Al Khawarizmi Penemu Angka Nol 0

advertisement
Penemu Angka Nol
Dunia Barat boleh mengklaim bahwa mereka adalah kawasan sumber ilmu pengetahuan.
Namun sejatinya, yang menjadi Gudang Ilmu Pengetahuan adalah kawasan Timur Tengah
(kawasan Arab maksudnya, bukan Jawa Timur-Jawa Tengah). Mesopotamia, peradaban
tertua dunia ada di kawasan ini juga.
Masyarakat dunia sangat mengenal Leonardo Fibonacci sebagai ahli matematika aljabar.
Namun, dibalik kedigdayaan Leonardo Fibonacci sebagai ahli matematika aljabar ternyata
hasil pemikirannya sangat dipengaruhi oleh ilmuwan Muslim bernama Muhammad bin Musa
Al Khawarizmi. Dia adalah seorang tokoh yang dilahirkan di Khiva (Iraq) pada tahun 780.
Jika kaum terpelajar lebih mengenal para ahli matematika Eropa, maka kaum biasa juga
mengenal ilmuwan Muslim yang menjadi rujukan para ahli matematika tersebut.
Selain ahli dalam matematika al-Khawarizmi, yang kemudian menetap di Qutrubulli (sebalah
barat Bagdad), juga seorang ahli geografi, sejarah dan juga musik. Karya-karyanya dalam
bidang matematika dimaktub dalam Kitabul Jama wat Tafriq dan Hisab al-Jabar wal
Muqabla. Inilah yang menjadi rujukan para ilmuwan Eropa termasuk Leonardo Fibonacce
serta Jacob Florence.
Muhammad bin Musa Al Khawarizmi inilah yang menemukan angka 0 (nol) yang hingga
kini dipergunakan. Apa jadinya coba jika angka 0 (nol) tidak ditemukan coba? Selain itu, dia
juga berjasa dalam ilmu ukur sudut melalui fungsi sinus dan tanget, persamaan linear dan
kuadrat serta kalkulasi integrasi (kalkulus integral). Tabel ukur sudutnya (Tabel Sinus dan
Tangent) adalah yang menjadi rujukan tabel ukur sudut saat ini.
al-Khawarizmi juga seorang ahli ilmu bumi. Karyanya Kitab Surat Al Ard menggambarkan
secara detail bagian-bagian bumi. CA Nallino, penterjemah karya al-Khawarizmi ke dalam
bahasa Latin, menegaskan bahwa tak ada seorang Eropa pun yang dapat menghasilkan karya
seperti al-Khawarizmi ini
Al-Khawarizmi: Penemu Bilangan Nol
Selasa, 4 Agustus 2009 10:33:07 WIB

Sosok
Matematikawan muslim yang dijuluki “Bapak Algoritma.” Juga ahli musik, astronomi dan geografi.
Karyanya menjadi rujukan dunia hingga kini.
pre-renaissance.com
Kita pasti sudah sering mendengar istilah algoritma. Tapi, tahukah siapa penemunya? Bisa
jadi kita menduga orang tersebut dari dunia Barat. Padahal, ia adalah seorang ilmuwan
muslim yang bernama Al Khawarizmi.
Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Musa al-Khawarizmi. Lahir di
Khawarizmi, Uzbeikistan, pada 194 H/780 M. Kepandaian dan kecerdasannya
mengantarkannya masuk ke lingkungan Dar al-Hukama (Rumah Kebijaksanaan), sebuah
lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang didirikan oleh Ma’mun ArRasyid, seorang khalifah Abbasiyah yang terkenal.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, algoritma berarti prosedur sistematis untuk
memecahkan masalah matematis dalam langkah-langkah terbatas. Nama itu berasal dari
nama julukan al-Khawarizmi. Karya Aljabarnya yang paling monumental berjudul alMukhtasar fi Hisab al-Jabr wal-Muqabalah (Ringkasan Perhitungan Aljabar dan
Perbandingan). Dalam buku itu diuraikan pengertian-pengertian geometris. Ia juga
menyumbangkan teorema segitiga sama kaki yang tepat, perhitungan tinggi serta luas
segitiga, dan luas jajaran genjang serta lingkaran. Dengan demikian, dalam beberapa hal alKhawarizmi telah membuat aljabar menjadi ilmu eksak.
