Universa Medicina Januari-Maret 2006, Vol.25 No.1 Aflatoksin dan aflatoksikosis pada manusia Yenny Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti ABSTRAK Aflatoksin adalah toksin yang sangat poten dan telah dikenal sebagai penyebab kanker hati. Di samping itu, aflatoksin juga dapat menimbulkan gangguan penting lain. Terdapat empat jenis aflatoksin yaitu B1, B2, G1 dan G2. Aflatoksin B1 merupakan karsinogen yang paling potensial. Paparan kronis aflatoksin menyebabkan terjadinya penurunan imunitas dan terganggunya metabolisme protein dan berbagai mikronutrien yang penting bagi kesehatan. Dilaporkan sekitar 4,5 miliar manusia yang tinggal di negara berkembang secara kronis terpapar oleh aflatoksin dalam jumlah yang tidak terkontrol. Aflatoksin dapat mempengaruhi imunitas dan nutrisi manusia. Ada kemungkinan besar bahwa 6 faktor risiko teratas yang diidentifikasi oleh WHO (yang meliputi 43.6% dari disability-adjusted life years [DALYs]), seperti dengan halnya kanker hati, faktor-faktor risiko itu dipicu oleh aflatoksin. Di beberapa negara di Afrika dan Asia, aflatoksin menyebabkan wabah aflatoksikosis akut dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Bagi negara berkembang pencegahan terhadap paparan aflatoksin dilakukan dengan diterapkannya peraturan yang membatasi konsentrasi terendah toksin yang diperkenankan terdapat di dalam makanan dan dengan cara kemoproteksi serta enterosorbsi untuk meminimalkan paparan biologis. Kata kunci : Aflatoksin, kanker hati, risiko, kesehatan Aflatoxin and aflatoxicosis in human ABSTRACT Aflatoxin is the most potent toxic substance and has been recognized as a cause of liver cancer. It can also cause other additional toxic effects. The four major aflatoxin are called B1, B2, G1 dan G2. Aflatoxin B1 is the most potent natural carcinogen and is usually the major aflatoxin produced by toxigenic strains.Chronic exposure to aflatoxin compromises immunity and interferes with protein metabolism and multiple micronutrients that are critical to health. It was estimated that approximately 4.5 billions persons living in developing countries are chronically exposed to largely uncontrolled amounts of the toxin. Aflatoxin affects human immunity and nutritional status. There is a reasonable probability that the 6 top WHO risk factors [which account for 43,6% of the disabilityadjusted life years (DALYs)]are modulated by aflatoxin. Outbreaks of acute aflatoxicosis have reported from countries in Africa and Asia and caused high morbidity and mortality. Preventing exposure to aflatoxin in developing countries has been achieved by regulation that have required low concentration of the toxin in traded foods and with chemoprotection, enterosorption to minimize biological exposure. Keywords: Aflatoxin, liver cancer, risk, health Korespondensi : aYenny Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Trisakti Jl. Kyai Tapa No.260, Grogol Jakarta 11440 Tel. 021-5672731 eks. 2801, Fax. 021-5660706 E-Mail : [email protected] 41 Yenny PENDAHULUAN Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus. (1,2) Aflatoksin merupakan kontaminan yang paling sering dijumpai pada hasil panen pertanian serta bahan makanan pokok di banyak negara berkembang sehingga mengancam keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan oleh jamur ini dapat dijumpai selama masa produksi bahan pangan, pada waktu panen, pada saat penyimpanan dan proses pembuatan makanan. Aflatoksin diisolasi pertama kali pada awal tahun 1960 di Inggris dari kelainan atau penyakit yang disebut turkey “X” disease yang menyebabkan kematian mendadak lebih dari 100.000 kalkun dengan kelainan nekrosis hepatik fulminant tanpa sebabsebab yang jelas. (3) Baru kemudian diketahui bahwa kematian ini terjadi karena makanan unggas tersebut terkontaminasi oleh toksin dari jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Mikotoksin jamur diproduksi sebagai metabolit sekunder pada temperatur antara 2435 0 C, dengan kelembaban melebihi 7%. Jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus ini terdapat di mana-mana dan dapat mencemari bahan makanan pokok seperti beras, jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, kacang tanah, cabe dan rempah-rempah. Pencemaran oleh jamur pada proses penyimpanan, proses pengeringan hasil panen dapat terjadi di daerah yang letaknya terbentang antara 40 0 lintang utara dan 40 0 lintang selatan garis katulistiwa. Invasi dan kontaminasi oleh jamur seringkali sudah dimulai sebelum panen dan dapat meningkat oleh kondisi produksi dan panen. Untuk negara berkembang di mana angka harapan hidup rata-rata masih pendek, Word Health Organization (WHO) (Tabel 1) tidak memasukkan aflatoksikosis ke dalam deretan sepuluh gangguan kesehatan yang diidentifikasikan sebagai faktor risiko tinggi untuk timbulnya penyakit. 