Makalah Akhir Dinamika Kawasan Asia Selatan dan Asia Tengah Geopolitik Energi di Asia Tengah: Kepentingan Energy Security Amerika Serikat, Rusia, dan Cina di Asia Tengah (Geopolitics of Energy in Central Asia: Energy Security of United States, Russia, and China in Central Asia) Disusun Oleh: Ilham Yulhamzah Arif (0606097932) DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA Depok, 2008 Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sistem internasional paska-Perang Dingin bertransformasi menjadi sistem internasional yang relatif berbeda. Sistem internasional selama Perang Dingin lebih diwarnai dengan konflik militer dan perlombaan senjata antara dua superpower, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Isu keamanan selama Perang Dingin sangat berfokus pada isu konvensional, seperti: kekuatan militer, penyebaran pengaruh (sphere of influence), dan geopolitik. Berkahirnya Perang Dingin yang sering diasumsikan sebagai kemenangan Blok Barat – dipimpin oleh Amerika Serikat – atas Blok Timur sempat menyebabkan AS menjadi hegemoni di dalam sistem internasional. Namun, beberapa tahun kemudian, mulai muncul kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi baru, seperti: Cina dan Rusia, menyebabkan relative-power AS dalam sistem internasional menurun. Sedangkan, sistem internasional paska-Perang Dingin diwarnai dengan konflik nonkonvensional, seperti: perebutan sumber daya, baik air maupun energi, ancaman kelompok radikal dan fundamentalis, konflik internal negara, seperti: gerakan separatis dan bentrokan antaretnis, dan lain-lain. Hal tersebut mendorong munculnya wacana-wacana baru dalam studi keamanan, salah satunya adalah konsep sekuritisasi, dipelopori oleh Mazhab Kopenhagen, antara lain: Barry Buzan, Ole Waever. Konsep tersebut berusaha mengkonseptualisasi makna “ancaman eksistensial”, dimana makna ancaman dewasa ini tidak sekedar berasal dari faktor exogenous, melainkan juga berasal dari faktor endogenous. Selanjutnya, dapat dipahami bahwa dewasa ini isu keamanan non-konvensional menjadi satu hal yang penting dalam studi keamanan, seperti: energy security, human security, environmental security, economic security, dan lain-lain. Sistem internasional paska-Perang Dingin yang tidak lagi diatribusikan sebagai sebuah sistem yang bipolar ataupun unipolar mengindikasikan transformasi sistem internasional yang progresif. Munculnya kekuatan-kekuatan dunia baru, seperti: Cina yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang drastis dan Rusia yang mewarisi kekuatan militer Uni Soviet dan kekayaan sumber minyak bumi dan gas alam, mengimposisi sebuah makna bahwa sistem internasional dewasa ini memiliki kutub-kutub power yang tidak lagi terkonsentrasi pada satu kekuatan hegemoni, dengan kata lain, sistem internasional dewasa ini adalah multipolar. Mengutip asumsi (neo)realisme, tujuan akhir dari negara adalah power dan interaksi antarnegara tidak lain merupakan interplay antar-power negara. Oleh karena itu, dengan sistem yang multipolar, sistem internasional lebih banyak diwarnai dengan tarikmenarik power negara dengan asumsi bahwa setiap negara berusaha mempromosikan kepentingan nasionalnya. Interaksi power dapat dijelaskan melalui analisis geopolitik yang terjadi dalam konstelasi politik internasional. Salah satu area geopolitik yang diperjuangkan oleh negara-negara adalah energi, dimana oil shock pada dasawarsa 1970-an telah memberi makna penting bahwa energi merupakan hal yang sangat esensial bagi keberlanjutan perekonomian suatu negara, serta energi merupakan salah satu instrumen politik untuk memperoleh power – mempengaruhi kebijakan negara lain. Sejalan dengan konsep sekuritisasi, aksesibilitas energi menjadi penting bagi keamanan suatu negara karena kelangkaan energi akibat ketiadaan aksesibilitas yang mungkin dapat menjadi ancaman eksistensial bagi negara. Oleh karena itu, banyak negara-negara besar yang menggantungkan dirinya pada suplai energi luar mulai mengadopsi kebijakan energy security dalam konteks geopolitik yang ikut menentukan strategic outlook negara-negara importir energi, terutama negara-negara yang berperan besar dalam satu kawasan. Salah satu perebutan aksesbilitas terhadap sumber energi terjadi di kawasan Asia Tengah karena di sana terdapat satu lahan yang kaya energi, yaitu Laut Kaspia. Laut Kaspia atau Asia Tengah dapat dikatakan sebagai region yang memiliki potensi untuk menjadi salah satu penyulai minyak dunia. Ladang minyak di Laut Kaspia diperhitungkan dapat memproduksi 4 juta barel minyak per hari pada 2015, hampir sama dengan kombinasi tingkat produksi Iraq-Kuwait. 1 Laut Kaspia memiliki cadangan minyak 77,1 milyar barel atau 7,4% minyak dunia, dilihat sebagai sumber minyak terbesar kedua atau ketiga di dunia.2 Selain itu, Laut Kaspia memiliki kekayaan alam berupa gas alam yang melimpah. Sebagai negara industri maju, AS harus mencari sumber-sumber energi di luar region penyuplai minyak utamanya (Teluk Persia). Hal tersebut dikarenakan stabilitas politik ekonomi minyak Teluk mulai labil dan posisi AS di dalam konflik Israel-Palestina yang tidak didukung oleh negara-negara penyuplai minyaknya di Timur Tengah, misalnya Arab Saudi. Di dalam Administrasi Bush, AS memandang bahwa perluasan ke Laut Kaspia yang memiliki cadangan minyak dan gas alam merupakan suatu hal yang krusial bagi kepentingan Washington. Seperti apa yang dinyatakan oleh Brezinski dalam bukunya ”The Grand Chessboard” bahwa Eurasia (dan Teluk Persia) merupakan papan catur yang besar di mana perjuangan untuk memperoleh dominasi global tetap dimainkan. Di samping itu, dia juga menyatakan bahwa politik luar negeri AS harus tetap berdasarkan pada dimensi geopolitik.3 Di samping AS, Rusia juga memiliki peran dalam mempengaruhi geopolitik di kawasan Asia Tengah, terutama dalam area energi. Rusia sebagai patron dari negara-negara Asia Tengah tetap menganggap region tersebut sebagai sphere of influence-nya. Di dalam energy policy-nya, Moskow telah berusaha menanamkan pengaruhnya. Bagi Rusia, ekspor minyak dan gas alam merupakan 1 Arial Cohen Ph.D, U.S. Interests and Central Asia Energy Security, 15 November 2006, diakses dari pada 3 Desember 2007 pukul 12:16. 2 BP Statistical Review of World Energy, (London: BP, Juni 2003), hal:4. 3 Zbigniew Brzezinski, The Grand Chessboard, (New York: Basic Books, 1997), hal:xiv. penyumbang terbesar pendapatan luar negerinya – pada tahun 2002, 50% di dapatkan dari ekspor, 40% dari pendapatan pemerintah. Oleh karena itu, Rusia melakukan segala sesuatu untuk meningkatkan produksi energi untuk revitalisasi ekonomi dan politik.4 Cina juga merupakan aktor yang menginginkan keterlibatan geopolitik di Asia Tengah, terlihat dari usaha Cina membangun ikatan-ikatan bisnis energi dengan mengirim perusahaanperusahaan minyaknya ke negara-negara Asia Tengah, dipandang sebagai kepentingan energy security Cina. Kepentingan Cina terlibat dalam geopolitik Asia Tengah dapat dipandang berangkat dari kepentingan keamanan nasionalnya. Cina sedang menghadapi ancaman separatisme di Xinjiang Uighur – mayoritas masyarakatnya berbahasa Turki. Oleh karena gerakan di Uighur memiliki hubungan erat dengan milisi Islam radikal di Asia Tengah, Cina merasa perlu meningkatkan pengaruhnya di Asia Tengah. 1.2. Rumusan Masalah Bagaimana interaksi power dan kepentingan nasional three major powers, yaitu Amerika Serikat, Rusia, dan Cina, dalam perebutan aksesibilitas energi di Asia Tengah? 