Uploaded by common.user151772

jurnal

advertisement
Jurnal Diversita, 10 (2) Desember (2024) ISSN 2461-1263 (Print) ISSN 2580-6793 (Online)
DOI: 10.31289/diversita.v10i2.12866
Jurnal Diversita
Available online https://ojs.uma.ac.id/index.php/diversita
Dampak Pelatihan Regulasi Emosi Menggunakan Pendekatan Terapi
Kognitif Perilaku Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Remaja
The Impact of Emotion Regulation Training Using a Cognitive
Behavioral Therapy Approach on Anxiety Levels Among Adolescents
Rania Fakhirah Khairunnisa(1*) & Lia Mawarsari Boediman(2)
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Indonesia
Disubmit: 13 September 2024; Direview: 10 Oktober 2024; Diaccept: 15 November 2024; Dipublish: 04 Desember 2024
*Corresponding author: [email protected]
Abstrak
Masa remaja adalah periode transisi yang ditandai oleh perubahan neurobiologis, hormonal, psikologis,
dan sosial. Tahap kehidupan ini sering membawa gejolak emosional, di mana remaja menghadapi
berbagai perasaan dan pengalaman. Remaja, terutama perempuan, lebih rentan mengalami emosi
negatif, penurunan harga diri, dan perilaku internalisasi seperti kecemasan. Kemampuan regulasi emosi
yang efektif sangat penting untuk mengurangi masalah pada remaja. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk melihat efektivitas pelatihan regulasi emosi berbasis Terapi Kognitif Perilaku (CBT)
untuk meningkatkan kemampuan regulasi emosi dan menurunkan tingkat kecemasan pada remaja.
Penelitian ini melibatkan enam remaja perempuan berusia 14-15 tahun dengan tingkat disregulasi emosi
dan kecemasan sedang hingga berat. Partisipan mengikuti minimal dua dari lima sesi intervensi. Hasil
menunjukkan bahwa terdapat penurunan kecemasan yang signifikan setelah partisipan mengikuti
pelatihan, namun penurunan dalam disregulasi emosi masih belum terhitung signifikan. Dari beberapa
teknik yang diterapkan, teknik mindfulness terbukti membantu partisipan dalam mengelola emosi dan
menurunkan kecemasan. Beberapa rekomendasi lanjutan perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan
keefektifitasan penelitian di kemudian hari.
Kata Kunci: Intervensi Kelompok; Regulasi Emosi; Kecemasan; Cognitive Behavioral Therapy.
Abstract
Adolescence is a transitional period marked by neurobiological, hormonal, psychological, and social
changes. This stage of life often brings emotional turbulence, with adolescents facing a variety of feelings
and experiences. Adolescents, particularly females, are more susceptible to experiencing negative emotions,
lower self-esteem, and internalizing behaviors such as anxiety. Effective emotional regulation is crucial for
addressing these issues in adolescents. Therefore, this study aims to evaluate the effectiveness of Cognitive
Behavioral Therapy (CBT)-based emotional regulation training in enhancing emotional regulation skills
and reducing anxiety levels in adolescents. The study involved six female adolescents aged 14-15 with
moderate to severe emotional dysregulation and anxiety. Participants attended at least two of the five
intervention sessions. Results showed a significant reduction in anxiety after the training, although the
reduction in emotional dysregulation was not statistically significant. Among the various techniques
applied, mindfulness techniques proved to be effective in helping participants manage their emotions and
reduce anxiety. Further recommendations are needed to improve the effectiveness of future research.
Keywords: Group Intervention; Emotion Regulation; Anxiety; Cognitive Behavioral Therapy.
How to Cite: Khairunnisa, R. F. & Boediman, L. M. (2024), Dampak Pelatihan Regulasi Emosi
Menggunakan Pendekatan Terapi Kognitif Perilaku Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Remaja, Jurnal
Diversita, 10 (2): 190-201.
190
Khairunnisa, R. F. & Boediman, L. M., Dampak Pelatihan Regulasi Emosi Menggunakan Pendekatan Terapi
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa
transisi yang dapat menyebabkan individu
merasakan kebingungan dan ketidakpastian dalam dirinya karena beberapa
perubahan yang terjadi (Marotz & Allen,
2022). Masa remaja adalah periode penting
dalam perkembangan manusia yang
ditandai oleh perubahan neurobiologis,
hormonal, psikologis, dan sosial (Agarwal
et al., 2020; Agam et al., 2015; Krapi et al.,
2015). Pada masa ini, individu mengalami
peningkatan kesadaran diri yang dapat
menyebabkan
keraguan
dalam
menempatkan diri. Remaja juga dihadapi
oleh berbagai perasaan dan pengalaman
yang semakin beragam, baik dalam konteks
positif maupun negatif. Dalam masa ini,
suatu hal baru yang dihadapi oleh remaja,
terutama dalam konteks yang negatif dapat
terasa sebagai suatu hal yang berat (Marotz
& Allen, 2022).
Dalam
masa
perkembanganya,
remaja sangat mungkin akan bersinggungan dengan masalah yang berkaitan
dengan keluarga, sosial atau pertemanan,
serta masalah individu (Krapi et al., 2015).
