Teologi-Moral dan Krisis Ekologi di Area Rurbanisasi Tambakrejo

advertisement
Teologi-Moral dan Krisis Ekologi di Area Rurbanisasi Tambakrejo
Irene Ludji1
Gita Restu Anandani2
Abstract
The problem of an ecological crisis is the problem of humanity because, without a
healthy environment, the human life will not continue. This article is a product of research
conducted in the rural-urban area Tambakrejo in relation to the ecological crisis and the
role of the church. In this article, readers will find analyses on the ecological crisis exist in
Tambakrejo and how the concept of moral theology answered it. Bernhard Haring as one
the most famous leading thinkers in moral theology and his idea of church’s moral
theology is explored in order to understand the relationship between theology and ecology.
Moral theology is the alternative way for churches in Indonesia who wants to lead change
in an ecological crisis especially the one that took place in rural-urban areas.
Keywords: Bernhard Haring, Ecological Crisis, Moral Theology, Rurbanisation Area,
Haring, Tambakrejo.
Pada hakikatnya manusia dan bumi adalah satu kesatuan ciptaan Allah. Di dalam
kitab Kejadian 1:28 disebutkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk
“beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu,
berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang
yang merayap di bumi.” Istilah berkuasa dan menaklukan di dalam Kejadian 1: 28 ini
seringkali digunakan sebagai landasan untuk memandang manusia sebagai ciptaan
Allah yang utama dibandingkan dengan ciptaan Allah yang lain. Alasannya jelas,
manusia yang diberi kuasa untuk menaklukan bumi, ini berarti manusia memiliki hak
bebas untuk melakukan apapun yang ia kehendaki terhadap bumi dan isinya.
Keyakinan bahwa manusia adalah pusat dari ciptaan Allah dikenal dengan istilah
antroposentrisme. Istilah ini berasal dari bahasa Latin, antropos berarti manusia dan
centrum berarti pusat. Sikap dan keyakinan antroposentrisme juga diperkuat oleh
tafsiran terhadap tulisan dalam Alkitab yang menyatakan bahwa manusia adalah imago
dei, yang berarti manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Diantara semua
ciptaan Allah di bumi, menurut kitab Kejadian, hanya manusia yang diciptakan dalam
Dosen pengampu mata kuliah Teologi Lingkungan Hidup di Fakultas Teologi, Universitas Kristen
Satya Wacana (UKSW). Pendeta Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).
2 Mahasiswa Fakultas Teologi angkatan 2012 asal Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Banyuwangi.
1
Irene Ludji, “Teologi Moral…”
imago dei. Pernyataan ini menguatkan keyakinan dan sikap antroposentris yang dimiliki
oleh manusia.
Perintah kepada manusia untuk berkuasa dan menaklukan bumi di dalam
Kejadian 1: 28 tidak seharusnya ditafsirkan sebagai hak untuk mengeksploitasi ciptaan
Allah yang non-human. Kata ‘berkuasa’ sendiri dalam Kejadian 1:28 berasal dari bahasa
Ibrani Raddah yang memiliki arti (tugas untuk) memelihara dan mengurus. 3 Tugas
untuk memelihara dan mengurus bumi serta segala isinya dapat dibandingkan dengan
tugas seorang pimpinan gembala di Timur Tengah Kuno yang bertanggungjawab untuk
memastikan kehidupan yang aman dan harmonis bagi anggota-anggotanya. 4
Tanggungjawab untuk berkuasa tidak dapat dijadikan alasan bagi manusia untuk
bertindak sesuka hati atau sewenang-wenang dalam mengelola alam ciptaan Allah.
Sebaliknya manusia sebagai imago dei, hendaknya melihat ciptaan Allah yang nonhuman sebagai ‘saudara’nya sesama ciptaan Allah yang diciptakan dan diletakkan di
bumi dengan fungsi dan tanggungjawab khusus, yaitu untuk menyuarakan kesatuan,
kemuliaan dan keagungan Allah. Kehidupan yang harmonis antar ciptaan Allah adalah
bukti keagungan Allah dalam ciptaanNya.
Perintah Allah kepada manusia untuk menaklukan bumi juga hendaknya tidak
dipahami sebagai kesempatan untuk menggunakan semua sumber daya bumi demi
kepentingannya sendiri. Kata ‘menaklukan’ dalam Kejadian 1: 28 berasal dari bahasa
Ibrani Kabbas yang memiliki arti mengolah dan mengerjakan. 5 Dengan demikian
manusia diberikan tanggungjawab oleh sang Pencipta untuk mengurus, memelihara,
dan mengolah ciptaan Allah di bumi. Tanggungjawab ini sungguh istimewa karena
manusia sebagai imago dei hanya dapat mencerminkan ciri ilahi dalam dirinya ketika ia
dengan setia melaksanakan panggilannya untuk berdamai dan menjaga bumi.
