Aflatoksin dan aflatoksikosis pada manusia

advertisement
Universa Medicina
Januari-Maret 2006, Vol.25 No.1
Aflatoksin dan aflatoksikosis pada manusia
Yenny
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
ABSTRAK
Aflatoksin adalah toksin yang sangat poten dan telah dikenal sebagai penyebab kanker hati. Di samping itu,
aflatoksin juga dapat menimbulkan gangguan penting lain. Terdapat empat jenis aflatoksin yaitu B1, B2, G1 dan G2.
Aflatoksin B1 merupakan karsinogen yang paling potensial. Paparan kronis aflatoksin menyebabkan terjadinya
penurunan imunitas dan terganggunya metabolisme protein dan berbagai mikronutrien yang penting bagi kesehatan.
Dilaporkan sekitar 4,5 miliar manusia yang tinggal di negara berkembang secara kronis terpapar oleh aflatoksin dalam
jumlah yang tidak terkontrol. Aflatoksin dapat mempengaruhi imunitas dan nutrisi manusia. Ada kemungkinan besar
bahwa 6 faktor risiko teratas yang diidentifikasi oleh WHO (yang meliputi 43.6% dari disability-adjusted life years
[DALYs]), seperti dengan halnya kanker hati, faktor-faktor risiko itu dipicu oleh aflatoksin. Di beberapa negara di
Afrika dan Asia, aflatoksin menyebabkan wabah aflatoksikosis akut dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Bagi negara berkembang pencegahan terhadap paparan aflatoksin dilakukan dengan diterapkannya peraturan yang
membatasi konsentrasi terendah toksin yang diperkenankan terdapat di dalam makanan dan dengan cara kemoproteksi
serta enterosorbsi untuk meminimalkan paparan biologis.
Kata kunci : Aflatoksin, kanker hati, risiko, kesehatan
Aflatoxin and aflatoxicosis in human
ABSTRACT
Aflatoxin is the most potent toxic substance and has been recognized as a cause of liver cancer. It can also
cause other additional toxic effects. The four major aflatoxin are called B1, B2, G1 dan G2. Aflatoxin B1 is the most
potent natural carcinogen and is usually the major aflatoxin produced by toxigenic strains.Chronic exposure to
aflatoxin compromises immunity and interferes with protein metabolism and multiple micronutrients that are
critical to health. It was estimated that approximately 4.5 billions persons living in developing countries are
chronically exposed to largely uncontrolled amounts of the toxin. Aflatoxin affects human immunity and nutritional
status. There is a reasonable probability that the 6 top WHO risk factors [which account for 43,6% of the disabilityadjusted life years (DALYs)]are modulated by aflatoxin. Outbreaks of acute aflatoxicosis have reported from
countries in Africa and Asia and caused high morbidity and mortality. Preventing exposure to aflatoxin in developing
countries has been achieved by regulation that have required low concentration of the toxin in traded foods and
with chemoprotection, enterosorption to minimize biological exposure.
Keywords: Aflatoxin, liver cancer, risk, health
Korespondensi : aYenny
Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran, Universitas Trisakti
Jl. Kyai Tapa No.260, Grogol Jakarta 11440
Tel. 021-5672731 eks. 2801, Fax. 021-5660706
E-Mail : [email protected]
41
Yenny
PENDAHULUAN
Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang
merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus
flavus dan A. parasiticus. (1,2) Aflatoksin
merupakan kontaminan yang paling sering
dijumpai pada hasil panen pertanian serta bahan
makanan pokok di banyak negara berkembang
sehingga mengancam keamanan pangan. Toksin
yang dikeluarkan oleh jamur ini dapat dijumpai
selama masa produksi bahan pangan, pada
waktu panen, pada saat penyimpanan dan
proses pembuatan makanan. Aflatoksin diisolasi
pertama kali pada awal tahun 1960 di Inggris
dari kelainan atau penyakit yang disebut turkey
“X” disease yang menyebabkan kematian
mendadak lebih dari 100.000 kalkun dengan
kelainan nekrosis hepatik fulminant tanpa sebabsebab yang jelas. (3) Baru kemudian diketahui
bahwa kematian ini terjadi karena makanan
unggas tersebut terkontaminasi oleh toksin dari
jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus.
Mikotoksin jamur diproduksi sebagai
metabolit sekunder pada temperatur antara 2435 0 C, dengan kelembaban melebihi 7%. Jamur
Aspergillus flavus dan A. parasiticus ini
terdapat di mana-mana dan dapat mencemari
bahan makanan pokok seperti beras, jagung, ubi
kayu, kacang-kacangan, kacang tanah, cabe dan
rempah-rempah. Pencemaran oleh jamur pada
proses penyimpanan, proses pengeringan hasil
panen dapat terjadi di daerah yang letaknya
terbentang antara 40 0 lintang utara dan 40 0
lintang selatan garis katulistiwa. Invasi dan
kontaminasi oleh jamur seringkali sudah dimulai
sebelum panen dan dapat meningkat oleh kondisi
produksi dan panen. Untuk negara berkembang
di mana angka harapan hidup rata-rata masih
pendek, Word Health Organization (WHO)
(Tabel 1) tidak memasukkan aflatoksikosis ke
dalam deretan sepuluh gangguan kesehatan
yang diidentifikasikan sebagai faktor risiko
tinggi untuk timbulnya penyakit.
42
Aflatoksin dan aflatoksikosis
Tabel 1.World Health Organization priority
health risks and associated burden of
disease in disability-adjusted life years
(DALYs) for developing countries (4)
Berat badan rendah (underweight),
hubungan seks yang tidak aman, sumber air yang
kurang baik (unsafe water), asap dari bahan
bakar di dalam rumah (indoor smoke from
solid fuels), kekurangan zink, kekurangan zat
besi, kekurangan vitamin A, tekanan darah
tinggi, merokok atau penggunaan tembakau, dan
kolesterol (4) merupakan penyakit akibat
aflatoksikosis. Ada kemungkinan besar bahwa
6 faktor risiko teratas yang diidentifikasi oleh
WHO (yang meliputi 43,6% dari disabilityadjusted life years [DALYs]), seperti dengan
halnya kanker hati, dipicu oleh aflatoksin.
