Washington Consensus Dan Usulan Strategi Alternatif Pembiayaan Pembangunan Pembahasan pembangunan berikut ini didasarkan atas tulisan dua ahli ekonomi dari Berlin School of Economics dan University of Applied Sciences di Berlin, Jerman, yaitu Prof. Hansjorg Herr dan Prof. Jan Priewe (selanjutnya di bawah akan disebut sebagai “Herr & Priewe). Tulisan ini berjudul “The Washington Consensus and (Non-) Development” yang dimuat dibuku berjudul “Money, Financial Instability and Stabilization Policy” yang diedit oleh L. Randall Wray dan Mathew Forstater, dan diterbitkan oleh Edward Elgar Publishing Limited, tahun 2006. Alasan pemilihan tulisan ini adalah karena Herr & Priewe mengkaji konsep Washington Consensus dengan pandangan yang kritis yang dapat memberi wawasan berbeda atas pendekatan konvensional dari pembiayaan pembangunan di negara-negara yang sedang membangun seperti Indonesia. Pembahasan berikut ini dibagi atas tiga bagian. Bagian pertama (A), membahas apa yang dimaksud dengan “Washington Consensus”. Bagian kedua (B) membahas kritik Herr & Priewe atas Washington Consensus dan kerangka pembiayaan pembangunan alternatifnya. Pada bagian terakhir (C) disampaikan beberapa tanggapan umum atas alternatif Herr & Priewe. A. Apakah “Washington Consensus” ? Washington Consensus merupakan “kesepakatan” yang dicapai IMF (International Monetary Fund), Bank Dunia (World Bank), dan Departemen Keuangan AS (US Treasury Department) pada akhir tahun 1990an tentang paket kebijakan ekonomi yang dianggap tepat untuk mengatasi masalah-masalah pertumbuhan dan pembangunan berbagai negara berkembang. Konsensus itu disebut Washington Consensus sehubungan dengan letak kantor besar lembaga-lembaga ini di Washington, DC, ibu kota AS. Walaupun sejak dipaparkan pada tahun 1989 telah diadakan beberapa penyesuaian, inti dari paket kebijakan yang direkomendasikan Washington Consensus untuk selanjutnya dianjurkan oleh IMF dan World Bank kepada negara-negara berkembang, masih sama, yaitu sebagai berikut : (a) perlunya dianut kebijakan fiscal yang berimbang dengan pengketatan dari segi pengeluaran; (b) perlunya dianut kebijakan moneter yang ketat; (c) perlunya dianut kebijakan neraca pembayaran dengan transaksi berjalan (current account) mencapai defisit selama jangka waktu yang diperlukan; dan (d) dianutnya kebijakan nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing yang fleksibel (floating exchange rate system). Beberapa prinsip dasar Washington Consensus ini telah menunjukkan adanya bias pada pembukaan sumber pembiayaan luar negeri disertai dengan pengketatan sumber pembiyaan dalam negeri. Kecenderungan berpikir ini dilandasi oleh teori pertumbuhan Harrod-Domar dan teori pertumbuhan Solow. Menurut Harrod-Domar, pertumbuhan ekonomi (Y/Y) dapat dicapai dengan adanya keseimbangan antara dana pembangunan yang tersedia (s yang diukur oleh persentasenya terhadap produksi nasional) dengan incremental capital output ratio (k) yaitu jumlah modal yang dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan satu unit output, dengan rumus : Y/Y = s/k. Dari rumus ini terlihat bahwa dengan Y/Y tertentu (misalnya 6%) dan k tertentu (misalnya 5) maka s seharusnya 30%. Jalan pikir Washington Consensus terkait disini dalam hal 30% ini tidak cukup terpenuhi oleh dana dalam negeri sehingga kekurangannya akan ditambah oleh dana luar negeri (atas dasar : s = Sdn (dana dalam negeri) + Sln (dana luar negeri) . Teori Solow masuk di jalan pemikiran