BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bangsa Indonesia dianugerahi kekayaan sumberdaya alam hayati (SDAH) yang berlimpah, baik di darat, maupun di perairan. Sumberdaya alam hayati merupakan sumberdaya yang strategis, dikuasai oleh negara untuk dikelola secara optimal dan berkelanjutan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia yang berkesinambungan. Keanekaragaman hayati Indonesia memang berlimpah, namun jumlahnya bukan tidak terbatas, serta rawan dari bahaya kepunahan apabila dimanfaatkan secara berlebihan. Pemanfaatan secara berlebihan sampai pada tahap tertentu akan dapat memusnahkan keberadaannya. Sebagaimana yang diutarakan sebelumnya bahwa Satwa liar memiliki nilai Ekonomis yang tinggi. Pemanfaatan sumber daya alam hayati untuk tujuan perdagangan, khususnya satwa liar telah lama dilakukan secara fisik seperti dalam bentuk daging, kulit dan bagian-bagian lain dari padanya yang bernilai ekonomis maupun estetika seperti atraksi dan pemeliharaan satwa liar yang memperlihatkan keindahan fisik, suara dan karakter species satwa liar. Namun dalam perkembangannya keberadaaan Satwa ini semakin hari semakin berkurang bahkan hampir mendekati kepunahan. Kepunahan dalam biologi berarti hilangnya keberadaan dari sebuah spesies atau sekelompok takson. Waktu kepunahan sebuah spesies ditandai dengan matinya individu terakhir spesies tersebut, walaupun kemampuan untuk berkembang biak tidak ada lagi sebelumnya 1. Kepunahan merupakan ancaman nyata bagi berbagai makhluk hidup. Sayangnya, kepunahan yang menimpa puluhan bahkan ratusan spesies hewan dan tumbuhan di seluruh dunia bukanlah karena seleksi alam, di mana yang kuat yang menang. Kepunahan itu lebih karena seleksi buatan 1 Vadlybio08, 2012,Kepunahan/Dieth Species(online), http://vadlyaidianata.wordpress.com/2012/10/18/kepunahandieth-species/ (18 mei 2013) manusia, di mana yang tak terjamah tangan manusia yang bisa bertahan hidup2. Kepunahan suatu spesies yang menjadi mangsa atau pemangsa dalam suatu ekosistem berdampak pada peningkatan atau penurunan jumlah populasi spesies lain. Begitu seterusnya, hingga semua spesies musnah dan ekosistem menjadi rusak dan tidak bisa kembali seperti semula. Ada beberapa factor yang menyebabkan terjadinya kepunahan diantaranya adalah : 1.Kerusakan Hutan 2.Perburuan Liar 3.Pertambahan Penduduk 4.Perkembangan Teknologi 5.Daya Regenerasi Yang Rendah 6.Campur Tangan Manusia 7.Bencana Alam Besar 8.Didesak Populasi Lain Yang Kuat3 1. Kerusakan Hutan Berkurangnya luas hutan menjadi faktor penting penyebab terancam punahnya satwa liar Indonesia, karena hutan menjadi habitat utama bagi satwa liar itu. Daratan Indonesia pada tahun 1950-an dilaporkan sekitar 84% berupa hutan (sekitar 162 juta ha), namun kini pemerintah menyebtukan bahwa luasan hutan Indonesia sekitar 138 juta hektar. Namun berbagai pihak menybeutkan data yang berbeda bahwa luasan hutan Indonesia kini tidak lebih dari 120 juta hektar.4 2 Ibid Ibid, 4 Admin, 2012, Fakta tentang Satwa Liar di Indonesia(online), http://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-diindonesia#.UI_vAFJS5Y0 (30 oktober 2012) 3 Kerusakan hutan juga berperan dalam menurunnya kenekaragaman hayati (spesies). Betapa tidak hutan sebagai rumah bagi satwa semakin hari semakin berkurang, akibat berkurangnya luas hutan maka mempengaruhi juga terhadap perubahan iklim. Konversi hutan menjadi perkebunan sawit, tanaman industry dan pertambangan menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar, termasuk satwa langka seperti orangutan, harimau sumatera, dan gajah sumatera, dengan demikian mendorong kepunahan spesies semakin bertambah tinggi. 2. Perburuan Liar Perburuan liar banyak dilakukan oleh masyarakat ,misalnya perburuan burung jalak putih, karena jenis burung itu laku dijual mahal di pasar-pasar burung di kota, sehingga para pemburu liar ini mendapat penghasilan yang cukup besar dari memperdagangkan burung itu. Selain sebagai factor ekonomi, perburuan satwa liar itu juga sering berjalan seiring dengan pembukaan hutan alami. Satwa liar dianggap sebagai hama oleh industri perkebunan, sehingga di banyak tempat satwa ini dimusnahkan. Dan hal ini tentu saja menambah panjang deretan kepunahan jenis satwa di Indonesia. Setelah masalah habitat yang semakin menyusut secara kuantitas dan kualitas, perdagangan satwa liar menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar Indonesia. Lebih dari 95% satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran. Lebih dari 20% satwa yang dijual di pasar mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Berbagai jenis satwa dilindungi dan terancam punah masih diperdagangkan secara bebas di Indonesia. Semakin langka satwa tersebut makan akan semakin mahal pula harganya5. Sebanyak 40% satwa liar yang diperdagangkan mati akibat proses penangkapan yang menyakitkan, pengangkutan yang tidak memadai, kandang sempit dan makanan yang kurang. 5 Ibid, Perdagangan satwa liar itu adalah kejam! Sekitar 60% mamalia yang diperdagangkan di pasar burung adalah jenis yang langka dan dilindungi undang-undang. Sebanyak 70% primata dan kakatua yang dipelihara masyarakat menderita penyakit dan penyimpangan perilaku. Banyak dari penyakit yang diderita satwa itu bisa menular ke manusia6. 3. Pertambahan Penduduk Pertambahan penduduk adalah ancaman terbesar dari masalah lingkungan hidup di Indonesia dan bahkan dunia saat ini. Setiap orang memerlukan energi, lahan dan sumber daya yang besar untuk bertahan hidup. Jika populasi bisa bertahan pada taraf yang ideal, maka keseimbangan antara lingkungan dan regenerasi populasi dapat tercapai. 4. Perkembangan Teknologi Semakin maju perkembangan teknologi, banyak cara praktis dan mudah yang dapat dilakukan, misalnya dalam bidang pertanian , di gunakannya pupuk kimia dan pestisida yang semakin tak terkendali. Perkembangan teknologi yang pesat, memudahkan orang untuk mengeksploitasi keanekaragaman hayati secara berlebihan semakin mudah dilakukan. 5. Daya Regenerasi Yang Rendah Banyak hewan yang butuh waktu lama untuk masuk ke tahap berkembang biak, biasa memiliki satu anak perkelahiran, butuh waktu lama untuk merawat anak, sulit untuk kawin, anaknya sulit untuk bertahan hidup hingga dewasa, dan sebagainya. 6. Campur Tangan Manusia Adanya manusia terkadang menjadi malapetaka bagi keseimbangan makhluk hidup di suatu tempat. Manusia kadang untuk mendapatkan sesuatu yang berharga rela membunuh secara membabi buta tanpa memikirkan regenerasi hewan atau tumbuhan tersebut. Gajah 6 Ibid misalnya dibunuhi para pemburu hanya untuk diambil gadingnya, harimau untuk kulitnya, monyet untuk dijadikan binatang peliharaan, dan lain sebagainya.Perubahan areal hutan menjadi pemukiman, pertanian dan perkebunan juga menjadi salah satu penyebab percepatan kepunahan spesies tertentu. Mungkin di jakarta jaman dulu terdapat banyak spesies lokal, namun seiring terjadinya perubahan banyak spesies itu hilang atau pindah ke daerah wilayah lain yang lebih aman. 7. Bencana Alam Besar Adanya bencana super dahsyat seperti tumbukan meteor seperti yang terjadi ketika jaman dinosaurus memungkinkan banyak spesies yang mati dan punah tanpa ada satu pun yang selamat untuk meneruskan keturunan di bumi. Sama halnya dengan jika habitat spesies tertentu yang hidup di lokasi yang sempit terkena bencana besar seperti bancir, kebakaran, tanah longsor, tsunami, tumbukan meteor, dan lain sebagainya maka kepunahan mungkin tidak akan terelakkan lagi. 8. Didesak Populasi Lain Yang Kuat Kompetisi antar predator seperti macan tutul dengan harimau mampu membuat pesaing yang lemah akan terdesak ke wilayah lain atau bahkan bisa mati kelaparan secara masal yang menyebabkan kepunahan. A. Pengaturan tentang satwa liar yang di lindungi menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990. Dalam Pasal 2 ayat 1 PP No 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar, disebutkan bahwa Satwa liar dan jenis tumbuhan ternyata dapat dimanfaatkan dengan tujuan agar jenis tumbuhan dan satwa liar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Adapun pemanfaatanya menurut Pasal 28 UU No. 