Masalah lain yang belakangan ini terjadi
secara global dan dialami oleh semua
individu di dunia ini adalah kemunculan
penyakit Covid-19 yang dalam waktu
singkat merubah situasi di seluruh dunia
menjadi pandemi. Situasi baru tersebut
dengan segala informasi negatif yang
menyertainya tidak dipungkiri memberikan dampak pada kesehatan fisik dan
mental. Situasi ini menyebabkan kepanikan
publik dan tekanan kesehatan mental, yang
menyebabkan individu termasuk remaja
mengalami psikosomatik, kecemasan, dan
stres (Centers for Disease Control and
Prevention, 2020; Nugroho et al., 2023; Xie
et al., 2020).
Tugas utama dari perkembangan
remaja adalah membentuk rasa identitas
yang realistis dan koheren. Pada fase ini,
remaja sudah mulai memiliki kemampuan
kognitif untuk secara sadar memilah siapa
mereka dan apa yang membuat mereka
unik. Hal ini juga berkaitan dengan
bagaimana ia memandang dan menilai
dirinya beserta atribut-atribut yang
dimilikinya (Dumitrescu, 2015). Namun
begitu, pada masa ini individu sangat
rentan dengan pengaruh dari orang tua dan
teman sebaya. Pengaruh-pengaruh ini
dapat secara langsung mengintegrasikan
penilaian individu ke dalam identitas dan
perasaan mereka tentang diri mereka
sendiri (Dumitrescu, 2015).
Dibandingkan dengan orang dewasa,
remaja lebih rentan untuk mengalami
emosi negatif dengan intensitas yang lebih
besar. Remaja juga melaporkan mengalami
suasana hati negatif lebih sering daripada
orang dewasa, terutama pada awal masa
remaja, dimana perasaan harga diri
cenderung sedikit menurun. Namun jika
dibandingkan, anak perempuan cenderung
memiliki self esteem yang lebih rendah
daripada anak laki-laki (Dumitrescu,
2015). Hal ini dikarenakan pertemanan di
antara anak perempuan ditandai oleh
keintiman yang lebih besar, pengungkapan
diri, empati, saling ketergantungan,
kepedulian, dan pembicaraan mendalam
tentang masalah dan ketakutan. Di sisi lain,
laki-laki umumnya berinteraksi dalam
kelompok persahabatan yang lebih besar
dengan
fokus
pada
kebersamaan,
persaingan, aktivitas berisiko, kegembiraan, dan upaya pengendalian langsung.
Gaya respons emosional yang berbeda ini
191
Jurnal Diversita, 10 (2) Desember 2024: 190-201.
dapat membuat anak perempuan lebih
rentan terhadap self esteem yang rendah
serta depresi (terutama setelah peristiwa
hubungan yang negatif), tetapi melindungi
mereka dari perilaku eksternal (misalnya,
agresi, kecerobohan (Agam et al., 2015).
Berbagai macam perubahan pada
masa remaja seringkali membuat remaja
menjadi pemurung, tidak komunikatif,
sering berdebat, dan impulsif. Hal tersebut
terjadi dikarenakan masa transisi ini
merupakan masa yang sulit (Agarwal et al.,
2020). Salah satu masalah yang umum
terjadi pada masa remaja adalah
kecemasan yang merupakan reaksi tubuh
terhadap
bahaya
yang
dirasakan.
Kecemasan biasanya dianggap sebagai
emosi utama dan umum yang penting
untuk melindungi dan mendukung
kelangsungan hidup individu. Namun,
kecemasan dianggap bermasalah jika
kekhawatiran tersebut sering terjadi,
berintensitas tinggi, dan persisten. Hal ini
dapat menyebabkan stres atau disfungsi
yang signifikan dalam kehidupan seharihari (Association, 2013). Kecemasan yang
tidak terdiagnosis dan tidak diobati dapat
mengganggu perkembangan psikologis
normal dan menyebabkan beban yang
signifikan pada kualitas hidup dan
kesejahteraan individu (Garcia & O’Neil,
2020).
Kecemasan tidak hanya terkait
dengan keterbatasan dalam fungsi anakanak seperti hubungan sosial yang buruk,
kinerja akademis yang rendah, dan harga
diri yang rendah, tetapi gangguan ini juga
dapat
berdampak
negatif
pada
perkembangan emosional dan sosial
jangka panjang. Kecemasan dan depresi
pada masa kanak-kanak merupakan
prediktor penting dari psikopatologi di
masa dewasa. Ketika tidak diobati,
kecemasan dan depresi pada masa
cenderung memburuk (Ogundele, 2018).
Studi sebelumnya tentang masalah
emosional di kalangan siswa sekolah
menengah
umum
di
Semarang
mengungkapkan perbedaan gender di
mana remaja laki-laki dilaporkan lebih
cenderung melakukan perilaku melanggar
aturan dan perilaku eksternal, sedangkan
remaja perempuan lebih cenderung
melaporkan perilaku internalisasi (Edidati,
2015). Diasumsikan bahwa remaja di
sekolah menengah dan remaja yang belajar
di tingkat perguruan tinggi/universitas
menghadapi tantangan dan harapan yang
berbeda. Remaja sebagai siswa sekolah
menengah menghadapi harapan sosial
yang kuat untuk lulus ujian nasional yang
sering
menyebabkan
kecemasan,
sedangkan remaja sebagai mahasiswa
harus mengatasi penyesuaian akademik
serta sosial yang sering kali membawa
perjuangan emosional. Oleh karena itu,
kemampuan seseorang dalam meregulasi
emosinya menjadi penting dalam hal
menghadapi kecemasan.
