Seluruh uraian dalam Sub Bab Hayy Ibnu Yaqzan berikut adalah rangkuman dari Hayy bin Yaqẓan: Anak Alam Mencari Tuhan, terj. Ahmadie Thaha h. 13- 63 Di sebuah pulau di India, pada garis katulistiwa, pernah lahir manusia tanpa ibu-bapak. Di pulau itu ada pohon berbuah wanita. Al-Mas'udi menyebut pulau itu Waqwaq. Cuacanya terseimbang di permukaan bumi, dan paling bisa menerima terbitnya cahaya tertinggi. Ada juga versi lain yang menjelaskan: Di perut bumi pulau (Waqwaq), ada tanah yang terolah selama bertahun-tahun, sehingga (unsurnya) yang panas dan dingin, lembab dan kering, bercampur secara seimbang. Bagian tengahnya yang terseimbangkan dan tersesuaikan dengan sifat dasar manusia. Bagian tanah itu lalu mengandung proses kelahiran, mengalami semacam gelembung didih karena kelengketannya sangat kuat. Di pusat tanah itu ada kelengketan dan gelembung kecil yang terbagi dua, dibatasi oleh selubung batas tipis, dengan benda lembut berudara seimbang dan cocok. Itu adalah ‘ruh’ yang berasal dari perintah Allah Yang Mahaperkasa dan agung, sebagaimana cahaya matahari senantiasa melimpah ke alam. Untuk menerangkan kesempurnaan metamorfosis itu, tanah besar yang terolah dan siap bagi semua kebutuhan penciptaan manusia. Yaitu, ada selaput protektif (ketuban) yang menutupi semua tubuh bayi, dan lain sebagainya. Ketuban (selubung tanah) itu pecah berupa proses persalinan. Sama seperti tanah yang sudah kering lalu pecah dan retak. Bayi itu pun menangis kehabisan bahan makanan. Rasa laparnya kian menjadi-jadi. Ia disambut oleh seekor rusa (zabiyyah) yang kehilangan anaknya. Rusa yang memelihara (Hayy bin Yaqzan) itu kemudian menemukan daerah padang rumput subur. Maka tubuhnya menjadi gemuk dan air susunya segar mengguyur. Ia memberi (Hayy) makanan yang baik. Ia menemaninya setiap saat, kecuali pergi merumput. Bayi itu menyukai rusa. Jika rusa terlambat (memberi makan), Hayy menangis keras sehingga ia datang. Ia memakan susu rusa sampai berumur dua tahun. Ia mengikuti tingkah laku rusa yang mencintai, menyayangi, dan membawanya ke tempat-tempat berpohon lebat! Bayi itu diberinya makan buah-buahan manis dan matang, yang jatuh dari pohonnya. Jika buah itu berkulit keras, dikupasnya dengan giginya. Dan bila Hayy haus, ia memberikannya minum susu dan air. Jika Hayy kepanasan terkena matahari, ia memindahkannya ke tempat teduh. Sebaliknya, kalau kedinginan, diusahakan memanaskan tubuhnya. Ia bersuara menirukan nyanyiannya sehingga mereka hampir tak terpisahkan. Ia menirukan pula semua suara binatang yang didengarnya, dari burung misalnya. Suara rusa yang ia tiru, antara lain isyarat minta tolong, belas kasihan, panggilan, dan isyarat minta dijaga. (Hayy pun telah meniru) semua suara yang mengungkap berbagai keadaan binatang itu. Banyak (kesan) yang sebenarnya telah lenyap dari penglihatannya, tetapi tetap mantap di jiwanya. Karena itu, Hayy sekaligus menyukai dan membenci selain dirinya. Kesan di sini bukan memori bermakna, tetapi jejak sensorik mentah (seperti aroma yang memicu emosi tanpa diingat sumbernya), juga respons Hayy bersifat instinktif, tidak didasari refleksi atau penamaan pengalaman. Hayy melihat dirinya telanjang, tanpa senjata, jadi lemah untuk memusuhi, dan kurang berani, (padahal, itulah daya) pada binatang buas untuk memakan buah, menundukkan, dan menguasai yang lain. Ia melihat pula, anak-anak rusa sebayanya pun telah ditumbuhi tanduk, padahal sebelumnya tidak. Mereka kini kuat bermusuhan, padahal dulunya lemah. Hayy lalu melihat ke dirinya: semua itu tidak ada. Hayy mencoba memilikinya, tapi gagal mengetahui sebabnya. Pada saat ini Hayy belum memiliki kesadaran diri (self-awareness). Ia hanya membandingkan fisik, ketidaktahuan "sebabnya" membuktikan absensi dikotomi subjek-objek: ia tidak mempertanyakan mengapa dirinya berbeda, hanya meregistrasi perbedaan sebagai fakta indrawi. Bersama itu, Hayy membesar dan berkembang ke umur tujuh tahun hingga 21 tahun. Ia merasa cukup lama memperbarui daun penutup tubuhnya. Muncullah hasrat di jiwanya mengambil ekor binatang mati untuk dilekatkan pada tubuhnya. Tetapi Hayy melihat, binatang yang hidup justru menjagai bangkai itu. Maka ia tidak berani melaksanakan (hasratnya) itu. Hingga suatu hari, Hayy menemukan seekor burung nasar mati. Hasratnya serta-merta pasti terlaksana. Kesempatan itu ia manfaatkan, apalagi tak ada binatang memperhatikan dan mengawasinya. Ia maju. Kedua sayap dan ekor burung itu ia potong baik-baik, seperti adanya. Bulunya dilepas dan ia tata. Semua kulit burung itu dikelupas, lalu dibilah menjadi dua: yang satu diikatkan ke punggung tubuhnya dan satunya lagi ke bagian tubuh dari pusar ke bawah. Sedangkan ekornya ia ikatkan ke belakang, dan sayapnya ia ikatkan ke tangan. Itu menjadi penutup, penghangat tubuh, sekaligus penimbul rasa takut pada semua binatang, sehingga mereka tidak mengganggu dan memusuhinya. Bahkan, tak ada binatang yang berani mendekatinya, kecuali rusa yang menyusui dan mendidiknya. Rusa dan Hayy tidak saling meninggalkan. Sampai rusa itu tua dan lemah. Rusa itu semakin tua dan lemah, sehingga dijemput kematian. Gerak dan perbuatannya macet total. Melihat rusa demikian, Hayy sedih sekali. Ia mengeluh kasihan. Ia memanggil rusa itu dengan suara yang biasanya langsung dijawab. Tetapi, pada rusa itu tak tampak ada gerak dan perubahan. Kesedihannya berubah menjadi keinginan untuk melakukan sesuatu, untuk menghidupkannya kembali. Ia melihat ke kedua telinga dan mata rusa: cacat, lain dari biasa. Begitu pula sekujur tubuhnya. Ia ingin sekali menemukan tempat cacat itu. Kemudian ia mengulang penelitiannya semula. Tetapi sama saja. Ia telah melihat semua anggota tubuh lahiriah rusa, tapi tak tampak cacatnya. Sementara itu, ia menyaksikan kemacetan total, bukan hanya di sebagian tubuh tertentu. Maka terpikir di benaknya, cacat itu pastilah timbul dari bagian tubuh yang tak tampak oleh mata, berada di tubuh bagian dalam. Hayy ingin sekali menemukan bagian tubuh itu untuk dibersihkan dari segala cacat, sehingga tenaga mengalir lagi. perbuatannya pulih seperti semula. Dari pengalaman selama ini, tampak semua tubuh bangkai binatang tidak berongga, kecuali di bagian tengkorak dan perut. Maka terlintas di benaknya, anggota tubuh (seperti itu) mestinya tengkorak atau perut. Hayy menduga keras, cacat itu pasti di bagian tengah, (yaitu dada). Sebab ia yakin, bila semua bagian tubuh membutuhkannya, itu mestinya di tengah. Hay berpandangan bahwa tubuh bergerak secara mekanistik. Hayy mengambil pecahan batu keras dan kayu kering, dibentuk serupa pisau. Dengan itu ia membelah daging rusuk sampai pecah. Ia berusaha merusak dan membelah penyarungnya. Dengan paksa ia mampu melakukannya. Pertama, Hayy mendapatkan belahan paru-paru itu, berupa rongga. Tampak, itu miring ke satu arah. Ia terus meneliti sisi lain dada rusa itu. Ia menemukan rusuk lain. lalu paru-paru di posisi seperti tadi. Ia yakin, bagian itulah yang ia cari. Dibersihkannya hati (yang berada di antara paru-paru) itu. Tampak segala sisinya tertutup. Hayy membelah hati itu. Ditemukan ada dua rongga di dalam. Satu di bilik kanan penuh darah membeku, sedang rongga kiri kosong, tak berisi apapun. Hayy yakin, ketika rongga itu belum rusak, pernah ada ‘sesuatu’. Tapi karena rongga itu kini rusak, sesuatu itu telah pergi meninggalkannya, dan takkan kembali ke rongganya. Hayy menyadari bahwa ibu yang menyayangi dan menyusuinya itu, tak lain adalah ‘sesuatu’ yang lenyap tadi, yang darinya, bukan dari jasad, timbulnya semua perbuatan. Jasad