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dapat dilakukan dalam bentuk: a. pengkajian, penelitian dan pengembangan; b. penangkaran; c. perburuan; d. perdagangan; e. peragaan; f. pertukaran; g. budidaya tanaman obat-obatan; h. pemeliharaan untuk kesenangan. Senada dengan penjelasan diatas, dalam Pasal 3 PP No.8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar juga mengatur bahwa Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk: a. Pengkajian, penelitian dan pengembangan; b. Penangkaran; c. Perburuan; d. Perdagangan; e. Peragaan; f. Pertukaran; g. Budidaya tanaman obat-obatan; dan h. Pemeliharaan untuk kesenangan. Dari beberapa bentuk pemanfaatan diatas penulis membatasi pada Penangkaran, Perburuan, Perdagangan, dan Pemeliharaan untuk kesenangan dalam kajian kali ini, sebab ke empat hal tersebut adalah kajian yang sering menjadi topic pembicaraan menyangkut pemanfaatan jenis satwa liar yang dilindungi. 1. Penangkaran Satwa Liar. Untuk menjamin lestarinya keberadaan dan fungsi sumberdaya alam hayati, serta guna menjamin terwujudnya kesejahteraan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan, perlu dilakukan tindakan konservasi berupa pengelolaan yang berkelanjutan yang menjamin terjadinya keseimbangan antara kegiatan pelindungan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati, salah satunya adalah melalui kegiatan Penangkaran Satwa Liar. Dunia internasional telah menetapkan 3 pilar pengelolaan keanekaragaman hayati, yaitu : (1) Konservasi, (2) pemanfaatan lestari (berkelanjutan), dan (3) pembagian yang adil dari pemanfaatan sumber daya genetik dan unsur keanekaragaman hayati lainnya. Hal ini telah membuat fokus baru yang lebih terarah dibanding dengan Strategi Konservasi Dunia yang digalang oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), pada tahun 1982 yang diadopsi oleh UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang mendasarkan konservasi pada 3P (Pelindungan sistem penyangga kehidupan, Pengawetan plasma nutfah, dan Pemanfaatan berkelanjutan)7. Mengenai boleh tidaknya seseorang atau badan hukum menyimpan, memelihara atau memiliki satwa dilindungi, hal tersebut diperbolehkan dengan mengacu pada ketentuan dan syarat yang berlaku dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa liar. Salah satunya dengan melakukan penangkaran atau membeli satwa dilindungi dari penangkaran. 7 Penangkaran adalah Kementrian Kehutanan, Rancangan Undang-undang tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati (Konservasi Kehati) mengembangbiakan satwa-satwa domestik. Satwa domestic tersebut awalnya liar dan ditangap melalui perburuan, jerat, jaring dari alam bebas. Penangkaran adalah salah satu upaya penyelamatan dan perbanyakan populasi jenis untuk menghindarkan kepunahan8. Penangkaran Satwaliar merupakan program konservasi eksitu yang sangat penting untuk mengembangkan populasi jenis-jenis satwaliar yang terancam punah, maupun untuk mengembangkan populasi satwaliar yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar Pasal 7 ayat (1),(2) penangkaran untuk tujuan pemanfaatan jenis dilakukan melalui kegiatan : a. Pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam lingkungan yang terkontrol b. Penetasan telur dan atau pembesaran anakan yang diambil dari alam. c. Penangkaran dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi atau yang tidak dilindungi. Dalam regulasinya dikatakan bahwa siapa saja baik perorangan atau badan hukum, koperasi dan lembaga konservasi diperbolehkan untuk melakukan penangkaran dengan atas izin dari Menteri yang dalam hal ini adalah Menteri Kehutanan, dengan syarat-syarat yang tercantum dalam peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Pasal 15 ayat (1) dan (2) sebagai berikut : a. mempekerjakan dan memiliki tenaga ahli di bidang penangkaran jenis yang bersangkutan; b. memiliki tempat dan fasilitas penangkaran yang memenuhi syarat-syarat teknis; 8 Admin, 2011, Pemanfaatan dan Penangkaran Satwa Langka (online), http://dawibo.wordpress.com/2011/03/28/pemanfaatan-dan-penangkaran-satwa-langka/ (20 mei 2013) c. membuat dan menyerahkan proposal kerja. Dalam menyelenggarakan kegiatan penangkaran, penangkar berkewajiban untuk: a. membuat bukti induk tumbuhan atau satwa liar yang ditangkarkan; b. melaksanakan sistem penandaan dan atau sertifikasi terhadap individu jenis yang ditangkarkan; c. membuat dan menyampaikan laporan berkala kepada pemerintah. Selain ketentuan diatas, penangkar wajib memberi penandaan dan atau sertifikasi atas hasil tumbuhan dan satwa liar yang ditangkarkan. (Pasal 14 ayat (1), apabila ketentuan diatas tidak dilakukan maka dapat dikenai sanksi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 55 yakni, dapat dihukum denda administrasi sebanyakbanyaknya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha penangkaran. Penangkaran satwa liar di Indonesia merupakan suatu bentuk konservasi ek-situ yaitu konservasi tumbuhan dan/atau satwa yang dilakukan di luar habitat alaminya. untuk melindungi kelestarian jenis masih mempunyai banyak permasalahan yang harus segera diatasi supaya kelestarian dan keseimbangan ekosistem dapat terwujud. Permaslahan secara umum dalam pengelolaan konservasi ek-situ satwa liar adalah ukuran populasi yang terbatas, hal ini disebabkan oleh luas area pengelolaan/pemeliharaan/penangkaran satwa liar sangat terbatas dan tidak terlalu besar sehingga populasi yang ditampung juga terbatas9. Permasalahan umum lainnya adalah terjadinya penurunan kemampuan adaptasi, daya survive dan keterampilan belajar satwa, kondisi ini disebabkan oleh keadaan satwa liar di lembaga konservasi sangat bergantung kepada manusia sehingga sifat alamiahnya semakin lama semakin menurun. Permasalahan lainnya adalah variabilitas genetik satwa 9 Ibid, liar yang terbatas karena di dalam lembaga konservasi ek-situ, satwa liar hanya mendapat pasangan reproduksi yang sama dalam reproduksinya sehingga akan melemahkan sumberdaya genetik satwa liar. Selain itu, dana yang besar juga merupakan kendala yang dihadapi dalam konservasi ek-situ satwa liar, hal ini disebabkan oleh bentuk lembaga konservasi merupakan suatu bentuk usaha yang padat modal10. Untuk melakukan kegiatan konservasi sebagaimana di maksud hanya dapat di lakukan oleh Lembaga Konservasi. Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan/atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik berupa lembaga maupun lembaga non pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan Lembaga konservasi untuk kepentingan umum adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan/atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik berupa lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah yang dalam peruntukan dan pengelolaannya mempunyai fungsi utama dan fungsi lain untuk kepentingan umum. Selain itu ada juga yang dinamakan Lembaga konservasi untuk kepentingan khusus adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan/atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik berupa lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah yang dalam peruntukan dan pengelolaannya difokuskan pada fungsi penyelamatan atau rehabilitasi satwa11. Dalam hal penangkaran, satwa yang hendak ditangkarkan dapat diambil langsung di alam liar dan sumber-sumber lain yang sah dengan ketentuan yang berlaku dan atas izin menteri Kehutanan, hal ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa liar pada Pasal 8, apabila seseorang 10 Ibid, Yasmen chaniago,2012,Pengertian-pengertian dalam Konservasi Tumbuhan atau Satwa Liar(online), http://www.wisatakandi.com/2012/12/pengertian-pengertian-dalam-konservasi.html(18 mei2013) 11 melanggar ketentuan tersebut maka dikenai sanksi yang tercantum dalam Pasal 50 ayat (3), dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan atau dihukum tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. 2. Perburuan Tindakan pemerintah melindungi satwa langka, ternyata tidak diikuti dengan kesadaran masyarakat yang terus melakukan perburuan terhadap binatang-binatang langka yang hidup dihutan-hutan yang ada di Indonesia, sebagai salah satu contoh adalah perburuan yang dilakukan di salah satu hutan di Lampung Timur, perburuan liar secara tradisional menggunakan kawanan anjing dan tombak maupun menggunakan alat lengkap termasuk senjata api, masih menjadi ancaman yang serius atas keberadaan satwa liar langka dan dilindungi12. Berburu adalah menangkap dan/atau membunuh satwa buru termasuk mengambil atau memindahkan telur-telur dan/atau sarang satwa buru (Pasal 1 ayat (1) PP No.13 tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru), sedangkan Perburuan adalah segala sesuatu yang bersangkut paut dengan kegiatan berburu, Satwa buru adalah jenis satwa liar tertentu yang ditetapkan dapat diburu. Pelaku perburuan liar secara tradisional umumnya dilakukan warga yang tinggal di sekitar kawasan hutan di Lampung, antara lain untuk mendapatkan satwa langka yang akan diambil dagingnya untuk konsumsi, maupun sekelompok pemburu liar dengan peralatan lengkap dan jaringan luas menggunakan senjata api, untuk tujuan komersial mendapatkan satwa langka, bahkan untuk dijual ke luar negeri. 