1.3. Kerangka Pemikiran Ekonomi Politik Energi Hubungan antarnegara tidak dapat terlepas dari dinamika konflik, terutama dalam konteks interaksi power negara, dimana interaksi tersebut tidak hanya terjadi dalam konteks kekuatan militer, melainkan juga dalam konteks ekonomi-politik. Seperti apa yang diasumsikan oleh perspektif (neo)realisme bahwa sistem internasional yang anarki – tidak ada central authority yang mampu mengatur dan membatasi perilaku unit-unit (negara-negara) di dalam sistem – mendorong negaranegara bersikap self-help dalam mempromosikan kepentingan nasionalnya. Seperti apa yang diasumsikan oleh Hobbes dalam ‘state of nature’ yang memandang bahwa hubungan internasional merupakan sebuah konteks untuk mempertahankan hubungan antar-power. Tiap-tiap negara berdaulat dan bebas (independen) untuk berperilaku – mengambil tindakan atau kebijakan – untuk melindungi, memelihara, dan mewujudkan kepentingan nasionalnya. Kepentingan nasional, yang salah satunya adalah kepentingan ekonomi, menjadi suatu faktor yang menyebabkan terjadinya bentrokan kepentingan (clash of interests) antarnegara sehingga konflik muncul. Mengutip aliran ekonomi-politik internasional realis-merkantilis, Gilpin menekankan bahwa untuk memahami pola perilaku negara-negara dalam ekonomi politik internasional, diperlukan pemahaman dalam kerangka kepentingan nasional. 4 Department of Energy, “Russia”, September 2003. Selanjutnya, untuk memahami konsep kepentingan nasional, lebih baik melihat asumsiasumsi perspektif (neo)realaisme mengenai kepentingan nasional dan power. Negara diasumsikan sebagai aktor tunggal (unitary actor) dan rasional ketika berinteraksi dengan negara lain dalam sistem internasional. Perilaku negara diasumsikan berdasarkan pada rasionalitas atau pertimbangan kalkulasi untung-rugi yang berimplikasi pada pay-off yang nantinya akan diperoleh. Negara akan senantiasa mewujudkan kepentingan nasionalnya sehingga dalam anarkisme internasional negara akan senantiasa pula meningkatkan kapabilitas power-nya (struggle for power) demi mewujudkan kepentingan nasionalnya. Negara satu dengan yang lainnya memiliki kepentingan nasional yang sama atau tumpang tindih (overlapping) sehingga negara-negara akan senantiasa berlomba-lomba mewujudkan kepentingan nasionalnya karena sifat interaksi antarnegara yang zero-sum game dimana ketika negara satu mampu mewujudkan kepentingan nasionalnya merupakan kerugian bagi negara lain. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa realisme mengasumsikan bahwa hubungan antarnegara merupakan hubungan yang hakikatnya konfliktual dan kerjasama antarnegara diasumsikan tidak mungkin terjadi karena negara akan senantiasa mewujudkan kepentingan nasionalnya tanpa mempedulikan kepentingan nasional negara lain. Interaksi power negara dan konflik kepentingan nasional terjadi dalam konteks geopolitik yang biasanya melibatkan beberapa major power dalam sistem internasional. Geopolitik dapat didefinisikan sebagai berikut: ”Geo-politic is the struggle between rival powers for control over territory, natural resources, vital geographic features (harbours, rivers, oases), and other sources of economic and military advantage”. 5 Dewasa ini, faktor geopolitik merupakan salah satu hal yang mempengaruhi strategic outlook dari major powers. Brezinski dalam bukunya ”The Grand Chessboard” menuliskan bahwa Eurasia (dan Teluk Persia) merupakan papan catur yang besar di mana perjuangan untuk memperoleh dominasi global tetap dimainkan.6 Definisi tersebut memberi sebuah penjelasan penting bahwa interaksi power pada umumnya merupakan perwujudan perjuangan negara untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya dalam suatu area politik, salah satu area geopolitik adalah energi. Salah satu kepentingan nasional dewasa ini yang paling krusial adalah keamanan energi (energi security), dimana setiap negara memiliki kebijakan-kebijakan yang di dalamnya memuat strategi-strategi untuk mempromosikan ketahanan energinya guna keberlanjutan pembangunan. Mason Willrich di dalam bukunya ”Energy and World Politics” mengemukakan bahwa energy security harus dipandang secara kontekstual. Energy security memiliki berbagai konteks berdasarkan peran aktor yang mengimplementasikannya. Bagi negara-negara eksportir energi, energy security dilihat dalam konteks akses terhadap pasar dan tingkat permintaan. Sedangkan bagi negara-negara importir energi, energy security dilihat dalam konteks bagaimana memperoleh suplai energi bagi 5 6 Michael T. Klare, Blood and Oil, (London: Penguin Books, 2005),, hal:147. Zbigniew Brzezinski, The Grand Chessboard, (New York: Basic Books, 1997), hal:xiv. negaranya.7 Bagi negara-negara importir energi, energy security dapat diartikan sebagai “assurance of sufficient energy supplies to permit national economy to function in a politically acceptance manner” – jaminan akan adanya suplai energi yang cukup untuk memastikan berjalannya perekonomian nasional melalui cara-cara politik.8 Mason mengemukakan terdapat tiga kompenen utama energy policy untuk memastikan energy security. Pertama, bersikap rasional yang berarti berusaha untuk mengalokasikan suplaisuplai yang available dan membatasi konsumsi. Negara mengadopsi kebijakan pengurangan konsumsi akan menghilangkan masalah-masalah suplai energi yang mendasar dan tingkat waktu untuk mengatasi masalah tersebut. Kedua, mengadakan penimbunan untuk mengurangi kerentanan negara importir terhadap suplai yang terhenti dengan melindungi dari efek yang ditimbulkan. Negara menyiapkan sejumlah cadangan energi nasional untuk memastikan keamanan dan melindungi dari fluktuasi harga yang abnormal. Ketiga, melakukan diversifikasi yang berindikasi pada usaha untuk memastikan keberlanjutan suplai energi dengan menganekaragamkan sumber dan penyuplai. Dengan membuka kontrak dengan negara penyuplai lain, akan mengurangi ketergantungan terhadap penyuplai energi tunggal.9 Konseptualisasi keamanan energi juga berkaitan dengan paradigma untuk memandang makna dari energi sebagai komoditas. Makmur Keliat memberikan dua paradigma energi, baik sebagai komositas strategis maupun sebagai komoditas pasar.10 Konseptualisasi Paradigma Energi (sebagai Komoditas Strategis maupun Komoditas Pasar) Paradigma Energi sebagai Komoditas Strategis Argumentasi Menentukan pertumbuhan Energi sebagai Komoditas Pasar ekonomi Menghindarkan inefisiensi penggunaan energi dan nasional menghemat anggaran belanja negara Pengamanan pasokan fisik membutuhkan Interdependensi institusi keamanan eksportir dan importir energi Contoh Mengurangi ketergantungan energi dari Penentuan harga diserahkan pada pasar menurut Rekomendasi sumber dan hukum permintaan dan penawaran; perusahaan Kebijakan penguasaan wilayah kaya energi; regulasi negara diberlakukan sama dengan swasta untuk pembatasan konsumsi domestik; melakukan investasi energi, baik dari energi primer penyimpanan energi (stockpilling); hingga energi akhir; melakukan kerangka kerjasama penetapan harga (pricing policy) energi oleh pada tataran regional antara negara eksportir dan pemerintah. importir energi. 7 eksternal; pengendalian perekonomian antara negara Mason Willrich, Energy and World Politics, (New York: The Free Press, 1978), hal:70-79, dikutip dari Sugeng Bob Hadiwinata, “Bringing the State Back In: Energy and National Security in Contemporary International Relations”, Global: Jurnal Politik Internasional, Vol.8, No.2, Mei-November 2006, hal:2. 8 Mason Willrich, Op.Cit,. 9 Ibid. 10 Makmur Keliat,.