Uploaded by common.user151196

Kekerasan Psikis dalam KDRT: Kriteria dan Analisis Hukum

advertisement
CRITERIA FOR THE MEANING OF PSYCHIC VIOLENCE CRIME
KRITERIA MAKNA TINDAK PIDANA KEKERASAN PSIKIS
Cornelia Fatikasari Kulumudin
Leonard Eben Ezer Simanjuntak
KEJAKSAAN CORPORATE UNIVERSITY
Abstract
This study aims to determine the criteria for the meaning of criminal acts of
psychological violence in Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of
Domestic Violence. The research method used by the author is normative research
by conducting a review of the laws governing the violence. Acts of Domestic Violence
often occur within the family. Especially psychological violence that is easy to occur
but very difficult to detect. Because psychological violence is considered merely a
spice of marriage and is even considered normal so that outsiders do not deserve to
interfere, even though from this psychological violence it can develop into other
violence. In addition to being against the law, it is also a violation of Human Rights.
Thus, with the existence of Law Number 23 of 2004, the problem of psychological
violence which used to be just a family problem has now changed into a legal
problem and anyone can report to law enforcement officers about cases of
psychological violence without having to be afraid of being considered to be
interfering in other families. Based on the results of this study, it is known that there
is a need for clear regulations regarding psychological violence so as not to cause
multiple interpretations, disparities and misapplication of articles by law
enforcement officers.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai kriteria makna tindak
pidana kekerasan psikis dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Metode penelitian yang
digunakan penulis adalah penelitian normatif dengan melakukan pengkajian
terhadap undang-undang yang mengatur tentang kekerasan tersebut. Tindakan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga seringkali terjadi dalam lingkup keluarga.
Khususnya kekerasan psikis yang mudah saja terjadi tetapi sangat sulit untuk
diketahui. Hal ini dikarenakan kekerasan psikis dianggap sekadar bumbu
perkawinan bahkan dianggap biasa sehingga pihak luar tidak pantas untuk
mencampurinya, padahal dari kekerasan psikis tersebut itulah dapat berkembang
menjadi kekerasan lainnya. Selain melawan hukum, juga suatu pelanggaran Hak
Asasi Manusia. Sehingga, dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004,
persoalan kekerasan psikis yang dahulu hanya sekadar persoalan keluarga
sekarang telah berubah menjadi persoalan hukum dan siapa saja boleh
mengadukan kepada aparat penegak hukum atas kasus-kasus kekerasan psikis
tanpa perlu takut dianggap mencampuri keluarga lain. Berdasarkan hasil
penelitian ini diketahui bahwa perlunya aturan mengenai kekerasan psikis yang
jelas agar tidak menimbulkan multi tafsir, disparitas dan salah penerapan pasal
oleh aparat penegak hukum.
1
2
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hukum adalah salah satu norma yang ada dalam masyarakat. Norma
hukum berbeda dengan norma-norma lain karena memiliki sanksi yang tegas
dan berfungsi menciptakan keteraturan dalam suatu tatanan masyarakat.
Norma hukum lahir dari asas-asas hukum yang kemudian melahirkan aturan
hukum. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyebutkan
Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini mengandung arti bahwa di
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hukum adalah pedoman
dan
urat
nadi
pada
segala
aspek
kehidupan
bernegara
maupun
bermasyarakat.1
Sehingga
Negara
menjamin
segala
perlindungan
hukum
bagi
masyarakatnya. 2 Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
terdapat fungsi dan tujuan negara. 3 Salah satunya adalah jaminan terhadap
hak asasi manusia yang disebutkan pada Pasal 28 B, jaminan tersebut
mencakup hak masyarakat Indonesia untuk membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang
serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 4 Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) tentu mengganggu keharmonisan dan mempengaruhi tumbuh
kembang anak dan tidak sesuai dengan Pasal 28 B. Sedangkan Pasal 28 G
menyebutkan terkait hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.5
Mohammad Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus,
Liberty, Yogyakarta, 2009, Hal. 1.
