Aktivitas Gempabumi Tektonik di Yogyakarta Menjelang Erupsi Merapi 2010 Daryono, S.Si.,M.Si. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) E-mail: [email protected] Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara peningkatan aktivitas gempabumi tektonik di DaerahYogyakarta dengan erupsi Merapi 2010. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah parameter gempabumi di Dareah Yogyakarta dan sekitarnya selama periode Januari sampai November 2010 hasil pemantauan jejaring gempabumi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sembilan bulan sebelum letusan Gunung Merapi 2010 terjadi peningkatan aktivitas seismik yang sangat signifikan di Daerah Yogyakarta. Ada sekitar 23 kejadian gempabumi terjadi di zona sesar aktif yang berarah Baratdaya-Timurlaut di sebelah timur Graben Bantul, lima di antaranya merupakan gempabumi dirasakan (felt earthquake) hingga menimbulkan kerusakan ringan. Aktivitas kegempaan regional yang sangat aktif ini serta kondisi tektonik yang aktif dan kompleks menjadikan Merapi sebagai salah satu gunungapi paling aktif di dunia. Kata kunci: Gempabumi tektonik, Yogyakarta, erupsi Merapi 1. Pendahuluan Daerah Yogyakarta merupakan bagian dari jalur gempabumi yang terbentang dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali hingga Nusa Tenggara. Sebagai wilayah yang terletak di jalur gempabumi, kondisi fisiografi Daerah Yogyakarta sangat dipengaruni oleh aktivitas tumbukan lempeng IndoAustralia dengan lempeng Eurasia. Kondisi ini menjadikan Daerah Yogyakarta sebagai salah satu kawasan dengan tingkat aktivitas seismik yang tinggi di Indonesia. Jika kegiatan gunungapi merupakan rangkaian kegiatan tektonik, maka tingginya aktivitas Merapi tidak lepas dari tingginya aktivitas seismik dan kondisi tektonik regional. Hingga tahun 2010 Merapi diperkirakan sudah mengalami erupsi besar yang tercatat sebanyak 84 kali. Rata-rata selang waktu erupsi periode pendek terjadi antara 2 hingga 5 tahun, sedangkan selang waktu erupsi periode menengah terjadi setiap 5 hingga 7 tahun. Namun demikian, Merapi juga pernah mengalami masa istirahat panjang selama lebih dari 30 tahun terutama pada masa awal pembentukannya. Berdasarkan catatan sejarah kegempaan, Daerah Yogyakarta sering mengalami gempabumi merusak. Dari seluruh gempabumi ini, seluruhnya memiliki episentrum yang relatif dekat dengan Merapi. Jika menilik waktu terjadinya gempabumi, diantaranya bersamaan dengan saat erupsi Merapi. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara peningkatan aktivitas gempabumi di Daerah Yogyakarta dengan aktivitas Merapi. 2. Tataan tektonik Daerah Yogyakarta berdekatan dengan zona subduksi lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia (Hamilton, 1979). Pergerakan lempeng ini menimbulkan terbentuknya unsur-unsur tektonik yang merupakan ciri-ciri sistem subduksi, seperti Zona Benioff, palung laut, sebaran sesar aktif dan gunungapi (Gambar 1) (Wagner et al., 2007). Selain rawan gempabumi akibat aktivitas tumbukan lempeng, Daerah Yogyakarta rawan gempabumi akibat aktivitas beberapa sesar lokal di daratan (Daryono, 2009). Struktur sesar terbentuk sebagai dampak desakan lempeng Indo-Australia pada bagian daratan Pulau Jawa. Beberapa sistem sesar yang diduga masih aktif adalah Sesar Opak, Sesar Oya, Sesar Dengkeng, Sesar Progo, serta sesar mikro lainnya yang belum teridentifikasi. Aktifnya dinamika penyusupan lempeng yang didukung oleh Page 1 of 8 aktivitas sesar di daratan menyebabkan Daerah Yogyakarta