seluruhnya hanyalah alat yang berfungsi seperti tongkat yang dipergunakan untuk membunuh binatang. Lewat jasad itulah hubungannya berpindah kepada "pemilik" dan "penggerak" (muharrik) jasad itu sendiri. Kerinduan Hayy kini tertumpu kepada "sesuatu" itu saja. pengetahuan ini mengoreksi pandangan Hayy tentang tubuh yang mekanistik. Sementara itu, jasad rusa pun membusuk, menyebarkan bau tak sedap. Hayy menjauhinya, bahkan menghindarinya. Tetapi tiba-tiba pandangannya menampak dua ekor burung elang saling berbunuhan. Lalu seekor mati tersungkur. Lainnya yang masih hidup mencari-cari tanah, dan menggalinya seraya memendam (rekannya) yang terbunuh itu dan menimbuninya dengan tanah. ‘Betapa indah perlakuan elang ini,’ pikirnya. ‘Semestinya aku belajar cara ini untuk memperlakukan (jasad) ibu!’ Lalu ia menggali lubang. Jasad ‘ibunya’ ia masukkan ke dalam, dan menimbunnya dengan tanah. Suatu kali, tiba-tiba api membakar setumpukan kayu. Hayy menyaksikan suatu pemandangan menakjubkan, makhluk yang tak pernah ia temukan. Ia berdiri keheranan. Perlahan ia melangkah mendekatinya. Tampaknya makhluk yang tak pernah ia temukan itu mempunyai cahaya penembus dan gerak pengunggul. Setiap benda yang mendekati pasti hancur dan luluh ditelan olehnya. Itulah api. Ia takjub karenanya. Hayy semakin menyukai api itu, karena menggantikan kedudukan matahari dalam memberi sinar dan kehangatan. Ia pikir, api itu termasuk sejumlah substansi selestial (jawhar samawiyyah) yang pernah disaksikannya. Sejak itu timbul pikiran, "sesuatu" yang melenyap dari hati ibunya, yaitu rusa yang membesarkannya, adalah substansi mawjud atau sejenisnya. Anggapan itu diperkuat oleh bukti bahwa tubuh binatang yang hidup senantiasa panas, seperti diketahui Hayy selama ini. Tapi, binatang itu menjadi dingin setelah ia mati. Api bersifat abadi, tidak lenyap. Dari pengalaman membedah dada rusa, ketika ia menemukan panas yang kuat, muncul satu pikiran. Ia tertarik mengambil seekor binatang, untuk membedah hati binatang itu, seraya memeriksa rongga yang ternyata kosong pada rusa yang pernah ia bedah. Terpikir, bila itu dilakukan, ia pasti bisa membuktikan eksistensi "sesuatu" yang ada di binatang hidup, dan bisa memastikan apakah "sesuatu" itu termasuk substansi api? Apakah di dalamnya ada sinar dan api atau tidak? Ia menangkap seekor binatang, mengikatnya, seraya membedahnya seperti cara mengoperasi rusa tempo hari. Pertama, ia mengambil bagian rongga kiri, lalu membedahnya. Ia melihat, rongga kosong itu dipenuhi udara beruap, menyerupai awan putih. Ia memasukkan tangan ke dalam. Terasa panasnya seakan membakar. Tetapi, binatang itu mati seketika. Ia berpendapat, adalah benar bahwa uap panas itu yang menggerakkan binatang. Hayy lalu memperlakukan kesimpulan ini umum bagi semua binatang lain. Begitu uap lepas keluar, binatang itu pun mati. Hayy terus melakukan eksperimen pada binatang lain untuk menjawab: Darimana uap panas datang? Mengapa panasnya tak habis? Semua itu dipraktikkan dengan membedah anatomi binatang hidup dan mati. Ia terus menekuni pemeriksaan dan proses pemikirannya. Karena itu, semakin jelas bahwa tiap sosok binatang terdiri dari ragam indera dan gerak. Namun, tubuh itu tetaplah satu dan sama. Hayy menemukan sesuatu yang lebih daripada uap panas, yaitu “ruh”. Keragaman sifat bawaan ini tak bisa dijelaskan oleh uap panas semata. ada entitas non-fisik (ruh) yang menentukan karakter unik setiap makhluk melampaui mekanisme tubuh. Sosok yang tersebar ke seluruh anggota tubuh bersumber dari ruh itu. Bagi Hayy jelas, semua bagian tubuh mengabdi pada, atau timbul akibat, ruh. Dan kedudukan ruh itu dalam gerakan yang utuh. Demikian, ruh hewani itu satu. Tapi, jika ruh itu berbuat dengan alat mata, perbuatannya berbentuk penglihatan. Jika