sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXVII, Nomor 3, 2002 : 19-27 ISSN 0216-1877 BEBERAPA ASPEK DASAR YANG PERLU DIAGENDAKAN DALAMPENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DI INDONESIA Oleh Ricky Rositasari 1) ABSTRACT SOME BASICAL ASPECTS AGENDAS ON COASTAL MANAGEMENT IN INDONESIA. Several provinces in Indonesia have a coastal area, but the program that deal with the coastal communities, natural sources and area were not many nor focus. Integrated coastal management program were already exist in several provinces, that support by the foreign loan and their experts as well. It is a time for Indonesia to establish development strategies on the coastal management which are balance either for economics, social and environment as well. Establishing integrated coastal management should be the program that is support ed by government, investors and communities as well. PENDAHULUAN Polemik aktual yang saat ini sedang ramai dibicarakan oleh para stakeholder wilayah pesisir adalah reklamasi di Teluk Jakarta. Sesungguhnya dengan garis pantai yang cukup panjang, Indonesia seharusnya telah cukup sibuk menata dan mengelola kawasan pesisirnya. Telah cukup banyak permasalahan yang timbul dan terus bertambah akibat pengelolaan yang keliru di sepanjang pesisir Indonesia. Haruskah proses 'belajar' dari kesalahan terus berlangsung ?, sementara kemunduran sumber daya pesisir makin meluas. Yang menjadi kunci terpenting dari proyek reklamasi ini bukan lagi mengenai jauhnya orientasi pembangunan, tapi bagaimana Oseana, Volume XXVII no. 3, 2002 membenahi 'hutang' penataan dan pengelolaan wilayah pesisir yang hingga saat ini terbengkalai. Bila kita bercermin pada keadaan ini maka timbul pertanyaan, apakah sudah saatnya kita menambah beban kawasan pesisir dengan perluasan lahan ke arah pantai dan laut. Sebagaimana kita ketahui bersama, hampir semua propinsi di Indonesia memiliki wilayah pesisir, jadi masalah yang dihadapi setiap pemerintah daerah kurang-lebih akan sama. Abrasi, gelombang pasang, sedimentasi/ pendangkalan, pencemaran, kemunduran sumber daya pesisir, eksploitasi berlebihan, pengelolaan yang keliru adalah sebagian dari masalah yang datang silih berganti dan terjadi hampir di seluruh pelosok tanah air. sumber:www.oseanografi.lipi.go.id PENDEKATAN SOSIAL EKONOMI Kendala utama dari sulitnya melaksanakan penataan dan pengelolaan wilayah pesisir adalah kurangnya keperdulian stakeholder terhadap masa depan wilayah ini. Masyarakat yang tercakup dalam 'stakeholder' ini mencakup lapisan masyarakat tradisional dalam hal ini adalah nelayan yang hanya bermodal tenaga sampai pembuat keputusan. Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masyarakat tradisional yang pada umunya merupakan masyarakat dengan pendidikan kurang tentu berbeda dengan pendekatan terhadap masyarakat yang lebih terdidik. Meningkatkan kepedulian Bagi masyarakat dengan pendidikan rendah dan penghasilan yang sangat terbatas meningkatkan kepedulian terhadap wilayah tempat hidupnya dalam hal ini adalah wilayah pesisir, tentu akan lebih mudah namun sekaligus sulit. Mudah karena pada dasarnya mereka akan mengikuti teladan pemuka desa atau orang yang dianggap pemimpin. Namun bila kebijaksanaan pemuka desa tersebut beitentangan dengan hajat hidup mereka, maka yang terjadi adalah pembangkangan dan ketidakperdulian. Untuk itu, bagi para pencetus ide dan perintis pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu dan berkelanjutan, dipandang sangat perlu untuk mengadakan pendekatan dari sudut sosial maupun ekonomi untuk dapat membangun kepedulian semua pihak. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan suksesnya program pengelolaan wilayah pesisir memiliki hubungan timbal balik yang sangat berpengaruh. Untuk meningkatkan kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam program ini, kita perlu meningkatkan status sosial ekonomi mereka, namun sesungguhnya tujuan utama dari program ini adalah membentuk masyarakat pesisir yang memiliki ketahanan dalam posisi sosial dan ekonomi. Diharapkan dengan Oseana, Volume XXVII no. 3, 2002 ketahanan sosial dan ekonomi ini mereka tidak terlalu tergantung lagi pada sumber daya pesisir. Disamping itu peningkatan intelektual masyarakat