CRITERIA FOR THE MEANING OF PSYCHIC VIOLENCE CRIME KRITERIA MAKNA TINDAK PIDANA KEKERASAN PSIKIS Cornelia Fatikasari Kulumudin Leonard Eben Ezer Simanjuntak KEJAKSAAN CORPORATE UNIVERSITY Abstract This study aims to determine the criteria for the meaning of criminal acts of psychological violence in Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence. The research method used by the author is normative research by conducting a review of the laws governing the violence. Acts of Domestic Violence often occur within the family. Especially psychological violence that is easy to occur but very difficult to detect. Because psychological violence is considered merely a spice of marriage and is even considered normal so that outsiders do not deserve to interfere, even though from this psychological violence it can develop into other violence. In addition to being against the law, it is also a violation of Human Rights. Thus, with the existence of Law Number 23 of 2004, the problem of psychological violence which used to be just a family problem has now changed into a legal problem and anyone can report to law enforcement officers about cases of psychological violence without having to be afraid of being considered to be interfering in other families. Based on the results of this study, it is known that there is a need for clear regulations regarding psychological violence so as not to cause multiple interpretations, disparities and misapplication of articles by law enforcement officers. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai kriteria makna tindak pidana kekerasan psikis dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian normatif dengan melakukan pengkajian terhadap undang-undang yang mengatur tentang kekerasan tersebut. Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga seringkali terjadi dalam lingkup keluarga. Khususnya kekerasan psikis yang mudah saja terjadi tetapi sangat sulit untuk diketahui. Hal ini dikarenakan kekerasan psikis dianggap sekadar bumbu perkawinan bahkan dianggap biasa sehingga pihak luar tidak pantas untuk mencampurinya, padahal dari kekerasan psikis tersebut itulah dapat berkembang menjadi kekerasan lainnya. Selain melawan hukum, juga suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sehingga, dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, persoalan kekerasan psikis yang dahulu hanya sekadar persoalan keluarga sekarang telah berubah menjadi persoalan hukum dan siapa saja boleh mengadukan kepada aparat penegak hukum atas kasus-kasus kekerasan psikis tanpa perlu takut dianggap mencampuri keluarga lain. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa perlunya aturan mengenai kekerasan psikis yang jelas agar tidak menimbulkan multi tafsir, disparitas dan salah penerapan pasal oleh aparat penegak hukum. 1 2 A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Hukum adalah salah satu norma yang ada dalam masyarakat. Norma hukum berbeda dengan norma-norma lain karena memiliki sanksi yang tegas dan berfungsi menciptakan keteraturan dalam suatu tatanan masyarakat. Norma hukum lahir dari asas-asas hukum yang kemudian melahirkan aturan hukum. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyebutkan Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini mengandung arti bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hukum adalah pedoman dan urat nadi pada segala aspek kehidupan bernegara maupun bermasyarakat.1 Sehingga Negara menjamin segala perlindungan hukum bagi masyarakatnya. 2 Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat fungsi dan tujuan negara. 3 Salah satunya adalah jaminan terhadap hak asasi manusia yang disebutkan pada Pasal 28 B, jaminan tersebut mencakup hak masyarakat Indonesia untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 4 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tentu mengganggu keharmonisan dan mempengaruhi tumbuh kembang anak dan tidak sesuai dengan Pasal 28 B. Sedangkan Pasal 28 G menyebutkan terkait hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.5 Mohammad Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus, Liberty, Yogyakarta, 2009, Hal. 1. 