menjadi salah satu daerah dengan tingkat aktivitas kegempaan yang tinggi di Indonesia. Gambar 1. Penampang lintang seting tektonik zona subduksi Jawa (Wagner et al., 2007) 3. Aktivitas Kegempaan (Seismisitas) Untuk mengungkap tingginya aktivitas gempabumi di Daerah Yogyakarta, perlu kajian aspek seismisitasnya (Gambar 2). Aktivitas seismisitas Daerah Yogyakarta tampak didominasi oleh gempabumi dangkal (kedalaman kurang dari 60 kilometer) dan gempabumi menengah (kedalaman antara 60 - 300 kilometer). Gempabumi kategori ini disebabkan oleh aktivitas subduksi dangkal dan menengah serta aktivitas sesar di daratan Pulau Jawa. Aktivitas gempabumi dangkal jika magnitudonya besar (M>6.0) dinilai berbahaya dan dapat menimbulkan kerusakan. Sebaran gempabumi dengan kedalaman menengah tampak terkonsentrasi di Samudera Indonesia dan daerah pesisir selatan Yogyakarta. Sebaran gempabumi kedalaman menengah ini dinilai kurang berbahaya, karena hiposenternya yang relatif dalam dan pengaruhnya terhadap permukaan tidak terlalu signifikan. Gempabumi dalam dengan kedalaman di atas 300 kilometer dinilai tidak membahayakan mengingat aktivitasnya yang sangat dalam (Daryono et al., 2009). Berdasarkan kondisi seismisitas tersebut di atas, tampak bahwa zona selatan Pulau Jawa memang memiliki tingkat aktivitas kegempaan yang cukup tinggi (Husein et al, 2008). Gambar 2. Peta seismisitas Pulau Jawa (Sumber: http://www.usgs.gov) Page 2 of 8 4. Sejarah gempabumi Berdasarkan catatan sejarah kegempaan Jawa antara tahun 1840 hingga 2010, Daerah Yogyakarta mengalami gempabumi merusak lebih dari 13 kali (Gambar 3). Gempabumi yang pertamakali tercatat adalah Gempabumi Purworejo (1840). Menurut Newcomb & McCann (1987) gempabumi ini terjadi pada tanggal 4 Januari 1840. Daerah yang mengalami kerusakan meliputi Kebumen, Purworejo, Bantul, Salatiga, Demak, Semarang, Kendal, dan Banjarnegara. Selanjutnya adalah gempabumi besar pada tanggal 10 Juni 1867 menyebabkan 372 rumah roboh dan 5 orang meninggal (Newcomb & McCann, 1987). Getaran gempabumi ini terasa hingga Klaten, Salatiga, Surakarta, dan Sragen. Gempabumi besar juga terjadi pada tanggal 23 Juli 1943. Kota-kota yang mengalami kerusakan adalah Cilacap, Tegal, Purwokerto, Kebumen, Purworejo, Bantul, dan Pacitan. Korban meninggal sebanyak 213 orang, sedangkan korban luka mencapai 2.096 jiwa (Bemmelen, 1949). Terakhir adalah Gempabumi pada tanggal 27 Mei 2006. Meskipun kekuatan gempabumi ini relatif kecil (M=6.4), namun mengakibatkan lebih dari 6000 korban meninggal (Walter et al., 2008). Gambar 3. Distribusi episenter gempabumi kuat periode 1840 – 2006 (Husein et al, 2008) 5. Hubungan Gempabumi-Vulkanisme Jika mengamati peta vulkanisme global, tampak bahwa jalur sabuk gunungapi dunia berdampingan dengan jalur gempabumi. Pada beberapa kasus kejadian erupsi gunungapi di dunia, tampak setelah terjadi gempabumi kuat banyak terjadi erupsi gunungapi yang loksinya berdekatan dekat dengan episenter gempabumi. Adanya kaitan antara aktivitas gunungapi dengan aktivitas gempabumi tektonik telah dilaporkan terjadi di berbagai kawasan seismik aktif. Gempabumi Liwa 1932 dan 1994 dilaporkan telah meningkatkan kegiatan vulkanik di Suoh, Lampung Barat, sementara Gempabumi Nias 2005 juga telah memicu aktifnya Gunung Talang. Di luar negeri juga dilaporkan beberapa kasus serupa. Gempabumi Landers 1992 juga dilaporkan memicu kegiatan vulkanisme di beberapa tempat di California. Di Filipina Gunung Pinatubo yang sudah tidak aktif selama hampir 500 tahun, meletus dahsyat setelah dipicu Gempabumi Luzon 1990. Kejadian serupa juga terjadi pada kasus Gempabumi Kamchatka 1923, Gempabumi Chili 1960, dan Gempabumi Guatemala 1902 (Gambar 4). Page 3 of 8 Gambar 4. Beberapa kasus gempabumi diikuti erupsi gunungapi (Eggert & Walter, 2009) Eggert & Walter (2009) dalam penelitiannya mengenai aktivitas erupsi gunungapi sebelum dan sesudah gempabumi tektonik kuat menggunakan ribuan data global gempabumi yang memicu aktivitas erupsi gunungapi. Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa aktivitas erupsi gunungapi lebih sering terjadi pada gunungapi yang lokasinya berdekatan dengan zona seismik aktif (Gambar 5) Gambar 5. Aktivitas erupsi gunungapi lebih sering terjadi pada gunungapi yang lokasinya berdekatan dengan zona seismik aktif (Eggert & Walter, 2009) 6. Aktivitas Merapi Jika aktivitas vulkanisme merupakan bagian dari rangkaian kegiatan tektonik, maka tingginya aktivitas Merapi tidak lepas dari pengaruh tingginya aktivitas seismik di Yogyakarta dan sekitarnya. Keberadaan dapur magma Merapi yang berdekatan dengan zona seismik aktif, menyebabkan fluida di dapur magma menjadi labil karena terus menerus mendapat pukulan dan tekanan dari getaran gempabumi yang seringkali terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Walter et al. (2007) menunjukkan adanya sebuah hubungan antara erupsi Merapi 2001 dan 2006 dengan peristiwa gempabumi tektonik yang terjadi sebelumnya. Dalam penelitian ini Walter et al. (2007) membangun sebuah model untuk melihat besarnya perpindahan tegangan antara peristiwa gempabumi tektonik yang terjadi dan kegiatan Merapi. Page 4 of 8 Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas Merapi sangat dipengaruhi oleh adanya perubahan tegangan kerak bumi terkait dengan aktivitas gempabumi tektonik yang terjadi di dekatnya. Terjadinya gempabumi tektonik di sekitar Merapi terbukti telah meningkatkan ekstrusi magma dan guguran material piroklastik Merapi (Gambar 6). Gambar 6. (A) Gempabumi Yogyakarta 2001 (M=6.3) memicu peningkatan panas solfatara Merapi, (B) Gempabumi Yogyakarta 2006 (M=6.3) memicu guguran piroklastik (Walter et al., 2007) Magma yang terus menerus mendapat tekanan ini menyebabkan dapur magma penuh dan bergerak naik. Magma baru yang naik ke permukaan ini akan memicu lebih banyak lagi magma yang naik ke atas sehingga Merapi menjadi kian aktif. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan Gunung Merapi menjadi salah satu gunungapi paling aktif karena segmen busur Jawa di bawah Merapi lebih aktif dibanding segmen di busur Jawa lainnya. Jika kegiatan gunungapi merupakan rangkaian kegiatan tektonik, maka tingginya aktivitas Merapi tidak lepas dari tingginya tingkat aktivitas kegempaan tektonik di zona ini. Sembilan bulan menjelang terjadinya letusan dahsyat Merapi, Daerah Yogyakarta telah mengalami peningkatan kegiatan seismik yang yang luar biasa pesat. Ada sekitar 23 gempabumi terjadi di zona sesar berarah Baratdaya-Timurlaut di sebelah timur Graben Bantul, lima di antaranya merupakan gempabumi dirasakan hingga menimbulkan kerusakan ringan (Gambar 7). Gambar 7. Kondisi seismisitas Daerah Yogyakarta periode Januari-November 2010 Page 5 of 8 Dalam rentang waktu hanya tiga bulan sejak Agustus 2010, Daerah Yogyakarta sudah diguncang enam kali gempabumi tektonik. Gempabumi yang mengguncang Daerah Yogyakarta dan sekitarnya pada akhir-akhir ini adalah gempabumi tanggal 21 Agustus 2010 (magnitudo 5.0 Skala Richter), 3 