MANUSIA DAN BADAN HUKUM Subyek Hukum

advertisement
TELAAH TERHADAP ESENSI SUBYEK HUKUM : MANUSIA DAN
BADAN HUKUM
Dyah Hapsari Prananingrum, SH.M.Hum.Abstrak
Sebagai pihak yang dapat bertindak dalam hukum, subyek hukum memiliki
kewenangan hukum yang tidak dimiliki pihak lain. Manusia sebagai subyek
hukum yang bersifat natural. Pertanyaan siapakah manusia sehingga dia bisa
menjadi subyek hukum, tidak dapat dijawab dengan satu kalimat. Esensi manusia
sebagai salah satu dasar menjawabnya. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah
badan hukum itu sehingga dia dapat berkedudukan sebagai badan hukum.
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dijawab melalui telaah ini.
Kata kunci : Subyek Hukum, Badan Usaha.
Subyek Hukum
Subyek hukum di kalangan hukum ada yang menggunakan istilah purusa hukum
(Oentari Sadino), awak hukum (St.K. Malikul Adil), pribadi hukum (Soerjono Soekamto,
Purnadi Purbacaraka) dan sebagainya.1 Subyek hukum atau purusa hukum menurut
Apeldoorn adalah segala sesuatu yang mempunyai kewenangan hukum atau persoonlijkheid.
Kewenangan hukum tersebut merupakan kecakapan untuk menjadi pendukung subyek
hukum yang diberikan oleh hukum obyektif.2 Pengertian subyek hukum atau rechts subject
menurut Algra adalah setiap orang mempunyai hak dan kewajiban, yang menimbulkan
wewenang hukum (rechtsbevoegheid). Wewenang hukum itu adalah kewenangan untuk
menjadi subyek dari hak-hak. Subyek hukum dalam menjalankan perbuatan hukum memiliki
wewenang. Wewenang subyek hukum terbagi menjadi dua yaitu:
Pertama, wewenang untuk mempunyai hak (rechtsbevoegdheid), dan Kedua,
wewenang untuk melakukan (menjalankan) perbuatan hukum dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Subyek hukum menurut Utrecht adalah suatu pendukung hak yaitu manusia atau
badan yang menurut hukum berkuasa menjadi pendukung hak. Suatu subyek hukum
mempunyai kekuasaan guna mendukung hak atau rechtsvoegdheid.3
Menurut Sudikno Mertokusumo,4 subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat
memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh
Subekti,5 yang menyatakan menyatakan bahwa subyek hukum adalah pembawa hak atau
subyek dalam hukum, yaitu orang.
1
Chidir Ali, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hlm.14.
2
L.J.van Apeldoorn, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 203.
3
4
5
Utrech, 1965, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Universal, Jakarta, hlm. 234.
Sudikno, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hlm. 53
Subekti, 1996, Pokok-pokok Hukum Perdata, Pembimbing Masa, Jakarta, hlm. 19.
Dalam Back’s Law Dictionary, dirumuskan pengertian subyek hukum sebagai
“One that owes allegience and governed by his law. The natives of Great Britain are
subjects of the British Government. Men in free governments are subjects as well as
citizens: as they enjoy rights and franhises, as they bound to obey the law”.6
Istilah subyek hukum berasal dari bahasa Belanda yaitu rechtsubject atau law of
subject dari bahasa Inggris. Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan
kewajiban yaitu manusia dan badan hukum.7 Dengan demikian subyek hukum adalah segala
sesuatu yang memiliki kewenangan hukum, penyandang hak dan kewajiban dalam perbuatan
hukum. Subyek hukum sangat terkait dengan kecakapan secara hukum atau rechtsbekwaam,
dan kewenangan dalam hukum atau rechtsbevoegd. Subyek hukum (legal subject) adalah
setiap pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan hukum.
Baik manusia maupun badan hukum semuanya mempunyai kewenangan menyandang
hak dan kewajiban, sehingga manusia dan badan hukum disebut mempunyai kewenangan
hukum. Namun demikian dalam hal tertentu, kewenangan dalam kaitannya dengan hak-hak
yang lahir dari hukum orang dan hukum keluarga hanya dapat dimiliki oleh subyek hukum
orang dan tidak disandang oleh subyek hukum badan hukum. Kewenangan hukum yang
dimiliki orang perorang, pada kondisi tertentu yang merupakan pengecualian insidentil,
seperti keadaan, tempat tinggal, umur, status dan perbuatan seseorang. Hal ini sesuai dengan
putusan Mahkamah Agung No. 191/K/Sip/1962, tertanggal 10 Oktober 1962 yang
berpendapat bahwa kemerdekaan seseorang, juga dalam bidang keperdataan tidak layak
diberikan 100%, sebab hal itu bertentangan dengan hukum.8
Esensi Manusia dan Manusia sebagai Subyek Hukum
Manusia adalah pendukung hak dan kewajiban, oleh karena manusia adalah subyek
hukum. Siapakah manusia, sehingga sedemikian istimewa bila dibandingkan dengan
makhluk hidup yang lain, bahkan manusia dinyatakan sebagai subyek hukum saat dia masih
di dalam kandungan, khususnya dalam hukum waris. Realitas manusia pada dasarnya
tidaklah cukup disebutkan dalam satu rumusan kalimat. Dari sudut filsafati, manusia dapat
disebutkan dalam 3 definisi, yaitu:
1) Definisi klasik menyatakan bahwa manusia adalah hewan berbudi atau animal rationale.
Bukan berarti bahwa manusia itu sama dengan hewan yang hanya ditambah dengan budi.
Dalam aksi-reaksi biologis ada persamaan, walaupun hanya dalam suatu momen saja dari
totalitas atau keseluruhan. Namun dalam aksi-reaksi psikologis, manusia dengan hewan
sama sekali berbeda.9
2) Geist-in-welt
6
Henry Campbell Black, 2000, Black’s Law Dictionary-Abridged Seventh Edition, West Publishing
Co, St. Paul Minn.
7
Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Indonesia, Prenada Media Group,
Jakarta, hlm. 40.
8
Anwar Borahima, 2002, Disertasi: Kedudukan Hukum Yayasan di Indonesia, Universitas Airlangga,
Surabaya, hlm. 27.
9
A. Sudiarja, 2006, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikiran yang Terlibat Penuh
dalam Perjuangan Bangsa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 146.
Manusia dipandang dari sudut sungguh-sungguh sebagai barang di dunia yang badani,
oleh karena memiliki sifat-sifat badani juga.
3) Esprit incarne
Manusia adalah roh yang telah menjelma menjadi daging. Maksudnya bahwa manusia
betul-betul bersifat jasmani, stoffelijk.10
Dengan demikian, berdasarkan pandangan filsafati manusia di atas, dapat diketahui
adanya kesatuan kata dan artinya, bahwa manusia adalah sekaligus jasmani dan rohani.
Dan keistimewaan manusia bila dibandingkan dengan makluk yang lain adalah akal budi
yang dimilikinya. Manusia memiliki, menguasai dan memastikan dirinya sendiri. Kesadaran
tersebut merupakan kesempunaan yang tidak terdapat pada makluk lainnya.
Notohamidjoyo,11 menyatakan bahwa manusia meliputi obyek, subyek dan relasi.
Manusia sebagai obyek adalah manusia dalam perwujudan lahiriah yang memiliki tubuh,
mengisi suatu ruang sehingga dapat dicandra. Manusia selain sebagai obyek juga
mewujudkan subyek yang berarti mempunyai kehendak dan mengambil keputusan yang
bebas. Namun demikian belumlah lengkap memberikan gambaran tentang manusia tanpa
melihat manusia sebagai relasi, karena baik dalam manusia sebagai obyek, maupun segi
subyek itu dialaminya dalam suatu relasi. Manusia bukanlah subyek yang berdiri sendiri,
melainkan senantiasa dalam perhubungan dengan kenyataan. Manusia bukan pula kebebasan
saja, namun kebebasan dalam tanggung jawab. Sering kali manusia dikatakan memiliki
human ecology, bahwa manusia hidup dalam hubungan timbal-balik dengan lingkungannya,
dan masyarakatlah lingkungan dimana manusia hidup. Dengan demikian, hakekat manusia
dapat dilukiskan sebagai obyek-subyek-relasi.
Pendapat Driarkara dan Notohamidjoyo di atas, melengkapi pengertian apa itu
manusia secara filsafati. Manusia merupakan subyek sekaligus obyek atau geist-in-welt yang
memiliki human ecology dan kesadaran memiliki, menguasai dan memastikan dirinya sendiri
karena manusia memiliki akal budi.
