkan dengan kardiomiosit yang menjadi rusak dalam waktu 20 menit) karena myoblasts dapat bertahan beberapa jam dari proses iskemia berat tanpa terjadi cedera yang ireversibel. Manfaat fungsional dari transplantasi intramiokardial myoblast skeletal dalam meningkatkan miokardium yang rusak sekunder terhadap iskemia telah didokumentasikan [32]. Percobaan klinis menunjukkan efikasi dari transplantasi myoblast rangka autolog pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri [27,33]. Penggunaan myoblast rangka, disalurkan via injeksi intramiokard multiple, efektif dalam memulihkan fungsi ventrikel kiri pada model hewan hamster Syrian yang mengalami dilatasi kardiomiopati, menunujukkan bahwa manfaat fungsional dari transplantasi myoblast rangka dapat diperpanjang untuk kardiomiopati noniskemik [34]. 4.1 Keuntungan Myoblast Transplantasi Sejak myoblast dapat berasal dari autolog dan menyebar secara baik dalam sediaan kultur, sejumlah besar sel dapat diperoleh hanya sejumlah kecil sampel biopsi otot skeletal (seperti yang didapatkan dari pasien) dalam periode yang relatif singkat. Apabila dibandingkan dengan transplantasi sel otot jantung, sel mioblas tampak lebih tahan terhadap kerusakan apoptosis yang sedang berlangsung, yang seringkali berlangsung pada lokasi iskemik. 4.2 Batasan dan Perihal Mengenai Transplantasi Mioblast Sementara beberapa laporan menunjukkan bahwa subpopulasi dari mioblas skeletal tertransplantasi telah mampu bertransdifrensiasi menjadi sebuah fenotip-sel otot jantung dengan peningkatan ekspresi dari genetic jantung (35-36),sedangkan yang lainnya tidak mampu berreplikasi dari donor mioblas transdifrensiasi menjadi sel otot jantung 6 (37). Konsensus yang ada dari sebagian besar ahli pada bidang ini menyatakan bahwa cangkokan sel mioblas awalnya tetap bukanlah sel otot jantung. Sedangkan, sejumlah bukti menyatakan bahwa ketika mioblast dimplantasikan ke dalam jantung, proses perkembangannya dipengaruhi sebagaimana cara lingkungan jantung sehingga hal tersebut mampu memperbaiki kinerja jantung. Mioblast skeletal ditanamkan ke dalam sebuah miokard yang cedera berdifrensiasi menjadi bersifat tahan-kelelahan, fenotipe kejangan lambat diadaptasi untuk menjadi beban kerja jantung. Terlebih, graft myoblast mungkin menunjukkan koneksi antar sel yang tidak kompetibel dengan kardiomiosit residen dan tidak berespon dengan cara yang sama terhadap sinyal elektrik dan stimulus. Sementrara studi preklinis awal tidak tidak mendeteksi adanya bukti aritmia, studi klinis barubaru ini telah mengungkapkan bahwa subset dari pasien yang menerima transplantasi myoblast rangka dapat mengalami aritmia yang parah dan membahayakan nyawa. Penyebab yang tepat terhadap terjadinya aritmia ini masih belum jelas namun mungkin terkait dengan sifat listrik heterogen dan interaksi anatra sel donor dengan sel penerima. Di lain pihak, aritmia mungkin dipicu oleh medium yang digunakan untuk memperkenalkan sel, bukan oleh sel-sel sendiri [41]. Sebagai sisipan, manfaat fungsional dari tranplantasi myoblast mungkin berhubungan dengan dengan keterbatasan remodeling pos infark dan / atau efek parakrine dari myoblast yang ditransplantasikan pada jaringan resipien, bukan kontribusi pencagkokan myoblast untuk meningkatkan fungsi sistolik ventrikel. 4.3 Rekomendasi Lebih Lanjut Sementara studi preklinis dengan transplantasi sel stem dan myoblast telah menunjukkan efikasi yang sama [42-43], ada kebutuhan untuk evaluasi rinci mengenai menfaat relatif, efek samping dan efisiensi myoblast rangka dan tranplantasi stem sel dalam setting klinis (misalnya kegagalan jatung) vis a vis perbaikan infark miokard. Metode baru untuk menilai dan mengoptimalkan perekrutan dan kelangsungan hidup pasca tranplantasi secara lebih baik, khususnya dalam jangka panjang, perlu untuk dkembangkan dan repertoar yang efektif, penyaluran sel yang kurang invasif perlu diperluas. 5. Stem Sel Turunan Sel Sumsum Dewasa (BMCS) Perhatian dalam stem sel turunan sumsum tulang telah termotivasi oleh property neovaskularisasi dan angiogenesis dan efek ini meningkat dengan kehadiran hormone pertumbuhan spesifik dan sitokin (misalnya GCSF). Efek manfaat sel ini pada pada sistem vaskuler yang mengalami kerusakan telah dikonfirmasi dan dan kemudian diperluas untuk penelitian pada infark miokard tikus [44] yang mana sel sumsum tulang diimplantasikan dapat berdiferensiasi menjadi miosit dan pembuluh darah koroner dan dengan demikian memperbaiki fungsi jantung yang rusak. Karena implantasi BMCs memerlukan intervensi pembedahan dan prosedurnya sering disertai angka kematian yang tinggi, dengan hanya 4055 pencangkokan yang berhasil, pengembangan metode invasif menjadi sangat penting. Salah satu pendekatan adalah yang seperti digunakan pada pengobatan sitokin, faktor stem sel (SCF) dan faktor perangsangan koloni granulosit (G-CSF), untuk mobilisasi endogen (BMCs) dan langsung berintegrasi atau menempatkan pada jantung yang infark sehingga menimbulkan perbaikan. Tikus disuntik dengan SCF 9200mcg/kg/hari) dan G-CSF (50mcg/kg/ghari) menunjukkan peningkatan yang substansial dalam jumlah stem sell yang bersirkulasi dari 29 kontrol yang tidak diobati menjadi 7.200 sitokin tikus yang diobati. BMCs endogen ditunjukkan untuk meningkatkan miosit kardiak yang baru dan pembuluh darah koroner, dan turunan BMCs meregenarasi miokard menghasilkan peningkatan fungsi dan ketahanan hidup jantung. Temuan serupa mengenai perbaikan yang dimediasi sel pada infark miokard tikus telah diperoleh dengan menggunakan transplantasi BMCs dimana telah 7 menimbulakan proliferasi pada miosit dan struktur vaskuler [45]. Merupakan sesuatu yang penting untuk menunjukkan bahwa sumsum tulang berisi beberapa populasi stem sel dengan fenotip yang saling tumpang tundih, termasuk stem sel hemapoeitic (HSCs), stem sel precursor endhotel (EPCs), stem sel mesenchy (MSCs), sel progenitor multipotent dewasa (MAPCs). Ketika sel progenitor endhotel (EPCs) berasal dari prekursor sel hemangioblast di sumsum tulang ditransfer pada target area impalantasi miokard , akan beridiferensiasi secara in situ dan mendorong pertumbuhan pembuluh darah baru, sebuah metode yang telah diaplikasikan mada beberapa model hewan yang mengalami iskemi miokard [46]. Turunan prekursor / stem sel sumsum tulang ini dapat juga mencegah progresi dari apoptosis kardiomiosit dan remodeling stem kardiak. Terlebih, terdapat bukti bahwa EPCs dewasa dapat bertrans-diferensiasi menjadi kardiomiosit aktif [48], walaupun sejauh mana hal ini terjadi masih belum diketahui. Pada lain pihak stem sel turunan sumsum tulang menghamabat plastisitas tingkat tinggi sehingga memungkinkan mereka untuk digunakan sebagai sumber autolog dari sel progenitor (dari dewasa). Dengan kemampuan yang potensial untuk berdiferensiasi menjadi kardiomiosit dan dapat digunakan pada kardiomioplasti selular. Setelah pengobatan dengan agen khusus (misalnya 5-azacytidine), MSCs dapat berferensiaasi menjadi hentakan kardiomiosit yang sinkron [49]. Penyuntukan MSCs setelah berekspansi pada kultur dapat juga digunakan untuk menyelamatkan fenotipe kardiak tikus yang abnormal [50] dan dapat meningkatkan efektifitas dalam memperbaiki kerisakan kardiak yang lebih luas termasuk infark miokard. Selain itu, HSCS sumsum tulang yang berasal dan subpopulasi sel HSC disebut SP sel telah dilaporkan pada transplantasi untuk memperbaiki infark miokardium, mendorong pertumbuhan kardiomiosit baru, sel-sel otot endotel dan halus [51]. Sementara ini perbaikan sel miokard termediasi dikarakteristikkan sebagai hasil kemampuan HSCs untuk berdiferensiasi menjadi kardiomiosit, plastisitas HSC telah sulit untuk mereproduksi dan baik maknanya dan dasar tetapnya belum ditentukan. 5.1. Keuntungan Transplantasi Sel BM Dewasa Ada bukti bahwa pengobatan dengan BMCs dapat memperbaiki kerusakan miokard dan pembuluh darah dengan meningkatkan angiogenesis. Pengaruh transplantasi BMCs (yang dapat mencakup prekursor sel endotel) vaskular pada pertumbuhan secara signifikan dapat mempengaruhi pemulihan jantung yang rusak, yaitu dengan meningkatkan ketersediaan oksigen, meskipun hal ini tergantung pada setting miokard apakah infark miokard akut atau gagal jantung [47]. Selain itu, autologously yang diturunkan untuk transplantasi adalah alternatif yang menarik, karena sumsum tulang sel mesenchymal dapat segera diisolasi dalam kebanyakan kasus. Selain itu, perluasan jumlah BMC oleh pertumbuhan in vitro dapat dengan mudah dicapai dengan pertumbuhan kuat sel mesenchymal dalam budaya. Hal ini penting bahwa metode ini melewati banyak pusaran etika dan hukum yang terkait dengan penggunaan ESCs. 5.2. Keterbatasan / Masalah dengan Transplantasi BMC Dewasa Mekanisme augmentasi BMC-dimediasi jumlah kardiomiosit dan fungsinya masih kontroversial. Beberapa studi telah menyarankan bahwa efek dari transplantasi sel induk dewasa pada jantung resipien bukan merupakan akibat dari transdifferensiasi [52], tetapi mungkin timbul sebagai akibat dari fusi sel dengan kardiomiosit yang sudah ada atau terjadi sebagai fungsi efek parakrin dari transfected sel [53] sementara yang lain mempertahankan bahwa ada bukti untuk transdiferensiasi [46,54-57]. Fusi sel telah ditunjukkan antara kardiomiosit dan nonkardiomiosit secara in vivo dan in vitro [58-59] dan data dalam mendukung transdifferentiation (terutama dengan HSCS) tidak selalu dapat ditiru. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi isu-isu ini dan 8 mendamaikan klaim yang bertentangan serta memberikan informasi tambahan tentang tingkat fusi sel dan waktu ketika itu terjadi. Demikian pula diperlukan penggambaran secara hati-hati mengenai transdifderensiasi dari orang dewasa yang terdefinisi dengan baik pada jenis sel induk. Sayangnya, masalah penting dalam replikasi percobaan ini dan dalam menentukan efek dari BMCs terletak pada heterogenitas besar dari populasi BMCs yang digunakan. Keterbatasan dari sebagian besar studi klinis dengan transplantasi stem sel dewasa non-sel jantung berkaitan dengan stabilitas potensi diferensiasi fenotipe, karena penelitian ini terutama memeriksa keuntungan jangka pendek. Namun, penting untuk menggarisbawahi tidak adanya efek samping di lebih dari 100 pasien diteliti. Hal ini berbeda dengan aritmia pada pencangkokan myoblast [40]. Karena kurangnya teknik yang berhasil secara efektif mengobati gagal jantung, ada tekanan (terutama dari dokter) untuk mempercepat aplikasi klinis sel transplantasi bahkan sebelum mekanisme (dan juga efek jangka panjang) sepenuhnya dipahami. 5.3 Bagaimana Informasi Terdahulu Diterjemahkan pada Studi Klinis Manusia Karena sebagian besar penelitian BMC saat ini dilakukan pada tikus, pertanyaan kritis adalah apakah model ini benar-benar berlaku untuk manusia. Studi awal pada manusia menunjukkan bahwa transplantasi BMC dan sitokin rumah dapat ke daerah cedera dan mempromosikan neovaskularisasi di daerah-daerah dimana mereka dibutuhkan. Apakah BMCs cukup bisa dicangkokkan untuk memperbaiki daerah yang rusak dalam hati manusia yang cenderung lebih besar dalam ukuran daripada di jantung tikus masih harus dilihat. Selain itu, dipertanyakan jika terapi sel sumsum tulang manusia dewasa bekerja terhadap salah satu dari berikut: kematian sel apoptosis, cedera iskemik, kardiomiopati, yang cardiomyopathy penuaan, konduksi jantung cacat aritmia / dan cacat jantung pada bayi / anak-anak. Hasil awal dari uji klinis pada manusia telah menunjukkan perbaikan moderat dalam fungsi jantung pasien dengan iskemia miokard akut dan infark [60-62]. Ketika transplantasi diterapkan pada pasien dengan penyakit jantung kronis atau kerusakan sekunder infark miokard hasil kurang definitif. 6. Stem Sel Jantung Dewasa (ACS) Informasi yang saat ini tersedia pada berbagai populasi stem sel di jantung dewasa telah muncul dari penelitian di beberapa laboratorium. Namun, masih banyak pertanyaan tentang asal-usul, struktur, fungsi lokasi, tepat dan peraturan sel-sel ini. Keberadaan Lin-kit c-+ sel dalam miokardium dewasa tikus dengan sifat-sifat sel-sel induk telah dilaporkan [63]. Sel-sel ini memperbaharui diri dan dapat diperbanyak selama beberapa bulan, dapat dikembangkan dalam kultur, dan multipoten, dan dapat menimbulkan kardiomiosit, otot polos, dan sel endotel. Ketika disuntikkan ke jantung iskemik, Lin-c-kit + sel berkontribusi pada pembentukan endotelium dan otot polos pembuluh darah dan regenerasi miokardium di kawasan nekrosis, meningkatkan fungsi pompa dan geometri ruang ventrikel [64]. Isolasi dan karakterisasi populasi kecil pada sel-sel jantung dewasa yang diturunkan dari sel progenitor jantung (dari miokardium tikus postnatal) mengekspresikan penanda permukaan sel induk-antigen 1 (SCA-1 +) dan aktivitas telomerase reverse transcriptase, terkait dengan potensi pembaharuan diri, barubaru ini juga telah dilaporkan [65-66]. Selsel ACS ini secara selektif diisolasi oleh sistem pemilahan sel magnetik dan tidak menyatakan gen struktural jantung atau Nkx2.5. Sel-sel dapat berdiferensiasi secara in vitro membentuk kardiomiosit berdenyut, sebagai tanggapan terhadap DNA demethylating 5'agen-azacytidine. Peningkatan ekspresi lain faktor transkripsi kardiogenik (gata-4, MEF-2C) ditunjukkan oleh microarray profil membedakan sel ACS seperti yang ditemukan dalam sel-sel sumsum tulang stroma dengan potensi kardiogenik. 9 Demikian pula, ketika diobati dengan oksitosin, stem sel jantung SCA-1 + mengekspresikan gen faktor transkripsi jantung dan protein kontraktil dan struktur sarcomeric ditunjukkan dan berdenyut spontan. [67]. Setelah produksi intravena, stem sel -SCA 1 + jantung dapat ditempatkan di miokardium yang terluka oleh iskemia / reperfusi dan fungsional dapat berdiferensiasi in situ. Laugwitz dan asosiasi [68] baru-baru ini melaporkan adanya populasi cardioblasts baik pada jantung embrio maupun postnatal (dari tikus, tikus dan manusia) berjumlah hanya beberapa ratus per jantung diidentifikasi berdasarkan ekspresi mereka dari faktor transkripsi LIM-homeodomain , Isl1. Kelompok ini stem sel jantung terutama lokal di atrium, ventrikel kanan, dan daerah saluran keluar (di mana Isl1 paling lazim disajikan selama organogenesis jantung). Stem sel turunan miokard dapat diisolasi, ditransplantasikan, bertahan dan bereplikasi dalam jantung yang rusak dengan bukti perbaikan fungsional [69]. 6.1. Keuntungan Sel ACS Sementara implantasi myoblasts rangka dan transplantasi BMC dewasa muncul dan tampak menjanjikan, transplantasi sel ACS mungkin lebih efektif daripada transplantasi BMC dewasa, karena sel-sel induk jantung mungkin lebih baik diprogram. Identifikasi lebih jauh, pemurnian dan karakterisasi lebih lanjut dan sel ACS serta pengetahuan yang terperinci dari interaksi mereka dengan lingkungan jantung atau niche sangat penting dilakukan jika kita ingin mencapai tujuan utama dari regenerasi / transplantasi jaringan untuk mengobati infark miokard. 6.2. Keterbatasan Sel ACS Sampai saat ini, data tentang keberadaan sel ACS langka. Subset stem sel ini tampaknya sangat terbatas jumlahnya, sulit untuk mengidentifikasi dan berkembang dalam kultur sehingga membatasi karakterisasi dan pemanfaatan, cenderung memberikan kontribusi berupa kesulitan dalam reproduksi eksperimen mengenai proses isolasi dan transplantasi. Selain itu, saat ini tidak ada konsensus mengenai definisi penanda selektif spesifik untuk jenis-sel (lihat Tabel 1). 6.3. Rekomendasi Perlu usaha yang besar untuk secara penuh mengambarkan populasi sel progenitor jantung yang relavan dan mengoptimalkan konsidi untuk transplantasi yang efisien, penempatan, diferensiasi dan integrasi ke dalam miokardium. Memahami faktor-faktor yang bertanggung jawab untuk pertumbuhan, penempatan, dan diferensiasi memungkinkan cara-cara khusus untuk meningkatkan produksi dan manfaat fungsional atas transplantasi. Selain itu, informasi ini juga dapat menjelaskan pengaktifan endogen sel induk jantung yang berkontribusi untuk memperbaiki jantung. Juga, untuk mendefinisikan jenis-jenis cacat jantung serta jenis gangguan yang paling baik diobati dengan sel ini, termasuk pengetahuan yang jelas tentang tempat terbaik di jantung untuk menempatkan langsung sel-sel ini. Misalnya, penanaman sel dalam suatu daerah nekrosis dan / atau ketersediaan oksigen rendah mungkin tidak berhasil sedangkan sel-sel di daerah hibernating myocardium mungkin bisa berhasil. Stabilitas jangka panjang dan fungsi sel ACS yang dicangkokkan menunggu untuk didefinisikan. Apakah sel ACS dapat digunakan sebagai platform untuk modifikasi gen ex vivo, termasuk pengenalan gen terapi, apakah suatu ekspresi yang kuat dari gen tertentu dapat diarahkan dalam sel tersebut, dan jika respon proliferasi meningkat pada sel-sel progenitor jantung dapat dipengaruhi oleh pengenalan gen perkembangan sel-siklus tetap terlihat. 7. Penggambaran dari Identitas Sel Dari pembahasan sebelumnya, harus jelas bahwa elemen kritis dalam mengidentifikasi sel yang dicangkokkan dalam jantung dan dalam sejumlah kasus bahkan sebelum transplantasi, adalah tugas penting untuk mengetahui identitas 10 tipe sel. Pada Tabel 1, kami menyediakan daftar penanda molekuler endogen yang telah digunakan untuk membentuk suatu fenotipe jantung yang berbeda yang dihasilkan dari transplantasi sel induk yang berbeda, termasuk sel-sel sumsum tulang, sel induk embrionik dan sel stem jantung yang diturunkan. Selain penanda endogen yang tersedia untuk menetapkan identitas sel, GFP telah banyak digunakan sebagai reporter untuk menentukan sel donor. Menandai sel-sel dengan kromosom DAPI noda telah berhasil, karena DAPI noda dari sel-sel mati dapat dengan mudah dimasukkan oleh sel nonditandai [75]. Penanda genotipe juga telah ditunjukkan untuk menjadi alat yang ampuh dalam menilai identitas sel. Dalam beberapa studi perbaikan kardiovaskular diri di mana hati perempuan allografted ke penerima laki-laki manusia, keberadaan kromosom Y dinilai dalam pembuluh darah koroner dan di kardiomiosit [76-79] karena kromosom Y dapat mudah dilihat oleh pewarnaan cyto-chemical atau dengan hibridisasi in situ fluoresensi. Namun, penilaian tingkat chimerism jantung yang dilaporkan dalam studi ini mengungkapkan variasi yang sangat mencolok mulai dari tingkat rendah dari Y-kromosom mengandung kardiomiosit (0,02-01%) [77-78] untuk tingkat tinggi (30%) [79], menekankan kebutuhan kritis untuk menetapkan kriteria ketat oleh yang chimerism diidentifikasi. Identifikasi inti dengan kromosom-Y sendiri tidak cukup, tetapi harus tegas terkait dengan baik kapal miokard atau struktur kardiomiosit (yaitu dengan mikroskop confocal). Jika tidak, itu adalah mungkin untuk atribut inti kromosom Y-positif menjadi tuan rumah sel-sel yang terlibat dalam respon imun dan infiltrasi inflamasi, dan tidak untuk regenerasi jantung. Ada juga beberapa indikasi bahwa penggunaan analisis kromosom dapat menyebabkan meremehkan sel transfected karena adanya inti yang mungkin tidak dihitung ketika di bagian histologi [46]. Deteksi penanda fenotipe sel dengan analisa real-time, mikroskop confocal dan metodologi deteksi non-invasif menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) baru saja mulai diterapkan dalam penilaian dari transplantasi sel. Real-time visualisasi dapat memberikan identifikasi daerah infark miokard dan pengiriman tepat dipandu MRI-agen terapeutik, dengan situs injeksi diidentifikasi oleh agen kontras. Agen kontras MRI Novel izin visualisasi ekspresi gen pada resolusi selular, dan dapat digunakan juga untuk mendeteksi sel apoptosis [80-81]. Label yang sesuai dan deteksi sel induk oleh MRI harus dapat melacak mereka dalam distribusi in vivo, dan memungkinkan sekilas nasib mereka dari waktu ke waktu [82-83]. 11 (Gracia JM. CSCRT. 2006). 8. Tipe Stem Sel Manakah yang Digunakan untuk Penyakit Jantung ? Sebuah perbandingan singkat dari keuntungan dan keterbatasan tipe sel yang baru-baru ini digunakan dalam cardiac transplantation seperti yang tertera pada tabel 2. Saat cara yang jelas/cepat belum ada, dimana tipe sel paling baik untuk ditransplantasikan dalam perbaikan myocardial, ada beberapa sebab untuk percaya bahwa perkembangan keserberagaman pendekatan dalam aplikasi rekayasa sel akan diperlukan untuk mengembangkan terapi baru pada gangguan cardiac yang berbeda. Pendekatan ini untuk mengobati gagal jantung mungkin memerlukan transplantasi sel-jenis (misalnya, tulang myoblasts) yang berbeda dari yang digunakan dalam target pengobatan aritmia jantung, gangguan konduksi dan cacat bawaan. Hal ini juga kemungkinan bahwa jangka panjang perbaikan dari miokardium berfungsi penuh, mungkin memerlukan lebih banyak dari satu sel tunggal tipe-misalnya, kardiomiosit, fibroblast, dan sel endotel-dalam generasi dan integrasi cangkok jantung stabil dan responsif. 12 9. Perkembangan Lain Teknologi Rekayasa Sel Dalam Penyempurnaan dari nuklir, cybrid transfer dan fusi sel memungkinkan rekayasa teknik lebih lanjut dari stem sel memberikan proteksi jantung, atau merangsang antioksidan atau tanggapan antiapoptotic dalam miokardium. Teknik in juga mungkin mengizinkan penargetan spesifik cytopathies berbasis mitokondria [84]. Untuk mengidentifikasi aspek lingkungan jantung yang mungkin berkontribusi pada pertumbuhan dan perkembangan transplantasi myoblasts in vivo, matriks 3-dimensi telah dirancang sebagai sebuah novel dalam sistem in vitro yang meniru beberapa aspek dari lingkungan listrik dan biokimia dari miokardium asli. Struktur ini memungkinkan resolusi yang lebih baik sinyal listrik dan biokimia yang mungkin terlibat dalam proliferasi myoblast dan plastisitas. Myoblasts telah ditumbuhkan pada asam mesh 3-D polyglycolic perancah dalam kondisi kontrol di hadapan arus listrik fluks seperti jantung, dan di hadapan media kultur yang telah dikondisikan oleh kardiomiosit matur [85]. Seperti perancah yang mengandung baik janin atau agregat neonatal dari sel jantung yang berdenyut telah digunakan untuk menghasilkan cangkok jantung buatan ditransplantasikan ke miokardium yang terluka dengan penyembuhan fungsi ventrikel ,dan pembentukan dari gapjunction fungsional antara sel yang dicangkokkan dan miokardium [86-87]. Kombinasi terapi gen dan rekayasa sel induk adalah sebuah pendekatan menarik untuk mengobati gangguan jantung. Ekspresi (dan dalam beberapa kasus penghambatan ekspresi) protein tertentu dapat mengakibatkan perubahan mencolok dalam kardiomiosit dan fenotipe jantung. Kardiomiosit fungsi spesifik, termasuk saluran ion, konduksi jantung, 13 kontraktilitas dan proliferasi myocyte telah terbukti dipengaruhi oleh transfer gen dan ekspresi protein spesifik [88-90]. Terapi Cell-based untuk hati terluka atau disfungsional dapat ditingkatkan dengan menggunakan ex vivo rekayasa genetika sel punca untuk memberikan gen dan protein. Sebagai contoh, transplantasi sel batang mesenchymal telah terbukti menjadi perangkat efektif untuk menyampaikan protein saluran yang terlibat dalam aktivitas pacemaker aktivitas (misalnya, saluran HCN2 protein) mengakibatkan modifikasi irama jantung in vivo [91]. Pada hewan model kardiomiopati iskemik, pengenalan faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) dan pengaruhnya pada kedua angiogenesis dan fungsi ventrikel kiri nyata ditingkatkan dalam hati dengan myoblasts rangka VEGF-transfected dibandingkan dengan hati langsung disuntik dengan adenoviral-VEGF membangun [92]. 10. Komentar Penutup Penemuan cardiogenesis pada hewan dewasa dan manusia merupakan salah satu kemajuan yang sangat signifikan di bidang kardiologi dalam 25 tahun terakhir. Sebelumnya, ahli jantung yang paling percaya bahwa kelahiran kardiomiosit baru hanya terbatas pada jantung janin dan bayi. Dogma ini barubaru ini runtuh ketika para peneliti menemukan bahwa jantung tikus dewasa, tikus dan manusia mengalami perubahan jantung yang signifikan sebagai fungsi dari usia. Kardiomiosit baru lahir / homing ke daerah miokard relevan dengan jalur jantung, dan kemudian dapat mengintegrasikan secara struktural sehingga fungsi miokard dapat dipulihkan dan jaringan baru dapat diproduksi. Temuan ini telah memicu sejumlah besar penemuan paralel pada tikus, tikus, dan manusia, dengan implikasi dramatis bagi bagaimana kita berpikir plastisitas tentang jantung dan peran potensial dalam merehabilitasi individu dengan iskemia miokard / infark, gagal jantung dan berbagai jenis kardiomiopati, termasuk kardiomiopati penuaan. Secara ringkas, meningkatkan kemampuan kita untuk memahami fungsi yang berbeda kardiomiosit / jalur diferensiasi jantung secara detail akhirnya akan memungkinkan penggantian jaringan, transplantasi orang lain, dan ketidakseimbangan pergeseran pada molekul dan biokimia jantung. Dengan awal dan kemajuan pesat dalam rekayasa sel, kita mengharapkan untuk melihat akhir kelainan jantung yang melemahkan kehidupan manusia dan membangkrutkan sistem perawatan kesehatan. 11. Daftar Pustaka 1. Hunt SA. Current status of cardiac transplantation. J Am Med Assoc 1998;280:1692 – 1698. 2. Risau W. Mechanisms of angiogenesis. Nature 1997;386:671–674. 3. Braunwald E, Pfeffer MA. Ventricular enlargement and remodeling following acute myocardial infarction: mechanisms and management. Am J Cardiol 1991;68:1D–6D. 4. Scorsin M, Marotte F, Sabri A et al. Can grafted cardiomyocytes colonize peri-infarct myocardial areas? Circulation 1996;94:II337– II340. 5. Soonpaa MH, Koh GY, Klug MG, Field LJ. Formation of nascent intercalated disks between grafted fetal cardiomyocytes and host myocardium. Science 1994;264:98–101. 6. Menasche P, Hagege AA, Scorsin M et al. Myoblast transplantation for heart failure. Lancet 2001;357:279–280. 7. Marelli D, Desrosiers C, el-Alfy M, Kao RL, Chiu RC. Cell transplantation for myocardial repair: an experimental approach. Cell Transplant 1992;1:383–390. 8. Taylor DA, Atkins BZ, Hungspreugs P et al. Regenerating functional myocardium: improved performance after skeletal 14 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. myoblast transplantation. Nat Med 1998;4:929–933. Tomita S, Li RK, Weisel RD et al. Autologous transplantation of bone marrow cells improves damaged heart function. Circulation 1999;100:II247– II256. Orlic D, Kajstura J, Chimenti S et al. Bone marrow cells regenerate infarcted myocardium. Nature 2001;410:701–705. Jackson KA, Majka SM, Wang H et al. Regeneration of ischemic cardiac muscle and vascular endothelium by adult stem cells. J Clin Invest 2001;107:1395–1402. Asahara T, Murohara T, Sullivan A et al. Isolation of putative progenitor endothelial cells for angiogenesis. Science 1997;275:964–967. Toma C, Pittenger MF, Cahill KS, Byrne BJ, Kessler PD. Human mesenchymal stem cells differentiate to a cardiomyocyte phenotype in the adult murine heart. Circulation 2002;105:93– 98. Shi Q, Rafii S, Wu MH et al. Evidence for circulating bone marrow-derived endothelial cells. Blood 1998;92:362–367. Klug MG, Soonpaa MH, Koh GY, Field LJ. Genetically selected cardiomyocytes from differentiating embryonic stem cells form stable intracardiac grafts. J Clin Invest 1996;98:216– 224. Yamashita J, Itoh H, Hirashima M et al. Flk1-positive cells derived from embryonic stem cells serve as vascular progenitors. Nature 2000;408:92–96. 17. Tabibiazar R, Rockson SG. Angiogenesis and the ischaemic heart. Eur Heart J 2001;22:903– 918. 18. Ware JA, Simons M. Angiogenesis in ischemic heart disease. Nat Med 1997;3:158– 164. 15 METODE KONTRASEPSI PRIA F. Y. Widodo Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak: Metode kontrasepsi yang dipakai oleh para pria selama ini adalah kondom, sanggama terputus dan vasektomi. Cara-cara itu tidak disukai karena ketidaknyamanan dan adanya keterbatasan ireversibilitas. Dengan demikian, dibutuhkan pilihan kontrasepsi yang lebih menarik, aman, efektif dan reversibel. Ada dua area utama dalam riset kontrasepsi pria, kontrasepsi hormonal dimana hormon sintetik dipakai untuk sementara menghentikan perkembangan sperma sehat; dan metode nonhormonal, dimana teknik lain digunakan untuk menghentikan sperma sehat untuk memasuki vagina. Walaupun demikian, hal ini harus dicapai tanpa memicu efek samping, seperti misalnya hilangnya gairah dan kemampuan seksual. Kata Kunci: kontrasepsi hormonal, kontrasepsi non-hormonal, sperma. CONTRACEPTION METHOD FOR MAN F. Y. Widodo Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract: Methods of contraception for use by men include condoms, withdrawal and vasectomy is not preferred because of discomfort and limited irreversible. Development of a safe, effective, reversible and affordable contraceptive method for men would meet a critical need. There are two main areas of research into male contraception, hormonal contraception where synthetic hormones are used to temporarily stop the development of healthy sperm, and non-hormonal methods, where other techniques are used to stop healthy sperm from entering a woman’s vagina. However, this needs to be achieved without triggers side effects, such as a loss of libido and sexual performance. Keywords: hormonal contraceptives, non-hormonal contraception, sperm. PENDAHULUAN Tujuan penggunaan kontrasepsi adalah untuk menghambat atau menunda kehamilan karena berbagaia alasan, antara lain adalah perencanaan kehamilan, pembatasan jumlah anak, menghindari risiko medis dari kehamilan (misalnya adanya penyakit jantung, diabetes melitus, tuberkulosis), serta sebagai program pemerintah untuk mengendalikan jumlah populasi (1). Sejak kontrasepsi itu pertama kali ada hingga masa sekarang ini, terutama yang berperan untuk menggunakan kontrasepsi hanyalah kaum wanita saja. Beberapa metode keluarga berencana untuk pria seperti kondom, vasektomi, coitus interuptus, konsepnya telah ada sejak beberapa ratus tahun yang lalu, namun hal tersebut sangat sulit dilaksanakan dan sama sekali tidak efektif dan tidak efisien (2) Data yang disampaikan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada bulan Maret 2011, menyatakan bahwa Peserta KB Baru secara nasional pada bulan Maret 2011 sebanyak 739.500 peserta, dan apabila dilihat partisipasi pria sebagai peserta KB adalah : 47.824 peserta Kondom (6,47%), dan 2.508 adalah peserta Vasektomi (Modus Operasi Pria) (0,34%). Sedangkan partisipasi kaum wanita adalah: 48.891 peserta IUD (6,61%), 9.634 peserta Modus Operasi Wanita (MOW) (1,30%), 50.781 peserta Implant (6,87%), 373.154 peserta Suntikan (50,46%), dan 206.708 peserta Pil (27,94%). Dari data ini dapat dilihat, bahwa peran pria untuk berpartisipasi dalam Keluarga Berencana sangat rendah 16 sekali, total hanya 6.81% dari keseluruhan peserta KB (3). Di Jawa Timur, peran serta pria untuk ikut KB tidak jauh berbeda dengan angka nasional. Peserta pemakai kondom adalah sebesar 4.04%, dan peserta MOP sebesar 0.40%. Total hanya 4.44%. Sedangkan peserta metode KB untuk wanita: Pil 23.53%, Suntikan 60.13%. IUD 5.84%, MOW 1.73 %, dan Implant 4.32% (3) Di Amerika Serikat, data yang ada menunjukkan bahwa kaum pria lebih memiliki antusias untuk berperan serta dalam keluarga berencana, dimana peserta yang menggunakan kondom sebesar 13% dan lebih dari 15 % memilih melakukan MOP. Untuk peserta KB dikalangan kaum wanita, masih tetap mendominasi, dimana peserta MOW mencapai 20%, IUD 6%, Suntikan 13 % dan yang memakai Pil 30% ( 1, 4). Dari data yang ada dapat disimpulkan, bahwa peserta KB pria tidak suka memakai kondom karena adanya “perasaan kurang nyaman”. Kondom kebanyakan hanya dipakai untuk menghindari penularan Penyakit Menular Seksual. Sedangkan MOP (vasektomi) adalah suatu cara KB yang termasuk “kontrasepsi mantap”, dimana ada keterbatasan untuk menghasilkan keturunan kembali (ireversibel), sehingga juga tidak disukai (5, 6). Oleh sebab itu, untuk meningkatkan peran serta kaum pria dalam keluarga berencana, perlu dikembangkan suatu cara kontrasepsi yang efektif, tidak berbahaya untuk kesehatan, reversibel, dan nyaman untuk digunakan (2). Salah satu cara yang ditawarkan adalah penggunaan kontrasepsi hormonal, dimana pemakaiannya mudah, dan lebih bisa diterima oleh kaum pria (6, 7). Mekanisme kerja dari kontrasepsi hormonal ini ialah dengan cara menghalangi efek dari hormon testosteron sedemikian rupa, sehingga produksi selsel sperma yang sehat dari testis akan terhambat, tanpa menurunkan kadar hormon testosteron tersebut. Penurunan kadar testosteron akan mengakibatkan efek samping berupa gangguan fungsi seksual dari pemakainya. (8, 9, 10) Formulasi dari kontrasepsi hormonal, biasanya terdiri dari berbagai jenis testosteron, baik dosis tunggal maupun yang dikombinasikan dengan hormon lain. Dalam uji klinis, telah menunjukkan hasil yang menggembira-kan. Namun, efek jangka panjang dari penggunaan hormon reproduksi laki-laki ini untuk kontrasepsi, sampai saat ini masih belum diketahui, dan mungkin butuh waktu puluhan tahun untuk mengetahuinya. Karena itu, banyak peneliti yang memperkenalkan kontrasepsi pria nonhormonal, yang memiliki mekanisme berbeda dengan hormonal, yaitu tanpa mempengaruhi jalur hipotalamushipofisis-testis untuk menghambat spermatogenesis atau menghambat motilitas sperma (7, 11) SISTEM REPRODUKSI PRIA Fungsi utama dari sistem reproduksi pria adalah (12, 13, 14): 1. Produksi sperma (spermatogenesis) 2. Produksi hormon-hormon steroid (steroidogenesis), yaitu berupa hormon androgen (testosteron) 3. Transportasi sperma dalam sistem reproduksi wanita Fungsi dari sistem reproduksi pria adalah menyalurkan sperma kesaluran reproduksi wanita dalam suatu vehikulum cair yang kondusif untuk viabilitas sperma. Cairan pembawa sperma tersebut disebut semen, yang diproduksi dan disekresi oleh kelenjar seks tambahan (glandula asesoria) yang terdiri dari vesikula 17 seminalis, kelenjar prostat dan kelenjar bulbouretralis / kelenjar Cowper (12, 14) Organ kopulasi pada manusia ialah penis. Kopulasi harus didahului oleh proses ereksi penis, yaitu proses dimana terjadi pengerasan penis sehingga dapat melakukan penetrasi ke dalam vagina. Ereksi terjadi karena adanya pembesaran jaringan erektil penis akibat vasodilatasi arteriol penis, yang diinduksi saraf parasimpatis serta penekanan vena secara mekanis (14) Sperma yang dikeluarkan dari penis pada saat ejakulasi mula-mula berasal dari testis, kemudian menuju ke vas deferens, duktus ejakulatorius dan keluar melalui uretra (12, 14) Alur Hipotalamus - Pituitari – Gonad (HPG) Alur Hipotalamus-Pituitari-Gonad (HPG) memegang peranan penting dalam proses berikut (13): 1. Pengembangan fenotipe jenis kelamin saat embriogenesis 2. Maturasi seksual saat pubertas 3. Fungsi endokrin pada sintesis testosteron dan sperma Pada alur reproduksi, terdapat 2 (dua) golongan hormon yang berperan, yaitu hormon peptida dan hormon steroid. Masing-masing golongan tersebut memiliki cara kerja yang berbeda untuk memberikan respon biologi. Yang termasuk hormon peptida adalah Luteinizing Hormone (LH) dan FollicleStimulating Hormone(FSH), sedangkan yang termasuk hormon steroid adalah testosteron dan estradiol (13,15). Reproduksi yang normal, tergantung pada kerjasama dari beberapa hormon, yang regulasinya harus dikendalikan dengan baik. Mekanisme pengendalian yang utama adalah dengan cara pengendalian umpan balik (feedback control), dimana sintesis dan aktifitas hormon tersebut dapat dikendalikan oleh hormon itu sendiri, bahkan juga dapat mengendalikan hormon lain (13, 15) Komponen Alur HPG A. Hipotalamus Sebagai pusat dari alur HPG, hipotalamus menerima masukan rangsang dari pusat-pusat yang ada di otak, yang akan mensekresi hormon yang merangsang atau menghambat pengeluaran hormon-hormon lain. Secara anatomi, hipotalamus terhubung dengan kelenjar pituitari, sehingga secara langsung hormon-hormon dari hipotalamus bisa masuk ke kelenjar pituitari anterior. Hormon yang berperan pada sistem reproduksi adalah gonadotropin releasing hormone (GnRH) dan luteinizing hormone releasing hormone (LHRH). Fungsi GnRH adalah untuk menstimulasi sekresi hormon LH dan FSH dari kelenjar pituitari anterior (13) B. Pituitari Anterior GnRH merangsang produksi dan pengeluaran hormon FSH dan LH dari kelenjar pituitari anterior. FSH dan LH berperan dalam proses regulasi fungsi dari testis. Kedua hormon tersebut masingmasing mengandung 2 subunit rantai polipeptida, yang disebut subunit alfa dan beta. Subunit alfa untuk semua hormon pituitari anterior adalah identik. Aktifitas biologi maupun imunologi ditentukan oleh subunit beta. Perbedaan pada transduksi sinyal ditentukan oleh kandungan oligosakarida dan residu asam sialat dalam masing-masing hormon. Regulasi sekresi LH dilakukan oleh androgen dan estrogen melalui umpan balik negatif. (13, 16). 18 Didalam testis, LH merangsang steroidogenesis dalam sel Leydig dengan cara menginduksi konversi kholesterol menjadi pregnenolon dan testosteron. FSH terikat pada sel-sel Sertoli dan membran sprematogonial dalam testis dan ini merupakan stimulator utama dari pertumbuhan tubulus seminiferous saat perkembangan. FSH sangat diperlukan pada proses inisiasi spermatogenesis pada saat pubertas. pada pria dewasa, fungsi FSH yang utama adalah merangsang spermatogenesis untuk menghasilkan jumlah sel sperma yang normal (13, 16) Hormon prolaktin juga memiliki efek pada alur HPG, yaitu dapat meningkatkan konsentrasi reseptor LH pada sel-sel Leydig, dan mempertahankan kadar testosteron dalam testis agar selalu normal. Selain itu juga dapat memperkuat efek androgen pada pertumbuhan dan sekresi kelenjar-kelenjar seks aksesori pada pria. Kadar prolaktin yang normal diperlukan untuk mempertahankan tingkat libido. Hiperprolaktinemia dapat menekan gonadotropin dengan mengganggu pengeluaran GnRH (13) C. Testis Kesuburan dan kemampuan seksual seorang pria memerlukan hormon-hormon eksokrin maupun endokrin dari testis. Semuanya berada dalam kontrol alur HPG. Bagian intersisial testis mengandung sel-sel Leydig yang berfungsi pada proses steroidogenesis. Tubulus seminiferous memiliki fungsi eksokrin untuk memproduksi spermatozoa (13, 14) Testosteron diproduksi sekitar 5 g/hari, sekitar 2% dalam keadaan bebas tidak terikat, sehingga siap untuk menjalankan fungsinya secara biologik. Sisanya terikat dengan albumin atau sex hormone-binding globulin (SHBG) dalam sistem peredaran darah (13, 16). Beberapa penyakit dapat meningkatkan kadar SHBG, sehingga kadar testosteron bebas menurun. Selain itu, peningkatan SHBG dapat juga dipicu oleh adanya peningkatan hormon androgen, growth hormone dan obesitas. Kadar SHBG dapat menurun akibat peningkatan hormon estrogen dan hormon tiroid. Produksi testosteron dikontrol secara umpan balik negatif pada alur HPG, dan testosteron tersebut dimetabolisir menjadi 2 macam metabolit aktif yaitu: 1. Dihidrotestosteron (DHT) akibat katalisis dari 5-alfa-reduktase. 