Washington Consensus karena Solow mengatakan dana (modal) swasta di negara-negara yang sudah maju akan mengalir ke negara-negara yang masih berkembang (menjadi Sln dari sektor swasta, biasanya dalam bentuk FDI/Penanaman Modal Langsung Asing), karena rentabilitas modal di negaranegara berkembang yang lebih tinggi, mengingat rasio modal/tenaga kerja (k/l) yang lebih rendah di negara-negara berkembang. Agar hal itu terjadi, maka Solow mempersyaratkan adanya liberalisasi perekonomian di negara-negara berkembang. Dengan demikian, apabila kebijakan stabilisasi (kebijakan fiskal dan moneter yangt ketat), ditambah dengan langkah-langkah penyesuaian struktural, seperti menghilangkan subsidi dan privatisasi BUMN, maka akan terbuka jalan bagi dana IMF dan Bank Dunia untuk masuk dengan syarat lunak. Selanjutnyam masuknya dana-dana ini akan membuka jalan bagi mengalirnya dana swasta asing baik dalam bentuk FDI maupun pinjaman bank sehingga terpecahkanlah masalah pendanaan pertumbuhan dan pembangunan negara-negara berkembang sesuai dengan skenario Washington Consensus tersebut. Pada bagian berikut (B) ini akan dibahas kritik Herr & Priewe atas kebijakan pembiyaan pembangunan yang mengkuti resep Washington Consensus, dan gagasan alternatif yang dikemukakan Herr & Priewe. B. Kritik Herr & Priewe Atas Washington Consensus dan Usulan Strategi Alternatif Kritik Atas Strategi Washington Consensus Dalam tulisannya, Herr & Priewe mengatakan bahwa mereka tidak setuju dengan strategi pertumbuhan dan pembangunan yang dikemukakan Washington Consensus dan yang selanjutnya dioperasionalkan oleh IMF dan World Bank. Herr & Priewe mengatakan bahwa pembiayaan pembangunan yang mengandalkan sumber dana luar negeri (pada Bagian A di atas diberi notasi Sln, yang terdiri dari utang luar negeri pemerintah – SlnG - maupun swasta – SlnP - dan sebenarnya juga FDI namun FDI dianggap mengandung risiko yang lebih kecil daripada komponen utang ) tidak dapat berkelanjutan (not sustainable) sehingga dalam jangka panjang akan menemui jalan buntu. Sebagai strategi alternatif atas pendekatan Washington Consensus, Herr & Priewe menganjurkan upaya mobilisasi dana pembangunan yang menekankan sumber dana dalam negeri (pada Bagian A di atas diberi notasi Sdn). Menurut Herr & Priewe, Washington Consensus telah membatasi pengembangan Sdn melalui resepnya yang menganjurkan kebijakan fiskal dan moneter yang ketat dan telah terlalu mendorong pengembangan Sln melalui anjurannya agar negara-negara berkembang menghilangkan pengaturan neraca modal (capital account) dan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (floating exchange rate system) dalam kebijakan neraca pembayarannya. Herr & Priewe juga mengatakan bahwa anjuran Washington Consensus untuk memberi tekanan pada Sln, selain dipengaruhi oleh teori Harrod-Domar dan teori Solow (lihat penjelasan singkat pada bagian A di atas), juga dipengaruhi oleh teori Chenery dan Strout (1966) tentang adanya kesenjangan antara kebutuhan investasi (I) dan tersedianya dana tabungan dalam negeri (S), yang dikenal dengan nama teori Savings-Investment Gap. Menurut Herr & Priewe, adanya kesenjangan antara I dan S di negara-negara berkembang terlalu dibesar-besarkan dan hanya merupakan argumen yang digunakan penganut prinsip Washington Consensus agar negara-negara yang sedang berkembang lebih mengandalkan Sln walaupun menurut Herr & Priewe, penggalian dana pembangunan dari Sdn.mempunyai potensi yang besar. Menurut Herr & Priewe, terlalu menggantungan diri pada Sln apalagi dalam jangka panjang mengandung berbagai jenis risiko yang akan mengancam keberlanjutan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Beberapa kelemahan dari strategi yang dianjurkan Washington Consensus tersebut menurut Herr & Priewe antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, upaya peningkatan Sln berarti melaksanakan kebijakan defisit pada transaksi berjalan (current account deficit) yang selain membiarkan peningkatan impor – yang dimaksudkan berbentuk impor barang modal/investasi sehingga diharapkan akan menopang pertumbuhan ekonomi - yang diimbangi/dibiayai oleh surplus pada neraca modal (capital account surplus), yang berarti meningkatkan utang luar negeri (baik pemerintah maupun swasta). Risiko dari ketergantungan pada sumber pembiayaan luar negeri ini adalah bahwa jika terjadi suatu krisis keuangan, baik skala nasional maupun internasional, maka donor/kreditor dapat sewaktu-waktu menarik kembali komitmennya dan selanjutnya dapat menolak menjadwal kembali pembayaran kembali utang. Hal ini menurut Herr & Priewe akan menimbulkan krisis likuiditas dan bahkan masalah solvensi (kewajiban/liabilities lebih besar dari asset) sehingga akhirnya akan menghentikan proses pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Kedua, terkait dengan kelemahan pertama adalah dipersulitkannya otoritas moneter di suatu negara berkembang untuk mengendalikan inflasi. Keterbukaan ekonomi suatu negara berkembang (dengan dilepaskannya kontrol atas neraca modal/capital account dan dianutnya sistem nilai tukar mengambang) akan menyebabkan jalur transmisi inflasi dari luar menjadi terbuka lebar, apalagi kalau terjadinya perburukan situasi ekonomi karena adanya krisis utang seperti disebut di atas, suatu negara berkembang terpaksa menempuh tindakan devaluasi. Ketiga, adalah adanya fenomena “dollarisasi”, yaitu penggunaan mata uang asing (terutama dollar sebagai “hard currency”) di samping mata uang suatu negara berkembang. Menurut Herr & Priewe, dollarisasi, yang merupakan akibat dari dianutnya system nilai tukar mengambang (floating exchange rate system) dan adanya liberalisasi neraca modal (liberalized capital account), maka para pelaku ekonomi di suatu negara berkembang dapat secara bebas memilih menggunakan mata uang asing tersebut atau mata uang dalam negeri (dalam hal Indonesia : Rupiah). Herr & Priewe mengatakan, akibat adanya beban utang yang tinggi (utang luar negeri/PDB yang tinggi), yang selanjutnya terdorong oleh resep Washington Consensus untuk menggunakan Sln bagi pembiayaan pembangunan) maka kepercayaan para pelaku ekonomi dalam negeri atas mata uang dalam negeri akan melemah. Usulan Strategi Alternatif Menurut Herr & Priewe, strategi Washington Consensus yang memberi tekanan kepada penggalian dana pembangunan dari luar negeri melalui kebijakan keterbukaan pada keuangan internasional (global finance) dengan segala kelemahannya, telah menyebabkan terabaikannya penggalian pembiayaan pembangunan dari sumber dalam negeri (domestic finance). . Beberapa tiang pancang usulan Herr & Priewe yang berkisar pada kebijakan untuk mengatasi kelemahan strategi Washington Consensus, sehingga terutama tertuju untuk mengalihkan sumber pembiayaan pembangunan dari Sln ke Sdn, adalah sebagai berikut. Pertama, berbeda dengan Washington Consensus, yang cenderung membiarkan terjadinya defisit pada transaksi berjalan (Current Account Deficit), maka pendekatan Herr&Priewe