42 Aflatoksin dan aflatoksikosis Tabel 1.World Health Organization priority health risks and associated burden of disease in disability-adjusted life years (DALYs) for developing countries (4) Berat badan rendah (underweight), hubungan seks yang tidak aman, sumber air yang kurang baik (unsafe water), asap dari bahan bakar di dalam rumah (indoor smoke from solid fuels), kekurangan zink, kekurangan zat besi, kekurangan vitamin A, tekanan darah tinggi, merokok atau penggunaan tembakau, dan kolesterol (4) merupakan penyakit akibat aflatoksikosis. Ada kemungkinan besar bahwa 6 faktor risiko teratas yang diidentifikasi oleh WHO (yang meliputi 43,6% dari disabilityadjusted life years [DALYs]), seperti dengan halnya kanker hati, dipicu oleh aflatoksin. Tekanan ekonomi yang timbul di berbagai tempat di dunia telah menciptakan standar ganda bagi kadar aflatoksin yang diperkenankan pada bahan makanan bagi konsumsi manusia dan ternak. Di negara maju, paparan pada anak-anak terhadap aflatoksin atau mikotoksin di makanan dapat dikatakan tidak ada karena standar peraturannya yang sangat ketat. Di negara berkembang, pemantauan dan penerapan standar peraturan berkaitan dengan pencemaran aflatoksin masih kurang diperhatikan sehingga banyak orang terpajan terhadap berbagai mikotoksin dalam Universa Medicina kadar yang membahayakan. Kadar aflatoksin yang diperkenankan pada bahan makanan untuk manusia berkisar antara 4-30 parts per billion (ppb), tergantung dari negaranya. (5,6) Sebaliknya, untuk padi-padian makanan hewan ternak, konsentrasi aflatoksin sampai 300 ppb masih diperkenankan di Amerika Serikat. (7) A s p e rg i l l u s o ry z a e d a n A s p e rg i l l u s sojae merupakan dua spesies aspergilus yang digunakan pada makanan hasil fermentasi yang banyak di konsumsi oleh orang Asia seperti kecap, miso, dan sake ternyata masih punya hubungan erat dengan spesies aflatoksigenik A s p e rg i l l u s f l a v u s d a n A s p e rg i l l u s parasiticus. Walaupun demikian ternyata kedua jamur makanan ini tidak pernah memproduksi aflatoksin. Hal ini disebabkan adanya deletions dan defek genetik lainnya menyebabkan tidak aktifnya jalur metabolisme a f l a t o k s i n p a d a A s p e rg i l l u s o r y z a e d a n Aspergillus sojae. (8) EPIDEMIOLOGI Aflatoksin adalah salah satu dari substansi yang paling toksik yang dapat dijumpai secara alamiah. Keracunan oleh aflatoksin terjadi oleh karena konsumsi dari racun ini yang mencemari bahan makanan dan aflatoksikosis pada manusia dilaporkan dijumpai di banyak tempat di dunia. Badan Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization) memperkirakan bahwa kontaminasi mikotoksin meliputi sekitar 25% dari hasil pertanian di seluruh dunia. (1) Penyakitpenyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi aflatoksin disebut aflatoksikosis. (8) Ditinjau dari segi kesehatan masyarakat, a f l a t o k s i n menempati tempat penting karena akibat yang ditimbulkannya pada manusia, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Aflatoksin mempunyai sifat karsinogenik dan hepatotoksik. Sifat ini tergantung pada lama Januari-Maret 2006, Vol.25 No.1 dan tingkat paparan terhadap aflatoksin. Konsumsi aflatoksin dosis tinggi dapat menyebabkan terjadinya aflatoksikosis akut yang dapat menimbulkan manifestasi hepatotoksisitas atau pada kasus-kasus berat dapat terjadi kematian akibat fulminant liver failure. (8,9) Wabah aflatoksikosis akut akibat makanan yang tercemar oleh aflatoksin dosis tinggi dilaporkan pernah terjadi di Kenya, India, Thailand dan Malaysia. (10,11) Pada tahun 2004, dilaporkan terjadinya wabah aflatoksikosis akut yang luas di antara penduduk Kenya propinsi bagian timur dan menyebabkan kematian sekitar 400 kasus. (12) Wabah ini terjadi akibat konsumsi maize (jagung) yang tercemar aflatoksin dan merupakan wabah aflatoksikosis akut terberat yang pernah ada di dunia. Tingginya jumlah kasus dan luasnya area yang terlibat kemungkinan akibat aflatoksin yang mencemari maize beredar melalui sistem distribusi regional (pasar). Survei potong-lintang yang dilakukan Lewis et al (1) berhasil mengumpulkan 350 sampel maize di pasaran. Mereka menemukan sebanyak 192 (55%) sampel mengandung aflatoksin pada kadar di atas yang diperkenankan yaitu 20 ppb, 121 (35%) sampel dengan kadar aflatoksin > 100 ppb (lima kali kadar yang diperkenankan), dan 24 (7%) kadar aflatoksinnya > 1000 ppb. Epidemi aflatoksikosis yang hampir sama besarnya seperti yang terjadi di Kenya, pernah dilaporkan terjadi di India bagian barat pada tahun 1974. (12) Wabah ini menyerang 397 orang dan menyebabkan 106 kematian. Tetapi oleh karena ada kemungkinan beberapa penderita tidak pergi berobat ke pusat-pusat kesehatan maka jumlah kasus sebenarnya dapat lebih besar dari yang dilaporkan. Peristiwa ini timbul berkaitan dengan musim hujan yang datang pada waktu yang tidak biasa yaitu pada saat panen sehingga maize hasil panen yang masih basah dan belum cukup kering ini, yang 43 Yenny disimpan di lumbung-lumbung menjadi lembab. Keadaan ini menyebabkan terjadinya pertumbuhan jamur sehingga toksinnya mencemari hasil panen tersebut. Penyimpanan maize lebih jauh di pasar merupakan sumber yang signifikan untuk terjadinya pencemaran yang berkelanjutan oleh aflatoksin. Studi epidemiologis telah membuktikan bahwa paparan diet terhadap aflatoksin dan infeksi kronik dengan virus hepatitis