pesisir akan meningkatkan kepedulian mereka tentang fungsi, keterbatasan dan arah pengelolaan pesisir. Kendala yang ada hingga saat ini dan tetap sulit diatasi adalah penyediaan dana bagi terlaksananya pembinaan. Walaupun sesungguhnya pertengahan tahun 80an hingga awal 90an lalu, pemerintah pernah menyelenggarakan pembinaan/penyuluhan terhadap nelayan melalui departemen pertanian dan perikanan, saat ini belum terlihat kegiatan serupa dilaksanakan. Dan sesungguhnya banyak wahana yang telah ada dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian dan partisipasi masyarakat lokal terhadap pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Kegiatan PKK di kelurahan, kegiatan orientasi lapangan di sekolah-sekolah mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah umum, himbauan-himbauan di tempat-tempat ibadah serta teladan dari pemuka masyarakat. Pendekatan terhadap masyarakat yang lebih terdidik, dianggap lebih mudah karena tingkat intelektual mereka relatif memadai. Namun demikian pengenalan program dan urgensinya tetap harus dikampanyekan secara berkala untuk menjaga konsistensi perhatian dan mereka. Dari seluruh lapisan masyarakat yang ada yang paling sulit untuk dihimbau adalah lapisan masyarakat tertinggi dalam hal ini adalah pemerintah/pengambil keputusan/ penguasa. Tanpa kekuatan 'mat baik\ akan sangat sulit sekali bagi pembuat keputusan sekaligus penyandang dana untuk membuat kebijaksanaan yang bersih dari 'kepentingan'. Kepentingan politik, kepentingan pengusaha, kepentingan kelompok dan sejumlah kepentingan lain akan sangat mempengaruhi setiap keputusan mereka. Oleh karena itu , suksesnya program pengelolaan wilayah pesisir sangat bergantung pada niat baik para pembuat keputusan terutama di tingkat pusat. sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Menyamakan persepsi Dalam penataan dan pengelolaan wilayah pesisir yang menyangkut hajat orang banyak dari berbagai kalangan, memang merupakan pekerjaan besar yang rumit dan pelik. Namun bila telah tumbuh kepedulian, paling tidak pada tingkat pembuat keputusan, 'duduk bersama' antara perwakilan stakeholder untuk menyamakan persepsi adalah agenda yang tidak dapat diabaikan. Karena dengan kunci 'kesamaan persepsi' maka salah satu kendala pengelolaan sudah teratasi. Masalah yang berkembang dalam penataan dan pengeloaan wilayah pesisir biasanya ditimbulkan oleh berbagai sebab, oleh karenanya diperlukan berbagai disiplin ilmu dan bersifat multisektoral untuk sampai pada tingkat pemecahan (MURRAY 2002). Hal penting lain yang menjadi kunci dari keberhasilan pengelolaan wilayah pesisir adalah terbangunnya kepercayaan di antara dan di dalam komunitas, serta pemilihan strategi yang tepat dalam mengkampanyekan ide dan himbauan. Setelah kepercayaan terbangun dalam masyarakat, maka akan lebih mudah untuk menghimpun partisipasi masyarakat. Hal sulit yang harus tetap dilaksanakan adalah menyamakan persepsi antara pembuat keputusan di tingkat regional, sektoral dan lokal, manajer pesisir, pengusaha, serta dinasdinas terkait. Hingga saat ini, para menajer pesisir yang memang populasinya masih sangat rendah, belum dapat mencapai persamaan persepsi hingga ke tingkat yang seharusnya. Terlalu rumitnya masalah yang ada serta terlalu fc tebal'nya birokrasi, sangat berpengaruh terhadap kecepatan pencapaian pelaksanaan 4 penyamaan persepsi' ini. PENDEKATAN MANAJERIAL Hal positif dari suatu pengelolaan yang tersusun dengan baik adalah tajamnya strategi. Oseana, Volume XXVII no. 3, 2002 Dalam suatu manajemen, pengambilan langkah apapun dilakukan setelah memperhitungkan faktor internal yang dalam hal ini adalah kekuatan dan kekurangan, dan faktor eksternal yaitu kesempatan dan ancaman. Tahapan pengambilan strategi ini biasa dikenal dengan matrik SWOT (RANGKUTI2000). Penajaman strategi dengan menggunakan tahapan ini diharapkan lebih memiliki peluang untuk berhasil. Manajemen Akuakultur Membangun tambak di lahan mangrove sama dengan memutus kelangsungan sumber daya hayati pesisir. Disamping itu pengkonversian hutan mangrove akan menyebabkan kandungan asam sulfat dalam sedimen meningkat. Hal ini terjadi karena sedimen lahan mangrove yang kaya akan materi organik bila mendapat kontak langsung dengan udara/atmosfir akan mendapat