2 Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 3 Ni’matul Huda, Pengantar Ilmu Negara,Rajawali Pers, Jakarta ,2013,hlm.56-57 4 Pasal 28 B ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 5 Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 1 3 Dalam keluarga, suami dan istri masing–masing memiliki kewajiban dan hak. Jika terjadi penyimpangan, maka terdapat kekerasan di dalamnya. Salah satu kemungkinan yang akan terjadi yaitu adanya kekerasan psikis. Indonesia sebagai Negara hukum memiliki beberapa bidang hukum yang dianut di dalamnya, salah satu diantaranya yaitu bidang hukum pidana. Hukum pidana pada dasarnya merupakan serangkaian kaidah hukum tertulis yang mengatur tentang perbuatan-perbutatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan, dengan adanya ancaman sanksi-sanksi tertentu yang dapat dijatuhkan jika perbuatan-perbuatan yang dilarang itu dilakukan. Karena konsep dasar dari aturan ini adalah setiap orang atau manusia yang melakukan perbuatan yang dilarang, maka harus mempertanggung jawabkan atas perbuatannya tersebut. 6 Perbuatan-perbuatan yang merugikan masyarakat tersebut disebut dengan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga setiap warga negara wajib memperoleh kepastian hukum dalam segala aspek, termasuk dalam lingkup hukum Pidana. Terkait adanya kepastian dalam hukum Pidana di Indonesia, terdapat segala perbuatan yang dilarang oleh negara dan membawa dampak kerugian bagi masyarakat lain dikategorikan menjadi sebuah perbuatan pidana. Untuk mewujudkan kepastian hukum, negara memiliki aturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), salah satunya yaitu perundangundangan. Misalnya terkait Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pada undang-undang tersebut terdapat berbagai macam kategori kekerasan dalam rumah tangga, seperti kekerasan fisik; kekerasan psikis; kekerasan seksual; atau penelantaran rumah tangga. 7 Dengan uraian kualifikasi unsur-unsur yang berbeda-beda, namun dalam pelaksanaanya Setiyono, 2010, Tips Hukum Praktis Menghadapi Kasus Pidana, Jakarta: Raih Asa Sukses, Hal. 10. 7 Pasal 5 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 6 4 terdapat permasalahan tentang hal tersebut, yakni pada kategori perbuatan tindak pidana kekerasan psikis, kategori unsur atau kualifikasi perbuatan yang tergolong kekerasan psikis pada pasal tersebut tidak terdapat penjelasan yang jelas dan kongkrit bagaimana bentuk kekerasan psikis tersebut dan batasannya sehingga sesorang dapat dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan pada Pasal 5 huruf b jo Pasal 7 pada undang-undang tersebut, dengan ancaman pidana pada yang diatur pada Pasal 45 ayat (1).8 Padahal pada Pasal 7 Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut, secara umum tidak memberikan batasan yang spesifik seseorang dikatakan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang itu yang seperti apa. Karena hal tersebut merupakan gangguan kejiwaan yang sulit untuk dibuktikan baik berat maupun ringannya gangguan kejiwaan/psikis yang dimaksud pada pasal tersebut tidak jelas wujud atau bentuknya. 9 Adapun sebagaimana dalam pelaksanaannya hanya berdasarkan keterangan dari psikolog, yaitu hanya sebatas pada diagnosa saja atau keterangan tanpa dasar yang ilmiah. Terkait permasalahan ketidakjelasan batasan makna kualifikasi tindak pidana kekerasan psikis pada Undang-undang Penghapusan KDRT tersebut, dalam pelaksanaannya terjadi pada perkara pidana No.493/Pid.Sus/2014/PN.Mlg dan perkara pidana No. 466/Pid.Sus/2018/PN Sim. Padahal dari dua perkara tersebut terdapat unsur perbuatan yang sama, yaitu kekerasan psikis namun putusannya berbeda. Tentu terdapat pemahaman yang berbeda oleh majelis hakim mengenai kekerasan psikis, padahal dalam aturan hukum tidak ada pembeda dalam hal yang dimaksud kekerasan psikis. 2. Perumusan Masalah Pasal 45 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. 9 Pasal 7 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. 8 5 1. Apa yang menjadi Kriteria Makna Tindak Pidana Kekerasan Psikis Dalam Undang-Undang KDRT? 2. Bagaimana Ratio Decidendi Hakim Pada Putusan Perkara Pidana Terkait Kekerasan Psikis? 3. Metode Penelitian A) Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridisnormatif. Penelitian yuridis normatif secara deduktif dimulai dengan analisa terhadap pasal pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur terhadap suatu permasalahan. Penelitian hukum secara yuridis maksudnya, penelitian yang mengacu pada studi kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang digunakan. Bersifat normatif berarti tentang hubungan antara suatu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam praktiknya. Penelitian ini peneliti menelaah bahan hukum baik primer maupun sekunder maupun tersier untuk menjawab permasalahan yang menjadi fokus penelitian.10 B) Pendekatan Penelitian 1. Pendekatan Perundang-undangan (statue approach) Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, suatu pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan dengan meneliti berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. 