Tekanan ekonomi yang timbul di berbagai
tempat di dunia telah menciptakan standar
ganda bagi kadar aflatoksin yang
diperkenankan pada bahan makanan bagi
konsumsi manusia dan ternak. Di negara maju,
paparan pada anak-anak terhadap aflatoksin
atau mikotoksin di makanan dapat dikatakan
tidak ada karena standar peraturannya yang
sangat ketat. Di negara berkembang,
pemantauan dan penerapan standar peraturan
berkaitan dengan pencemaran aflatoksin masih
kurang diperhatikan sehingga banyak orang
terpajan terhadap berbagai mikotoksin dalam
Universa Medicina
kadar yang membahayakan. Kadar aflatoksin
yang diperkenankan pada bahan makanan
untuk manusia berkisar antara 4-30 parts per
billion (ppb), tergantung dari negaranya. (5,6)
Sebaliknya, untuk padi-padian makanan hewan
ternak, konsentrasi aflatoksin sampai 300 ppb
masih diperkenankan di Amerika Serikat. (7)
A s p e rg i l l u s o ry z a e d a n A s p e rg i l l u s
sojae merupakan dua spesies aspergilus yang
digunakan pada makanan hasil fermentasi yang
banyak di konsumsi oleh orang Asia seperti
kecap, miso, dan sake ternyata masih punya
hubungan erat dengan spesies aflatoksigenik
A s p e rg i l l u s f l a v u s d a n A s p e rg i l l u s
parasiticus. Walaupun demikian ternyata
kedua jamur makanan ini tidak pernah
memproduksi aflatoksin. Hal ini disebabkan
adanya deletions dan defek genetik lainnya
menyebabkan tidak aktifnya jalur metabolisme
a f l a t o k s i n p a d a A s p e rg i l l u s o r y z a e d a n
Aspergillus sojae. (8)
EPIDEMIOLOGI
Aflatoksin adalah salah satu dari
substansi yang paling toksik yang dapat
dijumpai secara alamiah. Keracunan oleh
aflatoksin terjadi oleh karena konsumsi dari
racun ini yang mencemari bahan makanan dan
aflatoksikosis pada manusia dilaporkan
dijumpai di banyak tempat di dunia. Badan
Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture
Organization) memperkirakan bahwa
kontaminasi mikotoksin meliputi sekitar 25% dari
hasil pertanian di seluruh dunia. (1) Penyakitpenyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi
aflatoksin disebut aflatoksikosis. (8) Ditinjau dari
segi kesehatan masyarakat, a f l a t o k s i n
menempati tempat penting karena akibat yang
ditimbulkannya pada manusia, baik dalam
jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Aflatoksin mempunyai sifat karsinogenik dan
hepatotoksik. Sifat ini tergantung pada lama
Januari-Maret 2006, Vol.25 No.1
dan tingkat paparan terhadap aflatoksin.
Konsumsi aflatoksin dosis tinggi dapat
menyebabkan terjadinya aflatoksikosis akut
yang dapat menimbulkan manifestasi
hepatotoksisitas atau pada kasus-kasus berat
dapat terjadi kematian akibat fulminant liver
failure. (8,9)
Wabah aflatoksikosis akut akibat makanan
yang tercemar oleh aflatoksin dosis tinggi
dilaporkan pernah terjadi di Kenya, India,
Thailand dan Malaysia. (10,11) Pada tahun 2004,
dilaporkan terjadinya wabah aflatoksikosis
akut yang luas di antara penduduk Kenya
propinsi bagian timur dan menyebabkan
kematian sekitar 400 kasus. (12) Wabah ini
terjadi akibat konsumsi maize (jagung) yang
tercemar aflatoksin dan merupakan wabah
aflatoksikosis akut terberat yang pernah ada
di dunia. Tingginya jumlah kasus dan luasnya
area yang terlibat kemungkinan akibat
aflatoksin yang mencemari maize beredar
melalui sistem distribusi regional (pasar).
Survei potong-lintang yang dilakukan Lewis et
al (1) berhasil mengumpulkan 350 sampel maize
di pasaran. Mereka menemukan sebanyak 192
(55%) sampel mengandung aflatoksin pada
kadar di atas yang diperkenankan yaitu 20 ppb,
121 (35%) sampel dengan kadar aflatoksin >
100 ppb (lima kali kadar yang diperkenankan),
dan 24 (7%) kadar aflatoksinnya > 1000 ppb.
Epidemi aflatoksikosis yang hampir sama
besarnya seperti yang terjadi di Kenya, pernah
dilaporkan terjadi di India bagian barat pada
tahun 1974. (12) Wabah ini menyerang 397 orang
dan menyebabkan 106 kematian. Tetapi oleh
karena ada kemungkinan beberapa penderita
tidak pergi berobat ke pusat-pusat kesehatan
maka jumlah kasus sebenarnya dapat lebih
besar dari yang dilaporkan. Peristiwa ini timbul
berkaitan dengan musim hujan yang datang
pada waktu yang tidak biasa yaitu pada saat
panen sehingga maize hasil panen yang masih
basah dan belum cukup kering ini, yang
43
Yenny
disimpan di lumbung-lumbung menjadi lembab.
Keadaan ini menyebabkan terjadinya
pertumbuhan jamur sehingga toksinnya
mencemari hasil panen tersebut. Penyimpanan
maize lebih jauh di pasar merupakan sumber
yang signifikan untuk terjadinya pencemaran
yang berkelanjutan oleh aflatoksin.