2 Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
3 Ni’matul Huda, Pengantar Ilmu Negara,Rajawali Pers, Jakarta ,2013,hlm.56-57
4 Pasal 28 B ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
5 Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
1
3
Dalam keluarga, suami dan istri masing–masing memiliki kewajiban dan
hak. Jika terjadi penyimpangan, maka terdapat kekerasan di dalamnya. Salah
satu kemungkinan yang akan terjadi yaitu adanya kekerasan psikis.
Indonesia sebagai Negara hukum memiliki beberapa bidang hukum yang
dianut di dalamnya, salah satu diantaranya yaitu bidang hukum pidana.
Hukum pidana pada dasarnya merupakan serangkaian kaidah hukum tertulis
yang mengatur tentang perbuatan-perbutatan yang dilarang atau tidak boleh
dilakukan, dengan adanya ancaman sanksi-sanksi tertentu yang dapat
dijatuhkan jika perbuatan-perbuatan yang dilarang itu dilakukan. Karena
konsep dasar dari aturan ini adalah setiap orang atau manusia yang
melakukan perbuatan yang dilarang, maka harus mempertanggung jawabkan
atas perbuatannya tersebut. 6
Perbuatan-perbuatan yang merugikan
masyarakat tersebut disebut dengan tindak pidana yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan di luar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Sehingga setiap warga negara wajib memperoleh
kepastian hukum dalam segala aspek, termasuk dalam lingkup hukum Pidana.
Terkait adanya kepastian dalam hukum Pidana di Indonesia, terdapat segala
perbuatan yang dilarang oleh negara dan membawa dampak kerugian bagi
masyarakat lain dikategorikan menjadi sebuah perbuatan pidana.
Untuk mewujudkan kepastian hukum, negara memiliki aturan di luar
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), salah satunya yaitu perundangundangan. Misalnya terkait Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pada undang-undang tersebut terdapat berbagai macam kategori
kekerasan dalam rumah tangga, seperti kekerasan fisik; kekerasan psikis;
kekerasan seksual; atau penelantaran rumah tangga. 7 Dengan uraian
kualifikasi unsur-unsur yang berbeda-beda, namun dalam pelaksanaanya
Setiyono, 2010, Tips Hukum Praktis Menghadapi Kasus Pidana, Jakarta: Raih Asa Sukses, Hal.
10.
7 Pasal 5 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
6
4
terdapat permasalahan tentang hal tersebut, yakni pada kategori perbuatan
tindak pidana kekerasan psikis, kategori unsur atau kualifikasi perbuatan
yang tergolong kekerasan psikis pada pasal tersebut tidak terdapat penjelasan
yang jelas dan kongkrit bagaimana bentuk kekerasan psikis tersebut dan
batasannya sehingga sesorang dapat dijatuhi hukuman sebagaimana
ketentuan pada Pasal 5 huruf b jo Pasal 7 pada undang-undang tersebut,
dengan ancaman pidana pada yang diatur pada Pasal 45 ayat (1).8
Padahal pada Pasal 7 Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga tersebut, secara umum tidak memberikan batasan yang
spesifik seseorang dikatakan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan
psikis berat pada seseorang itu yang seperti apa. Karena hal tersebut
merupakan gangguan kejiwaan yang sulit untuk dibuktikan baik berat
maupun ringannya gangguan kejiwaan/psikis yang dimaksud pada pasal
tersebut tidak jelas wujud atau bentuknya. 9 Adapun sebagaimana dalam
pelaksanaannya hanya berdasarkan keterangan dari psikolog, yaitu hanya
sebatas pada diagnosa saja atau keterangan tanpa dasar yang ilmiah.
Terkait permasalahan ketidakjelasan batasan makna kualifikasi tindak
pidana kekerasan psikis pada Undang-undang Penghapusan KDRT tersebut,
dalam
pelaksanaannya
terjadi
pada
perkara
pidana
No.493/Pid.Sus/2014/PN.Mlg dan perkara pidana No. 466/Pid.Sus/2018/PN
Sim. Padahal dari dua perkara tersebut terdapat unsur perbuatan yang sama,
yaitu kekerasan psikis namun putusannya berbeda. Tentu terdapat
pemahaman yang berbeda oleh majelis hakim mengenai kekerasan psikis,
padahal dalam aturan hukum tidak ada pembeda dalam hal yang dimaksud
kekerasan psikis.