Pada dasarnya setiap semua orang atau natuurliijk persoon memiliki kecakapan
kecuali undang-undang menyatakan lain. Anak yang masih di bawah umur, orang yang
dinyatakan pailit dan orang yang di bawah pengampuan adalah mereka yang tidak memiliki
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Kewenangan subyek hukum sangat terkait
dengan kewenangan yang dimilikinya berdasarkan peraturan yang ada. Masalah kecakapan
dan kewenangan dalam hukum sangat terkait dengan sah tidaknya perbuatan hukum yang
dilakukan subyek hukum tersebut. Subyek hukum dapat merupakan orang atau
natuurlijkpersoon (menselijkpersoon) dan bukan orang atau badan hukum (rechtspersoon).
Secara yuridisnya ada alasan manusia sebagai subyek hukum, yaitu: Pertama, manusia
mempunyai hak-hak subyektif dan kedua, kewenangan hukum dalam hal ini kewenangan
hukum berarti kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan
kewajiban. Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kandungan karena status
sebagai subyek hukum yang melekat pada manusia adalah kodrat yang dibawa dari lahir
sedangkan hukum hanya mengakuinya saja. Pengecualian atas hak tersebut terdapat di dalam
Pasal 2 KUH Perdata yang mengatur bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang
perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah
10
Ibid, hlm.7.
11
Notohamidjoyo, 1973, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, hlm. 9.
mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada. Pengecualian atas hak ini disebut
dikenal dengan fiksi hukum. Tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan
untuk melakukan perbuatan hukum, adapun orang yang dapat melakukan perbuatan hukum
adalah orang yang cakap menurut hukum. Sedangkan orang-orang yang tidak cakap
melakukan perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah
pengampuan, seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata).
Dari sudut pandang hukum, menurut Paul Scholten pengertian manusia adalah orang
atau persoon dalam hukum yang mengandung 2 dalil yaitu:
1) Manusia dalam hukum sewajarnya diakui sebagai yang berhak atas hak-hak subyektif
dan sewajarnya diakui sebagai pihak atau pelaku dalam hukum obyektif. Disini perkataan
manusia mempunyai nilai etis. Persoalannya hal ini juga menjadi dasar arti dalil yang ke
2, yaitu:
2) Dalam hukum positif yang merupakan persoon adalah subyek hukum, mempunyai
kewenangan. Dalil ini mengandung petunjuk dimana tempat manusia dalam sistem hukum
dan dengan demikian dinyatakan suatu kategori hukum.12
Menurut Van Apeldoorn,13 pengertian orang dalam artian yuridis adalah setiap orang
yang mempunyai wewenang hukum. Kewenangan hukum adalah sifat yang diberikan oleh
hukum yaitu kecakapan untuk menjadi subyek hukum. Lebih lanjut Apeldoorn berpendapat
bahwa hanya manusia yang dapat memiliki hak-hak subyektif, artinya kewenangan dan
kewajiban.
Subyek hukum yang merupakan orang, sering juga disebut sebagai subyek kodrati
atau purusa kodrat karena pada kodratnya manusia adalah subyek hukum, sehingga sangat
berbeda dengan subyek hukum lainnya yang mendapatkan kewenangan hukum dari hukum
positif. Namun pendapat ini tidaklah tepat, karena:
1) Kewenangan hukum bukanlah sifat bawaan manusia, melainkan kualitet yang diberikan
oleh hukum positif;
2) Kualitet itu hanya dapat diberikan kepada manusia. Jadi apa yang disebut purusa hukum
bukanlah purusa yang sebenarnya.14
Dalam Pasal 6 Universal Declaration of Human Rights, dirumuskan Everyone has the
right to recognition everywhere as a person before the law.15 Perumusan universal ini pada
hakekatnya merupakan batasan tentang subyek hukum, yaitu man is person before the law
yang merupakan suatu asas hukum (rechtsbeginsel).
Hukum Indonesia mengakui setiap manusia sebagai subyek hukum, hal ini tampak
dalam Pasal 1 Ayat(1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa menikmati hak-hak kewargaan
tidak tergantung pada hak-hak kenegaraan. Pengaturan ini mengandung makna bahwa status
sebagai warga (yang memiliki makna sebagai subyek hukum) tiak digantungkan pada syarat
tertentu yang ditetapkan oleh negara, melainkan melekat atau muncul sebagai hak asasi yang
ada pada dirinya. Pengakuan manusia sebagai subyek hukum tersebut dimulai sejak manusia
tersebut di dalam kandungan (bila kepentingannya menghendaki demikian), sampai dengan
12
Chidir Ali, 1991, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 6.
13
Van Apeldoorn, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 203.
14
Ibid hal. 204.
15
www.un.org, diunduh pada tanggal 10 September 2011
manusia tersebut meninggal dunia. Pengaturan Pasal 1 KUH Perdata selaras dengan apa yang
diatur dalam Pasal 2 dan 3 KUH Perdata. Pasal 2 KUH Perdata menyatakan bahwa anak yang
ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si
anak menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada.
Adapun Pasal 3 KUH Perdata menyatakan bahwa tiada suatu hukuman pun yang
mengakibatkan kematian perdata, atau hilangnya segala hak-hak kewargaan.
Selain orang perseorangan yang secara kodrati merupakan subyek hukum, hukum
juga mengakui eksistensi badan hukum atau rechtspersoon sebagai badan hukum, yang
berkedudukan sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Badan Hukum sebagai Subyek Hukum
Dalam konteks subyek hukum, di samping manusia sebagai pembawa hak, badanbadan atau perkumpulan-perkumpulan dipandang sebagai subyek hukum yang dapat
memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia. Badan-badan
dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu
lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka
pengadilan. Badan-badan atau perkumpulan tersebut dinamakan Badan Hukum
(rechtpersoon) yang berarti orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum.16 Hukum
memberikan kedudukan sebagai badan pribadi dalam wujud yang lain selain manusia yaitu
badan hukum atau rechtspersoon. Rechtspersoon biasa disebut sebagai badan hukum yang
merupakan persona ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai persona.17 Selain
subyek hukum yang orang perorang, badan hukum atau legal entity adalah satu subyek hukum lain
yang diakui sebagai subyek hukum.
Burgelijk Wetboek menggunakan istilah rechtpersoon pada permulaan abad
keduapuluh yaitu pada saat diadakannya pengaturan tentang kanak-kanak (kinderwetten).
Menurut Pasal 292 Ayat (2) dan Pasal 302 Buku I BW serta sejak diadakannya buku Titel 10
Buku III BW (lama) pada tahun 1838 terdapat banyak ketentuan tentang apa yang dimaksud
dengan rechtpersonen tetapi istilah yang digunakan adalah zedelijk lichaam (badan susila).18
Mengenai istilah ini, Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto berpendapat sebagai
berikut:19
Dalam menejermahkan zadelijk lichaam menjadi badan hukum, lichaam itu benar
terjemahannya badan, tetapi hukum sebagai terjemahan zadelijk itu salah, karena arti
sebenarnya susila. Oleh karena itu, istilah zadelijk lichaam dewasa ini sinonim dengan
rechtpersoon, maka lebih baik kita gunakan pengertian itu dengan terjemahan pribadi
hukum.
Dalam peraturan di Indonesia, istilah yang resmi digunakan adalah badan hukum,
istilah ini dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan berikut:
1. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria
2. Perpu No. 19 Tahun 1960 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara
16
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-8, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 216
17
Sri Soedewi Maschun Sofwan dalam Chidir Ali, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 19.
18
Chidir Ali, 2005, Badan Hukum,: PT Alumni, Bandung, hlm. 14
19
Purnadi Purbacaraka, Sendi-Sendi Hukum Perdata Internasional (suatu orientasi), Edisi I, Jakarta:
CV Rajawali, 1993, dalam Chidir Ali, Ibid, hlm. 17
3. UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
4. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan sebagainya.
Terjadi banyak perdebatan mengenai bagaimana badan hukum dapat menjadi subyek
hukum dan memiliki sifat-sifat subyek hukum seperti manusia. Banyak sekali teori yang ada
dan digunakan dunia akademis untuk menjelaskan hal tersebut, namun demikian menurut
Salim,20 teori yang paling berpengaruh dalam hukum positif adalah teori konsensi yang pada
intinya mengajarkan bahwa badan hukum dalam negara tidak dapat memiliki kepribadian
hukum yaitu hak dan kewajiban dan harta kekayaan kecuali di perkenankan oleh hukum
dalam hal ini berarti negara sendiri.