12 Admin, 2010,Perburuan Satwa Langka Sulit di Hentikan (online), http://www.manadotoday.com/perburuansatwa-langka-sulit-dihentikan (18 mei 2013) Contoh lain di daerah Sulawesi Utara, satwa yang dilindungi ini banyak dijumpai di pasar-pasar tradisional, akibat para pedagang dengan leluasa memasarkan satwa yang memang dilindungi undang-undang ini., sebagai Salah satu contoh di pasar Langowan hampir semua binatang langka dapat dijumpai disini, mulai dari babi rusa, kus-kus bahkan ular Pyton (Patola-red) dijual bebas disini. Keunikan yang dijumpai, memang tak lepas dari gaya hidup masyarakat Minahasa, karena bagi mereka hewan tersebut merupakan hidangan mewah. Namun ternyata sebagian besar masyarakat khususnya yang melakukan perburuan satwa liar yang dilindungi ini tidak mengetahui jika binatang yang mereka buru tersebut termasuk dalam satwa langka yang dilindungi, karena menurut mereka satwa-satwa ini memiliki kulitas rasa daging yang lezat, sehingga permintaan mengenai satwa-satwa ini selalu banyak, sedangkan hasil tangkapannya selalu terbatas, karena sulitnya mendapatkan binatang ini, maka tidak heran ada juga masyarakat yang berani membayar dengan harga tinggi13. Dalam Regulasinya jelas dikatakan dalam Pasal 17 ayat (1) PP No 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar, bahwa Perburuan jenis satwa liar dilakukan untuk keperluan olah raga buru (sport hunting), perolehan trofi (hunting trophy), dan perburuan tradisional oleh masyarakat setempat. Untuk melakukan perburuan jenis satwa demi keperluan olah raga buru (sport hunting), perolehan trofi (hunting trophy), setiap orang wajib memiliki akta buru yang terdiri dari : a. akta buru burung; b. akta buru satwa kecil; c. akta buru satwa besar. Untuk memperoleh akta buru harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 13 Ibid, a. berumur minimal 18 tahun; b. telah lulus ujian memperoleh akta buru; c. membayar pungutan akta buru. Akta buru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat hal-hal sebagai berikut : a. identitas pemburu; b. masa berlaku akta buru; c. golongan satwa buru. Hal tersebut diatas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3). Di pasal selanjutnya Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru dikatakan akta buru dapat diberikan kepada calon pemburu setelah yang bersangkutan lulus ujian untuk memperoleh akta buru yang diselenggarakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia bersama Departemen yang mengurus bidang kehutanan. Selain itu pula dalam Pasal 15 PP No. 13 tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru mengatakan surat izin berburu memuat hal-hal sebagai berikut : a. nomor akta buru; b. identitas pemburu; c. jenis dan jumlah satwa buru yang akan diburu; d. alat berburu; e. tempat berburu; f. masa berlaku izin berburu; g. ketentuan larangan dan sanksi bagi pemburu. Selain itu, surat izin berburu tidak dapat dipindahtangankan atau dipergunakan oleh orang lain. Dengan demikian jelas bahwa perburuan hanya dapat dilakukan terhadap satwa yang tiadk termasuk dalam kategori di Lindungi oleh Undang-undang, namun untuk melakukan perburuan harus disertai dengan surat izin berburu yang diberikan oleh lembaga Negara terkait. 3. Perdagangan Pemanfaatan sumber daya alam hayati untuk tujuan perdagangan, khususnya satwa liar telah lama dilakukan secara fisik ekstraktif seperti dalam bentuk daging, kulit dan bagian-bagian lain dari padanya yang bernilai ekonomis maupun estetika seperti atraksi dan pemeliharaan satwa liar yang memperlihatkan keindahan fisik, suara dan karakter species satwa liar. Pemanfaatan Tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi dewasa ini ternyata telah menimbulkan masalah besar bagi keberadaan satwa tersebut yakni berkurangnya perhatian terhadap kelestarian populasi, misal perdagangan/penyelundupan satwa ke luar negeri (illegal trading) dan kepemilikan satwa tanpa ijin. Hal ini apabila tidak di cegah maka akan berpotensi tidak hanya terjadi penurunan populasi satwa secara drastis, tetapi akan mengakibatkan terjadinya kepunahan suatu jenis satwa khususnya terhadap satwa liar yang dilindungi Undang-undang. Menurut Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), Indonesia termasuk negara yang memberikan kontribusi cukup besar dalam perdagangan organ satwa liar di dunia14. Perdagangan organ satwa liar diperuntukkan untuk memasok perdagangan obat tradisional, makanan khas, dan aksesoris (termasuk bulu/kulit binatang). Harga organ-organ satwa liar tersebut sangat tinggi di pasaran pengecer. 14 Jafar M Sidik, 2012, Internet jadi media perdagangan liar satwa(online), http://www.antaranews.com/berita/329068/internet-jadi-media-perdagangan-liar-satwa, (31 oktober 2012) Misalnya saja seperti empedu Harimau Sumatera bisa lebih tinggi dari harga emas (logam mulia), hiasan dinding dari kulit harimau bisa laku dengan harga Rp26 juta per buah15. Bahkan perkembangan terbaru dari Perdagangan Satwa langka ini adalah di lakukan dengan menggunakan media jejaring social internet. Perdagangan satwa langka yang selama ini berlangsung tertutup dan ilegal atau hanya bisa dijumpai di pusat-pusat perdagangan satwa tertentu, kini lebih mudah dan terbuka asal mengerti teknologi internet. Dalam satu tahun terakhir ini, berbagai jenis satwa langka bisa didapatkan dengan mudah melalui situs-situs perdagangan online, bahkan sudah merambah jejaring sosial seperti Facebook dan twitter. Pemilik satwa langka secara terang terangan mempromosikan satwanya lewat jejaring sosial, modus operandinya yakni penjual memasang foto satwa yang diperdagangankan dan memuat No HP penjual serta harganya. Pembeli terlebih dahulu mentransfer sejumlah uang, kemudian satwa liar yang dibeli dikirim melalui jasa pengiriman barang atau diambil langsung pada tempat yang ditentukan sepihak oleh pedagang secara tertutup, akibatnya perdagangan itu sulit ditangani karena sistem perdagangannya dilakukan dengan media social yang transaksinya seringkali tidak bertemu langsung dengan pedagangnya. Hal ini jelas mempersulit proses penyelidikan dan penyidikan yang akan dilakukan oleh pihak yang berwajib. Jenis satwa yang banyak diperdagangkan melalui media internet itu antara lain kancil (Tragulus javanicus), trenggiling (Manis javanica), kijang (Muntiacus mutjack), kucing hutan (Prionailurus bengalensis), lutung jawa (Trachypithecus auratus), kukang (Nycticebus sp), elang jawa (Nisaetus bartelsi), elang hitam (Ictinaetus malayensis), kakatua raja (Probosciger atterimus) dan kakatua seram (Cacatua molucensis). Adapun 15 Ibid situsjejaring social yang melakukan perdagangan satwa langka melalui media internet di antaranya adalah Toko Bagus, Kaskus dan Berniaga.com, namun kemudian di tahun 2012 Situs Toko Bagus sepakat dengan ProFauna untuk tidak menayangkan iklan yang menawarkan satwa dilindungi. Kebijakan dari Toko Bagus itu merupakan contoh yang baik dan seharusnya segera ditiru oleh perusahaan lainnya16 Namun perlu diperhatikan bahwa dalam melakukan Perdagangan atau jual beli Satwa liar baik dalam bentuk utuh, daging, kulit dan bagian-bagian lainnya, tidak serta merta dapat dilakukan begitu saja melainkan harus diawali dengan penetapan kuota pengambilan atau penangkapan satwa liar dari alam yang merupakan batas maksimal jenis dan jumlah spesimen satwa liar yang dapat diambil dari habitat alam. Penetapan kuota pengambilan atau penangkapan satwa liar didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan dasar-dasar ilmiah untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi populasi17. Penyusunan kuota didasari bahwa ketersediaan data potensi satwa liar yang menggambarkan populasi dan penyebaran setiap jenis masih sangat terbatas, sehingga membutuhkan peran LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan perguruan tinggi untuk membantu memberikan informasi mengenai potensi dan penyebaran jenis satwa liar yang dapat dimanfaatkan. Pengendalian dan pengawasan perdagangan satwa juga dilakukan terhadap penangkapan satwa liar dari alam, hal ini bertujuan supaya satwa liar dapat dimanfaatan sesuai dengan izin yang diberikan (tidak melebihi kuota tangkap) oleh BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) PP No 16 Endang Sukarelawati, 2012, Modus baru Perdagangan Satwa Langka “via online”(online), http://www.antaranews.com/berita/350524/modus-baru-perdagangan-satwa-langka-via-online (20 mei 2013) 17 