2. Perumusan Masalah
Pasal 45 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga.
9 Pasal 7 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga.
8
5
1. Apa yang menjadi Kriteria Makna Tindak Pidana Kekerasan Psikis
Dalam Undang-Undang KDRT?
2. Bagaimana Ratio Decidendi Hakim Pada Putusan Perkara Pidana
Terkait Kekerasan Psikis?
3. Metode Penelitian
A) Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridisnormatif. Penelitian yuridis normatif secara deduktif dimulai dengan
analisa terhadap pasal pasal dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur terhadap suatu permasalahan. Penelitian hukum
secara yuridis maksudnya, penelitian yang mengacu pada studi
kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang
digunakan. Bersifat normatif berarti tentang hubungan antara suatu
peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam praktiknya.
Penelitian ini peneliti menelaah bahan hukum baik primer maupun
sekunder maupun tersier untuk menjawab permasalahan yang
menjadi fokus penelitian.10
B) Pendekatan Penelitian
1. Pendekatan Perundang-undangan (statue approach) Penelitian ini
menggunakan pendekatan perundang-undangan, suatu pendekatan
perundang-undangan
merupakan
pendekatan
dengan
meneliti
berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral
suatu penelitian. 11 Pada penelitian ini adalah tujuan dari beberapa
pasal terkait pada Undang-undang Republik Indonesia No. 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 4419.
2. Pendekatan Kasus (case approach) Pendekatan kasus dalam
penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan normaZainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika , Jakarta, 2011, hlm 18.
Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing,
Malang, 2005, hlm. 248.
10
11
6
norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.
Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang
dapat dilihat dalam Yurisprudensi terhadap perkara perkara yang
menjadi fokus penelitian. 12 Pada penelitian ini mengambil kasus
tindak
pidana
kekerasan
psikis
dalam
perkara
No.
493/Pid.Sus/2014/PN Mlg dan No. 466/Pid.Sus/2018/PN Sim.
B. PEMBAHASAN
1. Kriteria Makna Tindak Pidana Kekerasan Psikis Dalam UndangUndang KDRT
Kekerasan psikis merupakan suatu tindak melawan hukum yang mana
terhadap pelakunya sudah sepantasnya dikenai sanksi pidana. Selain
merupakan suatu tindak melawan hukum juga merupakan suatu pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM). 13 Tindak pidana psikis dalam sudut pandang
hukum memiliki pengertian sesuai dengan yang termuat dalam Undang–
Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam Pasal 7
disebutkan kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Dalam Kamus
Bahasa Indonesia, kekerasan berasal dari kata keras yang di antara artinya
adalah tidak mengenal belas kasihan, tidak lemah lembut. Sedangkan
kekerasan berarti sifat (hal) keras; paksaan. 14 Mansour Fakih mengartikan
kekerasan dengan serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas
keutuhan mental psikologi seseorang. 15 Sedang kata psikis berarti sesuatu
yang berhubungan dengan kejiwaan. 16 Sementara itu, Kamus Thesaurus
Indonesia memaknai kata psikis dengan dua arti, yang pertama adalah
Ibid, Johnny Ibrahim, hlm. 321.
Resti Arini, Op.cit, hlm. 32.
14 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hlm. 744-745.
15 Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001,
hlm.17.
16 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, hlm.1220.