Studi epidemiologis telah membuktikan
bahwa paparan diet terhadap aflatoksin dan
infeksi kronik dengan virus hepatitis B (HBV)
adalah dua faktor risiko utama terjadinya
karsinoma hepatoseluler (hepatocellular
carcinoma). Selanjutnya, dilaporkan ada
hubungan sinergistik yang bermakna antara
paparan aflatoksin dan endemisitas penyakit
hepatitis B virus dengan kejadian karsinoma
hepatoseluler pada populasi di daerah yang
sama. (2,13) Secara sendiri-sendiri, masingmasing faktor tersebut meningkatkan risiko
karsinoma hepatoseluler; bersama-sama
peningkatan risiko penyakit kanker ini menjadi
jauh lebih besar.Mekanisme yang dianggap
menjadi dasar kejadian ini adalah bahwa
aflatoksin menekan mekanisme perbaikan DNA
yang diperlukan untuk menghambat
perkembangan kanker yang disebabkan oleh
HBV dan HBV mencegah terjadinya proses
detoksifikasi aflatoksin oleh hepar. Tetapi
mungkin juga faktor imunotoksisitas dari
aflatoksin menyebabkan terhambatnya
kemampuan tubuh untuk mengendalikan
perkembangan sel kanker. (2)
Terdapat perbedaan kerentanan spesies
terhadap aflatoksin. Pada hewan bila
mengkonsumsi aflatoksin B1 (AFB1) secara
kronik akan menimbulkan efek karsinogenik.
Sedangkan bila dikonsumsi dosis besar akan
memperlihatkan efek toksik akut. Perbedaan
spesies menentukan proses biokimia yang
berbeda
dalam
kemampuan
untuk
mendetoksifikasi aflatoksin. Perbedaaan
kerentanan ini sebagian besar tergantung dari
fraksi dosis aflatoksin yang langsung bereaksi
44
Aflatoksin dan aflatoksikosis
melalui berbagai jalur metabolisme yang
menyebabkan terjadinya paparan biologis yang
sangat berbahaya sebagai hasil aktivasi
epoksida dan reaksi epoksida dengan protein
dan DNA. Metabolit aflatoksin yang bersifat
karsinogenik adalah epoksida yang bereaksi
dengan DNA pada posisi N7 guanin. Pada
manusia, usia muda dikatakan mempunyai
derajat kerentanan paling besar. (2)
AFLATOKSIN DAN KESEHATAN
Aflatoksin adalah kumpulan dari
senyawa-senyawa yang mempunyai kemiripan
satu sama lain dengan sedikit perbedaan pada
komposisi kimiawinya dan diproduksi oleh
A s p e rg i l l u s f l a v u s d a n A . p a r a s i t i c u s.
Dikenal ada empat jenis aflatoksin yaitu B1,
B2, G1 dan G2 (Gambar 1). (4)
Gambar 1. Struktur kimia dari aflatoksin
Nama-nama ini diberikan berdasarkan atas
warna fluoresensi yang ditimbulkan pada
medium agar dilihat di bawah sinar ultraviolet,
seperti biru (blue atau B), atau hijau (green
atau G). Aflatoksin B2 dan G2 merupakan
analog dari derivat dihidro dari B1 dan G1. Di
antara keempat isomer yang ditemukan,
Universa Medicina
aflatoksin B1 (AFB1) merupakan yang paling
toksik dan paling karsinogenik. Aflatoksin B2
bersifat karsinogenik ringan, kemungkinan
karena enzim ini sebagian kecil diubah jadi
AFB1. (1)
Manusia dapat terpapar oleh aflatoksin
dengan mengkonsumsi makanan yang
terkontaminasi oleh toksin hasil dari
pertumbuhan jamur ini. Kadang paparan sulit
dihindari karena pertumbuhan jamur di dalam
makanan sulit untuk dicegah. Walaupun
kontaminasi bahan makanan oleh aflatoksin
dalam jumlah besar tidak diizinkan di negara
berkembang, namun diperlukan perhatian
terhadap kemungkinan timbulnya efek samping
pada paparan aflatoksin kadar rendah dalam
bahan makanan. Gejala awal aflatoksikosis
yang dapat dikenali pada konsentrasi rendah
antara lain berupa menurunnya efisiensi
makanan, berkurangnya intake makanan,
menurunnya kecepatan pertumbuhan, rambut
kasar dan kusam, meningkatnya prevalensi,
keparahan atau kegagalan terapi atau
vaksinasi penyakit-penyakit infeksi seperti:
bloody dysentery, erisipelas, salmonellosis,
pneumonia. (14)
Bila aflatoksikosis ini berlanjut maka
dapat muncul sindrom penyakit yang ditandai
dengan muntah, nyeri perut, edema paru,
kejang, koma, dan kematian akibat edema otak
dan perlemakan hati, ginjal dan jantung.
Keadaan-keadaan yang meningkatkan
kecenderungan untuk terjadinya aflatoksikosis
akut pada manusia meliputi terbatasnya
ketersediaan makanan, kondisi lingkungan yang
menguntungkan untuk berkembangbiaknya
jamur di dalam hasil pertanian dan bahan-bahan
dagangan, dan masih kurangnya sistem yang
mengatur monitoring dan kontrol aflatoksin.
Gejala aflatoksikosis yang paling menonjol pada
beberapa spesies seperti burung dan mamalia
antara lain hipolipidemia, hypercholesterolemia
dan hypocarotenaemia d i m a n a h a l i n i
Januari-Maret 2006, Vol.25 No.1
dihubungkan dengan steatosis hepatik berat
dan kehilangan berat badan. (15)
AFB1 merupakan karsinogen yang poten
pada binatang, sehingga timbul perhatian
terhadap paparan aflatoksin konsentrasi
rendah dalam jangka panjang pada manusia.
Ta h u n 1 9 8 8 , I n t e r n a t i o n a l A g e n c y f o r
Research on Cancer (IARC) memasukkan
AFB1 dalam golongan karsinogen pada
manusia. Hal ini didukung oleh sejumlah studi
epidemiologi yang dilakukan di Asia dan
Afrika yang menunjukkan hubungan positif
antara konsumsi aflatoksin dan karsinoma sel
hati. Sebagai tambahan, penyakit-penyakit
pada manusia yang berkaitan dengan paparan
aflatoksin juga dipengaruhi oleh banyak faktor
antara lain usia, jenis kelamin, status nutrisi,
dan infeksi bersamaan dengan agent penyebab
lain seperti hepatitis virus. (16)
EFEK PAPARAN AFLATOKSIN
Ti n j a u a n m e n g e n a i e f e k p a p a r a n
aflatoksin pada manusia masih menimbulkan
berbagai pertanyaan seperti seberapa besar
bahan pangan atau makanan di negara
berkembang mengalami kontaminasi dengan
jamur Aspergillus spp.? Berapa jumlah yang
di konsumsi itu secara bermakna dapat
menimbulkan gangguan kesehatan? Tidak
semua aflatoksin yang dikonsumsi itu berarti
secara biologis, sejumlah tertentu akan
didetoksifikasi dan paparan itu akan
menimbulkan gangguan sistem biologis yang
berlainan. (2) Berbeda dengan kejadian kanker
hati melalui paparan kronis aflatoksin yang
mempengaruhi DNA sel hati, efeknya terhadap
proses metabolisme lainnya dalam tubuh
manusia belum seluruhnya diketahui. Tidak ada
data yang komprehensif dari negara
berkembang yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi luas dan beratnya akibat biologis
dari paparan aflatoksin pada manusia.
