Jurnal Diversita, 10 (2) Desember (2024) ISSN 2461-1263 (Print) ISSN 2580-6793 (Online) DOI: 10.31289/diversita.v10i2.12866 Jurnal Diversita Available online https://ojs.uma.ac.id/index.php/diversita Dampak Pelatihan Regulasi Emosi Menggunakan Pendekatan Terapi Kognitif Perilaku Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Remaja The Impact of Emotion Regulation Training Using a Cognitive Behavioral Therapy Approach on Anxiety Levels Among Adolescents Rania Fakhirah Khairunnisa(1*) & Lia Mawarsari Boediman(2) Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Indonesia Disubmit: 13 September 2024; Direview: 10 Oktober 2024; Diaccept: 15 November 2024; Dipublish: 04 Desember 2024 *Corresponding author: [email protected] Abstrak Masa remaja adalah periode transisi yang ditandai oleh perubahan neurobiologis, hormonal, psikologis, dan sosial. Tahap kehidupan ini sering membawa gejolak emosional, di mana remaja menghadapi berbagai perasaan dan pengalaman. Remaja, terutama perempuan, lebih rentan mengalami emosi negatif, penurunan harga diri, dan perilaku internalisasi seperti kecemasan. Kemampuan regulasi emosi yang efektif sangat penting untuk mengurangi masalah pada remaja. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas pelatihan regulasi emosi berbasis Terapi Kognitif Perilaku (CBT) untuk meningkatkan kemampuan regulasi emosi dan menurunkan tingkat kecemasan pada remaja. Penelitian ini melibatkan enam remaja perempuan berusia 14-15 tahun dengan tingkat disregulasi emosi dan kecemasan sedang hingga berat. Partisipan mengikuti minimal dua dari lima sesi intervensi. Hasil menunjukkan bahwa terdapat penurunan kecemasan yang signifikan setelah partisipan mengikuti pelatihan, namun penurunan dalam disregulasi emosi masih belum terhitung signifikan. Dari beberapa teknik yang diterapkan, teknik mindfulness terbukti membantu partisipan dalam mengelola emosi dan menurunkan kecemasan. Beberapa rekomendasi lanjutan perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan keefektifitasan penelitian di kemudian hari. Kata Kunci: Intervensi Kelompok; Regulasi Emosi; Kecemasan; Cognitive Behavioral Therapy. Abstract Adolescence is a transitional period marked by neurobiological, hormonal, psychological, and social changes. This stage of life often brings emotional turbulence, with adolescents facing a variety of feelings and experiences. Adolescents, particularly females, are more susceptible to experiencing negative emotions, lower self-esteem, and internalizing behaviors such as anxiety. Effective emotional regulation is crucial for addressing these issues in adolescents. Therefore, this study aims to evaluate the effectiveness of Cognitive Behavioral Therapy (CBT)-based emotional regulation training in enhancing emotional regulation skills and reducing anxiety levels in adolescents. The study involved six female adolescents aged 14-15 with moderate to severe emotional dysregulation and anxiety. Participants attended at least two of the five intervention sessions. Results showed a significant reduction in anxiety after the training, although the reduction in emotional dysregulation was not statistically significant. Among the various techniques applied, mindfulness techniques proved to be effective in helping participants manage their emotions and reduce anxiety. Further recommendations are needed to improve the effectiveness of future research. Keywords: Group Intervention; Emotion Regulation; Anxiety; Cognitive Behavioral Therapy. How to Cite: Khairunnisa, R. F. & Boediman, L. M. (2024), Dampak Pelatihan Regulasi Emosi Menggunakan Pendekatan Terapi Kognitif Perilaku Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Remaja, Jurnal Diversita, 10 (2): 190-201. 190 Khairunnisa, R. F. & Boediman, L. M., Dampak Pelatihan Regulasi Emosi Menggunakan Pendekatan Terapi PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa transisi yang dapat menyebabkan individu merasakan kebingungan dan ketidakpastian dalam dirinya karena beberapa perubahan yang terjadi (Marotz & Allen, 2022). Masa remaja adalah periode penting dalam perkembangan manusia yang ditandai oleh perubahan neurobiologis, hormonal, psikologis, dan sosial (Agarwal et al., 2020; Agam et al., 2015; Krapi et al., 2015). Pada masa ini, individu mengalami peningkatan kesadaran diri yang dapat menyebabkan keraguan dalam menempatkan diri. Remaja juga dihadapi oleh berbagai perasaan dan pengalaman yang semakin beragam, baik dalam konteks positif maupun