TELAAH TERHADAP ESENSI SUBYEK HUKUM : MANUSIA DAN BADAN HUKUM Dyah Hapsari Prananingrum, SH.M.Hum.Abstrak Sebagai pihak yang dapat bertindak dalam hukum, subyek hukum memiliki kewenangan hukum yang tidak dimiliki pihak lain. Manusia sebagai subyek hukum yang bersifat natural. Pertanyaan siapakah manusia sehingga dia bisa menjadi subyek hukum, tidak dapat dijawab dengan satu kalimat. Esensi manusia sebagai salah satu dasar menjawabnya. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah badan hukum itu sehingga dia dapat berkedudukan sebagai badan hukum. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dijawab melalui telaah ini. Kata kunci : Subyek Hukum, Badan Usaha. Subyek Hukum Subyek hukum di kalangan hukum ada yang menggunakan istilah purusa hukum (Oentari Sadino), awak hukum (St.K. Malikul Adil), pribadi hukum (Soerjono Soekamto, Purnadi Purbacaraka) dan sebagainya.1 Subyek hukum atau purusa hukum menurut Apeldoorn adalah segala sesuatu yang mempunyai kewenangan hukum atau persoonlijkheid. Kewenangan hukum tersebut merupakan kecakapan untuk menjadi pendukung subyek hukum yang diberikan oleh hukum obyektif.2 Pengertian subyek hukum atau rechts subject menurut Algra adalah setiap orang mempunyai hak dan kewajiban, yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid). Wewenang hukum itu adalah kewenangan untuk menjadi subyek dari hak-hak. Subyek hukum dalam menjalankan perbuatan hukum memiliki wewenang. Wewenang subyek hukum terbagi menjadi dua yaitu: Pertama, wewenang untuk mempunyai hak (rechtsbevoegdheid), dan Kedua, wewenang untuk melakukan (menjalankan) perbuatan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Subyek hukum menurut Utrecht adalah suatu pendukung hak yaitu manusia atau badan yang menurut hukum berkuasa menjadi pendukung hak. Suatu subyek hukum mempunyai kekuasaan guna mendukung hak atau rechtsvoegdheid.3 Menurut Sudikno Mertokusumo,4 subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Subekti,5 yang menyatakan menyatakan bahwa subyek hukum adalah pembawa hak atau subyek dalam hukum, yaitu orang. 1 Chidir Ali, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hlm.14. 2 L.J.van Apeldoorn, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 203. 3 4 5 Utrech, 1965, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Universal, Jakarta, hlm. 234. Sudikno, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hlm. 53 Subekti, 1996, Pokok-pokok Hukum Perdata, Pembimbing Masa, Jakarta, hlm. 19. Dalam Back’s Law Dictionary, dirumuskan pengertian subyek hukum sebagai “One that owes allegience and governed by his law. The natives of Great Britain are subjects of the British Government. Men in free governments are subjects as well as citizens: as they enjoy rights and franhises, as they bound to obey the law”.6 Istilah subyek hukum berasal dari bahasa Belanda yaitu rechtsubject atau law of subject dari bahasa Inggris. Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum.7 Dengan demikian subyek hukum adalah segala sesuatu yang memiliki kewenangan hukum, penyandang hak dan kewajiban dalam perbuatan hukum. Subyek hukum sangat terkait dengan kecakapan secara hukum atau rechtsbekwaam, dan kewenangan dalam hukum atau rechtsbevoegd. Subyek hukum (legal subject) adalah setiap pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan hukum. Baik manusia maupun badan hukum semuanya mempunyai kewenangan menyandang hak dan kewajiban, sehingga manusia dan badan hukum disebut mempunyai kewenangan hukum. Namun demikian dalam hal tertentu, kewenangan dalam kaitannya dengan hak-hak yang lahir dari hukum orang dan hukum keluarga hanya dapat dimiliki oleh subyek hukum orang dan tidak disandang oleh subyek hukum badan hukum. Kewenangan hukum yang dimiliki orang perorang, pada kondisi tertentu yang merupakan pengecualian insidentil, seperti keadaan, tempat tinggal, umur, status dan perbuatan seseorang. Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Agung No. 191/K/Sip/1962, tertanggal 10 Oktober 1962 yang berpendapat bahwa kemerdekaan seseorang, juga dalam bidang keperdataan tidak layak diberikan 100%, sebab hal itu bertentangan dengan hukum.8 Esensi Manusia dan Manusia sebagai Subyek Hukum Manusia adalah pendukung hak dan kewajiban, oleh karena manusia adalah subyek hukum. Siapakah manusia, sehingga sedemikian istimewa bila dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, bahkan manusia dinyatakan sebagai subyek hukum saat dia masih di dalam kandungan, khususnya dalam hukum waris. Realitas manusia pada dasarnya tidaklah cukup disebutkan dalam satu rumusan kalimat. Dari sudut filsafati, manusia dapat disebutkan dalam 3 definisi, yaitu: 1) Definisi klasik menyatakan bahwa manusia adalah hewan berbudi atau animal rationale. Bukan berarti bahwa manusia itu sama dengan hewan yang hanya ditambah dengan budi. Dalam aksi-reaksi biologis ada persamaan, walaupun hanya dalam suatu momen saja dari totalitas atau keseluruhan. Namun dalam aksi-reaksi psikologis, manusia dengan hewan sama sekali berbeda.9 2) Geist-in-welt 6 Henry Campbell Black, 2000, Black’s Law Dictionary-Abridged Seventh Edition, West Publishing Co, St. Paul Minn. 7 Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 40. 8 Anwar Borahima, 2002, Disertasi: Kedudukan Hukum Yayasan di Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 27. 9 A. Sudiarja, 2006, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikiran yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 146. Manusia dipandang dari sudut sungguh-sungguh sebagai barang di dunia yang badani, oleh karena memiliki sifat-sifat badani juga. 3) Esprit incarne Manusia adalah roh yang telah menjelma menjadi daging. Maksudnya bahwa manusia betul-betul bersifat jasmani, stoffelijk.10 Dengan demikian, berdasarkan pandangan filsafati manusia di atas, dapat diketahui adanya kesatuan kata dan artinya, bahwa manusia adalah sekaligus jasmani dan rohani. Dan keistimewaan manusia bila dibandingkan dengan makluk yang lain adalah akal budi yang dimilikinya. Manusia memiliki, menguasai dan memastikan dirinya sendiri. Kesadaran tersebut merupakan kesempunaan yang tidak terdapat pada makluk lainnya. Notohamidjoyo,11 menyatakan bahwa manusia meliputi obyek, subyek dan relasi. Manusia sebagai obyek adalah manusia dalam perwujudan lahiriah yang memiliki tubuh, mengisi suatu ruang sehingga dapat dicandra. Manusia selain sebagai obyek juga mewujudkan subyek yang berarti mempunyai kehendak dan mengambil keputusan yang bebas. Namun demikian belumlah lengkap memberikan gambaran tentang manusia tanpa melihat manusia sebagai relasi, karena baik dalam manusia sebagai obyek, maupun segi subyek itu dialaminya dalam suatu relasi. Manusia bukanlah subyek yang berdiri sendiri, melainkan senantiasa dalam perhubungan dengan kenyataan. Manusia bukan pula kebebasan saja, namun kebebasan dalam tanggung jawab. Sering kali manusia dikatakan memiliki human ecology, bahwa manusia hidup dalam hubungan timbal-balik dengan lingkungannya, dan masyarakatlah lingkungan dimana manusia hidup. Dengan demikian, hakekat manusia dapat dilukiskan sebagai obyek-subyek-relasi. Pendapat Driarkara dan Notohamidjoyo di atas, melengkapi pengertian apa itu manusia secara filsafati. Manusia merupakan subyek sekaligus obyek atau geist-in-welt yang memiliki human ecology dan kesadaran memiliki, menguasai dan memastikan dirinya sendiri karena manusia memiliki akal budi. Pada dasarnya setiap semua orang atau natuurliijk persoon memiliki kecakapan kecuali undang-undang menyatakan lain. Anak yang masih di bawah umur, orang yang dinyatakan pailit dan orang yang di bawah pengampuan adalah mereka yang tidak memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Kewenangan subyek hukum sangat terkait dengan kewenangan yang dimilikinya berdasarkan peraturan yang ada. Masalah kecakapan dan kewenangan dalam hukum sangat terkait dengan sah tidaknya perbuatan hukum yang dilakukan subyek hukum tersebut. Subyek hukum dapat merupakan orang atau natuurlijkpersoon (menselijkpersoon) dan bukan orang atau badan hukum (rechtspersoon). Secara yuridisnya ada alasan manusia sebagai subyek hukum, yaitu: Pertama, manusia mempunyai hak-hak subyektif dan kedua, kewenangan hukum dalam hal ini kewenangan hukum berarti kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kandungan karena status sebagai subyek hukum yang melekat pada manusia adalah kodrat yang dibawa dari lahir sedangkan hukum hanya mengakuinya saja. Pengecualian atas hak tersebut terdapat di dalam Pasal 2 KUH Perdata yang mengatur bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah 10 Ibid, hlm.7. 