45
Yenny
Paparan akut
Keracunan akut aflatoksin pada manusia
relatif jarang dijumpai dan kontaminasi yang
terjadi kebanyakan tidak cukup serius.
Keracunan akut di mana 25% di antaranya
menyebabkan kematian, terjadi sebagai akibat
paparan aflatoksin konsentrasi tinggi. ( 1 )
Laporan kematian karena keracunan tersebut
biasanya datang dari negara-negara
berkembang yang berada dalam zona atau
daerah berisiko. Jumlah kasus keracunan akut
tidaklah besar bila dibandingkan dengan jumlah
populasi yang mengalami risiko, ini mungkin
disebabkan karena penduduk yang
bersangkutan umumnya menghindari makanan
yang jelas-jelas berjamur, dan juga karena
manusia adalah spesies yang cukup toleran
terhadap aflatoksin. Namun, pada kondisi
kekurangan pangan atau pada keadaan
kemiskinan, orang biasanya tidak mempunyai
pilihan selain menggunakan bahan makanan
dengan harga murah tapi dengan kualitas yang
buruk yang biasanya terkontaminasi oleh
aflatoksin.
Saluran gastrointestinal manusia dapat
dengan cepat mengabsorbsi aflatoksin segera
setelah
konsumsi
makanan
yang
terkontaminasi dan sistem peredaran darah
membawa aflatoksin tersebut ke dalam hati.
Selanjutnya, 1-3% aflatoksin yang dikonsimsi
itu akan terikat secara iriversibel pada protein
dan basa-DNA untuk membentuk ikatan
seperti misalnya aflatoksin B 1 -lysine di
albumin. Disrupsi protein dan basa-DNA di
dalam sel hepatosit menyebabkan toksisitas
hepar. (17) Manifestasi dini dari hepatotoksisitas
berupa anoreksia, malaise, dan demam (lowgrade). Aflatoksikosis dapat berlanjut menjadi
hepatitis akut yang bersifat letal dengan gejalagejala seperti muntah, nyeri perut, hepatitis dan
kematian.
46
Aflatoksin dan aflatoksikosis
Paparan kronis
Dua pendekatan telah digunakan untuk
mengevaluasi paparan aflatoksin pada
manusia. Pendekatan pertama dilakukan
dengan mengumpulkan sampel makanan.
Sumber sampel yang paling dapat dipercaya
untuk mengukur paparan aflatoksin adalah
dengan melakukan analisis terhadap makanan
yang telah siap dimakan, karena orang
biasanya telah memilih butir padi dan
memisahkan butir padi yang tidak layak untuk
dikonsumsi. Pasar dan pusat perdagangan
dunia merupakan tempat yang menyediakan
informasi bagi berbagai bahan makanan dengan
risiko terpapar aflatoksin, terutama di mana
alat pengolahan makanan seperti penggilingan
padi tidak mempunyai pengendalian mutu.
Pendekatan
kedua
adalah
dengan
menggunakan petanda biologis. Sampel darah,
air susu, atau urine diambil dari individu untuk
bahan pemeriksaan dan dianalisis untuk
mendeteksi keberadaan derivat aflatoksin yang
mempunyai waktu paruh yang karakteristik di
dalam tubuh. (1)
Paparan kronis aflatoksin dalam makanan
merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya
gangguan imunitas, malnutrisi dan karsinoma
hepatoselular terutama di negara di mana
infeksi hepatitis virus B merupakan penyakit
yang endemik. Menurut Azziz-Baumgartner et
al (17) orang-orang yang mengalami paparan
secara kronis terhadap aflatoksin pada kadar
yang tinggi memiliki risiko untuk menderita
karsinoma hepatoseluler tiga kali lebih besar
dari pada mereka yang tidak mengalami
paparan tersebut, dan angka kematian karena
aflatoksikosis pada laki-laki lebih besar
dibandingkan wanita. Paparan kronis aflatoksin
dalam dosis rendah dapat meningkatkan risiko
terhadap karsinoma hepatoseluler, sedangkan
kelainan hepar yang akut dan berat dengan
angka mortalitas yang besar dijumpai pada
pada paparan aflatoksin dosis tinggi. Asupan
Universa Medicina
aflatoksin dalam dosis 2-6 mg/hari selama satu
bulan dapat menyebabkan hepatitis akut dan
kematian. (18)
Kanker hati
Aflatoksin bersifat karsinogenik pada
manusia dan hewan. Karsinoma hepatoselular
secara umum diderita 500.000 orang tiap
tahunnya di dunia, dengan 80% kejadian
ditemukan di negara berkembang dengan five
year
mortality
>95%.
Karsinoma
hepatoselular ini merupakan penyebab
morbiditas dan mortalitas terutama di Cina dan
Afrika. (13,19,20) Meskipun data kanker hepar di
negara berkembang sulit didapat secara rutin,
diperkirakan kejadiannya berkisar antara 1632 kali bila dibandingkan yang dijumpai di
Eropa dan Amerika Serikat, yaitu kira-kira 2,5/
100.000 dan menyebabkan kematian pada
sekitar 8,8% dari seluruh kematian oleh karena
penyakit kanker.