Badan hukum merupakan terjemahan dari rechtspersoon, namun demikian di
kalangan hukum ada yang menggunakan istilah purusa hukum (Oentari Sadino), awak hukum
(St.K. Malikul Adil), pribadi hukum (Soerjono Soekamto, Purnadi Purbacaraka) dan
sebagainya.21 Dalam kepustakaan hukum Belanda istilah badan hukum dikenal dengan
sebutan “rechtpersoon” dan dalam kepustakaan common law seringkali disebut dengan
istilah-istilah legal entity, juristic person, atau artificial person.
Black’s Law Dictionary mendefinisikan badan hukum atau artificial person sebagai
persons created and devised by human laws for the purposes of society and government, as
distinguished from natural person, adapun legal entity didefinisikan sebagai an entity, other
than natural person, who has sufficient existence in legal contemplation that it can function
legally, be sued or sue and make decisions through agents as in the case of corporation. 22
Selanjutnya Black’s Law Dictionary, memberikan pengertian legal entity sebagai (a) body,
other than a natural person, that can function legally, sue or be sued, and make decisions
thorugh agents.23 Sedangkan legal person diartikan sebagai an entity such as corporation,
created by law given certain legal rights and duties of a human being; a being,real or
imaginary, who for the purpose of legal reasoning is treated more or less as a human
being.24
Kamus Besar Bahasa Indonesia,25 memberikan pengertian badan hukum sebagai
badan yang dalam hukum diakui sebagai subyek hukum (peseroan, yayasan, lembaga, dan
sebagainya). Selanjutnya Kamus Hukum Ekonomi mengartikan badan hukum sebagai badan
atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan sebagai subyek hukum, yaitu pemegang hak
dan kewajiban.26 Suatu badan yang bukan berupa orang tapi mempunyai hak dan kewajiban
seperti orang serta mempunyai harta kekayaan sendiri yang terpisah dari harta kekayaan
pribadinya.
20
Salim HS, 2005, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta, Sinar Grafika
21
Chidir Ali, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hlm.14.
22
Henry Campbell Black, 2000, Black’s Law Dictionary-Abridged Seventh Edition, West Publishing
Co, St. Paul Minn, hlm.726.
23
Bryan A Garner, 2009,Black’s Law Distionary, 9th edition, ST Paul – Minnessota: West Publishing
Co, hlm. 976
24
Ibid, hal. 1178
25
http://kamusbahasaindonesia.org
26
AF Elly Erawati dan JS Badudu, 1991, Kamus Hukum Ekonomi, Proyek Elips, Jakarta.
Adapun berdasarkan Pasal 1654 KUH Perdata, badan hukum didefinisikan sebagai
semua perkumpulan yang sah adalah seperti halnya dengan orang-orang preman, berkuasa
melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan umum,
dalam mana kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau ditundukkan pada acara-acara tertentu.
Sebelumnya dalam KUH Perdata Pasal 1653 diatur berkaitan dengan perkumpulan adalah
selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan
orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau
diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu
diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak
bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan. Dengan demikian berdasarkan Pasal
1653 Bab Kesembilan dari Buku Ketiga KUH Perdata, disebutkan 3 macam perkumpulan
yaitu :
1) Perkumpulan yang diadakan oleh kekuasaan umum
2) Perkumpulan yang diakui oleh kekuasaan umum
3) Perkumpulan yang diperkenankan atau untuk suatu maksud tertentu tidak berlawanan
dengan undang-undang atau kesusilaan.
Pasal 1653 tersebut merupakan landasan yuridis keberadaan badan hukum baik badan hukum
publik maupun privat, meskipun tidak secara tegas mengaturnya.
Pada umumnya, ahli hukum tidak sependapat dengan menempatkan pengaturan
badan hukum di dalam Buku III KUH Perdata. Badan hukum yang pada dasarnya merupakan
subyek hukum tidaklah tepat dimasukkan dalam hukum perikatan, walau sebagian dari
badan hukum tersebut lahir dari perjanjian. Namun demikian tidaklah tepat pula bila badan
hukum yang merupakan subyek hukum diatur bersama-sama dengan subyek hukum manusia.
Badan hukum merupakan persoon karena hukum dan struktur badan hukum yang menopang
eksistensi badan hukum adalah struktur hukum, berbeda dengan manusia yang struktur
manusia sama sekali bukan persoalan hukum.
Apakah pengertian badan hukum menurut para ahli? Para ahli hukum telah
mengemukakan pengertian badan hukum, yang antara lain sebagai berikut.
Menurut Van Apeldoorn,27 yang dimaksud dengan purusa hukum (badan hukum)
adalah:
1) Tiap-tiap persekutuan manusia, yang bertindak dalam pergaulan hukum seolah-olah ia
suatu purusa yang tunggal;
2) Tiap-tiap harta dengan tujuan yang tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya, dalam
pergaulan hukum diperlakukan seolah-olah ia sesuatu purusa (yayasan).
Utrecht,28 memberikan pengertian badan hukum sebagai setiap pendukung hak yang
tidak berjiwa atau bukan manusia. Sudikno Mertokusumo mendefinisikan badan hukum
adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat
menyandang hak dan kewajiban.29Adapun menurut Subekti badan hukum pada pokoknya
adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak melakukan perbuatan
seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri yang dapat digugat atau menggugat
27
Van Apeldoorn, Op.Cit. hal. 205
28
Utrech, 1965, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Universitas, Jakarta, hlm.236
29
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit. hlm. 53
di depan hakim.30 Dengan demikian rechtspersoon atau badan hukum adalah orang yang
diciptakan oleh hukum dan mampu melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang memiliki
kekayaan sendiri.
Pengertian mengenai badan hukum yang lebih lengkap dapat ditemukan dari pendapat
Molengraaff. Badan hukum menurut Molengraaff merupakan hak dan kewajiban dari para
anggotanya secara bersama-sama, dan didalamnya terdapat harta kekayaan bersama yang
tidak dapat dibagi-bagi. Setiap anggota tidak hanya menjadi pemilik sebagai pribadi untuk
masing-masing bagiannya dalam satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi itu, tetapi juga
sebagai pemilik bersama untuk keseluruhan harta kekayaan, sehingga setiap pribadi anggota
adalah juga pemilik harta kekayaan yang terorganisasikan dalam badan hukum itu.31
Oentari Sadino menterjemahkan buku L.J. van Apeldoorn yang berjudul Inleiding tot
de Studie van het Nederlandse Recht (Pengantar Ilmu Hukum) tentang masalah subyek
hukum dengan menterjemahkannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.32
Walaupun demikian, ajaran hukum dan kini juga undang-undang mengakui adanya
purusa atau subyek hukum yang lain dari manusia. Untuk membedakannya, manusia
disebut purusa kodrat (natuurlijke personen) yang lain purusa hukum. Akan tetapi ini
tidak berarti, bahwa purusa yang demikian itu juga benar-benar terdapat. Itu hanya
berarti, bahwa sesuatu yang bukan purusa atau tidak dapat merupakan purusa,
diperlakukan seolah-olah ia adalah suatu purusa.
Istilah purusa kodrat dan purusa hukum bersandar pada pandangan (yang berasal dari
ajaran hukum kodrat) bahwa menurut kodratnya manusia adalah subyek hukum dan
yang lain-lainnya memperoleh kewenangan hukumnya dari hukum positif...
Menurut Logemann, badan hukum adalah suatu personifikasi atau bestendigheid
(perwujudan, penjelmaan), hak-kewajiban hukum organisasi (orgnisatie recht) yang
menentukan struktur internal (inneelijkstruktuur) dari personifikasi itu.33
Menurut Rochmat Soemitro,34 badan hukum atau rechtspersoon adalah suatu badan
atau perkumpulan yang dapat mempunyai harta, hak, serta kewajiban seperti orang-orang
pribadi. Wirjono Prodjodikoro menyatakan badan hukum sebagai badan di samping manusia
perseorangan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak,
kewajiban-kewajiban dan hubungan hukum dengan orang lain maupun badan lain.35
Sri Soedewi Maschun Sofwan,36 mengartikan badan hukum sebagai kumpulan dari
orang-orang yang bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta
30
Subekti, Op.Cit.hlm. 48
31
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekjen
dan Kepaniteraan MKRI, Cet Kedua, Jakarta, hlm.69.