itu berbuat dengan alat telinga, perbuatannya adalah pendengaran. Jika ia berbuat dengan alat hidung, perbuatannya berbentuk penciuman. Bila itu berbuat dengan alat kulit dan daging, perbuatannya disebut perabaan. Dan kalau ia berbuat dengan otot, perbuatannya adalah gerak. Tapi jika berbuat dengan jantung, perbuatannya berbentuk makanan dan proses pemasakannya. Setiap (alat) itu mempunyai anggota tubuh pengabdinya, yang perbuatannya terlaksana hanya karena aliran dari ruh itu, melalui "jalan-jalan" yang disebut urat syaraf. Jika itu terputus atau tertutup, maka perbuatan bagian tubuh (yang dialiri ruh lewat "jalan-jalan" tadi) pasti macet. Urat syaraf itu sebenarnya memperoleh ruh dari bagian dalam otak, sedangkan otak sendiri memperoleh ruh dari hati. Di dalam otak terdapat banyak ruh, sebab itu adalah tempat terpencarnya bagian-bagian anggota (tubuh). Setiap bagian tubuh yang kehilangan ruh karena satu sebab, perbuatannya macet dan seperti alat terbuang yang tidak dipergunakan lagi oleh si pelaku. Jika ruh itu lepas seluruhnya dari jasad atau rusak karena satu sebab, jasad itu pasti macet total, menjadi seperti dalam keadaan mati. Demikianlah, penyelidikan Hayy itu sampai ke batas ini berlangsung selama 3 minggu, saat ia mencapai umur 21 tahun. Di umur tersebut, Hayy dapat memperbaiki cara hidup. Ia kini menutup tubuh dengan kulit binatang hasil operasi dan melakukan aktivitas bertahan hidup lainnya. Ia mencipta semua itu di saat melakukan operasi anatomis, ketika ada hasrat mengetahui ciri khas anggota tubuh binatang mengapa berbeda. Itu terjadi selama masa tersebut tadi, (dalam umur) 21 tahun. Setelah itu, Hayy mengamati tempat-tempat lain. Ia menyelidiki semua benda (jism) yang berada di dalam dunia penciptaan (kawn) dan kehancuran ('asad): dari (spesies) binatang dengan berbagai jenisnya, tumbuhan-tumbuhan, barang tambang bermacam bebatuan, tanah, air, uap, es, salju, awan, api yang berkobar dan menyala. Ia melihat, semua itu mempunyai banyak ciri khas dan kelakuan yang berbeda-beda, gerak yang berkesesuaian dan yang saling bertentangan. Pengamatannya terhadap semua itu ia perbaiki dan ia mantapkan. Maka ia menyaksikan, semua itu mempunyai sifat yang kadang berkesesuaian dan kadang berbeda satu sama lain. Dari segi sifat kesesuaian, ia menyaksikan benda-benda itu satu dan sama. Sedangkan dari segi sifat yang berbeda, (ciri khas) benda tertentu tidak dimiliki benda lain. Maka (dalam catatannya) ciri khas benda-benda itu sangat banyak, tak terhitung jumlahnya. Baginya, wujud (benda) menyebar tanpa bisa dipastikan luas penyebarannya. Kemudian, dengan cara lain ia mengamati bagian-bagian benda lain. Ia menyaksikan anggota tubuhnya, yang betapa pun banyak, tapi semuanya berhubungan satu sama lain, tidak putus. Benda-benda itu berada dalam hukum Sang Kesatuan, dan tidak berbeda-beda kecuali akibat perbedaan perbuatannya. Perbedaan ini terjadi karena pengaruh daya kekuatan ruh hewani, seperti kesimpulan dari pengalamannya semula. Dan menurut esensinya, ruh itu adalah satu, dan ruh itulah hakekat esensi. Semua anggota tubuh (hanyalah) alat. Melalui cara ini, menurut pendapatnya, esensinya menyatu. Kemudian Hayy berpindah (meneliti) ke semua spesies binatang. Di antaranya, Hayy melihat perbedaan hanya pada beberapa bagian kecil, ketimbang kesamaannya. Ia berkesimpulan, ruh yang dimiliki keseluruhan spesies itu adalah sesuatu yang sama. Ruh itu sebenarnya tidak berbeda-beda, meskipun ia memang terbagi ke dalam banyak "hati" sehingga kelihatan berbedabeda dan banyak. Jika mungkin memadukan semua (ruh) yang tercerai dalam berbagai "hati" itu dan dikumpulkan di sebuah tempat khusus, tentulah semuanya merupakan sesuatu yang tunggal. Sama seperti air yang tunggal, atau minuman