Buku itu diterjemahkan di London pada 1831 oleh F. Rosen, seorang matematikawan Inggris.
Kemudian diedit ke dalam bahasa Arab oleh Ali Mustafa Musyarrafa dan Muhammad Mursi
Ahmad, ahli matematika Mesir, pada 1939. Sebagian dari karya al-Khawarizmi itu pada abad
ke-12 juga diterjemahkan oleh Robert, matematikawan dari Chester, Inggris, dengan judul
Liber Algebras et Al-mucabola (Buku Aljabar dan Perbandingan), yang kemudian diedit oleh
L.C. Karpinski, seorang matematikawan dari New York, Amerika Serikat. Gerard dari
Cremona (1114–1187) seorang matematikawan Italia, membuat versi kedua dari buku Liber
Algebras dengan judul De Jebra et Almucabola (Aljabar dan Perbandingan). Buku versi
Gerard ini lebih baik dan bahkan mengungguli buku F. Rozen.
Dalam bukunya, al-Khawarizmi memperkenalkan kepada dunia ilmu pengetahuan angka 0
(nol) yang dalam bahasa Arab disebut sifr. Sebelum al-Khawarizmi memperkenalkan angka
nol, para ilmuwan mempergunakan abakus, semacam daftar yang menunjukkan satuan,
puluhan, ratusan, ribuan, dan seterusnya, untuk menjaga agar setiap angka tidak saling
tertukar dari tempat yang telah ditentukan dalam hitungan.
Akan tetapi, hitungan seperti itu tidak mendapat sambutan dari kalangan ilmuwan Barat
ketika itu, dan mereka lebih tertarik untuk mempergunakan raqam al-binji (daftar angka
Arab, termasuk angka nol), hasil penemuan al-Khawarizmi. Dengan demikian, angka nol
baru dikenal dan dipergunakan orang Barat sekitar 250 tahun setelah ditemukan alKhawarizmi. Dari beberapa bukunya, al-Khawarizmi mewariskan beberapa istilah
matematika yang masih banyak dipergunakan hingga kini. Seperti sinus, kosinus, tangen dan
kotangen.
Karya-karya al-Khawarizmi di bidang matematika sebenarnya banyak mengacu pada tulisan
mengenai aljabar yang disusun oleh Diophantus (250 SM) dari Yunani. Namun, dalam
meneliti buku-buku aljabar tersebut, al-Khawarizmi menemukan beberapa kesalahan dan
permasalahan yang masih kabur. Kesalahan dan permasalahan itu diperbaiki, dijelaskan, dan
dikembangkan oleh al-Khawarizmi dalam karya-karya aljabarnya. Oleh sebab itu, tidaklah
mengherankan apabila ia dijuluki ”Bapak Aljabar.”
Bahkan, menurut Gandz, matematikawan Barat dalam bukunya The Source of alKhawarizmi’s Algebra, al-Khawarizmi lebih berhak mendapat julukan “Bapak Aljabar”
dibandingkan dengan Diophantus, karena dialah orang pertama yang mengajarkan aljabar
dalam bentuk elementer serta menerapkannya dalam hal-hal yang berkaitan dengannya.
Di bidang ilmu ukur, al-Khawarizmi juga dikenal sebagai peletak rumus ilmu ukur dan
penyusun daftar logaritma serta hitungan desimal. Namun, beberapa sarjana matematika
Barat, seperti John Napier (1550–1617) dan Simon Stevin (1548–1620), menganggap
penemuan itu merupakan hasil pemikiran mereka.
Selain matematika, Al-Khawarizmi juga dikenal sebagai astronom. Di bawah Khalifah
Ma’mun, sebuah tim astronom yang dipimpinnya berhasil menentukan ukuran dan bentuk
bundaran bumi. Penelitian itu dilakukan di Sanjar dan Palmyra. Hasilnya hanya selisih 2,877
kaki dari ukuran garis tengah bumi yang sebenarnya. Sebuah perhitungan luar biasa yang
dapat dilakukan pada saat itu. Al-Khawarizmi juga menyusun buku tentang penghitungan
waktu berdasarkan bayang-bayang matahari.