11 Pada penelitian ini adalah tujuan dari beberapa pasal terkait pada Undang-undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 4419. 2. Pendekatan Kasus (case approach) Pendekatan kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan normaZainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika , Jakarta, 2011, hlm 18. Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2005, hlm. 248. 10 11 6 norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam Yurisprudensi terhadap perkara perkara yang menjadi fokus penelitian. 12 Pada penelitian ini mengambil kasus tindak pidana kekerasan psikis dalam perkara No. 493/Pid.Sus/2014/PN Mlg dan No. 466/Pid.Sus/2018/PN Sim. B. PEMBAHASAN 1. Kriteria Makna Tindak Pidana Kekerasan Psikis Dalam UndangUndang KDRT Kekerasan psikis merupakan suatu tindak melawan hukum yang mana terhadap pelakunya sudah sepantasnya dikenai sanksi pidana. Selain merupakan suatu tindak melawan hukum juga merupakan suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). 13 Tindak pidana psikis dalam sudut pandang hukum memiliki pengertian sesuai dengan yang termuat dalam Undang– Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam Pasal 7 disebutkan kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kekerasan berasal dari kata keras yang di antara artinya adalah tidak mengenal belas kasihan, tidak lemah lembut. Sedangkan kekerasan berarti sifat (hal) keras; paksaan. 14 Mansour Fakih mengartikan kekerasan dengan serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas keutuhan mental psikologi seseorang. 15 Sedang kata psikis berarti sesuatu yang berhubungan dengan kejiwaan. 16 Sementara itu, Kamus Thesaurus Indonesia memaknai kata psikis dengan dua arti, yang pertama adalah Ibid, Johnny Ibrahim, hlm. 321. Resti Arini, Op.cit, hlm. 32. 14 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hlm. 744-745. 15 Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm.17. 16 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, hlm.1220. 12 13 7 kejiwaan dan spiritual, yang kedua adalah intelektual, mental, psikologis, serebral. 17 Dengan demikian, secara etimologi, kekerasan psikis dapat dipahami sebagai segala bentuk serangan atas mental atau psikologi seseorang baik dengan perkataan maupun perbuatan. 18 Sedangkan dalam sudut pandang psikolog, Dr. Elly Yuliandari, M.Si, Psi dan memberikan pengertian bahwa kekerasan psikis merupakan suatu tindak atau perlakuan yang tidak menyenangkan, meremehkan, menghina, membatasi, membentuk atau perbuatan tidak menyenangkan lainnya. Kekerasan psikis ini akan berdampak pada seseorang yang mengalami, yaitu pada harga diri, kecemasan, depresi, trauma hingga gangguan jiwa terutama bila dialami secara terus menerus. Kekerasan psikis terjadi karena hierarki kekuasaan dimana orang kurang menghargai atau memandang rendah orang lain. Selain itu juga dapat dipengaruhi oleh budaya, minuman beralkohol, kondisi kejiwaan pelaku, dan tekanan hidup. Yang dimaksud budaya dalam faktor ini yaitu budaya patriarki di Indonesia yang cenderung memposisikan bahwa perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Kekerasan psikis dalam sudut pandang psikologi juga tidak harus disertai dengan kekerasan fisik di dalamnya. Adanya kekerasan psikis ini bisa dibuktikan dengan Visum et Repertum, yaitu keterangan dokter spesialis kedokteran jiwa yang berbentuk surat sebagai hasil pemeriksaan kesehatan jiwa pada seseorang di fasilitas pelayanan kesehatan untuk kepentingan penegakan hukum.19 Tabel 2.1. Makna Kekerasan Psikis No. 1. Perspektif Ilmu Hukum Pidana Pengertian Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya Tim Redaksi Thesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Thesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hlm.388. 18 Hairul Hudaya, Kekerasan Psikis Dalam Rumah Tangga (Perspektif Undang-Undang PKDRT dan Hadis), Musawa. Vol.16. No.1, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari, Banjarmasin, hlm. 55. 19 Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.77 tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan Penegakan Hukum. 