Regulasi emosi adalah keterampilan
terapeutik penting yang harus dipelajari
oleh individu yang memiliki respons
emosional yang meningkat atau kesulitan
mengatasi emosi mereka. Regulasi emosi
merupakan proses di mana individu
memodifikasi durasi atau intensitas emosi
mereka untuk merespons tantangan
lingkungan dengan sebaik-baiknya (Aldao
& Plate, 2018). Regulasi emosi mengacu
pada proses sadar atau tidak sadar dalam
memantau, mengevaluasi, memodulasi,
dan mengelola pengalaman emosional
serta ekspresi emosi dalam hal intensitas,
bentuk, dan durasi perasaan, keadaan
192
Khairunnisa, R. F. & Boediman, L. M., Dampak Pelatihan Regulasi Emosi Menggunakan Pendekatan Terapi
fisiologis yang terkait dengan emosi, dan
perilaku (Kok, 2020). Individu secara
emosional harus memiliki kemampuan
adaptif yang akan berdampak kepada
kesehatan fisik dan mental, kualitas hidup,
serta fungsi seseorang. Regulasi emosi
yang efektif merupakan faktor yang dapat
menahan depresi, berkorelasi dengan
efisiensi kerja, kepuasan hubungan, dan
kesejahteraan yang umum dirasakan
(Kozubal et al., 2023). Hal ini juga
merupakan mekanisme yang mungkin
dapat menjelaskan bagaimana gejala
kecemasan dan depresi pada masa remaja
saling terhubung, berlanjut, dan pada
akhirnya berbeda satu sama lain
(McGlinchey et al., 2021).
Individu biasanya memodulasi reaksi
mereka melalui berbagai strategi regulasi
(Kozubal, et al, 2023). Regulasi dapat
diperkenalkan pada tahap apa pun dalam
proses emosional, baik sebelum atau
setelah terjadinya respons emosional. Ini
membedakan antara strategi antisipatif
dan strategi yang terkait dengan respons
emosional itu sendiri. Menurut model
Gross, ada lima kelompok strategi regulasi
emosi, yaitu pemilihan situasi, modifikasi
situasi, pengalihan perhatian, perubahan
kognitif, dan modulasi respon (Gross,
2014).
Karena karakteristik dan beberapa
isu pada remaja yang sudah dijelaskan,
maka intervensi yang menyasar kepada
kemampuan regulasi emosi remaja untuk
mengatasi kecemasan agar tidak berkembang menjadi suatu hal yang serius
menjadi sangat penting. Namun demikian,
sampai saat ini mayoritas dari intervensi
yang telah dilakukan menyasar kepada
kelompok populasi dewasa dan belum
banyak menyasar pada populasi remaja
(Moore et al., 2022).
Kemampuan regulasi emosi dapat
ditingkatkan, setidaknya dalam jangka
pendek, melalui intervensi kelompok
regulasi emosi. Salah satu intervensi yang
telah terbukti berdampak signifikan dalam
proses regulasi emosi adalah Mindfulness
based intervention (MBI) dalam kelompok
yang telah terbukti efektif dalam
meningkatkan regulasi perhatian dan
kesadaran tubuh, yaitu keterampilan yang
diperlukan untuk regulasi emosi yang
efisien (Rowland et al., 2023).
Disamping itu beberapa intervensi
yang menggunakan Cognitive Behavioral
Therapy telah banyak terbukti efektif
dalam meningkatkan kemampuan regulasi
emosi. Intervensi dengan pendekatan CBT
ini umumnya terdiri dari empat rangkaian.
Namun begitu, beberapa intervensi tidak
membutuhkan
keseluruhan
empat
rangkaian ini, namun hanya beberapa
rangkaian sesuai dengan kebutuhan.
Rangkaian pertama dari CBT yang
berkaitan dengan regulasi emosi adalah (1)
mindfulness, yang merupakan komponen
utama dalam CBT untuk regulasi emosi.
Mindfulness mengajarkan individu untuk
mengidentifikasi emosi dan mengontrol
secara kognitif untuk tidak terfokus pada
cara berpikir yang hanya meningkatkan
perasaan kewalahan. Rangkaian kedua
yaitu (2) distress tolerance, yang
merupakan cara untuk mengajarkan
individu menerima dan mengolah emosi
yang tidak nyaman, alih-alih menghindari
atau tidak mengakuinya. Rangkaian ketiga
yaitu (3) emotion regulation training, yang
mengajarkan individu bagaimana caracara yang bisa dilakukan untuk
mengurangi kerentanan terhadap dampak
193
Jurnal Diversita, 10 (2) Desember 2024: 190-201.
emosi negatif dan memodulasi emosi
ketika sudah menjadi intens. Kemudian
rangkaian yang terakhir adalah (4)
interpersonal
effectiveness,
yang
menekankan kepada bagaimana individu
dapat
membangun
lingkungan
interpersonal
yang
sehat
untuk
membantunya memiliki regulasi emosi
yang sehat (Cognitive Behavioral Therapy
Los Angeles, n.d.).
Intervensi dengan pendekatan CBT
berkontribusi
pada
peningkatan
kewaspadaan emosi seseorang, yang mana
adalah aspek yang sangat penting dalam
proses regulasi emosi. Dengan meningkatnya kewaspadaan individu kepada
emosinya, perilaku yang ditampilkan
menjadi lebih terarah, jelas, serta individu
dapat lebih menahan impulsnya sehingga
menurunkan level distres yang dimilikinya,
salah satunya dalam hal kecemasan
(Dumornay et al., 2022).