2. Estrogen estradiol, sebagai hasil reaksi dengan aromatase. DHT merupakan androgen yang jauh lebih kuat daripada testosteron (13, 16) Fungsi lain dari testis adalah fungsi eksokrin, dimana testis akan menghasilkan produk-produk yang diperlukan pada pertumbuhan sel-sel germinal. Produk tersebut antara lain berupa androgen-binding protein, transferin, laktat, ceruloplasmin, clusterin, aktifator plasminogen, prostaglandin, dan beberapa faktor pertumbuhan. Produkproduk tersebut dihasilkan oleh sel-sel Sertoli yang ada didalam tubulus seminiferus, yang dipicu oleh adanya FSH. Pada masa pubertas, pertumbuhan tubulus seminiferus ini mulai distimulasi, sehingga saat itu baru mulai menghasilkan sperma. Pada saat dewasa, FSH diperlukan pada proses spermatogenesis (13, 17). Pengeluaran FSH dari kelenjar hipofisa anterior dapat dihambat oleh inhibin, yaitu suatu protein yang dihasilkan oleh sel Sertoli. Didalam testis, produksi inhibin dipicu oleh FSH, dan regulasinya secara umpan balik negatif . Sekresi FSH dapat ditingkatkan oleh suatu protein yang disebut aktivin, yang juga diproduksi didalam testis. Aktivin memiliki 2 subunit beta yang mirip dengan inhibin (13, 17) 19 Sel sperma yang bersifat haploid (n) dibentuk di dalam testis melewati sebuah proses kompleks. Pada tubulus seminiferus testis terdapat (13, 15, 17): 1. Sel-sel induk spermatozoa atau spermatogonium, 2. Sel Sertoli yang berfungsi memberi makan spermatozoa, 3. Sel Leydig yang terdapat di antara tubulus seminiferus yang berfungsi menghasilkan testosteron. Gambar 1: Alur HPG (diambil dari kepustakaan 12) SPERMATOGENESIS Spermatogenesis (proses pembentukan dan pemasakan spermatozoa) adalah suatu proses yang kompleks dimana stem-sel multipoten yang primitif membelah membentuk sel anak yang akhirnya menjadi spermatozoa. Proses ini terjadi dalam tubulus seminiferus yang ada didalam testis. 90% dari volume testis terdiri dari tubulus seminiferus dan sel germinal pada berbagai tahapan perkembangan (13,15) Proses pembentukan gamet atau sel kelamin disebut gametogenesis. Ada dua jenis proses pembelahan sel yaitu mitosis dan meiosis. Bila ada sel tubuh kita yang rusak maka akan terjadi proses penggantian dengan sel baru melalui proses pembelahan mitosis, sedangkan sel kelamin atau gamet sebagai agen utama dalam proses reproduksi manusia menggunakan proses pembelahan meiosis. Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa mitosis menghasilkan sel baru yang jumlah kromosomnya sama persis dengan sel induk yang bersifat diploid (2n) yaitu 23 pasang atau 46 buah kromosom, sedangkan pada meiosis jumlah kromosom pada sel baru hanya bersifat haploid (n) yaitu 23 kromosom (15, 17). Proses pembentukan spermatozoa dipengaruhi oleh kerja beberapa hormon. Kelenjar hipofisis menghasilkan hormon perangsang folikel (Folicle Stimulating Hormone/FSH) dan hormon lutein (Luteinizing Hormone/LH). LH merangsang sel Leydig untuk menghasilkan hormon testosteron. Pada masa pubertas, androgen/testosteron memacu tumbuhnya sifat kelamin sekunder. FSH merangsang sel Sertoli untuk menghasilkan ABP (Androgen Binding Protein) yang akan memacu spermatogonium untuk memulai proses spermatogenesis. Proses pemasakan spermatosit menjadi spermatozoa disebut spermiogenesis. Spermiogenesis terjadi di dalam epididimis dan butuh waktu selama 2 hari (13, 15, 17). Proses produksi sperma yang matang di dalam tubulus seminiferus melalui langkah-langkah berikut ini (13, 15, 17): 1. Sel kelamin jantan primitif yang belum terspesialisasi dan disebut dengan spermatogonium akan diaktifkan oleh sekresi hormon testosteron. 2. Masing-masing spermatogonium membelah secara mitosis untuk menghasilkan dua sel anak yang masingmasing berisi 46 kromosom lengkap. 3. Dua sel anak yang dihasilkan tersebut masing-masing disebut spermatogonium yang kembali melakukan pembelahan mitosis untuk menghasilkan sel anak, dan satunya lagi disebut spermatosit primer 20 yang berukuran lebih besar dan bergerak ke dalam lumen tubulus seminiferus. 4. Spermatosit primer melakukan meiosis untuk menghasilkan dua spermatosit sekunder yang berukuran lebih kecil dari spermatosit primer. Spermatosit sekunder ini masing-masing memiliki 23 kromosom yang terdiri atas 22 kromosom tubuh dan satu kromosom kelamin (X atau Y). 5. Kedua spermatosit sekunder tersebut melakukan mitosis untuk menghasilkan empat sel lagi yang disebut spermatid yang tetap memiliki 23 kromosom. 6. Spermatid kemudian berubah menjadi spermatozoa matang tanpa mengalami pembelahan dan bersifat haploid (n) 23 kromosom. Proses pematangan spermatid menjadi spermatozoa dapat memakan waktu beberapa minggu, dan terdiri dari tahap-tahap: a. Pembentukan akrosom dari aparatus Golgi b. Pembentukan flagelum dari sentriol c. Reorganisasi mitokondria dibagian tengah tubuh. d. Pemampatan nukleus sebanyak 10% e. Eliminasi sisa sitoplasma. Spermatozoa yang berada didalam testis ini selanjutnya masih harus dimatangkan untuk bisa bergerak membuahi sel telur. Proses pematangan ini berlangsung didalam epididimis. Proses perjalanan didalam epididimis memicu beberapa perubahan, termasuk peningkatan muatan listrik pada jaringan permukaan, perubahan komposisi protein membran, imunoreaktifitas, penambahan fosfolipid dan asam lemak, serta aktifitas adenilat siklase. Perubahan ini meningkatkan integritas struktur membran dan meningkatkan kemampuan fertilisasi. Transit sperma melalui epididimis ini memerlukan waktu selama 10 – 15 hari. Keseluruhan proses spermatogenesis pada manusia ini memerlukan waktu sekitar 60 hari (13, 17, 18) Regulasi spermatogenesis secara genetik dilaksanakan oleh 266 gen berbeda, yang melakukan ekspresi pada testis pria dewasa. Pada riset yang dilakukan akhir-akhir ini, pada pria dengan tingkat kesuburan normal, terdapat 149 gen yang berfungsi. Gen-gen tersebut berperan pada fungsi-fungsi testis yang normal, antara lain pada perkembangan sel sperma pada tingkat spermatosit, spermatid, motilitas sperma, reparasi dan eliminasi sel cacat, serta fungsi-fungsi lain (15, 19, 20) Agar dapat berfungsi dengan baik untuk membuahi sel telur, sperma harus memenuhi beberapa kriteria dibawah ini (13): a. Volume ejakulat harus mencapai 1.5 – 5.5 ml. b. Konsentasi sel sperma (sperm count) harus mencapai 200 juta per ml. Abnormalitas: - 0 Juta/ml disebut Azoospermia - > 0 5 Juta/ml disebut Ekstrimoligozoospermia - 20 juta disebut oligozoospermia - 250 Juta/ml disebut Polizoospermia c. Motilitas lebih dari 50% d. Morfologi normal lebih dari 30% e. Tidak boleh ada penggumpalan, darah putih dan peningkatan viskositas. KONTRASEPSI HORMONAL Sama halnya dengan cara KB pada wanita, pemberian hormon seks steroid yang dapat memblokir ovulasi secara umpan balik negatif (negative feedback), juga terjadi secara analogi pada pria. Pemberian hormon androgen akan menekan produksi LH oleh pituitari anterior, yang pada akhirnya menekan spermatogenesis. Namun, hal ini akan menimbulkan efek samping berupa penurunan libido dan berpotensi pula untuk menurunkan kemampuan seksual. 21 Prinsip ini pertama kali ditunjukkan pada tahun 1974, dengan menggunakan kombinasi estrogen oral dengan metil testosteron. Selanjutnya, para ahli melakukan beberapa langkah percobaan klinik dengan menggunakan testosteron tunggal, atau dikombinasikan dengan progestin. Langkah ini menunjukkan lebih dari 90% efektif dalam mencegah konsepsi/kehamilan, dan tidak menunjukkan efek samping yang serius (8, 11, 21). Selama beberapa tahun, para peneliti telah mempelajari efek suntikan testosteron tanpa kombinasi sebagai kontrasepsi pria, dan ternyata dapat menekan produksi sperma sampai tingkat yang sangat rendah. Namun, ternyata terbukti bahwa efek testosteron tanpa kombinasi ini terdapat perbedaan secara etnis. Para pria Asia normal, khususnya Asia Timur, hampir selalu dapat menjadi oligospermia dan bahkan sampai azospermia ketika diberi testosteron undecanoate sebanyak 500 sampai 1000 mg setiap bulan. Sedangkan hanya 86% dari pria kulit putih (kaukasian) yang dapat mencapai oligospermia atau azospermia dengan pemberian testosteron yang serupa (8, 9, 10) Cara yang lebih efektif adalah dengan menggabungkan testosteron dengan progestin. Cara ini juga dirasakan lebih aman karena dosis hormon testosteron dapat diturunkan, tetapi khasiatnya tidak berkurang. Suatu suntikan kombinasi testosteron undecanoate dengan norethindrone enanthate yang diberikan pada interval 6minggu, dapat menyebabkan azospermia pada 90% dari subyek penelitian (9, 10, 21). Progestin yang dikombinasikan dengan testosteron terdiri dari berbagai jenis, antara lain adalah norethisterone, desogestrel, levonorgestrel, etonogestrel, depot-medroxyprogesterone acetate (DMPA) atau nestorone. Dari beberapa macam progestin tersebut, yang terlihat paling efektif adalah etonogestrel dan levonorgestrel. Efek penurunan LH ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh hormon androgen daripada oleh progestin (9, 22, 23). Selain dikombinasikan dengan progestin, testosteron juga dapat digabung dengan antagonis gonadotropin-releasing hormone (GnRH), yang ternyata juga menunjukkan efektifitas yang tinggi (10) Untuk pria yang kurang menyukai metode suntikan, saat ini telah dilakukan riset dengan menggunakan testosteron bentuk tempel/trandermal (“koyo”) yang dikombinasikan dengan pil estrogen. Pil estrogen yang digunakan adalah desogestrel atau DMPA. Dengan cara ini, keberhasilan untuk menurunkan spermatogenesis pada pria bisa mencapai 80% (24, 25) Efek samping penggunaan kontrasepsi hormonal pria yang telah diketahui sejauh ini antara lain adalah timbulnya perubahan mood, jerawat, depresi, penurunan libido dan disfungsi ereksi. Karena semua studi yang dilakukan selama ini hanya dalam durasi yang relatif singkat, maka tidak mungkin untuk melakukan evaluasi efek samping jangka panjang pada tulang, prostat serta penyakit kardiovaskuler. Beberapa efek samping ini mungkin disebabkan oleh progestin (11, 26). KONTRASEPSI NON-HORMONAL Dengan adanya efek samping kontrasepsi hormonal, serta perlunya dilakukan suatu upaya untuk menyediakan metode KB pria yang aman, efektif, reversibel, murah serta mudah digunakan, saat ini telah banyak dilakukan studi tentang beberapa macam kontrasepsi non-hormonal, yang sebagian besar dapat dikonsumsi per oral. Cara ini 22 diyakini lebih aman, karena obat-obatan ini memiliki potensi untuk menghambat fertilitas pria tanpa melibatkan alur hipotalamus-pituitari-gonad (11) Beberapa kontrasepsi pria nonhormonal yang telah diteliti oleh para ahli adalah: a. Calcium Channel Blockers Obat yang sebenarnya dipakai sebagai obat hipertensi seperti misalnya nifedipin dan amlodipin, ternyata dapat menyebabkan infertilitas dengan cara meningkatkan metabolisme lipid pada sperma yang berpengaruh pada akrosom dan proses kapasitasi sperma, sehingga tidak bisa membuahi sel telur (27) b. Obat Penghambat Metabolisme c. Adjudin Adjudin, 1-(2,4-dichlorobenzyl)1H-indazole-3-carbohydrazide ialah suatu analog non-toksik dari lonidamine, yang pada awalnya diteliti sebagai obat anti kanker. Selanjutnya, lonidamine telah terbukti sebagai senyawa antispermatogenik yang efektif, dapat menyebabkan infertilitas reversibel pada hewan coba. Mekanisme kerjanya dengan cara mengganggu hubungan / ikatan selsel Sertoli dengan sel germinal di testis yang akan membentuk spermatid. Sel germinal akan terlepas dari epitel tubulus seminiferous, dan sel sperma yang belum matang tersebut dilepaskan secara prematur dan tidak pernah menjadi gamet fungsional. Pemulihan setelah penghentian pemberian adjudin ternyata cukup baik, setelah dihentikan 4 minggu, akan terjadi peningkatan spermatogenesis sebanyak 50% (31, 32, 33) Vitamin A Spermatogenesis bergantung pada metabolit aktif vitamin A, yaitu asam retinoat, yang berfungsi untuk memacu diferensiasi spermatogonium serta menjamin produksi sperma dalam jumlah normal. Bukti baru menjelaskan bagaimana enzim yang mengontrol metabolisme vitamin A dalam testis dapat menjadi target untuk menghasilkan kontrasepsi pria yang efektif, namun, mekanisme rinci tentang bagaimana vitamin A mengatur spermatogenesis normal masih belum diketahui. Percobaan dengan mengunakan tikus, membuktikan bahwa suatu senyawa yang menggangu jalur metabolisme vitamin A, ternyata dapat membuat tikus jantan menjadi steril tanpa mempengaruhi libido. Setelah senyawa tersebut diambil dari tubuh tikus, produksi sperma kembali berlanjut. Mekanisme kerja dari senyawa tersebut dengan cara menghalangi konversi vitamin A menjadi bentuk aktif asam retinoat yang mengikat reseptor retinoic yang diperlukan untuk memulai produksi sperma (28, 29, 30) d. Gossypol Gossypol adalah suatu polifenol yang diisolasi dari biji, akar dan batang tumbuhan kapas (Gossypium sp.). Substansinya memiliki pigmen kekuningan yang mirip dengan flavonoid yang terdapat pada minyak biji kapas. Pada tumbuhan, gossypol berfungsi sebagai pertahanan alamiah terhadap predator, dengan mempengaruhi infertilitas pada serangga. Pada beberapa hewan, gossypol juga menimbulkan infertilitas, dan pada manusia dapat menyebabkan terhentinya spermatogenesis pada dosis yang relatif rendah. Penelitian yang dilakukan di China, Afrika dan Brazilia, menunjukkan bahwa gossypol dapat ditoleransi dengan baik serta tidak menimbulkan efek samping. Hanya saja, dari 20% pemakainya, ternyata menunjukkan ireversibilitas. Sebaiknya gossypol hanya diberikan pada pria yang menghendaki pemakaian kontrasepsi mantap saja, 23 karena akan terjadi infertilitas permanen setelah pemakaian beberapa tahun (34) e. Obat yang Berefek pada Epididimis Epididimis merupakan target yang baik untuk studi perkembangan kontrasepsi pria. Hal itu karena proses pematangan sperma terjadi didalam organ ini, dimana terjadi peningkatan motilitas spermatozoa, serta dapat mengenali dan membuahi sebuah sel telur begitu sperma keluar dari saluran epididimis. Berbagai macam cara pendekatan telah dilakukan, yaitu: - menimbulkan kontraksi pada saluran peritubular epididimis, yang akan mengurangi waktu transit sperma sehingga interaksi dengan sekret-sekret epitel menjadi berkurang sampai tingkat yang tidak optimal. - memodifikasi sekret-sekret epitel epididimis sehingga faktor-faktor yang berpengaruh pada proses pematangan sperma akan menurun. - inhibitor-inhibitor yang langsung menghambat motilitas, metabolisme, fungsi membran dan vitalitas sperma Salah satu contoh obat yang memiliki aktifitas pada epididimis adalah EPPIN (Epididymal Protease Inhibitor) yang dapat menimbulkan infertilitas dengan cara menurunkan motilitas dari sperma. Cara-cara diatas belum sepenuhnya berhasil untuk diterapkan, sehingga perlu studi lebih lanjut (35, 36) f. Tamsulosin dan Silodosin Tamsulosin dan Silodosin adalah suatu obat penghambat alfa (1A) selektif, yang digunakan untuk mengobati penderita Benign Prostate Hyperplasia (BPH). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tamsulosin dan Silodosin dapat menimbulkan disfungsi ejakulasi yang ditandai dengan penurunan volume ejakulat, baik pada pasien tua maupun yang masih muda. Subtipe Alfa (1A)adrenoseptor menunjukkan peranan yang dominan untuk memicu kontraksi organ seks asesori yang melaksanakan fungsi ejakulasi, sehingga hambatan pada alfa (1A)-adrenoseptor akan menurunkan motilitas organ-organ ini, yang akibatnya akan menghambat transport sperma (37, 38, 39) g. Gandarusa Gandarusa (Justicia gendarussa Burm. f) merupakan salah satu contoh tanaman yang banyak terdapat di Indonesia dan memiliki efek anti fertilitas. Daun Justicia gendarussa Burm. f. Telah digunakan oleh sebagian masyarakat di Irian Jaya sebagai obat kontrasepsi pria. Dari hasil penelitian diketahui bahwa dalam gandarusa terdapat 12 komponen flavonoid dengan berat molekul sama, komponen major flavonoid adalah 6,8-dia Larabinopiranosil-4,5,7 trihidroksiflavon atau 6,8diarabinosilapigenin dengan aktivitas pencegahan penetrasi spermatozoa in vitro dan salah satu komponen minor adalah 6a-L arab inopiranosil- 4,5,7 - trihidroksi8 - B – Dsilopiranosilflavon atau 6arabinosil-8 silosilapigenin. Kedua senyawa menghambat aktivitas enzim hyaluronidase. Enzim Hyaluronidase berfungsi untuk penetrasi spermatozoa pada cumulus oophorus ovum. Bila aktivitas enzim ini dihambat maka penetrasi spermatozoa tidak terjadi dan begitu pula dengan proses fertilisasinya. Pemberian gandarusa menyebabkan akumulasi metabolit dalam aliran darah (blood vessel) di daerah testis. Akumulasi metabolit ini akan mengganggu sekresi LH dan FSH di testis. Hal ini akan dapat menggangu proses spermatogenesis (40, 41). 24 promosi untuk meningkatkan keikutsertaan para suami dalam program keluarga berencana. Perlu disampaikan bahwa kontrasepsi yang tersedia saat ini sudah cukup efektif, reversible, aman dan tidak menimbulkan efek samping yang berarti (45, 46). Penyediaan kontrasepsi pria di negara berkembang memerlukan komitmen dari pihak pemerintah maupun pihak non-pemerintah dan memerlukan suatu pemikiran yang bijaksana. Kerjasama yang baik dengan pihak industri akan mempercepat distribusinya (5). h. Biji Carica papaya. Biji Carica papaya telah diketahui mengandung komponenkomponen yang diduga dapat mempengaruhi fertilitas. Beberapa eksperimen menunjukkan bahwa biji C. papaya nampaknya mengganggu proses spermatogenik, menyebabkan azoospermia atau hambatan total motilitas sperma pada hewan percobaan. Mekanisme kontrasepsi ditunjukkan dengan mengecilnya volume nukleus dan siptoplasma dari sel-sel Sertoli, yang mengakibatkan degenerasi nukleus pada spermatosit dan spermatid sehingga spermatogenesis terganggu . Sedangkan sel Leydig tetap normal. Secara fisik akan terlihat penurunan jumlah sel sperma yang diproduksi, inhibisi total motilitas sperma dan peningkatan jumlah sel sperma abnormal. Biji C. papaya dinyatakan aman untuk pemakaian jangka panjang. (42, 43). i. Biji Cuminum cyminum Biji C. cyminum (jeera, jintan putih) telah dibuktikan memiliki efek kontrasepsi pada hewan percobaan. Ekstrak methanol dari C. cyminum yang diberikan pada tikus jantan selama 60 hari menunjukkan bahwa terjadi penurunan berat testes, epididimis, vesikula seminalis dan prostat. Disamping itu, juga terjadi penurunan densitas sperma, penurunan jumlah sel-sel sperma dalam cauda epididimis dan testes, serta penurunan motilitas sperma. Disini tidak dijumpai penurunan jumlah sel-sel Sertoli. Reduksi dari fertilitas mencapai 69.0% dan 76% pada dosis 100 dan 200 mg/hari. Penelitian ini juga tidak menunjukkan adanya efek samping yang berarti (44). PENUTUP Dengan adanya kemajuankemajuan penelitian tentang metode kontrasepsi pria, perlu dilakukan suatu Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap suami antara lain adalah (47): - faktor internal: kepuasan bersenggama, umur, dan penggunaan cara kontrasepsi yang tidak praktis - faktor eksternal: pengaruh dari media, interaksi dengan orang lain, riwayat keluarga, dan riwayat kesehatan. Dari pihak istri, nampaknya kepercayaan kepada metode kontrasepsi pria ini sangat baik, walaupun mereka hanya sedikit sekali memiliki pengetahuan tentang metode ini. (6, 46) KEPUSTAKAAN: 1. Pernoll, M. L.; 2001; Benson & Pernooll Handbook of Obstetrics and Gynecology; 10th ed.; McGraw-Hill Medical Publishing Division, New York, p. 727 – 41. 2. Costantino, A; et al; 2007; Current Status and Future Perspectives in Male Contraception; Minerva Ginecol, 59(3):299-310; on http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/175 76406 3. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN); 2011; Laporan Umpan Balik Hasil Pelaksanaan Sub Sistem Pencatatan dan Pelaporan 25 Pelayanan Kontrasepsi Maret 2011; Direktorat Pelaporan dan Statistik BKKBN; Jakarta; hal. 9 – 11, dan 51. 4. Mosher WD, Martinez GM, Chandra A, Abma JC, Willson SJ; 2004; "Use of contraception and use of family planning services in the United States: 1982–2002" . Adv Data (350): 1–36, U.S. Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention National Center for Health Statistics. 5. Wang, C.; Swerdloff., R. S.; 2010; Hormonal Approaches to Male Contraception; Curr Opin Urol, Vol. 20 (6), pp. 520-4. on http://web.ebscohost.com/ 6. Glasier, A.; 2010; Acceptability of Contraception for Men: A Review; Contraception.; 82(5):453-6; on http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/209 33119 7. Jensen, J. T.; 2002; Male Contraception.; Curr Womens Health Rep. ; 2(5):338-45; on http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/122 15306 8. Stubblefield, P. G.; Carr-Ellis, S.; Kapp, N.; 2007 ; Family Planning, on Berek & Novak’s Gynecology; 14th ed.; Lippincott Williams & Wilkins; p. 247 312. 9. Nieschlag, E.; 2010; Clinical Trials in Male Hormonal Contraception; Contraception; Vol. 82 (5), pp. 457-70 ; on http://web.ebscohost.com/ ehost/ 10. Meriggiola, M. C. ; Pelusi, G.; 2006; Advances in Male Hormonal Contraception; Expert Opin Investig Drug;15(4):389-97; on http://www. ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16548788 11. Cheng, C. Y.; Mruk, D. D.; 2010; New Frontiers in Nonhormonal Male Contraception; Contraception; Vol. 82 (5), pp. 476-82; on http://web.ebscohost.com/ehost/ 12. Tanagho, E. A.; 2008; Anatomy of the Genitourinary Tract; on Smith’s General Urology; 17th ed.; The McGraw-Hill Co. Inc.; p. 1 - 16 13. Turek, P. J.; 2008; Male Infertility; on Smith’s General Urology; 17th ed.; The McGraw-Hill Co. Inc.; p. 684 – 716 14. Bella, A. J.; Lue, T. F.; 2008; Male Sexual Dysfunction; on Smith’s General Urology; 17th ed.; The McGraw-Hill Co. Inc.; p.589 - 610 15. Sutovsky; P.; Manandhar, G.; 2006; Mammalian Spermatogenesis and Sperm Structure: Anatomical and Compartmental Analysis; on The Sperm Cell Production, Maturation, Fertilization, Regeneration; Cambridge University Press; p. 1 – 30 16. Weil, P. A.; 2009; Hormone Action & Signal Transduction; on Harper’s Illustrated Biochemistry; 28th ed.; McGraw-Hill; p. 444 – 58 17. Scanlon, V. C., & Sanders, T.; 2007; Essentials of Anatomy and Physiology; 5th ed.; F. A. Davis Company; p. 221 – 249; 454 – 73 18. Cooper, T. G; Yeung, C. H.; 2006; Sperm Maturation in The Human Epididymis; on The Sperm Cell Production, Maturation, Fertilization, 26 Regeneration; Cambridge Press; p. 72 – 107 University 26 (7), pp. 1708-14; web.ebscohost.com/ehost/ on http:// 19. Wang, H.; et al; 2004; A spermatogenesis-related Gene Expression Profile in Human Spermatozoa and its Potential Clinical Applications; J-Mol-Med (Berl); 82(5):317-24; on http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/149 85855. 25. Hair WM; et al ; 2001; A novel male contraceptive pill-patch combination: oral desogestrel and transdermal testosterone in the suppression of spermatogenesis in normal men; J Clin Endocrinol Metab; Vol. 86 (11), pp. 5201-9; on http://web.ebscohost .com/ehost/ 20. Qiu, Q.; et al; 2009; Glycerol-3phosphate Acyltransferase 4 Gene is Involved in Mouse Spermatogenesis; Acta Biochim Biophys Sin; 41 (8): 668-676; on http://abbs. oxfordjournals.org/content/41/8/668. 26. Perheentupa, A.; Huhtaniemi, I.; 2004; Male Contraception – Quo Vadis?; Acta Obstet Gynecol Scand; 83: 131–137. 21. Roth MY; Amory JK; 2011; Pharmacologic Development of Male Hormonal Contraceptive Agents; Clin Pharmacol Ther; Vol. 89 (1), pp. 133-6; on http://web.ebscohost.com/ehost/ 22. Nieschlag, E.; 2010; Male Hormonal Contraception; on Handbook of Experimental Pharmacology: Fertility Control (198):197-223; Springer; on http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/208 39093 23. Attardi BJ; Koduri S; Hild SA; 2010; Relative progestational and androgenic activity of four progestins used for male hormonal contraception assessed in vitro in relation to their ability to suppress LH secretion in the castrate male rat; Mol Cell Endocrinol; Vol. 328 (1-2), pp. 16-21. on http://web.ebscohost .com/ehost/ 24. Soufir J.C.; Meduri G.; Ziyyat A.; 2011; Spermatogenetic inhibition in men taking a combination of oral medroxyprogesterone acetate and percutaneous testosterone as a male contraceptive method; Hum Reprod; Vol. 27. Meacham, R. B.; 2006; The Effect of Calcium Channel Blockers on Male Reproductive Potential; J. of Androl., Vol. 27, No. 2, DOI: 10.2164/jandrol.05198 28. Chung S.S.; Wang. X; Wolgemuth D.J.; 2005; Male sterility in mice lacking retinoic acid receptor alpha involves specific abnormalities in spermiogenesis; Differentiation; 73(4):188-98. http://www.ncbi.nlm. nih.gov/pubmed/15901285?dopt=Abstract Plus 29. Hogarth, C.A; Amory, J.K.; Griswold, M.D.; 2011; Inhibiting vitamin A metabolism as an approach to male contraception; Trends Endocrinol Metab; Vol. 22 (4), pp. 136-44; on http://web. ebscohost.com/ehost/ 30. Chung, S.S.; et al; 2011; Oral Administration of a Retinoic Acid Receptor Antagonist Reversibly Inhibits Spermatogenesis in Mice; Endocrinology;152(6):2492-502.on http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/215 05053 27 31. Mruk, D. D.; et al; 2006 ; A Male Contraceptive Targeting Germ Cell Adhesion; Nat Med; 12(11):1323-8. on http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/17072312 32. Mok. K. W.; et al; 2011; Adjudin, a Potential Male Contraceptive, Exerts its Effects Locally in the Seminiferous Epithelium of Mammalian Testes; Reproduction (2011) 141 571–580; on www.reproduction-online.org 33. Hu, G. X.; et al; 2009: Adjudin Targeting Rabbit Germ Cell Adhesion as a Male Contraceptive: A Pharmacokinetics Study; J Androl 2009;30:87–93. 34. Coutinho, E. M.; 2002; Gossypol: a Contraceptive for Men; Contraception, Vol. 65, Issue 4, Pages 259-263; on http://web.ebscohost.com/ehost/ 35. Hinton, B. T.; Cooper, T. G.; 2010; The Epididymis as a Target for Male Contraseptive Development; on Handbook of Experimental Pharmacology, Vol. 198; p. 117-38; Springer; on www.springer.com. 36. O’Rand, M. G.; et al; 2011; Epididymal Protein Targets: A Brief History of the Development of EPPIN as a Contraceptive; J Androl. [Epub ahead of print] on http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ PMID:21441428 37. Chen Y; Li H; Dong Q; Wang KJ; 2009; Blockade of alpha 1Aadrenoceptor: a novel possible strategy for male contraception; Med Hypotheses; Vol. 73 (2); pp. 140-1; on http://web.ebscohost.com/ehost 38. Shimizu, F; et al; 2010; Impact of dry ejaculation caused by highly selective alpha1A-blocker: randomized, doubleblind, placebo-controlled crossover pilot study in healthy volunteer men; J Sex Med..; 7(3):1277-83; on http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/201 02447 39. Yono, M.; 2009; Short- and Longterm Effects of Silodosin, a Selective Alpha 1A-adrenoceptor Antagonist, on Ejaculatory Function in Rats; BJU Int; 103(12):1680-5. on http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmep/192 20259 40. Bambang Prajogo E.W ; et al; 2007; Isolation of male antifertility compound in n-butanol fraction of Justicia gandarussa Burm.f leaves; IOCD International Symposium. Surabaya, Indonesia 9-11 April 2007. 41. Bambang Prajogo E.W ; et al; 2007; Pengaruh Daun Justicia gandarussa Burm. f. terhadap Sperma-togenesis Mencit; Jurnal Ilmiah Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, Tahun 2007, No.1, hal. 1-8 42. Manivannan, B.; et al; 2009; Sperm characteristics and ultrastructure of testes of rats after long-term treatment with the methanol subfraction of Carica papaya seeds; A. J. Androl.; 11: 583–599; on http://www.nature.com/aja/journal/v11/n5 /pdf/aja200925a.pdf 43. Goyal, S.; et al; 2010; Safety evaluation of long term oral treatment of methanol sub-fraction of the seeds of Carica papaya as a male contraceptive in albino rats; J Ethnopharmacol; Vol. 127 (2), pp. 286-9; on http://web.ebscohost.com/ehost/ 28 44. Gupta ,R. S.; 2011; Evaluation of reversible contraceptive activities of Cuminum cyminum in male albino rats; Contraception; Vol. 84 (1), pp. 98-107; on http://web.ebscohost. com/ehost/ 45. Liu PY; Swerdloff RS; Wang C; 2010; Recent Methodological Advances in Male Hormonal Contraception; Contraception; Vol. 82 (5), pp. 471-5. ; on http://web.ebscohost.com/ehost/ 46. Nte AR; Odu N; Enyindah CE; 2009; Male Involvement in Family Planning: Women's Perception; Niger J Clin Pract; Vol. 12 (3), pp. 306-10. on http://web.ebscohost.com/ehost/ 47. Astuti, A. P.; 2010; Sikap Suami Terhadap Kontrasepsi Pria; Skripsi; Fakultas Psikologi Unmuh; Surakarta. 29 VAKSIN HUMAN PAPILOMA VIRUS (HPV) UNTUK PENCEGAHAN KANKER SERVIKS UTERI Harry kurniawan Gondo Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRAK Kanker serviks merupakan penyakit keganasan fatal yang dapat dicegah. Penyebab kanker serviks adalah human papillomavirus (HPV) onkogenik risiko tinggi, terutama HPV-16 dan 18. Secara struktural, HPV dibagi atas URR, ER,dan LCR dimana ER mengkode protein E1, E2, E3, E4, E5, E6, dan E7 yang bersifat onkogenik dan LCR mengkode L1 dan L2 yang bersifat imunogenik. Infeksi HPV mengakibatkan displasia yang dapat berkembang menjadi kanker serviks in situ dan invasif. Vaksin dapat mencegah 65% infeksi, 95% infeksi persisten, 100% keadaan abnormalitas epitel. Vaksin HPV rekombinan lebih baik diberikan pada mereka yang belum melakukan hubungan seksual aktif dan dapat pula pada umur 9-55 tahun. Regimennya sebanyak 3 kali suntikan 0,5 ml pada otot deltoideus mediolateral pada bulan pertama, kedua, ke enam. Kemampuan proteksi adalah 5 tahun dan tidak ditemukan reaksi serius sebagai komplikasi vaksinasi. Kata kunci: vaksin HPV, kanker serviks. VACCINES HUMAN PAPILLOMA VIRUS (HPV) CERVICAL CANCER PREVENTION FOR UTERI Harry kurniawan Gondo Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRACT Cervix cancer represent disease of fatal ferocity able to be prevented. Cause of cervix cancer is papillomavirus human (high Onkogenik risk HPV), especially HPV-16 and 18. Structurally, HPV divided of URR, ER,DAN LCR where ER protein code of E1, E2, E3, E4, E5, E6, and E7 having the character and oncogenic of LCR code of L1 and L2 having the character of imunogenik. Infection of HPV result displasia able to round into cervix cancer in situ and of invasif. Vaccine can prevent 65% infection, 95% infection of persisten, 100% situation of epitel abnormalitas. Vaccine of HPV passed to better rekombinan of them which not yet conducted active sexual relation and earn also at age 9-55 year. Its counted 3 times injection 0,5 ml at muscle of deltoideus mediolateral first, second, to six month. Ability of proteksi 5 year and not be found by serious reaction as vaccination complication. Keyword: Vaccine of HPV, cervix cancer. I. Latar Belakang Masalah Sampai saat ini, kanker serviks masih merupakan masalah kesehatan perempuan Indonesia sehubungan dengan insiden dan mortalitas yang tinggi. World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2000, di seluruh dunia terdapat 6,25 juta kanker baru pertahun dan dalam waktu 10 tahun mendatang diperkirakan akan terjadi 9 juta kematian akibat kanker, sebagian besar 75-80% terdapat di negara berkembang. Padan negara maju, kanker serviks menempati urutan kedua setelah kanker mamma, sedangkan di Indonesia, kanker serviks menempati urutan pertama dan prevalensinya relative stabil dalam tiga dasa warsa. Hingga saat ini kanker serviks merupakan penyebab kematian 30 terbanyak akibat penyakit kanker di negara berkembang. Pajanan Human Pappiloma Virus (HPV) dianggap sebagai promoter dan mungkin inisiator, sedangkan faktor resiko lainnya sebagai inisiator. Manifestasi klinis dari proses molukuler dan seluler adalah metaplasia dan displasia di mana hal ini dapat dideteksi baik dengan dengan pemeriksaan sitologis dari bahan pap smear maupun dengan pemeriksaan histopatologis dari bahan biopsi serviks. Penemuan vaksin ini merupakan salah satu terobosan yang sangat besar dalam bidang ilmu kedokteran khususnya bidang onkologi ginekologi. Diharapkan pada tahun-tahun mendatang dengan semakin disebarluaskannya informasi dan penggunaan vaksin Human Papilloma Virus, angka kejadian kanker mulut rahim dapat ditekan dan mungkin dieradikasi terutama pada negara berkembang seperti negara kita ini. II. ETIOLOGI KANKER SERVIKS II.1 Human Papilloma Virus (HPV) HPV termasuk golongan pavovavirus yang merupakan virus DNA yang dapat bersifat memicu terjadinya perubahan genetik. HPV berbentuk ikosahedral dengan ukuran 50-55 nm, 72 kapsomer, dan 2 protein kapsid. HPV merupakan suatu virus yang bersifat “non enveloped” yang mengandung “double stranded DNA”. Virus ini juga bersifat epiteliotropik yang dominan menginfeksi kulit dan selaput lendir dengan karakteristik proliferasi epitel pada tempat infeksi. Infeksi virus HPV telah dibuktikan menjadi penyebab lesi prekanker, kondiloma akuminata, dan kanker. Meskipun HPV menyerang wanita, virus ini juga mempunyai peran dalam timbulnya kanker anus, vulva, vagina, penis, dan beberapa kanker orofaring. Virus ini menginfeksi membrana basalis pada daerah metaplasia dan zona transformasi serviks. Setelah menginfeksi sel epitel serviks sebagai upaya untuk berkembang biak, virus ini akan meninggalkan sekuensi genomnya pada sel inang. Genom HPV berupa episomal (bentuk lingkaran dan tidak terintegrasi dengan DNA inang) dijumpai pada Carcinoma Insitu (CIN) dan berintegrasi dengan DNA inang pada kanker invasif. Pada percobaan invitro HPV terbukti mampu mengubah sel menjadi immortal. Gambar 1. Human Papilloma Virus 31 Hasil pemeriksaan sekuensi DNA yang berbeda hingga saat ini dikenal lebih dari 200 tipe HPV.Kebanyakan infeksi HPV bersifat jinak. Tigapuluh diantaranya ditularkan melalui hubungan seksual dengan masing-masing kemampuan mengubah sel epital serviks. Tipe risiko tinggi seperti tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69 dan mungkin tipe yang lain berhubungan dengan displasia sedang sampai karsinoma in situ. Tipe virus resiko tinggi biasanya menimbulkan lesi rata dan tak terlihat jika dibandingkan dengan tipe tipe resiko rendah yang menimbulkan pertumbuhan seperti jengger ayam pada tipe 6 dan 11 atau dikenal sebagai kondiloma akuminata. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90 % kanker serviks disebabkan oleh HPV dan 70 % diantaranya disebabkan oleh tipe 16 dan 18, Dari kedua tipe ini HPV 16 menyebabkan lebih dari 50 % kanker serviks. Apabila seseorang yang sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki kemungkinan terkena kanker serviks sebesar 5 %. Kanker serviks yang di sebabkan HPV umumnya berjenis keganasan sel gepeng. Gambar 2 Genom HPV , Invasi dan Replikasi Virus Siklus hidup HPV belum diketahui secara sempurna, tetapi proses timbulnya lesi sudah banyak diketahui. Tempat infeksi pertama adalah pada sel basal atau sel basal dari epitel gepeng yang belum matur. Infeksi HPV yang terjadi pada sel basal tersebut dibagi menjadi 2 jenis yaitu: 1. Infeksi Virus laten, yakni infeksi virus yang tidak menghasilkan virus yang infeksius. Pada saat ini yang terjadi adalah virus tidak berhasil melekat pada permukaan sel tetapi gagal melakukan perkembangbiakan dan tidak terjadi pematangan dari partikel – partikel virus. Pada fase ini kelainan struktur sel tidak ditemukan dan HPV hanya bias dideteksi dengan metode biomolekuler. 2. Fase produktif, yakni terjadinya pembentukan DNA virus dan membentuk DNA yang infeksiosus yang disebut virion. Pembentukan DNA virus ini terjadi di sel intermediet dan permukaan epitel sel gepeng. Virion kemudian menjadi banyak jumlahnya dan membentuk efek merusak sel yang bias dideteksi dengan cara sitologi dan histopatologi. 