11 Notohamidjoyo, 1973, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, hlm. 9. mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada. Pengecualian atas hak ini disebut dikenal dengan fiksi hukum. Tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, adapun orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang cakap menurut hukum. Sedangkan orang-orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata). Dari sudut pandang hukum, menurut Paul Scholten pengertian manusia adalah orang atau persoon dalam hukum yang mengandung 2 dalil yaitu: 1) Manusia dalam hukum sewajarnya diakui sebagai yang berhak atas hak-hak subyektif dan sewajarnya diakui sebagai pihak atau pelaku dalam hukum obyektif. Disini perkataan manusia mempunyai nilai etis. Persoalannya hal ini juga menjadi dasar arti dalil yang ke 2, yaitu: 2) Dalam hukum positif yang merupakan persoon adalah subyek hukum, mempunyai kewenangan. Dalil ini mengandung petunjuk dimana tempat manusia dalam sistem hukum dan dengan demikian dinyatakan suatu kategori hukum.12 Menurut Van Apeldoorn,13 pengertian orang dalam artian yuridis adalah setiap orang yang mempunyai wewenang hukum. Kewenangan hukum adalah sifat yang diberikan oleh hukum yaitu kecakapan untuk menjadi subyek hukum. Lebih lanjut Apeldoorn berpendapat bahwa hanya manusia yang dapat memiliki hak-hak subyektif, artinya kewenangan dan kewajiban. Subyek hukum yang merupakan orang, sering juga disebut sebagai subyek kodrati atau purusa kodrat karena pada kodratnya manusia adalah subyek hukum, sehingga sangat berbeda dengan subyek hukum lainnya yang mendapatkan kewenangan hukum dari hukum positif. Namun pendapat ini tidaklah tepat, karena: 1) Kewenangan hukum bukanlah sifat bawaan manusia, melainkan kualitet yang diberikan oleh hukum positif; 2) Kualitet itu hanya dapat diberikan kepada manusia. Jadi apa yang disebut purusa hukum bukanlah purusa yang sebenarnya.14 Dalam Pasal 6 Universal Declaration of Human Rights, dirumuskan Everyone has the right to recognition everywhere as a person before the law.15 Perumusan universal ini pada hakekatnya merupakan batasan tentang subyek hukum, yaitu man is person before the law yang merupakan suatu asas hukum (rechtsbeginsel). Hukum Indonesia mengakui setiap manusia sebagai subyek hukum, hal ini tampak dalam Pasal 1 Ayat(1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa menikmati hak-hak kewargaan tidak tergantung pada hak-hak kenegaraan. Pengaturan ini mengandung makna bahwa status sebagai warga (yang memiliki makna sebagai subyek hukum) tiak digantungkan pada syarat tertentu yang ditetapkan oleh negara, melainkan melekat atau muncul sebagai hak asasi yang ada pada dirinya. Pengakuan manusia sebagai subyek hukum tersebut dimulai sejak manusia tersebut di dalam kandungan (bila kepentingannya menghendaki demikian), sampai dengan 12 Chidir Ali, 1991, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 6. 13 Van Apeldoorn, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 203. 14 Ibid hal. 204. 15 www.un.org, diunduh pada tanggal 10 September 2011 manusia tersebut meninggal dunia. Pengaturan Pasal 1 KUH Perdata selaras dengan apa yang diatur dalam Pasal 2 dan 3 KUH Perdata. Pasal 2 KUH Perdata menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan si anak menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak pernah ada. Adapun Pasal 3 KUH Perdata menyatakan bahwa tiada suatu hukuman pun yang mengakibatkan kematian perdata, atau hilangnya segala hak-hak kewargaan. Selain orang perseorangan yang secara kodrati merupakan subyek hukum, hukum juga mengakui eksistensi badan hukum atau rechtspersoon sebagai badan hukum, yang berkedudukan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Badan Hukum sebagai Subyek Hukum Dalam konteks subyek hukum, di samping manusia sebagai pembawa hak, badanbadan atau perkumpulan-perkumpulan dipandang sebagai subyek hukum yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka pengadilan. Badan-badan atau perkumpulan tersebut dinamakan Badan Hukum (rechtpersoon) yang berarti orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum.16 Hukum memberikan kedudukan sebagai badan pribadi dalam wujud yang lain selain manusia yaitu badan hukum atau rechtspersoon. Rechtspersoon biasa disebut sebagai badan hukum yang merupakan persona ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai persona.17 Selain subyek hukum yang orang perorang, badan hukum atau legal entity adalah satu subyek hukum lain yang diakui sebagai subyek hukum. Burgelijk Wetboek menggunakan istilah rechtpersoon pada permulaan abad keduapuluh yaitu pada saat diadakannya pengaturan tentang kanak-kanak (kinderwetten). Menurut Pasal 292 Ayat (2) dan Pasal 302 Buku I BW serta sejak diadakannya buku Titel 10 Buku III BW (lama) pada tahun 1838 terdapat banyak ketentuan tentang apa yang dimaksud dengan rechtpersonen tetapi istilah yang digunakan adalah zedelijk lichaam (badan susila).18 Mengenai istilah ini, Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto berpendapat sebagai berikut:19 Dalam menejermahkan zadelijk lichaam menjadi badan hukum, lichaam itu benar terjemahannya badan, tetapi hukum sebagai terjemahan zadelijk itu salah, karena arti sebenarnya susila. Oleh karena itu, istilah zadelijk lichaam dewasa ini sinonim dengan rechtpersoon, maka lebih baik kita gunakan pengertian itu dengan terjemahan pribadi hukum. Dalam peraturan di Indonesia, istilah yang resmi digunakan adalah badan hukum, istilah ini dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan berikut: 1. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria 2. Perpu No. 19 Tahun 1960 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara 16 CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-8, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 216 17 Sri Soedewi Maschun Sofwan dalam Chidir Ali, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 19. 18 Chidir Ali, 2005, Badan Hukum,: PT Alumni, Bandung, hlm. 14 19 Purnadi Purbacaraka, Sendi-Sendi Hukum Perdata Internasional (suatu orientasi), Edisi I, Jakarta: CV Rajawali, 1993, dalam Chidir Ali, Ibid, hlm. 17 3. UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara 4. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan sebagainya. Terjadi banyak perdebatan mengenai bagaimana badan hukum dapat menjadi subyek hukum dan memiliki sifat-sifat subyek hukum seperti manusia. Banyak sekali teori yang ada dan digunakan dunia akademis untuk menjelaskan hal tersebut, namun demikian menurut Salim,20 teori yang paling berpengaruh dalam hukum positif adalah teori konsensi yang pada intinya mengajarkan bahwa badan hukum dalam negara tidak dapat memiliki kepribadian hukum yaitu hak dan kewajiban dan harta kekayaan kecuali di perkenankan oleh hukum dalam hal ini berarti negara sendiri. Badan hukum merupakan terjemahan dari rechtspersoon, namun demikian di kalangan hukum ada yang menggunakan istilah purusa hukum (Oentari Sadino), awak hukum (St.K. Malikul Adil), pribadi hukum (Soerjono Soekamto, Purnadi Purbacaraka) dan sebagainya.21 Dalam kepustakaan hukum Belanda istilah badan hukum dikenal dengan sebutan “rechtpersoon” dan dalam kepustakaan common law seringkali disebut dengan istilah-istilah legal entity, juristic person, atau artificial person. Black’s Law Dictionary mendefinisikan badan hukum atau artificial person sebagai persons created and devised by human laws for the purposes of society and government, as distinguished from natural person, adapun legal entity didefinisikan sebagai an entity, other than natural person, who has sufficient existence in legal contemplation that it can function legally, be sued or sue and make decisions through agents as in the case of corporation. 22 Selanjutnya Black’s Law Dictionary, memberikan pengertian legal entity sebagai (a) body, other than a natural person, that can function legally, sue or be sued, and make decisions thorugh agents.23 Sedangkan legal person diartikan sebagai an entity such as corporation, created by law given certain legal rights and duties of a human being; a being,real or imaginary, who for the purpose of legal reasoning is treated more or less as a human being.24 Kamus Besar Bahasa Indonesia,25 memberikan pengertian badan hukum sebagai badan yang dalam hukum diakui sebagai subyek hukum (peseroan, yayasan, lembaga, dan sebagainya). Selanjutnya Kamus Hukum Ekonomi mengartikan badan hukum sebagai badan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan sebagai subyek hukum, yaitu pemegang hak dan kewajiban.26 Suatu badan yang bukan berupa orang tapi mempunyai hak dan kewajiban seperti orang serta mempunyai harta kekayaan sendiri yang terpisah dari harta kekayaan pribadinya. 20 Salim HS, 2005, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta, Sinar Grafika 21 Chidir Ali, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hlm.14. 22 Henry Campbell Black, 2000, Black’s Law Dictionary-Abridged Seventh Edition, West Publishing Co, St. Paul Minn, hlm.726. 23 Bryan A Garner, 2009,Black’s Law Distionary, 9th edition, ST Paul – Minnessota: West Publishing Co, hlm. 976 24 Ibid, hal. 1178 25 http://kamusbahasaindonesia.org 26 AF Elly Erawati dan JS Badudu, 1991, Kamus Hukum Ekonomi, Proyek Elips, Jakarta. Adapun berdasarkan Pasal 1654 KUH Perdata, badan hukum didefinisikan sebagai semua perkumpulan yang sah adalah seperti halnya dengan orang-orang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau ditundukkan pada acara-acara tertentu. Sebelumnya dalam KUH Perdata Pasal 1653 diatur berkaitan dengan perkumpulan adalah selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan. Dengan demikian berdasarkan Pasal 1653 Bab Kesembilan dari Buku Ketiga KUH Perdata, disebutkan 3 macam perkumpulan yaitu : 1) Perkumpulan yang diadakan oleh kekuasaan umum 2) Perkumpulan yang diakui oleh kekuasaan umum 3) Perkumpulan yang diperkenankan atau untuk suatu maksud tertentu tidak berlawanan dengan undang-undang atau kesusilaan. Pasal 1653 tersebut merupakan landasan yuridis keberadaan badan hukum baik badan hukum publik maupun privat, meskipun tidak secara tegas mengaturnya. Pada umumnya, ahli hukum tidak sependapat dengan menempatkan pengaturan badan hukum di dalam Buku III KUH Perdata. Badan hukum yang pada dasarnya merupakan subyek hukum tidaklah tepat dimasukkan dalam hukum perikatan, walau sebagian dari badan hukum tersebut lahir dari perjanjian. Namun demikian tidaklah tepat pula bila badan hukum yang merupakan subyek hukum diatur bersama-sama dengan subyek hukum manusia. Badan hukum merupakan persoon karena hukum dan struktur badan hukum yang menopang eksistensi badan hukum adalah struktur hukum, berbeda dengan manusia yang struktur manusia sama sekali bukan persoalan hukum. Apakah pengertian badan hukum menurut para ahli? Para ahli hukum telah mengemukakan pengertian badan hukum, yang antara lain sebagai berikut. Menurut Van Apeldoorn,27 yang dimaksud dengan purusa hukum (badan hukum) adalah: 1) Tiap-tiap persekutuan manusia, yang bertindak dalam pergaulan hukum seolah-olah ia suatu purusa yang tunggal; 2) Tiap-tiap harta dengan tujuan yang tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya, dalam pergaulan hukum diperlakukan seolah-olah ia sesuatu purusa (yayasan). Utrecht,28 memberikan pengertian badan hukum sebagai setiap pendukung hak yang tidak berjiwa atau bukan manusia. Sudikno Mertokusumo mendefinisikan badan hukum adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban.29Adapun menurut Subekti badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri yang dapat digugat atau menggugat 27 Van Apeldoorn, Op.Cit. hal. 205 28 Utrech, 1965, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Universitas, Jakarta, hlm.236 29 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit. hlm. 53 di depan hakim.30 Dengan demikian rechtspersoon atau badan hukum adalah orang yang diciptakan oleh hukum dan mampu melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang memiliki kekayaan sendiri. Pengertian mengenai badan hukum yang lebih lengkap dapat ditemukan dari pendapat Molengraaff. Badan hukum menurut Molengraaff merupakan hak dan kewajiban dari para anggotanya secara bersama-sama, dan didalamnya terdapat harta kekayaan bersama yang tidak dapat dibagi-bagi. Setiap anggota tidak hanya menjadi pemilik sebagai pribadi untuk masing-masing bagiannya dalam satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi itu, tetapi juga sebagai pemilik bersama untuk keseluruhan harta kekayaan, sehingga setiap pribadi anggota adalah juga pemilik harta kekayaan yang terorganisasikan dalam badan hukum itu.31 Oentari Sadino menterjemahkan buku L.J. van Apeldoorn yang berjudul Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht (Pengantar Ilmu Hukum) tentang masalah subyek hukum dengan menterjemahkannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.32 Walaupun demikian, ajaran hukum dan kini juga undang-undang mengakui adanya purusa atau subyek hukum yang lain dari manusia. Untuk membedakannya, manusia disebut purusa kodrat (natuurlijke personen) yang lain purusa hukum. Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa purusa yang demikian itu juga benar-benar terdapat. Itu hanya berarti, bahwa sesuatu yang bukan purusa atau tidak dapat merupakan purusa, diperlakukan seolah-olah ia adalah suatu purusa. Istilah purusa kodrat dan purusa hukum bersandar pada pandangan (yang berasal dari ajaran hukum kodrat) bahwa menurut kodratnya manusia adalah subyek hukum dan yang lain-lainnya memperoleh kewenangan hukumnya dari hukum positif... Menurut Logemann, badan hukum adalah suatu personifikasi atau bestendigheid (perwujudan, penjelmaan), hak-kewajiban hukum organisasi (orgnisatie recht) yang menentukan struktur internal (inneelijkstruktuur) dari personifikasi itu.33 Menurut Rochmat Soemitro,34 badan hukum atau rechtspersoon adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat mempunyai harta, hak, serta kewajiban seperti orang-orang pribadi. Wirjono Prodjodikoro menyatakan badan hukum sebagai badan di samping manusia perseorangan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan hubungan hukum dengan orang lain maupun badan lain.35 Sri Soedewi Maschun Sofwan,36 mengartikan badan hukum sebagai kumpulan dari orang-orang yang bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta 30 Subekti, Op.Cit.hlm. 48 31 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, Cet Kedua, Jakarta, hlm.69. 