32
Chidir Ali, op.cit. hlm.6
33
Man. S. Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, Bandung: Alumni, 2005, hal 128-129
34
Rochmat Soemitro, 1993, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, Eresco, Bandung, hlm.
35
Man. S. Sastrawidjaja, op.cit.
36
Sri Soedewi Maschun Sofwan dalam Chidir Ali, Op.cit. hal 19.
10.
kekayaan yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu. Kedua-duanya merupakan badan
hukum. Tidak terlalu jauh berbeda dengan pendapat Sri Soedewi tersebut di atas, adalah
pendapat yang dikemukakan oleh J.J. Dormeiner37 yang membagi 2 pengertian badan hukum,
yaitu:
1) Persekutuan orang-orang, yang di dalam pergaulan hukum bertindak selaku seorang saja;
dan
2) Yayasan, yaitu suatu harta atau kekayaan yang dipergunakan untuk suatu maksud yang
tertentu. Yayasan itu digunakan sebagai oknum.
Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli hukum mengenai badan hukum di atas dapat
diketahui bahwa tidak ada keraguan sedikitpun mengenai kedudukan badan hukum sebagai
subyek hukum, karena badan hukum merupakan lembaga yang independen, penyandang hak
dan kewajiban, serta dapat bertindak di depan hukum. Implikasi hukum dari independen atau
kemandirian tersebut, bahwa keberadaan badan hukum tersebut tidak digantungkan pada
kehendak pendiri atau organ namun ditentukan oleh hukum. Dalam pengertian pokok, apa
badan hukum itu adalah segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat
yang demikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Sebagai pendukung hak dan kewajiban yang bukan manusia, dalam
badan hukum terdapat 2 (dua) unsur penting yang harus diperhatikan, yaitu: pertama, dapat
dipisahkannya hak dan kewajiban badan hukum dari hak dan kewajiban anggota badan
hukum dan kedua, organ badan hukum dapat berganti –ganti namun demikian badan hukum
tetap ada. Dengan demikian badan hukum merupakan penyandang hak dan kewajibannya
sendiri sebagai subyek hukum yang memiliki status yang dipersamakan dengan orang
perorangan sebagai subjek hukum. Pengertian sebagai penyandang hak dan kewajiban,
dengan demikian badan hukum dapat digugat maupun menggugat di pengadilan. Kondisi ini
membawa konsekuensi bahwa keberadaannya dan ketidakberadaannya sebagai badan hukum
tidak digantungkan kepada kehendak sendiri atau anggotanya melainkan pada sesuatu yang
ditentukan oleh hukum.
Berdasarkan pendapat dari para ahli tentang kriteria badan hukum yang telah
dipaparkan di atas, maka dapat disusunlah unsur-unsur badan hukum adalah sebagai berikut.
1) Adanya pemisahan harta kekayaan antara pendiri dengan badan hukum
2) Mempunyai harta kekayaan tertentu
3) Memiliki kepentingan tertentu
4) Memiliki organ yang menjalankan badan hukum
5) Adanya managemen yang teratur
Unsur-unsur inilah yang dapat ditemukan dalam suatu badan hukum, serta dapat digunakan
untuk membedakan badan hukum dengan bukan badan hukum.
Sedangkan agar perkumpulan atau badan usaha dapat disebut sebagai badan hukum,
maka beberapa syarat harus dipenuhi. Dari sumber hukum formal, beberapa syarat yang harus
dipenuhi untuk menjadi badan hukum yaitu:38
1) Syarat berdasarkan ketentuan perundang-undangan ;
2) Syarat berdasarkan pada hukum kebiasaan;
3) Syarat berdasarkan yurisprudensi;
37
Ibid Hlm. 21
38
Chidir Ali, Op. Cit. Hlm.79-98
4) Syarat berdasarkan pada pandangan doktrin.
Ad.
1) Syarat berdasarkan ketentuan perundang-undangan
Syarat-syarat berdasarkan undang-undang mendasarkan diri pada ketentuan Pasal 1653
KUH Perdata yang disebutkan demikian.
Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga
diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau
diakuinya sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang
diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan
dengan undang-undang atau kesusilaan.
Berdasarkan pengaturan Pasal 1653 KUH Perdata di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa syarat untuk mendapatkan status badan hukum dapat dilakukan melalui 2 cara
yaitu:39
a) Dinyatakan dengan tegas atau uitdrukkelijk, bahwa suatu perhimpunan adalah
merupakan badan hukum;
b) Tidak secara tegas dinyatakan, namun dengan peraturan sedemikian rupa bahwa
badan itu adalah badan hukum.
Selain badan hukum seperti yang di atur di atas, dapat pula ditemukan aturan
umum dan aturan khusus yang tercantum dalam titel IX, Buku III KUH Perdata. Aturanaturan tersebut adalah sebagai berikut.40
Aturan umum, dalam Pasal 1653 KUH Perdata, ditentukan bahwa selain
maatschap yang sejati atau eigenlijke maatschap, undang-undang juga mengakui
perhimpunan atau vereneging sebagai badan hukum atau zedelijk lichaam. Berdasar
Pasal 1653 KUH Perdata, Perkumpulan diakui sebagai badan hukum (rechtspersoon,
legal person). Pasal 1653 KUH Perdata adalah peraturan umumnya, disebutkan:
Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunanperhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan
itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulanperkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu
maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik.
Perkumpulan yang diatur dalam KUH Perdata ini disamakan dengan Perseroan
yang diatur dalam Buku Kesatu, Bagian Ketiga KUHD yang terdiri atas Pasal 36-56.
Badan hukum dengan konstruksi keperdataan yang diatur dalam Pasal 1653 KUH
Perdata meliputi semua perkumpulan swasta yang menurut Stb. 1870-64 dianggap
sebagai badan hukum. Perkumpulan adalah perhimpunan atau perserikatan orang
(zedelijke lichamen, corporate body) baik yang didirikan dan diakui oleh kekuasaan
umum seperti daerah otonom, badan keagamaan, atau yang didirikan untuk suatu maksud
tertentu yang tidak, bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan yang baik yang lazim disebut Perkumpulan. Sebagai badan hukum,
perkumpulan tersebut diperlukan pengesahan akta pendirian perkumpulan, dengan
memperhatikan tujuan, azas lapangan kerja dan aturan-aturan lainnya dari perkumpulan
tersebut.
Terdapat 3 (tiga) jenis badan hukum yang diakui yaitu:
a) Badan hukum yang diadakan oleh pemerintah;
39
Chidir Ali, Op.Cit. hlm. 80
40
Ibid. hlm. 81
b) Badan hukum yang diakui oleh pemerintah;
c) Badan hukum dengan konstruksi keperdataan.
Menurut Staatsblad 1870-64, agar perkumpulan mendapat status badan hukum,
diperlukan "pengakuan" dalam bentuk "pengesahan" anggaran dasar (selanjutnya AD)
dari Menteri. Perkumpulan dapat melakukan perbuatan hukum seperti person manusia
(naturlijke persoon, natural person) untuk dan atas nama perkumpulan. Para pengurus
perkumpulan berwenang mewakili perkumpulan di dalam di luar pengadilan berdasar
kuasa undang-undang (wettelijke vertegenwoordig, statutory representative).
Berkaitan dengan perkumpulan tersebut, Pasal 1655 KUH Perdata mengatur
tentang kewenangan bertindak dari pengurus, sebagai berikut.
1) para pengurus diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama Perkumpulan,
2) para pengurus bertindak mewakili Perkumpulan di depan pengadilan,
3) semua tindakan pengurus mengikat kepada Perkumpulan,
4) sekiranya perbuatan atau tindakan pengurus menyimpang dari kewenangan atau
kekuasaan yang diberikan kepadanya dalam AD, tindakan itu tetap mengikat
perkumpulan, apabila tindakan itu memberi manfaat kepada Perkumpulan atau apabila
tindakan itu disahkan rapat anggota.
Kewajiban
pengurus
Pengurus
Perkumpulan
wajib
memberi
pertanggungjawaban kepada anggota atas kepengurusan perkumpulan yang
disampaikan dalam rapat anggota. Diatur dalam Pasal 1659 KUH Perdata, jika dalam
akte pendirian, persetujuan-persetujuan dan reglemen-reglemennya tidak diatur
mengenai hak bersuara, maka masing-masing anggota suatu perkumpulan mempunyai
hak sama untuk mengeluarkan suaranya, segala keputusan diambil dengan suara
terbanyak. Adapun keputusan rapat dalam suatu perkumpulan diatur menurut Pasal
1659 KUH Perdata, yaitu:
a) keputusan diambil dengan suara terbanyak, dan
b) masing-masing anggota mempunyai hak suara yang sama.