Hasil studi eksperimental pada hewan
menunjukkan AFB1 merupakan karsinogen
hati yang poten. Pemberian AFB1 melalui
berbagai cara pemberian dapat menyebabkan
kanker hati pada mencit, tikus, ikan, marmot
dan monyet. Jenis kanker yang dapat
disebabkan oleh AFB1 antara lain
hepatoselular karsinoma, kanker colon dan
ginjal (tikus), cholangiocellular carcinoma
( h e m s t e r) , a d e n o m a p a r u ( m e n c i t ) ,
o s t e o g e n i c s a rc o m a , a d e n o c a rc i n o m a
kandung empedu dan karsinoma pankreas
(monyet). Aflatoksin pada manusia terutama
dikenal sebagai agent yang dapat
menyebabkan kanker hati, walaupun kanker
paru ternyata merupakan risiko yang juga dapat
ditemui pada pekerja yang menangani padipadi yang terkontaminasi. (21-24) Peningkatan
risiko hepatoma disebabkan mutasi pada genpenghambat tumor P53 dan aktivasi dari
onkogen dominan. Risiko kanker oleh karena
paparan aflatoksin telah diakui akibat dosis
Januari-Maret 2006, Vol.25 No.1
kumulatif oleh karena paparan aflatoksin
jangka panjang. International Cancer
Research Institute menggolongkan aflatoksin
dalam karsinogen klas I.
Epidemi hepatitis virus B (HBV) dan
hepatitis virus C (HCV) terjadi pada ±20 %
populasi di negara berkembang memperlihatkan
sinergisme yang kuat dengan aflatoksin sebagai
agen yang berperan dalam timbulnya kanker
hati. (13,19,20,24) Pada penderita dengan hepatitis
B surface antigen positif, aflatoksin memiliki
potensi 30 x lebih besar dibanding individu
tanpa virus, dan risiko relatif untuk kanker pada
penderita HBV meningkat dari 5 menjadi 60
kali bila pasien dengan HBV kemudian
terpapar aflatoksin. Di beberapa daerah di
mana infeksi HBV terjadi bersamaan dengan
kontaminasi aflatoksin, hepatoma merupakan
kanker yang predominan (64% kanker). Untuk
meminimalkan risiko kanker hati penting sekali
menghindari paparan aflatoksin pada penderita
y a n g t e r i n f e k s i H B V d a n H C V. H a l i n i
disebabkan penderita dengan HBV positif
akan berkurang kemampuannya untuk
mendetoksifikasi aflatoksin, sehingga
sinergisme ini merupakan faktor yang penting
untuk terjadinya kanker. Selain itu aflatoksin
juga berperanan penting pada sistem imunologi
dan kondisi nutrisi karena kemampuannya
meningkatkan kadar paparan biologis.
Pemberian vaksinasi yang dilakukan terhadap
HBV lebih dianjurkan sebagai strategi yang
lebih realistik dan lebih efisensi untuk
menurunkan insidens kanker hati daripada
membersihkan makanan dari kontaminasi
aflatoksin. (8)
Pada sampel yang berasal dari sebuah
daerah di Cina di mana risiko kanker hati
sangat tinggi, AFB1 merupakan toksin
predominan yang ditemukan pada jagung
dengan konsentrasi antara 9 dan 2496 ppm
dengan insiden kontaminasi 85%. Di antara
sampel yang dikumpulkan 76% di antaranya
47
Yenny
melebihi batas konsentrasi aflatoksin yang
diperkenankan di Cina yaitu 20 ppm pada
jagung dan produknya bagi konsumsi manusia.
Sampel maize dari Kenya (Afrika) di mana
terjadi wabah aflatoksikosis terjadi, konsentrasi
aflatoksin B1 adalah 4400 ppm, 220 kali lebih
besar dari konsentrasi yang diperkenankan
oleh pemerintah Kenya yaitu 20 ppm.(1)
Supresi imunologis
Efek supresi sistem imun oleh aflatoksin
kebanyakan didapatkan dari penelitian yang
dilakukan di peternakan atau menggunakan
hewan coba yang terpapar kronis dengan
aflatoksin pada kadar yang cukup tinggi untuk
menimbulkan gejala seperti aflatoksikosis akut.
Paparan pada manusia lebih bervariasi oleh
karena tingginya distribusi variasi kontaminan
yang terdapat dalam makanan. In vitro,
aflatoksin menghambat fungsi fagosit sel
monosit darah perifer manusia. AFB 1 pada
konsentrasi ≥ 100 pg/ml bersifat sitotoksik
terhadap monosit, dan pada konsentrasi 0,5 –
1 pg/ml menghambat aktivitas fagosit monosit
dan intracellular killing dari Candida
albicans. Efek imunosupresi aflatoksin dapat
dipindahkan dari plasenta dan mengenai fetus.
Titer dari vaksinasi juga dapat dipengaruhi oleh
paparan aflatoksin. Aflatoksin secara
bermakna mengurangi respon antibodi terhadap
vaksinasi. Pada penelitian yang dilakukan
terhadap anak-anak di Gambia didapatkan fakta
kadar sekretoris imunoglubulin A (Ig A) lebih
rendah pada anak yang terpapar oleh
a f l a t o k s i n . (25) E f e k t o k s i s i t a s a k u t , e f e k
karsinogenik, dan juga respon imun, secara
variatif dijumpai pada perbedaan spesies.
Gangguan nutrisi
Paparan kronis aflatoksin punya efek
utama pada status nutrisi hewan, tapi seperti
halnya terhadap efek imunotoksisitas, ambang
dari efek ini tidak dapat didefinisikan bagi tiap
48
Aflatoksin dan aflatoksikosis
spesies. Hewan yang mengkonsumsi makanan
yang terkontaminasi aflatoksin akan
terhambat pertumbuhan dan produktivitasnya.
Aflatoksikosis yang terjadi pada anak
ternyata menyebabkan malnutrisi protein berat
(kwashiokor) Pernyataan ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan pada anak-anak
berusia <5 tahun di Benin dan Togo dimana
semua anggota populasi penelitian terpapar
oleh aflatoksin (aflatoksin-albumin antara 5–
1064 pg/mg albumin pada 99% anak)
menunjukkan dose-response relation antara
paparan aflatoksin dan derajat stunting dan
underweight. (26) Terhadap sintesis protein
aflatoksin dikatakan merupakan faktor yang
memodulasi kecepatan penyembuhan dari
kwashiorkor, walaupun aflatoksin sendiri tidak
berperanan pada terjadinya hambatan
pertumbuhan yang biasanya menyertai kondisi
di atas.