B (HBV) adalah dua faktor risiko utama terjadinya karsinoma hepatoseluler (hepatocellular carcinoma). Selanjutnya, dilaporkan ada hubungan sinergistik yang bermakna antara paparan aflatoksin dan endemisitas penyakit hepatitis B virus dengan kejadian karsinoma hepatoseluler pada populasi di daerah yang sama. (2,13) Secara sendiri-sendiri, masingmasing faktor tersebut meningkatkan risiko karsinoma hepatoseluler; bersama-sama peningkatan risiko penyakit kanker ini menjadi jauh lebih besar.Mekanisme yang dianggap menjadi dasar kejadian ini adalah bahwa aflatoksin menekan mekanisme perbaikan DNA yang diperlukan untuk menghambat perkembangan kanker yang disebabkan oleh HBV dan HBV mencegah terjadinya proses detoksifikasi aflatoksin oleh hepar. Tetapi mungkin juga faktor imunotoksisitas dari aflatoksin menyebabkan terhambatnya kemampuan tubuh untuk mengendalikan perkembangan sel kanker. (2) Terdapat perbedaan kerentanan spesies terhadap aflatoksin. Pada hewan bila mengkonsumsi aflatoksin B1 (AFB1) secara kronik akan menimbulkan efek karsinogenik. Sedangkan bila dikonsumsi dosis besar akan memperlihatkan efek toksik akut. Perbedaan spesies menentukan proses biokimia yang berbeda dalam kemampuan untuk mendetoksifikasi aflatoksin. Perbedaaan kerentanan ini sebagian besar tergantung dari fraksi dosis aflatoksin yang langsung bereaksi 44 Aflatoksin dan aflatoksikosis melalui berbagai jalur metabolisme yang menyebabkan terjadinya paparan biologis yang sangat berbahaya sebagai hasil aktivasi epoksida dan reaksi epoksida dengan protein dan DNA. Metabolit aflatoksin yang bersifat karsinogenik adalah epoksida yang bereaksi dengan DNA pada posisi N7 guanin. Pada manusia, usia muda dikatakan mempunyai derajat kerentanan paling besar. (2) AFLATOKSIN DAN KESEHATAN Aflatoksin adalah kumpulan dari senyawa-senyawa yang mempunyai kemiripan satu sama lain dengan sedikit perbedaan pada komposisi kimiawinya dan diproduksi oleh A s p e rg i l l u s f l a v u s d a n A . p a r a s i t i c u s. Dikenal ada empat jenis aflatoksin yaitu B1, B2, G1 dan G2 (Gambar 1). (4) Gambar 1. Struktur kimia dari aflatoksin Nama-nama ini diberikan berdasarkan atas warna fluoresensi yang ditimbulkan pada medium agar dilihat di bawah sinar ultraviolet, seperti biru (blue atau B), atau hijau (green atau G). Aflatoksin B2 dan G2 merupakan analog dari derivat dihidro dari B1 dan G1. Di antara keempat isomer yang ditemukan, Universa Medicina aflatoksin B1 (AFB1) merupakan yang paling toksik dan paling karsinogenik. Aflatoksin B2 bersifat karsinogenik ringan, kemungkinan karena enzim ini sebagian kecil diubah jadi AFB1. (1) Manusia dapat terpapar oleh aflatoksin dengan mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh toksin hasil dari pertumbuhan jamur ini. Kadang paparan sulit dihindari karena pertumbuhan jamur di dalam makanan sulit untuk dicegah. Walaupun kontaminasi bahan makanan oleh aflatoksin dalam jumlah besar tidak diizinkan di negara berkembang, namun diperlukan perhatian terhadap kemungkinan timbulnya efek samping pada paparan aflatoksin kadar rendah dalam bahan makanan. Gejala awal aflatoksikosis yang dapat dikenali pada konsentrasi rendah antara lain berupa menurunnya efisiensi makanan, berkurangnya intake makanan, menurunnya kecepatan pertumbuhan, rambut kasar dan kusam, meningkatnya prevalensi, keparahan atau kegagalan terapi atau vaksinasi penyakit-penyakit infeksi seperti: bloody dysentery, erisipelas, salmonellosis, pneumonia. (14) Bila aflatoksikosis ini berlanjut maka dapat muncul sindrom penyakit yang ditandai dengan muntah, nyeri perut, edema paru, kejang, koma, dan kematian akibat edema otak dan perlemakan hati, ginjal dan jantung. Keadaan-keadaan yang meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia meliputi terbatasnya ketersediaan makanan, kondisi lingkungan yang menguntungkan untuk berkembangbiaknya jamur di dalam hasil pertanian dan bahan-bahan dagangan, dan masih kurangnya sistem yang mengatur monitoring dan kontrol aflatoksin. Gejala aflatoksikosis yang paling menonjol pada beberapa spesies seperti burung dan mamalia antara lain hipolipidemia, hypercholesterolemia dan hypocarotenaemia d i m a n a h a l i n i Januari-Maret 2006, Vol.25 No.1 dihubungkan dengan steatosis hepatik berat dan kehilangan berat badan. (15) AFB1 merupakan karsinogen yang poten pada binatang, sehingga timbul perhatian terhadap paparan aflatoksin konsentrasi rendah dalam jangka panjang pada manusia. Ta h u n 1 9 8 8 , I n t e r n a t i o n a l A g e n c y f o r Research on Cancer (IARC) memasukkan AFB1 dalam golongan karsinogen pada manusia. Hal ini didukung oleh sejumlah studi epidemiologi yang dilakukan di Asia dan Afrika yang menunjukkan hubungan positif antara konsumsi aflatoksin dan karsinoma sel hati. Sebagai tambahan, penyakit-penyakit pada manusia yang berkaitan dengan paparan aflatoksin juga dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain usia, jenis kelamin, status nutrisi, dan infeksi bersamaan dengan agent penyebab lain seperti hepatitis virus. (16) EFEK PAPARAN AFLATOKSIN Ti n j a u a n m e n g e n a i e