banyak suplai oksigen, proses inilah yang menyebabkan peningkatan keasaman sedimen. Sedimen yang terlalu asam akan menyebabkan daya tahan dan pertumbuhan udang menjadi rendah. Keasaman tinggi ini kadang-kadang tidak berhasil dipulihkan hingga mencapai kadar alamih dengan cara pencucian/penggelontoran yang biasa dilakukan oleh para pengusaha tambak (CLARK 1997). KAPETSKY et al (1987) mengusulkan untuk menggunakan lahan kurang produktif di belakang daerah mangrove. Jenis tambak seperti ini relatif lebih ramah lingkungan, walaupun dalam pengoperasiannya membutuhkan biaya lebih tinggi karena memerlukan pompa untuk mengalirkan air asin ke lokasi tambak. Rekomendasi lain adalah dengan pola intensifikasi yakni dengan menambah jumlah bibit dari 100-200 kg/ha/ tahun menjadi 400 sampai 1000 kg/ha/tahun dengan konsekuensi harus menambah pakan. Kerugian dari intensifikasi ini adalah meningkatnya jumlah bibit yang harus sumber:www.oseanografi.lipi.go.id disediakan oleh alam/hitchery. Bagi negaranegara berkembang seperti Banglades, cara ini akan melemahkan persaingan produk di pasar intemasional. Manajemen garis pantai Dalam penataan dan pengelolaan wilayah pesisir, data/informasi tentang garis pantai sangatlah diperlukan. Peta dasar serta pemonitoran dalam jangka waktu tertentu harus menjadi agenda setiap propinsi. Selain perubahan yang sifatnya antropogenik, monitoring garis pantai juga sangat berguna untuk melihat kecenderungan perubahan garis pantai yang bersifat alamiah. Contoh perubahan garis pantai yang bersifat alamiah adalah pengikisan akibat abrasi dan pengendapan akibat sedimentasi. Dengan tersedianya informasi peta dasar yang dilengkapi dengan informasi letak benchmark' serta peta hasil monitoring akan sangat membantu berbagai kegiatan yang dilaksanakan di lahan pesisir. Peramalan bencana, rencana konstruksi, pembukaan lahan tambak dan pembuatan zonasi untuk kepentingan konservasi merupakan kegiatan yang memerlukan peta garis pantai. Menurut CLARK (1997) secara garis besar terdapat 2 tipe pemantauan garis pantai, yakni: 1. Monitorong strategis Monitoring yang sifatnya berkelanjutan, dimulai dari sebelum suatu proyek dibuat hingga jauh sesudah proyek selesai. Maksudnya adalah untuk mengetahui bila ada dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan tersebut. 2. Monitoring taktis Pemantauan ini hanya dilakukan selama pengerjaan proyek berlangsung. Maksudnya bila dalam pelaksanaan proyek terjadi dampak yang tidak dikehendahi, proyek dapat dihentikan hingga dampak tersebut diatasi. Oseana, Volume XXVII no. 3, 2002 Manajemen konstruksi Lahan basah (Wetland) merupakan lahan berisiko tinggi untuk kontruksi, karena tidak memiliki daya tahan (Carrying capacity) yang sama dengan lahan darat. Mendirikan bangunan di lahan yang langsung berhadapan dengan laut (Seafront) sangatlah beresiko karena sebenarnya lahan tersebut merupakan jalur datangnya badai. Secara garis besar terdapat 2 kelompok energi yang bekerja di pantai, kedua kelompok tersebut bekerja secara sinergis dan membentuk satu keseimbangan. Kelompok pertama adalah kekuatan erosif dari badai, angin dan gelombang; kelompok kedua adalah kekuatan restoratif dari pasang-surut dan arus (CLARK 1997). Pada intinya kekuatan alam yang bekerja di pantai sangatlah besar sehingga untuk melaksanakan konservasi pantai sangatlah sulit. Memang ada beberapa pantai yang dapat menahan beban berat, namun di lain pihak pantaipun sangat mudah rusak. Penggalian pasir, konstruksi yang tidak sesuai dengan daya dukung dan membuatan struktur penahan pantai seperti jetty, groin dan bulkhead akan merusak struktur dan profll pantai. Pembangunan yang terlalu dekat dengan pantai akan menganggu keseimbangan asupan dan pengikisan pantai yang bersifat alamiah. Yang umum terjadi setelah dibangunnya konstruksi pelindung pantai adalah hilangnya proses asupan pasir, sedangkan proses pengikisan terus berlangsung. Akibat yang harus ditanggung oleh pengelola konstruksi/ bangunan tersebut adalah mempertahankan keberadaan pantai dengan memompa pasir dari laut, tentu saja proyek ini akan memakan biaya sangat tinggi. Bali adalah contoh daerah yang telah mengalami pengikisan pantai sepanjang puluhan kilometer akibat air dan angin di daerah Kuta, hal itu