Aflatoksin juga mempunyai pengaruh
terhadap vitamin dan beberapa mikronutrien.
Defisiensi vitamin A dapat timbul akibat
paparan aflatoksin, sehingga bila kita dapat
mencegah paparan aflatoksin mungkin akan
mengurangi kejadian defisiensi vitamin A.
Konsentrasi vitamin D juga akan dipengaruhi
oleh aflatoksin. Kadar aflatoksin 1 ppm dalam
makanan akan mengurangi konsentrasi 25hidroksi vitamin D [(25(OH)D] dan 1,25dihidroksi vitamin D [1,25(OH) 2] dalam waktu
5 hari. Seperti halnya vitamin A, vitamin D juga
berperanan penting dalam mempertahankan
sistem imun sehingga aflatoksin juga dapat
mempengaruhi sistem imun. Konsentrasi yang
adekuat dari besi dan selenium diperlukan bagi
sistem imun, aflatoksin ternyata juga
mempengaruhi kedua mineral ini.
Pertanda biologis (biomarker)
Metoda yang sekarang paling disukai
untuk mengukur paparan aflatoksin pada
manusia berasal dari analisis cairan tubuh. Hal
Universa Medicina
ini disebabkan karena tiap proses biokimiawi
mempunyai waktu paruh yang khas di dalam
tubuh, sehingga paparan yang terjadi dalam
jangka waktu beberapa hari, minggu, dan bulan
dapat diukur. (1) Paparan aflatoksin yang baru
terjadi direfleksikan di urine berupa eksresi
langsung aflatoksin M 1 (AFM 1 ) dan produk
detoksifikasi lainnya, tapi hanya fraksi kecil
saja dari dosis yang dieksresi dengan cara ini.
Pengukuran aflatoksin dan produknya di urine
sangat bervariasi dari hari ke hari; ini
menggambarkan besarnya variabilitas
kontaminan dalam sampel makanan. Atas
dasar alasan ini, pengukuran AFM 1 yang hanya
dilakukan secara tunggal pada satu hari saja
tidak bisa dijadikan indikator yang dapat
dipercaya pada orang yang mengalami paparan
kronis. Pada orang yang mengalami paparan
kronis, indikator yang digunakan dan lebih
dapat diandalkan adalah konsentrasi aflatoksinalbumin yang diukur dari darah perifer; waktu
paruhnya di dalam tubuh adalah 30-60 hari.
Penting untuk diingat di sini, fraksi aflatoksin
yang dicerna diproses menjadi metabolit yang
bervariasi. Konsentrasi biomarker yang telah
diketahui tidak bisa digunakan untuk
memperkirakan total dosis atau jumlah
aflatoksin yang dimetabolisme.
PENCEGAHAN TERHADAP PAPARAN
AFLATOKSIN
Kasus-kasus keracunan aflatoksin di
dalam suatu keluarga atau di suatu daerah
biasanya terjadi secara reguler dan terabaikan
begitu saja tanpa terdeteksi. Oleh karena itu,
upaya pencegahan harus dilakukan dengan
menitik-beratkan kepada implementasi secara
ekstensif terhadap penggantian bahan pangan
(food replacement), tanpa hal ini epidemi
aflatoksikosis akan terus terjadi. Langkah
jangka panjang yang perlu dilakukan adalah
mengetatkan surveilans, meningkatkan inspeksi
Januari-Maret 2006, Vol.25 No.1
bahan pangan untuk memastikan keamanan
bahan pangan tersebut, pendidikan dan
bimbingan untuk melakukan panen maize
secara benar, mengeringkan dan menyimpan
hasil panen secara tepat dan memenuhi syarat.
Pendekatan tradisional untuk mencegah
paparan terhadap aflatoksin adalah dengan
menjamin konsentrasi aflatoksin serendah
mungkin pada makanan yang dikonsumsi. Di
negara maju hal ini dicapai dengan mengatur
konsentrasi terendah yang diperkenankan dari
aflatoksin pada makanan yang diperjual-belikan.
Tapi pedekatan ini memiliki keterbatasan dan
tidak berhasil diterapkan sebagai alat ukur di
negara berkembang. (24)
Usaha pencegahan kontaminasi sudah
dapat dimulai sebelum panen. Bagi kacangkacangan, kondisi lingkungan seperti
kekeringan selama masa pertumbuhan,
serangga, varietas dan karakteristik tanah telah
terbukti merupakan faktor yang berperanan
untuk terjadinya kontaminasi sebelum panen.
Kekeringan merupakan faktor predisposisi
terjadinya kontaminasi, karena itu irigasi sangat
penting peranannya untuk menjamin kualitas
bahan pangan terutama di negara berkembang
di mana kerusakan yang ditimbulkan oleh
serangga tidak dikontrol oleh pestisida. Panen
biasanya dilakukan tanpa menggunakan mesin,
dan proses pengeringan biasanya dikerjakan
sangat tidak efisien dan tergantung dari cuaca.
Karena tergantung dari kondisi cuaca maka
proses panen berjalan sangat lambat dan
pengeringan yang tidak adekuat menimbulkan
risiko terjadinya kontaminasi.
Proses kontaminasi bahan pertanian juga
dapat terjadi selama masa penyimpanan. Untuk
menjaga kualitas selama proses penyimpanan,
penting untuk mencegah aktivitas biologis
melalui proses pengeringan yang adekuat
(kelembaban < 10%). Meskipun kondisi yang
dibutuhkan untuk mencegah kontaminasi sudah
diketahui dengan baik, tapi tidak selalu mudah
49
Yenny
untuk diterapkan pada sistem penyimpan di
negara berkembang di mana iklimnya sangat
lembab. Kendalanya menjadi lebih besar
karena hampir semua penduduk di area
pedesaan menanam dan menyimpan bahan
pangan sendiri di gudang yang kecil dan
tradisionil derngan kelembaban tinggi sehingga
risiko kontaminasi aflatoksin juga besar.