“Kebijakan Keamanan Energi”. Global: Jurnal Politik Internasional, Vol.8 No.2 Mei-November 2006, hal: 42. Bab II Pembahasan 2.1. Energi di Asia Tengah Energi merupakan satu hal yang diperlukan bagi sustainibilitas perekonomian suatu negara, baik sebagai komoditas ekspor maupun impor. Misalnya minyak, dimana miinyak merupakan sumber energi yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Pada akhir abad 20, diperhitungkan bahwa minyak telah menjadi 39 persen konsumsi energi dunia; batu bara merupakan sumber energi terbesar kedua dengan 24 persen; selanjutnya, sisa sebesar 37 persen terdiri dari: gas alam (22 persen), energi nuklir (6 persen), dan lain-lain.11 Banyak ahli yang memperhitungkan bahwa minyak akan tetap menjadi sumber energi terbanyak digunakan selama dasawarsa pertama abad 21. Permintaan dunia terhadap minyak akan meningkat sekitar 2 persen tiap tahunnya antara sekarang dan 2020. Berdasarkan proyeksi Departemen Energi Amerika Serikat (AS), penggunaan minyak dunia akan meningkat dari sekitar 77 juta barel per hari di tahun 2000 menjadi 85 juta barel per hari di tahun 2005, 94 juta barel per hari di tahun 2010, 102 barel per hari di tahun 2015, dan 110 juta barel per hari di tahun 2020.12 Laut Kaspia merupakan salah satu kawasan yang potensial sebagai produsen energi, baik dalam bentuk minyak bumi maupun gas alam. Tidak terlepas adalah kawasan Asia Tengah yang berbatasan langsung dengan Laut Kaspia sehingga sebagian negara-negara Asia Tengah dianugerahi dengan kekayaan sumber energi yang melimpah. Sebut saja Kazakhstan, dimana Kazakhstan pada 2002 mampu memproduksi minyak sebanyak 0,99 juta barel per hari dan besaran produksi tersebut memperoleh proporsi sebesar 1,3 persen dari produksi minyak seluruh dunia. Kazakhstan diperhitungkan memiliki cadangan minyak sebesar 9 milyar barel dan besaran tersebut memperoleh proporsi hampir 1 persen dari cadangan dunia.13 Laut Kaspia sendiri diperhitungkan akan menjadi sumber energi yang mampu menggantikan atau menyubstitusikan kawasan-kawasan lain sebagai penyuplai energi, mempertimbangkan bahwa kondisi politik kawasan penyuplai energi, terutama Teluk Persia dan Afrika, tidak begitu kondusif bagi negara-negara importir. Atau paling tidak, Laut Kaspia mampu menjadi kawasan komplemen kawasan penyuplai energi lainnya dalam pasar energi dunia. Ekspektasi tersebut merupakan hal yang berdasar karena Laut Kaspia telah membuktikan dirinya sebagai salah satu kawasan pemain dalam suplai energi global. Pada 2002, memiliki tingkat produksi minyak aktual sebesar 9,35 juta barel per hari dan besaran tersebut memiliki proporsi 12,6 persen dari jumlah dunia. Tingkat produksi minyak 11 U.S. Department of Energy, Energy Information Administration, International Energy Outlook 1999, (Washington, D.C.: DoE/EIA, 1999), Tabel A2, hal:142-143. 12 DoE/EIA, IEO 1999, Tabel A4, hal: 145. 13 BP Statistical Review of World Energy 2003, (London: BP, 2003), hal: 4, 6, 9. tersebut merupakan kedua terbesar di dunia setelah kawasan Teluk Persia, dimana Teluk Persia berproduksi aktual sebesar 19,88 juta barel per hari (26,9 persen dari jumlah dunia). Untuk cadangan minyaknya, Laut Kaspia diperhitungkan memiliki cadangan pada akhir 2002 sebesar 77,1 milyar barel (7,4 persen dari jumlah dunia). Fakta dan estimasi tersebut, tentunya, menggambarkan bahwa Laut Kaspia merupakan kawasan yang kaya sumber energi dan diespekstasikan dapat menjadi alternatif kawasan penyuplai energi. Tingkat dan Cadangan Minyak di Teluk Persia dan Region Lainnya, 2002 dan 2025 Negara/Region Cadangan Produksi Akhir Persentase Produksi Persentase Estimasi Persentase 2002 dari aktual, dari kapasitas dari jumlah di (milyar jumlah di 2002 jumlah di produksi, dunia barel) dunia (juta dunia 2025 (juta barel per barel hari) hari) per Teluk Persia 679 64,8 19,88 26,9 45,2 36,3 Amerika 30,4 2,9 7,70 10,4 9,4 7,6 19,5 1,9 6,44 8,7 8,9 7,1 16,3 1,6 6,16 8,3 4,5 3,6 77,1 7,4 9,35 12,6 15,9 12,8 Afrika 77,4 7,4 7,94 10,7 16,2 13,0 Asia 38,7 3,7 7,99 10,8 7,5 6,0 Amerika Latin 98,6 9,4 6,65 9,0 12,3 9,9 Lainnya 10,7 1,0 1,83 2,5 4,6 3,7 Jumlah 1047,7 100 73,94 100 113,5 100 Serikat Kanada dan Meksiko Negara Laut Utara Negara Laut Kaspia Sumber: untuk data 2002, BP, Statistical Review of World Energy 2003, (London:BP, Juni 2003), hal: 4,6,9; untuk data 2025, U.S. Department of Energy, Energy Information Administration (DoE/EIA), International Energy Outlook 2003, (Washington, D.C.: DoE/EIA, 2003, Tabel D1, hal: 235. 2.2. Geopolitik Energi di Asia Tengah antara AS, Rusia, dan Cina Kompetisi memperebutkan aksesibilitas energi di Asia Tengah terjadi antara Amerika Serikat (AS), Rusia, dan Cina. Ketiga major power tersebut memiliki kepentingan vital dalam konteks keamanan energinya, yaitu dalam aliran minyak global dan berusaha memperoleh kontrol politik atas negara-negara Asia Tengah. Atas kepentingan keamanan energi, ketiga major power tersebut harus menggunakan instrumen-instrumen politik untuk memperoleh ”simpati” dari negara-negara yang baru saja merdeka dan melepaskan diri dari Uni Soviet pada awal 1990-an, dimana sebagian besar negara Asia Tengah diperintah secara otoriter. Dengan begitu, negara-negara Asia Tengah dan Laut Kaspia merupakan kawasan strategis yang mempengaruhi strategic outlook ketiga major power tersebut, terutama sebagai alternatif kawasan penyuplai energi dan sebagai kawasan yang memiliki ”nilai” geostrategis. Kompetisi yang ”alot” terjadi antara AS dan Rusia, dimana Rusia berusaha mempertahankan pengaruhnya sebagai negara patron dari negara-negara Asia Tengah. Rusia pada awalnya – sebelum adanya pipa BTC – menguasai rute distribusi energi di Laut Kaspia, dipandang oleh AS sebagai ambisi Rusia untuk memonopoli rute energi di Asia Tengah. Sebaliknya, kehadiran pengaruh AS di Asia Tengah, terutama sewaktu pembangunan pipa BTC dan kehadiran pangkalan militer AS di negara-negara Asia Tengah selama Perang Afghanistan 2001, Rusia mengalami dilema terhadap perilaku AS tersebut. Rusia memandang bahwa AS sedang memperkuat pengaruh politik dan militernya di negara-negara eks-Uni Soviet tersebut. Seperti apa yang diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Rusia Y. Urnov pada Mei 2000 bahwa Rusia tidak dapat membiarkan kepentingankepentingan tertentu dari luar yang memperlemah posisi Rusia di Laut Kaspia, serta seharusnya tidak ada yang terlukai jika Rusia berhasil membatasi usaha-usaha yang mengganggu kepentingan Rusia. 14 Kehadiran militer AS – dilihat sebagai usaha AS untuk menanamkan pengaruh politiknya di Asia Tengah – membawa dilema bagi Rusia. Rusia memandang bahwa AS telah mengambil keuntungan daru kepercayaan negara-negara Kaspia untuk mengdukung posisi geopolitik AS di Laut Kaspia. 15 Kehadiran militer AS di negara-negara Asia Tengah dimulai ketika Perang Afghanistan 2001 untuk melaksanakan Operation Enduring Freedom (OEF). Terlebih lagi, ketika AS mengirim instruktur militer ke Georgia pada Februasi 2002 dengan alasan untuk meningkatkan kemampuan Georgia dalam melindungi perbatasan dan infrastrukturnya, termasuk pipa minyak dan gas, dari ancaman insurgensi Abkhazia dan Ossetia Selatan dan militan-militan Islam. Hal tersebut dipandang oleh Rusia sebagai usaha AS untuk mengurangi dominasi pengaruh Rusia di kawasan. 16 Bahkan, Menteri Luar Negeri Rusia menyatakan bahwa penempatan instruktur militer dapat lebih jauh memperburuk situasi di Kaspia. 17 Andrei Y. Urnov, “Russian and Caspian Energy Export Prospects”, address given at the Central Asia-Caucasus Institute of the Johns Hopkins University School of Advanced International Studies (SAIS), Washington, D.C., May 17, 2000, diakses dari http://www.cacianalyst.org pada 7 Agustus 2000. 15 “The Tankees Are Coming”, Economist, 19 Januari 2002, hal:37. 16 Guy Chazan, “Russia Bristles at Possible U.S.-Georgia Plan”, Wall Street Journal, 28 Februari 2002. 17 Patrick E. Tyler, “Moscow Fears G.I.’s Role Could Deepen Conflicts”, New York Times, 28 Februari 2002. 