32 Gambar 3 Patogenesis HPV Terjadinya keganasan akibat infeksi dari HPV harus memahami terlebih dahulu tentang genom dari HPV. Bangun HPV terdiri atas 3 subbagian yaitu: URR (Upstein Regulatory Region), ER ( Early Region), dan LR (Late Region). URR adalah bagian nonkode yang berperan penting pada pengaturan pembentukan dan transkrip pada rangkaian ER (Early region). ER dan LR mengandung cetakan bacaan yang terbuka ( Open Reading Frame = ORFs) yaitu bagian genom yang punya kemampuan untuk membaca jenis protein. ER terbentuk pertama kali pada siklus hidup virus dan mengkode protein yang sangat berperan pada pembentukan virus, sedangkan LR dibentuk kemudian untuk mengkode struktur protein virus. URR juga adalah bagian regulator yang sangat kompleks di mana peranan dan fungsi yang pasti dalam siklus hidup virus belum diketahui dengan jelas. Bagian ini mengandung tempat ikatan berbagai faktor transkrip seperti protein activator, faktor transkrip keratinositik spesifik, dan faktor transkrip lainnya. Ikatan-ikatan ini diatur oleh Early Region ORFs. Early Region ORFs mengkode protein yang diperlukan pada proses kerja dari protein E1, E2, E4, E5, E6, dan E7. E1 dan E2 mengkode protein DNA dan mengatur proses transkripsi. E4 mengkode rangkaian protein yang penting pada proses pematangan dan pembentukan virus. E5 mengkode protein dan punya daya transformasi pada HPV. Tabel 1 : Fungsi E dan L Protein pada transformasi gen E Protein Perananya E1 Mengontrol pembentukan DNA virus dan mempertahankan efisomal E2 Mengontrol pembentukan / transkripsi / transformasi E4 Mengikat sitokeratin E5 Transformasi melalui reseptor permukaan (epidermal growt factor, platelet derivat growth factor, p123) E6 Immortalisasi / berikatan dengan p 53, trans activated / kontrol transkripsi E7 Immortalitas / berikatan dengan Rb1,p107,p130 33 L Protein Peranannya L1 Protein sruktur / mayor Viral Coat Protein L2 Protein sruktur / minor Viral Coat Protein Peranan E6 dan E7 ORFs sangat penting dalam proses transformasi gen. Hal ini dapat dibuktikan dengan penemuan E6 dan E7 HPV tipe onkogenik tinggi seperti 16 dan 18 pada kultur jaringan sel yang telah mengalami proses transformasi invitro. E6 dan E7 selalu ditemukan pada kenker serviks. Hal ini menunjukan peranan E6 dan E7 diperlukan untuk proses pembentukan kanker. Bila kontrol E6 dan E7 hilang, maka akan terjadi ekspresi yang berlebihan dari E6 dan E7 yang sangat berperan dalam proses pembentukan kanker. Infeksi primer dari HPV terjadi pada sel lapisan basal dan parabasal. Setelah terjadi penetrasi dari virus maka partikel virus yang terdiri atas L1 dan L2 berinteraksi dengan molekul di permukaan sel target sehingga mempermudah masuknya DNA virus ke sel target. E1 dan E2 masing-masing mengkode DNA binding protein yang berfungsi untuk menjaga stabilitas virus. Protein E1 berperan dalam proses inisiasi dan elongasi dari pembentukan DNA, sedangkan E2 berperan dalam regulasi positif dan negatif dari ekspresi gen melalui interaksi dengan early promoter. Protein E6 dan E7 berperan dalam proliferasi melalui mekanisme yang mengganggu sistem kontrol siklus sel target dan aktivasi sintesis DNA. Zona peralihan pada kanker serviks merupakan tempat utama dari infeksi HPV. Setelah terjadi infeksi HPV virus akan menuju ke sel basal dari epitel serviks dan mengadakan pembentukan di sitoplasma sel basal serta mengekspresikan protein virus E1, E2, E4, E5, E6, E7. Sel basal yang terinfeksi ini berdiferensiasi dan melakukan migrasi ke permukaan dan mulai mengekspresikan protein L1 dan L2. Pada sel-sel epitel yang terinfeksi HPV tersebut, virus akan terintegrasi pada kromosom penjamu dan mengekspresikan protein E6 dan E7 yang akan mengikat protein p53 dan Rb. 34 Gambar 4. Filogenetik HPV Pada HPV yang menyebabkan keganasan, protein yang berperan banyak adalah E6 dan E7. mekanisme utama protein E6 dan E7 dari HPV dalam proses perkembangan kanker serviks adalah melalui interaksi dengan protein p53 dan retinoblastoma (Rb). Protein E6 mengikat p 53 yang merupakan suatu gen supresor tumor sehingga sel kehilangan kemampuan untuk mengadakan apoptosis. Sementara itu, E7 berikatan dengan Rb yang juga merupakan suatu gen supresor tumor sehingga sel kehilangan sistem kontrol untuk proses proliferasi sel itu sendiri. Protein E6 dan E7 pada HPV jenis yang resiko tinggi mempunyai daya ikat yang lebih besar terhadap p53 dan protein Rb, jika dibandingkan dengan HPV yang tergolong resiko rendah. satu-satunya penyebab terjadinya kanker serviks. HPV tipe 16 dan 18 menyebabkan 68% keganasan tipe skuamosa dan 83% tipe adenokarsinoma. Meskipun infeksi HPV biasanya tanpa gejala infeksi pada serviks bisa menghasilkan perubahan secara histologi yang digolongkan dalam Cervikal intraepitelial Neoplasma (CIN) derajat 1, 2, 3 didasarkan pada derajat kerusakan dari sel epitel pada serviks atau adenokarsinoma insitu. CIN 1 biasanya sembuh spontan ( 60% dari seluruh kasus) dan beberapa berkembang ke arah keganasan ( 1% ). CIN 2 dan 3 memiliki persentase sedikit untuk sembuh spontan dan memiliki persentase yang tinggi untuk berkembang ke arah keganasan. b. Kanker Vulva dan Vagina II.2 Beberapa Penyakit ditimbulkan oleh infeksi HPV yang a. Kanker servik HPV berperan dalam menyebabkan terjadinya kanker serviks tetapi bukan Tidak semua keganasan pada vulva dan vagina disebabkan infeksi HPV. HPV tipe 16 adalah yang terbanyak ditemukan pada keganasan vulva dan vagina. HPV dihubungkan dengan sekitar setengah dari penyebab keganasan dari vulva dan vagina. Beberapa penelitian , HPV tipe 16 35 dan 18 terdeteksi pada 76% dari keganasan intraepitelial vagina dann 42% dari kanker vulva. c. Kanker Anal HPV dihubungkan pula dengan sekitar 90% dari keganasan anal jenis sel skuamosa . d. Kondiloma Akuminata Semua kondiloma akuminata disebabkan oleh infeksi HPV, dan 90% dihubungkan dengan infeksi HPV tipe 6 dan tipe 11. Kondiloma biasanya terjadi setelah 2 – 3 bulan terjadinya infeksi HPV pada daerah anogenital, tetapi tidak semua wanita yang terinfeksi HPV menimbulkan kondiloma pada daerah anogenital. Kondiloma bisa diobati meskipun pada beberapa kasus bisa hilang dengan sendirinya. Angka kekambuhan pada kondiloma cukup tinggi yaitu 30% e. Respiratori Papillomatosis Berulang Infeksi HPV yang resiko rendah, yaitu tipe 6 dan 11 bisa menyebabkan papillomatosis respiratori yang berulang. Penyakit ini ditandai dengan timbulnya papiloma pada daerah laring. Biasanya timbul pada usia muda. Papillomatosis ini dipercaya sebagai akibat transmisi vertikal dari ibu yang terinfeksi ke bayinya saat melahirkan. III. VAKSIN HUMAN PAPPILOMA VIRUS (HPV) Vaksin kanker pada awal perkembangannya dimulai dari lisan tumor sendiri, kemudian berkembang dengan sasaran tumor associated antigen, yaitu molekul yang diekspresikan oleh tumor dan tidak oleh sel normal. Selanjutnya digunakan peptida atau DNA sebagai antigen. Antigen DNA biasanya lemah dan untuk memperkuat potensi imunogeniknya dilakukan dengan berbagai rekayasa. Vaksin dibuat dengan teknologi rekombinan, vaksin berisi VLP (virus like protein) yang merupakan hasil cloning dari L1 (viral capsid gene) yang mempunyai sifat imunogenik kuat. Dengan diketahuinya infeksi HPV sebagai penyebab kanker serviks , maka terbuka peluang untuk menciptakan vaksin dalam upaya pencegahan kanker serviks. Dalam hal ini dikembangkan 2 jenis vaksin: 1. Vaksin pencegahan untuk memicu kekebalan tubuh humoral agar dapat terlindung dari infeksi HPV. 2. Vaksin Pengobatan untuk menstimulasi kekebalan tubuh seluler agar sel yang terinfeksi HPV dapat dimusnahkan. Respon imun yang benar pada infeksi HPV memiliki karakteristik yang kuat, bersifat lokal dan selalu dihubungkan dengan pengurangan lesi dan bersifat melindungi terhadap infeksi HPV genotif yang sama . Dalam hal ini, antibodi humoral sangat berperan besar dan antibodi ini adalah suatu virus neutralising antibodi yang bisa mencegah infeksi HPV dalam percobaan invitro maupun invivo. Kadar serum neutralising hanya setelah fase seroconversion dan kemudian menurun. Kadar yang rendah ini berhubungan dengan infeksi dari virus. HPV yang bersifat intraepitelial dan tidak adanya fase keberadaan virus di darah pada infeksi ini. Selanjutnya protein L1 diekspresikan selama infeksi produktif dari virus HPV dan partikel virus tersebut akan terkumpul pada permukaan sel epitel tanpa ada proses kerusakan sel dan proses radang dan tidak terdeteksi oleh antigen presenting cell dan makropag. Oleh karena itu partikel virus dan kapsidnya terdapat dalam kadar yang rendah pada kelenjar limfe dan limpa, di mana kedua organ tersebut adalah organ yang sangat berperan dalam proses kekebalan tubuh. Meskipun dalam kadar yang rendah, antibodi tersebut bersifat protektif terhadap infeksi virus HPV, sehingga 36 dikembangkan suatu vaksin yang didasarkan pada mekanisme kerja virus neuralising antibodi terhadap protein kapsid yang bersifat mencegah terhadap infeksi HPV. Imunodominant neutralising epitopes terlokalisasi pada protein kapsid L1, yang kemudian bergabung menjadi suatu kapsid yang kosong atau virus like particle yang secara bentuk dan antigenik sangat identik dengan virion aslinya. Kemudian dengan bantuan teknologi yang canggih, dikembangkan suatu HPV L1 VLP subunit vaksin. III.1 Respon Infeksi HPV Imunologi Terhadap Sistem kekebalan tubuh terdiri atas dua bagian besar, yaitu sistem kekebalan humoral dan sistem kekebalan seluler yang keduanya berperan pada respon imunologis terhadap infeksi HPV. Sistem kekebalan humoral banyak diperankan oleh sel B dengan pembentukan imunoglobulin, sedangkan sistem kekebalan seluler benyak diperankan oleh sel T, baik sel T sitotoksis maupun sel T helper. Pada sistem kekebalan humoral antigen yang masuk akan berinteraksi dengan antibodi dan selanjutnya akan mengaktivasi sel B menjadi sel plasma yang membentuk antibodi (imunoglobulin), proses aktivasi ini dibantu oleh sel T helper. Sementara itu, pada sistem kekebalan seluler (cell mediated imunity) antigen terlebih dahulu diproses oleh Antigen Presenting Cell (APC) dan tergantung dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Virus sebagai partikel obligat intraseluler dengan menginfeksi sel dan berperan sebagai imunogen yang memberikan efek sitopatik dan nonsitopatik pada sel. Reaksi tubuh melawan imunogen virus adalah dari tanpa pembentukan antibodi sampai dengan respon imun seumur hidup. Ketika virus memasuki suatu sel , hal ini berarti pengambil alihan terhadap pembentukan dari aparatus sel penjamu. Protein virus diproduksi secara endogen oleh sel yang terinfeksi dan dirusak secara intraseluler menjadi peptida-peptida sekitar sembilan asam amino. Peptidapeptida ini kemudian dihadirkan pada permukaan sel penjamu yang terinfeksi oleh molekul – molekul dari Major Histocompatibility Complex (MHC) yang juga dikenal sebagai Human Leukocyte Antigen (HLA). Kompleks gen MHC ini adalah suatu polimorphic dan merupakan HLA kelas I yang terdapat sekitar 50 alel pada lokus A dan C dan 100 alel B yang berbeda. Molekul HLA kelas 1 terdiri atas 2 rantai protein, yaitu MHC yang menyandi rantai alfa dan yang sangat berhubungan dengan rantai beta 2 mikroglobulin. Pada bagian atas dari molekul HLA kelas 1 adalah suatu alur tempat protein virus terikat. Terdapat 3 gambaran penting pada sistem ini, yaitu: 1. Molekul HLA menghadirkan / memberikan peptida asing ke limpisit T yang memiliki kemampuan untuk menghancurkan sel-sel yang terinfeksi virus 2. Dikenalnyan HLA yang mengikat peptida oleh reseptor sel T adalah HLA yang tertentu saja. Peptida asing hanya dapat dikenali jika sel target memiliki molekul HLA yang sama dengan sel T itu sendiri. 3. Peptida yang tepat dihadirkan oleh molekul HLA kelas I adalah spesifik alel saja. Pada respon kekebalan tubuh seluler yang diperantarai oleh sel T, terdapat 2 kelas utama sel T yaitu CD 8 yang mengekspresikan Cytotoxic T Lymphocytes (CTL) dan CD 4 menghasilkan antibodi dan tidak dapat 37 mengenali antigen yang dapat larut (soluble antigen). Reseptor sel T (TCR) dari kedua kelas tersebut berhubungan secara langsung dengan antigen peptida yang dihadirkan oleh molekul HLA pada permukaan sel yang lain. CTL ini berinteraksi dengan HLA kelas I, sedangkan T helper cell mengenali antigen yang dihadirkan oleh molekul kelas II. Molekul kelas II MHC diekspresikan pada antigen penting cell (APC) dari sistem imunologi seperti makropag dan sel dendrit. Sel T tertentu hanya akan mengenali suatu peptida asing tertentu. Ikatan spesifik pada peptida ini menyebabkan sel T mengalami pengembangan klonal yang cepat, mengalami proliferasi dan membentuk suatu klon dari sel T yang identik dengan spesifitas yang sama untuk masingmasing target antigen. CTLs yang sudah diaktifkan dapat menempel pada sel target selularnya dan menyebabkan lisis dengan cara melepaskan cytotoxin. T sel helper yang aktif mensekresi sitokin yang merupakan molekul protein dengan efek perangsangan terhadap sel-sel lain dari sistem kekebalan tubuh. Antigen presenting cell (APC) sangat penting untuk sistem kekebalan yang efektif. APC mengambil alih protein eksogen atau produknya lalu diproses menjadi peptida – peptida dan dipindahkan ke nodus limfa regional yang nantinya akan berinteraksi dengan T helper cell. Antigen yang dihadirkan oleh APC dapat mencapai seribu kali lebih merangsang sistem imun dibandingkan antigen yang asli. Imunogen yang masuk dalam tubuh akan dilawan oleh tubuh melalui sel NK, T helper cell-CD4, T sitotoksik sel–CD 8. Sel T sitotoksik (Ts) sebagai sub bagian limfosit memberikan respons kekebalan tubuh seluler dan humoral. Respon kekebalan tubuh seluler melalui reaksi hipersensitivitas tipe lambat (delayed type hypersensitivity) dan sitolitik yaitu aktivasi antigen yang terikat pada MHC kelas II yang akan merangsang perpindahan CD3 dan 4 dari thymus, selanjutnya terikat pada reseptornya dan CD3 dan 4 tersebut menjadi Th-0 dan Th1 yang menghasilkan IL-2, IF-γ, TNF-β dan juga diproduksi oleh sel NK. Th-1 memperluas pengaruh reaksi delayep type hypersensitivity dengan mengatur peredaran makrofag,limfosit dan neutrofil ke area infeksi. Selain itu, IFN- γ akan menstimulasi sel NK untuk berproliferasi dan selanjutnya melepaskan IFN- γ yang akan merangsang sel makropag untuk melepaskan IL-2 lebih banyak lagi. IL-2 akan menstimulasi sel NK untuk memproduksi IFN- γ sehingga akan terjadi mekanisme umpan balik antara IL2 yang dihasilkan oleh makropag dengan IFN- γ dari sel NK yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan dan kematian sel terinfeksi virus. Sel Ts mengontrol keseimbangan respon kekebalan tubuh melalui penekanan fungsi sel Th dan reaksi langsung ke sel B. Sel Ts mengekspresi CD8 dan spesifik untuk epitop antigen spesifik atau untuk petanda idiotipe pada reseptor antigen-antibodi sel B atau Ts di mana sel Ts dan regulasi idiotipenya bekerja sama satu dengan yang lain. III.2 Respon kekebalan tubuh pada kanker serviks terhadap pajanan HPV Secara umum respons cell mediated immunity memainkan peran yang penting dalam mengatasi infeksi virus. Tidak terdapat penurunan kejadian lesi yang dihubungkan dengan HPV pada pasien dengan humoral imunodifeciency. Hal ini mengidentifikasi bahwa walaupun respons antibodi mungkin memainkan peran, mekanisme cell mediated immunity (CMI) penting dalam melawan HPV. Selain itu mekanisme CMI yang penting adalah terdapat infiltrasi seluler menyerupai reaksi hipersensitifitas tipe 4 pada pasien dengan warts. Saat respons kekebalan tubuh yang efektif menurun 38 terjadi peningkatan resiko persisten virus dan perkembangan neoplasma . Faktor lain yang ikut berperan adalah infeksi tidak menyebabkan hal yang berbahaya bagi penjamu sehingga sering diabaikan . Hanya pada stadium akhir dari lesi saat lesi yang lebih besar berkembang, antigen mungkin terlepas dalam melawan infeksi secara aktif. Dengan demikian, kegagalan respons kekebalan tubuh telah diduga sebagai faktor utama dalam perkembangan neoplasia serviks. Sel Langerhans, suatu antigen presenting cell (APC) terdapat pada epitel serviks yang berperan untuk mengambil, memproses dan mentransportasi antigen ke kelenjar getah bening pelvis kemudian menuju ke serviks. Di sini terjadi induksi sel T dan respons CTL melawan HPV secara umum. Peptida antigen protein virus dipresentasikan oleh APC dalam kaitannya dengan HLA kelas II terhadap sel Th dan dengan HLA kelas I terhadap CTL. Dengan demikian, ekspresi HLA kelas I pada sel target penting bagi CTL untuk mengatur dan sekaligus menghancurkannya. Sel Th tipe 1 (Th-1) mensekresi IFN- γ, TNF β, IL-2, yang berperan dalam respons CTL dalam delayed type hypersensitivity sel Th tpe 2 mensekresi IL-4, IL-5 dan IL 10 yang penting untuk induksi respons antibodi Ig G dan Ig E. sehingga selama tidak terjadi pecahnya sel penjamu, infeksi ini tidak menyebar. Dengan demikian, CTL akan menjadi mekanisme yang lebih efektif pada pertahanan awal melawan HPV dibandingkan dengan antibody penetral yang berperan dalam mencegah infeksi ulang. Protein target virus untuk kedua mekanisme tersebut dinyatakan dalam level yang berbeda pada lapisan epitel selama siklus sel normal. CTL akan menargetkan sel yang utuh dari lapisan sel yang intermediate di mana terjadi transkripsi dan pembentukan protein virus E1, E2, E5, E6, dan E7 yang ditemukan pada lapisan sel tersebut. Protein kapsid L1 dan L2 adalah target relevan untuk antibodi penetral. Virion HPV adalah suatu partikel ikosahedral yang terdiri dari kapsid protein yang bersifat tidak beramplop dan double stranded DNA. Genomnya kirakira sepanjang 8000 pasang basa dan mengandung 6 ORFs (open reading frame) awal dan 2 ORFs akhir yang mengkode protein HPV (E1,E2, E4, E5< E6, E7, L1 dan L2) Sel T yang berasal dari sitokin anti viral IFN- γ bersama dengan antibodi penetral akan mengontrol infeksi virus yang menyebabkan pecahnya sel dengan menghambat penbentukan virus yang menginfeksi sel penjamu sebelum infeksi virion baru dapat diproduksi adalah mekanisme yang paling efektif untuk mengontrol virus yang tidak menyebabkan pecahnya sel. Namun antibody penetral mungkin juga penting untuk mencegah infeksi dengan melepas virion setelah sel terinfeksi pecah. HPV secara khusus merupakan patogen pada lapisan epitel dengan cara menginfeksi sel-sel parabasal pada permukaan epitel serviks yang secara normal tumbuh ke permukaan dan berdiferensisi menjadi sel gepeng yang matur. Ketika terjadi infeksi HPV, protein virus awalnya diekspresikan pada lapisan yang lebih bawah dan kemudian terjadilah pembentukan virus. Jika sel-sel yang terinfeksi mencapai lapisan permukaan, maka L1 dan L2 ORFs akan diekspresikan. Protein-protein ini membentuk kapsid virus dan melepaskan virion matur melalui sel-sel yang terkelupas. Infeksi HPV pada serviks biasanya merupakan suatu proses yang bervariasi mulai dari yang jinak sampai ganas. Pada prinsipnya HPV adalah virus yang tidak menyebabkan pecahnya sel, HPV bersifat patogen murni intraepitelial, di mana tidak menyebabkan 39 suatu penyebaran virus di darah atau manifestasi ke seluruh tubuh, tidak bersifat merusak sel, infeksi virus dan pembentukannya tidak disertai radang . Tipe dari infeksi kronik ini tidak terjadi kerusakan jaringan dan pengaktipan respons radang. Kemampuan lesi HPV untuk bertahan selama bertahun-tahun adalah sesuai dengan keberadaan HPV sebagai suatu agen infeksi yang secara ilmiah imunogenitasnya rendah. Akan tetapi seperti yang telah dibahas sebelumnya, selalu terdapat sistem kekebalan tubuh dalam membatasi dan memberantas infeksi HPV. Virus yang patogen lebih rentan dalm netralisasi oleh antibodi yang spesifik yang juga memainkan peran dalam terjadinya infeksi oleh virus melalui antibodi yang tergantung pada sitotoksis seluler. Antibodi HPV dapat berfungsi secara bermakna dan pada kadar tertentu, antibodi tersebut bisa dijadikan marker dari status infeksi dan hal ini sebaiknya selalu dipantau untuk mengetahui perjalanan penyakit. Beberapa penelitian telah menyelidiki hubungan antara serum antibodi melawan protein HPV tipe 16 pada kanker serviks dan didapatkan seropositif yang lebih besar secara bermakna pada pasien dibandingkan dengan kontrol. Telah dilaporkan bahwa seropositif terhadap E7 HPV tipe 16 kemungkinan berhubungan dengan stadium penyakit dan berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk . Terbentuknya kekebalan humoral terhadap HPV dalam hubungannya dalam perjalanan penyakit mengandung pengertian bahwa antibodi yang terbentuk akibat dari pemaparan yang berkepanjangan terhadap antigen dan peningkatan muatan virus. Dalam hal ini sistem kekebalan memainkan peran yang penting dalam menghancurkan sel – sel yang terinfeksi virus walaupun masih tetap ada kemungkinan bahwa antibodi akan melawan langsung capsid protein HPV (terutama L1) yang dapat menetralisir partikel virus dalam pencegahan dan pengendalian infeksi primer. Sementara itu didapatkan beberapa penelitian yang melaporkan hubungan dari antibodi melawan capsid HPV tipe 16. Virus Neutralising antibodies dapat mencegah infeksi. Pada kadar tertentu, serum spesifik IgG memberikan perlindungan dengan cara mengeksudasi ke permukaan dan mengaktifasi patogen. Pada kasus infeksi HPV, vaksinasi pencegahan yang efektif dibutuhkan untuk membangkitkan antibodi yang spesifik pada epitel serviks yang secara langsung melawan kapsid protein L1 dari HPV ( yang memainkan peran dalam masuknya virus ke sel host). Akan tetapi, jika sel keratin serviks telah mengalami perubahan menjadi keganasan, proses diferensiasi tidak akan terjadi sehingga tidak akan terjadi pengikatan antibodi spesifik pada epitel serviks yang secara langsung melawan capsid antigen. Ekspresi E6 dan E7 secara terus menerus sangat dibutuhkan oleh sel dalam perubahan ke arah keganasan, maka pembangkitan CTLs spesifik secara langsung melawan peptida E6 dan E7 akan menyebabkan penghancuran sel-sel tumor yang terinfeksi virus. III.3 Efektifitas Vaksin Pada penelitian didapatkan bahwa vaksin bivalen HPV 16/18 VLP sangat efektif menurunkan angka kejadian infeksi HPV dan infeksi menetap HPV 16/18 pada individu yang sudah mendapat vaksinasi lengkap HPV ada wanita muda. Efektifitas vaksin juga sangat tinggi pada wanita yang tidak mendapatkan protokol vaksin secara lengkap. Efektifetas vaksin dihubungkan dengan infeksi menetap HPV 16 dan 18, abnoramalitas dari pemeriksaan sel serviks yang dihubungkan dengan infeksi HPV 16 dan 18., dan angka kejadian CIN 40 yang dihubungkan dengan infeksi HPV 16 dan 18. Vaksin HPV 16/18 VLP ini akan merangsang produksi antibodi yang kadarnya masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar antibodi yang dihasilkan oleh tubuh sebagai respons alami dari infeksi virus HPV, respons kekebalan tubuh yang ditimbulkan memiliki daya perlindungan yang lebih lama jika dibandingkan dengan respons kekebalan tubuh yang ditimbulkan oleh infeksi alami HPV. Vaksin bivalen HPV 16 dan 18 sangat aman dan ditoleransi oleh wanita yang mendapatkan vaksin tersebut. Vaksin HPV ini sangat baik untuk memberikan perlindungan terhadapa infeksi HPV pada populasi yang rutin dilakukan pemeriksaan rutin serviks maupun yang tidak rutin melakukan pemeriksaan. Pada negara yang sudah menjalankan program pemeriksaan rutin serviks secara berkala dengan benar, vaksin ini juga memiliki efektifitas yang sangat tinggi terhadap upaya pencegahan abnormalitas dari hasil pemeriksaan sel serviks yang dihubungkan dengan infeksi HPV tipe 16 dan 18. Di Amerika serikat telah dihitung preventable unit cost dari vaksin ini berkisar jutaan dolar tiap tahunnya. Proteksi NIS 2/3 karena HPV 16 dan 18 pada yang di vaksinasi mencapai 100%, dan proteksi 100% dijumpai sampai 2-4 tahun pengamatan. Pemberian vaksinasi pada populasi, menurunkan kejadian infeksi HPV 16/18 (infeksi HPV persisten berkisar 85-100%. Vaksin bivalen (HPV tipe 16 dan 18) mempunyai proteksi silang terhadap HPV tipe 45 (dengan efektifitas 94%) dan HPV tipe 31 ( dengan efektifitas 55%). III.4 Masa Perlindungan Data tentang percobaan tentang HPV vaksin ditunjukkan bahwa kadar antibodi menurun setelah mencapai puncaknya setelah imunisasi dan kemudian menetap (plateau), tetapi masih lebih tinggi dibandingkan dengan respons kekebalan tubuh yang timbul pada infeksi alami dari virus HPV dan kadar tersebut menetap pada 48 bulan setelah vaksinasi. infeksi HPV bisa terjadi berulang setelah beberapa tahun dan resiko mendapat infeksi baru sangat bergantung pada perilaku seksual dari individu tersebut. Oleh karena itu, natural booster pada individu yang telah mendapat vaksin dan kemudian mendapat paparan terhadap infeksi virus HPV setelah masa perlindungan vaksin belum bisa dibuktikan. Kadar antibodi kapsid pada infeksi alami dari virus HPV biasanya stabil pada beberapa tahun dan bila diikuti, sebesar 50% dari wanita akan menghasilkan seropositif pada 10 tahun setelah ditemukannya infeksi virus HPV pada daerah cervico genital. III.5 Sasaran dan Waktu pemberian Vaksin Vaksin profilaksis akan bekerja efisien bila vaksin tersebut diberikan sebelum individu terpapar infeksi HPV. Vaksin mulai dapat diberikan pada wanita usia 10 tahun. Berdasarkan pustaka vaksin dapt diberikan pada wanita usia 10-26 tahun (rekomendasi FDA-US), penelitian memperlihatkan vaksin dapat diberikan sampai usia 55 tahun. Infeksi HPV yang menyerang organ genetalia biasanya ditularkan melalui hubungan seksual, dan imunisasi diberikan untuk melakukan perlindungan terhadap sejumlah besar penyakit yang dihasilkan oleh infeksi virus tersebut. Selain itu vaksin diberikan pada usia tersebut maka respon kekebalan tubuh yang dihasilkan akan lebih besar dibandingkan bila diberikan setelah pubertas, baik pada wanita maupun pada pria. Vaksinasi pada pria belum 41 menghasilkan memuaskan. efektifitas yang III.6 Sediaan dan Komposisi Terdapat dua jenis vaksin HPV L1 VLP yang sudah dipasarkan melalui uji klinis, yakni Cervarik dan Gardasil : a. Cervarix Adalah jenis vaksin bivalen HPV 16/18 L1 VLP vaksin yang diproduksi oleh Glaxo Smith Kline Biological, Rixensart, Belgium. Pada preparat ini, Protein L1 dari HPV diekspresikan oleh recombinant baculovirus vector dan VLP dari kedua tipe ini diproduksi dan kemudian dikombinasikan sehingga menghasilkan suatu vaksin yang sangat merangsang sistem imun . Preparat ini diberikan secara intramuskuler dalam tiga kali pemberian yaitu pada bulan ke 0, kemudian diteruskan bulan ke 1 dan ke 6 masingmasing 0,5 ml b. Gardasil Adalah vaksin quadrivalent 40 μg protein HPV 11 L1 HPV ( GARDASIL yang diproduksi oleh Merck) Protein L1 dari VLP HPV tipe 6/11/16/18 diekspresikan lewat suatu rekombinant vektor Saccharomyces cerevisiae (yeast). Tiap 0,5 cc mengandung 20μg protein HPV 6 L1, 40 μgprotein HPV 11 L1, 20 μg protein HPV18 L1. Tiap 0,5 ml mengandung 225 amorph aluminium hidroksiphosphatase sulfat. Formula tersebut juga mengandung sodium borat. Vaksin ini tidak mengandung timerasol dan antibiotika. Vaksin ini seharusnya disimpan pada suhu 20 – 80 C. III.7 Dosis dan Cara Pemberian Vaksin ini diberikan intramuskuler 0,5 cc diulang tiga kali, produk Cervarix diberikan bulan ke 0,1 dan 6 sedangkan Gardasil bulan ke 0, 2 dan 6 (Dianjurkan pemberian tidak melebihi waktu 1 tahun). Pemberian booster (vaksin ulangan), respon antibodi pada pemberian vaksin sampai 42 bulan, untuk menilai efektifitas vaksin diperlukan deteksi respon antibodi. Bila respon antibodi rendah dan tidak mempunyai efek penangkalan maka diperlukan pemberian Booster. Vaksin profilaksis akan bekerja efisien bila vaksin tersebut diberikan sebelum individu terpapar infeksi HPV. Infeksi HPV yang menyerang organ genitalis biasanya ditularkan melalui hubungan seksual dan, dan imunisasi siberikan untuk melakukan perlindungan terhadap sejumlah besar penyakit yang dihasilkan oleh infeksi virus tersebut. Sebagai target populasi dari imunisasi ini adalah wanita sebelum puber dan usia remaja. Hal ini disebabkan pada usia – usia tersebut dimulainya aktivitas seksual seseorang. Sebaiknya vaksiniasi secara rutin diberikan untuk wanita umur 11 – 12 dengan dosis pemberian. Serial vaksin bisa dimulai saat wanita tersebut berumur 9 tahun. Selain itu vaksin juga direkomendasikan untuk diberikan pada umur 13 – 26 tahun yang tidak mendapat pengulangan vaksin atau tidak mendapatkan vaksin secara lengkap. Idealnya vaksin diberikan sebelum usia yang rentan kontak dengan HPV yaitu wanita yang akan memasuki usia seksual aktif sehingga wanita yang mendapat vaksinasi tersebut bisa merasakan keuntungan dari pemberian vaksin. Selain itu apabila vaksin siberikan pada usia tersebut, respons kekebalan tubuh yang dihasilkan akan lebih besar dibandingkan bila diberikan setelah pubertas. Vaksin dikocok lebih dahulu sebelum dipakai dan diberikan secara muskuler sebanyak 0,5 dan sebaiknya disuntikkan pada lengan (otot deltoid) 42 DAFTAR PUSTAKA 1. Andrijono,2007 . kanker Serviks, Jakarta. subbagian onkologi bagian obstetric dan ginekologi FK UI/RS Cipto Mangunkusumo. 2. Anonymous. 2007 Human Papillomavirus. Diakses dari http;//www.wikipedia.com 3. Aziz MF. 2005 Vaksin Human papillomavirus ; suatu alternatif dalam pengendalian kanker serviks di masa depan disampaikan dalam Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Obstetri dan Ginekologi. FKUI. 4. Family Comprehensive Centre. University Of Callifornia. Irvine Orenge California. USA.GLOBOCAN 2002 http;/www-dep.iarc.fr, Last accessed 24 th August 2006. 5. Geahart PT. 2006 Human papilloma virus. Departement Of Obstetric and Gynecology, Pennyslvannia Hospital. 6. Gianni S L, Hanon E, Morris P et al. 2006 Enhanced and memory B cellular imunity using HPV 16 and 18 L1 vlp vaccine formulated with theMPL / aluminium salt combination ( ASO 4 ) compared to alluminium salt only. Glaxo Smith Kline Biological. Belgium. 7. Harper DM, Franco EL, Wheeler C et al. 2004 Efficacy of bivalent L! Virus like particle vaccine in prevention of infection with Human papilloma virus type 16 and type 18 in young women : a randomised controlled trial . Departement of Obstertic and Gynecology And Community Of Family Medicine. Norris Cotton Cancer Centre, Darmouth Medical School, Hanover, USA. 8. Inglis S, Shaw A, Koenig S. 2006 HPV vaccine : commercial research and development. National Institute for Biological Standards And Control Mims Potter Bar. Hert Fordshire. USA. 9. Imam R,Henry S,2007. Vaksin Human Papilloma Virus dan Eradikasi Kanker Mulut Rahim.subbagian onkologi bagian obstetri dan ginekologi FK Brawijaya/RS Saiful Anwar. Malang 10. Jorma Paavonen, David jenkins et all, 2007. Efficacy of a prophylactic adjuvanted bivalent L1 virus-like-particle vaccine against infection with human papillomavirus types 16 and 18 in young women; an interim analysis of a phase III double- blind, randomised controlled trial.www.thalancet.com. 11. Kwane A. 2005 Carcinoma Of The Cervix : The role of Human papillomavirus and prospect for primary prevention. University Of Gnana Medical School. 12. Kouttsky LA, Ault KA, Wheeler C M et al, 2002 A controlled trial of a Human papillomavirus Type 16 vaccine. The New York Journal Of Medicine Vol 347: 1645-1650 13. Kalpana devaraj. 2003 Development of HPV vaccine for HPV. Associated head and neck squamous cell carcinoma. Departement of Pathology, Oncology, Obstetric And Gynecology. The John Hopkins Medical Instittion. Baltimore.USA. 14. Koutsky LA and Harper DM. 2006 Current finding from prophylactic HPV vaccine trials. Departement of Epidemiology, School of Public Health. University of Washington. Seattle.USA 15. Kane MA, Sherris J, Coursaget P et al. 2006 HPV vaccine use in developing world. Departement Of Immunization, Vaccine And Biologicals. World Health Organization . Geneva. Switzerland 16. Lynette denny, Hextan Y.S Ngan. 2006 Prevention and Treatment of HPV Associated Disease in the HPV Vaccine Era. International Journal Of Gynecology & Obstetrics vol 94. 17. LL Villa, RLR Costa et all. 2006 Hight susteined efficacy of a prophylactic quadrivalent human papilomavirus type 6/11/16/18 L1 virus-like particle vaccine through 5 years of follow – up.British Journal of Cancer . 1459-66 43 18. Lacey CJN, Lowndes CM, Shah KV. 2006 Burden and management of non-cancerous HPV-related condition: HPV 6/11 disease. 19. Lowy RD and Schiller JT. 2006 Prophylactic Human papilloma virus vaccines. Laboratory of cellular Oncology Center for Cancer Research, National Cancer Institute, NIH, Bethesda, Maryland. USA. 20. Lowy DR and Schiller JT. 1998 Papillomavirus and cervical cancer : pathogenesis and vaccine development. Journal Of The National Cancer Institute Monograph No 23; 27-30 21. Moscicki Ab, Schiffman M, Kjaer S, Villa LL. 2006 Updating the natural history of HPV and anogenital cancer. 22. Munoz N, Castellsague X Gonzales AB, Gissmann L. 2006 HPV in the Etiology of human cancer. Institute Catala d’Oncologia. Quai Fulchiron. Lyon. France. 23. Markowitz LE, Dunne FE, Saraiya M, et all. 2007 Quadrivalent Human Papilloma Virus Vaccine : Recommendation of the Advisory Committee on Immunonization Practices ( ACIP ). Departement Of Healt and Human Service Centre for Disease Control and Prevention. Atlanta USA. 24. Mahdavi Ali and Monk BJ. 2005 Vaccine against Human Papillomavirus and cervical cancer: promise and challenges. Division Of Gynecology Oncology Chao Family Comprehensive Centre. University Of Callifornia. Irvine Orenge California. USA. 25. Putra D, Moegni EM. 2006 Lesi prakanker serviks. Buku Acuan Nasional Onkologi. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta ;399-411 26. Smith PG. 2006 Studies to assess the long-term efficacy and effectiveness of HPV vaccination in develop and developing countries. Vaccine. ;24S3;S3233-41 27. Schwarz TF, Dubin GO, 2006 HPV Vaccine Study Investigation for Adulth Women Glaxo Smith Kline Biologicals. An AS04-containing human papillomavirus (HPV) 16/18 vaccine for prevention of cervical cancer is immunogenic and well tolerated in women 15-55 years old. Journal of clin Oncol. ASCO Annual Meeting Proceeding Part I;24. 28. Sjamsudin S,2000. Inspeksi Visual dengan aplikasi asam asetat (IVA), Suatu metode alternative skrining kanker serviks. Jakarta: subbagian onkologi bagian obstetric dan ginekologi FK UI/RS Cipto Mangunkusumo. 29. Surya Negara K, Suwiyoga K, Surya IGP, 2002. Human Papillomavirus pada kanker serviks dan Penyakit Menular Seksual, thesis. Lab Obstetri dan Ginekologi FK Unud Denpasar. 30. Schiller JT and Lowy DR. 2000 Papillomavirus like particle vaccine. Journal of The National Cancer Institute Monograph, No;28; 50 – 54 31. Taira A, Neukermans CP, Sanders GD. 2004 Evaluating Human Papillomavirus vaccination programs. Stanford School Of Medicine, Stanford University. Stanford. California. USA 32. Wrigth TC, Bosch FX, Franco EL, Cuzick J, Schiller JT, Garnett GP, Meheus A. 2006 HPV vaccines and screening in the prevention of cervical cancer; conclusions from a 2006 workshop of international experts. Vaccine;24S3;S3251-61. 44 SEKILAS TENTANG BIOTERORISME Akhmad Sudibya Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak : Bioterorisme adalah penggunaan bakteri jahat, virus, atau racun terhadap manusia, hewan, atau tanaman dalam upaya untuk menyebabkan kerusakan dan menciptakan rasa takut. Bioterorisme menggunakan produk mikroba atau mikroba. Ada empat mikroba populer biasanya dimanfaatkan oleh para teroris, yaitu Bacillus anthracis, Clostridium botulinum, Yersinia pestis dan virus cacar. Mikroba yang digunakan dalam bioterorisme diklasifikasikan menjadi tiga kategori. Kategori A adalah yang paling berbahaya di antara tiga kategori. Keywords: bioterorisme, petunjuk, agen biologis, senjata biologi, klasifikasi agen biologis, perang kuman, mikroba populer. OVERVIEW OF bioterrorism Akhmad Sudibya Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract : Bioterrorism is the malevolent use of bacteria, viruses, or toxins against humans, animals, or plants in an attempt to cause harm and to create fear. Bioterrorism utilizes microbe or microbial product. There are four popular microbes usually utilized by the terrorists, i.e. Bacillus anthracis, Clostridium botulinum, Yersinia pestis and smallpox virus. Microbes used in bioterrorism are classified into three categories. Category A is the most dangerous one among the three categories. Keywords : bioterrorism, clues, biological agents, biological weapons, classification of biological agents, germ warfare, popular microbes. Pendahuluan Pengertian Bioterorisme Bioterorisme belum banyak diuraikan pada buku-buku mikrobiologi kedokteran. Hanya sedikit buku yang membahas bioterorisme. Apalagi buku-buku mikrobiologi kedokteran berbahasa Indonesia. Artikel di media massa yang membicarakan bioterorisme juga sangat sedikit. Hampir tidak ada yang menyinggung – meskipun hanya sekilas – bioterorisme. Topik yang banyak ditulis adalah tentang terorisme bukan tentang bioterorisme. Oleh karena itu, penulis akan memulai tulisan ini dengan menguraikan beberapa hal yang berkaitan dengan bioterorisme. Bioterorisme berarti pemakaian mikroba sebagai sarana dalam terorisme. Mikroba yang digunakan pada bioterorisme lebih populer di media massa dengan sebutan senjata biologis (biological weapons atau bioweapons). Perang yang melibatkan senjata biologis/mikroba disebut perang kuman (germ warfare) atau biological warfare (Nester dkk., 2007 ; Tortora dkk., 2007). Dalam tulisan ini, istilah ‘mikroba’ dan ‘senjata biologis’ dipergunakan secara bergantian. Sarana lain yang dapat dipergunakan dalam terorisme misalnya senjata kimia, bom mobil, senjata api, senjata nuklir, dan lainlain. Menurut Cinti dan Hanna (2007), bioterorisme adalah the malevolent use of 45 bacteria, viruses, or toxins against humans, animals, or plants in an attempt to cause harm and to create fear. Jadi, yang dapat dimanfaatkan tidak hanya mikroba namun bisa juga produk mikroba. Sebagai sasaran, tidak hanya manusia, namun bisa juga hewan dan tumbuhan. Sementara itu, Lederberg (2000) mendefinisikan biological warfare sebagai the use of microbial … agents … for hostile purposes or in armed conflict (Sic !). Rajneeshees (suatu sekte keagamaan di Amerika Serikat) tahun 1984, dan Aum Shinrikyo (suatu sekte keagamaan di Jepang) tahun 1995. Tentara Dai Nippon menjatuhkan tabung yang berisi pinjal dan Yersinia pestis di atas daratan Cina saat Perang Cina-Jepang (1937–1945). Rajneeshees mengontaminasi makanan di restoran dan supermarket dengan Salmonella enterica (Cinti dan Hanna, 2007 ; Tortora dkk., 2007). Istilah ‘bioterorisme’ ikut menjadi topik pembicaraan sejak serangan terhadap Menara Kembar World Trade Center. Sejarah Bioterorisme Bioterorisme sebenarnya telah berusia ratusan tahun. Pasukan Tartar merupakan kelompok pertama yang memanfaatkan bioterorisme pada tahun 1346.. Pasukan Tartar melemparkan pasien pes ke belakang garis pertahanan lawan. Kelompok berikutnya adalah pasukan Inggris di Amerika pada tahun 1736, pasukan Jerman pada Perang Dunia I, Berbagai Tanda Awal Keterlibatan Senjata Biologis Ada berbagai tanda awal yang harus diwaspadai karena sangat mungkin melibatkan mikroba yang dapat dimanfaatkan untuk bioterorisme.. Berbagai tanda awal dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Tanda Awal versus Penyebab/Penyakit Paling Mungkin/Contoh (Cinti dan Hanna, 2007) No. Tanda Awal Penyebab/Penyakit Mungkin/Contoh Paling 1 Paralisis flaksid (jumlah kasus banyak, saat kejadian Toksin botulinum serentak) 2 Demam disertai perdarahan (jumlah kasus banyak, Virus Ebola, Demam Lassa saat kejadian serentak) 3 Ruam vesikular dan pustular disertai kematian Cacar massal (jumlah kasus banyak, saat kejadian serentak) 4 Penyakit mirip-flu disertai dengan mediastinum Antraks yang melebar pada foto dada dan atau meningitis (jumlah kasus banyak, saat kejadian serentak) 5 Pneumonia disertai limfadenopati yang terasa sakit Pes (jumlah kasus banyak, saat kejadian serentak) 46 6 Penyakit yang terjadi serentak pada manusia dan Antraks, ensefalitis hewan 7 Kematian massal yang tidak diketahui penyebabnya, Berbagai mikroba terutama pada orang dewasa muda dan sehat 8 Kasus tunggal dengan penyebab mikroba tak lazim Cacar, antraks pulmoner, virus Ebola 9 Satu pasien menderita banyak penyakit Berbagai mikroba 10 Penyakit dengan gejala klinis aneh Pes 11 Penyakit yang tidak lazim ditinjau dari distribusi Virus Ebola geografis Serikat 12 Penyakit yang tidak lazim ditinjau dari pola musim 13 Penyakit yang tidak memberi respons terhadap Antraks yang dibuat resisten antibiotika ataupun vaksin yang biasa digunakan terhadap antbiotika dan vaksin 14 Kumpulan penyakit mirip/serupa pada wilayah yang Berbagai mikroba tidak mempunyai perbatasan bersama Karakteristik Mikroba Digunakan pada Bioterorisme yang Mikroba ideal untuk bioterorisme mempunyai karakteristik sangat handal, dapat dibidikkan tepat ke sasaran, murah, awet, tidak begitu tampak, manjur, mudah diperoleh, dan mudah diangkut (Lederberg, 2000 ; Lew, 2000). Sangat handal dan manjur berarti mempunyai efek seperti yang diharapkan para teroris. Murah dan mudah diperoleh bermakna harganya terjangkau dan bisa didapatkan tidak harus dengan jalur legal. Tidak begitu tampak mengandung makna sulit diendus oleh aparat intelijen. Mikroba yang Lazim Digunakan pada Bioterorisme di Amerika Influenza pada musim panas di Amerika Serikat mikroba tersebut adalah Bacillus anthracis, Clostridium botulinum, Yersinia pestis, dan virus cacar (Nester dkk., 2007). Masih banyak mikroba lain yang dapat dimanfaatkan sebagai senjata biologis meskipun frekuensi pemakaiannya lebih jarang. Mikroba tersebut adalah virus Ebola, virus influenza, Virus Penyebab Demam Lassa, Salmonella, Mycobacterium tuberculosis dan Virus Penyebab Ensefalitis. Klasifikasi Mikroba Menurut Bauman dkk. (2007), Cinti & Hanna (2007), dan Goering dkk. (2008) mikroba yang dipergunakan pada bioterorisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas. Tiga kelas tersebut yaitu : Ada empat mikroba yang lazim digunakan pada bioterorisme. Empat 47 Kelas A (Risiko Tinggi) Contoh mikroba yang masuk kelas ini adalah Bacillus anthracis dan virus cacar. Ciri-ciri penyakit yang ditimbulkan oleh mikroba kelas ini adalah mudah menular, mortalitas tinggi, dan dapat menimbulkan keresahan sosial yang hebat. Kelas B (Risiko Sedang) Contoh mikroba yang tergolong kelas ini adalah Salmonella dan virus penyebab ensefalitis. Penyakit yang ditimbulkan dan dampak yang diakibatkan kelas ini sedikit di bawah Kelas A. Kelas C (Risiko Rendah) Contoh mikroba yang tergolong kelas ini adalah Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap berbagai antibiotika (multidrug-resistant) dan virus influenza. Penyakit yang ditimbulkan dan dampak yang ditimbulkan kelas ini di bawah Kelas B. Alasan Teroris Memilih Bioterorisme Salah satu alasan penting pemakaian mikroba oleh teroris adalah alasan finansial. Bioterorisme relatif efisien dibandingkan metoda lain. Efisien dalam arti biaya murah dan menimbulkan dampak yang sangat hebat. Dampak yang sangat hebat dapat berupa jumlah korban yang banyak ataupun kepanikan yang luar biasa dari sasaran bioterorisme. Salah satu keunggulan pemakaian mikroba adalah dampak yang terjadi sulit dikendalikan dan sangat susah untuk diprediksi (Tortora dkk., 2007). Kesiapan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Menghadapi Bioterorisme Sampai saat ini, dari informasi yang dipublikasikan di media massa, TNI mempunyai sebuah satuan khusus untuk menghadapi serangan senjata biologis. Satuan tersebut bernama Kompi Nubika (Kompi Nuklir, Biologi, dan Kimia). Apabila dilihat dari namanya, satuan ini tidak hanya dipersiapkan untuk menghadapi serangan senjata biologis. Satuan ini juga dipersiapkan untuk mengadapi serangan nuklir dan senjata kimia. Masih belum jelas apakah Detasemen Penanggulangan Teror Komando Pasukan Khusus ((Dengultor Kopassus) TNI Angkatan Darat, Detasemen Bravo Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (Denbravo Paskhasau), dan Detasemen Jala Mengkara (Denjaka) Korps Marinir TNI Angkatan Laut mempunyai kemampuan menghadapi bioterorisme. Juga masih belum jelas apakah Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88 Antiteror) Polri mempunyai unit khusus ataupun kemampuan untuk menghadapi bioterorisme. Meskipun demikian, banyak pihak yakin bahwa Federal Bureau of Investigation (FBI) Amerika Serikat dan Australian Federal Police (Polisi Australia) – kedua lembaga ini aktif melatih Densus 88 − pasti siap berbagi ilmu dengan Densus 88 dalam bidang kontrabioterorisme. Tentang Serangan Senjata Biologis Bacillus anthracis Ada 3 bentuk klinis antraks berdasarkan rute masuk spora ke dalam tubuh. Tiga bentuk tersebut adalah antraks kutaneus, antraks gastrointestinal, dan antraks inhalasi (Cinti & Hanna, 2007). Antraks kutaneus mencakup 90% kasus antraks pada manusia. Setelah masa inkubasi 1-7 hari akan timbul lesi berbentuk papula kecil sedikit gatal pada tempat spora masuk (biasanya di lengan, tangan, leher, dan muka) yang dalam beberapa hari berubah menjadi bentuk 48 vesikel yang tidak sakit berisi cairan serosanguinus serta tidak purulen dan kemudian menjadi ulkus nekrotik yang dikelilingi vesikel-vesikel kecil. Ukuran lesi sekitar 1-3 cm. Ciri khas lain adalah dalam 2-6 hari akan timbul eschar berwarna hitam seperti batubara (black carbuncle) yang berkembang dalam beberapa minggu menjadi ukuran beberapa sentimeter yang kemudian menjadi parut setelah 1-2 minggu (Yusuf, 2007). Dasar kulit dari lesi terlihat indurasi, panas, warna merah, dan non-pitting edema yang bisa meluas sampai demikian luasnya (malignant edema) sehingga terjadi hipotensi oleh karena perpindahan cairan intravaskuler ke subkutan. Lesi tidak terasa sakit (Yusuf, 2007). Gambaran sistemik berupa demam, mialgia, sakit kepala, lemah badan, dan limfadenopati lokal. Bila tidak digunakan antibiotik maka 20% fatal, dimana terjadi penyulit bakteremia yang berlanjut ke meningitis, pneumonia, ataupun sepsis. Pemberian antibiotik tidak mengubah perjalanan alamiah klinis di kulit, tetapi mencegah penyulit di atas dan menurunkan angka kematian di bawah 1% (Yusuf, 2007). Pada antraks gastrointestinal ditemukan demam, nyeri perut difus, muntah, dan diare kira-kira 2-5 hari setelah penderita memakan daging yang mengandung spora. Bisa timbul muntah darah dan berak darah, berisi darah segar atau melena. Bisa pula terjadi perforasi usus. Selain itu terjadi limfadenitis mesenterial dan asites (Yusuf, 2007). Selain bentuk antraks intestinal ada bentuk lain antraks gastrointestinal yaitu bentuk antraks orofaringeal yang berupa limfadenopati local dan edema pada leher, susah menelan, dan obstruksi saluran napas atas. Terdapat lesi serupa pada kulit pada mukosa mulut seperti eschar (Yusuf, 2007). Perkembangan selanjutnya dari antraks antraks gastrointestinal dan antraks orofaringeal adalah sepsis, meningitis, dan kematian. Angka kematian berkisar 25 sampai 60% (Yusuf, 2007). Antraks inhalasi mencakup kurang dari 5% kasus. Masa inkubasi 1-5 hari tetapi dapat mencapai 60 hari tergantung jumlah spora yang masuk. Setelah inkubasi 10 hari timbul gambaran klinik akut yang terdiri dari 2 fase (bifasik), yaitu fase inisial yang ringan dimana didapatkan demam, lemah, lemah, mialgia, batuk kering dan rasa tertekan di dada dan di perut (flu like) yang pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan ronki, kemudian tiba-tiba disusul fase kedua yang berat dan sering fatal setelah terlihat seperti ada perbaikan fase pertama. Fase kedua ini cepat sekali memburuk berupa panas tinggi, sesak napas, hipoksia, sianosis, stridor dan akhirnya syok dengan kematian dalam beberapa hari. Pemeriksaan fisik memberikan gambaran infeksi paru, dengan kemungkinan sepsis dan meningitis. Antraks inhalasi tidak memberikan gambaran klasik pneumonia, sehingga tidak didapatkan sputum yang purulen, sehingga lebih cocok disebut antraks inhalasi bukan antraks pneumonia. Edema leher dan dada bisa ditemukan, dan pada paru juga ditemukan ronki basah dan kemungkinan tanda efusi (Yusuf, 2007) Pada foto toraks selain infiltrat di paru akan diadapat gambaran khas berupa efusi pleura dan pelebaran mediastinal oleh karena limfadenopati dan mediastinitis. Cairan pleura bersifat hemoragik (Yusuf, 2007). Kematian dapat terjadi setelah 24 jam setelah onset akut tersebut, dengan angka kematian bisa mencapai 90%, tergantung fasilitas. Antraks inhalasi tidak ditularkan antar manusia (Yusuf, 2007). 49 Tentang Serangan Senjata Biologis Yersinia pestis Berdasarkan aspek klinis pes dapat dibedakan atas beberapa tipe yaitu tipe bubonik, septikemik, pneumonik, meningeal, dan kutaneal (Triwibowo, 2007). Tipe bubonik merupakan kasus terbanyak (sekitar 75%) pasien pes. Ditandai adanya bubo, yaitu limfadenitis yang tampak besar dengan diameter 2-5 cm disertai adanya edema dan eritema di sekitarnya. Bubo ini 70% terdapat di daerah inguinal atau femoral, karena gigitan pinjal lebih banyak terjadi di kaki. Pada anak-anak bubo dapat ditemukan di daerah aksila atau servikal. Bila terjadi supurasi, eksudat yang mengandung Yersinia pestis dapat mengalir keluar secara spontan setelah 1-2 minggu dan diikuti oleh proses resorbsi (Triwibowo, 2007). Febris merupakan gejala awal dan suhu dapat mencapai lebih dari 41oC, disertai takikardia, gejala-gejala neurologis seperti konvulsi sampai koma, gejala gastrointestinal berupa vomitus, konstipasi ataupun diare (Triwibowo, 2007). Bakteri Yersinia pestis mempunyai kemampuan membentuk endotoksin. Hal ini dapat menimbulkan keadaan toksemia yang bila berat akan mengakibatkan koagulasi intravaskuler (KID) dengan ditemukan gejala-gejala perdarahan di saluran napas, saluran makan, saluran kencing serta rongga-rongga badan. Walaupun tipe bubonik pada umumnya menunjukkan gejala-gejala berat tetapi ada juga kasus-kasus yang ringan disebut pestis minor. Komplikasi yang dapat menjadi sebab kematian adalah septikemia dengan gejala-gejala berat, pneumonia sekunder dengan sputum berdarah dan yang jarang diketemukan antara lain adalah kegagalan faal jantung (Triwibowo, 2007). Pada tipe septikemik tidak terdapat pembesaran kelenjar limfe dan gejala yang timbul akibat septikemia biasanya terjadi dalam waktu yang singkat berupa pucat, lemah, delirium atau stupor sampai koma. Penderita dapat meninggal dunia pada hari pertama sampai ketiga stelah timbulnya gejala febris. Kenaikan suhu badan hanya terjadi secara ringan (Triwibowo, 2007). Tipe pneumonik umumnya diawali dengan gejala-gejala kelemahan badan, sakit kepala, vomitus, febris, dan frustasi (Sic !). Batuk, sesak napas, disertai sputum yang produktif dan cair, berbeda dengan pneumonia lobaris yang mengeluarkan sputum kental dengan warna seperti karat. Gangguan kesadaran dapat timbul sejak awal dan penderita dapat meninggal dunia pada hari ke-4 dan ke-5 (Triwibowo, 2007). Tipe meningeal merupakan komplikasi tipe bubonik yang terjadi pada hari ke-7 sampai ke-9. Gejala-gejala seperti meningitis berupa keluhan sakit kepala, neck stiffness, dan tanda Kernig positif. Dapat berlanjut dengan konvulsi dan koma. Dalam cairan lumbal dapat ditemukan Yersinia pestis (Triwibowo, 2007). Pada tipe kutaneal terdapat papula, pustula, karbunkel, ataupun purpura yang dapat meluas menjadi bersifat nekrotik. Keadaan ini dapat berlanjut menjadi gangren terutama di daerah tungkai dan menimbulkan warna kehitam-hitaman (black death) (Triwibowo, 2007). Bioterorisme Perlu Diajarkan pada Mahasiswa Kedokteran Bioterorisme sangat perlu diajarkan kepada mahasiswa kedokteran. Mahasiswa kedokteran harus memahami berbagai mikroba yang dapat disalahgunakan untuk bioterorisme dan dapat mengenali berbagai tanda awal serangan mikroba. Materi kuliah dan 50 praktikum mikrobiologi yang selama ini ada harus selalu ditinjau ulang setiap kurun waktu tertentu. Ada materi yang harus ditambahkan dan ada pula materi yang harus dikurangi ataupun dihilangkan. Contoh materi yang harus diperkenalkan adalah bioterorisme. Hadi Y. Antraks. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid ke-3. Edisi ke-4. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. h.18311833. Penutup Kajian tentang bioterorisme sangat dibutuhkan supaya negeri kita dapat lebih mampu menangkal dan lebih berani menghadapi ancaman bioterorisme. Selain itu, negeri kita − yang berkali-kali menjadi korban terorisme − harus mempunyai pakar di bidang kontrabioterorisme. Pakar di bidang tersebut dapat dihasilkan melalui kerjasama yang bagus.antara TNI, Polri, LIPI, dan bagian mikrobiologi berbagai universitas. Lederberg J. Biological Warfare and Bioterrorism. Dalam : Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, penynting. Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of Infectious Diseases. Volume 2. Edisi ke-5. Philadelphia : Churchill Livingstone ; 2000. h. 3235 – 3238. DAFTAR PUSTAKA Lew DP. Bacillus anthracis (Anthrax). Dalam : Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, penyunting. Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of Infectious Diseases. Volume 2. Edisi ke-5. Philadelphia : Churchill Livingstone ; 2000. h. 2215 – 2220. Bauman RW, Machunis-Masuoka E, Tizard. Microbiology With Diseases by Taxonomy. Edisi ke-2. San Francisco : Pearson Benjamin Cummings, 2007. h. 771 – 774. Nester EW, Anderson DG, Roberts Jr. CE, Nester MT. Microbiology A Human Perspective. Edisi ke-5. Boston : McGrawHill Higher Education, 2007. h. 490 – 491. Cinti SK, Hanna PC. Biological Agents of Warfare and Terrorism. Dalam : Engleberg NC, DiRita V, Dermody TS, penyunting. Schaechter’s Mechanisms of Microbial Disease. Edisi ke-4. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2007. h. 541 – 552. Tortora GJ, Funke BR, Case CL. Microbiology An Introduction. Edisi ke-9. San Francisco : Pearson Benjamin Cummings, 2007. h. 680 – 681. Goering RV, Dockrell HM, Wakelin D, Zuckerman M, Chiodini PL, Roitt IM, Mims C. Mims’ Medical Microbiology. Edisi ke-4. Philadelphia : Mosby Elsevier, 2008. h. 4, 382, 412 – 413, 541. Triwibowo. Penyakit Sampar. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid ke-3. Edisi ke-4. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. h.1800-1802. 51 PENGARUH PEMBERIAN ROYAL JELLY PERORAL TERHADAP JUMLAH SEL-SEL SPERMATOSIT PRIMER, DAN SEL-SEL SPERMATID PADA TESTIS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus strain Wistar) JANTAN Ayly Soekanto Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRAK Royal jelly dapat dianggap meningkatkan vitalitas dan kesuburan pria. Penelitian terhadap hewan telah membuktikan bahwa royal jelly makan di ayam, burung puyuh dan kelinci dapat meningkatkan kesuburan. Nurmiati studi (2002) membuktikan bahwa royal jelly dapat meningkatkan kesuburan tikus betina. Hardiyono studi (2006) juga membuktikan bahwa kerajaan jelly dapat meningkatkan ketebalan epitel tubulus seminiferus pada tikus putih jantan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan pengaruh makan jelly kerajaan untuk spermatogenesis dengan menghitung jumlah sel spermatocide primer dan sel spermatid pada tikus putih jantan. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium menggunakan Uji Posting Grup Desain Kontrol Hanya data-data dan dianalisis secara statistik menggunakan Anova dengan tingkat signifikansi kurang dari 0,05. Sampel penelitian adalah 32 orang dewasa tikus putih jantan yang dibagi menjadi 4 kelompok secara acak, dan kelompok masing-masing menerima pengobatan selama 52 hari. K1: kelompok kontrol mendapatkan makan aquadest 3 lisan ml / hari, P1: kelompok perlakuan dengan makan jelly kerajaan lisan 15 mg / kgBB / hari, P2: kelompok perlakuan dengan makan jelly kerajaan lisan 30 mg / kgBB / hari dan P3: kelompok perlakuan dengan royal jelly makan lisan 45 mg / kgBB / hari. Semua data-data dianalisis menggunakan Anova untuk menunjukkan perbedaan yang signifikan antara semua perlakuan dan kelompok kontrol. Untuk mengidentifikasi kelompok memiliki perbedaan yang signifikan dalam setiap variabel, analisis dilanjutkan dengan uji LSD. Sebagai kesimpulan, royal jelly makan oral dapat meningkatkan jumlah sel spermatocide primer dan sel spermatid pada tikus putih jantan. Kata kunci: royal jelly, sel spermatocide, sel spermatid. GIVING EFFECT TO THE NUMBER OF ROYAL JELLY PERORAL SPERMATOCYTES PRIMARY CELLS AND SPERMATIDS CELLS IN THE WHITE RATS’S TESTIS (Rattus Norvegicus Strain Wistar) MALE Ayly Soekanto Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRACT Royal jelly was considered can improve men’s vitality and fertility. Animal studies have proved that royal jelly feeding at chickens, quails and rabbits can improve the fertility. Nurmiati study ( 2002) proved that royal jelly can improve the fertility of female rats . Hardiyono study (2006) also proved that the royal jelly can improve the thickness of seminiferous tubules epithelial in male white rats. The purpose of this study is to prove the influence of royal jelly feeding to spermatogenesis with counting the amount of primary spermatocide cells and spermatid cells at the male white rats This research was a laboratory experimental study using the Post Test Only Control Groups Design and the datas were analyzed statistically using Anova with significance level of less than 0,05. The sampel research were 32 adult male white rats that divided into 4 groups in random, and each group received the treatment for 52 days. K1 : control group getting aquadest oral feeding 3 ml / day, P1 : treatment group with royal jelly oral feeding 15 mg/kgBW/day, P2 : treatment group with royal jelly oral feeding 30 mg/kgBW/day and P3 : treatment group with royal jelly oral feeding 45 52 mg/kgBW/day. All datas were analyzed using Anova to indicate significant differences between all treatment and control groups. To identify which group had significant difference in each variable, the analysis was continued with LSD test. In conclusion, royal jelly oral feeding can improve the amount of primary spermatocide cells and spermatid cells in male white rats. Keywords : royal jelly, spermatocide cells, spermatid cells. PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA Royal jelly adalah salah satu produk suplemen yang saat ini sangat banyak dipakai untuk minuman suplemen energi maupun produk-produk kecantikan. Suplemen-suplemen penunjang vitalitas pria juga banyak yang mengandung royal jelly. Royal jelly adalah cairan putih seperti susu yang dihasilkan kelenjar hypopharyngeal lebah madu pekerja untuk makanan larva lebah sampai berumur tiga hari dan kemudian secara bertahap diganti dengan Bee Pollen yang dicampur madu. Ratu lebah sejak masa larva sampai menjadi lebah dewasa mendapatkan royal jelly untuk makanannya sepanjang hidupnya. Royal jelly yang dikonsumsi ratu lebah sepanjang hidupnya terbukti mampu menyebabkan ratu lebah mencapai kedewasaan seksual lebih cepat dan kemampuan reproduksi yang luar biasa, yaitu kemampuan bertelur sepanjang hidupnya dengan jumlah telur mencapai 2000 butir perharinya. Selain itu ratu lebah juga mempunyai usia yang jauh lebih lama daripada lebah betina lainnya. Kenyataan ini juga ditunjang dengan kenyataan bahwa lalat buah dan ayam yang secara eksperimental diberikan royal jelly, ternyata juga menjadi lebih besar, hidup lebih lama dan lebih produktif. Dari percobaan tersebut, didapatkan bahwa pemberian royal jelly pada ayam yang telah tua dan telah menurun produksi telurnya, dapat mendorong meningkatnya kembali produksi telurnya (Sihombing, 1997). Demikian juga pemberian royal jelly pada ayam dapat menghasilkan telur dua kali lipat lebih banyak dibandingkan kelompok ayam yang tidak diberi royal jelly (Walji,2001). Fungsi reproduksi merupakan salah satu fungsi yang paling sering menimbulkan problem dalam kehidupan rumah tangga. Infertilitas sebagai penyebab terjadinya ketidakmampuan untuk mempunyai keturunan merupakan salah satu penyebab terjadinya keretakan dalam rumah tangga. Stres, gizi tidak seimbang, polusi dan radiasi sebagai dampak kehidupan modern dapat menyebabkan terjadinya infertilitas. Karena itu perlu diteliti faktor-faktor yang dapat mencegah terjadinya infertilitas tersebut. Salah satunya adalah dengan pemberian suplemen vitamin untuk meningkatkan fungsi organ-organ reproduksi tersebut. Penulis meneliti proses spermatogenesis sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi fungsi reproduksi pada pria. Untuk membuktikan adanya peningkatan proses spermatogenesis setelah pemberian royal jelly dalam dosis yang berbeda, maka dilakukan penelitian terhadap jumlah sel-sel spermatosit primer dan sel-sel spermatid pada testis tikus (Rattus norvegicus strain Wistar) jantan. Studi penelitian yang dilakukan oleh Nurmiati (2002) membuktikan bahwa pemberian royal jelly dapat meningkatkan 53 fertilitas mencit betina yang ditandai dengan meningkatnya jumlah folikel sekunder, folikel tersier, folikel de Graaf serta peningkatan jumlah fetus. Menurut Weitgosser royal jelly telah digunakan untuk pengobatan impotensi dan dapat meningkatkan kemampuan libido (Nurmiati,2002). Pemberian royal jelly 20 mg/kgBB/hr dapat meningkatkan dan menormalkan aktifitas seksual terhadap pria dan wanita. Royal jelly dapat meningkatkan hormon androgen pada pria dan estrogen pada wanita melalui aktifitas gonadotropin maupun panthotenic acid yang berperan dalam produksi dan pelepasan hormon-hormon adrenal. Hasil penelitian para ahli, menyatakan bahwa royal jelly mengandung senyawasenyawa alami yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Menurut Brown, royal jelly mengandung 66,05 % substansi pelembab seperti gelatin, 12,34 % protein, 5,46 % lemak, 2,49 % substansi tereduksi, 0,82 % mineral dan 2,84 % senyawa yang belum diketahui (Brown,1993). Dari hasil analisis kimia di atas kemudian ditemukan lagi senyawa-senyawa gizi seperti hormon-hormon alami, berbagai vitamin seperti vitamin B kompleks (Thiamin, Piridoksin, Riboflafin, Niasin, Asam Pantotenat, Biotin, Inositol dan Asam Folat), vitamin A, vitamin C dan vitamin E (sebagai antioksidan), 20 macam Asam Amino (14 di antaranya adalah asam amino essensial), Asam Nukleat, Protein dalam bentuk Gelatin-Kolagen, Asam lemak esensial serta berbagai jenis mineral penting bagi tubuh dan Acetyl Cholin yang berperan untuk menghantarkan rangsangan saraf atau transmisi impuls saraf dan mengatur sekresi kelenjar-kelenjar tubuh, Gamma globulin serta Asam Decanoat yang merupakan senyawa penting untuk meningkatkan sistem imunitas dan menghalau serangan infeksi kuman dan jamur. Selain itu royal jelly juga mengandung enzim pencernaan dan hormon gonadotropin yang sangat membantu fungsi reproduksi baik pada hewan betina maupun hewan jantan (Walji,2001). Substansi Nitrogen yaitu protein berkisar 73,9% dan asam amino bebas berkisar 2,3% dan peptide 0,165 (Takenaka, 1987 cit Krell, 1996). Semua asam amino sebanyak 29 macam dan derivat – derivatnya dapat diidentifikasi, di antaranya adalah aspartic acid dan glutamic acid (Howe et al., 1985 cit Krell, 1996). Asam amino bebas yang terkandung di dalamnya antara lain adalah proline, arginine, cysteine dan lysine (Takenaka, 1984 dan 1987 cit Krell, 1996). Royal jelly juga mengandung intrinsik faktor, suatu co protein yang penting untuk absorbsi vitamin B12 yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah dan sistesa DNA dan RNA. Penelitian yang dilakukan Schmidt dan Burchmann (1992) menunjukkan angka yang hampir sama. Dari tabel tersebut dilihat bahwa kandungan Pantothenic acid dalam royal jelly sangat tinggi, bahkan mencapai enam kali kandungan yang terdapat pada ragi dan liver. Panthothenic acid adalah suatu antioxidant yang dapat mencegah kerusakan sel akibat adanya radikal bebas. Adanya Panthothenic acid ini juga diperlukan untuk konversi Choline menjadi Acethlcholine suatu nerurotransmitter yang berperanan dalam fungsi memori, perkembangan mental dan reproduksi. Pantotheic acid juga merupakan katalisator yang mengatur produksi dan perlepasan hormon-hormon adrenal. Dapat dikatakan bahwa royal jelly adalah sumber vitamin B komplek yang sangat lengkap, dimana vitamin B komplek sangat penting untuk kesehatan syaraf. 54 Thiamine Riboflavin Pantothenic Acid Pyridoxine Niacin Folic acid Inositol Biotin Minimum 1.44 5 159 1.0 48 0.130 80 1.1 Maximum 6.70 25 265 48.0 88 0.530 350 19.8 Tabel 1. Kandungan vitamin dalam royal jelly ( mg/gram berat kering) (Vecchi et al., 1988 cit Krell, 1996) Beberapa jenis hormon juga ditemukan dalam royal jelly. Dengan metode radioimunologik yang sensitif, Vittek dan Slomiany pada tahun 1984 dapat mengidentifikasi adanya testosteron dalam kadar yang sangat rendah. Selain itu juga ditemukan adanya Growth Hormon (Auxin) dan Plant Hormones (Phytosterol) yang berperanan penting dalam spermatogenesis (Krell, 1996). METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan menggunakan rancangan penelitian Posttest Only Control Group Design (Zainuddin, 2000). Rancangan Penelitian ini disusun sebagai langkah untuk menghitung jumlah sel-sel spermatosit primer dan sel-sel spermatid pada kelompok perlakuan dan dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah mendapatkan perlakuan selama 52 hari. Banyaknya sampel penelitian adalah 32 ekor tikus putih jantan yang berumur 7 – 8 minggu (sexually mature) dibagi menjadi 4 kelompok. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara random. Karena populasi pada penelitian ini dianggap homogen maka cara random yang digunakan adalah Simple Random Sampling yang dilakukan dengan random numbers (Zainuddin, 2000). Secara sistematis, rancangan penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Populasi Randomisasi K1 O1 P1 O2 P2 O3 P3 O4 K1 : Kelompok kontrol dengan pemberian aquadest 3 ml / hr peroral P1 : Kelompok perlakuan dengan pemberian Royal Jelly 15 mg/kgBB/hr peroral P2 : Kelompok perlakuan dengan pemberian Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr peroral P3 : Kelompok perlakuan dengan pemberian Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr peroral O1 : Data kelompok kontrol setelah 52 hari perlakuan O2 : Data kelompok P1 setelah 52 hari perlakuan O3 : Data kelompok P2 setelah 52 hari perlakuan O4 : Data kelompok P3 setelah 52 hari perlakuan 55 DATA DAN PENELITIAN ANALISIS DATA Jumlah sel-sel Spermatosit Primer Adapun rata-rata dan simpangan baku data hasil penghitungan jumlah sel-sel spermatosit primer setelah 52 hari perlakuan diperlihatkan pada tabel di bawah ini Data dari hasil penelitian ini berupa data jumlah sel-sel spermatosit primer dan data jumlah sel-sel spermatid testis tikus putih (Rattus norvegicus strain Wistar) jantan. Kelompok Jumlah Pengamatan Rata-rata (mean) dan Simpangan Baku (SD) Jumlah spermatosit primer Kelompok I : Royal Jelly 15 mg/kgBB/hr peroral 8 60,45 + 3,49 Kelompok II : Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr peroral 8 71,47 + 3,67 Kelompok III : Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr 8 peroral 67,26 + 4,14 Kelompok IV : Kontrol 45,35 + 2,56 8 Tabel 2. Rata-rata dan simpang baku jumlah sel-sel spermatosit primer tikus putih (Rattus norvegicus strain Wistar) setelah 52 hari perlakuan. Dari data tersebut dilakukan uji normalitas data dan didapatkan distribusi data adalah normal. Selanjutnya dilakukan test homogeneity of variance dan didapatkan significant level nya > 0,05 yaitu sebesar 0,160 sehingga dapat dilakukan analisis varian (Anova) satu arah. Dari hasil analisis varian (Anova) didapatkan significant level nya < 0,05 yaitu sebesar 0,000 maka perbedaan yang ada antar kelompok perlakuan bermakna. Rangkuman hasil uji normalitas data, test homogeneity of variance dan analisis varian (Anova) berat testis diperlihatkan pada tabel 3 Hasil Uji normalitas data NPar Tests One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parameters a,b Most Extreme Differences Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z As ymp. Sig. (2-tailed) Jumlah Spermatos it Primer 15 mg Royal Jelly /kgBB/hr 40 60.45 3.49 .101 .101 -.099 Jumlah Spermatos it Primer 30 mg Royal Jelly /kgBB/hr 40 71.4750 3.6654 .106 .106 -.086 Jumlah Spermatos it Primer 45 mg Royal Jelly /kgBB/hr 40 67.2500 4.1371 .176 .128 -.176 Jumlah Spermatos it Primer Kontrol 40 45.3500 2.5575 .151 .151 -.149 .641 .672 1.113 .956 .806 .757 .168 .320 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. 56 Hasil analisis varian Oneway Descriptives Jumlah Spermatosit Primer 15 mg Royal Jelly /kg BB / hr 30 mg Royal Jelly /kg BB / hr 45 mg Royal Jelly /kg BB / hr Kontrol (Aqua) Total N 40 40 40 40 160 Mean 60.45 71.47 67.25 45.35 61.13 Std. Deviation 3.49 3.67 4.14 2.56 10.54 Std. Error .55 .58 .65 .40 .83 95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound 59.34 61.56 70.30 72.65 65.93 68.57 44.53 46.17 59.48 62.78 Minimum 52 64 56 40 40 Maximum 67 79 77 52 79 Test of Homogeneity of Variances Jumlah Spermatosit Primer Levene Statistic 1.744 df1 3 df2 156 Sig. .160 ANOVA Jumlah Spermatosit Primer Sum of Squares Between Groups 15757. 769 W ithin Groups 1920.475 Total 17678. 244 df 3 156 159 Mean Square 5252.590 12.311 F 426.667 Sig. .000 Tabel 3. Rangkuman hasil uji normalitas data, test homogeneity of variance dan analisis varian (Anova) jumlah sel-sel spermatosit primer Setelah diketahui bahwa perbedaan yang ada antar kelompok perlakuan bermakna, maka dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) atau Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) antar kelompok perlakuan. Berikut ini adalah Rangkuman hasil LSD sel-sel sprematosit primer (Tabel 4) 57 Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable: Jumlah Spermatosit Primer LSD (I) Kelompok 15 mg Royal Jelly /kg BB / hr 30 mg Royal Jelly /kg BB / hr 45 mg Royal Jelly /kg BB / hr Kontrol (Aqua) (J) Kelompok 30 mg Royal Jelly /kg BB / hr 45 mg Royal Jelly /kg BB / hr Kontrol (Aqua) 15 mg Royal Jelly /kg BB / hr 45 mg Royal Jelly /kg BB / hr Kontrol (Aqua) 15 mg Royal Jelly /kg BB / hr 30 mg Royal Jelly /kg BB / hr Kontrol (Aqua) 15 mg Royal Jelly /kg BB / hr 30 mg Royal Jelly /kg BB / hr 45 mg Royal Jelly /kg BB / hr Mean Difference (I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -11.02* .78 .000 -12.57 -9.48 -6.80* .78 .000 -8.35 -5.25 15.10* .78 .000 13.55 16.65 11.02* .78 .000 9.48 12.57 4.22* .78 .000 2.68 5.77 26.12* .78 .000 24.58 27.67 6.80* .78 .000 5.25 8.35 -4.22* .78 .000 -5.77 -2.68 21.90* .78 .000 20.35 23.45 -15.10* .78 .000 -16.65 -13.55 -26.12* .78 .000 -27.67 -24.58 -21.90* .78 .000 -23.45 -20.35 *. The mean difference is s ignificant at the .05 level. Tabel 4. Rangkuman hasil Least Significant Difference (LSD) jumlah sel-sel spermatosit primer Jumlah sel-sel Spermatid Adapun rata-rata dan simpangan baku) data hasil penghitungan jumlah sel-sel spermatid diperlihatkan pada tabel di bawah ini 58 Kelompok Jumlah Rata-rata (mean) dan Pengamatan Simpangan Baku (SD) Jumlah Spermatid Kelompok I : Royal Jelly 15 mg/kgBB/hr 8 peroral 240,73 + 10,08 Kelompok II : Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr 8 peroral 285,30 + 10,84 Kelompok III : Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr 8 peroral 268,33 + 9,44 Kelompok IV: Kontrol 180,83 + 6,69 8 Tabel 5. Rata-rata dan simpangan baku jumlah sel-sel Spermatid tikus putih (Rattus norvegicus strain Wistar) setelah 52 hari perlakuan. Dari data jumlah sel-sel Spermatid tersebut dilakukan uji normalitas data dan didapatkan distribusi data adalah normal. Selanjutnya dilakukan test homogeneity of variance dan didapatkan significant level nya > 0,05 yaitu sebesar 0,081 sehingga dapat dilakukan analisis varian (Anova) satu arah. Dari hasil analisis varian (Anova) didapatkan significant level nya < 0,05 yaitu sebesar 0,000 maka perbedaan yang ada antar kelompok perlakuan bermakna. Rangkuman hasil uji normalitas data, test homogeneity of variance dan analisis varian (Anova) jumlah sel-sel spermatid diperlihatkan pada tabel 6 NPar Tests One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parameters a,b Most Extreme Differences Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z As ymp. Sig. (2-tailed) Jumlah Spermatid 15 mg Royal Jelly /kgBB/hr 40 240.73 10.08 .143 .135 -.143 Jumlah Spermatid 30 mg Royal Jelly /kgBB/hr 40 285.3000 10.8373 .076 .076 -.054 Jumlah Spermatid 45 mg Royal Jelly /kgBB/hr 40 268.3250 9.4418 .136 .104 -.136 Jumlah Spermatid Kontrol 40 180.8250 6.6906 .141 .141 -.108 .907 .484 .862 .893 .383 .974 .448 .402 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. 59 Oneway De scri ptives Jumlah Spermatid 15 mg Roy al Jelly /kg BB / hr 30 mg Roy al Jelly /kg BB / hr 45 mg Roy al Jelly /kg BB / hr Kontrol (Aqua) Total N 40 40 40 40 160 Mean 240.73 285.30 268.33 180.83 243.79 St d. Deviation 10.08 10.84 9.44 6.69 40.88 St d. Error 1.59 1.71 1.49 1.06 3.23 95% Confidenc e Int erval for Mean Lower Upper Bound Bound 237.50 243.95 281.83 288.77 265.31 271.34 178.69 182.96 237.41 250.18 Minimum 209 265 252 162 162 Maximum 260 308 288 194 308 Test of Homogeneity of Variances Jumlah Spermatid Levene Statistic 2.286 df1 3 df2 156 Sig. .081 ANOVA Jumlah Spermatid Sum of Squares Between Groups 251961.3 W ithin Groups 13762. 925 Total 265724.2 df 3 156 159 Mean Square 83987. 090 88.224 F 951.977 Sig. .000 Tabel 6. Rangkuman hasil uji normalitas data, test homogeneity of variance dan analisis varian (Anova) jumlah sel-sel spermatid tikus Setelah diketahui perbedaan yang ada antar kelompok perlakuan bermakna , maka dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) atau Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) antar kelompok perlakuan. Rangkuman hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) jumlah sel-sel spermatid setelah 52 hari perlakuan diperlihatkan pada tabel 7 60 Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Vari able: Jum lah Spermatid LSD (I) Kelompok 15 mg Royal Jelly /kg BB / hr 30 mg Royal Jelly /kg BB / hr 45 mg Royal Jelly /kg BB / hr Kontrol (Aqua) (J) Kelompok 30 mg Royal Jelly /kg BB / hr 45 mg Royal Jelly /kg BB / hr Kontrol (Aqua) 15 mg Royal Jelly /kg BB / hr 45 mg Royal Jelly /kg BB / hr Kontrol (Aqua) 15 mg Royal Jelly /kg BB / hr 30 mg Royal Jelly /kg BB / hr Kontrol (Aqua) 15 mg Royal Jelly /kg BB / hr 30 mg Royal Jelly /kg BB / hr 45 mg Royal Jelly /kg BB / hr Mean Difference (I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -44.58* 2.10 .000 -48.72 -40.43 -27.60* 2.10 .000 -31.75 -23.45 59.90* 2.10 .000 55.75 64.05 44.58* 2.10 .000 40.43 48.72 16.98* 2.10 .000 12.83 21.12 104.48* 2.10 .000 100.33 108.62 27.60* 2.10 .000 23.45 31.75 -16.98* 2.10 .000 -21.12 -12.83 87.50* 2.10 .000 83.35 91.65 -59.90* 2.10 .000 -64.05 -55.75 -104.48* 2.10 .000 -108.62 -100.33 -87.50* 2.10 .000 -91.65 -83.35 *. The mean difference is s ignificant at the .05 level. Tabel 7. Rangkuman hasil Least Significant Difference (LSD) jumlah sel-sel spermatid PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian royal jelly peroral dapat meningkatkan jumlah sel-sel Spermatosit Primer dan sel-sel Spermatid dan pemberian dosis yang lebih tinggi akan memberikan tinggi pula. peningkatan yang lebih Dari penelitian yang terdahulu didapatkan kandungan Pantothenic acid dalam royal jelly sangat tinggi, bahkan mencapai enam kali kandungan yang terdapat pada ragi dan liver. Panthothenic 61 acid adalah suatu antioxidant yang dapat mencegah kerusakan sel akibat adanya radikal bebas. Adanya Panthothenic acid ini juga diperlukan untuk konversi Choline menjadi Acethlcholine suatu nerurotransmitter yang berperanan dalam fungsi memori, perkembangan mental dan reproduksi. Pantotheic acid juga merupakan katalisator yang mengatur produksi dan perlepasan hormon-hormon adrenal. Beberapa jenis hormon juga ditemukan dalam royal jelly. Dengan metode radioimunologik yang sensitif, Vittek dan Slomiany pada tahun 1984 dapat mengidentifikasi adanya testosteron dalam kadar yang sangat rendah. Selain itu juga ditemukan adanya Growth Hormon (Auxin) dan Plant Hormones (Phytosterol) yang berperanan penting dalam spermatogenesis (Krell, 1996). Pada penelitian ini didapatkan peningkatan jumlah sel-sel Spermatosit Primer dan sel-sel Spermatid pada kelompok yang diberi royal jelly mungkin disebabkan karena kandungan dari royal jelly yang dapat memperbaiki spermatogenesis. Pemberian obat atau zat tertentu yang dapat mempengaruhi spermatogenesis akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada saat pembelahan atau perkembangan dari sel epitel germinal sampai menjadi spermatozoa. Perubahan proses spermatogenesis secara mikroskopik dapat dilihat dari ukuran dan jumlah selsel penyusun tubulus seminiferus. Perubahan ini akan mempengaruhi jumlah sel-sel spermatogenik. Dalam hal ini, jumlah sel-sel spermatosit primer dan jumlah sel-sel spermatid juga meningkat. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan : Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan : 1. Pemberian royal jelly peroral dapat meningkatkan jumlah sel-sel Spermatosit primer dan jumlah sel-sel Spermatid pada tikus putih (Rattus norvegicus strain Wistar) jantan. 2. Pada dosis pemberian yang meningkat yaitu dosis 15mg/kgBB/hr dibandingkan dengan 30 mg/kgBB/hr dan dosis 15 mg/kgBB/hr dibandingkan dengan 45 mg/kgBB/hr terjadi kenaikan jumlah selsel Spermatosit primer dan jumlah sel-sel Spermatid yang lebih tinggi juga, tetapi peningkatan yang paling tinggi terjadi pada dosis 30 mg/kg BB/hr. Saran : Untuk memberikan informasi tentang pengaruh royal jelly terhadap spermatogenesis yang lebih akurat , maka penelitian ini perlu dilanjutkan dengan penelitian lebih lanjut untuk : 1. Menghitung jumlah sel-sel Sertoli dalam tubulus seminiferus dan sel-sel Leydig pada jaringan interstitial testis tikus putih (Rattus Norvegicus strain Wistar) jantan. 2. Melihat bentuk dan motilitas spermatozoa. DAFTAR PUSTAKA Applegate EJ, 2006. The Anatomy and Physiology Learning System : Textbook 1st Ed. Philadelphia : WB Saunders Company, pp 371-377. Adimoeljo A, 2000. Phytochemical and the Breakthrugh of Tradisional Herbs in the management of Sexsual Dysfuncion. Int J Adrol, 23 Suppl 2 : 82 -84. Brown, R , 1993. Bee Hive Product Bible. Garden City Park, New York, Avery Publishing Group Inc, pp 103-122. Catt KJ and Dufau ML, 1991. Gonadotropic Hormones : Biosynthesis, Secretion, Reseptors and Actions. In (Yen SSC, Jaffe RB, eds). Reperoductive Endocrinology 3rd Ed. 62 USA : WB Saunders Company, pp 112-116. Ganong, WF, 2005 Review of Medical Physiology. 22 th Ed , United States of America, McGraw-Hill Companies, Inc, pp 424 – 433. Gridley, MF, 1960. Manual of Histologic and Special Staining Technics. 2 nd ed. USA, Mc Graw-Hill Companies, Inc, pp 132-133. Halim, A. N, dan Sukarno, 2001. Teknik Mencangkok Royal Jelly, Penerbit Kanisius. Yogjakarta. Hardiyono, 2006. Pengaruh Pemberian Royal Jelly Peroral Terhadap Berat Testis, Proporsi Berat Testis Terhadap Berat Badan Tikus, Diameter Tubulus Seminiferus, Tebal Epitel Tubulus Seminiferus Dan Proporsi Tebal Epitel Terhadap Diameter Tubulus Seminiferus Testis Tikus Putih (Rattus norvergicus strain Wistar) Jantan.Tesis Fakultas Pasca Sarjana Unair Surabaya. Johnson, J, 2002. Nutritional and Enviromental Approaches to Infertility. Positive Health Publication Ltd. Krell, R, 1996. Vallue-added products From beekeeping, FAO Agricultural Services Bulletin No. 124, Food And Agriculture Organization of the United Nations Rome. Chapter 6 ; 1- 32. Kusumawati, D, 2004. Bahan Ajar Tentang Hewan Coba, Universitas Airlangga Surabaya. Mardihusodo, SJ, 2003. Produk-produk Lebah Madu : Khasiat dan Manfaatnya Untuk Kesehatan. Seminar Terapi Lebah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya : 1-6. (Mus musculus) Betina. Tesis Fakultas Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya. Sadler TW. 2006.Gametogenesis. Langmans Medical Embryology 10 th Ed.USA: Lippincott Williams & Wilkins, pp 11-28 Sarwono, B, 2001. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Lebah Madu. Penerbit Agro Media Pustaka. Tangerang. Sihombing, D. T. H, 1997. Ilmu Ternak Lebah Madu, Yogjakarta. Gajah Mada University Press. Sloane E, 2002. Sistim Endokrin. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula.Edisi 1. Jakarta: EGC, hal 200 – 215. Smith JB dan Mangkoewidjojo, 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta : UI Press, hal 37 –57. Vander AJ, Sherman JH. Luciano DS, 1994. Reproduction in Human Physiology, The Mechanism of Body Function 6th Ed. New York : McGrawHill Inc, pp 648-661. Walji, H, 2001, Terapi Lebah, Jakarta, Prestasi Pustaka, hlm 55-61. Warsino, 1996. Budidaya Lebah Madu, Penerbit Kanisius. Yogjakarta. Wuryantari dan Moeloek N, 2000. Perkembangan Mutakhir Fisiologi Fungsi Testis : Dari Organ Sampai Gen. MKI 50 (8) : 377-384. Zainuddin A, 2000. Metode Penelitian. Program Pasca Sarjana Unair, Surabaya. Nurmiati, S, 2002. Pengaruh Pemberian Royal Jelly terhadap Fertilitas Mencit 63 PERBANDINGAN FOTO PANORAMIK DAN BITE WING PADA DIAGNOSIS RESOBSI TULANG INTERALVEOLARIS REGIO POSTERIOR Enny Willianti Dosen bagian Ilmu penyakit gigi dan mulut Fakultas kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Email : [email protected] ABSTRAK Pengamatan alveolaris resorpsi tulang dapat dilakukan secara klinis, tetapi akan lebih tepat dan akurat jika dilakukan radiografi. Para rontgen foto yang dapat digunakan untuk mengamati resorpsi tulang alveolaris antara mereka: foto panorama dan foto sayap menggigit. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan foto panorama dan sayap foto gigitan untuk mengetahui resorpsi tulang interalveolaris Regio posterior. Setiap sampel dirawat oleh sayap foto panorama dan menggigit. Hasil radiografi dianalisis oleh dua pengamat. Pengukuran tinggi tulang marginal proksimal diukur oleh penguasa khusus untuk foto menggigit sayap. Dalam rangka mengukur tinggi tulang marginal proksimal dari foto panorama serta digunakan penguasa yang sama. Penyerapan tulang marjinal dinyatakan oleh nilai (skor). Statistik uji Wilcoxon dua tes sampel digunakan untuk membandingkan foto panorama dan menggigit sayap untuk mengetahui resorpsi tulang interalveolaris Regio posterior. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara foto panorama sayap dan menggigit dalam pengukuran resorpsi tulang interalveolaris pada gigi posterior Regio. Keywords: foto panorama, menggigit foto sayap, alveolaris resorpsi tulang. COMPARE THE PANORAMIC PHOTO AND THE BITE WING PHOTO ON RESORPTION OF POSTERIOR REGIO INTERALVEOLARIS BONE DIAGNOSIS Enny Willianti Lecturer Faculty of medicine University of Wijaya Kusuma Surabaya Email: [email protected] ABSTRACT The observation of alveolaris bone resorption can be performed clinically, but it will be more appropriate and accurate if performed radiographically. The roentgen photo that can be used to observe this alveolaris bone resorption among of them : a panoramic photo and a bite wing photo. The aim of this research is comparing the panoramic photo and the bite wing photo to know the resorption of posterior regio interalveolaris bone. Each samples were treated by the panoramic and bite wing photo. The radiographic result was analysed by two observers. The measurement of height of proximal marginal bone was measured by a special ruler for bite wing photo. In order measure the height of proximal marginal bone from the panoramic photo as well as used the same ruler. The absorption marginal bone was stated by value (score). Statistic test of Wilcoxon two sample test was used in order to compare the panoramic and bite wing photo to know the resorption of regio posterior interalveolaris bone. The result of this research showed that no significant difference between the panoramic and bite wing photo in the measurement of resorption of interalveolaris bone on posterior regio teeth. Keywords: panoramic photo, bite wing photo, alveolaris bone resorption. 64 PENDAHULUAN Latar belakang Untuk menentukan diagnosa dan rencana perawatan yang tepat terhadap suatu penyakit atau kelainan gigi dan mulut, diperlukan pemeriksanaan yang lengkap dan teliti terhadap penderita mulai dari anamnesa, gejala penyakit, dan gejala obyektif sehingga dapat menentukan diagnosa yang tepat. Untuk mendapatkan diagnosa yang tepat, banyak sarana penunjang yang diperlukan. Dalam bidang kedokteran gigi, salah satu sarana penunjang adalah pemeriksaan dengan foto rontgen. Peranan foto rontgen sangat besar, diantaranya dalam membantu menentukan macam dan rencana perawatan yang akan dilakukan (Mc. Call, 1957 ; O’Brein, 1972). Pengamatan resobsi tulang alveolaris dapat dilakukan secara klinis yaitu jika resobsi yang terjadi cukup banyak, namun lebih tepat dan teliti jika dilakukan secara radiografis. Foto-foto rontgen yang dapat dipakai untuk mengamati resobsi tulang alveolaris ini antara lain adalah (Akesson et.al, 1989) : - Foto Bite Wing. Foto Panoramik. Foto Eisler. Foto Periapikal. Penyakit periodontal yang paling banyak adalah keradangan (Hurt, 1976). Keradangan ini dimulai dari gingiva (gingivitis) dan dapat melanjut ke jaringan periodontal yang lebih dalam (periodontitis), yaitu terjadi resobsi tulang interalveolaris. Banyak macam cara pemeriksaan foto rontgen di bidang kedokteran gigi, antara lain : Intra Oral (periapikal, bite wing, oklusal) dan Ekstra Oral (panoramik, waters, TMJ, Postero Anterior). Foto rontgen merupakan salah satu sarana penunjang di antara sekian banyak pemeriksaan yang dipakai untuk menegakkan diagnose dan rencana perawatan gigi. Oleh karena itu keefektifan penelitian radiografik dalam menyelidiki tanda-tanda dasar sangat diperlukan. Ketinggian tulang alveolaris secara normal dipelihara oleh adanya keseimbangan yang konsisten antara pembentukan (aposisi) dan resobsi tulang. Resobsi atulang alveolaris ini dapat terjadi secara patologis karena penyakit periodontal, penyakit sistematik tertentu dan lain-lain, ataupun secara fisiologis karena proses penuaan. Karena tiap-tiap foto rontgen mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, maka pemakaian/pemilihan foto diusahakan dengan menentukan foto rontgen yang mempunyai kekurangan yang paling minimal. Dengan cara menggabungkan dengan foto rontgen lain yang dapat menutupi kekurangan tersebut. Terjadinya resolusi tulang alveolaris dapat diakibatkan oleh perubahan-perubahan sebagai berikut (Glickman, 1972) : Dengan cara foto lebih dari satu macam proyeksi, dapat menghindari keragu-raguan yang dapat timbul dalam mendiagnosa kelainan yang terdapat pada penderita, sehingga dokter gigi segera melakukan rencana perawatan yang tepat. - Peningkatan resobsi dengan aposisi tilang yang normal. - Aposisi tulang yang menurun dengan resobsi yang normal. - Resobsi yang meningkat disertai dengan penurunan aposisi tulang. Secara umum, dikatakan bahwa hasil atau nilai diagnostic dari radiografik panoramik lebih rendah daripada radiografik intra oral (Stenstrom et al, 1982). Tetapi dari Muhammed dan 65 Manson Hinh (1982), Galal et al (1985), dan Douglass et al (1986), mengungkapkan kesamaan yang tinggi antara hasil pada radiografik panoramik dengan intra oral. - Bite wing holder. Pemeriksaan radiografik yang paling sering digunakan dalam melengkapi pemeriksaan klinis maupun penelitian epidemiologis pada kelainan yang ada di daerah periodontal adalah radiografik posterior bite wing, yang dibuktikan sangat bermanfaat dalam penayangan penyakit tulang periodontal oleh Hansen et al (1984). - Film Bite wing Permasalahan 1. Apakah dengan foto panoramik, resobsi tulang interalveolaris regio posterior dapat terlihat? 2. Apakah dengan foto bite wing, resobsi tulang interalveolaris regio posterior dapat terlihat? Bahan-bahan : - Film panoramik - Larutan developer - Larutan fiksasi. Metode 20 sampel diambil dari penderita laki-laki atau perempuan umur 20-50 tahun dengan diagnosis periodontitis yang bergeligi posterior lengkap dengan kontak proksimal mencapai permukaan distal molar pertama permanen. Pada tiap sampel dilakukan dua kali pemotretan, yaitu dengan foto bite wing (kiri dan kanan) dan foto panoramik. Pembuatan radiografik : 3. Di antara foto panoramik dan bite wing, manakah yang lebih tepat digunakan untuk melihat resobsi tulang interalveolaris regio posterior? Tujuan penelitian Untuk membandingkan foto panoramik dan bite wing dalam melihat resobsi tulang interalveolaris regio posterior. BAHAN DAN METODE Alat-alat yang digunakan : - Kaca mulut - Dental x-ray unit foto merk Belmont, Dx-066 A (60 KVp 8 mA) - Panoramik x-ray unit foto (ASAHI AX-4) - Penggaris khusus - Unit pencuci film Pembuatan yang terdiri dari dua radiografik bite wing regio posterior dilakukan dengan menggunakan unit sinar x. Radiografik bite wing diambil dengan angulasi horisontal + 10 dengan menggunakan film E-speed (Ektaspeed, Eastman Kodak, Rochester, USA), dan rata-rata waktu penyinaran 0,4 detik. Radiografik panoramik dibuat dengan menggunakan orthopantomograf (panoramik x-ray unit) merk ASAHI Type AX-4 (modifikasi). Pengamatan : Hasil radiografik dinilai oleh dua pengamat. Masing-masing pengamat melakukan pembacaan terpisah dengan panduan yang sudah ditentukan. Pemeriksaan radiografik : Setelah pemotretan, kemudian dilakukan pencucian film, dengan syarat hasil foto sebagai berikut : 66 - Cemento Enamel Junction harus terlihat. - Kontak proksimal mencapai permukaan distal gigi molar pertama permanen. - Tidak didapatkan distorasi pada hasil foto. Pengukuran tinggi tulang marginal bagian proksimal diukur dengan menggunakan penggaris yang dirancang khusus untuk bite wing foto (lihat gambar 4). Penggaris ini sedikit dimodifikasi dari yang telah digambarkan oleh Hakansson dkk. (1981). Modifikasi berupa penyamaan jarak skor dan penambahan skor, yaitu dari 10 menjadi 15, dengan maksud untuk menambah ketelitian pengukuran. Penggaris tersebut digunakan dengan ketentuan sebagai berikut : - Garis vertikal dari penggaris ditempatkan sejajar dengan sumbu panjang gigi. Jika gigi berakar ganda maka garis dari puncak cusp mesial/ distal ke apeks mewakili sumbu panjang gigi. - Garis pertama dari penggaris ditempatkan berhimpit dengan puncak mahkota sisi yang diperiksa. - Garis kedua dari penggaris ditempatkan berhimpit dengan CEJ sisi yang diperiksa. Resobsi tulang marginal dinyatakan dengan nilai (skor). Untuk bisa mendapatkan pembandingan langsung antara kedua metode yang digunakan, maka digunakan penggaris yang sama untuk radiograf bite wing maupun radiograf panoramik. Kriteria skor : 4 : normal. 5 - 8 : kerusakan tulang alveolaris sampai 1/3 akar gigi. 8 - 11 : kerusakan tulang alveolaris sampai 2/3 akat gigi. 11 - 15 alveolaris. : kerusakan total tulang Uji statistik : Untuk membandingkan foto panoramik dan bite wing dalam melihat resobsi tulang interalveolaris regio posterior, maka menggunakan uji statistik Wilcoxon two sample test. HASIL Data yang dihasilkan dari penelitian ini adalah data ordinal, karena penilaian atau pengukuran yang dilakukan berupa skor. Dalam penelitian ini dilihat terlebih dahulu nilai kesepakatan antar pengamat. Nilai dihitung dengan membandingkan hasil pengukuran oleh kedua pengamat dari masing-masing gigi, yaitu premolar kedua, molar pertama, molar kedua pada sisi kanan dan kiri. Hasil penelitian ini diolah secara statistik, yaitu dengan Wilcoxon two sample test untuk 2 grup. Grup 1 adalah hasil ranking dari pengamat 1. sedangkan grup 2 adalah hasil ranking kemaknaan ( = 0,05) p>0,02 Hi ditolak. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut : 67 TABEL 1. Resobsi tulang interalveolaris dengan menggunakan perhitungan Wilcoxon two sample test pada foto panoramik antara pengamat 1 dan pengamat 2. Rahang bawah FOTO PANORAMIK Sisi Nama Gigi Mean Rank Mean Rank 2 – tailed P Grup 1 Grup 2 Kanan P2 M1 M2 21,35 22,85 21,05 19,65 18,15 19,95 0,5644 0,1594 0,7398 Kiri P2 M1 M2 22,85 23,30 21,75 18,15 17,70 19,25 0,1594 0,0962 0,4595 Keterangan : P2 = Premolar kedua M1 = Molar pertama M2 = Molar kedua Dari hasil perhitungan masing-masing gigi tersebut, terlihat bahwa hasilnya lebih besar dari 0,025. berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara pengamat 1 dan pengamat 2 dalam pengukuran resobsi tulang interalveolaris pada gigi-gigi premolar kedua, molar pertama, molar kedua rahang bawah sisi kanan dan kiri pada foto panoramik. TABEL 2. Resolusi tulang interalveolaris dengan menggunakan perhitungan Wilcoxon two sample test pada foto bite wing antara pengamat 1 dan pengamat 2. Rahang bawah FOTO BITE WING Sisi Nama Gigi Mean Grup 1 Kanan P2 M1 M2 19,55 23.45 20,50 21,45 17,55 20,50 0,5603 0,0796 1,0000 Kiri P2 M1 M2 21,35 22,40 21,00 19,65 18,60 20,00 0,5883 0,2673 0,7471 rank Mean Grup 2 rank 2 – tailed P 68 Dari hasil perhitungan masing-masing gigi tersebut, terlihat bahwa hasilnya lebih besar dari 0,025. berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara pengamat 1 dan pengamat 2 dalam pengukuran resobsi tulang interalveolaris pada gigi premolar kedua, molar pertama, molar kedua rahang bawah sisi kanan dan kiri pada foto bite wing. Setelah diketahui nilai kesepakatan antara pengamat, maka kini membandingkan hasil pengukuran resobsi tulang interalveolaris antara foto panoramik dan foto bite wing, dengan uji statistik Wilcoxon two sample test untuk 2 grup pada taraf kemaknaan ( = 0,05). Grup 1 adalah hasil rangking dari foto panoramik. Sedangkan grup 2 adalah hasil rangking dari foto bite wing. TABEL 3. Resolusi tulang interalveolaris dengan menggunakan perhitungan Wilcoxon two sample test antara foto panoramik dan foto bite wing. Rahang bawah MEAN RANK Sisi Nama Gigi Mean Grup 1 Kanan P2 M1 M2 35,96 41,14 38,40 45,04 39,86 42,60 0,0406 0,7870 0,3712 Kiri P2 M1 M2 41,14 41,55 44,31 39,86 39,45 36,69 0,7870 0,6619 0,0963 Dari hasil perhitungan masing-masing gigi tersebut, terlihat bahwa hasilnya lebih besar dari 0,025. berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara foto panoramik dan foto bite wing dalam pengukuran resobsi tulang interalveolaris pada gigi premolar kedua, molar pertama, molar kedua rahang bawah sisi kanan dan kiri. DISKUSI Dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat adanya variasi didalam pengukuran resobsi tulang interalveolaris antara foto panoramik dengan foto bite wing. Sedangkan dari analisa data dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara foto panoramik dan rank Mean Grup 2 rank 2 – tailed P foto bite wing dalam pengukuran resobsi tulang interalveolaris pada gigi premolar kedua, molar pertama, molar kedua rahang bawah sisi kanan dan kiri. Ini menunjukkan adanya kesamaan dalam radiograf panoramik dan bite wing untuk mendiagnosis resobsi tulang interalveolaris regio posterior. Resobsi tulang interalveolaris dinyatakan dalam skor/nilai. Untuk bisa mendapatkan pembandingan langsung antara kedua metode yang digunakan, maka digunakan penggaris yang sama untuk radiograf panoramik maupun radiograf bite wing. Dengan menggunakan penggaris tersebut, akan memungkinkan untuk menilai resobsi tulang interalveolaris, meskipun apeks gigi tidak terlihat dalam radiograf, 69 sebagaimana terjadi pada bite wing (Hakansson et. Al, 1981). radiografi panoramik jauh lebih rendah dari pada bite wing. Dalam penelitian ini, pengukuran hanya dapat dilakukan pada gigi-gigi posterior rahang bawah yang dimulai dari premolar kedua sampai dengan molar kedua sisi kanan maupun kiri. Hasil radiograf panoramik dari gigi-gigi posterior rahang atas sisi kanan tidak jelas atau kabur sehingga cemento enamel junction pada regio tersebut sulit terlihat pada premolar pertama rahang atas sisi kanan sering kali tidak memungkinkan untuk dinilai karena adanya penumpukan, sedangkan pada sisi kiri gigi-gigi posterior rahang atas dapat terlihat cukup jelas. Ini kemungkinan disebabkan karena alat yang digunakan di laboratorium Rontgenologi Mulut FKG UNAIR yaitu panoramik x-ray unit foto kurang ideal. Bagian tube dari panoramik x-ray unit foto pernah mengalami kerusakan, sehingga tube yang digunakan pada panoramik x-ray unit foto diganti dengan tube type lain. Akibstnya. Hasil radiograf panoramik menjadi kurang ideal. Dalam penelitian ini, tidak ada metode yang dianggap lebih baik dari metode lainnya. Adanya kesamaan dalam pengukuran resobsi tulang Tidak dilakukannya penelitian untuk gigi-gigi regio anterior rahang atas dan rahang bawah karena terjadinya “super imposed” dari struktur anatomis yang menutupinya, yang mana situasi hasil radiografi yang demikian ini sangat menyulitkan pengamat didalam memberikan gambaran-gambaran anatomis secara rinci. Sedangkan pada foto bite wing, hasil radiograf dapat terlihat jelas, karena pada teknik bite wing digunakan film holder yang merupakan metode yang praktis dan sederhana sebagai penjepit film sehingga film tidak bergerak dan kedudukannya sesuai dengan posisi yang dikehendaki. Pada keadaan dimana nilai yang didapat dari kedua metode radiograf berbeda, survey panoramik cenderung menunjukkan resobsi tulang yang lebih parah dari pada yang terlihat pada bite wing. Hasil ini sesuai dengan hasil yang diberikan oleh Douglass et.al (1986), yang mendapatkan bahwa kemampuan detail interalveolaris regio posterior pada foto panoramik maupun bite wing menunjukan bahwa kedua metode tersebut dapat saling menunjang dalam mendiagnosis resobsi tulang interalveolaris regio posterior. Hanya kelebihan dari foto panoramik yaitu dapat menampakkan gambaran radiograf seluruh gigi-gigi rahang atas dan rahang bawah dalam satu lembar film. Sedangkan pada foto bite wing hanya dapat menampakkan beberapa gigi saja dalam setiap regio, sehingga memerlukan foto lebih banyak. Dengan ketepatan dalam melihat resobsi tulang interalveolaris melalui foto panoramik dan bite wing ini, maka diharapkan dapat menunjang diagnosa yang tepat di bidang kedokteran gigi, khususnya mengenai penyakit periodontal. KESIMPULAN Dari hasil penelitian radiografik tentang perbandingan foto panoramik dan bite wing pada diagnosis resobsi tulang intertalveolaris ragio posterior, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara foto panoramik dan bite wing didalam pengukuran resobsi tulang interalveolaris, dimana nilai kesamaan tersebut ditunjang dengan nilai kesepakatan antar pengamat. Namun demikian, kesamaan ini bervariasi dengan derajat resobsi tulang dan jenis gigi. Akibatnya, apabi;a radiograf panoramik ini digunakan pada pemeriksaan klinis, maka pemeriksaan tersebut harus dilengkapi radiograf bite wing, pada daerah dimana kualitas bayangan gigi tidak jelas (Akessom et.al, 1989) dan pada daerah perhatian utama. Hasil radiograf dapat dipengaruhi oleh penggunaan alat pada masing-masing metode, diantaranya adalah pengaturan 70 posisi penderita. Apabila hal ini kurang diperhatikan, maka dapat memungkinkan terjadi pemendekan atau pemanjangan bayangan dari gigi, ataupun pembesaran dan pengecilan ukuran. Hal ini akan menimbulkan variasi dalam pengukuran resobsi tulang interalveolaris pada foto panoramik dan bite wing. Meskipun kedua metode tersebut mempunyai keunggulan masing-masing, tidak berarti kita akan meninggalkan radiografik yang konvensional. Suatu kombinasi dari penggunaan foto panoramik dengan bite wing akan memberikan kesempurnaan yang tinggi untuk membantu pemeriksaan klinis dalam menegakkan diagnose. DAFTAR PUSTAKA Akesson, L., et.al., (1989) : Comparison Between Panoramik and Posterior Bite Wing Radiography in The Diagnosis of Periodontal Bone Loss, J. Dent., 17 ; p. 266 – 271. Allen. D.L. Mc. Fall, WT. And Huter, G.C. (1987) : Periodontics For The Dental Hygienist, 4 th ed., Led amd Febiger, Philadelphia, p. 24 – 28, 118 – 124. Bernerd Rosner (1988) : Fundamentals of Biostatistics, 2nd ed., PWS Publishers, p. 288 – 293. Boedihardjo dan Rahman, T.S (1980/1981) : Distribusi Kerusakan Tulang Alveolaris pada Penderita Muda dengan Penyakit Periodontal, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya, h : 1-2. Carranza, P.A. (1984) : Glickman’s Clinical Periodontology, 6th ed., W.B Saunders Company, Philadelphia, London, Toronto, Mexico City, Rio de Janeiro, Tokyo, p. 51 – 61, 234 – 249, 513 – 517. Douglass M.C.W. Valachovic R.W., Wijesinha A. et al (1988) : Clinical Efficacy of Dental Radiography in The Detection of Dental Caries and Periodontal Doseases, Oral Surg. Oral Med. Oral Pathol. ; 62 : 330 – 339. Ennis, L.M. Berry, H. and Philips, J.E, (1967) : Dental Rotegenology, 6th ed., Philadelphia, Lea and Febriger. Fourel, J. (1972) : A Feriodontal Syndrome, Journal of Periodontology, vol. 43, p. 240-250. Galal A., Manson – Hing L. amd Jamison H.A (1985) : A Comparison of Combinations of Clinical and Radiographic Wxaminations in Evaluation of a Dental Clinis Population, Oral Surg, Oral Med, Oral Pathol ; 60 : 553 – 561. Glickman, I., (1972) : Prevention , Diagnosis ant Treatment of Periodontal Disease in The Practice of General Dentistry, Clinical Periodontology, 4 th ed., W.B. Saunders Company, Philadelphia, London, Toronto, p. 57 – 73, 218 – 232, 499 – 502. Goldman H.N, (1949) : Periodontia, A Study of the Histology, Physiology and Pathology of the Periodontium and the Treatment of Its Disease, 2md ed, The CV. Nosby Company, Saint Louis, P. 23 – 25, 80 – 89. Gold,am H.M. and Cohen, W.W. (1959) : Periodontia, The Art and Science of Examination and Diagnosis of Periodontal Disease, 4 th end, The CV. Mosby Company, Saint Louis, P. 40 – 45, 57. Grandt, D.A. ; Stren ; I.B and Everest, F.V. (1979) : Orbans periodontics, 5 th ed., Lea and Febriger, Philadelphia l 245, 280 – 282. Hkansson J., Bjorn A.L. and Konsson B.G. (1981) : Assesment of the Proximal Periodontal Bone heigh From Radiographs With Partial 71 Reproduction of the Teeth. Swad, Dent. J. 5, 147 – 153. Hansen B.F., Gjermo P. and BergwitzLarsen K.R. (1984) : Periodontal Bone Loss on 15-years Old Norwegians, J. Clin Periodontol. : 11 : 125 – 131. Hurt, W.C (1978) : Periodonties in General Praxtice, Charles C. Thomas Publisse, Illionis, P. 82. Manson J.B (1980) : Periodontics, 4th ed. Henry Kimpron Publisher, London, p. 21- 25. Mason, Rita A. (1982) : A Guide to Dental Radiography, 2nd ed., Wright, PSG, Bristol London Boston. Mc. Call J.C. and Walt S. S. (1957) : Clinical Dental Ronthenology, Thnic and Interpretation Including, Ronthen Studies of the Child and the Adolescent, 4th ed., Philadelphia and London, W.B, Saunders Co. Updegrave, W.J. (1989) : The Rule of Panoranic Radiofraphy in Diagnosis, Osomop, 22 (a). Worth, H.M (1969) : Principles and Practise of Oral Radiologc st Interpretation, 1 ed., Year book Medical Publisher Inc, Chicago, p. 1823. Wuehrmann, A.H. and Manson-Hing, L.R. (1977) : Dental Radiology, 4 th ed., Saint Louis, The C.V. Mosby Company. Zappra, U. Simona, C ; Graf, H. and van Aken, J. (1991) : Invivo Determination of Radiographic Protection Errors Produaced by A Novel Filmn Holder and A X-ray Beam Manipulator, J. – Periodontal, November. Muhammad A.H. and Manson Hing L.R, (1982) : A Comparison Panoramic and Intra Oral Radiographic Surveys in Evaluatng A Dental Clinic Population, Oral Surg. Oral Med. Oral Pathol. ; 54 : 108 – 117. O’ Brein, R,C, (1972) : Dental Radiography, W.B. Saunders and Co, Philadephia, London, Toronto. Stafne, et.al (1975) : Oral Rontegenographic Diagnosis, 4 th., W.B saiders Companym Philadelphia, London, Toronto, p. 114 – 116, 390 – 391. Stanstrom B., Julin P. and Lavstedt S. (1982) : Comparison Between Panoramic Radiographic Techniques. Part II : Marginal Bpne Level Interpretabilitu With Status and orthopantomograph, Model OP10, Dentomaxillofac, Radiol, ; 16 : 11-15. 72 APOPTOSIS PADA OVARIUM SEBAGAI MEKANISME KEMATIAN SEL FISIOLOGIS Paul S. Poli Departemen Fisiologi Fakultas Kedokteran Wijaya Kusuma Surabaya Universitas Abstrak Dalam rangka untuk mengontrol perkembangan embrio dan juga untuk mempertahankan proses apoptosis jaringan dewasa diperlukan. Untuk memenuhi peran ini, apoptosis terjadi berdasarkan program genetik yang diaktifkan oleh rangsangan dari sinyal eksternal dan internal. Dalam ovarium sebagai organ yang menghasilkan folikel telur, hanya folikel dominan yang dibutuhkan untuk menjadi sel telur. Folikel tetap akan mengalami atresia. Dalam hal ini proses apoptosis pada wanita reproduksi merupakan strategi untuk memilih folikel dominan. Namun, itu adalah mekanisme rumit untuk mengontrol proses apoptosis yang melibatkan berbagai protein seperti Bcl-2, p53, Bax, dan Buruk telah dinyatakan dalam penelitian baru-baru ini. Mereka protein adalah bagian dari keluarga pro dan antiapoptotic. Informasi lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas peran apoptosis sebagai mekanisme fisiologis untuk memilih folikel dominan di ovarium pada wanita reproduksi. Kata kunci: apoptosis, ovarium, telur, folikel, atresia. APOPTOSIS IN OVARY AS A PHYSIOLOGICAL CELL DEATH MECHANISM Paul S. Poli Department of Physiology of Faculty of Medicine of Wijaya Kusuma University Surabaya Abstract In order to control the embryonic development and also to maintain the adult tissues apoptosis process is needed. To fulfill this roles, apoptosis occurred based on genetic program which activated by the stimulation of external and internal signals. In ovary as an organ which produced follicle for eggs, only dominant follicle is needed to be ovum. The remain follicle will undergo atresia. In this regard the apoptosis process in reproductive woman is a strategy to select the dominant follicle. However, it is a complicated mechanisms to control the apoptosis process which involved of the various protein such as Bcl-2, p53, Bax, and Bad has been revealed in recently research. Those proteins are part of the family of pro and antiapoptotic. The further information is needed to clarify the roles of apoptosis as a physiological mechanism to select the dominant follicle in ovary in reproductive woman. Key words: apoptosis, ovary, egg, follicle, atresia. Introduction Apoptosis or program cell death has a key role both ini the maintain of adult tissues and embryonic development. In this roles, apoptosis is differ from accidental death of cells resulting from injury, i.e. apoptosis is an active process in which genes are responsible for both the regulation or execution. It was first recognized by pathologist in 1972, named after Greek word for “falling off,” or “dropping of leaves.” In other word, apoptosis is the removal of cells by cell death. It is hypothesized that apoptosis occurred as result of a genetic program activated by developmental and environmental stimuli. Basically, apoptosis is trigerred by internal and external signals. Furthermore, the survival of organism is dependent on its cells replication. For this reason the control of replication is essential and though there is a number of protein that act as a cell cycle brake. 73 The objective of this writing is to show the role of apoptosis in follicular atresia. In this regard in a female’s ovaries contain an estimated 2-4 million eggs in utero. Only 200 000 – 400 000 afollicles remain in the beginning of active reproduction. Of these, all but about 400 are destined for atresia during woman’s reproductive life. So, 99.99% of the ovarian follicle present at birth will undergo atresia. Apoptosis phenomenon Apoptosisis is a normal feature of the differentiation anf maturation of an organism, and the number of division of all types of cells is precisely controlled. Therefoyre, we dcan think that the rate of growth is the result of cell proliferation minus cell death. This is the strategy of organism to select certain cells for survival and also is a complementary but opposite role of mitosis in regulation of animal cell populations. Numerous protein involved in apoptosis mechanisms. Recent evidence has shown that Bcl-2 family and p53 takes a role. Bcl-2 family consist of anti-apoptosis e.g Bcl-XL and proapoptosis Bax, Bad. P53 is a transcription factor, involved in apoptosis following DNA damage. The mutation of p53 will increase the carcinogenesis. In the development of the fetal nervous system, over one half of neurons that exist in the early fetus are lost by apoptosis during development to form the mature brain. In the production of immune competent T cells a selecxtion process occurs that eliminates cells recognize and react against self. In ovary, by eliminating the cell death gene Bax in mice, researchers have extended the life span of the animal’s ovary into old age. For every cell, there is a time to live and a time to die. However, in what ways the cells shall die? It was apparently through: a. Killed by injurious, and b. Induced to commit suicide. They are also responsible for a cell commit suicide. There are two different mechanisms by which a cell commits suicide by apoptosis: a. b. - Signals arising within the cell, Triggered by death activators such as: tumor necrosis factor alpha (TNF-α) Lymphotoxin Fas ligand The signals arising within the cell or by internal signals are: 1. Βcl-2 (β-cell leukemia/lymphoma) is a protein which express on the membrane of mitochondria. Bcl-2 is bound to a molecule of the protein Apaf-1 (apoptotic protease activation factor). 2. Cytochrome C (an enzyme of cellular respiraton is released into cytosol from mitochondria) + Apaf-1 bind to molecule Caspase 9. The signals or triggered by activators such as TNF, Fas ligand. And also the initiators of apoptosis include anticancer drugs such as IL-1, growth factors, glucocorticoid, some virals protein, and various other cytokines. In this regard, the characteristics of a normal physiological response to specific suicide signals, or lack of survival signals: A. Chromatin condenses and migrates to nuclear membrane B. Internucleosomal cleavage C. Cytoplasm shrinks without membrane rupture D. Blebbing of plasma and nuclear membrane E. Cell contents are package to be engulfed by neighbours F. Epitopes appears on plasma membrane marking cell as a phagocytic target. Signals for apoptosis, on the other hand promote the action of specific calcium and 74 magnesium dependent endonuclease that cleavages the double stranded DNA at linker regions between nucleosomes. Sustained increases in intracellular free calcium precedes apoptosis, in other word if the amount of free calcium can be reduced, the onset of apoptosis can be delayed. How the calcium might act is via the IP3, the second messenger which promotes the release of Ca++ from internal stores. An insider look to apoptosis in ovary. Recent studies indicate that apoptosis occurs in the ovary during follicular atresia in several animal species, including the rat, pig, chicken, baboon, and rabbit. In line to the objectives of this writing, let us look into the oogenesis in brief: The germ cedlls or oogonia which undergo mitotic division during development in utero. Three months after conception, the oogonia develop into primaty oocytes, which begin a first meiotic division by replicating their DNA. The division is not complete until puberty (meiotic arrest). Only primary oocyt which destined for ovulation will ever complete the first meiotic division to be secondary oocyte is fertilized. The other parts of division which lack of cytoplasma is called polar body. The net result of oogenesis is that each primary oocyte can produce only one ovum. The ovum exist in structures known as follicle. Follicle begins as primary follicles, which surrounded by granulose cells, theca cells and zona pellucid. Only one dominant follicle continous to develop, and other follicle has begun to undergo degenerative called atresia. Thus, it appears that follicle atresia is one example of apoptosis or program cell death in oogenesis and follicle growth. In case of ovary, the apoptosis occurred in: a.Female germ cells, oogonia and oocyte during fetal development b.granulosa cells, follicular atresia during reproduction period The only one follicle which has been selected for ovulation, while others undergoes atresia. The initiation of apoptosis is in granulose cells,, which has been documented by both morphological and biochemical criteria. In this relation, the FSH and LH are endocrine factors responsible for inhibiting apoptosis in granulose cells of developing follicles. And for the sake or paracrine factors which are responsible for apoptosis is progesterone for activating apoptosis, while estrogen, growth hormone (GH) via insulin like growth factor-I (ILGF-I) for inhibiting apoptosis. The other hormone which prevent the apoptosis is gonadotropin and induction by androgen and GnRH. Pathways of apoptosis in normal ovary is regulated in all p53 and Bcl-2 family of genes. These genes play a role, activating either as inhibitor or promotes of apoptosis. Along with apoptosis mechanism, the follicular atresia is known to occur by apoptosis, but the molecular triggers for these process are not understand. Currently, it has been hypothesized that the Fas antigen is a potential role as a transmembrane receptors which triggers apoptosis. The Fas antigen share homology with a family receptors including TNF receptor, NGF receptor. Atretic follicles have increased DNA fragmentation and expression of Fas gene resulting in apoptosis in rats and humans, and these may be used to detect apoptosis in atretic Bovine follicles. Also atretic follicles express less cytochrome P450 17α-hydroxylase (P450 c17), P450 scc, P450 arom, mRNA than healthy follicles. And LH increased may decrease apoptosis and expression of Fas gene. At last, the ovary has proven to be an excellent model to study the role of cell 75 death genes in a physiological setting of endocrine-reguulated apoptosis. So, the meaning of apoptosis: The inhibition of apoptosis may contribute to disease, and a high rate of apoptosis probably contributes to degenerative disease such as osteoporosis. In other meaning, that is mutation in the p53 gene, producing a defective protein, for example in cancer cells. Apoptosis is an attribute as needed for proper development as mitosis and also is needed to destroy cells that represent a threat to integrity of organism. Conclusions: 1. Apoptosis is the strategy of organism to select certain cells to survival 2. It is hypothesized occurred as result of a genetic program activated by developmental and environmental stimuli. 3. Control of apoptosis through signals pathway and the genes. 4. Death signals are integrated by specific intracellular, modulated and targeted activate a cascade of cycteine protease called Caspase. 5. The stages of apoptosis may be considered as initiation, genetic regulation, and effector mechanism. 6. Less than 1% of the follicles present in the ovary are destined to ovulate, while the majority become atretic. 7. The non-selected follicle is terminated by the process of atresia. 8. Granulosa cells are lost by apoptosis at the onset of follicular atresia. Fuller GM, Shields D (1998). Molecular basis of medical cell biology. First ed. A Lange medical book. Prentice Hall, Intl, Stanford, Connectitut. Lodis H et al (1995). Mollecular cell biology, 3rd ed. Scientific American Book, New York, NY. McCall K, Steller H (1997). Facing death in the fly: genetic analysis of apoptosis in drosophila. Trends in Genetics; 13:222— 226. Palumbo A, Yeh J (1994). In situ localization of apoptosis in the rat ovary during follicular atresia. Biol Reprod. 1994; 51: 8-95. Peter ME, Heufelder AE, Hengartner MO (1997). Advances in apoptosis research. Proc Natl Acad Sci USA, 94: 1273-7. Spencer SJ, Cataldo NA, Jaffe RB (1996). Apoptosis in the human female reproductive tract. Obstet. Gynecol Surv. May, 51(5):324-23. Szalai G, Krishnamurthy R, Hajnoczky (1999). Apoptosis driven by IP3— linmked mithochondrial calcium signals. EMBO Journal, 188:6349-31. Tilly JL, Tilly KL, Perez GI (1997). The genes of xcell death and cellular susceptibility to apoptosis in the ovary: a hypothesis. Biol Reprod. 1997; 4: 180187. Vander A Sherman J,, Luciano D (2001). Homeostatic mechanisms anad cellular communication. In: Human physiology. The mechanisms of body function. McGraw-Hill Inc, New York, NY. References Adams GP (1992). Role of LH pulse frequency and P4 in the growth and function of Bovine ovarian follicles. J Reprod Fert, 94:177. Cooper GM (1997). The Cell. A molecular approach. ASM Press, Washington DC. 76 POLA PERDARAHAN PERVAGINAM BERDASARKAN HASIL D & C TAHUN 2007 DI RSU PROF. Dr. RD. KANDOU MANADO Widjaja Indrachan, Max Rarung, Joel Laihad Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Tujuan : Mengetahui pola perdarahan pervaginam di RSU Prof. Dr. RD. Kandou Manado tahun 2007 yang dilakukan D & C. Tempat : Penelitian dilakukan di Bagian Kebidanan dan Kandungan Universitas Sam Ratulangi / RSU Prof. Dr. Rd. Kandou Rancangan : Deskriptif retrospektif. Bahan : Hasil D & C pasien perdarahan pervaginam tahun 2007 yang diperiksa di laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Unsrat. Hasil : Mayoritas penderita perdarahan pervaginam yang bukan disebabkan kehamilan dan keganasan serviks uteri; berasal dari kelompok usia > 40 tahun sebesar 675 kasus (79,69 %), dengan usia termuda 11 tahun dan usia tertua 72 tahun. Hasil D & C sebagian besar adalah endometrium normal (53,33 %), hanya 24,82 % saja dari seluruh subyek yang memerlukan tindakan kuretase yaitu pada kasus-kasus hiperplasia ( 22,6 % ), endometrium fase desidua ( 1,11 % ) dan karsinoma ( 1,11 % ). Kesimpulan : Kasus perdarahan pervaginam di RSU Prof. Dr. RD. Kandou selama periode 1 Januari 2007 sampai 31 Desember 2007 berdasarkan hasil pemeriksaan D & C terbanyak disebabkan oleh DUB sebanyak 53,33 % , sedangkan keganasan endometrium ditemukan sebanyak 1,11 % Kata kunci : Perdarahan pervaginam, D & C. RESULTS BASED ON PATTERN vaginal bleeding D & C PROF OF 2007 IN RSU. Dr. RD. Kandou MANADO Indrachan Widjaja, Max Rarung, Joel Laihad Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya abstract Purpose: Knowing the pattern of vaginal bleeding in the RSU Prof. Dr. RD. Kandou Manado in 2007 that made D & C. Place: The study was conducted in the Department Obstetrics and Gynecology University of Sam Ratulangi / RSU Prof. Dr. Rd. Kandou Draft: Descriptive retrospective. Materials: The D & C vaginal bleeding in 2007 patients examined at the laboratory UNSRAT Anatomical Pathology Faculty of Medicine. Results: The majority of patients with vaginal bleeding is not due to pregnancy and uterine cervical malignancy; derived from the age group> 40 years for 675 cases (79.69%), with the youngest aged 11 years and the oldest 72 years of age. The results of D & C is largely normal endometrium (53.33%), only 24.82% of all subjects requiring curettage in cases of hyperplasia (22.6%), endometrial decidual phase (1.11% ) and carcinoma (1.11%). 