TABEL 2. Resolusi tulang interalveolaris dengan menggunakan

advertisement
STEM CELL DALAM TERAPI PENYAKIT KARDIOVASKULAR
Djanggan Sargowo
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Penyakit jantung, termasuk didalamnya Infark miokard dan Iskemik miokard merupakan penyakit
yang berhubungan dengan kehilangan yang permanen dari kardiomiosit dan vaskuler, baik dengan cara
apoptosis ataupun nekrosis. Bagaimanapun, kemampuan alami tubuh untuk memperbaki dan
memperbarui jaringan miokard tidak efektif seperti yang terjadi pada terapi yang saat ini dipergunakan
untuk mencegah remodeling dari ventrikel kiri. Transplantasi sel telah muncul sebagai terapi yang
berpotensial untuk mempopulasikan dan memperbaiki miokard yang rusak secara langsung. Suatu
analisa yang detail dan melihat ke depan sedang di kembangkan pada aplikasi stem cell, keduanya
dalam bidang penelitian dan kardilogi klinis disajikan pada tulisan ini, menyorot mengenai
penggunaan stem cell/ progenitor sel pada spektrum luas termasuk di dalamnya mengenai stem sel
embrionik dan fetal, mieloblast, dan stem sel sumsum tulang pada orang dewasa. Sebuah diskusi
mengenai perbandingan yang terbaru dari penggunaan tipe sel donor, dan evaluasi dari gangguan
miokard yang mungkin paling dapat diterima sebagai terapi stem cell. Fusi sel dan transdiferensiasi
dari sel miokard memiliki peranan penting pada transplantasi stem cell, kekurangan khususnya dalam
bidang teknologi, dan rekomendasi cara-cara praktis untuk mengatasi masalah ini juga disajikan dalam
tulisan ini.
Kata Kunci : Stem cell, diferensiasi, kardiomiosit, penyakit jantung, infark miokard, iskemia
miokard.
STEM CELL THERAPY IN CARDIOVASCULAR DISEASE
Djanggan Sargowo
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Heart disease including myocardial infarction and ischemia is associated with the irreversible loss of
cardiomyocytes and vasculature, both via apoptosis or necrosis. However, the native capacity for the
renewal and repair of myocardial tissue is inadequate as have been current therapeutic measures to
prevent left ventricular remodeling. Cell transplantation has emerged as a potentially viable therapeutic
approach to directly repopulate and repair the damaged myocardium. A detailed analysis and a vision
for future progress in stem cell application, both in research and clinical cardiology are presented in
this review, highlighting the use of wide spectrum of stem/progenitor cell types including embryonic
or fetal stem cell, myoblast, and adult bone marrow stem cells. An up-to-date comparison of donor
cell-types used, and evaluation of the myocardial disordersthat migh be most amenable to stem cell
therapy are discussed. The roles that myocardial cell fusion and transdifferentiation play in stem celkl
transplantation, the specific shortcomings of available technologies, and recommenadations for
practical ways that these concerns might be overcome, are also presented.
Keywords : stem cells, differentiation, cardiomyocytes, heart disease, myocardial infarct, myocardial
ischemia.
1
1. Latar Belakang
Kemajuan mutakhir dalam bidang
penelitian stem cell telah dikonfirmasi
berpotensial untuk digunakan untuk
regenerasi jaringan. Penyakit jantung,
termasuk infark miokard dan iskemi
merupakan penyakit yang berhubungan
dengan kehilangan yang permanen dari
kardiomiosit dan vaskuler, baik dengan
cara
apoptosis
ataupun
nekrosis.
Kemampuan
alami
tubuh
untuk
memperbaki dan memperbarui jaringan
miokard tidak efektif seperti yang terjadi
pada terapi yang saat ini dipergunakan
untuk mencegah remodeling dari ventrikel
kiri. Transplantasi sel, yang secara
langsung bertujuan untuk mrmpopulasikan
jaringan memberikan metode terapi yang
dapat digunakan untuk memperbaiki
jaringan
miokard
yang
rusak.
Bagaimanaupun, disamping kemajuan
yang mengagumkan pada bidang ini,
terdapat masalah yang cukup signifikan
pula, terutama masalah etik, tumorigenic,
potensial arrythmogenic yang pada tehnik
ini menyajikan diferensiasi pada sel
somatic.
Terlebih,
ketidakpastian
mengenai apakah sel membentuk jaringan
baru atau apakah sel akan mengeluarkan
materi yang justru akan merugikan sel
yang sudah ada.
2. Pendahuluan
Penyakit jantung merupakan masa
kesehatan endemic terbesar di dunia.
Terlepas dari pertimbangan klinis dan
usaha yang besar pada dekade terakhir ini
dan perkembangan obat-obatan baru dan
terapi bedah, mortalitas dan morbiditas
tetap sangat tinggi. Karena keterbatasan
potensial sel miokard untuk memperbaiki
dan memperbarui dirinya sendiri, maka
sejumlah proporsi otot jantung secara
signifikan kehilangan kemampuannya
untuk bekerja, dan kehilangan ini
mungkin menjadi factor terpenting pada
kejadian gagal jantung yang timbul pada
apasien dengan penyakit coronary artery
dan dilatasi kardiomiopati.
Sampai akhir-akhir ini, metode reperfusi
untuk iskemik miokard merupakan satusatunya intervensi yang tersedia untuk
mengganti beragam fungsi selular yang
terimbas oleh iskemi miokard, termasuk
mencegah kematian sel karena proses
nekrosis atau apoptosis. Sayangnya,
metode reperfusi menghasilkan kerusakan
miokard yang luas, termasuk miokard
stunning, dan pemulihan jantung dapat
muncul hanya setelah periode disfungsi
kontraktile yang dapat memakan waktu
berjam-jam sampai beberapa hari. Hal ini
merupakan bukti bahwa keterbatasan
kapasitas regenerasi dan proliferasi dari
kardiomiosit manusia tidak
dapat
mencegah pembentukan formasi scar yang
mengikuti infark miokard maupun
kehilangan dari fungsi jantung yang
muncul pada pasien dengan gagal jantung
dan kardiomiopati. Fungsi penggantian
dan regenarasi otot jantung merupakan
tujuan akhir yang sangat penting, yang
dapat
didapatkan
baik
dengan
menstimulus autologous kardiomiosit
resident atau dengan trasplantasi sel
allogenic ( contoh : stem sel embrionik,
sel mesenchym sumsum tulang, atai
myoblast
tulang).
Bagaimanapun,
berbagai masalah untuk mencapai
keberhasilan implantasi sel ini tetap ada,
dan akan dibahas pada tulisan ini.
3.
Stem Cell Embrionik (ES)
Stem sel yang paling primitive dari semua
stem sel adalah stem sel ambrionik (ES)
yang berkembang sebagai massa pada
inner cell pada blastosit manusia pada hari
5 setelah fertilisasi. Pada tahap awal ini,
sel ES mempunyai potensial masa
perkembangan yang tercepat dikarenakan
sel ini dapat berkembang menjadi 3 lapis
bakal embrio.
Jika diisolasi dan
dikembangkan pada media kultur yang
tepat, pluripotenst tikus dan sel ES
manusia dapat melakukan proliferasi sel
dan membentuk bentukan
agregasi
embrio (embryoid bodies) in vitro,
beberapa dapat berkontraksi spontan
(gambar 1). Badan embrio berisi populasi
campuran dari berbagai diferensiasi tipe
sel termasuk didalamnya kardiomiosit,
berdasar pada tanda gen spesifik kardiak
seperti cardiac –myosin heavy chain,
troponin I dan T kardiak, factor natriuretik
atrial, dan factor transkripsi kardiak
GATA-4,
Nkx2.5,
dan
MEF-2.
Ultrastruktur selular, dan aktivitas elektrik
ekstraselular [1-3]. Kardiomiosit ini dapat
dari atrium pacemaker dan tipe seperti
2
ventrikel dan keduanya dapat dibedakan
berdasarkan pola spesifik aksi potensial.
Gambar. (1). Pluripoten sel induk embrionik secara spontan berdiferensiasi menjadi sel-sel
progenitor endotel (EPC), hemangioblasts, sel-sel batang mesenchymal dan badan embryoid
(agregat embrio-suka). Hemangioblasts menghasilkan lebih membedakan kedua sel induk
hematopoietik (HSC) dan EPC yang menimbulkan baik darah pembuluh darah dan
komponen myocyte. Di bawah kondisi yang sesuai (sebagian besar yang tetap akan
ditentukan), kardiomiosit dapat membentuk dari tubuh embryoid maupun dari EPC dan stem
sel mesenchymal (Gracia JM. CSCRT. 2006).
Sementara itu peristiswa selular dan
molekular yang tepat yang berisi jalur sel
ES pada diferensiasi spesifik kardiomiosit
sebagian besar masih tetap belum
ditentukan, proses yang signifikan telah
dibuat untuk mengidentifikasi faktor yang
meregulasi dimana factor tersebut dapat
menigkatkan atau menghambat proses
(gambar 2). Diferensiasi sampai ke tipe sel
partikular tergantung pada faktor ini.
Misalnya , penghambatan sinyal bone
morphogenetic protein (BMP) oleh
antagonisnya
Noggin
menginduksi
diferensiasi kardiomiosit dari sel ES tikus
[7], sementara asam retinoic secara
spesifik
menginduksi
pembentukan
formasi dari kardiomiosit ventricular yang
spesifik. Nitrit oxide (NO), dihasilkan
pula oleh aktivitas NO sintetase atau
eksposur NO eksogen yang juga telah
terlibat pada kemajuan diferensiasi
spesifik kardiomiosit dari sel ES tikus.
Diferensiasi kardiomiosit pada sel ES
manusia dapat ditingkatkan menggunakan
treatmen 5-aza-2’deoxycytidine [10]. Juga
IGF-1 dapat meningkatkan diferensiasi
fenotip dan ekspresi dari fenotip
kardiomiosit pada sel ES secara in vivo
[1]. Menariknya, peningkatan level dari
stress oksidatif muncul untuk mengurangi
perkembangan kardiotipik dari badan
embrio.
Penelitian awal dengan menggunakan
kardiomiosit fetus dan transplantasi sel ES
dilaporkan sukses membentuk formasi
grafts yang stabil dan discus intercalates
nascent diantara graft dan host sel
miokardial. [13-14]. Sebagai tambahan,
kedaua-duanya, baik fetal maupun stem
sel embrionik menghasilkan kardiomiosit
mempertahankan
properti
elektromechanical miokard. Sel
ES
manusia
berasal.
Demikian
pula,
transplantasi turunan sel ES kordiomiosit
manusia mampu berintegrasi dengan cepat
secara in vivo pada jantung babi yang
mengalami blok atroventrikular lengkap,
seperti yang telah ditunjukkan secara rinci
dengan
menggunakan
pemetaan
elektrofisiologi yang detail dan penelitian
histopatologi. Kesamaan fenotipe sel ES
terdiferensiasi
yang
telah
ditransplantasikam sulit untuk dibedakan
dengan cardiomiosit fetalt (terutama pada
manusia) menunjukkan bahwa sel ES
dapat menjadi pengganti kardiomiosit
3
janin pada manusia pada dalam
melakukan prosedur engraftment jantung
[14].
Ketika
kardiomiosit
janin
tikus
ditransplantasikan ke jantung yang telah
mengalami iskemik, sebagian besar
kardiomiosit
mati
setelah
ditransplantasikan [15]. Penemuan bahwa
tidak terdapat peningkatan ukuran graft
yang muncul ketika jumlah kardiomiosit
yang disuntikkan ditingkatkan mendorong
untuk dilakukan pertimbangan ulang
mengenai penggunaan klinis tranplantasi
kardiomiosit sebagai pengobatan pada
penyakit jantung iskemik. Hal ini
memperjelas bahwa dibutuhkan lebih
banyak penelitian untuk mengembangkan
strategi yang sukses yang dapat
memaksimalkan kemampuan bertahan
hidup dan proses diferensiasi dari sel
kardiomiosit yang dicangkokkan.
3.1
Keuntungan Transplantasi Sel
ES
Sel-sel ES yang diperoleh dari lapisan
bagian dalam blastocyst dapat dengan
mudah
dan
reproduktif,
dan
menunujukkan pertumbuhan fenotipe
yang sangat baik, baik secara in vivo
maupun in vitro. Pengembangan dan
penerapan jalur sel ES (P19 misalnya),
yang sangat informatif dalam hal
indentifikasi dan karakterisasi faktor
regulasi., activator transkripsi dan
transduksi terlibat dalam diferensiasi
kardiomiosit, juga mungkin berguna pada
terapi transplantasi sel [17-19].
Data awal menunjukkan bahwa sel ES
dapat menjadi suatu nilai tertentu sebagai
target dan memodifikasi fenotipe cacat
jantung
bawaan
[20-21].
Setelah
keamanan dikonfirmasi, studi klinis lebih
lanjut harus membahas penggunaan sel
ES yang ditargetkan sebagai terapi pada
bayi / anak-anak dengan penyakit jantung
berat termasuk cardiomiopati, cacat
jantung bawaan dan aritmia.
Sel-sel ES juga mungkin lebih dapat
menerima rekayasa ex vivo melalui
modifikasi DNA (misalnya terapi gen,
transfeksi virus, knockouts dan gen overexpressed). Faktanya, transformasi dari
kardiomiosit normal pada sel pacemaker
telah berhasil dicapai pada hewan model
dengan cara menginjeksi vector plasmid
atau virus yang membawa gen pengkode
terapi berupa protein yang spesifik [2224]. Dalam cara ini, sel ES ditransfeksi
dengan reseptor adrenergic β-2 yang terover-ekspresi, atau protein pada channel
ion dapat ditransplantasikan untuk
mengembalikan fungsi sel-sel miokard
yang rusak. Namun, keamanan dan
kemanjuran metodologi ini harus benarbenar terbukti sebelum digunakan pada
manusia yang mengalami aritmia jantung.
4
Gambar. (2). Signaling jalur berpotensi terlibat dalam diferensiasi kardiomiosit. BMP,
protein morphogenetic tulang; Wnt, campuran dari bersayap (Wg) dan int (lokus integrasi);
FGF, faktor pertumbuhan fibroblast, OM, membran luar; transisi permeabilitas (PT)
membuka pori-pori, PLC, fosfolipase C.
3.2. Keterbatasan dan Kekhawatiran
Mengenai Transplantasi ESC
Pertimbangan mengenai kekhawatiran
masalah etika dan hukum tentang
penggunaan sel-sel ES tetap ada, dan
masalah ini telah merintangi penelitian
upaya lebih lanjut, dimana upaya tersebut
diperlukan karena dapt memberikan jalur
sel sehingga dapat menjawab banyak
pertanyaan mengenai efikasi, stabilitas
jangka panjang, fungsi dan bahkan tingkat
efek negatif dari transplantasi sel ES pada
penyakit kardiovaskuler (dan juga di
penyakit manusia lainnya).
Sebuah keprihatinan sering diajukan
tentang
penggunaan
sel-sel
ES
berhubungan dengan sumbernya (yakni
apakah sel-sel tersebut berasal dari jalur
sel
atau langsung dari embrio), terutama
heterolog
versus
autologous, muncul problem potensial jika
menghasilkan reaksi alogenik atau rejeksi
imun pada saat transplantasi. Sebagai
tambahan, sel ES pluripoten yang
berpotensial mempunyai pertumbuhan
yang tak terbatas dapt menghasilkan efek
tumorigenic, sehingga merupakan saran
yang baik untuk dilakukan screening
pembentukan teratoma. Terlebih lagi,
terdapat bukti bahwa diferensiasi dari
populasi sel ES yang heterogen tidak
terlalu efisien, meskipun beberapa agen
(misalnya asam retinoat) tampaknya
efektif dalam mengaktifkan perluasan
yang lebih bagus pada mediated-sel ES
yang terdiferensiasi sel kardiomiosit
spesifik. Stablitas jangka panjang pada
fenotipe sel ES yang terdiferensiasi juga
mendapat perhatian yang beragam karena
beberapa penelitian telah menunjukkan
hilangnya
diferensiasi
sel
ES
kardiomiosit dari waktu ke waktu.
Transplantasi sel ES progeny mungkin
tidak selalu memiliki fungsi normal
karena sel-sel ES dapat memicu aritmia
pada jantung yang ditransplantasi. Di sisi
lain, penerapan sel-sel ES dalam
memperbaiki jantung yang rusak akibat
penuaan juga terbatas; bagaimanapun juga
keterbatasan ini telah diusulkan, saat ini
tidak ada pendukung data yang solid.
Namun demikian, tranplantasi sel (baik
ES atau stem sel dewasa) pada jantung
manula telah terbukti kurang efektif.
Ketidakmampuan miokardium yang rusak
5
untuk menyediakan molekul sinyal yang
tepat untuk engraftment stem sel
tampaknya membatasi kapasitas sel-sel
tersebut untuk rekrutment dan berintegrasi
ke dalam miokardium yang telah
mengalami penuaan [16].
3.3. Rekomendasi
1.
Penggunaan terapi tranplantasi sel
ES pada penyakit jantung terutama
membutuhkan demonstrasi yang ketat
yang dapat bekerja secara stabil dan
dengan efek samping yang terbatas.
2.
Meskipun dikenakan dana yang
terbatas dari pemerintah federal, sumber
baru sel-sel ES dan cell-lines untuk
penelitian transplantasi sel ES perlu untuk
ditingkatkan dan tampaknya akan
ditingkatkan, memberikan kekuatan yang
luas pada dunia, korporasi dan dana dari
Negara yang berminat pada teknologi dan
manfaat dari peneltiian ini. Invenstigasi
menjadi cara baru untuk mengisolasi dan
mengkultur autolog sel ES juga harus
terbukti menjadi sesuatu yang penting.
3.
Pemahaman secara menyeluruh
tentang faktor-faktor yang mungkin dapat
menghambat penempatan sel-sel ES ke
jantung
dan
menstimulasi
atau
mengarahkan diferensiasi sel-sel ES untuk
menjadi kardiomiosit yang berfungsional
saat ini tampaknya belum sempurna.
(kritik juga berlaku untuk stem sel
dewasa). Identifikasi factor-faktor ini
seperti
juga
mekanisme
kerjanya
sepertinya
akan
mengoptimalkan
penempatan dan proses diferensiasi serta
berkontribusi
untuk
mendefinisikan
scenario
kasus
terbaik
dimana
transplantasi sel ES akan bermanfaat.
4. Sel Rangka Myoblast Dewasa
Transplantasi satelit sel stem (myoblast)
dari otot rangka dapat dengan sukses
ditempatkan dan ditanamkan pada
mikoard
yang
rusak,
mencegah
progresifitas dilatasi ventrikel dan
meningkatkan fungsi jantung. Myoblast
ini dapat disalurkan ke miokardium
dengan cara impalantasi intra mural atau
melalui arteri, dan akhir-akhir ini
penyebaran yang efektif dari metode
kateter yang kurang invasif telah
dilaporkan [30]. Sel otot rangka satelit
pada kultur dapat berproliferasi secara
berlimpah, dan dapat dengan mudah
tumbuh dari pasien sendiri (diturunkan
sendiri atau autolog) dengan demikian
menghindari respon imun yang potensial.
Myoblast relatif resisten terhadap iskemi
(dibandingkan dengan kardiomiosit yang
menjadi rusak dalam waktu 20 menit)
karena myoblasts dapat bertahan beberapa
jam dari proses iskemia berat tanpa terjadi
cedera
yang
ireversibel.
Manfaat
fungsional
dari
transplantasi
intramiokardial myoblast skeletal dalam
meningkatkan miokardium yang rusak
sekunder
terhadap
iskemia
telah
didokumentasikan [32]. Percobaan klinis
menunjukkan efikasi dari transplantasi
myoblast rangka autolog pada pasien
dengan disfungsi ventrikel kiri [27,33].
Penggunaan myoblast rangka, disalurkan
via injeksi intramiokard multiple, efektif
dalam memulihkan fungsi ventrikel kiri
pada model hewan hamster Syrian yang
mengalami
dilatasi
kardiomiopati,
menunujukkan bahwa manfaat fungsional
dari transplantasi myoblast rangka dapat
diperpanjang
untuk
kardiomiopati
noniskemik [34].
4.1
Keuntungan
Myoblast
Transplantasi
Sejak myoblast dapat berasal dari autolog
dan menyebar secara baik dalam sediaan
kultur, sejumlah besar sel dapat diperoleh
hanya sejumlah kecil sampel biopsi otot
skeletal (seperti yang didapatkan dari
pasien) dalam periode yang relatif singkat.
Apabila
dibandingkan
dengan
transplantasi sel otot jantung, sel mioblas
tampak lebih tahan terhadap kerusakan
apoptosis yang sedang berlangsung, yang
seringkali berlangsung pada lokasi
iskemik.
4.2 Batasan dan Perihal Mengenai
Transplantasi Mioblast
Sementara beberapa laporan menunjukkan
bahwa subpopulasi dari mioblas skeletal
tertransplantasi
telah
mampu
bertransdifrensiasi
menjadi
sebuah
fenotip-sel
otot
jantung
dengan
peningkatan ekspresi dari genetic jantung
(35-36),sedangkan yang lainnya tidak
mampu berreplikasi dari donor mioblas
transdifrensiasi menjadi sel otot jantung
6
(37). Konsensus yang ada dari sebagian
besar ahli pada bidang ini menyatakan
bahwa cangkokan sel mioblas awalnya
tetap bukanlah sel otot jantung.
Sedangkan, sejumlah bukti menyatakan
bahwa ketika mioblast dimplantasikan ke
dalam jantung, proses perkembangannya
dipengaruhi sebagaimana cara lingkungan
jantung sehingga hal tersebut mampu
memperbaiki kinerja jantung. Mioblast
skeletal ditanamkan ke dalam sebuah
miokard yang cedera berdifrensiasi
menjadi bersifat tahan-kelelahan, fenotipe
kejangan lambat diadaptasi untuk menjadi
beban kerja jantung. Terlebih, graft
myoblast mungkin menunjukkan koneksi
antar sel yang tidak kompetibel dengan
kardiomiosit residen dan tidak berespon
dengan cara yang sama terhadap sinyal
elektrik dan stimulus. Sementrara studi
preklinis awal tidak tidak mendeteksi
adanya bukti aritmia, studi klinis barubaru ini telah mengungkapkan bahwa
subset dari pasien yang menerima
transplantasi myoblast rangka dapat
mengalami aritmia yang parah dan
membahayakan nyawa. Penyebab yang
tepat terhadap terjadinya aritmia ini masih
belum jelas namun mungkin terkait
dengan sifat listrik heterogen dan interaksi
anatra sel donor dengan sel penerima. Di
lain pihak, aritmia mungkin dipicu oleh
medium
yang
digunakan
untuk
memperkenalkan sel, bukan oleh sel-sel
sendiri [41]. Sebagai sisipan, manfaat
fungsional dari tranplantasi myoblast
mungkin berhubungan dengan dengan
keterbatasan remodeling pos infark dan /
atau efek parakrine dari myoblast yang
ditransplantasikan pada jaringan resipien,
bukan kontribusi pencagkokan myoblast
untuk meningkatkan fungsi sistolik
ventrikel.
4.3 Rekomendasi Lebih Lanjut
Sementara
studi
preklinis
dengan
transplantasi sel stem dan myoblast telah
menunjukkan efikasi yang sama [42-43],
ada kebutuhan untuk evaluasi rinci
mengenai menfaat relatif, efek samping
dan efisiensi myoblast rangka dan
tranplantasi stem sel dalam setting klinis
(misalnya kegagalan jatung) vis a vis
perbaikan infark miokard. Metode baru
untuk menilai dan mengoptimalkan
perekrutan dan kelangsungan hidup pasca
tranplantasi secara lebih baik, khususnya
dalam jangka panjang, perlu untuk
dkembangkan dan repertoar yang efektif,
penyaluran sel yang kurang invasif perlu
diperluas.
5. Stem Sel Turunan Sel Sumsum
Dewasa (BMCS)
Perhatian dalam stem sel turunan sumsum
tulang telah termotivasi oleh property
neovaskularisasi dan angiogenesis dan
efek ini meningkat dengan kehadiran
hormone pertumbuhan spesifik dan sitokin
(misalnya GCSF). Efek manfaat sel ini
pada pada sistem vaskuler yang
mengalami kerusakan telah dikonfirmasi
dan dan kemudian diperluas untuk
penelitian pada infark miokard tikus [44]
yang
mana
sel
sumsum
tulang
diimplantasikan dapat berdiferensiasi
menjadi miosit dan pembuluh darah
koroner
dan
dengan
demikian
memperbaiki fungsi jantung yang rusak.
Karena implantasi BMCs memerlukan
intervensi pembedahan dan prosedurnya
sering disertai angka kematian yang
tinggi, dengan hanya 4055 pencangkokan
yang berhasil, pengembangan metode
invasif menjadi sangat penting. Salah satu
pendekatan adalah yang seperti digunakan
pada pengobatan sitokin, faktor stem sel
(SCF) dan faktor perangsangan koloni
granulosit (G-CSF), untuk mobilisasi
endogen
(BMCs)
dan
langsung
berintegrasi atau menempatkan pada
jantung
yang
infark
sehingga
menimbulkan perbaikan. Tikus disuntik
dengan SCF 9200mcg/kg/hari) dan G-CSF
(50mcg/kg/ghari)
menunjukkan
peningkatan yang substansial dalam
jumlah stem sell yang bersirkulasi dari 29
kontrol yang tidak diobati menjadi 7.200
sitokin tikus yang diobati. BMCs endogen
ditunjukkan untuk meningkatkan miosit
kardiak yang baru dan pembuluh darah
koroner, dan turunan BMCs meregenarasi
miokard menghasilkan peningkatan fungsi
dan ketahanan hidup jantung. Temuan
serupa
mengenai
perbaikan
yang
dimediasi sel pada infark miokard tikus
telah diperoleh dengan menggunakan
transplantasi
BMCs
dimana
telah
7
menimbulakan proliferasi pada miosit dan
struktur vaskuler [45].
Merupakan sesuatu yang penting untuk
menunjukkan bahwa sumsum tulang berisi
beberapa populasi stem sel dengan fenotip
yang saling tumpang tundih, termasuk
stem sel hemapoeitic (HSCs), stem sel
precursor endhotel (EPCs), stem sel
mesenchy (MSCs), sel progenitor
multipotent dewasa (MAPCs). Ketika sel
progenitor endhotel (EPCs) berasal dari
prekursor sel hemangioblast di sumsum
tulang ditransfer pada target area
impalantasi
miokard
,
akan
beridiferensiasi secara in situ dan
mendorong pertumbuhan pembuluh darah
baru, sebuah metode yang telah
diaplikasikan mada beberapa model
hewan yang mengalami iskemi miokard
[46]. Turunan prekursor / stem sel
sumsum tulang ini dapat juga mencegah
progresi dari apoptosis kardiomiosit dan
remodeling stem
kardiak.
Terlebih,
terdapat bukti bahwa EPCs dewasa dapat
bertrans-diferensiasi menjadi kardiomiosit
aktif [48], walaupun sejauh mana hal ini
terjadi masih belum diketahui. Pada lain
pihak stem sel turunan sumsum tulang
menghamabat plastisitas tingkat tinggi
sehingga memungkinkan mereka untuk
digunakan sebagai sumber autolog dari sel
progenitor
(dari dewasa). Dengan
kemampuan yang potensial untuk
berdiferensiasi menjadi kardiomiosit dan
dapat digunakan pada kardiomioplasti
selular. Setelah pengobatan dengan agen
khusus (misalnya 5-azacytidine), MSCs
dapat berferensiaasi menjadi hentakan
kardiomiosit
yang
sinkron
[49].
Penyuntukan MSCs setelah berekspansi
pada kultur dapat juga digunakan untuk
menyelamatkan fenotipe kardiak tikus
yang
abnormal
[50]
dan
dapat
meningkatkan
efektifitas
dalam
memperbaiki kerisakan kardiak yang lebih
luas termasuk infark miokard. Selain itu,
HSCS sumsum tulang yang berasal dan
subpopulasi sel HSC disebut SP sel telah
dilaporkan pada transplantasi untuk
memperbaiki
infark
miokardium,
mendorong pertumbuhan kardiomiosit
baru, sel-sel otot endotel dan halus [51].
Sementara ini perbaikan sel miokard
termediasi dikarakteristikkan sebagai hasil
kemampuan HSCs untuk berdiferensiasi
menjadi kardiomiosit, plastisitas HSC
telah sulit untuk mereproduksi dan baik
maknanya dan dasar tetapnya belum
ditentukan.
5.1. Keuntungan Transplantasi Sel BM
Dewasa
Ada bukti bahwa pengobatan dengan
BMCs dapat memperbaiki kerusakan
miokard dan pembuluh darah dengan
meningkatkan angiogenesis. Pengaruh
transplantasi
BMCs (yang dapat
mencakup prekursor sel endotel) vaskular
pada pertumbuhan secara signifikan dapat
mempengaruhi pemulihan jantung yang
rusak, yaitu dengan meningkatkan
ketersediaan oksigen, meskipun hal ini
tergantung pada setting miokard apakah
infark miokard akut atau gagal jantung
[47]. Selain itu, autologously yang
diturunkan untuk transplantasi adalah
alternatif yang menarik, karena sumsum
tulang sel mesenchymal dapat segera
diisolasi dalam kebanyakan kasus. Selain
itu, perluasan jumlah BMC oleh
pertumbuhan in vitro dapat dengan mudah
dicapai dengan pertumbuhan kuat sel
mesenchymal dalam budaya. Hal ini
penting bahwa metode ini melewati
banyak pusaran etika dan hukum yang
terkait dengan penggunaan ESCs.
5.2. Keterbatasan / Masalah dengan
Transplantasi BMC Dewasa
Mekanisme augmentasi BMC-dimediasi
jumlah kardiomiosit dan fungsinya masih
kontroversial. Beberapa studi telah
menyarankan
bahwa
efek
dari
transplantasi sel induk dewasa pada
jantung resipien bukan merupakan akibat
dari transdifferensiasi [52], tetapi mungkin
timbul sebagai akibat dari fusi sel dengan
kardiomiosit yang sudah ada atau terjadi
sebagai fungsi efek parakrin dari
transfected sel [53] sementara yang lain
mempertahankan bahwa ada bukti untuk
transdiferensiasi [46,54-57]. Fusi sel telah
ditunjukkan antara kardiomiosit dan
nonkardiomiosit secara in vivo dan in vitro
[58-59] dan data dalam mendukung
transdifferentiation (terutama dengan
HSCS) tidak selalu dapat ditiru. Penelitian
lebih
lanjut
diperlukan
untuk
mengklarifikasi
isu-isu
ini
dan
8
mendamaikan klaim yang bertentangan
serta memberikan informasi tambahan
tentang tingkat fusi sel dan waktu ketika
itu terjadi. Demikian pula diperlukan
penggambaran secara hati-hati mengenai
transdifderensiasi dari orang dewasa yang
terdefinisi dengan baik pada jenis sel
induk. Sayangnya, masalah penting dalam
replikasi percobaan ini dan dalam
menentukan efek dari BMCs terletak pada
heterogenitas besar dari populasi BMCs
yang digunakan.
Keterbatasan dari sebagian besar studi
klinis dengan transplantasi stem sel
dewasa non-sel jantung berkaitan dengan
stabilitas potensi diferensiasi fenotipe,
karena penelitian ini terutama memeriksa
keuntungan jangka pendek. Namun,
penting untuk menggarisbawahi tidak
adanya efek samping di lebih dari 100
pasien diteliti. Hal ini berbeda dengan
aritmia pada pencangkokan myoblast [40].
Karena kurangnya teknik yang berhasil
secara efektif mengobati gagal jantung,
ada tekanan (terutama dari dokter) untuk
mempercepat
aplikasi
klinis
sel
transplantasi bahkan sebelum mekanisme
(dan juga efek jangka panjang)
sepenuhnya dipahami.
5.3 Bagaimana Informasi Terdahulu
Diterjemahkan pada Studi Klinis
Manusia
Karena sebagian besar penelitian BMC
saat ini dilakukan pada tikus, pertanyaan
kritis adalah apakah model ini benar-benar
berlaku untuk manusia. Studi awal pada
manusia
menunjukkan
bahwa
transplantasi BMC dan sitokin rumah
dapat
ke
daerah
cedera
dan
mempromosikan
neovaskularisasi
di
daerah-daerah dimana mereka dibutuhkan.
Apakah BMCs cukup bisa dicangkokkan
untuk memperbaiki daerah yang rusak
dalam hati manusia yang cenderung lebih
besar dalam ukuran daripada di jantung
tikus masih harus dilihat. Selain itu,
dipertanyakan jika terapi sel sumsum
tulang manusia dewasa bekerja terhadap
salah satu dari berikut: kematian sel
apoptosis, cedera iskemik, kardiomiopati,
yang cardiomyopathy penuaan, konduksi
jantung cacat aritmia / dan cacat jantung
pada bayi / anak-anak.
Hasil awal dari uji klinis pada manusia
telah menunjukkan perbaikan moderat
dalam fungsi jantung pasien dengan
iskemia miokard akut dan infark [60-62].
Ketika transplantasi diterapkan pada
pasien dengan penyakit jantung kronis
atau kerusakan sekunder infark miokard
hasil kurang definitif.
6. Stem Sel Jantung Dewasa (ACS)
Informasi yang saat ini tersedia
pada berbagai populasi stem sel
di
jantung dewasa telah muncul dari
penelitian di beberapa laboratorium.
Namun, masih banyak pertanyaan tentang
asal-usul, struktur, fungsi lokasi, tepat dan
peraturan sel-sel ini. Keberadaan Lin-kit
c-+ sel dalam miokardium dewasa tikus
dengan sifat-sifat sel-sel induk telah
dilaporkan
[63].
Sel-sel
ini
memperbaharui
diri
dan
dapat
diperbanyak selama beberapa bulan, dapat
dikembangkan
dalam
kultur,
dan
multipoten, dan dapat menimbulkan
kardiomiosit, otot polos, dan sel endotel.
Ketika disuntikkan ke jantung iskemik,
Lin-c-kit + sel berkontribusi pada
pembentukan endotelium dan otot polos
pembuluh
darah
dan
regenerasi
miokardium di kawasan nekrosis,
meningkatkan fungsi pompa dan geometri
ruang ventrikel [64].
Isolasi dan karakterisasi populasi
kecil pada sel-sel jantung dewasa yang
diturunkan dari sel progenitor jantung
(dari miokardium tikus postnatal)
mengekspresikan penanda permukaan sel
induk-antigen 1 (SCA-1 +) dan aktivitas
telomerase reverse transcriptase, terkait
dengan potensi pembaharuan diri, barubaru ini juga telah dilaporkan [65-66]. Selsel ACS ini secara selektif diisolasi oleh
sistem pemilahan sel magnetik dan tidak
menyatakan gen struktural jantung atau
Nkx2.5. Sel-sel dapat berdiferensiasi
secara in vitro membentuk kardiomiosit
berdenyut, sebagai tanggapan terhadap
DNA demethylating 5'agen-azacytidine.
Peningkatan
ekspresi
lain
faktor
transkripsi kardiogenik (gata-4, MEF-2C)
ditunjukkan oleh microarray profil
membedakan sel ACS seperti yang
ditemukan dalam sel-sel sumsum tulang
stroma dengan potensi kardiogenik.
9
Demikian pula, ketika diobati dengan
oksitosin, stem sel jantung SCA-1 +
mengekspresikan gen faktor transkripsi
jantung dan protein kontraktil dan struktur
sarcomeric ditunjukkan dan berdenyut
spontan. [67]. Setelah produksi intravena,
stem sel -SCA 1 + jantung dapat
ditempatkan di miokardium yang terluka
oleh iskemia / reperfusi dan fungsional
dapat berdiferensiasi in situ.
Laugwitz dan asosiasi [68] baru-baru ini
melaporkan adanya populasi cardioblasts
baik pada jantung embrio maupun
postnatal (dari tikus, tikus dan manusia)
berjumlah hanya beberapa ratus per
jantung
diidentifikasi berdasarkan
ekspresi mereka dari faktor transkripsi
LIM-homeodomain , Isl1. Kelompok ini
stem sel jantung terutama lokal di atrium,
ventrikel kanan, dan daerah saluran keluar
(di mana Isl1 paling lazim disajikan
selama organogenesis jantung). Stem sel
turunan
miokard dapat diisolasi,
ditransplantasikan,
bertahan
dan
bereplikasi dalam jantung yang rusak
dengan bukti perbaikan fungsional [69].
6.1. Keuntungan Sel ACS
Sementara implantasi myoblasts rangka
dan transplantasi BMC dewasa muncul
dan tampak menjanjikan, transplantasi sel
ACS mungkin lebih efektif daripada
transplantasi BMC dewasa, karena sel-sel
induk jantung mungkin lebih baik
diprogram. Identifikasi lebih jauh,
pemurnian dan karakterisasi lebih lanjut
dan sel ACS serta pengetahuan yang
terperinci dari interaksi mereka dengan
lingkungan jantung atau niche sangat
penting dilakukan jika kita ingin mencapai
tujuan
utama
dari
regenerasi
/
transplantasi jaringan untuk mengobati
infark miokard.
6.2. Keterbatasan Sel ACS
Sampai saat ini, data tentang keberadaan
sel ACS langka. Subset stem sel ini
tampaknya sangat terbatas jumlahnya,
sulit
untuk
mengidentifikasi
dan
berkembang dalam kultur sehingga
membatasi karakterisasi dan pemanfaatan,
cenderung memberikan kontribusi berupa
kesulitan dalam reproduksi eksperimen
mengenai proses isolasi dan transplantasi.
Selain itu, saat ini tidak ada konsensus
mengenai definisi penanda selektif
spesifik untuk jenis-sel (lihat Tabel 1).
6.3. Rekomendasi
Perlu usaha yang besar untuk secara
penuh mengambarkan populasi sel
progenitor jantung yang relavan dan
mengoptimalkan
konsidi
untuk
transplantasi yang efisien, penempatan,
diferensiasi dan integrasi ke dalam
miokardium. Memahami faktor-faktor
yang
bertanggung
jawab
untuk
pertumbuhan,
penempatan,
dan
diferensiasi memungkinkan cara-cara
khusus untuk meningkatkan produksi dan
manfaat fungsional atas transplantasi.
Selain itu, informasi ini juga dapat
menjelaskan pengaktifan endogen sel
induk jantung yang berkontribusi untuk
memperbaiki jantung. Juga, untuk
mendefinisikan jenis-jenis cacat jantung
serta jenis gangguan yang paling baik
diobati dengan sel ini, termasuk
pengetahuan yang jelas tentang tempat
terbaik di jantung untuk menempatkan
langsung sel-sel ini. Misalnya, penanaman
sel dalam suatu daerah nekrosis dan / atau
ketersediaan oksigen rendah mungkin
tidak berhasil sedangkan sel-sel di daerah
hibernating myocardium mungkin bisa
berhasil.
Stabilitas jangka panjang dan fungsi sel
ACS yang dicangkokkan menunggu untuk
didefinisikan. Apakah sel ACS dapat
digunakan sebagai platform untuk
modifikasi gen ex vivo, termasuk
pengenalan gen terapi, apakah suatu
ekspresi yang kuat dari gen tertentu dapat
diarahkan dalam sel tersebut, dan jika
respon proliferasi meningkat pada sel-sel
progenitor jantung dapat dipengaruhi oleh
pengenalan gen perkembangan sel-siklus
tetap terlihat.
7. Penggambaran dari Identitas Sel
Dari pembahasan sebelumnya, harus jelas
bahwa
elemen
kritis
dalam
mengidentifikasi sel yang dicangkokkan
dalam jantung dan dalam sejumlah kasus
bahkan sebelum transplantasi, adalah
tugas penting untuk mengetahui identitas
10
tipe sel. Pada Tabel 1, kami menyediakan
daftar penanda molekuler endogen yang
telah digunakan untuk membentuk suatu
fenotipe jantung yang berbeda yang
dihasilkan dari transplantasi sel induk
yang berbeda, termasuk sel-sel sumsum
tulang, sel induk embrionik dan sel stem
jantung yang diturunkan. Selain penanda
endogen yang tersedia untuk menetapkan
identitas sel, GFP telah banyak digunakan
sebagai reporter untuk menentukan sel
donor.
Menandai
sel-sel
dengan
kromosom DAPI noda telah berhasil,
karena DAPI noda dari sel-sel mati dapat
dengan mudah dimasukkan oleh sel nonditandai [75].
Penanda genotipe juga telah ditunjukkan
untuk menjadi alat yang ampuh dalam
menilai identitas sel. Dalam beberapa
studi perbaikan kardiovaskular diri di
mana hati perempuan allografted ke
penerima laki-laki manusia, keberadaan
kromosom Y dinilai dalam pembuluh
darah koroner dan di kardiomiosit [76-79]
karena kromosom Y dapat mudah dilihat
oleh pewarnaan cyto-chemical atau
dengan hibridisasi in situ fluoresensi.
Namun, penilaian tingkat chimerism
jantung yang dilaporkan dalam studi ini
mengungkapkan variasi yang sangat
mencolok mulai dari tingkat rendah dari
Y-kromosom mengandung kardiomiosit
(0,02-01%) [77-78] untuk tingkat tinggi
(30%) [79], menekankan kebutuhan kritis
untuk menetapkan kriteria ketat oleh yang
chimerism diidentifikasi. Identifikasi inti
dengan kromosom-Y sendiri tidak cukup,
tetapi harus tegas terkait dengan baik
kapal miokard atau struktur kardiomiosit
(yaitu dengan mikroskop confocal). Jika
tidak, itu adalah mungkin untuk atribut
inti kromosom Y-positif menjadi tuan
rumah sel-sel yang terlibat dalam respon
imun dan infiltrasi inflamasi, dan tidak
untuk regenerasi jantung. Ada juga
beberapa indikasi bahwa penggunaan
analisis kromosom dapat menyebabkan
meremehkan sel transfected karena
adanya inti yang mungkin tidak dihitung
ketika di bagian histologi [46].
Deteksi penanda fenotipe sel dengan
analisa real-time, mikroskop confocal dan
metodologi
deteksi
non-invasif
menggunakan
Magnetic
Resonance
Imaging (MRI) baru saja mulai diterapkan
dalam penilaian dari transplantasi sel.
Real-time visualisasi dapat memberikan
identifikasi daerah infark miokard dan
pengiriman tepat dipandu MRI-agen
terapeutik,
dengan
situs
injeksi
diidentifikasi oleh agen kontras. Agen
kontras MRI Novel izin visualisasi
ekspresi gen pada resolusi selular, dan
dapat digunakan juga untuk mendeteksi
sel apoptosis [80-81]. Label yang sesuai
dan deteksi sel induk oleh MRI harus
dapat melacak mereka dalam distribusi in
vivo, dan memungkinkan sekilas nasib
mereka dari waktu ke waktu [82-83].
11
(Gracia JM. CSCRT. 2006).
8. Tipe Stem Sel Manakah yang
Digunakan untuk Penyakit Jantung ?
Sebuah perbandingan singkat dari
keuntungan dan keterbatasan tipe sel yang
baru-baru ini digunakan dalam cardiac
transplantation seperti yang tertera pada
tabel 2. Saat cara yang jelas/cepat belum
ada, dimana tipe sel paling baik untuk
ditransplantasikan
dalam
perbaikan
myocardial, ada beberapa sebab untuk
percaya
bahwa
perkembangan
keserberagaman
pendekatan
dalam
aplikasi rekayasa sel akan diperlukan
untuk mengembangkan terapi baru pada
gangguan cardiac yang berbeda.
Pendekatan ini untuk mengobati gagal
jantung
mungkin
memerlukan
transplantasi sel-jenis (misalnya, tulang
myoblasts) yang berbeda dari yang
digunakan dalam target pengobatan
aritmia jantung, gangguan konduksi dan
cacat bawaan. Hal ini juga kemungkinan
bahwa jangka panjang perbaikan dari
miokardium berfungsi penuh, mungkin
memerlukan lebih banyak dari satu sel
tunggal
tipe-misalnya,
kardiomiosit,
fibroblast, dan sel endotel-dalam generasi
dan integrasi cangkok jantung stabil dan
responsif.
12
9.
Perkembangan
Lain
Teknologi Rekayasa Sel
Dalam
Penyempurnaan
dari
nuklir,
cybrid transfer dan fusi sel memungkinkan
rekayasa teknik lebih lanjut dari stem sel
memberikan proteksi jantung, atau
merangsang antioksidan atau tanggapan
antiapoptotic dalam miokardium. Teknik
in juga mungkin mengizinkan penargetan
spesifik cytopathies berbasis mitokondria
[84].
Untuk mengidentifikasi aspek
lingkungan jantung yang mungkin
berkontribusi pada pertumbuhan dan
perkembangan transplantasi myoblasts in
vivo, matriks 3-dimensi telah dirancang
sebagai sebuah novel dalam sistem in
vitro yang meniru beberapa aspek dari
lingkungan listrik dan biokimia dari
miokardium
asli.
Struktur
ini
memungkinkan resolusi yang lebih baik
sinyal listrik dan biokimia yang mungkin
terlibat dalam proliferasi myoblast dan
plastisitas. Myoblasts telah ditumbuhkan
pada asam mesh 3-D polyglycolic
perancah dalam kondisi kontrol di
hadapan arus listrik fluks seperti jantung,
dan di hadapan media kultur yang telah
dikondisikan oleh kardiomiosit matur
[85]. Seperti perancah yang mengandung
baik janin atau agregat neonatal dari sel
jantung yang berdenyut telah digunakan
untuk menghasilkan cangkok jantung
buatan ditransplantasikan ke miokardium
yang terluka dengan penyembuhan fungsi
ventrikel ,dan pembentukan dari gapjunction fungsional antara sel yang
dicangkokkan dan miokardium [86-87].
Kombinasi terapi gen dan rekayasa sel
induk adalah sebuah pendekatan menarik
untuk mengobati gangguan jantung.
Ekspresi (dan dalam beberapa kasus
penghambatan ekspresi) protein tertentu
dapat mengakibatkan perubahan mencolok
dalam kardiomiosit dan fenotipe jantung.
Kardiomiosit fungsi spesifik, termasuk
saluran
ion,
konduksi
jantung,
13
kontraktilitas dan proliferasi myocyte
telah terbukti dipengaruhi oleh transfer
gen dan ekspresi protein spesifik [88-90].
Terapi Cell-based untuk hati terluka atau
disfungsional dapat ditingkatkan dengan