32 Chidir Ali, op.cit. hlm.6 33 Man. S. Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, Bandung: Alumni, 2005, hal 128-129 34 Rochmat Soemitro, 1993, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, Eresco, Bandung, hlm. 35 Man. S. Sastrawidjaja, op.cit. 36 Sri Soedewi Maschun Sofwan dalam Chidir Ali, Op.cit. hal 19. 10. kekayaan yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu. Kedua-duanya merupakan badan hukum. Tidak terlalu jauh berbeda dengan pendapat Sri Soedewi tersebut di atas, adalah pendapat yang dikemukakan oleh J.J. Dormeiner37 yang membagi 2 pengertian badan hukum, yaitu: 1) Persekutuan orang-orang, yang di dalam pergaulan hukum bertindak selaku seorang saja; dan 2) Yayasan, yaitu suatu harta atau kekayaan yang dipergunakan untuk suatu maksud yang tertentu. Yayasan itu digunakan sebagai oknum. Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli hukum mengenai badan hukum di atas dapat diketahui bahwa tidak ada keraguan sedikitpun mengenai kedudukan badan hukum sebagai subyek hukum, karena badan hukum merupakan lembaga yang independen, penyandang hak dan kewajiban, serta dapat bertindak di depan hukum. Implikasi hukum dari independen atau kemandirian tersebut, bahwa keberadaan badan hukum tersebut tidak digantungkan pada kehendak pendiri atau organ namun ditentukan oleh hukum. Dalam pengertian pokok, apa badan hukum itu adalah segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang demikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Sebagai pendukung hak dan kewajiban yang bukan manusia, dalam badan hukum terdapat 2 (dua) unsur penting yang harus diperhatikan, yaitu: pertama, dapat dipisahkannya hak dan kewajiban badan hukum dari hak dan kewajiban anggota badan hukum dan kedua, organ badan hukum dapat berganti –ganti namun demikian badan hukum tetap ada. Dengan demikian badan hukum merupakan penyandang hak dan kewajibannya sendiri sebagai subyek hukum yang memiliki status yang dipersamakan dengan orang perorangan sebagai subjek hukum. Pengertian sebagai penyandang hak dan kewajiban, dengan demikian badan hukum dapat digugat maupun menggugat di pengadilan. Kondisi ini membawa konsekuensi bahwa keberadaannya dan ketidakberadaannya sebagai badan hukum tidak digantungkan kepada kehendak sendiri atau anggotanya melainkan pada sesuatu yang ditentukan oleh hukum. Berdasarkan pendapat dari para ahli tentang kriteria badan hukum yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disusunlah unsur-unsur badan hukum adalah sebagai berikut. 1) Adanya pemisahan harta kekayaan antara pendiri dengan badan hukum 2) Mempunyai harta kekayaan tertentu 3) Memiliki kepentingan tertentu 4) Memiliki organ yang menjalankan badan hukum 5) Adanya managemen yang teratur Unsur-unsur inilah yang dapat ditemukan dalam suatu badan hukum, serta dapat digunakan untuk membedakan badan hukum dengan bukan badan hukum. Sedangkan agar perkumpulan atau badan usaha dapat disebut sebagai badan hukum, maka beberapa syarat harus dipenuhi. Dari sumber hukum formal, beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi badan hukum yaitu:38 1) Syarat berdasarkan ketentuan perundang-undangan ; 2) Syarat berdasarkan pada hukum kebiasaan; 3) Syarat berdasarkan yurisprudensi; 37 Ibid Hlm. 21 38 Chidir Ali, Op. Cit. Hlm.79-98 4) Syarat berdasarkan pada pandangan doktrin. Ad. 1) Syarat berdasarkan ketentuan perundang-undangan Syarat-syarat berdasarkan undang-undang mendasarkan diri pada ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata yang disebutkan demikian. Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan. Berdasarkan pengaturan Pasal 1653 KUH Perdata di atas, maka dapat disimpulkan bahwa syarat untuk mendapatkan status badan hukum dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu:39 a) Dinyatakan dengan tegas atau uitdrukkelijk, bahwa suatu perhimpunan adalah merupakan badan hukum; b) Tidak secara tegas dinyatakan, namun dengan peraturan sedemikian rupa bahwa badan itu adalah badan hukum. Selain badan hukum seperti yang di atur di atas, dapat pula ditemukan aturan umum dan aturan khusus yang tercantum dalam titel IX, Buku III KUH Perdata. Aturanaturan tersebut adalah sebagai berikut.40 Aturan umum, dalam Pasal 1653 KUH Perdata, ditentukan bahwa selain maatschap yang sejati atau eigenlijke maatschap, undang-undang juga mengakui perhimpunan atau vereneging sebagai badan hukum atau zedelijk lichaam. Berdasar Pasal 1653 KUH Perdata, Perkumpulan diakui sebagai badan hukum (rechtspersoon, legal person). Pasal 1653 KUH Perdata adalah peraturan umumnya, disebutkan: Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunanperhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulanperkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik. Perkumpulan yang diatur dalam KUH Perdata ini disamakan dengan Perseroan yang diatur dalam Buku Kesatu, Bagian Ketiga KUHD yang terdiri atas Pasal 36-56. Badan hukum dengan konstruksi keperdataan yang diatur dalam Pasal 1653 KUH Perdata meliputi semua perkumpulan swasta yang menurut Stb. 1870-64 dianggap sebagai badan hukum. Perkumpulan adalah perhimpunan atau perserikatan orang (zedelijke lichamen, corporate body) baik yang didirikan dan diakui oleh kekuasaan umum seperti daerah otonom, badan keagamaan, atau yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak, bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan yang baik yang lazim disebut Perkumpulan. Sebagai badan hukum, perkumpulan tersebut diperlukan pengesahan akta pendirian perkumpulan, dengan memperhatikan tujuan, azas lapangan kerja dan aturan-aturan lainnya dari perkumpulan tersebut. Terdapat 3 (tiga) jenis badan hukum yang diakui yaitu: a) Badan hukum yang diadakan oleh pemerintah; 39 Chidir Ali, Op.Cit. hlm. 80 40 Ibid. hlm. 81 b) Badan hukum yang diakui oleh pemerintah; c) Badan hukum dengan konstruksi keperdataan. Menurut Staatsblad 1870-64, agar perkumpulan mendapat status badan hukum, diperlukan "pengakuan" dalam bentuk "pengesahan" anggaran dasar (selanjutnya AD) dari Menteri. Perkumpulan dapat melakukan perbuatan hukum seperti person manusia (naturlijke persoon, natural person) untuk dan atas nama perkumpulan. Para pengurus perkumpulan berwenang mewakili perkumpulan di dalam di luar pengadilan berdasar kuasa undang-undang (wettelijke vertegenwoordig, statutory representative). Berkaitan dengan perkumpulan tersebut, Pasal 1655 KUH Perdata mengatur tentang kewenangan bertindak dari pengurus, sebagai berikut. 