Admin, 2011, Pemanfaatan dan Penangkaran Satwa Langka (online), http://dawibo.wordpress.com/2011/03/28/pemanfaatan-dan-penangkaran-satwa-langka/ (20 mei 2013) 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar bahwa Perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia setelah mendapat rekomendasi Menteri, dalam hal ini dilakukan oleh BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam). Hal ini di tujukan agar penangkapan spesimen satwa liar tidak merusak habitat atau populasi di alam, serta untuk spesimen yang dimanfaatkan dalam keadaan hidup supaya tidak menimbulkan kematian dalam jumlah yang banyak yang disebabkan oleh cara pengambilan atau penangkapan yang tidak benar. Pengecualian dari Pasal 19 ayat (1) diatas adalah perdagangan dalam skala terbatas dapat dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar Areal Buru dan di sekitar Taman Buru sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan tentang perburuan satwa buru. Menurut Tarsoen Waryono Pelanggaran-pelanggaran dalam bidang perlindungan satwa liar terbesar dilakukan dengan penangkapan dan pemasaran satwa liar secara ilegal yang dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu : 1. Kelompok pemanfaat di daerah Hulu 2. Kelompok Perantara 3. Kelompok pemnafaatan daerah Hilir18. a. Kelompok pemanfaat di daerah hulu. Kelompok ini adalah para penagkap di alam bisanya merupakan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sebagai habitat satwa liar. Kelompok ini merupakan kelompok yang paling rentan terhadap bujukan untuk menangkap satwa liar karena keterbatasan pengetahuan dan perbedaan sosial ekonomi dengan masyarat di luar 18 Tarsoen Waryono,Aspek Pengendalian Perdagangan Ilegal Satwa Liar yang di Lindungi di Provinsi DKI Jakarta, Kumpulan Makalah Periode 1987-2008(pdf), Jakarta, 2009, Hal.2-3 hutan. Walaupun banyak suku di Indonesia yang memiliki kearifan dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan, tetapi ketidakberdayaan terhadap akses informasi, sosial dan ekonomi menyebabkan lunturnya budaya yang menjaga keseimbangan ekosistem hutan, sehingga menyebabkan mereka melakukan perburuan terhadap satwa liar. Dalam Pasal 1 Butir 4 PP No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru mengatur juga mengenai satwa buru, dimana satwa buru adalah jenis satwa liar tertentu yang ditetapkan dapat diburu, berdasarkan asas kelestarian manfaat dengan memperhatikan populasi, daya dukung habitat, dan keseimbangan ekosistem. Dan yang terpenting adalah dalam Pasal 3 ayat (1) PP No. 13 tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru dikatakan bahwa Satwa buru pada dasarnya adalah satwa liar yang tidak dilindungi. Dengan demikian jelaslah sudah Satwa liar yang dilindungi dilarang untuk di buru. b. Kelompok Perantara Kelompok ini bergerak sangat dinamis ke segala penjuru tanah air untuk melakukan negosiasi dan memesan berbagai satwa liar yang dilindungi. Kebanyakan kelompok ini terdiri dari orang-orang yang telah mengetahui bahwa pemanfaatan satwa liar telah diatur oleh pemerintah dan mereka berspekulasi untuk memperoleh keuntungan besar dan cepat tanpa memperhitungkan prinsip-prinsip kelestarian. Faktor ekonomi adalah alas an kuat bagi kelompok ini sehingga mengenyampingkan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan, yang tanpa mereka sadari tindakan mereka itu akan merugukan lingkungan karena habitat yang tidak terjaga, sehingga pada akhirnya akan merugikan generasi-generasi mendatang. c. Kelompok Pemanfaatan Hilir Pedagang di perkotaan yang secara sembunyi-sembunyi menjual jenis satwa liar yang dilindungi baik untuk kalangaan domestik maupun luar negeri. Kebijakan pemerintah untuk perlindungan satwa liar adalah: (a). Perlindungan sistem ekologis penyangga kehidupan, (b) Pengawetan keanekaragaman hayati, dan (c). Pemanfaatan secara Lestari. Kelompok ini dalam perkembangannya tidak hanya melakukan transaksi jual beli secara langsung, tetapi juga memanfaat media internet untuk melakukan perdagangan terhadap satwa liar yang dilindungi oleh Undang-undang. Dalam melakukan perdagangan satwa persoalan penting yang perlu diperhatikan adalah dalam hukum positif kita jelas menekankan bahwa Tumbuhan dan satwa liar yang dapat diperdagangkan hanyalah jenis satwa liar yang tidak dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) PP No 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar. Selain itu tiap-tiap perdagangan tumbuhan dan satwa liar baik untuk tujuan ekspor maupun impor wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah. Dokumendokumen yang dimaksud sah apabila telah mendapatkan Izin mentri dan memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar, sebagai berikut: a. memiliki dokumen pengiriman atau pengangkutan; b. izin ekspor, re-ekspor, atau impor; c. rekomendasi otoritas keilmuan (Scientific Authority). Agar perdagangan satwa ini tidak akan merugikan bagi masyarakat, bangsa dan Negara maka perlu adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terkait, sebagai salah satunya adalah pengendalian perdagangan satwa liar di dalam negri harus dilakukan dengan upaya pengendalian dalam penerbitan SATS-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negri), pemeriksaan stok satwa yang ada pada pengedar ataupun penangkar satwa, serta pemeriksaan stok yang akan dimohonkan SATS-LN atau yang akan diekspor. Dalam pelaksanaan pengendalian dan pengawasan peredaran satwa liar di dalam negri maka BKSDA telah bekerjasama dengan Balai/Kantor Karantina Hewan yang ada di daerah. Sedangkan untuk peredaran ke luar negri maka BKSDA melakukan kerja sama dengan Balai/Kantor Karantina dan Kantor Pelayanan Bea dan Cukai, kepolisisn, serta Departemen Perdagangan (Deperindag). Dalam proses pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa yang dilindungi dari dan ke suatu tempat di wilayah Republik Indonesia atau dari dan keluar wilayah Republik Indonesia menurut Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan Satwa dilakukan atas dasar ijin Menteri, harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dari instansi yang berwenang, dan dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku. Senada dengan hal itu dalam Pasal 42 PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar menjelaskan bahwa Pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa liar dari satu wilayah habitat ke wilayah habitat lainnya di Indonesia, atau dari dan ke luar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi dengan dokumen pengiriman atau penangkutan. Dokumen dinyatakan sah, apabila telah memenuhi syaratsyarat sebagai berikut: a. standar teknis pengangkutan; b. izin pengiriman; c. izin penangkaran bagi satwa hasil penangkaran; d. sertifikat kesehatan satwa dari pejabat yang berwenang. Izin pengiriman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b wajib memuat keterangan tentang: a. jenis dan jumlah tumbuhan dan satwa; b. pelabuhan pemberangkatan dan pelabuhan tujuan; c. identitas Orang atau Badan yang mengirim dan menerima tumbuhan dan satwa; d. peruntukan pemanfaatan tumbuhan dan satwa. Sedangkan untuk 11 (sebelas) tumbuhan liar jenis Raflesia dan satwa liar tertentu hanya dapat di pertukarkan atas persetujuan Presiden diatur dalam Pasal 34 PP No.8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar. Tumbuhan jenis Raflesia dan satwa liar yang dimaksud adalah: a. Anoa (Anoa depressicornis, Anoa quarlesi); b. Babi rusa (Babyrousa babyrussa); c. Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus); d. Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis); e. Biawak Komodo (Varanus komodoensis); f. Cendrawasih (Seluruh jenis dari famili Paradiseidae); g. Elang Jawa, Elang Garuda (Spizaetus bartelsi); h. Harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae); i. Lutung Mentawai (Presbytis potenziani); j. Orangutan (Pongo pygmaeus); k. Owa Jawa (Hylobates moloch) 4. Pemeliharaan Untuk Kesenangan Pemelihara satwa sebagai hewan kesayangan semakin hari mengalami peningkatan. Sisi positifnya adalah peningkatan ini juga diiringi dengan kepeduliaan si pemelihara terhadap hewannya, hal ini dapat dilihat dari maraknya pet shop-pet shop yang berdiri dengan omzet yang lumayan besar. Namun sayangnya, peningkatan tersebut juga seiring dengan peningkatan pemeliharaan satwa liar dilindungi, karena ternyata masih banyak juga satwa-satwa liar dilindungi yang diperdagangkan dan dipelihara, dan bahkan saat ini sudah terdapat banyak komunitas atau klub yang menyebut komunitasnya sebagai “pencinta” satwa liar tersebut, serta juga banyak media massa yang meliputnya sebagai satwa yang bisa dijadikan pet animal. Kebanyakan masyarakat yang mempunyai atau memelihara satwa liar adalah juga merupakan pemelihara hewan domestik (anjing, kucing, dan kelinci). Walupun beberapa diantaranya adalah calon pemelihara atau belum pernah memelihara hewan. Sebagian pemelihara satwa liar (kebanyakan kukang, otter, kucing hutan, elang, dan primata tertentu) mengaku bahwa mereka memelihara karena “lucu”, eksotik, kasihan, dan alasan ekonomi, dan status sosial. Apabila ditanyakan mengenai status satwa liar tersebut, sebagian besar dari mereka memelihara satwa liar karena ketidaktahuan mereka, dan sebagian lagi mengaku sudah mengerti mengenai status satwa liar tersebut dan menurut mereka alas an memelihara karena semakin langka satwa tersebut maka semakin menarik untuk dijadikan hewan peliharaan. Informasi-informasi dan kampanye-kampanye pelarangan pemeliharaan satwa liar sebaiknya memang harus sering-sering digalakkan kepada masyarakat, terutama pihakpihak yang memang mempunyai relasi dengan si pemelihara hewan kesayangan supaya tidak ikut-ikutan memelihara satwa liar. Tidak memelihara satwa liar dan tidak memperdagangkan satwa liar merupakan salah satu cara untuk menjaga kelestarian satwa liar di habitatnya. Satwa liar akan lebih aman dan berkembang jika mereka hidup di habitatnya. Perlu juga diwaspadai bahwa semakin satwa liar dekat dengan manusia, maka akan banyak terjadi perpindahan penyakit dari satwa ke manusia (zoonosis) dan kepunahan mereka akan cepat terjadi. Berdasarkan pasal 2 PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan Satwa yang merupakan turunan hukum dari UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pemeliharaan atau pengawetan (bahasa hukum pemeliharaan yaitu upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak punah), bertujuan untuk : a. Menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dari bahaya kepunahan; b. Menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa; c. Memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada; agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan. Dalam Peraturan Pemerintah ini secara jelas termuat bagaimana mengkategorikan jenis satwa yang dilindungi, dan bagaimana dasar pertimbangan yang digunakan untuk mengkategorikan satwa yang dilindungi dan tidak dilindungi, terdapat dalam Pasal 4,5 dan 6 berbunyi : Pasal 4 (1) Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan: a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi; b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi. (2) Jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini. (3) Perubahan dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan sebaliknya ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan Otoritas Keilmuan Pasal 5 (1) Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi kriteria: a. mempunyai populasi yang kecil; b. adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam; c. daerah penyebaran yang terbatas (endemik). (2) Terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi criteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan upaya pengawetan. Pasal 6 Suatu jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dapat diubah statusnya menjadi tidak dilindungi apabila populasinya telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu sehingga jenis yang bersangkutan tidak lagi termasuk kategori jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat(1). Dari ketentuan tersebut status perlindungan hanya digolongkan menjadi dua yakni yang dilindungi (sudah langka dan terancam punah) dan tidak dilindungi (belum langka dan belum punah), untuk satwa yang tidak dilindungi yang populasinya masih banyak juga perlu dilakukan pengawasan, agar supaya tidak berubah statusnya menjadi dilindungi akibat pemanfaatan yang tidak terkontrol. Dari lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan Satwa, disebutkan ada 236 (dua ratus tiga puluh enam) jenis Satwa yang di lindungi yang terdiri dari Mamalia 70 (tujuh puluh) jenis, aves 70 (tujuh puluh) jenis, reptilia 30 (tiga puluh) jenis, Insecta 19 (Sembilan belas) jenis, pisces 7 (tujuh) jenis, bivalbia 14 (empat belas) jenis, dan satu jenis anthozowa. Berdasarkan lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan Satwa tersebut, di lingkungan BKSDA Sulawesi Utara termasuk Gorontalo terdapat 68 (enam puluh delapan) jenis Satwa liar yang di lindungi dengan rincian sebagai berikut. Tabel 3 : Daftar Jenis Satwa yang dilindungi di Lingkungan BKSDA Sulawesi Utara. No. Nama Kelas Nama Indonesia I Mamalia Nama Latin / Ilmiah 1. Anoa Dataran Rendah Bubalus depressicornis 2. Anoa Dataran Tinggi Bubalus quarlesi Cynopithecus niger /Macaca 3. Kera Hitam nigra 4. Rusa Cervus timorensis 5. Monyet Jambul Macaca tongkeana 6. Kera/Dihe Macaca hecki 7. Babirusa Babyrousa babyrussa 8. Musang Sulawesi Macrogalidia musschenbroekii 9. Kuskus Kecil Phalanger ursinus 10. Tangkasi Tarsius spectrum 11. Bajing Tanah Lariscus spectrum No. Nama Kelas Nama Indonesia Nama Latin / Ilmiah 12. Duyung Dugong dugong 13. Lumba-lumba Ziphiidae dolphinidae 14. Paus Cetacea order II Pisces 1. Raja Laut Coelacanth sp. III Reptilia 1. Ular Sanca Bodo Phyton molurus 2. Ular Sawah (Patola) Phyton reticulates 3. Buaya Crocodylus porosus 4. Soa-soa Hydrosaurus sp. 5. Penyu Belimbing Dermochelys coriacea 6. Kura-kura Carettochelys sp. 1. Kupu-kupu Bidadari Cethosia myrina 2. Kupu-kupu Raja Troides amphrysus 3. Kupu-kupu Raja T. Miranda 4. Kupu-kupu Raja T. meoris 5. Kupu-kupu Raja, T. palate 6. Kupu-kupu Raja T. riedeli 7. Kupu-kupu Raja 0. paradise 1. Rangkong Aceros cassidix 2. Maleo Macrocephalon maleo 3. Gosong Megapodius cumingii 4. Kuntul Kolam Punggung IV V Insecta Aves Aedola speciosa Hitam 5. Cangak Merah Ardea purpurea 6. Pecuk Ular Anhinga melanogaster No. VI Nama Kelas Nama Indonesia Nama Latin / Ilmiah 7. Elang Laut Accipiter trinotalus 8. Alap-alap Accipiter modogaster 9. Pengisap Madu Aethophyga siparaja 10. Mandar Sulawesi Aramidopsis platennis 11. Kuntul Kerbau Bubulcus ibis 12. Raja Udang Ceyx fallax 13. Raja Udang Alcedo meinting 14. Bangau Hitam Ciconia episcopus 15. KuntuI Kecil Egretta garzeta 16. Kuntul Besar Egretta alba 17. Raja Udang Biru Halcyon chloris 18. Serindit Sulawesi Loriculus exilis 19. Elang lkan Kelabu Ichtyopaga ichtyatus 20. Elang Hitam Ekor Cabang Priniturus flaricaus 21. Kowak Merah Prioniturus platurus 22. Kangkareng Pelargopsis melanorhichus 23. Raket Bercak Merah 24. Betet Raket Mantel Emas 25. Raja Udang Kepala Putih 26. Nuri Sulawesi Tanygnathus sumatranus 1. Akar Bahar Anthiphates sp. 2. Kima Raksasa Tridacna gigas 3. Kima Selatan Tridacna derasa 4. Kima Cina Hippopus porcellanus Crustacea No. Nama Kelas Nama Indonesia Nama Latin / Ilmiah 5. Kima Lobang Tridacna croceda 6. Kima Sisik Tridacna squarmosa 7. Kima Kecil Tridacna maxima 8. Kima Tapak Kuda Hippopus hippopus 9. Triton Charonia tritonis 10. Telapak Kuda Tachipleus gigas 11. Ketam Tapak Kuda Birgus latro 12. Kepala Karnbing Cassis comuta 13. Batulaga Turbo marmoratus 14. Nautilus Berongga Nautilus pompillus Sumber : Data BKSDA Sulawesi Utara. Jenis-jenis satwa yang ada dalam lampiran Peraturan Pemerintah tersebut menjadi batasan pengertian satwa yang dilindungi pada Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Konservasi, sehingga aturan menjadi jelas yakni adanya larangan memiliki, memelihara dan menyimpan satwa yang dilindungi yang dimaksud ialah satwa-satwa yang terdapat atau terdaftar dalam lampiran peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan Satwa tersebut. Di luar daftar satwa dilindungi tersebut bebas untuk dipelihara tetapi juga harus dengan kontrol dan pengendalian yang baik sehingga statusnya tidak berubah menjadi dilindungi, sebab dari penggolongan yang sudah ditetapkan tersebut sewaktu-waktu bisa berubah ststusnya dari yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan sebaliknya dari yang tidak dilindungi menjadi dilindungi, sesuai kriteria atau pertimbangan yang ditapkan oleh Peraturan pemerintah ini. Namun, walaupun telah ada larangan mengenai kepemilikan Satwa liar yang dilindungi, tetap saja masih ada masyarakat yang gemar memelihara satwa liar dilindungi dengan alas an untuk kesenangan di lingkungan BKSDA Sulut sendiri dari rentan waktu 5 tahun terakhir sampai dengan tahun 2013 ini tercatat ada 5 (lima) kepemilkan satwa yang Sah yaitu : 1. Pusat Penyelematan Satwa (PPS) Tasikoki di Minahasa Utara 2. Taman Satwa Tandurusa di Bitung 3. Penangkaran Karang oleh PT Mata Karang di Pulau Bangka Minahasa Utara. 