menggunakan ex vivo rekayasa genetika
sel punca untuk memberikan gen dan
protein. Sebagai contoh, transplantasi sel
batang mesenchymal telah terbukti
menjadi
perangkat
efektif
untuk
menyampaikan protein saluran yang
terlibat dalam aktivitas pacemaker
aktivitas (misalnya, saluran HCN2
protein) mengakibatkan modifikasi irama
jantung in vivo [91]. Pada hewan model
kardiomiopati iskemik, pengenalan faktor
pertumbuhan endotel vaskular (VEGF)
dan pengaruhnya pada kedua angiogenesis
dan
fungsi
ventrikel
kiri
nyata
ditingkatkan dalam hati dengan myoblasts
rangka VEGF-transfected dibandingkan
dengan hati langsung disuntik dengan
adenoviral-VEGF membangun [92].
10. Komentar Penutup
Penemuan cardiogenesis pada
hewan dewasa dan manusia merupakan
salah satu kemajuan yang sangat
signifikan di bidang kardiologi dalam 25
tahun terakhir. Sebelumnya, ahli jantung
yang paling percaya bahwa kelahiran
kardiomiosit baru hanya terbatas pada
jantung janin dan bayi. Dogma ini barubaru ini runtuh ketika para peneliti
menemukan bahwa jantung tikus dewasa,
tikus dan manusia mengalami perubahan
jantung yang signifikan sebagai fungsi
dari usia. Kardiomiosit baru lahir / homing
ke daerah miokard relevan dengan jalur
jantung,
dan
kemudian
dapat
mengintegrasikan
secara
struktural
sehingga fungsi miokard dapat dipulihkan
dan jaringan baru dapat diproduksi.
Temuan ini telah memicu sejumlah besar
penemuan paralel pada tikus, tikus, dan
manusia, dengan implikasi dramatis bagi
bagaimana kita berpikir plastisitas tentang
jantung dan peran potensial dalam
merehabilitasi individu dengan iskemia
miokard / infark, gagal jantung dan
berbagai jenis kardiomiopati, termasuk
kardiomiopati penuaan. Secara ringkas,
meningkatkan kemampuan kita untuk
memahami
fungsi
yang
berbeda
kardiomiosit / jalur diferensiasi jantung
secara
detail
akhirnya
akan
memungkinkan penggantian jaringan,
transplantasi
orang
lain,
dan
ketidakseimbangan
pergeseran
pada
molekul dan biokimia jantung. Dengan
awal dan kemajuan pesat dalam rekayasa
sel, kita mengharapkan untuk melihat
akhir kelainan jantung yang melemahkan
kehidupan manusia dan membangkrutkan
sistem perawatan kesehatan.
11. Daftar Pustaka
1. Hunt SA. Current status of cardiac
transplantation. J Am Med Assoc
1998;280:1692 – 1698.
2. Risau W.
Mechanisms
of
angiogenesis.
Nature
1997;386:671–674.
3. Braunwald E, Pfeffer MA.
Ventricular enlargement and
remodeling
following
acute
myocardial
infarction:
mechanisms and management.
Am J Cardiol 1991;68:1D–6D.
4. Scorsin M, Marotte F, Sabri A et
al. Can grafted cardiomyocytes
colonize peri-infarct myocardial
areas? Circulation 1996;94:II337–
II340.
5. Soonpaa MH, Koh GY, Klug MG,
Field LJ. Formation of nascent
intercalated disks between grafted
fetal cardiomyocytes and host
myocardium.
Science
1994;264:98–101.
6. Menasche P, Hagege AA, Scorsin
M et al. Myoblast transplantation
for
heart
failure.
Lancet
2001;357:279–280.
7. Marelli D, Desrosiers C, el-Alfy
M, Kao RL, Chiu RC. Cell
transplantation for myocardial
repair: an experimental approach.
Cell Transplant 1992;1:383–390.
8. Taylor
DA,
Atkins
BZ,
Hungspreugs P et al. Regenerating
functional myocardium: improved
performance
after
skeletal
14
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
myoblast transplantation. Nat
Med 1998;4:929–933.
Tomita S, Li RK, Weisel RD et al.
Autologous transplantation of
bone marrow cells improves
damaged
heart
function.
Circulation
1999;100:II247–
II256.
Orlic D, Kajstura J, Chimenti S et
al. Bone marrow cells regenerate
infarcted myocardium. Nature
2001;410:701–705.
Jackson KA, Majka SM, Wang H
et al. Regeneration of ischemic
cardiac muscle and vascular
endothelium by adult stem cells. J
Clin Invest 2001;107:1395–1402.
Asahara T, Murohara T, Sullivan
A et al. Isolation of putative
progenitor endothelial cells for
angiogenesis.
Science
1997;275:964–967.
Toma C, Pittenger MF, Cahill KS,
Byrne BJ, Kessler PD. Human
mesenchymal
stem
cells
differentiate to a cardiomyocyte
phenotype in the adult murine
heart. Circulation 2002;105:93–
98.
Shi Q, Rafii S, Wu MH et al.
Evidence for circulating bone
marrow-derived endothelial cells.
Blood 1998;92:362–367.
Klug MG, Soonpaa MH, Koh GY,
Field LJ. Genetically selected
cardiomyocytes
from
differentiating embryonic stem
cells form stable intracardiac
grafts. J Clin Invest 1996;98:216–
224.
Yamashita J, Itoh H, Hirashima M
et al. Flk1-positive cells derived
from embryonic stem cells serve
as vascular progenitors. Nature
2000;408:92–96.
17. Tabibiazar R, Rockson SG.
Angiogenesis and the ischaemic
heart. Eur Heart J 2001;22:903–
918.
18. Ware
JA,
Simons
M.
Angiogenesis in ischemic heart
disease. Nat Med 1997;3:158–
164.
15
METODE KONTRASEPSI PRIA
F. Y. Widodo
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak:
Metode kontrasepsi yang dipakai oleh para pria selama ini adalah kondom, sanggama terputus dan
vasektomi. Cara-cara itu tidak disukai karena ketidaknyamanan dan adanya keterbatasan
ireversibilitas. Dengan demikian, dibutuhkan pilihan kontrasepsi yang lebih menarik, aman, efektif
dan reversibel. Ada dua area utama dalam riset kontrasepsi pria, kontrasepsi hormonal dimana
hormon sintetik dipakai untuk sementara menghentikan perkembangan sperma sehat; dan metode nonhormonal, dimana teknik lain digunakan untuk menghentikan sperma sehat untuk memasuki vagina.
Walaupun demikian, hal ini harus dicapai tanpa memicu efek samping, seperti misalnya hilangnya
gairah dan kemampuan seksual.
Kata Kunci: kontrasepsi hormonal, kontrasepsi non-hormonal, sperma.
CONTRACEPTION METHOD FOR MAN
F. Y. Widodo
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract:
Methods of contraception for use by men include condoms, withdrawal and vasectomy is not
preferred because of discomfort and limited irreversible. Development of a safe, effective, reversible
and affordable contraceptive method for men would meet a critical need. There are two main areas of
research into male contraception, hormonal contraception where synthetic hormones are used to
temporarily stop the development of healthy sperm, and non-hormonal methods, where other
techniques are used to stop healthy sperm from entering a woman’s vagina. However, this needs to be
achieved without triggers side effects, such as a loss of libido and sexual performance.
Keywords: hormonal contraceptives, non-hormonal contraception, sperm.
PENDAHULUAN
Tujuan penggunaan kontrasepsi adalah
untuk menghambat atau menunda
kehamilan karena berbagaia alasan, antara
lain adalah perencanaan kehamilan,
pembatasan jumlah anak, menghindari
risiko medis dari kehamilan (misalnya
adanya penyakit jantung, diabetes melitus,
tuberkulosis), serta sebagai program
pemerintah untuk mengendalikan jumlah
populasi (1).
Sejak kontrasepsi itu pertama kali
ada hingga masa sekarang ini, terutama
yang berperan untuk menggunakan
kontrasepsi hanyalah kaum wanita saja.
Beberapa metode keluarga berencana
untuk pria seperti kondom, vasektomi,
coitus interuptus, konsepnya telah ada
sejak beberapa ratus tahun yang lalu,
namun hal tersebut sangat sulit
dilaksanakan dan sama sekali tidak efektif
dan tidak efisien (2)
Data yang disampaikan oleh Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) pada bulan Maret
2011, menyatakan bahwa Peserta KB
Baru secara nasional pada bulan Maret
2011 sebanyak 739.500 peserta, dan
apabila dilihat partisipasi pria sebagai
peserta KB adalah : 47.824 peserta
Kondom (6,47%), dan 2.508 adalah
peserta Vasektomi (Modus Operasi Pria)
(0,34%). Sedangkan partisipasi kaum
wanita adalah: 48.891 peserta IUD
(6,61%), 9.634 peserta Modus Operasi
Wanita (MOW) (1,30%), 50.781 peserta
Implant (6,87%), 373.154 peserta
Suntikan (50,46%), dan 206.708 peserta
Pil (27,94%). Dari data ini dapat dilihat,
bahwa peran pria untuk berpartisipasi
dalam Keluarga Berencana sangat rendah
16
sekali, total hanya 6.81% dari keseluruhan
peserta KB (3).
Di Jawa Timur, peran serta pria untuk ikut
KB tidak jauh berbeda dengan angka
nasional. Peserta pemakai kondom adalah
sebesar 4.04%, dan peserta MOP sebesar
0.40%. Total hanya 4.44%. Sedangkan
peserta metode KB untuk wanita: Pil
23.53%, Suntikan 60.13%. IUD 5.84%,
MOW 1.73 %, dan Implant 4.32% (3)
Di Amerika Serikat, data yang ada
menunjukkan bahwa kaum pria lebih
memiliki antusias untuk berperan serta
dalam keluarga berencana, dimana peserta
yang menggunakan kondom sebesar 13%
dan lebih dari 15 % memilih melakukan
MOP. Untuk peserta KB dikalangan kaum
wanita, masih tetap mendominasi, dimana
peserta MOW mencapai 20%, IUD 6%,
Suntikan 13 % dan yang memakai Pil
30% ( 1, 4).
Dari data yang ada dapat disimpulkan,
bahwa peserta KB pria tidak suka
memakai
kondom
karena
adanya
“perasaan kurang nyaman”. Kondom
kebanyakan
hanya
dipakai
untuk
menghindari penularan Penyakit Menular
Seksual. Sedangkan MOP (vasektomi)
adalah suatu cara KB yang termasuk
“kontrasepsi mantap”, dimana ada
keterbatasan
untuk
menghasilkan
keturunan kembali (ireversibel), sehingga
juga tidak disukai (5, 6).
Oleh sebab itu, untuk meningkatkan peran
serta kaum pria dalam keluarga
berencana, perlu dikembangkan suatu cara
kontrasepsi yang efektif, tidak berbahaya
untuk kesehatan, reversibel, dan nyaman
untuk digunakan (2).
Salah satu cara yang ditawarkan adalah
penggunaan
kontrasepsi
hormonal,
dimana pemakaiannya mudah, dan lebih
bisa diterima oleh kaum pria (6, 7).
Mekanisme kerja dari kontrasepsi
hormonal ini ialah dengan cara
menghalangi efek dari hormon testosteron
sedemikian rupa, sehingga produksi selsel sperma yang sehat dari testis akan
terhambat,
tanpa menurunkan kadar
hormon testosteron tersebut. Penurunan
kadar testosteron akan mengakibatkan
efek samping berupa gangguan fungsi
seksual dari pemakainya. (8, 9, 10)
Formulasi dari kontrasepsi hormonal,
biasanya terdiri dari
berbagai jenis
testosteron, baik dosis tunggal maupun
yang dikombinasikan dengan hormon
lain. Dalam uji klinis, telah menunjukkan
hasil yang menggembira-kan. Namun,
efek jangka panjang dari penggunaan
hormon reproduksi laki-laki ini untuk
kontrasepsi, sampai saat ini masih belum
diketahui, dan mungkin butuh waktu
puluhan tahun untuk mengetahuinya.
Karena itu, banyak peneliti yang
memperkenalkan kontrasepsi pria nonhormonal, yang memiliki mekanisme
berbeda dengan hormonal, yaitu tanpa
mempengaruhi
jalur
hipotalamushipofisis-testis
untuk
menghambat
spermatogenesis
atau
menghambat
motilitas sperma (7, 11)
SISTEM REPRODUKSI PRIA
Fungsi
utama
dari sistem
reproduksi pria adalah (12, 13, 14):
1. Produksi sperma (spermatogenesis)
2. Produksi hormon-hormon steroid
(steroidogenesis), yaitu berupa hormon
androgen (testosteron)
3. Transportasi sperma dalam sistem
reproduksi wanita
Fungsi dari sistem reproduksi pria adalah
menyalurkan sperma kesaluran reproduksi
wanita dalam suatu vehikulum cair yang
kondusif untuk viabilitas sperma. Cairan
pembawa sperma tersebut disebut semen,
yang diproduksi dan disekresi oleh
kelenjar seks tambahan (glandula
asesoria) yang terdiri dari vesikula
17
seminalis, kelenjar prostat dan kelenjar
bulbouretralis / kelenjar Cowper (12, 14)
Organ kopulasi pada manusia ialah penis.
Kopulasi harus didahului oleh proses
ereksi penis, yaitu proses dimana terjadi
pengerasan
penis
sehingga
dapat
melakukan penetrasi ke dalam vagina.
Ereksi terjadi karena adanya pembesaran
jaringan erektil penis akibat vasodilatasi
arteriol penis, yang diinduksi saraf
parasimpatis serta penekanan vena secara
mekanis (14)
Sperma yang dikeluarkan dari penis pada
saat ejakulasi mula-mula berasal dari
testis, kemudian menuju ke vas deferens,
duktus ejakulatorius dan keluar melalui
uretra (12, 14)
Alur Hipotalamus - Pituitari – Gonad
(HPG)
Alur Hipotalamus-Pituitari-Gonad (HPG)
memegang peranan penting dalam proses
berikut (13):
1. Pengembangan fenotipe jenis kelamin
saat embriogenesis
2. Maturasi seksual saat pubertas
3. Fungsi
endokrin
pada
sintesis
testosteron dan sperma
Pada alur reproduksi, terdapat 2 (dua)
golongan hormon yang berperan, yaitu
hormon peptida dan hormon steroid.
Masing-masing
golongan
tersebut
memiliki cara kerja yang berbeda untuk
memberikan respon biologi. Yang
termasuk
hormon
peptida
adalah
Luteinizing Hormone (LH) dan FollicleStimulating Hormone(FSH), sedangkan
yang termasuk hormon steroid adalah
testosteron dan estradiol (13,15).
Reproduksi yang normal, tergantung pada
kerjasama dari beberapa hormon, yang
regulasinya harus dikendalikan dengan
baik. Mekanisme pengendalian yang
utama adalah dengan cara pengendalian
umpan balik (feedback control), dimana
sintesis dan aktifitas hormon tersebut
dapat dikendalikan oleh hormon itu
sendiri, bahkan juga dapat mengendalikan
hormon lain (13, 15)
Komponen Alur HPG
A. Hipotalamus
Sebagai pusat dari alur HPG,
hipotalamus menerima masukan rangsang
dari pusat-pusat yang ada di otak, yang
akan
mensekresi
hormon
yang
merangsang
atau
menghambat
pengeluaran hormon-hormon lain. Secara
anatomi, hipotalamus terhubung dengan
kelenjar pituitari, sehingga secara
langsung
hormon-hormon
dari
hipotalamus bisa masuk ke kelenjar
pituitari anterior. Hormon yang berperan
pada
sistem
reproduksi
adalah
gonadotropin releasing hormone (GnRH)
dan luteinizing hormone releasing
hormone (LHRH). Fungsi GnRH adalah
untuk menstimulasi sekresi hormon LH
dan FSH dari kelenjar pituitari anterior
(13)
B. Pituitari Anterior
GnRH merangsang produksi dan
pengeluaran hormon FSH dan LH dari
kelenjar pituitari anterior. FSH dan LH
berperan dalam proses regulasi fungsi dari
testis. Kedua hormon tersebut masingmasing mengandung 2 subunit rantai
polipeptida, yang disebut subunit alfa dan
beta. Subunit alfa untuk semua hormon
pituitari anterior adalah identik. Aktifitas
biologi maupun imunologi ditentukan
oleh subunit beta. Perbedaan pada
transduksi
sinyal
ditentukan
oleh
kandungan oligosakarida dan residu asam
sialat dalam masing-masing hormon.
Regulasi sekresi LH dilakukan oleh
androgen dan estrogen melalui umpan
balik negatif. (13, 16).
18
Didalam testis, LH merangsang
steroidogenesis dalam sel Leydig dengan
cara menginduksi konversi kholesterol
menjadi pregnenolon dan testosteron.
FSH terikat pada sel-sel Sertoli dan
membran sprematogonial dalam testis dan
ini merupakan stimulator utama dari
pertumbuhan tubulus seminiferous saat
perkembangan. FSH sangat diperlukan
pada proses inisiasi spermatogenesis pada
saat pubertas. pada pria dewasa, fungsi
FSH yang utama adalah merangsang
spermatogenesis untuk menghasilkan
jumlah sel sperma yang normal (13, 16)
Hormon prolaktin juga memiliki
efek pada alur HPG, yaitu dapat
meningkatkan konsentrasi reseptor LH
pada sel-sel Leydig, dan mempertahankan
kadar testosteron dalam testis agar selalu
normal. Selain itu juga dapat memperkuat
efek androgen pada pertumbuhan dan
sekresi kelenjar-kelenjar seks aksesori
pada pria. Kadar prolaktin yang normal
diperlukan untuk
mempertahankan
tingkat libido. Hiperprolaktinemia dapat
menekan
gonadotropin
dengan
mengganggu pengeluaran GnRH (13)
C. Testis
Kesuburan
dan
kemampuan
seksual seorang pria memerlukan
hormon-hormon
eksokrin
maupun
endokrin dari testis. Semuanya berada
dalam kontrol alur HPG. Bagian
intersisial testis mengandung sel-sel
Leydig yang berfungsi pada proses
steroidogenesis. Tubulus seminiferous
memiliki
fungsi
eksokrin
untuk
memproduksi spermatozoa (13, 14)
Testosteron diproduksi sekitar 5
g/hari, sekitar 2% dalam keadaan bebas
tidak terikat, sehingga siap untuk
menjalankan fungsinya secara biologik.
Sisanya terikat dengan albumin atau sex
hormone-binding globulin (SHBG) dalam
sistem peredaran darah (13, 16). Beberapa
penyakit dapat meningkatkan kadar
SHBG, sehingga kadar testosteron bebas
menurun. Selain itu, peningkatan SHBG
dapat
juga
dipicu
oleh
adanya
peningkatan hormon androgen, growth
hormone dan obesitas. Kadar SHBG dapat
menurun akibat peningkatan hormon
estrogen dan hormon tiroid. Produksi
testosteron dikontrol secara umpan balik
negatif pada alur HPG, dan testosteron
tersebut dimetabolisir menjadi 2 macam
metabolit aktif yaitu:
1. Dihidrotestosteron
(DHT)
akibat
katalisis dari 5-alfa-reduktase.
2. Estrogen estradiol, sebagai hasil reaksi
dengan aromatase.
DHT merupakan androgen yang jauh
lebih kuat daripada testosteron (13, 16)
Fungsi lain dari testis adalah
fungsi eksokrin, dimana testis akan
menghasilkan
produk-produk
yang
diperlukan pada pertumbuhan sel-sel
germinal. Produk tersebut antara lain
berupa
androgen-binding
protein,
transferin, laktat, ceruloplasmin, clusterin,
aktifator plasminogen, prostaglandin, dan
beberapa faktor pertumbuhan. Produkproduk tersebut dihasilkan oleh sel-sel
Sertoli yang ada didalam tubulus
seminiferus, yang dipicu oleh adanya
FSH. Pada masa pubertas, pertumbuhan
tubulus seminiferus ini mulai distimulasi,
sehingga saat itu baru mulai menghasilkan
sperma. Pada saat dewasa, FSH
diperlukan pada proses spermatogenesis
(13, 17).
Pengeluaran FSH dari kelenjar
hipofisa anterior dapat dihambat oleh
inhibin, yaitu suatu protein yang
dihasilkan oleh sel Sertoli. Didalam testis,
produksi inhibin dipicu oleh FSH, dan
regulasinya secara umpan balik negatif .
Sekresi FSH dapat ditingkatkan oleh suatu
protein yang disebut aktivin, yang juga
diproduksi didalam testis. Aktivin
memiliki 2 subunit beta yang mirip
dengan inhibin (13, 17)
19
Sel sperma yang bersifat haploid
(n) dibentuk di dalam testis melewati
sebuah proses kompleks. Pada tubulus
seminiferus testis terdapat (13, 15, 17):
1. Sel-sel induk spermatozoa atau
spermatogonium,
2. Sel Sertoli yang berfungsi memberi
makan spermatozoa,
3. Sel Leydig yang terdapat di antara
tubulus seminiferus yang berfungsi
menghasilkan testosteron.
Gambar 1: Alur HPG (diambil dari
kepustakaan 12)
SPERMATOGENESIS
Spermatogenesis
(proses
pembentukan
dan
pemasakan
spermatozoa) adalah suatu proses yang
kompleks dimana stem-sel multipoten
yang primitif membelah membentuk sel
anak yang akhirnya menjadi spermatozoa.
Proses ini terjadi dalam tubulus
seminiferus yang ada didalam testis. 90%
dari volume testis terdiri dari tubulus
seminiferus dan sel germinal pada
berbagai tahapan perkembangan (13,15)
Proses pembentukan gamet atau
sel kelamin disebut gametogenesis. Ada
dua jenis proses pembelahan sel yaitu
mitosis dan meiosis. Bila ada sel tubuh
kita yang rusak maka akan terjadi proses
penggantian dengan sel baru melalui
proses pembelahan mitosis, sedangkan sel
kelamin atau gamet sebagai agen utama
dalam proses reproduksi manusia
menggunakan
proses
pembelahan
meiosis. Seperti yang sudah kita ketahui
bersama bahwa mitosis menghasilkan sel
baru yang jumlah kromosomnya sama
persis dengan sel induk yang bersifat
diploid (2n) yaitu 23 pasang atau 46 buah
kromosom, sedangkan pada meiosis
jumlah kromosom pada sel baru hanya
bersifat haploid (n) yaitu 23 kromosom
(15, 17).
Proses
pembentukan
spermatozoa
dipengaruhi oleh kerja beberapa hormon.
Kelenjar hipofisis menghasilkan hormon
perangsang folikel (Folicle Stimulating
Hormone/FSH) dan hormon lutein
(Luteinizing
Hormone/LH).
LH
merangsang
sel
Leydig
untuk
menghasilkan hormon testosteron. Pada
masa
pubertas, androgen/testosteron
memacu tumbuhnya sifat kelamin
sekunder. FSH merangsang sel Sertoli
untuk menghasilkan ABP (Androgen
Binding Protein) yang akan memacu
spermatogonium untuk memulai proses
spermatogenesis.
Proses
pemasakan
spermatosit menjadi spermatozoa disebut
spermiogenesis. Spermiogenesis terjadi di
dalam epididimis dan butuh waktu selama
2 hari (13, 15, 17).
Proses produksi sperma yang matang di
dalam tubulus seminiferus melalui
langkah-langkah berikut ini (13, 15, 17):
1. Sel kelamin jantan primitif yang belum
terspesialisasi dan disebut dengan
spermatogonium akan diaktifkan oleh
sekresi hormon testosteron.
2. Masing-masing
spermatogonium
membelah
secara
mitosis
untuk
menghasilkan dua sel anak yang masingmasing berisi 46 kromosom lengkap.
3. Dua sel anak yang dihasilkan tersebut
masing-masing disebut spermatogonium
yang kembali melakukan pembelahan
mitosis untuk menghasilkan sel anak, dan
satunya lagi disebut spermatosit primer
20
yang berukuran lebih besar dan bergerak
ke dalam lumen tubulus seminiferus.
4. Spermatosit primer melakukan meiosis
untuk menghasilkan dua spermatosit
sekunder yang berukuran lebih kecil dari
spermatosit primer. Spermatosit sekunder
ini
masing-masing
memiliki
23
kromosom yang terdiri atas 22 kromosom
tubuh dan satu kromosom kelamin (X
atau Y).
5. Kedua spermatosit sekunder tersebut
melakukan mitosis untuk menghasilkan
empat sel lagi yang disebut spermatid
yang tetap memiliki 23 kromosom.
6. Spermatid kemudian berubah menjadi
spermatozoa matang tanpa mengalami
pembelahan dan bersifat haploid (n) 23
kromosom. Proses pematangan spermatid
menjadi spermatozoa dapat memakan
waktu beberapa minggu, dan terdiri dari
tahap-tahap:
a. Pembentukan akrosom dari aparatus
Golgi
b. Pembentukan flagelum dari sentriol
c. Reorganisasi mitokondria dibagian
tengah tubuh.
d. Pemampatan nukleus sebanyak 10%
e. Eliminasi sisa sitoplasma.
Spermatozoa yang berada didalam testis
ini selanjutnya masih harus dimatangkan
untuk bisa bergerak membuahi sel telur.
Proses pematangan ini berlangsung
didalam epididimis. Proses perjalanan
didalam epididimis memicu beberapa
perubahan, termasuk peningkatan muatan
listrik
pada
jaringan
permukaan,
perubahan komposisi protein membran,
imunoreaktifitas, penambahan fosfolipid
dan asam lemak, serta aktifitas adenilat
siklase. Perubahan ini meningkatkan
integritas
struktur
membran
dan
meningkatkan kemampuan fertilisasi.
Transit sperma melalui epididimis ini
memerlukan waktu selama 10 – 15 hari.
Keseluruhan proses spermatogenesis pada
manusia ini memerlukan waktu sekitar 60
hari (13, 17, 18)
Regulasi spermatogenesis secara
genetik dilaksanakan oleh 266 gen
berbeda, yang melakukan ekspresi pada
testis pria dewasa. Pada riset yang
dilakukan akhir-akhir ini, pada pria
dengan tingkat kesuburan normal,
terdapat 149 gen yang berfungsi. Gen-gen
tersebut berperan pada fungsi-fungsi testis
yang
normal,
antara
lain
pada
perkembangan sel sperma pada tingkat
spermatosit, spermatid, motilitas sperma,
reparasi dan eliminasi sel cacat, serta
fungsi-fungsi lain (15, 19, 20)
Agar dapat berfungsi dengan baik
untuk membuahi sel telur, sperma harus
memenuhi beberapa kriteria dibawah ini
(13):
a. Volume ejakulat harus mencapai 1.5 –
5.5 ml.
b. Konsentasi sel sperma (sperm count)
harus mencapai 200 juta per ml.
Abnormalitas:
- 0 Juta/ml disebut Azoospermia
- >
0
5
Juta/ml
disebut
Ekstrimoligozoospermia
- 20 juta disebut oligozoospermia
- 250 Juta/ml disebut Polizoospermia
c. Motilitas lebih dari 50%
d. Morfologi normal lebih dari 30%
e. Tidak boleh ada penggumpalan, darah
putih dan peningkatan viskositas.
KONTRASEPSI HORMONAL
Sama halnya dengan cara KB
pada wanita, pemberian hormon seks
steroid yang dapat memblokir ovulasi
secara umpan balik negatif (negative
feedback), juga terjadi secara analogi pada
pria. Pemberian hormon androgen akan
menekan produksi LH oleh pituitari
anterior, yang pada akhirnya menekan
spermatogenesis. Namun, hal ini akan
menimbulkan
efek samping berupa
penurunan libido dan berpotensi pula
untuk menurunkan kemampuan seksual.
21
Prinsip ini pertama kali ditunjukkan pada
tahun 1974, dengan menggunakan
kombinasi estrogen oral dengan metil
testosteron. Selanjutnya, para ahli
melakukan beberapa langkah percobaan
klinik dengan menggunakan testosteron
tunggal, atau dikombinasikan dengan
progestin. Langkah ini menunjukkan lebih
dari 90% efektif dalam mencegah
konsepsi/kehamilan,
dan
tidak
menunjukkan efek samping yang serius
(8, 11, 21).
Selama beberapa tahun, para
peneliti telah mempelajari efek suntikan
testosteron tanpa kombinasi sebagai
kontrasepsi pria, dan ternyata dapat
menekan produksi sperma sampai tingkat
yang sangat rendah. Namun, ternyata
terbukti bahwa efek testosteron tanpa
kombinasi ini terdapat perbedaan secara
etnis. Para pria Asia normal, khususnya
Asia Timur, hampir selalu dapat menjadi
oligospermia
dan
bahkan
sampai
azospermia ketika diberi testosteron
undecanoate sebanyak 500 sampai 1000
mg setiap bulan. Sedangkan hanya 86%
dari pria kulit putih (kaukasian) yang
dapat mencapai oligospermia atau
azospermia dengan pemberian testosteron
yang serupa (8, 9, 10)
Cara yang lebih efektif adalah
dengan
menggabungkan
testosteron
dengan progestin. Cara ini juga dirasakan
lebih aman karena dosis hormon
testosteron dapat diturunkan, tetapi
khasiatnya tidak berkurang. Suatu
suntikan
kombinasi
testosteron
undecanoate
dengan
norethindrone
enanthate yang diberikan pada interval 6minggu, dapat menyebabkan azospermia
pada 90% dari subyek penelitian (9, 10,
21).
Progestin yang dikombinasikan
dengan testosteron terdiri dari berbagai
jenis, antara lain adalah norethisterone,
desogestrel, levonorgestrel, etonogestrel,
depot-medroxyprogesterone
acetate
(DMPA) atau nestorone. Dari beberapa
macam progestin tersebut, yang terlihat
paling efektif adalah etonogestrel dan
levonorgestrel. Efek penurunan LH
ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh
hormon androgen daripada oleh progestin
(9, 22, 23).
Selain dikombinasikan dengan
progestin, testosteron juga dapat digabung
dengan antagonis gonadotropin-releasing
hormone (GnRH), yang ternyata juga
menunjukkan efektifitas yang tinggi (10)
Untuk pria yang kurang menyukai
metode suntikan, saat ini telah dilakukan
riset dengan menggunakan testosteron
bentuk tempel/trandermal (“koyo”) yang
dikombinasikan dengan pil estrogen. Pil
estrogen
yang
digunakan
adalah
desogestrel atau DMPA. Dengan cara ini,
keberhasilan
untuk
menurunkan
spermatogenesis pada pria bisa mencapai
80% (24, 25)
Efek
samping
penggunaan
kontrasepsi hormonal pria yang telah
diketahui sejauh ini antara lain adalah
timbulnya perubahan mood, jerawat,
depresi, penurunan libido dan disfungsi
ereksi. Karena semua studi yang
dilakukan selama ini hanya dalam durasi
yang relatif singkat, maka tidak mungkin
untuk melakukan evaluasi efek samping
jangka panjang pada tulang, prostat serta
penyakit kardiovaskuler. Beberapa efek
samping ini mungkin disebabkan oleh
progestin (11, 26).
KONTRASEPSI NON-HORMONAL
Dengan adanya efek samping
kontrasepsi hormonal, serta perlunya
dilakukan
suatu
upaya
untuk
menyediakan metode KB pria yang aman,
efektif, reversibel, murah serta mudah
digunakan, saat ini telah banyak
dilakukan studi tentang beberapa macam
kontrasepsi non-hormonal, yang sebagian
besar dapat dikonsumsi per oral. Cara ini
22
diyakini lebih aman, karena obat-obatan
ini memiliki potensi untuk menghambat
fertilitas pria tanpa melibatkan alur
hipotalamus-pituitari-gonad (11)
Beberapa kontrasepsi pria nonhormonal yang telah diteliti oleh para ahli
adalah:
a. Calcium Channel Blockers
Obat yang sebenarnya dipakai
sebagai obat hipertensi seperti misalnya
nifedipin dan amlodipin, ternyata dapat
menyebabkan infertilitas dengan cara
meningkatkan metabolisme lipid pada
sperma yang berpengaruh pada akrosom
dan proses kapasitasi sperma, sehingga
tidak bisa membuahi sel telur (27)
b. Obat Penghambat Metabolisme
c. Adjudin
Adjudin, 1-(2,4-dichlorobenzyl)1H-indazole-3-carbohydrazide ialah suatu
analog non-toksik dari lonidamine, yang
pada awalnya diteliti sebagai obat anti
kanker. Selanjutnya, lonidamine telah
terbukti
sebagai
senyawa
antispermatogenik yang efektif, dapat
menyebabkan infertilitas reversibel pada
hewan coba. Mekanisme kerjanya dengan
cara mengganggu hubungan / ikatan selsel Sertoli dengan sel germinal di testis
yang akan membentuk spermatid. Sel
germinal akan terlepas dari epitel tubulus
seminiferous, dan sel sperma yang belum
matang tersebut dilepaskan secara
prematur dan tidak pernah menjadi gamet
fungsional.
Pemulihan
setelah
penghentian pemberian adjudin ternyata
cukup baik, setelah dihentikan 4 minggu,
akan terjadi peningkatan spermatogenesis
sebanyak 50% (31, 32, 33)
Vitamin A
Spermatogenesis bergantung pada
metabolit aktif vitamin A, yaitu asam
retinoat, yang berfungsi untuk memacu
diferensiasi
spermatogonium
serta
menjamin produksi sperma dalam jumlah
normal.
Bukti
baru
menjelaskan
bagaimana enzim yang mengontrol
metabolisme vitamin A dalam testis dapat
menjadi target untuk menghasilkan
kontrasepsi pria yang efektif, namun,
mekanisme rinci tentang bagaimana
vitamin A mengatur spermatogenesis
normal masih belum diketahui. Percobaan
dengan mengunakan tikus, membuktikan
bahwa suatu senyawa yang menggangu
jalur metabolisme vitamin A, ternyata
dapat membuat tikus jantan menjadi steril
tanpa mempengaruhi libido. Setelah
senyawa tersebut diambil dari tubuh tikus,
produksi sperma kembali berlanjut.
Mekanisme kerja dari senyawa tersebut
dengan cara menghalangi konversi
vitamin A menjadi bentuk aktif asam
retinoat yang mengikat reseptor retinoic
yang diperlukan untuk memulai produksi
sperma (28, 29, 30)
d. Gossypol
Gossypol adalah suatu polifenol
yang diisolasi dari biji, akar dan batang
tumbuhan kapas (Gossypium sp.).
Substansinya
memiliki
pigmen
kekuningan yang mirip dengan flavonoid
yang terdapat pada minyak biji kapas.
Pada tumbuhan, gossypol berfungsi
sebagai pertahanan alamiah terhadap
predator,
dengan
mempengaruhi
infertilitas pada serangga. Pada beberapa
hewan, gossypol juga menimbulkan
infertilitas, dan pada manusia dapat
menyebabkan
terhentinya
spermatogenesis pada dosis yang relatif
rendah. Penelitian yang dilakukan di
China, Afrika dan Brazilia, menunjukkan
bahwa gossypol dapat ditoleransi dengan
baik serta tidak menimbulkan efek
samping. Hanya saja, dari 20%
pemakainya,
ternyata
menunjukkan
ireversibilitas. Sebaiknya gossypol hanya
diberikan pada pria yang menghendaki
pemakaian kontrasepsi mantap saja,
23
karena akan terjadi infertilitas permanen
setelah pemakaian beberapa tahun (34)
e. Obat yang Berefek pada Epididimis
Epididimis merupakan target
yang baik untuk studi perkembangan
kontrasepsi pria. Hal itu karena proses
pematangan sperma terjadi didalam organ
ini, dimana terjadi peningkatan motilitas
spermatozoa, serta dapat mengenali dan
membuahi sebuah sel telur begitu sperma
keluar dari saluran epididimis. Berbagai
macam cara pendekatan telah dilakukan,
yaitu:
- menimbulkan kontraksi pada saluran
peritubular epididimis, yang akan
mengurangi waktu transit sperma
sehingga interaksi dengan sekret-sekret
epitel menjadi berkurang sampai tingkat
yang tidak optimal.
- memodifikasi sekret-sekret epitel
epididimis sehingga faktor-faktor yang
berpengaruh pada proses pematangan
sperma akan menurun.
- inhibitor-inhibitor yang langsung
menghambat motilitas, metabolisme,
fungsi membran dan vitalitas sperma
Salah satu contoh obat yang memiliki
aktifitas pada epididimis adalah EPPIN
(Epididymal Protease Inhibitor) yang
dapat menimbulkan infertilitas dengan
cara menurunkan motilitas dari sperma.
Cara-cara diatas belum sepenuhnya
berhasil untuk diterapkan, sehingga perlu
studi lebih lanjut (35, 36)
f. Tamsulosin dan Silodosin
Tamsulosin dan Silodosin adalah
suatu obat penghambat alfa (1A) selektif,
yang digunakan untuk mengobati
penderita Benign Prostate Hyperplasia
(BPH). Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa tamsulosin dan Silodosin dapat
menimbulkan disfungsi ejakulasi yang
ditandai dengan penurunan volume
ejakulat, baik pada pasien tua maupun
yang masih muda. Subtipe Alfa (1A)adrenoseptor menunjukkan peranan yang
dominan untuk memicu kontraksi organ
seks asesori yang melaksanakan fungsi
ejakulasi, sehingga hambatan pada alfa
(1A)-adrenoseptor akan menurunkan
motilitas organ-organ ini, yang akibatnya
akan menghambat transport sperma (37,
38, 39)
g. Gandarusa
Gandarusa (Justicia gendarussa Burm. f)
merupakan salah satu contoh tanaman
yang banyak terdapat di Indonesia dan
memiliki efek anti fertilitas. Daun
Justicia gendarussa Burm. f. Telah
digunakan oleh sebagian masyarakat di
Irian Jaya sebagai obat kontrasepsi pria.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa
dalam gandarusa terdapat 12 komponen
flavonoid dengan berat molekul sama,
komponen major flavonoid adalah 6,8-dia
Larabinopiranosil-4,5,7
trihidroksiflavon
atau
6,8diarabinosilapigenin dengan aktivitas
pencegahan penetrasi spermatozoa in vitro
dan salah satu komponen minor adalah 6a-L arab inopiranosil- 4,5,7 - trihidroksi8 - B – Dsilopiranosilflavon atau 6arabinosil-8
silosilapigenin.
Kedua
senyawa menghambat aktivitas enzim
hyaluronidase. Enzim Hyaluronidase
berfungsi untuk penetrasi spermatozoa
pada cumulus oophorus ovum.
Bila aktivitas enzim ini dihambat maka
penetrasi spermatozoa tidak terjadi dan
begitu pula dengan proses fertilisasinya.
Pemberian
gandarusa
menyebabkan
akumulasi metabolit dalam aliran darah
(blood vessel) di daerah testis. Akumulasi
metabolit ini akan mengganggu sekresi
LH dan FSH di testis. Hal ini akan dapat
menggangu proses spermatogenesis (40,
41).
24
promosi
untuk
meningkatkan
keikutsertaan para suami dalam program
keluarga berencana. Perlu disampaikan
bahwa kontrasepsi yang tersedia saat ini
sudah cukup efektif, reversible, aman dan
tidak menimbulkan efek samping yang
berarti (45, 46). Penyediaan kontrasepsi
pria di negara berkembang memerlukan
komitmen dari pihak pemerintah maupun
pihak non-pemerintah dan memerlukan
suatu
pemikiran
yang
bijaksana.
Kerjasama yang baik dengan pihak
industri akan mempercepat distribusinya
(5).
h. Biji Carica papaya.
Biji
Carica
papaya
telah
diketahui
mengandung
komponenkomponen
yang
diduga
dapat
mempengaruhi
fertilitas.
Beberapa
eksperimen menunjukkan bahwa biji C.
papaya nampaknya mengganggu proses
spermatogenik,
menyebabkan
azoospermia atau hambatan total motilitas
sperma
pada
hewan
percobaan.
Mekanisme
kontrasepsi
ditunjukkan
dengan mengecilnya volume nukleus dan
siptoplasma dari sel-sel Sertoli, yang
mengakibatkan degenerasi nukleus pada
spermatosit dan spermatid sehingga
spermatogenesis terganggu . Sedangkan
sel Leydig tetap normal. Secara fisik akan
terlihat penurunan jumlah sel sperma yang
diproduksi, inhibisi total motilitas sperma
dan peningkatan jumlah sel sperma
abnormal. Biji C. papaya dinyatakan
aman untuk pemakaian jangka panjang.
(42, 43).
i. Biji Cuminum cyminum
Biji C. cyminum (jeera, jintan
putih) telah dibuktikan memiliki efek
kontrasepsi pada hewan percobaan.
Ekstrak methanol dari C. cyminum yang
diberikan pada tikus jantan selama 60 hari
menunjukkan bahwa terjadi penurunan
berat
testes,
epididimis,
vesikula
seminalis dan prostat. Disamping itu, juga
terjadi penurunan densitas sperma,
penurunan jumlah sel-sel sperma dalam
cauda epididimis dan testes, serta
penurunan motilitas sperma. Disini tidak
dijumpai penurunan jumlah sel-sel Sertoli.
Reduksi dari fertilitas mencapai 69.0%
dan 76% pada dosis 100 dan 200 mg/hari.
Penelitian ini juga tidak menunjukkan
adanya efek samping yang berarti (44).
PENUTUP
Dengan
adanya
kemajuankemajuan penelitian tentang metode
kontrasepsi pria, perlu dilakukan suatu
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap
suami antara lain adalah (47):
-
faktor internal: kepuasan bersenggama,
umur,
dan
penggunaan
cara
kontrasepsi yang tidak praktis
- faktor eksternal: pengaruh dari media,
interaksi dengan orang lain, riwayat
keluarga, dan riwayat kesehatan.
Dari pihak istri, nampaknya kepercayaan
kepada metode kontrasepsi pria ini sangat
baik, walaupun mereka hanya sedikit
sekali memiliki pengetahuan tentang
metode ini. (6, 46)
KEPUSTAKAAN:
1. Pernoll, M. L.; 2001; Benson &
Pernooll Handbook of Obstetrics and
Gynecology; 10th ed.; McGraw-Hill
Medical Publishing Division, New York,
p. 727 – 41.
2. Costantino, A; et al; 2007; Current
Status and Future Perspectives in Male
Contraception;
Minerva
Ginecol,
59(3):299-310;
on
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/175
76406
3. Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN); 2011;
Laporan Umpan Balik Hasil Pelaksanaan
Sub Sistem Pencatatan dan Pelaporan
25
Pelayanan Kontrasepsi Maret 2011;
Direktorat Pelaporan dan Statistik
BKKBN; Jakarta; hal. 9 – 11, dan 51.
4. Mosher WD, Martinez GM, Chandra
A, Abma JC, Willson SJ; 2004; "Use of
contraception and use of family planning
services in the United States: 1982–2002"
. Adv Data (350): 1–36, U.S. Department
of Health and Human Services, Centers
for Disease Control and Prevention
National Center for Health Statistics.
5. Wang, C.; Swerdloff., R. S.; 2010;
Hormonal
Approaches
to
Male
Contraception; Curr Opin Urol, Vol. 20
(6),
pp.
520-4.
on
http://web.ebscohost.com/
6. Glasier, A.; 2010; Acceptability of
Contraception for Men: A Review;
Contraception.;
82(5):453-6;
on
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/209
33119
7. Jensen,
J. T.; 2002; Male
Contraception.; Curr Womens Health
Rep.
;
2(5):338-45;
on
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/122
15306
8. Stubblefield, P. G.; Carr-Ellis, S.;
Kapp, N.; 2007 ; Family Planning, on
Berek & Novak’s Gynecology; 14th ed.;
Lippincott Williams & Wilkins; p. 247 312.
9. Nieschlag, E.; 2010; Clinical Trials in
Male
Hormonal
Contraception;
Contraception; Vol. 82 (5), pp. 457-70 ;
on http://web.ebscohost.com/ ehost/
10. Meriggiola, M. C. ; Pelusi, G.; 2006;
Advances
in
Male
Hormonal
Contraception; Expert Opin Investig
Drug;15(4):389-97;
on
http://www.
ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16548788
11. Cheng, C. Y.; Mruk, D. D.; 2010;
New Frontiers in Nonhormonal Male
Contraception; Contraception; Vol. 82
(5),
pp.
476-82;
on
http://web.ebscohost.com/ehost/
12. Tanagho, E. A.; 2008; Anatomy of the
Genitourinary Tract; on Smith’s General
Urology; 17th ed.; The McGraw-Hill Co.
Inc.; p. 1 - 16
13. Turek, P. J.; 2008; Male Infertility; on
Smith’s General Urology; 17th ed.; The
McGraw-Hill Co. Inc.; p. 684 – 716
14. Bella, A. J.; Lue, T. F.; 2008; Male
Sexual Dysfunction; on Smith’s General
Urology; 17th ed.; The McGraw-Hill Co.
Inc.; p.589 - 610
15. Sutovsky; P.; Manandhar, G.; 2006;
Mammalian Spermatogenesis and Sperm
Structure: Anatomical and Compartmental
Analysis; on The Sperm Cell Production,
Maturation, Fertilization, Regeneration;
Cambridge University Press; p. 1 – 30
16. Weil, P. A.; 2009; Hormone Action &
Signal Transduction; on Harper’s
Illustrated Biochemistry; 28th ed.;
McGraw-Hill; p. 444 – 58
17. Scanlon, V. C., & Sanders, T.; 2007;
Essentials of Anatomy and Physiology; 5th
ed.; F. A. Davis Company; p. 221 – 249;
454 – 73
18. Cooper, T. G; Yeung, C. H.; 2006;
Sperm Maturation in The Human
Epididymis; on The Sperm Cell
Production, Maturation, Fertilization,
26
Regeneration; Cambridge
Press; p. 72 – 107
University
26 (7), pp. 1708-14;
web.ebscohost.com/ehost/
on
http://
19. Wang, H.; et al; 2004; A spermatogenesis-related Gene Expression Profile
in Human Spermatozoa and its Potential
Clinical Applications; J-Mol-Med (Berl);
82(5):317-24;
on
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/149
85855.
25. Hair WM; et al ; 2001; A novel male
contraceptive pill-patch combination: oral
desogestrel and transdermal testosterone
in the suppression of spermatogenesis in
normal men; J Clin Endocrinol Metab;
Vol. 86 (11), pp. 5201-9; on
http://web.ebscohost .com/ehost/
20. Qiu, Q.; et al; 2009; Glycerol-3phosphate Acyltransferase 4 Gene is
Involved in Mouse Spermatogenesis; Acta
Biochim Biophys Sin; 41 (8): 668-676; on
http://abbs.
oxfordjournals.org/content/41/8/668.
26. Perheentupa, A.; Huhtaniemi, I.;
2004; Male Contraception – Quo Vadis?;
Acta Obstet Gynecol Scand; 83: 131–137.
21. Roth MY; Amory JK; 2011;
Pharmacologic Development of Male