Pemprosesan yang dilakukan terhadap
bahan pertanian yang akan diperdagangkan
dapat mengurangi konsentrasi aflatoksin. Tiga
pendekatan yang dilakukan antara lain: i) dilusi,
ii) dekontaminasi, dan iii) separasi. (25) Dilusi,
dilakukan dengan mencampur padi-padian
kadar aflatoksin yang rendah dengan padipadian yang kadar aflatoksinya diatas batas
yang diperkenankan. Proses dilusi ini
mengakibatkan konsentrasi aflatoksin
berkurang, konsumen masih terekspos dengan
aflatoksin. Pendekatan ini akan gagal bila tidak
terdapat cukup padi “bersih” untuk
dicampurkan dengan yang terkontaminasi atau
jika infrastruktur menahan stok padi sehingga
proses pencampuran yang diharapkan gagal.
Dekontaminasi, adalah cara yang dilakukan
untuk menghilangkan aflatoksin dalam bahan
makanan. Penggunaan ammonia, substansi
alkali, dan ozone dapat menghilangkan
aflatoksin, tapi belum jelas apakah perubahan
ini bersifat permanen. Separasi, adalah upaya
memisahkan padi yang terkontaminasi dari
tumpukan padi yang “bersih”. Padi yang
terkontaminasi dapat diketahui dari perubahan
warna (memutih).
Di negara maju di mana peraturan
memperkenankan konsentrasi aflatoksin yang
lebih tinggi pada binatang, industri pertanian
telah mengembangkan cara-cara alternatif,
yaitu kemoproteksi dan enterosorpsi, untuk
membatasi paparan biologis terhadap toksin.
Kemoproteksi dilakukan dengan dasar
mengolah aflatoksin secara biokimiawi dengan
tujuan untuk detoksifikasi toksin, bukan
50
Aflatoksin dan aflatoksikosis
menghindarkan paparan. Enterosorpsi
dilakukan dengan menambahkan suatu bahan
pengikat (binding agent) pada makanan untuk
mencegah absorpsi toksin pada saat makanan
berada di saluran cerna; ikatan toksin-sorben
ini kemudian diekskresi di dalami tinja. (2)
Kemoproteksi
Kemoproteksi yang bertujuan untuk
mengatasi aflatoksin dilakukan dengan
menggunakan sejumlah komponen yang dapat
meningkatkan proses detoksifikasi pada hewan
ternak atau mencegah produksi epoksid yang
dapat menyebabkan kerusakan kromosom.
P e n g g u n a a n O l t i p r a z d a n c h l o ro p h y l l
mempunyai kemampuan menurunkan dosis
efektif biologis. Akan tetapi, terapi jangka
panjang akan menghabiskan biaya yang besar,
dan dapat timbul efek samping. Pada industri
makanan ternak, fokus utama berupa
penambahan food additive yang dapat
melindungi dari toksin. Pendekatan lain yang
telah digunakan berupa esterifikasi
glucomanose dan ekstrak ragi lainnya yang
dapat memberikan efek kemoproteksi dengan
meningkatkan proses detoksifikasi aflatoksin.
O l t i p r a z ( g o l o n g a n d i t h i o l e t h i o n e) d a n
chlorophyllin telah banyak digunakan sebagai
agent kemopreventif kanker. Uji klinis fase II
terhadap dithiolethione telah dilakukan pada
populasi yang terpapar AFB1 di Qidong,
Provinsi Jiangsu, Republik Rakyat Cina guna
mengevaluasi evektivitas dithiolethione.
Oltipraz dikatakan dapat meningkatkan
ekspresi detoksifikasi karsinogen dan gen-gen
yang bersifat antioksidan. Pada manusia
beberapa dithilethiones telah diketahui oleh
kegunaan farmakologisnya yang lain daripada
sebagai kemopreventif kanker. Misalnya,
dithiolethiones pada pemberian peroral efektif
untuk mengatasi infeksi schistosomiasis. (27)
Chlorophyllin mekanisme kerjanya masih
belum jelas. Kemungkian bekerja menghambat
Universa Medicina
a b s o r b s i a f l a t o k s i n p a d a saluran cerna.
Chlorophyllin mempunyai sifat antioksidan,
antimutagen, dan antikarsinogen. (1)
Enterosorpsi
Penggunaan mineral tertentu dari tanah liat
secara selektif mampu mengikat aflatoksin
untuk mencegah absorbsi aflatoksin dari traktus
gastrointestinal. (28) Banyak toksin diabsorbsi
oleh surface-active compounds seperti
activated charcoal, ikatan ini tidak selalu
efektif untuk mencegah uptake dari sistem
pencernaan. Berbagai sorbent punya afinitas
berbeda bagi aflatoksin sehingga berbeda juga
kemampuannya mencegah paparan biologis
pada hewan yang mengkonsumsi makanan yang
terkontaminasi, sehingga efikasi dari berbagai
adsorbent ini untuk mencegah aflatoksikosis juga
bervariasi. Penggunaan enterosorben juga
mempunyai resiko agen adsorbent nonspesifik
dapat mencegah uptake mikronutrien dari
makanan. Penambahan hydralated sodium
calcium aluminosilicates (HSCAS) pada
makanan yang terkontaminasi terbukti efektif
mencegah aflatoksikosis. Selected calcium
montorillonites merupakan enteroabsorbsi
yang paling selektif dan efektif diantara semua
enterosorbent. Penggunaan enteroabsorbsi ini
telah banyak digunakan pada produksi
makanan ternak di seluruh dunia, dan HSCAS
biasanya ditambahkan sebesar 10% pada
semua makanan ternak.
Januari-Maret 2006, Vol.25 No.1
intervensi kesehatan masyarakat dengan fokus
kepada peningkatan cara-cara produksi yang
efektif, penyimpanan hasil panen secara benar
dan memenuhi syarat. Juga upaya surveilans
dan pemantauan kadar aflatoksin di bahan
pangan dan insidens terjadinya penyakit
hepatitis (jaundice) pada manusia dapat
mencegah penyebaran wabah aflatoksikosis
akut. Di masa akan datang, serum aflatoksin
B 1 mungkin dapat digunakan untuk diagnosis
aflatoksikosis akut dan untuk memantau
intervensi yang ditujukan terhadap paparan
aflatoksin.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
KESIMPULAN
Aflatoksin dan lain-lain mikotoksin sering
menyebabkan kontaminasi dari hasil-hasil
pertanian. Sekitar 25% hasil panen di seluruh
dunia mengalami kontaminasi dengan
aflatoksin dan merupakan sumber morbiditas
dan mortalitas di negara-negara berkembang
seperti Afrika dan Asia. Untuk mencegah
terjadinya wabah aflatoksikosis perlu dilakukan
7.