Salah satu metode yang terbukti
dapat
membantu
individu
dengan
permasalahan emosional merupakan
intervensi berbasis kelompok. Intervensi
kelompok adalah metode penanganan di
mana orang-orang dengan permasalahan
yang serupa ditempatkan dalam sebuah
kelompok, di bawah bimbingan satu atau
lebih terapis, dengan tujuan membantu
individu mengubah diri mereka. Intervensi
kelompok ini dapat membantu individu
meningkatkan kemampuan sosial mereka
melalui pengalaman kelompok yang
terarah dan mengimplementasikannya
untuk
mengatasi
masalah
pribadi,
kelompok, atau komunitas dengan lebih
efektif (Ezhumalai et al., 2018). Oleh
karena
itu,
pelatihan
ini
akan
menggunakan
metode
intervensi
kelompok menggunakan pendekatan CBT
dengan rangkaian (1) mindfulness, (2)
distress tolerance, dan (3) emotion
regulation training untuk meningkatkan
regulasi emosi dan menurunkan tingkat
kecemasan pada remaja.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
kuasi eksperimental dengan desain pre dan
post-test satu kelompok (Kumar, 1999).
Penelitian kuasi eksperimental adalah
penelitian
yang
bertujuan
untuk
memanipulasi suatu variabel tanpa adanya
kontrol ketat terhadap faktor eksternal
dari subjek atau partisipan yang dapat
mempengaruhi hasil (Christensen, 2007).
Pada penelitian ini, peneliti tidak
memberlakukan adanya kelompok kontrol
dan randomisasi. Perlakuan yang akan
diberikan pada penelitian ini adalah
pemberian Intervensi Regulasi Emosi
berbasis teknik Cognitive-BehavioralTherapy untuk menurunkan tingkat
kecemasan
dengan
meningkatkan
kemampuan regulasi emosi. Untuk
mengetahui efektivitas teknik tersebut,
peneliti
membandingkan
keadaan
partisipan sebelum dan sesudah intervensi
dilaksanakan. Selain itu, diadakan juga
follow-up untuk melihat apakah efek dari
intervensi yang telah dilakukan memiliki
dampak yang bertahan.
Partisipan dari penelitian ini terdiri
dari enam orang siswa kelas 2 Sekolah
Menengah Pertama di salah satu SMP di
Jakarta. Seluruh partisipan berjenis
kelamin perempuan dan berusia 14-15
tahun pada saat intervensi dilakukan.
Karakteristik dari partisipan penelitian
adalah memiliki tingkat disregulasi emosi
dan tingkat kecemasan yang sedang
sampai berat.
194
Khairunnisa, R. F. & Boediman, L. M., Dampak Pelatihan Regulasi Emosi Menggunakan Pendekatan Terapi
Partisipan intervensi kelompok akan
diberikan alat ukur DERS-SF untuk
mengetahui tingkat kesulitan remaja dalam
mengelola emosi. Alat ukur ini memiliki 18
item dengan skala likert dengan rentang
jawaban 1 (tidak pernah), 2 (jarang), 3
(kadang-kadang), 4 (sering), 5 (selalu).
Skoring DERS-SF dilakukan dengan
menjumlahkan nilai skor seluruh item,
dengan tiga item dalam subskala
awareness dikoding secara reverse (1,4,6).
Skala DERS-SF memiliki konsistensi
internal yang baik yaitu 0.88 (Fiartri,
2020). Partisipan yang memperoleh skor
total ≤36 termasuk kategori normal, 37-43
termasuk memiliki masalah disregulasi
emosi ringan, 44-49 termasuk mengalami
disregulasi emosi menengah, dan ≥50
termasuk mengalami disregulasi emosi
berat (Burton, et al., 2021).
Alat ukur Depression Anxiety Stress
Scales 21 (DASS 21) juga diberikan untuk
mengukur dimensi kecemasan, stres, dan
depresi. Alat ukur DASS yang dipakai
adalah alat ukur yang sudah diadaptasi
dalam bahasa Indonesia oleh Putra (2013).
Pada penelitian ini, peneliti hanya
menggunakan item dimensi kecemasan.
Jumlah item yang digunakan dari alat ukur
ini berjumlah 7 item. Nantinya partisipan
akan diminta untuk menilai seberapa
sering mereka mengalami hal-hal yang
disebutkan pada setiap pernyataan dalam
skala 0-3 dari tidak pernah sampai hampir
setiap saat.
Partisipan yang mendapatkan skor
dimensi kecemasan dalam rentang total 07 memiliki kondisi kecemasan normal, skor
8-9 menandakan individu mengalami
kecemasan ringan, skor 10-14 menandakan individu mengalami kecemasan
sedang, skor 15-19 menandakan individu
mengalami kecemasan parah, dan skor
lebih dari 20 menandakan individu
mengalami kecemasan yang sangat parah.
Selain
itu,
partisipan
yang
mendapatkan skor dimensi stres dalam
rentang total 0-14 memiliki kondisi stres
normal, skor 15-18 menandakan individu
mengalami stres ringan, skor 19-25
menandakan individu mengalami stres
sedang, skor 26-33 menandakan individu
mengalami stres parah, dan skor lebih dari
34 menandakan individu mengalami stres
yang sangat parah (Putra, 2013).