Buku astronominya yang mahsyur adalah Kitab Surah al-Ard (Buku Gambaran Bumi). Buku
itu memuat daftar koordinat beberapa kota penting dan ciri-ciri geografisnya. Kitab itu secara
tidak langsung mengacu pada buku Geography yang disusun oleh Claudius Ptolomaeus (100–
178), ilmuwan Yunani. Namun beberapa kesalahan dalam buku tersebut dikoreksi dan
dibetulkan oleh al-Khawarizmi dalam bukunya Zij as-Sindhind sebelum ia menyusun Kitab
Surah al-Ard.
Selain ahli di bidang matematika, astronomi, dan geografi, Al-Khawarizmi juga seorang ahli
seni musik. Dalam salah satu buku matematikanya, ia menuliskan pula teori seni musik.
Pengaruh buku itu sampai ke Eropa dan dianggap sebagai perkenalan musik Arab ke dunia
Latin. Dengan meninggalkan karya-karya besarnya sebagai ilmuwan terkemuka dan terbesar
pada zamannya, Al-Khawarizmi meninggal pada 262 H/846 M di Baghdad.
Setelah al-Khawarizmi meninggal, keberadaan karyanya beralih kepada komunitas Islam.
Yaitu, bagaimana cara menjabarkan bilangan dalam sebuah metode perhitungan, termasuk
dalam bilangan pecahan; suatu penghitungan Aljabar yang merupakan warisan untuk
menyelesaikan persoalan perhitungan dan rumusan yang lebih akurat dari yang pernah ada
sebelumnya.
Di dunia Barat, Ilmu Matematika lebih banyak dipengaruhi oleh karya al-Khawarizmi
dibanding karya para penulis pada Abad Pertengahan. Masyarakat modern saat ini berutang
budi kepada al-Khawarizmi dalam hal penggunaan bilangan Arab. Notasi penempatan
bilangan dengan basis 10, penggunaan bilangan irasional dan diperkenalkannya konsep
Aljabar modern, membuatnya layak menjadi figur penting dalam bidang Matematika dan
revolusi perhitungan di Abad Pertengahan di daratan Eropa. Dengan penyatuan Matematika
Yunani, Hindu dan mungkin Babilonia, teks Aljabar merupakan salah satu karya Islam di
dunia Internasional. (Erwyn Kurniawan, dari berbagai sumber)
Al Khawarizmi Penemu Angka Nol 0
Dunia Eropa / Barat dari dulu sampai dengan sekarang sepertinya mengklaim bahwa
Gudang Ilmu Pengetahuan berasal dari kawasan Eropa / Barat tapi tahukah anda,
sejatinya asal Gudang Ilmu Pengetahuan berasal dari kawasan Timur Tengah yaitu
Mesopotamia yang menjadi peradaban tertua di dunia.
Masyarakat dunia sangat mengenal Leonardo Fibonacci sebagai ahli matematika aljabar.
Namun, dibalik kedigdayaan Leonardo Fibonacci sebagai ahli matematika aljabar
ternyata hasil pemikirannya sangat dipengaruhi oleh ilmuwan Muslim bernama
Muhammad bin Musa Al Khawarizmi. Dia adalah seorang tokoh yang dilahirkan di Khiva
(Iraq) pada tahun 780. Selama ini banyak kaum terpelajar lebih mengenal para ahli
matematika Eropa / Barat padahal sejatinya banyak ilmuwan Muslim yang menjadi
rujukan para ahli matematika dari barat
Selain ahli dalam matematika al-Khawarizmi, yang kemudian menetap di Qutrubulli
(sebalah barat Bagdad), juga seorang ahli geografi, sejarah dan juga seniman. Karyakaryanya dalam bidang matematika dimaktub dalam Kitabul Jama wat Tafriq dan Hisab
al-Jabar wal Muqabla. Inilah yang menjadi rujukan para ilmuwan Eropa termasuk
Leonardo Fibonacce serta Jacob Florence.