12
13
7
kejiwaan dan spiritual, yang kedua adalah intelektual, mental, psikologis,
serebral. 17 Dengan demikian, secara etimologi, kekerasan psikis dapat
dipahami sebagai segala bentuk serangan atas mental atau psikologi
seseorang baik dengan perkataan maupun perbuatan. 18 Sedangkan dalam
sudut pandang psikolog, Dr. Elly Yuliandari, M.Si, Psi dan memberikan
pengertian bahwa kekerasan psikis merupakan suatu tindak atau perlakuan
yang tidak menyenangkan, meremehkan, menghina, membatasi, membentuk
atau perbuatan tidak menyenangkan lainnya. Kekerasan psikis ini akan
berdampak pada seseorang yang mengalami, yaitu pada harga diri, kecemasan,
depresi, trauma hingga gangguan jiwa terutama bila dialami secara terus
menerus. Kekerasan psikis terjadi karena hierarki kekuasaan dimana orang
kurang menghargai atau memandang rendah orang lain. Selain itu juga dapat
dipengaruhi oleh budaya, minuman beralkohol, kondisi kejiwaan pelaku, dan
tekanan hidup. Yang dimaksud budaya dalam faktor ini yaitu budaya patriarki
di Indonesia yang cenderung memposisikan bahwa perempuan lebih rendah
daripada laki-laki. Kekerasan psikis dalam sudut pandang psikologi juga tidak
harus disertai dengan kekerasan fisik di dalamnya. Adanya kekerasan psikis
ini bisa dibuktikan dengan Visum et Repertum, yaitu keterangan dokter
spesialis kedokteran jiwa yang berbentuk surat sebagai hasil pemeriksaan
kesehatan jiwa pada seseorang di fasilitas pelayanan kesehatan untuk
kepentingan penegakan hukum.19
Tabel 2.1. Makna Kekerasan Psikis
No.
1.
Perspektif
Ilmu Hukum Pidana
Pengertian
Perbuatan
yang
mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya
Tim Redaksi Thesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Thesaurus Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hlm.388.
18 Hairul Hudaya, Kekerasan Psikis Dalam Rumah Tangga (Perspektif Undang-Undang PKDRT
dan Hadis), Musawa. Vol.16. No.1, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari, Banjarmasin,
hlm. 55.
19 Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.77 tahun 2015
tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan Penegakan Hukum.
17
8
diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/
atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.
2.
Ilmu Psikologi
Suatu tindak atau perlakuan yang
tidak menyenangkan, meremehkan,
menghina, membatasi, membentuk
atau perbuatan tidak menyenangkan
lainnya.
Sumber: Data Primer, diolah, 2021.
Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya
dirumuskan
dalam
peraturan
perundang-undangan
pidana
tentang
perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi.20 Kekerasan
psikis yang diatur dalam Pasal 5 huruf (b) jo Pasal 7 Undang-Undang Nomor
23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
diancam dengan pidana dalam Pasal 45, yang berbunyi: 21
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada pasal 5 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan
penyakit
atau
halangan
untuk
menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau
denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 45, maka kekerasan psikis dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: 22
Moeljatno, Asas – Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 10.
Bambang Hartono, Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Pelapor Selaku
Saksi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal Keadilan Progresif. Volume 5 Nomor 1
Maret 2014, hlm.7.
22 Ibid, hlm.7-8.
20
21
9
a. Kekerasan psikis
Dilihat dari rumusan Pasal 45 ayat (1), maka untuk terbuktinya
kekerasan psikis harus memenuhi unsur-unsur:
(a) setiap orang;
(b) yang melakukan perbuatan kekerasan psikis;
(c) dalam lingkup rumah tangga.
Dengan demikian yang dilarang dalam Pasal 45 ayat (1),
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga jika dihubungkan dengan Pasal 7
UU Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap orang yang
melakukan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
b. Kekerasan psikis ringan
Dilihat dari rumusan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor
23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, maka untuk terbuktinya pasal ini harus terpenuhi unsurunsur:
(a) suami atau istri;
(b) yang melakukan perbuatan kekerasan psikis terhadap suami
istri;
(c) yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari.
Dalam merumuskan suatu tindak pidana kekerasan psikis ini menurut
penulis menggunakan cara materil, sehingga wujud dari perbuatan itu harus
selesai dan menimbulkan akibat. Sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang No.23
Tahun 2004 yang menyatakan bahwa kekerasan psikis adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
10
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.23
Bahwa delik kekerasan psikis dalam rumah tangga pada Pasal 45 UndangUndang No.23 Tahun 2004 dibagi menjadi 2, yaitu: 24
1. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No.23 Tahun 2004 merupakan
delik aduan, karena tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari.
2. Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 2004 adalah delik
biasa, karena perbuatannya menyebabkan atau menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari.
Namun, dalam aturan hukum kekerasan psikis sesuai dengan UndangUndang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga tidak memuat kriteria makna mengenai batasan yang jelas seperti apa.
Demikian halnya pada lembar penjelas undang-undang, tidak menyebutkan
bentuk tindakan yang dikategorikan sebagai tindak kekerasan psikis. 25
Sehingga
menimbulkan
berbagai
kekaburan
norma,
disparitas,
overkriminalisasi, dan salah penerapan pasal oleh aparat penegak hukum.
2. Ratio Decidendi Hakim Pada Putusan Perkara Pidana Terkait
Kekerasan Psikis
1) Ratio
decidendi
hakim
pada
perkara
pidana
No.493/Pid.Sus/2014/PN.Mlg
Dalam kasus ini terdakwa didakwa dengan Pasal 45 ayat 1 UndangUndang Nomor 23 tahun 2004 adalah sebagai berikut : “Setiap Orang yang
melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam 5 huruf b di pidana dengan pidana penjara
Pasal 7 Undang-Undang No.23 Tahun 2004
Pasal 52 jo. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No.23 Tahun 2004.
25 Hairul Hudaya, Loc.cit.
23
24
11
paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak 9.000.000.- (sembilan juta
rupiah).”
Maka perbuatan Terdakwa harus memenuhi unsur - unsur sebagai
berikut :
1. Setiap orang ;
2. Yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dalam pasal 5 huruf b ;
Unsur setiap orang tentu saja terpenuhi, kata “setiap orang“ menunjuk
kepada orang perorangan atau korporasi. Orang perorangan yang dimaksud
disini adalah orang yang mampu bertindak dan bertanggung jawab didalam
hukum. Dalam perkara ini terdakwa adalah orang yang bertindak dan
melakukan perbuatan. Sehingga Majelis berpendirian bahwa unsur “setiap
orang” telah terpenuhi.
Dalam Pasal 5 huruf b, disebutkan terkait kekerasan psikis. Bahwa yang
dimaksud dengan kekerasan psikis dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 23
tahun 2004 adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/
atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Pertimbangan hakim terkait unsur tersebut yaitu:
1. Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan. Bahwa yang dimaksud
dengan Ketakutan adalah emosi yang ditandai dengan menilai akan adanya
ancaman yang membuat seseorang merasa tertekan atau ingin kabur dari hal
tersebut. Sehingga perbuatan yang mengakibatkan ketakutan adalah suatu
perbuatan yang mengakibatkan adanya suatu tanggapan emosi terhadap
ancaman yang membuat seseorang merasa tertekan atau ingin kabur dari hal
tersebut. Bahwa dalam keterangannya korban menjelaskan bahwa korban
sering dimarahi, oleh terdakwa, apa yang dilakukan oleh korban semuanya
salah, terdakwa sering mengeluarkan kata-kata goblok jiancok, ga punya
aturan, hanya bisa tidur, ga bisa apa-apa dan terdakwa menyuruh korban tidur
dengan anjing. Terdakwa menerangkan bahwa korban sangat cerewet, keras
12
kepala dan maunya sendiri. Dari fakta di persidangan baik keterangan
terdakwa dan keterangan korban dan para saksi bahwa yang keluar dari
rumah adalah terdakwa. Dari fakta ini tanpak bahwa keadaan yang dialami
oleh korban bukan karena perbuatan Terdakwa karena orang yang ketakutan
atau yang merasa terancam seharusnya orang yang pergi dari tempat yang
menakutkan bukan orang yang tinggal ditempat yang menakutkan dan hasil
test psikologi berdasrkan tes MMPI tentang keadaan psikologi korban dimana
korban banyak keluhan fisik, juga depresi, banyak menekan perasaan sehingga
menumpuk, korban juga punya rasa curiga, sensitif terhadap pendapat orang
tentang dirinya, selain menjadi kurang bergaul. Korban sudah benar benar
merasa tidak berharga, kurang rasa percaya diri, mudah kecewa, banyak
keluhan, mudah putus asa bukan karena perbuatan Terdakwa semata tetapi
memang karena merupakan dasar kepribadian korban sebagaimana
diterangkan dalam hasil test yang dilakukan oleh ahli Dra.Josina Judiari, Msi
oleh karena itu tidak perbuatan terdakwa yang mengakibatkan ketakutan
pada korban, sehingga Majelis Hakim berkesimpulan sub unsur “perbuatan
yang mengakibatkan ketakutan“ tidak terpenuhi.