f e k p a p a r a n aflatoksin pada manusia masih menimbulkan berbagai pertanyaan seperti seberapa besar bahan pangan atau makanan di negara berkembang mengalami kontaminasi dengan jamur Aspergillus spp.? Berapa jumlah yang di konsumsi itu secara bermakna dapat menimbulkan gangguan kesehatan? Tidak semua aflatoksin yang dikonsumsi itu berarti secara biologis, sejumlah tertentu akan didetoksifikasi dan paparan itu akan menimbulkan gangguan sistem biologis yang berlainan. (2) Berbeda dengan kejadian kanker hati melalui paparan kronis aflatoksin yang mempengaruhi DNA sel hati, efeknya terhadap proses metabolisme lainnya dalam tubuh manusia belum seluruhnya diketahui. Tidak ada data yang komprehensif dari negara berkembang yang dapat digunakan untuk mengevaluasi luas dan beratnya akibat biologis dari paparan aflatoksin pada manusia. 45 Yenny Paparan akut Keracunan akut aflatoksin pada manusia relatif jarang dijumpai dan kontaminasi yang terjadi kebanyakan tidak cukup serius. Keracunan akut di mana 25% di antaranya menyebabkan kematian, terjadi sebagai akibat paparan aflatoksin konsentrasi tinggi. ( 1 ) Laporan kematian karena keracunan tersebut biasanya datang dari negara-negara berkembang yang berada dalam zona atau daerah berisiko. Jumlah kasus keracunan akut tidaklah besar bila dibandingkan dengan jumlah populasi yang mengalami risiko, ini mungkin disebabkan karena penduduk yang bersangkutan umumnya menghindari makanan yang jelas-jelas berjamur, dan juga karena manusia adalah spesies yang cukup toleran terhadap aflatoksin. Namun, pada kondisi kekurangan pangan atau pada keadaan kemiskinan, orang biasanya tidak mempunyai pilihan selain menggunakan bahan makanan dengan harga murah tapi dengan kualitas yang buruk yang biasanya terkontaminasi oleh aflatoksin. Saluran gastrointestinal manusia dapat dengan cepat mengabsorbsi aflatoksin segera setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi dan sistem peredaran darah membawa aflatoksin tersebut ke dalam hati. Selanjutnya, 1-3% aflatoksin yang dikonsimsi itu akan terikat secara iriversibel pada protein dan basa-DNA untuk membentuk ikatan seperti misalnya aflatoksin B 1 -lysine di albumin. Disrupsi protein dan basa-DNA di dalam sel hepatosit menyebabkan toksisitas hepar. (17) Manifestasi dini dari hepatotoksisitas berupa anoreksia, malaise, dan demam (lowgrade). Aflatoksikosis dapat berlanjut menjadi hepatitis akut yang bersifat letal dengan gejalagejala seperti muntah, nyeri perut, hepatitis dan kematian. 46 Aflatoksin dan aflatoksikosis Paparan kronis Dua pendekatan telah digunakan untuk mengevaluasi paparan aflatoksin pada manusia. Pendekatan pertama dilakukan dengan mengumpulkan sampel makanan. Sumber sampel yang paling dapat dipercaya untuk mengukur paparan aflatoksin adalah dengan melakukan analisis terhadap makanan yang telah siap dimakan, karena orang biasanya telah memilih butir padi dan memisahkan butir padi yang tidak layak untuk dikonsumsi. Pasar dan pusat perdagangan dunia merupakan tempat yang menyediakan informasi bagi berbagai bahan makanan dengan risiko terpapar aflatoksin, terutama di mana alat pengolahan makanan seperti penggilingan padi tidak mempunyai pengendalian mutu. Pendekatan kedua adalah dengan menggunakan petanda biologis. Sampel darah, air susu, atau urine diambil dari individu untuk bahan pemeriksaan dan dianalisis untuk mendeteksi keberadaan derivat aflatoksin yang mempunyai waktu paruh yang karakteristik di dalam tubuh. (1) Paparan kronis aflatoksin dalam makanan merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya gangguan imunitas, malnutrisi dan karsinoma hepatoselular terutama di negara di mana infeksi hepatitis virus B merupakan penyakit yang endemik. Menurut Azziz-Baumgartner et al (17) orang-orang yang mengalami paparan secara kronis terhadap aflatoksin pada kadar yang tinggi memiliki risiko untuk menderita karsinoma hepatoseluler tiga kali lebih besar dari pada mereka yang tidak mengalami paparan tersebut, dan angka kematian karena aflatoksikosis pada laki-laki lebih besar dibandingkan wanita. Paparan kronis aflatoksin dalam dosis rendah dapat meningkatkan risiko terhadap karsinoma hepatoseluler, sedangkan kelainan hepar yang akut dan berat dengan angka mortalitas yang besar dijumpai pada pada paparan aflatoksin dosis tinggi. Asupan Universa Medicina aflatoksin dalam dosis 2-6 mg/hari selama satu bulan dapat menyebabkan hepatitis akut dan kematian. (18) Kanker hati Aflatoksin bersifat karsinogenik pada manusia dan hewan. Karsinoma hepatoselular secara umum diderita 500.000 orang tiap tahunnya di dunia, dengan 80% kejadian ditemukan di negara berkembang dengan five year mortality >95%. Karsinoma hepatoselular ini merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas terutama di Cina dan Afrika. (13,19,20) Meskipun data kanker hepar di negara berkembang sulit didapat secara rutin, diperkirakan kejadiannya berkisar antara 1632 kali bila dibandingkan yang dijumpai di Eropa dan Amerika Serikat, yaitu kira-kira 2,5/ 100.000 dan menyebabkan kematian pada sekitar 8,8% dari seluruh kematian oleh karena