Hormonal Contraceptive Agents; Clin
Pharmacol Ther; Vol. 89 (1), pp. 133-6;
on http://web.ebscohost.com/ehost/
22. Nieschlag, E.; 2010; Male Hormonal
Contraception;
on
Handbook
of
Experimental Pharmacology: Fertility
Control (198):197-223; Springer; on
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/208
39093
23. Attardi BJ; Koduri S; Hild SA; 2010;
Relative progestational and androgenic
activity of four progestins used for male
hormonal contraception assessed in vitro
in relation to their ability to suppress LH
secretion in the castrate male rat; Mol Cell
Endocrinol; Vol. 328 (1-2), pp. 16-21. on
http://web.ebscohost .com/ehost/
24. Soufir J.C.; Meduri G.; Ziyyat A.;
2011; Spermatogenetic inhibition in men
taking
a
combination
of
oral
medroxyprogesterone
acetate
and
percutaneous testosterone as a male
contraceptive method; Hum Reprod; Vol.
27. Meacham, R. B.; 2006; The Effect of
Calcium Channel Blockers on Male
Reproductive Potential; J. of Androl., Vol.
27, No. 2, DOI: 10.2164/jandrol.05198
28. Chung S.S.; Wang. X; Wolgemuth
D.J.; 2005; Male sterility in mice lacking
retinoic acid receptor alpha involves
specific abnormalities in spermiogenesis;
Differentiation;
73(4):188-98.
http://www.ncbi.nlm.
nih.gov/pubmed/15901285?dopt=Abstract
Plus
29. Hogarth, C.A; Amory, J.K.; Griswold,
M.D.; 2011; Inhibiting vitamin A
metabolism as an approach to male
contraception; Trends Endocrinol Metab;
Vol. 22 (4), pp. 136-44; on http://web.
ebscohost.com/ehost/
30. Chung, S.S.; et al; 2011; Oral
Administration of a Retinoic Acid
Receptor Antagonist Reversibly Inhibits
Spermatogenesis
in
Mice;
Endocrinology;152(6):2492-502.on
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/215
05053
27
31. Mruk, D. D.; et al; 2006 ; A Male
Contraceptive Targeting Germ Cell
Adhesion; Nat Med; 12(11):1323-8. on
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/17072312
32. Mok. K. W.; et al; 2011; Adjudin, a
Potential Male Contraceptive, Exerts its
Effects Locally in the Seminiferous
Epithelium of Mammalian Testes;
Reproduction (2011) 141 571–580; on
www.reproduction-online.org
33. Hu, G. X.; et al; 2009: Adjudin
Targeting Rabbit Germ Cell Adhesion as
a
Male
Contraceptive:
A
Pharmacokinetics Study; J Androl
2009;30:87–93.
34. Coutinho, E. M.; 2002; Gossypol: a
Contraceptive for Men; Contraception,
Vol. 65, Issue 4, Pages 259-263; on
http://web.ebscohost.com/ehost/
35. Hinton, B. T.; Cooper, T. G.; 2010;
The Epididymis as a Target for Male
Contraseptive
Development;
on
Handbook
of
Experimental
Pharmacology, Vol. 198; p. 117-38;
Springer; on www.springer.com.
36. O’Rand, M. G.; et al; 2011;
Epididymal Protein Targets: A Brief
History of the Development of EPPIN as
a Contraceptive; J Androl. [Epub ahead
of print] on http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
PMID:21441428
37. Chen Y; Li H; Dong Q; Wang KJ;
2009;
Blockade
of
alpha
1Aadrenoceptor: a novel possible strategy for
male contraception; Med Hypotheses;
Vol.
73
(2);
pp.
140-1;
on
http://web.ebscohost.com/ehost
38. Shimizu, F; et al; 2010; Impact of dry
ejaculation caused by highly selective
alpha1A-blocker: randomized, doubleblind, placebo-controlled crossover pilot
study in healthy volunteer men; J Sex
Med..;
7(3):1277-83;
on
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/201
02447
39. Yono, M.; 2009; Short- and Longterm Effects of Silodosin, a Selective
Alpha 1A-adrenoceptor Antagonist, on
Ejaculatory Function in Rats; BJU Int;
103(12):1680-5.
on
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmep/192
20259
40. Bambang Prajogo E.W ; et al; 2007;
Isolation of male antifertility compound in
n-butanol fraction of Justicia gandarussa
Burm.f leaves; IOCD International
Symposium. Surabaya, Indonesia 9-11
April 2007.
41. Bambang Prajogo E.W ; et al; 2007;
Pengaruh Daun Justicia gandarussa Burm.
f. terhadap Sperma-togenesis Mencit;
Jurnal Ilmiah Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi, Tahun 2007,
No.1, hal. 1-8
42. Manivannan, B.; et al; 2009; Sperm
characteristics and ultrastructure of testes
of rats after long-term treatment with the
methanol subfraction of Carica papaya
seeds; A. J. Androl.; 11: 583–599; on
http://www.nature.com/aja/journal/v11/n5
/pdf/aja200925a.pdf
43. Goyal, S.; et al; 2010; Safety
evaluation of long term oral treatment of
methanol sub-fraction of the seeds of
Carica papaya as a male contraceptive in
albino rats; J Ethnopharmacol; Vol. 127
(2),
pp.
286-9;
on
http://web.ebscohost.com/ehost/
28
44. Gupta ,R. S.; 2011; Evaluation of
reversible contraceptive activities of
Cuminum cyminum in male albino rats;
Contraception; Vol. 84 (1), pp. 98-107; on
http://web.ebscohost. com/ehost/
45. Liu PY; Swerdloff RS; Wang C;
2010; Recent Methodological Advances
in Male Hormonal Contraception;
Contraception; Vol. 82 (5), pp. 471-5. ; on
http://web.ebscohost.com/ehost/
46. Nte AR; Odu N; Enyindah CE; 2009;
Male Involvement in Family Planning:
Women's Perception; Niger J Clin Pract;
Vol. 12 (3), pp. 306-10.
on
http://web.ebscohost.com/ehost/
47. Astuti, A. P.; 2010; Sikap Suami
Terhadap Kontrasepsi Pria; Skripsi;
Fakultas Psikologi Unmuh; Surakarta.
29
VAKSIN HUMAN PAPILOMA VIRUS (HPV)
UNTUK PENCEGAHAN KANKER SERVIKS UTERI
Harry kurniawan Gondo
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK
Kanker serviks merupakan penyakit keganasan fatal yang dapat dicegah. Penyebab kanker serviks
adalah human papillomavirus (HPV) onkogenik risiko tinggi, terutama HPV-16 dan 18. Secara
struktural, HPV dibagi atas URR, ER,dan LCR dimana ER mengkode protein E1, E2, E3, E4, E5, E6,
dan E7 yang bersifat onkogenik dan LCR mengkode L1 dan L2 yang bersifat imunogenik. Infeksi
HPV mengakibatkan displasia yang dapat berkembang menjadi kanker serviks in situ dan invasif.
Vaksin dapat mencegah 65% infeksi, 95% infeksi persisten, 100% keadaan abnormalitas epitel.
Vaksin HPV rekombinan lebih baik diberikan pada mereka yang belum melakukan hubungan seksual
aktif dan dapat pula pada umur 9-55 tahun. Regimennya sebanyak 3 kali suntikan 0,5 ml pada otot
deltoideus mediolateral pada bulan pertama, kedua, ke enam. Kemampuan proteksi adalah 5 tahun dan
tidak ditemukan reaksi serius sebagai komplikasi vaksinasi.
Kata kunci: vaksin HPV, kanker serviks.
VACCINES HUMAN PAPILLOMA VIRUS (HPV)
CERVICAL CANCER PREVENTION FOR UTERI
Harry kurniawan Gondo
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT
Cervix cancer represent disease of fatal ferocity able to be prevented. Cause of cervix cancer is
papillomavirus human (high Onkogenik risk HPV), especially HPV-16 and 18. Structurally, HPV
divided of URR, ER,DAN LCR where ER protein code of E1, E2, E3, E4, E5, E6, and E7 having the
character and oncogenic of LCR code of L1 and L2 having the character of imunogenik. Infection of
HPV result displasia able to round into cervix cancer in situ and of invasif. Vaccine can prevent 65%
infection, 95% infection of persisten, 100% situation of epitel abnormalitas. Vaccine of HPV passed
to better rekombinan of them which not yet conducted active sexual relation and earn also at age 9-55
year. Its counted 3 times injection 0,5 ml at muscle of deltoideus mediolateral first, second, to six
month. Ability of proteksi 5 year and not be found by serious reaction as vaccination complication.
Keyword: Vaccine of HPV, cervix cancer.
I. Latar Belakang Masalah
Sampai saat ini, kanker serviks masih
merupakan masalah kesehatan perempuan
Indonesia sehubungan dengan insiden dan
mortalitas yang tinggi. World Health
Organization (WHO) memperkirakan
pada tahun 2000, di seluruh dunia terdapat
6,25 juta kanker baru pertahun dan dalam
waktu 10 tahun mendatang diperkirakan
akan terjadi 9 juta kematian akibat kanker,
sebagian besar 75-80% terdapat di negara
berkembang. Padan negara maju, kanker
serviks menempati urutan kedua setelah
kanker mamma, sedangkan di Indonesia,
kanker serviks menempati urutan pertama
dan prevalensinya relative stabil dalam
tiga dasa warsa. Hingga saat ini kanker
serviks merupakan penyebab kematian
30
terbanyak akibat penyakit kanker di
negara berkembang.
Pajanan Human Pappiloma Virus (HPV)
dianggap sebagai promoter dan mungkin
inisiator, sedangkan faktor resiko lainnya
sebagai inisiator. Manifestasi klinis dari
proses molukuler dan seluler adalah
metaplasia dan displasia di mana hal ini
dapat dideteksi baik dengan dengan
pemeriksaan sitologis dari bahan pap
smear maupun dengan pemeriksaan
histopatologis dari bahan biopsi serviks.
Penemuan vaksin ini merupakan salah
satu terobosan yang sangat besar dalam
bidang ilmu kedokteran khususnya bidang
onkologi ginekologi. Diharapkan pada
tahun-tahun mendatang dengan semakin
disebarluaskannya
informasi
dan
penggunaan vaksin Human Papilloma
Virus, angka kejadian kanker mulut rahim
dapat ditekan dan mungkin dieradikasi
terutama pada negara berkembang seperti
negara kita ini.
II. ETIOLOGI KANKER SERVIKS
II.1 Human Papilloma Virus (HPV)
HPV termasuk golongan pavovavirus
yang merupakan virus DNA yang dapat
bersifat memicu terjadinya perubahan
genetik. HPV berbentuk ikosahedral
dengan ukuran 50-55 nm, 72 kapsomer,
dan 2 protein kapsid. HPV merupakan
suatu virus yang bersifat “non enveloped”
yang mengandung “double stranded
DNA”.
Virus
ini
juga
bersifat
epiteliotropik yang dominan menginfeksi
kulit dan selaput lendir dengan
karakteristik proliferasi epitel pada tempat
infeksi. Infeksi virus HPV telah
dibuktikan menjadi penyebab lesi
prekanker, kondiloma akuminata, dan
kanker. Meskipun HPV menyerang
wanita, virus ini juga mempunyai peran
dalam timbulnya kanker anus, vulva,
vagina, penis, dan beberapa kanker
orofaring.
Virus ini menginfeksi membrana basalis
pada daerah metaplasia dan zona
transformasi serviks. Setelah menginfeksi
sel epitel serviks sebagai upaya untuk
berkembang biak, virus ini akan
meninggalkan sekuensi genomnya pada
sel inang. Genom HPV berupa episomal
(bentuk lingkaran dan tidak terintegrasi
dengan DNA inang) dijumpai pada
Carcinoma Insitu (CIN) dan berintegrasi
dengan DNA inang pada kanker invasif.
Pada percobaan invitro HPV terbukti
mampu mengubah sel menjadi immortal.
Gambar 1. Human Papilloma Virus
31
Hasil pemeriksaan sekuensi DNA yang
berbeda hingga saat ini dikenal lebih dari
200 tipe HPV.Kebanyakan infeksi HPV
bersifat jinak. Tigapuluh diantaranya
ditularkan melalui hubungan seksual
dengan
masing-masing
kemampuan
mengubah sel epital serviks. Tipe risiko
tinggi seperti tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39,
45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69 dan mungkin
tipe yang lain berhubungan dengan
displasia sedang sampai karsinoma in situ.
Tipe virus resiko tinggi biasanya
menimbulkan lesi rata dan tak terlihat jika
dibandingkan dengan tipe tipe resiko
rendah yang menimbulkan pertumbuhan
seperti jengger ayam pada tipe 6 dan 11
atau
dikenal
sebagai
kondiloma
akuminata.
Beberapa
penelitian
mengemukakan bahwa lebih dari 90 %
kanker serviks disebabkan oleh HPV dan
70 % diantaranya disebabkan oleh tipe 16
dan 18, Dari kedua tipe ini HPV 16
menyebabkan lebih dari 50 % kanker
serviks. Apabila seseorang yang sudah
terkena infeksi HPV 16 memiliki
kemungkinan terkena kanker serviks
sebesar 5 %. Kanker serviks yang di
sebabkan HPV umumnya berjenis
keganasan sel gepeng.
Gambar 2 Genom HPV , Invasi dan Replikasi Virus
Siklus hidup HPV belum diketahui secara
sempurna, tetapi proses timbulnya lesi
sudah banyak diketahui. Tempat infeksi
pertama adalah pada sel basal atau sel
basal dari epitel gepeng yang belum
matur. Infeksi HPV yang terjadi pada sel
basal tersebut dibagi menjadi 2 jenis
yaitu:
1.
Infeksi Virus laten, yakni infeksi
virus yang tidak menghasilkan virus yang
infeksius. Pada saat ini yang terjadi adalah
virus tidak berhasil melekat pada
permukaan sel tetapi gagal melakukan
perkembangbiakan dan tidak terjadi
pematangan dari partikel – partikel virus.
Pada fase ini kelainan struktur sel tidak
ditemukan dan HPV hanya bias dideteksi
dengan metode biomolekuler.
2.
Fase produktif, yakni terjadinya
pembentukan DNA virus dan membentuk
DNA yang infeksiosus yang disebut
virion. Pembentukan DNA virus ini
terjadi di sel intermediet dan permukaan
epitel sel gepeng. Virion kemudian
menjadi
banyak
jumlahnya
dan
membentuk efek merusak sel yang bias
dideteksi dengan cara sitologi dan
histopatologi.
32
Gambar 3 Patogenesis HPV
Terjadinya keganasan akibat infeksi dari
HPV harus memahami terlebih dahulu
tentang genom dari HPV. Bangun HPV
terdiri atas 3 subbagian yaitu: URR
(Upstein Regulatory Region), ER ( Early
Region), dan LR (Late Region). URR
adalah bagian nonkode yang berperan
penting pada pengaturan pembentukan
dan transkrip pada rangkaian ER (Early
region). ER dan LR mengandung cetakan
bacaan yang terbuka ( Open Reading
Frame = ORFs) yaitu bagian genom yang
punya kemampuan untuk membaca jenis
protein. ER terbentuk pertama kali pada
siklus hidup virus dan mengkode protein
yang sangat berperan pada pembentukan
virus, sedangkan LR dibentuk kemudian
untuk mengkode struktur protein virus.
URR juga adalah bagian regulator yang
sangat kompleks di mana peranan dan
fungsi yang pasti dalam siklus hidup virus
belum diketahui dengan jelas. Bagian ini
mengandung tempat ikatan berbagai
faktor transkrip seperti protein activator,
faktor transkrip keratinositik spesifik, dan
faktor transkrip lainnya. Ikatan-ikatan ini
diatur oleh Early Region ORFs.
Early Region ORFs mengkode protein
yang diperlukan pada proses kerja dari
protein E1, E2, E4, E5, E6, dan E7. E1
dan E2 mengkode protein DNA dan
mengatur
proses
transkripsi.
E4
mengkode rangkaian protein yang penting
pada
proses
pematangan
dan
pembentukan virus. E5 mengkode protein
dan punya daya transformasi pada HPV.
Tabel 1 : Fungsi E dan L Protein pada transformasi gen
E
Protein
Perananya
E1
Mengontrol pembentukan DNA virus dan mempertahankan efisomal
E2
Mengontrol pembentukan / transkripsi / transformasi
E4
Mengikat sitokeratin
E5
Transformasi melalui reseptor permukaan (epidermal growt factor, platelet
derivat growth factor, p123)
E6
Immortalisasi / berikatan dengan p 53, trans activated / kontrol transkripsi
E7
Immortalitas / berikatan dengan Rb1,p107,p130
33
L
Protein
Peranannya
L1
Protein sruktur / mayor Viral Coat Protein
L2
Protein sruktur / minor Viral Coat Protein
Peranan E6 dan E7 ORFs sangat penting
dalam proses transformasi gen. Hal ini
dapat dibuktikan dengan penemuan E6
dan E7 HPV tipe onkogenik tinggi seperti
16 dan 18 pada kultur jaringan sel yang
telah mengalami proses transformasi
invitro. E6 dan E7 selalu ditemukan pada
kenker serviks. Hal ini menunjukan
peranan E6 dan E7 diperlukan untuk
proses pembentukan kanker. Bila kontrol
E6 dan E7 hilang, maka akan terjadi
ekspresi yang berlebihan dari E6 dan E7
yang sangat berperan dalam proses
pembentukan kanker.
Infeksi primer dari HPV terjadi pada sel
lapisan basal dan parabasal. Setelah
terjadi penetrasi dari virus maka partikel
virus yang terdiri atas L1 dan L2
berinteraksi
dengan
molekul
di
permukaan
sel
target
sehingga
mempermudah masuknya DNA virus ke
sel target. E1 dan E2 masing-masing
mengkode DNA binding protein yang
berfungsi untuk menjaga stabilitas virus.
Protein E1 berperan dalam proses inisiasi
dan elongasi dari pembentukan DNA,
sedangkan E2 berperan dalam regulasi
positif dan negatif dari ekspresi gen
melalui interaksi dengan early promoter.
Protein E6 dan E7 berperan dalam
proliferasi melalui mekanisme yang
mengganggu sistem kontrol siklus sel
target dan aktivasi sintesis DNA.
Zona peralihan pada kanker serviks
merupakan tempat utama dari infeksi
HPV. Setelah terjadi infeksi HPV virus
akan menuju ke sel basal dari epitel
serviks dan mengadakan pembentukan di
sitoplasma
sel
basal
serta
mengekspresikan protein virus E1, E2,
E4, E5, E6, E7. Sel basal yang terinfeksi
ini berdiferensiasi dan melakukan migrasi
ke permukaan dan mulai mengekspresikan
protein L1 dan L2. Pada sel-sel epitel
yang terinfeksi HPV tersebut, virus akan
terintegrasi pada kromosom penjamu dan
mengekspresikan protein E6 dan E7 yang
akan mengikat protein p53 dan Rb.
34
Gambar 4. Filogenetik HPV
Pada HPV yang menyebabkan keganasan,
protein yang berperan banyak adalah E6
dan E7. mekanisme utama protein E6 dan
E7 dari HPV dalam proses perkembangan
kanker serviks adalah melalui interaksi
dengan protein p53 dan retinoblastoma
(Rb). Protein E6 mengikat p 53 yang
merupakan suatu gen supresor tumor
sehingga sel kehilangan kemampuan
untuk mengadakan apoptosis. Sementara
itu, E7 berikatan dengan Rb yang juga
merupakan suatu gen supresor tumor
sehingga sel kehilangan sistem kontrol
untuk proses proliferasi sel itu sendiri.
Protein E6 dan E7 pada HPV jenis yang
resiko tinggi mempunyai daya ikat yang
lebih besar terhadap p53 dan protein Rb,
jika dibandingkan dengan HPV yang
tergolong resiko rendah.
satu-satunya penyebab terjadinya kanker
serviks. HPV
tipe 16 dan 18
menyebabkan 68% keganasan tipe
skuamosa dan 83% tipe adenokarsinoma.
Meskipun infeksi HPV biasanya tanpa
gejala infeksi pada serviks bisa
menghasilkan perubahan secara histologi
yang digolongkan dalam Cervikal intraepitelial Neoplasma (CIN) derajat 1, 2, 3
didasarkan pada derajat kerusakan dari sel
epitel pada serviks atau adenokarsinoma
insitu. CIN 1 biasanya sembuh spontan (
60% dari seluruh kasus) dan beberapa
berkembang ke arah keganasan ( 1% ).
CIN 2 dan 3 memiliki persentase sedikit
untuk sembuh spontan dan memiliki
persentase yang tinggi untuk berkembang
ke arah keganasan.
b. Kanker Vulva dan Vagina
II.2
Beberapa
Penyakit
ditimbulkan oleh infeksi HPV
yang
a. Kanker servik
HPV berperan dalam menyebabkan
terjadinya kanker serviks tetapi bukan
Tidak semua keganasan pada vulva dan
vagina disebabkan infeksi HPV. HPV tipe
16 adalah yang terbanyak ditemukan pada
keganasan vulva dan vagina. HPV
dihubungkan dengan sekitar setengah dari
penyebab keganasan dari vulva dan
vagina. Beberapa penelitian , HPV tipe 16
35
dan 18 terdeteksi pada 76% dari
keganasan intraepitelial vagina dann 42%
dari kanker vulva.
c. Kanker Anal
HPV dihubungkan pula dengan sekitar
90% dari keganasan anal jenis sel
skuamosa .
d. Kondiloma Akuminata
Semua kondiloma akuminata disebabkan
oleh infeksi HPV, dan 90% dihubungkan
dengan infeksi HPV tipe 6 dan tipe 11.
Kondiloma biasanya terjadi setelah 2 – 3
bulan terjadinya infeksi HPV pada daerah
anogenital, tetapi tidak semua wanita yang
terinfeksi HPV menimbulkan kondiloma
pada daerah anogenital. Kondiloma bisa
diobati meskipun pada beberapa kasus
bisa hilang dengan sendirinya. Angka
kekambuhan pada kondiloma
cukup
tinggi yaitu 30%
e. Respiratori Papillomatosis Berulang
Infeksi HPV yang resiko rendah, yaitu
tipe 6 dan 11 bisa menyebabkan
papillomatosis respiratori yang berulang.
Penyakit ini ditandai dengan timbulnya
papiloma pada daerah laring. Biasanya
timbul pada usia muda. Papillomatosis ini
dipercaya sebagai akibat transmisi vertikal
dari ibu yang terinfeksi ke bayinya saat
melahirkan.
III. VAKSIN HUMAN PAPPILOMA
VIRUS (HPV)
Vaksin kanker pada awal
perkembangannya dimulai dari lisan
tumor sendiri, kemudian berkembang
dengan sasaran tumor associated antigen,
yaitu molekul yang diekspresikan oleh
tumor dan tidak oleh sel normal.
Selanjutnya digunakan peptida atau DNA
sebagai antigen. Antigen DNA biasanya
lemah dan untuk memperkuat potensi
imunogeniknya
dilakukan
dengan
berbagai rekayasa. Vaksin dibuat dengan
teknologi rekombinan, vaksin berisi VLP
(virus like protein) yang merupakan hasil
cloning dari L1 (viral capsid gene) yang
mempunyai sifat imunogenik kuat.
Dengan diketahuinya infeksi HPV sebagai
penyebab kanker serviks , maka terbuka
peluang untuk menciptakan vaksin dalam
upaya pencegahan kanker serviks. Dalam
hal ini dikembangkan 2 jenis vaksin:
1. Vaksin pencegahan untuk memicu
kekebalan tubuh humoral agar dapat
terlindung dari infeksi HPV.
2. Vaksin
Pengobatan
untuk
menstimulasi kekebalan tubuh seluler
agar sel yang terinfeksi HPV dapat
dimusnahkan.
Respon imun yang benar pada infeksi
HPV memiliki karakteristik yang kuat,
bersifat lokal dan selalu dihubungkan
dengan pengurangan lesi dan bersifat
melindungi terhadap infeksi HPV genotif
yang sama . Dalam hal ini, antibodi
humoral sangat berperan besar dan
antibodi ini adalah suatu virus
neutralising antibodi yang bisa mencegah
infeksi HPV dalam percobaan invitro
maupun invivo. Kadar serum neutralising
hanya setelah fase seroconversion dan
kemudian menurun. Kadar yang rendah
ini berhubungan dengan infeksi dari virus.
HPV yang bersifat intraepitelial dan tidak
adanya fase keberadaan virus di darah
pada infeksi ini. Selanjutnya protein L1
diekspresikan selama infeksi produktif
dari virus HPV dan partikel virus tersebut
akan terkumpul pada permukaan sel epitel
tanpa ada proses kerusakan sel dan proses
radang dan tidak terdeteksi oleh antigen
presenting cell dan makropag. Oleh
karena itu partikel virus dan kapsidnya
terdapat dalam kadar yang rendah pada
kelenjar limfe dan limpa, di mana kedua
organ tersebut adalah organ yang sangat
berperan dalam proses kekebalan tubuh.
Meskipun dalam kadar yang rendah,
antibodi tersebut bersifat protektif
terhadap infeksi virus HPV, sehingga
36
dikembangkan suatu vaksin yang
didasarkan pada mekanisme kerja virus
neuralising antibodi terhadap protein
kapsid yang bersifat mencegah terhadap
infeksi HPV.
Imunodominant neutralising epitopes
terlokalisasi pada protein kapsid L1, yang
kemudian bergabung menjadi suatu
kapsid yang kosong atau virus like
particle yang secara bentuk dan antigenik
sangat identik dengan virion aslinya.
Kemudian dengan bantuan teknologi yang
canggih, dikembangkan suatu HPV L1
VLP subunit vaksin.
III.1 Respon
Infeksi HPV
Imunologi
Terhadap
Sistem kekebalan tubuh terdiri
atas dua bagian besar, yaitu sistem
kekebalan humoral dan sistem kekebalan
seluler yang keduanya berperan pada
respon imunologis terhadap infeksi HPV.
Sistem kekebalan humoral banyak
diperankan
oleh
sel
B
dengan
pembentukan imunoglobulin, sedangkan
sistem
kekebalan
seluler
benyak
diperankan oleh sel T, baik sel T
sitotoksis maupun sel T helper. Pada
sistem kekebalan humoral antigen yang
masuk akan berinteraksi dengan antibodi
dan selanjutnya akan mengaktivasi sel B
menjadi sel plasma yang membentuk
antibodi (imunoglobulin), proses aktivasi
ini dibantu oleh sel T helper. Sementara
itu, pada sistem kekebalan seluler (cell
mediated imunity) antigen terlebih dahulu
diproses oleh Antigen Presenting Cell
(APC) dan tergantung dari Major
Histocompatibility Complex (MHC).
Virus sebagai partikel obligat intraseluler
dengan menginfeksi sel dan berperan
sebagai imunogen yang memberikan efek
sitopatik dan nonsitopatik pada sel.
Reaksi tubuh melawan imunogen virus
adalah dari tanpa pembentukan antibodi
sampai dengan respon imun seumur
hidup. Ketika virus memasuki suatu sel ,
hal ini berarti pengambil alihan terhadap
pembentukan dari aparatus sel penjamu.
Protein virus diproduksi secara endogen
oleh sel yang terinfeksi dan dirusak secara
intraseluler
menjadi
peptida-peptida
sekitar sembilan asam amino. Peptidapeptida ini kemudian dihadirkan pada
permukaan sel penjamu yang terinfeksi
oleh molekul – molekul dari Major
Histocompatibility Complex (MHC) yang
juga dikenal sebagai Human Leukocyte
Antigen (HLA).
Kompleks gen MHC ini adalah
suatu polimorphic dan merupakan HLA
kelas I yang terdapat sekitar 50 alel pada
lokus A dan C dan 100 alel B yang
berbeda. Molekul HLA kelas 1 terdiri atas
2 rantai protein, yaitu MHC yang
menyandi rantai alfa dan yang sangat
berhubungan dengan rantai beta 2
mikroglobulin. Pada bagian atas dari
molekul HLA kelas 1 adalah suatu alur
tempat protein virus terikat. Terdapat 3
gambaran penting pada sistem ini, yaitu:
1. Molekul HLA menghadirkan
/
memberikan peptida asing ke limpisit T
yang memiliki kemampuan untuk
menghancurkan sel-sel yang terinfeksi
virus
2. Dikenalnyan HLA yang mengikat
peptida oleh reseptor sel T adalah HLA
yang tertentu saja. Peptida asing hanya
dapat dikenali jika sel target memiliki
molekul HLA yang sama dengan sel T itu
sendiri.
3. Peptida yang tepat dihadirkan oleh
molekul HLA kelas I adalah spesifik alel
saja.
Pada respon kekebalan tubuh seluler yang
diperantarai oleh sel T, terdapat 2 kelas
utama sel T yaitu CD 8 yang
mengekspresikan
Cytotoxic
T
Lymphocytes (CTL) dan CD 4
menghasilkan antibodi dan tidak dapat
37
mengenali antigen yang dapat larut
(soluble antigen). Reseptor sel T (TCR)
dari kedua kelas tersebut berhubungan
secara langsung dengan antigen peptida
yang dihadirkan oleh molekul HLA pada
permukaan sel yang lain. CTL ini
berinteraksi dengan HLA kelas I,
sedangkan T helper cell mengenali
antigen yang dihadirkan oleh molekul
kelas II. Molekul kelas II MHC
diekspresikan pada antigen penting cell
(APC) dari sistem imunologi seperti
makropag dan sel dendrit. Sel T tertentu
hanya akan mengenali suatu peptida asing
tertentu. Ikatan spesifik pada peptida ini
menyebabkan
sel
T
mengalami
pengembangan klonal yang cepat,
mengalami proliferasi dan membentuk
suatu klon dari sel T yang identik dengan
spesifitas yang sama untuk masingmasing target antigen. CTLs yang sudah
diaktifkan dapat menempel pada sel target
selularnya dan menyebabkan lisis dengan
cara melepaskan cytotoxin. T sel helper
yang aktif mensekresi sitokin yang
merupakan molekul protein dengan efek
perangsangan terhadap sel-sel lain dari
sistem kekebalan tubuh.
Antigen presenting cell (APC) sangat
penting untuk sistem kekebalan yang
efektif. APC mengambil alih protein
eksogen atau produknya lalu diproses
menjadi peptida – peptida dan
dipindahkan ke nodus limfa regional yang
nantinya akan berinteraksi dengan T
helper cell. Antigen yang dihadirkan oleh
APC dapat mencapai seribu kali lebih
merangsang sistem imun dibandingkan
antigen yang asli.
Imunogen yang masuk dalam tubuh akan
dilawan oleh tubuh melalui sel NK, T
helper cell-CD4, T sitotoksik sel–CD 8.
Sel T sitotoksik (Ts) sebagai sub bagian
limfosit memberikan respons kekebalan
tubuh seluler dan humoral. Respon
kekebalan tubuh seluler melalui reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (delayed type
hypersensitivity) dan sitolitik yaitu
aktivasi antigen yang terikat pada MHC
kelas II yang akan merangsang
perpindahan CD3 dan 4 dari thymus,
selanjutnya terikat pada reseptornya dan
CD3 dan 4 tersebut menjadi Th-0 dan Th1 yang menghasilkan IL-2, IF-γ, TNF-β
dan juga diproduksi oleh sel NK. Th-1
memperluas pengaruh reaksi delayep type
hypersensitivity
dengan
mengatur
peredaran makrofag,limfosit dan neutrofil
ke area infeksi. Selain itu, IFN- γ akan
menstimulasi sel NK untuk berproliferasi
dan selanjutnya melepaskan IFN- γ yang
akan merangsang sel makropag untuk
melepaskan IL-2 lebih banyak lagi. IL-2
akan menstimulasi sel NK untuk
memproduksi IFN- γ sehingga akan
terjadi mekanisme umpan balik antara IL2 yang dihasilkan oleh makropag dengan
IFN- γ dari sel NK yang pada akhirnya
mengakibatkan kerusakan dan kematian
sel terinfeksi virus. Sel Ts mengontrol
keseimbangan respon kekebalan tubuh
melalui penekanan fungsi sel Th dan
reaksi langsung ke sel B. Sel Ts
mengekspresi CD8 dan spesifik untuk
epitop antigen spesifik atau untuk petanda
idiotipe pada reseptor antigen-antibodi sel
B atau Ts di mana sel Ts dan regulasi
idiotipenya bekerja sama satu dengan
yang lain.
III.2 Respon kekebalan tubuh pada
kanker serviks terhadap pajanan HPV
Secara umum respons cell
mediated immunity memainkan peran
yang penting dalam mengatasi infeksi
virus. Tidak terdapat penurunan kejadian
lesi yang dihubungkan dengan HPV pada
pasien dengan humoral imunodifeciency.
Hal ini mengidentifikasi bahwa walaupun
respons antibodi mungkin memainkan
peran, mekanisme cell mediated immunity
(CMI) penting dalam melawan HPV.
Selain itu mekanisme CMI yang penting
adalah
terdapat
infiltrasi
seluler
menyerupai reaksi hipersensitifitas tipe 4
pada pasien dengan warts. Saat respons
kekebalan tubuh yang efektif menurun
38
terjadi peningkatan resiko persisten virus
dan perkembangan neoplasma . Faktor
lain yang ikut berperan adalah infeksi
tidak menyebabkan hal yang berbahaya
bagi penjamu sehingga sering diabaikan .
Hanya pada stadium akhir dari lesi saat
lesi yang lebih besar berkembang, antigen
mungkin terlepas dalam melawan infeksi
secara aktif. Dengan demikian, kegagalan
respons kekebalan tubuh telah diduga
sebagai
faktor
utama
dalam
perkembangan neoplasia serviks.
Sel Langerhans, suatu antigen
presenting cell (APC) terdapat pada epitel
serviks yang berperan untuk mengambil,
memproses dan mentransportasi antigen
ke kelenjar getah bening pelvis kemudian
menuju ke serviks. Di sini terjadi induksi
sel T dan respons CTL melawan HPV
secara umum. Peptida antigen protein
virus dipresentasikan oleh APC dalam
kaitannya dengan HLA kelas II terhadap
sel Th dan dengan HLA kelas I terhadap
CTL. Dengan demikian, ekspresi HLA
kelas I pada sel target penting bagi CTL
untuk
mengatur
dan
sekaligus
menghancurkannya. Sel Th tipe 1 (Th-1)
mensekresi IFN- γ, TNF β, IL-2, yang
berperan dalam respons CTL dalam
delayed type hypersensitivity sel Th tpe 2
mensekresi IL-4, IL-5 dan IL 10 yang
penting untuk induksi respons antibodi Ig
G dan Ig E.
sehingga selama tidak terjadi pecahnya sel
penjamu, infeksi ini tidak menyebar.
Dengan demikian, CTL akan menjadi
mekanisme yang lebih efektif pada
pertahanan
awal
melawan
HPV
dibandingkan dengan antibody penetral
yang berperan dalam mencegah infeksi
ulang. Protein target virus untuk kedua
mekanisme tersebut dinyatakan dalam
level yang berbeda pada lapisan epitel
selama siklus sel normal. CTL akan
menargetkan sel yang utuh dari lapisan sel
yang intermediate di mana terjadi
transkripsi dan pembentukan protein virus
E1, E2, E5, E6, dan E7 yang ditemukan
pada lapisan sel tersebut. Protein kapsid
L1 dan L2 adalah target relevan untuk
antibodi penetral.
Virion HPV adalah suatu partikel
ikosahedral yang terdiri dari kapsid
protein yang bersifat tidak beramplop dan
double stranded DNA. Genomnya kirakira sepanjang 8000 pasang basa dan
mengandung 6 ORFs (open reading
frame) awal dan 2 ORFs akhir yang
mengkode protein HPV (E1,E2, E4, E5<
E6, E7, L1 dan L2)
Sel T yang berasal dari sitokin
anti viral IFN- γ bersama dengan antibodi
penetral akan mengontrol infeksi virus
yang menyebabkan pecahnya sel dengan
menghambat penbentukan virus yang
menginfeksi sel penjamu sebelum infeksi
virion baru dapat diproduksi adalah
mekanisme yang paling efektif untuk
mengontrol
virus
yang
tidak
menyebabkan pecahnya sel. Namun
antibody penetral mungkin juga penting
untuk mencegah infeksi dengan melepas
virion setelah sel terinfeksi pecah.
HPV secara khusus merupakan
patogen pada lapisan epitel dengan cara
menginfeksi sel-sel parabasal pada
permukaan epitel serviks yang secara
normal tumbuh ke permukaan dan
berdiferensisi menjadi sel gepeng yang
matur. Ketika terjadi infeksi HPV, protein
virus awalnya diekspresikan pada lapisan
yang lebih bawah dan kemudian terjadilah
pembentukan virus. Jika sel-sel yang
terinfeksi mencapai lapisan permukaan,
maka L1 dan L2 ORFs akan
diekspresikan.
Protein-protein
ini
membentuk kapsid virus dan melepaskan
virion matur melalui sel-sel yang
terkelupas. Infeksi HPV pada serviks
biasanya merupakan suatu proses yang
bervariasi mulai dari yang jinak sampai
ganas.
Pada prinsipnya HPV adalah virus
yang tidak menyebabkan pecahnya sel,
HPV bersifat patogen murni
intraepitelial, di mana tidak menyebabkan
39
suatu penyebaran virus di darah atau
manifestasi ke seluruh tubuh, tidak
bersifat merusak sel, infeksi virus dan
pembentukannya tidak disertai radang .
Tipe dari infeksi kronik ini tidak terjadi
kerusakan jaringan dan pengaktipan
respons radang. Kemampuan lesi HPV
untuk bertahan selama bertahun-tahun
adalah sesuai dengan keberadaan HPV
sebagai suatu agen infeksi yang secara
ilmiah imunogenitasnya rendah. Akan
tetapi seperti yang telah dibahas
sebelumnya, selalu terdapat sistem
kekebalan tubuh dalam membatasi dan
memberantas infeksi HPV.
Virus yang patogen lebih rentan
dalm netralisasi oleh antibodi yang
spesifik yang juga memainkan peran
dalam terjadinya infeksi oleh virus
melalui antibodi yang tergantung pada
sitotoksis seluler. Antibodi HPV dapat
berfungsi secara bermakna dan pada kadar
tertentu, antibodi tersebut bisa dijadikan
marker dari status infeksi dan hal ini
sebaiknya
selalu
dipantau
untuk
mengetahui perjalanan penyakit. Beberapa
penelitian telah menyelidiki hubungan
antara serum antibodi melawan protein
HPV tipe 16 pada kanker serviks dan
didapatkan seropositif yang lebih besar
secara
bermakna
pada
pasien
dibandingkan dengan kontrol. Telah
dilaporkan bahwa seropositif terhadap E7
HPV tipe 16 kemungkinan berhubungan
dengan
stadium
penyakit
dan
berhubungan dengan prognosis yang lebih
buruk . Terbentuknya kekebalan humoral
terhadap HPV dalam hubungannya dalam
perjalanan
penyakit
mengandung
pengertian bahwa antibodi yang terbentuk
akibat
dari
pemaparan
yang
berkepanjangan terhadap antigen dan
peningkatan muatan virus. Dalam hal ini
sistem kekebalan memainkan peran yang
penting dalam menghancurkan sel – sel
yang terinfeksi virus walaupun masih
tetap ada kemungkinan bahwa antibodi
akan melawan langsung capsid protein
HPV (terutama L1) yang dapat
menetralisir
partikel
virus
dalam
pencegahan dan pengendalian infeksi
primer. Sementara itu didapatkan
beberapa penelitian yang melaporkan
hubungan dari antibodi melawan capsid
HPV tipe 16.
Virus Neutralising antibodies
dapat mencegah infeksi. Pada kadar
tertentu, serum spesifik IgG memberikan
perlindungan dengan cara mengeksudasi
ke permukaan dan mengaktifasi patogen.
Pada kasus infeksi HPV, vaksinasi
pencegahan yang efektif dibutuhkan untuk
membangkitkan antibodi yang spesifik
pada epitel serviks yang secara langsung
melawan kapsid protein L1 dari HPV (
yang memainkan peran dalam masuknya
virus ke sel host). Akan tetapi, jika sel
keratin
serviks
telah
mengalami
perubahan menjadi keganasan, proses
diferensiasi tidak akan terjadi sehingga
tidak akan terjadi pengikatan antibodi
spesifik pada epitel serviks yang secara
langsung melawan capsid antigen.
Ekspresi E6 dan E7 secara terus menerus
sangat dibutuhkan oleh sel dalam
perubahan ke arah keganasan, maka
pembangkitan CTLs spesifik secara
langsung melawan peptida E6 dan E7
akan menyebabkan penghancuran sel-sel
tumor yang terinfeksi virus.
III.3 Efektifitas Vaksin
Pada penelitian didapatkan bahwa
vaksin bivalen HPV 16/18 VLP sangat
efektif menurunkan angka kejadian
infeksi HPV dan infeksi menetap HPV
16/18 pada individu yang sudah mendapat
vaksinasi lengkap HPV ada wanita muda.
Efektifitas vaksin juga sangat tinggi pada
wanita yang tidak mendapatkan protokol
vaksin secara lengkap.
Efektifetas vaksin dihubungkan dengan
infeksi menetap HPV 16 dan 18,
abnoramalitas dari pemeriksaan sel
serviks yang dihubungkan dengan infeksi
HPV 16 dan 18., dan angka kejadian CIN
40
yang dihubungkan dengan infeksi HPV 16
dan 18. Vaksin HPV 16/18 VLP ini akan
merangsang produksi antibodi yang
kadarnya masih lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kadar antibodi yang
dihasilkan oleh tubuh sebagai respons
alami dari infeksi virus HPV, respons
kekebalan tubuh yang ditimbulkan
memiliki daya perlindungan yang lebih
lama jika dibandingkan dengan respons
kekebalan tubuh yang ditimbulkan oleh
infeksi alami HPV.
Vaksin bivalen HPV 16 dan 18
sangat aman dan ditoleransi oleh wanita
yang mendapatkan vaksin tersebut.
Vaksin HPV ini sangat
baik untuk
memberikan perlindungan terhadapa
infeksi HPV pada populasi yang rutin
dilakukan pemeriksaan rutin serviks
maupun yang tidak rutin melakukan
pemeriksaan. Pada negara yang sudah
menjalankan program pemeriksaan rutin
serviks secara berkala dengan benar,
vaksin ini juga memiliki efektifitas yang
sangat tinggi terhadap upaya pencegahan
abnormalitas dari hasil pemeriksaan sel
serviks yang dihubungkan dengan infeksi
HPV tipe 16 dan 18. Di Amerika serikat
telah dihitung preventable unit cost dari
vaksin ini berkisar jutaan dolar tiap
tahunnya.
Proteksi NIS 2/3 karena HPV 16
dan 18 pada yang di vaksinasi mencapai
100%, dan proteksi 100% dijumpai
sampai 2-4 tahun pengamatan. Pemberian
vaksinasi pada populasi, menurunkan
kejadian infeksi HPV 16/18 (infeksi HPV
persisten berkisar 85-100%. Vaksin
bivalen (HPV tipe 16 dan 18) mempunyai
proteksi silang terhadap HPV tipe 45
(dengan efektifitas 94%) dan HPV tipe 31
( dengan efektifitas 55%).
III.4 Masa Perlindungan
Data tentang percobaan tentang
HPV vaksin ditunjukkan bahwa kadar
antibodi menurun setelah mencapai
puncaknya
setelah
imunisasi
dan
kemudian menetap (plateau), tetapi masih
lebih tinggi dibandingkan dengan respons
kekebalan tubuh yang timbul pada infeksi
alami dari virus HPV dan kadar tersebut
menetap pada 48 bulan setelah vaksinasi.
infeksi HPV bisa terjadi berulang setelah
beberapa tahun dan resiko mendapat
infeksi baru sangat bergantung pada
perilaku seksual dari individu tersebut.
Oleh karena itu, natural booster pada
individu yang telah mendapat vaksin dan
kemudian mendapat paparan terhadap
infeksi virus HPV setelah masa
perlindungan
vaksin
belum
bisa
dibuktikan. Kadar antibodi kapsid pada
infeksi alami dari virus HPV biasanya
stabil pada beberapa tahun dan bila
diikuti, sebesar 50% dari wanita akan
menghasilkan seropositif pada 10 tahun
setelah ditemukannya infeksi virus HPV
pada daerah cervico genital.
III.5 Sasaran dan Waktu pemberian
Vaksin
Vaksin profilaksis akan bekerja
efisien bila vaksin tersebut diberikan
sebelum individu terpapar infeksi HPV.
Vaksin mulai dapat diberikan pada wanita
usia 10 tahun. Berdasarkan pustaka vaksin
dapt diberikan pada wanita usia 10-26
tahun (rekomendasi FDA-US), penelitian
memperlihatkan vaksin dapat diberikan
sampai usia 55 tahun. Infeksi HPV yang
menyerang organ genetalia biasanya
ditularkan melalui hubungan seksual, dan
imunisasi diberikan untuk melakukan
perlindungan terhadap sejumlah besar
penyakit yang dihasilkan oleh infeksi
virus tersebut. Selain itu vaksin diberikan
pada usia tersebut maka respon kekebalan
tubuh yang dihasilkan akan lebih besar
dibandingkan bila diberikan setelah
pubertas, baik pada wanita maupun pada
pria. Vaksinasi pada pria belum
41
menghasilkan
memuaskan.
efektifitas
yang
III.6 Sediaan dan Komposisi
Terdapat dua jenis vaksin HPV
L1 VLP yang sudah dipasarkan melalui
uji klinis, yakni Cervarik dan Gardasil :
a.
Cervarix
Adalah jenis vaksin bivalen HPV 16/18
L1 VLP vaksin yang diproduksi oleh
Glaxo Smith Kline Biological, Rixensart,
Belgium. Pada preparat ini, Protein L1
dari HPV diekspresikan oleh recombinant
baculovirus vector dan VLP dari kedua
tipe ini diproduksi dan kemudian
dikombinasikan sehingga menghasilkan
suatu vaksin yang sangat merangsang
sistem imun . Preparat ini diberikan secara
intramuskuler dalam tiga kali pemberian
yaitu pada bulan ke 0, kemudian
diteruskan bulan ke 1 dan ke 6 masingmasing 0,5 ml
b.
Gardasil
Adalah vaksin quadrivalent 40 μg protein
HPV 11 L1 HPV ( GARDASIL yang
diproduksi oleh Merck) Protein L1 dari
VLP HPV tipe 6/11/16/18 diekspresikan
lewat
suatu
rekombinant
vektor
Saccharomyces cerevisiae (yeast). Tiap
0,5 cc mengandung 20μg protein HPV 6
L1, 40 μgprotein HPV 11 L1, 20 μg
protein HPV18 L1. Tiap 0,5 ml
mengandung 225 amorph aluminium
hidroksiphosphatase
sulfat. Formula
tersebut juga mengandung sodium borat.
Vaksin ini tidak mengandung timerasol
dan antibiotika. Vaksin ini seharusnya