Bagaimana dengan pertanggungjawaban masing-masing anggota dalam suatu
perkumpulan, apakah anggota bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan hukum
yang dilakukan oleh perkumpulan atau sebaliknya anggota tidak bertanggungjawab
terhadap segala perbuatan hukum perkumpulan? Berkaitan dengan tanggung jawab
anggota ini diatur pada Pasal 1661 KUH Perdata, yaitu: para anggota badan hukum
sebagai perseorangan tidak bertanggung jawab atas perjanjian-perjanjian
perkumpulannya. Semua utang perkumpulan itu hanya dapat dilunasi dengan harta
benda perkumpulan.
Berdasarkan pengaturan berdasarkan Pasal 1661 KUH Perdata di atas, maka
dapat ditarik 2 (dua) kesimpulan berkaitan dengan pertanggungjawaban anggota
perkumpulan berbadan hukum, yaitu:
1) Para anggota tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perikatan-perikatan
yang dibuat Perkumpulan,
2) Segala hutang hanya dapat dilunasi dari harta kekayaan Perkumpulan
Mengenai pertanggungjawaban anggota, menurut Pasal 1661 KUH Perdata
dikatakan bahwa anggota Perkumpulan tidak bertanggung jawab secara pribadi untuk
perikatan-perikatan Perkumpulan. Pertanggungjawaban kepada pihak ketiga hanya
terbatas pada harta yang dimiliki oleh Perkumpulan tersebut, tidak dapat mencakup
harta pribadi anggotanya kecuali apabila hal tersebut diperjanjikan.
Selanjutnya mengenai pembubaran perkumpulan diatur dalam Pasal 16621663 KUH Perdata, sebab berikut.
1) Dibubarkan oleh UU berdasarkan Pasal 1662 KUH Perdata (untuk Perkumpulan
yang didirikan oleh penguasa);
Badan hukum yang didirikan atas kuasa umum tidak dihapuskan bila semua
anggotanya meninggal dunia atau mengundurkan diri dari keanggotaan,
melainkan tetap berdiri sampai dibubarkan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang. Jika semua anggota tersebut di atas tidak ada lagi maka
Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya badan hukum itu berkedudukan,
atas permintaan orang yang berkepentingan dan setelah mendengar pendapat
jawatan Kejaksaan, bahkan atas tuntutan Kejaksaan itu, berhak menetapkan
tindakan-tindakan yang dianggap perlu dilakukan demi kepentingan badan hukum
itu.
2) Pembubaran perkumpulan dapat dilakukan dengan dinyatakan dalam akte
pendirian atau reglemen-reglemennya berdasarkan Pasal 1663 KUH Perdata,
yang mengatur demikian.
Badan hukum lain tetap berdiri sampai pada saat dibubarkannya secara tegas
menurut akta pendirian, reglemen atau perjanjiannya, atau sampai pada saat
berhentinya pengejaran tujuan badan hukum itu.
3) Bubarnya perkumpulan dapat terjadi karena berhentinya tujuan atau hal yang
menjadi pokok Perkumpulan (Pasal 1663 KUH Perdata).
Untuk Perkumpulan Indonesia (Inlandsche Vereniging) sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 (2) Stb.1939-570, suatu Perkumpulan berakhir karena dibubarkan
dengan keputusan rapat umum anggotanya.
Adapun wewenang dan tanggung jawab pengurus diatur dalam Pasal 16551658 KUH Perdata. Besarnya kekuasaan pengurus untuk bertindak keluar atau
melakukan perbuatan-perbuatan hukum untuk perkumpulannya diketahui melalui
anggaran dasar atau reglemennya. Namun demikian Pasal 1655 KUH Perdata
memberikan patokan bahwa kecuali diatur lain dalam akte pendiriannya, pengurus
berwenang untuk:
1. Bertindak atas nama Perkumpulan;
2. Mengikat Perkumpulan dengan pihak ketiga dan sebaliknya;
3. Bertindak di muka hakim baik sebagai penggugat maupun tergugat.
Kemudian mengenai tanggung jawab pengurus dikatakan dalam Pasal 1658 KUH
Perdata, pengurus Perkumpulan bertanggung jawab kepada anggota.
Selanjutnya Pasal 1656 KUH Perdata mengatur tentang perbuatan pengurus
perkumpulan, bahwa segala perbuatan di mana para pengurusnya tidak berwenang
untuk melakukannya, hanya dapat mengikat perkumpulan apabila perkumpulan itu
telah mendapat manfaat karenanya atau apabila perbuatan-perbuatan itu telah disetujui
secara sah. Disebutkan pula di dalam Pasal 1657 KUH Perdata, bahwa jika dalam akte
pendirian, persetujuan dan reglemen-reglemennya tidak diatur mengenai pengurus
perkumpulan maka tidak seorang anggota pun berwenang untuk bertindak atas nama
perkumpulan atau mengikatkan perkumpulan dengan suatu cara lain selain yang telah
ditetapkan Pasal 1656 KUH Perdata di atas.
Selain aturan umum yang termuat dalam Pasal 1655, 1656,1657 dan Pasal
1658 KUH Perdata, seperti yang telah penulis paparkan, di dalam KUH Perdata juga
dimuat aturan khusus misalnya diatur dalam Pasal 1660 KUH Perdata. Pasal 1660
KUH Perdata mengatur mengenai hak-hak para anggota dalam suatu perkumpulan,
sebagai berikut.
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tiap anggota badan hukum demikian,
ditetapkan dalam peraturan-peraturan yang menjadikan badan hukum atau
perkumpulan itu didirikan atau diakui, atau menurut akta pendirian sendiri,
surat perjanjian sendiri atau reglemen sendiri, dan bila peraturan-peraturan
tidak dibuat, maka wajiblah dituruti ketentuan-ketentuan bab ini.
2) Syarat berdasarkan pada hukum kebiasaan dan yurisprudensi;
Kebiasaan dan yurisprudensi merupakan sumber hukum yang formal, sehingga
apabila tidak ditemukan syarat-syarat badan hukum dalam perundang-undangan dan
doktrin, maka diusahakan untuk mencarinya dalam kebiasaan dan yurisprudensi.
Yayasan di masa lalu belumlah diatur dalam suatu ketentuan perundang-undangan
tertentu, namun demikian hukum kebiasaan dan yurisprudensi telah mengakui
eksistensi yayasan sebagai badan hukum dalam realitas hukum maupun realitas sosial.
Karena yayasan belum diatur dalam suatu aturan perundang-undangan, maka saat
seseorang atau sekelompok orang berkeinginan mendirikan suatu yayasan, mereka
meminta seorang notaris untuk membuatkan akta pendirian yayasan. Selanjutnya akta
pendirian yayasan tersebut didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri yang wilayah
hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum yayasan tersebut. Disamping itu
dimungkinkan pula pendirian yayasan dengan menggunakan surat wasiat. Disamping
syarat formal seperti yang telah penulis paparkan di atas, guna mendirikan suatu
badan hukum yayasan dengan mendasarkan pada hukum kebiasaan, maka harus
memenuhi syarat materiel, yaitu:41
1) Adanya pemisahan kekayaan antara pendiri dan badan hukum yayasan;
2) Memiliki tujuan tertentu;
3) Merupakan suatu organisasi
Perkembangan yurisprudensi yang terkait dengan persyaratan badan hukum,
antara lain dapat dilihat pada beberapa yurisprudensi. Pengakuan sebagai badan
hukum termasuk didalamnya adalah pengakuan terhadap tujuan badan hukum,
memiliki pengurus sendiri yang mewakili badan hukum dan menjalankan
kepengurusan dalam badan hukum tersebut, serta mewakili badan hukum di dalam
maupun di luar pengadilan. Selanjutnya putusan MA tersebut juga mengakui bahwa di
dalam badan hukum terdapat pemisahan harta kekayaan antara kekayaan pendiri
dengan kekayaan badan hukum.
Bukan saja dalam putusan tingkat Kasasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Agung yang memberikan kekuatan badan hukum. Pada tingkat pengadilan negeri,
terdapat putusan yang dapat digunakan sebagai dasar prasyarat badan hukum.