14 Rusia seolah-olah tidak ingin pengaruhnya di Asia Tengah mengalami penurunan. Oleh sebab itu, pada Desember 2002, Rusia melakukan inisiatif yang sama, yaitu Rusia menempatkan sebuah skuadron pesawat tempur dan 700 pasukan di pangkalan dekat Biskek, Kirgistan. Penempatan pasukan militer Rusia tersebut merupakan dukungan terhadap ”tentara reaksi cepat” bersama antara Rusia, Kazakhstan, Kirgistan, dan Tajikistan dalam kerangkan Collective Security Organization (CSTO). Walaupun demikian, banyak analisis yang melihat kebijakan tersebut sebagai usaha Rusia untuk mengimbangi kehadiran militer AS di Asia Tengah – terutama pangkalan-pangkalan militer AS di Asia Tengah.18 Selanjutnya, Rusia juga meningkatkan jumlah pasukannya di Tajikistan – 14 ribu tentara Rusia berpatroli di sepanjang perbatasan dengan Afghanistan – dan juga memperkuat kehadiran armada laut Rusia di Laut Kaspia.19 Ambisi Rusia selanjutnya diperlihatkan ketika Rusia menolak menutup pangkalan militernya di Georgia dan menarik pasukannya dari sana. 20 Rusia juga berusaha memperkuat posisi strategisnya di Asia Tengah dengan menyediakan persenjataan dan bantuan militer di beberapa negara bekas federasinya tersebut, seperti: Armenia, Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Misalnya pada 2001, Moskow menyediakan sistem artileri, helikopter, dan aircraft guns, serta memanggil pejabat dan pilot Uzbekistan untuk dilatih di akademi militer Rusia.21 Perjanjian yang serupa juga dilakukan dengan negara-negara eksUni Soviet lainnya.22 Kehadiran pengaruh AS semakin besar setelah pipa BTC terselesaikan. AS mengirim bantuan 1,3 juta dolar, serta melatih dan memperlengkapi pasukan militer negara-negara yang dilalui oleh pipa BTC. Untuk tetap mempertahankan kontrol atas aliran energi dari Kaspia, Moskow mendukung gerakan separatis di Abkhazia dan Ossetia Selatan – kedua konflik tersebut terjadi dekat dengan rute pipa – dan menolak untuk menarik pasukan Rusia dari Georgia. Karena mempertimbangkan perilaku Rusia tersebut, AS memperketat penjagaan bersama dengan pasukan Georgia untuk menghadang serangan-serangan terhadap pipa. Kompetisi AS dan Rusia tersebut juga terlihat di dalam konflik Nagorno-Karabakh antara Armenia dan Azerbaijan di mana Rusia membantu Armenia dan AS membantu Azerbaijan. Selanjutnya, kompetisi antasa AS dan Rusia terlihat dalam penentuan rute pipa yang mengalirkan energi dari Kazakhstan. Selama ini, aliran energi dari Kazakhstan dimonopoli oleh pipa Tengiz-Novorossiysk yang melewati teritori Rusia. AS memandang hal tersebut sebagai ancaman sehingga berusaha menekan Kazakhstan dan perusahaan-perusahaan energi untuk membangun pipa Steven Lee Myers, “Russia to Deploy Air Squadron in Kyrgyzstan, Where U.S. Has Base”, New York Times, 4 Desember 2002. 19 “Russia Moots New Caspian Share-Out”, BBC World Service, London, April 26, 2002, diakses dari http://news.bbc.co.uk pada 29 April 2002. 20 Seth Mydans, “Georgia and Its Two Big Brothers”, New York Times, 28 November 2003. 21 Yuriy Chernogayev, “Uzbeks Will Take Up Russian Guns to Rebuff Islamist Offensive”, Kommersant (Moscow), 2 Maret 2001 diterjemahkan di Foreign Broadcast Information Service. 22 Jim Nichol, Central Asia’s New States: Political Developments and Implications for U.S. interests, issue brief for Congress (Washington D.C.” Libraryof Congress, Congressional Research Service, 1 April 2003), hal:5-6. 18 di bawah Laut Kaspia (Trans-Caspian Pipeline) yang terhubungan dengan pipa BTC di Baku. 23 Merespon hal tersebut, pada Januari 2002, Rusia mengajukan pembentukan ”Eurasian Gas Alliance” yang akan menyatukan semua produsen minyak dan gas di Asia Tengah ke dalam sistem transportasi terintegrasi yang tentunya akan melewati teritori Rusia.24 Cina sebagai the rising power dalam sistem internasional merupakan aktor baru yang menginginkan keterlibatannya dalam geopolitik energi di Asia Tengah. Kepentingan keamanan energi Cina merupakan tuntutan yang mendasar bagi sustainibilitas pembangunan industri dan perekonomian Cina. Mengingat Cina merupakan negara industri yang sedang berkembang, maka Cina merupakan salah satu negara konsumen energi terbesar di dunia, sehingga Cina membutuhkan suplai energi yang lebih untuk menjalankan aktivitas perekonomiannya, terutama suplai energi dari luar. Oleh karena itu, sebagai kawasan yang kaya akan cadangan energi, Asia Tengah menarik minat Cina untuk ”berkecimpung” dalam persaingan memperebutkan aksesibilitas energi Asia Tengah. Keterlibatan Cina tersebut dapat terlihat dalam investasi dan pengaturan perdagangan dengan perusahaan-perusahaan energinya, seperti: China National Petroleum Corporation (CNPC), China National Petrochemical Corporation (Sinopec), dan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC). Bahkan pada 2003, perusahaan-perusahaan tersebut membangun ikatan-ikatan penting dengan negara-negara eksportir minyak, salah satunya adalah negara-negara Asia Tengah seperti Kazakhstan. Kazakhstan merupakan salah satu negara yang memiliki peran kritis dalam kebijakan energi Cina dan telah menerima beberapa investasi Cina. Hal tersebut terlihat dari saham mayoritas CNPC di dalam Aktobemuniagaz – bekas perusahaan milik negara yang mengontrol beberapa ladang minyak di Aktyubinsk. CNPC dilaporkan membayar 4,3 milyar dollar untuk 63% saham di Aktobemuniagaz dan berjanji untuk melakukan investasi dalam infrastruktur, termasuk sebuah pipa sepanjang 3.700 mil dari Aktobinsk ke Cina. CNPC juga memiliki kepentingan di Uzen, ladang minyak terbesar kedua di Kazakhstan, dan sedang mencari kesempatan investasi tambahan di Kazkahstan, bersama dengan perusahaan-perusahaan Cina lainnya.25 Dalam strategic outlook Cina, Kazakhstan memiliki kemenarikan karena berbatasan langsung dengan Cina sehingga dapat memberikan ”jembatan” antara Laut Kaspia dan Asia Timur. Pengajuan pembangunan pipa Atobinsk-Cina dapat memperkuat ikatan Cina di Kazakhstan dan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap minyak Teluk Persia yang sirkumstansi politiknya tidak kondusif. Kunjungan Presiden Cina Hu Jintao ke Kazakhstan pada 2003 yang menegaskan komitmen Cina terhadap pipa tersebut sebagai suatu hal yang penting bagi Cina, serta menyatakan bahwa Cina Kalicki, “Caspian Energy at the Crossroads”. Jim Nichol, Op.Cit., hal:6. 25 DoE/EIA, “Kazakhstan”, country analysis brief, Juli 2003, diakses dari http://www.eia.doe.gov/cabs/kazak.html pada 30 Desember 2003. 23 24 menempatkan perhatian yang besar dan pentingnya membangun hubungan baik dengan Kazakhstan.26 Pertimbangan Cina dalam keterlibatannya dalam geopolitik di Asia Tengah adalah kepentingan geostrategis Cina. Kendati Cina memiliki hubungan baik dengan AS – dalam hal counter-terrorism dan AS telah mengangkat Cina dari isolasionisme internasional – Cina memiliki tensi dengan AS, yaitu masalah Taiwan. Terlebih lagi, Cina merasa dirinya sedang berada dalam pengepungan yang dilakukan oleh AS karena AS telah menanamkan pengaruhnya di Taiwan, Jepang, dan Asia Selatan. Oleh karena itu, Cina tidak ingin AS ”mengukuhkan” pengepungannya tersebut dengan menanamkan pengaruhnya di Asia Tengah. Cina berusaha keras membangun ikatan dengan negara-negara Asia Tengah untuk mengurangi, atau bahkan, menyingkirkan pengaruh AS dari kawasan Asia Tengah. Usaha selanjutnya untuk memperkuat ikatannya dengan negara-negara Asia Tengah, Cina menyediakan suplai persenjataan dan perlengkapan, serta berbagai bentuk bantuan militer. Cina memberikan persenjataan dan perlengkapan ke negara-negara Asia Tengah, seperti: Kirgistan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Tajikistan, untuk keamanan internal di negara-negara Asia Tengah dan perlindungan perbatasan. Di samping itu, Cina juga memberikan pelatihan kepada militer dan polisi di negara-negara tersebut dan membagi informasi intelijen mengenai aktivitas pemberontak dan gerakan separatis. 27 Kerjasama kongkrit antara Cina dengan negara-negara Asia Tengah salah satunya terealisasi pada Oktober 2002, dimana tentara Cina dan Kirgistan mengadakan perlawanan terhadap pemberontakan di area Kirgistan di perbatasan Cina-Kirgistan.28 Selain itu, untuk memperkuat pengaruhnya di Asia Tengah, Cina membentuk institusi keamanan regional untuk melegitimasi dan memfasilitasi perluasan keterlibatan militernya di Asia Tengah, yaitu: Shanghai Five, yang dibentuk melalui pertemuan di Shanghai pada 1996 bersama dengan Rusia, Kazakhstan, Kirgistan, dan Tajikistan. Kesepakatan yang dihasilkan pada pertemuan tersebut adalah Agreement on Confidence Building in the Military Field Along the Border Areas yang bertujuan mencegah konflik perbatasan dan mewujudkan kerjasama militer. Selanjutnya pada 1999, Shanghai Five sepakat untuk memerangi terorisme dan dibentuk pusat counter-terrorism bersama di Bishkek, Kyrgyzstan. Pada 2001, kelima negara tersebut ditambah Uzbekistan bersedia memformalisasikan aliansi sebagai Shanghai Cooperation Organization (SCO) – piagamnya dihasilkan pada KTT Moskow 2003. Dalam SCO, Cina terlihat sebagai kekuatan dominan. Hal tersebut diindikasikan oleh beberapa perilaku China, yaitu: mengatur pertemuan pertama, membujuk Uzbekistan untuk Eric Watkins, “China, Kaakhstan Sign Oil Pipeline Agreement”, Oil and Gas Journal Online, 3 Juni 2003, diakses dari http://www.ogj.pennet.com pada 5 Juni 2003. 