2. Hilangnya rasa percaya diri. Bahwa yang dimaksud dengan hilangnya
percaya diri adalah keadaan dalam diri manusia dalam hal ini korban sebagai
akibat dari perasaan-perasaan yang tertekan berupa rendah diri, kurang
pergaulan. Korban juga masih dapat melakukan kerjasama dalam usaha AC,
melakukan komunikasi melalui BBM, dan juga masih mampu melakukan
penarikan. Sehingga saksi korban dianggap mampu bergaul dengan baik dan
dapat melakukan aktifitas seperti biasa. Sehingga menurut Majelis Hakim
korban masih mempunyai kepercaan diri untuk melakukan aktifitas oleh
karena itu sub unsur “ hilangnya percaya diri “ tidak terpenuhi.
3. Hilangnya kemampuan untuk bertindak. Bahwa yang dimaksud dengan
hilangnya kemampuan untuk bertindak adalah tidak ada keleluasan untuk
mendapat haknya. Bahwa korban masih menjalankan aktifitas usaha, tidur
dengan anjing dalam keadaan nyaman, mengambil uang dari bank maka
13
Korban masih mampu melakukan tindakan yang berhubungan dengan
hidupnya
sehingga
sub
unsur
“hilangnya
kemampuan
untuk
bertindak“ tidak terpenuhi.
4. Rasa tidak berdaya. Bahwa bahwa yang dimaksud dengan rasa tidak
berdaya adalah ketidak mampuan dalam berbuat sesuatu. Berdasarkan faktafakta yang terungkap dipersidangan bahwa saksi korban, mampu bertindak
untuk berbuat sesuatu, seperti dalam bukti yang tertera dalam rekaman BBM
saat saksi korban melakukan komunikasi, melakukan penarikan uang, dan
pada saat persidangan saksi korban dapat menjawab dengan penuh semangat.
Sehingga saksi korban masih bisa menjalankan aktifitasnya seperti biasa,
sehingga sub unsur “rasa tidak berdaya“ tidak terpenuhi.
2) Ratio
decidendi
hakim
pada
perkara
pidana
No.
466/Pid.Sus/2018/PN Sim
Bahwa terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum sebagaimana Pasal 45
ayat (1) UU RI. No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
1. Setiap Orang;
2. Melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah
tangga;
Unsur setiap orang. Bahwa pencantuman unsur “setiap orang” sematamata sebagai suatu unsur pasal dengan tujuan mencegah terjadinya kesalahan
mengajukan tentang siapa sebenarnya yang patut dijadikan sebagai terdakwa
di persidangan (error in persona); Menimbang, bahwa berdasarkan
keterangan para saksi di persidangan, keterangan terdakwa, surat perintah
penahanan dan pembenaran terdakwa terhadap pemeriksaan identitasnya
pada sidang pertama sebagaimana termaktub dalam Berita Acara Persidangan
dalam perkara ini dan pembenaran keterangan para saksi membenarkan
bahwa yang sedang diadili di depan persidangan adalah terdakwa yang
dimaksud. Sehingga Majelis berpendirian bahwa unsur “setiap orang” telah
terpenuhi.