yang tunggal, dibagi-bagi dalam banyak tempat, kemudian disatupadukan setelah itu. Air dalam dua keadaan “keterbagian dan keterpaduan” adalah satu. Melalui cara pandang seperti ini, Hayy melihat semuanya itu adalah satu. Baginya, pluralitas (kathrat) sosok-sosoknya bagaikan pluralitas anggota-anggota tubuh sebuah sosok, yang berarti bukanlah pluralitas yang hakiki. Kini, ia menghadirkan semua spesies binatang di daya khayalnya. Ia mengamatinya. Ia melihat, semuanya sama-sama berciri khas ruh hewani. Dari pengamatan ini, tampak oleh Hayy bahwa ruh hewani yang dimiliki semua jenis binatang pada hakekatnya adalah satu, meskipun ada perbedaan kecil padanya, yang dimiliki secara khas oleh semua spesies dan tidak oleh spesies lainnya. Hayy juga mengacu pada spesies-spesies tetumbuhan dengan segala perbedaannya, ia berkesimpulan, jenis tetumbuhan itu tunggal menurut kesamaan kelakuannya, yaitu bahwa ia makan dan bertumbuh juga (seperti jenis binatang). Kini ia memadukan dalam pikirannya, jenis binatang dan jenis tetumbuhan. Ia melihat, keduanya sama-sama makan dan bertumbuh. Perbedaannya, dibanding tetumbuhan, binatang mempunyai kelebihan penginderaan, pencerapan, dan daya gerak. Memang barangkali ada semacam kesamaannya pada tetumbuhan. Dengan pengamatan ini tampak olehnya, baik tumbuhan maupun binatang adalah tunggal, disebabkan sesuatu yang tunggal yang sama-sama dimiliki oleh keduanya. "Sesuatu" itu bisa sangat sempurna dan utuh pada salah satu di antara keduanya, tetapi terkadang "sesuatu" itu kurang sempurna pada yang satu lainnya. "Sesuatu" itu sama kedudukannya seperti bagian beku dan yang lainnya cair. Karena itulah, menurut pendapatnya, tetumbuhan dan binatang (pada hakekatnya) menyatu. Lalu, ia memeriksa benda-benda yang tidak berindera, tidak makan, dan tidak tumbuh, berupa batu, tanah, air, udara, dan kobaran (api). Ia melihat, benda-benda itu berukuran: panjang, lebar, dan tinggi, serta tidak berbeda-beda meskipun sebagian berwarna dan sebagian tidak, sebagian panas dan sebagian dingin serta perubahan-perubahan lain semacamnya. Dan jika kebetulan dalam geraknya menarik, awan menyentuh kubah batu, ia menegak padanya dan menjadi seperti semua benda bumi. Dengan pengamatan ini, jelas bagi diri Hayy bahwa semua (yang disaksikannya) itu pada hakekatnya adalah sesuatu yang tunggal, dan jika semua itu membanyak disebabkan sesuatu hal, maka kejadian itu sama halnya dengan pluralitas yang terjadi pada binatang dan tumbuh-tumbuhan. Kini ia memeriksa "sesuatu" yang menurut pendapatnya, tumbuh-tumbuhan dan binatang menyatu karenanya. Ia melihat, "sesuatu" (yang menyatu) itu adalah benda seperti tersebut tadi: mempunyai (ukuran) panjang, lebar, dan tinggi, mungkin panas dan mungkin dingin, seperti benda yang tidak mengindera dan tidak makan tadi. Bedanya, "sesuatu" itu mempunyai perbuatanperbuatan yang timbul melalui alat-alat hewani dan nabati saja, dan barangkali perbuatanperbuatan itu tidak bersifat esensial, tetapi merasuk kepada "sesuatu" itu dari sesuatu yang lain. Sebab, kalau ia merasuk kepada benda-benda lain, maka (perbuatan-perbuatan) itu tentu sama seperti "sesuatu" tadi. Maka ia melihat kepada "sesuatu" itu menurut esensinya, terlepas dari perbuatan yang pada mulanya tampak muncul dari "sesuatu" itu. Maka ia melihat, "sesuatu" itu tidak lain adalah salah satu di antara benda-benda tadi. Dari pengamatannya ini ia melihat, semua benda (yang hidup, mati, bergerak, atau bisu) adalah sesuatu yang tunggal, meskipun sebagian tampak mempunyai perilaku (yang timbul) melalui alat-alatnya, tanpa ia mengerti apakah perilaku itu bersifat esensial baginya ataukah merasuk kepadanya dari benda lain. Dalam keadaan demikian, ia tidak melihat sesuatu selain benda-benda. Maka dengan cara ini ia