77 Conclusion: The case of vaginal bleeding in the RSU Prof. Dr. RD. Kandou during the period January 1, 2007 until December 31, 2007 based on the results of D & C is caused by DUB ever as much as 53.33%, while the malignancy of the endometrium is found as much as 1.11% Key words: vaginal bleeding, D & C. Pendahuluan Perdarahan pervaginam yang sifatnya tidak normal sering dijumpai. Perdarahan tersebut dapat berhubungan dengan siklus haid ataupun tidak. Perdarahan yang didahului oleh haid yang terlambat biasanya disebabkan oleh abortus, kehamilan mola, atau kehamilan ektopik. Walaupun demikian, kemungkinan perdarahan karena polipus servisis uteri, erosio porsio uteri, dan karsinoma servisis uteri tidak dapat disingkirkan begitu saja tanpa pemeriksaan yang teliti. Perdarahan dalam menopause perlu mendapat perhatian khusus karena gejala ini mempunyai arti klinik yang penting.1-5 Metroragia merupakan gejala penting karsinoma servisis dan karsinoma korporis uteri. Juga sarkoma uteri yang bertukak dapat menyebabkan perdarahan. Tumor ganas ovarium jarang disertai perdarahan, kecuali kadang-kadang pada tumor sel granulose dan tumor sel teka. Selain oleh tumor ganas, pardarahan pada menopause dapat pula disebabkan oleh kelainan lain, seperti karunkula urethralis, vaginitis/endometrisis senilis, perlukaan vagina karena pemakaian pessarium terlampau lama, polipus servisis uteri, atau erosio porsio uteri. Pemberian estrogen dalam klimakterium dan menopause dapat pula menyebabkan perdarahan abnormal.1 Metroragia dapat terjadi pada usia perimenars, usia reproduksi dan usia perimenopause. Perdarahan terjadi pada pertengahan siklus, tak teratur, sedikit atau sangat banyak. Penyebab perdarahan uterus abnormal dapat dikelompokkan sebagai organik dan anorganik. Paling sering disebabkan oleh kelainan organik. Sangat jarang ditemukan kelainan endokrinologik.1-5 Penyebab organik antara lain penyakit traktus reproduksi, penyakit sistemik, akibat pemakaian obat. Penyebab non organik ( perdarahan uterus disfungsional ) sulit diukur dan dihubungkan dengan perdarahan uterus abnormal seperti stress fisik dan emosi, perubahan berat badan, diet dan lain-lain.6 Perdarahan uterus disfungsional dapat disebabkan karena siklus yang berovulasi maupun yang tidak berovulasi.7,8 Pemeriksaan ginekologi yang berhubungan dengan perdarahan abnormal pervaginam terutama memfokuskan pada pemeriksaan endometrium. Metode standard untuk pemeriksaan endometrium adalah dilatasi dan kuretase ( D & C )9,10 Maksud dari penelitian ini untuk mendapatkan gambaran mengenai pola perdarahan pervaginam di RSU Prof. Dr. RD. Kandou berdasarkan hasil D&C tahun 2007. BAHAN DAN CARA Penelitian ini dilakukan pada wanita yang berobat ke IRDO (Instalasi Rawat Darurat Obsgyn) dan poli ginekologi RSU Prof. Dr. RD. Kandou yang mengalami perdarahan pervaginam dari 1 Januari 2007 – 31 Desember 2007. Data diperoleh dari registrasi RSU Prof. Dr. RD. Kandou & hasil D & C pasien perdarahan pervaginam tahun 2007 yang diperiksa di laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Unsrat. HASIL PENELITIAN Selama periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2007, tercatat 847 kasus perdarahan pervaginam yang bukan 78 disebabkan oleh kehamilan dan keganasan serviks uteri, yang datang di RSU Prof. Dr. Kandou. Terdapat 176 kasus datang ke IRDO dan 671 kasus datang ke poli kandungan. Tabel 1. Jumlah pasien perdarahan pervaginam di RSU Prof. Dr. Kandou tahun 2007 Periksa ke Jumlah Prosentase IRDO 176 20.78% Poli kandungan 671 79.22% Jumlah 847 100.00% Mayoritas penderita perdarahan pervaginam yang bukan disebabkan kehamilan dan keganasan serviks uteri berasal dari kelompok usia > 40 tahun sebesar 675 kasus ( 79,69 % ), dengan usia termuda 11 tahun dan usia tertua 72 tahun. Tabel 2.Distribusi umur terjadinya perdarahan pervaginam di RSU Prof. Dr. Rd. Kandou tahun 2007 Umur Jumlah Prosentase 10-19 th 20 2.36% 20-29 th 51 6.02% 30-39 th 101 11.92% > 40 th 675 79.69% 847 100.00% Hasil D & C yang terbanyak adalah endometrium fase proliferasi sebanyak 86 kasus (31,85 %), 58 kasus (21,58 %) adalah endometrium fase sekresi, 2 kasus (0,74 %) adalah hyperplasia endometrium atipik dan hanya 3 kasus keganasan (1,11 %). Tabel 3. Hasil D & C di RSU Prof. Dr. Rd. Kandou tahun 2007 No Hasil Jumlah Prosentase 1 Adeno Ca 3 1.11% 2 Endometrium fase proliferasi 86 31.85% 3 Endometrium fase sekresi 58 21.48% 4 Endometrium atrofi 23 8.52% 79 5 Hiperplasi glandular kistik 59 21.85% 6 Endometrium fase desidua 3 1.11% 7 Endoservisitis 6 2.22% 8 Hormonal imbalance 30 11.11% 9 Hiperplasia endometrium atipikal 2 0.74% 270 100.00% Total Diskusi Diagnosis histopatologi terbanyak dari kuretase endometrium adalah hyperplasia glandular kistik ( 21,85 % ). Namun bagian terbesar dari hasil dilatasi dan kuretase menunjukkan endometrium tanpa kelainan nyata ( normal ) sebanyak 53,33 %. Endometrium normal dapat merupakan endometrium fase proliferasi ( 31,85 % ) dan endometrium fase sekresi ( 21,48 % ). Terdapat 6 sediaan ( 2,22 % ) dengan hasil histopatologik bukan kelainan endometrium misalnya endoservisitis. Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa sebagian besar hasil kuretase adalah endometrium normal, sisanya sebetulnya hanya 24,82 % saja dari seluruh subyek yang memerlukan tindakan kuretase yaitu pada kasus-kasus hiperplasia ( 22,6 % ), endometrium fase desidua ( 1,11 % ) dan karsinoma ( 1,11 % ). Data tersebut menunjukkan perlunya suatu upaya diagnostik lain untuk dapat menentukan kasus yang betul-betul memerlukan tindakan kuretase. Beberapa upaya diagnostik yang diperlukan disamping anamnesis dan pemeriksaan klinis yang cermat adalah pemeriksaan β hCG urine dan pemeriksaan ultrasonografi transvaginal. Hasil histopatologi endometrium normal tampak tinggi pada beberapa kelompok usia, sebetulnya tindakan kuretase harus betul-betul dilakukan secara selektif mengingat prosentase hasil abnormal kecil pada kelompok usia muda. Perdarahan pervaginam pada gambaran D & C normal terdapat pada penyebab anorganik ( DUB ). DUB dapat terjadi pada siklus yang ovulatoar maupun anovulatoar. Perdarahan pervaginam dapat pula diakibatkan oleh gangguan keseimbangan hormonal, yang pada penelitian ini didapatkan sebanyak 11,11 %. Tanriverdi dkk di Turki melakukan penelitian terhadap 127 wanita dengan perdarahan pervaginam yang dilakukan dilatasi dan kuretase mendapatkan 86 kasus normal (67,71 %), 5 kasus hiperplasia ( 3,94 % ), 13 kasus endometrium atrofi ( 10,24 % ),10 kasus endometritis ( 7,87 % ) dan 13 kasus tidak dapat didiagnosis akibat sediaan yang tidak adekuat ( 10,24 % ).9 Muzaffar dkk di Pakistan melakukan penelitian terhadap 260 wanita dengan perdarahan pervaginam yang dilakukan dilatasi dan kuretase mendapatkan 24,7 % kasus hiperplasia, 13 % kasus chronic non spesifik endometritis, 1,2 % kasus polip endometrium, 0,8 % kasus endometrium atrofi dan keganasan endometrium sebanyak 0,4 % kasus.10 Dari studi ini disimpulkan perlunya evaluasi medis yang seksama sebelum dilakukan tindakan yang invasive. Pada pasien yang muda, penyebab perdarahan pervaginam terutama adalah siklus anovulasi. Sedangkan pada usia pertengahan, perdarahan pervaginam terutama diakibatkan oleh kadar estrogen tinggi akibat pemakaian Hormon Replacement Therapy (HRT) dan akibat suntikan kontrasepsi hormonal. Faktor stress psikologi juga berpengaruh. Selain akibat DUB, beberapa sebab organik menyebabkan kelainan haid.10 80 KESIMPULAN Kasus perdarahan pervaginam di RSU Prof. Dr. RD. Kandou selama periode 1 Januari 2007 sampai 31 Desember 2007 berdasarkan hasil pemeriksaan D & C tahun 2007, terbanyak disebabkan oleh DUB sebanyak 53,33 % , sedangkan keganasan endometrium ditemukan sebanyak 1,11 % 7. Williams AJ, Powell WL, Collins T, Morton CC. HMGI(Y) expression in human uterine leiomyoma. Involvement of another high-mobility group architectural factor in a benign neoplasm. Am J Pathol 1997; 150 : 911-18. 8. Speroff L, Fritz MA. The uterus. In : Clinical Gynecologic endocrinology and infertility. 7th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & wilkins. 2005: 136-40. DAFTAR PUSTAKA 1. Hudono ST, Handaya, Hadisaputra W . Pemeriksaan ginekologik. Dalam : Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu kandungan Edisi ke-2. Jakarta : Yayasan BP SP : 1999 : 134. 2. Hillard PJA. Benign diseases of female reproductive tract. In : Berek JS, Adashi EY, editors. Novak’s Gynecology. 12th ed. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins. 2002: 370-73. 9. Tanriverdi HA, Barut A, Gün BD, et al. Pipelle biopsy really adequate for diagnosing endometrial disease. At http://www.medscimonit.com.htm. Retrieved from the web in May 2008 10. Muzaffar M, Akhtar KAK, Yasmin S et.al. Menstrual irregularities with excessive blood loss : a clinico – pathological correlates. JPMA 2005; 55 : 486. 3. Stanford EJ. Abnormal and Dysfunctional Uterine Bleeding. In : Ling FW, Duff P. Obstetric & Gynecology : Principles for Practice. 1st ed. New York : Mc Graw-Hill Medical Publishing Division. 2001: 975-91. 4. Memarzadeh S, Broder MS, Wexler AS, et al. Benign disorders of the uterine corpus. In : DeCherney AH, Nathan L. Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment. 9th ed. India : Mc Graw-Hill Companies. 2003: 693-99. 5. Baziad A. Gangguan Haid. Dalam : Endokrinologi ginekologi. Edisi ke-2. Jakarta : Media Aesculapius FK UI : 2003 : 26-33. 6. Zipper R, Wallach EE. Abnormal Uterine Bleeding. In : Lambrou NC, Morse AN, Wallach EE. The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. 1st ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Willkins. 1999: 309-16. 81 POLYMERASE CHAIN REACTION Titiek Sunaryati Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Real-time PCR, disingkat RT PCR, adalah alat yang umum untuk mendeteksi dan menghitung ekspresi profil dari gen-gen tertentu. PCR biasanya digunakan untuk menggandakan lokasi spesifik dari suatu rantai DNA (DNA tujuan). Terdapat tiga teknik blotting yang berbeda seperti: Southern blot, northern blot, dan western blot. Southern blot untuk mendeteksi DNA, northern blot untuk mendeteksi mRNA (messenger ribonucleic acid) dan western blot untuk mendeteksi protein. POLYMERASE CHAIN REACTION Titiek Sunaryati Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Real-time PCR, hereafter abbreviated RT PCR, is becoming a common tool for detecting and quantifying expression profiles of selected genes. PCR is used to amplify a specific region of a DNA strand (the DNA target). There are three different blotting techniques: Southern blot, northern blot and western blot. The Southern blot detects DNA, the northern blot detects mRNA (messenger ribonucleic acid) and the western blot detects proteins. Introduction The invention of polymerase chain reaction (PCR) by Kary Mullis in 1984 was considered as a revolution in science. Real-time PCR, hereafter abbreviated RT PCR, is becoming a common tool for detecting and quantifying expression profiles of selected genes. The technology to detect PCR products in real-time, i.e., during the reaction, has been available for the past 10 years, but has seen a dramatic increase in use over the past 2 years. A search using the key word real-time and PCR yielded 7 publications in 1995, 357 in 2000, and 2291 and 4398 publications in 2003 and 2005, respectively. At the time of this writing, there were 3316 publications in 2006. The overwhelming majority of the current publications in the field of the genomics have been dealing with the various aspects of the application of methods in medicine, with the search for new techniques providing higher preciosity rates and with the elucidation of the principal biochemical and biophysical processes underlying the phenotypic expression of cell regulation. Series of RT PCR machines have also been developed for routine analysis (Deepak, 2007). PCR is used to amplify a specific region of a DNA strand (the DNA target). Most PCR methods typically amplify DNA fragments of up to ~10 kilo base pairs (kb), although some techniques allow for amplification of fragments up to 40 kb in size (Cheng, 1994). A basic PCR set up requires several components and reagents. These components include: DNA template that contains the DNA region (target) to be amplified. Two primers that are complementary to the 3' (three prime) ends of each of the 82 sense and anti-sense strand of the DNA target. Taq polymerase or another DNA polymerase with a temperature optimum at around 70 °C. Deoxynucleoside triphosphates (dNTPs; also very commonly and erroneously called deoxynucleotide triphosphates), the building blocks from which the DNA polymerases synthesizes a new DNA strand. Buffer solution, providing a suitable chemical environment for optimum activity and stability of the DNA polymerase. Divalent cations, magnesium or manganese ions; generally Mg2+ is used, but Mn2+ can be utilized for PCRmediated DNA mutagenesis, as higher Mn2+ concentration increases the error rate during DNA synthesis. Monovalent cation potassium ions (Joseph, 2001). Denaturation step: This step is the first regular cycling event and consists of heating the reaction to 94-98°C for 20-30 seconds. It causes melting of DNA template and primers by disrupting the hydrogen bonds between complementary bases of the DNA strands, yielding single strands of DNA. Annealing step: The reaction temperature is lowered to 50-65°C for 2040 seconds allowing annealing of the primers to the single-stranded DNA template. Typically the annealing temperature is about 3-5 degrees Celsius below the Tm of the primers used. Stable DNA-DNA hydrogen bonds are only formed when the primer sequence very closely matches the template sequence. The polymerase binds to the primertemplate hybrid and begins DNA synthesis. Extension/elongation Procedure The PCR usually consists of a series of 20 to 40 repeated temperature changes called cycles; each cycle typically consists of 2-3 discrete temperature steps. Most commonly PCR is carried out with cycles that have three temperature steps. The cycling is often preceded by a single temperature step (called hold) at a high temperature (>90°C), and followed by one hold at the end for final product extension or brief storage. The temperatures used and the length of time they are applied in each cycle depend on a variety of parameters. These include the enzyme used for DNA synthesis, the concentration of divalent ions and dNTPs in the reaction, and the melting temperature (Tm) of the primers. Initialization step: This step consists of heating the reaction to a temperature of 94-96°C (or 98°C if extremely thermostable polymerases are used), which is held for 1-9 minutes. It is only required for DNA polymerases that require heat activation by hot-start PCR. step: The temperature at this step depends on the DNA polymerase used; Taq polymerase has its optimum activity temperature at 75-80°C, and commonly a temperature of 72°C is used with this enzyme. At this step the DNA polymerase synthesizes a new DNA strand complementary to the DNA template strand by adding dNTPs that are complementary to the template in 5' to 3' direction, condensing the 5'phosphate group of the dNTPs with the 3'hydroxyl group at the end of the nascent (extending) DNA strand. The extension time depends both on the DNA polymerase used and on the length of the DNA fragment to be amplified. As a ruleof-thumb, at its optimum temperature, the DNA polymerase will polymerize a thousand bases per minute. Under optimum conditions, i.e., if there are no limitations due to limiting substrates or reagents, at each extension step, the amount of DNA target is doubled, leading to exponential (geometric) amplification of the specific DNA fragment. Final elongation: This single step is occasionally performed at a temperature 83 of 70-74°C for 5-15 minutes after the last PCR cycle to ensure that any remaining single-stranded DNA is fully extended (Chien, 1976). The way to detect PCR results There are three different blotting techniques: Southern blot, northern blot and western blot. The Southern blot detects DNA, the northern blot detects mRNA (messenger ribonucleic acid) and the western blot detects proteins. The blotting techniques are often used to detect genetic abnormalities (when blotted for DNA), as well as certain infectious diseases (when blotted for protein). a.The Southern Blot The Southern blot is used to detect and identify certain DNA sequences in a sample of bodily fluid. It uses singlestranded DNAs to search out their complementary strands. When a Southern blot is performed on DNA, the first step is to incubate the DNA with restriction enzymes. Restriction enzymes cut DNA at known sequences, and produces DNA fragments of a certain length. Once the DNA is cut into pieces, scientists conduct electrophoresis to separate them by size. Then, since the DNA in the gel is double-stranded, it is separated into single strands. The single-stranded DNAs are then transferred to a special piece of paper since a labelled probe cannot reach them inside the gel (too thick). The transfer is exact and does not disturb the location and grouping of the DNAs from gel to paper. This is called "blotting." The location is important because scientists know what a certain DNA sequence profile should look like. Since there are usually many fragments on a blot, labelled probes are used to flag the different pieces of DNA. If the specific labelled probe meets a complementary pair on the paper blot, it will bond to it. Later, a method called autoradiography is used to read the location of the attachment. Since the identity of the labelled probe is already known, the identity of the DNA from the sample will also be known. b.The Northern Blot The only difference between a Southern blot and a northern blot is that the northern blot uses mRNA from samples instead of DNA. So instead of applying gel electrophoresis to DNA, northern blot applies it to mRNA, and since mRNA is naturally single-stranded, there is no need to separate the strands as in a Southern blot. c.The Western Blot The western blot is used to detect different proteins. Gel electrophoresis is applied to the specific proteins. This separates them by size and just like in the other blots, the result is blotted onto a special paper. The rest of the steps follow the method for an ELISA (Brown, 2001). PCR sample in pathology There are three PCR sample in pathology: 1.Fresh tissue Rearrangement of the BCL-2 gene is the molecular consequence of the t(14;18) chromosomal translocation, which is found in approximately 60-90% of follicular lymphomas. To investigate the ability of the polymerase chain reaction (PCR) to detect this rearrangement in fixed-tissue samples, we studied 48 cases of follicular lymphoma using DNA extracted from paired samples of freshfrozen tissue and formalin-fixed, paraffinembedded tissue. A standard phenolchloroform DNA extraction method was 84 used for both types of tissue. Rearrangements of the major breakpoint region (MBR) and minor cluster sequence (MCS) were examined. Three segments of the human beta-globin gene were also amplified to estimate the degree of DNA degradation in the fixed-tissue samples. PCR of fresh-tissue (intact) DNA revealed amplifiable products in 29 of the 48 follicular lymphomas (60%), whereas the fixed-tissue (degraded) DNA studies were positive in 24 (50%). MBR products were detected in 24 fresh-tissue samples, and varied from 80 bp to > 1.5 kb. Twenty of these cases yielded MBR products in the corresponding fixed-tissue DNA, ranging from 80 to 276 bp. Five fresh-tissue and four fixed-tissue samples produced MCS segments that ranged from 340 bp to 1.2 kb. Four of the five samples with no detectable MBR or MCS translocations using degraded DNA had products greater than 1.0 kb in the fresh-tissue studies. A 175-bp segment of the beta-globin gene was amplified in all 29 fixed-tissue samples; a 324 bp fragment was produced in 20 samples (69%), and a 676 bp segment was detected in 13 (45%) (Liu, 1993). 2. Paraffin block One of the most active research areas in molecular pathology is retrospective studies on archival tissue samples. However, isolating high-quality genomic DNA from formalin-fixed, paraffinembedded tissue can be difficult because only minimal amounts of intact DNA may be present in the sample.1 Because of this, analysis of the recovered DNA is generally limited to PCR, and amplification of small target sequences (300 bp or less) is most successful. The MasterPure™ Complete DNA and RNA Purification Kit was designed to isolate DNA and RNA from a variety of sources, including samples containing small amounts of nucleic acid. Here, we provide a protocol for isolating PCR- ready DNA from paraffin-embedded tissue using the MasterPure Complete Kit. We isolate genomic DNA from a biopsy specimen and show that the DNA is suitable as a template for PCR by amplifying a region of the Factor V gene. Methods and Results DNA isolation from breast cancer tissue paraffin sections The protocol for treatment of formalinfixed, paraffin-embedded tissue samples prior to purification using the MasterPure Complete DNA and RNA Purification Kit is summarized in Table 1. The isolation of genomic DNA from a breast cancer tissue section was performed following these guidelines. Specifically, DNA was isolated from 0.02 g of 35 µm thick paraffin-embedded samples. (Thin paraffin sections allow the best recovery and quickest extraction times). Five milliliters of xylene were added to the tissue and the sample was incubated for 10 minutes to extract the paraffin. The xylene was poured off and the extraction was repeated. Five milliliters of 100% ethanol were then added and the sample was incubated for 10 minutes. The ethanol was decanted and the ethanol extraction was repeated. The last traces of ethanol were removed by aspiration and the tissue was resuspended in 300 µl of Tissue and Cell Lysis Buffer 1 containing 1 µl of 50 mg/ml Proteinase K. The sample was incubated at 37°C for 30 minutes. The sample was then treated with 150 µl of Protein Precipitation Reagent, mixed by vortexing, and centrifuged for 10 minutes in a microcentrifuge. The DNAcontaining supernatant was transferred to a clean microcentrifuge tube and 500 µl of isopropanol were added. The tube was inverted 30 times and then centrifuged for 10 minutes at 4°C in a microcentrifuge. The nucleic acid pellet was then washed twice with 70% ethanol and resuspended in 50 µl of TE buffer. 85 Table 1. Protocol for the Extraction of DNA from Paraffin-Embedded Tissue. 1. Weigh out 0.01-0.05 g of a 35 µm thick paraffin section. 2. Add 1-5 ml of xylene or Hemo-D (Fisher Scientific) to the paraffin section and incubate for 10 minutes at room temperature to extract the paraffin. Pour off the xylene or Hemo-D. 3. Repeat step 2. 4. Add 1-5 ml of 100% ethanol and incubate for 10 minutes. Pour off the ethanol. 5. Repeat step 4. 6. Remove the last traces of ethanol by aspiration. 7. Continue with the MasterPure Complete protocol2 for nucleic acid recovery. (Note: the standard protocol requires only a 15-minute incubation of the sample with Tissue and Cell Lysis Buffer, whereas a 30-minute to 18-hour incubation is required for paraffinembedded tissue samples (Masterpure). Factor V amplification using the isolated DNA One microliter of the human genomic DNA sample (2% of the total isolated) was used to amplify a 267 bp region of the Factor V gene. The sequences of the primers used were: 5'TGTTATCACTGGTGCTAA-3' and 5'TGCCCAAGTGCTTAACAAGACCA-3'. The 50 µl reaction contained 1X MasterAmp™ PCR Optimization Kit PreMix B (1X PCR buffer, 2.5 mM MgCl2, 200 µM each dNTP) (Epicentre), 50 pmoles of each Factor V primer, 1.25 units of MasterAmp AmpliTherm™ DNA Polymerase (Epicentre), and 1 µl of the genomic DNA template. Forty cycles of amplification were performed with the following profile: 94°C for 30 seconds, 55°C for 30 seconds, and 72°C for 45 seconds. Five microliters of the sample were separated on a 2% agarose gel and the gel was stained with ethidium bromide. Figure 1 shows that the 267 bp fragment was easily amplified (Shimizu, 1995). 3.Microdissected tissue section Tissue sections need to be reviewed and annotated prior to microdissection to histologically identify the desired cells for microdissection. Therefore, an evaluation of the tissue samples by a pathologist or a scientist trained in histologic cell identification of frozen tissues is needed before, during and after microdissection. Also of importance is the orientation of the specimen in the tissue block. This is particularly important so that the cells of interest are adequately represented on the slide. Pathology slide review includes the evaluation of the tissue integrity, histopathology, determination of the adequacy of the sample for microdissection based on the amount of the target cell population, and annotation of the target cells on the slide. The pathologist also can give advice on the staining procedure that will help to better identify the cells of interest under the microscope during dissection. The goals of histopathology consideration before proceeding with tissue microdissection are: 1) to evaluate the total amount of tissue and the amount of the target cells in the tissue section present in the block, 2) to study the histopathology of the tissue specimen and identify the target cells, and 3) to plan the microdissection for each specimen, taking in account the heterogeneity of tissue samples. Always make a regular H&E slide for histopathologic analysis before proceeding with tissue microdissection. Traditional H&E staining (using longer times in each solution 86 than H&E for LCM) and cover slipping of sections 1, 5, and 10 for histopathologic analysis are recommended prior to beginning the study. These sections will serve as a permanent record of tissue specimen status and show histologic changes that occur in the deeper sections. Always label the slides with the tissue block identification label, the number of the recut (e.g. 1, 2, 3, etc.), and the date the section was cut from the tissue block. If you are unsure of the tissue histology represented in the traditional H&Es, consult with a pathologist to review the slides to accomplish the general goals listed above. Keep the traditional H&Es used for histopathologic assessment with you when performing the tissue microdissection. These slides will help in identifying the cells of interest in the tissue section being used for microdissection. Both slides can be compared side by side. Only dissect cells that can be clearly identified. If there is any doubt, do not dissect it without consulting with a pathologist (Heidi, 2009). PCR-in situ for Histopatology The use of in situ RT-PCR to examine gene expression in disease tissues has certain advantages over more established hybridisation, PCR amplification or antibody-based techniques. As with immunohistochemistry, detection of gene expression is at the level of individual cells, but whereas polyclonal antibody production by immunisation may take 4 months or longer, and require extensive optimisation, it is relatively easy to characterise and optimise oligonucleotide primers which have considerably less chemical complexity and therefore, inherently more predictable properties. Moreover, while cross-reactivity is a frequent problem when selecting antibodies for protein detection, it is a simple matter to select PCR primers that are specific to a single member of a gene family, or even a particular splice variant of that gene (Heid, 1996). We have successfully applied in situ RT-PCR to 1 mm paraffin-embedded tissue section arrays in order to determine which cells within a cancer are responsible for gene over-expression observed in RNA extracts. A number of technical manipulations were incorporated into the in situ protocol to ensure specificity and fidelity, and these transferred readily to the micro-array format. To our knowledge, this is the first time this procedure has been applied simultaneously to multiple samples in a microarray format. A DNAse digestion step is commonly used in RT-PCR amplification in order to reduce the risk of spurious amplification of genomic DNA. This can also be carried out on tissue sections but the extensive incubation time required (up to 16 hr) means that considerable tissue autolysis occurs, damaging tissue structure and making post-PCR identification of cells difficult. In our protocol, the DNAse digestion step was omitted so as to better preserve tissue structure. Modifications to experimental design were employed to prevent amplification of genomic DNA. Although other approaches have been taken to obviate nuclease pre-treatment, we employed more conventional means. Firstly, primers were designed to amplify across two different exons, so that the amplified fragment from reverse transcribed, fully spliced mRNA would be small (300 bp), whilst the distance between the same primer sites in genomic DNA was over 3500 bp. Secondly, the number of PCR cycles and the duration of the polymerisation step were minimised so that any priming from genomic DNA would fail to achieve chain-reaction amplification. These strategies had a number of other beneficial effects: the PCR cycle number was kept with the linear range of amplification established by real-time quantitative RT-PCR, giving a more quantitative representation of the 87 mRNA remaining in each cell, and avoiding significant synthesis of nonspecific artifacts. Diffusion of reaction products away from the site of synthesis, another problem associated with in situ PCR, was reduced by this rapid procedure and exposure of the tissue sections to destructive conditions was also minimised, with the result that postamplification staining revealed a high degree of preservation of tissue architecture and cellular features. A consequence of using low PCR cycle numbers is that the degree of amplification will be limited, with implications for detection of the PCR product. Standard peroxidase-linked antibody detection is insufficiently sensitive. Chemiluminescent or fluorescent detection reagents could be used instead to amplify the signal, but these would require specialised image detection systems and would rapidly diffuse away from the point of detection. Immunogold labelling followed by silver nucleation produced solid particles visible by light microscopy at magnifications suitable for visualising tissue and cellular features. This enabled simultaneous imaging of PCR products and hematoxylin-stained tissue details. The silver particles were bound to PCR products via anti-digoxygenin antibodies, and proved resistant to diffusion, remaining in the same cellular localisation as the original mRNA. A persistent problem with the in situ PCR procedure has been inconsistency of results. Dedicated instrumentation has been designed with the aim of controlling conditions on a microscope slide, and some machines accommodate four or more slides to increase throughput and lower experimental variability. However, variation in the quality of paraffinembedded tissue sections, and the number of steps involved in in situ PCR and the time taken to acquire data on significant numbers of samples affect the reproducibility of the technique. We found that a single, standard in situ PCR coverslip covered up to seventy 1 mm sections on a Clinomics tissue microarray, enabling simultaneous amplification of reverse transcribed RNA in each section under selected conditions. Although small tissue sections are more likely to become dislodged during the process of de-waxing and amplification, the use of poly-Llysine coated slides decreased these losses and the cancer tissues examined were intrinsically more adherent due to their high cellularity. Thus a significant number of tissue samples could be analysed per single experiment. This approach substantially addresses the problem of slide-to-slide variability by subjecting large numbers of samples to identical experimental conditions. In addition, our technical modifications minimised tissue damage during preparation and amplification, preserving useful information on cellular morphology (Staecker, 1994). REVERSE TRANSCRIPTASE (RT)PCR Reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) is a variant of polymerase chain reaction (PCR), a laboratory technique commonly used in molecular biology to generate many copies of a DNA sequence, a process termed "amplification". In RT-PCR, however, an RNA strand is first reverse transcribed into its DNA complement (complementary DNA, or cDNA) using the enzyme reverse transcriptase, and the resulting cDNA is amplified using traditional or real-time PCR. Reverse transcription PCR is not to be confused with real-time polymerase chain reaction (Q-PCR/qRT-PCR), which is also sometimes (incorrectly) abbreviated as RT-PCR. RT-PCR utilizes a pair of primers, which are complementary to a defined sequence on each of the two strands of the cDNA. These primers are then extended by a DNA polymerase and a copy of the strand is made after each 88 cycle, leading amplification. to logarithmic RT-PCR includes three major steps. The first step is the reverse transcription (RT) where RNA is reverse transcribed to cDNA using a reverse transcriptase and primers. This step is very important in order to allow the performance of PCR since DNA polymerase can act only on DNA templates. The RT step can be performed either in the same tube with PCR (one-step PCR) or in a separate one (two-step PCR) using a temperature between 40°C and 50°C, depending on the properties of the reverse transcriptase used (Bustin, 2000). The next step involves the denaturation of the dsDNA at 95°C, so that the two strands separate and the primers can bind again at lower temperatures and begin a new chain reaction. Then, the temperature is decreased until it reaches the annealing temperature which can vary depending on the set of primers used, their concentration, the probe and its concentration (if used), and the cations concentration. The main consideration, of course, when choosing the optimal annealing temperature is the melting temperature (Tm) of the primers and probes (if used). The annealing temperature chosen for a PCR depends directly on length and composition of the primers. This is the result of the difference of hydrogen bonds between A-T (2 bonds) and G-C (3 bonds). An annealing temperature about 5 degrees below the lowest Tm of the pair of primers is usually used. The final step of PCR amplification is the DNA extension from the primers which is done by the thermostable Taq DNA polymerase usually at 72°C, which is the optimal temperature for the polymerase to work. The length of the incubation at each temperature, the temperature alterations and the number of cycles are controlled by a programmable thermal cycler. The analysis of the PCR products depends on the type of PCR applied. If a conventional PCR is used, the PCR product is detected using agarose gel electrophoresis and ethidium bromide (or other nucleic acid staining). Conventional RT-PCR is a timeconsuming technique with important limitations when compared to real time PCR techniques. This, combined with the fact that ethidium bromide has low sensitivity, yields results that are not always reliable. Moreover, there is an increased cross-contamination risk of the samples since detection of the PCR product requires the post-amplification processing of the samples. Furthermore, the specificity of the assay is mainly determined by the primers, which can give false-positive results. However, the most important issue concerning conventional RT-PCR is the fact that it is a semi or even a low quantitative technique, where the amplicon can be visualised only after the amplification ends. Real time RT-PCR provides a method where the amplicons can be visualised as the amplification progresses using a fluorescent reporter molecule. There are three major kinds of fluorescent reporters used in real time RT-PCR, general non specific DNA Binding Dyes such as SYBR Green I, TaqMan Probes and Molecular Beacons (including Scorpions). The real time PCR thermal cycler has a fluorescence detection threshold, below which it cannot discriminate the difference between amplification generated signal and background noise. On the other hand, the fluorescence increases as the amplification progresses and the instrument performs data acquisition during the annealing step of each cycle. The number of amplicons will reach the detection baseline after a specific cycle, which depends on the initial concentration of the target DNA sequence. The cycle at which the instrument can discriminate the 89 amplification generated fluorescence from the background noise is called the threshold cycle (Ct). The higher the initial DNA concentration, the lower its Ct will be (Innis, 1990). methods in other fields of human practices induced rapid expansion of molecular approaches. QUANTITATIVE (QT)-PCR Brown T.A. 2001. Gene Cloning and DNA analisis An introduction. Blackwell Publishing HongKong Q-PCR used to measure the quantity of a PCR product (commonly in real-time). It quantitatively measures starting amounts of DNA, cDNA or RNA. Q-PCR is commonly used to determine whether a DNA sequence is present in a sample and the number of its copies in the sample. Quantitative real-time PCR has a very high degree of precision. QRT-PCR methods use fluorescent dyes, such as Sybr Green, EvaGreen or fluorophorecontaining DNA probes, such as TaqMan, to measure the amount of amplified product in real time. It is also sometimes abbreviated to RT-PCR (Real Time PCR) or RQ-PCR. QRT-PCR or RTQ-PCR are more appropriate contractions, since RTPCR commonly refers to reverse transcription PCR (see below), often used in conjunction with Q-PCR (Heid, 1996). Conclusion RT PCR is becoming a common tool for detecting and quantifying expression profiles of desired genes. The review itself indicates that the technology to detect PCR products in real-time, i.e., during the reaction, has seen a dramatic leap in use and application over the past couple of years. The RT PCR allows quantitative genotyping and detection of single nucleotide polymorphisms and allelic discrimination as well as genetic variation. Application of RT PCR combined with other molecular techniques made possible the monitoring of both therapeutic intervention and individual responses to drugs. RT PCR is a valuable methodic tool in clarifying such problems. The needs in clinical application of molecular methods initiated important developments in diagnostics stimulating progress in other branches of science. The introduction of these new REFERENCES Bustin SA, 2000. Journal of Molecular Endocrinology. Absolute quantification of mRNA using real-time reverse transcription polymerase chain reaction assays, 169–193. Cheng S, Fockler C, Barnes WM, Higuchi R, 1994. Effective amplification of long targets from cloned inserts and human genomic DNA, Proc Natl Acad Sci. 91: 5695–5699. Chien A, Edgar DB, Trela JM, 1976. Deoxyribonucleic acid polymerase from the extreme thermophile Thermus aquaticus. J. Bacteriol 174: 1550–1557. Deepak SA, Kottapalli KR, Rakwal R, 2007. Real-Time PCR: Revolutionizing Detection and Expression Analysis of Genes, Current Genomics 8(4):234-251. Heidi S, 2009. Quantitative RT-PCR gene expression analysis of laser microdissected tissue samples. Nat. Protoc 4:902-922. Heid CA, Stevens J, Livak KJ, Williams PM,1996. Real time quantitative PCR. Genome Res. 6:986–994. Innis MA, 1990. Academic Press. PCR Protocols: A Guide to Methods and Applications. Joseph S, David WR, 2001. Molecular Cloning: A Laboratory Manual. 