17 8 diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang. 2. Ilmu Psikologi Suatu tindak atau perlakuan yang tidak menyenangkan, meremehkan, menghina, membatasi, membentuk atau perbuatan tidak menyenangkan lainnya. Sumber: Data Primer, diolah, 2021. Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi.20 Kekerasan psikis yang diatur dalam Pasal 5 huruf (b) jo Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diancam dengan pidana dalam Pasal 45, yang berbunyi: 21 (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Pasal 45, maka kekerasan psikis dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: 22 Moeljatno, Asas – Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 10. Bambang Hartono, Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Pelapor Selaku Saksi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal Keadilan Progresif. Volume 5 Nomor 1 Maret 2014, hlm.7. 22 Ibid, hlm.7-8. 20 21 9 a. Kekerasan psikis Dilihat dari rumusan Pasal 45 ayat (1), maka untuk terbuktinya kekerasan psikis harus memenuhi unsur-unsur: (a) setiap orang; (b) yang melakukan perbuatan kekerasan psikis; (c) dalam lingkup rumah tangga. Dengan demikian yang dilarang dalam Pasal 45 ayat (1), Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga jika dihubungkan dengan Pasal 7 UU Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. b. Kekerasan psikis ringan Dilihat dari rumusan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, maka untuk terbuktinya pasal ini harus terpenuhi unsurunsur: (a) suami atau istri; (b) yang melakukan perbuatan kekerasan psikis terhadap suami istri; (c) yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari. Dalam merumuskan suatu tindak pidana kekerasan psikis ini menurut penulis menggunakan cara materil, sehingga wujud dari perbuatan itu harus selesai dan menimbulkan akibat. Sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang No.23 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan 10 untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.23 Bahwa delik kekerasan psikis dalam rumah tangga pada Pasal 45 UndangUndang No.23 Tahun 2004 dibagi menjadi 2, yaitu: 24 1. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No.23 Tahun 2004 merupakan delik aduan, karena tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari. 2. Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 2004 adalah delik biasa, karena perbuatannya menyebabkan atau menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari. Namun, dalam aturan hukum kekerasan psikis sesuai dengan UndangUndang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak memuat kriteria makna mengenai batasan yang jelas seperti apa. Demikian halnya pada lembar penjelas undang-undang, tidak menyebutkan bentuk tindakan yang dikategorikan sebagai tindak kekerasan psikis. 25 Sehingga menimbulkan berbagai kekaburan norma, disparitas, overkriminalisasi, dan salah penerapan pasal oleh aparat penegak hukum. 2. Ratio Decidendi Hakim Pada Putusan Perkara Pidana Terkait Kekerasan Psikis 1) Ratio decidendi hakim pada perkara pidana No.493/Pid.Sus/2014/PN.Mlg Dalam kasus ini terdakwa didakwa dengan Pasal 45 ayat 1 UndangUndang Nomor 23 tahun 2004 adalah sebagai berikut : “Setiap Orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam 5 huruf b di pidana dengan pidana penjara Pasal 7 Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Pasal 52 jo. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No.23 Tahun 2004. 25 Hairul Hudaya, Loc.cit. 23 24 11 paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak 9.000.000.- (sembilan juta rupiah).” Maka perbuatan Terdakwa harus memenuhi unsur - unsur sebagai berikut : 1. Setiap orang ; 2. Yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dalam pasal 5 huruf b ; Unsur setiap orang tentu saja terpenuhi, kata “setiap orang“ menunjuk kepada orang perorangan atau korporasi. Orang perorangan yang dimaksud disini adalah orang yang mampu bertindak dan bertanggung jawab didalam hukum. Dalam perkara ini terdakwa adalah orang yang bertindak dan melakukan perbuatan. Sehingga Majelis berpendirian bahwa unsur “setiap orang” telah terpenuhi. Dalam Pasal 5 huruf b, disebutkan terkait kekerasan psikis. Bahwa yang dimaksud dengan kekerasan psikis dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Pertimbangan hakim terkait unsur tersebut yaitu: 1. Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan. Bahwa yang dimaksud dengan Ketakutan adalah emosi yang ditandai dengan menilai akan adanya ancaman yang membuat seseorang merasa tertekan atau ingin kabur dari hal tersebut. Sehingga perbuatan yang mengakibatkan ketakutan adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan adanya suatu tanggapan emosi terhadap ancaman yang membuat seseorang merasa tertekan atau ingin kabur dari hal tersebut. Bahwa dalam keterangannya korban menjelaskan bahwa korban sering dimarahi, oleh terdakwa, apa yang dilakukan oleh korban semuanya salah, terdakwa sering mengeluarkan kata-kata goblok jiancok, ga punya aturan, hanya bisa tidur, ga bisa apa-apa dan terdakwa menyuruh korban tidur dengan anjing. Terdakwa menerangkan bahwa korban sangat cerewet, keras 12 kepala dan maunya sendiri. Dari fakta di persidangan baik keterangan terdakwa dan keterangan korban dan para saksi bahwa yang keluar dari rumah adalah terdakwa. Dari fakta ini tanpak bahwa keadaan yang dialami oleh korban bukan karena perbuatan Terdakwa karena orang yang ketakutan atau yang merasa terancam seharusnya orang yang pergi dari tempat yang menakutkan bukan orang yang tinggal ditempat yang menakutkan dan hasil test psikologi berdasrkan tes MMPI tentang keadaan psikologi korban dimana korban banyak keluhan fisik, juga depresi, banyak menekan perasaan sehingga menumpuk, korban juga punya rasa curiga, sensitif terhadap pendapat orang tentang dirinya, selain menjadi kurang bergaul. Korban sudah benar benar merasa tidak berharga, kurang rasa percaya diri, mudah kecewa, banyak keluhan, mudah putus asa bukan karena perbuatan Terdakwa semata tetapi memang karena merupakan dasar kepribadian korban sebagaimana diterangkan dalam hasil test yang dilakukan oleh ahli Dra.Josina Judiari, Msi oleh karena itu tidak perbuatan terdakwa yang mengakibatkan ketakutan pada korban, sehingga Majelis Hakim berkesimpulan sub unsur “perbuatan yang mengakibatkan ketakutan“ tidak terpenuhi. 2. Hilangnya rasa percaya diri. Bahwa yang dimaksud dengan hilangnya percaya diri adalah keadaan dalam diri manusia dalam hal ini korban sebagai akibat dari perasaan-perasaan yang tertekan berupa rendah diri, kurang pergaulan. Korban juga masih dapat melakukan kerjasama dalam usaha AC, melakukan komunikasi melalui BBM, dan juga masih mampu melakukan penarikan. Sehingga saksi korban dianggap mampu bergaul dengan baik dan dapat melakukan aktifitas seperti biasa. Sehingga menurut Majelis Hakim korban masih mempunyai kepercaan diri untuk melakukan aktifitas oleh karena itu sub unsur “ hilangnya percaya diri “ tidak terpenuhi. 3. Hilangnya kemampuan untuk bertindak. Bahwa yang dimaksud dengan hilangnya kemampuan untuk bertindak adalah tidak ada keleluasan untuk mendapat haknya. Bahwa korban masih menjalankan aktifitas usaha, tidur dengan anjing dalam keadaan nyaman, mengambil uang dari bank maka 13 Korban masih mampu melakukan tindakan yang berhubungan dengan hidupnya sehingga sub unsur “hilangnya kemampuan untuk bertindak“ tidak terpenuhi. 4. Rasa tidak berdaya. Bahwa bahwa yang dimaksud dengan rasa tidak berdaya adalah ketidak mampuan dalam berbuat sesuatu. Berdasarkan faktafakta yang terungkap dipersidangan bahwa saksi korban, mampu bertindak untuk berbuat sesuatu, seperti dalam bukti yang tertera dalam rekaman BBM saat saksi korban melakukan komunikasi, melakukan penarikan uang, dan pada saat persidangan saksi korban dapat menjawab dengan penuh semangat. Sehingga saksi korban masih bisa menjalankan aktifitasnya seperti biasa, sehingga sub unsur “rasa tidak berdaya“ tidak terpenuhi. 2) Ratio decidendi hakim pada perkara pidana No. 466/Pid.Sus/2018/PN Sim Bahwa terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum sebagaimana Pasal 45 ayat (1) UU RI. No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : 1. Setiap Orang; 2. Melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga; Unsur setiap orang. Bahwa pencantuman unsur “setiap orang” sematamata sebagai suatu unsur pasal dengan tujuan mencegah terjadinya kesalahan mengajukan tentang siapa sebenarnya yang patut dijadikan sebagai terdakwa di persidangan (error in persona); Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para saksi di persidangan, keterangan terdakwa, surat perintah penahanan dan pembenaran terdakwa terhadap pemeriksaan identitasnya pada sidang pertama sebagaimana termaktub dalam Berita Acara Persidangan dalam perkara ini dan pembenaran keterangan para saksi membenarkan bahwa yang sedang diadili di depan persidangan adalah terdakwa yang dimaksud. Sehingga Majelis berpendirian bahwa unsur “setiap orang” telah terpenuhi. 