melihat wujud seluruhnya adalah sesuatu yang tunggal, meskipun awalnya ia melihat wujud itu banyak, tidak terhitung, dan tanpa batas. Ia berkesimpulan demikian beberapa lama. Ia mengamati, adakah benda yang bebas dari alternatif kedua gerak itu, atau tidak mempunyai kecenderungan gerak seperti itu di waktu tertentu? Sepengetahuannya, belum ada benda seperti itu. Ia mencarinya, karena ia memang ingin menemukannya. Karena itu, ia melihat watak benda dari segi ia benda tanpa dihubungkan dengan sifat tertentu yang merupakan sumber pluralitas. Hayy meneliti pula semua benda, yang mati dan yang hidup. Ia melihat, hakekat wujud setiap benda terdiri dari pengertian kebendaan (al-jasmaniyyat) dan pengertian tambahannya, mungkin satu atau lebih. Tampak, "bentuk-bentuk" berbagai benda dengan segala perbedaannya. Dan itulah yang pertama-tama ia lihat dari alam ruhani, sebab "bentuk" tidak bisa dicerap dengan indera, tetapi dengan semacam pemikiran rasional. Sejumlah penampakan pun terlihat olehnya. Yaitu bahwa, ruh hewani yang bertempat di hati (qalb), sebagaimana telah diterangkan di depan, pasti memiliki pengertian tambahan atas kebendaannya sesuai dengan pengertian tersebut, supaya dapat melakukan proses-proses menakjubkan yang menjadi ciri khasnya, berupa ragam penginderaan, disiplin pencerapan, dan macam gerakan. Pengertian itulah "bentuk" dan pembeda yang membedakannya dari segala benda. Itulah yang disebut para filosuf jiwa hewani (nafs hayawaniyyat). "Sesuatu" yang bagi tetumbuhan berfungsi sama sebagai panas instinktif bagi binatang, juga mempunyai "sesuatu" yang memberinya ciri khas sebagai "bentuk"-nya. "Sesuatu" itulah yang disebut para filosuf jiwa nabati (nafs nabatiyyat). Demikianlah, semua benda mati, yang selain binatang dan tumbuhan-tumbuhan, berada di dalam dunia penciptaan dan kehancuran, juga mempunyai "sesuatu" yang menjadi khasnya. Masing-masing mempunyai kelakuan yang menjadi ciri khasnya, seperti bermacam gerakan dan kualitas inderawi. Itulah "bentuk" masing-masing dari mereka, dan itulah yang disebut para filosuf dengan tabiat (al-tabi'at). Hayy telah menyaksikan (dan berkesimpulan) bahwa hakekat ruh hewani, yang dirindukannya senantiasa, tersusun dari pengertian kebendaan (al-jasmaniyyat) dan makna tambahan lain; bahwa pengertian kebendaan ini menyeluruh dimiliki semua benda, dan pengertian lain penghubungnya (atau penyertanya) menimbulkan kekhasan tersendiri baginya (yang tidak dimiliki lainnya). Karena itu semua, ia memandang rendah pengertian kebendaan itu. Ia lalu membuangnya, sehingga kini pikirannya terpaku pada pengertian kedua yang disebut dengan "jiwa" (nafs). Ia ingin sekali mengetahuinya, sehingga pikirannya dicurahkan sepenuhnya untuk itu. Pengamatannya telah sampai di batas ini. Ia telah dapat membeda-bedakan benda(-benda) inderawi sedemikian rupa. Ia telah menyaksikan batas-batas alam rasional. Kini ia gundah (karena merasa terasing), dan mulai merindukan sesuatu yang ditata dari dunia indera. Ia mundur selangkah, meninggalkan benda (jism) yang total. Sebab, benda itu sesuatu yang tak tercerap indera, dan Hayy sendiri tidak mampu memperoleh seluruhnya. Karena itu, Hayy mengambil benda-benda paling sederhana yang disaksikannya, yaitu keempat benda (tanah, air, api, dan udara) yang pernah menarik perhatiannya. Karenanya, secara pasti ia mengetahui, setiap sesuatu yang baru (ciptaan, hadits) tentu harus mempunyai pencipta (muhdits). Melalui pengalaman ini tergambar secara global di benaknya, mengenai adanya pelaku (fa'il) bagi "bentuk" itu. Pengetahuan merupakan langkah awal yang mudah, roh hanya perlu menyelami tabir tembus pandang perbedaan dan Tuhan pun dikenal.1 Obsesi eksperimennya pun bermetamorfosis: membedah jantung kijang bukan lagi eksplorasi