Intervensi yang diberikan kepada
siswa dimulai dengan tahapan persiapan
berupa need assessment kepada calon
partisipan penelitian pada Sekolah
Menengah Pertama X. Proses ini dilakukan
untuk mellihat kebutuhan yang ada pada
populasi tersebut, agar intervensi yang
dilakukan tepat saasaran. Need assessment
dilakukan
dengan
survey
melalui
kuesioner singkat, wawancara dengan
guru, dan focused group discussion dengan
siswa. Dari hasil need assessment tersebut,
didapatkan bahwa banyak dari siswa
memiliki kesulitan dalam regulasi emosi
dan
berpengaruh
pada
hubungan
pertemanan, keluarga, serta kondisi
internal seperti kecemasan.
Dari
hasil
need
assessment,
diputuskan untuk dilakukannya Intervensi
Regulasi
Emosi
berbasis
Cognitive
Behavioral Therapy. Intervensi ini terdiri
dari lima sesi pelatihan yang berlangsung
selama 1,5-3 jam per sesinya. Pada modul
intervensi ini, partisipan diberikan
kemampuan dalam regulasi emosi mulai
dari mengenal dan memahami emosi,
mengelola, serta mengekspresikan emosi.
Rincian dari modul yang digunakan pada
sesi intervensi adalah sebagai berikut:
195
Jurnal Diversita, 10 (2) Desember 2024: 190-201.
Sesi 1
Sesi 2
Sesi 3
Sesi 4
Sesi 5
dilaksanakan. Kemudian follow up
dilakukan satu bulan setelah sesi terakhir
intervensi. Post-test dan follow up
dilakukan dengan metode dana kuesioner
yang sama seperti pada saat pre-test.
Analisis data dilakukan dengan
metode analisis inspeksi visual dengan
melihat grafik perbandingan kondisi
sebelum dan sesudah dilakukannya
intervensi (Goodwin & Goodwin, 2017).
Seni Memahami dan Menyadari Emosi
Kegiatan 1: Identifying and rating
emotion intensity.
Kegiatan 2: Emotion triggers.
Kegiatan 3: Multiple emotions.
Kegiatan 4: Positive emotions.
Kegiatan 5: Summary of why emotion is
important.
Kegiatan 6: Finger breathing mindfulness
technique
Mengelola Emosi: Memenuhi Kebutuhan
Dasar dan Respon Emosi Adaptif
Kegiatan 1: Emotion check in.
Kegiatan 2: Basic Need Survey.
Kegiatan 3: Adaptive and Maladaptive
response.
Kegiatan 4: Emotion affect our body
Kegiatan 5: Body scan mindfulness
techniques
Mengelola Emosi: Meningkatkan Emosi
Positif
Kegiatan 1: Emotion check in.
Kegiatan 2: Dopamine menu.
Kegiatan 3: Safety hands.
Kegiatan 4: Safety place mindfulness
technique.
Menggunakan Pikiran untuk Mengelola
Perasaan
Kegiatan 1: Body scan mindfulness
technique.
Kegiatan 2: Emotion check in.
Kegiatan 3: Expressing negative thoughts.
Kegiatan 4: Anxiety box.
Kegiatan 5: Thought triangle.
Kegiatan 6: Cognitive restructuring.
Kegiatan 6: Play dough mindfulness
technique.
Kegiatan 6: Affirmation stock.
Mengekspresikan Emosi
Kegiatan 1: Finger breathing mindfulness
technique.
Kegiatan 2: Emotion check in.
Kegiatan 3: Sharing feelings.
Kegiatan 4: Art journaling.
Kegiatan 5: Pass the compliment.
Kegiatan 6: Motivation plane.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Partisipan penelitian ini merupakan
enam orang remaja perempuan berusia 1415 tahun yang memiliki tingkat disregulasi
emosi dan kecemasan sedang sampai
dengan berat. Partisipan penelitian
mengikuti minimal dua dari lima sesi
intervensi yang diadakan. Berikut ini
merupakan gambaran dari kondisi
partisipan sebelum mengikuti intervensi:
Tabel 1. Gambaran kondisi partisipan sebelum mengikuti
pelatihan
Proses intervensi juga meliputi
pelaksanaan pre-test, post-test, dan follow
up kepada partisipan. Pre-test dilakukan
satu minggu sebelum waktu pelatihan,
dengan memberikan kuesioner DASS-21
dan DERS-SF kepada partisipan untuk
menilai tingkat kecemasan dan disregulasi
emosi yang dimilikinya. Post-test dilakukan
sesaat setelah sesi terakhir selesai
Inisial
Usia
SDA
KSK
NPA
GA
NRS
MMY
14
15
15
15
14
15
Jumlah
pertemuan
yang diikuti
5
4
4
2
2
2
Kecemasan
Pre-test
16 Berat
18 Berat
16 Berat
16 Berat
18 Berat
14 Sedang
Disregulasi
emosi
Pre-test
53 Berat
47 Sedang
54 Berat
68 Berat
60 Berat
62 Berat
Penelitian ini melibatkan enam
remaja perempuan berusia 14-15 tahun
yang memiliki tingkat disregulasi emosi
dan kecemasan yang tergolong sedang
hingga berat. Semua partisipan mengikuti
minimal dua dari lima sesi intervensi yang
diselenggarakan, dengan jumlah pertemuan yang bervariasi. Sebelum intervensi
dilakukan, kondisi partisipan dinilai
menggunakan kuesioner untuk mengukur
kecemasan dan disregulasi emosi. Hasil
pre-test menunjukkan bahwa sebagian
besar partisipan mengalami kecemasan
196
Khairunnisa, R. F. & Boediman, L. M., Dampak Pelatihan Regulasi Emosi Menggunakan Pendekatan Terapi
dan disregulasi emosi dalam kategori
berat.