penyakit kanker. Hasil studi eksperimental pada hewan menunjukkan AFB1 merupakan karsinogen hati yang poten. Pemberian AFB1 melalui berbagai cara pemberian dapat menyebabkan kanker hati pada mencit, tikus, ikan, marmot dan monyet. Jenis kanker yang dapat disebabkan oleh AFB1 antara lain hepatoselular karsinoma, kanker colon dan ginjal (tikus), cholangiocellular carcinoma ( h e m s t e r) , a d e n o m a p a r u ( m e n c i t ) , o s t e o g e n i c s a rc o m a , a d e n o c a rc i n o m a kandung empedu dan karsinoma pankreas (monyet). Aflatoksin pada manusia terutama dikenal sebagai agent yang dapat menyebabkan kanker hati, walaupun kanker paru ternyata merupakan risiko yang juga dapat ditemui pada pekerja yang menangani padipadi yang terkontaminasi. (21-24) Peningkatan risiko hepatoma disebabkan mutasi pada genpenghambat tumor P53 dan aktivasi dari onkogen dominan. Risiko kanker oleh karena paparan aflatoksin telah diakui akibat dosis Januari-Maret 2006, Vol.25 No.1 kumulatif oleh karena paparan aflatoksin jangka panjang. International Cancer Research Institute menggolongkan aflatoksin dalam karsinogen klas I. Epidemi hepatitis virus B (HBV) dan hepatitis virus C (HCV) terjadi pada ±20 % populasi di negara berkembang memperlihatkan sinergisme yang kuat dengan aflatoksin sebagai agen yang berperan dalam timbulnya kanker hati. (13,19,20,24) Pada penderita dengan hepatitis B surface antigen positif, aflatoksin memiliki potensi 30 x lebih besar dibanding individu tanpa virus, dan risiko relatif untuk kanker pada penderita HBV meningkat dari 5 menjadi 60 kali bila pasien dengan HBV kemudian terpapar aflatoksin. Di beberapa daerah di mana infeksi HBV terjadi bersamaan dengan kontaminasi aflatoksin, hepatoma merupakan kanker yang predominan (64% kanker). Untuk meminimalkan risiko kanker hati penting sekali menghindari paparan aflatoksin pada penderita y a n g t e r i n f e k s i H B V d a n H C V. H a l i n i disebabkan penderita dengan HBV positif akan berkurang kemampuannya untuk mendetoksifikasi aflatoksin, sehingga sinergisme ini merupakan faktor yang penting untuk terjadinya kanker. Selain itu aflatoksin juga berperanan penting pada sistem imunologi dan kondisi nutrisi karena kemampuannya meningkatkan kadar paparan biologis. Pemberian vaksinasi yang dilakukan terhadap HBV lebih dianjurkan sebagai strategi yang lebih realistik dan lebih efisensi untuk menurunkan insidens kanker hati daripada membersihkan makanan dari kontaminasi aflatoksin. (8) Pada sampel yang berasal dari sebuah daerah di Cina di mana risiko kanker hati sangat tinggi, AFB1 merupakan toksin predominan yang ditemukan pada jagung dengan konsentrasi antara 9 dan 2496 ppm dengan insiden kontaminasi 85%. Di antara sampel yang dikumpulkan 76% di antaranya 47 Yenny melebihi batas konsentrasi aflatoksin yang diperkenankan di Cina yaitu 20 ppm pada jagung dan produknya bagi konsumsi manusia. Sampel maize dari Kenya (Afrika) di mana terjadi wabah aflatoksikosis terjadi, konsentrasi aflatoksin B1 adalah 4400 ppm, 220 kali lebih besar dari konsentrasi yang diperkenankan oleh pemerintah Kenya yaitu 20 ppm.(1) Supresi imunologis Efek supresi sistem imun oleh aflatoksin kebanyakan didapatkan dari penelitian yang dilakukan di peternakan atau menggunakan hewan coba yang terpapar kronis dengan aflatoksin pada kadar yang cukup tinggi untuk menimbulkan gejala seperti aflatoksikosis akut. Paparan pada manusia lebih bervariasi oleh karena tingginya distribusi variasi kontaminan yang terdapat dalam makanan. In vitro, aflatoksin menghambat fungsi fagosit sel monosit darah perifer manusia. AFB 1 pada konsentrasi ≥ 100 pg/ml bersifat sitotoksik terhadap monosit, dan pada konsentrasi 0,5 – 1 pg/ml menghambat aktivitas fagosit monosit dan intracellular killing dari Candida albicans. Efek imunosupresi aflatoksin dapat dipindahkan dari plasenta dan mengenai fetus. Titer dari vaksinasi juga dapat dipengaruhi oleh paparan aflatoksin. Aflatoksin secara bermakna mengurangi respon antibodi terhadap vaksinasi. Pada penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak di Gambia didapatkan fakta kadar sekretoris imunoglubulin A (Ig A) lebih rendah pada anak yang terpapar oleh a f l a t o k s i n . (25) E f e k t o k s i s i t a s a k u t , e f e k karsinogenik, dan juga respon imun, secara variatif dijumpai pada perbedaan spesies. Gangguan nutrisi Paparan kronis aflatoksin punya efek utama pada status nutrisi hewan, tapi seperti halnya terhadap efek imunotoksisitas, ambang dari efek ini tidak dapat didefinisikan bagi tiap 48 Aflatoksin dan aflatoksikosis spesies. Hewan yang mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi aflatoksin akan terhambat pertumbuhan dan produktivitasnya. Aflatoksikosis yang terjadi pada anak ternyata menyebabkan malnutrisi protein berat (kwashiokor) Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan pada anak-anak berusia <5 tahun di Benin dan Togo dimana semua anggota populasi penelitian terpapar oleh aflatoksin (aflatoksin-albumin antara 5– 1064 pg/mg albumin pada 99% anak) menunjukkan dose-response relation antara