disimpan pada suhu 20 – 80 C.
III.7 Dosis dan Cara Pemberian
Vaksin
ini
diberikan
intramuskuler 0,5 cc diulang tiga kali,
produk Cervarix diberikan bulan ke 0,1
dan 6 sedangkan Gardasil bulan ke 0, 2
dan 6 (Dianjurkan pemberian tidak
melebihi waktu 1 tahun). Pemberian
booster (vaksin ulangan), respon antibodi
pada pemberian vaksin sampai 42 bulan,
untuk
menilai
efektifitas
vaksin
diperlukan deteksi respon antibodi. Bila
respon antibodi rendah dan tidak
mempunyai efek penangkalan maka
diperlukan pemberian Booster.
Vaksin profilaksis akan bekerja
efisien bila vaksin tersebut diberikan
sebelum individu terpapar infeksi HPV.
Infeksi HPV yang menyerang organ
genitalis biasanya ditularkan melalui
hubungan seksual dan, dan imunisasi
siberikan untuk melakukan perlindungan
terhadap sejumlah besar penyakit yang
dihasilkan oleh infeksi virus tersebut.
Sebagai target populasi dari imunisasi ini
adalah wanita sebelum puber dan usia
remaja. Hal ini disebabkan pada usia –
usia tersebut dimulainya aktivitas seksual
seseorang.
Sebaiknya vaksiniasi secara rutin
diberikan untuk wanita umur 11 – 12
dengan dosis pemberian. Serial vaksin
bisa dimulai saat wanita tersebut berumur
9 tahun. Selain itu vaksin juga
direkomendasikan untuk diberikan pada
umur 13 – 26 tahun yang tidak mendapat
pengulangan
vaksin
atau
tidak
mendapatkan vaksin secara lengkap.
Idealnya vaksin diberikan sebelum usia
yang rentan kontak dengan HPV yaitu
wanita yang akan memasuki usia seksual
aktif sehingga wanita yang mendapat
vaksinasi tersebut bisa merasakan
keuntungan dari pemberian vaksin. Selain
itu apabila vaksin siberikan pada usia
tersebut, respons kekebalan tubuh yang
dihasilkan akan lebih besar dibandingkan
bila diberikan setelah pubertas. Vaksin
dikocok lebih dahulu sebelum dipakai dan
diberikan secara muskuler sebanyak 0,5
dan sebaiknya disuntikkan pada lengan
(otot deltoid)
42
DAFTAR PUSTAKA
1.
Andrijono,2007 . kanker Serviks,
Jakarta. subbagian onkologi bagian
obstetric dan ginekologi FK UI/RS Cipto
Mangunkusumo.
2.
Anonymous.
2007
Human
Papillomavirus.
Diakses
dari
http;//www.wikipedia.com
3.
Aziz MF. 2005 Vaksin Human
papillomavirus ; suatu alternatif dalam
pengendalian kanker serviks di masa
depan
disampaikan
dalam
Pidato
Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap
dalam Ilmu Obstetri dan Ginekologi.
FKUI.
4.
Family Comprehensive Centre.
University Of Callifornia. Irvine Orenge
California. USA.GLOBOCAN 2002
http;/www-dep.iarc.fr, Last accessed 24 th
August 2006.
5.
Geahart PT. 2006 Human
papilloma
virus.
Departement
Of
Obstetric and Gynecology, Pennyslvannia
Hospital.
6.
Gianni S L, Hanon E, Morris P et
al. 2006 Enhanced and memory B cellular
imunity using HPV 16 and 18 L1 vlp
vaccine formulated with theMPL /
aluminium salt combination ( ASO 4 )
compared to alluminium salt only. Glaxo
Smith Kline Biological. Belgium.
7.
Harper DM, Franco EL, Wheeler
C et al. 2004 Efficacy of bivalent L! Virus
like particle vaccine in prevention of
infection with Human papilloma virus
type 16 and type 18 in young women : a
randomised controlled trial . Departement
of Obstertic and Gynecology And
Community Of Family Medicine. Norris
Cotton Cancer Centre, Darmouth Medical
School, Hanover, USA.
8.
Inglis S, Shaw A, Koenig S. 2006
HPV vaccine : commercial research and
development. National Institute for
Biological Standards And Control Mims
Potter Bar. Hert Fordshire. USA.
9.
Imam R,Henry S,2007. Vaksin
Human Papilloma Virus dan Eradikasi
Kanker Mulut Rahim.subbagian onkologi
bagian obstetri dan ginekologi FK
Brawijaya/RS Saiful Anwar. Malang
10.
Jorma Paavonen, David jenkins et
all, 2007. Efficacy of a prophylactic
adjuvanted bivalent L1 virus-like-particle
vaccine against infection with human
papillomavirus types 16 and 18 in young
women; an interim analysis of a phase III
double- blind, randomised controlled
trial.www.thalancet.com.
11.
Kwane A. 2005 Carcinoma Of
The Cervix : The role of Human
papillomavirus and prospect for primary
prevention. University Of Gnana Medical
School.
12.
Kouttsky LA, Ault KA, Wheeler
C M et al, 2002 A controlled trial of a
Human papillomavirus Type 16 vaccine.
The New York Journal Of Medicine Vol
347: 1645-1650
13.
Kalpana
devaraj.
2003
Development of HPV vaccine for HPV.
Associated head and neck squamous cell
carcinoma. Departement of Pathology,
Oncology, Obstetric And Gynecology.
The John Hopkins Medical Instittion.
Baltimore.USA.
14.
Koutsky LA and Harper DM.
2006 Current finding from prophylactic
HPV vaccine trials. Departement of
Epidemiology, School of Public Health.
University of Washington. Seattle.USA
15.
Kane MA, Sherris J, Coursaget P
et al. 2006 HPV vaccine use in
developing
world. Departement Of
Immunization, Vaccine And Biologicals.
World Health Organization . Geneva.
Switzerland
16.
Lynette denny, Hextan Y.S Ngan.
2006 Prevention and Treatment of HPV
Associated Disease in the HPV Vaccine
Era. International Journal Of Gynecology
& Obstetrics vol 94.
17.
LL Villa, RLR Costa et all. 2006
Hight susteined efficacy of a prophylactic
quadrivalent human papilomavirus type
6/11/16/18 L1 virus-like particle vaccine
through 5 years of follow – up.British
Journal of Cancer . 1459-66
43
18.
Lacey CJN, Lowndes CM, Shah
KV. 2006 Burden and management of
non-cancerous HPV-related condition:
HPV 6/11 disease.
19.
Lowy RD and Schiller JT. 2006
Prophylactic Human papilloma virus
vaccines. Laboratory of cellular Oncology
Center for Cancer Research, National
Cancer
Institute,
NIH,
Bethesda,
Maryland. USA.
20.
Lowy DR and Schiller JT. 1998
Papillomavirus and cervical cancer :
pathogenesis and vaccine development.
Journal Of The National Cancer Institute
Monograph No 23; 27-30
21.
Moscicki Ab, Schiffman M, Kjaer
S, Villa LL. 2006 Updating the natural
history of HPV and anogenital cancer.
22.
Munoz N, Castellsague X
Gonzales AB, Gissmann L. 2006 HPV in
the Etiology of human cancer. Institute
Catala d’Oncologia. Quai Fulchiron.
Lyon. France.
23.
Markowitz LE, Dunne FE,
Saraiya M, et all. 2007 Quadrivalent
Human Papilloma Virus Vaccine :
Recommendation of the Advisory
Committee on Immunonization Practices (
ACIP ). Departement Of Healt and
Human Service Centre for Disease
Control and Prevention. Atlanta USA.
24.
Mahdavi Ali and Monk BJ. 2005
Vaccine against Human Papillomavirus
and cervical cancer: promise and
challenges. Division Of Gynecology
Oncology Chao Family Comprehensive
Centre. University Of Callifornia. Irvine
Orenge California. USA.
25.
Putra D, Moegni EM. 2006 Lesi
prakanker serviks. Buku Acuan Nasional
Onkologi. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta ;399-411
26.
Smith PG. 2006 Studies to assess
the long-term efficacy and effectiveness
of HPV vaccination in develop and
developing
countries.
Vaccine.
;24S3;S3233-41
27.
Schwarz TF, Dubin GO, 2006
HPV Vaccine Study Investigation for
Adulth Women Glaxo Smith Kline
Biologicals. An AS04-containing human
papillomavirus (HPV) 16/18 vaccine for
prevention of cervical cancer is
immunogenic and well tolerated in
women 15-55 years old. Journal of clin
Oncol.
ASCO
Annual
Meeting
Proceeding Part I;24.
28.
Sjamsudin
S,2000.
Inspeksi
Visual dengan aplikasi asam asetat (IVA),
Suatu metode alternative skrining kanker
serviks. Jakarta: subbagian onkologi
bagian obstetric dan ginekologi FK UI/RS
Cipto Mangunkusumo.
29.
Surya Negara K, Suwiyoga K,
Surya IGP, 2002. Human Papillomavirus
pada kanker serviks dan Penyakit Menular
Seksual, thesis. Lab Obstetri dan
Ginekologi FK Unud Denpasar.
30.
Schiller JT and Lowy DR. 2000
Papillomavirus like particle vaccine.
Journal of The National Cancer Institute
Monograph, No;28; 50 – 54
31.
Taira A, Neukermans CP, Sanders
GD.
2004
Evaluating
Human
Papillomavirus vaccination programs.
Stanford School Of Medicine, Stanford
University. Stanford. California. USA
32.
Wrigth TC, Bosch FX, Franco
EL, Cuzick J, Schiller JT, Garnett GP,
Meheus A. 2006 HPV vaccines and
screening in the prevention of cervical
cancer; conclusions from a 2006
workshop of international experts.
Vaccine;24S3;S3251-61.
44
SEKILAS TENTANG BIOTERORISME
Akhmad Sudibya
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak :
Bioterorisme adalah penggunaan bakteri jahat, virus, atau racun terhadap manusia, hewan, atau
tanaman dalam upaya untuk menyebabkan kerusakan dan menciptakan rasa takut. Bioterorisme
menggunakan produk mikroba atau mikroba. Ada empat mikroba populer biasanya dimanfaatkan oleh
para teroris, yaitu Bacillus anthracis, Clostridium botulinum, Yersinia pestis dan virus cacar. Mikroba
yang digunakan dalam bioterorisme diklasifikasikan menjadi tiga kategori. Kategori A adalah yang
paling berbahaya di antara tiga kategori.
Keywords: bioterorisme, petunjuk, agen biologis, senjata biologi, klasifikasi agen biologis, perang
kuman, mikroba populer.
OVERVIEW OF bioterrorism
Akhmad Sudibya
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract :
Bioterrorism is the malevolent use of bacteria, viruses, or toxins against humans, animals, or plants in
an attempt to cause harm and to create fear. Bioterrorism utilizes microbe or microbial product. There
are four popular microbes usually utilized by the terrorists, i.e. Bacillus anthracis, Clostridium
botulinum, Yersinia pestis and smallpox virus. Microbes used in bioterrorism are classified into three
categories. Category A is the most dangerous one among the three categories.
Keywords : bioterrorism, clues, biological agents, biological weapons, classification of biological
agents, germ warfare, popular microbes.
Pendahuluan
Pengertian Bioterorisme
Bioterorisme belum banyak diuraikan
pada buku-buku mikrobiologi kedokteran.
Hanya sedikit buku yang membahas
bioterorisme.
Apalagi
buku-buku
mikrobiologi
kedokteran
berbahasa
Indonesia. Artikel di media massa yang
membicarakan bioterorisme juga sangat
sedikit. Hampir tidak ada yang
menyinggung – meskipun hanya sekilas –
bioterorisme. Topik yang banyak ditulis
adalah tentang terorisme bukan tentang
bioterorisme. Oleh karena itu, penulis
akan memulai tulisan ini dengan
menguraikan beberapa hal yang berkaitan
dengan bioterorisme.
Bioterorisme berarti pemakaian mikroba
sebagai sarana dalam terorisme. Mikroba
yang digunakan pada bioterorisme lebih
populer di media massa dengan sebutan
senjata biologis (biological weapons atau
bioweapons). Perang yang melibatkan
senjata biologis/mikroba disebut perang
kuman (germ warfare) atau biological
warfare (Nester dkk., 2007 ; Tortora dkk.,
2007). Dalam tulisan ini, istilah
‘mikroba’ dan ‘senjata biologis’
dipergunakan secara bergantian. Sarana
lain yang dapat dipergunakan dalam
terorisme misalnya senjata kimia, bom
mobil, senjata api, senjata nuklir, dan lainlain. Menurut Cinti dan Hanna (2007),
bioterorisme adalah the malevolent use of
45
bacteria, viruses, or toxins against
humans, animals, or plants in an attempt
to cause harm and to create fear. Jadi,
yang dapat dimanfaatkan tidak hanya
mikroba namun bisa juga produk
mikroba. Sebagai sasaran, tidak hanya
manusia, namun bisa juga hewan dan
tumbuhan. Sementara itu, Lederberg
(2000) mendefinisikan biological warfare
sebagai the use of microbial … agents …
for hostile purposes or in armed conflict
(Sic !).
Rajneeshees (suatu sekte keagamaan di
Amerika Serikat) tahun 1984, dan Aum
Shinrikyo (suatu sekte keagamaan di
Jepang) tahun 1995. Tentara Dai Nippon
menjatuhkan tabung yang berisi pinjal dan
Yersinia pestis di atas daratan Cina saat
Perang
Cina-Jepang
(1937–1945).
Rajneeshees mengontaminasi makanan di
restoran
dan
supermarket
dengan
Salmonella enterica (Cinti dan Hanna,
2007 ; Tortora dkk., 2007). Istilah
‘bioterorisme’ ikut menjadi topik
pembicaraan sejak serangan terhadap
Menara Kembar World Trade Center.
Sejarah Bioterorisme
Bioterorisme sebenarnya telah berusia
ratusan tahun. Pasukan Tartar merupakan
kelompok pertama yang memanfaatkan
bioterorisme pada tahun 1346.. Pasukan
Tartar melemparkan pasien pes ke
belakang garis pertahanan lawan.
Kelompok berikutnya adalah pasukan
Inggris di Amerika pada tahun 1736,
pasukan Jerman pada Perang Dunia I,
Berbagai Tanda Awal Keterlibatan
Senjata Biologis
Ada berbagai tanda awal yang harus
diwaspadai karena sangat mungkin
melibatkan
mikroba
yang
dapat
dimanfaatkan
untuk
bioterorisme..
Berbagai tanda awal dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 1. Tanda Awal versus Penyebab/Penyakit Paling Mungkin/Contoh
(Cinti dan Hanna, 2007)
No.
Tanda Awal
Penyebab/Penyakit
Mungkin/Contoh
Paling
1
Paralisis flaksid (jumlah kasus banyak, saat kejadian Toksin botulinum
serentak)
2
Demam disertai perdarahan (jumlah kasus banyak, Virus Ebola, Demam Lassa
saat kejadian serentak)
3
Ruam vesikular dan pustular disertai kematian Cacar
massal (jumlah kasus banyak, saat kejadian
serentak)
4
Penyakit mirip-flu disertai dengan mediastinum Antraks
yang melebar pada foto dada dan atau meningitis
(jumlah kasus banyak, saat kejadian serentak)
5
Pneumonia disertai limfadenopati yang terasa sakit Pes
(jumlah kasus banyak, saat kejadian serentak)
46
6
Penyakit yang terjadi serentak pada manusia dan Antraks, ensefalitis
hewan
7
Kematian massal yang tidak diketahui penyebabnya, Berbagai mikroba
terutama pada orang dewasa muda dan sehat
8
Kasus tunggal dengan penyebab mikroba tak lazim
Cacar, antraks pulmoner, virus
Ebola
9
Satu pasien menderita banyak penyakit
Berbagai mikroba
10
Penyakit dengan gejala klinis aneh
Pes
11
Penyakit yang tidak lazim ditinjau dari distribusi Virus Ebola
geografis
Serikat
12
Penyakit yang tidak lazim ditinjau dari pola musim
13
Penyakit yang tidak memberi respons terhadap Antraks yang dibuat resisten
antibiotika ataupun vaksin yang biasa digunakan
terhadap antbiotika dan vaksin
14
Kumpulan penyakit mirip/serupa pada wilayah yang Berbagai mikroba
tidak mempunyai perbatasan bersama
Karakteristik
Mikroba
Digunakan pada Bioterorisme
yang
Mikroba ideal untuk bioterorisme
mempunyai karakteristik sangat handal,
dapat dibidikkan tepat ke sasaran, murah,
awet, tidak begitu tampak, manjur, mudah
diperoleh,
dan
mudah
diangkut
(Lederberg, 2000 ; Lew, 2000). Sangat
handal dan manjur berarti mempunyai
efek seperti yang diharapkan para teroris.
Murah dan mudah diperoleh bermakna
harganya terjangkau dan bisa didapatkan
tidak harus dengan jalur legal. Tidak
begitu tampak mengandung makna sulit
diendus oleh aparat intelijen.
Mikroba yang Lazim Digunakan pada
Bioterorisme
di
Amerika
Influenza pada musim panas
di Amerika Serikat
mikroba
tersebut
adalah
Bacillus
anthracis,
Clostridium
botulinum,
Yersinia pestis, dan virus cacar (Nester
dkk., 2007). Masih banyak mikroba lain
yang dapat dimanfaatkan sebagai senjata
biologis
meskipun
frekuensi
pemakaiannya lebih jarang. Mikroba
tersebut adalah virus Ebola, virus
influenza, Virus Penyebab Demam Lassa,
Salmonella, Mycobacterium tuberculosis
dan Virus Penyebab Ensefalitis.
Klasifikasi Mikroba
Menurut Bauman dkk. (2007), Cinti &
Hanna (2007), dan Goering dkk. (2008)
mikroba yang dipergunakan pada
bioterorisme
dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kelas. Tiga kelas tersebut
yaitu :
Ada empat mikroba yang lazim
digunakan pada bioterorisme. Empat
47
Kelas A (Risiko Tinggi)
Contoh mikroba yang masuk kelas ini
adalah Bacillus anthracis dan virus cacar.
Ciri-ciri penyakit yang ditimbulkan oleh
mikroba kelas ini adalah mudah menular,
mortalitas tinggi, dan dapat menimbulkan
keresahan sosial yang hebat.
Kelas B (Risiko Sedang)
Contoh mikroba yang tergolong kelas ini
adalah Salmonella dan virus penyebab
ensefalitis. Penyakit yang ditimbulkan dan
dampak yang diakibatkan kelas ini sedikit
di bawah Kelas A.
Kelas C (Risiko Rendah)
Contoh mikroba yang tergolong kelas ini
adalah Mycobacterium tuberculosis yang
resisten terhadap berbagai antibiotika
(multidrug-resistant) dan virus influenza.
Penyakit yang ditimbulkan dan dampak
yang ditimbulkan kelas ini di bawah
Kelas B.
Alasan Teroris Memilih Bioterorisme
Salah satu alasan penting pemakaian
mikroba oleh teroris adalah alasan
finansial. Bioterorisme relatif efisien
dibandingkan metoda lain. Efisien dalam
arti biaya murah dan menimbulkan
dampak yang sangat hebat. Dampak yang
sangat hebat dapat berupa jumlah korban
yang banyak ataupun kepanikan yang luar
biasa dari sasaran bioterorisme. Salah
satu keunggulan pemakaian mikroba
adalah dampak yang terjadi sulit
dikendalikan dan sangat susah untuk
diprediksi (Tortora dkk., 2007).
Kesiapan Tentara Nasional Indonesia
(TNI) dan Kepolisian Republik
Indonesia
(Polri)
Menghadapi
Bioterorisme
Sampai saat ini, dari informasi yang
dipublikasikan di media massa, TNI
mempunyai sebuah satuan khusus untuk
menghadapi serangan senjata biologis.
Satuan tersebut bernama Kompi Nubika
(Kompi Nuklir, Biologi, dan Kimia).
Apabila dilihat dari namanya, satuan ini
tidak
hanya
dipersiapkan
untuk
menghadapi serangan senjata biologis.
Satuan ini juga dipersiapkan untuk
mengadapi serangan nuklir dan senjata
kimia. Masih belum jelas apakah
Detasemen
Penanggulangan
Teror
Komando Pasukan Khusus ((Dengultor
Kopassus)
TNI
Angkatan
Darat,
Detasemen Bravo Pasukan Khas TNI
Angkatan Udara (Denbravo Paskhasau),
dan Detasemen Jala Mengkara (Denjaka)
Korps Marinir TNI Angkatan Laut
mempunyai kemampuan menghadapi
bioterorisme. Juga masih belum jelas
apakah Detasemen Khusus 88 Antiteror
(Densus 88 Antiteror) Polri mempunyai
unit khusus ataupun kemampuan untuk
menghadapi bioterorisme. Meskipun
demikian, banyak pihak yakin bahwa
Federal Bureau of Investigation (FBI)
Amerika Serikat dan Australian Federal
Police (Polisi Australia) – kedua lembaga
ini aktif melatih Densus 88 − pasti siap
berbagi ilmu dengan Densus 88 dalam
bidang kontrabioterorisme.
Tentang Serangan Senjata Biologis
Bacillus anthracis
Ada 3 bentuk klinis antraks berdasarkan
rute masuk spora ke dalam tubuh. Tiga
bentuk tersebut adalah antraks kutaneus,
antraks gastrointestinal, dan antraks
inhalasi (Cinti & Hanna, 2007).
Antraks kutaneus mencakup 90% kasus
antraks pada manusia. Setelah masa
inkubasi 1-7 hari akan timbul lesi
berbentuk papula kecil sedikit gatal pada
tempat spora masuk (biasanya di lengan,
tangan, leher, dan muka) yang dalam
beberapa hari berubah menjadi bentuk
48
vesikel yang tidak sakit berisi cairan
serosanguinus serta tidak purulen dan
kemudian menjadi ulkus nekrotik yang
dikelilingi vesikel-vesikel kecil. Ukuran
lesi sekitar 1-3 cm. Ciri khas lain adalah
dalam 2-6 hari akan timbul eschar
berwarna hitam seperti batubara (black
carbuncle) yang berkembang dalam
beberapa minggu menjadi ukuran
beberapa sentimeter yang kemudian
menjadi parut setelah 1-2 minggu (Yusuf,
2007).
Dasar kulit dari lesi terlihat indurasi,
panas, warna merah, dan non-pitting
edema yang bisa meluas sampai demikian
luasnya (malignant edema) sehingga
terjadi hipotensi oleh karena perpindahan
cairan intravaskuler ke subkutan. Lesi
tidak terasa sakit (Yusuf, 2007).
Gambaran sistemik berupa demam,
mialgia, sakit kepala, lemah badan, dan
limfadenopati lokal. Bila tidak digunakan
antibiotik maka 20% fatal, dimana terjadi
penyulit bakteremia yang berlanjut ke
meningitis, pneumonia, ataupun sepsis.
Pemberian antibiotik tidak mengubah
perjalanan alamiah klinis di kulit, tetapi
mencegah penyulit di atas dan
menurunkan angka kematian di bawah 1%
(Yusuf, 2007).
Pada antraks gastrointestinal ditemukan
demam, nyeri perut difus, muntah, dan
diare kira-kira 2-5 hari setelah penderita
memakan daging yang mengandung
spora. Bisa timbul muntah darah dan
berak darah, berisi darah segar atau
melena. Bisa pula terjadi perforasi usus.
Selain itu terjadi limfadenitis mesenterial
dan asites (Yusuf, 2007).
Selain bentuk antraks intestinal ada
bentuk lain antraks gastrointestinal yaitu
bentuk antraks orofaringeal yang berupa
limfadenopati local dan edema pada leher,
susah menelan, dan obstruksi saluran
napas atas. Terdapat lesi serupa pada kulit
pada mukosa mulut seperti eschar (Yusuf,
2007).
Perkembangan selanjutnya dari antraks
antraks gastrointestinal dan antraks
orofaringeal adalah sepsis, meningitis,
dan kematian. Angka kematian berkisar
25 sampai 60% (Yusuf, 2007).
Antraks inhalasi mencakup kurang dari
5% kasus. Masa inkubasi 1-5 hari tetapi
dapat mencapai 60 hari tergantung jumlah
spora yang masuk. Setelah inkubasi 10
hari timbul gambaran klinik akut yang
terdiri dari 2 fase (bifasik), yaitu fase
inisial yang ringan dimana didapatkan
demam, lemah, lemah, mialgia, batuk
kering dan rasa tertekan di dada dan di
perut (flu like) yang pada pemeriksaan
fisik mungkin ditemukan ronki, kemudian
tiba-tiba disusul fase kedua yang berat dan
sering fatal setelah terlihat seperti ada
perbaikan fase pertama. Fase kedua ini
cepat sekali memburuk berupa panas
tinggi, sesak napas, hipoksia, sianosis,
stridor dan akhirnya syok dengan
kematian
dalam
beberapa
hari.
Pemeriksaan fisik memberikan gambaran
infeksi paru, dengan kemungkinan sepsis
dan meningitis. Antraks inhalasi tidak
memberikan gambaran klasik pneumonia,
sehingga tidak didapatkan sputum yang
purulen, sehingga lebih cocok disebut
antraks inhalasi bukan antraks pneumonia.
Edema leher dan dada bisa ditemukan,
dan pada paru juga ditemukan ronki basah
dan kemungkinan tanda efusi (Yusuf,
2007)
Pada foto toraks selain infiltrat di paru
akan diadapat gambaran khas berupa efusi
pleura dan pelebaran mediastinal oleh
karena limfadenopati dan mediastinitis.
Cairan pleura bersifat hemoragik (Yusuf,
2007).
Kematian dapat terjadi setelah 24 jam
setelah onset akut tersebut, dengan angka
kematian bisa mencapai 90%, tergantung
fasilitas. Antraks inhalasi tidak ditularkan
antar manusia (Yusuf, 2007).
49
Tentang Serangan Senjata Biologis
Yersinia pestis
Berdasarkan aspek klinis pes dapat
dibedakan atas beberapa tipe yaitu tipe
bubonik,
septikemik,
pneumonik,
meningeal, dan kutaneal (Triwibowo,
2007).
Tipe
bubonik
merupakan
kasus
terbanyak (sekitar 75%) pasien pes.
Ditandai adanya bubo, yaitu limfadenitis
yang tampak besar dengan diameter 2-5
cm disertai adanya edema dan eritema di
sekitarnya. Bubo ini 70% terdapat di
daerah inguinal atau femoral, karena
gigitan pinjal lebih banyak terjadi di kaki.
Pada anak-anak bubo dapat ditemukan di
daerah aksila atau servikal. Bila terjadi
supurasi, eksudat yang mengandung
Yersinia pestis dapat mengalir keluar
secara spontan setelah 1-2 minggu dan
diikuti oleh proses resorbsi (Triwibowo,
2007).
Febris merupakan gejala awal dan suhu
dapat mencapai lebih dari 41oC, disertai
takikardia, gejala-gejala neurologis seperti
konvulsi
sampai
koma,
gejala
gastrointestinal
berupa
vomitus,
konstipasi ataupun diare (Triwibowo,
2007).
Bakteri Yersinia pestis mempunyai
kemampuan membentuk endotoksin. Hal
ini dapat menimbulkan keadaan toksemia
yang bila berat akan mengakibatkan
koagulasi intravaskuler (KID) dengan
ditemukan gejala-gejala perdarahan di
saluran napas, saluran makan, saluran
kencing serta rongga-rongga badan.
Walaupun tipe bubonik pada umumnya
menunjukkan gejala-gejala berat tetapi
ada juga kasus-kasus yang ringan disebut
pestis minor. Komplikasi yang dapat
menjadi
sebab
kematian
adalah
septikemia dengan gejala-gejala berat,
pneumonia sekunder dengan sputum
berdarah dan yang jarang diketemukan
antara lain adalah kegagalan faal jantung
(Triwibowo, 2007).
Pada tipe septikemik tidak terdapat
pembesaran kelenjar limfe dan gejala
yang timbul akibat septikemia biasanya
terjadi dalam waktu yang singkat berupa
pucat, lemah, delirium atau stupor sampai
koma. Penderita dapat meninggal dunia
pada hari pertama sampai ketiga stelah
timbulnya gejala febris. Kenaikan suhu
badan hanya terjadi secara ringan
(Triwibowo, 2007).
Tipe pneumonik umumnya diawali
dengan gejala-gejala kelemahan badan,
sakit kepala, vomitus, febris, dan frustasi
(Sic !). Batuk, sesak napas, disertai
sputum yang produktif dan cair, berbeda
dengan
pneumonia
lobaris
yang
mengeluarkan sputum kental dengan
warna seperti karat. Gangguan kesadaran
dapat timbul sejak awal dan penderita
dapat meninggal dunia pada hari ke-4 dan
ke-5 (Triwibowo, 2007).
Tipe meningeal merupakan komplikasi
tipe bubonik yang terjadi pada hari ke-7
sampai ke-9. Gejala-gejala seperti
meningitis berupa keluhan sakit kepala,
neck stiffness, dan tanda Kernig positif.
Dapat berlanjut dengan konvulsi dan
koma. Dalam cairan lumbal dapat
ditemukan Yersinia pestis (Triwibowo,
2007).
Pada tipe kutaneal terdapat papula,
pustula, karbunkel, ataupun purpura yang
dapat meluas menjadi bersifat nekrotik.
Keadaan ini dapat berlanjut menjadi
gangren terutama di daerah tungkai dan
menimbulkan warna kehitam-hitaman
(black death) (Triwibowo, 2007).
Bioterorisme Perlu Diajarkan pada
Mahasiswa Kedokteran
Bioterorisme sangat perlu diajarkan
kepada
mahasiswa
kedokteran.
Mahasiswa kedokteran harus memahami
berbagai
mikroba
yang dapat
disalahgunakan untuk bioterorisme dan
dapat mengenali berbagai tanda awal
serangan mikroba. Materi kuliah dan
50
praktikum mikrobiologi yang selama ini
ada harus selalu ditinjau ulang setiap
kurun waktu tertentu. Ada materi yang
harus ditambahkan dan ada pula materi
yang
harus
dikurangi
ataupun
dihilangkan. Contoh materi yang harus
diperkenalkan adalah bioterorisme.
Hadi Y. Antraks. Dalam : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, penyunting. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid ke-3. Edisi ke-4.
Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. h.18311833.
Penutup
Kajian tentang bioterorisme sangat
dibutuhkan supaya negeri kita dapat lebih
mampu menangkal dan lebih berani
menghadapi ancaman bioterorisme. Selain
itu, negeri kita − yang berkali-kali
menjadi korban terorisme − harus
mempunyai
pakar
di
bidang
kontrabioterorisme. Pakar di bidang
tersebut
dapat
dihasilkan
melalui
kerjasama yang bagus.antara TNI, Polri,
LIPI, dan bagian mikrobiologi berbagai
universitas.
Lederberg J. Biological Warfare and
Bioterrorism. Dalam : Mandell GL,
Bennett JE, Dolin R, penynting.
Mandell, Douglas,
and Bennett’s
Principles
and Practice of
Infectious
Diseases. Volume 2.
Edisi ke-5. Philadelphia : Churchill
Livingstone ; 2000. h. 3235 – 3238.
DAFTAR PUSTAKA
Lew DP. Bacillus anthracis (Anthrax).
Dalam : Mandell GL, Bennett JE,
Dolin R, penyunting. Mandell,
Douglas, and Bennett’s
Principles
and
Practice of Infectious
Diseases. Volume
2. Edisi ke-5.
Philadelphia : Churchill Livingstone ;
2000. h. 2215 – 2220.
Bauman RW, Machunis-Masuoka E,
Tizard. Microbiology With Diseases
by Taxonomy. Edisi ke-2. San
Francisco :
Pearson Benjamin
Cummings, 2007. h. 771 – 774.
Nester EW, Anderson DG, Roberts Jr.
CE, Nester MT. Microbiology A
Human Perspective. Edisi ke-5.
Boston :
McGrawHill Higher
Education, 2007. h. 490 – 491.
Cinti SK, Hanna PC. Biological Agents of
Warfare and Terrorism. Dalam :
Engleberg NC, DiRita V, Dermody
TS,
penyunting.
Schaechter’s
Mechanisms of Microbial Disease.
Edisi ke-4. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins, 2007. h. 541 –
552.
Tortora GJ, Funke BR, Case CL.
Microbiology An Introduction. Edisi
ke-9. San Francisco : Pearson
Benjamin Cummings, 2007. h. 680 –
681.
Goering RV, Dockrell HM, Wakelin D,
Zuckerman M, Chiodini PL, Roitt IM,
Mims
C.
Mims’
Medical
Microbiology. Edisi ke-4. Philadelphia
: Mosby Elsevier, 2008. h. 4, 382, 412
– 413, 541.
Triwibowo. Penyakit Sampar. Dalam :
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, penyunting.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
ke-3. Edisi ke-4. Jakarta : Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia. 2007. h.1800-1802.
51
PENGARUH PEMBERIAN ROYAL JELLY PERORAL TERHADAP
JUMLAH SEL-SEL SPERMATOSIT PRIMER, DAN SEL-SEL SPERMATID
PADA TESTIS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus strain Wistar) JANTAN
Ayly Soekanto
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRAK
Royal jelly dapat dianggap meningkatkan vitalitas dan kesuburan pria. Penelitian terhadap hewan
telah membuktikan bahwa royal jelly makan di ayam, burung puyuh dan kelinci dapat meningkatkan
kesuburan. Nurmiati studi (2002) membuktikan bahwa royal jelly dapat meningkatkan kesuburan
tikus betina. Hardiyono studi (2006) juga membuktikan bahwa kerajaan jelly dapat meningkatkan
ketebalan epitel tubulus seminiferus pada tikus putih jantan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
membuktikan pengaruh makan jelly kerajaan untuk spermatogenesis dengan menghitung jumlah sel
spermatocide primer dan sel spermatid pada tikus putih jantan.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium menggunakan Uji Posting Grup
Desain Kontrol Hanya data-data dan dianalisis secara statistik menggunakan Anova dengan tingkat
signifikansi kurang dari 0,05. Sampel penelitian adalah 32 orang dewasa tikus putih jantan yang
dibagi menjadi 4 kelompok secara acak, dan kelompok masing-masing menerima pengobatan selama
52 hari. K1: kelompok kontrol mendapatkan makan aquadest 3 lisan ml / hari, P1: kelompok
perlakuan dengan makan jelly kerajaan lisan 15 mg / kgBB / hari, P2: kelompok perlakuan dengan
makan jelly kerajaan lisan 30 mg / kgBB / hari dan P3: kelompok perlakuan dengan royal jelly makan
lisan 45 mg / kgBB / hari. Semua data-data dianalisis menggunakan Anova untuk menunjukkan
perbedaan yang signifikan antara semua perlakuan dan kelompok kontrol. Untuk mengidentifikasi
kelompok memiliki perbedaan yang signifikan dalam setiap variabel, analisis dilanjutkan dengan uji
LSD.
Sebagai kesimpulan, royal jelly makan oral dapat meningkatkan jumlah sel spermatocide primer dan
sel spermatid pada tikus putih jantan.
Kata kunci: royal jelly, sel spermatocide, sel spermatid.
GIVING EFFECT TO THE NUMBER OF ROYAL JELLY PERORAL
SPERMATOCYTES PRIMARY CELLS AND SPERMATIDS CELLS IN THE
WHITE RATS’S TESTIS (Rattus Norvegicus Strain Wistar) MALE
Ayly Soekanto
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT
Royal jelly was considered can improve men’s vitality and fertility. Animal studies have proved that
royal jelly feeding at chickens, quails and rabbits can improve the fertility. Nurmiati study ( 2002)
proved that royal jelly can improve the fertility of female rats . Hardiyono study (2006) also proved
that the royal jelly can improve the thickness of seminiferous tubules epithelial in male white rats. The
purpose of this study is to prove the influence of royal jelly feeding to spermatogenesis with counting
the amount of primary spermatocide cells and spermatid cells at the male white rats
This research was a laboratory experimental study using the Post Test Only Control Groups Design
and the datas were analyzed statistically using Anova with significance level of less than 0,05. The
sampel research were 32 adult male white rats that divided into 4 groups in random, and each group
received the treatment for 52 days. K1 : control group getting aquadest oral feeding 3 ml / day, P1 :
treatment group with royal jelly oral feeding 15 mg/kgBW/day, P2 : treatment group with royal jelly
oral feeding 30 mg/kgBW/day and P3 : treatment group with royal jelly oral feeding 45
52
mg/kgBW/day. All datas were analyzed using Anova to indicate significant differences between all
treatment and control groups. To identify which group had significant difference in each variable, the
analysis was continued with LSD test.
In conclusion, royal jelly oral feeding can improve the amount of primary spermatocide cells and
spermatid cells in male white rats.
Keywords : royal jelly, spermatocide cells, spermatid cells.
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Royal jelly adalah salah satu produk
suplemen yang saat ini sangat banyak
dipakai untuk minuman suplemen energi
maupun
produk-produk kecantikan.
Suplemen-suplemen penunjang vitalitas
pria juga banyak yang mengandung royal
jelly.
Royal jelly adalah cairan putih seperti
susu
yang
dihasilkan
kelenjar
hypopharyngeal lebah madu pekerja untuk
makanan larva lebah sampai berumur tiga
hari dan kemudian secara bertahap diganti
dengan Bee Pollen yang dicampur madu.
Ratu lebah sejak masa larva sampai
menjadi lebah dewasa mendapatkan royal
jelly untuk makanannya sepanjang
hidupnya. Royal jelly yang dikonsumsi
ratu lebah sepanjang hidupnya terbukti
mampu
menyebabkan
ratu
lebah
mencapai kedewasaan seksual lebih cepat
dan kemampuan reproduksi yang luar
biasa,
yaitu
kemampuan
bertelur
sepanjang hidupnya dengan jumlah telur
mencapai 2000 butir perharinya. Selain
itu ratu lebah juga mempunyai usia yang
jauh lebih lama daripada lebah betina
lainnya. Kenyataan ini juga ditunjang
dengan kenyataan bahwa lalat buah dan
ayam
yang secara eksperimental
diberikan royal jelly, ternyata juga
menjadi lebih besar, hidup lebih lama dan
lebih produktif. Dari percobaan tersebut,
didapatkan bahwa pemberian royal jelly
pada ayam yang telah tua dan telah
menurun produksi telurnya, dapat
mendorong
meningkatnya
kembali
produksi telurnya (Sihombing, 1997).
Demikian juga pemberian royal jelly pada
ayam dapat menghasilkan telur dua kali
lipat
lebih
banyak
dibandingkan
kelompok ayam yang tidak diberi royal
jelly (Walji,2001).
Fungsi reproduksi merupakan salah satu
fungsi yang paling sering menimbulkan
problem dalam kehidupan rumah tangga.
Infertilitas sebagai penyebab terjadinya
ketidakmampuan
untuk
mempunyai
keturunan merupakan salah satu penyebab
terjadinya keretakan dalam rumah tangga.
Stres, gizi tidak seimbang, polusi dan
radiasi sebagai dampak kehidupan modern
dapat menyebabkan terjadinya infertilitas.
Karena itu perlu diteliti faktor-faktor yang
dapat mencegah terjadinya infertilitas
tersebut. Salah satunya adalah dengan
pemberian suplemen vitamin untuk
meningkatkan
fungsi
organ-organ
reproduksi tersebut.
Penulis meneliti proses spermatogenesis
sebagai
salah
satu faktor
yang
mempengaruhi fungsi reproduksi pada
pria. Untuk membuktikan adanya
peningkatan proses spermatogenesis
setelah pemberian royal jelly dalam dosis
yang berbeda, maka dilakukan penelitian
terhadap jumlah sel-sel spermatosit
primer dan sel-sel spermatid pada testis
tikus (Rattus norvegicus strain Wistar)
jantan.
Studi penelitian yang dilakukan oleh
Nurmiati (2002) membuktikan bahwa
pemberian royal jelly dapat meningkatkan
53
fertilitas mencit betina yang ditandai
dengan meningkatnya jumlah folikel
sekunder, folikel tersier, folikel de Graaf
serta peningkatan jumlah fetus. Menurut
Weitgosser royal jelly telah digunakan
untuk pengobatan impotensi dan dapat
meningkatkan
kemampuan
libido
(Nurmiati,2002). Pemberian royal jelly 20
mg/kgBB/hr dapat meningkatkan dan
menormalkan aktifitas seksual terhadap
pria dan wanita. Royal jelly dapat
meningkatkan hormon androgen pada pria
dan estrogen pada wanita melalui aktifitas
gonadotropin maupun panthotenic acid
yang berperan dalam produksi dan
pelepasan hormon-hormon adrenal.
Hasil penelitian para ahli, menyatakan
bahwa royal jelly mengandung senyawasenyawa alami yang bermanfaat bagi
kesehatan manusia.
Menurut Brown, royal jelly mengandung
66,05 % substansi pelembab seperti
gelatin, 12,34 % protein, 5,46 % lemak,
2,49 % substansi tereduksi, 0,82 %
mineral dan 2,84 % senyawa yang belum
diketahui (Brown,1993). Dari hasil
analisis kimia di atas kemudian ditemukan
lagi senyawa-senyawa gizi seperti
hormon-hormon alami, berbagai vitamin
seperti vitamin B kompleks (Thiamin,
Piridoksin, Riboflafin, Niasin, Asam
Pantotenat, Biotin, Inositol dan Asam
Folat), vitamin A, vitamin C dan vitamin
E (sebagai antioksidan), 20 macam Asam
Amino (14 di antaranya adalah asam
amino essensial), Asam Nukleat, Protein
dalam bentuk Gelatin-Kolagen, Asam
lemak esensial serta berbagai jenis
mineral penting bagi tubuh dan Acetyl
Cholin
yang
berperan
untuk
menghantarkan rangsangan saraf atau
transmisi impuls saraf dan mengatur
sekresi kelenjar-kelenjar tubuh, Gamma
globulin serta Asam Decanoat yang
merupakan senyawa penting untuk
meningkatkan sistem imunitas dan
menghalau serangan infeksi kuman dan
jamur. Selain itu royal jelly juga
mengandung enzim pencernaan dan
hormon gonadotropin yang sangat
membantu fungsi reproduksi baik pada
hewan betina maupun hewan jantan
(Walji,2001).
Substansi Nitrogen yaitu
protein berkisar 73,9% dan asam amino
bebas berkisar 2,3% dan peptide 0,165
(Takenaka, 1987 cit Krell, 1996). Semua
asam amino sebanyak 29 macam dan
derivat – derivatnya dapat diidentifikasi,
di antaranya adalah aspartic acid dan
glutamic acid (Howe et al., 1985 cit Krell,
1996). Asam amino bebas yang
terkandung di dalamnya antara lain adalah
proline, arginine, cysteine dan lysine
(Takenaka, 1984 dan 1987 cit Krell,
1996). Royal jelly juga mengandung
intrinsik faktor, suatu co protein yang
penting untuk absorbsi vitamin B12 yang
dibutuhkan untuk pembentukan sel darah
merah dan sistesa DNA dan RNA.
Penelitian yang dilakukan Schmidt dan
Burchmann (1992) menunjukkan angka
yang hampir sama. Dari tabel tersebut
dilihat bahwa kandungan Pantothenic acid
dalam royal jelly sangat tinggi, bahkan
mencapai enam kali kandungan yang
terdapat pada ragi dan liver. Panthothenic
acid adalah suatu antioxidant yang dapat
mencegah kerusakan sel akibat adanya
radikal bebas. Adanya Panthothenic acid
ini juga diperlukan untuk konversi
Choline menjadi Acethlcholine suatu
nerurotransmitter yang berperanan dalam
fungsi memori, perkembangan mental dan
reproduksi.
Pantotheic
acid
juga
merupakan katalisator yang mengatur
produksi dan perlepasan hormon-hormon
adrenal. Dapat dikatakan bahwa royal
jelly adalah sumber vitamin B komplek
yang sangat lengkap, dimana vitamin B
komplek sangat penting untuk kesehatan
syaraf.
54
Thiamine
Riboflavin
Pantothenic
Acid
Pyridoxine
Niacin
Folic
acid
Inositol
Biotin
Minimum
1.44
5
159
1.0
48
0.130
80
1.1
Maximum
6.70
25
265
48.0
88
0.530
350
19.8
Tabel 1. Kandungan vitamin dalam royal jelly ( mg/gram berat kering) (Vecchi et al.,
1988 cit Krell, 1996)
Beberapa jenis hormon juga ditemukan
dalam royal jelly. Dengan metode
radioimunologik yang sensitif, Vittek dan
Slomiany pada tahun 1984 dapat
mengidentifikasi
adanya
testosteron
dalam kadar yang sangat rendah. Selain
itu juga ditemukan adanya Growth
Hormon (Auxin) dan Plant Hormones
(Phytosterol) yang berperanan penting
dalam spermatogenesis (Krell, 1996).
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan adalah
penelitian
eksperimental
laboratorik
dengan
menggunakan
rancangan
penelitian Posttest Only Control Group
Design (Zainuddin, 2000). Rancangan
Penelitian ini disusun sebagai langkah
untuk
menghitung
jumlah
sel-sel
spermatosit primer dan sel-sel spermatid
pada
kelompok
perlakuan
dan
dibandingkan dengan kelompok kontrol
setelah mendapatkan perlakuan selama 52
hari.
Banyaknya sampel penelitian adalah 32
ekor tikus putih jantan yang berumur 7 –
8 minggu (sexually mature) dibagi
menjadi 4 kelompok.
Teknik pengambilan sampel dilakukan
dengan cara random. Karena populasi
pada penelitian ini dianggap homogen
maka cara random yang digunakan adalah
Simple Random Sampling yang dilakukan
dengan random numbers (Zainuddin,
2000).
Secara sistematis, rancangan penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Populasi  Randomisasi
K1
O1
P1
O2
P2
O3
P3
O4
K1 : Kelompok kontrol dengan pemberian aquadest 3 ml / hr peroral
P1 : Kelompok perlakuan dengan pemberian Royal Jelly 15 mg/kgBB/hr peroral
P2 : Kelompok perlakuan dengan pemberian Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr peroral
P3 : Kelompok perlakuan dengan pemberian Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr peroral
O1 : Data kelompok kontrol setelah 52 hari perlakuan