27 Gill dan Oresman, China’s New Journey to the West, hal:20. 28 David Stern, “Beijing and Kyrgyzstan Hold Anti-Terror Exercise”, Financial Times, 5 Oktober 2003. 26 mendirikan pusat counter-terrorism di Tashkent, serta menjanjikan kantor sekretariat SCO dan membayar banyak tanggungan organisasi. 29 Zbigniev Brzezinski pada 2003 menyatakan bahwa perluasan keterlibatan Cina di Asia Tengah di dalam SCO merupakan bagian dari geopolitik Cina, dan Cina sedang mulai menjadi pemain utama di Asia Tengah.30 Patroli bersama Cina-Kirgistan pada Oktober 2002 dianggap sebagai perwujudan piagam SCO yang belum dipublikasikan.31 Selanjutnya, melalui SCO, Rusia dan Cina bersama-sama menentang kehadiran pengaruh AS di Asia Tengah. Pada pertemuan SCO 5 Juli 2005 di Kazakhstan, Rusia dan China mendorong negara-negara Asia Tengah – Uzbekistan, Kirgistan, dan Tajikistan – untuk melawan secara rasional kehadiran militer AS dan memberi deadline pada kehadiran AS tersebut. Pada Juli 2005, sebuah communique dari Menteri Luar Negeri Uzbekistan menuduh AS telah melanggar kesepakatan 7 Oktober 2001 yang menjadi dasar operasi pangkalan udara Karshi-Khanabad. Bahkan, Presiden Uzbekistan Islam Karimov menuduh AS memiliki hubungan dengan pemberontakan 12-13 Mei 2005 di Andijan.32 Akhirnya, pada 21 November 2005, pangkalan udara Karshi-Kanabad resmi ditutup.33 Mengingat bahwa Rusia dan Uzbekistan pada November 2005 telah menandatangani traktat aliansi, mencuatkan rumor bahwa Rusia akan mengambilalih pangkalan udara tersebut.34 Namun, tidak semua negara Asia Tengah ”tunduk” pada permintaan Rusia dan Cina tersebut. Menteri Luar Negeri Kirgistan Roza Otunbayeva menyatakan bahwa selama Afghanistan belum stabil, maka operasi militer yang aktif masih diperlukan di sana. Sedangkan Deputi Perdana Menteri Adakhan Madumarov menyatakan bahwa keputusan untuk tidak melanjutkan pengaturan merupakan keputusan internal Kirgistan yang tidak berkewajiban menjelaskan alasannya. Otunbayeva dan Madumarov merupakan bagian dari perubahan rezim Kirgistan yang didukung oleh AS. 35 Deputi Direktur Strategic Research Center Tajikistan Sayfullo Safarov menyatakan bahwa SCO dan CIS Collective Security Organization masih belum dapat dikatakan efektif dalam counter-terrorism dan perdagangan obat-obatan terlarang, serta belum berkapasitas untuk menjaga keamanan Asia Tengah. Oleh karena itu, masih terlalu dini bagi Tajikistan untuk menafikkan kebutuhannya akan militer AS dan NATO.36 Menyikapi deklarasi SCO tersebut, AS (State Department dan kedutaan besar di Moskow dan di negara-negara Asia Tengah) menyatakan bahwa perjanjian pangkalan dan aspek-aspek lain dari 29 Gill dan Oreman, Op.Cit. Ibid, hal:iv. 31 “Shanghai Group ‘a Military Alliance’”, Straits Times, 21 Juli 2001, diakses dari http://web.lexis-nexis.com pada 25 Oktober 2003. 32 Vladimir Socor, “U.S. Military Presence at Risk in Central Asia”, Eurasia Daily Monitor, 8 Juli 2005, diakses dari http://www.jamestown.org pada tanggal 3 Desember 2007 pukul 13:46 WIB. 33 Eugene Rumer, “The U.S. Interests and Role in Central Asia after K2”, Washington Quarterly, Summer 2006, hal:141. 34 Ibid., hal.142. 35 Vladimir Socor. Op.Cit. 36 Ibid. 30 kehadiran militernya di Asia Tengah ditentukan oleh perjanjian bilateral dengan tiap-tiap negara.37 Sedangkan di lain pihakl, Yevgeny Primakov, mantan perdana menteri dan menteri luar negari Rusia, merasa bangga atas kinerja Rusia dalam SCO untuk mempromosikan tuntutan nasional atas penarikan pasukan AS. Primakov menyatakan bahwa pertama kalinya sebuah formula diplomatik telah memperlihatkan keefektifannya untuk mengakhiri kehadiran militer AS di Asia Tengah. 2.3. Keamanan Energi AS, Rusia, dan Cina di Asia Tengah Perilaku ketiga major power dalam perebutan aksesibilitas energi di Asia Tengah merupakan refleksi dari beberapa kepentingannya, terutama adalah kepentingan keamanan energi. Kepentingan keamanan energi tiap-tiap negara yang terlibat di atas berbeda satu sama lain. Hal tersebut dapat dipahami karena sekuritisasi yang dilakukan oleh tiap-tiap negara berbeda. Sekuritisasi merupakan suatu usaha mereproduksi makna ancaman eksistensial atau ketidakamanan terhadap suatu wacana keamanan yang sedang dihadapi oleh negara; ketika suatu negara menghadapi ancaman tertentu, maka ancaman tersebut belum tentu dihadapi oleh negara lain. Misalnya dalam konteks keamanan, ketika suatu negara menghadapi ancaman kelangkaan energi, maka tidak mungkin hal tersebut mengancam negara-negara produsen energi. Melainkan, ancaman yang dihadapi oleh negara-negara produsen energi adalah aksesibilitas komoditas energi mereka ke pasar internasional. Kepentingan keamanan energi dari negara-negara tersebut dipahami sebagai satu hal yang mendorong keterlibatan mereka dalam geopolitik di Asia Tengah. Secara singkat yang akan dijelaskan selanjutnya, negara-negara tersebut memiliki konteks keamanan energi yang berbeda. Keamanan energi AS adalah memperoleh suplai energi dari luar untuk memenuhi kebutuhan akan energi di dalam negerinya. Keamanan energi bagi Rusia adalah mengontrol aksesibilitas energi dari Laut Kaspia melalui monopoli rute pipa dari Laut Kaspia. Sedangkan keamanan energi bagi Cina adalah memuaskan permintaan energi bagi sustainibilitas pertumbuhan ekonominya sebagai negara industri yang sedang berkembang. Namun, analisis selanjutnya akan memaparkan bagaimana negaranegara tersebut berusaha mewujudkan kepentingan keamanan energinya dengan menanamkan pengaruhnya di negara-negara Asia Tengah, terutama dengan membangun ikatan-ikatan militer dan politik. Tidak dipungkiri pula, ketiga major power memiliki kepentingan-kepentingan di luar konteks keamanan energi, seperti kepentingan keamanan nasional dan nilai-nilai – pada umunya bersifat ideologis. Keterlibatan AS dalam geopolitik di Asia Tengah dapat dinilai sebagai manifestasi Doktrin Carter. Doktrin Carter menegaskan bahwa untuk menghadapi instabilitas dalam suplai energi, maka AS perlu merepson dengan meningkatkan kapabilitas militernya. Doktrin tersebut berupaya untuk memperluas area suplai energi ke AS, dimana aliran energi luar dipandang sebagai kepentingan 37 Ibid. keamanan nasional dan memerlukan perlindungan dari militer AS. Hal tersebut terlihat ketika U.S. Central Command – pada awalnya mengimplementasikan Doktrin Carter di Teluk Persia – diberikan otoritas atas kawasan Asia Tengah pada 1 Oktober 1999.38 Kepentingan keamanan energi AS didorong oleh permintaan energi AS yang semakin meningkat, serta keinginan AS untuk memperoleh area suplai energi baru di luar Teluk Persia yang dinilai sebagai kawasan labil dan posisi AS tidak begitu menguntungkan di depan negara-negara Teluk atas konflik Israel-Palestina. Pada 2002, tercatat AS memproduksi minyak sebesar 9 juta barel per hari, tetapi besaran tersebut tidak cukup memuaskan permintaan minyak domestiknya sebanyak 19,8 juta barel per hari, untuk itu, AS harus mengimpor minyak dari luar sebanyak 10,8 juta barel per hari.39 Defisit produksi minyak mendorong AS untuk memperoleh kekuasaan dan otoritas yang lebih untuk menekan konsumen untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap bahan bakar fosil dan berusaha mendapatkan sumber-sumber energi alternatif. Jika AS tidak mengedepankan kebijakan keamanan energinya, akan berdampak buruk pada sustainibilitas perekonomian AS, terutama dalam sektor industri, akan mengurangi tingkat ekspor AS dan selanjutnya menyebabkan penurunan GDP (Gross Domestic Product). Bahkan, kenaikan 50% harga minyak di AS akan menyebabkan defisit GDP sebesar 0,5%. Sejak kenaikan harga minyak yang drastis pada 1973-1974 hingga sekarang (tiga dasawarsa), AS diperhitungkan telah mengalami kerugian sebanyak 4 triliun dollar.40 Tingkat Produksi dan Konsumsi Minyak Amerika Serikat, 2001-2025 (dalam juta barel per hari) 30 25 20 19.71 20.48 22.71 26.41 24.8 28.3 15 10 5 5.74 5.58 5.93 5.53 4.95 4.61 2001 2005 2010 2015 2020 2025 0 Produksi Konsumsi Sumber: U.S. Department of Energy, Annual Energy Outlook 2004, (Washington, D.C.: DoE/EIA, 2004), Tabel A11, hal: 150. 