4. Penangkaran Penyu di Kombi – Minahasa. 5. Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manado Sedangkan untuk data kepemilkan yang tidak Sah dari hasil operasi Penanggulangan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar terdapat 6 (enam) Kepemilikan satwa yang tidak Sah, yaitu : 1. Anoa sitaan dari Bolmong Utara di titipkan di Taman Sataw Tandurusa sebanyak 1 ekor 2. Anoa sitaan dari Bolmong Utara di titipkan di BPK Manado sebanyak 2 ekor 3. Sampiri di titipkan di BPK Manado sebanyak 16 ekor Kasus dalam proses penyidikan PPNS. 4. Yaki / Macaca di titipkan di PPS Tasikoki sebanyak 5 ekor. 5. Burung Kasuari dititipkan di PPS Tasikoki sebanyak 1 ekor. 6. Burung Nuri dititipkan di PPS Tasikoki sebanyak 1 ekor. Untuk menanggulangi persoalan mengenai kepemilkan Satwa liar yang dilindungi ini langkah-langkah yang Ditempuh BKSDA Sulut Dalam Perlindungan Satwa Liar adalah sebagai berikut : 1. Sosialisasi tentang perlindungan tumbuhan dan satwa dilindungi, dilaksanakan setiap tahuan di dua seksi wilayah. 2. Kerjasama dengan LSM perlindungan satwa seperti : a. WCS IP – Sulawesi s.d tahun 2012 b. Birth life s.d tahun 2007 c. Ms Lynn clayton / Yayasan Nantu s.d sekarang d. Macaca Nigra project s.d sekarang e. PPS Tasikoki s.d sekarang f. Selamatkan Yaki s.d sekarang g. Taman Satwa Tandurusa. h. PT. Matahari Kahuripan Pantera mulai tahun 2013. i. Dll. 3. Operasi perlindungan satwa : a. Kerjasama dengan Ms Lynn clayton / Yayasan Nantu b. Operasi TSL di wilayah Bolmong dan Minahasa Selatan19. Menurut Bpk. Muhazir Madina, S.Hut, staf Perlindungan SPTN 1 suwawa untuk daerah Gorontalo sendiri sebagai wilayah dari BKSDA sulut, kasus mengenai kepemilikan Satwa liar yang di lindungi ini masih belum menonjol yang terbaru sekarang adalah mengenai kepemilikan beberapa satwa liar yang dilindungi seperti 19 Data BKSDA Sulut 2013 buaya,burung kaka tua yang ada di taman wisata Water Boom, langkah yang telah diambil adalah melakukan pendataan dan sosialisasi agar kepemilikan satwa tersebut di daftarkan dengan cara di urus perizinannya, sejauh ini yang di lakukan baru sebatas itu. Di tambahkan oleh Bpk. Hendrik Rundengan, SP, Kasi KSDA wilayah 2 Gorontalo, yang menjadi hambatan bagi pihak BKSDA untuk mengambil alih satwa liar yang dilindungi tersebut adalah belum adanya tempat atau wadah bagi BKSDA untuk memelihara satwa liar yang dimaksud di Gorontalo, persoalan ini masih terbentur dengan persoalan dana untuk pembutan itu20. Untuk itu hendaknya sebelum memutuskan untuk memelihara hewan atau membeli hewan untuk dijadikan peliharaan, masyarakat memperhatikan apakah hewan yang nantinya akan di pelihara tersebut termasuk dalam kategori satwa yang dilindungi, atau sebalaiknya termasuk golongan satwa yang tidak dilindungi. Sebab dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP No.8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar memang setiap orang diberikan kesempatan untuk dapat memelihara jenis tumbuhan dan satwa liar untuk tujuan kesenangan, namun di ayat selanjutnya ayat (2) kembali dibatasi bahwa tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan pemeliharaan untuk kesenangan hanya dapat dilakukan terhadap jenis yang tidak dilindungi. Adapun untuk memperoleh hewan liar yang tidak termasuk dalam kategori yang dilindungi, diperoleh dari hasil penangkaran, perdagangan yang sah, atau dari habitat alam sebagaimana yang diatur dalam pasal 39 PP No.8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar. 20 Hasil wawancara singkat dengan Bpk Muhazir Madina, Staf perlindungan SPTN 1 suwawa dan Bpk.Hendrik Rundengan, Kasi KSDA Wilayah 2 Gorontalo. Dengan demikian jelaslah sudah bahwa hukum positif kita hanya membolehkan masyarakatnya memelihara hewan sebagai suatu kesenangan yang dilakukan terhadap hewan yang tidak termasuk dalam kategori yang dilindungi. B. Pertanggung jawaban pidana seseorang yang memiliki satwa liar yang dilindungi undang-undang. Berbicara mengenai penegakan hukum maka hal ini berkaitan dengan aparat penegak hukum dan masyarakat yang menjadi subyek hukum, keduanya tidak terpisahkan dan saling berhubungan karena dalam menegakkan hukum bukan menjadi monopoli dari aparat penegak hukum, tetapi juga masyarakat mempunyai peran yang penting dalam hal menegakkan hukum. Apalagi dalam penegakan hukum konservasi peran dari masyarakat begitu sangat penting mengingat di negara ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa banyak dan beragam, disamping itu wilayahnya yang sangat luas sehingga diperlukan kesadaran dari masyarakat untuk menjaga dan melestarikan alam beserta isinya yang didalamnya termasuk tumbuhan dan satwa. Salah satu penyebab maraknya perburuan satwa liar adalah karena budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, di mana masyarakat kita pada umumnya senang atau bahkan sudah menjadi hobi memelihara binatang peliharaan yang terkadang binatang tersebut dilindungi keberadaaannya di alam liar. Oleh karenanya marak terjadi perdagangan satwa dilindungi yang berujung pada tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi secara illegal. Interaksi ekologis masyarakat dengan hutan terkait erat dengan kesejahteraan masyarakat. Misalnya hutan sebagai sumber kayu bakar, sumber mata air, protein hewani, nabati dan berbagai fungsi ekonomi dan manfaat langsung lainnya yang didapatkan masyarakat dari hutan. Hubungan keduanya bersifat ketergantungan, saling mempengaruhi dan mampu merubah lingkungan biofisik tersebut. Persoalan satwa liar tentunya tidak terlepas dari persoalan lingkungan, sehingga jika terjadi pelanggaran terhadapa satwa liar maka secara otomatis melanggar pula hukum lingkungan yang berlaku. Hukum lingkungan adalah sebuah bidang atau cabang hukum yang memiliki kekhasan yang oleh Drupsteen disebut sebagai bidang hukum fungsional (functioneel rechtsgebeid), yaitu didalamnya terdapat unsure-unsur hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata21. Delik lingkungan adalah perintah dan larangan undang-undang kepada subjek hokum yang jika dilanggar, diancam dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana, antara lain pemenjaraan dan denda, dengan tujuan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun unsure-unsur dalam lingkungan hidup seperti hutan satwa, lahan, udara, dan air serta manusia22. Sebagai salah satu unsur lingkungan hidup, satwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan, dimana untuk bertahan hidup dan ber regenerasi, satwa membutuhkan lingkungan hidup. Namun akhir-akhir ini keberadaan satwa terancam punah bukan karena factor lingkungan tetapi justru disebabkan oleh gangguan manusia. Untuk mengatasi hal demikian maka dibuatlah regulasi-regulasi yang mengatur tentang satwa liar yang dilindungi di Indonesia, namun dalam realitas yang ada ternyata masih banyak juga yang sengaja ataupun tidak melakukan tindakan-tindakan yang dilarang oleh peraturan perundangundangan yang ada. Sehingga menarik untuk kemudian dipersoalkan mengenai pertanggung jawaban pidana bagi orang yang melakukan pelanggaran terhadap regulasi yang ada, hususnya mengenai kepemilikan satwa liar yang di lindungi. 21 Th. G. Drupsteen(1983), dalam Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal 207 22 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal 221. Dalam hukum lingkungan dikenal prinsip-prinsip penyelesaian sengketa lingkungan, dimana jika terjadi persoalan yang menyangkut lingkungan hidup, maka dapat diberikan sanksi berdasarkan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Prinsip Pencemar membayar. Pencemar semata-mata merupakan seorang yang berbuat pencemaran yang seharusnya dapat dihindarinya23. Dengan demikian pencemar harus menanggung beban atau biaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang ditimbulkannya. Prinsip pencemar membayar dalam UUPLH diatur dalam pasal 34 UUPLH yang menyatakan, bahwa setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usah dan/atau kegiatan untuk membayar ganti kerugian dan/atau melakukan tindakan tertentu (ayat 1). Ketentuan ini disebut mengandung “prinsip pencemar memabayar”karena penjelasan otentik ayat (1) menyatakan sebagai berikut: Ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut Asas Pencemar Membayar, selain diharuskan membayar ganti kerugian, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu. 2. Prinsip Tanggung jawab Mutlak Apabila dilihat dari maksud dan isinya, prinsip tanggung jawab mutlak yang dikenal dalm UUPLH (Pasal 35) sebenarnya adalah terjemahan dari istilah Strict Liability 23 Siti Sundari Rangkuti, dalam KoesnadiHardjasoemantri, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2006, Hal 48. yang artinya adalah tanggung jawab mutlak. Maksudnya, pencemar dan/atau perusak lingkungan “mutlak” harus bertanggung jawab tanpa perlu dibuktikan unsure kesalahannya. 