Kenyataan kehidupan modern membuktikan bahwa manusia belum sanggup
melaksanakan tugas dan panggilannya sesuai dengan yang tertera dalam kitab Kejadian
1: 28. Ada banyak tindakan eksploitasi bumi yang dilakukan oleh manusia demi
memuaskan kepentingannya sendiri dan merugikan ciptaan non-human. Berbagai jenis
A. Sunarko, OFM dan A. Eddy Kristiyanto, OFM, Bumi Menyembah Hyang Ilahi (Yogyakarta: Kanisius,
2008), 33.
4 Sunarko dan Kristiyanto, 33.
5 Sunarko dan Kristiyanto, 33.
3
106
Waskita , Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
kerusakan lingkungan hidup seperti kerusakan hutan, kerusakan lapisan tanah,
kerusakan biota laut, kerusakan lapisan ozon bukanlah hal yang asing dimata dan
telinga manusia modern. Berbagai jenis polusi seperti polusi air, tanah, suara dan udara
yang berdampak pada kepunahan bermacam-macam sumber daya alam adalah
kenyataan yang harus dihadapi manusia di zaman modern hari lepas hari. Berbagai
jenis kerusakan lingkungan ini terjadi tidak hanya di aras global tetapi juga terasa di
aras lokal. Di aras lokal, semakin banyak daerah pedesaan yang dikonversi menjadi
semi kota atau kota agar dapat memenuhi kebutuhan manusia tanpa mempedulikan
dampak negatifnya bagi keseimbangan ekologi. Salah satu contoh dari perubahan fungsi
lahan desa menjadi semi kota adalah desa Tambakrejo di kecamatan Ambarawa,
kabupaten Semarang. Lahan pertanian yang awalnya ditanami sawah di Tambakrejo
dalam kurun waktu 5 tahun terakhir secara bertahap telah berubah menjadi lokasi
perumahan, bisnis, penyedia fasilitas umum, dll. Tambakrejo yang awalnya dikenal
sebagai
daerah
ketahanan
pangan
secara
perlahan-lahan
kehilangan
fungsi
pertaniannya dan mengalami peralihan fungsi menjadi kota. Perubahan fungsi lahan
dari desa ke semi kota ini terjadi sebagai dampak dari proses rurbanisasi.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menemukan dan memahami sumbangan
teologi moral dalam kehidupan gereja-gereja di area rurbanisasi Tambakrejo. Di dalam
tulisan ini, pertama-tama akan dijelaskan keunikan dari area rurbanisasi yang harusnya
menjadi fokus pelayanan gereja dalam usahanya mengatasi krisis ekologi serta
permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi oleh warga masyarakat yang hidup di
area rurbanisasi Tambakrejo. Setelah kenyataan krisis ekologi di area rurbanisasi
Tambakrejo dideskripsikan maka akan dijelaskan bagaimana konsep teologi moral dari
Bernhard Haring, yang adalah tokoh teologi moral besar abad ini, dapat dimanfaatkan
oleh gereja untuk menghubungkan antara teologi dan ekologi. Di akhir dari tulisan ini
akan dikemukakan kesimpulan penelitian dan peran gereja untuk meningkatkan karya
pelayanannya dalam hubungan dengan krisis ekologi. Penelitian yang dilaksanakan di
area rurbanisasi Tambakrejo ini memanfaatkan beberapa metode pengumpulan data,
yaitu wawancara mendalam dan observasi langsung. Kedua metode ini memampukan
peneliti untuk memahami situasi krisis ekologi yang terjadi di area Tambakrejo sebagai
dampak dari perubahan lahan desa menjadi semi kota. Selain kedua metode di atas,
107
Irene Ludji, “Teologi Moral…”
peneliti juga melakukan studi pustaka terkhususnya dalam mendeskripsikan
sumbangan teologi moral dalam mengatasi krisis ekologi.
Krisis Ekologi Di Area Rurbanisasi Tambakrejo
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dimanfaatkan dalam pembangunan kota memiliki sumbangan positif dan negatif
bagi ekosistem. Perkembangan kota adalah salah satu sumber pertumbuhan ekonomi
suatu bangsa. Di samping dampak positif seperti ini ada dampak negatif yang umumnya
terkait dengan eksploitasi lahan untuk kepentingan manusia tanpa memperhatikan
keseimbangan ekosistem. Alain Garnier, ahli tata kota, menyatakan bahwa proses
perubahan lahan dari pedesaan menjadi semi kota dan kota dapat dikategorikan
menjadi tiga (3) kelompok yaitu sub urbanisasi, peri urbanisasi, dan rurbanisasi. 6 Sub
urbanisasi adalah “proses subtitusi daerah pinggiran oleh pusat perkotaan dalam
proses pemekaran kota.”7 Dalam proses sub urbanisasi terjadi perpanjangan fungsi kota
ke daerah pinggiran di sekitar kota tersebut. Peri urbanisasi adalah “perkembangan
kegiatan perkotaan yang tumbuh karena infiltrasi penduduk kota ke daerah pedesaan
yang jauh dari kota yang ada.”8 Dalam proses peri urbanisasi sebuah daerah pedesaan
berubah menjadi kota sendiri yang terpisah dari kota lain yang berkembang
disekitarnya. Rurbanisasi adalah “proses berubahnya masyarakat desa di daerah
pedalaman karena surplus agraris atau perkembangan potensi lokal yang menciptakan
perubahan masyarakat pedesaan seperti kegiatan perdagangan dan kerajinan
pedesaan.”9 Tambakrejo dikategorikan sebagai area rurbanisasi karena daerah ini
memiliki potensi agraris dan juga potensi lokal yang berdampak pada perubahan
masyarakatnya yang menjadi semakin homogen. Mayoritas penduduk daerah
Tambakrejo yang awalnya bekerja sebagai petani, nelayan dan pengrajin kini beralih
kepada jenis pekerjaan lain seperti buruh pabrik dan industri.
