LAPORAN PRAKTIKUM SENGKETA TANAH ADAT ANTAR KERABAT DI DESA OHOITEL KECAMATAN PULAU DULLAH SELATAN KOTA TUAL OLEH : A. YANI RENUAT RINI ATBAR PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM (S2) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON 2022 1 A. Pendahuluan 1. Latar Belakang. Kota Tual dimekarkan dari Kabupaten Maluku Tenggara dengan UndangUndang 31 Tahun 2007 tentang Pemekaran Kota Tual di Provinsi Maluku yang di kelilingi gugusan pulau-pulau atau dengan sebutan kepulauan Kei. Kehidupan masyarakat Kota Tual atau masyarakat Kei kental dengan tradisi dan budaya sejak turun temurun yang telah diikuti dan dipedomani. Salah satu pedoman atau falsafah masyarakat adat Kei yaitu hukum Larvul Ngabal. Tanah adalah kebutuhan, setiap manusia selalu berusaha untuk memilikinya. Tanah dimiliki oleh siapa saja, baik perorangan, keluarga dan masyarakat yang menjadi warisan atau aset turun temurun, karena tanah mempunyai nilai ekonomis. Semakin tinggi permintaan kebutuhan tanah, maka semakin tinggi nilai tanah sehingga selalu terjadi konflik tanah. Hal tersebut juga dialami oleh masyarakat Kei, sering terjadi persolan batas tanah antar sesama kerabat atau warga. Hal ini disebakan karena tanah merupakan salah satu sumber pendapatan atau dapat meningkatkan kesejahteraan namun disisi lain tanah adalah lambang kehormatan bagi kaum laki-laki, sehingga dalam masyarakat Kei di kenal dengan filosofi bahwa laki-laki Kei mati karena batas tanah dan saudara perempuan. Ungkapan tersebut tumbuh ditengah-tengah masyarakat Kei terutama terkait batas tanah. Sering terjadi pertikaian antar kelompok atau warga dalam satu desa atau antar desa. 2 Tapi jika ada sengketa tanah adat antar warga dengan melibatkan Pemerintah Daerah terkait pengadaan lahan untuk kepentingan umum, biasanya jika tidak ada kesepakatan antar kedua belah pihak, maka diselesaikan melalui lembaga peradilan untuk mendapat kepastian hukum. 2. Tujuan. 1. Tujuan penulisan ini untuk mengetaui sejauh mana cara penyelesaian sengketa tanah adat antar kerabat di masyarakat Kei Kota Tual khususnya di Desa Ohoitel. 2. Untuk mengetahui baagaimana masyarakat Kei memperthankan hakhak adat tanahnya. 3. Untuk mengetahui sejauh mana peran Pemerintah Daerah dan tokoh adat dalam menyelesaaikan sengketa tanah adat. B. Sejarah. Desa Ohoitel dulu dikenal dengan sebutan ohoiyuf adalah salah satu desa adat di bawah Rachap Utan Tel Timur dengan gelar rajanya Rat Sir Sovmas yang berada dalam wilayah pemerintahan Kota Tual. Desa Ohoitel di kepalai oleh seorang Kepala Desa dan membawahi 2 (dua) Dusun yaitu Dusun Watran dan Dusun Lairkamor. Mayoritas masyarakat Desa Ohotel adalah keluarga karena perkawinannya masih ada hubungan darah. Jabatan-jabatan adat dalam masyarakat Kei sudah terbagi habis pada masing-masing marga yang ada pada desa tersebut dan hal ini sudah berlaku sejat turun temurun. 3 Khusus Desa Ohoitel jabatan Kepala Desa adalah marga Renwarin, jabatan Imam adalah marga Abur, jabatan kepala soa adalah marga Rengirit, jabatan dan jabatan Marinyo adalah marga Atnangar. Meskipun Kepala Desa sebagai penguasa adat tertinggi namun jika masyarakat di desa ohoitel ingin melepaskan tanahnya, kepala desa selalu memberikan hak adat atas tanahnya untuk dinikmati oleh masyarakat tersebut. Artinya bahwa masyarakat desa ohoitel yang mengelola atau menguasai tanah adatnya jika hendak menjual atau memberikan tanahnya kepada pihak lain, harus diketahui oleh kepala desanya. Kehidupan masyarakat di Desa Ohoitel sangat kental dengan kekeluargaan karena masih ada hubungan darah satu sama lain yang sering di kenal dengan falsafah hidup ain ni ain (satu memiliki satu) atau juga ada ungkapan falsafah vuut anmehe ngivun manut anmehe tilur (semua telur sama bentuk sama warna dan sama-saama berasal dari satu induk), sehingga kehidupan masyarakat desa ohoitel penuh dengan keakraban. Menurut cerita para tua-tua adat di desa ohoitel Bahwa sekitar 200 tahun yang lalu sekelompok masyarakat hukum adat yang hidup dan tinggal di sebuah desa atau kampong namanya ohoimel. Desa tersebut dekat dengan Desa Ohoitel, namun pada suatu ketika terjadi peristiwa pembantaian di kampong tersebut akibat perempuan dari desa ohoitel menikah dengan pria dari desa itu kampong ohoimel dan diperlakukan tidak adil, maka terjadi penyerangan yang dilakukan oleh kerabat perempuan dari desa ohoitel kepada keluarga atau kerabat pria tersebut di kampong ohoimel. Akibat peristiwa itu, 4 maka keluarga atau kerabat pria tersebut yang masih hidup pergi meninggalkan kampong nya demi