Setelah pelaksanaan intervensi, hasil
post-test menunjukkan perubahan yang
beragam di antara partisipan. Dari enam
partisipan, tiga di antaranya (GA, NRS,
MMY) mengalami penurunan tingkat
disregulasi
emosi,
sementara
dua
partisipan lainnya (KSK dan NPA) justru
menunjukkan
peningkatan
dalam
disregulasi emosi, dan satu partisipan
(SDA) tidak mengalami perubahan sama
sekali. Secara keseluruhan, terdapat
penurunan tingkat disregulasi emosi
sebesar 10,3%, yang menunjukkan bahwa
intervensi belum memberikan perubahan
signifikan terhadap kemampuan regulasi
emosi peserta.
Di sisi lain, hasil yang lebih positif
terlihat pada aspek kecemasan. Hampir
semua partisipan mengalami penurunan
skor kecemasan setelah mengikuti intervensi, kecuali SDA yang tidak mengalami
perubahan. Secara keseluruhan, penurunan tingkat kecemasan mencapai 24,5%,
menunjukkan adanya dampak yang
signifikan dari intervensi terhadap
kecemasan partisipan meskipun belum
sepenuhnya berdampak pada kemampuan
regulasi emosi mereka.
Tabel 2. Perbandingan Skor Peserta Sebelum dan
Sesudah Intervensi
Kecemasan
Disregulasi Emosi
Pre-test
Post-test
16
16
Berat
Berat
18
14
Berat
Sedang
16
8
Berat
Sedang
16
8
Berat
Sedang
18
16
Berat
Berat
14
12
Sedang
Sedang
Persentase Penurunan
-24,5%
Pre-test
53
Berat
47
Sedang
54
Berat
68
Berat
60
Berat
62
Berat
Post-test
53
Berat
58
Berat
55
Berat
60
Berat
47
Sedang
35
Sedang
Grafik 1. Perbandingan Skor Disregulasi Peserta
Sebelum dan Sesudah Intervensi
Grafik 2. Perbandingan Skor Kecemasan Sebelum
dan Sesudah Intervensi
Setelah
intervensi
selesai
dilaksanakan, dilakukan proses tindak
lanjut (follow-up) satu bulan setelah sesi
terakhir untuk melihat keberlanjutan
dampak intervensi. Hasil tindak lanjut
menunjukkan
bahwa
pada
aspek
disregulasi emosi, seluruh partisipan
mengalami penurunan yang lebih besar
dibandingkan dengan hasil post-test,
dengan rata-rata penurunan sebesar 19%.
Pada aspek kecemasan, semua partisipan
menunjukkan penurunan skor yang lebih
signifikan dibandingkan dengan hasil posttest, dengan total penurunan mencapai
37%. Ini menunjukkan bahwa dengan
berjalannya waktu, intervensi memberikan
dampak yang lebih positif, terutama pada
aspek kecemasan, yang semakin berkurang
seiring waktu setelah pelatihan.
-10,3%
197
Jurnal Diversita, 10 (2) Desember 2024: 190-201.
Tabel 4. Perbandingan Hasil Skor Peserta Sebelum,
Sesudah, dan Pada Proses Follow Up Dampak
Intervensi
Kecemasan
Inisial
Disregulasi emosi
Pre
Post
Follow
-Up
Pre
Post
Follow
-Up
SDA
16
Berat
16
Berat
14
53
Sedang Berat
53
Berat
43
Sedang
KSK
18
Berat
14
Sedang
6
47
58
Normal Sedang Berat
45
Sedang
NPA
16
Berat
8
Sedang
12
54
Sedang Berat
55
Berat
43
Sedang
GA
16
Berat
8
Sedang
6
68
Normal Berat
60
Berat
47
Sedang
NRS
18
Berat
16
Berat
14
60
Sedang Berat
47
Sedang
52
Berat
MMY
14
12
Sedang Sedang
10
62
Sedang Berat
35
Sedang
49
Sedang
-37%
-10,3%
-19%
Persentase Perubahan
-
-24,5%
-
Grafik 3. Grafik Perbandingan Hasil Skor Regulasi
Emosi Peserta Sebelum, Sesudah, dan Pada Proses
Follow Up Dampak Intervensi
Grafik 4. Grafik Perbandingan Hasil Skor
Kecemasan Peserta Sebelum, Sesudah, dan Pada
Proses Follow Up Dampak Intervensi
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa intervensi regulasi emosi yang
dilakukan belum sepenuhnya efektif dalam
meningkatkan kemampuan regulasi emosi
pada remaja perempuan, meskipun
menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
menurunkan
kecemasan.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa terdapat faktor
lain yang mungkin berperan dalam
penurunan kecemasan tersebut, salah
satunya adalah dukungan sosial yang
diperoleh partisipan selama proses
intervensi. Hasil wawancara kualitatif
dengan para partisipan menunjukkan
bahwa mereka merasa lebih nyaman untuk
berbagi cerita dan pengalaman dengan
teman-teman mereka setelah mengikuti
intervensi. Mereka juga merasa bahwa
lingkungan
mereka
menjadi
lebih
mendukung dan menghargai apa yang
mereka sampaikan. Temuan ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Dughi et al. (2020), yang menyatakan
bahwa dukungan sosial berkorelasi negatif
dengan tingkat kecemasan yang dialami
individu.