Kegiatan pertanian di Tambakrejo umumnya dilaksanakan di lahan pertanian
milik pribadi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka yang bekerja sebagai
petani juga bekerja sebagai nelayan dan pengrajin. Proses mencari ikan dilakukan di
Sugiono Soetomo, Urbanisasi dan Morfologi: Menuju Ruang yang Manusiawi (Yogyakarta: Graha
Ilmu), 57-58.
7 Soetomo, Urbanisasi dan Morfologi, 58.
8 Soetomo, Urbanisasi dan Morfologi, 58.
9 Soetomo, Urbanisasi dan Morfologi, 58.
6
108
Waskita , Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Rawa Pening dengan berbagai metode, umumnya dengan kerambah. Kerajinan lokal
yang dibuat berbahan dasar enceng gondok yang tumbuh di Rawa Pening.
Fungsi daerah Tambakrejo sebagai area rurbanisasi mengalami perubahan
menjadi area peri urban sebagai akibat dari pembangunan yang dilaksanakan oleh
pemerintah maupun pihak swasta di daerah ini. Pada tahun 2005 pemerintah
membangun jalan lingkar Utara yang membelah areal pertanian milik mayoritas petani
di Tambakrejo. Dampak dari keputusan pemerintah ini bermacam-macam, salah
satunya adalah warga petani yang lahannya dilewati oleh jalan lingkar Utara harus
menjual sawahnya kepada pemerintah dengan janji bahwa mereka akan diberi hak
untuk membangun usaha bisnis di sekitar jalan tersebut. Pada kenyanyaannya, janji dari
pemerintah kepada para petani yang terlanjur menjual lahan sawahnya ini tidak
ditepati.10 Setelah pembangunan jalan lingkar Utara selesai dilaksanakan, pemerintah
mengumumkan bahwa areal di sekitar jalan lingkar tidak boleh dimanfaatkan sebagai
area perdagangan karena dapat mempengaruhi fungsi jalan dan kenyamanan
berkendara.11 Pada tahun 2013, di jalan lingkar Utara tersebut dibangun sebuah tempat
wisata bernama Kampung Apung - Kampung Rawa milik Koperasi simpan pinjam Mitra
Dana. Tempat wisata ini dibangun tanpa ijin usaha tetapi usaha bisnisnya dapat
berlangsung karena dukungan dari pihak-pihak yang memiliki kuasa di kecamatan
Ambarawa.12 Pembangunan jalan lingkar Utara dan tempat wisata kampung Apung –
Kampung Rawa di sekitar wilayah Tambakrejo melahirkan kekecewaan yang mendalam
dalam diri warga oleh karena beberapa alasan. Yang pertama, pembangunan jalan
lingkar
Utara
yang
membelah
lahan
persawahan
warga
berdampak
pada
ketidakseimbangan ekosistem di sawah warga. Akibatnya lahan sawah warga yang ada
disekitar jalan lingkar yang sebelumnya dapat dipanen dua (2) kali setahun tidak lagi
produktif dan hanya dapat menghasilkan panen satu (1) kali dalam satu (1) tahun.
Berkurangnya jumlah panen ini sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi dan
pendapatan warga Tambakrejo.
Selain perubahan fungsi lahan, warga Tambakrejo juga menghadapi model lain
dari krisis lingkungan hidup sebagai dampak dari menurunnya fungsi Rawa Pening
Hasil wawancara dengan Bapak Sadyo pada hari Sabtu, 8 Maret 2014.
Hasil wawancara dengan Ibu Nirah pada hari Sabtu, 8 Maret 2014.