38 Michael T. Klare, (London: Penguin Books, 2005), hal: 132-133. Energy Information Administration (EIA), World Production of Crude Oil, NGPL, Other Liquids, and Refinery Processing Gain 1980-2002, (Washington, D.C.: U.S. Department of Energy, 2004), dikutip dari Sugeng Bob Hadiwinata, “Bringing the State Back In: Energy and National Security in Contemporary International Relations”, Global: Jurnal Politik Internasional, Vol.8, No.2, Mei-November 2006, hal:8. 40 Lihat di global!!! 39 Pertumbuhan permintaan energi AS diprediksikan akan terus meningkat dalam kurun waktu dua dasawarsa ke depan. Dari data Departemen Energi AS, didapatkan data bahwa dari tahun ke tahun, tingkat konsumsi minyak AS terus bertambah. Diperkirakan pada tahun 2010 kebutuhan AS akan minyak sekitar 22,71 juta barel per hari, pada tahun 2020 sekitar 26,41 juta barel per hari, dan pada tahun 2025 mencapai sekitar 28,30 juta barel per hari. Untuk menyikapi pertumbuhan permintaan energi AS tersebut, AS seharusnya mempromosikan kebijakan energinya demi keberlangsungan suplai energinya. Oleh karena itu, AS sebagai aktor yang rasional yang selalu berjuang mempromosikan kepentingan nasionalnya, dalam konteks ini adalah keamanan energi, dituntut untuk memastikan keamanan dan keberlanjutan aksesibilitas AS atas energi dari luar. Atas nama kebutuhan energi, Administrasi Bush mengeluarkan strategi energi baru, yaitu National Energy Policy Development Group (NPEDG) yang diketuai oleh Wakil Presiden Dick Cheney, atau dikenal dengan Cheney Report. Dalam strategi tersebut terdapat lima area, yaitu: (1) program mitigasi harga; (2) kebijakan efisiensi energi; (3) peningkatan suplai energi domestik; (4) pengembangan energi yang dapat diperbaharui; (5) memperkuat hubungan dengan produsen energi luar. Poin (5) mengindikasikan bahwa salah satu cara memuasakan pertumbuhan permintaan energi AS adalah dengan memastikan aksesibilitas AS terhdaap sumber-sumber energi dari luar. Untuk menekankan hal tersebut, Bush menyatakan bahwa apabila AS tidak dapat mengamankan sumbersumber energi dari luar, AS akan menghadapi ancaman ekonomi dan keamanan nasional yang signifikan.41 Usaha yang terlihat dalam perwujudan strategi tersebut adalah keterlibatan AS dalam geopolitik energi di Asia Tengah, diasumsikan sebagai manifestasi kepentingan AS dalam mengamankan suplai energi dari luar. Keterlibatan AS dalam geopolitik energi di Asia Tengah sangat berdasar dan rasional karena ladang minyak Asia Tengah diperhitungkan dapat memproduksi 4 juta barel minyak per hari pada 2015, hampir sama dengan kombinasi tingkat produksi IraqKuwait.42 Menurut perspektif energi yang membedakan antara energi sebagai komoditas strategis dan energi sebagai komoditas pasar, keterlibatan AS dalam geopolitik Asia Tengah merupakan perwujudan keamanan energi AS yang memandang energi sebagai komoditas energi. Jika begitu, diperlukan pengamanan aksesibilitas energi di Asia Tengah dengan menggunakan institusi kemanan negara – kekuatan militer negara. Oleh karena itu, Asia Tengah yang dipandang sebagai salah satu kawasan penyuplai energi bagi AS mendorong AS membangun ikatan-ikatan militer dengan negaranegara Asia Tengah. Di samping itu, poin (5) juga mendorong AS untuk memperkuat dukungannya 41 Olga Oliker dan A. Slaphak. U.S. Interests in Central Asia: Policy Priorities and Military Roles. (The RAND Corporation 2005), hal: 42 Arial Cohen Ph.D, U.S. Interests and Central Asia Energy Security, 15 November 2006, diakses dari pada 3 Desember 2007 pukul 12:16. kepada peusahaan-perusahaan energi AS yang beroperasi di luar, seperti: Chevron, Exxon, dan Unocal. Di samping itu AS memiliki kepentingan dalam keamanan nasional counter-terrorism. Tragedi 9 September 2001 memberi trauma yang mendalam bagi AS. Untuk mewujudkan kebijakan counter-terrorism-nya, AS melakukan invasi ke Afghanistan – diduga sebagai ”sarang” Al-Qaeda (gerakan teroris pimpinan Ossama bin Laden yang diduga otak tragedi 9/11) – pada 2001. Untuk melancarkan Operation Enduring Freedom (OEF) ke Afghanistan, AS memerlukan pangkalan militer yang dapat mencapai atau dekat dengan Afghanistan. Posisi negara-negara Asia Tengah yang dekat atau berbatasan langsung dengan Afghanistan akan memberikan kemudahan akses ke Afghanistan, sehingga mendorong AS untuk membuat ikatan-ikatan militer dengan membuka pangkalan militer di negara-negara Asia Tengah. Azerbaijan, Georgia, dan Kazkahstan bersedia memberikan dukungan logistik atau hak penerbangan dalam invasi AS ke Afghanistan. Sedangkan Kyrgystan dan Uzbekistan mengijinkan pembangunan pangkalan militer di teritori mereka. 43 Paskainvasi AS ke Afghanistan, Administrasi Bush menegaskan kembali ikatan-ikatan militer dengan negara-negara Kaspia. Administrasi Bush meningkatkan kunjungan-kunjungan oleh pejabat senior ke negara-negara Kaspia dan secara signifikan meningkatkan aliran bantuan militer dan ekonomi. 44 Bantuan AS ke negara-negara Kaspia, termasuk Armenia, Azerbaijan, Georgia, Kazakhstan, Kyrgystan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan diekspektasi hingga 1,5 milyar dollar pada tahun fiskal 2004-2005, akan meningkat 50% pada tiga tahun pertama.45 Meningkatnya kemunculan gerakan islam radikal di Asia Tengah juga mendorong AS untuk melaksanakan counter-terrorism. Sebagai contoh adalah IMU (Islamic Movement Uzbekistan), gerakan radikal yang dianggap sebagai teroris dan disinyalir berhubungan dengan Al Qaeda. IMU beroperasi di berbagai negara Asia Tengah, seperti: Afghanistan, Tajikistan, Uzbekistan, dan Kyrgyzstan. IMU telah melakukan banyak aksi teror, seperti: aksi bom di Kyrgyzstan dan Uzbekistan. Selain itu, beberapa negara Asia Tengah, seperti Uzbekistan, memiliki infrastruktur weapons of mass destruction (WMD) yang merupakan peninggalan Uni Soviet. Untuk mencegah kemunculan WMD, pada 1994 AS melakukan kerjasama Cooperative Threat Reduction (CTR) dengan negaranegara Asia Tengah. Pada 1998, kerjasaama diperluas, termasuk usaha pengontrolan perbatasan dengan keharusan counter-poliferation berdasarkan pada CTR.46 Hal tersebut mendorong AS untuk Lynn Pascoe, “The U.S. Role in Central Asia”, testimony before the Subcommittee on Central Asia and the South Caucasus of the Senate Committee on Foreign Relations, Washington, D.C., June 27, 2002, diakses dari http://www.state.gov pada 1 Juli 2002. 44 Jim Garamore, “Rumsfeld Meets with Leaders of Caucasus Nations”, American Forces Information Service news article, December 15, 2001, diakses dari http://www.defenselink.mil pada 27 Februari 2003. 45 U.S. Department of State, Congressional Budget Justification: Foreign Operationas, Fiscal Year 2004, February 2003, diakses dari http://www.fas.org pada 27 Februari 2003. 46 Seth G. Jones,Olga Oliker, Peter Chalk, C. Christine Fair, Rollie Lal, James Dobbins, Securing Tyrants or Fostering Reform, The RAND Corporation 2006. 