September 2010 (magnitudo 5.0 Skala Richter), 11Oktober 2010 (magnitudo 3.9 Skala Richter), 28 Oktober 2010 (magnitudo 4.0 Skala Richter), dan 28 Oktober 2010 (magnitudo 3.2 Skala Richter). Gambar 8. Erupsi Merapi 2010 diawali dengan peningkatan signifikan jumlah komulatif kejadian Gempabumi tektonik di Yogyakarta Seluruh peristiwa gempabumi ini memiliki episetrum di selatan Gunung Merapi tepatnya di sebelah timur Sesar Opak. Selain gempabumi yang bersumber di selatan Merapi, juga terdapat peristiwa gempabumi di utara Merapi, yaitu Gempabumi Magelang tanggal 2 September (magnitudo 3.1 Skala Richter). Gempabumi ini dirasakan hingga Salatiga, Ambarawa, Banyubiru dan Ungaran. Seluruh data kejadian gempabumi tertonik di Yogyakarta dan sekitarnya menunjukkan sebuah tren jumlah komulatif kejadian gempabumi tektonik yang semakin meningkat sejak Januari 2010 (Gambar 8). Fenomena meningkatnya erupsi Merapi yang didahului aktivitas komulatif gempabumi tektonik ini sangat mirip dengan apa yang terjadi pada erupsi serempak Gunungapi Karimsky dan Akademia Nauk (1996) di Semenanjung Kamchatka, Rusia (Gambar 9). Sebuah gempabumi kuat terjadi di Kamchatka di awal Januari 1996 yang lokasinya di jalur zona sesar aktif berarah Baratdaya-Timurlaut. Hanya dalam tempo dua hari pasca Gempabumi Kamchatka (Mw 7.1), dalam jarak sekitar 10-20 kilometer dari pusat gempabumi sebuah letusan serempak menyusul terjadi pada kedua gunungapi ini (Walter 2007). Gambar 9. Gunungapi Karimsky dan Akademia Nauk di Kamchatka, Rusia mengalami erupsi serempak setelah terjadi peningkatan aktivitas seismik di sekitarnya (Walter, 2007). Page 6 of 8 Tingginya aktivitas Merapi selain disebabkan oleh aktivitas seismik, tampaknya juga dipengaruhi lokasinya yang terletak pada perpotongan dua sistem sesar lokal. Kedua sesar yang saling berpotongan menurut Bemmelen (1970) ini adalah sistem sesar yang membujur dalam arah utaraselatan (transverse fault) yang membentuk kompleks jalur Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Ungaran, dengan sistem sesar berarah barat-timur yang sebut sebagai ”Sesar Simo”. Karena lokasi Merapi yang terletak di zona perpotongan sesar inilah diduga jalan keluar bagi magma menjadi lebih mudah. Keberadaan interseksi sesar tepat pada kerucut merapi ini sangat unik dan menjadi salahsatu faktor pembeda tingkat aktivitas antara Gunung Merapi dan tetangga sebelahnya, yaitu Gunung Merbabu. 7. Teka-Teki Gempabumi Timbul banyak tanda tanya dibenak warga terkait meningkatnya aktivitas gempabumi di Yogyakarta akhir-akhir ini. Fenomena apakah yang sedang terjadi dibalik sangat aktifnya kondisi tektonik Yogyakarta ini? Yang pasti peristiwa gempabumi di Yogyakarta selama ini diakibatkan oleh aktivitas sesar aktif. Ini di dasarkan kepada data kedalaman hiposenternya yang kurang dari 15 kilometer. Jika ditinjau dari pola sebaran seismisitasnya yang membentuk sebuah klaster memanjang mencerminkan adanya sebuah aktivitas sesar. Jika dikaitkan dengan aftershocks menurut Walter et al., (2007) dan Tsuji et al. (2009), tampak ada korelasi spasial antara data aftershocks 2006 dengan seismisitas saat ini. Klaster aftershocks menurut kedua peneliti ini sama-sama memiliki pola kelurusan berarah baratdaya-timurlaut di sebelah timur depresi Bantul. Kelurusan ini merupakan indikasi kuat adanya fenomena sesar aktif di “segmen utara”. Sedangkan aktivitas kegempaan akhir-akhir ini cenderung terletak di “segmen selatan” (Gambar 10). Gabungan antara data aftershocks 2006 dengan