Pendapat Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwa pengesahan sebagai badan
hukum dari Menteri Kehakiman adalah syarat mutlak bagi berdirinya suatu Perseroan
Terbatas dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang No.
224/1950/Perdata-tertanggal 17 Maret 1951. Dengan demikian putusan pengadilan
negeri ini memberikan prasarat pengesahan sebagai badan hukum oleh Menteri
Kehakiman sebagai pengesahan badan hukum Perseroan Terbatas.
3)
Syarat berdasarkan doktrin
41
Lihat , Chidir Ali, Op. Cit. Hlm. 90
Disamping syarat berdasarkan peraturan perundangan, kebiasaan dan
yurisprudensi, syarat yang dapat digunakan untuk menentukan suatu organisasi, badan
atau perkumpulan itu adalah badan hukum, didasarkan pada doktrin. Ajaran para ahli
hukum berkaitan dengan syarat suatu badan, organisasi atau perkumpulan dapat
menjadi badan hukum dapat paparkan sebagai berikut.
Menurut Scholten badan hukum haruslah memenuhi unsur – unsur:
1) Mempunyai harta kekayaan sendiri, yang berasal dari suatu perbuatan hukum
pemisahan.
2) Mempunyai tujuan tertentu sendiri
3) Mempunyai alat perlengkapan atau organisasi
Menurut Ali Rido bahwa untuk menentukan kriteria sebagai badan hukum,
doktrin memberikan syarat sebagai berikut :42
1) Adanya harta kekayaan yang terpisah
2) Mempunyai tujuan tertentu
3) Mempunyai kepentingan
4) Adanya organisasi yang teratur.
Sedangkan menurut Soenawar Soekowati, badan hukum haruslah memenuhi
unsur-unsur yang terdapat di dalam badan hukum yaitu: 43
1) Ada harta kekayaan yang terpisah, lepas dari kekayaan anggota-anggotanya
(penulis: pendiri);
2) Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum, serta bukan
kepentingan satu atau beberapa orang saja;
3) Kepentingan tersebut haruslah panjang (stabil);
4) Harus dapat ditunjukkan suatu harta kekayaan yang tersendiri, yang tidak saja
untuk obyek tuntutan tetapi juga sebagai upaya pemeliharaan kepentingankepentingan badan hukum yang terpisah dari kepentingan angggota-anggotanya
(penulis: pendiri)
Wirya Projodikoro, menjelaskan kriteria atau ukuran yang jitu untuk
menjelaskan badan hukum adalah:44
1) Adanya benda kekayaan yang terpisah dari orang perseorangan yang bertindak;
2) Adanya kepentingan yang bukan kepentingan orang perseorangan, melainkan
kepentingan suatu golongan orang-orang, dan
3) Bersifat atau memiliki tujuan untuk berdiri dalam waktu yang lama.
Menurut Nindyo Pramono, unsur yang terdapat dalam badan hukum adalah
kehendak dan kedudukan yang mandiri (persona standi in judicio), serta kekayaan
yang terpisah dari badan hukum. 45
Berdasarkan pendapat dari para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa
pemisahan harta kekayaan antara kekayaan pendiri dan kekayaan badan hukumnya
42
R. Ali Rido, 2001, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan Perkumpulan, Koperasi,
Yayasan, Wakaf. Penerbit Alumni, Bandung, Tahun 2001, hlm.50.
43
Ali, Chidir, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 17.
44
Wirjono Prodjodikoro, 1966, Asas-Asas Hukum Perdata, Penerbit Sumur, Bandung, hal. 84
45
Nindyo Pramono, 2007, Pesembahan Kepada Sang Maha Guru, Seputar Hukum Bisnis, FH-UGM,
Yogyakarta, hlm. 114.
menjadi salah satu persyaratan yang mutlak ditemukan dalam suatu badan hukum.
Kekayaan badan hukum inilah yang digunakan oleh badan hukum untuk memenuhi
tanggung jawabnya sebagai subyek hukum. Syarat lain yang menjadi perhatian para
ahli yaitu adanya tujuan tertentu yang dimiliki oleh badan hukum. Tujuan inilah yang
menjadi alasan badan hukum didirikan dan terus eksis, dan bila tujuan dari badan
hukum telah tercapai maka berakhirlah badan hukum tersebut. Syarat organisasi
menjadi satu syarat yang tidak kalah penting bila dibandingkan dengan badan hukum
yang lain. Di dalam organisasi akan dapat ditemukan organ badan hukum, pembukuan
walaupun mungkin sangat sederhana, dan kesinambungan dalam beraktivitas. Dengan
demikian walaupun badan hukum hanya didirikan oleh satu orang saja dalam badan
hukum akan ditemukan organisasi walaupun sangat sederhana.
Setiap badan hukum yang dapat dikatakan mampu bertanggungjawab (rechtbevoegheid) secara hukum, harus memiliki empat unsur pokok, yaitu:46
1. Harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subyek hukum yang lain;
2. Mempunyai tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan;
3. Mempunyai kepentingan sendiri dalam lalu lintas hukum;
4. Ada organisasi kepengurusannya yang bersifat teratur menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan peraturan internalnya sendiri.
Sebagaimana layaknya subjek hukum, badan hukum mempunyai kewenangan
melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang, akan tetapi perbuatan hukum itu
hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan. Mengingat wujudnya adalah
badan atau lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak
dengan perantara pengurus-pengurusnya.
Dalam hukum perdata telah lama diakui bahwa suatu badan hukum (sebagai
suatu subyek hukum mandiri; persona standi in judicio) dapat melakukan perbuatan
melawan hukum (onrechtmatig handelen; tort). Penafsiran ini dilakukan melalui asas
kepatutan (doelmatigheid) dan keadilan (bilijkheid). Oleh karena itu dalam hukum
perdata suatu korporasi (legal person) dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan
melawan hukum, disamping para anggota direksi sebagai natural persons.
Sebagai subyek hukum yang berkedudukan sebagai pendukung hak dan
kewajiban, badan hukum diakui eksistensinya. Berdasarkan Pasal 1653 KUH Perdata,
terdapat 4 jenis badan hukum yaitu:
1) Badan hukum yang didirikan oleh Pemerintah. Termasuk dalam kategori badan
hukum ini adalah baan hukum publik seperti provinsi, kabupaten, kota dan lain
sebagainya;
2) Badan hukum yang diakui oleh Pemerintah, misalnya gereja atau badan
keagamaan lainnya;
3) Badan hukum yang diijinkan oleh Pemerintah;
4) Badan hukum yang didirikan oleh pihak swasta atau partikelir.
Namun demikian, dari beberapa pendapat ahli dapat dikemukakan jenis-jenis
badan hukum yang berbeda satu dengan yang lain. Utrecht menyatakan bahwa dalam
pergaulan hukum terdapat bermacam-macam badan hukum, yaitu:47
46
47
Jimly Asshiddiqie, op.cit., hal. 71
Utrecht. Op.cit. Hlm 237-238
1) Perhimpunan yang dibentuk dengan sengaja dan sukarela oleh orang yang
bermaksud memperkuat kedudukan ekonomis mereka, memelihara kebudayaan,
mengurus soal-soal sosial dan sebagainya.
2) Persekutuan orang yang ada kerena perkembangan faktor-faktor sosial dan politik
dalam sejarah. Termasuk dalam badan hukum ini adalah negara, provinsi,
kabupaten, dan desa.
3) Organisasi yang didirikan berdasarkan undang-undang, tetapi bukan perhimpunan
yang termasuk dalam nomor 1.
4) Yayasan.
Apeldoorn membagi badan hukum menjadi 3 jenis, sebagai berikut.48
1) Perhimpunan yaitu persekutuan-persekutuan yang hidupnya timbul dari
penggabungan secara sukarela dari purusa-purusa pribadi yang berdasarkan
perjanjian dan bertindak seolah-olah adalah suatu purusa.
2) Persekutuan yang tidak didirikan oleh purusa-purusa khususnya, melainkan
tumbuh secara historis, seperti negara, propinsi dan sebagainya.
3) Persekutuan yang didirikan oleh kekuasaan umum seperti waterschappen.