43 memberi bantuan keamanan agar infrastruktur WMD tersebut tidak menimbulkan proliferasi WMD atau jatuh ke tangan kelompok teroris yang dapat membahayakan keamanan AS. Kebijakan-kebijakan AS mengenai penegakkan HAM dan demokrasi merupakan penekanan dari Kongres AS, NGO HAM, dan kelompok-kelompok lainnya.47 Negara-negara Asia Tengah pada umumnya masih dipimpin oleh rezim pemerintahan yang otoriter akibat peninggalan tipe pemerintahan Uni Soviet. Sistem pemerintahan di negara-negara Asia Tengah masih dipimpin oleh rezim otoriter yang tidak menegakkan HAM dan demokrasi. Oleh karena itu, AS ingin menanamkan pengaruhnya di Asia Tengah demi mendorong negara-negara Asia Tengah untuk menegakkan nilainilai HAM dan demokrasi. Sebagai contoh adalah di dalam Strategic Partnership Framework Declaration 2002 antara AS dan Uzbekistan, selain menyediakan bantuan keamanan, AS juga mendorong Uzbekistan untuk mengintensifkan transformasi demokratis di dalam kehidupan politik dan ekonomi masyarakatnya. 48 Di samping itu, melihat kesuksesan Revolusi Oranye di Ukraina, Revolusi Mawar di Georgia, dan Revolusi Tulip di Kyrgyzstan, mendorong AS menggunakan cara yang sama untuk menggulirkan pemerintahan otoriter Uzbekistan.49 Rusia sebagai negara patron dari negara-negara Asia Tengah – Rusia merupakan pewaris pemerintahan Uni Soviet dimana negara-negara Asia Tengah sebelum merdeka merupakan negaranegara federasi dari Uni Soviet – menginginkan pengaruh yang besar terhadap kawasan tersebut, salah satunya ditunjukkan melalui kontrol rute aliran energi dari Laut Kaspia. Sebelum adanya pipa BTC – pipa yang mengalirkan energi dari Laut Kaspia yang bermula di Baku (Azerbaijan) kemudian bertransit di Tbilisi (Georgia) dan kemudian berpangkal di Ceyhan (Turki), Rusia merupakan negara yang mengontrol mayoritas rute aliran energi dari negara-negara Asia Tengah dan Laut Kaspia. Rusia memandang bahwa pipa BTC merupakan penguatan pengaruh AS dalam geopolitik energi Asia Tengah yang dapat mengurangi pengaruh Rusia di kawasan tersebut. Pembangunan pipa BTC, tentunya, dipandang sebagai faktor yang mematahkan monopoli rute dan transit aliran energi dari Laut Kaspia yang dipegang oleh Rusia, seperti: pipa Baku–Novorossiysk, Atyrau–Samara, dan Konsorsium Kaspia. Maksud AS untuk mematahkan monopoli Rusia disampaikan oleh staf Dewan Keamanan Nasional AS Sheila Heslin – pada 1997 di depan komite investigasi Senat – bahwa konstruksi pipa baru dari Laut Kaspia ke Laut Hitam dan Turki adalah untuk menggagalkan monopoli Rusia atas kontrol aliran energi dari Laut Kaspia. 50 Perilaku dan interaksi AS dan Rusia di Asia Tengah memperlihatkan bahwa mereka sedang melakukan kompetisi secara intensif terhadap sumber-sumber energi yang merupakan bagian dari kebutuhan energi untuk masing-masing perekonomian.51 Kompetisi 47 Olga Oliker dan A. Slaphak. U.S. Interests in Central Asia: Policy Priorities and Military Roles. (The RAND Corporation 2005), hal:8. 48 Seth G. Jones,Olga Oliker, Peter Chalk, C. Christine Fair, Rollie Lal, James Dobbins, Securing Tyrants or Fostering Reform, The RAND Corporation 2006. 49 Eugene Rumer, Op.Cit, 50 Dan Morgan dan David Ottaway, “Drilling for Influence in Russia’s Back Yard, Washington Post, 27 September 1997. 51 Arial Cohen Ph.D, Op.Cit. aksesibilitas energi di Laut Kaspia terlihat dalam National Security Strategy 1998, dimana AS tidak akan membiarkan kekuatan yang berbahaya untuk mendominasi suatu region yang menjadi kepentingan kritis bagi AS. 52 Dapat dipahami bahwa kehadiran militer AS di Asia Tengah adalah tuntutan kepentingan keamanan energi dan sekaligus merupakan instrumen untuk mencegah kemunculan dominasi Rusia di kawasan tersebut yang dapat mengancam strategi keamanan energi AS. Sebaliknya, Rusia juga memiliki kepentingan keamanan nasional di Asia Tengah karena kekhawatiran Rusia akan pengaruh AS yang besar di kawasan. Akibat perluasan NATO dan ekstensifikasi program-programnya, AS telah memiliki pengaruh di negara-negara tetangga Rusia di Eropa Timur, seperti: Ukraina, Polandia, dan Ceko. AS telah membangun radar rudal dan interseptor di Polandia dan Ceko, dipandang oleh Rusia sebagai sesuatu yang mengancam keamanan nasionalnya, kendati AS berdalih sistem pertahanan rudal tersebut untuk menghadapi ancaman serangan rudal Iran. Oleh karena itu, Rusia tidak mau Asia Tengah menjadi hal yang serupa dengan negara-negara Eropa Timur dan Tengah yang sekarang lebih berafiliasi dengan AS, karena apabila hal tersebut terjadi keamanan nasional Rusia akan terancam. Bagi Rusia, ekspor minyak dan gas alam merupakan penyumbang terbesar pendapatan luar negerinya – pada tahun 2002, 50% di dapatkan dari ekspor, 40% dari pendapatan pemerintah. Keamanan energi bagi Rusia dimana Rusia berusaha memonopoli rute aliran energi dari Laut Kaspia merupakan perwujudan kepentingan nasional Rusia. Rusia melakukan segala sesuatu untuk meningkatkan produksi energi untuk revitalisasi ekonomi dan politik 53 , serta telah menggunakan ekspor energi untuk membangun ikatan dengan konsumen-konsumen besarnya, seperti: Jerman, Jepang, dan AS. 54 Oleh karena itu, Rusia berusaha mempertahankan monopolinya atas rute pengangkutan minyak dan gas alam dari Laut Kaspia ke Barat; serta berusaha menggagalkan pembangunan rute pengangkutan alternatif yang tidak melewati teritori Rusia.55 Kepentingan keamanan energi Cina merupakan tuntutan atas permintaan energi bagi sektor industrinya yang sedang berkembang. Seperti yang kita ketahui, Cina merupakan negara yang perekonomiannya sedang berkembang secara progresif, terutama dalam sektor industri. Selain memiliki jumlah penduduk terbanyak di dunia, Cina juga merupakan tujuan bagi FDI (foreign direct investement) yang mendorong Cina mengindustrialisasi perekonomiannya. Hal tersebut tentunya mendorong Cina untuk menitikberatkan perekonomiannya pada sektor industri dan manufaktur karena kedua sektor tersebut merupakan penyokong terbesar GDP (Gross Domestic Product) yang termasuk jajaran negara ber-GDP besar di Asia-Pasifik. Industrialisasi bagi negara dapat dipahami sebagai ’ekspansi ekonomi’ yang dapat mendorong peningkatan konsumsi energi bagi kebutuhan industri, sehingga dengan begitu Cina demi kepentingan ekonomi nasional didorong untuk 52 Stephen J. Blank, U.S. Military Engagement with Transcaucasia and Central Asia, Strategic Studies Institute Juni 2004. 53 Department of Energy, “Russia”, September 2003. 54 Carole Hoyos dan Sheila McNulty, “Russia”s Position Gains as U.S. Hunts for Oil”, Financial Times, 24 September 2003. 55 Hugh Pope, “Moscow Lures Back Central Asia”, Wall Street Journal, 22 Mei 2000. menyekuritisasi aksesibilitas Cina terhadap suplai energi. Dengan begitu, faktor jumlah penduduk dan pertumbuhan sektor industri dalam perekonomian Cina menjadikan Cina sebagai negara konsumen energi terbesar kedua di dunia, setelah Amerika Serikat. Hal tersebut juga dapat dipahami melalui pertumbuhan GDP Cina – GDP merupakan indikator standar hidup. Pertumbuhan spektakuler GDP Cina mengindikasikan bahwa standar hidup masyarakat Cina secara general meningkat sehingga memaksa meningkatnya permintaan dan konsumsi energi. Permintaan energi Cina tumbuh dengan cepat, tetapi produksi energi domestik nya lamban akibat stagnasi ekonomi yang parah tahun 1990an. Namun, sejak tahun 2000an pertumbuhan produksi dipercepat akibat adanya peningkatan harga minyak dunia dan perluasan eksplorasi hingga ke Cina bagian barat dan barat-laut. Pada tahun 2005, Cina memproduksi minyak 3,6 juta barel per hari, naik dari 2,8 juta barel per hari di tahun 1990 dan 3,2 juta barel per hari di tahun 2000. Cina bahkan berhasil melampaui Jepang di tahun 2003 sebagai konsumen minyak terbesar di Asia-Pasifik dan kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat. Selama dua dekade terakhir (1980-2005), permintaan minyak tumbuh dengan rata-rata 5,7 persen per tahun, dimana rata-rata pertumbuhan dipercepat hingga 7,4 persen per tahun sejak 1990an. Pada 2005, jumlah perminataan minyak Cina mencapai 6,5 juta barel per hari, naik dari 2,3 juta barel per hari pada 1990 dan 4,7 juta barel per hari pada 2000. Berdasarkan asumsi bahwa pertumbuhan konsumsi minyak Cina rata-rata per tahun adalah 5,1 persen selama periode 2005-2015, permintaan minyak Cina diproyeksikan mencapai 10,7 juta barel per hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa kendati produksi energi domestik Cina mengalami peningkatan – tetapi secara moderat – sejak awal 2000, produksi energi tersebut tidak cukup untuk menutupi permintaan energi Cina akibat tren konsumsi energi yang semakin meningkat. Proyeksi Produksi, Konsumsi, dan Impor Minyak di Cina, 2000-2025 Pertumbuhan per 2000 2005 2010 2015 2020 2025 tahun, 2001-2025 (persen) Gross Domestic Product (milyar dolar 1997) Populasi (juta) Konsumsi Energi (triliun Btu) 1119 1599 2228 2980 3877 4976 6,1 1275 1321 1365 1402 1429 1445 0,5 37,0 43,2 54,6 65,7 77,7 91,0 3,5 3,3 3,5 3,6 3,5 3,5 3,4 0,0 4,8 5,5 7,6 9,2 11,0 12,8 4,0 Produksi minyak domestik (milyar barel per hari) Konsumsi minyak domestik (milyar barel per hari) Impor minyak (milyar barel per hari) Presentasi impor minyak dari total konsumsi 1,5 2,0 4,0 5,7 7,5 9,4 31,3 36,4 52,6 62,0 68,2 73,4 7,6 Sumber: U.S. Department of Energy, Energy Information Administration (DoE/EIA), International Energy Outlook 2004, (Washington, D.C.: DoE/EIA, 2004), tabel A1, A3, A4, A14, D4. Data untuk 2000 dan 2025 dari edisi 2003 dari referensi tahunan. Kebijakan Cina atas nama keamanan energi ditunjukkan dalam strateginya yang melibatkan perusahaan minyak negara untuk membangun ikatan dengan negara-negara Asia Tengah. Pada akhir 1990-an, CNPC berkomitmen sebesar 800 juta dolar AS dalam proyek pembangunan dua ladang minyak di Kazakhstan, yaitu Aktyubinsk dan Uzen yang memiliki total cadangan minyak sebesar 2,5 milyar barel. Total investasi yang dibutuhkan untuk proyek Aktyubinsk sendiri melebihi 4 milyar dolar AS. Pada saat bersamaan, CNPC juga mengusahakan proyek pembangunan minyak dan gas di Azerbaijan dan Turkmenistan, dan paling tidak tiga proyek pipa dengan keterlibatan CNPC di dalamnya sudah diajukan. Rute pipa terpendek akan mengangkut minyak ke selatan dari Kazakhstan melalui Turkmenistan ke Iran dan mungkin berlanjut ke Teluk Persia. Dua rute lainnya adalah ke timur, yaitu: melalui Kazakhstan dan yang lainnya membawa gas dari Turkmenistan ke Cina. Dua pipa minyak timur (yang berkemungkinan diperpanjang hingga pantai Cina) akan menjadi pekerjaan yang substansial, dengan total panjang adalah 4000-7000 km dan total biaya adalah 5-10 milyar dolar AS.56 Keamanan energi Cina juga diwujudkan dengan membangun ikatan-ikatan militer dengan negara-negara Asis Tengah untuk menghadapi gerakan militan Isalam yang diduga sering membantu gerakan separatisme di Uighur-Xinjiang, salah satu provinsi Cina yang menuntut kemerdekaan. Hal tersebut tentunya mengancam keamanan nasional Cina, serta merupakan ancaman terhadap keamanan energi Cina. Xinjiang merupakan daerah yang kaya energi di Cina bagian barat. Cina memiliki lima ladang minyak di wilayah tersebut, yaitu Xinjiang, Tarim, Tu-Ha, Qinghai, dan Tahe, ditakutkan gerakan separatis yang dibantu oleh militan Islam dari Asia Tengah akan merusak proyek-proyek dan infrastruktur ladang minyak di sana. Karena hal tersebut mengancam aksesibilitas energi Cina, maka Cina perlu mengamankan supali energi di Cina bagian barat dengan mengadakan pelatihan dan bantuan militer bersama dengan negara-negara Asia Tengah, terutama yang berbatasan langsung dengan Cina, guna menghadapi gerakan militan Islam. Philip Andrews-Speed dan Sergei Vinogradov, “China’s Involvement in Central Asian Petroleum: Convergent or Divergent Interests?,” Asian Survey, Vol. 40, No.2. (Mar. – Apr., 2000), hal: 389-390. 56 Bab III Penutup 3.1. Kesimpulan Dari uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa hal. Pertama, kawasan Asia Tengah yang merupakan kawasan yang masih “ranum” dapat diprediksikan sebagai kawasan penting dan kritis bagi konstelasi politik internasional. Apalagi dengan adanya perhitungan bahwa kawasan tersebut menyimpan cadangan energi yang sangat besar sehingga memiliki potensi menjadi kawasan baru yang bermain dalam ekonomi politik energi internasional. Bahkan, diharapkan kawasan tersebut mampu menggantikan peran kawasan lain, seperti Teluk Persia, sebagai penyuplai energi bagi negara-negara besar. Dengan begitu, maka negara-negara Asia Tengah akan memiliki “tempat” dalam strategic outlook negara-negara major power yang memiliki kepentingan di kawasan tersebut. Oleh karena itu, banyak wacana yang berkembang bahwa Asia Tengah akan menjadi semacam “papa catur besar” permainan geopolitik antarnegara-negara besar, serta diwacanakan akan terjadi New Great Game di kawasan tersebut, tentunya, dengan melibatkan interaksi power dan kepentingan negara-negara besar. Kedua, geopolitik energi di Asia Tengah melibatkan power dan kepentingan tiga major powers, yaitu Amerika Serikat (AS), Rusia, dan Cina. AS sebagai superpower dalam sistem internasional dewasa ini merasa perlu untuk memasukan pertimbangan-pertimbangan strategis dalam formulasi kebijakan strategic outlook-nya terhadap kawasan Asia Tengah karena kawasan tersebut memiliki peran kritis bagi keamanan energi AS. Rusia sebagai negara patron dari negara-negara Asia Tengah memiliki peran kebijakan luar negerinya untuk mempertahankan pengaruhnya – menjadikan Asia Tengah sebagai sphere of influence – di kawasan demi kepentingan keamanan energi Rusia. Sedangkan Cina sebagai the rising power merasa perlu melibatkan dirinya dalam geopolitik energi di Asia Tengah karena permintaan energi dari sektor industrinya yang sedang berkembang. Ketiga, keterlibatan ketiga major power dalam geopolitik energi di Asia Tengah menunjukkan bahwa kepentingan keamanan energi tidak dapat dilepaskan dari cara-cara politik. Keamanan energi yang merujuk adanya jaminan untuk memastikan aksesibilitas terhadap sumber energi menghendaki dipergunakannya cara-cara politik untuk mengamankan aksesibilitas tersebut. Geopolitik energi di Asia Tengah telah membuktikan bahwa tujuan menanamkan pengaruh secara militer di Asia Tengah selain demi kepentingan keamanan nasional adalah demi kepentingan keamanan energi. Selanjutnya, disadari pula bahwa kepentingan keamanan energi setiap major power yang bermain dalam geopolitik Asia Tengah adalah berbeda satu sama lain. DAFTAR PUSTAKA Buku ISEAS, Energy Perspectives on Singapore and the Region. (Pasir Panjang Institute of Southeast Asian Studies, 2007). Klare, Michael T. 2001. Resources War. _____. 2004. Blood and Oil. London: Penguin Books. Jurnal Hadiwinata, Bob Sugeng. “Bringing the State Back In: Energy and National Security in Contemporary International Relations”. Global: Jurnal Politik Internasional, Vol.8 No.2 Mei-November 2006. Keliat, Makmur. “Kebijakan Keamanan Energi”. Global: Jurnal Politik Internasional, Vol.8 No.2 Mei-November 2006. Rumer, Eugene. “The U.S. Interests and Role in Central Asia after K2”. The Washington Quarterly, Summer 2006. Volman, Daniel. “The Bush Administration and African Oil: The Security Implications of U.S. Energy Policy”. Review of African Political Economy, Vol. 30, No. 98, Zimbabwe out in the Cold? Desember 2003. Walsh, J. Richard. “China and the New Geopolitics of Central Asia”. Asian Survey, Vol. 33, No. 3, Maret 1993. Dokumen Blank, Stephen J. U.S. Military Engagement with Transcaucasia and Central Asia. Strategic Studies Institute Juni 2004. China’s Military Power: Shadow over Central Asia. Lexington Institute Agustus 2006. Jones, Seth G., Olga Oliker, Peter Chalk, C. Christine Fair, Rollie Lal, James Dobbins. Securing Tyrants or Fostering Reform. Mahnovski, Sergej, Kamil Akramov, dan Theodore Karasik. Dimensions of Security in Central Asia. The RAND Corporation 2006. Oliker, Olga dan A. Slaphak. U.S. Interests in Central Asia: Policy Priorities and Military Roles. The RAND Corporation 2005. Internet Cohen, Arial Ph.D. U.S. Interests and Central Asia Energy Security. 15 November 2006. (diakses dari pada 3 Desember 2007 pukul 12:16). Socor, Vladimir. U.S. Military Presence at Risk Central Asia. Jumat, 8 Juli 2005. (diakses dari pada 3 Desember 2007 pukul 13:46).