1) para pengurus diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama Perkumpulan, 2) para pengurus bertindak mewakili Perkumpulan di depan pengadilan, 3) semua tindakan pengurus mengikat kepada Perkumpulan, 4) sekiranya perbuatan atau tindakan pengurus menyimpang dari kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya dalam AD, tindakan itu tetap mengikat perkumpulan, apabila tindakan itu memberi manfaat kepada Perkumpulan atau apabila tindakan itu disahkan rapat anggota. Kewajiban pengurus Pengurus Perkumpulan wajib memberi pertanggungjawaban kepada anggota atas kepengurusan perkumpulan yang disampaikan dalam rapat anggota. Diatur dalam Pasal 1659 KUH Perdata, jika dalam akte pendirian, persetujuan-persetujuan dan reglemen-reglemennya tidak diatur mengenai hak bersuara, maka masing-masing anggota suatu perkumpulan mempunyai hak sama untuk mengeluarkan suaranya, segala keputusan diambil dengan suara terbanyak. Adapun keputusan rapat dalam suatu perkumpulan diatur menurut Pasal 1659 KUH Perdata, yaitu: a) keputusan diambil dengan suara terbanyak, dan b) masing-masing anggota mempunyai hak suara yang sama. Bagaimana dengan pertanggungjawaban masing-masing anggota dalam suatu perkumpulan, apakah anggota bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh perkumpulan atau sebaliknya anggota tidak bertanggungjawab terhadap segala perbuatan hukum perkumpulan? Berkaitan dengan tanggung jawab anggota ini diatur pada Pasal 1661 KUH Perdata, yaitu: para anggota badan hukum sebagai perseorangan tidak bertanggung jawab atas perjanjian-perjanjian perkumpulannya. Semua utang perkumpulan itu hanya dapat dilunasi dengan harta benda perkumpulan. Berdasarkan pengaturan berdasarkan Pasal 1661 KUH Perdata di atas, maka dapat ditarik 2 (dua) kesimpulan berkaitan dengan pertanggungjawaban anggota perkumpulan berbadan hukum, yaitu: 1) Para anggota tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perikatan-perikatan yang dibuat Perkumpulan, 2) Segala hutang hanya dapat dilunasi dari harta kekayaan Perkumpulan Mengenai pertanggungjawaban anggota, menurut Pasal 1661 KUH Perdata dikatakan bahwa anggota Perkumpulan tidak bertanggung jawab secara pribadi untuk perikatan-perikatan Perkumpulan. Pertanggungjawaban kepada pihak ketiga hanya terbatas pada harta yang dimiliki oleh Perkumpulan tersebut, tidak dapat mencakup harta pribadi anggotanya kecuali apabila hal tersebut diperjanjikan. Selanjutnya mengenai pembubaran perkumpulan diatur dalam Pasal 16621663 KUH Perdata, sebab berikut. 1) Dibubarkan oleh UU berdasarkan Pasal 1662 KUH Perdata (untuk Perkumpulan yang didirikan oleh penguasa); Badan hukum yang didirikan atas kuasa umum tidak dihapuskan bila semua anggotanya meninggal dunia atau mengundurkan diri dari keanggotaan, melainkan tetap berdiri sampai dibubarkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Jika semua anggota tersebut di atas tidak ada lagi maka Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya badan hukum itu berkedudukan, atas permintaan orang yang berkepentingan dan setelah mendengar pendapat jawatan Kejaksaan, bahkan atas tuntutan Kejaksaan itu, berhak menetapkan tindakan-tindakan yang dianggap perlu dilakukan demi kepentingan badan hukum itu. 2) Pembubaran perkumpulan dapat dilakukan dengan dinyatakan dalam akte pendirian atau reglemen-reglemennya berdasarkan Pasal 1663 KUH Perdata, yang mengatur demikian. Badan hukum lain tetap berdiri sampai pada saat dibubarkannya secara tegas menurut akta pendirian, reglemen atau perjanjiannya, atau sampai pada saat berhentinya pengejaran tujuan badan hukum itu. 3) Bubarnya perkumpulan dapat terjadi karena berhentinya tujuan atau hal yang menjadi pokok Perkumpulan (Pasal 1663 KUH Perdata). Untuk Perkumpulan Indonesia (Inlandsche Vereniging) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 (2) Stb.1939-570, suatu Perkumpulan berakhir karena dibubarkan dengan keputusan rapat umum anggotanya. Adapun wewenang dan tanggung jawab pengurus diatur dalam Pasal 16551658 KUH Perdata. Besarnya kekuasaan pengurus untuk bertindak keluar atau melakukan perbuatan-perbuatan hukum untuk perkumpulannya diketahui melalui anggaran dasar atau reglemennya. Namun demikian Pasal 1655 KUH Perdata memberikan patokan bahwa kecuali diatur lain dalam akte pendiriannya, pengurus berwenang untuk: 1. Bertindak atas nama Perkumpulan; 2. Mengikat Perkumpulan dengan pihak ketiga dan sebaliknya; 3. Bertindak di muka hakim baik sebagai penggugat maupun tergugat. Kemudian mengenai tanggung jawab pengurus dikatakan dalam Pasal 1658 KUH Perdata, pengurus Perkumpulan bertanggung jawab kepada anggota. Selanjutnya Pasal 1656 KUH Perdata mengatur tentang perbuatan pengurus perkumpulan, bahwa segala perbuatan di mana para pengurusnya tidak berwenang untuk melakukannya, hanya dapat mengikat perkumpulan apabila perkumpulan itu telah mendapat manfaat karenanya atau apabila perbuatan-perbuatan itu telah disetujui secara sah. Disebutkan pula di dalam Pasal 1657 KUH Perdata, bahwa jika dalam akte pendirian, persetujuan dan reglemen-reglemennya tidak diatur mengenai pengurus perkumpulan maka tidak seorang anggota pun berwenang untuk bertindak atas nama perkumpulan atau mengikatkan perkumpulan dengan suatu cara lain selain yang telah ditetapkan Pasal 1656 KUH Perdata di atas. Selain aturan umum yang termuat dalam Pasal 1655, 1656,1657 dan Pasal 1658 KUH Perdata, seperti yang telah penulis paparkan, di dalam KUH Perdata juga dimuat aturan khusus misalnya diatur dalam Pasal 1660 KUH Perdata. Pasal 1660 KUH Perdata mengatur mengenai hak-hak para anggota dalam suatu perkumpulan, sebagai berikut. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tiap anggota badan hukum demikian, ditetapkan dalam peraturan-peraturan yang menjadikan badan hukum atau perkumpulan itu didirikan atau diakui, atau menurut akta pendirian sendiri, surat perjanjian sendiri atau reglemen sendiri, dan bila peraturan-peraturan tidak dibuat, maka wajiblah dituruti ketentuan-ketentuan bab ini. 2) Syarat berdasarkan pada hukum kebiasaan dan yurisprudensi; Kebiasaan dan yurisprudensi merupakan sumber hukum yang formal, sehingga apabila tidak ditemukan syarat-syarat badan hukum dalam perundang-undangan dan doktrin, maka diusahakan untuk mencarinya dalam kebiasaan dan yurisprudensi. Yayasan di masa lalu belumlah diatur dalam suatu ketentuan perundang-undangan tertentu, namun demikian hukum kebiasaan dan yurisprudensi telah mengakui eksistensi yayasan sebagai badan hukum dalam realitas hukum maupun realitas sosial. Karena yayasan belum diatur dalam suatu aturan perundang-undangan, maka saat seseorang atau sekelompok orang berkeinginan mendirikan suatu yayasan, mereka meminta seorang notaris untuk membuatkan akta pendirian yayasan. Selanjutnya akta pendirian yayasan tersebut didaftarkan pada Panitera Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum yayasan tersebut. Disamping itu dimungkinkan pula pendirian yayasan dengan menggunakan surat wasiat. Disamping syarat formal seperti yang telah penulis paparkan di atas, guna mendirikan suatu badan hukum yayasan dengan mendasarkan pada hukum kebiasaan, maka harus memenuhi syarat materiel, yaitu:41 1) Adanya pemisahan kekayaan antara pendiri dan badan hukum yayasan; 2) Memiliki tujuan tertentu; 3) Merupakan suatu organisasi Perkembangan yurisprudensi yang terkait dengan persyaratan badan hukum, antara lain dapat dilihat pada beberapa yurisprudensi. Pengakuan sebagai badan hukum termasuk didalamnya adalah pengakuan terhadap tujuan badan hukum, memiliki pengurus sendiri yang mewakili badan hukum dan menjalankan kepengurusan dalam badan hukum tersebut, serta mewakili badan hukum di dalam maupun di luar pengadilan. Selanjutnya putusan MA tersebut juga mengakui bahwa di dalam badan hukum terdapat pemisahan harta kekayaan antara kekayaan pendiri dengan kekayaan badan hukum. Bukan saja dalam putusan tingkat Kasasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yang memberikan kekuatan badan hukum. Pada tingkat pengadilan negeri, terdapat putusan yang dapat digunakan sebagai dasar prasyarat badan hukum. Pendapat Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwa pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri Kehakiman adalah syarat mutlak bagi berdirinya suatu Perseroan Terbatas dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 224/1950/Perdata-tertanggal 17 Maret 1951. Dengan demikian putusan pengadilan negeri ini memberikan prasarat pengesahan sebagai badan hukum oleh Menteri Kehakiman sebagai pengesahan badan hukum Perseroan Terbatas. 