3rd ed. Cold Spring Harbor, N.Y.: Cold Spring Harbor Laboratory Press, 87969-576-5. Liu J, Johnson RM, 1993. Rearrangement of the BCl-2 gene infollicular lymphoma. Diagn Mol Pathol 2:241-7. 90 Shimizu H, and Burns J.C, 1995. in: PCR Strategies, Innis, M.A. et al. (eds.), Academic Press, San Diego, CA, 2. Staecker H, Cammer M, Rubinstein R, Van de Water TR, 1994. A procedure for RT-PCR amplification of mRNAs on histological specimens. Biotechniques, 16:76–80. 91 GAMBARAN DOPPLER ULTRASOUND DENGAN DIURESIS DIBANDINGKAN DENGAN HASIL RENOGRAM UNTUK MEMBEDAKAN UROPATI OBSTRUKTIF DAN NON OBSTRUKTIF Sianny Suryawati*, M. Yamin Sunaryo** *Dokter, Peserta Pendidikan Dokter Spesialis I Radiologi, FK Unair/RSUD dr.Soetomo Surabaya *Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya **Dokter Spesialis Radiologi, Kepala Instalasi Radiodiagnostik RSUD dr.Soetomo Surabaya ABSTRAK PENDAHULUAN. Ultrasonografi merupakan modalitas pemeriksaan awal dalam diagnosis obstruksi ginjal. Penggunaan USG Doppler dalam menilai obstruksi ginjal berdasarkan pengukuran vaskuler ginjal pada beberapa penelitian terdahulu menunjukkan adanya peningkatan resistensi pada arteri renalis pada kasus-kasus obstruksi. Pemberian furosemid intravena dianggap dapat meningkatkan sensitivitas ultrasonografi Doppler karena akan meningkatkan tekanan intrarenal pada kasus-kasus obstruksi. TUJUAN. Tujuan penelitian ini adalah menentukan akurasi diagnostik USG Doppler dengan diuresis dibandingkan dengan renografi dalam membedakan hidronefrosis obstruktif dan non-obstruktif. MATERI DAN METODE. 48 ginjal dari 28 pasien dengan dugaan obstruksi ginjal kronis telah diteliti selama Januari-April 2011. Semua pasien diperiksa dengan renografi dan USG Doppler sebelum dan sesudah pemberian furosemid. Berdasarkan temuan renografi, ginjal dikelompokkan menjadi obstruksi total (n=19), obstruksi parsial (n=18), dilatasi non-obstruktif (n=3), atau normal (n=8). Kemudian dihitung indeks resistif dan pulsatil dari setiap ginjal dan perbedaannya sebelum dan sesudah pemberian furosemid 1 mg/kgBB. HASIL. Indeks pulsatil tidak berbeda secara statistik pada keempat kelompok ginjal yang diteliti. Namun terdapat perbedaan signifikan pada indeks resistif sebelum dan sesudah pemberian diuresis pada kelompok obstruksi total, diikuti oleh kelompok obstruksi parsial. Analisa statistik dengan p=0,05 dan nilai cut-off 0,035 menunjukkan adanya perbedaan indeks resistif sebelum dan sesudah pemberian diuresis dengan sensitivitas 88.5% dan specificitas 72,3% yang menghasilkan tingkat akurasi sebesar 73% dalam mendiagnosa obstruksi ginjal. KESIMPULAN. USG Doppler dengan diuresis cukup akurat dalam membedakan ginjal obstruktif dan non-obstruktif serta dapat membantu membedakan hidronefrosis obstruktif dari non-obstruktif. KATA KUNCI. USG Doppler, indeks resistif, indeks pulsatil, obstruksi renal, hidronefrosis. 92 DESCRIPTION OF DOPPLER ULTRASOUND COMPARED WITH THE RESULTS RENOGRAM diuresis FOR DISTINGUISHING AND NON obstructive uropathy Obstructive Sianny Suryawati *, M. Yamin Sunaryo ** Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRACT BACKGROUND. Ultrasonography remains a commonly used modality in initial diagnosis of renal obstruction. Renal vascular measurements by Doppler US have been advocated for the diagnosis of obstruction based on studies showed definite rise in vascular resistence in renal arteries, and administration of intravenous furosemide can increased US sensitivity in diagnosing such cases. OBJECTIVE. The purpose of this study was to determine the diagnostic accuracy of diuresis Doppler sonography compared with renography in distinguishing obstructive and non-obstructive hydronephrosis. MATERIALS AND METHODS. We prospectively studied 48 kidneys in 28 patients suspected chronic renal obstruction between Januari-April 2011. All patients underwent renography and Doppler sonography before and after administration of furosemide. According to the findings at renography, kidneys were classified as total obstruction (n=19), partial obstruction (n=18), non-obstructive dilatation (n=3), or normal (n=8). The resistive and pulsatile indexes of each kidney and the difference before and after administration of 1 mg furosemide per kilogram of body weight were calculated. RESULTS. Pulsatile indexes were not statistically different among four groups included in this study. There was significant differences in resistive indexes before and after diuresis between kidneys with total obstructive dilatation, followed with partial obstruction. Statistical analysis revealed difference in resistive indexes with cut-off 0.035 (p=0.05), with overall sensitivity 88.5%, specificity 72,3% and accuracy rate 73% in diagnosing renal obstruction. CONCLUSION. Diuresis Doppler sonography is fairly accurate in differentiating obstructed from nonobstructed kidneys and may facilitate the distinction between obstructive and nonobstructive hydronephrosis. KEYWORDS. Doppler sonography, resistive indexes, pulsatile indexes, renal obstruction, hydronephrosis. PENDAHULUAN Obstruksi saluran kemih merupakan kasus yang banyak membawa pasien datang kepada dokter. Keadaan ini bisa menyebabkan kerusakan ginjal permanen (Pais VM, 2007). Pemeriksaan radiologis mempunyai peran penting dalam penatalaksanaan kasus-kasus ini. Ultrasonografi dapat mendeteksi adanya dilatasi sistem urinari di proksimal dari titik obstruksi, yang merupakan bukti tidak langsung adanya obstruksi. Namun, dilatasi sistem urinari yang tampak pada USG dikatakan sensitif (90%) tetapi tidak spesifik (65-84%) untuk diagnosa uropati obstruktif (Saboo SS, 2007). Penelitian terhadap patofisiologi obstruksi menunjukkan bahwa obstruksi akan menyebabkan penurunan aliran darah renal akibat peningkatan resistensi vaskuler. Platt dkk (1991) menyarankan resistive index 0,7 sebagai batas atas dari ginjal normal, sehingga nilai resistive index lebih dari 0,7 menunjukkan peningkatan resistensi aliran darah yang mengindikasikan adanya uropati obstruktif (Platt JF, 1991). Pada tahun 1993, Chen dkk mengevaluasi 27 pasien dengan kecurigaan obstruksi 93 menggunakan USG Doppler dan Intraveous Pyelography (IVP), dengan hasil resistive index bisa membedakan ginjal dengan obstruksi ringan dan obstruksi berat. Pada obstruksi ringan, rerata resistive index hanya 0,64, sedangkan pada obstruksi berat rerata resistive index adalah 0,74. (Chen JH, 1993). sebelum dan sesudah pemberian furosemid. Berdasarkan temuan renografi, ginjal dikelompokkan menjadi obstruksi total (n=19), obstruksi parsial (n=18), dilatasi non-obstruktif (n=3), atau normal (n=8). Semua pasien telah menandatangani lembar persetujuan sebelum berpartisipasi dalam penelitian ini. Pemberian furosemid intravena dianggap dapat meningkatkan sensitivitas ultrasonografi Doppler karena akan meningkatkan tekanan intrarenal pada kasus-kasus obstruksi (Mallek R, 1996). Yokohama H dan Tsuji Y dalam penelitiannya mendapatkan bahwa furosemid meningkatkan perbedaan antara resistive index intrarenal pada ginjal obstruksi unilateral dan ginjal normal sehingga bisa meningkatkan deteksi obstruksi saluran kemih unilateral pada manusia (Yokohama H, 2002). Rawashdeh YF dkk dalam artikel tinjauannya terhadap penelitian tentang USG Doppler yang dikaitkan dengan uropati obstruktif menyimpulkan bahwa penelitian mengenai resistif indeks masih dalam fase perkembangan, sehingga perlu penelitian lanjutan sebelum tehnik ini dapat digunakan untuk diagnosis uropati obstruktif (Rawashdeh YF, 2001). Metode Penelitian Oleh sebab itulah perlu dilakukan penelitian mengenai akurasi diagnostik USG Doppler dengan diuretik dalam membedakan uropati obstruktif dan dilatasi non obstruktif dibandingkan dengan renogram sebagai metode referensi. MATERIAL DAN METODE Pasien Pada penelitian ini diperiksa 48 ginjal dari 28 pasien dengan dugaan obstruksi ginjal kronis selama Januari-April 2011. Pasien dengan gagal ginjal kronis, hamil, kolik dalam satu bulan terakhir serta dengan kelainan anatomis ginjal tidak disertakan sebagai subyek penelitian. Semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi diperiksa dengan renografi dan USG Doppler Pasien dengan hidronefrosis lebih dari satu bulan baik unilateral maupun bilateral yang telah dibuktikan dengan pemeriksaan klinis maupun radiologis (USG urologi) dan memenuhi kriteria inklusi maupun eksklusi sejumlah 28 orang dimintakan pemeriksaan renogram di Divisi Kedokteran Nuklir Bagian Radiologi Diagnostik RSU Dr. Soetomo Surabaya menggunakan Tc99m-hippuran. Berdasarkan hasil pemeriksaan renogram tersebut, terdapat 48 ginjal yang memenuhi kriteria inklusi yang kemudian menjalani pemeriksaan USG Doppler ginjal sebelum dan sesudah pemberian diuretik berupa furosemid 1 mg/kgBB di Divisi Ultrasonografi Bagian Radiologi Diagnostik RSU Dr. Soetomo Surabaya dengan satu operator pemeriksa, yang dilaksanakan pada bulan Januari-April 2011. Analisa Statistik Data akan dianalisis secara deskriptif maupun analitik. Sebelum dilakukan uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji terhadap normalitas dan homogenitas data. Data hasil evaluasi selisih Resistive Index (Δ RI) dan Pulsatile index (Δ PI) USG Doppler sebelum dan sesudah pemberian furosemid pada ginjal obstruksi, obstruksi parsial, dilatasi non obstruksi, dan normal dievaluasi menggunakan uji Anova. Untuk perbandingan hasil Δ RI ginjal antara ginjal obstruksi, obstruksi parsial, dilatasi non obstruksi dan ginjal normal dipakai uji Turkey/HSD bila datanya homogen, dan menggunakan uji Kruskal Wallis bila datanya tidak homogen. Data dianalisa dengan software komersial. 94 HASIL Terdapat 28 orang pasien yang menjadi sampel penelitian dan dari jumlah tersebut didapatkan 48 ginjal yang masuk dalam kriteria inklusi, sedangkan delapan ginjal tidak dimasukkan sebagai variabel yang diteliti karena termasuk kategori failure berdasarkan hasil renogram. Di antara 28 pasien tersebut, delapan pasien dengan gangguan ginjal unilateral dan 20 diantaranya dengan gangguan ginjal bilateral. Dari 28 pasien yang ada, 17 adalah wanita dan 11 sisanya adalah pria. Ke-48 ginjal yang diperiksa dikategorikan menjadi empat kelompok berdasarkan hasil renogram yaitu : obstruksi total sebanyak 19 ginjal (39,6%), obstruksi parsial 18 ginjal (37,5%), normal sebanyak 8 ginjal (16,7%), dan dilatasi non obstruksi sebanyak 3 ginjal (6,3%). Pada seluruh pasien tersebut dilakukan pemeriksaan USG Doppler sebelum dan sesudah injeksi diuretik (Furosemid 1 mg/kgBB iv) dengan hasil yang terlihat pada Tabel 1. Perhitungan normalitas data pada masingmasing kelompok dilakukan sebelum uji parametrik karena data yang terkumpul merupakan data berskala rasio, menggunakan Shapiro Wilk. Oleh karena data berdistribusi normal maka dilakukan pengujian statistik parametrik menggunakan uji One Anova dengan hasil menunjukkan selisih resistif indeks yang paling besar pada kelompok obstruksi total kemudian diikuti obstruksi parsial dan kemudian normal (Tabel2). Untuk dilatasi non obstruktif diperoleh hasil negatif yang berarti data sesudah lebih rendah dibandingkan sebelum pemberian furosemide. Tabel 1. Deskripsi data RI dan PI pada seluruh sampel, RSU Dr. Soetomo, 2011 Kelompo k RI Pre Delta RI Post RI PI Pre PI Post Delta PI Obs. total Mean 0.6611 0.7111 0.0542 1.2447 1.4821 .1321 N 19 19 19 19 19 19 SD 0.07164 0.07310 0.04574 0.25470 0.34218 0.30239 Median 0.6800 0.6900 0.0600 1.2200 1.3400 0.1800 Minimum 0.54 0.63 -0.04 0.76 1.02 -0.65 Maximum 0.79 0.88 0.11 1.73 2.43 0.82 Range 0.25 0.25 0.15 0.97 1.41 1.47 0.6828 0.7256 0.0428 1.3050 1.4567 .1517 N 18 18 18 18 18 18 SD 0.08574 .06119 .04390 .28174 .27585 .10303 Median 0.6650 .7300 .0450 1.1900 1.4150 .1700 Minimum 0.52 .63 -.03 1.02 1.12 -.02 Maximum 0.84 .84 .12 1.85 2.07 .28 Range 0.32 .21 .15 .83 .95 .30 Obs.parsi Mean al 95 Normal Dilatasi Non Obs Mean 0.6250 .6525 .0275 1.1438 1.1788 .0350 N 8 8 8 8 8 8 SD .07151 .09438 .03919 .15146 .25028 .12604 Median .6300 .6550 .0150 1.1350 1.1500 .0250 Minimum .50 .50 -.01 .96 .86 -.12 Maximum .75 .79 .11 1.43 1.65 .22 Range .25 .29 .12 .47 .79 .34 .6267 .5967 -.0300 1.1533 1.1033 -.0500 N 3 3 3 3 3 3 SD .06807 .10116 .03606 .18009 .24705 .07000 Median .6500 .6500 -.0200 1.1600 1.1400 -.0200 Minimum .55 .48 -.07 .97 .84 -.13 Maximum .68 .66 .00 1.33 1.33 .00 Range .13 .18 .07 .36 .49 .13 Mean Tabel 2. Deskripsi data resistif indeks berdasarkan kelompok, RSU Dr. Soetomo, 2011. Kelompok Rata – rata SD Lower Upper Obstruksi total 0.0542 0.04574 0.0322 0.0763 Obstruksi parsial 0.0428 0.04390 0.0209 0.0646 Normal 0.0275 0.03919 -0.0053 0.0603 Dilatasi Non Obstruksi -0.0300 0.03606 -0.1196 0.0596 Gambaran selengkapnya nilai rata–rata delta RI antar kelompok serta nilai standar error dari mean dapat dilihat pada gambar berikut : Error Bars show 95.0% Cl of Mean Bars show Means 0.10 Delta RI 0.05 0.04 0.03 n=19 n=18 n=8 0.00 n=3 -0.03 Gambar 1. Perbandingan Mean Delta RI pada masing – masing kelompok -0.10 1 2 3 4 Kelompok 96 Perhitungan dengan menggunakan uji One Way Anova diperoleh selisih resistif indeks sebelum dan sesudah antar kelompok perlakuan berbeda secara signifikan (p < 0,05). kelompok data berdistribusi normal sehingga pengujian statistik parametrik dilakukan menggunakan uji One Way Anova. Deskripsi nilai delta PI selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Sedangkan hasil perhitungan PI menunjukkan bahwa pada empat Tabel 3. Deskripsi data delta PI berdasarkan kelompok, RSU Dr. Soetomo, 2011 Kelompok Rata – rata Std. Deviation Lower Bound Upper Bound Obstruksi total 0.1321 0.30239 -0.0136 0.2779 Obstruksi parsial 0.1517 0.10303 0.1004 0.2029 Normal 0.0350 0.12604 -0.0704 0.1404 Dilatasi Non Obstruksi -0.0500 0.07000 -0.2239 0.1239 Gambaran selengkapnya nilai rata – rata delta PI antar kelompok serta nilai standar error dari mean dapat dilihat pada gambar berikut : Error Bars show 95.0% Cl of Mean . Bars s how Means 0 .20 Delta PI 0.13 0.15 0.04 n=19 n=18 n=8 0 .00 n=3 -0.05 Gambar 2. Perbandingan Mean Delta PI pada masing – masing kelompok -0 .2 0 1 2 3 4 Kelompok 97 Hasil penelitian menunjukkan selisih PI yang paling besar pada kelompok obstruksi parsial kemudian diikuti obstruksi total dan kemudian normal. Untuk dilatasi non obstruktif diperoleh hasil negatif yang berarti data sesudah lebih rendah dibandingkan sebelum. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa data antar kelompok tidak homogen sehingga pengujian dilakukan menggunakan uji Kruskal Wallis dengan hasil selisih PI sebelum dan sesudah antar kelompok perlakuan tidak berbeda secara signifikan (p < 0,05). Oleh karena tidak ada perbedaan maka tidak dilakukan uji lanjut. Kemudian dilakukan pengujian sensitifitas dan spesifisitas dari delta resistive index USG Doppler. Untuk klasifikasi obstruksi total dan parsial dimasukkan ke dalam kelompok obstruksi (n=37) dan ginjal normal dan dilatasi non obstruksi dimasukkan ke dalam kelompok non obstruksi (n=11). Nilai uji diagnostik delta resistif indeks USG Doppler terhadap hidronefrosis dengan obstruksi berdasarkan hasil renogram dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4. Delta resistif indeks terhadap renogram berdasarkan nilai cut off Hasil renogram Delta resistif > 0.035 indeks < 0,035 Obstruksi Non Obstruksi 23 (88.5 %) 3 (11.5 %) 26 (54.2 %) 14 (63.6 %) 8 (36.4 %) 22 (45.8 %) 37 (77.1 %) 11 (22.9 %) 48 Dari tabel di atas, dapat dihitung sensitivitas yaitu sebesar 88.5 %, spesifisitas 72.3 %, nilai duga positif (PPV) 62.2 %, nilai duga negatif (NPV) (100 %) 36.4 %, rasio kemungkinan positif 3.2, dan rasio kemungkinan negatif 0,16. Berikut adalah grafik ROC untuk delta resistif indeks : ROC Curve 1.00 .75 Sensitivity .50 .25 Gambar 3. Kurva ROC pada delta RI 0.00 0.00 .25 .50 .75 1.00 1 - Specificity Diagonal segments are produced by ties. 98 Area Cut off Std. Error(a) Asymptotic Sig.(b) dibawah kurva 0.035 0.731 0.087 0.021 Asymptotic Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 0.561 0.901 95% Area dibawah kurva pada kurva ROC diatas didapatkan angka 0,731 (73,1%) dengan hasil akurasi nilai diagnostik sedang (fair = 0.6 – 0.7). PEMBAHASAN Dilatasi sistem kolekting renal merupakan temuan yang umum pada imejing, dan penting untuk membedakan obstruksi renal yang sesungguhnya dengan dilatasi non obstruktif.(3) Pyelocaliectasis yang tampak pada sonografi gray-scale telah terbukti sensitif (≥ 90%) tetapi tidak spesifik (65- 84%) dalam mendiagnosis uropati obstruktif (Saboo SS, 2007). Baik Platt dkk melaporkan bahwa pada sekitar sepertiga pasien, diagnosis uropati obstruktif terlewatkan oleh sonografi konvensional karena tidak timbul pyelocaliectasis atau timbul lambat pada fase obstruktif (Platt JF, 1991). IVP dan retrograde pyelography memberikan informasi tentang uropati obstruktif secara anatomis. Uji Whitaker dianggap sebagai standar emas untuk mendiagnosa uropati obstrukti, namun uji ini dapat gagal pada berbagai keadaan tertentu. Sensitivitas dan spesifisitas uji Whitaker untuk mendiagnosis uropati obstruktif masingmasing adalah 93% dan 91%. Renogram diuretik ginjal yang dalam banyak kasus telah menggantikan uji Whitaker yang invasif dapat menghasilkan positif palsu jika diuretik ini diberikan sebelum pengisian maksimal sistem kolekting, jika ginjal tidak merespon diuretik secara adekuat, jika drainase kandung kemih tidak memadai selama penelitian, atau jika fungsi ginjal telah menurun. Sensitivitas dan spesifisitas dari renogram diuretik adalah 97% dan 75% bila dibandingkan dengan uji Whitaker atau pembedahan dan 83% dan 94% jika dibandingkan dengan IVP atau pembedahan (Vade A, 1999) Ultrosonografi Doppler dengan diuretik merupakan suatu modifikasi USG Doppler konvensional yang memanfaatkan respon fisiologis ginjal yang mengalami obstruksi dan non obstruksi oleh stimulasi diuretik (Gillenwater YJ, 2002). Aliran darah arteri renalis menunjukkan respon hemodinamik bifasik sebagai respon terhadap obstruksi. Segera setelah timbulnya obstruksi, peningkatan tekanan pelvis ginjal yang menyebabkan vasodilatasi luas dari vascular bed ginjal karena pelepasan prostaglandin lokal. Dengan obstruksi lengkap yang berkepanjangan, suatu kompleks sistem peraturan hormonal membalikkan respon vasodilatasi awal dan menyebabkan vasokonstriksi difus pada vascular bed ginjal yang akan berlangsung selama masih terjadi obstruksi. Transisi antara kedua tahap ini terjadi 6 sampai 8 jam setelah mulainya obstruksi. Peningkatan resistensi vaskuler ginjal dapat diukur secara sonografi menggunakan RI. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian diuretik mempunyai efek yang dapat diukur terhadap resistensi vaskuler renal yang dapat terlihat pada USG Doppler (Tamm EP, 2003; Saboo SS, 2007; Platt JF, 1991) Penelitian kami memeriksa 48 ginjal yang terbagi ginjal ke dalam 4 (empat) kelompok berdasarkan hasil renogram. Pada penelitian ini rata–rata usia adalah 48 tahun dengan rentang usia antara 23 sampai 78 tahun. Nilai RI sebelum diberikan diuretik yang didapatkan pada kelompok obstruksi total adalah 0.66 ± 0.07, kelompok obstruksi parsial adalah 99 0.68 ± 0.08, kelompok ginjal normal adalah 0.62 ± 0.07, dan kelompok dilatasi non obstruksi adalah 0.63 ± 0.07. Rata– rata resistif indeks sebelum diberikan furosemid pada ginjal obstruksi total dan parsial lebih tinggi daripada rata–rata ginjal yang normal dan dilatasi non obstruksi, yang mana hasil ini sesuai dengan yang didapatkan oleh Platt dkk serta Chen dkk (Platt JF, 1989, Chen, 1993). Pada kelompok obstruksi total, yang terdiri atas 19 ginjal, didapatkan rata-rata peningkatan RI sebelum dan sesudah pemberian furo sebesar 0.05 (p<0.05). Sedangkan pada kelompok obstruksi parsial (18 ginjal) didapatkan rata-rata selisih PI yang lebih kelompok normal (8 ginjal) dan dilatasi non-obstruksi (3 ginjal) tidak didapatkan peningkatan nilai RI sebelum dan sesudah -0.03, p<0.05). Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Renowden dkk dan Mallek dkk (Renowden, 1992, Mallek R, 1996). Menggunakan nilai ambang pembeda 0.05, maka hasil uji statistik menunjukkan nilai sensitifitas RI sebesar 88.5 % dan spesifisitas RI sebesar 72.3% dengan NPV sebesar 36.4 % dan PPV sebesar 62.2 %. Sedangkan perhitungan dengan menggunakan uji Kruskal Wallis diperoleh selisih PI sebelum dan sesudah antar kelompok perlakuan tidak berbeda secara signifikan (p < 0,05. Literatur menunjukkan sensitivitas (37-90%) dan spesifisitas (82-90%) RI ginjal yang bervariasi dalam diagnosis obstruksi. Menggunakan nilai ambang pembeda RI > 0.07, Saboo dkk menyatakan bahwa sensitivitas dan spesifisitas USG Doppler dalam mendiagnosa uropati obstruktif adalah sebesar 87.5% dan 90%. Namun dengan memakai nilai ambang pembeda > 0.06, maka sensitivitasnya naik menjadi 95% dan spesifisitas 100% (Tamm EP, 2003). Sedangkan Mallek dkk mendapatkan sensitifitas 75% dan spesifisitas 90% untuk hasil resistif indeks setelah pemberian diuretik (Mallek R, 1996). Pada penelitian lain Gomez dkk dari penelitiannya yang hanya memfokuskan pada anak – anak, mereka mendapatkan sensitifitas hanya 46% dan spesifisitas 100% dan nilai duga prediktif 79% (Gomez FA, 1999). Beberapa keterbatasan penelitian ini antara lain mengenai jumlah pasien, keterbatasan renogram, dan keterbatasan USG Doppler itu sendiri. Meskipun dalam penelitian ini terdapat 30 pasien dengan 48 ginjal yang memenuhi kriteria inklusi, namun pembagian ke dalam empat kelompok berdasarkan hasil renogram menurunkan jumlah ginjal yang diteliti dalam setiap kelompok. Akibatnya jumlah ginjal dalam keempat kelompok bervariasi dari tiga sampai 19 ginjal. Oleh karena itu, kami menganjurkan dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar. Renogram sebagai metode referensi memiliki sejumlah keterbatasan, terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang berat atau pada pasien dengan dilatasi hebat sistem kolekting. Namun, meskipun memiliki keterbatasan, metode ini dipilih karena merupakan metode noninvasif pilihan dalam konteks diagnostik klinis pada obstruksi saluran kemih (Platt, 1989). Keterbatasan ketiga pada penelitian ini adalah mengenai USG Doppler itu sendiri, karena pemeriksaan ini mempunyai spesifisitas yang terbatas dalam analisa kemungkinan obstruksi karena RI dapat pula meningkat pada pasien dengan penyakit ginjal (Platt, 1989; Renowden SA, 1992). Sifat aliran darah ginjal yang menurun sebagai respon terhadap obstruksi parsial kronis ureter, akan menyebabkan penurunan filtrasi urine dan diikuti kembalinya tekanan intrapelvis dalam rentang normal. Faktor lain yang menyebabkan normalisasi tekanan intrapelvis meliputi peningkatan reabsorpsi urin oleh sistem vena dan limfatik dan dilatasi saluran kemih proksimal dari obstruksi. Beberapa penulis melaporkan bahwa RI mungkin tidak meningkat pada pasien dengan obstruksi parsial saluran kemih (Gomez 100 FA, 1999). Nilai RI yang diperoleh dalam 6 jam dari obstruksi akut, ekstravasasi urine pelvicaliceal, dan obstruksi saluran kemih parsial atau kronis kemih dapat menghasilkan pembacaan negatif-palsu. Semua kasus hidronefrosis obstruktif dalam penelitian kami bersifat kronis. RI dalam penelitian ini tidak berbeda nyata dari ginjal dilatasi non obstruksi atau dari ginjal normal. Tinjauan literatur juga menunjukkan bahwa kepekaan dan akurasi Doppler sonografi untuk mendiagnosa uropati obstruktif tidak hanya tergantung pada apakah RI ginjal dengan obstruksi dibandingkan dengan ginjal normal atau ginjal dengan dengan dilatasi non obstruksi tetapi juga pada apakah IVP, renography Lasix, uji Whitaker, atau operasi yang digunakan sebagai baku emas untuk diagnosis uropati obstrukstif. Setelah pielokaliektasis diidentifikasi pada sonografi konvensional gray-scale, studi lebih lanjut diperlukan untuk menegakkan diagnosis obstruksi saluran kemih. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Ada perbedaan ( antara pre-diuretik dengan post-diuretik pada kelompok ginjal dengan obstruksi, dengan selisih terbesar didapatkan pada kelompok obstruksi total. 2. Perbedaan signifikan hanya pada kelompok obstruksi total dengan dilatasi non obstruktif dan pada kelompok obstruksi parsial dengan dilatasi non obstruktif. 3. Pada kelompok obstruksi total dan parsial, tidak didapatkan perbedaan hasil USG Doppler. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar dan alat USG yang lebih canggih sehingga hasil yang didapatkan lebih akurat. DAFTAR PUSTAKA Brown SCW (2001). Nuclear Medicine Techniques. In: Weiss RM, George NJR, O’Reilly PH (eds). Comprehensive Urology, 139 – 41, Mosby. Edinburgh. Chen et al., 1993. Chen JH, Pu YS, Liu SP, Chiu TY (1993). Renal hemodynamics in patients with obstructive uropathy evaluated by duplex Doppler sonography. J Urol; 150:18-21. Fung LCT, Steckler RE, Khoury AE, et al (1994). Intrarenal resistive index correlates with renal pelvis pressure. J Urol; 152:607-611. Gillenwater YJ (2002). Hydronephrosis. In : Adult and Pediatric Urology. pp 1438 – 44. Lippincot William Wilkins. Philadhelphia. Gomez FA et al (1999). Diagnostic comparison of diuretic isotopic renogram and diuretic Doppler ultrasonography in pediatric hydronephrosis. Cir Pediatr; 12(2) pp 51-5. Gottlieb RH, Luhmann K, Oates RP (1989). Duplex ultrasound evaluation of normal native kidneys and kidneys with urinary tract obstruction. J Ultrasound Med;8:609-611 Jackson EK (2006). Diuretics. In : Brunton LL, Lazo JS, Parker KL (eds). Pharmacological Basis Of Therapeutics. 11th ed. McGraw-Hill. New York. Lin EP, Bhatt S, Dogra VS, Rubens DJ (2007). Sonography of Urolithiasis and Hydronephrosis. Ultrasound Clin 2;1-16. Mallek R, Bankier AA, et.al (1996). Distinction between Obstructive and Non Obstructive Hydronephrosis : Value of Diuresis Duplex Doppler Sonography. AJR; 166:113-117. Murphy ME, Tublin ME (2000). Understanding the Doppler RI: impact of renal arterial distensibility on the RI in a hydronephrotic ex vivo rabbit kidney model. J Ultrasound Med;19:303–314 101 Pais VM, Strandhoy JW, Assimos DG (2007). Upper urinary tract obstruction and trauma. In: Wein AJ et al (eds) Cambell-Walsh Urology. 9th ed. Saunders Elsevier. Philadhelphia. Platt JF (1991). Duplex Doppler Evaluation of Native Kidney Dysfunction: Obstructive and Nonobstructive Disease. AJR;158:1035-1042 Platt JF, Rubin J, Ellis J (1989). Distinction between obstructive and nonobstructive pyelocaliectasis duplex Doppler sonography. AJR;153:997–1000. Platt JF, Rubin JM, Ellis JH, et.al (1989). Duplex Doppler US of the kidney:differentiation of obstructive from non obstructive dilatation. Radiology;171:515-517. Platt JF, Ellis JH, Rubin JM (1991). Examination of native kidneys with duplex Doppler ultrasound. Semin Ultrasound CT MR; 12:308-318. Platt JF, Rubin JM, Ellis JH (1993). Acute renal obstruction: Evaluation with intrarenal duplex Doppler and conventional US. Radiology; 186:685688. Tamm EP, Silverman PM, Shuman WP (2003). Evaluation of the patient with flank pain dan possible ureteral calculus. Radiology;228:319-329. Taylor AT (2007). Kidney. In : Biersack HJ et al (eds). Clinical Nuclear Medicine. Springer – Verlag. Berlin pp 178 – 80. Tublin ME, Bude RO, Platt JF (2003). The Resistive Index in Renal Doppler Sonography: Where do We Stand ? AJR; 180: 885 – 892. Tublin ME, Dodd GD, Verdile VP (1994). Acute renal colic: Diagnosis with duplex Doppler US. Radiology; 193:697-701. Vade A, Dudiak C, McCarthy P, et al (1999). Resistive Indices in the Evaluation of Infants with Obstructive and Nonobstructive Pyelocaliectasis. J Ultrasound Med 18:357–361. Yokoyama H, Tsuji Y (2002). Diuretic Doppler ultrasonography in chronic unilateral partial ureteric obstruction in dogs. BJU International, 90 pp 100–104 Rawashdeh YF, Djurhuus JC, Mortensen J, Horlyck A, Frokiaer J. (2001), The intrarenal resistive index as a pathophysiological marker of obstructive uropathy. J Urol, 165:, pp 1397–404 Renowden SA, Cochlin DL (1992). The effect intravenous furosemide on the Doppler waveform in normal kidney. J Ultrasound Med; 11(3): 65 – 8. Saboo SS, Soni SS, Saboo SH, et.al (2007). Doppler sonography in acute renal obstruction. Indian J Radiol Imaging, vol. 17, issue 3 : 188-192. 102 TOXOPLASMOSIS, TERAPI DAN PENCEGAHANNYA Ernawati Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Toxoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi dengan parasite obligat intraselluler Toxoplasma gondii. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia karena kemampuannya untuk menimbulkan infeksi yang bisa mengenai setiap sel penjamu yang berinti. Toxoplasma gondii dapat ditularkan kepada janin jika ibu mendapat infeksi primer sebelum kehamilan. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara vaksinasi pada ibu hamil yag beresiko tertular Toxoplasma gondii serta hygiene dan gaya hidup sehat dianjurkan untuk menghindari makanan yang terkontaminasi. Toxoplasmosis, Therapy and prevention Ernawati Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Toxoplasmosis is a disease caused by infection with the obligate intracellular parasite Toxoplasma gondii. The disease is spread all over the world because of its ability to cause infections that may affect any of the host cell nucleus. Toxoplasma gondii can be transmitted to the fetus if the mother has a primary infection prior to pregnancy. Prevention can be done by way of vaccination in pregnant women at risk of contracting Toxoplasma gondii yag as well as hygiene and healthy lifestyles are encouraged to avoid foods that are contaminated. PENDAHULUAN Toxoplasma gondii adalah protozoa dengan penyebaran luas. Infeksi oleh T.gondii dapat menyebabkan terjadinya toxoplasmosis, infeksi tesebut dapat terjadi pada hewan dan manusia. Toxoplasma merupakan parasit protozoa dengan sifat alami, perjalanan penyakitnya dapat bersifat akut atau menahun, simptomatik maupun asimptomatik.T.gondii mengalami siklus aseksual pada spesies vertebrata berdarah panas. Penularan pada manusia terjadi dengan cara menelan kista yang berisi bradizoit yang terdapat pada daging yang terinfeksi, atau secara tidak sengaja menelan ookista yang terdapat pada ekskreta kucing. Frekuensi penyebaran tergantung pada kelembaban dan temperatur ( yang mempengaruhi ketahanan ookista di dalam lapisannya ), dan kebiasaan mengkonsumsi daging yang tidak dimasak atau kurang matang. Di Eropa, sebagai contoh, angka prevalensi di Norwegia sekitar 10% dan di Perancis sampai 50%. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi tergantung persistensi jangka panjang parasit dalam menghasilkan protektif imun. Namun hanya infeksi primer T.gondii yang dapat melalui transmisi materno – fetal. Jika toxoplasmosis terjadi pada masa postnatal hampir selalu infeksinya jinak. Infeksi congenital dapat menyebabkan infeksi patologis yang berat, biasanya karioretinitis pada usia anak / dewasa. Dalam kasus transmisi awal pada kehamilan, dapat terjadi kelainan neurologis yang mengakibatkan malformasi berat atau lahir mati. Penatalaksanaan vaksinasi untuk mencegah transmisi materno – fetal terhambat oleh minimnya pengetahuan mengenai mekanisme proteksi terhadap infeksi T.gondii. Teori proteksi proteksi dari imun respon type Th1 dan terutama produksi dari Interferon γ ( IFN γ ) dapat menyingkirkan toxoplasmosis yang didapat ( acuisita ). Namun bagaimanapun juga teori ini masih belum jelas apakah dapat berperan proteksi pada fetus juga. 103 DEFINISI TOXOPLASMOSIS Beberapa definisi akan dibahas dalam makalah ini berkaitan dengan penyakit toxoplasmosis, yaitu : - Toxoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi dengan parasit obligat intraselluler Toxoplasma gondii. - Infeksi toxoplasma akut : infeksi yang didapat sesudah bayi dilahirkan, biasanya asimptomatik. - Infeksi toxoplasma kronik : terjadinya persistensi kista dalam jaringan yang berisi parasit pada individu yang secara klinis asiptomatik. - Toxoplasmosis akut maupun kronik : suatu keadaan saat parasit menjadi penyebab terjadinya gejala dan tanda klinis ( antara lain : ensefalitis, miokarditis, pneumonia ). - Toxoplasmosis congenital : infeksi pada bayi baru lahir yang terjadi akibat penularan parasit secara transplasental dari ibu yang terinfeksi terhadap janinnya. Bayi ini biasanya asiptomatik pada saat dilahirkan tapi di kemudian hari akan timbul manifestasi berupa gejala dan tanda dengan kisaran yang luas seperti : korioretinitis, strabismus, epilepsi dan retardasi psikomotor. Toxoplasmosis pada penjamu dengan daya imun yang baik akan mengalami perjalanan penyakit sebagai berikut : a. Akan sembuh sendiri b. Lama sakit yang singkat c. Menjadi toxoplasmosis kronik Pada umumnya ketiga proses tersebut bersifat asimptomatik, tetapi bila suatu saat daya imun seseorang yang telah terinfeksi tersebut menurun, dapat timbul tanda dan gejala klinis kembali. ETIOLOGI Penyakit ini disebabkan oleh T.gondii yang merupakan parasit obligat intraselluler ( protozoa ) dari ordo Coccidia yang dapat menimbulkan infeksi pada burung dan mamalia. Toxoplasma gondii ada dalam 3 bentuk di alam : 1. Ookista adalah bentuk yang resisten di alam 2. Trofozoid adalah bentuk vegetatif dan proliferatif 3. Kista bentuk yang resisten di dalam tubuh Ada 2 aspek yang berbeda pada siklus kehidupan T.gondii, yakni : 1. Bentuk proliferatif ( aseksual ) terjadi pada penjamu perantara seperti : burung, mamalia, manusia, disebut juga siklus nonfeline. 2. Bentuk reproduktif ( seksual ), terjadi pada usus kucing sebagai penjamu definitif, dosebut juga siklus feline ( feline = kucing ). T.gondii dapat tumbuh dalam semua sel mamalia kecuali sel darah merah yang bisa dimasuki tapi tanpa terjadi pembelahan. Selama infeksi akut, parasit dapat ditemukan dalam banyak organ tubuh. Begitu melekat pada sel penjamu dan sel secara aktif mengadakan penetrasi ke dalamnya, parasit akan membentuk vakuola parasitoforus dan mengadakan pembelahan. Waktu pembelahan sekitar 6 – 8 jam untuk strain yang virulen. Bila jumlah parasit dalam sel mendekati masa kritis ( ± 64 – 128 dalam kultur ), sel tersebut akan ruptur dengan melepaskan takizoit dan menginfeksi sel didekatnya. Dengan cara ini organ yang terinfeksi segera memperlihatkan bukti adanya proses sitopatik. Sebagian besar takizoit akan dieliminasi dengan bantuan respon imun dari penjamu, baik humoral maupun seluler. Sekitar 7 -10 hari sesudah infeksi sistemik oleh takizoit terbentuklah kista di dalam jaringan yang berisi bradizoit. Kista jaringan ini terdapat dalam sejumlah organ tubuh, tetapi pada prinsipnya di dalam SSP dan otot parasit tersebut berada sepanjang siklus penjamu. Kalau kista tersebut termakan ( misalnya manusia memakan produk daging yang tidak dimasak sampai matang ) membrane kista akan segera dicerna dengan adanya 104 sekresi asam rendah. lambung yang pHnya Pada penjamu nonfeline, bradizoit yang termakan akan memasuki epithelium usus halus dan mengadakan transformasi menjadi takizoit yang membelah dengan cepat, terjadilah infeksi takizoit sistemik akut, ini diikuti oleh pembentukan kista jaringan yang mengandung bradizoit yang mengadakan replikasi lambat, terjadilah stadium kronik, ini melengkapi siklus nonfeline. Infeksi akut yang terjadi pada penjamu dengan daya imun lemah paling besar kemungkinannya disebabkan oleh pelepasan spontan parasit yang tebungkus dalam kista dan mengalami transformasi cepat menjadi takizoit dalam SSP. Siklus kehidupan yang penting dari parasit tersebut terdapat dalam tubuh kucing ( penjamu definitif ). Siklus kehidupan seksual parasit ditentukan oleh pembentukan ookista di dalam penjamu feline. Siklus entero epithelial ini dimulai dengan termaknnya kista jaringan yang menjadi bradizoit dan akan memuncak setelah melalui beberapa stadium antara dalam proses produksi mikrogamet. Mikrogamet mempunyai flagella yang memungkinkan parasit ini mencari mikrogamet. Penyatuan gamet akan menghasilkan zigot yang membungkus diri dengan dinding yang kaku. Zigot ini disekresikan dalam feses sebagai ookista tanpa sporulasi. Setelah 2 -3 hari terkena udara pada suhu sekitarnya, ookista yang non infeksius mengalami sporulasi untuk menghasilkan sporozoit. Ookista yang mengadakan sporulasi tersebut dapat termakan oleh penjamu antara, seperti wanita hamil yang membersihkan kotoran kucing, babi yang mencari makan di sekitar peternakan, ataupun termakan mencit. Setelah dibebaskan dari ookista melalui proses pencernakan, sporozoit yang terlepas akan menginfeksi epithelium intestinal penjamu nonfeline dan memproduksi takizoit aseksual yang tumbuh dengan cepat dan membentuk bradizoit. Siklus hidup Toxoplasma Gondii 105 EPIDEMIOLOGI Penyakit ini tersebar di seluruh dunia karena kemampuannya untuk menimbulkan infeksi yang pada hakekatnya bisa mengenai setiap sel penjamu yang berinti. T.gondii dapat menginfeksi sejumlah mamalia dan burung. Sero prevalensinya tergantung pada kondisi setempat dan usia populasinya. Umumnya kondisi lingkungan yang panas dan kering disertai dengan prevalensi infeksi yang rendah. Tanah merupakan sumber infeksi untuk herbifora seperti kambing, domba, dan babi. Karena infeksi pada kebanyakan hewan menetap secara menahun, maka daging yang mentah / setengah matang menjadi sumber infeksi untuk manusia, karnivora dan kucing. Infeksi pada manusia didapat melalui : 1. Ookista yang berasal dari tinja penjamu definitif ( kucing ) tertelan melalui mulut. 