12 Hasil wawancara dengan Ibu Nirah pada hari Sabtu, 8 Maret 2014.
10
11
109
Irene Ludji, “Teologi Moral…”
yang adalah sumber pendapatan warga yang bekerja sebagai nelayan. Rawa Pening
yang memiliki luas sebesar 2.670 ha dikelilingi oleh lahan persawahan dan beberapa
area wisata. Tidak heran jika Rawa Pening menjadi sumber penghasilan warga yang
tinggal disekitarnya, termasuk warga Tambakrejo, yang bekerja sebagai nelayan
maupun pengrajin enceng gondok. Keberadaan lahan sawah di sekitar Rawa Pening
bukan hanya memberi keuntungan kepada warga yang memiliki sawah karena pasokan
air yang cukup dari Rawa Pening tetapi juga membawa kesulitan terutama bagi mereka
yang sawahnya terletak tepat di pinggir Rawa Pening.
Berdasarkan hasil wawancara, para petani dengan lahan sawah yang dekat (2-3
petak) disekitar rawa pening pada saat ini hanya dapat memanen padinya sebanyak
satu (1) kali setahun.13 Lahan sawah yang seharusnya menjadi sumber penopang
ekonomi pemiliknya melalui panen 2-3 kali dalam satu tahun kini tidak produktif lagi.
Para petani hanya dapat melakukan satu (1) kali panen karena hampir sepanjang tahun
sawah mereka tergenangi oleh air dari Rawa Pening sehingga tidak dapat ditanami.
Menurut pengakuan salah seorang petani, dulu ketika ia masih dalam usia anak-anak,14
orang tuanya dapat memanen sawah mereka sebanyak tiga (3) kali dalam satu tahun
tanpa mengalami masalah kelebihan volume air dari Rawa Pening. Naiknya volume air
Rawa Pening yang berdampak pada gagalnya panen petani disebabkan oleh beberapa
hal yang terkait erat dengan perubahan fungsi lahan di sekitar Rawa Pening dari desa ke
kota. Yang pertama, pendangkalan Rawa Pening. Rawa Pening dikelilingi oleh tiga
kecamatan yaitu Ambarawa, Tuntang dan Banyubiru.15 Ada 19 sungai yang bermuara di
Rawa Pening.16 Keberadaan 19 sungai yang bermuara di Rawa Pening menjanjikan
potensi dan malapetaka bagi Rawa Pening. Potensi yang dimiliki jelas yaitu kualitas dan
kemampuan untuk menjadi tempat wisata, misalnya bukit Cinta dan Kampung ApungKampung Rawa; perikanan dan pertanian. Seiring dengan perkembangan masyarakat
maka ke-19 sungai yang bermuara di Rawa Pening mengalami penurunan kualitas air.
Menurut hasil wawancara dengan salah seorang nelayan yang tinggal di pinggiran
Hasil wawancara dengan ibu Sri Utami pada hari Sabtu, 15 Maret 2014.
Usianya 42 tahun saat ini.
15 Hasil wawancara dengan Ibu Ramiyati pada hari Sabtu, 15 Maret 2014.
16 Disertasi Dr. Sutarwi UKSW “Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air Danau dan Peran
Kelembagaan Informal: Menggugat Peran Negara atas Hilangnya Nilai Ngepen dan Wening dalam
Pengelolaan Danau Rawapening di Jawa Tengah" yang dimuat di dalam Harian Kompas 12 September
2008.
http://regional.kompas.com/read/2008/09/12/14380830/Waduk.Rawapening.Butuh.Otorita.Khusus
13
14
110
Waskita , Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
sungai Sebang (salah satu sungai yang melintasi daerah Tambakrejo dan bermuara di
Rawa Pening), sungai yang dulu bersih sekarang sudah menjadi tempat bagi warga
untuk membuang sampah rumah tangga dan menjadi tempat bagi pabrik tertentu untuk
membuang limbahnya bila musim penghujan tiba.17 Dampak dari sungai yang berisi
sampah serta material lain yang berbahaya bahkan beracun adalah masuknya sampah
dan air berlimbah ke dalam Rawa Pening. Sampah dan material lain yang masuk ke
Rawa Pening terus menerus menyebabkan pendangkalan dasar Rawa Pening dan
naiknya volume air Rawa Pening yang menenggelamkan lahan sawah dipinggir Rawa.