mekanisme, tapi ziarah menyusuri sungai darah menuju Samudera Sang Pemberi Hidup, sebuah pengakuan bahwa viviseksi pertamanya pada rusa pengasuh adalah ritual peralihan dari penyembah mesin menjadi pencari Sumber Hidup. Kini ia menelusuri "bentuk-bentuk" yang telah ia perhatikan sebelum ini, bentuk demi bentuk. Ia melihat, semua bentuk itu adalah hadits, dan mesti mempunyai seorang pelaku (fa'il). Masalah pelaku (fa'il) itu telah tampak pada Hayy secara global, belum terinci. Kini Hayy mulai rindu dan ingin sekali mengetahuinya secara rinci. Namun, karena Hayy belum bisa melepaskan diri dari alam penginderaan, ia pun berusaha (mengetahui) pelaku (fa'il) tadi dari segi objek-objek inderawi. Ia memang masih belum mengetahui apakah pelaku itu seorang atau lebih? Karenanya, kini ia meneliti semua benda yang dilihatnya, yang senantiasa menjadi pemikirannya. Ia melihat semua benda tidak terbebas dari kebaruan (huduts) dan kebutuhan akan pelaku yang berkehendak (fa'il mukhtar). Semua itu ia lempar (dan ia lupakan), dan kini pikirannya beralih kepada benda-benda samawi. Pengamatan dan pemikiran tersebut di atas berakhir pada awal pekan keempat dari sejak Hayy memulainya, ketika ia berumur duapuluh delapan tahun. 1 Lenn E Goodman 45 Kini ia mengetahui, langit seisinya berupa bintang-bintang adalah benda, karena semuanya terentang dalam ketiga sisi-ukur: panjang, lebar, dan tinggi. Tak ada bagian langit terbebas dari sifat ini. Dan tiap sesuatu yang tidak terbebas dari sifat itu adalah benda. Jadi, langit semuanya adalah benda-benda. Namun dengan kekuatan fitrah dan kecerdasan pemikirannya, ia berpendapat, sebuah benda tanpa batas adalah sia-sia, sesuatu yang mustahil, sebuah pengertian yang tidak rasional. Kesimpulannya ini dikuatkan oleh banyak argumen rasional yang muncul di lingkungan dan di dalam dirinya sendiri. Itulah sebabnya ia berkata (sendiri), "Benda samawi itu terbatas dari sisi dan arah yang dipersepsi inderaku. Aku tidak meragukannya, karena aku mencerapnya dengan penglihatanku. Adapun sisi di balik sisi (yang langsung kupersepsi), di mana aku meragukannya, juga mustahil terentang tanpa batas. Sebab, aku mengandaikan dua buah garis, yang dimulai dari (sebuah titik pada) sisi yang terbatas ini, terus melewati bidang-bidang benda menurut rentangannya tanpa batas. Kemudian kubayangkan, salah satu garis tadi memotong sebagian besar sisi ujungnya yang terbatas, sedang sisanya diambil sebagian dan garis yang terpotong dipadukan dengan garis yang sama sekali belum terpotong. Demikianlah, pengandaian tadi dipraktikkan pada sisi yang dikatakan tidak terbatas." Berdasar fitrahnya yang tinggi yang memunculkan argumentasi rasional seperti di atas, ia berpendapat, benda di langit itu benar terbatas. Kini ia ingin mengetahui bagaimanakah bentuknya (shakl), dan bagaimana pula permukaan benda langit itu terbatasi. Pertama ia melihat matahari, bulan, dan bintang. Tampak mereka semua terbit dari timur dan tenggelam di barat. Setiap kali ada benda langit melintas di atas zenitnya, ia melihat benda itu memotong sebuah garis edar besar. Dan setiap kali ada benda langit menjauhi zenitnya condong ke arah utara atau ke selatan, ia melihat benda langit itu memotong garis edar yang lebih kecil. Dan begitulah, semakin benda itu menjauhi zenitnya ke utara atau ke selatan, maka garis edarnya lebih kecil lagi daripada sebelumnya. Begitu seterusnya. Kini Hayy telah memiliki pengetahuan itu. Ia telah mengetahui, seluruh falak serta isinya bagaikan sesuatu yang tunggal yang bagian-bagiannya berhubungan satu sama lain. Ia telah mengetahui, benda yang dilihatnya semula (di falak), misalnya tanah, air, udara, tetumbuhan, binatang, dan lain sebagainya, semuanya termasuk kandungan falak itu dan bukan di luarnya. Semua