negatif. Dalam masa ini, suatu hal baru yang dihadapi oleh remaja, terutama dalam konteks yang negatif dapat terasa sebagai suatu hal yang berat (Marotz & Allen, 2022). Dalam masa perkembanganya, remaja sangat mungkin akan bersinggungan dengan masalah yang berkaitan dengan keluarga, sosial atau pertemanan, serta masalah individu (Krapi et al., 2015). Masalah lain yang belakangan ini terjadi secara global dan dialami oleh semua individu di dunia ini adalah kemunculan penyakit Covid-19 yang dalam waktu singkat merubah situasi di seluruh dunia menjadi pandemi. Situasi baru tersebut dengan segala informasi negatif yang menyertainya tidak dipungkiri memberikan dampak pada kesehatan fisik dan mental. Situasi ini menyebabkan kepanikan publik dan tekanan kesehatan mental, yang menyebabkan individu termasuk remaja mengalami psikosomatik, kecemasan, dan stres (Centers for Disease Control and Prevention, 2020; Nugroho et al., 2023; Xie et al., 2020). Tugas utama dari perkembangan remaja adalah membentuk rasa identitas yang realistis dan koheren. Pada fase ini, remaja sudah mulai memiliki kemampuan kognitif untuk secara sadar memilah siapa mereka dan apa yang membuat mereka unik. Hal ini juga berkaitan dengan bagaimana ia memandang dan menilai dirinya beserta atribut-atribut yang dimilikinya (Dumitrescu, 2015). Namun begitu, pada masa ini individu sangat rentan dengan pengaruh dari orang tua dan teman sebaya. Pengaruh-pengaruh ini dapat secara langsung mengintegrasikan penilaian individu ke dalam identitas dan perasaan mereka tentang diri mereka sendiri (Dumitrescu, 2015). Dibandingkan dengan orang dewasa, remaja lebih rentan untuk mengalami emosi negatif dengan intensitas yang lebih besar. Remaja juga melaporkan mengalami suasana hati negatif lebih sering daripada orang dewasa, terutama pada awal masa remaja, dimana perasaan harga diri cenderung sedikit menurun. Namun jika dibandingkan, anak perempuan cenderung memiliki self esteem yang lebih rendah daripada anak laki-laki (Dumitrescu, 2015). Hal ini dikarenakan pertemanan di antara anak perempuan ditandai oleh keintiman yang lebih besar, pengungkapan diri, empati, saling ketergantungan, kepedulian, dan pembicaraan mendalam tentang masalah dan ketakutan. Di sisi lain, laki-laki umumnya berinteraksi dalam kelompok persahabatan yang lebih besar dengan fokus pada kebersamaan, persaingan, aktivitas berisiko, kegembiraan, dan upaya pengendalian langsung. Gaya respons emosional yang berbeda ini 191 Jurnal Diversita, 10 (2) Desember 2024: 190-201. dapat membuat anak perempuan lebih rentan terhadap self esteem yang rendah serta depresi (terutama setelah peristiwa hubungan yang negatif), tetapi melindungi mereka dari perilaku eksternal (misalnya, agresi, kecerobohan (Agam et al., 2015). Berbagai macam perubahan pada masa remaja seringkali membuat remaja menjadi pemurung, tidak komunikatif, sering berdebat, dan impulsif. Hal tersebut terjadi dikarenakan masa transisi ini merupakan masa yang sulit (Agarwal et al., 2020). Salah satu masalah yang umum terjadi pada masa remaja adalah kecemasan yang merupakan reaksi tubuh terhadap bahaya yang dirasakan. Kecemasan biasanya dianggap sebagai emosi utama dan umum yang penting untuk melindungi dan mendukung kelangsungan hidup individu. Namun, kecemasan dianggap bermasalah jika kekhawatiran tersebut sering terjadi, berintensitas tinggi, dan persisten. Hal ini dapat menyebabkan stres atau disfungsi yang signifikan dalam kehidupan seharihari (Association, 2013). Kecemasan yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati dapat mengganggu perkembangan psikologis normal dan menyebabkan beban yang signifikan pada kualitas hidup dan kesejahteraan individu (Garcia & O’Neil, 2020). Kecemasan tidak hanya terkait dengan keterbatasan dalam fungsi anakanak seperti hubungan sosial yang buruk, kinerja akademis yang rendah, dan harga diri yang rendah, tetapi gangguan ini juga dapat berdampak negatif pada perkembangan emosional dan sosial jangka panjang. Kecemasan dan depresi pada masa kanak-kanak merupakan prediktor penting dari psikopatologi di masa dewasa. Ketika tidak diobati, kecemasan dan depresi pada masa cenderung memburuk (Ogundele, 2018). Studi sebelumnya tentang masalah emosional di kalangan siswa sekolah menengah umum di Semarang mengungkapkan perbedaan gender di mana remaja laki-laki dilaporkan lebih cenderung melakukan perilaku melanggar aturan dan perilaku eksternal, sedangkan remaja perempuan lebih cenderung melaporkan perilaku internalisasi (Edidati, 2015). Diasumsikan bahwa remaja di sekolah menengah dan remaja yang belajar di tingkat perguruan tinggi/universitas menghadapi tantangan dan harapan yang berbeda. Remaja sebagai siswa sekolah menengah menghadapi harapan sosial yang kuat untuk lulus ujian nasional yang sering menyebabkan kecemasan, sedangkan remaja sebagai mahasiswa harus mengatasi penyesuaian akademik serta sosial yang sering kali membawa perjuangan emosional. Oleh karena itu, kemampuan seseorang dalam meregulasi emosinya menjadi penting dalam hal menghadapi kecemasan. Regulasi emosi adalah keterampilan terapeutik penting yang harus dipelajari oleh individu yang memiliki respons emosional yang meningkat atau kesulitan mengatasi emosi mereka. Regulasi emosi merupakan proses di mana individu memodifikasi durasi atau intensitas emosi mereka untuk merespons tantangan lingkungan dengan sebaik-baiknya (Aldao & Plate, 2018). Regulasi emosi mengacu pada proses sadar atau tidak sadar dalam memantau, mengevaluasi, memodulasi, dan mengelola pengalaman emosional serta ekspresi emosi dalam hal intensitas, bentuk, dan durasi perasaan, keadaan 192 Khairunnisa, R. F. & Boediman, L. M., Dampak Pelatihan Regulasi Emosi Menggunakan Pendekatan Terapi fisiologis yang terkait dengan emosi, dan perilaku (Kok, 2020). Individu secara emosional harus memiliki kemampuan adaptif yang akan berdampak kepada kesehatan fisik dan mental, kualitas hidup, serta fungsi seseorang. Regulasi emosi yang efektif merupakan faktor yang dapat menahan depresi, berkorelasi dengan efisiensi kerja, kepuasan hubungan, dan kesejahteraan yang umum dirasakan (Kozubal et al., 2023). Hal ini juga merupakan mekanisme yang mungkin dapat menjelaskan bagaimana gejala kecemasan dan depresi pada masa remaja saling terhubung, berlanjut, dan pada akhirnya berbeda satu sama lain (McGlinchey et al., 2021). Individu biasanya memodulasi reaksi mereka melalui berbagai strategi regulasi (Kozubal, et al, 2023). Regulasi dapat diperkenalkan pada tahap apa pun dalam proses emosional, baik sebelum atau setelah terjadinya respons emosional. Ini membedakan antara strategi antisipatif dan strategi yang terkait dengan respons emosional itu sendiri. Menurut model Gross, ada lima kelompok strategi regulasi emosi, yaitu pemilihan situasi, modifikasi situasi, pengalihan perhatian, perubahan kognitif, dan modulasi respon (Gross, 2014). Karena karakteristik dan beberapa isu pada remaja yang sudah dijelaskan, maka intervensi yang menyasar kepada kemampuan regulasi emosi remaja untuk mengatasi kecemasan agar tidak berkembang menjadi suatu hal yang serius menjadi sangat penting. Namun demikian, sampai saat ini mayoritas dari intervensi yang telah dilakukan menyasar kepada kelompok populasi dewasa dan belum banyak menyasar pada populasi remaja (Moore et al., 2022). Kemampuan regulasi emosi dapat ditingkatkan, setidaknya dalam jangka pendek, melalui intervensi kelompok regulasi emosi. Salah satu intervensi yang telah terbukti berdampak signifikan dalam proses regulasi emosi adalah Mindfulness based intervention (MBI) dalam kelompok yang telah terbukti efektif dalam meningkatkan regulasi perhatian dan kesadaran tubuh, yaitu keterampilan yang diperlukan untuk regulasi emosi yang efisien (Rowland et al., 2023). Disamping itu beberapa intervensi yang menggunakan Cognitive Behavioral Therapy telah banyak terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan regulasi emosi. Intervensi dengan pendekatan CBT ini umumnya terdiri dari empat rangkaian. Namun begitu, beberapa intervensi tidak membutuhkan keseluruhan empat rangkaian ini, namun hanya beberapa rangkaian sesuai dengan kebutuhan. Rangkaian pertama dari CBT yang berkaitan dengan regulasi emosi adalah (1) mindfulness, yang merupakan komponen utama dalam CBT untuk regulasi emosi. Mindfulness mengajarkan individu untuk mengidentifikasi emosi dan mengontrol secara kognitif untuk tidak terfokus pada cara berpikir yang hanya meningkatkan perasaan kewalahan. Rangkaian kedua yaitu (2) distress tolerance, yang merupakan cara untuk mengajarkan individu menerima dan mengolah emosi yang tidak nyaman, alih-alih menghindari atau tidak mengakuinya. Rangkaian ketiga yaitu (3) emotion regulation training, yang mengajarkan individu bagaimana caracara yang bisa dilakukan untuk mengurangi kerentanan terhadap dampak 193 Jurnal Diversita, 10 (2) Desember 2024: 190-201. emosi negatif dan memodulasi emosi ketika sudah menjadi intens. Kemudian rangkaian yang terakhir adalah (4) interpersonal effectiveness, yang menekankan kepada bagaimana individu dapat membangun lingkungan interpersonal yang sehat untuk membantunya memiliki regulasi emosi yang sehat (Cognitive Behavioral Therapy Los Angeles, n.d.). Intervensi dengan pendekatan CBT berkontribusi pada peningkatan kewaspadaan emosi seseorang, yang mana adalah aspek yang sangat penting dalam proses regulasi emosi. Dengan meningkatnya kewaspadaan individu kepada emosinya, perilaku yang ditampilkan menjadi lebih terarah, jelas, serta individu dapat lebih menahan impulsnya sehingga menurunkan level distres yang dimilikinya, salah satunya dalam hal kecemasan (Dumornay et al., 2022). Salah satu metode yang terbukti dapat membantu individu dengan permasalahan emosional merupakan intervensi berbasis kelompok. Intervensi kelompok adalah metode penanganan di mana orang-orang dengan permasalahan yang serupa ditempatkan dalam sebuah kelompok, di bawah bimbingan satu atau lebih terapis, dengan tujuan membantu individu mengubah diri mereka. Intervensi kelompok ini dapat membantu individu meningkatkan kemampuan sosial mereka melalui pengalaman kelompok yang terarah dan mengimplementasikannya untuk mengatasi masalah pribadi, kelompok, atau komunitas dengan lebih efektif (Ezhumalai et al., 2018). Oleh karena itu, pelatihan ini akan menggunakan metode intervensi kelompok menggunakan pendekatan CBT dengan rangkaian (1) mindfulness, (2) distress tolerance, dan (3) emotion regulation training untuk meningkatkan regulasi emosi dan menurunkan tingkat kecemasan pada remaja. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimental dengan desain pre dan post-test satu kelompok (Kumar, 1999). Penelitian kuasi eksperimental adalah penelitian yang bertujuan untuk memanipulasi suatu variabel tanpa adanya kontrol ketat terhadap faktor eksternal dari subjek atau partisipan yang dapat mempengaruhi hasil (Christensen, 2007). Pada penelitian ini, peneliti tidak memberlakukan adanya kelompok kontrol dan randomisasi. Perlakuan yang akan diberikan pada penelitian ini adalah pemberian Intervensi Regulasi Emosi berbasis teknik Cognitive-BehavioralTherapy untuk menurunkan tingkat kecemasan dengan meningkatkan kemampuan regulasi emosi. Untuk mengetahui efektivitas teknik tersebut, peneliti membandingkan keadaan partisipan sebelum dan sesudah intervensi dilaksanakan. Selain itu, diadakan juga follow-up untuk melihat apakah efek dari intervensi yang telah dilakukan memiliki dampak yang bertahan. Partisipan dari penelitian ini terdiri dari enam orang siswa kelas 2 Sekolah Menengah Pertama di salah satu SMP di Jakarta. Seluruh partisipan berjenis kelamin perempuan dan berusia 14-15 tahun pada saat intervensi dilakukan. Karakteristik dari partisipan penelitian adalah memiliki tingkat disregulasi emosi dan tingkat kecemasan yang sedang sampai berat. 194 Khairunnisa, R. F. & Boediman, L. M., Dampak Pelatihan Regulasi Emosi Menggunakan Pendekatan Terapi Partisipan intervensi kelompok akan diberikan alat ukur DERS-SF untuk mengetahui tingkat kesulitan remaja dalam mengelola emosi. Alat ukur ini memiliki 18 item dengan skala likert dengan rentang jawaban 1 (tidak pernah), 2 (jarang), 3 (kadang-kadang), 4 (sering), 5 (selalu). Skoring DERS-SF dilakukan dengan menjumlahkan nilai skor seluruh item, dengan tiga item dalam subskala awareness dikoding secara reverse (1,4,6). Skala DERS-SF memiliki konsistensi internal yang baik yaitu 0.88 (Fiartri, 2020). Partisipan yang memperoleh skor total ≤36 termasuk kategori normal, 37-43 termasuk memiliki masalah disregulasi emosi ringan, 44-49 termasuk mengalami disregulasi emosi menengah, dan ≥50 termasuk mengalami disregulasi emosi berat (Burton, et al., 2021). Alat ukur Depression Anxiety Stress Scales 21 (DASS 21) juga diberikan untuk mengukur dimensi kecemasan, stres, dan depresi. Alat ukur DASS yang dipakai adalah alat ukur yang sudah diadaptasi dalam bahasa Indonesia oleh Putra (2013). Pada penelitian ini, peneliti hanya menggunakan item dimensi kecemasan. Jumlah item yang digunakan dari alat ukur ini berjumlah 7 item. Nantinya partisipan akan diminta untuk menilai seberapa sering mereka mengalami hal-hal yang disebutkan pada setiap pernyataan dalam skala 0-3 dari tidak pernah sampai hampir setiap saat. Partisipan yang mendapatkan skor dimensi kecemasan dalam rentang total 07 memiliki kondisi kecemasan normal, skor 8-9 menandakan individu mengalami kecemasan ringan, skor 10-14 menandakan individu mengalami kecemasan sedang, skor 15-19 menandakan