3) Syarat berdasarkan doktrin 41 Lihat , Chidir Ali, Op. Cit. Hlm. 90 Disamping syarat berdasarkan peraturan perundangan, kebiasaan dan yurisprudensi, syarat yang dapat digunakan untuk menentukan suatu organisasi, badan atau perkumpulan itu adalah badan hukum, didasarkan pada doktrin. Ajaran para ahli hukum berkaitan dengan syarat suatu badan, organisasi atau perkumpulan dapat menjadi badan hukum dapat paparkan sebagai berikut. Menurut Scholten badan hukum haruslah memenuhi unsur – unsur: 1) Mempunyai harta kekayaan sendiri, yang berasal dari suatu perbuatan hukum pemisahan. 2) Mempunyai tujuan tertentu sendiri 3) Mempunyai alat perlengkapan atau organisasi Menurut Ali Rido bahwa untuk menentukan kriteria sebagai badan hukum, doktrin memberikan syarat sebagai berikut :42 1) Adanya harta kekayaan yang terpisah 2) Mempunyai tujuan tertentu 3) Mempunyai kepentingan 4) Adanya organisasi yang teratur. Sedangkan menurut Soenawar Soekowati, badan hukum haruslah memenuhi unsur-unsur yang terdapat di dalam badan hukum yaitu: 43 1) Ada harta kekayaan yang terpisah, lepas dari kekayaan anggota-anggotanya (penulis: pendiri); 2) Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum, serta bukan kepentingan satu atau beberapa orang saja; 3) Kepentingan tersebut haruslah panjang (stabil); 4) Harus dapat ditunjukkan suatu harta kekayaan yang tersendiri, yang tidak saja untuk obyek tuntutan tetapi juga sebagai upaya pemeliharaan kepentingankepentingan badan hukum yang terpisah dari kepentingan angggota-anggotanya (penulis: pendiri) Wirya Projodikoro, menjelaskan kriteria atau ukuran yang jitu untuk menjelaskan badan hukum adalah:44 1) Adanya benda kekayaan yang terpisah dari orang perseorangan yang bertindak; 2) Adanya kepentingan yang bukan kepentingan orang perseorangan, melainkan kepentingan suatu golongan orang-orang, dan 3) Bersifat atau memiliki tujuan untuk berdiri dalam waktu yang lama. Menurut Nindyo Pramono, unsur yang terdapat dalam badan hukum adalah kehendak dan kedudukan yang mandiri (persona standi in judicio), serta kekayaan yang terpisah dari badan hukum. 45 Berdasarkan pendapat dari para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa pemisahan harta kekayaan antara kekayaan pendiri dan kekayaan badan hukumnya 42 R. Ali Rido, 2001, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf. Penerbit Alumni, Bandung, Tahun 2001, hlm.50. 43 Ali, Chidir, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 17. 44 Wirjono Prodjodikoro, 1966, Asas-Asas Hukum Perdata, Penerbit Sumur, Bandung, hal. 84 45 Nindyo Pramono, 2007, Pesembahan Kepada Sang Maha Guru, Seputar Hukum Bisnis, FH-UGM, Yogyakarta, hlm. 114. menjadi salah satu persyaratan yang mutlak ditemukan dalam suatu badan hukum. Kekayaan badan hukum inilah yang digunakan oleh badan hukum untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai subyek hukum. Syarat lain yang menjadi perhatian para ahli yaitu adanya tujuan tertentu yang dimiliki oleh badan hukum. Tujuan inilah yang menjadi alasan badan hukum didirikan dan terus eksis, dan bila tujuan dari badan hukum telah tercapai maka berakhirlah badan hukum tersebut. Syarat organisasi menjadi satu syarat yang tidak kalah penting bila dibandingkan dengan badan hukum yang lain. Di dalam organisasi akan dapat ditemukan organ badan hukum, pembukuan walaupun mungkin sangat sederhana, dan kesinambungan dalam beraktivitas. Dengan demikian walaupun badan hukum hanya didirikan oleh satu orang saja dalam badan hukum akan ditemukan organisasi walaupun sangat sederhana. Setiap badan hukum yang dapat dikatakan mampu bertanggungjawab (rechtbevoegheid) secara hukum, harus memiliki empat unsur pokok, yaitu:46 1. Harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subyek hukum yang lain; 2. Mempunyai tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 3. Mempunyai kepentingan sendiri dalam lalu lintas hukum; 4. Ada organisasi kepengurusannya yang bersifat teratur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan internalnya sendiri. Sebagaimana layaknya subjek hukum, badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang, akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan. Mengingat wujudnya adalah badan atau lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya. Dalam hukum perdata telah lama diakui bahwa suatu badan hukum (sebagai suatu subyek hukum mandiri; persona standi in judicio) dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig handelen; tort). Penafsiran ini dilakukan melalui asas kepatutan (doelmatigheid) dan keadilan (bilijkheid). Oleh karena itu dalam hukum perdata suatu korporasi (legal person) dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melawan hukum, disamping para anggota direksi sebagai natural persons. Sebagai subyek hukum yang berkedudukan sebagai pendukung hak dan kewajiban, badan hukum diakui eksistensinya. Berdasarkan Pasal 1653 KUH Perdata, terdapat 4 jenis badan hukum yaitu: 1) Badan hukum yang didirikan oleh Pemerintah. Termasuk dalam kategori badan hukum ini adalah baan hukum publik seperti provinsi, kabupaten, kota dan lain sebagainya; 2) Badan hukum yang diakui oleh Pemerintah, misalnya gereja atau badan keagamaan lainnya; 3) Badan hukum yang diijinkan oleh Pemerintah; 4) Badan hukum yang didirikan oleh pihak swasta atau partikelir. Namun demikian, dari beberapa pendapat ahli dapat dikemukakan jenis-jenis badan hukum yang berbeda satu dengan yang lain. Utrecht menyatakan bahwa dalam pergaulan hukum terdapat bermacam-macam badan hukum, yaitu:47 46 47 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hal. 71 Utrecht. Op.cit. Hlm 237-238 1) Perhimpunan yang dibentuk dengan sengaja dan sukarela oleh orang yang bermaksud memperkuat kedudukan ekonomis mereka, memelihara kebudayaan, mengurus soal-soal sosial dan sebagainya. 2) Persekutuan orang yang ada kerena perkembangan faktor-faktor sosial dan politik dalam sejarah. Termasuk dalam badan hukum ini adalah negara, provinsi, kabupaten, dan desa. 3) Organisasi yang didirikan berdasarkan undang-undang, tetapi bukan perhimpunan yang termasuk dalam nomor 1. 4) Yayasan. Apeldoorn membagi badan hukum menjadi 3 jenis, sebagai berikut.48 1) Perhimpunan yaitu persekutuan-persekutuan yang hidupnya timbul dari penggabungan secara sukarela dari purusa-purusa pribadi yang berdasarkan perjanjian dan bertindak seolah-olah adalah suatu purusa. 2) Persekutuan yang tidak didirikan oleh purusa-purusa khususnya, melainkan tumbuh secara historis, seperti negara, propinsi dan sebagainya. 