Selain itu, beberapa partisipan
melaporkan bahwa teknik mindfulness
yang diajarkan dalam intervensi, seperti
mindful breathing, body scan, dan
menciptakan "safe place" dalam pikiran
mereka, sangat membantu mereka untuk
lebih tenang. Hasil ini sesuai dengan
penelitian Jannah & Setiyowati (2024),
yang menyatakan bahwa mindfulness
membantu seseorang untuk lebih fokus
pada kondisi saat ini dan menerima apa
yang terjadi pada dirinya, yang pada
akhirnya dapat mengurangi kecemasan
yang
seringkali
muncul
akibat
kekhawatiran berlebihan terhadap masa
depan.
Jika dilihat secara lebih mendetail,
SDA
merupakan
partisipan
yang
menunjukkan stabilitas, baik dalam hal
disregulasi emosi maupun kecemasan,
198
Khairunnisa, R. F. & Boediman, L. M., Dampak Pelatihan Regulasi Emosi Menggunakan Pendekatan Terapi
meskipun ia mengikuti semua sesi
pelatihan. Hasil wawancara menunjukkan
bahwa meskipun ia merasa senang dapat
berbagi cerita selama sesi, di kehidupan
sehari-hari ia merasa terasing dari
kelompok pertemanannya dan seringkali
merasa tidak didengarkan. Pada masa
remaja, dukungan sosial dari lingkungan
pertemanan merupakan aspek penting
yang dapat membantu individu mengelola
stres dan emosi yang mereka rasakan.
Berdasarkan penelitian Masten et al.
(2009), dukungan sosial yang rendah dapat
meningkatkan risiko individu mengalami
masalah emosional dan meningkatkan
produksi hormon stres, seperti kortisol,
yang berkaitan dengan peningkatan
kecemasan.
Peserta KSK dan NPA, yang
mengalami peningkatan disregulasi emosi
setelah intervensi, melaporkan bahwa
mereka mengalami kelelahan fisik dan
emosional akibat latihan lomba pasukan
pengibar bendera dan konflik di rumah.
KSK menambahkan bahwa ibunya sering
memarahinya, yang membuatnya merasa
marah dan frustrasi. Temuan ini
menggarisbawahi bahwa pada masa
remaja, masalah keluarga dan tekanan
personal dapat menjadi pemicu intensitas
emosi yang lebih tinggi, meskipun emosi
tersebut tidak selalu memperburuk tingkat
kecemasan (Krapi et al., 2015).
Hasil yang paling positif ditunjukkan
oleh GA, NRS, dan MMY, yang mengalami
penurunan signifikan dalam kecemasan
dan disregulasi emosi. Menariknya, mereka
hanya mengikuti dua sesi pelatihan, namun
tetap mendapatkan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan peserta yang
menghadiri lebih banyak sesi. Hal ini
menunjukkan bahwa penerapan teknik-
teknik yang diajarkan dalam sesi, seperti
mindfulness dan berbagi pengalaman
dengan teman-teman, di luar sesi pelatihan
berperan penting dalam meningkatkan
efektivitas intervensi. Ini mendukung
penelitian Moore et al. (2022), yang
menyatakan bahwa pembelajaran yang
diberikan secara bertahap, disertai
penerapan di kehidupan sehari-hari, dapat
memberikan dampak yang lebih signifikan
dibandingkan dengan intervensi yang
diberikan dalam waktu singkat dan intens.
Berdasarkan hasil penelitian ini,
beberapa rekomendasi untuk intervensi
serupa di masa depan meliputi: (1)
perpanjangan jeda antar sesi agar peserta
dapat memproses dan menerapkan
pembelajaran lebih mendalam. Kemudian
(2)
pemberian
tugas
untuk
mengaplikasikan pembelajaran di rumah
selama jeda antar sesi. Lalu (3) intervensi
dapat lebih fokus pada satu keterampilan,
terlebih jika waktu pelaksanaan intervensi
terbatas.
SIMPULAN
Dari hasil perbandingan asesmen pra
dan pasca intervensi, disimpulkan bahwa
intervensi ini belum terbukti efektif untuk
menurunkan
kecemasan
melalui
penurunan tingkat disregulasi emosi.
Walaupun terdapat penurunan yang
terjadi dalam tingkat kecemasan sesuai
dengan target intervensi, penurunan
tingkat disregulasi emosi masih belum
mencapai target. Hal ini mengindikasikan
bahwa tingkat kemampuan disregulasi
emosi secara keseluruhan bukanlah satusatunya hal yang memengaruhi penurunan
tingkat kecemasan siswa. Hal ini berkaitan
dengan waktu pelaksanaan intervensi yang
tergolong cukup padat yaitu sebanyak lima
199
Jurnal Diversita, 10 (2) Desember 2024: 190-201.
kali pertemuan yang dilakukan selama
rentang dua minggu. Namun begitu,
terlihat penurunan yang lebih signifikan
pada pengukuran follow-up satu bulan
pasca intervensi. Hal ini semakin
mengindikasikan bahwa pelatihan yang
dilakukan memerlukan waktu bagi peserta
untuk memproses dan menerapkan
terlebih dahulu apa yang telah diajarkan
pada kehidupan sehari-harinya untuk
intervensi bisa berdampak secara lebih
optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal, S., Srivastava, R., Jindal, M., & Rastogi, P.