2. Memakan daging setengah matang yang berasal dari binatang yang mengandung kista infektif 3. Penularan dari ibu hamil yang terinfeksi kepada bayinya Di AS dan sebagian besar Negara Eropa, prevalensi serokonversi meningkat bersamaan dengan usia dan pajanan. Sebagai contoh, di AS 5-30% individu yang berusia 10-19 thn dan 10-67% pada individu yang berusia > 50 thn, memperlihatkan bukti serologis riwayat pajanan sebelumnya. Peningkatan pada seroprevalensi ± 1% per thn. Penularan transplasental : T.gondii dapat ditularkan kepada janin jika ibu mendapatkan infeksi primer sebelum kehamilan. ± ⅓ dari semua wanita yang terinfeksi dalam masa kehamilannya akan menularkan parasit tersebut ke janinnya. Dari berbagai faktor yang menentukan hasil akhir janin, usia kehamilan pada saat infeksi merupakan faktor yang paling menentukan. Ada beberapa data yang menyatakan peranan infeksi maternal yang baru saja terinfeksi sebagai sumber penyakit congenital. Jadi wanita dengan seropositif sebelum kehamilan biasanya justru terlindung terhadap infeksi yang akut dan tidak akan melahirkan janin yang terinfeksi secara congenital. Pedoman secara umum ini dapat diikuti untuk infeksi congenital. Pada dasarnya resiko tidak akan terjadi apabila ibu sudah terinfeksi 6 bulan / lebih sebelum terjadi pembuahan. Jika infeksi terjadi dalam waktu < 6 bulan sebelum pembuahan, kemungkinan terjadi infeksi transplasental akan meningkat bersamaan dengan berkurangnya masa selang antara infeksi dan pembuahan. Sebagian besar perempuan yang terinfeksi semasa hamil akan melahirkan bayi yang normal dan tidak terinfeksi. Sekitar ⅓ akan menularkan infeksi tersebut pada bayinya. Jika infeksi terjadi pada trimester I kehamilan,insidensi infeksi transplasenta menduduki tempat paling rendah ( ± 15% ) tetapi penyakit yang terjadi pada neonatus paling berat. Jika infeksi terjadi pada trimester III, insidensi infeksi treansplasental paling tinggi (65%), tetapi bayi biasanya asimptomatik pada saat dilahirkan. Namun bukti paling akhir yang diperoleh menunjukkan bahwa bayi yang terinfeksi dan tampak normal mungkin mempunyai insidensi ketidakmampuan belajar serta defek neurologist kronis yang lebih tinggi pada anak yang tidak terinfeksi. Hanya sejumlah kecil wanita ( 20% ) yang terinfeksi T.gondii menunjukkan tanda klinis infeksi. Diagnosa infeksi sering diketahui secara tidak sengaja ketika tes serologis pasca konsepsi yang rutin 106 memperlihatkan bukti adanya antibodi spesifik. Embriologi congenital toxoplasmosis Infeksi postnatal oleh T.gondii 90% asiptomatik. Pada penjamu dengan imunokompeten, patogenisitas dari parasit dapat dibatasi sehingga terjadi kasus subklinis. Bila infeksi postnatal terjadi secara oral melalui ookista, infeksi prenatal terjadi hanya jika terjadi infeksi primer sebelum kehamilan. Infeksi maternal diikuti parasitemia menyebabkan infeksi plasenta sehingga terjadi infeksi sekunder pada fetus secara hematogen. Berat ringannya gejala klinis pada fetus tergantung lamanya paparan fetus pada parasit. Infeksi pada awal kehamilan biasanya terjadi lahir mati / abortus dikarenakan terjadinya kerusakan sel-sel trofoblast. Infeksi toxoplasma pada fetus dapat menyebabkan infeksi toxo congenital atau toxoplasmosis congenital. Batasan infeksi toxoplasma digunakan pada infeksi yang terjadi sebelum kehamilan, tetapi tanpa adanya gejala dan tanda klinis pada bayi. Diagnosa infeksi fetal dilakukan dengan deteksi parasit pada cairan amnion dengan reaksi rantai polymerase dengan inokulasi pada cairan amnion pada tikus / kultur jaringan. Postnatal, infeksi toxoplasma congenital dikonfirmasi melalui follow up serology, jika terjadi peningkatan titer antibodi spesifik toxoplasma pada anak secara klinis sehat / sedang diobservasi. Hanya sebagian kecil neonatus dengan congenital toxoplasmosis mempunyai ketiga tanda trias klasik : hidrosefalus, kalsifikasi intra serebral dan retinokoroiditis, sebagian besar hanya 1 / 2 dari gejala tersebut yang nampak. Sekitar 10% infeksi congenital neonatus menunjukkan kerusakan struktur pada saat lahir ( congenital toxoplasmosis ), dan yang lain hanya sub klinis, namun dapat terjadi kegagalan visual / retinokoroiditis di kemudian hari jika tidak diterapi. Anak dengan infeksi subklinis juga ada kemungkinan mengalami sequele neurologis seperti hidrosefalus, mikrosefalus, retardasi psikomotor, kejang dan tuli. Klasifikasi Kongenital toxoplasmosis Klasifikasi klinis pada infeksi congenital toxoplasma oleh Desmonts dan Couvreur : 1. Anak dengan kelainan neurologis Hidrosefalus, mikrosefalus, mocrophthalmus dengan atau tanpa retinochoroiditis. Gejala mungkin timbul saat dilahirkan atau didiagnosa kemudian. 2. Anak dengan kelainan berat, penyakit generalisata Maculopapular exanthema, purpura, pneumonia, jaundice berat, hepatospenomegali, mungkin juga terdapat uveitis dan pembesaran ventricular. 3. Anak dengan kelainan sedang dan tanda infeksi prenatal Hepatospenomegali dan jaundice dengan atau tanpa trombositopenia atau gejala yang non spesifik. 4. Anak dengan infeksi subklinis Perkembangan abnormal secara embriologis akibat toxoplasmosis - Trimester I : Kematian fetus dan abortus terjadi karena pada sel yang terinfeksi toxoplasma akan dihasilkan interferon γ yang berfungsi untuk mengontrol multiplikasi parasit. Di lain pihak, terlalu banyak interferon γ dapat menyebabkan kematian fetus yang diakibatkan reaksi imunopatologis. Hal ini terjadi pada saat pembentukan fetus. Biasanya terjadi pada masa awal gestasi. 107 - Trimester II : Dapat terjadi kelainan neurologis seperti : hidrosefalus, mikrosefali, kejang dan retardasi mental, di mana pada minggu ke 5 – 10 kehamilan adalah proses terbentuknya bagian-bagian otak dan wajah. Di mana pada bulan 2 – 5 masa kehamilan terjadi proses migrasi neuron dari germinal ke korteks. Gangguan pada migrasi termasuk heterotopia, agyria – pakegiria, polimikrogiria dan gangguan histogenesis. Di mana berhubungan dengan pembentukan gray matter di otak. Retardasi mental dapat disebabkan gangguan perkembangan akibat mutasi DNA. Trisomi 21, Trisomi 18, Trisomi 9, 13, 15, namun perlu diingat bahwa kelainan kromosom ini meningkat seiring dengan meningkatnya usia ibu. - Trimester III : Dapat terjadi retinokoroiditis ( okuler toxoplasmosis ), namun biasanya bermanifestasi setelah beberapa tahun kemudian tergantung dari terapi. Secara patologis terjadi lesi inflamasi fundus yang terdiri dari sel-sel mononuclear, limfosit makrofag, epiteloid dan sel-sel plasma. Hal ini mengakibatkan retinal vaskulitis yang menyebabkan rupturnya barrier pembuluh darah retina sehingga fungsi retina menurun dimana terjadi destruksi dan penipisan selaput retina. Mikroftalmia juga dapat terjadi pada ibu dengan toxoplasmosis dimana ukuran mata terlalu kecil dan volume bola mata berkurang sampai dengan ⅔ dari normal dan biasanya disertai cacat mata lainnya. TANDA DAN GEJALA Gejala berhubungan dengan toxoplasmosis akuler unilateral yang terkena, nyeri okuler ringan, pandangan kabur, tampak gambaran bercak melayang pada oftalmoskop. Keluhan penderita biasanya pandangan kurang jernih. Secara klinis ditemukan : granulomatous iritis, vitritis, pembengkakan selaput optic, neuroretinitis, vaskulitis, oklusi vena retinal, tergantung peradangan dan berapa aktif virus menyerang mata. Funduskopi, toxoplasmosis aktif menunjukkan gambaran putih kekuningan, lesi korioretinal dan sel-sel vitreus, dapat juga terjadi lesi inaktif. DIAGNOSA Diagnosa serologis toxoplasmosis akut pada neonatus dibuat berdasarkan titer IgM yang positif ( sesudah minggu pertama untuk menyingkirkan kemungkinan kebocoran lewat plasenta ). Penurunan titer IgG harus diulang setiap 6 – 12 minggu / kali. Peningkatan titer IgM yang berlangsung melebihi minggu pertama merupakan indikasi adanya infeksi akut ( waktu paruh IgM maternal 3 – 5 hari ). TERAPI Pasien yang hanya memperlihatkan gejala limfadenopati tidak perlu terapi spesifik kecuali jika terdapat gejala yang persisten dan berat. Pasien dengan okuler toxoplasmosis harus diobati selama 1 bulan dengan sulfadiazin dan pirimetamin. Preparat alternatif adalah klindamisin dan pirimetamin. kombinasi Susunan pengobatan paling mutakhir mencakup pemberian pirimetamin dengan dosis awal 50 – 75 mg / hari, ditambah sulfadiazin 4 – 6 g / hari dalam dosis terbagi 4. Selain itu diberikan pula kalsium folinat 10 -15 mg / hari selama 6 minggu. Semua preparat ini hanya bekerja aktif terhadap stadium takizoit pada toxoplasmosis. Jadi setelah menyelesaikan pengobatan awal penderita 108 harus mendapat tertapi supresif seumur hidup dengan pirimetamin ( 25 -50 mg ) dan sulfadiazin ( 2 – 4 g ). Jika pemberian sulfadiazin tidak dapat ditolerir dapat diberikan kombinasi pirimetamin ( 75 mg / hari ) ditambah klindamisin ( 400 mg ) 3x / hari. Pemberian pirimetamin saja ( 50 -75 mg / hari ) mungkin sudah cukup untuk terapi supresif yang lama. Neonatus yang terinfeksi secara congenital dapat diobati dengan pemberian pirimetamin oral ( 0,5 – 1 mg / kg BB ) dan sulfadiazine ( 100 mg / kg BB ).Di samping itu terapi dengan golongan spiramisin ( 100 mg / kg BB ) ditambah prednisone ( 1 mg / kg BB ) juga memberikan respon yang baik untuk infeksi congenital. PENCEGAHAN Infeksi primer toxoplasma dapat dikurangi dengan menghindari bahan yang terkontaminasi ookista dan memakan daging yang kurang matang. Daging harus dimasak hingga suhu 60ºC dan dibekukan untuk mematikan kista. Tangan harus dicuci sampai bersih setelah bekerja di kebun, sayur dan buah harus dicuci dahulu. Darah yang digunakan untuk tranfusi pada penderira dengan keadaan umum lemah dengan hasil serologis kehamilan seronegatif harus mengalami pemeriksaan skrining untuk antubodi terhadap T.gondii. Meskipun pemeriksaan skrining serologis tidak dilakukan rutin, namun wanita dengan seronegatif harus mengalami pemeriksaan skrining beberapa kali selama kehamilannya untuk menemukan bukti adanya infeksi jika mereka terpajan dengan situasi lingkungan yang memberikan resiko terkena infeksi T.gondii. DAFTAR PUSTAKA 1. Ambroise Pierre, Thomas ( 2000 ). Congenital Toxoplasmosis scientific Background, Clinical Management and Control.Springer, p 153-177. 2. Beck F, Moffat DB,Davies DP ( 1985 ). Human Embryology.Second edition. Blackwell Scientific Publications, Oxford, p.157-169. 3. Familly doctor.org.editorial ( 2005 ). Toxoplasmosis in Pregnancy. eHealth Articles. Diambil 18 Juni 2008, dari http://familydoctor.org/online/famdocen/h ome/women/pregnancy. 4. Homeir Barbara P ( 2005 ) Congenital Toxoplasmosis. Diambil 18 Juni 2008, dari http://www.kidshealth.org.parent/infectio ns/parasitic/toxoplasmosis 5. Kasper Lloyd ( 1999 ). Infeksi Toxoplasma dan Toxoplasmosis. Dalam: Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Editor: Ahmad H. Penerbit Buku Kedokteran EGC, hlm 1021-1027. 6. Martinelli Praquale, Agangi Annalisa ( 2007 ). Screening for Toxoplasmosis in Pregnancy. The Lancet, Academic Researh Library, p 823. 7. O’Rahilly Ronan, Muller Fabiola. ( 1992 ). Human Embryology and Teratology.Willey-Liss,Inc.,605Third Avenue, New York,p.293-303. 8. Saddler TW( 2000 ). Embriologi Kedokteran Langman.Edisi ke 7. Editor: Ronardy Devi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, hlm 358-367. 109 INTERAKSI OBAT Herni Suprapti Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak Banyak pasien, terutama orang tua, diperlakukan terus menerus dengan satu atau lebih obat untuk penyakit kronis seperti hipertensi, gagal jantung, osteoarthritis dan sebagainya. Kejadian akut (infeksi misalnya, infark miokard) diperlakukan dengan obat tambahan. Potensi interaksi obat, oleh karena itu, besar dan "polifarmasi" merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan ketika meresepkan dalam kelompok ini. Obat juga dapat berinteraksi dengan konstituen diet lainnya (misalnya jus jeruk bali, yang downregulates ekspresi isoform spesifik P450, CYP3A4, di dinding usus) dan obat herbal (seperti wort St John), yang terakhir menjadi lebih banyak digunakan meskipun tipis atau tidak ada bukti keamanan atau keampuhan. Administrasi satu obat (A) dapat mengubah tindakan lain (B) dengan salah satu dari dua mekanisme umum: 1. modifikasi efek farmakologi dari B tanpa mengubah konsentrasi di cairan jaringan (interaksi farmakodinamik). 2. perubahan konsentrasi B yang mencapai situs kerjanya (interaksi farmakokinetik). DRUG INTERACTION Herni Suprapti Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Many patients, especially the elderly, are treated continuously with one or more drugs for chronic diseases such as hypertension, heart failure, osteoarthritis and so on. Acute events (e.g. infections, myocardial infarction) are treated with additional drugs. The potential for drug interactions is, therefore, substantial and “polypharmacy” is an important factor to consider when prescribing in this group. Drugs can also interact with other dietary constituents (e.g. grapefruit juice, which downregulates expression of a specific isoform of P450, CYP3A4, in the gut wall) and herbal remedies (such as St John’s wort), the latter becoming more widely used despite flimsy or absent evidence of safety or efficacy. The administration of one drug (A) can alter the action of another (B) by one of two general mechanisms: 1. modification of the pharmacological effect of B without altering its concentration in the tissue fluid (pharmacodynamic interaction). 2. alteration of the concentration of B that reaches its site of action (pharmacokinetic interaction). Aditif: Efek 2 obat yang diberikan bersamaan, yang hasil akhirnya adalah jumlah masing-masing obat tersebut. Antagonis: Efek 2 obat yang diberikan bersamaan, yang hasil akhirnya adalah kurang dari jumlah efek kedua obat tersebut. Interaksi Farmakodinamik: Perubahan farmakodinamik suatu obat karena berinteraksi dengan obat lain (mis, interaksi aditif). Interaksi Farmakokinetik: Perubahan farmakokinetik suatu obat karena berinteraksi dengan obat lain (mis, induksi enzim hepatik). Sinergis: Efek 2 obat yang diberikan bersama-sama, hasilnya lebih besar daripada jumlah efek kedua obat tersebut. Interaksi Obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap obat lain, di dalam tubuh. Interaksi obat dapat terjadi pada farmakokinetik, atau farmakodinamik, atau gabungan keduanya. Interaksi obat in vitro (campuran pada larutan atau sediaan injeksi) disebut dengan “drug incompatibilities”, bukan interaksi obat. Salah satu atau kedua obat yang bercampur menjadi tidak aktif. Misalnya, campuran thiopental dengan suxamethonium membentuk senyawa kompleks. Heparin dapat menginaktifasi obat lain. 110 Ada ratusan interaksi obat, tetapi yang penting secara klinis hanya beberapa saja (Tabel 1). Obat-obat ini kontraindikasi bila diberikan bersama-sama atau harus disesuaikan dosisnya. Pasien-pasien yang harus diberi perhatian terjadi interaksi obat adalah pasien lanjut usia, yang biasanya menderita beberapa penyakit kronis, sehingga minum banyak macam obat, selain tentunya perubahan klirens obat karena usia. Tabel 1. Interaksi Obat Obat yang menyebabkan interaksi Obat yang dipengaruhi Keterangan Alcohol CNS depressants Additive CNS depression, sedation, ataxia, increased risk of accidents Increased formation of hepatotoxic metabolites of acetaminophen Enhanced ototoxicity Decreased gut absorption due either to reaction with the drug affected or reduced gut acidity Many antibiotics lower estrogen levels and reduce contraceptive effectiveness Additive effects with the drugs affected Acetaminophen Aminoglycosides Antacids Antibiotics Loop diuretics Digoxin, iron supplements, fluoroquinolones, ketoconazole, tetracyclines, thyroxine Estrogens, including oral contraceptives Antihistamines (H1blockers) Anti muscarinics, sedatives Antimuscarinic drugs Drugs absorbed from the small intestine Barbiturates, especially phenobarbital Azoles, calcium channel blockers, cyclosporine, propranolol, protease inhibitors, quinidine, steroids, warfarin, and many other drugs metabolized in the liver Insulin Beta-blockers Prazosin Bile acid-binding resins Carbamazepine Cimetidine Acetaminophen, digitalis, thiazides,thyroxine Cyclosporine, doxycydine, estrogen, haloperidol, theophylline, warfarin Benzodiazepines, lidocaine, phenytoin, propranolol, quinidine, theophylline, warfarin Slowed onset of effect because stomach emptying is delayed Increased clearance of the affected drugs due to enzyme induction, possibly leading to decreases in drug effectiveness Masking of symptoms of hypoglycemia Increased “first-dose” syncope Reduced absorption of the affected drug Reduced effect of other drugs because of induction of metabolism Increased effect of other drugs due to inhibition of hepatic metabolism 111 Disulfiram metronidazole, certain cephalosporins Ethanol Erythromycin Carbamazepine, cisapride, quinidine, sildenafil, theophylline Aprazolam, atorvastatin, cydosporine, midazolam, triazolam Benzodiazepines, cisapride cyclosporine, fluoxetine, lovastatin, omeprazole, quinidine,tolbutamide,warfarin Catecholamine releasers (amphetamine, ephedrine) Furanocoumarins (grapefruit juice) Ketoconazole and other azoles MAO inhibitors Nonsteroidal antiinflammatory drugs Tyramine-containing foods and beverages Anticoagulants ACE inhibitors Phenytoin Loop diuretics, thiazides Doxycycline, methadone, quinidine, verapamil Quinidine Digoxin Rifampin Azole antifungal drugs, corticosteroids, methadone, theophylline, tolbutamide Benzodiazepines, cyclosporine, diltiazem, dronabinol, HMGCoA reductase inhibitors, lidocaine, metaprolol, other HIV protease inhibitors, propoxyphene, selective serotonin reuptake inhibitors Corticosteroids Ritonavir Salicylates Heparin, warfarin Increased hangover effect of ethanol because aldehyde dehydrogenase is blocked Risk of toxicity due to inhibition of metabolism these drugs Increased effect of other drugs due to inhibition of hepatic metabolism Risk of toxicity due to inhibition of metabolism of these drugs Increased NE in sympathetic nerve endings released by the interacting drugs Hypertensive crisis Increased bleeding tendency because of reduced platelet aggregation Decreased anti hypertensive efficacy of ACE inhibitor Reduced diuretic efficacy Increased metabolism of other drugs due to induction; decreased efficacy Increased digoxin levels due to decreased clearance; displacement may play a role Decreased efficacy of these drugs due to hepatic P450 isozymes Decreased metabolism of other drugs; increased effects may lead to toxicity Additive toxicity of gastric mucosa Increased bleeding tendency 112 Methotrexate Selective serotonin reuptake inhibitors Sulfinpyrazone MAO inhibitors, meperidine, tricydic antidepressants, St. John's wort Thiazides Digitalis Lithium Warfarin Amiodarone, cimetidine, disulfiram, erythromycin, fluconazole, lovastatin, metronidazole Anabolic steroids, aspirin, NSAIDs, quinidine,thyroxine Barbiturates, carbamazepine, phenytoin, rifabutin, rifampin, St. John's wort Selain interaksi obat dengan obat, dapat juga terjadi interaksi obat dengan senyawa yang terkandung dalam makanan (mis, jus anggur / grapefruit juice, yang dapat men ‘downregulates expression’ specific isoform P450, CYP3A4 di dinding usus), dan interaksi obat dengan obat herbal. Interaksi obat penting secara klinis, apabila therapeutic range obat B sempit (yaitu, apabila sedikit saja penurunan efek, akan menyebabkan hilangnya efikasi dan / atau peningkatan sedikit efek akan menyebabkan toksisitas). Interaksi farmakokinetik menjadi penting apabila kurva kadar-respons obat B curam (perubahan kecil pada kadar plasma menyebabkan perubahan efek yang bermakna) dan margin terapetiknya sempit, maka interaksi obat akan menyebabkan masalah besar, misalnya obat antithrombotic, antidysrhythmic, antiepileptic, lithium, antineoplastic, dan immunosuppressant. Decreased clearance, causing greater methotrexate toxicity Decreased uricosuric effect Serotonin syndrome hypertension, tachycardia, muscle rigidity, hyperthermia, seizures Increased risk of digitalis toxicity because thiazides diminish potassium stores Increased plasma levels of lithium due to decreased total body water Increased anticoagulant effect via inhibition of warfarin metabolism Increased anticoagulant effects via pharmacodynamic mechanisms Decreased anticoagulant effect due to increased clearance of warfarin via induction of hepatic P450 isozymes Interaksi obat bisa juga tidak mempengaruhi klinis, misalnya perubahan besar pada kadar plasma obat yang relatif tidak toksik seperti penicillin, tidak menyebabkan masalah klinis karena safety margin-nya besar, kadar plasma yang dihasilkan oleh dosis normal sangat jauh dengan kadar plasma hilangnya efikasi atau timbulnya toksisitas. INTERAKSI FARMAKODINAMIK 1. Interaksi yang menyebabkan efek yang berlawanan 2. Interaksi yang menyebabkan efek aditif A. INTERAKSI YANG MENYEBABKAN EFEK YANG BERLAWANAN (ANTAGONIS) Beta-bloker (antagonis) efek menghilangkan bronkodilatasi 113 aktivator β2-adrenoceptor (salbutamol atau terbutaline) yang digunakan untuk asma. Efek catecholamine pada denyut jantung (via aktivasi β-adrenoceptor) diantagonis oleh inhibitor acetylcholinesterase yang bekerja melalui ACh (via reseptor muscarinik). Antagonis oleh obat agonis-antagonis (mis, pentazocine) atau oleh partial agonis (mis, pindolol), yang harus hati-hati bila digunakan dengan obat agonis murni. Beberapa obat antagonis tidak mengalami interaksi reseptor. Misalnya, nonsteroidal antiinflammatory drug (NSAID) dapat menurunkan efek antihipertensi ACE inhibitor dengan menurunkan eliminasi sodium via renal. B. INTERAKSI YANG MENYEBABKAN EFEK ADITIF Interaksi Aditif adalah jumlah efek 2 obat. Kedua obat tersebut bisa bekerja pada reseptor yang sama atau reseptor yang berbeda. Penggunaan tricyclic antidepressant dengan diphenhydramine atau promethazine menimbulkan atropine-like effect yang berlebihan karena semua obat ini mempunyai efek mem-blok reseptor muscarinik. Efek depresi SSP aditif disebabkan karena pemberian sedative, hypnotic, dan opioid, bersama dengan konsumsi ethanol. Obat-obat hipertensi yang diberikan bersamaan, dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang sangat rendah. Efek aditif obat anticoagulant menyebabkan komplikasi perdarahan. Efek samping perdarahan dapat meningkat bila warfarin yang diberikan bersama dengan aspirin (via efek antiplatelet, inhibisi biosintesis platelet thromboxane A2 – menyebabkan perdarahan lambung), quinidine (aditif hypoprothrombinemia), thrombolytic (via aktivasi plasminogen,), dan hormon thyroid (via peningkatan katabolisme clotting factor). Warfarin ber-kompetisi dengan vitamin K, mencegah sintesa hepatik berbagai faktor koagulasi. Bila produksi vitamin K di intestine di-inhibisi (mis, oleh antibiotik), maka efek antikoagulan warfarin meningkat. Interaksi supra-aditif dan potensiasi lebih jarang terjadi daripada antagonis dan interaksi aditif. Interaksi supra-aditif (sinergistik), yaitu hasil interaksi lebih besar daripada jumlah kedua obat. Kombinasi antibiotik sulfonamide dengan dihydrofolic acid reductase inhibitor berupa trimethoprim. Sulfonamide mencegah sintesa folic acid oleh bakteri; trimethoprim meng-inhibisi reduksi menjadi tetrahydrofolate. Bila diberikan bersama, maka akan terjadi efek sinergis untuk terapi Pneumocystis carinii. Potensiasi, adalah efek obat yang ditingkatkan oleh obat kedua yang tidak mempunyai efek. Interaksi beta-lactamase inhibitor - clavulanic acid dengan betalactamasesusceptible penicillin. Contoh lain: Diuretik yang menurunkan kadar plasma K+, dapat meningkatkan efek cardiac glycoside sehingga menyebabkan toksisitas glycoside dan toksisitas obat antidysrhythmic tipe III yang memperpanjang cardiac action potential. 114 Sildenafil meng-inhibisi isoform phosphodiesterase (PDE type 5) yang meng-inaktivasi cGMP; jadi mem-potensiasi organic nitrate, yang bekerja dengan cara mengaktivasi guanylate cyclase, sehingga menyebabkan hipotensi berat pada pasien yang minum obat ini. Monoamine oxidase inhibitor meningkatkan jumlah noradrenaline yang disimpan di ujung saraf noradrenergik sehingga berbahaya bila diberikan bersama dengan ephedrine atau tyramine, yang kerjanya rilis noradrenaline. Hal ini juga dapat terjadi pada makanan yang mengandung tyramine, terutama yang di-fermentasi. Non-steroidal anti-inflammatory drug, seperti ibuprofen atau indometacin, meng-inhibisi biosintesa prostaglandin, termasuk renal vasodilator / natriuretic prostaglandins (PGE2, PGI2). Bila diberikan pada pasien yang minum obat untuk hipertensi, dapat meningkatkan tekanan darah. Bila diberikan pada pasien yang minum diuretik untuk payah jantung kronis, dapat menyebabkan retensi air dan garam dan meningkatkan dekompensasi cordis. Interaksi dengan diuretik merupakan interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik, karena NSAID dapat berkompetisi dengan asam lemah, termasuk diuretik, pada sekresi tubulus. Histamine H1-receptor antagonis, seperti mepyramine, efek sampingnya mengantuk. Efek ini bertambah berat bila diminum dengan alkohol, bisa menyebabkan kecelakaan di jalan. INTERAKSI FARMAKOKINETIK Semua proses farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi, dapat dipengaruhi oleh obat. Absorpsi Absorpsi obat dari traktus gastrointestinalis dipengaruhi oleh senyawa : yang mengikat obat o antasida: menurunkan absorpsi GIT digoxin, ketoconazole, antibiotik quinolone, dan tetracycline. o erythromycin meningkatkan bioavailabilitas oral digoxin, dengan cara menurunkan flora usus yang men-degradasi digoxin. o makanan yang tinggi kalsium dengan tetracycline akan membentuk senyawa kompleks yang tidak bisa diabsorpsi o zat besi dengan teh o colestyramine (bile acidbinding resin - untuk terapi hypercholesterolaemia) mengikat warfarin dan digoxin sehingga tidak di-absorpsi. yang meningkatkan (metoclopramide) atau menurunkan (antimuskarinik atropine, opiate) motilitas gastrointestinal Senyawa dalam jus anggur dan obat yang meng-inhibisi Pglycoprotein transporter obat pada intestinal epithelium, dapat meningkatkan absorpsi obat yang menjalani proses ini. Interaksi lain: penambahan adrenaline (epinephrine) pada injeksi anestesi lokal: menyebabkan vasokonstriksi yang memperlambat absorpsi anestesi, 115 jadi memperpanjang lokalnya. efek Distribusi Obat Pergeseran obat dari binding site di plasma atau jaringan dapat meningkatkan kadar obat bebas / tak terikat, tetapi hal ini diikuti dengan peningkatan eliminasi sehingga terjadi steady state baru, dimana kadar obat total di plasma menurun tetapi kadar obat bebas sama dengan sebelum digeser oleh obat lain. Ada beberapa keadaan klinis yang penting: Dapat terjadi toksisitas apabila kadar obat bebas meningkat sebelum steady state yang baru tercapai. Apabila merubah dosis untuk memenuhi target kadar plasma total, harus diingat bahwa kadar terapetik target akan dipengaruhi oleh obat yang menggeser. Bila obat kedua yang menggeser, menurunkan eliminasi obat pertama, maka kadar obat bebas meningkat bukan hanya akut tetapi juga kronis pada steady state yang baru, dapat menyebabkan toksisitas berat. Distribusi obat dipengaruhi oleh obat lain yang berkompetisi terhadap ikatan dengan protein plasma. Misalnya, antibiotik sulfonamide dapat menggeser methotrexate, phenytoin, sulfonylurea, dan warfarin dari ikatannya dengan albumin. Sulfonamide, chloral hydrate, trichloracetic acid (metabolit chloral hydrate), mengikat erat plasma albumin. Penggeseran bilirubin dari albumin oleh obat, pada neonatus prematur yang jaundice dapat berakibat serius, karena pada bayi prematur, metabolisme bilirubin masih belum sempurna dan bilirubin bebas dapat menembus sawar darah otak yang prematur dan menyebabkan kern icterus (bilirubin menodai basal ganglia). Hal ini menyebabkan gangguan pergerakan yang disebut dengan choreoathetosis, gejalanya adalah involuntary writhing dan movements pada anak-anak. twisting Dosis Phenytoin disesuaikan dengan kadar dalam plasma, tetapi pengukuran ini tidak membedakan antara phenytoin yang terikat ataupun yang bebas, tapi merupakan kadar total obat. Pemberian obat penggeser pada pasien epilepsi yang menggunakan phenytoin akan menurunkan kadar phenytoin plasma total sehingga menyebabkan peningkatan eliminasi obat bebas, tetapi hal ini tidak menyebabkan hilangnya efikasi, karena kadar phenytoin bebas (aktif) pada keadaan steady state yang baru, tidak terpengaruh. Dalam hal ini, kadar plasma dalam index terapetik akan menurun, sehingga dosis ditingkatkan, menyebabkan toksisitas. Obat yang mempengaruhi ikatan protein dapat menurunkan eliminasi obat yang tergeser, menyebabkan interaksi obat. Phenylbutazone menggeser warfarin dari ikatannya dengan albumin dan secara selektif meng-inhibisi metabolisme senyawa (S)-isomer yang aktif secara farmakologis, memperpanjang prothrombin time dan menyebabkan peningkatan perdarahan. Salicylate menggeser methotrexate dari ikatannya dengan albumin dan menurunkan sekresinya ke dalam nephron oleh kompetisi dengan anion secretory carrier. Quinidine dan beberapa obat antidysrhythmic lainnya seperti verapamil dan amiodarone menggeser digoxin dari tissue-binding site serta menurunkan ekskresi renal; sehingga menyebabkan dysrhythmia berat karena toksisitas digoxin. Perubahan distribusi obat pada suatu senyawa dapat terjadi bila ada senyawa lain yang mempengaruhi ukuran kompartemen fisiknya. Misalnya, diuretik, yang menurunkan total cairan tubuh, menyebabkan peningkatan kadar plasma aminoglycoside dan lithium, sehingga meningkatkan toksisitasnya. 116 Metabolisme obat Obat dapat meng-induksi (Tabel 2) atau meng-inhibisi (Tabel 3) metabolisme obat lain, yang berakibat baik atau buruk. Tabel 2. Obat metabolisme induksi enzim Obat yang Obat yang induksi enzim metabolismenya dipengaruhi Phenobarbital Warfarin Rifampicin Kontrasepsi oral Griseofulvin Corticosteroid Phenytoin Ciclosporin Ethanol Obat-obat di kolom Carbamazepine kiri juga dipengaruhi Induksi enzim Induksi enzim (mis, oleh barbiturate, ethanol, carbamazepine, phenytoin atau rifampicin) juga menyebabkan interaksi obat. Ada lebih dari 200 obat yang menyebabkan induksi enzim sehingga menurunkan aktivitas farmakologis obat lain. Lihat Tabel 2. Karena senyawa induksi menginduksi enzim, maka terjadilah toleransi. Toleransi farmakokinetik ini lebih kecil daripada toleransi farmakodinamik terhadap opioid, tetapi penting pada carbamazepine. Mula-mula berilah dosis kecil untuk menghindari toksisitas (karena mula-mula enzim liver tidak diinduksi) dan pelan-pelan ditingkatkan dalam beberapa minggu, yang mana menginduksi enzim metabolismenya sendiri. Gambar 1 memperlihatkan antibiotik rifampicin, diberi untuk 3 hari, menurunkan efektivitas warfarin sebagai antikoagulan. Sebaliknya, induksi enzim dapat meningkatkan toksisitas obat kedua. Toksisitas paracetamol : disebabkan karena N-acetyl-p-benzoquinone imine, yang dibentuk oleh cytochrome P450. Risiko serius pada liver karena overdosis paracetamol akan meningkat pada pasien yang enzim cytochrome P450 nya diinduksi, misalnya pada alkoholik kronis. 117 Gambar 1. Efek rifampicin pada metabolisme dan efek antikoagulan warfarin. A. Kadar plasma warfarin (log scale), per oral, dosis tunggal 5 mol/kg BB, versus waktu. Setelah pasien diberi rifampicin (600 mg sehari, selama beberapa hari), waktu paruh plasma warfarin menurun dari 47 jam menjadi 18 jam. B. Efek warfarin dosis tunggal pada prothrombine time dalam keadaan normal dan setelah pemberian rifampicin. Induksi enzim juga digunakan untuk terapi bayi prematur, yaitu diberikan phenobarbital untuk menginduksi glucuronyltransferase, sehingga meningkatkan konjugasi bilirubin dan menurunkan risiko kernicterus. Inhibisi enzim Inhibisi enzim, terutama sistem P450, akan memperlambat metabolisme sehingga meningkatkan efek obat lain yang dimetabolisme dengan enzim tersebut. Antara lain: cimetidine, disulfiram, erythromycin, furanocoumarins (pada jus anggur), ketoconazole, propoxyphene, quinidine, ritonavir, dan sulfonamide. Efek ini penting pada terapi pasien infeksi human immunodeficiency virus (HIV) yang diberi 3-4 obat, karena beberapa protease inhibitor merupakan inhibitor poten enzim P450. Contoh lainnya adalah interaksi antara antihistamine non-sedasi terfenadine dan antifungi imidazole seperti ketoconazole dan obat lain yang meng-inhibisi CYP3A subfamily enzim P450. Hal ini dapat menyebabkan perpanjangan Q-T interval pada electrocardiogram dan menyebabkan ventricular tachycardia pada pasien tertentu. Jus anggur menurunkan metabolisme terfenadine dan obat lainnya, termasuk ciclosporin dan beberapa calcium channel antagonist. 118 Tabel 3. Obat inhibisi enzim metabolisme Obat yang inhibisi enzim Obat yang metabolismenya dipengaruhi Allopurinol Chloramphenicol Cimetidine Ciprofloxacin Corticosteroids Disulfiram Erythromycin Monoamine oxidase inhibitors Ritonavir Mercaptopurine, azathioprine Phenytoin Amiodarone, phenytoin, phethidine Theophylline Trycyclic antidepressants, cyclophosphamide Warfarin Ciclosporin, theophylline Pethidine Saquinavir Yang lebih rumit lagi, beberapa inhibitor metabolisme obat mempengaruhi metabolisme stereoisomer yang berbeda secara selektif. Misalnya, obat yang meng-inhibisi metabolisme active (S)dan less active (R)-isomer warfarin, seperti pada Table. 4. Tabel 4. Inhibisi stereoselective dan non-stereoselective metabolisme warfarin Inhibisi metabolisme Obat Stereoselective for (S)-isomer Phenylbutazone Metronidazole Sulfinpyrazone Trimethoprim-sulfamethoxazole Disulfiram Cimetidine Omeprazole Amiodarone Stereoselective for (R)-isomer Non-Stereoselective effect on both isomer Efek terapetik beberapa obat merupakan akibat dari inhibisi enzim (mis, xanthine oxidase inhibitor allopurinol, yang digunakan untuk prevensi gout). Xanthine oxidase me-metabolisme beberapa obat cytotoxic dan immunosuppressant, termasuk mercaptopurine (yang merupakan metabolit azathioprine), efek ini di-potensiasi dan diperpanjang oleh allopurinol. Disulfiram, suatu inhibitor aldehyde dehydrogenase digunakan untuk melawan reaksi terhadap ethanol, juga meng-inhibisi metabolisme obat lain, termasuk warfarin, sehingga efeknya meningkat. Metronidazole, suatu antimikroba yang digunakan untuk terapi infeksi bakteri anaerobik dan beberapa penyakit protozoa, juga meng-inhibisi enzim ini, maka pasien dilarang minum alkohol. Inhibisi enzim bukan mekanisme utama suatu obat. Steroid dan cimetidine meningkatkan efek antidepresan dan cytotoxic. Apabila MAO-inhibitor (efeknya memblok metabolisme senyawa endogen sehingga meningkatkan simpanannya) diberikan bersama dengan simpatomimetik indirek (mis, amphetamine, phenylpropanolamine-obat flu, decongestan) dapat terjadi reaksi hipertensi. 119 Efek Hemodinamik Obat yang menurunkan aliran darah hepatik (mis, propranolol atau lidocaine) dapat menurunkan klirens obat yang dimetabolisme di liver, yaitu morphin dan verapamil, yang keduanya merupakan flow-limited hepatic clearance. Penurunan cardiac output dapat menurunkan aliran darah, jadi inotropik negatif (mis, propranolol) menurunkan kecepatan metabolisme lidocaine dengan mekanisme ini. Ekskresi Obat Ekskresi obat melalui ginjal dapat dipengaruhi oleh obat yang : menurunkan aliran darah renal (mis, β-bloker) meng-inhibisi mekansime transport renal spesifik (mis, efek aspirin pada sekresi asam urat pada segmen S2 tubulus proksimalis) mempengarui pH urin dapat mempengaruhi ionisasi obat asam lemah atau basa lemah, menyebabkan perubahan reabsorpsi pada tubulus renalis. mempengaruhi ikatan protein, sehingga meningkatkan filtrasi Inhibisi sekresi tubulus Probenecid meng-inhisi sekresi penicillin sehingga memperpanjang efeknya. Ia juga meng-inhibisi ekskresi obat lain, seperti zidovudine. Beberapa obat lain mempunyai efek seperti probenecid sehingga meningkatkan efek obat yang eliminasinya melalui sekresi tubulus. Lihat Table 51.5. karena diuretik bekerja pada lumen tubulus, maka obat yang meng-inhibisi sekresi ke dalam cairan tubulus, seperti NSAID, efeknya akan berkurang. Tabel 5. Obat yang meng-inhibisi sekresi tubulus renalis Obat yang menyebabkan inhibisi Probenecid Sulfinpyrazone Phenylbutazone Sulfonamides Aspirin Thiazide diuretics Indometacin Verapamil Amiodarone Quinidine Indometacin Aspirin Non-steroidal anti-inflammatory drugs Perubahan aliran dan pH urine Diuretik meningkatkan ekskresi urin obat lain, tetapi hal ini secara klinis tidak bermakna. Sebaliknya diuretik loop dan thiazide secara tidak langsung meningkatkan reabsorpsi proximal tubular lithium (hal yang sama juga terjadi pada Na+) dan hal ini dapat menyebabkan Obat yang dipengaruhi Penicillin Azidothymidine Indometacin Digoxin Furosemide (frusemide) Methotrexate toksisitas pada pasien yang diberi lithium carbonate untuk mood disorder. Efek pH urin pada ekskresi asam lemah dan basa lemah digunakan untuk terapi keracunan. 120 INTERAKSI OBAT DENGAN OBAT HERBAL Kini makin banyak orang menggunakan obat herbal, sehingga juga terjadi peningkatan interaksi obat. Lihat Table 6. Obat herbal kini makin gencar promosinya, tanpa mengindahkan keamanan atau efikasinya. Obat herbal dapat meningkatkan efek anticoagulant atau antiplatelet, antara lain: anise, arnica, capsicum, celery, chamomile, clove, feverfew, garlic, ginger, horseradish, meadowsweet, onion, passion flower, turmeric, dan wild lettuce. Tabel 6. Interaksi obat dengan herbal Herbal Dong quai Obat Warfarin Garlic, ginkgo Anticoagulants, antiplatelet agents Antidepressants Ginseng Interaksi Increased anticoagulant effect of warfarin; bleeding Increased risk of bleeding Kava Liquorice root Sedative-hypnotics Aldosterone, anti hypertensive drugs Ma huang, other ephedra preparations Sympathomimetics St. John's wort Oral contraceptives, cyclosporine, digoxin, HIV protease inhibitors, warfarin Antidepressants Resume Banyak sekali jenis interaksi obat; prinsip pokok adalah : bila meragukan – cek kembali. Interaksi dapat berupa farmakodinamik atau farmakokinetik Interaksi farmakodinamik dapat dilihat dari efke obat yang berinteraksi. Interaksi farmakokinetik dapat terjadi saat : o Absorpsi o Distribusi (kompetisi ikatan protein) o Metabolisme hepatik (induksi atau inhibisi) o Increased antidepressant effect, mania Additive sedation Liquorice root extract (not candy) increases salt retention; hypertension Ephedrine in ma huang is additive with other reparations sympathomimetics; hypertension, stroke Increased metabolism of drug, decreased efficacy Increased antidepressant effect; secrotonin syndrome with selective serotonin reuptake inhibitors Ekskresi renal. Daftar Pustaka: Ashraf Mozayani and Lionel P. Raymon, Handbook of drug interactions: A Clinical and Forensic guide, 2004 Auer J, Berent R, and Eber B. Lessons learned from trials with statins. Clin Card 24:277–280 (2001) Bailey D G, Malcolm J, Arnold O, Spence J D 1998 Grapefruit juice- 121 drug interactions. Br J Clin Pharmacol 46: 101-110 (Review) Bertram G. Katzung, Susan B. Masters, Anthony J. Trevor. Basic and clinical pharmacology. McGrawHill Medical, 2009. Fugh-Berman A, Ernst E 2001 Herbdrug interactions: review and assessment of report reliability. Br J Clin Pharmacol 52: 587-595 (Warfarin the most common drug, St John’s wort the most common herb. More data needed! See also FughBerman A 2000 Lancet 355: 134-138) Hanratty C G, McGlinchey P, Johnston G D, Passmore A P 2000 Differential pharmacokinetics of digoxin in elderly patients. Drugs Aging 17: 353-362 (Reviews pharmacokinetics of digoxin in relation to age, concomitant disease and interacting drugs) Humphrey P. Rang, Maureen M. Dale, James M. Ritter. Pharmacology. 7th edition, 20017. Ito K, Iwatsubo T, Kanamitsu S, Ueda K, Suzuki H, Sugiyama Y 1998 Prediction of pharmacokinetic alterations caused by drug-drug interactions: metabolic interactions in the liver. Pharmacol Rev 50: 387-411 (Can one predict pharmacokinetic changes from findings in isolated human hepatocytes? Reviews influences of plasma protein binding, hepatic upake, transport systems etc.) Sproule b a, hardy b g, shulman k 12000 differential pharmacokinetics in elderly pateients. Drugs aging 16: 165-177 (reviews age-related changes in pharmacodynamics as well as pharmacokinetics and drug interactions, all of which are clinically important) 122