3) Persekutuan yang didirikan oleh kekuasaan umum seperti waterschappen. Sri Soedewi Masjchun Sofwan membagi badan hukum menjadi 2 bagian besar yaitu:49 1) Badan Hukum ketatanegaraan; a) Daerah otonom, sebagai contoh: Propinsi, Kabupaten b) Lembaga-lembaga, Majelis, Bank-bank 2) Badan Hukum Keperdataan; a) Zadelijk lichaam b) Yayasan c) Badan-badan hukum yang termasuk dalam hukum dagang Secara sederhana pembagian badan hukum, dikemukakan oleh Chidir Ali50, yang membagi badan hukum menjadi 2 bagian menurut golongan hukum yaitu golongan hukum publik dan golongan hukum privat, yang dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Badan hukum publik Menurut sementara ahli hukum, suatu badan hukum yang didirikan oleh penguasa (negara), merupakan badan hukum publik dan mempunyai wewenang publik. Pendapat ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata menyatakan bahwa badan hukum yang didirikan dengan undang-undang. Pendapat ini mendapatkan tentangan dari Soenawar Soekowati yang beranggapan bahwa tidak semua badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik tersebut merupakan badan hukum publik serta memiliki wewenang publik dan berkebalikan dengan hal itu maka masuk kategori badan hukum privat. Badan hukum yang didirikan dengan mendasarkan pada hukum privat, pada stelsel hukum tertentu, badan tersebut miliki kewenangan publik. 48 L.J. van Apeldoorn, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. hlm.206. 49 Sri Soedewi Masjchun Sofwan dalam Anwar Borahima, 2002, Disertasi: Kedudukan Hukum Yayasan di Indonesia, Universitas Airlangga. Hlm. 45. 50 Chidir Ali. Op cit. Hlm. 57-66 Menurut Chidir Ali kriteria suatu badan hukum dapat dinyatakan sebagai badan hukum publik adalah sebagai berikut.51 a) Dilihat dari cara pendiriannya yang didirikan berdasarkan konstruksi hukum publik, yaitu didirikan oleh penguasa (negara) dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya; b) Lingkungan kerjanya, apakah dalam melaksanakan tugasnya umumnya dengan publik/umum dengan tidak melakukan perbuatan-perbuatan hukum perdata pada umumnya seperti halnya badan-badan hukum privat; c) Kewenangan yang dimiliki, bahwa badan hukum publik memiliki kewenangan untuk membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yag mengikat umum. Adapun macam badan hukum publik ini dapat dilihat dari badan hukum publik yang memiliki teritorial dan badan hukum publik yang tidak memiliki teritorial. Dua macam badan hukum publik tersebut selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut. a) Badan hukum yang mempunyai teritorial. Suatu badan hukum itu pada umumnya harus memperhatikan atau menyelenggarakan kepentingan mereka yang tinggal di dalam daerah atau wilayahnya. b) Badan hukum yang tidak mempunyai teritorial. Suatu badan hukum yang dibentuk oleh yang berwajib hanya untuk tujuan tertentu saja. 2) Badan hukum privat Adapun badan hukum perdata merupakan badan hukum yang didirikan atas pernyataan kehendak dari orang-perorangan. Badan hukum publik dimungkinkan mendirikan badan hukum perdata seperti yayasan, Perseroan Terbatas dan lain sebagainya. Badan hukum perdata yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dapat disebutkan di bawah ini. a) perkumpulan (vereniging) diatur dalam Pasal 1653 KUHPerdata, Stb. 187064, dan Stb. 1939-570. b) Perseroan Terbatas, diatur dalam UU No. 40 tahun 2007. c) rederji, diatur dalam Pasal 323 KUHDagang. d) kerkgenootschappen, diatur dalam Stb. 1927-156. e) koperasi, diatur dalam UU Pokok Koperasi No.25 tahun 1992. f) yayasan, dan lain-lain. Selanjutnya untuk membedakan antara badan hukum publik dengan badan hukum privat atau perdata sebagaimana telah dipaparkan di atas, dapat dengan memperhatikan hal-hal berikut di bawah ini. 1) Pembedaan badan hukum publik dan privat tersebut dapat dilihat melalui prosedur pendiriannya, artinya badan hukum publik itu diadakan dengan konstruksi hukum publik yaitu didirikan oleh penguasa dengan undangundang atau peraturan-peraturan lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada bagaimana cara pendiriannya badan hukum tersebut, seperti yang diatur di dalam Pasal 1653 KUHPerdata yaitu ada tiga macam, yakni : a) badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum (Pemerintah atau Negara). b) badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum. 51 Ibid hlm. 62 c) badan hukum yang diperkenankan dan yang didirikan dengan tujuan tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan (badan hukum dengan konstruksi keperdataan). 2) Pembedaan badan hukum privat dengan badan hukum publik dapat dilihat dari siapa pendiri darai badan hukum tersebut. Badan hukum perdata adalah badan hukum yang didirikan oleh perseorangan, sedangkan pada badan hukum publik ialah badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum. 3) Perbedaan dengan melihat lingkungan kerjanya, yaitu apakah dalam melaksanakan tugasnya badan hukum itu pada umumnya dengan publik atau melakukan perbuatan-perbuatan hukum perdata. 4) Mengenai wewenangnya, yaitu apakah badan hukum yang didirikan oleh penguasa itu diberi wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yang mengikat umum. Jika ada wewenang publik, maka ia adalah badan hukum publik. Sejak abad ke-19, kepunyaan badan hukum memiliki ketegasan batasan apakah termasuk kepunyaan publik (domain public) atau kepunyaan privat (domain prive). Keduanya, baik badan hukum privat maupun badan hukum publik tidak mungkin tunduk pada peraturan perundang-undangan yang sama, baik dalam tata kelola, maupun dalam tata tanggung jawabnya. Lebih lanjut, Proudhon ahli hukum Prancis menguraikan teori kedudukan hukum hak kepunyaan publik dan hak kepunyaan privat. Kepunyaan publik negara adalah benda yang disediakan pemerintah untuk dipergunakan oleh pelayanan publik dan penyelenggaraan fungsi pemerintahan negara. Kekayaan atau hak kepunyaan publik tidak diatur dalam hukum yang mengatur kepunyaan perdata . adapun konsep menguasai Hak kepunyaan publik negara dikuasai atau beheren negara dan dilakukan pengawasan atau toezichtouden oleh alat negara Benda kepunyaan publik negara tidak dapat menjadi obyek perjanjian perdata. Sifat hukum atau rechstkarakter, kepunyaan publik negara ditujukan pada benda atau kekayaan yang digunakan untuk penyelenggaran pemerintahan dan pelayanan publik. Adapun hak kepunyaan perdata biasa yang tunduk pada peraturan perdata tidak dapat dapat diklasifikasikan sebagai kepunyaan atau dikuasai negara, apalagi diklasifikasikan sebagai milik negara atau staatseigenaar. Secara alamiah, badan hukum tidaklah dapat berkedudukan sebagai subyek hukum. Hal ini dikarenakan badan hukum tidak memiliki kehendak, tidak dapat bertindak dan tidak dapat hadir atau ada seperti halnya karakteristik yang dapat ditemukan pada orang seperti yang telah dikemukakan di atas. Karakteristik tersebut yang mengakibatkan orang dapat berkedudukan sebagai subyek hukum secara kodrati. Ketiadaan karakteristik tersebut, berimplikasi bahwa badan hukum tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai subyek hukum. Problematikan yang dihadapi oleh badan hukum tersebutlah yang pada akhirnya menghadirkan teori-teori badan hukum. Teori-teori badan hukum yang berkembang, adalah sebagai berikut:52 1) Teori Fiksi, teori ini dikemukakan oleh Frederich Carl von Savigny pada permulaan abad 19. Teori ini menyatakan bahwa badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan sesuatu yang konkrit. Hukum memberikan kepada 52 Chidir Ali, Ibid. subyek hukum hak-hak suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa (wilsmacht). Adapun badan hukum hanyalah buatan negara yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal. Adapun yang menjadi wakil-wakil dalam melakukan perbuatan adalah manusia yang ada dalam badan hukum tersebut. Oleh sebab itu teori ini dikenal sebagai teori fiksi. 