Muhammad bin Musa Al Khawarizmi inilah yang menemukan angka 0 (nol) yang hingga
kini dipergunakan. Apa jadinya coba jika angka 0 (nol) tidak ditemukan coba? Selain itu,
dia juga berjasa dalam ilmu ukur sudut melalui fungsi sinus dan tanget, persamaan
linear dan kuadrat serta kalkulasi integrasi (kalkulus integral). Tabel ukur sudutnya
(Tabel Sinus dan Tangent) adalah yang menjadi rujukan tabel ukur sudut saat ini.
al-Khawarizmi juga seorang ahli ilmu bumi. Karyanya Kitab Surat Al Ard
menggambarkan secara detail bagian-bagian bumi. CA Nallino, penterjemah karya alKhawarizmi ke dalam bahasa Latin, menegaskan bahwa tak ada seorang Eropa pun yang
dapat menghasilkan karya seperti al-Khawarizmi ini.
Asal-usul angka Nol
7 Agustus 2008 Shofiq Sulaiman Tinggalkan komentar Go to comments
Waclaw Sierpinski, seorang pakar Matematika yang cemerlang … cemas karena kehilangan
sebuah tas bawaannya. “Tidak sayang!”, kata istrinya. “Semuanya ada enam di sini”. “Tidak
mungkin”, Kata Sierpinski. “Aku telah menghitungnya berulang kali: nol, satu, dua, tiga,
empat, lima.” – The Book Of Number
Dalam sehari-hari, sesungguhnya kita tidak membutuhkan angka nol, benar-benar tidak
butuh. Ketika anda ditanya, ‘Punya berapa jerukkah anda ?’, maka anda akan cenderung
untuk mengatakan ‘Saya tidak punya jeruk’ ketimbang mengatakan ‘Saya mempunyai nol
jeruk’. Ketika kita mempunyai seorang adik dan ditanya ‘Berapa tahun umur adikmu itu ?’.
Maka kita lebih memilih untuk menjawab ‘Umurnya baru 1 bulan’ daripada harus menjawab
dengan ’Umurnya baru 0 tahun’. Inilah masalahnya, karena dalam prakteknya kita sama
sekali tidak memerlukan angka nol.
Maka dalam waktu yang sangat lama pada sejarah perjalanan manusia, angka nol tidak
muncul. Dan ternyata angka nol sendiri relative belum terlalu lama ditemukan, karena
memang ‘tidak penting’.
Petunjuk mengenai awal manusia mengenal hitungan ditemukan oleh arkeolog Karl Absolom
tahun 1930 dalam sebuah potongan tulang serigala – ternyata mereka lebih bernyali, karena
kita lebih memilih untuk menggunakan media kertas dibading tulang serigala – yang
diperkirakan berumur 30.000 tahun.
Terserah anda akan membayangkan seperti apa 30.000 tahun yang lalu itu dan bagaimana
kita hidup jika telah dilahirkan pada masa itu.
Pada potongan tulang itu ditemukan goresan-goresan kecil yang tersusun dalam kelompokkelompok yang terdiri atas lima. iiiii iiiii iiiii. Entah apa yang telah dihitung oleh Manusia
gua Gog. Apakah ia sedang menghitung berapa lalat yang telah ia lahap, ataukah sudah
berapa lama ia tidak mandi, entahlah. Dan pada zaman ini angka nol sama sekali belum
muncul, karena memangnya untuk apa ?
Jauh sebelum zamannya si Gog, diperkirakan manusia baru mengenal angka satu dan banyak
atau satu, dua dan banyak. Pada saat ini ternyata masih ada yang menggunakan sistem ini,
yaitu suku Indian Sirriona di Bolivia dan orang-orang Yanoama di Brasil. Ternyata seiring
berjalannya waktu, mereka mulai merangkai angka yang sudah ada. Suku Bacairi dan Baroro
memiliki system hitung ‘satu’, ‘dua’, ‘dua dan satu’, ‘dua dan dua’, ‘dua dan dua dan satu’,
dst. Mereka memiliki system angka berbasis dua dan kita sekarang menyebutnya dengan
system biner – saat ini kita sering mempelajarinya jika kita mempelajari system hitungan
yang digunakan komputer. Saat ini pun kita menuliskan sebelas sebagai sepuluh dan satu, dst.
Sekarang kita menyebut system basis lima yang digunakan si Gog adalah system quiner.