Yang kedua, tingginya jumlah eceng gondok. Jumlah eceng gondok yang
bertumbuh secara tidak terkendali di Rawa Pening menjadi sumber ancaman bagi
kehidupan warga yang menggantungkan kehidupannya pada Rawa Pening.18 Sutarwi,
seorang pemerhati Rawa Pening dan pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Kristen
Satya Wacana, menyatakan bahwa “Rawapening sudah tidak lagi mampu memenuhi
indikator pembangunan berkelanjutan, baik dari sisi ekonomi, ekologi, sosial, maupun
institusional.”19 “Dari sisi ekologi, kapasitas waduk ini menurun dari 65 juta meter
kubik tahun 1976 menjadi tinggal 49,9 juta meter kubik tahun 2004.” 20 Penyebab dari
penurunan kapasitas Rawa Pening adalah meningkatnya sedimentasi dan terus
bertambahnya jumlah eceng gondok. “Sedimentasi tahun 1993 masih berkisar 133,7
meter kubik, naik menjadi 149,2 meter kubik per tahun. Tutupan eceng gondok naik
dari 460 hektar menjadi 613 hektar pada tahun 2004.”21 Walaupun eceng gondok telah
dimanfaatkan oleh warga yang tinggal di sekitar Rawa Pening, termasuk warga
Tambakrejo, sebagai bahan dasar berbagai jenis kerajinan dan pupuk tanaman,
jumlahnya terus meningkat karena kualitas air Rawa Pening yang tidak sehat adalah
rumah terbaik bagi pertumbahan eceng gondok. Menurut hasil wawancara, jumlah
eceng gondok yang semakin hari semakin menutupi permukaan Rawa Pening juga
berpengaruh besar kepada para petani karena eceng gondok menjadi tempat
persembunyian tikus yang menyerang tanaman padi milik warga.22 Tikus adalah
ancaman besar bagi gagal panen para petani. Berbagai usaha yang telah ditempuh oleh
Hasil wawancara dengan Bapak Joko Subagyo pada hari Sabtu, 15 Maret 2014.
Disertasi Dr. Sutarwi.
19 Disertasi Dr. Sutarwi.
20 Disertasi Dr. Sutarwi.
21 Disertasi Dr. Sutarwi.
22 Hasil wawancara dengan Bapak Rusianto pada hari Sabtu, 15 Maret 2014.
17
18
111
Irene Ludji, “Teologi Moral…”
petani tidak cukup berhasil karena tikus yang pada awalnya bersembunyi di lubang
tanah di sekitar sawah telah membangun tempat tinggal baru di bawah tanaman eceng
gondok yang tumbuh subur di Rawa Pening. Pestisida dan material lain yang adalah
limbah rumah tangga dan pabrik mencemari sungai yang bermuara ke Rawa Pening dan
berakibat pada suburnya tumbuhan eceng gondok. Jelas bahwa ledakan enceng gondok
di Rawa Pening adalah bukti krisis ekologi yang terjadi akibat perkembangan
masyarakat desa kepada masyarakat semi-kota dan kota.
Yang ketiga, menurunnya jumlah tangkapan ikan. Eksploitasi manusia atas alam
demi memenuhi kepentingannya tidak berhenti pada pencemaran air sungai dan
pendangkalan Rawa Pening yang pada akhirnya berdampak pula pada kegagalan usaha
ekonominya. Warga yang tinggal di area rurbanisasi Tambakrejo dan bekerja sebagai
nelayan dengan membangun karamba apung di Rawa Pening juga mengalami
permasalahan dengan jumlah tangkapan ikan yang semakin menurun di Rawa Pening.
Ada dua alasan yang dikemukakan oleh warga sebagai penyebab dibalik menurunnya
jumlah tangkapan ikan. Pertama, jumlah tanaman eceng gondok yang tidak terkendali
menutupi areal penangkapan ikan sehingga menyulitkan para nelayan dalam
menangkap ikan.23 Kedua, para nelayan menangkap ikan sepanjang tahun di Rawa
Pening akibatnya tidak ada masa istirahat bagi ikan untuk bertumbuh menjadi besar
sebelum di tangkap.24 Dampaknya adalah jumlah dan kualitas tangkapan menurun.
Berbagai jenis krisis ekologi yang dihadapi oleh warga di area rurbanisasi
Tambakrejo yang bekerja sebagai petani, nelayan dan pengrajin sebagaimana
dipaparkan di atas adalah dampak langsung dan tidak langsung dari ketidakmampuan
manusia modern dalam memandang lingkungan hidup sebagai bagian dari dirinya.
Dengan kata lain, tanpa lingkungan hidup yang sehat, manusia tidak akan dapat
mempertahankan hidup yang sehat pula. Sebagaimana sudah disebutkan di bagian awal
tulisan ini, manusia dan alam adalah satu kesatuan Ciptaan Allah yang harus hidup
dalam harmoni. Kesejahteraan alam akan mendatangkan kesejahteraan manusia
demikian pula sebaliknya. Pembangunan pemahaman dan penguatan kesadaran akan
pentingnya ciptaan Allah yang non-human di bumi dapat tercapai melalui berbagai cara,
23
24
112
Hasil wawancara dengan Bapak Supiarno pada hari Sabtu, 22 Maret 2014.
Hasil wawancara dengan Bapak Sugiardi pada hari Sabtu, 22 Maret 2014.
Waskita , Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
salah satunya adalah melalui pemahaman atas ajaran agama (baca Kristen Protestan)
yang menekankan pada hubungan akrab antara manusia dan ciptaanNya yang lain.