2) Teori Organ, teori ini dikemukakan oleh Otto von Gierke (1841-1921). Badan hukum itu seperti manusia, menjadi penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum. Teori organ memandang badan hukum sebagai suatu yang nyata (reliteit) bukan fiksi, pandangan ini diikuti oleh L.C. Polano. Menurut teori organ badan hukum merupakan een bestaan, dat hun realiteit dari konstruksi yuridis seolah-olah sebagai manusia yang sesungguhnya dalam lalu lintas hukum yang juga mempunyai kehendak sendiri yang dibentuk melalui alat-alat kelengkapannya yaitu pengurus dan anggotanya dan sebagainya.53 Putusan yang dibuat oleh pengurus adalah kemauan badan hukum. Badan hukum itu menjadi suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ yang terdapat dalam badan tersebut, misalnya anggota atau pengurus badan hukum tersebut. Apa yang diputuskan dan dilakukan oleh organ adalah kehendak dari badan hukum. Dengan demikian berdasarkan teori organ, badan hukum adalah sesuatu yang riil, benar-benar ada. 3) Teori kekayaan bertujuan, destinataristheorie atau leer van het doelvermogen yang diajarkan oleh A. Brinz dan F.J. van Heyden. Teori harta kekayaan bertujuan oleh A. Brinz dalam bukunya Lehrbuch der Pandecten (1883) dinyatakan bahwa, “Only human beings can be considered correctly as ‘person’. The law, however, protects purpose other than those concerning the interest of human beings. The property ‘owned’ by corporations does not ‘belong’ to anybody. But it may considered as belonging for certain purposes and the device of the corporation is used to protect those purpose.54 Badan hukum menurut teori kekayaan bertujuan bukanlah terdiri dari anggotaanggota yang merupakan subyek hukum, namun badan hukum ini terdiri atas harta kekayaan tertentu yang terlepas dari yang memegangnya atau onpersoonlijk. Sehingga dapat dijelaskan teori harta kekayaan bertujuan ini melihat bahwa pemisahan kekayaan badan hukum dengan kekayaan anggotanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Harta kekayaan ini menjadi milik dari perkumpulan yang bersangkutan, yang menyebabkan perkumpulan ini menjadi subjek hukum. Implementasi tentang teori pemisahan harta kekayaan dalam badan hukum ini dasarnya terdapat dalam pasal 1618, 1640, 1641 KUH Perdata. 4) Teori tentang harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang dalam jabatannya atau Leer van het ambtelijk vermogen. Teori ini mengajarkan tentang harta kekayaan yang dimiliki seseorang dalam jabatannya (ambtelijk vermogen) yaitu suatu hak yang melekat pada suatu kualitas.55 Teori zweck vermogen ataupun doel 53 Jimly Asshidiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 69 54 Ibid, hlm. 68 55 Chidir Ali, Ibid hlm. 33 vermogens theorie mengembangkan pendapat bahwa badan hukum merupakan badan yang mempunyai hak atas harta kekayaan tertentu yang dibentuk untuk tujuan melayani kepentingan tertentu. Adanya tujuan tersebut menentukan bahwa harta kekayaan dimaksud sah untuk diorganisasikan menjadi badan hukum.Teori ini menitik beratkan pada daya berkehendak (wilsvermogen) dari suatu subyek hukum. Adapun dalam badan hukum, yang berkehendak ialah pengurus dari badan hukum yang bersangkutan. Dalam kualitasnya sebagai pengurus mereka adalah berhak, maka dari itu disebut ambtelijk vermogen. Dengan bertitik tolak dari pemikiran bahwa manusia sajalah yang dapat menjadi subyek hukum, maka badan hukum bukanlah sunyek hukum. Adapun hak-hak yang diberikan kepada subyek hukum pada hakikatnya adalah hak-hak dengan tiada subyek hukum namun merupakan kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan yan dimiliki oleh tujuan itu.56 5) Teori Kekayaan Bersama, dikemukakan oleh Rudolf von Jhering pada tahun 1818-1892. Pengikut dari teori ini adalah Marcel Planiol (Perancis), Molengraaff (Belanda), Star Busmann Kranenburg, Paul Scholten dan Apeldoorn. Teori kekayaan bersama ini menganggap badan hukum sebagai kumpulan manusia. Kepentingan badan hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya.57 Dengan demikian badan hukum berdasarkan teori Kekayaan Bersama ini adalah suatu konstruksi yuridis dari kepentingan-kepentingan anggota, dengan demikian hak dan kewajiban badan hukum adalah hak dan kewajiban serta tanggung jawab hukum dari anggota secara bersama-sama. Konsekwensi yuridisnya bahwa harta kekayaan badan hukum adalah milik bersama seluruh anggota. 6) Teori Kenyataan Yuridis atau Juridische Realiteitsleer, dikemukakan oleh E.M. Meijers dan dianut oleh Paul Scholten. Teori ini menyatakan bahwa badan hukum merupakan suatu realitas, konkrit, riil walaupun tidak dapat diraba dan merupakan kenyataan yuridis. Dengan demikian Meijers ingin mempersamakan badan hukum dengan manusia hanya sebatas pada bidang hukum saja. Dalam kenyataan yuridis, badan hukum adalah wujud riil, sama riilnya dengan manusia. Badan hukum adalah persoon dalam artian subyek hak saja. Menurut teori badan hukum ini, badan hukum merupakan kelompok yang kegiatan dan aktivitas kelompok tersebut diakui hukum (seperate legal recognition) dari kegiatan dan aktivitas individu kelompok yang terlibat dalam badan hukum.58Mengenai bertindaknya badan hukum ini dilakukan dengan perantaraan orang. Ciri yang ditemukan dalam badan hukum berdasarkan teori ini adalah:59 a) Memiliki kepribadian hukum atau personalitas hukum (legal personality) yang berbeda dan terpisah (distinct and separate) dari kepribadian hukum individu personnya; b) Hukum memperbolehkan penerapan tanggung jawab terbatas (limited liability) hanya sebatas harta kekayaan badan hukum, serta dalam hal melakukan gugatan ataupun digugat atas nama badan hukum. c) Memiliki pengurus yang bertindak megurusi kegiatan (management) badan hukum, 56 Chatamarrasdjid, 2002, Badan Hukum Yayasan, Citra Aditya Bakti, Bandung 57 Chidir Ali, Ibid. Hlm. 34 58 M. Yahya Harahap, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 55. 59 Ibid, Hlm. 56 serta mewakili (representative) badan hukum di muka hukum. Penutup Subyek hukum yang memiliki kewenangan dan mampu bertindak melakukan perbuatan-perbuatan hukum, terdiri dari manusia dan badan hukum. Esensi manusia menjadikan manusia sebagai subyek hukum kodrati. Sedangkan badan hukum yang nota bene adalah subyek hukum yang diberikan oleh negara, memiliki batasan dan syarat-syarat tertentu dalam menjalankan kewengannya sebagai subyek hukum. DAFTAR PUSTAKA Anwar Borahima, 2002, Disertasi: Kedudukan Hukum Yayasan di Indonesia, Universitas Airlangga Bryan A Garner, 2009,Black’s Law Distionary, 9th edition, ST Paul – Minnessota: West Publishing Co, Yahya Harahap, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta Chidir Ali, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung AF Elly Erawati dan JS Badudu, 1991, Kamus Hukum Ekonomi, Proyek Elips, Jakarta. Nindyo Pramono, 2007, Pesembahan Kepada Sang Maha Guru, Seputar Hukum Bisnis, FHUGM, Yogyakarta, Sudikno, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta L.J. van Apeldoorn, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta Man. S. Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, Bandung: Alumni, 2005 CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta: Balai Pustaka, 1989 Chatamarrasdjid, 2002, Badan Hukum Yayasan, Citra Aditya Bakti, Bandung Wirjono Prodjodikoro, 1966, Asas-Asas Hukum Perdata, Penerbit Sumur, Bandung Jimly Asshidiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Henry Campbell Black, 2000, Black’s Law Dictionary-Abridged Seventh Edition, West Publishing Co, St. Paul Minn. Notohamidjoyo, 1973, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta Rochmat Soemitro, 1993, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, Eresco, Bandung A. Sudiarja, 2006, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikiran yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Subekti, 1996, Pokok-pokok Hukum Perdata, Pembimbing Masa, Jakarta, Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta,