1 PANDANGAN PSIKOLOGI KONSERVASI DALAM PENDIDIKAN LINGKUNGAN PADA USIA DINI (Teknologi Alat Peraga dan Metode Pendidikan Lingkungan) Oleh: Poppy Oktadiyani, S.Hut.M.Si.1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebenarnya manusia hanyalah bagian kecil dari alam ini, namun tindakannya yang tidak ramah lingkungan dan desakan kebutuhan ekonomi menyebabkan banyak spesies punah setiap tahunnya. Manusia adalah makhluk yang mempunyai kemampuan lebih dari makhluk lain di alam ini, seharusnya mendayagunakan kemampuannya untuk menjaga dan memelihara ekosistem. Manusia diharapkan dapat merubah sikapnya dari destruktif ke konstruktif. Akal budi bisa digunakan untuk memperbaiki alam. Dengan akal budinya, manusia memiliki kemampuan tidak hanya menghasilkan mesin dan industri yang bisa merusak alam tetapi akal budi manusia juga mampu untuk menciptakan teknologi yang mendukung kelestarian alam. Masalah-masalah lingkungan adalah kondisi-kondisi pada lingkungan biofisik yang menghalangi kepuasan kebutuhan manusia untuk kesehatan dan kebahagiaan (Swan & Stapp, 1974). Kita hendaknya mengganti paradigma manusia sebagai “penakluk komunitas alam” dengan paradigma manusia sebagai “anggota dari komunitas alam”. Dengan begitu manusia mampu menghargai anggota lain di dalam komunitas ekosistem. Salah satu faktor penyebab terpenting yang perlu diperhatikan dalam proses terjadinya perusakan lingkungan oleh manusia adalah faktor ekonomi. Secara lebih khusus lagi adalah segi sifat ketidakpuasan manusia, dimana manusia melakukan eksploitasi tak terbatas terhadap alam. Alam hanya dilihat sebagai benda penghasil uang. Sekarang ini diperlukan adanya perubahan sikap manusia secara mendasar dalam memperlakukan alam. Perubahan itu adalah perubahan nilai, dari nilai hubungan manusia dengan alam yang bersifat ekonomis ke nilai hubungan yang dilandasi oleh sikap menghargai alam sebagai bagian dari hidup manusia. Begitu baiknya alam ini hingga mampu menciptakan spesies-spesies yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Di dalam alam juga tercipta simbiosis-simbiosis. Tumbuhan, binatang dari yang paling kecil hingga yang terbesar dan manusia, terjalin dalam jaring-jaring rantai makanan. Masing-masing punya perannya sendiri dalam melestarikan alam ini. 1 Penyuluh Kehutanan Madya Balai KSDA Sulawesi Tengah 2 Semuanya membentuk suatu komunitas yang saling tergantung. Inilah yang perlu sungguh disadari manusia. Hewan, tumbuhan, dan segala sesuatu bagian dari ekosistem merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Merusak dan membunuh mereka tanpa perhitungan berarti menghancurkan manusia sendiri. Penanaman kesadaran terhadap lingkungan ini harus dimulai sejak usia dini, secara psikologi anak usia dini masih sangat sensitif untuk dapat dibentuk karakternya. Sehingga sangatlah tepat pembentukan karakter dan sikap dimulai sejak usia dini salah satunya melalui berbagai pilihan teknologi alat peraga dan metode pendidikan lingkungan yang dapat menarik perhatian usia dini. B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana upaya membentuk karakter dan sikap kesadaran lingkungan pada usia dini perubahan dari sebuah pandang psikologi konservasi melalui teknologi alat peraga dan metode pendidikan lingkungan”. PEMBAHASAN A. Psikologi Konservasi Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/ save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/ save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi merupakan pengelolaan kehidupan alam oleh manusia guna memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya secara berkelanjutan bagi generasi saat ini (pengelolaan yang bijaksana). Konservasi juga harus dipahami sebagai upaya untuk memelihara potensi alam untuk menjamin aspirasi dan kebutuhan generasi yang akan datang. Sedangkan istilah “psikologi” didefinisikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang pikiran, perasaan dan tingkah laku manusia. Manusia dan alam hanya bisa dimengerti secara penuh apabila hubungan di antara keduanya dimengerti. Kurangnya pemahaman mengenai keterkaitan ini, menyebabkan meningkatnya masalah-masalah lingkungan dan membatasi kemampuan kita untuk menanggulanginya. 3 Terdapat 3 (tiga) komponen psikologi manusia yang berhubungan dengan alam, yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective) dan perilaku (behavioral). Komponen kognitif adalah suatu rasa adanya hubungan atau ikatan (sense of connection). Komponen afektif adalah memelihara respon (caring response). Sedangkan komponen perilaku adalah pola yang diterapkan untuk selalu menunjukkan komitmennya di dalam suatu kegiatan. Adanya suatu rasa “perhubungan atau ikatan” (connectedness) dapat mendorong timbulnya rasa untuk memelihara alam dan kemudian secara berkelanjutan mendorong timbulnya komitmen untuk menjaga alam. Psikologi Konservasi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antara manusia dengan alam dengan penekanan kepada cara untuk membangkitkan semangat manusia dalam konservasi sumber daya alam (Saunders, 2003). Konsep psikologi konservasi pada hakekatnya dapat dimulai dengan munculnya perhatian, kepedulian, minat dan empati (baik kepada manusia, tumbuhan satwa dan habitatnya). Manusia akan dapat mengerti dan memahami segala sesuatu yang dibutuhkan oleh makhluk lain dan juga faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan mereka. Sebagai contoh berkembangnya perhatian, kepedulian, dan minat manusia terhadap satwa dapat digunakan sebagai model untuk mendorong timbulnya hubungan yang harmonis dan berkelanjutan (sustainable) antara manusia dengan satwa dan habitatnya dan alam secara umum. B. Pengertian Lingkungan Hidup dan Pendidikan Lingkungan Lingkungan hidup berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Unsur-unsur lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu: 1. Unsur Hayati (Biotik) Unsur hayati (biotik), yaitu unsur lingkungan hidup yang terdiri dari makhluk hidup, seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan jasad renik. 2. Unsur Sosial Budaya Unsur sosial budaya, yaitu lingkungan sosial dan budaya yang dibuat manusia yang merupakan sistem nilai, gagasan, dan keyakinan dalam perilaku sebagai makhluk sosial. 4 3. Unsur Fisik (Abiotik) Unsur fisik (abiotik), yaitu unsur lingkungan hidup yang terdiri dari benda-benda tidak hidup, seperti tanah, air, udara, iklim, dan lain-lain. Keberadaan lingkungan fisik sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup segenap kehidupan di bumi. Pendidikan lingkungan bukanlah hal yang baru tetapi mengalami sejarah yang panjang sejak abad ke 19 diawali dengan buku studi tentang alam. Setelah buku tersebut ada banyak kegiatan yang dilakukan kegiatan outdoor dengan maksud agar mampu memahami alam dengan memberi pengalaman langsung dan belajar langsung di luar kelas. Menurut Adisenjaya (2007), setelah ada pendidikan lingkungan kemudian muncul pendidikan konservasi melalui beberapa fase dan pada akhir tahun 1960-an di Amerika dan tahun 1980an di Indonesia sudah dikembangkan pendidikan lingkungan. Di Indonesia saat itu diberi nama Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) tetapi karena berbagai faktor PKLH tidak terdengar lagi gaungnya dan baru pada awal tahun 2000-an mulai berdiri berbagai sekolah yang berbasis lingkungan baik kurikulumnya atau kegiatannya. Pendidikan lingkungan berkaitan dengan lingkungan biofisik dan masalah-masalah terkait, hal ini pada akhirnya berkaitan dengan manusia dan penekanan bukan pada lingkungannya. Oleh karena itu dalam pengembangan program pendidikan lingkungan hal yang paling penting untuk dipertimbangkan adalah aspek perilaku manusia khususnya dan paling penting lagi yaitu interaksi manusia secara langsung dengan lingkungan biofisik dan kemampuan manusia untuk memecahkan masalah-masalah lingkungan. Jadi para pendidik pendidikan lingkungan tidak hanya memiliki pemahaman tentang lingkungan saja tetapi juga pemahaman dasar tentang manusia. Dengan demikian teori pendidikan lingkungan harus merupakan peleburan dari kedua hal ini yaitu pemahaman tentang lingkungan dan tentang manusianya (Swan, 1972). Sedangkan menurut Swan dan Stapp (1974), keterampilanketerampilan di bawah ini harus menjadi tujuan dari pendidikan lingkungan, yaitu: 1. Penggunaan informasi di luar persepsinya (extraperceptual information); 2. Kesadaran penginderaan (sensory awareness); 3. Hubungan diri sendiri dengan masyarakat; 4. Berpikir ekologis; dan 5. Pengembangan nilai dan klarifikasi. C. Persepsi, Sikap, dan Perilaku Ada 2 (dua) cara dalam mengatasi permasalahan konservasi, yaitu solusi teknologi dan perubahan perilaku (konservasi sumberdaya, menurunnya perilaku negatif terhadap 5 lingkungan). Peningkatan pengetahuan mengenai konservasi diasumsikan akan mampu merubah sikap terhadap lingkungan. Tidaklah cukup bahwa seseorang mengerti mengenai efek hilangnya keanekaragaman hayati, melainkan dia juga harus mengerti bahwa masalah tersebut merupakan cerminan dari nilai dan sikap terhadap pembangunan. Solusi terhadap permasalahan konservasi tidak dapat diselesaikan hanya oleh ilmuwan ataupun pemerintah, melainkan pada masyarakat yang terdidik dalam masalah konservasi, dalam hal ini kita fokus untuk masyarakat usia dini sebagai generasi penerus yang secara psikologi anak usia dini masih sangat sensitif untuk dapat dibentuk karakternya. Beberapa definisi penting yang harus dipahami dan dimengerti perbedaanperbedaannya: i. Kesadaran – Kesadaran berhubungan erat dengan pengetahuan. Tetapi, kesadaran dalam arti yang sebenarnya adalah sadar akan sesuatu. Proses hilangnya keanekaragaman hayati sedang terjadi, kita perlu sadar akan hal itu, tetapi kesadaran di sini tidak selalu berarti pengertian. Kesadaran bisa muncul tanpa sikap, seseorang bisa saja sadar bahwa kepunahan masal sedang terjadi, tetapi hal tersebut tidak diikuti oleh perubahan sikap serta tanpa membentuk suatu sikap tertentu. Proses penyadaran harus dilakukan terus menerus sehingga akan selalu ada dan merupakan proses dari keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. ii. Pengetahuan – Pengetahuan merupakan komponen penting dari pemahaman, tetapi bukan penentu. Sehingga, meskipun seseorang punya pengetahuan akan sesuatu dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang suatu hal, belum tentu ia memahami bagaimana keterkaitan hal tersebut dan mampu untuk memahami substansinya. Sebagai contoh, pengetahuan bahwa sebagian ular adalah berbisa justru melandasi banyaknya pembunuhan terhadap ular-ular atau binatang sejenis yang sebenarnya tidak berbisa. iii. Pemahaman. – Menangkap apa yang dimaksud. Pemahaman mungkin merupakan istilah yang lebih penting dari pengetahuan karena di dalamnya terkandung makna kompetensi dan paham yang bekerja di luar pengetahuan dasar, sehingga mampu memberikan suatu landasan yang kuat dalam menganalisa suatu masalah. Jadi kita seharusnya sadar bahwa sebanyak apapun pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang, belum tentu ia memiliki pemahaman yang cukup tentang hal itu. Jadi bisa dikatakan bahwa dalam konservasi, proses pendidikan yang dibutuhkan adalah bagaimana mengembangkan pemahaman dan merubah tingkah laku, bukan 6 memperbanyak pengetahuan. Tetapi bukan berarti memiliki pengetahuan yang banyak merupakan sesuatu yang salah. Pengetahuan juga merupakan dasar suatu pemahaman. iv. Pendidikan – pendidikan adalah suatu proses untuk membesarkan seorang anak melalui aturan yang benar, kebiasaan, atau cara hidup; pendidikan adalah instruksi sistematis, sekolah atau pengajaran kepada anak-anak atau pemuda, atau, melalui penyuluhan, instruksi yang didapat oleh orang dewasa dalam hidupnya; instruksi yang diperoleh oleh seseorang. v. Sikap – Diadopsi langsung atau kebiasaan dalam menilai apa yang sedang dipikirkan. vi. Tingkah laku – Perbuatan yang bisa dilihat. Sebagai contoh, seseorang yang tidak makan daging karena ia memiliki sikap tertentu terhadap bagaimana daging diproses, bisa saja dalam kondisi tertentu akan memakannya hanya untuk menghormati. D. Pengembangan Teknologi Pendidikan Lingkungan untuk Usia Dini Seperti kita ketahui bahwa anak usia dini memiliki rasa ingin tahu dan sikap antusias yang kuat terhadap segala sesuatu serta memliki sikap berpetualang yang tinggi dan minat yang kuat untuk mengobservasi lingkungan. Pengenalan terhadap lingkungan di sekitarnya merupakan pengalaman yang positif untuk mengembangkan minat keilmuan anak usia dini. Lingkungan yang ada di sekitar anak merupakan salah satu sumber belajar yang dapat dioptimalkan untuk pencapaian proses dan hasil pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini. Lingkungan menyediakan berbagai hal yang dapat dipelajari anak. Jumlah sumber belajar yang tersedia di lingkungan ini tidaklah terbatas, sekalipun pada umumnya tidak dirancang secara sengaja untuk kepentingan pendidikan. Sumber belajar lingkungan ini akan semakin memperkaya wawasan dan pengetahuan anak karena mereka belajar tidak terbatas oleh empat dinding kelas. Selain itu kebenarannya lebih akurat, sebab anak dapat mengalami secara langsung dan dapat mengoptimalkan potensi panca inderanya untuk berkomunikasi dengan lingkungan tersebut. Penggunaan lingkungan memungkinkan terjadinya proses belajar yang lebih bermakna (meaningfull learning) sebab anak dihadapkan dengan keadaan dan situasi yang sebenarnya. Hal ini akan memenuhi prinsip kekonkritan dalam belajar sebagai salah satu prinsip pendidikan anak usia dini. 7 Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar akan mendorong pada penghayatan nilai-nilai atau aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya. Kesadaran akan pentingnya lingkungan dalam kehidupan bisa mulai ditanamkan pada anak sejak dini, sehingga setelah mereka dewasa kesadaran tersebut bisa tetap terpelihara. Kegiatan belajar di lingkungan dimungkinkan akan lebih menarik bagi anak sebab lingkungan menyediakan sumber belajar yang sangat beragam dan banyak pilihan. Kegemaran belajar sejak usia dini merupakan modal dasar yang sangat diperlukan dalam rangka penyiapan masyarakat belajar (learning societes) dan sumber daya manusia di masa mendatang. Pemanfaatan lingkungan menumbuhkan aktivitas belajar anak (learning activities) yang lebih meningkat. Penggunaan berbagai macam teknologi alat peraga pendidikan lingkungan dan teknik metode yang bervariasi ini merupakan tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi dalam pendidikan untuk anak usia dini. Begitu banyaknya nilai dan manfaat yang dapat diraih dari lingkungan sebagai sumber belajar dalam pendidikan anak usia dini bahkan hampir semua tema kegiatan dapat dipelajari dari lingkungan. Namun demikian diperlukan adanya kreativitas dan jiwa inovatif dari para pendamping sebagai fasilitator untuk dapat memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar. Lingkungan merupakan sumber belajar yang kaya dan menarik untuk anak-anak. Lingkungan mana pun bisa menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak-anak. Jika pada saat belajar di kelas anak diperkenalkan oleh guru mengenai binatang, dengan memanfaatkan lingkungan anak akan dapat memperoleh pengalaman yang lebih banyak lagi. Dalam pemanfaatan lingkungan tersebut pendamping/ fasilitator dapat membawa kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan di dalam ruangan kelas ke alam terbuka dalam hal ini lingkungan. Namun jika pendamping/ fasilitator menceritakan kisah tersebut di dalam ruangan kelas, nuansa yang terjadi di dalam kelas tidak akan sealamiah seperti halnya jika pendamping/ fasilitator mengajak anak untuk memanfaatkan lingkungan. Namun hal ini dapat juga diantisipasi dengan pemilihan alternatif teknologi pengembangan alat peraga pendidikan lingkungan dan metode yang bervariasi untuk usia dini. Alternatif teknologi pengembangan alat peraga pendidikan lingkungan untuk usia dini dapat berupa boneka mini/ maskot; boneka tangan; boneka jari; replika; puzzle; pohon pengenalan jenis; papan tebak gambar jenis-jenis flora dan fauna khususnya yang endemik dan dilindungi; maket simulasi terjadinya proses penebangan hutan kemudian akan terjadi longsor dan banjir; alat pencetak daur ulang kertas, serta film-film dan buku-buku tema 8 lingkungan yang dikemas secara menarik untuk usia dini sehingga tidak bosan. Teknologi pengembangan alat peraga ini sebagai sumber belajar yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan fisik, keterampilan sosial, dan budaya, perkembangan emosional serta intelektual pada usia dini. Teknologi alat peraga ini diaplikasikan dalam bentuk permainan lomba dan bermain peran yang dapat memberikan tantangan untuk dilalui oleh anak-anak. Pemanfaatannya secara psikologi akan memungkinkan anak untuk mengembangkan rasa percaya diri yang positif sebagai bagian dari pengembangan aspek emosinya. Rasa percaya diri yang dimiliki oleh anak terhadap dirinya sendiri dan orang lain dikembangkan melalui pengalaman hidup yang nyata. Selain itu, anak-anak belajar melalui interaksi langsung dengan benda-benda atau ide-ide terapan. E. Penerapan Teknologi Alat Peraga dan Metode Pendidikan Lingkungan pada Usia Dini Balai KSDA Sulawesi Tengah setiap tahunnya melaksanakan kegiatan pendidikan lingkungan bagi pelajar di sekolah-sekolah sekitar kawasan konservasi. Pendidikan lingkungan bagi pelajar dan visit to school sudah dilaksanakan diantaranya yaitu di SD N 1 Rampadende, SD N 1 Kaleke, SD N Balumpewa, SMP N 1 Dolo, dan SMA N 1 Marawola di Kabupaten Sigi; SD N Inpres Toboli, SMP N 4 Tolai, dan SMA N 1 Pangi di Kabupaten Parigi Moutong; SMP Yayasan Pendidikan Tanjung Balaesang di Kabupaten Donggala dan SMP N 1 Sojol di Kabupaten Donggala; SD N Pinjan di Kabupaten Tolitoli; SMP N 3 Pamona Selatan dan SMA N 1 Pendolo di Kabupaten Poso; SMP N 3 Ampana di Kabupaten Tojo Unauna; dan yang lainnya. Selain sasarannya sekolah-sekolah sekitar kawasan konservasi juga beberapa sekolah di Kota Palu, yaitu SD N Pengawu, SD Inpres Palupi, SMA N 3 Palu, MAN 2 Model Palu, dan yang lainnya. Gambar 1 Peserta Pendidikan Lingkungan bagi Pelajar di SMP Yayasan Pendidikan Tanjung Balaesang, sekitar Suaka Margasatwa Pulau Pasoso, Kabupaten Donggala dan SD Kecil Sakinah Jaya, sekitar Cagar Alam Pangi Binangga, Kabupaten Parigi Moutong 9 Metode yang digunakan secara tatap muka (langsung) melalui: 1. Pemberian penjelasan atau paparan dengan membagikan materi tentang lingkungan hidup, jenis-jenis satwa dan tumbuhan dilindungi, serta kegiatan konservasi. Materi disampaikan melalui bahasa lisan maupun tulisan dengan menggunakan alat bantu pengajaran atau alat peraga berupa boneka mini/ maskot; boneka tangan; boneka jari; replika; puzzle; pohon pengenalan jenis; papan tebak gambar jenis-jenis flora dan fauna khususnya yang endemik dan dilindungi; maket simulasi terjadinya proses penebangan hutan kemudian akan terjadi longsor dan banjir; alat pencetak daur ulang kertas; slide; leaflet; poster; gambar-gambar; serta film-film dan buku-buku tema lingkungan yang dikemas secara menarik untuk usia dini. Kepada para pelajar juga diberikan kesempatan untuk tanya jawab mengenai materi yang diberikan. Gambar 2 Metode tatap muka secara langsung melalui pembagian materi pegangan untuk pelajar, pemberian penjelasan, dan tanya-jawab yang dikemas menarik 2. Diskusi interaktif dengan pelajar dan pengemukaan pendapat. Diskusi tersebut diadakan dengan tujuan: a. Sebagai sarana untuk bertukar pikiran, pandangan, pengetahuan, dan prakarsa. b. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta dalam mengemukakan pendapat secara obyektif dan sistematis dalam suatu kelompok. c. Meningkatkan keterampilan dan pengetahuan peserta dalam menyerap dan memahami pikiran atau pendapat orang lain. d. Meningkatkan keterampilan, kemampuan, dan semangat kerjasama dalam rangka menyebarluaskan informasi. 10 3. Menuangkan kondisi lingkungan secara visualisasi dalam bentuk gambar. Gambar 4 Metode menggambar lingkungan Metode visualisasi kondisi lingkungan dalam bentuk gambar merupakan metode untuk membuat pelajar dapat melihat kondisi lingkungan di sekitarnya dan mampu menjelaskannya dalam bentuk visual, selain itu untuk memberikan stimulant (rangsangan) daya kreativitas pelajar dalam mengemukakan pendapat. 4. Permainan menyusun puzzle, menyusun 5 (lima) bujur sangkar, bermain peran menggunakan boneka mini/ maskot, boneka tangan, boneka jari, replika, pohon pengenalan jenis, papan tebak gambar jenis-jenis flora dan fauna khususnya yang endemik dan dilindungi, serta pemutaran film-film dan buku-buku tema lingkungan. (a) (c) (b) (d) 11 (e) (f) (g) (h) Keterangan: (a) : Permainan puzzle seri ekosistem, lingkungan, dan jenis-jenis satwa dan tumbuhan dilindungi; (b) : Membahasa dan menganalisa isi gambar yang terdapat pada puzzle; (c) : Hasil karya pelajar menyusun puzzle; (d) : Belajar mengenal jenis-jenis satwa dan tumbuhan dilindungi melalui gambar poster; (e) : Permainan menyusun 5 (lima) bujur sangkar (f) : Permainan lainnya untuk melatihan kekompakan (g) : Proses penyusunan scenario cerita untuk lomba dongeng jenis-jenis satwa dilindungi di Sulawesi Tengah (h) : Lomba dongeng jenis-jenis satwa dilindungi di Sulawesi Tengah Gambar 5 Aneka ragam permainan sebagai metode untuk merangsang psikis berupa motivasi dan keaktifan pelajar dalam mengikuti kegiatan pendidikan lingkungan Metode games (permainan) sangat tepat untuk sasaran tingkatan usia dini. Pada saat sesi permainan seluruh pelajar bersemangat mengikuti setiap permainan, yaitu menyusun puzzle seri ekosistem, lingkungan, dan jenis-jenis satwa dan tumbuhan dilindungi; menyusun 5 (lima) bujur sangkar; bermain peran menggunakan boneka mini/ maskot; boneka tangan; boneka jari; replika; pohon pengenalan jenis; papan 12 tebak gambar jenis-jenis flora dan fauna khususnya yang endemik dan dilindungi; pemutaran film-film, serta buku-buku tema lingkungandan berbagai jenis permainan untuk menumbuhkan kekompakan dan keakraban diantara pelajar. Permainan menyusun puzzle dilanjutkan dengan membahas dan menganalisa isi gambar yang terdapat pada puzzle sehingga pelajar tidak hanya mengetahui tetapi sampai pada tingkat memahami. Pengenalan jenis-jenis satwa dan tumbuhan dilindungi tidak hanya terbatas jenis-jenis yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah, tetapi seluruh jenis-jenis tumbuhan dan satwa berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Permainan menyusun 5 (lima) bujur sangkar tujuannya untuk menumbuhkan rasa peka terhadap apa yang dibutuhkan, sikap terbuka terhadap orang lain, mengenal dan mengakui kesulitan orang lain atau mau membantu, harus sadar dan bersedia mengakui kemampuan orang lain, setiap orang harus dapat memahami bagaimana arah penyelesaian, setiap orang harus mengerti masalah yang dihadapi, ada komunikasi timbal balik diantara anggota, serta adanya kordinasi. Dalam permainan menyusun 5 (lima) bujur sangkar semua pelajar mengikutinya dengan antusias dan bersemangat karena permainan ini masih baru bagi mereka. 5. Reward (pemberian penghargaan atau hadiah) kepada kelompok yang dapat meyelesaiakan permainan dengan benar dan cepat. Metode ini untuk merangsang pelajar untuk lebih aktif dan termotivasi untuk mengikuti kegiatan pendidikan lingkungan. Gambar 6 Pemberian reward (hadiah) sebagai bentuk apreasiasi keaktifan pelajar dalam mengikuti kegiatan pendidikan lingkungan 13 6. Praktek lapangan kegiatan penanaman di lingkungan sekolah dan kegiatan simulasi terjadinya proses penebangan hutan kemudian akan terjadi longsor dan banjir menggunakan maket, dan praktek pembuatan kertas daur ulang. Praktek lapangan diadakan dengan tujuan agar para pelajar dapat langsung mempraktekkan atau menerapkan kegiatan-kegiatan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para pelajar. Gambar 7 Praktek lapangan kegiatan penanaman di lingkungan sekolah 14 PENUTUP Pelestarian lingkungan memerlukan pemahaman tentang ekosistem, tetapi lebih penting lagi kesadaran dan aksi dalam melestarikan yang tidak hanya merupakan pendidikan otak tetapi juga sebuah pendidikan jiwa. Manusia memiliki interaksi dengan alam yang sangat kuat, sehingga dengan merasakan berada di alam, melihat, mendengar, mencium, meraba akan memudahkan seseorang untuk bertindak dengan hati. Menumbuhkan karakter pelestarian lingkungan ini perlu ditanamkan pada usia dini melalui berbagai pilihan teknologi alat peraga dan berbagai metode yang dapat menarik perhatian sehingga akan dapat secara efektif diingatnya. Penerapan pendidikan lingkungan ini sebaiknya dilaksanakan secara rutin dan berkelanjutan sehingga sebagai pendamping/ fasilitator dapat memonitoring dan mengevaluasi perkembangan psikologi konservasi pada pelajar sebagai sasaran binaan pada tingkat masyarakat usia dini. DAFTAR PUSTAKA Adisenjaya, Y.H. 2007. Penerapan Pendidikan Lingkungan di Sekolah. Makalah. Jurusan Pendidikan Biologi, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Republik Indonesia. 2009. Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Republik Indonesia. Jakarta. Saunders, C. D. 2003. The Emerging Field of Conservation Psychology. Human Ecology Review, 10 (2), 137-149. Swan, J.A. 1972. Psychological Response to The Environment. In C.R.Goldman (ed). Environmental Quality and Water Development, National Water Commission. Swan, J.A. dan Stapp, W.B. 1974. Environmental Education. John Wilet & Sons. New York.