O2 : Data kelompok P1 setelah 52 hari perlakuan
O3 : Data kelompok P2 setelah 52 hari perlakuan
O4 : Data kelompok P3 setelah 52 hari perlakuan
55
DATA DAN
PENELITIAN
ANALISIS
DATA
Jumlah sel-sel Spermatosit Primer
Adapun rata-rata dan simpangan baku
data hasil penghitungan jumlah sel-sel
spermatosit primer setelah 52 hari
perlakuan diperlihatkan pada tabel di
bawah ini
Data dari hasil penelitian ini berupa data
jumlah sel-sel spermatosit primer dan data
jumlah sel-sel spermatid testis tikus putih
(Rattus norvegicus strain Wistar) jantan.
Kelompok
Jumlah
Pengamatan
Rata-rata (mean) dan
Simpangan Baku (SD)
Jumlah
spermatosit
primer
Kelompok I : Royal Jelly 15 mg/kgBB/hr peroral
8
60,45 + 3,49
Kelompok II : Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr peroral
8
71,47 + 3,67
Kelompok III : Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr 8
peroral
67,26 + 4,14
Kelompok IV : Kontrol
45,35 + 2,56
8
Tabel 2. Rata-rata dan simpang baku jumlah sel-sel spermatosit primer tikus putih (Rattus
norvegicus strain Wistar) setelah 52 hari perlakuan.
Dari data tersebut dilakukan uji
normalitas data dan didapatkan distribusi
data adalah normal. Selanjutnya dilakukan
test homogeneity of variance dan
didapatkan significant level nya > 0,05
yaitu sebesar 0,160 sehingga dapat
dilakukan analisis varian (Anova) satu
arah. Dari hasil analisis varian (Anova)
didapatkan significant level nya < 0,05
yaitu sebesar 0,000 maka perbedaan yang
ada antar kelompok perlakuan bermakna.
Rangkuman hasil uji normalitas data, test
homogeneity of variance dan analisis
varian (Anova) berat testis diperlihatkan
pada tabel 3
Hasil Uji normalitas data
NPar Tests
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N
Normal Parameters a,b
Most Extreme
Differences
Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative
Kolmogorov-Smirnov Z
As ymp. Sig. (2-tailed)
Jumlah
Spermatos it
Primer 15 mg
Royal Jelly
/kgBB/hr
40
60.45
3.49
.101
.101
-.099
Jumlah
Spermatos it
Primer 30 mg
Royal Jelly
/kgBB/hr
40
71.4750
3.6654
.106
.106
-.086
Jumlah
Spermatos it
Primer 45 mg
Royal Jelly
/kgBB/hr
40
67.2500
4.1371
.176
.128
-.176
Jumlah
Spermatos it
Primer Kontrol
40
45.3500
2.5575
.151
.151
-.149
.641
.672
1.113
.956
.806
.757
.168
.320
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
56
Hasil analisis varian
Oneway
Descriptives
Jumlah Spermatosit Primer
15 mg Royal Jelly /kg BB / hr
30 mg Royal Jelly /kg BB / hr
45 mg Royal Jelly /kg BB / hr
Kontrol (Aqua)
Total
N
40
40
40
40
160
Mean
60.45
71.47
67.25
45.35
61.13
Std.
Deviation
3.49
3.67
4.14
2.56
10.54
Std.
Error
.55
.58
.65
.40
.83
95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Upper
Bound
Bound
59.34
61.56
70.30
72.65
65.93
68.57
44.53
46.17
59.48
62.78
Minimum
52
64
56
40
40
Maximum
67
79
77
52
79
Test of Homogeneity of Variances
Jumlah Spermatosit Primer
Levene
Statistic
1.744
df1
3
df2
156
Sig.
.160
ANOVA
Jumlah Spermatosit Primer
Sum of
Squares
Between Groups 15757. 769
W ithin Groups
1920.475
Total
17678. 244
df
3
156
159
Mean Square
5252.590
12.311
F
426.667
Sig.
.000
Tabel 3. Rangkuman hasil uji normalitas data, test homogeneity of variance dan
analisis varian (Anova) jumlah sel-sel spermatosit primer
Setelah diketahui bahwa perbedaan yang
ada antar kelompok perlakuan bermakna,
maka dilanjutkan dengan uji Least
Significant Difference (LSD) atau Uji
Beda Nyata Terkecil (BNT) antar
kelompok perlakuan. Berikut ini adalah
Rangkuman hasil LSD sel-sel sprematosit
primer (Tabel 4)
57
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Jumlah Spermatosit Primer
LSD
(I) Kelompok
15 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
30 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
45 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
Kontrol (Aqua)
(J) Kelompok
30 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
45 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
Kontrol (Aqua)
15 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
45 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
Kontrol (Aqua)
15 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
30 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
Kontrol (Aqua)
15 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
30 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
45 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
Mean
Difference
(I-J)
Std. Error
Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
-11.02*
.78
.000
-12.57
-9.48
-6.80*
.78
.000
-8.35
-5.25
15.10*
.78
.000
13.55
16.65
11.02*
.78
.000
9.48
12.57
4.22*
.78
.000
2.68
5.77
26.12*
.78
.000
24.58
27.67
6.80*
.78
.000
5.25
8.35
-4.22*
.78
.000
-5.77
-2.68
21.90*
.78
.000
20.35
23.45
-15.10*
.78
.000
-16.65
-13.55
-26.12*
.78
.000
-27.67
-24.58
-21.90*
.78
.000
-23.45
-20.35
*. The mean difference is s ignificant at the .05 level.
Tabel 4. Rangkuman hasil Least Significant Difference (LSD)
jumlah sel-sel spermatosit primer
Jumlah sel-sel Spermatid
Adapun rata-rata dan simpangan baku) data hasil penghitungan jumlah sel-sel spermatid
diperlihatkan pada tabel di bawah ini
58
Kelompok
Jumlah
Rata-rata (mean) dan
Pengamatan Simpangan Baku (SD)
Jumlah Spermatid
Kelompok I : Royal Jelly 15 mg/kgBB/hr 8
peroral
240,73 + 10,08
Kelompok II : Royal Jelly 30 mg/kgBB/hr 8
peroral
285,30 + 10,84
Kelompok III : Royal Jelly 45 mg/kgBB/hr 8
peroral
268,33 + 9,44
Kelompok IV: Kontrol
180,83 + 6,69
8
Tabel 5.
Rata-rata dan simpangan baku jumlah sel-sel Spermatid tikus putih (Rattus
norvegicus strain Wistar) setelah 52 hari perlakuan.
Dari data jumlah sel-sel Spermatid
tersebut dilakukan uji normalitas data dan
didapatkan distribusi data adalah normal.
Selanjutnya dilakukan test homogeneity of
variance dan didapatkan significant level
nya > 0,05 yaitu sebesar 0,081 sehingga
dapat dilakukan analisis varian (Anova)
satu arah. Dari hasil analisis varian
(Anova) didapatkan significant level nya
< 0,05 yaitu sebesar 0,000 maka
perbedaan yang ada antar kelompok
perlakuan bermakna.
Rangkuman hasil uji normalitas data, test
homogeneity of variance dan analisis
varian (Anova) jumlah sel-sel spermatid
diperlihatkan pada tabel 6
NPar Tests
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N
Normal Parameters a,b
Most Extreme
Differences
Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative
Kolmogorov-Smirnov Z
As ymp. Sig. (2-tailed)
Jumlah
Spermatid 15
mg Royal Jelly
/kgBB/hr
40
240.73
10.08
.143
.135
-.143
Jumlah
Spermatid 30
mg Royal Jelly
/kgBB/hr
40
285.3000
10.8373
.076
.076
-.054
Jumlah
Spermatid 45
mg Royal Jelly
/kgBB/hr
40
268.3250
9.4418
.136
.104
-.136
Jumlah
Spermatid
Kontrol
40
180.8250
6.6906
.141
.141
-.108
.907
.484
.862
.893
.383
.974
.448
.402
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
59
Oneway
De scri ptives
Jumlah Spermatid
15 mg Roy al Jelly /kg BB / hr
30 mg Roy al Jelly /kg BB / hr
45 mg Roy al Jelly /kg BB / hr
Kontrol (Aqua)
Total
N
40
40
40
40
160
Mean
240.73
285.30
268.33
180.83
243.79
St d.
Deviation
10.08
10.84
9.44
6.69
40.88
St d.
Error
1.59
1.71
1.49
1.06
3.23
95% Confidenc e
Int erval for Mean
Lower
Upper
Bound
Bound
237.50
243.95
281.83
288.77
265.31
271.34
178.69
182.96
237.41
250.18
Minimum
209
265
252
162
162
Maximum
260
308
288
194
308
Test of Homogeneity of Variances
Jumlah Spermatid
Levene
Statistic
2.286
df1
3
df2
156
Sig.
.081
ANOVA
Jumlah Spermatid
Sum of
Squares
Between Groups 251961.3
W ithin Groups
13762. 925
Total
265724.2
df
3
156
159
Mean Square
83987. 090
88.224
F
951.977
Sig.
.000
Tabel 6. Rangkuman hasil uji normalitas data, test homogeneity of variance dan
analisis varian (Anova) jumlah sel-sel spermatid tikus
Setelah diketahui perbedaan yang ada antar kelompok perlakuan bermakna , maka
dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) atau Uji Beda Nyata Terkecil
(BNT) antar kelompok perlakuan.
Rangkuman hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) jumlah sel-sel spermatid setelah 52 hari
perlakuan diperlihatkan pada tabel 7
60
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Dependent Vari able: Jum lah Spermatid
LSD
(I) Kelompok
15 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
30 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
45 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
Kontrol (Aqua)
(J) Kelompok
30 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
45 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
Kontrol (Aqua)
15 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
45 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
Kontrol (Aqua)
15 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
30 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
Kontrol (Aqua)
15 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
30 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
45 mg Royal
Jelly /kg BB / hr
Mean
Difference
(I-J)
Std. Error
Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound
Upper Bound
-44.58*
2.10
.000
-48.72
-40.43
-27.60*
2.10
.000
-31.75
-23.45
59.90*
2.10
.000
55.75
64.05
44.58*
2.10
.000
40.43
48.72
16.98*
2.10
.000
12.83
21.12
104.48*
2.10
.000
100.33
108.62
27.60*
2.10
.000
23.45
31.75
-16.98*
2.10
.000
-21.12
-12.83
87.50*
2.10
.000
83.35
91.65
-59.90*
2.10
.000
-64.05
-55.75
-104.48*
2.10
.000
-108.62
-100.33
-87.50*
2.10
.000
-91.65
-83.35
*. The mean difference is s ignificant at the .05 level.
Tabel 7. Rangkuman hasil Least Significant Difference (LSD) jumlah sel-sel spermatid
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pemberian royal jelly peroral dapat
meningkatkan jumlah sel-sel Spermatosit
Primer dan sel-sel Spermatid dan
pemberian dosis yang lebih tinggi akan
memberikan
tinggi pula.
peningkatan
yang
lebih
Dari penelitian yang terdahulu
didapatkan kandungan Pantothenic acid
dalam royal jelly sangat tinggi, bahkan
mencapai enam kali kandungan yang
terdapat pada ragi dan liver. Panthothenic
61
acid adalah suatu antioxidant yang dapat
mencegah kerusakan sel akibat adanya
radikal bebas. Adanya Panthothenic acid
ini juga diperlukan untuk konversi
Choline menjadi Acethlcholine suatu
nerurotransmitter yang berperanan dalam
fungsi memori, perkembangan mental dan
reproduksi.
Pantotheic
acid
juga
merupakan katalisator yang mengatur
produksi dan perlepasan hormon-hormon
adrenal. Beberapa jenis hormon juga
ditemukan dalam royal jelly. Dengan
metode radioimunologik yang sensitif,
Vittek dan Slomiany pada tahun 1984
dapat mengidentifikasi adanya testosteron
dalam kadar yang sangat rendah. Selain
itu juga ditemukan adanya Growth
Hormon (Auxin) dan Plant Hormones
(Phytosterol) yang berperanan penting
dalam spermatogenesis (Krell, 1996).
Pada
penelitian
ini
didapatkan
peningkatan jumlah sel-sel Spermatosit
Primer dan sel-sel Spermatid pada
kelompok yang diberi royal jelly mungkin
disebabkan karena kandungan dari royal
jelly
yang
dapat
memperbaiki
spermatogenesis. Pemberian obat atau zat
tertentu yang dapat mempengaruhi
spermatogenesis akan mengakibatkan
terjadinya
perubahan
pada
saat
pembelahan atau perkembangan dari sel
epitel
germinal
sampai
menjadi
spermatozoa.
Perubahan
proses
spermatogenesis secara mikroskopik
dapat dilihat dari ukuran dan jumlah selsel penyusun tubulus seminiferus.
Perubahan ini akan mempengaruhi jumlah
sel-sel spermatogenik. Dalam hal ini,
jumlah sel-sel spermatosit primer dan
jumlah sel-sel spermatid juga meningkat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik
kesimpulan :
1. Pemberian royal jelly peroral dapat
meningkatkan jumlah sel-sel Spermatosit
primer dan jumlah sel-sel Spermatid pada
tikus putih (Rattus norvegicus strain
Wistar) jantan.
2. Pada dosis pemberian yang meningkat
yaitu dosis 15mg/kgBB/hr dibandingkan
dengan 30 mg/kgBB/hr dan dosis 15
mg/kgBB/hr dibandingkan dengan 45
mg/kgBB/hr terjadi kenaikan jumlah selsel Spermatosit primer dan jumlah sel-sel
Spermatid yang lebih tinggi juga, tetapi
peningkatan yang paling tinggi terjadi
pada dosis 30 mg/kg BB/hr.
Saran :
Untuk memberikan informasi tentang
pengaruh
royal
jelly
terhadap
spermatogenesis yang lebih akurat , maka
penelitian ini perlu dilanjutkan dengan
penelitian lebih lanjut untuk :
1. Menghitung jumlah sel-sel Sertoli
dalam tubulus seminiferus dan sel-sel
Leydig pada jaringan interstitial testis
tikus putih (Rattus Norvegicus strain
Wistar) jantan.
2. Melihat
bentuk
dan
motilitas
spermatozoa.
DAFTAR PUSTAKA
Applegate EJ, 2006. The Anatomy and
Physiology Learning System :
Textbook 1st Ed. Philadelphia : WB
Saunders Company, pp 371-377.
Adimoeljo A, 2000. Phytochemical and
the Breakthrugh of Tradisional Herbs
in the management of Sexsual
Dysfuncion. Int J Adrol, 23 Suppl 2 :
82 -84.
Brown, R , 1993. Bee Hive Product Bible.
Garden City Park, New York, Avery
Publishing Group Inc, pp 103-122.
Catt KJ and Dufau ML, 1991.
Gonadotropic
Hormones
:
Biosynthesis, Secretion, Reseptors and
Actions. In (Yen SSC, Jaffe RB, eds).
Reperoductive Endocrinology 3rd Ed.
62
USA : WB Saunders Company, pp
112-116.
Ganong, WF, 2005 Review of Medical
Physiology. 22 th Ed , United States of
America, McGraw-Hill Companies,
Inc, pp 424 – 433.
Gridley, MF, 1960. Manual of Histologic
and Special Staining Technics. 2 nd
ed. USA, Mc Graw-Hill Companies,
Inc, pp 132-133.
Halim, A. N, dan Sukarno, 2001. Teknik
Mencangkok Royal Jelly, Penerbit
Kanisius. Yogjakarta.
Hardiyono, 2006. Pengaruh Pemberian
Royal Jelly Peroral Terhadap Berat
Testis, Proporsi Berat Testis Terhadap
Berat Badan Tikus, Diameter Tubulus
Seminiferus, Tebal Epitel Tubulus
Seminiferus Dan Proporsi Tebal Epitel
Terhadap
Diameter
Tubulus
Seminiferus Testis Tikus Putih (Rattus
norvergicus
strain
Wistar)
Jantan.Tesis Fakultas Pasca Sarjana
Unair Surabaya.
Johnson, J, 2002. Nutritional and
Enviromental
Approaches
to
Infertility. Positive Health Publication
Ltd.
Krell, R, 1996. Vallue-added products
From beekeeping, FAO Agricultural
Services Bulletin No. 124, Food And
Agriculture Organization of the United
Nations Rome. Chapter 6 ; 1- 32.
Kusumawati, D, 2004. Bahan Ajar
Tentang Hewan Coba, Universitas
Airlangga Surabaya.
Mardihusodo, SJ, 2003. Produk-produk
Lebah Madu : Khasiat dan Manfaatnya
Untuk Kesehatan. Seminar Terapi
Lebah
Fakultas
Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya : 1-6.
(Mus musculus) Betina. Tesis Fakultas
Pasca Sarjana Universitas Airlangga
Surabaya.
Sadler
TW.
2006.Gametogenesis.
Langmans Medical Embryology 10 th
Ed.USA: Lippincott Williams &
Wilkins, pp 11-28
Sarwono, B, 2001. Kiat Mengatasi
Permasalahan Praktis Lebah Madu.
Penerbit Agro Media Pustaka.
Tangerang.
Sihombing, D. T. H, 1997. Ilmu Ternak
Lebah Madu, Yogjakarta. Gajah Mada
University Press.
Sloane E, 2002. Sistim Endokrin.
Anatomi
dan
Fisiologi
Untuk
Pemula.Edisi 1. Jakarta: EGC, hal 200
– 215.
Smith JB dan Mangkoewidjojo, 1988.
Pemeliharaan,
Pembiakan
dan
Penggunaan Hewan Percobaan di
Daerah Tropis. Jakarta : UI Press, hal
37 –57.
Vander AJ, Sherman JH. Luciano DS,
1994. Reproduction in Human
Physiology, The Mechanism of Body
Function 6th Ed. New York : McGrawHill Inc, pp 648-661.
Walji, H, 2001, Terapi Lebah, Jakarta,
Prestasi Pustaka, hlm 55-61.
Warsino, 1996. Budidaya Lebah Madu,
Penerbit Kanisius. Yogjakarta.
Wuryantari dan Moeloek N, 2000.
Perkembangan Mutakhir Fisiologi
Fungsi Testis : Dari Organ Sampai
Gen. MKI 50 (8) : 377-384.
Zainuddin A, 2000. Metode Penelitian.
Program Pasca
Sarjana
Unair,
Surabaya.
Nurmiati, S, 2002. Pengaruh Pemberian
Royal Jelly terhadap Fertilitas Mencit
63
PERBANDINGAN FOTO PANORAMIK DAN BITE WING PADA
DIAGNOSIS RESOBSI TULANG INTERALVEOLARIS REGIO
POSTERIOR
Enny Willianti
Dosen bagian Ilmu penyakit gigi dan mulut
Fakultas kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Email : [email protected]
ABSTRAK
Pengamatan alveolaris resorpsi tulang dapat dilakukan secara klinis, tetapi akan lebih tepat dan
akurat jika dilakukan radiografi. Para rontgen foto yang dapat digunakan untuk mengamati resorpsi
tulang alveolaris antara mereka: foto panorama dan foto sayap menggigit.
Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan foto panorama dan sayap foto gigitan untuk
mengetahui resorpsi tulang interalveolaris Regio posterior.
Setiap sampel dirawat oleh sayap foto panorama dan menggigit. Hasil radiografi dianalisis oleh
dua pengamat. Pengukuran tinggi tulang marginal proksimal diukur oleh penguasa khusus untuk foto
menggigit sayap. Dalam rangka mengukur tinggi tulang marginal proksimal dari foto panorama serta
digunakan penguasa yang sama. Penyerapan tulang marjinal dinyatakan oleh nilai (skor).
Statistik uji Wilcoxon dua tes sampel digunakan untuk membandingkan foto panorama dan
menggigit sayap untuk mengetahui resorpsi tulang interalveolaris Regio posterior.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara foto
panorama sayap dan menggigit dalam pengukuran resorpsi tulang interalveolaris pada gigi posterior
Regio.
Keywords: foto panorama, menggigit foto sayap, alveolaris resorpsi tulang.
COMPARE THE PANORAMIC PHOTO AND THE BITE WING PHOTO ON
RESORPTION OF POSTERIOR REGIO INTERALVEOLARIS BONE
DIAGNOSIS
Enny Willianti
Lecturer Faculty of medicine University of Wijaya Kusuma Surabaya
Email: [email protected]
ABSTRACT
The observation of alveolaris bone resorption can be performed clinically, but it will be more
appropriate and accurate if performed radiographically. The roentgen photo that can be used to
observe this alveolaris bone resorption among of them : a panoramic photo and a bite wing photo.
The aim of this research is comparing the panoramic photo and the bite wing photo to know the
resorption of posterior regio interalveolaris bone.
Each samples were treated by the panoramic and bite wing photo. The radiographic result was
analysed by two observers. The measurement of height of proximal marginal bone was measured by a
special ruler for bite wing photo. In order measure the height of proximal marginal bone from the
panoramic photo as well as used the same ruler. The absorption marginal bone was stated by value
(score).
Statistic test of Wilcoxon two sample test was used in order to compare the panoramic and bite
wing photo to know the resorption of regio posterior interalveolaris bone.
The result of this research showed that no significant difference between the panoramic and bite
wing photo in the measurement of resorption of interalveolaris bone on posterior regio teeth.
Keywords: panoramic photo, bite wing photo, alveolaris bone resorption.
64
PENDAHULUAN
Latar belakang
Untuk menentukan diagnosa dan
rencana perawatan yang tepat terhadap
suatu penyakit atau kelainan gigi dan
mulut, diperlukan pemeriksanaan yang
lengkap dan teliti terhadap penderita
mulai dari anamnesa, gejala penyakit, dan
gejala
obyektif
sehingga
dapat
menentukan diagnosa yang tepat. Untuk
mendapatkan diagnosa yang tepat, banyak
sarana penunjang yang diperlukan.
Dalam bidang kedokteran gigi,
salah satu sarana penunjang adalah
pemeriksaan dengan foto rontgen.
Peranan foto rontgen sangat besar,
diantaranya dalam membantu menentukan
macam dan rencana perawatan yang akan
dilakukan (Mc. Call, 1957 ; O’Brein,
1972).
Pengamatan
resobsi
tulang
alveolaris dapat dilakukan secara klinis
yaitu jika resobsi yang terjadi cukup
banyak, namun lebih tepat dan teliti jika
dilakukan secara radiografis. Foto-foto
rontgen yang dapat dipakai untuk
mengamati resobsi tulang alveolaris ini
antara lain adalah (Akesson et.al, 1989) :
-
Foto Bite Wing.
Foto Panoramik.
Foto Eisler.
Foto Periapikal.
Penyakit periodontal yang paling
banyak adalah keradangan (Hurt, 1976).
Keradangan ini dimulai dari gingiva
(gingivitis) dan dapat melanjut ke jaringan
periodontal
yang
lebih
dalam
(periodontitis), yaitu terjadi resobsi tulang
interalveolaris.
Banyak macam cara pemeriksaan
foto rontgen di bidang kedokteran gigi,
antara lain : Intra Oral (periapikal, bite
wing, oklusal) dan Ekstra Oral
(panoramik, waters, TMJ, Postero
Anterior).
Foto rontgen merupakan salah satu
sarana penunjang di antara sekian banyak
pemeriksaan
yang
dipakai
untuk
menegakkan diagnose dan rencana
perawatan gigi. Oleh karena itu
keefektifan penelitian radiografik dalam
menyelidiki tanda-tanda dasar sangat
diperlukan.
Ketinggian tulang alveolaris secara
normal
dipelihara
oleh
adanya
keseimbangan yang konsisten antara
pembentukan (aposisi) dan resobsi tulang.
Resobsi atulang alveolaris ini dapat terjadi
secara
patologis
karena
penyakit
periodontal, penyakit sistematik tertentu
dan lain-lain, ataupun secara fisiologis
karena proses penuaan.
Karena tiap-tiap foto rontgen
mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masing,
maka
pemakaian/pemilihan foto diusahakan
dengan menentukan foto rontgen yang
mempunyai kekurangan yang paling
minimal. Dengan cara menggabungkan
dengan foto rontgen lain yang dapat
menutupi kekurangan tersebut.
Terjadinya
resolusi
tulang
alveolaris
dapat
diakibatkan
oleh
perubahan-perubahan sebagai berikut
(Glickman, 1972) :
Dengan cara foto lebih dari satu
macam proyeksi, dapat menghindari
keragu-raguan yang dapat timbul dalam
mendiagnosa kelainan yang terdapat pada
penderita, sehingga dokter gigi segera
melakukan rencana perawatan yang tepat.
- Peningkatan resobsi dengan aposisi
tilang yang normal.
- Aposisi tulang yang menurun dengan
resobsi yang normal.
- Resobsi yang meningkat disertai
dengan penurunan aposisi tulang.
Secara umum, dikatakan bahwa hasil
atau nilai diagnostic dari radiografik
panoramik
lebih
rendah
daripada
radiografik intra oral (Stenstrom et al,
1982). Tetapi dari Muhammed dan
65
Manson Hinh (1982), Galal et al (1985),
dan
Douglass
et
al
(1986),
mengungkapkan kesamaan yang tinggi
antara hasil pada radiografik panoramik
dengan intra oral.
- Bite wing holder.
Pemeriksaan radiografik yang paling
sering digunakan dalam melengkapi
pemeriksaan klinis maupun penelitian
epidemiologis pada kelainan yang ada di
daerah periodontal adalah radiografik
posterior bite wing, yang dibuktikan
sangat bermanfaat dalam penayangan
penyakit tulang periodontal oleh Hansen
et al (1984).
- Film Bite wing
Permasalahan
1.
Apakah dengan foto panoramik,
resobsi tulang interalveolaris regio
posterior dapat terlihat?
2. Apakah dengan foto bite wing, resobsi
tulang interalveolaris regio posterior dapat
terlihat?
Bahan-bahan :
- Film panoramik
- Larutan developer
- Larutan fiksasi.
Metode
20 sampel
diambil
dari
penderita laki-laki atau perempuan umur
20-50 tahun
dengan
diagnosis
periodontitis yang bergeligi posterior
lengkap dengan
kontak
proksimal
mencapai
permukaan distal
molar
pertama permanen.
Pada tiap sampel dilakukan dua
kali pemotretan, yaitu dengan foto bite
wing (kiri dan kanan) dan foto panoramik.
Pembuatan radiografik :
3. Di antara foto panoramik dan bite
wing, manakah yang lebih tepat
digunakan untuk melihat resobsi tulang
interalveolaris regio posterior?
Tujuan penelitian
Untuk
membandingkan
foto
panoramik dan bite wing dalam melihat
resobsi tulang interalveolaris regio
posterior.
BAHAN DAN METODE
Alat-alat yang digunakan :
- Kaca mulut
- Dental x-ray unit foto merk
Belmont, Dx-066 A (60 KVp 8 mA)
- Panoramik x-ray unit foto (ASAHI
AX-4)
- Penggaris khusus
- Unit pencuci film
Pembuatan yang terdiri dari dua
radiografik bite wing regio posterior
dilakukan dengan menggunakan unit sinar
x. Radiografik bite wing diambil dengan
angulasi horisontal + 10 dengan
menggunakan film E-speed (Ektaspeed,
Eastman Kodak, Rochester, USA), dan
rata-rata waktu penyinaran 0,4 detik.
Radiografik
panoramik dibuat
dengan menggunakan orthopantomograf
(panoramik x-ray unit) merk ASAHI Type
AX-4 (modifikasi).
Pengamatan :
Hasil radiografik dinilai oleh dua
pengamat. Masing-masing pengamat
melakukan pembacaan terpisah dengan
panduan yang sudah ditentukan.
Pemeriksaan radiografik :
Setelah pemotretan, kemudian
dilakukan pencucian film, dengan syarat
hasil foto sebagai berikut :
66
- Cemento Enamel Junction harus terlihat.
- Kontak proksimal mencapai permukaan
distal gigi molar pertama permanen.
- Tidak didapatkan distorasi pada hasil
foto.
Pengukuran tinggi tulang marginal
bagian
proksimal
diukur
dengan
menggunakan penggaris yang dirancang
khusus untuk bite wing foto (lihat gambar
4). Penggaris ini sedikit dimodifikasi dari
yang telah digambarkan oleh Hakansson
dkk.
(1981).
Modifikasi
berupa
penyamaan jarak skor dan penambahan
skor, yaitu dari 10 menjadi 15, dengan
maksud untuk menambah ketelitian
pengukuran.
Penggaris
tersebut
digunakan
dengan ketentuan sebagai berikut :
- Garis
vertikal
dari
penggaris
ditempatkan sejajar dengan sumbu
panjang gigi. Jika gigi berakar ganda
maka garis dari puncak cusp mesial/ distal
ke apeks mewakili sumbu panjang gigi.
- Garis
pertama
dari
penggaris
ditempatkan berhimpit dengan puncak
mahkota sisi yang diperiksa.
- Garis kedua dari penggaris ditempatkan
berhimpit dengan CEJ sisi yang diperiksa.
Resobsi tulang marginal dinyatakan
dengan nilai (skor). Untuk bisa
mendapatkan pembandingan langsung
antara kedua metode yang digunakan,
maka digunakan penggaris yang sama
untuk radiograf bite wing maupun
radiograf panoramik.
Kriteria skor :
4
: normal.
5 - 8
: kerusakan tulang alveolaris
sampai 1/3 akar gigi.
8 - 11
: kerusakan tulang alveolaris
sampai 2/3 akat gigi.
11 - 15
alveolaris.
:
kerusakan
total
tulang
Uji statistik :
Untuk membandingkan foto panoramik
dan bite wing dalam melihat resobsi
tulang interalveolaris regio posterior,
maka menggunakan uji statistik Wilcoxon
two sample test.
HASIL
Data yang dihasilkan dari penelitian
ini adalah data ordinal, karena penilaian
atau pengukuran yang dilakukan berupa
skor. Dalam penelitian ini dilihat terlebih
dahulu nilai kesepakatan antar pengamat.
Nilai dihitung dengan membandingkan
hasil pengukuran oleh kedua pengamat
dari masing-masing gigi, yaitu premolar
kedua, molar pertama, molar kedua pada
sisi kanan dan kiri.
Hasil penelitian ini diolah secara
statistik, yaitu dengan Wilcoxon two
sample test untuk 2 grup. Grup 1 adalah
hasil ranking dari pengamat 1. sedangkan
grup 2 adalah hasil ranking kemaknaan (
= 0,05) p>0,02 Hi ditolak. Hasil yang
diperoleh adalah sebagai berikut :
67
TABEL 1. Resobsi tulang interalveolaris dengan menggunakan perhitungan Wilcoxon two
sample test pada foto panoramik antara pengamat 1 dan pengamat 2.
Rahang bawah
FOTO PANORAMIK
Sisi
Nama Gigi
Mean Rank Mean Rank
2 – tailed P
Grup 1
Grup 2
Kanan
P2
M1
M2
21,35
22,85
21,05
19,65
18,15
19,95
0,5644
0,1594
0,7398
Kiri
P2
M1
M2
22,85
23,30
21,75
18,15
17,70
19,25
0,1594
0,0962
0,4595
Keterangan : P2 = Premolar kedua
M1 = Molar pertama
M2 = Molar kedua
Dari hasil perhitungan masing-masing
gigi tersebut, terlihat bahwa hasilnya lebih
besar dari 0,025. berarti tidak ada
perbedaan
yang
bermakna
antara
pengamat 1 dan pengamat 2 dalam
pengukuran resobsi tulang interalveolaris
pada gigi-gigi premolar kedua, molar
pertama, molar kedua rahang bawah sisi
kanan dan kiri pada foto panoramik.
TABEL 2. Resolusi tulang interalveolaris dengan menggunakan perhitungan Wilcoxon
two sample test pada foto bite wing antara pengamat 1 dan pengamat 2.
Rahang bawah
FOTO BITE WING
Sisi
Nama Gigi
Mean
Grup 1
Kanan
P2
M1
M2
19,55
23.45
20,50
21,45
17,55
20,50
0,5603
0,0796
1,0000
Kiri
P2
M1
M2
21,35
22,40
21,00
19,65
18,60
20,00
0,5883
0,2673
0,7471
rank Mean
Grup 2
rank
2 – tailed P
68
Dari hasil perhitungan masing-masing
gigi tersebut, terlihat bahwa hasilnya lebih
besar dari 0,025. berarti tidak ada
perbedaan
yang
bermakna
antara
pengamat 1 dan pengamat 2 dalam
pengukuran resobsi tulang interalveolaris
pada gigi premolar kedua, molar pertama,
molar kedua rahang bawah sisi kanan dan
kiri pada foto bite wing.
Setelah diketahui nilai kesepakatan
antara
pengamat,
maka
kini
membandingkan hasil pengukuran resobsi
tulang
interalveolaris
antara
foto
panoramik dan foto bite wing, dengan uji
statistik Wilcoxon two sample test untuk
2 grup pada taraf kemaknaan ( = 0,05).
Grup 1 adalah hasil rangking dari foto
panoramik. Sedangkan grup 2 adalah hasil
rangking dari foto bite wing.
TABEL 3. Resolusi tulang interalveolaris dengan menggunakan perhitungan Wilcoxon
two sample test antara foto panoramik dan foto bite wing.
Rahang bawah
MEAN RANK
Sisi
Nama Gigi
Mean
Grup 1
Kanan
P2
M1
M2
35,96
41,14
38,40
45,04
39,86
42,60
0,0406
0,7870
0,3712
Kiri
P2
M1
M2
41,14
41,55
44,31
39,86
39,45
36,69
0,7870
0,6619
0,0963
Dari hasil perhitungan masing-masing
gigi tersebut, terlihat bahwa hasilnya lebih
besar dari 0,025. berarti tidak ada
perbedaan yang bermakna antara foto
panoramik dan foto bite wing dalam
pengukuran resobsi tulang interalveolaris
pada gigi premolar kedua, molar pertama,
molar kedua rahang bawah sisi kanan dan
kiri.
DISKUSI
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa terdapat
adanya variasi didalam pengukuran
resobsi tulang interalveolaris antara foto
panoramik dengan foto bite wing.
Sedangkan dari analisa data dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
yang bermakna antara foto panoramik dan
rank Mean
Grup 2
rank
2 – tailed P
foto bite wing dalam pengukuran resobsi
tulang interalveolaris pada gigi premolar
kedua, molar pertama, molar kedua
rahang bawah sisi kanan dan kiri. Ini
menunjukkan adanya kesamaan dalam
radiograf panoramik dan bite wing untuk
mendiagnosis
resobsi
tulang
interalveolaris regio posterior.
Resobsi
tulang
interalveolaris
dinyatakan dalam skor/nilai. Untuk bisa
mendapatkan pembandingan langsung
antara kedua metode yang digunakan,
maka digunakan penggaris yang sama
untuk radiograf panoramik maupun
radiograf
bite
wing.
Dengan
menggunakan penggaris tersebut, akan
memungkinkan untuk menilai resobsi
tulang interalveolaris, meskipun apeks
gigi tidak terlihat dalam radiograf,
69
sebagaimana terjadi pada bite wing
(Hakansson et. Al, 1981).
radiografi panoramik jauh lebih rendah
dari pada bite wing.
Dalam penelitian ini, pengukuran
hanya dapat dilakukan pada gigi-gigi
posterior rahang bawah yang dimulai dari
premolar kedua sampai dengan molar
kedua sisi kanan maupun kiri. Hasil
radiograf panoramik dari gigi-gigi
posterior rahang atas sisi kanan tidak jelas
atau kabur sehingga cemento enamel
junction pada regio tersebut sulit terlihat
pada premolar pertama rahang atas sisi
kanan sering kali tidak memungkinkan
untuk dinilai karena adanya penumpukan,
sedangkan pada sisi kiri gigi-gigi
posterior rahang atas dapat terlihat cukup
jelas. Ini kemungkinan disebabkan karena
alat yang digunakan di laboratorium
Rontgenologi Mulut FKG UNAIR yaitu
panoramik x-ray unit foto kurang ideal.
Bagian tube dari panoramik x-ray unit
foto pernah mengalami kerusakan,
sehingga tube yang digunakan pada
panoramik x-ray unit foto diganti dengan
tube type lain. Akibstnya. Hasil radiograf
panoramik menjadi kurang ideal.
Dalam penelitian ini, tidak
ada metode yang dianggap lebih baik dari
metode lainnya. Adanya
kesamaan
dalam pengukuran resobsi tulang
Tidak dilakukannya penelitian
untuk gigi-gigi regio anterior rahang atas
dan rahang bawah karena terjadinya
“super imposed” dari struktur anatomis
yang menutupinya, yang mana situasi
hasil radiografi yang demikian ini sangat
menyulitkan
pengamat
didalam
memberikan
gambaran-gambaran
anatomis secara rinci.
Sedangkan pada foto bite wing,
hasil radiograf dapat terlihat jelas, karena
pada teknik bite wing digunakan film
holder yang merupakan metode yang
praktis dan sederhana sebagai penjepit
film sehingga film tidak bergerak dan
kedudukannya sesuai dengan posisi yang
dikehendaki.
Pada keadaan dimana nilai yang
didapat dari kedua metode radiograf
berbeda, survey panoramik cenderung
menunjukkan resobsi tulang yang lebih
parah dari pada yang terlihat pada bite
wing. Hasil ini sesuai dengan hasil yang
diberikan oleh Douglass et.al (1986), yang
mendapatkan bahwa kemampuan detail
interalveolaris regio posterior pada foto
panoramik maupun bite wing menunjukan
bahwa kedua metode tersebut dapat saling
menunjang dalam mendiagnosis resobsi
tulang interalveolaris regio posterior.
Hanya kelebihan dari foto panoramik
yaitu dapat menampakkan gambaran
radiograf seluruh gigi-gigi rahang atas dan
rahang bawah dalam satu lembar film.
Sedangkan pada foto bite wing hanya
dapat menampakkan beberapa gigi saja
dalam setiap regio, sehingga memerlukan
foto lebih banyak.
Dengan ketepatan dalam melihat
resobsi tulang interalveolaris melalui foto
panoramik dan bite wing ini, maka
diharapkan dapat menunjang diagnosa
yang tepat di bidang kedokteran gigi,
khususnya
mengenai
penyakit
periodontal.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian radiografik
tentang perbandingan foto panoramik dan
bite wing pada diagnosis resobsi tulang
intertalveolaris ragio posterior, dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
yang bermakna antara foto panoramik dan
bite wing didalam pengukuran resobsi
tulang interalveolaris, dimana nilai
kesamaan tersebut ditunjang dengan nilai
kesepakatan antar pengamat. Namun
demikian, kesamaan ini bervariasi dengan
derajat resobsi tulang dan jenis gigi.
Akibatnya, apabi;a radiograf panoramik
ini digunakan pada pemeriksaan klinis,
maka
pemeriksaan tersebut harus
dilengkapi radiograf bite wing, pada
daerah dimana kualitas bayangan gigi
tidak jelas (Akessom et.al, 1989) dan pada
daerah perhatian utama.
Hasil radiograf dapat dipengaruhi
oleh penggunaan alat pada masing-masing
metode, diantaranya adalah pengaturan
70
posisi penderita. Apabila hal ini kurang
diperhatikan, maka dapat memungkinkan
terjadi pemendekan atau pemanjangan
bayangan dari gigi, ataupun pembesaran
dan pengecilan ukuran. Hal ini akan
menimbulkan variasi dalam pengukuran
resobsi tulang interalveolaris pada foto
panoramik dan bite wing.
Meskipun kedua metode tersebut
mempunyai keunggulan masing-masing,
tidak berarti kita akan meninggalkan
radiografik yang konvensional. Suatu
kombinasi
dari
penggunaan
foto
panoramik dengan bite wing akan
memberikan kesempurnaan yang tinggi
untuk membantu pemeriksaan klinis
dalam menegakkan diagnose.
DAFTAR PUSTAKA
Akesson, L., et.al., (1989) : Comparison
Between Panoramik and Posterior Bite
Wing Radiography in The Diagnosis
of Periodontal Bone Loss, J. Dent., 17
; p. 266 – 271.
Allen. D.L. Mc. Fall, WT. And Huter,
G.C. (1987) : Periodontics For The
Dental Hygienist, 4 th ed., Led amd
Febiger, Philadelphia, p. 24 – 28, 118
– 124.
Bernerd Rosner (1988) : Fundamentals of
Biostatistics, 2nd ed., PWS Publishers,
p. 288 – 293.
Boedihardjo
dan
Rahman,
T.S
(1980/1981) : Distribusi Kerusakan
Tulang Alveolaris pada Penderita
Muda dengan Penyakit Periodontal,
Lembaga
Penelitian
Universitas
Airlangga, Surabaya, h : 1-2.
Carranza, P.A. (1984) : Glickman’s
Clinical Periodontology, 6th ed., W.B
Saunders Company, Philadelphia,
London, Toronto, Mexico City, Rio de
Janeiro, Tokyo, p. 51 – 61, 234 – 249,
513 – 517.
Douglass M.C.W. Valachovic R.W.,
Wijesinha A. et al (1988) : Clinical
Efficacy of Dental Radiography in The
Detection of Dental Caries and
Periodontal Doseases, Oral Surg. Oral
Med. Oral Pathol. ; 62 : 330 – 339.
Ennis, L.M. Berry, H. and Philips, J.E,
(1967) : Dental Rotegenology, 6th ed.,
Philadelphia, Lea and Febriger.
Fourel, J. (1972) : A Feriodontal
Syndrome, Journal of Periodontology,
vol. 43, p. 240-250.
Galal A., Manson – Hing L. amd Jamison
H.A (1985) : A Comparison of
Combinations
of
Clinical
and
Radiographic
Wxaminations
in
Evaluation of a Dental Clinis
Population, Oral Surg, Oral Med, Oral
Pathol ; 60 : 553 – 561.
Glickman, I., (1972) : Prevention ,
Diagnosis
ant
Treatment
of
Periodontal Disease in The Practice of
General
Dentistry,
Clinical
Periodontology, 4 th ed., W.B.
Saunders Company, Philadelphia,
London, Toronto, p. 57 – 73, 218 –
232, 499 – 502.
Goldman H.N, (1949) : Periodontia, A
Study of the Histology, Physiology
and Pathology of the Periodontium and
the Treatment of Its Disease, 2md ed,
The CV. Nosby Company, Saint
Louis, P. 23 – 25, 80 – 89.
Gold,am H.M. and Cohen, W.W. (1959) :
Periodontia, The Art and Science of
Examination and Diagnosis of
Periodontal Disease, 4 th end, The CV.
Mosby Company, Saint Louis, P. 40 –
45, 57.
Grandt, D.A. ; Stren ; I.B and Everest,
F.V. (1979) : Orbans periodontics, 5 th
ed., Lea and Febriger, Philadelphia l
245, 280 – 282.
Hkansson J., Bjorn A.L. and Konsson
B.G. (1981) : Assesment of the
Proximal Periodontal Bone heigh
From Radiographs With Partial
71
Reproduction of the Teeth. Swad,
Dent. J. 5, 147 – 153.
Hansen B.F., Gjermo P. and BergwitzLarsen K.R. (1984) : Periodontal Bone
Loss on 15-years Old Norwegians, J.
Clin Periodontol. : 11 : 125 – 131.
Hurt, W.C (1978) : Periodonties in
General Praxtice, Charles C. Thomas
Publisse, Illionis, P. 82.
Manson J.B (1980) : Periodontics, 4th ed.
Henry Kimpron Publisher, London, p.
21- 25.
Mason, Rita A. (1982) : A Guide to
Dental Radiography, 2nd ed., Wright,
PSG, Bristol London Boston.
Mc. Call J.C. and Walt S. S. (1957) :
Clinical Dental Ronthenology, Thnic
and Interpretation Including, Ronthen
Studies of the Child and the
Adolescent, 4th ed., Philadelphia and
London, W.B, Saunders Co.
Updegrave, W.J. (1989) : The Rule of
Panoranic Radiofraphy in Diagnosis,
Osomop, 22 (a).
Worth, H.M (1969) : Principles and
Practise
of
Oral
Radiologc
st
Interpretation, 1 ed., Year book
Medical Publisher Inc, Chicago, p.
1823.
Wuehrmann, A.H. and Manson-Hing,
L.R. (1977) : Dental Radiology, 4 th
ed., Saint Louis, The C.V. Mosby
Company.
Zappra, U. Simona, C ; Graf, H. and van
Aken, J. (1991) : Invivo Determination
of Radiographic Protection Errors
Produaced by A Novel Filmn Holder
and A X-ray Beam Manipulator, J. –
Periodontal, November.
Muhammad A.H. and Manson Hing L.R,
(1982) : A Comparison Panoramic and
Intra Oral Radiographic Surveys in
Evaluatng A Dental Clinic Population,
Oral Surg. Oral Med. Oral Pathol. ; 54
: 108 – 117.
O’
Brein, R,C, (1972) : Dental
Radiography, W.B. Saunders and Co,
Philadephia, London, Toronto.
Stafne,
et.al
(1975)
:
Oral
Rontegenographic Diagnosis, 4 th.,
W.B saiders Companym Philadelphia,
London, Toronto, p. 114 – 116, 390 –
391.
Stanstrom B., Julin P. and Lavstedt S.
(1982) : Comparison Between
Panoramic Radiographic Techniques.
Part II : Marginal Bpne Level
Interpretabilitu With Status and
orthopantomograph, Model OP10,
Dentomaxillofac, Radiol, ; 16 : 11-15.
72
APOPTOSIS PADA OVARIUM SEBAGAI MEKANISME KEMATIAN SEL
FISIOLOGIS
Paul S. Poli
Departemen Fisiologi Fakultas Kedokteran
Wijaya Kusuma Surabaya Universitas
Abstrak
Dalam rangka untuk mengontrol perkembangan embrio dan juga untuk mempertahankan proses
apoptosis jaringan dewasa diperlukan. Untuk memenuhi peran ini, apoptosis terjadi berdasarkan
program genetik yang diaktifkan oleh rangsangan dari sinyal eksternal dan internal. Dalam ovarium
sebagai organ yang menghasilkan folikel telur, hanya folikel dominan yang dibutuhkan untuk menjadi
sel telur. Folikel tetap akan mengalami atresia. Dalam hal ini proses apoptosis pada wanita reproduksi
merupakan strategi untuk memilih folikel dominan. Namun, itu adalah mekanisme rumit untuk
mengontrol proses apoptosis yang melibatkan berbagai protein seperti Bcl-2, p53, Bax, dan Buruk
telah dinyatakan dalam penelitian baru-baru ini. Mereka protein adalah bagian dari keluarga pro dan
antiapoptotic. Informasi lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas peran apoptosis sebagai
mekanisme fisiologis untuk memilih folikel dominan di ovarium pada wanita reproduksi.
Kata kunci: apoptosis, ovarium, telur, folikel, atresia.