Mengapa Gog memilih lima sebagai basisnya, dan bukannya basis empat atau enam ? Toh,
basis berapapun yang dipilih, maka system penghitungan akan tetap bisa dilakukan.
Tampaknya ini dipilih karena manusia sajak dari dulu sampai sekarang memiliki lima jari di
setiap tangan. Penyebutan Baroro untuk ‘dua dan dua dan satu’ adalah ‘seluruh jari tangan
saya’ dan masyarakat Yunani kuno menyebut proses penghitungan dengan fiving –
melimakan. Tapi sampai saat itu angka nol tetap belum muncul, karena kita tidak perlu
mencatat dan mengatakan ‘nol serigala’ dan ‘nol adik kita’ bukan ?
Sejak masa Gog manusia terus mengalami kemajuan. Kembali kita menelusuri mesin waktu,
lima ribu tahun yang lalu, orang-orang Mesir mulai membuat tanda untuk menunjukkan
‘satu’, tanda lain untuk menunjukkan ‘lima’, dsb. Sebelum masa piramida, orang-orang Mesir
kuno telah menggunakan gambar untuk system bilangan desimal – basis sepuluh, jari dua
tangan saya – mereka. Bangsa Mesir akan menggambar enam simbol untuk mencatat angaka
seratus dua puluh tiga ketimbang menggambar 123 garis. Bangsa Mesir dikenal sangat
menguasai matematika. Meraka pakar perbintangan dan pencatat waktu yang handal dan
bahkan sudah menciptakan kalender. Penemuan sistem penanggalan matahari merupakan
terobosan besar dan ditambah dengan penemuan seni geometri . Meskipun mereka sudah
mencapai matematika tingkat tinggi, namun angka nol ternyata belum muncul juga di Mesir.
Ini dikarenakan mereka menggunakan matematika untuk praktis dan tidak menggunakannya
untuk sesuatu yang tidak berhubungan dengan kenyataan.
Kemudian kita berpindah ke Yunani. Sebelum tahun 500 SM, mereka telah memahami
matematika dengan lebih baik dibandingkan Mesir. Mereka juga menggunakan basis 10.
Orang Yunani , sebagai contoh, menuliskan angka 87 dengan 2 simbol, dibandingkan dengan
Mesir yang harus menuliskannya dengan 15 simbol, yang justru mengalami kemunduran
pada angka Romawi yang memerlukan 7 simbol – LXXXVII. Jika bangsa Mesir menganggap
matematika hanyalah alat untuk mengetahui pergantian hari – dengan sistem kalender – dan
mengatur pembagian lahan – dengan geometri – , maka orang Yunani memandang angkaangka dan filsafat dengan sangat serius. Zeno yang melahirkan paradoks ketertakhinggaan
dan Pytagoras yang sangat kita kenal dengan teorema segitiga siku-sikunya – yang
belakangan diketahui bahwa rumus ini sebenarnya sudah diketahui sejak 1000 tahun
sebelumnya, dilahirkan di sini. Kita juga mengenal Aristoteles dan Ptolomeus. Mereka
dikenal dengan filsafatnya – yang tidak kita bahas dulu, karena akan sangat panjang –
walaupun demikian, mereka juga tidak menemukan angka nol. Angka nol tetap belum
ditemukan sampai saat ini.
Kembali ke dunia timur, Babilonia – Iraq sekarang – ternyata memiliki sistem hitung kuno
yang jauh lebih maju. Mereka menggunakan sistem berbasis 60, seksagesimal , sehingga
mereka memiliki 59 tanda. Yang membedakan sistem ini dengan Mesir dan Yunani adalah,
bahwa sebuah tanda dapat berarti 1, 60, 3600 atau bilangan yg lebih besar lainnya.