individu mengalami kecemasan parah, dan skor lebih dari 20 menandakan individu mengalami kecemasan yang sangat parah. Selain itu, partisipan yang mendapatkan skor dimensi stres dalam rentang total 0-14 memiliki kondisi stres normal, skor 15-18 menandakan individu mengalami stres ringan, skor 19-25 menandakan individu mengalami stres sedang, skor 26-33 menandakan individu mengalami stres parah, dan skor lebih dari 34 menandakan individu mengalami stres yang sangat parah (Putra, 2013). Intervensi yang diberikan kepada siswa dimulai dengan tahapan persiapan berupa need assessment kepada calon partisipan penelitian pada Sekolah Menengah Pertama X. Proses ini dilakukan untuk mellihat kebutuhan yang ada pada populasi tersebut, agar intervensi yang dilakukan tepat saasaran. Need assessment dilakukan dengan survey melalui kuesioner singkat, wawancara dengan guru, dan focused group discussion dengan siswa. Dari hasil need assessment tersebut, didapatkan bahwa banyak dari siswa memiliki kesulitan dalam regulasi emosi dan berpengaruh pada hubungan pertemanan, keluarga, serta kondisi internal seperti kecemasan. Dari hasil need assessment, diputuskan untuk dilakukannya Intervensi Regulasi Emosi berbasis Cognitive Behavioral Therapy. Intervensi ini terdiri dari lima sesi pelatihan yang berlangsung selama 1,5-3 jam per sesinya. Pada modul intervensi ini, partisipan diberikan kemampuan dalam regulasi emosi mulai dari mengenal dan memahami emosi, mengelola, serta mengekspresikan emosi. Rincian dari modul yang digunakan pada sesi intervensi adalah sebagai berikut: 195 Jurnal Diversita, 10 (2) Desember 2024: 190-201. Sesi 1 Sesi 2 Sesi 3 Sesi 4 Sesi 5 dilaksanakan. Kemudian follow up dilakukan satu bulan setelah sesi terakhir intervensi. Post-test dan follow up dilakukan dengan metode dana kuesioner yang sama seperti pada saat pre-test. Analisis data dilakukan dengan metode analisis inspeksi visual dengan melihat grafik perbandingan kondisi sebelum dan sesudah dilakukannya intervensi (Goodwin & Goodwin, 2017). Seni Memahami dan Menyadari Emosi Kegiatan 1: Identifying and rating emotion intensity. Kegiatan 2: Emotion triggers. Kegiatan 3: Multiple emotions. Kegiatan 4: Positive emotions. Kegiatan 5: Summary of why emotion is important. Kegiatan 6: Finger breathing mindfulness technique Mengelola Emosi: Memenuhi Kebutuhan Dasar dan Respon Emosi Adaptif Kegiatan 1: Emotion check in. Kegiatan 2: Basic Need Survey. Kegiatan 3: Adaptive and Maladaptive response. Kegiatan 4: Emotion affect our body Kegiatan 5: Body scan mindfulness techniques Mengelola Emosi: Meningkatkan Emosi Positif Kegiatan 1: Emotion check in. Kegiatan 2: Dopamine menu. Kegiatan 3: Safety hands. Kegiatan 4: Safety place mindfulness technique. Menggunakan Pikiran untuk Mengelola Perasaan Kegiatan 1: Body scan mindfulness technique. Kegiatan 2: Emotion check in. Kegiatan 3: Expressing negative thoughts. Kegiatan 4: Anxiety box. Kegiatan 5: Thought triangle. Kegiatan 6: Cognitive restructuring. Kegiatan 6: Play dough mindfulness technique. Kegiatan 6: Affirmation stock. Mengekspresikan Emosi Kegiatan 1: Finger breathing mindfulness technique. Kegiatan 2: Emotion check in. Kegiatan 3: Sharing feelings. Kegiatan 4: Art journaling. Kegiatan 5: Pass the compliment. Kegiatan 6: Motivation plane. HASIL DAN PEMBAHASAN Partisipan penelitian ini merupakan enam orang remaja perempuan berusia 1415 tahun yang memiliki tingkat disregulasi emosi dan kecemasan sedang sampai dengan berat. Partisipan penelitian mengikuti minimal dua dari lima sesi intervensi yang diadakan. Berikut ini merupakan gambaran dari kondisi partisipan sebelum mengikuti intervensi: Tabel 1. Gambaran kondisi partisipan sebelum mengikuti pelatihan Proses intervensi juga meliputi pelaksanaan pre-test, post-test, dan follow up kepada partisipan. Pre-test dilakukan satu minggu sebelum waktu pelatihan, dengan memberikan kuesioner DASS-21 dan DERS-SF kepada partisipan untuk menilai tingkat kecemasan dan disregulasi emosi yang dimilikinya. Post-test dilakukan sesaat setelah sesi terakhir selesai Inisial Usia SDA KSK NPA GA NRS MMY 14 15 15 15 14 15 Jumlah pertemuan yang diikuti 5 4 4 2 2 2 Kecemasan Pre-test 16 Berat 18 Berat 16 Berat 16 Berat 18 Berat 14 Sedang Disregulasi emosi Pre-test 53 Berat 47 Sedang 54 Berat 68 Berat 60 Berat 62 Berat Penelitian ini melibatkan enam remaja perempuan berusia 14-15 tahun yang memiliki tingkat disregulasi emosi dan kecemasan yang tergolong sedang hingga berat. Semua partisipan