Teologi Moral dan Krisis Ekologi
Teologi moral berhubungan dengan tindakan yang baik atau buruk yang
didasarkan pada prinsip-prinsip ajaran agama tertentu. Di dalam teologi moral ada
beberapa pertanyaan yang hendak dijawab yaitu bagaimana manusia mencapai tujuan
hidup yang tertinggi lewat tindakan yang baik, benar dan tepat; apa saja aturan-aturan
prinsipil yang harus ditaati oleh manusia dan mengapa ia harus ditaati; dan bagaimana
aturan-aturan prinsipil tersebut dijelaskan dengan rasio.25 Tokoh Teologi Moral yang
pertama kali menghubungkan antara konsep teologi moral dan ekologi adalah Bernhard
Haring dalam bukunya Free and Faithful in Christ yang diterbitkan pada tahun 1977.26
Pada saat itu, usaha Haring untuk menghubungkan antara Moral dan Ekologi dianggap
tidak logis karena satu-satunya makhluk hidup yang dianggap memiliki kemampuan
untuk mengambil keputusan moral adalah manusia.27 Tulisan Haring sendiri adalah
tanggapan terhadap tuduhan beberapa tokoh sealiran Lynn White yang menyatakan
bahwa akar krisis ekologi ada dalam Alkitab khususnya dalam Kitab Kejadian.28 Lynn
White dalam buku The Historical Roots of Our Ecological Crisis, menyatakan bahwa
“krisis lingkungan hidup disebabkan oleh ajaran Alkitab Ibrani tentang penciptaan.”29 Di
dalam kisah penciptaan ada pemisahan yang pasti antara Allah yang adalah Pencipta
dengan CiptaanNya. Pemisahan antara Allah yang transenden dan bumi/dunia yang
bukan bagian dari Allah mengakibatkan hilangnya penghargaan kepada alam sebagai
yang memiliki pesona Ilahi.30 Akibatnya adalah sikap eksploitasi kepada alam secara
berlebihan karena alam dipandang tidak memiliki dimensi keIlahian.
Mateus Mali, seorang teolog Katolik Indonesia yang berkecimpung dalam Teologi
Moral dan meneliti ide-ide Bernhard Haring, menegaskan bahwa “Teologi moral akan
menolong umat beriman untuk melihat iman Kristiani secara jernih dan menafsirkan
J. Sudarminta, Etika Umum: Kajian Tentang beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif
(Jakarta: STF Driyarkara), 9.
26 Sunarko dan Kristiyanto, 140.
27 Sunarko dan Kristiyanto, 140.
28 Sunarko dan Kristiyanto, 141.
29 J. Sudarminta dan S. P. Lili Tjahjadi, Dunia, Manusia, dan Tunan” Antologi Pencerahan Filsafat dan
Teologi (Yogyakarta: Kanisius), 29.
30 Sudarminta dan Tjahjadi, 30.
25
113
Irene Ludji, “Teologi Moral…”
teks Kitab Suci secara benar.”31 Teologi moral memampukan umat Kristen untuk
melihat sinergi antara kehidupan ciptaan di bumi dalam kaitannya dengan Firman Allah
yang ditemukan dalam Alkitab. Menurut Mali, semangat antroposentris yang
memandang manusia sebagai pusat dari ciptaan Allah dapat dihapus dengan
pendekatan teologi moral.32 Bagaimana teologi moral melakukan hal ini? Teologi moral
menyakini bahwa moralitas bukan hanya menyangkut manusia tetapi menyangkut
keberadaan seluruh ciptaan. Haring dalam bukunya Free and Faithful in Christ menulis
bahwa hanya dengan mengikutsertakan seluruh jenis kehidupan dalam mengambil
pertimbangan moral maka manusia dapat memperdalam pemahaman moralnya dan
mengambil keputusan yang etis.33 Pernyataan Haring ini mengandung makna bahwa
tanpa penerimaan dan pemahaman yang utuh atas hak moral seluruh Ciptaan Allah
maka manusia tidak akan mampu mengambil keputusan etis. Mali, membenarkan
pendapat Haring, dengan menyatakan bahwa:
Penganugerahan martabat insani kepada manusia pada saat penciptaan
adalah sebetulnya penyerahan tanggungjawab kepada manusia untuk
mengatur dunia ini agar berjalan dengan baik. Tangugngjawab
mengandung arti bahwa manusia mengelola alam semesta ini karena
alam semesta ini mempunyai nilainya sendiri yang ada di dalam dirinya
yang harus dihormati oleh manusia.34
Mengakui bahwa ciptaan Allah yang non-human memiliki nilainya sendiri,
berarti bersedia untuk memandangnya sebagai subjek yang berdiri sendiri. Mali
menegaskan bahwa alam semesta memiliki “inherent value (nilai bawaan) dan intrinsic
value (nilai hakiki)” yang membuat ia wajib dihormati sebagaimana manusia
dihormati35. Sikap antroposentris menguat ketika manusia hanya mau memandang
lingkungan hidup sebagai objek untuk memenuhi kepentingannya tanpa mengakui
inherent
value
dan
intrinsic
value
yang
dimiliki
oleh
lingkungan
hidup.