data gempabumi terakhir semakin mengokohkan dugaan eksistensi sesar aktif di sebelah timur Sesar Opak. Jika melihat data sebaran episenter terbaru yang terkonsentrasi di sebelah selatan aftershocks 2006, bisa jadi gempabumi kecil yang sering mengguncang Yogyakarta akhir-akhir ini merupakan manifestasi pelepasan tegangan litosfir di “segmen selatan” yang belum seluruhnya terlepas saat gempabumi 2006. Sepatutnya kita tidak boleh memandang remeh rentetan aktivitas gempabumi dengan magnitudo kecil semacam ini. Belajar dari ilmuwan Cina yang melakukan pemantauan urutan gempabumi kecil, akhirnya mereka dapat menyelamatkan sekitar 100.000 jiwa penduduk Haicheng pada peristiwa Gempabumi Haicheng 1975. Gambar 10. Korelasi spasial aftershocks dan aktivitas seismik daerah Yogyakarta terkini Page 7 of 8 Kesimpulan Gunung Merapi mengalami erupsi dahsyat setelah terjadi peningkatan aktivitas gempabumi yang luar biasa pesat pada zona sesar aktif yang berjarak sekitar 40-50 kilometer. Tingginya tingkat seismisitas regional, kondisi tektonik yang aktif dan kompleks serta lokasi Merapi yang terletak pada zona interseksi sesar akan menjadikan Merapi sebagai salah satu gunungapi paling aktif di dunia. Tingginya aktivitas seismik di Daerah Yogyakarta akhir-akhir ini merupakan cerminan dari masih tingginya tegangan kerak bumi yang masih tersimpan pada “segmen selatan” dari zona sesar aktif di sebelah timur Graben Bantul. Daftar Pustaka Bemmelen, R.W. Van, 1949, The Geology of Indonesia. Government Printing Office, The Hague, p.732. Daryono, 2009, Local Site effect of Graben Bantul Using Microtremor Measurement, Proceedings of International Conference Earth Science and Technology, Department of Geological Engineering, Gadjah Mada University. Eggert, S.,T. R. Walter, 2009,Volcanic activity before and after large tectonic earthquakes: Observations and statistical significance, Tectonophysics xxx (2009) xxx–xxx. Hamilton, W., 1988. Plate tectonics and island arcs, Geol. Soc. Am. Bull.,100, 1503–1527. Husein, S., Subagyo P., Myo T., Tun N., and Jaya M.,2008, A Short Note on the Seismic History of Yogyakarta Prior to the May 27, 2006 Earthquake. The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006. Star Publishing Company Inc. Newcomb, K.R. and McCann, W.R., Seismic History and Seismotectonic of the Sunda Arc. Journal of Geophysical Research, Vol. 92, no. B1 pp 421-439. American Geophysical Union. Walter, T.R., 2007, How a tectonic earthquake may wake up volcanoes: Stress transfer during the 1996 earthquake–eruption sequence at the Karymsky Volcanic Group, Kamchatka, Earth and Planetary Science Letters 264 (2007) 347–359. Wagner, D., I. Koulakov,W. Rabbel, B.G. Luehr, A. Wittwer, H. Kopp, M. Bohm, G. Asch and the MERAMEX Scientists, 2007, Joint inversion of active and passive seismic data in Central Java, Geophys. J. Int. (2007) 170, 923–932. Walter, T.R., Wang, M. Zimmer, H. Grosser, B. Luehr, and A. Ratdomopurbo, 2007, Volcanic activity influenced by tectonic earthquakes: Static and dynamic stress triggering at Mt. Merapi, Geoph. Research Leters, Vol. 34, L05304. Walter, T.R., B.G. Luehr, R. Wang, M. Sobiesiak, H. Grosser, H.U. Wetzel, C. Milkereit, J. Zschau, J. Wassermann, P.J. Prih Harjadi and Kirbani S. B., 2008, The 26 May 2006 6.4 Yogyakarta Earthquake South of Mt. Merapi Volcano: Did Lahar Deposits Amplify Ground Shaking and thus Lead to Disaster?, Geochemistry, Geophysics, Geosystems, An Electronic Journal of the Earth System. Page 8 of 8