APOPTOSIS IN OVARY AS A PHYSIOLOGICAL CELL DEATH
MECHANISM
Paul S. Poli
Department of Physiology of Faculty of Medicine
of Wijaya Kusuma University Surabaya
Abstract
In order to control the embryonic development and also to maintain the adult tissues apoptosis
process is needed. To fulfill this roles, apoptosis occurred based on genetic program which activated
by the stimulation of external and internal signals. In ovary as an organ which produced follicle for
eggs, only dominant follicle is needed to be ovum. The remain follicle will undergo atresia. In this
regard the apoptosis process in reproductive woman is a strategy to select the dominant follicle.
However, it is a complicated mechanisms to control the apoptosis process which involved of the
various protein such as Bcl-2, p53, Bax, and Bad has been revealed in recently research. Those
proteins are part of the family of pro and antiapoptotic. The further information is needed to clarify the
roles of apoptosis as a physiological mechanism to select the dominant follicle in ovary in
reproductive woman.
Key words: apoptosis, ovary, egg, follicle, atresia.
Introduction
Apoptosis or program cell death has a
key role both ini the maintain of adult
tissues and embryonic development. In
this roles, apoptosis is differ from
accidental death of cells resulting from
injury, i.e. apoptosis is an active process
in which genes are responsible for both
the regulation or execution. It was first
recognized by pathologist in 1972, named
after Greek word for “falling off,” or
“dropping of leaves.” In other word,
apoptosis is the removal of cells by cell
death.
It is hypothesized that apoptosis occurred
as result of a genetic program activated by
developmental and environmental stimuli.
Basically, apoptosis is trigerred by
internal and external signals. Furthermore,
the survival of organism is dependent on
its cells replication. For this reason the
control of replication is essential and
though there is a number of protein that
act as a cell cycle brake.
73
The objective of this writing is to show
the role of apoptosis in follicular atresia.
In this regard in a female’s ovaries
contain an estimated 2-4 million eggs in
utero. Only 200 000 – 400 000 afollicles
remain in the beginning of active
reproduction. Of these, all but about 400
are destined for atresia during woman’s
reproductive life. So, 99.99% of the
ovarian follicle present at birth will
undergo atresia.
Apoptosis phenomenon
Apoptosisis is a normal feature of the
differentiation anf maturation of an
organism, and the number of division of
all types of cells is precisely controlled.
Therefoyre, we dcan think that the rate of
growth is the result of cell proliferation
minus cell death. This is the strategy of
organism to select certain cells for
survival and also is a complementary but
opposite role of mitosis in regulation of
animal cell populations.
Numerous protein involved in apoptosis
mechanisms. Recent evidence has shown
that Bcl-2 family and p53 takes a role.
Bcl-2 family consist of anti-apoptosis e.g
Bcl-XL and proapoptosis Bax, Bad. P53
is a transcription factor, involved in
apoptosis following DNA damage. The
mutation of p53 will increase the
carcinogenesis.
In the development of the fetal nervous
system, over one half of neurons that exist
in the early fetus are lost by apoptosis
during development to form the mature
brain. In the production of immune
competent T cells a selecxtion process
occurs that eliminates cells recognize and
react against self.
In ovary, by eliminating the cell death
gene Bax in mice, researchers have
extended the life span of the animal’s
ovary into old age. For every cell, there is
a time to live and a time to die. However,
in what ways the cells shall die? It was
apparently through:
a. Killed by injurious, and
b. Induced to commit suicide. They are
also responsible for a cell commit suicide.
There are two different mechanisms by
which a cell commits suicide by
apoptosis:
a.
b.
-
Signals arising within the cell,
Triggered by death activators such as:
tumor necrosis factor alpha (TNF-α)
Lymphotoxin
Fas ligand
The signals arising within the cell or by
internal signals are:
1. Βcl-2 (β-cell leukemia/lymphoma) is a
protein which express on the membrane
of mitochondria. Bcl-2 is bound to a
molecule of the protein Apaf-1 (apoptotic
protease activation factor).
2. Cytochrome C (an enzyme of cellular
respiraton is released into cytosol from
mitochondria) + Apaf-1 bind to molecule
Caspase 9.
The signals or triggered by activators such
as TNF, Fas ligand. And also the initiators
of apoptosis include anticancer drugs such
as IL-1, growth factors, glucocorticoid,
some virals protein, and various other
cytokines.
In this regard, the characteristics of a
normal physiological response to specific
suicide signals, or lack of survival signals:
A. Chromatin condenses and migrates to
nuclear membrane
B. Internucleosomal cleavage
C. Cytoplasm shrinks without membrane
rupture
D. Blebbing of plasma and nuclear
membrane
E. Cell contents are package to be
engulfed by neighbours
F. Epitopes appears on plasma membrane
marking cell as a phagocytic target.
Signals for apoptosis, on the other hand
promote the action of specific calcium and
74
magnesium dependent endonuclease that
cleavages the double stranded DNA at
linker regions between nucleosomes.
Sustained increases in intracellular free
calcium precedes apoptosis, in other word
if the amount of free calcium can be
reduced, the onset of apoptosis can be
delayed. How the calcium might act is via
the IP3, the second messenger which
promotes the release of Ca++ from
internal stores.
An insider look to apoptosis in ovary.
Recent studies indicate that apoptosis
occurs in the ovary during follicular
atresia in several animal species,
including the rat, pig, chicken, baboon,
and rabbit. In line to the objectives of this
writing, let us look into the oogenesis in
brief:
The germ cedlls or oogonia which
undergo
mitotic
division
during
development in utero. Three months after
conception, the oogonia develop into
primaty oocytes, which begin a first
meiotic division by replicating their DNA.
The division is not complete until puberty
(meiotic arrest). Only primary oocyt
which destined for ovulation will ever
complete the first meiotic division to be
secondary oocyte is fertilized. The other
parts of division which lack of cytoplasma
is called polar body.
The net result of oogenesis is that each
primary oocyte can produce only one
ovum. The ovum exist in structures
known as follicle. Follicle begins as
primary follicles, which surrounded by
granulose cells, theca cells and zona
pellucid. Only one dominant follicle
continous to develop, and other follicle
has begun to undergo degenerative called
atresia.
Thus, it appears that follicle atresia is one
example of apoptosis or program cell
death in oogenesis and follicle growth.
In case of ovary, the apoptosis occurred
in:
a.Female germ cells, oogonia and oocyte
during fetal development
b.granulosa cells, follicular atresia during
reproduction period
The only one follicle which has been
selected for ovulation, while others
undergoes atresia. The initiation of
apoptosis is in granulose cells,, which has
been documented by both morphological
and biochemical criteria. In this relation,
the FSH and LH are endocrine factors
responsible for inhibiting apoptosis in
granulose cells of developing follicles.
And for the sake or paracrine factors
which are responsible for apoptosis is
progesterone for activating apoptosis,
while estrogen, growth hormone (GH) via
insulin like growth factor-I (ILGF-I) for
inhibiting apoptosis. The other hormone
which prevent the apoptosis is
gonadotropin and induction by androgen
and GnRH.
Pathways of apoptosis in normal ovary is
regulated in all p53 and Bcl-2 family of
genes. These genes play a role, activating
either as inhibitor or promotes of
apoptosis.
Along
with
apoptosis
mechanism, the follicular atresia is known
to occur by apoptosis, but the molecular
triggers for these process are not
understand. Currently, it has been
hypothesized that the Fas antigen is a
potential role as a transmembrane
receptors which triggers apoptosis. The
Fas antigen share homology with a family
receptors including TNF receptor, NGF
receptor.
Atretic follicles have increased DNA
fragmentation and expression of Fas gene
resulting in apoptosis in rats and humans,
and these may be used to detect apoptosis
in atretic Bovine follicles. Also atretic
follicles express less cytochrome P450
17α-hydroxylase (P450 c17), P450 scc,
P450 arom, mRNA than healthy follicles.
And LH increased may decrease apoptosis
and expression of Fas gene.
At last, the ovary has proven to be an
excellent model to study the role of cell
75
death genes in a physiological setting of
endocrine-reguulated apoptosis.
So, the meaning of apoptosis:
The inhibition of apoptosis may
contribute to disease, and a high rate of
apoptosis probably contributes to
degenerative disease such as osteoporosis.
In other meaning, that is mutation in the
p53 gene, producing a defective protein,
for example in cancer cells.
Apoptosis is an attribute as needed for
proper development as mitosis and also is
needed to destroy cells that represent a
threat to integrity of organism.
Conclusions:
1. Apoptosis is the strategy of organism
to select certain cells to survival
2. It is hypothesized occurred as result of
a genetic program activated by
developmental and environmental stimuli.
3. Control of apoptosis through signals
pathway and the genes.
4. Death signals are integrated by specific
intracellular, modulated and targeted
activate a cascade of cycteine protease
called Caspase.
5. The stages of apoptosis may be
considered
as
initiation,
genetic
regulation, and effector mechanism.
6. Less than 1% of the follicles present in
the ovary are destined to ovulate, while
the majority become atretic.
7. The non-selected follicle is terminated
by the process of atresia.
8. Granulosa cells are lost by apoptosis at
the onset of follicular atresia.
Fuller GM, Shields D (1998). Molecular
basis of medical cell biology. First ed. A
Lange medical book. Prentice Hall, Intl,
Stanford, Connectitut.
Lodis H et al (1995). Mollecular cell biology,
3rd ed. Scientific American Book, New
York, NY.
McCall K, Steller H (1997). Facing death in
the fly: genetic analysis of apoptosis in
drosophila. Trends in Genetics; 13:222—
226.
Palumbo A, Yeh J (1994). In situ localization
of apoptosis in the rat ovary during
follicular atresia. Biol Reprod. 1994; 51:
8-95.
Peter ME, Heufelder AE, Hengartner MO
(1997). Advances in apoptosis research.
Proc Natl Acad Sci USA, 94: 1273-7.
Spencer SJ, Cataldo NA, Jaffe RB (1996).
Apoptosis in the human female
reproductive tract. Obstet. Gynecol Surv.
May, 51(5):324-23.
Szalai G, Krishnamurthy R, Hajnoczky
(1999). Apoptosis driven by IP3—
linmked mithochondrial calcium signals.
EMBO Journal, 188:6349-31.
Tilly JL, Tilly KL, Perez GI (1997). The
genes of xcell death and cellular
susceptibility to apoptosis in the ovary: a
hypothesis. Biol Reprod. 1997; 4: 180187.
Vander A Sherman J,, Luciano D (2001).
Homeostatic mechanisms anad cellular
communication. In: Human physiology.
The mechanisms of body function.
McGraw-Hill Inc, New York, NY.
References
Adams GP (1992). Role of LH pulse
frequency and P4 in the growth and
function of Bovine ovarian follicles. J
Reprod Fert, 94:177.
Cooper GM (1997). The Cell. A molecular
approach. ASM Press, Washington DC.
76
POLA PERDARAHAN PERVAGINAM BERDASARKAN HASIL D & C
TAHUN 2007 DI RSU PROF. Dr. RD. KANDOU MANADO
Widjaja Indrachan, Max Rarung, Joel Laihad
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Tujuan : Mengetahui pola perdarahan pervaginam di RSU Prof. Dr. RD. Kandou Manado tahun 2007
yang dilakukan D & C.
Tempat : Penelitian dilakukan di Bagian Kebidanan dan Kandungan Universitas Sam Ratulangi /
RSU Prof. Dr. Rd. Kandou
Rancangan : Deskriptif retrospektif.
Bahan : Hasil D & C pasien perdarahan pervaginam tahun 2007 yang diperiksa di laboratorium
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Unsrat.
Hasil : Mayoritas penderita perdarahan pervaginam yang bukan disebabkan kehamilan dan keganasan
serviks uteri; berasal dari kelompok usia > 40 tahun sebesar 675 kasus
(79,69 %), dengan usia
termuda 11 tahun dan usia tertua 72 tahun. Hasil D & C sebagian besar adalah endometrium normal
(53,33 %), hanya 24,82 % saja dari seluruh subyek yang memerlukan tindakan kuretase yaitu pada
kasus-kasus hiperplasia ( 22,6 % ), endometrium fase desidua ( 1,11 % ) dan karsinoma ( 1,11 % ).
Kesimpulan : Kasus perdarahan pervaginam di RSU Prof. Dr. RD. Kandou selama periode 1 Januari
2007 sampai 31 Desember 2007 berdasarkan hasil pemeriksaan D & C terbanyak disebabkan oleh
DUB sebanyak 53,33 % , sedangkan keganasan endometrium ditemukan sebanyak 1,11 %
Kata kunci : Perdarahan pervaginam, D & C.
RESULTS BASED ON PATTERN vaginal bleeding D & C
PROF OF 2007 IN RSU. Dr. RD. Kandou MANADO
Indrachan Widjaja, Max Rarung, Joel Laihad
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
abstract
Purpose: Knowing the pattern of vaginal bleeding in the RSU Prof. Dr. RD. Kandou Manado in 2007
that made D & C.
Place: The study was conducted in the Department Obstetrics and Gynecology University of Sam
Ratulangi / RSU Prof. Dr. Rd. Kandou
Draft: Descriptive retrospective.
Materials: The D & C vaginal bleeding in 2007 patients examined at the laboratory UNSRAT
Anatomical Pathology Faculty of Medicine.
Results: The majority of patients with vaginal bleeding is not due to pregnancy and uterine cervical
malignancy; derived from the age group> 40 years for 675 cases (79.69%), with the youngest aged 11
years and the oldest 72 years of age. The results of D & C is largely normal endometrium (53.33%),
only 24.82% of all subjects requiring curettage in cases of hyperplasia (22.6%), endometrial decidual
phase (1.11% ) and carcinoma (1.11%).
77
Conclusion: The case of vaginal bleeding in the RSU Prof. Dr. RD. Kandou during the period January
1, 2007 until December 31, 2007 based on the results of D & C is caused by DUB ever as much as
53.33%, while the malignancy of the endometrium is found as much as 1.11%
Key words: vaginal bleeding, D & C.
Pendahuluan
Perdarahan pervaginam yang
sifatnya tidak normal sering dijumpai.
Perdarahan tersebut dapat berhubungan
dengan siklus haid ataupun tidak.
Perdarahan yang didahului oleh haid yang
terlambat biasanya disebabkan oleh
abortus, kehamilan mola, atau kehamilan
ektopik.
Walaupun
demikian,
kemungkinan perdarahan karena polipus
servisis uteri, erosio porsio uteri, dan
karsinoma servisis uteri tidak dapat
disingkirkan
begitu
saja
tanpa
pemeriksaan yang teliti. Perdarahan dalam
menopause perlu mendapat perhatian
khusus karena gejala ini mempunyai arti
klinik yang penting.1-5
Metroragia
merupakan
gejala
penting karsinoma servisis dan karsinoma
korporis uteri. Juga sarkoma uteri yang
bertukak dapat menyebabkan perdarahan.
Tumor ganas ovarium jarang disertai
perdarahan, kecuali kadang-kadang pada
tumor sel granulose dan tumor sel teka.
Selain
oleh
tumor
ganas,
pardarahan pada menopause dapat pula
disebabkan oleh kelainan lain, seperti
karunkula
urethralis,
vaginitis/endometrisis senilis, perlukaan
vagina karena
pemakaian pessarium
terlampau lama, polipus servisis uteri,
atau erosio porsio uteri. Pemberian
estrogen dalam klimakterium dan
menopause dapat pula menyebabkan
perdarahan abnormal.1
Metroragia dapat terjadi pada usia
perimenars, usia reproduksi dan usia
perimenopause. Perdarahan terjadi pada
pertengahan siklus, tak teratur, sedikit
atau sangat banyak. Penyebab perdarahan
uterus abnormal dapat dikelompokkan
sebagai organik dan anorganik. Paling
sering disebabkan oleh kelainan organik.
Sangat jarang ditemukan kelainan
endokrinologik.1-5
Penyebab organik antara lain
penyakit traktus reproduksi, penyakit
sistemik,
akibat
pemakaian
obat.
Penyebab non organik ( perdarahan uterus
disfungsional ) sulit diukur dan
dihubungkan dengan perdarahan uterus
abnormal seperti stress fisik dan emosi,
perubahan berat badan, diet dan lain-lain.6
Perdarahan uterus disfungsional dapat
disebabkan karena siklus yang berovulasi
maupun yang tidak berovulasi.7,8
Pemeriksaan
ginekologi
yang
berhubungan
dengan
perdarahan
abnormal
pervaginam
terutama
memfokuskan
pada
pemeriksaan
endometrium. Metode standard untuk
pemeriksaan endometrium adalah dilatasi
dan kuretase ( D & C )9,10
Maksud dari penelitian ini untuk
mendapatkan gambaran mengenai pola
perdarahan pervaginam di RSU Prof. Dr.
RD. Kandou berdasarkan hasil D&C
tahun 2007.
BAHAN DAN CARA
Penelitian ini dilakukan pada wanita yang
berobat ke IRDO (Instalasi Rawat Darurat
Obsgyn) dan poli ginekologi RSU Prof.
Dr. RD. Kandou yang mengalami
perdarahan pervaginam dari 1 Januari
2007 – 31 Desember 2007. Data diperoleh
dari registrasi RSU Prof. Dr. RD. Kandou
& hasil D & C pasien perdarahan
pervaginam tahun 2007 yang diperiksa di
laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Unsrat.
HASIL PENELITIAN
Selama periode 1 Januari 2007 – 31
Desember 2007, tercatat 847 kasus
perdarahan pervaginam yang bukan
78
disebabkan oleh kehamilan dan keganasan
serviks uteri, yang datang di RSU Prof.
Dr. Kandou. Terdapat 176 kasus datang
ke IRDO dan 671 kasus datang ke poli
kandungan.
Tabel 1. Jumlah pasien perdarahan pervaginam di RSU Prof. Dr. Kandou tahun 2007
Periksa ke
Jumlah
Prosentase
IRDO
176
20.78%
Poli
kandungan
671
79.22%
Jumlah
847
100.00%
Mayoritas
penderita
perdarahan
pervaginam yang bukan disebabkan
kehamilan dan keganasan serviks uteri
berasal dari kelompok usia > 40 tahun
sebesar 675 kasus ( 79,69 % ), dengan
usia termuda 11 tahun dan usia tertua 72
tahun.
Tabel 2.Distribusi umur terjadinya perdarahan pervaginam di RSU Prof. Dr. Rd. Kandou
tahun 2007
Umur
Jumlah
Prosentase
10-19 th
20
2.36%
20-29 th
51
6.02%
30-39 th
101
11.92%
> 40 th
675
79.69%
847
100.00%
Hasil D & C yang terbanyak adalah
endometrium fase proliferasi sebanyak 86
kasus (31,85 %), 58 kasus (21,58 %)
adalah endometrium fase sekresi, 2 kasus
(0,74 %) adalah hyperplasia endometrium
atipik dan hanya 3 kasus keganasan (1,11
%).
Tabel 3. Hasil D & C di RSU Prof. Dr. Rd. Kandou tahun 2007
No Hasil
Jumlah Prosentase
1
Adeno Ca
3
1.11%
2
Endometrium fase proliferasi
86
31.85%
3
Endometrium fase sekresi
58
21.48%
4
Endometrium atrofi
23
8.52%
79
5
Hiperplasi glandular kistik
59
21.85%
6
Endometrium fase desidua
3
1.11%
7
Endoservisitis
6
2.22%
8
Hormonal imbalance
30
11.11%
9
Hiperplasia endometrium atipikal
2
0.74%
270
100.00%
Total
Diskusi
Diagnosis histopatologi terbanyak dari
kuretase endometrium adalah hyperplasia
glandular kistik ( 21,85 % ). Namun
bagian terbesar dari hasil dilatasi dan
kuretase menunjukkan endometrium tanpa
kelainan nyata ( normal ) sebanyak 53,33
%. Endometrium normal dapat merupakan
endometrium fase proliferasi ( 31,85 % )
dan endometrium fase sekresi ( 21,48 % ).
Terdapat 6 sediaan ( 2,22 % ) dengan
hasil histopatologik bukan kelainan
endometrium misalnya endoservisitis.
Dari tabel
3 dapat dilihat bahwa
sebagian besar hasil kuretase adalah
endometrium normal, sisanya sebetulnya
hanya 24,82 % saja dari seluruh subyek
yang memerlukan tindakan kuretase yaitu
pada kasus-kasus hiperplasia ( 22,6 % ),
endometrium fase desidua ( 1,11 % ) dan
karsinoma ( 1,11 % ). Data tersebut
menunjukkan perlunya suatu upaya
diagnostik lain untuk dapat menentukan
kasus yang betul-betul memerlukan
tindakan kuretase. Beberapa upaya
diagnostik yang diperlukan disamping
anamnesis dan pemeriksaan klinis yang
cermat adalah pemeriksaan β hCG urine
dan
pemeriksaan
ultrasonografi
transvaginal.
Hasil
histopatologi
endometrium normal tampak tinggi pada
beberapa kelompok usia, sebetulnya
tindakan kuretase harus betul-betul
dilakukan secara selektif mengingat
prosentase hasil abnormal kecil pada
kelompok usia muda. Perdarahan
pervaginam pada gambaran D & C normal
terdapat pada penyebab anorganik ( DUB
). DUB dapat terjadi pada siklus yang
ovulatoar
maupun
anovulatoar.
Perdarahan pervaginam dapat pula
diakibatkan oleh gangguan keseimbangan
hormonal, yang pada penelitian ini
didapatkan sebanyak 11,11 %.
Tanriverdi dkk di Turki melakukan
penelitian terhadap 127 wanita dengan
perdarahan pervaginam yang dilakukan
dilatasi dan kuretase mendapatkan 86
kasus normal (67,71 %), 5 kasus
hiperplasia ( 3,94 % ), 13 kasus
endometrium atrofi ( 10,24 % ),10 kasus
endometritis ( 7,87 % ) dan 13 kasus tidak
dapat didiagnosis akibat sediaan yang
tidak adekuat ( 10,24 % ).9
Muzaffar dkk di Pakistan melakukan
penelitian terhadap 260 wanita dengan
perdarahan pervaginam yang dilakukan
dilatasi dan kuretase mendapatkan 24,7 %
kasus hiperplasia, 13 % kasus chronic non
spesifik endometritis, 1,2 % kasus polip
endometrium, 0,8 % kasus endometrium
atrofi dan keganasan endometrium
sebanyak 0,4 % kasus.10
Dari studi ini disimpulkan perlunya
evaluasi medis yang seksama sebelum
dilakukan tindakan yang invasive. Pada
pasien yang muda, penyebab perdarahan
pervaginam terutama adalah siklus
anovulasi.
Sedangkan
pada
usia
pertengahan, perdarahan pervaginam
terutama diakibatkan oleh kadar estrogen
tinggi
akibat
pemakaian
Hormon
Replacement Therapy (HRT) dan akibat
suntikan kontrasepsi hormonal. Faktor
stress psikologi juga berpengaruh. Selain
akibat DUB, beberapa sebab organik
menyebabkan kelainan haid.10
80
KESIMPULAN
Kasus perdarahan pervaginam di RSU
Prof. Dr. RD. Kandou selama periode 1
Januari 2007 sampai 31 Desember 2007
berdasarkan hasil pemeriksaan D & C
tahun 2007, terbanyak disebabkan oleh
DUB sebanyak 53,33 % , sedangkan
keganasan
endometrium
ditemukan
sebanyak 1,11 %
7. Williams AJ, Powell WL, Collins
T, Morton CC. HMGI(Y) expression in
human uterine leiomyoma. Involvement
of
another
high-mobility
group
architectural factor in a benign neoplasm.
Am J Pathol 1997; 150 : 911-18.
8. Speroff L, Fritz MA. The uterus. In :
Clinical Gynecologic endocrinology and
infertility. 7th ed. Philadelphia : Lippincott
Williams & wilkins. 2005: 136-40.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hudono ST, Handaya, Hadisaputra W .
Pemeriksaan ginekologik.
Dalam :
Wiknjosastro
H,
Saifuddin
AB,
Rachimhadhi T. Ilmu kandungan Edisi
ke-2. Jakarta : Yayasan BP SP : 1999 :
134.
2.
Hillard PJA. Benign diseases of
female reproductive tract. In : Berek JS,
Adashi EY, editors. Novak’s Gynecology.
12th ed. Baltimore: Lippincott Williams &
Wilkins. 2002: 370-73.
9. Tanriverdi HA, Barut A, Gün BD,
et al. Pipelle biopsy really adequate for
diagnosing endometrial disease. At
http://www.medscimonit.com.htm.
Retrieved from the web in May 2008
10. Muzaffar M, Akhtar KAK,
Yasmin S et.al. Menstrual irregularities
with excessive blood loss : a clinico –
pathological correlates. JPMA 2005; 55 :
486.
3.
Stanford EJ. Abnormal and
Dysfunctional Uterine Bleeding. In : Ling
FW, Duff P. Obstetric & Gynecology :
Principles for Practice. 1st ed. New York :
Mc Graw-Hill Medical Publishing
Division. 2001: 975-91.
4.
Memarzadeh S, Broder MS,
Wexler AS, et al. Benign disorders of the
uterine corpus. In : DeCherney AH,
Nathan L. Current Obstetric &
Gynecologic Diagnosis & Treatment. 9th
ed. India : Mc Graw-Hill Companies.
2003: 693-99.
5.
Baziad A. Gangguan Haid. Dalam
: Endokrinologi ginekologi. Edisi ke-2.
Jakarta : Media Aesculapius FK UI : 2003
: 26-33.
6.
Zipper R, Wallach EE. Abnormal
Uterine Bleeding. In : Lambrou NC,
Morse AN, Wallach EE. The Johns
Hopkins Manual of Gynecology and
Obstetrics. 1st ed. Philadelphia : Lippincott
Williams & Willkins. 1999: 309-16.
81
POLYMERASE CHAIN REACTION
Titiek Sunaryati
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Real-time PCR, disingkat RT PCR, adalah alat yang umum untuk mendeteksi dan
menghitung ekspresi profil dari gen-gen tertentu. PCR biasanya digunakan untuk
menggandakan lokasi spesifik dari suatu rantai DNA (DNA tujuan). Terdapat tiga teknik
blotting yang berbeda seperti: Southern blot, northern blot, dan western blot. Southern blot
untuk mendeteksi DNA, northern blot untuk mendeteksi mRNA (messenger ribonucleic
acid) dan western blot untuk mendeteksi protein.
POLYMERASE CHAIN REACTION
Titiek Sunaryati
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Real-time PCR, hereafter abbreviated RT PCR, is becoming a common tool for detecting
and quantifying expression profiles of selected genes. PCR is used to amplify a specific
region of a DNA strand (the DNA target). There are three different blotting techniques:
Southern blot, northern blot and western blot. The Southern blot detects DNA, the northern
blot detects mRNA (messenger ribonucleic acid) and the western blot detects proteins.
Introduction
The invention of polymerase chain
reaction (PCR) by Kary Mullis in 1984
was considered as a revolution in science.
Real-time PCR, hereafter abbreviated RT
PCR, is becoming a common tool for
detecting and quantifying expression
profiles of selected genes. The technology
to detect PCR products in real-time, i.e.,
during the reaction, has been available for
the past 10 years, but has seen a dramatic
increase in use over the past 2 years. A
search using the key word real-time and
PCR yielded 7 publications in 1995, 357
in 2000, and 2291 and 4398 publications
in 2003 and 2005, respectively. At the
time of this writing, there were 3316
publications in 2006. The overwhelming
majority of the current publications in the
field of the genomics have been dealing
with the various aspects of the application
of methods in medicine, with the search
for new techniques providing higher
preciosity rates and with the elucidation
of the principal biochemical and
biophysical processes underlying the
phenotypic expression of cell regulation.
Series of RT PCR machines have also
been developed for routine analysis
(Deepak, 2007).
PCR is used to amplify a specific
region of a DNA strand (the DNA target).
Most PCR methods typically amplify
DNA fragments of up to ~10 kilo base
pairs (kb), although some techniques
allow for amplification of fragments up to
40 kb in size (Cheng, 1994).
A basic PCR set up requires several
components
and
reagents.
These
components include:
 DNA template that contains the DNA
region (target) to be amplified.
 Two primers that are complementary
to the 3' (three prime) ends of each of the
82
sense and anti-sense strand of the DNA
target.
 Taq polymerase or another DNA
polymerase with a temperature optimum
at around 70 °C.
 Deoxynucleoside
triphosphates
(dNTPs; also very commonly and
erroneously
called
deoxynucleotide
triphosphates), the building blocks from
which the DNA polymerases synthesizes
a new DNA strand.
 Buffer solution, providing a suitable
chemical environment for optimum
activity and stability of the DNA
polymerase.
 Divalent cations, magnesium or
manganese ions; generally Mg2+ is used,
but Mn2+ can be utilized for PCRmediated DNA mutagenesis, as higher
Mn2+ concentration increases the error
rate during DNA synthesis.
 Monovalent cation potassium ions
(Joseph, 2001).
 Denaturation step: This step is the first
regular cycling event and consists of
heating the reaction to 94-98°C for 20-30
seconds. It causes melting of DNA
template and primers by disrupting the
hydrogen bonds between complementary
bases of the DNA strands, yielding single
strands of DNA.
 Annealing
step:
The
reaction
temperature is lowered to 50-65°C for 2040 seconds allowing annealing of the
primers to the single-stranded DNA
template. Typically the annealing
temperature is about 3-5 degrees Celsius
below the Tm of the primers used. Stable
DNA-DNA hydrogen bonds are only
formed when the primer sequence very
closely matches the template sequence.
The polymerase binds to the primertemplate hybrid and begins DNA
synthesis.
 Extension/elongation
Procedure
The PCR usually consists of a series of
20 to 40 repeated temperature changes
called cycles; each cycle typically consists
of 2-3 discrete temperature steps. Most
commonly PCR is carried out with cycles
that have three temperature steps. The
cycling is often preceded by a single
temperature step (called hold) at a high
temperature (>90°C), and followed by one
hold at the end for final product extension
or brief storage. The temperatures used
and the length of time they are applied in
each cycle depend on a variety of
parameters. These include the enzyme
used for DNA synthesis, the concentration
of divalent ions and dNTPs in the
reaction, and the melting temperature
(Tm) of the primers.
Initialization step: This step consists of
heating the reaction to a temperature of
94-96°C (or 98°C if extremely
thermostable polymerases are used),
which is held for 1-9 minutes. It is only
required for DNA polymerases that
require heat activation by hot-start PCR.
step:
The
temperature at this step depends on the
DNA polymerase used; Taq polymerase
has its optimum activity temperature at
75-80°C, and commonly a temperature of
72°C is used with this enzyme. At this
step the DNA polymerase synthesizes a
new DNA strand complementary to the
DNA template strand by adding dNTPs
that are complementary to the template in
5' to 3' direction, condensing the 5'phosphate group of the dNTPs with the 3'hydroxyl group at the end of the nascent
(extending) DNA strand. The extension
time depends both on the DNA
polymerase used and on the length of the
DNA fragment to be amplified. As a ruleof-thumb, at its optimum temperature, the
DNA polymerase will polymerize a
thousand bases per minute. Under
optimum conditions, i.e., if there are no
limitations due to limiting substrates or
reagents, at each extension step, the
amount of DNA target is doubled, leading
to exponential (geometric) amplification
of the specific DNA fragment.
 Final elongation: This single step is
occasionally performed at a temperature
83
of 70-74°C for 5-15 minutes after the last
PCR cycle to ensure that any remaining
single-stranded DNA is fully extended
(Chien, 1976).
The way to detect PCR results
There are three different blotting
techniques: Southern blot, northern blot
and western blot. The Southern blot
detects DNA, the northern blot detects
mRNA (messenger ribonucleic acid) and
the western blot detects proteins.
The blotting techniques are often used
to detect genetic abnormalities (when
blotted for DNA), as well as certain
infectious diseases (when blotted for
protein).
a.The Southern Blot
The Southern blot is used to detect and
identify certain DNA sequences in a
sample of bodily fluid. It uses singlestranded DNAs to search out their
complementary strands.
When a Southern blot is performed on
DNA, the first step is to incubate the
DNA
with
restriction
enzymes.
Restriction enzymes cut DNA at known
sequences, and produces DNA fragments
of a certain length. Once the DNA is cut
into
pieces,
scientists
conduct
electrophoresis to separate them by size.
Then, since the DNA in the gel is
double-stranded, it is separated into single
strands. The single-stranded DNAs are
then transferred to a special piece of paper
since a labelled probe cannot reach them
inside the gel (too thick). The transfer is
exact and does not disturb the location
and grouping of the DNAs from gel to
paper. This is called "blotting."
The location is important because
scientists know what a certain DNA
sequence profile should look like. Since
there are usually many fragments on a
blot, labelled probes are used to flag the
different pieces of DNA. If the specific
labelled probe meets a complementary
pair on the paper blot, it will bond to it.
Later, a method called autoradiography is
used to read the location of the
attachment. Since the identity of the
labelled probe is already known, the
identity of the DNA from the sample will
also be known.
b.The Northern Blot
The only difference between a
Southern blot and a northern blot is that
the northern blot uses mRNA from
samples instead of DNA. So instead of
applying gel electrophoresis to DNA,
northern blot applies it to mRNA, and
since mRNA is naturally single-stranded,
there is no need to separate the strands as
in a Southern blot.
c.The Western Blot
The western blot is used to detect
different proteins. Gel electrophoresis is
applied to the specific proteins. This
separates them by size and just like in the
other blots, the result is blotted onto a
special paper. The rest of the steps follow
the method for an ELISA (Brown, 2001).
PCR sample in pathology
There are three PCR sample in
pathology:
1.Fresh tissue
Rearrangement of the BCL-2 gene is
the molecular consequence of the t(14;18)
chromosomal translocation, which is
found in approximately 60-90% of
follicular lymphomas. To investigate the
ability of the polymerase chain reaction
(PCR) to detect this rearrangement in
fixed-tissue samples, we studied 48 cases
of follicular lymphoma using DNA
extracted from paired samples of freshfrozen tissue and formalin-fixed, paraffinembedded tissue. A standard phenolchloroform DNA extraction method was
84
used for both types of tissue.
Rearrangements of the major breakpoint
region (MBR) and minor cluster sequence
(MCS) were examined. Three segments of
the human beta-globin gene were also
amplified to estimate the degree of DNA
degradation in the fixed-tissue samples.
PCR of fresh-tissue (intact) DNA revealed
amplifiable products in 29 of the 48
follicular lymphomas (60%), whereas the
fixed-tissue (degraded) DNA studies were
positive in 24 (50%). MBR products were
detected in 24 fresh-tissue samples, and
varied from 80 bp to > 1.5 kb. Twenty of
these cases yielded MBR products in the
corresponding fixed-tissue DNA, ranging
from 80 to 276 bp. Five fresh-tissue and
four fixed-tissue samples produced MCS
segments that ranged from 340 bp to 1.2
kb. Four of the five samples with no
detectable MBR or MCS translocations
using degraded DNA had products greater
than 1.0 kb in the fresh-tissue studies. A
175-bp segment of the beta-globin gene
was amplified in all 29 fixed-tissue
samples; a 324 bp fragment was produced
in 20 samples (69%), and a 676 bp
segment was detected in 13 (45%) (Liu,
1993).
2. Paraffin block
One of the most active research areas
in molecular pathology is retrospective
studies on archival tissue samples.
However, isolating high-quality genomic
DNA from formalin-fixed, paraffinembedded tissue can be difficult because
only minimal amounts of intact DNA may
be present in the sample.1 Because of this,
analysis of the recovered DNA is
generally
limited
to
PCR,
and
amplification of small target sequences
(300 bp or less) is most successful.
The MasterPure™ Complete DNA and
RNA Purification Kit was designed to
isolate DNA and RNA from a variety of
sources, including samples containing
small amounts of nucleic acid. Here, we
provide a protocol for isolating PCR-
ready DNA from paraffin-embedded
tissue using the MasterPure Complete Kit.
We isolate genomic DNA from a biopsy
specimen and show that the DNA is
suitable as a template for PCR by
amplifying a region of the Factor V gene.
Methods and Results
DNA isolation from breast cancer tissue
paraffin sections
The protocol for treatment of formalinfixed, paraffin-embedded tissue samples
prior to purification using the MasterPure
Complete DNA and RNA Purification Kit
is summarized in Table 1. The isolation of
genomic DNA from a breast cancer tissue
section was performed following these
guidelines. Specifically, DNA was
isolated from 0.02 g of 35 µm thick
paraffin-embedded
samples.
(Thin
paraffin sections allow the best recovery
and quickest extraction times). Five
milliliters of xylene were added to the
tissue and the sample was incubated for
10 minutes to extract the paraffin. The
xylene was poured off and the extraction
was repeated. Five milliliters of 100%
ethanol were then added and the sample
was incubated for 10 minutes. The ethanol
was decanted and the ethanol extraction
was repeated. The last traces of ethanol
were removed by aspiration and the tissue
was resuspended in 300 µl of Tissue and
Cell Lysis Buffer 1 containing 1 µl of 50
mg/ml Proteinase K. The sample was
incubated at 37°C for 30 minutes. The
sample was then treated with 150 µl of
Protein Precipitation Reagent, mixed by
vortexing, and centrifuged for 10 minutes
in a microcentrifuge. The DNAcontaining supernatant was transferred to
a clean microcentrifuge tube and 500 µl of
isopropanol were added. The tube was
inverted 30 times and then centrifuged for
10 minutes at 4°C in a microcentrifuge.
The nucleic acid pellet was then washed
twice with 70% ethanol and resuspended
in 50 µl of TE buffer.
85
Table 1. Protocol for the Extraction of DNA from Paraffin-Embedded Tissue.
1.
Weigh out 0.01-0.05 g of a 35 µm thick paraffin section.
2.
Add 1-5 ml of xylene or Hemo-D (Fisher Scientific) to the paraffin section and
incubate for 10 minutes at room temperature to extract the paraffin. Pour off the xylene or
Hemo-D.
3.
Repeat step 2.
4.
Add 1-5 ml of 100% ethanol and incubate for 10 minutes. Pour off the ethanol.
5.
Repeat step 4.
6.
Remove the last traces of ethanol by aspiration.
7.
Continue with the MasterPure Complete protocol2 for nucleic acid recovery. (Note:
the standard protocol requires only a 15-minute incubation of the sample with Tissue and
Cell Lysis Buffer, whereas a 30-minute to 18-hour incubation is required for paraffinembedded tissue samples (Masterpure).
Factor V amplification using the isolated
DNA
One microliter of the human genomic
DNA sample (2% of the total isolated)
was used to amplify a 267 bp region of
the Factor V gene. The sequences of the
primers
used
were:
5'TGTTATCACTGGTGCTAA-3' and 5'TGCCCAAGTGCTTAACAAGACCA-3'.
The 50 µl reaction contained 1X
MasterAmp™ PCR Optimization Kit
PreMix B (1X PCR buffer, 2.5 mM
MgCl2, 200 µM each dNTP) (Epicentre),
50 pmoles of each Factor V primer, 1.25
units of MasterAmp AmpliTherm™ DNA
Polymerase (Epicentre), and 1 µl of the
genomic DNA template. Forty cycles of
amplification were performed with the
following profile: 94°C for 30 seconds,
55°C for 30 seconds, and 72°C for 45
seconds. Five microliters of the sample
were separated on a 2% agarose gel and
the gel was stained with ethidium
bromide. Figure 1 shows that the 267 bp
fragment was easily amplified (Shimizu,
1995).
3.Microdissected tissue section
Tissue sections need to be reviewed
and annotated prior to microdissection to
histologically identify the desired cells for
microdissection. Therefore, an evaluation
of the tissue samples by a pathologist or a
scientist trained in histologic cell
identification of frozen tissues is needed
before, during and after microdissection.
Also of importance is the orientation of
the specimen in the tissue block. This is
particularly important so that the cells of
interest are adequately represented on the
slide. Pathology slide review includes the
evaluation of the tissue integrity,
histopathology, determination of the
adequacy
of
the
sample
for
microdissection based on the amount of
the target cell population, and annotation
of the target cells on the slide. The
pathologist also can give advice on the
staining procedure that will help to better
identify the cells of interest under the
microscope during dissection.

The goals of histopathology consideration before proceeding with tissue
microdissection are: 1) to evaluate the total amount of tissue and the amount of the target
cells in the tissue section present in the block, 2) to study the histopathology of the tissue
specimen and identify the target cells, and 3) to plan the microdissection for each specimen,
taking in account the heterogeneity of tissue samples.

Always make a regular H&E slide for histopathologic analysis before proceeding
with tissue microdissection. Traditional H&E staining (using longer times in each solution
86
than H&E for LCM) and cover slipping of sections 1, 5, and 10 for histopathologic analysis
are recommended prior to beginning the study. These sections will serve as a permanent
record of tissue specimen status and show histologic changes that occur in the deeper
sections.

Always label the slides with the tissue block identification label, the number of the
recut (e.g. 1, 2, 3, etc.), and the date the section was cut from the tissue block.

If you are unsure of the tissue histology represented in the traditional H&Es, consult
with a pathologist to review the slides to accomplish the general goals listed above.

Keep the traditional H&Es used for histopathologic assessment with you when
performing the tissue microdissection. These slides will help in identifying the cells of
interest in the tissue section being used for microdissection. Both slides can be compared
side by side.

Only dissect cells that can be clearly identified. If there is any doubt, do not dissect it
without consulting with a pathologist (Heidi, 2009).
PCR-in situ for Histopatology
The use of in situ RT-PCR to examine
gene expression in disease tissues has
certain advantages over more established
hybridisation, PCR amplification or
antibody-based techniques. As with
immunohistochemistry, detection of gene
expression is at the level of individual
cells, but whereas polyclonal antibody
production by immunisation may take 4
months or longer, and require extensive
optimisation, it is relatively easy to
characterise and optimise oligonucleotide
primers which have considerably less
chemical complexity and therefore,
inherently more predictable properties.
Moreover, while cross-reactivity is a
frequent
problem
when
selecting
antibodies for protein detection, it is a
simple matter to select PCR primers that
are specific to a single member of a gene
family, or even a particular splice variant
of that gene (Heid, 1996).
We have successfully applied in situ
RT-PCR to 1 mm paraffin-embedded
tissue section arrays in order to determine
which cells within a cancer are
responsible for gene over-expression
observed in RNA extracts. A number of
technical manipulations were incorporated
into the in situ protocol to ensure
specificity and fidelity, and these
transferred readily to the micro-array
format. To our knowledge, this is the first
time this procedure has been applied
simultaneously to multiple samples in a
microarray format.
A DNAse digestion step is commonly
used in RT-PCR amplification in order to
reduce the risk of spurious amplification
of genomic DNA. This can also be carried
out on tissue sections but the extensive
incubation time required (up to 16 hr)
means that considerable tissue autolysis
occurs, damaging tissue structure and
making post-PCR identification of cells
difficult. In our protocol, the DNAse
digestion step was omitted so as to better
preserve tissue structure. Modifications to
experimental design were employed to
prevent amplification of genomic DNA.
Although other approaches have been
taken to obviate nuclease pre-treatment,
we employed more conventional means.
Firstly, primers were designed to amplify
across two different exons, so that the
amplified
fragment
from
reverse
transcribed, fully spliced mRNA would be
small (300 bp), whilst the distance
between the same primer sites in genomic
DNA was over 3500 bp. Secondly, the
number of PCR cycles and the duration of
the polymerisation step were minimised
so that any priming from genomic DNA
would fail to achieve chain-reaction
amplification. These strategies had a
number of other beneficial effects: the
PCR cycle number was kept with the
linear range of amplification established
by real-time quantitative RT-PCR, giving
a more quantitative representation of the
87
mRNA remaining in each cell, and
avoiding significant synthesis of nonspecific artifacts. Diffusion of reaction
products away from the site of synthesis,
another problem associated with in situ
PCR, was reduced by this rapid procedure
and exposure of the tissue sections to
destructive
conditions
was
also
minimised, with the result that postamplification staining revealed a high
degree of preservation of tissue
architecture and cellular features.
A consequence of using low PCR
cycle numbers is that the degree of
amplification will be limited, with
implications for detection of the PCR
product.
Standard peroxidase-linked
antibody detection is insufficiently
sensitive.
Chemiluminescent
or
fluorescent detection reagents could be
used instead to amplify the signal, but
these would require specialised image
detection systems and would rapidly
diffuse away from the point of detection.
Immunogold labelling followed by silver
nucleation produced solid particles visible
by light microscopy at magnifications
suitable for visualising tissue and cellular
features. This enabled simultaneous
imaging
of
PCR
products
and
hematoxylin-stained tissue details. The
silver particles were bound to PCR
products via anti-digoxygenin antibodies,
and proved resistant to diffusion,
remaining in the same cellular localisation
as the original mRNA.
A persistent problem with the in situ
PCR procedure has been inconsistency of
results. Dedicated instrumentation has
been designed with the aim of controlling
conditions on a microscope slide, and
some machines accommodate four or
more slides to increase throughput and
lower experimental variability. However,
variation in the quality of paraffinembedded tissue sections, and the number
of steps involved in in situ PCR and the
time taken to acquire data on significant
numbers
of
samples
affect
the
reproducibility of the technique. We
found that a single, standard in situ PCR
coverslip covered up to seventy 1 mm
sections on a Clinomics tissue microarray,
enabling simultaneous amplification of
reverse transcribed RNA in each section
under selected conditions. Although small
tissue sections are more likely to become
dislodged during the process of de-waxing
and amplification, the use of poly-Llysine coated slides decreased these losses
and the cancer tissues examined were
intrinsically more adherent due to their
high cellularity. Thus a significant
number of tissue samples could be
analysed per single experiment. This
approach substantially addresses the
problem of slide-to-slide variability by
subjecting large numbers of samples to
identical experimental conditions. In
addition, our technical modifications
minimised
tissue
damage
during
preparation and amplification, preserving
useful
information
on
cellular
morphology (Staecker, 1994).
REVERSE TRANSCRIPTASE (RT)PCR
Reverse transcription polymerase
chain reaction (RT-PCR) is a variant of
polymerase chain reaction (PCR), a
laboratory technique commonly used in
molecular biology to generate many
copies of a DNA sequence, a process
termed "amplification". In RT-PCR,
however, an RNA strand is first reverse
transcribed into its DNA complement
(complementary DNA, or cDNA) using the
enzyme reverse transcriptase, and the
resulting cDNA is amplified using
traditional or real-time PCR. Reverse
transcription PCR is not to be confused
with real-time polymerase chain reaction
(Q-PCR/qRT-PCR), which is also
sometimes (incorrectly) abbreviated as
RT-PCR. RT-PCR utilizes a pair of
primers, which are complementary to a
defined sequence on each of the two
strands of the cDNA. These primers are
then extended by a DNA polymerase and
a copy of the strand is made after each
88
cycle,
leading
amplification.
to
logarithmic
RT-PCR includes three major steps.
The first step is the reverse transcription
(RT) where RNA is reverse transcribed to
cDNA using a reverse transcriptase and
primers. This step is very important in
order to allow the performance of PCR
since DNA polymerase can act only on
DNA templates. The RT step can be
performed either in the same tube with
PCR (one-step PCR) or in a separate one
(two-step PCR) using a temperature
between 40°C and 50°C, depending on the
properties of the reverse transcriptase
used (Bustin, 2000).
The next step involves the denaturation
of the dsDNA at 95°C, so that the two
strands separate and the primers can bind
again at lower temperatures and begin a
new chain reaction. Then, the temperature
is decreased until it reaches the annealing
temperature which can vary depending on
the set of primers used, their
concentration, the probe and its
concentration (if used), and the cations
concentration. The main consideration, of
course, when choosing the optimal
annealing temperature is the melting
temperature (Tm) of the primers and
probes (if used). The annealing
temperature chosen for a PCR depends
directly on length and composition of the
primers. This is the result of the difference
of hydrogen bonds between A-T (2
bonds) and G-C (3 bonds). An annealing
temperature about 5 degrees below the
lowest Tm of the pair of primers is
usually used.
The final step of PCR amplification is
the DNA extension from the primers
which is done by the thermostable Taq
DNA polymerase usually at 72°C, which
is the optimal temperature for the
polymerase to work. The length of the
incubation at each temperature, the
temperature alterations and the number of
cycles are controlled by a programmable
thermal cycler. The analysis of the PCR
products depends on the type of PCR
applied. If a conventional PCR is used,
the PCR product is detected using agarose
gel electrophoresis and ethidium bromide
(or other nucleic acid staining).
Conventional RT-PCR is a timeconsuming technique with important
limitations when compared to real time
PCR techniques. This, combined with the
fact that ethidium bromide has low
sensitivity, yields results that are not
always reliable. Moreover, there is an
increased cross-contamination risk of the
samples since detection of the PCR
product requires the post-amplification
processing of the samples. Furthermore,
the specificity of the assay is mainly
determined by the primers, which can
give false-positive results. However, the
most
important
issue
concerning
conventional RT-PCR is the fact that it is
a semi or even a low quantitative
technique, where the amplicon can be
visualised only after the amplification
ends.
Real time RT-PCR provides a method
where the amplicons can be visualised as
the amplification progresses using a
fluorescent reporter molecule. There are
three major kinds of fluorescent reporters
used in real time RT-PCR, general non
specific DNA Binding Dyes such as
SYBR Green I, TaqMan Probes and
Molecular Beacons (including Scorpions).
The real time PCR thermal cycler has a
fluorescence detection threshold, below
which it cannot discriminate the
difference
between
amplification
generated signal and background noise.
On the other hand, the fluorescence
increases as the amplification progresses
and the instrument performs data
acquisition during the annealing step of
each cycle. The number of amplicons will
reach the detection baseline after a
specific cycle, which depends on the
initial concentration of the target DNA
sequence. The cycle at which the
instrument
can
discriminate
the
89
amplification generated fluorescence from
the background noise is called the
threshold cycle (Ct). The higher the initial
DNA concentration, the lower its Ct will
be (Innis, 1990).
methods in other fields of human
practices induced rapid expansion of
molecular approaches.
QUANTITATIVE (QT)-PCR
Brown T.A. 2001. Gene Cloning and
DNA analisis An introduction. Blackwell
Publishing HongKong
Q-PCR used to measure the quantity of
a PCR product (commonly in real-time).
It quantitatively measures starting
amounts of DNA, cDNA or RNA. Q-PCR
is commonly used to determine whether a
DNA sequence is present in a sample and
the number of its copies in the sample.
Quantitative real-time PCR has a very
high degree of precision. QRT-PCR
methods use fluorescent dyes, such as
Sybr Green, EvaGreen or fluorophorecontaining DNA probes, such as TaqMan,
to measure the amount of amplified
product in real time. It is also sometimes
abbreviated to RT-PCR (Real Time PCR)
or RQ-PCR. QRT-PCR or RTQ-PCR are
more appropriate contractions, since RTPCR commonly refers to reverse
transcription PCR (see below), often used
in conjunction with Q-PCR (Heid, 1996).
Conclusion
RT PCR is becoming a common tool
for detecting and quantifying expression
profiles of desired genes. The review
itself indicates that the technology to
detect PCR products in real-time, i.e.,
during the reaction, has seen a dramatic
leap in use and application over the past
couple of years. The RT PCR allows
quantitative genotyping and detection of
single nucleotide polymorphisms and
allelic discrimination as well as genetic
variation. Application of RT PCR
combined
with
other
molecular
techniques made possible the monitoring
of both therapeutic intervention and
individual responses to drugs. RT PCR is
a valuable methodic tool in clarifying
such problems. The needs in clinical
application of molecular methods initiated
important developments in diagnostics
stimulating progress in other branches of
science. The introduction of these new
REFERENCES
Bustin SA, 2000. Journal of Molecular
Endocrinology. Absolute quantification of
mRNA
using
real-time
reverse
transcription polymerase chain reaction
assays, 169–193.
Cheng S, Fockler C, Barnes WM, Higuchi
R, 1994. Effective amplification of long
targets from cloned inserts and human
genomic DNA, Proc Natl Acad Sci. 91:
5695–5699.
Chien A, Edgar DB, Trela JM, 1976.
Deoxyribonucleic acid polymerase from
the extreme thermophile Thermus
aquaticus. J. Bacteriol 174: 1550–1557.
Deepak SA, Kottapalli KR, Rakwal R,
2007. Real-Time PCR: Revolutionizing
Detection and Expression Analysis of
Genes, Current Genomics 8(4):234-251.
Heidi S, 2009. Quantitative RT-PCR gene
expression
analysis
of
laser
microdissected tissue samples. Nat.
Protoc 4:902-922.
Heid CA, Stevens J, Livak KJ, Williams
PM,1996. Real time quantitative PCR.
Genome Res. 6:986–994.
Innis MA, 1990. Academic Press. PCR
Protocols: A Guide to Methods and
Applications.
Joseph S, David WR, 2001. Molecular
Cloning: A Laboratory Manual. 3rd ed.
Cold Spring Harbor, N.Y.: Cold Spring
Harbor Laboratory Press, 87969-576-5.
Liu J, Johnson RM, 1993. Rearrangement
of the BCl-2 gene infollicular lymphoma.
Diagn Mol Pathol 2:241-7.
90
Shimizu H, and Burns J.C, 1995. in: PCR
Strategies, Innis, M.A. et al. (eds.),
Academic Press, San Diego, CA, 2.
Staecker H, Cammer M, Rubinstein R,
Van de Water TR, 1994. A procedure for
RT-PCR amplification of mRNAs on
histological specimens. Biotechniques,
16:76–80.
91
GAMBARAN DOPPLER ULTRASOUND DENGAN DIURESIS
DIBANDINGKAN DENGAN HASIL RENOGRAM UNTUK MEMBEDAKAN
UROPATI OBSTRUKTIF DAN NON OBSTRUKTIF
Sianny Suryawati*, M. Yamin Sunaryo**
*Dokter, Peserta Pendidikan Dokter Spesialis I Radiologi, FK Unair/RSUD
dr.Soetomo Surabaya
*Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
**Dokter Spesialis Radiologi, Kepala Instalasi Radiodiagnostik RSUD
dr.Soetomo Surabaya
ABSTRAK
PENDAHULUAN. Ultrasonografi merupakan modalitas pemeriksaan awal dalam diagnosis obstruksi
ginjal. Penggunaan USG Doppler dalam menilai obstruksi ginjal berdasarkan pengukuran vaskuler
ginjal pada beberapa penelitian terdahulu menunjukkan adanya peningkatan resistensi pada arteri
renalis pada kasus-kasus obstruksi. Pemberian furosemid intravena dianggap dapat meningkatkan
sensitivitas ultrasonografi Doppler karena akan meningkatkan tekanan intrarenal pada kasus-kasus
obstruksi.
TUJUAN. Tujuan penelitian ini adalah menentukan akurasi diagnostik USG Doppler dengan diuresis
dibandingkan dengan renografi dalam membedakan hidronefrosis obstruktif dan non-obstruktif.
MATERI DAN METODE. 48 ginjal dari 28 pasien dengan dugaan obstruksi ginjal kronis telah
diteliti selama Januari-April 2011. Semua pasien diperiksa dengan renografi dan USG Doppler
sebelum dan sesudah pemberian furosemid. Berdasarkan temuan renografi, ginjal dikelompokkan
menjadi obstruksi total (n=19), obstruksi parsial (n=18), dilatasi non-obstruktif (n=3), atau normal
(n=8). Kemudian dihitung indeks resistif dan pulsatil dari setiap ginjal dan perbedaannya sebelum dan
sesudah pemberian furosemid 1 mg/kgBB.
HASIL. Indeks pulsatil tidak berbeda secara statistik pada keempat kelompok ginjal yang diteliti.
Namun terdapat perbedaan signifikan pada indeks resistif sebelum dan sesudah pemberian diuresis
pada kelompok obstruksi total, diikuti oleh kelompok obstruksi parsial. Analisa statistik dengan
p=0,05 dan nilai cut-off 0,035 menunjukkan adanya perbedaan indeks resistif sebelum dan sesudah
pemberian diuresis dengan sensitivitas 88.5% dan specificitas 72,3% yang menghasilkan tingkat
akurasi sebesar 73% dalam mendiagnosa obstruksi ginjal.
KESIMPULAN. USG Doppler dengan diuresis cukup akurat dalam membedakan ginjal obstruktif
dan non-obstruktif serta dapat membantu membedakan hidronefrosis obstruktif dari non-obstruktif.
KATA KUNCI. USG Doppler, indeks resistif, indeks pulsatil, obstruksi renal, hidronefrosis.
92
DESCRIPTION OF DOPPLER ULTRASOUND COMPARED WITH THE
RESULTS RENOGRAM diuresis FOR DISTINGUISHING AND NON
obstructive uropathy Obstructive
Sianny Suryawati *, M. Yamin Sunaryo **
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
ABSTRACT
BACKGROUND. Ultrasonography remains a commonly used modality in initial diagnosis of renal
obstruction. Renal vascular measurements by Doppler US have been advocated for the diagnosis of
obstruction based on studies showed definite rise in vascular resistence in renal arteries, and
administration of intravenous furosemide can increased US sensitivity in diagnosing such cases.
OBJECTIVE. The purpose of this study was to determine the diagnostic accuracy of diuresis
Doppler sonography compared with renography in distinguishing obstructive and non-obstructive
hydronephrosis.
MATERIALS AND METHODS. We prospectively studied 48 kidneys in 28 patients suspected
chronic renal obstruction between Januari-April 2011. All patients underwent renography and Doppler
sonography before and after administration of furosemide. According to the findings at renography,
kidneys were classified as total obstruction (n=19), partial obstruction (n=18), non-obstructive
dilatation (n=3), or normal (n=8). The resistive and pulsatile indexes of each kidney and the difference
before and after administration of 1 mg furosemide per kilogram of body weight were calculated.
RESULTS. Pulsatile indexes were not statistically different among four groups included in this
study. There was significant differences in resistive indexes before and after diuresis between kidneys
with total obstructive dilatation, followed with partial obstruction. Statistical analysis revealed
difference in resistive indexes with cut-off 0.035 (p=0.05), with overall sensitivity 88.5%, specificity
72,3% and accuracy rate 73% in diagnosing renal obstruction.
CONCLUSION. Diuresis Doppler sonography is fairly accurate in differentiating obstructed from
nonobstructed kidneys and may facilitate the distinction between obstructive and nonobstructive
hydronephrosis.
KEYWORDS. Doppler sonography, resistive indexes, pulsatile indexes, renal obstruction,
hydronephrosis.
PENDAHULUAN
Obstruksi saluran kemih merupakan kasus
yang banyak membawa pasien datang
kepada dokter. Keadaan ini bisa
menyebabkan kerusakan ginjal permanen
(Pais VM, 2007). Pemeriksaan radiologis
mempunyai
peran
penting
dalam
penatalaksanaan
kasus-kasus
ini.
Ultrasonografi dapat mendeteksi adanya
dilatasi sistem urinari di proksimal dari
titik obstruksi, yang merupakan bukti
tidak langsung adanya obstruksi. Namun,
dilatasi sistem urinari yang tampak pada
USG dikatakan sensitif (90%) tetapi tidak
spesifik (65-84%) untuk diagnosa uropati
obstruktif (Saboo SS, 2007).
Penelitian terhadap patofisiologi obstruksi
menunjukkan bahwa obstruksi akan
menyebabkan penurunan aliran darah
renal akibat peningkatan resistensi
vaskuler. Platt dkk (1991) menyarankan
resistive index 0,7 sebagai batas atas dari
ginjal normal, sehingga nilai resistive
index lebih dari 0,7 menunjukkan
peningkatan resistensi aliran darah yang
mengindikasikan
adanya
uropati
obstruktif (Platt JF, 1991). Pada tahun
1993, Chen dkk mengevaluasi 27 pasien
dengan
kecurigaan
obstruksi
93
menggunakan
USG
Doppler
dan
Intraveous Pyelography (IVP), dengan
hasil resistive index bisa membedakan
ginjal dengan obstruksi ringan dan
obstruksi berat. Pada obstruksi ringan,
rerata resistive index hanya 0,64,
sedangkan pada obstruksi berat rerata
resistive index adalah 0,74. (Chen JH,
1993).
sebelum
dan
sesudah
pemberian
furosemid. Berdasarkan temuan renografi,
ginjal dikelompokkan menjadi obstruksi
total (n=19), obstruksi parsial (n=18),
dilatasi non-obstruktif (n=3), atau normal
(n=8).
Semua
pasien
telah
menandatangani
lembar
persetujuan
sebelum berpartisipasi dalam penelitian
ini.
Pemberian furosemid intravena dianggap
dapat
meningkatkan
sensitivitas
ultrasonografi Doppler karena akan
meningkatkan tekanan intrarenal pada
kasus-kasus obstruksi (Mallek R, 1996).
Yokohama H dan Tsuji Y dalam
penelitiannya
mendapatkan
bahwa
furosemid meningkatkan perbedaan antara
resistive index intrarenal pada ginjal
obstruksi unilateral dan ginjal normal
sehingga bisa meningkatkan deteksi
obstruksi saluran kemih unilateral pada
manusia
(Yokohama
H,
2002).
Rawashdeh YF dkk dalam artikel
tinjauannya terhadap penelitian tentang
USG Doppler yang dikaitkan dengan
uropati obstruktif menyimpulkan bahwa
penelitian mengenai resistif indeks masih
dalam fase perkembangan, sehingga perlu
penelitian lanjutan sebelum tehnik ini
dapat digunakan untuk diagnosis uropati
obstruktif (Rawashdeh YF, 2001).
Metode Penelitian
Oleh sebab itulah perlu dilakukan
penelitian mengenai akurasi diagnostik
USG Doppler dengan diuretik dalam
membedakan uropati obstruktif dan
dilatasi non obstruktif dibandingkan
dengan renogram sebagai metode
referensi.
MATERIAL DAN METODE
Pasien
Pada penelitian ini diperiksa 48 ginjal dari
28 pasien dengan dugaan obstruksi ginjal
kronis selama Januari-April 2011. Pasien
dengan gagal ginjal kronis, hamil, kolik
dalam satu bulan terakhir serta dengan
kelainan anatomis ginjal tidak disertakan
sebagai subyek penelitian. Semua pasien
yang memenuhi kriteria inklusi diperiksa
dengan renografi dan USG Doppler
Pasien dengan hidronefrosis lebih dari
satu bulan baik unilateral maupun
bilateral yang telah dibuktikan dengan
pemeriksaan klinis maupun radiologis
(USG urologi) dan memenuhi kriteria
inklusi maupun eksklusi sejumlah 28
orang dimintakan pemeriksaan renogram
di Divisi Kedokteran Nuklir Bagian
Radiologi Diagnostik RSU Dr. Soetomo
Surabaya menggunakan Tc99m-hippuran.
Berdasarkan hasil pemeriksaan renogram
tersebut, terdapat 48 ginjal yang
memenuhi kriteria inklusi yang kemudian
menjalani pemeriksaan USG Doppler
ginjal sebelum dan sesudah pemberian
diuretik berupa furosemid 1 mg/kgBB di
Divisi Ultrasonografi Bagian Radiologi
Diagnostik RSU Dr. Soetomo Surabaya
dengan satu operator pemeriksa, yang
dilaksanakan pada bulan Januari-April
2011.
Analisa Statistik
Data akan dianalisis secara deskriptif
maupun analitik. Sebelum dilakukan uji
hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji
terhadap normalitas dan homogenitas
data. Data hasil evaluasi selisih Resistive
Index (Δ RI) dan Pulsatile index (Δ PI)
USG Doppler sebelum dan sesudah
pemberian
furosemid
pada
ginjal
obstruksi, obstruksi parsial, dilatasi non
obstruksi,
dan
normal
dievaluasi
menggunakan
uji
Anova.
Untuk
perbandingan hasil Δ RI ginjal antara
ginjal obstruksi, obstruksi parsial, dilatasi
non obstruksi dan ginjal normal dipakai
uji Turkey/HSD bila datanya homogen,
dan menggunakan uji Kruskal Wallis bila
datanya tidak homogen. Data dianalisa
dengan software komersial.
94
HASIL
Terdapat 28 orang pasien yang menjadi
sampel penelitian dan dari jumlah tersebut
didapatkan 48 ginjal yang masuk dalam
kriteria inklusi, sedangkan delapan ginjal
tidak dimasukkan sebagai variabel yang
diteliti karena termasuk kategori failure
berdasarkan hasil renogram. Di antara 28
pasien tersebut, delapan pasien dengan
gangguan ginjal unilateral dan 20
diantaranya dengan gangguan ginjal
bilateral. Dari 28 pasien yang ada, 17
adalah wanita dan 11 sisanya adalah pria.
Ke-48 ginjal yang diperiksa dikategorikan
menjadi empat kelompok berdasarkan
hasil renogram yaitu : obstruksi total
sebanyak 19 ginjal (39,6%), obstruksi
parsial 18 ginjal (37,5%), normal
sebanyak 8 ginjal (16,7%), dan dilatasi
non obstruksi sebanyak 3 ginjal (6,3%).
Pada seluruh pasien tersebut dilakukan
pemeriksaan USG Doppler sebelum dan
sesudah injeksi diuretik (Furosemid
1
mg/kgBB iv) dengan hasil yang terlihat
pada Tabel 1.
Perhitungan normalitas data pada masingmasing kelompok dilakukan sebelum uji
parametrik karena data yang terkumpul
merupakan
data
berskala
rasio,
menggunakan Shapiro Wilk. Oleh karena
data berdistribusi normal maka dilakukan
pengujian
statistik
parametrik
menggunakan uji One Anova dengan hasil
menunjukkan selisih resistif indeks yang
paling besar pada kelompok obstruksi
total kemudian diikuti obstruksi parsial
dan kemudian normal (Tabel2). Untuk
dilatasi non obstruktif diperoleh hasil
negatif yang berarti data sesudah lebih
rendah dibandingkan sebelum pemberian
furosemide.
Tabel 1. Deskripsi data RI dan PI pada seluruh sampel, RSU Dr. Soetomo, 2011
Kelompo
k
RI Pre
Delta
RI Post RI
PI Pre
PI Post
Delta
PI
Obs. total Mean
0.6611
0.7111
0.0542
1.2447
1.4821
.1321
N
19
19
19
19
19
19
SD
0.07164 0.07310 0.04574 0.25470 0.34218 0.30239
Median
0.6800
0.6900
0.0600
1.2200
1.3400
0.1800
Minimum
0.54
0.63
-0.04
0.76
1.02
-0.65
Maximum
0.79
0.88
0.11
1.73
2.43
0.82
Range
0.25
0.25
0.15
0.97
1.41
1.47
0.6828
0.7256
0.0428
1.3050
1.4567
.1517
N
18
18
18
18
18
18
SD
0.08574 .06119
.04390
.28174
.27585
.10303
Median
0.6650
.7300
.0450
1.1900
1.4150
.1700
Minimum
0.52
.63
-.03
1.02
1.12
-.02
Maximum
0.84
.84
.12
1.85
2.07
.28
Range
0.32
.21
.15
.83
.95
.30
Obs.parsi Mean
al
95
Normal
Dilatasi
Non Obs
Mean
0.6250
.6525
.0275
1.1438
1.1788
.0350
N
8
8
8
8
8
8
SD
.07151
.09438
.03919
.15146
.25028
.12604
Median
.6300
.6550
.0150
1.1350
1.1500
.0250
Minimum
.50
.50
-.01
.96
.86
-.12
Maximum
.75
.79
.11
1.43
1.65
.22
Range
.25
.29
.12
.47
.79
.34
.6267
.5967
-.0300
1.1533
1.1033
-.0500
N
3
3
3
3
3
3
SD
.06807
.10116
.03606
.18009
.24705
.07000
Median
.6500
.6500
-.0200
1.1600
1.1400
-.0200
Minimum
.55
.48
-.07
.97
.84
-.13
Maximum
.68
.66
.00
1.33
1.33
.00
Range
.13
.18
.07
.36
.49
.13
Mean
Tabel 2. Deskripsi data resistif indeks berdasarkan kelompok, RSU Dr. Soetomo, 2011.
Kelompok
Rata – rata
SD
Lower
Upper
Obstruksi total
0.0542
0.04574
0.0322
0.0763
Obstruksi parsial
0.0428
0.04390
0.0209
0.0646
Normal
0.0275
0.03919
-0.0053
0.0603
Dilatasi Non Obstruksi
-0.0300
0.03606
-0.1196
0.0596
Gambaran selengkapnya nilai rata–rata delta RI antar kelompok serta nilai standar error dari
mean dapat dilihat pada gambar berikut :
Error Bars show 95.0% Cl of Mean
Bars show Means
0.10

Delta RI

0.05
0.04
0.03

n=19
n=18
n=8
0.00
n=3

-0.03
Gambar 1. Perbandingan Mean Delta RI
pada masing – masing kelompok
-0.10
1
2
3
4
Kelompok
96
Perhitungan dengan menggunakan uji
One Way Anova diperoleh selisih resistif
indeks sebelum dan sesudah antar
kelompok perlakuan berbeda secara
signifikan (p < 0,05).
kelompok data berdistribusi normal
sehingga pengujian statistik parametrik
dilakukan menggunakan uji One Way
Anova. Deskripsi nilai delta PI
selengkapnya dapat dilihat pada tabel di
bawah ini :
Sedangkan
hasil
perhitungan
PI
menunjukkan
bahwa
pada
empat
Tabel 3. Deskripsi data delta PI berdasarkan kelompok, RSU Dr. Soetomo, 2011
Kelompok
Rata – rata
Std.
Deviation
Lower
Bound
Upper
Bound
Obstruksi total
0.1321
0.30239
-0.0136
0.2779
Obstruksi parsial
0.1517
0.10303
0.1004
0.2029
Normal
0.0350
0.12604
-0.0704
0.1404
Dilatasi Non Obstruksi
-0.0500
0.07000
-0.2239
0.1239
Gambaran selengkapnya nilai rata – rata delta PI antar kelompok serta nilai standar error dari
mean dapat dilihat pada gambar berikut :
Error Bars show 95.0% Cl of Mean
.
Bars s how Means
0 .20

Delta PI

0.13
0.15
0.04
n=19
n=18
n=8

0 .00
n=3

-0.05
Gambar 2. Perbandingan Mean Delta PI pada
masing – masing kelompok
-0 .2 0
1
2
3
4
Kelompok
97
Hasil penelitian menunjukkan selisih PI
yang paling besar pada kelompok
obstruksi parsial kemudian diikuti
obstruksi total dan kemudian normal.
Untuk dilatasi non obstruktif diperoleh
hasil negatif yang berarti data sesudah
lebih rendah dibandingkan sebelum. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa data
antar kelompok tidak homogen sehingga
pengujian dilakukan menggunakan uji
Kruskal Wallis dengan hasil selisih PI
sebelum dan sesudah antar kelompok
perlakuan tidak berbeda secara signifikan
(p < 0,05). Oleh karena tidak ada
perbedaan maka tidak dilakukan uji lanjut.
Kemudian
dilakukan
pengujian
sensitifitas dan spesifisitas dari delta
resistive index USG Doppler. Untuk
klasifikasi obstruksi total dan parsial
dimasukkan ke dalam kelompok obstruksi
(n=37) dan ginjal normal dan dilatasi non
obstruksi dimasukkan ke dalam kelompok
non obstruksi (n=11). Nilai uji diagnostik
delta resistif indeks USG Doppler
terhadap hidronefrosis dengan obstruksi
berdasarkan hasil renogram dapat dilihat
pada tabel di bawah ini :
Tabel 4. Delta resistif indeks terhadap renogram berdasarkan nilai cut off
Hasil renogram
Delta resistif > 0.035
indeks
< 0,035
Obstruksi
Non Obstruksi
23 (88.5 %)
3 (11.5 %)
26 (54.2 %)
14 (63.6 %)
8 (36.4 %)
22 (45.8 %)
37 (77.1 %)
11 (22.9 %)
48
Dari tabel di atas, dapat dihitung
sensitivitas
yaitu sebesar 88.5 %,
spesifisitas 72.3 %, nilai duga positif
(PPV) 62.2 %, nilai duga negatif (NPV)
(100 %)
36.4 %, rasio kemungkinan positif 3.2,
dan rasio kemungkinan negatif 0,16.
Berikut adalah grafik ROC untuk delta
resistif indeks :
ROC Curve
1.00
.75
Sensitivity
.50
.25
Gambar 3. Kurva ROC pada delta RI
0.00
0.00
.25
.50
.75
1.00
1 - Specificity
Diagonal segments are produced by ties.
98
Area
Cut off
Std.
Error(a)
Asymptotic
Sig.(b)
dibawah
kurva
0.035
0.731
0.087
0.021
Asymptotic
Confidence Interval
Lower
Bound
Upper
Bound
0.561
0.901
95%
Area dibawah kurva pada kurva ROC diatas didapatkan angka 0,731 (73,1%) dengan hasil
akurasi nilai diagnostik sedang (fair = 0.6 – 0.7).
PEMBAHASAN
Dilatasi sistem kolekting renal merupakan
temuan yang umum pada imejing, dan
penting untuk membedakan obstruksi
renal yang sesungguhnya dengan dilatasi
non obstruktif.(3) Pyelocaliectasis yang
tampak pada sonografi gray-scale telah
terbukti sensitif (≥ 90%) tetapi tidak
spesifik (65- 84%) dalam mendiagnosis
uropati obstruktif (Saboo SS, 2007). Baik
Platt dkk melaporkan bahwa pada sekitar
sepertiga pasien, diagnosis uropati
obstruktif terlewatkan oleh sonografi
konvensional karena tidak timbul
pyelocaliectasis atau timbul lambat pada
fase obstruktif (Platt JF, 1991). IVP dan
retrograde pyelography memberikan
informasi tentang uropati obstruktif secara
anatomis. Uji Whitaker dianggap sebagai
standar emas untuk mendiagnosa uropati
obstrukti, namun uji ini dapat gagal pada
berbagai keadaan tertentu. Sensitivitas
dan spesifisitas uji Whitaker untuk
mendiagnosis uropati obstruktif masingmasing adalah 93% dan 91%. Renogram
diuretik ginjal yang dalam banyak kasus
telah menggantikan uji Whitaker yang
invasif dapat menghasilkan positif palsu
jika diuretik ini diberikan sebelum
pengisian maksimal sistem kolekting, jika
ginjal tidak merespon diuretik secara
adekuat, jika drainase kandung kemih
tidak memadai selama penelitian, atau jika
fungsi ginjal telah menurun. Sensitivitas
dan spesifisitas dari renogram diuretik
adalah 97% dan 75% bila dibandingkan
dengan uji Whitaker atau pembedahan
dan 83% dan 94% jika dibandingkan
dengan IVP atau pembedahan (Vade A,
1999)
Ultrosonografi Doppler dengan diuretik
merupakan suatu modifikasi USG
Doppler
konvensional
yang
memanfaatkan respon fisiologis ginjal
yang mengalami obstruksi dan non
obstruksi
oleh
stimulasi
diuretik
(Gillenwater YJ, 2002). Aliran darah
arteri renalis menunjukkan respon
hemodinamik bifasik sebagai respon
terhadap obstruksi. Segera setelah
timbulnya obstruksi, peningkatan tekanan
pelvis
ginjal
yang
menyebabkan
vasodilatasi luas dari vascular bed ginjal
karena pelepasan prostaglandin lokal.
Dengan
obstruksi
lengkap
yang
berkepanjangan, suatu kompleks sistem
peraturan hormonal membalikkan respon
vasodilatasi awal dan menyebabkan
vasokonstriksi difus pada vascular bed
ginjal yang akan berlangsung selama
masih terjadi obstruksi. Transisi antara
kedua tahap ini terjadi 6 sampai 8 jam
setelah mulainya obstruksi. Peningkatan
resistensi vaskuler ginjal dapat diukur
secara sonografi menggunakan RI.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pemberian diuretik mempunyai efek yang
dapat diukur terhadap resistensi vaskuler
renal yang dapat terlihat pada USG
Doppler (Tamm EP, 2003; Saboo SS,
2007; Platt JF, 1991)
Penelitian kami memeriksa 48 ginjal yang
terbagi ginjal ke dalam 4 (empat)
kelompok berdasarkan hasil renogram.
Pada penelitian ini rata–rata usia adalah
48 tahun dengan rentang usia antara 23
sampai 78 tahun. Nilai RI sebelum
diberikan diuretik yang didapatkan pada
kelompok obstruksi total adalah 0.66 ±
0.07, kelompok obstruksi parsial adalah
99
0.68 ± 0.08, kelompok ginjal normal
adalah 0.62 ± 0.07, dan kelompok dilatasi
non obstruksi adalah 0.63 ± 0.07. Rata–
rata resistif indeks sebelum diberikan
furosemid pada ginjal obstruksi total dan
parsial lebih tinggi daripada rata–rata
ginjal yang normal dan dilatasi non
obstruksi, yang mana hasil ini sesuai
dengan yang didapatkan oleh Platt dkk
serta Chen dkk (Platt JF, 1989, Chen,
1993).
Pada kelompok obstruksi total, yang
terdiri atas 19 ginjal, didapatkan rata-rata
peningkatan RI sebelum dan sesudah
pemberian furo
sebesar 0.05 (p<0.05). Sedangkan pada
kelompok obstruksi parsial (18 ginjal)
didapatkan rata-rata selisih PI yang lebih
kelompok normal (8 ginjal) dan dilatasi
non-obstruksi (3 ginjal) tidak didapatkan
peningkatan nilai RI sebelum dan sesudah
-0.03,
p<0.05). Hasil ini sesuai dengan
penelitian oleh Renowden dkk dan Mallek
dkk (Renowden, 1992, Mallek R, 1996).
Menggunakan nilai ambang pembeda
0.05, maka hasil uji statistik menunjukkan
nilai sensitifitas RI sebesar 88.5 % dan
spesifisitas RI sebesar 72.3% dengan
NPV sebesar 36.4 % dan PPV sebesar
62.2 %. Sedangkan perhitungan dengan
menggunakan
uji
Kruskal
Wallis
diperoleh selisih PI sebelum dan sesudah
antar kelompok perlakuan tidak berbeda
secara signifikan (p < 0,05. Literatur
menunjukkan sensitivitas (37-90%) dan
spesifisitas (82-90%) RI ginjal yang
bervariasi dalam diagnosis obstruksi.
Menggunakan nilai ambang pembeda
RI > 0.07, Saboo dkk menyatakan bahwa
sensitivitas dan spesifisitas USG Doppler
dalam mendiagnosa uropati obstruktif
adalah sebesar 87.5% dan 90%. Namun
dengan memakai nilai ambang pembeda
> 0.06, maka sensitivitasnya naik
menjadi 95% dan spesifisitas 100%
(Tamm EP, 2003). Sedangkan Mallek dkk
mendapatkan sensitifitas 75% dan
spesifisitas 90% untuk hasil resistif indeks
setelah pemberian diuretik (Mallek R,
1996). Pada penelitian lain Gomez dkk
dari
penelitiannya
yang
hanya
memfokuskan pada anak – anak, mereka
mendapatkan sensitifitas hanya 46% dan
spesifisitas 100% dan nilai duga prediktif
79% (Gomez FA, 1999).
Beberapa keterbatasan penelitian ini
antara lain mengenai jumlah pasien,
keterbatasan renogram, dan keterbatasan
USG Doppler itu sendiri. Meskipun dalam
penelitian ini terdapat 30 pasien dengan
48 ginjal yang memenuhi kriteria inklusi,
namun pembagian ke dalam empat
kelompok berdasarkan hasil renogram
menurunkan jumlah ginjal yang diteliti
dalam setiap kelompok. Akibatnya jumlah
ginjal dalam keempat kelompok bervariasi
dari tiga sampai 19 ginjal. Oleh karena
itu, kami menganjurkan dilakukan
penelitian lanjutan dengan jumlah sampel
yang lebih besar.
Renogram sebagai metode referensi
memiliki sejumlah keterbatasan, terutama
pada pasien dengan penurunan fungsi
ginjal yang berat atau pada pasien dengan
dilatasi hebat sistem kolekting. Namun,
meskipun memiliki keterbatasan, metode
ini dipilih karena merupakan metode
noninvasif pilihan dalam konteks
diagnostik klinis pada obstruksi saluran
kemih (Platt, 1989).
Keterbatasan ketiga pada penelitian ini
adalah mengenai USG Doppler itu
sendiri,
karena
pemeriksaan
ini
mempunyai spesifisitas yang terbatas
dalam analisa kemungkinan obstruksi
karena RI dapat pula meningkat pada
pasien dengan penyakit ginjal (Platt,
1989; Renowden SA, 1992). Sifat aliran
darah ginjal yang menurun sebagai respon
terhadap obstruksi parsial kronis ureter,
akan menyebabkan penurunan filtrasi
urine dan diikuti kembalinya tekanan
intrapelvis dalam rentang normal. Faktor
lain yang menyebabkan normalisasi
tekanan intrapelvis meliputi peningkatan
reabsorpsi urin oleh sistem vena dan
limfatik dan dilatasi saluran kemih
proksimal dari
obstruksi. Beberapa
penulis melaporkan bahwa RI mungkin
tidak meningkat pada pasien dengan
obstruksi parsial saluran kemih (Gomez
100
FA, 1999). Nilai RI yang diperoleh dalam
6 jam dari obstruksi akut, ekstravasasi
urine pelvicaliceal, dan obstruksi saluran
kemih parsial atau kronis kemih dapat
menghasilkan pembacaan negatif-palsu.
Semua kasus hidronefrosis obstruktif
dalam penelitian kami bersifat kronis.
RI dalam penelitian ini tidak berbeda
nyata dari ginjal dilatasi non obstruksi
atau dari ginjal normal. Tinjauan literatur
juga menunjukkan bahwa kepekaan dan
akurasi
Doppler
sonografi
untuk
mendiagnosa uropati obstruktif tidak
hanya tergantung pada apakah RI ginjal
dengan obstruksi dibandingkan dengan
ginjal normal atau ginjal dengan dengan
dilatasi non obstruksi tetapi juga pada
apakah IVP, renography Lasix, uji
Whitaker, atau operasi yang digunakan
sebagai baku emas untuk diagnosis
uropati
obstrukstif.
Setelah
pielokaliektasis
diidentifikasi
pada
sonografi konvensional gray-scale, studi
lebih lanjut diperlukan untuk menegakkan
diagnosis obstruksi saluran kemih.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Ada perbedaan (
antara pre-diuretik dengan post-diuretik
pada kelompok ginjal dengan obstruksi,
dengan selisih terbesar didapatkan pada
kelompok obstruksi total.
2.
Perbedaan signifikan hanya pada
kelompok obstruksi total dengan dilatasi
non obstruktif dan pada kelompok
obstruksi parsial dengan dilatasi non
obstruktif.
3.
Pada kelompok obstruksi total
dan parsial, tidak didapatkan perbedaan
hasil USG Doppler.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
dengan jumlah sampel yang lebih besar
dan alat USG yang lebih canggih
sehingga hasil yang didapatkan lebih
akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Brown SCW (2001). Nuclear Medicine
Techniques. In: Weiss RM, George NJR,
O’Reilly PH (eds). Comprehensive
Urology, 139 – 41, Mosby. Edinburgh.
Chen et al., 1993. Chen JH, Pu YS, Liu
SP, Chiu
TY
(1993). Renal
hemodynamics
in
patients
with
obstructive uropathy evaluated by duplex
Doppler sonography. J Urol; 150:18-21.
Fung LCT, Steckler RE, Khoury AE, et al
(1994).
Intrarenal
resistive
index
correlates with renal pelvis pressure. J
Urol; 152:607-611.
Gillenwater YJ (2002). Hydronephrosis.
In : Adult and Pediatric Urology. pp 1438
– 44. Lippincot William Wilkins.
Philadhelphia.
Gomez FA et al (1999). Diagnostic
comparison of diuretic isotopic renogram
and diuretic Doppler ultrasonography in
pediatric hydronephrosis. Cir Pediatr;
12(2) pp 51-5.
Gottlieb RH, Luhmann K, Oates RP
(1989). Duplex ultrasound evaluation of
normal native kidneys and kidneys with
urinary tract obstruction. J Ultrasound
Med;8:609-611
Jackson EK (2006). Diuretics. In :
Brunton LL, Lazo JS, Parker KL (eds).
Pharmacological Basis Of Therapeutics.
11th ed. McGraw-Hill. New York.
Lin EP, Bhatt S, Dogra VS, Rubens DJ
(2007). Sonography of Urolithiasis and
Hydronephrosis. Ultrasound Clin 2;1-16.
Mallek R, Bankier AA, et.al (1996).
Distinction between Obstructive and Non
Obstructive Hydronephrosis : Value of
Diuresis Duplex Doppler Sonography.
AJR; 166:113-117.
Murphy ME, Tublin ME (2000).
Understanding the Doppler RI: impact of
renal arterial distensibility on the RI in a
hydronephrotic ex vivo rabbit kidney
model. J Ultrasound Med;19:303–314
101
Pais VM, Strandhoy JW, Assimos DG
(2007). Upper urinary tract obstruction
and trauma. In: Wein AJ et al (eds)
Cambell-Walsh Urology. 9th ed.
Saunders Elsevier. Philadhelphia.
Platt JF (1991). Duplex Doppler
Evaluation of Native Kidney Dysfunction:
Obstructive and Nonobstructive Disease.
AJR;158:1035-1042
Platt JF, Rubin J, Ellis J (1989).
Distinction between obstructive and
nonobstructive pyelocaliectasis duplex
Doppler sonography. AJR;153:997–1000.
Platt JF, Rubin JM, Ellis JH, et.al (1989).
Duplex
Doppler
US
of
the
kidney:differentiation of obstructive from
non
obstructive
dilatation.
Radiology;171:515-517.
Platt
JF, Ellis
JH, Rubin
JM
(1991). Examination of native kidneys
with duplex Doppler ultrasound. Semin
Ultrasound CT MR; 12:308-318.
Platt JF, Rubin JM, Ellis JH (1993). Acute
renal obstruction: Evaluation with
intrarenal
duplex
Doppler
and
conventional US. Radiology; 186:685688.
Tamm EP, Silverman PM, Shuman WP
(2003). Evaluation of the patient with
flank pain dan possible ureteral calculus.
Radiology;228:319-329.
Taylor AT (2007). Kidney. In : Biersack
HJ et al (eds). Clinical Nuclear Medicine.
Springer – Verlag. Berlin pp 178 – 80.
Tublin ME, Bude RO, Platt JF (2003).
The Resistive Index in Renal Doppler
Sonography: Where do We Stand ? AJR;
180: 885 – 892.
Tublin ME, Dodd GD, Verdile VP (1994).
Acute renal colic: Diagnosis with duplex
Doppler US. Radiology; 193:697-701.
Vade A, Dudiak C, McCarthy P, et al
(1999). Resistive Indices in the
Evaluation of Infants with Obstructive
and Nonobstructive Pyelocaliectasis. J
Ultrasound Med 18:357–361.
Yokoyama H, Tsuji Y (2002). Diuretic
Doppler ultrasonography in chronic
unilateral partial ureteric obstruction in
dogs. BJU International, 90 pp 100–104
Rawashdeh YF, Djurhuus JC, Mortensen
J, Horlyck A, Frokiaer J. (2001), The
intrarenal
resistive
index
as
a
pathophysiological marker of obstructive
uropathy. J Urol, 165:, pp 1397–404
Renowden SA, Cochlin DL (1992). The
effect intravenous furosemide on the
Doppler waveform in normal kidney. J
Ultrasound Med; 11(3): 65 – 8.
Saboo SS, Soni SS, Saboo SH, et.al
(2007). Doppler sonography in acute renal
obstruction. Indian J Radiol Imaging, vol.
17, issue 3 : 188-192.
102
TOXOPLASMOSIS, TERAPI DAN PENCEGAHANNYA
Ernawati
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Toxoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi dengan parasite obligat intraselluler
Toxoplasma gondii. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia karena kemampuannya untuk menimbulkan
infeksi yang bisa mengenai setiap sel penjamu yang berinti. Toxoplasma gondii dapat ditularkan
kepada janin jika ibu mendapat infeksi primer sebelum kehamilan. Pencegahan dapat dilakukan
dengan cara vaksinasi pada ibu hamil yag beresiko tertular Toxoplasma gondii serta hygiene dan gaya
hidup sehat dianjurkan untuk menghindari makanan yang terkontaminasi.
Toxoplasmosis, Therapy and prevention
Ernawati
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Toxoplasmosis is a disease caused by infection with the obligate intracellular parasite Toxoplasma
gondii. The disease is spread all over the world because of its ability to cause infections that may
affect any of the host cell nucleus. Toxoplasma gondii can be transmitted to the fetus if the mother has
a primary infection prior to pregnancy. Prevention can be done by way of vaccination in pregnant
women at risk of contracting Toxoplasma gondii yag as well as hygiene and healthy lifestyles are
encouraged to avoid foods that are contaminated.
PENDAHULUAN
Toxoplasma gondii adalah protozoa
dengan penyebaran luas. Infeksi oleh
T.gondii dapat menyebabkan terjadinya
toxoplasmosis, infeksi tesebut dapat
terjadi pada hewan dan manusia.
Toxoplasma merupakan parasit protozoa
dengan
sifat
alami,
perjalanan
penyakitnya dapat bersifat akut atau
menahun,
simptomatik
maupun
asimptomatik.T.gondii mengalami siklus
aseksual pada spesies vertebrata berdarah
panas. Penularan pada manusia terjadi
dengan cara menelan kista yang berisi
bradizoit yang terdapat pada daging yang
terinfeksi, atau secara tidak sengaja
menelan ookista yang terdapat pada
ekskreta kucing. Frekuensi penyebaran
tergantung
pada
kelembaban
dan
temperatur ( yang mempengaruhi
ketahanan ookista di dalam lapisannya ),
dan kebiasaan mengkonsumsi daging
yang tidak dimasak atau kurang matang.
Di Eropa, sebagai contoh, angka
prevalensi di Norwegia sekitar 10% dan
di Perancis sampai 50%. Hal ini
menunjukkan bahwa infeksi tergantung
persistensi jangka panjang parasit dalam
menghasilkan protektif imun. Namun
hanya infeksi primer T.gondii yang dapat
melalui transmisi materno – fetal. Jika
toxoplasmosis terjadi pada masa postnatal
hampir selalu infeksinya jinak. Infeksi
congenital dapat menyebabkan infeksi
patologis
yang
berat,
biasanya
karioretinitis pada usia anak / dewasa.
Dalam kasus transmisi awal pada
kehamilan,
dapat terjadi
kelainan
neurologis
yang
mengakibatkan
malformasi berat atau lahir mati.
Penatalaksanaan
vaksinasi
untuk
mencegah transmisi materno – fetal
terhambat oleh minimnya pengetahuan
mengenai mekanisme proteksi terhadap
infeksi T.gondii.
Teori proteksi proteksi dari imun respon
type Th1 dan terutama produksi dari
Interferon γ ( IFN γ ) dapat
menyingkirkan
toxoplasmosis
yang
didapat ( acuisita ). Namun bagaimanapun
juga teori ini masih belum jelas apakah
dapat berperan proteksi pada fetus juga.
103
DEFINISI TOXOPLASMOSIS
Beberapa definisi akan dibahas dalam
makalah ini berkaitan dengan penyakit
toxoplasmosis, yaitu :
- Toxoplasmosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi dengan parasit
obligat intraselluler Toxoplasma gondii.
- Infeksi toxoplasma akut : infeksi yang
didapat sesudah bayi dilahirkan, biasanya
asimptomatik.
- Infeksi toxoplasma kronik : terjadinya
persistensi kista dalam jaringan yang
berisi parasit pada individu yang secara
klinis asiptomatik.
- Toxoplasmosis akut maupun kronik :
suatu keadaan saat parasit menjadi
penyebab terjadinya gejala dan tanda
klinis ( antara lain : ensefalitis,
miokarditis, pneumonia ).
- Toxoplasmosis congenital : infeksi
pada bayi baru lahir yang terjadi akibat
penularan parasit secara transplasental
dari ibu yang terinfeksi terhadap janinnya.
Bayi ini biasanya asiptomatik pada saat
dilahirkan tapi di kemudian hari akan
timbul manifestasi berupa gejala dan
tanda dengan kisaran yang luas seperti :
korioretinitis, strabismus, epilepsi dan
retardasi psikomotor.
Toxoplasmosis pada penjamu dengan
daya imun yang baik akan mengalami
perjalanan penyakit sebagai berikut :
a. Akan sembuh sendiri
b. Lama sakit yang singkat
c. Menjadi toxoplasmosis kronik
Pada umumnya ketiga proses tersebut
bersifat asimptomatik, tetapi bila suatu
saat daya imun seseorang yang telah
terinfeksi tersebut menurun, dapat timbul
tanda dan gejala klinis kembali.
ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh T.gondii
yang
merupakan
parasit
obligat
intraselluler ( protozoa ) dari ordo
Coccidia yang dapat menimbulkan infeksi
pada burung dan mamalia. Toxoplasma
gondii ada dalam 3 bentuk di alam :
1. Ookista adalah bentuk yang resisten di
alam
2. Trofozoid adalah bentuk vegetatif dan
proliferatif
3. Kista bentuk yang resisten di dalam
tubuh
Ada 2 aspek yang berbeda pada siklus
kehidupan T.gondii, yakni :
1. Bentuk proliferatif ( aseksual ) terjadi
pada penjamu perantara seperti : burung,
mamalia, manusia, disebut juga siklus
nonfeline.
2. Bentuk reproduktif ( seksual ), terjadi
pada usus kucing sebagai penjamu
definitif, dosebut juga siklus feline ( feline
= kucing ).
T.gondii dapat tumbuh dalam semua sel
mamalia kecuali sel darah merah yang
bisa dimasuki
tapi tanpa terjadi
pembelahan. Selama infeksi akut, parasit
dapat ditemukan dalam banyak organ
tubuh.
Begitu melekat pada sel penjamu dan sel
secara aktif mengadakan penetrasi ke
dalamnya, parasit akan membentuk
vakuola parasitoforus dan mengadakan
pembelahan. Waktu pembelahan sekitar 6
– 8 jam untuk strain yang virulen. Bila
jumlah parasit dalam sel mendekati masa
kritis ( ± 64 – 128 dalam kultur ), sel
tersebut akan ruptur dengan melepaskan
takizoit dan menginfeksi sel didekatnya.
Dengan cara ini organ yang terinfeksi
segera memperlihatkan bukti adanya
proses sitopatik.
Sebagian besar takizoit akan dieliminasi
dengan bantuan respon imun dari
penjamu, baik humoral maupun seluler.
Sekitar 7 -10 hari sesudah infeksi sistemik
oleh takizoit terbentuklah kista di dalam
jaringan yang berisi bradizoit. Kista
jaringan ini terdapat dalam sejumlah
organ tubuh, tetapi pada prinsipnya di
dalam SSP dan otot parasit tersebut
berada sepanjang siklus penjamu.
Kalau kista tersebut termakan ( misalnya
manusia memakan produk daging yang
tidak dimasak sampai matang ) membrane
kista akan segera dicerna dengan adanya
104
sekresi asam
rendah.
lambung
yang
pHnya
Pada penjamu nonfeline, bradizoit yang
termakan akan memasuki epithelium usus
halus dan mengadakan transformasi
menjadi takizoit yang membelah dengan
cepat, terjadilah infeksi takizoit sistemik
akut, ini diikuti oleh pembentukan kista
jaringan yang mengandung bradizoit yang
mengadakan replikasi lambat, terjadilah
stadium kronik, ini melengkapi siklus
nonfeline. Infeksi akut yang terjadi pada
penjamu dengan daya imun lemah paling
besar kemungkinannya disebabkan oleh
pelepasan spontan parasit yang tebungkus
dalam kista dan mengalami transformasi
cepat menjadi takizoit dalam SSP.
Siklus kehidupan yang penting dari
parasit tersebut terdapat dalam tubuh
kucing ( penjamu definitif ). Siklus
kehidupan seksual parasit ditentukan oleh
pembentukan ookista di dalam penjamu
feline. Siklus entero epithelial ini dimulai
dengan termaknnya kista jaringan yang
menjadi bradizoit dan akan memuncak
setelah melalui beberapa stadium antara
dalam proses produksi mikrogamet.
Mikrogamet mempunyai flagella yang
memungkinkan parasit ini mencari
mikrogamet.
Penyatuan gamet akan menghasilkan
zigot yang membungkus diri dengan
dinding yang kaku. Zigot ini disekresikan
dalam feses sebagai ookista tanpa
sporulasi. Setelah 2 -3 hari terkena udara
pada suhu sekitarnya, ookista yang non
infeksius mengalami sporulasi untuk
menghasilkan sporozoit. Ookista yang
mengadakan sporulasi tersebut dapat
termakan oleh penjamu antara, seperti
wanita hamil yang membersihkan kotoran
kucing, babi yang mencari makan di
sekitar peternakan, ataupun termakan
mencit. Setelah dibebaskan dari ookista
melalui proses pencernakan, sporozoit
yang
terlepas
akan
menginfeksi
epithelium intestinal penjamu nonfeline
dan memproduksi takizoit aseksual yang
tumbuh dengan cepat dan membentuk
bradizoit.
Siklus hidup Toxoplasma Gondii
105
EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia
karena
kemampuannya
untuk
menimbulkan
infeksi
yang
pada
hakekatnya bisa mengenai setiap sel
penjamu yang berinti.
T.gondii dapat menginfeksi sejumlah
mamalia dan burung. Sero prevalensinya
tergantung pada kondisi setempat dan usia
populasinya.
Umumnya
kondisi
lingkungan yang panas dan kering disertai
dengan prevalensi infeksi yang rendah.
Tanah merupakan sumber infeksi untuk
herbifora seperti kambing, domba, dan
babi. Karena infeksi pada kebanyakan
hewan menetap secara menahun, maka
daging yang mentah / setengah matang
menjadi sumber infeksi untuk manusia,
karnivora dan kucing.
Infeksi pada manusia didapat melalui :
1. Ookista yang berasal dari tinja
penjamu definitif ( kucing ) tertelan
melalui mulut.
2. Memakan daging setengah matang
yang berasal dari binatang yang
mengandung kista infektif
3. Penularan dari ibu hamil yang
terinfeksi kepada bayinya
Di AS dan sebagian besar Negara Eropa,
prevalensi
serokonversi
meningkat
bersamaan dengan usia dan pajanan.
Sebagai contoh, di AS 5-30% individu
yang berusia 10-19 thn dan 10-67% pada
individu yang berusia > 50 thn,
memperlihatkan bukti serologis riwayat
pajanan sebelumnya. Peningkatan pada
seroprevalensi ± 1% per thn.
Penularan transplasental :
T.gondii dapat ditularkan kepada janin
jika ibu mendapatkan infeksi primer
sebelum kehamilan. ± ⅓ dari semua
wanita yang terinfeksi dalam masa
kehamilannya akan menularkan parasit
tersebut ke janinnya. Dari berbagai faktor
yang menentukan hasil akhir janin, usia
kehamilan pada saat infeksi merupakan
faktor yang paling menentukan. Ada
beberapa data yang menyatakan peranan
infeksi maternal yang baru saja terinfeksi
sebagai sumber penyakit congenital. Jadi
wanita dengan seropositif sebelum
kehamilan biasanya justru terlindung
terhadap infeksi yang akut dan tidak akan
melahirkan janin yang terinfeksi secara
congenital.
Pedoman secara umum ini dapat diikuti
untuk infeksi congenital. Pada dasarnya
resiko tidak akan terjadi apabila ibu sudah
terinfeksi 6 bulan / lebih sebelum terjadi
pembuahan. Jika infeksi terjadi dalam
waktu < 6 bulan sebelum pembuahan,
kemungkinan terjadi infeksi transplasental
akan meningkat bersamaan dengan
berkurangnya masa selang antara infeksi
dan pembuahan.
Sebagian besar perempuan yang terinfeksi
semasa hamil akan melahirkan bayi yang
normal dan tidak terinfeksi. Sekitar ⅓
akan menularkan infeksi tersebut pada
bayinya.
Jika infeksi terjadi pada trimester I
kehamilan,insidensi infeksi transplasenta
menduduki tempat paling rendah ( ± 15%
) tetapi penyakit yang terjadi pada
neonatus paling berat. Jika infeksi terjadi
pada trimester III, insidensi infeksi
treansplasental paling tinggi (65%), tetapi
bayi biasanya asimptomatik pada saat
dilahirkan.
Namun bukti paling akhir yang diperoleh
menunjukkan bahwa bayi yang terinfeksi
dan tampak normal mungkin mempunyai
insidensi ketidakmampuan belajar serta
defek neurologist kronis yang lebih tinggi
pada anak yang tidak terinfeksi. Hanya
sejumlah kecil wanita ( 20% ) yang
terinfeksi T.gondii menunjukkan tanda
klinis infeksi. Diagnosa infeksi sering
diketahui secara tidak sengaja ketika tes
serologis pasca konsepsi yang rutin
106
memperlihatkan bukti adanya antibodi
spesifik.
Embriologi congenital toxoplasmosis
Infeksi postnatal oleh T.gondii 90%
asiptomatik. Pada penjamu dengan
imunokompeten, patogenisitas dari parasit
dapat dibatasi sehingga terjadi kasus
subklinis. Bila infeksi postnatal terjadi
secara oral melalui ookista, infeksi
prenatal terjadi hanya jika terjadi infeksi
primer sebelum kehamilan. Infeksi
maternal diikuti parasitemia menyebabkan
infeksi plasenta sehingga terjadi infeksi
sekunder pada fetus secara hematogen.
Berat ringannya gejala klinis pada fetus
tergantung lamanya paparan fetus pada
parasit. Infeksi pada awal kehamilan
biasanya terjadi lahir mati / abortus
dikarenakan terjadinya kerusakan sel-sel
trofoblast. Infeksi toxoplasma pada fetus
dapat
menyebabkan
infeksi
toxo
congenital atau toxoplasmosis congenital.
Batasan infeksi toxoplasma digunakan
pada infeksi yang terjadi sebelum
kehamilan, tetapi tanpa adanya gejala dan
tanda klinis pada bayi.
Diagnosa infeksi fetal dilakukan dengan
deteksi parasit pada cairan amnion dengan
reaksi rantai polymerase dengan inokulasi
pada cairan amnion pada tikus / kultur
jaringan. Postnatal, infeksi toxoplasma
congenital dikonfirmasi melalui follow up
serology, jika terjadi peningkatan titer
antibodi spesifik toxoplasma pada anak
secara klinis sehat / sedang diobservasi.
Hanya sebagian kecil neonatus dengan
congenital toxoplasmosis mempunyai
ketiga tanda trias klasik : hidrosefalus,
kalsifikasi
intra
serebral
dan
retinokoroiditis, sebagian besar hanya 1 /
2 dari gejala tersebut yang nampak.
Sekitar 10% infeksi congenital neonatus
menunjukkan kerusakan struktur pada
saat lahir ( congenital toxoplasmosis ),
dan yang lain hanya sub klinis, namun
dapat terjadi kegagalan visual /
retinokoroiditis di kemudian hari jika
tidak diterapi. Anak dengan infeksi
subklinis
juga
ada
kemungkinan
mengalami sequele neurologis seperti
hidrosefalus,
mikrosefalus,
retardasi
psikomotor, kejang dan tuli.
Klasifikasi Kongenital toxoplasmosis
Klasifikasi klinis pada infeksi congenital
toxoplasma oleh Desmonts dan Couvreur
:
1. Anak dengan kelainan neurologis
Hidrosefalus,
mikrosefalus,
mocrophthalmus dengan atau tanpa
retinochoroiditis. Gejala mungkin timbul
saat dilahirkan atau didiagnosa kemudian.
2. Anak dengan kelainan berat, penyakit
generalisata
Maculopapular
exanthema,
purpura,
pneumonia,
jaundice
berat,
hepatospenomegali,
mungkin
juga
terdapat
uveitis
dan
pembesaran
ventricular.
3. Anak dengan kelainan sedang dan
tanda infeksi prenatal
Hepatospenomegali dan jaundice dengan
atau tanpa trombositopenia atau gejala
yang non spesifik.
4. Anak dengan infeksi subklinis
Perkembangan
abnormal
secara
embriologis akibat toxoplasmosis
- Trimester I :
Kematian fetus dan abortus terjadi karena
pada sel yang terinfeksi toxoplasma akan
dihasilkan interferon γ yang berfungsi
untuk mengontrol multiplikasi parasit.
Di lain pihak, terlalu banyak interferon γ
dapat menyebabkan kematian fetus yang
diakibatkan reaksi imunopatologis. Hal ini
terjadi pada saat pembentukan fetus.
Biasanya terjadi pada masa awal gestasi.
107
- Trimester II :
Dapat terjadi kelainan neurologis seperti :
hidrosefalus, mikrosefali, kejang dan
retardasi mental, di mana pada minggu ke
5 – 10 kehamilan adalah proses
terbentuknya bagian-bagian otak dan
wajah. Di mana pada bulan 2 – 5 masa
kehamilan terjadi proses migrasi neuron
dari germinal ke korteks. Gangguan pada
migrasi termasuk heterotopia, agyria –
pakegiria, polimikrogiria dan gangguan
histogenesis. Di mana berhubungan
dengan pembentukan gray matter di otak.
Retardasi mental dapat disebabkan
gangguan perkembangan akibat mutasi
DNA. Trisomi 21, Trisomi 18, Trisomi 9,
13, 15, namun perlu diingat bahwa
kelainan kromosom ini meningkat seiring
dengan meningkatnya usia ibu.
- Trimester III :
Dapat terjadi retinokoroiditis ( okuler
toxoplasmosis ), namun biasanya
bermanifestasi setelah beberapa tahun
kemudian tergantung dari terapi. Secara
patologis terjadi lesi inflamasi fundus
yang terdiri dari sel-sel mononuclear,
limfosit makrofag, epiteloid dan sel-sel
plasma. Hal ini mengakibatkan retinal
vaskulitis yang menyebabkan rupturnya
barrier pembuluh darah retina sehingga
fungsi retina menurun dimana terjadi
destruksi dan penipisan selaput retina.
Mikroftalmia juga dapat terjadi pada ibu
dengan toxoplasmosis dimana ukuran
mata terlalu kecil dan volume bola mata
berkurang sampai dengan ⅔ dari normal
dan biasanya disertai cacat mata lainnya.
TANDA DAN GEJALA
Gejala
berhubungan
dengan
toxoplasmosis akuler unilateral yang
terkena, nyeri okuler ringan, pandangan
kabur, tampak gambaran bercak melayang
pada oftalmoskop. Keluhan penderita
biasanya pandangan kurang jernih.
Secara klinis ditemukan : granulomatous
iritis, vitritis, pembengkakan selaput
optic, neuroretinitis, vaskulitis, oklusi
vena retinal, tergantung peradangan dan
berapa aktif virus menyerang mata.
Funduskopi,
toxoplasmosis
aktif
menunjukkan
gambaran
putih
kekuningan, lesi korioretinal dan sel-sel
vitreus, dapat juga terjadi lesi inaktif.
DIAGNOSA
Diagnosa serologis toxoplasmosis akut
pada neonatus dibuat berdasarkan titer
IgM yang positif ( sesudah minggu
pertama
untuk
menyingkirkan
kemungkinan kebocoran lewat plasenta ).
Penurunan titer IgG harus diulang setiap 6
– 12 minggu / kali.
Peningkatan titer IgM yang berlangsung
melebihi minggu pertama merupakan
indikasi adanya infeksi akut ( waktu paruh
IgM maternal 3 – 5 hari ).
TERAPI
Pasien yang hanya memperlihatkan gejala
limfadenopati tidak perlu terapi spesifik
kecuali jika terdapat gejala yang persisten
dan berat. Pasien dengan okuler
toxoplasmosis harus diobati selama 1
bulan
dengan
sulfadiazin
dan
pirimetamin.
Preparat alternatif adalah
klindamisin dan pirimetamin.
kombinasi
Susunan pengobatan paling mutakhir
mencakup pemberian pirimetamin dengan
dosis awal 50 – 75 mg / hari, ditambah
sulfadiazin 4 – 6 g / hari dalam dosis
terbagi 4. Selain itu diberikan pula
kalsium folinat 10 -15 mg / hari selama 6
minggu.
Semua preparat ini hanya bekerja aktif
terhadap
stadium
takizoit
pada
toxoplasmosis.
Jadi
setelah
menyelesaikan pengobatan awal penderita
108
harus mendapat tertapi supresif seumur
hidup dengan pirimetamin ( 25 -50 mg )
dan sulfadiazin ( 2 – 4 g ).
Jika pemberian sulfadiazin tidak dapat
ditolerir dapat diberikan kombinasi
pirimetamin ( 75 mg / hari ) ditambah
klindamisin ( 400 mg ) 3x / hari.
Pemberian pirimetamin saja ( 50 -75 mg /
hari ) mungkin sudah cukup untuk terapi
supresif yang lama.
Neonatus
yang
terinfeksi
secara
congenital
dapat
diobati
dengan
pemberian pirimetamin oral ( 0,5 – 1 mg /
kg BB ) dan sulfadiazine ( 100 mg / kg
BB ).Di samping itu terapi dengan
golongan spiramisin ( 100 mg / kg BB )
ditambah prednisone ( 1 mg / kg BB )
juga memberikan respon yang baik untuk
infeksi congenital.
PENCEGAHAN
Infeksi
primer
toxoplasma
dapat
dikurangi dengan menghindari bahan
yang
terkontaminasi
ookista
dan
memakan daging yang kurang matang.
Daging harus dimasak hingga suhu 60ºC
dan dibekukan untuk mematikan kista.
Tangan harus dicuci sampai bersih setelah
bekerja di kebun, sayur dan buah harus
dicuci dahulu.
Darah yang digunakan untuk tranfusi pada
penderira dengan keadaan umum lemah
dengan hasil serologis kehamilan
seronegatif harus mengalami pemeriksaan
skrining untuk antubodi
terhadap
T.gondii. Meskipun pemeriksaan skrining
serologis tidak dilakukan rutin, namun
wanita
dengan
seronegatif
harus
mengalami
pemeriksaan
skrining
beberapa kali selama kehamilannya untuk
menemukan bukti adanya infeksi jika
mereka
terpajan
dengan
situasi
lingkungan yang memberikan resiko
terkena infeksi T.gondii.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ambroise Pierre, Thomas ( 2000 ).
Congenital Toxoplasmosis scientific
Background, Clinical Management and
Control.Springer, p 153-177.
2. Beck F, Moffat DB,Davies DP ( 1985
). Human Embryology.Second edition.
Blackwell Scientific Publications, Oxford,
p.157-169.
3. Familly doctor.org.editorial ( 2005 ).
Toxoplasmosis in Pregnancy. eHealth
Articles. Diambil 18 Juni 2008, dari
http://familydoctor.org/online/famdocen/h
ome/women/pregnancy.
4. Homeir Barbara P ( 2005 ) Congenital
Toxoplasmosis. Diambil 18 Juni 2008,
dari
http://www.kidshealth.org.parent/infectio
ns/parasitic/toxoplasmosis
5. Kasper Lloyd ( 1999 ). Infeksi
Toxoplasma dan Toxoplasmosis. Dalam:
Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 13. Editor: Ahmad H. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, hlm 1021-1027.
6. Martinelli Praquale, Agangi Annalisa (
2007 ). Screening for Toxoplasmosis in
Pregnancy. The Lancet, Academic
Researh Library, p 823.
7. O’Rahilly Ronan, Muller Fabiola. (
1992 ). Human Embryology and
Teratology.Willey-Liss,Inc.,605Third
Avenue, New York,p.293-303.
8. Saddler TW( 2000 ). Embriologi
Kedokteran Langman.Edisi ke 7. Editor:
Ronardy Devi. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, hlm 358-367.
109
INTERAKSI OBAT
Herni Suprapti
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak
Banyak pasien, terutama orang tua, diperlakukan terus menerus dengan satu atau lebih obat untuk
penyakit kronis seperti hipertensi, gagal jantung, osteoarthritis dan sebagainya. Kejadian akut (infeksi
misalnya, infark miokard) diperlakukan dengan obat tambahan. Potensi interaksi obat, oleh karena itu,
besar dan "polifarmasi" merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan ketika meresepkan dalam
kelompok ini. Obat juga dapat berinteraksi dengan konstituen diet lainnya (misalnya jus jeruk bali,
yang downregulates ekspresi isoform spesifik P450, CYP3A4, di dinding usus) dan obat herbal
(seperti wort St John), yang terakhir menjadi lebih banyak digunakan meskipun tipis atau tidak ada
bukti keamanan atau keampuhan. Administrasi satu obat (A) dapat mengubah tindakan lain (B)
dengan salah satu dari dua mekanisme umum: 1. modifikasi efek farmakologi dari B tanpa mengubah
konsentrasi di cairan jaringan (interaksi farmakodinamik). 2. perubahan konsentrasi B yang mencapai
situs kerjanya (interaksi farmakokinetik).
DRUG INTERACTION
Herni Suprapti
Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya
Abstract
Many patients, especially the elderly, are treated continuously with one or more drugs for chronic
diseases such as hypertension, heart failure, osteoarthritis and so on. Acute events (e.g. infections,
myocardial infarction) are treated with additional drugs. The potential for drug interactions is,
therefore, substantial and “polypharmacy” is an important factor to consider when prescribing in this
group. Drugs can also interact with other dietary constituents (e.g. grapefruit juice, which
downregulates expression of a specific isoform of P450, CYP3A4, in the gut wall) and herbal
remedies (such as St John’s wort), the latter becoming more widely used despite flimsy or absent
evidence of safety or efficacy. The administration of one drug (A) can alter the action of another (B)
by one of two general mechanisms: 1. modification of the pharmacological effect of B without
altering its concentration in the tissue fluid (pharmacodynamic interaction). 2. alteration of the
concentration of B that reaches its site of action (pharmacokinetic interaction).
Aditif:
Efek 2 obat yang diberikan bersamaan,
yang hasil akhirnya adalah jumlah
masing-masing obat tersebut.
Antagonis:
Efek 2 obat yang diberikan bersamaan,
yang hasil akhirnya adalah kurang dari
jumlah efek kedua obat tersebut.
Interaksi Farmakodinamik:
Perubahan farmakodinamik suatu obat
karena berinteraksi dengan obat lain (mis,
interaksi aditif).
Interaksi Farmakokinetik:
Perubahan farmakokinetik suatu obat
karena berinteraksi dengan obat lain (mis,
induksi enzim hepatik).
Sinergis:
Efek 2 obat yang diberikan bersama-sama,
hasilnya lebih besar daripada jumlah efek
kedua obat tersebut.
Interaksi Obat adalah adanya pengaruh
suatu obat terhadap obat lain, di dalam
tubuh.
Interaksi obat dapat terjadi pada
farmakokinetik, atau farmakodinamik,
atau gabungan keduanya. Interaksi obat in
vitro (campuran pada larutan atau sediaan
injeksi)
disebut
dengan
“drug
incompatibilities”, bukan interaksi obat.
Salah satu atau kedua obat yang
bercampur menjadi tidak aktif. Misalnya,
campuran
thiopental
dengan
suxamethonium membentuk senyawa
kompleks. Heparin dapat menginaktifasi
obat lain.
110
Ada ratusan interaksi obat, tetapi yang
penting secara klinis hanya beberapa saja
(Tabel 1). Obat-obat ini kontraindikasi
bila diberikan bersama-sama atau harus
disesuaikan dosisnya.
Pasien-pasien yang harus diberi perhatian
terjadi interaksi obat adalah pasien lanjut
usia, yang biasanya menderita beberapa
penyakit kronis, sehingga minum banyak
macam obat, selain tentunya perubahan
klirens obat karena usia.
Tabel 1. Interaksi Obat
Obat yang menyebabkan
interaksi
Obat yang dipengaruhi
Keterangan
Alcohol
CNS depressants
Additive CNS depression,
sedation, ataxia, increased
risk of accidents
Increased formation of
hepatotoxic metabolites of
acetaminophen
Enhanced ototoxicity
Decreased gut absorption
due either to reaction with
the drug affected or
reduced gut acidity
Many antibiotics lower
estrogen levels and reduce
contraceptive effectiveness
Additive effects with the
drugs affected
Acetaminophen
Aminoglycosides
Antacids
Antibiotics
Loop diuretics
Digoxin, iron supplements,
fluoroquinolones,
ketoconazole,
tetracyclines, thyroxine
Estrogens, including oral
contraceptives
Antihistamines (H1blockers)
Anti muscarinics, sedatives
Antimuscarinic drugs
Drugs absorbed from the small
intestine
Barbiturates, especially
phenobarbital
Azoles, calcium channel
blockers, cyclosporine,
propranolol, protease
inhibitors, quinidine, steroids,
warfarin, and many other
drugs metabolized in the liver
Insulin
Beta-blockers
Prazosin
Bile acid-binding resins
Carbamazepine
Cimetidine
Acetaminophen, digitalis,
thiazides,thyroxine
Cyclosporine, doxycydine,
estrogen, haloperidol,
theophylline, warfarin
Benzodiazepines, lidocaine,
phenytoin, propranolol,
quinidine, theophylline,
warfarin
Slowed onset of effect
because stomach emptying
is delayed
Increased clearance of the
affected drugs due to
enzyme induction, possibly
leading to decreases in drug
effectiveness
Masking of symptoms of
hypoglycemia
Increased “first-dose”
syncope
Reduced absorption of the
affected drug
Reduced effect of other
drugs because of
induction of
metabolism
Increased effect of other
drugs due to inhibition of
hepatic metabolism
111
Disulfiram metronidazole,
certain cephalosporins
Ethanol
Erythromycin
Carbamazepine, cisapride,
quinidine, sildenafil,
theophylline
Aprazolam,
atorvastatin, cydosporine,
midazolam, triazolam
Benzodiazepines, cisapride
cyclosporine, fluoxetine,
lovastatin, omeprazole,
quinidine,tolbutamide,warfarin
Catecholamine releasers
(amphetamine, ephedrine)
Furanocoumarins
(grapefruit juice)
Ketoconazole and other
azoles
MAO inhibitors
Nonsteroidal antiinflammatory drugs
Tyramine-containing foods and
beverages
Anticoagulants
ACE inhibitors
Phenytoin
Loop diuretics, thiazides
Doxycycline, methadone,
quinidine,
verapamil
Quinidine
Digoxin
Rifampin
Azole antifungal drugs,
corticosteroids,
methadone, theophylline,
tolbutamide
Benzodiazepines, cyclosporine,
diltiazem, dronabinol, HMGCoA reductase inhibitors,
lidocaine, metaprolol, other
HIV protease inhibitors,
propoxyphene, selective
serotonin reuptake inhibitors
Corticosteroids
Ritonavir
Salicylates
Heparin, warfarin
Increased hangover effect
of ethanol because
aldehyde dehydrogenase is
blocked
Risk of toxicity due to
inhibition of metabolism
these drugs
Increased effect of other
drugs due to
inhibition
of hepatic metabolism
Risk of toxicity due to
inhibition of metabolism of
these drugs
Increased NE in
sympathetic nerve endings
released by the interacting
drugs
Hypertensive crisis
Increased bleeding
tendency because of
reduced platelet
aggregation
Decreased anti
hypertensive efficacy of
ACE inhibitor
Reduced diuretic efficacy
Increased metabolism of
other drugs due to
induction; decreased
efficacy
Increased digoxin levels
due to decreased clearance;
displacement may play a
role
Decreased efficacy of these
drugs due to hepatic P450
isozymes
Decreased metabolism of
other drugs; increased
effects may lead to toxicity
Additive toxicity of gastric
mucosa
Increased bleeding
tendency
112
Methotrexate
Selective serotonin reuptake
inhibitors
Sulfinpyrazone
MAO inhibitors, meperidine,
tricydic antidepressants, St.
John's wort
Thiazides
Digitalis
Lithium
Warfarin
Amiodarone, cimetidine,
disulfiram,
erythromycin,
fluconazole, lovastatin,
metronidazole
Anabolic steroids, aspirin,
NSAIDs, quinidine,thyroxine
Barbiturates, carbamazepine,
phenytoin, rifabutin, rifampin,
St. John's wort
Selain interaksi obat dengan obat, dapat
juga terjadi interaksi obat dengan senyawa
yang terkandung dalam makanan (mis, jus
anggur / grapefruit juice, yang dapat men
‘downregulates
expression’
specific
isoform P450, CYP3A4 di dinding usus),
dan interaksi obat dengan obat herbal.
Interaksi obat penting secara klinis,
apabila therapeutic range obat B sempit
(yaitu, apabila sedikit saja penurunan
efek, akan menyebabkan hilangnya efikasi
dan / atau peningkatan sedikit efek akan
menyebabkan
toksisitas).
Interaksi
farmakokinetik menjadi penting apabila
kurva kadar-respons obat B curam
(perubahan kecil pada kadar plasma
menyebabkan perubahan efek yang
bermakna) dan margin terapetiknya
sempit, maka interaksi obat akan
menyebabkan masalah besar, misalnya
obat antithrombotic, antidysrhythmic,
antiepileptic, lithium, antineoplastic, dan
immunosuppressant.
Decreased clearance,
causing greater
methotrexate toxicity
Decreased uricosuric effect
Serotonin syndrome
hypertension, tachycardia,
muscle rigidity,
hyperthermia, seizures
Increased risk of digitalis
toxicity because thiazides
diminish potassium stores
Increased plasma levels of
lithium due to
decreased total body water
Increased anticoagulant
effect via inhibition of
warfarin metabolism
Increased anticoagulant
effects via
pharmacodynamic
mechanisms
Decreased anticoagulant
effect due to increased
clearance of warfarin via
induction of hepatic P450
isozymes
Interaksi
obat
bisa
juga
tidak
mempengaruhi klinis, misalnya perubahan
besar pada kadar plasma obat yang relatif
tidak toksik seperti penicillin, tidak
menyebabkan masalah klinis karena
safety margin-nya besar, kadar plasma
yang dihasilkan oleh dosis normal sangat
jauh dengan kadar plasma hilangnya
efikasi atau timbulnya toksisitas.
INTERAKSI FARMAKODINAMIK
1. Interaksi yang menyebabkan efek
yang berlawanan
2. Interaksi yang menyebabkan efek
aditif
A. INTERAKSI
YANG
MENYEBABKAN EFEK YANG
BERLAWANAN (ANTAGONIS)