Sri Soedewi Masjchun Sofwan membagi badan hukum menjadi 2 bagian besar
yaitu:49
1) Badan Hukum ketatanegaraan;
a) Daerah otonom, sebagai contoh: Propinsi, Kabupaten
b) Lembaga-lembaga, Majelis, Bank-bank
2) Badan Hukum Keperdataan;
a) Zadelijk lichaam
b) Yayasan
c) Badan-badan hukum yang termasuk dalam hukum dagang
Secara sederhana pembagian badan hukum, dikemukakan oleh Chidir Ali50,
yang membagi badan hukum menjadi 2 bagian menurut golongan hukum yaitu
golongan hukum publik dan golongan hukum privat, yang dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1) Badan hukum publik
Menurut sementara ahli hukum, suatu badan hukum yang didirikan oleh
penguasa (negara), merupakan badan hukum publik dan mempunyai wewenang
publik. Pendapat ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata
menyatakan bahwa badan hukum yang didirikan dengan undang-undang.
Pendapat ini mendapatkan tentangan dari Soenawar Soekowati yang beranggapan
bahwa tidak semua badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik
tersebut merupakan badan hukum publik serta memiliki wewenang publik dan
berkebalikan dengan hal itu maka masuk kategori badan hukum privat. Badan
hukum yang didirikan dengan mendasarkan pada hukum privat, pada stelsel
hukum tertentu, badan tersebut miliki kewenangan publik.
48
L.J. van Apeldoorn, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. hlm.206.
49
Sri Soedewi Masjchun Sofwan dalam Anwar Borahima, 2002, Disertasi: Kedudukan Hukum
Yayasan di Indonesia, Universitas Airlangga. Hlm. 45.
50
Chidir Ali. Op cit. Hlm. 57-66
Menurut Chidir Ali kriteria suatu badan hukum dapat dinyatakan sebagai
badan hukum publik adalah sebagai berikut.51
a) Dilihat dari cara pendiriannya yang didirikan berdasarkan konstruksi hukum
publik, yaitu didirikan oleh penguasa (negara) dengan undang-undang atau
peraturan-peraturan lainnya;
b) Lingkungan kerjanya, apakah dalam melaksanakan tugasnya umumnya
dengan publik/umum dengan tidak melakukan perbuatan-perbuatan hukum
perdata pada umumnya seperti halnya badan-badan hukum privat;
c) Kewenangan yang dimiliki, bahwa badan hukum publik memiliki kewenangan
untuk membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yag mengikat umum.
Adapun macam badan hukum publik ini dapat dilihat dari badan hukum publik
yang memiliki teritorial dan badan hukum publik yang tidak memiliki teritorial.
Dua macam badan hukum publik tersebut selanjutnya dapat dijelaskan sebagai
berikut.
a) Badan hukum yang mempunyai teritorial.
Suatu badan hukum itu pada umumnya harus memperhatikan atau
menyelenggarakan kepentingan mereka yang tinggal di dalam daerah atau
wilayahnya.
b) Badan hukum yang tidak mempunyai teritorial.
Suatu badan hukum yang dibentuk oleh yang berwajib hanya untuk tujuan
tertentu saja.
2) Badan hukum privat
Adapun badan hukum perdata merupakan badan hukum yang didirikan
atas pernyataan kehendak dari orang-perorangan. Badan hukum publik
dimungkinkan mendirikan badan hukum perdata seperti yayasan, Perseroan
Terbatas dan lain sebagainya. Badan hukum perdata yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang dapat disebutkan di bawah ini.
a) perkumpulan (vereniging) diatur dalam Pasal 1653 KUHPerdata, Stb. 187064, dan Stb. 1939-570.
b) Perseroan Terbatas, diatur dalam UU No. 40 tahun 2007.
c) rederji, diatur dalam Pasal 323 KUHDagang.
d) kerkgenootschappen, diatur dalam Stb. 1927-156.
e) koperasi, diatur dalam UU Pokok Koperasi No.25 tahun 1992.
f) yayasan, dan lain-lain.
Selanjutnya untuk membedakan antara badan hukum publik dengan badan
hukum privat atau perdata sebagaimana telah dipaparkan di atas, dapat dengan
memperhatikan hal-hal berikut di bawah ini.
1) Pembedaan badan hukum publik dan privat tersebut dapat dilihat melalui
prosedur pendiriannya, artinya badan hukum publik itu diadakan dengan
konstruksi hukum publik yaitu didirikan oleh penguasa dengan undangundang atau peraturan-peraturan lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada
bagaimana cara pendiriannya badan hukum tersebut, seperti yang diatur di
dalam Pasal 1653 KUHPerdata yaitu ada tiga macam, yakni :
a) badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum (Pemerintah atau
Negara).
b) badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum.
51
Ibid hlm. 62
c) badan hukum yang diperkenankan dan yang didirikan dengan tujuan
tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan
(badan hukum dengan konstruksi keperdataan).
2) Pembedaan badan hukum privat dengan badan hukum publik dapat dilihat dari
siapa pendiri darai badan hukum tersebut. Badan hukum perdata adalah badan
hukum yang didirikan oleh perseorangan, sedangkan pada badan hukum
publik ialah badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum.
3) Perbedaan dengan melihat lingkungan kerjanya, yaitu apakah dalam
melaksanakan tugasnya badan hukum itu pada umumnya dengan publik atau
melakukan perbuatan-perbuatan hukum perdata.
4) Mengenai wewenangnya, yaitu apakah badan hukum yang didirikan oleh
penguasa itu diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan atau
peraturan yang mengikat umum. Jika ada wewenang publik, maka ia adalah
badan hukum publik.
Sejak abad ke-19, kepunyaan badan hukum memiliki ketegasan batasan
apakah termasuk kepunyaan publik (domain public) atau kepunyaan privat (domain
prive). Keduanya, baik badan hukum privat maupun badan hukum publik tidak
mungkin tunduk pada peraturan perundang-undangan yang sama, baik dalam tata
kelola, maupun dalam tata tanggung jawabnya.
Lebih lanjut, Proudhon ahli hukum Prancis menguraikan teori kedudukan
hukum hak kepunyaan publik dan hak kepunyaan privat. Kepunyaan publik negara
adalah benda yang disediakan pemerintah untuk dipergunakan oleh pelayanan publik
dan penyelenggaraan fungsi pemerintahan negara. Kekayaan atau hak kepunyaan
publik tidak diatur dalam hukum yang mengatur kepunyaan perdata . adapun konsep
menguasai Hak kepunyaan publik negara dikuasai atau beheren negara dan dilakukan
pengawasan atau toezichtouden oleh alat negara
Benda kepunyaan publik negara tidak dapat menjadi obyek perjanjian perdata.
Sifat hukum atau rechstkarakter, kepunyaan publik negara ditujukan pada benda atau
kekayaan yang digunakan untuk penyelenggaran pemerintahan dan pelayanan publik.
Adapun hak kepunyaan perdata biasa yang tunduk pada peraturan perdata tidak dapat
dapat diklasifikasikan sebagai kepunyaan atau dikuasai negara, apalagi
diklasifikasikan sebagai milik negara atau staatseigenaar.
Secara alamiah, badan hukum tidaklah dapat berkedudukan sebagai subyek
hukum. Hal ini dikarenakan badan hukum tidak memiliki kehendak, tidak dapat
bertindak dan tidak dapat hadir atau ada seperti halnya karakteristik yang dapat
ditemukan pada orang seperti yang telah dikemukakan di atas. Karakteristik tersebut
yang mengakibatkan orang dapat berkedudukan sebagai subyek hukum secara kodrati.
Ketiadaan karakteristik tersebut, berimplikasi bahwa badan hukum tidak dapat
menjalankan fungsinya sebagai subyek hukum. Problematikan yang dihadapi oleh
badan hukum tersebutlah yang pada akhirnya menghadirkan teori-teori badan hukum.
Teori-teori badan hukum yang berkembang, adalah sebagai berikut:52
1) Teori Fiksi, teori ini dikemukakan oleh Frederich Carl von Savigny pada
permulaan abad 19. Teori ini menyatakan bahwa badan hukum adalah suatu
abstraksi, bukan merupakan sesuatu yang konkrit. Hukum memberikan kepada
52
Chidir Ali, Ibid.
subyek hukum hak-hak suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa
(wilsmacht). Adapun badan hukum hanyalah buatan negara yang sebenarnya tidak
ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya untuk menerangkan
sesuatu hal. Adapun yang menjadi wakil-wakil dalam melakukan perbuatan
adalah manusia yang ada dalam badan hukum tersebut. Oleh sebab itu teori ini
dikenal sebagai teori fiksi.