Antroposentrisme hanya dapat dipatahkan ketika manusia memilih untuk melihat
ciptaan Allah yang lain sebagai yang juga memiliki nilai etis di dalam dirinya.
Sunarko dan Kristiyanto, 142.
Sunarko dan Kristiyanto, 142.
33
Bernhard
Haring,
Free
and
Faithfull
in
Christ,
diunduh
http://web.archive.org/web/20050513192112/http://216.25.45.103/book/Series01/I12/chapter_xvi.htm pada hari Sabtu, 22 Maret 2014.
34 Sunarko dan Kristiyanto, 143.
35 Sunarko dan Kristiyanto,143.
31
32
114
dari
Waskita , Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Keunikan Haring dalam teori mengenai teologi moral yang ia kembangkan ada
pada kesetiannya pada iman Kristen. Haring tidak menyalahkan bagian Alkitab yang
telah ditafsirkan untuk mengutamakan posisi manusia dibandingkan ciptaan yang lain.
Sebaliknya Ia mengusulkan cara baru untuk menafsir bagian Alkitab tersebut agar
menjadi benar, dalam pengertian tidak mengorbankan ciptaan non-human. Cara baru
yang ia usulkan adalah agar penafsir Alkitab, yaitu umat Kristen, membaca Kitab
Sucinya dengan pemahaman teologi moral. Keunikan teologi moral milik umat Kristen
menurut Haring ada dalam pribadi Yesus Kristus yang merupakan “a genius in the field
of ethics, a mere pioneer of a new code of moral principle, and also the prototype of the
good.”36 Di dalam Yesus, umat Kristen menemukan alasan untuk mengasihi tidak hanya
sesamanya manusia tetapi seluruh alam semesta. Oleh karena itu teologi moral adalah
bagian penting dari etika Kristen, yang bercirikan kasih kepada seluruh ciptaan Allah.
Telogi moral adalah respon manusia kepada janji keselamatan yang diberikan Allah
melalui Yesus Kristus.37
Implikasi yang dapat muncul dari penerimaan atas hak moral seluruh ciptaan
adalah kebingungan atas hak moral siapakah yang utama. Sebagai contoh, seorang
bapak bernama A memiliki sebatang pohon beringin besar dibelakang rumahnya. Akar
pohon beringin ini besar dan jika dibiarkan akan merusak dasar bangunan dari rumah
bapak A. Haruskah pohon beringin tersebut ditebang untuk melindungi hak hidup dan
rumah bapak A? Atau haruskah rumah bapak A dipindahkan untuk melindungi hak
hidup pohon beringin? Dalam situasi ini terjadi konflik hak moral, hak siapakah yang
lebih utama? Haring, menyebutkan bahwa dalam konflik hak moral maka nilai yang
lebih tinggi yang harus dibenarkan.38 Apa standar untuk mengukur nilai? James Nash,
seorang tokoh Etika yang mendasarkan pemikiran-pemikiran etikanya pada ide-ide
Haring, menyatakan bahwa “Sesuatu dikatakan benar apabila dia cenderung
memelihara keutuhan, kestabilan, dan keindahan komunitas biotis. Sesuatu dikatakan
Bernhard
Haring,
Free
and
Faithfull
in
Christ,
diunduh
dari
http://web.archive.org/web/20050513192112/http://216.25.45.103/book/Series01/I12/chapter_xvi.htm pada hari Sabtu, 22 Maret 2014.
37 Ann Agnew, Bernhar Haring on The Role of The Catholic Moral Theologian, diunduh dari
http://www.shc.edu/theolibrary/resources/haring.htm pada hari Sabtu, 22 Maret 2014.
38
Bernhard
Haring,
Free
and
Faithfull
in
Christ,
diunduh
dari
http://web.archive.org/web/20050513192112/http://216.25.45.103/book/Series01/I12/chapter_xvi.htm pada hari Sabtu, 22 Maret 2014.
36
115
Irene Ludji, “Teologi Moral…”
salah apabila cenderung ke arah yang sebaliknya.”39 Nash menyatakan bahwa dalam
konflik hak moral, terjadi import moral.40 Impor moral terjadi ketika manusia yang
mengambil keputusan mengikutsertakan hak moral ciptaan yang lain (hak moral pohon
beringin dalam kasus bapak A) dalam mengambil keputusan etis.