3. Prinsip yang diambil dari teori Pertanggung jawaban perdata. a. Market share liability Pencemaran lingkungan Hidup bias saja disebabkan oleh banyak indostri. Dengan menggunakan prisnip ini penggugat harus mengahadirkan sejumlah industry yang menurut penggugat merugikannya. Dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan, beban pembuktian beralih kepada pihak tergugat, dengan demikian berlaku asas “pembuktian terbalik”. b. Risk Contribution Seperti prinsip market share liability, prinsip ini pun sama dalam hal tujuan, yaitu untuk membantu meringankan beban penggugat. Menurut prinsip ini tergugat juga dapat menyeret pihak-pihak lain yang diduga sebagai contributor lainnya selain si tergugat sendiri24. c. Concert Action Menurut prinsip ini, pihak-pihak yang ikut berpartisipasi menimbulkan pencemaran juga mesti bertanggung jawab. Misalnya pihak konsultan yang member nasehat untuk tidak mengoperasikan alat pembuangan limbah dapat dituntut supaya bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh penggugat, bahkan pemerintah pun dapat dituntut supaya bertanggung jawab, apabila dengan adanya persetujuan atau izin yang diberikan pemerintah terhadap suatu usaha atau kegiatan tertentu, justru menimbulkan 24 Achamd Santosa dalam KoesnadiHardjasoemantri, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2006, Hal. 72 pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian bagi korban25. d. Enterprise Liability Prinsip ini adalah pengembangan lebih lanjut dari Prinsip market share liability. Prinsip ini ingin membantu penggugat yang tidak dapat menunjuk pelaku pencemaran dari sejumlah industry yang diduga telah mencemari lingkungan sedangkan disisi lain industry-industri itu telah mengikuti atau mematuhi standard an petunjuk yang ditentukan. Menurut Prinsip ini, penggugat diperkenankan melibatkan seluruh industry yang berpotensi mengakibatkan kerugian kepada penggugat serta pihak-pihak yang terlibat dalam pemberian RKL dan RPL (AMDAL) dan Perizinan. Semua pihak itu bertanggung jawab secara bersama atas kerugian yang diderita oleh penggugat sesuai dengan porsinya masing-masing26. 1. Pertanggung Jawaban Pidana Pada umumnya Hukum Pidana dikenal sebagai Ultimum Remidium / Alternatif terakhir yang akan digunakan dalam menyelesaikan suatu permasalahan, namun sebenarnya tdk hanya sebagai ultimum remidium, Hukum Pidana juga dapat menjadi Primum remedium, apabila terdapat beberapa syarat tertentu. Pertama : korban jumlahnya sangat besar. Kedua : terdakwa merupakan recidivist, Ketiga; kerugian tidak dapat dipulihkan (irreparable)27. 25 Ibid KoesnadiHardjasoemantri, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2006, Hal 74 27 Dr.H.G. de Bunt dalam Edy OS. Hiariej, Fiat Justicia,Buletin Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,2011,hal 1. 26 Oleh karena itu penggunaan hukum pidana sebagai primidium remidium harus dilihat berdasarkan situasinya. Mengenai kepemilikan satwa liar, peneliti juga melihat aturan pidana dalam hal memiliki satwa liar yang dilindungi kedalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Namun ternyata dalam KUHP kita tidak ada aturan yang khusus mengatur tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi, dalam Kitab Undang-undang ini hanya mengatur tanggung jawab dari para pemelihara hewan peliharaan untuk menjaga dan merawatnya sebaik mungkin dan tidak di perbolehkan untuk melakukan penganiyayaan terhadap hewan baik yang di pelihara maupun hewan liar di habitatnya. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam pasal 302 dan Pasal 490 KUHP. Pasal 302 KUHP (1) diancam dengan pidana paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan : ke-1 barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai atau merugikan kesehatannya; ke-2 barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya (2) jika perbuatan tersebut mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan. (3) Jika hewan kepunyaan yang bersalah, maka hewan dapat dirampas (4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana Dari pasal diatas terlihat bahwa unsur pasalnya lebih mengarah pada perlakuan terhadapa satwa atau hewan peliharan, bahkan ketika seseorang yang mempunyai hewan peliharaan lalai dalam memberi makan pada hewan pemeliharaannya orang tersebut dapat dikenai sanksi pidana, apalagi jika karena perbuatannya satwa atau hewan tersebut menjadi sakit, atau bahkan sampai mati, maka ancaman sanksinya pun menjadi lebih berat. Selain itu dalam Pasal 490 KUHP juga mengatur bahwa diancam dengan kurungan paling lama enam hari, atau denda paling banyak dua puluh rupiah : ke-1 barangsiapa menghasut binatang terhadap orang atau hewan yang sedang dinaiki atau dimuati barang; ke-2 barangsiapa tidak mencegah binatang yang ada dibawah penjagaannya, waktu menyerang orang atau hewan yang dinaiki atau dimuati barang; ke-3 barangsiapa tidak menjaga secukupnya binatang buas yang ada dibawah penjagaannya, supaya tidak menimbulkan kerugian; ke-4 barang siapa memelihara binatang buas yang berbahaya tanpa melaporkan kepada polisi atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu, atau tidak menaati peraturan yang diberikan oleh pejabat tersebut tentang hal itu. Pasal ini tidak masuk dalam buku II KUHP tentang kejahatan tetapi masuk dalam buku III KUHP tentang Pelanggaran. Unsur dari Pasal ini hampir sama dengan Pasal 302 KUHP yakni tentang bagaimana hewan peliharaan yang menjadi tanggung jawab seseorang diperlakukan, bedanya ketentuan ini lebih mengarah ke bagaimana satwa atau hewan peliharaan yang dimiliki tidak menggangu ketertiban umum. Apabila dilihat dari sanksinya aturan dalam KUHP ini sudah tidak begitu memberikan efek jera bagi pelaku, dikarenakan ancaman penjara dan denda sebagaimana diatur sudah tidak sesuai dengan keadaan sekarang. Dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan walaupun tidak secara eksplisit mengatur tentang tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi, tetapi dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m terdapat larangan untuk mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang, dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Ketentuan dari Pasal ini bukan merupakan kejahatan tetapi berupa pelanggaran. Sedangkan dalam perspektif UU No. 5 Tahun 1990 , tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kepemilikan satwa liar memang sudah jelas dilarang sebagaimana yang di rumuskan dalam Pasal 21 ayat (2) sebagai berikut : Setiap orang dilarang untuk : a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi. Berikut akan di uraikan Unsur dari Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Konservasi : a. Unsur tindak pidana pada huruf a. 1) menangkap, 2) melukai, 3) membunuh, 4) menyimpan, 5) memiliki, 6) memelihara, 7) mengangkut, dan 8) memperniagakan 9) satwa yang dilindungi 10) dalam keadaan hidup; b. Unsur tindak pidana pada huruf b. 1) menyimpan, 2) memiliki, 3) memelihara, 4) mengangkut, dan 5) memperniagakan 6) satwa yang dilindungi 7) dalam keadaan mati; c. Unsur tindak pidana pada huruf c. 1) mengeluarkan 2) satwa yang dilindungi 3) dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d. Unsur tindak pidana pada huruf d. 1) memperniagakan, 2) menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau 3) barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut 4) atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; e. Unsur tindak pidana pada huruf e. 1) mengambil, 2) merusak, 3) memusnahkan, 4) memperniagakan, 5) menyimpan atau memiliki 6) telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi. Apabila merujuk pada unsur-unsur tersebut maka tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi yang dimaksud sangat luas, bukan hanya menyimpan, memiliki dan memelihara satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup seperti yang tercantum dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a, tetapi lebih dari itu yang juga tercantum pada huruf b,d dan e yakni menyimpan, memiliki dan memelihara satwa yang dilindungi dalam keadaan mati atau hanya kulit, tubuh dan bagian-bagaiannya. Selain daripada itu menyimpan atau memiliki telur dan/ atau sarang satwa yang dilindungi juga merupakan bagian dari tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi yang kesemua tindakan tersebut memiliki sanksi yang tegas dan jelas bagi para pelanggarnya yang tercantum dalam pasal 40 ayat (2) yakni dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) Pengecualian dari pasal 21 ayat (2) tersebut hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1). Selain itu Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (3). Hal ini senada dengan apa yang dilarang dalam Pasal 50 ayat (3) UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dimana setiap orang dilanrang mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan, seperti pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah. Selain itu pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia sebagimana yang diatur dalam pasal 22 UU No. 5 Tahun 1990. 