14
Unsur melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah
tangga. Bahwa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau penderitaan psikis berat pada
seseorang. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka unsur
“melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga”
telah terpenuhi dalam perbuatan terdakwa. Menurut penulis, alasan
terbuktinya terdakwa melakukan kekerasan psikis ini karena terdakwa teriak
dan marah kepada saksi korban sambil mengatakan “Bujangenam, kontol,
longor kenapa belum mati kau uda berdoa aku tiap malam biar mati kau, harus
mati kau!” Lalu terdakwa juga meninju kepala sebelah kiri saksi korban. Tentu
saja terdakwa melakukan hal yang tidak pantas hingga mengakibatkan saksi
korban menderita post traumatic stress disorder (ptsd). Hal ini diperkuat
dengan Informasi Hasil Asesmen Psikologi Nomor:C.027/EC/YGE/V/2018
tanggal 02 Mei 2018 yang memberikan kesimpulan saksi korban bergejala
instrusif (kenangan yang tidak menyenangkan dan mengganggu yang
bersangkutan secara berulang), suasana hati negatif (amarah, benci, dan sedih
pada suami dan konflik yang dialami), sering menghayal (pandangan kosong),
perilaku menghindar pada hal-hal yang berkaitan dengan sumber stress
(dalam hal ini suami), serta gejala arousal atau emosi terbangkitkan (kesulitan
tidur jika mengenang masalah dan konsentrasi menurun).
C. KESIMPULAN
1. Bahwa kekerasan psikis dalam ilmu hukum adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
15
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada
seseorang. Sedangkan kriteria makna kekerasan psikis dalam perspektif ilmu
psikologi yaitu suatu tindak atau perlakuan yang tidak menyenangkan,
meremehkan, menghina, membatasi, membentuk atau perbuatan tidak
menyenangkan lainnya. Kekerasan psikis akan memberi dampak pada harga
harga diri, kecemasan, depresi, trauma hingga gangguan jiwa.
2. Pada putusan perkara pidana No. 493/Pid.Sus/PN Mlg, terdakwa diputus
bebas yang artinya kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti. Dengan pertimbangan karena tidak adanya
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan yang dilakukan terdakwa kepada
saksi korban karena saksi korban tidak meninggalkan rumah bersama, dapat
bergaul dengan baik sehingga kepercayaan dirinya tidak hilang, masih
memiliki kemampuan untuk bertindak, dan masih berdaya menjalankan
aktifitasnya
seperti
biasa.
Sedangkan
pada
putusan
perkara
No.
466/Pid.Sus/2018/ PN Sim, terdakwa diputus bersalah dan yakin melakukan
kekerasan psikis dalam bentuk cacian kata-kata kotor yang dilontarkan
kepada saksi korban dengan teriakan dan penuh amarah terdakwa
mengatakan, “bujangenam, kontol, longor kenapa belum mati kau sudah
berdoa aku tiap malam biar mati kau, harus mati kau!” Tentu saja hal itu sangat
menyakiti saksi korban, selain itu terdakwa juga melakukan kekerasan fisik
dengan meninju kepala saksi korban. Sehingga korban mengalami gangguan
post traumatic stress disorder (ptsd).
16
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Faqih, M. (2001). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hatta, M. (2009). Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan
Pidana Khusus. Yogyakarta: Liberty.
Huda, N. (2013). Pengantar Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Moeljatno. (2005). Asas – Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana. Jakarta: Sinar
Grafika.
Setiyono. (2010). Tips Hukum Praktis Menghadapi Kasus Pidana. Jakarta: Raih
Asa Sukses.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Tim Redaksi Thesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. (2008). Thesaurus
Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Jurnal
Arini, R. (2013). Kekerasan Psikis Dalam Rumah Tangga Sebagai Suatu Tindak
Pidana. Lex Crimen Volume.II No.5, 33.
Hartono, B. (2014). Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan
Pelapor Selaku Saksi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal
Keadilan Progresif Volume 5 Nomor 1, 7.
Hudaya, H. (2017). Kekerasan Psikis Dalam Rumah Tangga (Perspektif
Undang-Undang PKDRT dan Hadis). Musawa. Volume.16. No.1, 55.
Peraturan Perundang-Undangan
17
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.77 tahun 2015 tentang
Pedoman
Pemeriksaan Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan Penegakan
Hukum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1861).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. (1945).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun
Negara
2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran
Republik Indonesia Nomor 4419).
Download