merupakan akibat dari pembangunan jalan dan konstruksi (Hotel, dermaga, pelabuhan udara dan pemukiman) sumber:www.oseanografi.lipi.go.id yang terlalu dekat dengan pantai. Jenis konstruksi seperti ini dengan sendirinya telah melanggar zona vegetasi yang sangat berperan dalam menahan kekuatan air, angin maupun gelombang. Dengan bercermin dari degradasi lahan pesisir dalam berbagai sekala, sudah saatnya kita mulai membenahi pengelolaan konstruksi di wilayah ini. Salah satu cara yang telah banyak dilakukan dan berhasil adalah dengan mengudurkan (setback) batas lahan yang diperbolehkan untuk dibangun. Dengan demikian dapat dibuat zonasi di sepanjang garis pantai, seperti dibuat zona terlarang bagi daerah pantai berpasir, zona penyangga yang dapat berupa 'greenbelt' yakni zona vegetasi, baru kemudian zona yang diperbolehkan untuk konstruksi. Penzonasian inipun sangat berguna bagi kelangsungan bangunan itu sendiri, karena membentuk benteng perlindungan dari badai, gelombang pasang dan berbagai jenis bencana lainnya. Penentuan jarak dari garis pantai yang boleh dibangun dapat dilihat dalam tabel 1. Manajemen Limbah Perairan pesisir sangat rentan terhadap limbah yang diangkut oleh aliran dari sungai. Namun polusi yang paling buruk terdapat di pelabuhan karena penurunan kadar oksigen oleh limbah organik dan limbah industri yang membahayakan lingkungan, sumber daya pesisir serta kesehatan manusia. 66% limbah minyak yang terdapat di laut berasal dari transpotrasi laut (CLARK 1988). Dalam tabel 2. dapat dilihat daftar polutan yang terdapat di pesisir dan akibatnya yang dapat ditimbulkannya. Tabel 1. Zona Eksklusif yang digunakan di berbagai negara (CLARK 1997). Oseana, Volume XXVII no. 3, 2002 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Tabel 2. Tipe limbahpesisir beserta efeknya (CLARK 1988). Oseana, Volume XXVII no. 3, 2002 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Gambar 1. Lahan basah terbuka yang terdiri dari karang mati Gambar 2. Bongkahan karang yang ditambang untuk kepentingan konstruksi Oseana, Volume XXVII no. 3, 2002 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Gambar 3. Abrasi akibat reklamasi Gambar 2. Reklamasi, walaupun dalam ukuran kecil, tetap akan menimbulkan dampak pada lingkungan sekitarnya. Oseana, Volume XXVII no. 3, 2002 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Gambar 3. Abrasi akibat reklamasi Tindakan antisipatif serta restoratif terhadap limbah di perairan pesisir perlu segera dilaksanakan, diantaranya adalah dengan menyusun standar baku pengolahan limbah yang berasal dari berbagai sumber (Rumah tangga, industri, pertanian, perikanan dll.). Pembakuan pengolahan limbah akan lebih sempurna bila dilengkapi dengan ketentuan baku mutu air limbah yang dapat/ diperkenankan dikeluarkan ke laut. Namun demikian tindakan antisipatif ini kurang efektif bila tidak disertai langkah monitoring dalam jangka waktu tertentu. Memang benar dalam melaksanakan manajemen limbah ini diperlukan dana yang cukup besar, namun bila dihitung dengan kerugian yang harus ditanggung bila sampai terjadi degradasi pesisir beserta sumber dayanya, jumlah dana tersebut seharusnya tidak menjadi beban besar. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dra. Inayat Alhakim yang telah berbaikhati membawakan referen yang diperlukan dalam penulisan ini. Oseana, Volume XXVII no. 3, 2002 DAFTAR PUSTAKA CLARK, J.R.1988. Program development for managemeny of coastal resources. Rosenstiel Sch. of Mar. and Atm. Sci., Univ. of Miami. 112 pp. CLARK, J.R. 1997. Coastal zone management. Lewis Pub. Washington D.C. 649 pp. KAPETSKY, J.M. 1987. Development of the mangrove ecosystem for forestry, fisheries and aquaculture. Fin. Rep., symp. Redevelop; EcoL, Eco. and Soc. Asp. Hongary. 5 - 36. KAPETSKY, J.M., L. MCGREGOR and H. NANNE1987. A geographical information system and satellite remote sensing to plan for aquaculture development. FAO Fish. Tech. Pap. 287. U.N. Food and Agric. Org. Rome: 51 pp. MURRAY, S. 2002. Integrating population and environment in practice: Benefit, obstacles, and enabling condition. Intercoast Network. Rhode Island, USA. RANGKUTI, F. 2000. Analisis SWOT tehnik membedah kasus bisnis. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 188 pp.