itu dapat disamakan seekor binatang: Bintang-gemintang (lainnya) yang gemerlapan berkedudukan sebagai indera-indera binatang itu. Sedangkan berbagai falaknya yang saling berhubungan satu sama lain berkedudukan sebagai anggota tubuh binatang itu. Dan benda di dalamnya yang mengalami penciptaan dan kehancuran berkedudukan sebagai aneka sisa makanan dan hijau-hijauan. Di dalam perut itu juga seringkali tercipta seekor binatang lain, sebagaimana yang tercipta di alam besar (makrokosmos, 'alam akbar). Jelaslah kini bagi Hayy, pada hakekatnya semua itu bagaikan sebuah sosok yang tunggal. Menurut pendapatnya, bagian-bagian dari benda yang sangat banyak itu menyatu melalui semacam penanganan. Dengan penanganan itu, bendabenda yang berada di alam penciptaan dan kehancuran menyatu. Setelah itu semua, Hayy kini berpikir tentang alam (kosmos) seluruhnya: apakah itu tercipta dari tiada, yang mewujud setelah sebelumnya tiada? Ataukah kosmos itu telah ada sejak dahulu tanpa pernah didahului ketiadaan? Ia ragu-ragu memutuskan, sebab ia belum bisa memastikan yang benar dari kedua pertanyaan di atas. Selama beberapa tahun, Hayy terus memikirkan soal tersebut. Telah banyak argumen rasional bermunculan, tetapi gagal menolak salah satu dari dua keyakinannya. Soal tersebut membuat Hayy payah. Tetapi kini ia mencoba berpikir tentang kemestian yang timbul dari setiap keyakinannya, barangkali pemestinya (al-lazim) adalah tunggal. Bagi Hayy, jika ia percaya alam itu hadith dan mewujud dari sebelumnya tiada, mestinya alam itu tidak mewujud dengan sendirinya, tetapi diwujudkan oleh seorang pelaku (fa'il). Pelaku itu mustahil dapat dicerap dengan salah satu indera. Sebab kalau dapat dicerap dengan indera, pelaku itu tentunya sebuah benda. Dan jika benda, pelaku itu tentunya sebagian dari alam, yang hadits dan memerlukan seorang muhdath. Dan jika muhdath yang kedua itu juga sebuah benda, tentu muhdath ini pun memerlukan seorang muhdath yang ketiga, yang keempat, demikian seterusnya beruntun tanpa batas. Dan yang begini sia-sia. Dengan cara demikian, pemikiran Hayy sampai pada kesimpulan yang pernah ia capai melalui cara sebelum ini. Keraguannya mengenai (apakah) alam itu kadim atau hadith tidak merusak (keyakinannya semula). Berdasar kedua sudut (pandang) itu, Hayy dapat membuktikan secara benar adanya seorang Pelaku (fa'il) yang bukan benda, tidak berhubungan atau terpisah dari benda, tidak masuk di dalam dan tidak pula di luar benda itu. Sebab keterhubungan, keterpisahan, dan kemasukan, semuanya termasuk sifat-sifat benda. Pelaku itu bebas dari sifat-sifat (bendawi) ini. Jelas bagi Hayy, semua hal yang diwujudkan (al-mawjudat) menuntut, dalam wujudnya, adanya Pelaku. Tak satu pun dari mawjudat bisa ada tanpa Pelaku. Jadi Pelaku itu adalah Sebab ('illat) bagi mawjudat yang merupakan akibatnya, baik mereka hadith adanya karena didahului ketiadaan ('adam), atau mereka tidak berpermulaan dari segi waktu karena tidak didahului ketiadaan sama sekali. Dan secara logis, alam itu lebih lambat (mutakhir) dari Tuhan menurut esensinya (bi al-zat), bukan menurut waktu (bi al-zaman). Pengetahuan Hayy telah sampai ke batas ini, di awal minggu kelima dari perkembangannya. Yaitu di saat ia berumur tiga puluh lima tahun. Masalah Pelaku itu telah berkesan mantap dan meyakinkan di hatinya. Hanya (hakekat) Pelaku itu yang menyibukkan pikirannya. Dari pengamatan dan pencariannya terhadap segala ciptaan (mawjudat), ia merasakan ketakjuban yang aneh terhadap dirinya. Sehingga, setiap kali penglihatannya terbentur pada sesuatu benda, yang terlihat olehnya hanyalah jejak ciptaan.2 2 Ibn Ṭufayl, Hayy bin Yaqẓan: Anak Alam Mencari Tuhan, terj. Ahmadie Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. I, Juli 1997), h. 13-63