(2020). Study of Adolescent Stage and Its
Impacts on Adolescents. European Journal
of Molecular & Clinical Medicine, 7(6), 1369–
1375.
Aldao, A., & Plate, A. J. (2018). Coping and emotion
regulation. In S. C. Hayes & S. G. Hofmann
(Eds.), Process-based CBT: The science and
core clinical competencies of cognitive
behavioral therapy (pp. 261–271). New
Harbinger Publications, Inc.
Association, A. P. (2013). Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders, 5th ed.
American Psychiatric Association.
Christensen, L. B. (2007). Experimental
methodology. Pearson/Allyn & Bacon.
Dughi, T. S., Demeter, E., & Vancu, G. S. (2020).
Perceived social support and Anxiety: A
correlational
analysis.
Journal
plus
Education, 26(1), 287–295.
Dumitrescu, S. (2015). Characteristics of
adolescent
emotional
development.
Romanian Journal of Cognitive Behavioral
Therapy and Hypnosis, 2(4).
Dumornay, N. M., Finegold, K. E., Chablani, A.,
Elkins, L., Krouch, S., Baldwin, M., Youn, S.
J., Marques, L., Ressler, K. J., & MorelandCapuia, A. (2022). Improved emotion
regulation following a trauma-informed
CBT-based intervention associates with
reduced risk for recidivism in justiceinvolved emerging adults. Frontiers in
Psychiatry,
13.
https://doi.org/10.3389/fpsyt.2022.951429
Ezhumalai,
S.,
Muralidhar,
D.,
Dhanasekarapandian, R., & Nikketha, B. S.
(2018). Group Interventions. Indian Journal
200
of
Psychiatry,
60(4),
S514–S521.
https://doi.org/10.4103/psychiatry.IndianJP
sychiatry_42_18
Garcia, I., & O’Neil, J. (2020). Anxiety in
Adolescents. The Journal for Nurse
Practitioners.
https://doi.org/10.1016/j.nurpra.2020.08.021
Gross, J. J. (Ed.). (2014). Handbook of emotion
regulation. Guilford.
Jannah, D. S. M., & Setiyowati, N. (2024).
Mindfulness and Anxiety in Adolescents:
Systematic Literature Review Based on Big
Data.
Bulletin
of Counseling and
Psychotherapy,
6(1).
https://doi.org/10.51214/00202406835000
Kok, R. (2020). Emotion Regulation. In V. ZeiglerHill & T. K. Shackelford (Eds.), Encyclopedia
of Personality and Individual Differences.
Springer,
Cham.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-246123_811
Kozubal, M., Szuster, A., & Wielgopolan, A. (2023).
Emotional regulation strategies in daily life:
the intensity of emotions and regulation
choice. Frontiers in Psychology, 14.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2023.1218694
Kumar, K. (1999). Research Methods in Library
Science (2nd, Ed.). HarAnand.
Marotz, L. R., & Allen, K. E. (2022). Developmental
Profiles: Pre-Birth Through Adolescence.
Cengage Learning.
Masten, C. L., Eisenberger, N. I., Borofsky, L. A.,
Pfeifer, J. H., McNealy, K., Mazziotta, J. C.,
& Dapretto, M. (2009). Neural Correlates of
Social Exclusion During Adolescence:
Understanding the Distress of Peer
Rejection. Social Cognitive and Affective
Neuroscience,
4(2),
143–157.
https://doi.org/10.1093/scan/nsp007
McGlinchey, E., Kirby, K., McElroy, E., & Murphy,
J. (2021). The Role of Emotional Regulation
in Anxiety and Depression Symptom
Interplay and Expression among Adolescent
Females. Journal of Psychopathology and
Behavioral
Assessment,
48.
https://doi.org/10.1007/s10862-021-09883-2
Moore, R., Gillanders, D., & Stuart, S. (2022). The
Impact of Group Emotion Regulation
Interventions on Emotion Regulation
Ability: A Systematic Review. Journal of
Clinical
Medicine,
11(9),
2519.
https://doi.org/10.3390/jcm11092519
Nugroho, E., Nisa, A. A., Cahyati, W. H., & Najib.
(2023). Perception, mental health, and
social media exposure on adolescents in
Indonesia during COVID-19 pandemic.
Khairunnisa, R. F. & Boediman, L. M., Dampak Pelatihan Regulasi Emosi Menggunakan Pendekatan Terapi
Journal of Pharmacy & Pharmacognosy
Research,
11(3),
426–436.
https://doi.org/10.56499/jppres22.1560_11.3.
426
Ogundele, M. O. (2018). Behavioural and
emotional disorders in childhood: A brief
overview for paediatricians. World Journal
of
Clinical
Pediatrics,
7(1),
9–26.
https://doi.org/10.5409/wjcp.v7.i1.9
Rowland, G., Hindman, E., & Hassmén, P. (2023).
Do Group Mindfulness-Based Interventions
Improve Emotion Regulation in Children? A
Systematic Review. Journal of Child and
Family
Studies.
https://doi.org/10.1007/s10826-023-02544-w
Xie, X., Xue, Q., Yu, Z., Zhu, K., Liu, Q., Zhang, J.,
& Song, R. (2020). Mental Health Status
Among Children in Home Confinement
During the Coronavirus Disease 2019
Outbreak in Hubei Province, China. JAMA
Pediatrics,
174(9),
898–900.
https://doi.org/10.1001/jamapediatrics.2020
.1619
201
Download