mengikuti minimal dua dari lima sesi intervensi yang diselenggarakan, dengan jumlah pertemuan yang bervariasi. Sebelum intervensi dilakukan, kondisi partisipan dinilai menggunakan kuesioner untuk mengukur kecemasan dan disregulasi emosi. Hasil pre-test menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan mengalami kecemasan 196 Khairunnisa, R. F. & Boediman, L. M., Dampak Pelatihan Regulasi Emosi Menggunakan Pendekatan Terapi dan disregulasi emosi dalam kategori berat. Setelah pelaksanaan intervensi, hasil post-test menunjukkan perubahan yang beragam di antara partisipan. Dari enam partisipan, tiga di antaranya (GA, NRS, MMY) mengalami penurunan tingkat disregulasi emosi, sementara dua partisipan lainnya (KSK dan NPA) justru menunjukkan peningkatan dalam disregulasi emosi, dan satu partisipan (SDA) tidak mengalami perubahan sama sekali. Secara keseluruhan, terdapat penurunan tingkat disregulasi emosi sebesar 10,3%, yang menunjukkan bahwa intervensi belum memberikan perubahan signifikan terhadap kemampuan regulasi emosi peserta. Di sisi lain, hasil yang lebih positif terlihat pada aspek kecemasan. Hampir semua partisipan mengalami penurunan skor kecemasan setelah mengikuti intervensi, kecuali SDA yang tidak mengalami perubahan. Secara keseluruhan, penurunan tingkat kecemasan mencapai 24,5%, menunjukkan adanya dampak yang signifikan dari intervensi terhadap kecemasan partisipan meskipun belum sepenuhnya berdampak pada kemampuan regulasi emosi mereka. Tabel 2. Perbandingan Skor Peserta Sebelum dan Sesudah Intervensi Kecemasan Disregulasi Emosi Pre-test Post-test 16 16 Berat Berat 18 14 Berat Sedang 16 8 Berat Sedang 16 8 Berat Sedang 18 16 Berat Berat 14 12 Sedang Sedang Persentase Penurunan -24,5% Pre-test 53 Berat 47 Sedang 54 Berat 68 Berat 60 Berat 62 Berat Post-test 53 Berat 58 Berat 55 Berat 60 Berat 47 Sedang 35 Sedang Grafik 1. Perbandingan Skor Disregulasi Peserta Sebelum dan Sesudah Intervensi Grafik 2. Perbandingan Skor Kecemasan Sebelum dan Sesudah Intervensi Setelah intervensi selesai dilaksanakan, dilakukan proses tindak lanjut (follow-up) satu bulan setelah sesi terakhir untuk melihat keberlanjutan dampak intervensi. Hasil tindak lanjut menunjukkan bahwa pada aspek disregulasi emosi, seluruh partisipan mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan dengan hasil post-test, dengan rata-rata penurunan sebesar 19%. Pada aspek kecemasan, semua partisipan menunjukkan penurunan skor yang lebih signifikan dibandingkan dengan hasil posttest, dengan total penurunan mencapai 37%. Ini menunjukkan bahwa dengan berjalannya waktu, intervensi memberikan dampak yang lebih positif, terutama pada aspek kecemasan, yang semakin berkurang seiring waktu setelah pelatihan. -10,3% 197 Jurnal Diversita, 10 (2) Desember 2024: 190-201. Tabel 4. Perbandingan Hasil Skor Peserta Sebelum, Sesudah, dan Pada Proses Follow Up Dampak Intervensi Kecemasan Inisial Disregulasi emosi Pre Post Follow -Up Pre Post Follow -Up SDA 16 Berat 16 Berat 14 53 Sedang Berat 53 Berat 43 Sedang KSK 18 Berat 14 Sedang 6 47 58 Normal Sedang Berat 45 Sedang NPA 16 Berat 8 Sedang 12 54 Sedang Berat 55 Berat 43 Sedang GA 16 Berat 8 Sedang 6 68 Normal Berat 60 Berat 47 Sedang NRS 18 Berat 16 Berat 14 60 Sedang Berat 47 Sedang 52 Berat MMY 14 12 Sedang Sedang 10 62 Sedang Berat 35 Sedang 49 Sedang -37% -10,3% -19% Persentase Perubahan - -24,5% - Grafik 3. Grafik Perbandingan Hasil Skor Regulasi Emosi Peserta Sebelum, Sesudah, dan Pada Proses Follow Up Dampak Intervensi Grafik 4. Grafik Perbandingan Hasil Skor Kecemasan Peserta Sebelum, Sesudah, dan Pada Proses Follow Up Dampak Intervensi Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi regulasi emosi yang dilakukan belum sepenuhnya efektif dalam meningkatkan kemampuan regulasi emosi pada remaja perempuan, meskipun menunjukkan hasil yang lebih baik dalam menurunkan kecemasan. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat faktor lain yang mungkin berperan dalam penurunan kecemasan tersebut, salah satunya adalah dukungan sosial yang diperoleh partisipan selama proses intervensi. Hasil wawancara kualitatif dengan para partisipan menunjukkan bahwa mereka merasa lebih nyaman untuk berbagi cerita dan pengalaman dengan teman-teman mereka setelah mengikuti intervensi. Mereka juga merasa bahwa lingkungan mereka menjadi lebih mendukung dan menghargai apa yang mereka sampaikan. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dughi et al. (2020), yang menyatakan bahwa dukungan sosial berkorelasi negatif dengan tingkat kecemasan yang dialami individu. Selain itu, beberapa partisipan melaporkan bahwa teknik mindfulness yang diajarkan dalam intervensi, seperti mindful breathing, body scan, dan menciptakan "safe place" dalam pikiran mereka, sangat membantu mereka untuk lebih tenang. Hasil ini sesuai dengan penelitian Jannah & Setiyowati (2024), yang menyatakan bahwa mindfulness membantu seseorang untuk lebih fokus pada kondisi saat ini dan menerima apa yang terjadi pada dirinya, yang pada akhirnya dapat mengurangi kecemasan yang seringkali muncul akibat kekhawatiran berlebihan terhadap masa depan. Jika dilihat secara lebih mendetail, SDA merupakan partisipan yang menunjukkan stabilitas, baik dalam hal disregulasi emosi maupun kecemasan, 198 Khairunnisa, R. F. & Boediman, L. M., Dampak Pelatihan Regulasi Emosi Menggunakan Pendekatan Terapi meskipun ia mengikuti semua sesi pelatihan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa meskipun ia merasa senang dapat berbagi cerita selama sesi, di kehidupan sehari-hari ia merasa terasing dari kelompok pertemanannya dan seringkali merasa tidak didengarkan. Pada masa remaja, dukungan sosial dari lingkungan pertemanan merupakan aspek penting yang dapat membantu individu mengelola stres dan emosi yang mereka rasakan. Berdasarkan penelitian Masten et al. (2009), dukungan sosial yang rendah dapat meningkatkan risiko individu mengalami masalah emosional dan meningkatkan produksi hormon stres, seperti kortisol, yang berkaitan dengan peningkatan kecemasan. Peserta KSK dan NPA, yang mengalami peningkatan disregulasi emosi setelah intervensi, melaporkan bahwa mereka mengalami kelelahan fisik dan emosional akibat latihan lomba pasukan pengibar bendera dan konflik di rumah. KSK menambahkan bahwa ibunya sering memarahinya, yang membuatnya merasa marah dan frustrasi. Temuan ini menggarisbawahi bahwa pada masa remaja, masalah keluarga dan tekanan personal dapat menjadi pemicu intensitas emosi yang lebih tinggi, meskipun emosi tersebut tidak selalu memperburuk tingkat kecemasan (Krapi et al., 2015). Hasil yang paling positif ditunjukkan oleh GA, NRS, dan MMY, yang mengalami penurunan signifikan dalam kecemasan dan disregulasi emosi. Menariknya, mereka hanya mengikuti dua sesi pelatihan, namun tetap mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan peserta yang menghadiri lebih banyak sesi. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan teknik- teknik yang diajarkan dalam sesi, seperti mindfulness dan berbagi pengalaman dengan teman-teman, di luar sesi pelatihan berperan penting dalam meningkatkan efektivitas intervensi. Ini mendukung penelitian Moore et al. (2022), yang menyatakan bahwa pembelajaran yang diberikan secara bertahap, disertai penerapan di kehidupan sehari-hari, dapat memberikan dampak yang lebih signifikan dibandingkan dengan intervensi yang diberikan dalam waktu singkat dan intens. Berdasarkan hasil penelitian ini, beberapa rekomendasi untuk intervensi serupa di masa depan meliputi: (1) perpanjangan jeda antar sesi agar peserta dapat memproses dan menerapkan pembelajaran lebih mendalam. Kemudian (2) pemberian tugas untuk mengaplikasikan pembelajaran di rumah selama jeda antar sesi. Lalu (3) intervensi dapat lebih fokus pada satu keterampilan, terlebih jika waktu pelaksanaan intervensi terbatas. SIMPULAN Dari hasil perbandingan asesmen pra dan pasca intervensi, disimpulkan bahwa intervensi ini belum terbukti efektif untuk menurunkan kecemasan melalui penurunan tingkat disregulasi emosi. Walaupun terdapat penurunan yang terjadi dalam tingkat kecemasan sesuai dengan target intervensi, penurunan tingkat disregulasi emosi masih belum mencapai target. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kemampuan disregulasi emosi secara keseluruhan bukanlah satusatunya hal yang memengaruhi penurunan tingkat kecemasan siswa. Hal ini berkaitan dengan waktu pelaksanaan intervensi yang tergolong cukup padat yaitu sebanyak lima 199 Jurnal Diversita, 10 (2) Desember 2024: 190-201. kali pertemuan yang dilakukan selama rentang dua minggu. Namun begitu, terlihat penurunan yang lebih signifikan pada pengukuran follow-up satu bulan pasca intervensi. Hal ini semakin mengindikasikan bahwa pelatihan yang dilakukan memerlukan waktu bagi peserta untuk memproses dan menerapkan terlebih dahulu apa yang telah diajarkan pada kehidupan sehari-harinya untuk intervensi bisa berdampak secara lebih optimal. DAFTAR PUSTAKA Agarwal, S., Srivastava, R., Jindal, M., & Rastogi, P. (2020). Study of Adolescent Stage and Its Impacts on Adolescents. European Journal of Molecular & Clinical Medicine, 7(6), 1369– 1375. Aldao, A., & Plate, A. J. (2018). Coping and emotion regulation. In S. C. Hayes & S. G. Hofmann (Eds.), Process-based CBT: The science and core clinical competencies of cognitive behavioral therapy (pp. 261–271). New Harbinger Publications, Inc. Association, A. P. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th ed. American Psychiatric Association. Christensen, L. B. (2007). Experimental methodology. Pearson/Allyn & Bacon. Dughi, T. S., Demeter, E., & Vancu, G. S. (2020). Perceived social support and Anxiety: A correlational analysis. Journal plus Education, 26(1), 287–295. Dumitrescu, S. (2015). Characteristics of adolescent emotional development. Romanian Journal of Cognitive Behavioral Therapy and Hypnosis, 2(4). Dumornay, N. M., Finegold, K. E., Chablani, A., Elkins, L., Krouch, S., Baldwin, M., Youn, S. J., Marques, L., Ressler, K. J., & MorelandCapuia, A. (2022). Improved emotion regulation following a trauma-informed CBT-based intervention associates with reduced risk for recidivism in justiceinvolved emerging adults. Frontiers in Psychiatry, 13. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2022.951429 Ezhumalai, S., Muralidhar, D., Dhanasekarapandian, R., & Nikketha, B. S. (2018). Group Interventions. Indian Journal 200 of Psychiatry, 60(4), S514–S521. https://doi.org/10.4103/psychiatry.IndianJP sychiatry_42_18 Garcia, I., & O’Neil, J. (2020). Anxiety in Adolescents. The Journal for Nurse Practitioners. https://doi.org/10.1016/j.nurpra.2020.08.021 Gross, J. J. (Ed.). (2014). Handbook of emotion regulation. Guilford. Jannah, D. S. M., & Setiyowati, N. (2024). Mindfulness and Anxiety in Adolescents: Systematic Literature Review Based on Big Data. Bulletin of Counseling and Psychotherapy, 6(1). https://doi.org/10.51214/00202406835000 Kok, R. (2020). Emotion Regulation. In V. ZeiglerHill & T. K. Shackelford (Eds.), Encyclopedia of Personality and Individual Differences. Springer, Cham. https://doi.org/10.1007/978-3-319-246123_811 Kozubal, M., Szuster, A., & Wielgopolan, A. (2023). Emotional regulation strategies in daily life: the intensity of emotions and regulation choice. Frontiers in Psychology, 14. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2023.1218694 Kumar, K. (1999). Research Methods in Library Science (2nd, Ed.). HarAnand. Marotz, L. R., & Allen, K. E. (2022). Developmental Profiles: Pre-Birth Through Adolescence. Cengage Learning. Masten, C. L., Eisenberger, N. I., Borofsky, L. A., Pfeifer, J. H., McNealy, K., Mazziotta, J. C., & Dapretto, M. (2009). Neural Correlates of Social Exclusion During Adolescence: Understanding the Distress of Peer Rejection. Social Cognitive and Affective Neuroscience, 4(2), 143–157. https://doi.org/10.1093/scan/nsp007 McGlinchey, E., Kirby, K., McElroy, E., & Murphy, J. (2021). The Role of Emotional Regulation in Anxiety and Depression Symptom Interplay and Expression among Adolescent Females. Journal of Psychopathology and Behavioral Assessment, 48. https://doi.org/10.1007/s10862-021-09883-2 Moore, R., Gillanders, D., & Stuart, S. (2022). The Impact of Group Emotion Regulation Interventions on Emotion Regulation Ability: A Systematic Review. Journal of Clinical Medicine, 11(9), 2519. https://doi.org/10.3390/jcm11092519 Nugroho, E., Nisa, A. A., Cahyati, W. H., & Najib. (2023). Perception, mental health, and social media exposure on adolescents in Indonesia during COVID-19 pandemic. Khairunnisa, R. F. & Boediman, L. M., Dampak Pelatihan Regulasi Emosi Menggunakan Pendekatan Terapi Journal of Pharmacy & Pharmacognosy Research, 11(3), 426–436. https://doi.org/10.56499/jppres22.1560_11.3. 426 Ogundele, M. O. (2018). Behavioural and emotional disorders in childhood: A brief overview for paediatricians. World Journal of Clinical Pediatrics, 7(1), 9–26. https://doi.org/10.5409/wjcp.v7.i1.9 Rowland, G., Hindman, E., & Hassmén, P. (2023). Do Group Mindfulness-Based Interventions Improve Emotion Regulation in Children? A Systematic Review. Journal of Child and Family Studies. https://doi.org/10.1007/s10826-023-02544-w Xie, X., Xue, Q., Yu, Z., Zhu, K., Liu, Q., Zhang, J., & Song, R. (2020). Mental Health Status Among Children in Home Confinement During the Coronavirus Disease 2019 Outbreak in Hubei Province, China. JAMA Pediatrics, 174(9), 898–900. https://doi.org/10.1001/jamapediatrics.2020 .1619 201