Beta-bloker
(antagonis)
efek
menghilangkan
bronkodilatasi
113



aktivator β2-adrenoceptor (salbutamol
atau terbutaline) yang digunakan
untuk asma.
Efek catecholamine pada denyut
jantung (via aktivasi β-adrenoceptor)
diantagonis
oleh
inhibitor
acetylcholinesterase yang bekerja
melalui
ACh
(via
reseptor
muscarinik).
Antagonis oleh obat agonis-antagonis
(mis, pentazocine) atau oleh partial
agonis (mis, pindolol), yang harus
hati-hati bila digunakan dengan obat
agonis murni.
Beberapa obat antagonis tidak
mengalami
interaksi
reseptor.
Misalnya,
nonsteroidal
antiinflammatory drug (NSAID) dapat
menurunkan efek antihipertensi ACE
inhibitor
dengan
menurunkan
eliminasi sodium via renal.
B.
INTERAKSI
YANG
MENYEBABKAN EFEK ADITIF
Interaksi Aditif adalah jumlah efek 2 obat.
Kedua obat tersebut bisa bekerja pada
reseptor yang sama atau reseptor yang
berbeda.
 Penggunaan
tricyclic
antidepressant
dengan
diphenhydramine
atau
promethazine
menimbulkan
atropine-like
effect
yang
berlebihan karena semua obat ini
mempunyai
efek
mem-blok
reseptor muscarinik.
 Efek
depresi
SSP
aditif
disebabkan karena pemberian
sedative, hypnotic, dan opioid,
bersama
dengan
konsumsi
ethanol.
 Obat-obat
hipertensi
yang
diberikan
bersamaan,
dapat
menyebabkan penurunan tekanan
darah yang sangat rendah.
 Efek aditif obat anticoagulant
menyebabkan
komplikasi
perdarahan.
Efek
samping
perdarahan dapat meningkat bila
warfarin yang diberikan bersama
dengan
aspirin
(via
efek
antiplatelet, inhibisi biosintesis
platelet thromboxane A2 –
menyebabkan
perdarahan
lambung),
quinidine
(aditif
hypoprothrombinemia),
thrombolytic
(via
aktivasi
plasminogen,),
dan
hormon
thyroid
(via
peningkatan
katabolisme clotting factor).
Warfarin ber-kompetisi dengan
vitamin K, mencegah sintesa
hepatik berbagai faktor koagulasi.
Bila produksi vitamin K di
intestine di-inhibisi (mis, oleh
antibiotik),
maka
efek
antikoagulan warfarin meningkat.
Interaksi supra-aditif dan potensiasi lebih
jarang terjadi daripada antagonis dan
interaksi aditif.
Interaksi supra-aditif (sinergistik), yaitu
hasil interaksi lebih besar daripada jumlah
kedua obat.
 Kombinasi antibiotik sulfonamide
dengan
dihydrofolic
acid
reductase
inhibitor
berupa
trimethoprim.
Sulfonamide mencegah sintesa
folic
acid
oleh
bakteri;
trimethoprim
meng-inhibisi
reduksi menjadi tetrahydrofolate.
Bila diberikan bersama, maka
akan terjadi efek sinergis untuk
terapi Pneumocystis carinii.
Potensiasi, adalah efek obat yang
ditingkatkan oleh obat kedua yang tidak
mempunyai efek.
 Interaksi beta-lactamase inhibitor
- clavulanic acid dengan betalactamasesusceptible penicillin.
Contoh lain:
 Diuretik yang menurunkan kadar
plasma K+, dapat meningkatkan
efek cardiac glycoside sehingga
menyebabkan toksisitas glycoside
dan
toksisitas
obat
antidysrhythmic tipe III yang
memperpanjang cardiac action
potential.
114




Sildenafil meng-inhibisi isoform
phosphodiesterase (PDE type 5)
yang meng-inaktivasi cGMP; jadi
mem-potensiasi organic nitrate,
yang bekerja dengan cara mengaktivasi
guanylate
cyclase,
sehingga menyebabkan hipotensi
berat pada pasien yang minum
obat ini.
Monoamine oxidase inhibitor
meningkatkan
jumlah
noradrenaline yang disimpan di
ujung
saraf
noradrenergik
sehingga berbahaya bila diberikan
bersama dengan ephedrine atau
tyramine, yang kerjanya rilis
noradrenaline. Hal ini juga dapat
terjadi pada makanan yang
mengandung tyramine, terutama
yang di-fermentasi.
Non-steroidal anti-inflammatory
drug, seperti ibuprofen atau
indometacin,
meng-inhibisi
biosintesa
prostaglandin,
termasuk renal vasodilator /
natriuretic prostaglandins (PGE2,
PGI2). Bila diberikan pada pasien
yang
minum
obat
untuk
hipertensi, dapat meningkatkan
tekanan darah. Bila diberikan
pada pasien yang minum diuretik
untuk payah jantung kronis, dapat
menyebabkan retensi air dan
garam
dan
meningkatkan
dekompensasi cordis. Interaksi
dengan
diuretik
merupakan
interaksi farmakokinetik dan
farmakodinamik, karena NSAID
dapat berkompetisi dengan asam
lemah, termasuk diuretik, pada
sekresi tubulus.
Histamine H1-receptor antagonis,
seperti
mepyramine,
efek
sampingnya mengantuk. Efek ini
bertambah berat bila diminum
dengan
alkohol,
bisa
menyebabkan kecelakaan di jalan.
INTERAKSI FARMAKOKINETIK
Semua proses farmakokinetik, yaitu
absorpsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi, dapat dipengaruhi oleh obat.
Absorpsi
Absorpsi
obat
dari
traktus
gastrointestinalis
dipengaruhi
oleh
senyawa :
 yang mengikat obat
o antasida:
menurunkan
absorpsi GIT digoxin,
ketoconazole, antibiotik
quinolone,
dan
tetracycline.
o erythromycin
meningkatkan
bioavailabilitas
oral
digoxin, dengan cara
menurunkan flora usus
yang
men-degradasi
digoxin.
o makanan yang tinggi
kalsium
dengan
tetracycline
akan
membentuk
senyawa
kompleks yang tidak bisa
diabsorpsi
o zat besi dengan teh
o colestyramine (bile acidbinding resin - untuk
terapi
hypercholesterolaemia)
mengikat warfarin dan
digoxin sehingga tidak
di-absorpsi.
 yang
meningkatkan
(metoclopramide)
atau
menurunkan
(antimuskarinik
atropine,
opiate)
motilitas
gastrointestinal
 Senyawa dalam jus anggur dan
obat yang meng-inhibisi Pglycoprotein transporter obat pada
intestinal
epithelium,
dapat
meningkatkan absorpsi obat yang
menjalani proses ini.
Interaksi lain:
 penambahan
adrenaline
(epinephrine)
pada
injeksi
anestesi lokal: menyebabkan
vasokonstriksi
yang
memperlambat absorpsi anestesi,
115
jadi
memperpanjang
lokalnya.
efek
Distribusi Obat
Pergeseran obat dari binding site di
plasma atau jaringan dapat meningkatkan
kadar obat bebas / tak terikat, tetapi hal ini
diikuti dengan peningkatan eliminasi
sehingga terjadi steady state baru, dimana
kadar obat total di plasma menurun tetapi
kadar obat bebas sama dengan sebelum
digeser oleh obat lain.
Ada beberapa keadaan klinis yang
penting:
 Dapat terjadi toksisitas apabila
kadar obat bebas meningkat
sebelum steady state yang baru
tercapai.
 Apabila merubah dosis untuk
memenuhi target kadar plasma
total, harus diingat bahwa kadar
terapetik target akan dipengaruhi
oleh obat yang menggeser.
 Bila obat kedua yang menggeser,
menurunkan
eliminasi
obat
pertama, maka kadar obat bebas
meningkat bukan hanya akut
tetapi juga kronis pada steady
state
yang
baru,
dapat
menyebabkan toksisitas berat.
Distribusi obat dipengaruhi oleh obat lain
yang berkompetisi terhadap ikatan dengan
protein plasma. Misalnya, antibiotik
sulfonamide
dapat
menggeser
methotrexate, phenytoin, sulfonylurea,
dan warfarin dari ikatannya dengan
albumin. Sulfonamide, chloral hydrate,
trichloracetic acid (metabolit chloral
hydrate), mengikat erat plasma albumin.
Penggeseran bilirubin dari albumin oleh
obat, pada neonatus prematur yang
jaundice dapat berakibat serius, karena
pada bayi prematur, metabolisme bilirubin
masih belum sempurna dan bilirubin
bebas dapat menembus sawar darah otak
yang prematur dan menyebabkan kern
icterus (bilirubin menodai basal ganglia).
Hal
ini
menyebabkan
gangguan
pergerakan
yang
disebut
dengan
choreoathetosis,
gejalanya
adalah
involuntary writhing dan
movements pada anak-anak.
twisting
Dosis Phenytoin disesuaikan dengan
kadar dalam plasma, tetapi pengukuran ini
tidak membedakan antara phenytoin yang
terikat ataupun yang bebas, tapi
merupakan kadar total obat. Pemberian
obat penggeser pada pasien epilepsi yang
menggunakan
phenytoin
akan
menurunkan kadar phenytoin plasma total
sehingga
menyebabkan
peningkatan
eliminasi obat bebas, tetapi hal ini tidak
menyebabkan hilangnya efikasi, karena
kadar phenytoin bebas (aktif) pada
keadaan steady state yang baru, tidak
terpengaruh. Dalam hal ini, kadar plasma
dalam index terapetik akan menurun,
sehingga
dosis
ditingkatkan,
menyebabkan toksisitas.
Obat yang mempengaruhi ikatan protein
dapat menurunkan eliminasi obat yang
tergeser, menyebabkan interaksi obat.
Phenylbutazone menggeser warfarin
dari ikatannya dengan albumin dan secara
selektif
meng-inhibisi
metabolisme
senyawa (S)-isomer yang aktif secara
farmakologis,
memperpanjang
prothrombin time dan menyebabkan
peningkatan
perdarahan.
Salicylate
menggeser methotrexate dari ikatannya
dengan albumin dan menurunkan
sekresinya ke dalam nephron oleh
kompetisi dengan anion secretory carrier.
Quinidine
dan
beberapa
obat
antidysrhythmic
lainnya
seperti
verapamil dan amiodarone menggeser
digoxin dari tissue-binding site serta
menurunkan ekskresi renal; sehingga
menyebabkan dysrhythmia berat karena
toksisitas digoxin.
Perubahan distribusi obat pada suatu
senyawa dapat terjadi bila ada senyawa
lain
yang
mempengaruhi
ukuran
kompartemen
fisiknya.
Misalnya,
diuretik, yang menurunkan total cairan
tubuh, menyebabkan peningkatan kadar
plasma aminoglycoside dan lithium,
sehingga meningkatkan toksisitasnya.
116
Metabolisme obat
Obat dapat meng-induksi (Tabel 2) atau
meng-inhibisi (Tabel 3) metabolisme obat
lain, yang berakibat baik atau buruk.
Tabel 2. Obat
metabolisme
induksi
enzim
Obat
yang Obat
yang
induksi enzim
metabolismenya
dipengaruhi
Phenobarbital
Warfarin
Rifampicin
Kontrasepsi oral
Griseofulvin
Corticosteroid
Phenytoin
Ciclosporin
Ethanol
Obat-obat di kolom
Carbamazepine
kiri juga dipengaruhi
Induksi enzim
Induksi enzim (mis, oleh barbiturate,
ethanol, carbamazepine, phenytoin atau
rifampicin) juga menyebabkan interaksi
obat. Ada lebih dari 200 obat yang
menyebabkan induksi enzim sehingga
menurunkan aktivitas farmakologis obat
lain. Lihat Tabel 2. Karena senyawa
induksi menginduksi enzim, maka
terjadilah
toleransi.
Toleransi
farmakokinetik ini lebih kecil daripada
toleransi
farmakodinamik
terhadap
opioid,
tetapi
penting
pada
carbamazepine. Mula-mula berilah dosis
kecil untuk menghindari toksisitas (karena
mula-mula enzim liver tidak diinduksi)
dan pelan-pelan ditingkatkan dalam
beberapa
minggu,
yang
mana
menginduksi enzim metabolismenya
sendiri.
Gambar 1 memperlihatkan antibiotik
rifampicin, diberi untuk 3 hari,
menurunkan efektivitas warfarin sebagai
antikoagulan. Sebaliknya, induksi enzim
dapat meningkatkan toksisitas obat kedua.
Toksisitas paracetamol : disebabkan
karena N-acetyl-p-benzoquinone imine,
yang dibentuk oleh cytochrome P450.
Risiko serius pada liver karena overdosis
paracetamol akan meningkat pada pasien
yang enzim cytochrome P450 nya
diinduksi, misalnya pada alkoholik kronis.
117
Gambar 1. Efek rifampicin pada metabolisme dan efek antikoagulan warfarin.
A. Kadar plasma warfarin (log scale), per oral, dosis tunggal 5 mol/kg BB, versus waktu.
Setelah pasien diberi rifampicin (600 mg sehari, selama beberapa hari), waktu paruh
plasma warfarin menurun dari 47 jam menjadi 18 jam.
B. Efek warfarin dosis tunggal pada prothrombine time dalam keadaan normal dan setelah
pemberian rifampicin.
Induksi enzim juga digunakan untuk
terapi bayi prematur, yaitu diberikan
phenobarbital
untuk
menginduksi
glucuronyltransferase,
sehingga
meningkatkan konjugasi bilirubin dan
menurunkan risiko kernicterus.
Inhibisi enzim
Inhibisi enzim, terutama sistem P450,
akan
memperlambat
metabolisme
sehingga meningkatkan efek obat lain
yang dimetabolisme dengan enzim
tersebut.
Antara
lain:
cimetidine,
disulfiram,
erythromycin,
furanocoumarins (pada jus anggur),
ketoconazole, propoxyphene, quinidine,
ritonavir, dan sulfonamide. Efek ini
penting pada terapi pasien infeksi human
immunodeficiency virus (HIV) yang
diberi 3-4 obat, karena beberapa protease
inhibitor merupakan inhibitor poten enzim
P450. Contoh lainnya adalah interaksi
antara
antihistamine
non-sedasi
terfenadine dan antifungi imidazole
seperti ketoconazole dan obat lain yang
meng-inhibisi CYP3A subfamily enzim
P450. Hal ini dapat menyebabkan
perpanjangan
Q-T
interval
pada
electrocardiogram dan menyebabkan
ventricular tachycardia pada pasien
tertentu.
Jus
anggur
menurunkan
metabolisme terfenadine dan obat lainnya,
termasuk ciclosporin dan beberapa
calcium channel antagonist.
118
Tabel 3. Obat inhibisi enzim metabolisme
Obat yang inhibisi enzim
Obat yang metabolismenya dipengaruhi
Allopurinol
Chloramphenicol
Cimetidine
Ciprofloxacin
Corticosteroids
Disulfiram
Erythromycin
Monoamine oxidase inhibitors
Ritonavir
Mercaptopurine, azathioprine
Phenytoin
Amiodarone, phenytoin, phethidine
Theophylline
Trycyclic antidepressants, cyclophosphamide
Warfarin
Ciclosporin, theophylline
Pethidine
Saquinavir
Yang lebih rumit lagi, beberapa inhibitor
metabolisme
obat
mempengaruhi
metabolisme stereoisomer yang berbeda
secara selektif. Misalnya, obat yang
meng-inhibisi metabolisme active (S)dan less active (R)-isomer warfarin,
seperti pada Table. 4.
Tabel 4. Inhibisi stereoselective dan non-stereoselective metabolisme warfarin
Inhibisi metabolisme
Obat
Stereoselective for (S)-isomer
Phenylbutazone
Metronidazole
Sulfinpyrazone
Trimethoprim-sulfamethoxazole
Disulfiram
Cimetidine
Omeprazole
Amiodarone
Stereoselective for (R)-isomer
Non-Stereoselective effect on both isomer
Efek terapetik beberapa obat merupakan
akibat dari inhibisi enzim (mis, xanthine
oxidase inhibitor allopurinol, yang
digunakan untuk prevensi gout). Xanthine
oxidase me-metabolisme beberapa obat
cytotoxic
dan
immunosuppressant,
termasuk
mercaptopurine
(yang
merupakan metabolit azathioprine), efek
ini di-potensiasi dan diperpanjang oleh
allopurinol. Disulfiram, suatu inhibitor
aldehyde dehydrogenase digunakan untuk
melawan reaksi terhadap ethanol, juga
meng-inhibisi metabolisme obat lain,
termasuk warfarin, sehingga efeknya
meningkat.
Metronidazole,
suatu
antimikroba yang digunakan untuk terapi
infeksi bakteri anaerobik dan beberapa
penyakit protozoa, juga meng-inhibisi
enzim ini, maka pasien dilarang minum
alkohol.
Inhibisi enzim bukan mekanisme utama
suatu obat. Steroid dan cimetidine
meningkatkan efek antidepresan dan
cytotoxic.
Apabila MAO-inhibitor (efeknya memblok metabolisme senyawa endogen
sehingga meningkatkan simpanannya)
diberikan
bersama
dengan
simpatomimetik
indirek
(mis,
amphetamine, phenylpropanolamine-obat
flu, decongestan) dapat terjadi reaksi
hipertensi.
119
Efek Hemodinamik
Obat yang menurunkan aliran darah
hepatik (mis, propranolol atau lidocaine)
dapat menurunkan klirens obat yang
dimetabolisme di liver, yaitu morphin dan
verapamil, yang keduanya merupakan
flow-limited hepatic clearance.
Penurunan
cardiac
output
dapat
menurunkan aliran darah, jadi inotropik
negatif (mis, propranolol) menurunkan
kecepatan metabolisme lidocaine dengan
mekanisme ini.
Ekskresi Obat
Ekskresi obat melalui ginjal dapat
dipengaruhi oleh obat yang :
 menurunkan aliran darah renal
(mis, β-bloker)
 meng-inhibisi
mekansime
transport renal spesifik (mis, efek
aspirin pada sekresi asam urat


pada
segmen
S2
tubulus
proksimalis)
mempengarui pH urin dapat
mempengaruhi ionisasi obat asam
lemah
atau
basa
lemah,
menyebabkan
perubahan
reabsorpsi pada tubulus renalis.
mempengaruhi ikatan protein,
sehingga meningkatkan filtrasi
Inhibisi sekresi tubulus
Probenecid
meng-inhisi
sekresi
penicillin
sehingga
memperpanjang
efeknya. Ia juga meng-inhibisi ekskresi
obat lain, seperti zidovudine. Beberapa
obat lain mempunyai efek seperti
probenecid sehingga meningkatkan efek
obat yang eliminasinya melalui sekresi
tubulus. Lihat Table 51.5. karena diuretik
bekerja pada lumen tubulus, maka obat
yang meng-inhibisi sekresi ke dalam
cairan tubulus, seperti NSAID, efeknya
akan berkurang.
Tabel 5. Obat yang meng-inhibisi sekresi tubulus renalis
Obat yang menyebabkan inhibisi
Probenecid
Sulfinpyrazone
Phenylbutazone
Sulfonamides
Aspirin
Thiazide diuretics
Indometacin
Verapamil
Amiodarone
Quinidine
Indometacin
Aspirin
Non-steroidal anti-inflammatory drugs
Perubahan aliran dan pH urine
Diuretik meningkatkan ekskresi urin obat
lain, tetapi hal ini secara klinis tidak
bermakna. Sebaliknya diuretik loop dan
thiazide
secara
tidak
langsung
meningkatkan reabsorpsi proximal tubular
lithium (hal yang sama juga terjadi pada
Na+) dan hal ini dapat menyebabkan
Obat yang dipengaruhi
Penicillin
Azidothymidine
Indometacin
Digoxin
Furosemide (frusemide)
Methotrexate
toksisitas pada pasien yang diberi lithium
carbonate untuk mood disorder. Efek pH
urin pada ekskresi asam lemah dan basa
lemah digunakan untuk terapi keracunan.
120
INTERAKSI
OBAT
DENGAN OBAT
HERBAL
Kini makin banyak orang menggunakan
obat herbal, sehingga juga terjadi
peningkatan interaksi obat. Lihat Table 6.
Obat herbal kini makin gencar
promosinya,
tanpa
mengindahkan
keamanan atau efikasinya. Obat herbal
dapat meningkatkan efek anticoagulant
atau antiplatelet, antara lain: anise, arnica,
capsicum, celery, chamomile, clove,
feverfew, garlic, ginger, horseradish,
meadowsweet, onion, passion flower,
turmeric, dan wild lettuce.
Tabel 6. Interaksi obat dengan herbal
Herbal
Dong quai
Obat
Warfarin
Garlic, ginkgo
Anticoagulants, antiplatelet
agents
Antidepressants
Ginseng
Interaksi
Increased anticoagulant effect
of warfarin; bleeding
Increased risk of bleeding
Kava
Liquorice root
Sedative-hypnotics
Aldosterone, anti
hypertensive drugs
Ma huang, other ephedra
preparations
Sympathomimetics
St. John's wort
Oral contraceptives,
cyclosporine, digoxin, HIV
protease inhibitors, warfarin
Antidepressants
Resume
 Banyak sekali jenis interaksi obat;
prinsip pokok adalah : bila meragukan
– cek kembali.
 Interaksi
dapat
berupa
farmakodinamik atau farmakokinetik
 Interaksi
farmakodinamik
dapat
dilihat dari efke obat yang
berinteraksi.
 Interaksi farmakokinetik dapat terjadi
saat :
o Absorpsi
o Distribusi
(kompetisi
ikatan
protein)
o Metabolisme hepatik (induksi
atau inhibisi)
o
Increased antidepressant
effect, mania
Additive sedation
Liquorice root extract (not
candy) increases salt
retention; hypertension
Ephedrine in ma huang is
additive with other
reparations
sympathomimetics;
hypertension, stroke
Increased metabolism of
drug, decreased efficacy
Increased antidepressant
effect; secrotonin syndrome
with selective serotonin
reuptake inhibitors
Ekskresi renal.
Daftar Pustaka:
 Ashraf Mozayani and Lionel P.
Raymon,
Handbook
of
drug
interactions: A Clinical and Forensic
guide, 2004
 Auer J, Berent R, and Eber B.
Lessons learned from trials with
statins. Clin Card 24:277–280 (2001)
 Bailey D G, Malcolm J, Arnold O,
Spence J D 1998 Grapefruit juice-
121





drug interactions. Br J Clin Pharmacol
46: 101-110 (Review)
Bertram G. Katzung, Susan B.
Masters, Anthony J. Trevor. Basic
and clinical pharmacology. McGrawHill Medical, 2009.
Fugh-Berman A, Ernst E 2001 Herbdrug interactions: review and
assessment of report reliability. Br J
Clin
Pharmacol
52:
587-595
(Warfarin the most common drug, St
John’s wort the most common herb.
More data needed! See also FughBerman A 2000 Lancet 355: 134-138)
Hanratty C G, McGlinchey P,
Johnston G D, Passmore A P 2000
Differential pharmacokinetics of
digoxin in elderly patients. Drugs
Aging 17:
353-362 (Reviews
pharmacokinetics of digoxin in
relation to age, concomitant disease
and interacting drugs)
Humphrey P. Rang, Maureen M.
Dale, James M. Ritter. Pharmacology.
7th edition, 20017.
Ito K, Iwatsubo T, Kanamitsu S, Ueda
K, Suzuki H, Sugiyama Y 1998
Prediction
of
pharmacokinetic
alterations caused by drug-drug
interactions: metabolic interactions in
the liver. Pharmacol Rev 50: 387-411
(Can one predict pharmacokinetic
changes from findings in isolated
human
hepatocytes?
Reviews
influences of plasma protein binding,
hepatic upake, transport systems etc.)
Sproule b a, hardy b g, shulman k
12000 differential pharmacokinetics
in elderly pateients. Drugs aging 16:
165-177 (reviews age-related changes
in pharmacodynamics as well as
pharmacokinetics
and
drug
interactions, all of which are clinically
important)
122
Download