2) Teori Organ, teori ini dikemukakan oleh Otto von Gierke (1841-1921). Badan
hukum itu seperti manusia, menjadi penjelmaan yang benar-benar dalam
pergaulan hukum. Teori organ memandang badan hukum sebagai suatu yang
nyata (reliteit) bukan fiksi, pandangan ini diikuti oleh L.C. Polano. Menurut teori
organ badan hukum merupakan een bestaan, dat hun realiteit dari konstruksi
yuridis seolah-olah sebagai manusia yang sesungguhnya dalam lalu lintas hukum
yang juga mempunyai kehendak sendiri yang dibentuk melalui alat-alat
kelengkapannya yaitu pengurus dan anggotanya dan sebagainya.53 Putusan yang
dibuat oleh pengurus adalah kemauan badan hukum. Badan hukum itu menjadi
suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau
organ-organ yang terdapat dalam badan tersebut, misalnya anggota atau pengurus
badan hukum tersebut. Apa yang diputuskan dan dilakukan oleh organ adalah
kehendak dari badan hukum. Dengan demikian berdasarkan teori organ, badan
hukum adalah sesuatu yang riil, benar-benar ada.
3) Teori kekayaan bertujuan, destinataristheorie atau leer van het doelvermogen
yang diajarkan oleh A. Brinz dan F.J. van Heyden. Teori harta kekayaan
bertujuan oleh A. Brinz dalam bukunya Lehrbuch der Pandecten (1883)
dinyatakan bahwa,
“Only human beings can be considered correctly as ‘person’. The law,
however, protects purpose other than those concerning the interest of human
beings. The property ‘owned’ by corporations does not ‘belong’ to anybody.
But it may considered as belonging for certain purposes and the device of the
corporation is used to protect those purpose.54
Badan hukum menurut teori kekayaan bertujuan bukanlah terdiri dari anggotaanggota yang merupakan subyek hukum, namun badan hukum ini terdiri atas harta
kekayaan tertentu yang terlepas dari yang memegangnya atau onpersoonlijk.
Sehingga dapat dijelaskan teori harta kekayaan bertujuan ini melihat bahwa
pemisahan kekayaan badan hukum dengan kekayaan anggotanya dimaksudkan
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Harta kekayaan ini menjadi milik dari
perkumpulan yang bersangkutan, yang menyebabkan perkumpulan ini menjadi
subjek hukum. Implementasi tentang teori pemisahan harta kekayaan dalam badan
hukum ini dasarnya terdapat dalam pasal 1618, 1640, 1641 KUH Perdata.
4) Teori tentang harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang dalam jabatannya atau
Leer van het ambtelijk vermogen. Teori ini mengajarkan tentang harta kekayaan
yang dimiliki seseorang dalam jabatannya (ambtelijk vermogen) yaitu suatu hak
yang melekat pada suatu kualitas.55 Teori zweck vermogen ataupun doel
53
Jimly Asshidiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 69
54
Ibid, hlm. 68
55
Chidir Ali, Ibid hlm. 33
vermogens theorie mengembangkan pendapat bahwa badan hukum merupakan
badan yang mempunyai hak atas harta kekayaan tertentu yang dibentuk untuk
tujuan melayani kepentingan tertentu. Adanya tujuan tersebut menentukan bahwa
harta kekayaan dimaksud sah untuk diorganisasikan menjadi badan hukum.Teori
ini menitik beratkan pada daya berkehendak (wilsvermogen) dari suatu subyek
hukum. Adapun dalam badan hukum, yang berkehendak ialah pengurus dari
badan hukum yang bersangkutan. Dalam kualitasnya sebagai pengurus mereka
adalah berhak, maka dari itu disebut ambtelijk vermogen.
Dengan bertitik tolak dari pemikiran bahwa manusia sajalah yang dapat menjadi
subyek hukum, maka badan hukum bukanlah sunyek hukum. Adapun hak-hak
yang diberikan kepada subyek hukum pada hakikatnya adalah hak-hak dengan
tiada subyek hukum namun merupakan kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan
atau kekayaan yan dimiliki oleh tujuan itu.56
5) Teori Kekayaan Bersama, dikemukakan oleh Rudolf von Jhering pada tahun
1818-1892. Pengikut dari teori ini adalah Marcel Planiol (Perancis), Molengraaff
(Belanda), Star Busmann Kranenburg, Paul Scholten dan Apeldoorn. Teori
kekayaan bersama ini menganggap badan hukum sebagai kumpulan manusia.
Kepentingan badan hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya.57 Dengan
demikian badan hukum berdasarkan teori Kekayaan Bersama ini adalah suatu
konstruksi yuridis dari kepentingan-kepentingan anggota, dengan demikian hak
dan kewajiban badan hukum adalah hak dan kewajiban serta tanggung jawab
hukum dari anggota secara bersama-sama. Konsekwensi yuridisnya bahwa harta
kekayaan badan hukum adalah milik bersama seluruh anggota.
6) Teori Kenyataan Yuridis atau Juridische Realiteitsleer, dikemukakan oleh E.M.
Meijers dan dianut oleh Paul Scholten. Teori ini menyatakan bahwa badan hukum
merupakan suatu realitas, konkrit, riil walaupun tidak dapat diraba dan merupakan
kenyataan yuridis. Dengan demikian Meijers ingin mempersamakan badan hukum
dengan manusia hanya sebatas pada bidang hukum saja. Dalam kenyataan yuridis,
badan hukum adalah wujud riil, sama riilnya dengan manusia. Badan hukum
adalah persoon dalam artian subyek hak saja. Menurut teori badan hukum ini,
badan hukum merupakan kelompok yang kegiatan dan aktivitas kelompok
tersebut diakui hukum (seperate legal recognition) dari kegiatan dan aktivitas
individu kelompok yang terlibat dalam badan hukum.58Mengenai bertindaknya
badan hukum ini dilakukan dengan perantaraan orang.
Ciri yang ditemukan dalam badan hukum berdasarkan teori ini adalah:59
a) Memiliki kepribadian hukum atau personalitas hukum (legal personality) yang
berbeda dan terpisah (distinct and separate) dari kepribadian hukum individu
personnya;
b) Hukum memperbolehkan penerapan tanggung jawab terbatas (limited liability) hanya
sebatas harta kekayaan badan hukum, serta dalam hal melakukan gugatan ataupun
digugat atas nama badan hukum.
c) Memiliki pengurus yang bertindak megurusi kegiatan (management) badan hukum,
56
Chatamarrasdjid, 2002, Badan Hukum Yayasan, Citra Aditya Bakti, Bandung
57
Chidir Ali, Ibid. Hlm. 34
58
M. Yahya Harahap, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 55.
59
Ibid, Hlm. 56
serta mewakili (representative) badan hukum di muka hukum.
Penutup
Subyek hukum yang memiliki kewenangan dan mampu bertindak melakukan
perbuatan-perbuatan hukum, terdiri dari manusia dan badan hukum. Esensi manusia
menjadikan manusia sebagai subyek hukum kodrati. Sedangkan badan hukum yang nota
bene adalah subyek hukum yang diberikan oleh negara, memiliki batasan dan syarat-syarat
tertentu dalam menjalankan kewengannya sebagai subyek hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Borahima, 2002, Disertasi: Kedudukan Hukum Yayasan di Indonesia, Universitas
Airlangga
Bryan A Garner, 2009,Black’s Law Distionary, 9th edition, ST Paul – Minnessota: West
Publishing Co,
Yahya Harahap, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta
Chidir Ali, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung
AF Elly Erawati dan JS Badudu, 1991, Kamus Hukum Ekonomi, Proyek Elips, Jakarta.
Nindyo Pramono, 2007, Pesembahan Kepada Sang Maha Guru, Seputar Hukum Bisnis, FHUGM, Yogyakarta,
Sudikno, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta
L.J. van Apeldoorn, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta
Man. S. Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, Bandung: Alumni, 2005
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Chatamarrasdjid, 2002, Badan Hukum Yayasan, Citra Aditya Bakti, Bandung
Wirjono Prodjodikoro, 1966, Asas-Asas Hukum Perdata, Penerbit Sumur, Bandung
Jimly Asshidiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta
Henry Campbell Black, 2000, Black’s Law Dictionary-Abridged Seventh Edition, West
Publishing Co, St. Paul Minn.
Notohamidjoyo, 1973, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta
Rochmat Soemitro, 1993, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, Eresco, Bandung
A. Sudiarja, 2006, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikiran yang Terlibat
Penuh dalam Perjuangan Bangsa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Subekti, 1996, Pokok-pokok Hukum Perdata, Pembimbing Masa, Jakarta,
Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Indonesia, Prenada Media
Group, Jakarta,
Download