Uploaded by common.user151164

Bab 1 Latar Belakang Penelitian

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XX/2022 yang menguji ketentuan Pasal 433
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menimbulkan perdebatan serius di
kalangan akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat luas. Pasal 433 KUHPerdata mengatur
bahwa setiap orang dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap
dapat ditempatkan di bawah pengampuan, yang dalam praktiknya merupakan mekanisme
perlindungan hukum bagi individu yang dianggap tidak cakap hukum dalam melakukan
perbuatan hukum. Namun, dengan adanya putusan MK tersebut, terjadi perubahan
mendasar dalam paradigma perlindungan hukum terhadap individu dengan disabilitas
mental atau intelektual.
Secara historis, pengaturan mengenai pengampuan memiliki akar pada sistem hukum
perdata Eropa Kontinental, khususnya Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda, yang diadopsi ke
dalam KUHPerdata Indonesia sejak zaman kolonial. Pengaturan ini bertujuan untuk
melindungi kepentingan individu yang secara medis atau mental tidak mampu mengurus
dirinya sendiri, sekaligus melindungi pihak ketiga dalam hubungan hukum perdata. Namun,
pengaturan ini sering kali dipandang diskriminatif karena mengategorikan individu dengan
keterbatasan mental sebagai subjek hukum yang tidak cakap tanpa mempertimbangkan
kemampuan aktualnya.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan a quo menyatakan bahwa pengampuan terhadap
penyandang disabilitas mental harus sejalan dengan prinsip-prinsip penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia, khususnya sebagaimana diatur dalam
Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with
Disabilities/CRPD) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.
Putusan ini secara substantif menggeser pendekatan dari model "substitusi pengambilan
keputusan" (substitute decision-making) menuju model "pendukung pengambilan
keputusan" (supported decision-making).
Namun, dari sudut pandang akademis, terdapat beberapa kritik yang patut diajukan
terhadap pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi. Pertama, meskipun perlindungan
hak asasi merupakan prinsip fundamental, pendekatan yang diambil MK berpotensi
mengurangi efektivitas perlindungan hukum bagi individu yang benar-benar tidak mampu
mengambil keputusan secara sadar. Kedua, putusan tersebut belum secara memadai
mengatur mekanisme implementasi model pendukung pengambilan keputusan dalam
sistem hukum perdata Indonesia. Akibatnya, terdapat kekosongan norma yang berpotensi
menimbulkan ketidakpastian hukum di tingkat praktik peradilan.
Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan guna mengkaji secara kritis implikasi
putusan MK tersebut terhadap perlindungan hukum bagi orang yang berada di bawah
pengampuan. Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan analisis putusan,
diharapkan penelitian ini mampu memberikan kontribusi teoretis dan praktis bagi
pengembangan hukum perdata Indonesia yang lebih responsif terhadap kebutuhan semua
pihak, termasuk penyandang disabilitas mental.
Download