paparan aflatoksin dan derajat stunting dan underweight. (26) Terhadap sintesis protein aflatoksin dikatakan merupakan faktor yang memodulasi kecepatan penyembuhan dari kwashiorkor, walaupun aflatoksin sendiri tidak berperanan pada terjadinya hambatan pertumbuhan yang biasanya menyertai kondisi di atas. Aflatoksin juga mempunyai pengaruh terhadap vitamin dan beberapa mikronutrien. Defisiensi vitamin A dapat timbul akibat paparan aflatoksin, sehingga bila kita dapat mencegah paparan aflatoksin mungkin akan mengurangi kejadian defisiensi vitamin A. Konsentrasi vitamin D juga akan dipengaruhi oleh aflatoksin. Kadar aflatoksin 1 ppm dalam makanan akan mengurangi konsentrasi 25hidroksi vitamin D [(25(OH)D] dan 1,25dihidroksi vitamin D [1,25(OH) 2] dalam waktu 5 hari. Seperti halnya vitamin A, vitamin D juga berperanan penting dalam mempertahankan sistem imun sehingga aflatoksin juga dapat mempengaruhi sistem imun. Konsentrasi yang adekuat dari besi dan selenium diperlukan bagi sistem imun, aflatoksin ternyata juga mempengaruhi kedua mineral ini. Pertanda biologis (biomarker) Metoda yang sekarang paling disukai untuk mengukur paparan aflatoksin pada manusia berasal dari analisis cairan tubuh. Hal Universa Medicina ini disebabkan karena tiap proses biokimiawi mempunyai waktu paruh yang khas di dalam tubuh, sehingga paparan yang terjadi dalam jangka waktu beberapa hari, minggu, dan bulan dapat diukur. (1) Paparan aflatoksin yang baru terjadi direfleksikan di urine berupa eksresi langsung aflatoksin M 1 (AFM 1 ) dan produk detoksifikasi lainnya, tapi hanya fraksi kecil saja dari dosis yang dieksresi dengan cara ini. Pengukuran aflatoksin dan produknya di urine sangat bervariasi dari hari ke hari; ini menggambarkan besarnya variabilitas kontaminan dalam sampel makanan. Atas dasar alasan ini, pengukuran AFM 1 yang hanya dilakukan secara tunggal pada satu hari saja tidak bisa dijadikan indikator yang dapat dipercaya pada orang yang mengalami paparan kronis. Pada orang yang mengalami paparan kronis, indikator yang digunakan dan lebih dapat diandalkan adalah konsentrasi aflatoksinalbumin yang diukur dari darah perifer; waktu paruhnya di dalam tubuh adalah 30-60 hari. Penting untuk diingat di sini, fraksi aflatoksin yang dicerna diproses menjadi metabolit yang bervariasi. Konsentrasi biomarker yang telah diketahui tidak bisa digunakan untuk memperkirakan total dosis atau jumlah aflatoksin yang dimetabolisme. PENCEGAHAN TERHADAP PAPARAN AFLATOKSIN Kasus-kasus keracunan aflatoksin di dalam suatu keluarga atau di suatu daerah biasanya terjadi secara reguler dan terabaikan begitu saja tanpa terdeteksi. Oleh karena itu, upaya pencegahan harus dilakukan dengan menitik-beratkan kepada implementasi secara ekstensif terhadap penggantian bahan pangan (food replacement), tanpa hal ini epidemi aflatoksikosis akan terus terjadi. Langkah jangka panjang yang perlu dilakukan adalah mengetatkan surveilans, meningkatkan inspeksi Januari-Maret 2006, Vol.25 No.1 bahan pangan untuk memastikan keamanan bahan pangan tersebut, pendidikan dan bimbingan untuk melakukan panen maize secara benar, mengeringkan dan menyimpan hasil panen secara tepat dan memenuhi syarat. Pendekatan tradisional untuk mencegah paparan terhadap aflatoksin adalah dengan menjamin konsentrasi aflatoksin serendah mungkin pada makanan yang dikonsumsi. Di negara maju hal ini dicapai dengan mengatur konsentrasi terendah yang diperkenankan dari aflatoksin pada makanan yang diperjual-belikan. Tapi pedekatan ini memiliki keterbatasan dan tidak berhasil diterapkan sebagai alat ukur di negara berkembang. (24) Usaha pencegahan kontaminasi sudah dapat dimulai sebelum panen. Bagi kacangkacangan, kondisi lingkungan seperti kekeringan selama masa pertumbuhan, serangga, varietas dan karakteristik tanah telah terbukti merupakan faktor yang berperanan untuk terjadinya kontaminasi sebelum panen. Kekeringan merupakan faktor predisposisi terjadinya kontaminasi, karena itu irigasi sangat penting peranannya untuk menjamin kualitas bahan pangan terutama di negara berkembang di mana kerusakan yang ditimbulkan oleh serangga tidak dikontrol oleh pestisida. Panen biasanya dilakukan tanpa menggunakan mesin, dan proses pengeringan biasanya dikerjakan sangat tidak efisien dan tergantung dari cuaca. Karena tergantung dari kondisi cuaca maka proses panen berjalan sangat lambat dan pengeringan yang tidak adekuat menimbulkan risiko terjadinya kontaminasi. Proses kontaminasi bahan pertanian juga dapat terjadi selama masa penyimpanan. Untuk menjaga kualitas selama proses penyimpanan, penting untuk mencegah aktivitas biologis melalui proses pengeringan yang adekuat (kelembaban < 10%). Meskipun kondisi yang dibutuhkan untuk mencegah kontaminasi sudah diketahui dengan baik, tapi tidak selalu mudah 49 Yenny untuk diterapkan pada sistem penyimpan di negara berkembang di mana iklimnya sangat lembab. Kendalanya menjadi lebih besar karena hampir semua penduduk di area pedesaan menanam dan menyimpan bahan pangan sendiri di gudang yang kecil dan tradisionil derngan kelembaban tinggi sehingga risiko