2. Sanksi Pidana Ketentuan Sanksi pidana mengenai kepemilikan Satwa liar ini diatur dalam Undangundang Repoblik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 40 ayat (2) yang mana dikatakan bahwa Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal ini mengatur mengenai Sanksi yang diberikan kepada pelaku yang dengan sengaja dan dengan diketahuinya melanggar ketentuan yang diatur dalam hukum positif. Sedangkan untuk setiap orang karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) Pasal 40 ayat (4) UU No. 5 tahun 1990. Selanjutnya Pasal 50 dijelaskan bahwa (1) Barang siapa tanpa izin menggunakan tumbuhan dan atau satwa liar yang dilindungi untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dihukum karena melakukan perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. (2) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan atau dihukum tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan terhadap tumbuhan liar dan satwa liar untuk waktu paling lama 5 tahun. (3) Barang siapa mengambil tumbuhan liar dan atau satwa liar dari habitat alam tanpa izin atau dengan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 8 ayat (2), Pasal 29 dan Pasal 39 ayat (2) dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan atau dihukum tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. Bagi yang melakukan perdagangan terhadap satwa liar sebelum memenuhi kategori sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) atau Pasal 11 ayat (1) atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dihukum karena melakukan perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dengan ancaman hukuman denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha yang bersangkutan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 54 PP no. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar. Selanjutnya dalam Pasal 56 dikatakan barangsiapa melakukan perdagangan satwa liar yang dilindungi dihukum karena melakukan perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 21 Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman hukuman denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha yang bersangkutan. Sedangkan untuk keperluan Eskpor, re-ekspor, atau impor tumbuhan liar dan atau satwa liar tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), atau tanpa dokumen, atau memalsukan dokumen, atau menyimpang dari syarat-syarat dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dihukum karena melakukan perbuatan penyelundupan, dengan ancaman hukuman denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha perdagangan yang bersangkutan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar. Adapun untuk pemilhara satwa liar untuk kesenangan terhadap satwa liar yang tidak dilindungi, itu dibolehkan, tetapi bagi pemelihara satwa liar yang di lindungi hukum positif atau tidak memenuhi Pasal 40 dan Pasal 41 ayat (2) dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan atau perampasan atas satwa yang dipelihara sebagaimana diatur dalam Pasal 62 PP No.8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan jenis tumbuhan dan Satwa Liar. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum positif mengenai kepemilikan satwa liar yang di lindungi, maka tumbuhan dan satwa tersebut dirampas untuk Negara, untuk kemudian dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Penegakan hukum konservasi tidak saja menggunakan hukum pidana tetapi juga menggunakan hukum administrasi negara, hal ini bisa dilihat dalam hal perizinan yang harus dipenuhi oleh eseorang atau badan hukum yang berkeinginan untuk memiliki atau memelihara satwa yang dilindungi yang syarat dan ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar 3. Prosedur Penanganan Tindak Pidana Apabila terjadi pelanggaran sebagaimana yang diatur diatas, maka tindakan dalam penanganan Kejahatan Tumbuhan dan Satwa Liar ditindaki dengan melakukan Penyidikan terhadap pelanggaran itu. Untuk melakukan penyidikan Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Penyidik sebagaimana dimaksud, mempunyai kewenangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 39 ayat (3) UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yaitu : a. melakukan pemeriksanaan atas laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; b. melakukan pemeriksaaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam; d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; e. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; f. membuat dan menandatangani berita acara; g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Setelah dilakukan penyidikan dan telah cukup alat bukti, maka dilakukan penangan terhadap pelanggaran yang dimaksud dengan prosedur penanganannya sebagai berikut : 1) Penegakan hukum secara preventif adalah suatu tindakan untuk mencegah terjadinya gejala yang bersangkutan. Dapat dilakukan oleh Polisi Kehutanan atau bekerjasama dengan mitra kerja PHKA atau instansi terkait atau aparat penegak hukum lainnya melakukan kegiatan sosialisasi, pembinaan serta penyuluhan peraturan perundangan, pengenalan jenis tumbuhan dan satwa liar dilindungi maupun tidak. Upaya ini dilakukan dan dilaksanakan untuk menekan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan tujuan agar masyarakat dengan penuh kesadaran untuk mengurangi atau menghentikan pemakai pengguna tumbuhan dan satwa liar dalam kegiatan kehidupannya, seperti perdagangan secara komersil tanpa penggunaan prosedur ijin yang sah. 2) Kegiatan Operasi Intelijen Dapat dilakukan oleh Polisi kehutanan, instansi terkait yang berwenang, bekerjasama dengan aparat penegak hukum lainnya dengan tujuan untuk mendapatkan informasi awal tentang tindak pidana tumbuhan dan satwa liar agar dalam melakukan operasi represif dapat berjalan tepat sasaran. 3) Penegakan hukum secara represif. Selain penegakan hukum secara preventif juga dilakukan secara represif. Definisi dari represif itu sendiri adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk menanggulangi terhadap terjadinya gejala yang bersangkutan, yaitu melakukan tindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berhubungan dengan tumbuhan dan satwa liar. Dapat dilaksanakan secara fungsional oleh Polisi Kehutanan, operasi gabungan bersama dengan aparat penegak hukum di instansi terkait. 4) Proses Yustisia Dapat dilaksanakan oleh PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Kementerian Kehutanan dan atau bekerjasama dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait mulai dari menyelidiki, menyidik sampai pemberkasan diterima oleh jaksa melalui penyidik POLRI. 5) Penangan Barang Bukti Penanganan barang bukti baik itu hasil operasi pengamanan fungsional maupun gabungan, bagi satwa yang masih hidup bisa dikembalikan ke habitat alam setelah memenuhi syarat didahului dengan izin dari pengadilan negeri setempat, dan sebelum dilepasliarkan dilakukan habituasi, begitu juga harus menyisakan beberapa sesuai kebutuhan untuk barang bukti untuk keperluan di persidangan. Sedangkan bagi satwa maupun bagian-bagian yang lain yang dilindungi bagi keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan lebih baik dimusnahkan. 6) Putusan Pengadilan Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Dan keputusan pengadilan sepenuhnya merupakan wewenang hakim, karena hakim akan mencari kebenaran materiil yaitu kebenarannya terjadi atau kebenaran yang senyata-nyatanya ada dalam suatu perkara pidana. Menurut pasal 183 KUHAP hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, maka disinilah peran PPNS atau penyidik POLRI dituntut lebih profesionalis dalam tugas penyidikannya agar bisa membuktikan pakta di dalam perkara persidangan28. 28 Suhendart, SP. 2012, Perspektif Hukum Terhadap Pengamanan Tumbuhan dan Satwa Liar(online), http://www.ksda-bali.go.id/?p=746,(30 oktober 2012)