menganjurkan terjadinya surplus pada tranaksi berjalan (Current Account Surplus). Terkait dengan ini adalah diperlukannya pengaturan neraca modal (Capital Account Control) dan perlu dianutnya sistem nilai tukar yang dikendalikan (fixed/tightly pegged exchange rate system). Kedua, langkah butir pertama selanjutnya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat akan mata uang dalam negeri dan dimunkinkannya dipelihara tingkat suku bunga yang rendah. Ketiga, dalam keadaan perekonomian makro yang dihasilkan oleh langkah-langkah pada butir pertama dan kedua, maka lembaga perbankan dalam negeri dimungkinkan untuk mengucurkan kredit bagi pembiayaan investasi pembangunan, yang selanjutnya akan memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi secara mandiri dan berkelanjutan. Perbandingan keadaan perekonomian di bawah skenario Washington Consensus dan di bawah skenario usulan Herr & Priewe ditunjukkan pada Diagram I dan Diagram II. C. Tanggapan Umum Atas Usul Herr & Priewe Tulisan Herr & Priewe mengingatkan kita kembali akan tidak mutlak perlunya pembiayaan pembangunan dilengkapi oleh sumber pembiayaan (utang) luar negeri. Penyegaran kembali akan adanya alternatif ini sesuai dengan keadaan perekonomian Indonesia saat ini yang masih mempunyai beban utang luar negeri, yang walaupun dalam rasio utang luar negeri terhadap PDB telah sangat menurun beberapa tahun terakhir tetap masih cukup tinggi. Hal ini ditambah dengan kecenderungan lembaga donor internasional untuk menganggap Indonesia telah mencapai pendapatan per kapita yang menutup peluangnya untuk memperoleh pinjaman resmi lunak (ODA). Dilain pihak, usulan Herr & Priewe, perlu dikaji lebih lanjut akan realistisnya untuk diterapkan mengingat berbagai pertimbangan yang antara lain sebagai berikut. Pertama, skenario Herr & Priewe menyangkut perlunya surplus transaksi berjalan (current account surplus). Dilain pihak diketahui bahwa, walaupun ada WTO, negaranegara berkembang sulit untuk menembus pasar di negara-negara maju. Kedua, skenario Herr & Priewe menyangkut diterapkannya sistem nilai tukar dikendali yang disertai adanya penurunan tingkat suku bunga. Dalam realita, dianutnya sistem nilai tukar dikendali akan menyulitkan digunakannya suku bunga sebagai alat kebijakan moneter. Ketiga, Herr & Priewe menggambarkan adanya gejala “dollarisasi” tak terkendali di bawah skenario Washington Consensus. Gambaran Herr & Priewe ini tidak seluruhnya benar karena dalam kenyataan suatu negara berkembang dapat saja menerapkan instrumen NOP (Net Open Position) sehingga dapat membatasi transaksi dalam valuta asing oleh perbankan. Suatu sistem yang lebih realistis sepertinya adalah gabungan dari segi positif antara skenario Wasington Consensus dan skenario Herr & Priewe. DIAGRAM I SKENARIO KEADAAN PEREKONOMIAN VERSI WASHINGTON CONSENSUS Utang Luar Negeri / PDB Tinggi Defisit Transaksi Berjalan Surplus Neraca Modal Liberalisasi Neraca Modal (Sistem Nilai Tukar Mengambang) Kepercayaan pada Mata Uang Dalam Negeri Rendah Jumlah Kredit Uang Beredar Rendah Suku Bunga Tinggi Sistem Perbankan Lemah Investasi Rendah Pertumbuhan Ekonomi Rendah DIAGRAM II SKENARIO KEADAAN PEREKONOMIAN VERSI HERR-PIERWE Utang Luar Negeri / PDB Rendah Surplus Transaksi Berjalan Defisit Neraca Modal Sistem Nilai Tukar Dikontrol Kepercayaan pada Mata Uang Dalam Negeri Tinggi Jumlah Kredit Uang Beredar Tinggi Suku Bunga Rendahi Sistem Perbankan Kuat Investasi Tinggi Pertumbuhan Ekonomi Tinggi