8.
9.
Lewis L, Onsongo M, Njapau H, Rogers HS, Luber
G, Kieszak S, et al. Aflatoxin contamination of
commercial maize products during an outbreak of
acute aflatoxicosis in Eastern and Central Kenya:
Environ Health Perspect. 2005; 113: 1763-7.
Williams JH, Phillips TD, Jolly PE, Stilles JK, Jolly
CM, Aggarwal D. Human aflatoxicosis in
developing countries: a review of toxicology,
exposure, potential health consequences, and
intervention. Am J Clin Nutr 2004; 80: 1106-22.
Blount WP. Turkey “X” disease. J Br Turk Fed 1961;
9: 52-4.
Rodgers A, Vaughan P, Prentice T, Edejer TT, Evans
D, Lowe J. Reducing risks, promoting healthy life:
In Campanini B, Haden A, editors. The Word Health
Report ; Geneva: Word Health Organization; 2002.
Henry SH, Bosch FX, Troxell TC, Bolger PM.
Reducing liver cancer- global control of aflatoxin.
Science 1999; 286: 2453-4.
Food and Drug Administration. Foods-alduteration
with aflatoxin (CPG7120.26). Available at: http://
www.fda.gov/ora/compiance_ref/cpg/cpgfod/
cpg555.400.html. Accessed December 12, 2005.
Food and Drug Administration. Action level for
aflatoaxins in animal feeds (CPG7126.33). Available
at: http://www.fda.gov/ora/complience_ref/cpg/
cpg.vet/cpg683-10.html. Accessed December 12,
2005.
Bannet JW, Klich M. Mycotoxins. Clin Microbiol
Rev 2003; 16: 497-516.
Fung F, Clark RF. Health effects of mycotoxins: a
toxicological overview. J Toxicol Clin Toxicol 2004;
42: 217-34.
51
Yenny
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
52
Aflatoksin dan aflatoksikosis
CAST. Mycotoxins: risks in plant, animal, and
human systems. Task Force Report No. 139. Ames.
IA: Council for Agriculture Science and
Technology; 2003.
Lye MS, Ghozali AA, Mohan J, Alwin N, Nair RC.
An outbreak of acute hepatitic encephalopathy due
to severe aflatoxicosis in Malayzia. Am J Trop Med
Hyg 1995; 53: 68-72.
AFRO Food Safety Newsletter Word Health
Organization Food Safety Unit (FOS). Food safety
in the African region. Food Safety Newsletter 2004;
1: 1-8.
Wang JS, Huang T, Su J, Liang F, Wei Z, Liang Y,
Luo H, et.al. Hepatocellular carcinoma and aflatoxin
exposure in Zhuqing Village, Fusui County, People’s
Republic of China. Cancer Epidemiol Biomarkers
Prev. 2001; 10: 143-6.
Beasley V. Mycotoxins that affect the liver. New
York: International Veterinary Information Service
(IVIS); 1999.
Farfan JA. Aflatoxin B1-induced hepatic steatosis:
role of carbonyl compounds and active diols on
steatogenesis. The Lancet 1999; 353: 747-48.
Animal Science Cornell University. Aflatoxins
occurance and health risks. 2004; 1-8.
Azziz-Baumgartner E, Lindblade K, Gieseker K,
Rogers HS, Kierszak S, Njapau H, et al. Case-control
study of an acute aflatoxicosis outbreak, Kenya,
2004. Environt Health Perspect 2005; 113: 1779-83
Krishnamachari KA, Nagarajan V, Ramesh VB, Tilak
TBG. Hepatitis due to aflatoxicosis: an outbreak in
western India. Lancet 1975; 1: 1061-3.
Hall AJ, Will CP. Liver cancer in low and middle
income countries. B Med J 2003: 326: 994-5.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
Luo RH, Zhao ZX, Zhou XY, Gao ZL, Yao JL. Risk
factors for primary liver carcinoma in Chinese
population. World J Gastroenterol 2005; 11: 44314.
Kelly JD, Eaton DL, Guengerich FP, Coulombe RJ.
Aflatoxin B sub(1) activation in human lung. Toxicol
Appl Pharmacol 1997; 144: 88-95.
Desai MR, Ghosh SK. Occupational exposure to
airborn fungi among rice mill workers with special
reference to aflatoxin producing A. Flavus Strains.
Ann Agric Environ Med 2003; 10: 159-62.
Georggiett OC, Muino JC, Montrull H, Brizuela N,
Avalos S, Gomez RM. Relationship between lung
cancer and aflatoxin B1. Rev Fac Cien Med Univ
Nac Cordoba 2000; 57: 95-107.
Galvano F, Piva A, Ritieni A, Galvano G. Dietary
strategies to counteract the effects of mycotoxins:
a review. J Food Prot 2001; 64: 120-31.
Turner PC, Moore SE, Hall AJ, Prentice AM, Wild
CP. Modification of immune function through
exposure to dietary aflatoxin in Gambian children.
Environ Health Perspect 2003; 111: 217-20.
Gong YY, Cardwell K, Hounsa A, Turner PC, Hall
AJ, Wild CP. Dietary aflatoxin exposure and impaired
growth in young children from Benin and Togo:
cross sectional study. Br Med J 2002; 325: 20-1.
Maxuitenko YY, Curphey TJ, Kensler TW, Roebuck
BD. Protection against aflatoxin B1-induced hepatic
toxicity as a short-term screen of cancer
chemopreventive dithiolethiones. Fundamental and
applied toxicology 1996; 32: 250-9.
Phillips TD, Lemke SL, Grant P. Characterization of
clay-based enterosorbents for the prevention of
aflatoxicosis. Adv Exp Med Bio 2002; 504: 157-73.
Download