14 Unsur melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga. Bahwa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka unsur “melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga” telah terpenuhi dalam perbuatan terdakwa. Menurut penulis, alasan terbuktinya terdakwa melakukan kekerasan psikis ini karena terdakwa teriak dan marah kepada saksi korban sambil mengatakan “Bujangenam, kontol, longor kenapa belum mati kau uda berdoa aku tiap malam biar mati kau, harus mati kau!” Lalu terdakwa juga meninju kepala sebelah kiri saksi korban. Tentu saja terdakwa melakukan hal yang tidak pantas hingga mengakibatkan saksi korban menderita post traumatic stress disorder (ptsd). Hal ini diperkuat dengan Informasi Hasil Asesmen Psikologi Nomor:C.027/EC/YGE/V/2018 tanggal 02 Mei 2018 yang memberikan kesimpulan saksi korban bergejala instrusif (kenangan yang tidak menyenangkan dan mengganggu yang bersangkutan secara berulang), suasana hati negatif (amarah, benci, dan sedih pada suami dan konflik yang dialami), sering menghayal (pandangan kosong), perilaku menghindar pada hal-hal yang berkaitan dengan sumber stress (dalam hal ini suami), serta gejala arousal atau emosi terbangkitkan (kesulitan tidur jika mengenang masalah dan konsentrasi menurun). C. KESIMPULAN 1. Bahwa kekerasan psikis dalam ilmu hukum adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan 15 untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Sedangkan kriteria makna kekerasan psikis dalam perspektif ilmu psikologi yaitu suatu tindak atau perlakuan yang tidak menyenangkan, meremehkan, menghina, membatasi, membentuk atau perbuatan tidak menyenangkan lainnya. Kekerasan psikis akan memberi dampak pada harga harga diri, kecemasan, depresi, trauma hingga gangguan jiwa. 2. Pada putusan perkara pidana No. 493/Pid.Sus/PN Mlg, terdakwa diputus bebas yang artinya kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti. Dengan pertimbangan karena tidak adanya perbuatan yang mengakibatkan ketakutan yang dilakukan terdakwa kepada saksi korban karena saksi korban tidak meninggalkan rumah bersama, dapat bergaul dengan baik sehingga kepercayaan dirinya tidak hilang, masih memiliki kemampuan untuk bertindak, dan masih berdaya menjalankan aktifitasnya seperti biasa. Sedangkan pada putusan perkara No. 466/Pid.Sus/2018/ PN Sim, terdakwa diputus bersalah dan yakin melakukan kekerasan psikis dalam bentuk cacian kata-kata kotor yang dilontarkan kepada saksi korban dengan teriakan dan penuh amarah terdakwa mengatakan, “bujangenam, kontol, longor kenapa belum mati kau sudah berdoa aku tiap malam biar mati kau, harus mati kau!” Tentu saja hal itu sangat menyakiti saksi korban, selain itu terdakwa juga melakukan kekerasan fisik dengan meninju kepala saksi korban. Sehingga korban mengalami gangguan post traumatic stress disorder (ptsd). 16 DAFTAR PUSTAKA Buku Faqih, M. (2001). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hatta, M. (2009). Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus. Yogyakarta: Liberty. Huda, N. (2013). Pengantar Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Pers. Moeljatno. (2005). Asas – Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. Setiyono. (2010). Tips Hukum Praktis Menghadapi Kasus Pidana. Jakarta: Raih Asa Sukses. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Tim Redaksi Thesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. (2008). Thesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Jurnal Arini, R. (2013). Kekerasan Psikis Dalam Rumah Tangga Sebagai Suatu Tindak Pidana. Lex Crimen Volume.II No.5, 33. Hartono, B. (2014). Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Pelapor Selaku Saksi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal Keadilan Progresif Volume 5 Nomor 1, 7. Hudaya, H. (2017). Kekerasan Psikis Dalam Rumah Tangga (Perspektif Undang-Undang PKDRT dan Hadis). Musawa. Volume.16. No.1, 55. Peraturan Perundang-Undangan 17 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.77 tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan Penegakan Hukum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1861). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Negara 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 4419).