menyelamatkan diri ke desa Matwaer yang terletak di Kabupaten Maluku Tenggara. sedangkan pihak keluarga besar ohoitel tinggal sampai saat ini. C. Kronologis Kasus Bahwa sebagai contoh proses pembebasan lahan untuk pembangunan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) pada Tahun 2015 keluarga besar dari Desa Ohoitel menjual tanahnya kepada Pemerintah Kota Tual, guna pembangunan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) dan sudah dibangun pengolahan tempat sampah oleh Kementrian Pekerjaan Umum, namun pada tahun 2019 terjadi keberatan oleh keluarga Matwaer berupa pemasangan Hawear (sasi) tapi oleh pemerintah Desa Ohoitel menganggap bahwa pemasangan Hawear (sasi) tersebut tidak sesuai dengan Perda Nomor 04 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Hawear Atau Nama Lain Dalam Wilayah Kota Tual dan akhirnya Hawear tersebut dilepas agar aktifitas pembuangan dan pengolahan sampah berjalan dengan baik. Pada Tahun 2020 keluarga besar matwear mengajukan surat kepada Pemerintah Kota Tual yang isinya menerangkan bahwa tanah TPAS adalah milik Keluarga Matwaer dan pemabayaran ganti rugi harus dibayarkan kepada yang bersangkutan dan penyelesaian dalam bentuk kekeluargaan telah diupayakan namun belum ada kesepakatan sehingga upaya terakhir adalah pengadilan. 5 D. Hasil dan Analisis Dari uraian sejarah dan kronologis diatas, maka hasil dan analisis sebagai berikut : 1. Masyarakat hukum adat mempunyai cara tersendiri untuk mempertahankan hak-hak adatnya terutama hak atas tanah-tanah adat yaitu dengan cara tanda atau bekas alam yang lebih dikenal dengan ungkapan tom tad (cerita tanda). 2. Jika hal tersebut terjadi maka ada berbagai cara penyelesaian yaitu melalui lembaga adat masyarakat setempat dan apabila tidak ada kesepakatan atau penyelesaian biasanya dengan cara ritwal air dicampur dengan tanah lalu diminum oleh kedua belah pihak yang bertikai. 3. Bahwa berdasarakan hasil wawancara dari tokoh adat dan tokoh masyarakat serta perangkat desa di desa ohoitel, maka di ketahui bahwa keluarga matwaer belum dapat membuktikan hubungan hukum terkait dengan objek tanah lokasi TPAS yang terletak di desa ohoitel Kecamatan Pulau Dullah Utara Kota Tual Provinsi Maluku. 4. Bahwa sesuai Pasal 832 KUHPerdata “ahli waris ialah menurut undangundang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang diluar perkawinan, dan suami atau istri yang hidup terlama menurut peraturan-peraturan berikut ini,”. 5. Bahwa keluarga matwaer belum dapat membuktikan hak-hak keperdataanya atau memiliki hak-hak atas tanah adat yang ada pada 6 ohoimel atau lokasi tanah Tempat Pembuangan Akhir Sampah di Desa ohoitel. 6. Sesuai ketentuan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi “Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat bukti pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat : 1) Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat di percaya; 2) Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya. 7. Bahwa pemerintah Kota Tual telah mengeluarkan Perda 04 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Hawear atau Nama Lain dan pemasangan Hawear tetapi tetap berpedoman pada peraturan daerah tersebut. 8. Sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum yang berbunyi bahwa “Pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah. 7 Pasal 1 ayat (5) Hak atas tanah adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan hak lain yang ditetapkan dengan Undang-Undang. E. Kesimpulan Bertolak dari semua uraian di atas, maka dapat di simpulkan bahwa: 1. Masyarakat Kei di Kota Tual Provinsi Maluku tetap menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan budayanya yang hidup dan berkembang sampai saat ini sebagaimana tertuang dalam pasal 7 Hukum Larvul Ngabal yang berbunyi “Hira Ni Foini, It Did Fo It Did (milik orang lain tetaap jadi miliknya, milik kita tetap jadi milik kita). 2. Banyak ungkapan atau falsafah dijadikan pedomaan atau pandangan hidup masyarakat Kei. 3. Dalam proses penyelesaian sengketa antar kerabat, para pemangku adat tetap mengedepankan penyelesain melalui musyawarah adat dan apabila tidak ada kata mufakat, maka di persilahkan untuk para pihak mengajukan gugatan ke lebaga yang berwenang. 8 F. Daftar Pustaka Dr. Rosnidar Sembiring, SH.,M.Hum. 2017 Hukum Pertanahan Adat, Penerbit Raja Grafindo Persada. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Daerah Kota Tual Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Hawear Atau Nama Lain Dalam Wilayah Kota Tual. 9 G. Lampiran Foto-Foto Kegiatan 10 11