kontaminasi aflatoksin juga besar. Pemprosesan yang dilakukan terhadap bahan pertanian yang akan diperdagangkan dapat mengurangi konsentrasi aflatoksin. Tiga pendekatan yang dilakukan antara lain: i) dilusi, ii) dekontaminasi, dan iii) separasi. (25) Dilusi, dilakukan dengan mencampur padi-padian kadar aflatoksin yang rendah dengan padipadian yang kadar aflatoksinya diatas batas yang diperkenankan. Proses dilusi ini mengakibatkan konsentrasi aflatoksin berkurang, konsumen masih terekspos dengan aflatoksin. Pendekatan ini akan gagal bila tidak terdapat cukup padi “bersih” untuk dicampurkan dengan yang terkontaminasi atau jika infrastruktur menahan stok padi sehingga proses pencampuran yang diharapkan gagal. Dekontaminasi, adalah cara yang dilakukan untuk menghilangkan aflatoksin dalam bahan makanan. Penggunaan ammonia, substansi alkali, dan ozone dapat menghilangkan aflatoksin, tapi belum jelas apakah perubahan ini bersifat permanen. Separasi, adalah upaya memisahkan padi yang terkontaminasi dari tumpukan padi yang “bersih”. Padi yang terkontaminasi dapat diketahui dari perubahan warna (memutih). Di negara maju di mana peraturan memperkenankan konsentrasi aflatoksin yang lebih tinggi pada binatang, industri pertanian telah mengembangkan cara-cara alternatif, yaitu kemoproteksi dan enterosorpsi, untuk membatasi paparan biologis terhadap toksin. Kemoproteksi dilakukan dengan dasar mengolah aflatoksin secara biokimiawi dengan tujuan untuk detoksifikasi toksin, bukan 50 Aflatoksin dan aflatoksikosis menghindarkan paparan. Enterosorpsi dilakukan dengan menambahkan suatu bahan pengikat (binding agent) pada makanan untuk mencegah absorpsi toksin pada saat makanan berada di saluran cerna; ikatan toksin-sorben ini kemudian diekskresi di dalami tinja. (2) Kemoproteksi Kemoproteksi yang bertujuan untuk mengatasi aflatoksin dilakukan dengan menggunakan sejumlah komponen yang dapat meningkatkan proses detoksifikasi pada hewan ternak atau mencegah produksi epoksid yang dapat menyebabkan kerusakan kromosom. P e n g g u n a a n O l t i p r a z d a n c h l o ro p h y l l mempunyai kemampuan menurunkan dosis efektif biologis. Akan tetapi, terapi jangka panjang akan menghabiskan biaya yang besar, dan dapat timbul efek samping. Pada industri makanan ternak, fokus utama berupa penambahan food additive yang dapat melindungi dari toksin. Pendekatan lain yang telah digunakan berupa esterifikasi glucomanose dan ekstrak ragi lainnya yang dapat memberikan efek kemoproteksi dengan meningkatkan proses detoksifikasi aflatoksin. O l t i p r a z ( g o l o n g a n d i t h i o l e t h i o n e) d a n chlorophyllin telah banyak digunakan sebagai agent kemopreventif kanker. Uji klinis fase II terhadap dithiolethione telah dilakukan pada populasi yang terpapar AFB1 di Qidong, Provinsi Jiangsu, Republik Rakyat Cina guna mengevaluasi evektivitas dithiolethione. Oltipraz dikatakan dapat meningkatkan ekspresi detoksifikasi karsinogen dan gen-gen yang bersifat antioksidan. Pada manusia beberapa dithilethiones telah diketahui oleh kegunaan farmakologisnya yang lain daripada sebagai kemopreventif kanker. Misalnya, dithiolethiones pada pemberian peroral efektif untuk mengatasi infeksi schistosomiasis. (27) Chlorophyllin mekanisme kerjanya masih belum jelas. Kemungkian bekerja menghambat Universa Medicina a b s o r b s i a f l a t o k s i n p a d a saluran cerna. Chlorophyllin mempunyai sifat antioksidan, antimutagen, dan antikarsinogen. (1) Enterosorpsi Penggunaan mineral tertentu dari tanah liat secara selektif mampu mengikat aflatoksin untuk mencegah absorbsi aflatoksin dari traktus gastrointestinal. (28) Banyak toksin diabsorbsi oleh surface-active compounds seperti activated charcoal, ikatan ini tidak selalu efektif untuk mencegah uptake dari sistem pencernaan. Berbagai sorbent punya afinitas berbeda bagi aflatoksin sehingga berbeda juga kemampuannya mencegah paparan biologis pada hewan yang mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi, sehingga efikasi dari berbagai adsorbent ini untuk mencegah aflatoksikosis juga bervariasi. Penggunaan enterosorben juga mempunyai resiko agen adsorbent nonspesifik dapat mencegah uptake mikronutrien dari makanan. Penambahan hydralated sodium calcium aluminosilicates (HSCAS) pada makanan yang terkontaminasi terbukti efektif mencegah aflatoksikosis. Selected calcium montorillonites merupakan enteroabsorbsi yang paling selektif dan efektif diantara semua enterosorbent. Penggunaan enteroabsorbsi ini telah banyak digunakan pada produksi makanan ternak di seluruh dunia, dan HSCAS biasanya ditambahkan sebesar 10% pada semua makanan ternak. Januari-Maret 2006, Vol.25 No.1 intervensi kesehatan masyarakat dengan fokus kepada peningkatan cara-cara produksi yang efektif, penyimpanan hasil panen secara benar dan memenuhi syarat. Juga upaya surveilans dan pemantauan kadar aflatoksin di bahan pangan dan insidens terjadinya penyakit hepatitis (jaundice) pada manusia dapat mencegah penyebaran wabah aflatoksikosis akut. Di masa akan datang, serum aflatoksin B 1 mungkin dapat digunakan untuk diagnosis aflatoksikosis akut dan untuk memantau intervensi yang ditujukan terhadap paparan aflatoksin. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. KESIMPULAN Aflatoksin dan lain-lain mikotoksin sering menyebabkan kontaminasi dari hasil-hasil pertanian. Sekitar 25% hasil panen di seluruh dunia mengalami kontaminasi dengan aflatoksin dan merupakan sumber morbiditas dan mortalitas di negara-negara berkembang seperti Afrika dan Asia. Untuk mencegah terjadinya wabah aflatoksikosis perlu dilakukan 7. 8. 9. Lewis L, Onsongo M, Njapau H, Rogers HS, Luber G, Kieszak S, et al. Aflatoxin contamination of commercial maize products during an outbreak of acute aflatoxicosis in Eastern and Central Kenya: Environ Health Perspect. 2005; 113: 1763-7. Williams JH, Phillips TD, Jolly PE, Stilles JK, Jolly CM, Aggarwal D. Human aflatoxicosis in developing countries: a review of toxicology, exposure, potential health consequences, and intervention. Am J Clin Nutr 2004; 80: 1106-22. Blount WP. Turkey “X” disease. J Br Turk Fed 1961; 9: 52-4. Rodgers A, Vaughan P, Prentice T, Edejer TT, Evans D, Lowe J. Reducing risks, promoting healthy life: In Campanini B, Haden A, editors. The Word Health Report ; Geneva: Word Health Organization; 2002. Henry SH, Bosch FX, Troxell TC, Bolger PM. Reducing liver cancer- global control of aflatoxin. Science 1999; 286: 2453-4. Food and Drug Administration. Foods-alduteration with aflatoxin (CPG7120.26). Available at: http:// www.fda.gov/ora/compiance_ref/cpg/cpgfod/ cpg555.400.html. Accessed December 12, 2005. Food and Drug Administration. Action level for aflatoaxins in animal feeds (CPG7126.33). Available at: http://www.fda.gov/ora/complience_ref/cpg/ cpg.vet/cpg683-10.html. Accessed December 12, 2005. Bannet JW, Klich M. Mycotoxins. Clin Microbiol Rev 2003; 16: 497-516. Fung F, Clark RF. Health effects of mycotoxins: a toxicological overview. J Toxicol Clin Toxicol 2004; 42: 217-34. 51 Yenny 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 52 Aflatoksin dan aflatoksikosis CAST. Mycotoxins: risks in plant, animal, and human systems. Task Force Report No. 139. Ames. IA: Council for Agriculture Science and Technology; 2003. Lye MS, Ghozali AA, Mohan J, Alwin N, Nair RC. An outbreak of acute hepatitic encephalopathy due to severe aflatoxicosis in Malayzia. Am J Trop Med Hyg 1995; 53: 68-72. AFRO Food Safety Newsletter Word Health Organization Food Safety Unit (FOS). Food safety in the African region. Food Safety Newsletter 2004; 1: 1-8. Wang JS, Huang T, Su J, Liang F, Wei Z, Liang Y, Luo H, et.al. Hepatocellular carcinoma and aflatoxin exposure in Zhuqing Village, Fusui County, People’s Republic of China. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2001; 10: 143-6. Beasley V. Mycotoxins that affect the liver. New York: International Veterinary Information Service (IVIS); 1999. Farfan JA. Aflatoxin B1-induced hepatic steatosis: role of carbonyl compounds and active diols on steatogenesis. The Lancet 1999; 353: 747-48. Animal Science Cornell University. Aflatoxins occurance and health risks. 2004; 1-8. Azziz-Baumgartner E, Lindblade K, Gieseker K, Rogers HS, Kierszak S, Njapau H, et al. Case-control study of an acute aflatoxicosis outbreak, Kenya, 2004. Environt Health Perspect 2005; 113: 1779-83 Krishnamachari KA, Nagarajan V, Ramesh VB, Tilak TBG. Hepatitis due to aflatoxicosis: an outbreak in western India. Lancet 1975; 1: 1061-3. Hall AJ, Will CP. Liver cancer in low and middle income countries. B Med J 2003: 326: 994-5. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. Luo RH, Zhao ZX, Zhou XY, Gao ZL, Yao JL. Risk factors for primary liver carcinoma in Chinese population. World J Gastroenterol 2005; 11: 44314. Kelly JD, Eaton DL, Guengerich FP, Coulombe RJ. Aflatoxin B sub(1) activation in human lung. Toxicol Appl Pharmacol 1997; 144: 88-95. Desai MR, Ghosh SK. Occupational exposure to airborn fungi among rice mill workers with special reference to aflatoxin producing A. Flavus Strains. Ann Agric Environ Med 2003; 10: 159-62. Georggiett OC, Muino JC, Montrull H, Brizuela N, Avalos S, Gomez RM. Relationship between lung cancer and aflatoxin B1. Rev Fac Cien Med Univ Nac Cordoba 2000; 57: 95-107. Galvano F, Piva A, Ritieni A, Galvano G. Dietary strategies to counteract the effects of mycotoxins: a review. J Food Prot 2001; 64: 120-31. Turner PC, Moore SE, Hall AJ, Prentice AM, Wild CP. Modification of immune function through exposure to dietary aflatoxin in Gambian children. Environ Health Perspect 2003; 111: 217-20. Gong YY, Cardwell K, Hounsa A, Turner PC, Hall AJ, Wild CP. Dietary aflatoxin exposure and impaired growth in young children from Benin and Togo: cross sectional study. Br Med J 2002; 325: 20-1. Maxuitenko YY, Curphey TJ, Kensler TW, Roebuck BD. Protection against aflatoxin B1-induced hepatic toxicity as a short-term screen of cancer chemopreventive dithiolethiones. Fundamental and applied toxicology 1996; 32: 250-9. Phillips TD, Lemke SL, Grant P. Characterization of clay-based enterosorbents for the prevention of aflatoxicosis. Adv Exp Med Bio 2002; 504: 157-73.