Merekalah yang mengenalkan alat bantu hitung abax – soroban di Jepang, suan-pan di
China, s’choty di Rusia, coulbadi di Turki, dll yang di sini kita sebut dengan sempoa). Sistem
hitung mereka seperti sistem kita saat ini dimana 222 menunjukkan nilai ‘dua’, ‘dua puluh’
dan ‘dua ratus’. Begitu juga simbol i menunjukkan ‘satu’ atau ‘enam puluh’ dalam dua posisi
yang berbeda. Orang Babilonia tidak memiliki metode untuk menunjukkan kolom-kolom
yang tepat bagi simbol-simbol tertulis, sementara dengan abakus hal ini lebih mudah
ditunjukkan angka mana yang dimaksud. Sebuah batu yang terletak di kolom kedua dapat
dibedakan dengan mudah dari batu yang terdapat di kolom ketiga dan seterusnya. Dengan
demikian i dapat berarti 1, 60 atau 3600 atau nilai yang lebih besar. Sehingga ii dapat lebih
kacau lagi, karena bsa berarti 61, 3601, dsb. Maka diperlukan penanda dan mereka
menggunakan ii sebagai tempat kosong, sebuah kolom kosong pada abakus. Sehingga
sekarang ii berarti 61 dan iiii berarti 3601. Walaupun mereka telah menemukan penanda
kolom kosong dengan ii, namun sesungguhnya angka nol tetap saja belum muncul pada
kebudayaan ini.ii tetap tidak mempunyai nilai numerik tersendiri.
Maka ketika kita meninggalkan kebudayaan-kebudayaan di atas, tetap saja belum kita
temukan angka nol dan dari titik ini kita akan mengalami percabangan untuk menentukan
siapa sebenarnya penemu sang angka nol. Asal mula matematika di India masih samar.
Sebuah teks yang ditulis pada tahun 476 M menunjukkan pengaruh matematika Yunani,
Mesir dan Babilonia yang dibawa Alexander saat penaklukannya. Suatu ketika pakar
Matematika India mengubah sistem hitung mereka dari sistem Yunani ke Babilonia tetapi
berbasis sepuluh. Namun dari referensi pertama bilangan Hindu yang berasal dari seorang
Uskup Suriah pada tahun 662 menyebutkan bahwa mereka menggunakan 9 tanda dan
bukannya sepuluh.
Dengan jatuhnya kekaisaran Romawi pada abad VII, Barat pun mengalami kemunduran dan
Timur mengalami kebangkitan. Selama bintang Barat tenggelam di balik cakrawala, bintang
lainnya terbit, Islam.
Setelah Rasulullah Muhammad saw wafat maka dimulailah masa Khulafur Rasyidin yang
dipimpim oleh Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq ra, Amirul Mukminin Umar Bin Khattab Al
Faruq ra, Amirul Mukminin Usman Bin Affan Dzunnurrain ra dan Amirul Mukminin Ali Bin
Abi Thalib kw. Dan saat ini Islam telah tersebar mencapai Mesir, Suriah, Mesopotamia dan
Persia dan juga Yerusalem. Pada tahun 700 M, Islam telah mencapai sungai Hindus di Timur
dan Algiers di Barat. Tahun 711 M, Islam telah menguasai Spanyol sampai ke wilayah
Prancis dan di tahun 751 M telah mengalahkan Cina. Dan di Spanyol yang lebih dikenal
dengan Andalusia, mengalami puncak kejayaanya pada abad VIII.
Pada abad IX, Khalifah Al Ma’mun mendirikan perpustakaan megah, Bayt Al Hikmah –
Rumah Kebijaksanaan. Dan salah satu ilmuwan terkemukannya adalah Muhammad Ibnu
Musa Al Khawarizmi. Tulisan pentingnya antara lain Al-Jabr Wa Al-Muqabala dan dari
sinilah muncul istilah aljabar – penyelesaian. Dan juga menyebarkan Algoritma dari kata AlKhawarizmi.
Dan dari sinilah bangsa-bangsa di belahan dunia lain akan mengikuti sistem bilangan arab
yang baru. Bilangan yang terdiri atas sepuluh tanda. Dan akhirnya angka nol pun muncul dan
selesailah perjalanan kita. Dan kita tetap belum tahu secara pasti apakah angka nol pertama
muncul di India ataukah di Andalusia ataukah di Arab. Namun suatu hal yang pasti, ia baru
muncul pada abad – minimal – VI atau bahkan lebih. Wallahu ‘alam.
*Sebagaian diambil dari buku berjudul Biografi Angka Nol oleh Charles Seife
Download