Mengasihi Lingkungan Hidup = Mengasihi Allah
Teologi moral milik Haring, menyajikan alternatif pemikiran yang dapat berguna
bagi permasalahan krisis ekologi terkhususnya yang terjadi di area rurbanisasi
Tambakrejo. Mayoritas warga Tambakrejo beragama Kristen dan adalah anggota gereja
tetap. Beberapa gereja yang ada di daerah tambakrejo yaitu Gereja Protestan di
Indonesia bagian Barat (GPIB), Gereja Isa Almasih (GIA), dan Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP). Berdasarkan hasil wawancara terhadap warga masyarakat di
Tambakrejo yang beragama Kristen, maka nampak jelas bahwa gereja belum
memainkan peran yang maksimal dalam menolong warganya untuk memahami
hubungan antara teologi dan krisis ekologi yang sementara mereka hadapi.41 Data yang
diperoleh menunjukan bahwa mayoritas warga Tambakrejo menyadari kerusakan
lingkungan yang terus menerus meningkat di wilayah tempat tinggalnya, akan tetapi
mereka belum melihat usaha maksimal dari gereja dalam menolong mereka
menghubungkan iman Kristen dengan krisis ekologi yang terjadi. Sikap gereja yang
belum maksimal dalam memanfaatkan teologinya untuk menyikapi krisis ekologi dan
mempersiapkan warganya untuk mengurangi tingkat krisis ekologi juga tercermin dari
ketidakmampuan mayoritas warga jemaat untuk menghubungkan antara teologi dan
ekologi.
Belum maksimalnya peran gereja di area rurbanisasi Tambakrejo adalah cermin
dari belum maksimalnya peran gereja di Indonesia dalam menghadapi krisis ekologi.
Hingga saat ini, usaha gereja dalam menghadapi krisis ekologi masih terbatas di aras
lokal saja dan belum menjadi gerakan bersama oleh gereja-gereja di Indonesia. Teologi
moral memungkinkan gereja untuk tetap setia dalam imannya kepada Yesus Kristus
yang diberitakan dalam Alkitab sambil terus mengembangkan teologinya agar mampu
Larry, Rasmussen, Komunitas Bumi: Etika Bumi (Merawat Bumi demi Kehidupan yang Berkelanjutan
bagi Segenap Ciptaan), (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 171.
40 Rasmussen, 182.
41 Hasil wawancara dengan Bapak Joko Subagyo pada hari Sabtu, 22 Maret 2014.
39
116
Waskita , Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
menjawab kebutuhan gereja masa kini, dengan perkembangan teknologi dan ekonomi
yang pesat diberbagai tempat, khususnya perubahan lahan-lahan desa menjadi kota dan
semi kota.
Gereja-gereja di Indonesia harus menyampaikan suara kenabiannya dengan
menyatakan bahwa sikap mengasihi Allah tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengasihi
lingkungan hidup. Lingkungan hidup bukanlah objek yang diberikan kepada manusia
untuk dimanfaatkan sesuai dengan kepentingannya semata. Ciptaan Allah yang nonhuman sama berharganya dengan manusia di hadapan Allah. Ketika manusia hanya mau
mengekploitasi lingkungan hidup tanpa sikap hormat terhadap intrinsic value and
inhenrent value yang dimilikinya maka manusia, termasuk di dalamnya umat Kristen
akan terus bergumul dalam sikap antroposentrisme yang tidak sesuai dengan
kebenaran yang disampaikan dalam Alkitab. Pergumulan umat Kristen yang hidup di
area rurbanisasi adalah pergumulan yang unik karena mayoritas warga di daerah
seperti ini mengalami sendiri perubahan fungsi lahan dari desa ke kota yang memberi
sumbangan besar dalam krisis ekologi. Gereja perlu memfokuskan diri pada
pergumulan umat Kristen yang hidup di area rurbanisasi karena mereka adalah korban
terdekat dari krisis ekologi dan karena itu mereka memiliki potensi yang untuk
mengatasinya.
Daftar Pustaka
Bintarto, R. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Ghalia Indonesia: Jakarta Timur,
1989.
Deane-Drummond, Celia. Teologi dan Ekologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2001.
Keraf, Sonny, A. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius,
2010.
Nugroho, Iwan. Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan.
LP3ES: Jakarta, 2012.
Pasang, Haskarlianus. Mengasihi Lingkungan. Jakarta: Perkantas, 2011.
Rogers, Karel. Thinking Green: Ethics for A Small Planet. USA: CPSIA, 2010.
Sunarko, A & Kristiyanto Eddy, A, Editor. Bumi Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan
Teologis Atas Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Sudarminta, J. Etika Umum: Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika
Normatif. Jakarta: STF Driyarkara, 2010.
117
Irene Ludji, “Teologi Moral…”
Soetomo, Sugiono. Urbanisasi dan Morfologi: Menuju Ruang yang Manusiawi Edisi 2.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Tucker, Evelyn, Mary & Grim A. John, Editor. Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup.
Yogyakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Website:
http://regional.kompas.com/read/2008/09/12/14380830/Waduk.Rawapening.Butuh.
Otorita.Khusus
http://web.archive.org/web/20050513192112/http://216.25.45.103/book/Series01/
I-12/chapter_xvi.htm
http://www.shc.edu/theolibrary/resources/haring.htm
http://www.uksw.edu/id.php/info/detail/type/fokus/stamp/1221123204/title
118
Download